BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia dikenal beberapa periode sejarah, yaitu masa kolonial,
masa perang antara tahun 1945-1950, masa liberal (1950-1959), masa
ekonomi terpimpin (1960-1966), dan masa orde baru (1957-1997). Tiap-tiap
masa itu mempunyai ciri-ciri tersendiri misalnya dalam orientasi ideologi,
pola kebijaksanaan dan strategi pembangunan, demikian pula dalam pola
perekonomiannya.1
Periodesasi sejarah yang terpusat pada periode singkat tersebut,
ditandai dengan terjadinya peristiwa penting misalnya, terjadinya crash di AS,
seperti pernah ditulis oleh J. K. Galbrait atau pada masa krisis moneter tahun
1997 di Indonesia sampai sekarang, atau kawasan Asia Tenggara dan Korea
Selatan. Sejarah semacam ini bisa pula tertuju pada masa-masa yang baru saja
terjadi yang disebut recent history (Sejarah Mutakhir). Sebagaimana yang
terjadi sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20. Abad ke-17 disebut
karena abad itu telah memberikan pertanda periode sejarah yang bersifat
mondial dan dalam wilayah yang ketika itu disebut Nusantara masyarakatnya
berinteraksi dengan masyarakat dari bagian lain, dari kerajaan Belanda di
Eropa. Ia bahkan telah menciptakan batu kekuasaanya dengan membentuk
1 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : Pustaka
Pelajar, Cet. Ke-2, 2002, hlm. xi.
1
2
VOC di wilayah Indonesia.2
Maka dalam sejarah pemikiran ekonomi, paling tidak dikenal dua
macam periode sejarah, Pertama, sejarah yang membeberkan evolusi
pemikiran, yakni suatu pemikiran dapat bersumber dari beberapa pemikiran.
Kedua, menceriterakan riwayat hidup dan pemikiran tokoh-tokoh pemikir
besar, sebagaimana yang dikenal di Indonesia salah satu diantaranya adalah
Bung Hatta.
Perjalanan sejarah itu mengakibatkan terjadi interaksi yang bersifat
imprialistik dan kolonialistik bangsa-bangsa asing Eropa Barat, termasuk Cina
dibagian wilayah Asia Tenggara yang turut ambil peranan secara bileteral
melalui jalur membangun hubungan inter-personel dengan para pemimpin
kerajaan yang berkuasa pada saat itu.
Dari kenyataan empiris sejarah tersebut, sejak kehadiran migran Cina
di Nusantara, sampai kini orang Cina telah mampu membangun kekuasaan
dibidang ekonomi yang diperoleh bukan hanya karena kegigihan dan hidup
hemat, tetapi juga sejarah memperlihatkan fakta kesediaan orang Cina untuk
melakukan hal-hal yang acapkali menimbulkan kesengsaraan terhadap kaum
pribumi (inlanders). Posisi ekonomi yang kuat itu juga tidak dapat dilepaskan
dari kenyataan bahwa mereka berhasil memanfaatkan jaringan etnik Cina di
Asia Tenggara dalam rangka mengembangkan jaringan ekonomi perdagangan
2 Anhar Gonggong, Beralternatif di Tengah Krisis ; Mengikuti Cara Baik Bung Hatta,
Yogyakarta : Komunitas ombak (Front Generasi Muda Kaltim), Cet. Ke-1, 2002, hlm. 1.
3
mereka.3
Apapun kenyataannya didalam berinteraksi yang bersifat imprialistik
dan kolonialistik itu, berbagai pihak dari raja, tokoh ulama, tokoh masyarakat,
sampai kepada pemimpin kelompok petani, telah melakukan reaksi,4 dalam
arti memberikan sikap penentangan terhadap kedatangan kaum penjajah, tidak
terkecuali Cina, sebab Cina dalam perjalanan imprialis-kolonialismenya lebih
mengambil langkah pendekatan persuasif kepada para raja yang berkuasa saat
itu.
Situasi dan kondisi pada saat itu yang mana keadaan struktur sosial
ekonomi pada zaman penjajahan di Indonesia menunjukan golongan rakyat
pribumi menempati stratum terbawah, fakta ini jelas menunjukan apa yang
disebut interlinked transaction dalam proses pertukaran yang bersifat
eksploitatif. Pertentangan ini juga menunjukan pada apa yang disebut forced
commerce atau had sales yang merupakan manifestasi kekuasaan pasar yang
dimiliki oleh para aktor ekonomi.
Observasi Bung Hatta dalam pemikirannya secara jelas menghendaki
suatu reformasi sosial 5 agar pelaku-pelaku ekonomi rakyat dapat berperanan
atau punya posisi tawar yang kokoh yang secara langsung melakukan proses
3 Z. A Maulani, “ABRI, NONPRI, dan Integritas Sosial“, jurnal tiga bulanan CIDES,
dalam AFKAR, Vol. IV, tanpa bulan, No. 3, 1997, hlm. 159. 4 Reaksi penentangan dari kaum pribumi yang terjadi sangat cukup lama itu, yakni dari
awal abad ke-17 sampai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu 1905. Perlawanan yang berlangsung sejak itu, yang berakhir awal abad ke-20 sering disebut dengan strategi otot.
5 Reformasi sosial ini mengandung pengertian koreksi terhadap dialetik hubungan ekonomi secara fundamental, sehingga diperoleh hubungan ekonomi yang adil antara pelaku ekonomi didalam masyarakat.
4
eksploitasi, dengan perkataan lain reformasi ini harus dilaksanakan secara
radikal.
Dalam perjalanan sejarah, para pemimpin dahulu adalah para
intelektual Islam, yang tahu persis posisi tentang keadilan, sehingga suatu
proses pembangunan ekonomi yang mengandung penindasan dan ketidak-
adilan sosial dan kemanusiaan adalah merupakan produk kekafiran. Sehingga
agar tidak timbul kecaman, bahwa pembangunan yang berkeadilan adalah
merupakan suatu yang filosofis dan agamis, maka perlu diketahui dan dihayati
bersama bahwa proses pembangunan yang berkeadilan mengandung justifikasi
teoritis, seperti yang telah dikemukakan dalam firman Allah ; 6
اأيها الذين أمنوا كونوا قوامني لله شهداء بالقسط وال يجرمنكم شنآن يالله إن الله خبري بما قوم على أال تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى واتقوا
)٨: ملائدة ا(. تعملون Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang
yang selalu menegakan ( kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi secara adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (Al-Maidah : 8).
Sedemikian rupa diterapkannya sebuah konsep ekonomi kerakyatan,
yaitu yang demokratis dan benar-benar sesuai dengan nilai-nilai ruh dan jiwa
bangsa Indonesia yakni dalam upaya meyakini dan mewujudkan keadilan
sosial yang berprikemanusiaan bagi rakyat Indonesia. Sebab memberdayakan
6 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : Surya Cipta Aksara,
1993, hlm. 159.
5
masyarakat berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu dapat melepaskan diri dari
perangkap kemiskinan dan keterbelakangannya.
Seiring dengan kemerdekaan dan perkembangan bangsa Indonesia,
selanjutnya Bung Hatta dalam membagi usaha dibidang ekonomi dia
menyebutkan tiga macam sektor usaha besar yaitu ; Koperasi, Pemerintah dan
Swasta. Baginya ketiga sektor usaha besar tersebut jelas, karenanya dia
bersama koleganya yang menyusun pasal 33 UUD 1945, mengharapkan
bahkan menuntut agar satu hal tersebut benar-benar dilaksanakan sebagai
landasan dasar ekonomi rakyat dan negara.7
Konsep ekonomi kerakyatan sebenarnya bukan suatu hal yang baru
lagi. Bahkan istilah yang mengacu pada pemberdayaan ekonomi umat kelas
bawah ini sudah menjadi trend dan komoditas politik, maka tidak heran bila
setiap elemen masyarakat sangat pasih melontarkan jargon ini. Namun
demikian, terminologi konsep ekonomi kerakyatan adalah khas politik
Indonesia, sebab istilah ini muncul sejak kolonialisme belanda di Indonesia
yaitu sebuah terminologi yang merujuk pada kegiatan ekonomi, yang digeluti
oleh rakyat banyak; seperti pertanian, perkebunan, nelayan, industri kecil,
pertambangan, peternakan, industri, perhutanan, transportasi dan lain
sebagainya. Istilah tersebut biasanya digunakan untuk merujuk pada suatu
kegiatan ekonomi skala kecil yang dicirikan oleh sifat-sifat tradisional dan
kurang profesional dalam pengelolaannya serta rendahnya produktivitas dalam
7 Deliar Noer, Biografi Politik Bung Hatta, Jakarta : LP3ES, 1990, hlm. 652.
6
kinerjanya. Istilah ini biasanya juga dikontradiksikan dengan sektor ekonomi
modern ciptaan Belanda, seperti pabrik gula di Jawa, perkebunan tembakau
Sumatera Utara dan alat modern seperti transportasi darat, laut dan udara.
Istilah ekonomi rakyat dan modern dipahami para pengamat, pakar, aktivis
dan lembaga sosial masyarakat, terkecuali oknum negara, oleh mereka
tersebut untuk merujuk pada kondisi ekonomi yang ditandai dengan dualisme,
dimana keduanya tidak terkait atau kurang ada keterkaitan (harmonisasi).
Sebab sektor ekonomi modern biasanya berskala usaha besar, berorientasi
pasar domestik dan ekspor-impor, sementara sektor ekonomi rakyat atau
ekonomi tradisional biasanya mempunyai skala usaha kecil, bersifat subsistem
atau berorientasi pada pasar lokal.8
Melihat kenyataan di atas maka untuk memperjelas kembali konsep
ekonomi kerakyatan dari pemikiran Bung Hatta, yang oleh generasi transisi,
Orde Baru misalnya, sungguh sangat berseberangan dengan nilai-nilai sosial
kemanusiaan yang ada pada pasal 33 UUD 1945, sebab dengan adanya
perbedaan konsep yang tidak seimbang dibidang ekonomi, maka yang akan
terjadi adalah eksploitasi.
Konsep ekonomi kerakyatan sebagaimana diketahui dalam koperasi
misalnya, sebenarnya sudah lama muncul, namun sering kali eksistensi
kebenarannya kurang diterima secara tepat, jujur dan komprehensif. Kalau pun
muncul selalu saja jadi alat bagi yang kuat. Konsep ekonomi rakyat dan
8 Mahmud Thoha, Menapak Abad 21, Jakarta : Millenium Publisher, Cet. Ke-1, 2002,
hlm. 148.
7
ekonomi kerakyatan ini, menurut beberapa pendapat dari para pakar dan
pengamat ekonomi ; Pertama, menurut Bung Hatta sendiri, ekonomi rakyat
dan kerakyatan pada saat itu (masa kolonialisme) adalah ekonomi masyarakat
pribumi (penduduk asli Indonesia) atau kaum inlanders, yang merupakan
bagian terbawah dan terbesar dalam masyarakat kolonial.9 Kedua, Adi Sasono
mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai ekonomi partisipatif yang
memberikan akses yang fair dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat didalam
proses produksi, distribusi, dan konsumsi nasional tanpa harus mengorbankan
fungsi sumber daya manusia dan lingkungan sebagai pendukung kehidupan
masyarakat, sebab falsafah ekonomi rakyat itu sendiri menurutnya adalah
kegiatan yang dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Sedangkan persyaratan pokok dalam upaya
memperjuangkan ekonomi rakyat adalah ; (a) tujuannya untuk kemakmuran
rakyat, (b) adanya keterlibatan atau partisipasi dalam menikmati hasil-
hasilnya.10
Ketiga, Sri Edi Swasono membedakan dengan tegas antara ekonomi
rakyat dan perekonomian rakyat. Ekonomi rakyat adalah sektor ekonomi yang
berisi kegiatan-kegiatan usaha ekonomi rakyat. Sedangkan perekonomian
rakyat adalah sistem ekonomi dimana rakyat dan usaha-usaha ekonomi rakyat
berperan integral dalam perekonomian nasional, dimana produksi dikerjakan
9 Sritua Arief, “Mengenang Bung Hatta, Bapak Ekonomi Kerakyatan”, dalam Melanie
Sritua Arief (ed), Ekonomi Kerakyatan, Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2001, hlm 24.
10 Mahmud Thoha., Op. Cit., hlm. 149.
8
oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota
masyarakat, berdasar pada pakem, bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.11 Terlepas
sementara dari istilah ekonomi, yang dimaksud rakyat dari sudut pandang
hukum internasional adalah semua penduduk yang bukan pemerintah.12
Keempat, pakar ekonomi industri Umar Juono13 memisahkan ekonomi
kerakyatan dari ekonomi rakyat dan perekonomian rakyat.14
Menurut pandangan Marx, rakyat adalah kaum proletar atau kaum
pekerja, sehingga pemilik modal atau konglomerat tidak termasuk dalam
ketegori rakyat. Dalam konteks ke-Indonesiaan yang dimaksud rakyat adalah
orang kecil.15
Relevansinya dengan pembangunan ekonomi rakyat pedesaan,
Gunawan Sumodiningrat, mendefinisikan ekonomi rakyat sebagai sistem
ekonomi yang mengutamakan partisipasi aktif masyarakat (pedesaan)
sehingga masyarakat desa sebagai pelaku pembangunan dapat menikmati
hasil-hasil pembangunan sesuai dengan kerja dan sumbangan yang
11 Ibid. 12 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, Cet. Ke-8, 1989, hlm. 460. 13 Ia mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang mencakup konsep,
kebijaksanaan dan strategi pengembangannya. Sedangkan ekonomi rakyat (People economy) merupakan pelaku ekonomi yaitu rakyat itu sendiri, baik dalam bentuk koperasi, usaha menengah, usaha kecil maupun usaha gurem. Sementara itu perekonomian rakyat (State of people economy) merupakan kondisi atau keadaan ekonomi.
14 Mahmud Thoha, Op. Cit., hlm. 149. 15 Erich From, Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet. Ke-2,
2002, hlm. 199
9
diberikannya pada proses pembangunan yang sedang berlangsung.16
Mubyarto mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem
ekonomi (demokrasi) yang dioperasionalkan melalui pemihakan dan
perlindungan penuh pada sektor ekonomi rakyat (kecil). Sejalan dengan ini
pula Mubyarto mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai sistem ekonomi
yang didasarkan pada sila ke-4 Pancasila.17 Sedangkan yang dimaksud dengan
sistem ekonomi kerakyatan adalah bagian dari sistem pancasila yang
menekankan pada sifat demokratis dari sistem ekonomi yang memihak pada
mayoritas rakyat yang masih menderita (amanah penderitaan rakyat). Adapun
yang dimaksud dengan ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat bekerja atau
mencari nafkah untuk menjaga kelangsungan hidupnya.18
Secara formal, yuridis dan politis, konsep ekonomi kerakyatan mulai
diperbincangkan kembali dalam sidang umum MPR tahun 1992 dan berhasil
dimasukan kedalam GBHN pada tahun 1993. Konsep ekonomi yang menonjol
dalam perbincangan tersebut adalah seputar peran koperasi dan usaha kecil
yang dijabarkan dalam bentuk penyuluhan dan pelatihan serta penyediaan
skim perkreditan khusus bantuan permodalan dari BUMN dan konglomerat
besar serta himbauan untuk pengembangan program kemitraan. Namun
didalam GBHN pada tahun 1998 konsep ekonomi kerakyatan tersebut malah
semakin kabur, karena tokoh-tokoh ekonomi kerakyatan generasi muda seperti
16 Mahmud Thoha. Loc. Cit. 17 Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi : dari Kapitalisme menuju Ekonomi
Kerakyatan, Yogyakarta : Aditya Media, 1999, hlm. 150. 18 Ibid.
10
Mubyarto, Adi Sasono dan koleganya kurang dapat diberi ruang gerak oleh
orde yang berkuasa saat itu.19
Dengan demikian dalam konteks Indonesia sekarang ini, konsep lain
yang lebih sesuai dan cocok untuk ekonomi Indonesia adalah konsep ekonomi
orang kecil. Konsep istilah ini lebih dianggap sesuai dan cukup tepat karena
sekaligus dapat menggambarkan segala atribut yang melekat padanya seperti
ketidakberdayaan, keterpinggiran, kesederhanaan, dan sederetan permasalahan
yang dihadapi kelompok ini dalam percaturan ekonomi dan bisnis
sebagaimana konsep yang diperjuangkan dan diharapkan Bung Hatta.
Berdasarkan beberapa rujukan tersebut, menurut hemat penulis
ekonomi rakyat atau ekonomi kerakyatan adalah suatu konsep atau
terminologi yang langsung merujuk pada skala usaha dari sektor ekonomi
yang banyak digeluti oleh orang kecil, yaitu usaha-usaha berskala makro atau
gurem dan kecil, baik formal atau mempunyai status hukum (semisal ; PT,
CV, dan Koperasi) maupun informal (semisal; Pedagang Kaki Lima,
Pertambangan Rakyat, Kerajinan Rakyat dan lain-lain).
Konsep pemikiran ekonomi kerakyatan berakar dari pemikiran
strukturlis/neostrukturalis dalam pembangunan, dari segi sasaran
pemberdayaan dan rumitnya permasalahan pemberdayaan ekonomi rakyat,
salah satu bentuk laku adil yang semestinya diperhatikan semua elemen dan
lapisan masyarakat khususnya pemerintah. Tidak adil bila hanya pemilik
19 Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat : Persepsi tentang Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat, Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 11
11
modal besar yang terus diperhatikan, sebagaimana yang terjadi pada masa-
masa kekuasaan kolonial dan orde-orde transisi. Sehingga lingkup ekonomi
yang perlu mendapatkan prioritas penanganan di Indonesia dewasa ini adalah
ekonomi skala mikro (kecil) tidak termasuk usaha menengah. Jika dalam
kondisi seperti sekarang ini dengan pembinaan semestinya atau bahkan nyaris
tanpa perhatian saja, ekonomi rakyat mampu menjadi penopang perekonomian
nasional, bisa dibanggakan, kalau sektor ini berhasil dibina dengan baik
disertai fondasi yang kokoh, tidak mustahil ekonomi rakyat akan menjadi
pelaku ekonomi terpenting dinegeri ini.
Dari latar belakang masalah di atas, tampaknya ada kecendrungan
Bung Hatta untuk menampilkan idealismenya dengan konsep pemikiran
sosialisme ekonomi yang universal sebagai sebuah ilmu pengetahuan ekonomi
dengan tanpa melihat dan membeda-bedakan strata sosial yang ada, yakni
yang sesuai pada keberagaman (majemuk) masyarakat Indonesia,
sebagaimana yang termaktub dalam falsafah pancasila.
Jadi menanggapi ekonomi kerakyatan Bung Hatta sebagai konsep
ilmu ekonomi sosial sebagaimana yang ada dalam pasal 33 UUD 1945, di
tinjau dari sisi agama manapun, sebuah nilai-nilai sosial yang berkeadilan
harus dijadikan pedoman dasar kehidupan berekonomi. Maka sebagai sebuah
pilihan alternatif, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran Bung Hatta
tentang ekonomi kerakyatan relevansinya terhadap pemberdayaan ekonomi
umat, yang secara tersirat dalam tinjauan agama mempunyai nilai-nilai sosial
yang tinggi dan langka dibandingkan dengan ekonomi yang ada seperti
12
sekarang ini. Untuk itu disini ditegaskan kembali agar ekonomi kerakyatan
tidak hanya sebuah konsep pemikiran monumental yang cendrung disisihkan
dan bahkan dongengan saja oleh kekuasaan rezim transisi, maka sepertinya
perlu ditegaskan kembali dan diteliti, kenapa hal demikian mesti terjadi ?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka kajian pokok permasalahan
yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran Bung
Hatta tentang ekonomi kerakyatan dan implementasinya dalam pemberdayaan
ekonomi umat ?
C. Tujuan Penelitian
Berpijak pada rumusan pokok masalah yang ada, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi
kerakyatan dan implementasinya dalam pemberdayaan ekonomi umat.
Disamping tujuan tersebut, hasil penelitian ini juga nantinya
diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memperkaya khasanah
pemikiran hukum Islam pada khususnya dan pemikiran Bung Hatta pada
umumnya. Harapan lebih jauh semoga penelitian ini dapat dijadikan acuan
atau setidaknya sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pengkajian dan
pembaharuan pemikiran hukum Islam, khususnya pada kajian fiqh
mu’amalah.
13
D. Telaah Pustaka
Telah menjadi sebuah aksioma di dunia akademisi, bahwa tidak ada
satupun bentuk karya tulis yang terputus dari usaha intelektual generasi
sebelumnya. Maksudnya, tidak ada sebuah pemikiran yang benar-benar baru
dan orsinil yang tanpa terikat dengan pemikiran generasi sebelumnya, yang
ada adalah contuinity and change (kesinambungan pemikiran dan kemudian
dilakukan perubahan). Penelitian ini pada nantinya juga merupakan mata
rantai intelektualisme Islam dari pemikiran dan penelitian sebelumnya,
khususnya dalam kajian pemikiran tentang fiqh mu’amalah.
Sejauh pengetahuan penulis, belum banyak karya-karya yang
mengkaji tentang pemikiran Bung Hatta secara komprehensif, yang ada hanya
bagian-bagian dari pemikiran konsepsional Bung Hatta secara global,
kebanyakan yang ada adalah karya-karya lepas yang kemudian dibukukan jadi
satu dalam suatu editor (penerbitan buku), diantara sekian banyak karya-karya
lepas yang ada, kemudian disadur kembali oleh tokoh-tokoh ekonomi generasi
baru, satu diantaranya adalah tentang Ekonomi Kerakyatan. Dari
idealismenya ini, Sritua Arief kemudian mengangkat kembali karya tersebut
kedalam sebuah buku yang dikemas dengan judul “Ekonomi Kerakyatan ;
Mengenang Bung Hatta Bapak Perekonomian Indonesia “. Oleh karena itu,
untuk meyakinkan bahwa pembahasan dalam penelitian ini belum pernah
dikaji, baik dalam bentuk buku atau skripsi maupun tulisan ilmiah lainnya,
maka penulis akan mengadakan telaah pustaka terhadap skripsi dan tulisan
ilmiah lain yang ada relevansinya dengan pembahasan penelitian ini, apalagi
14
kajian dari pemikiran Bung Hatta, orang lebih banyak mengenal dan
membahas tentang Konsep Koperasi, kalau dalam kajian ilmu fiqh dikenal
dengan Konsep Syirkah Ta’awuniyah.
Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam bukunya “Membangun
Ekonomi Indonesia“ yang merupakan kumpulan tulisannya yang disunting
oleh Meutia Farida Swasono dan I Wangsa Widjaja menyebutkan tentang
bagaimana konsep ekonomi yang sesuai untuk bangsa Indonesia. Dalam buku
ini dijelaskan bahwa konsep ekonomi Indonesia adalah sosialisme Indonesia
artinya adalah acuan yang digunakan sesuai dengan pasal 33 dalam UUD 1945
yang merupakan penafsiran dari dua teori ekonomi yang dipaparkan oleh
Adam Smith dan Karl Marx, yang dimaksud disini menurut Bung Hatta adalah
Koperasi.20 Tetapi dalam buku ini belum dijelaskan secara lebih komprehensif
mengenai bagaimana awal mula konsep koperasi secara kronologis
sejarahnya. Sebab Koperasi itu sendiri adalah bagian dari sejarah ekonomi
kerakyatan.
Wahidin Said dalam Skripsinya “Studi Perbandingan tentang
Koperasi Menurut Mohammad Hatta dengan Koperasi menurut Mahmud
Syaltout“ menegaskan bahwa subtansi dari koperasi ini adalah modal dan
pemilik, artinya adalah para pemilik modal tersebut sepakat untuk berkumpul
dengan modalnya untuk melakukan suatu usaha, kemudian keuntungan dari
usaha tersebut dibagi sesuai dengan perjanjian. Karena usaha itu memerlukan
20 Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, Jakarta : Inti Idayu Press, 1998,
hlm. 61.
15
pengurus, maka kategorisasi tersebut akan mendapatkan finansial berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Sebab itu, substansi dari koperasi
menurut Mohammad Hatta dan Mahmud Syaltout ini adalah sama, yaitu
mengumpulkan modal dan melaksanakannya menjadi sebuah usaha dan
keuntungan serta kerugian dapat dibagi dan ditanggung bersama sesuai dengan
perjanjian dan kesepakatan bersama pula, demikian dalam analisis si penulis.21
Maka sebagai acuan penelitian ini, perbedaan dan kesamaan dalam
permasalahan pokok yang ada dalam skripsi sebelumnya (Sdr. Wahidin Said)
adalah pada kajian koperasi secara normatif. Tetapi lain kenyataan pada sisi
implementasi, hanya saja alur pemikiran dari satu tokoh yang sama, yakni
pemikiran Bung Hatta. Sehingga kalau dipahami secara komprehensif
sentimental koperasi adalah sebuah wadah organisasi ekonomi, dimana dalam
aktivitas kegiatannya bisa saja mereka yang memiliki modal besar kemudian
bernaung dalam satu wadah yang berkedok koperasi. Sedangkan ekonomi
kerakyatan adalah sebuah proses perjalanan menuju ekonomi yang
berkeadilan dan dapat dinikmati secara bersama-sama tanpa
mengesampingkan kehidupan sumber daya alam lain (ekosistem).
Menurut Revrisond Baswir, dalam bukunya “Agenda Ekonomi
Kerakyatan“ memberi kata lain dari koperasi dengan ekonomi kerakyatan,
sesungguhnya adalah ekonomi yang demokratis atau demokrasi ekonomi.
Ungkapan tersebut dapat diperjelas bahwa koperasi adalah suatu bentuk
21 Wahidin Said, Studi Perbandingan tentang Koperasi Menurut Mohammad Hatta
dengan Koperasi Menurut Mahmud Syaltout, dalam Skripsi, Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002, hlm. 142.
16
perekonomian yang mengandung nilai-nilai demokrasi ekonomi, sehingga
konotasi dari ekonomi kerakyatan adalah ekonomi koperasi yang sesuai
dengan penjabaran UUD 1945 pasal 33.22
Dalam bukunya Julius Bobo yang berjudul “Transformasi Ekonomi
Rakyat“ dijelaskan bahwa inti ekonomi rakyat adalah ekonomi partisipatif
yang memberikan akses yang wajar dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat
dengan tanpa mengubah fungsi dan kelestarian sumber daya alam dan
ekosistem lain yang merupakan pendukung bagi sistem kehidupan masyarakat
secara menyeluruh.23 Buku ini menjelaskan pula bahwa semua upaya yang
menyangkut pengembangan ekonomi rakyat pasti bersentuhan dengan
kelompok masyarakat miskin dan lemah.
Dari pemikiran itu secara sosiologis dapat dipahami, bahwa ekonomi
kerakyatan adalah suatu paham ekonomi yang lebih menghendaki
pertumbuhan ekonomi seiring dengan falsafahnya. Artinya konsep tentang
ekonomi kerakyatan dari pemikiran Bung Hatta menghendaki idealisme
pembagian penguasaan sumber daya ekonomi yang lebih luas dan merata serta
tepat sasaran agar kemakmuran dan keadilan menjadi milik setiap umat, bukan
milik segelintir orang (individualisme) ataupun kolompok tertentu.
Oleh karena itu, telaah yang penulis uraikan dari beberapa pemikiran
yang ada, ekonomi kerakyatan merupakan sebuah pemikiran baru dalam
22 Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997,
hlm. 4. 23 Julius Bobo, Transformasi Ekonomi Rakyat, Jakarta : Pustaka Cidesindo, Cet. Ke-1,
2003, hlm. 48.
17
perekonomian sejarah Indonesia, walaupun sebenarnya pemikiran tersebut
sudah muncul sejak sekian abad kemerdekaan Indonesia. Diskripsi tersebut,
menurut hemat penulis belum pernah dikaji oleh penulis sebelumnya,
sehingga patut untuk dikaji lebih komprehensif sebagai konsep dalam
merangka pengembangan ekonomi yang bernilai dan berjiwa Islam.
E. Metode Penelitian
Studi ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research)
yaitu24 penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji
sumber-sumber kepustakaan khususnya mengenai ekonomi kerakyatan
menurut Bung Hatta, oleh karena itu penelitian ini akan lebih menekankan
pada pendekatan kualitatif.
Jenis dari studi ini adalah studi teks, yaitu mengkaji dan
mendiskripsikan dari berbagai teks yang bersifat ilmiah, baik berupa buku-
buku ilmiah maupun dari sumber tulisan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Adapun untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan data buku
primer dan sekunder. Kaitannya dengan studi ini buku primer yang
dipergunakan adalah buku yang berjudul “Ekonomi Kerakyatan“ Karya
Melanie Sritua Arief (ed). Sedangkan buku sekunder yang penulis gunakan
adalah buku-buku dan naskah pidato dari karangan Bung Hatta sendiri yang
telah disadur originil oleh tokoh-tokoh sekarang, serta karya buku lain yang
24 Sutrisno Hadi, Metodelogi Research I, Yogyakarta, : Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1987, hlm. 9.
18
relevan dengan pembahasan penelitian ini.
Untuk mengumpulkan data dalam studi ini, penulis menggunakan
metode dokumenter,25 yakni mencari dokumen sejarah tentang Bung Hatta
yang berupa tulisan ataupun sejenisnya.
Di samping itu penulis juga mencari buku-buku karya tokoh-tokoh
ekonomi yang kompeten terhadap pemikiran ekonomi Bung Hatta secara
umum, seperti Mubyarto, Dawam Rahardjo, Adi Sasono dan Sarbini
Sumawinata serta tokoh-tokoh ekonomi lainnya, baik yang pro maupun
kontra.26 Dengan melalui analisa tulisan mereka sebagai jawaban ataupun
disiplin ilmu lain yang dianggap perlu. Yakni guna analisis banding terhadap
pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi kerakyatan dan koperasi, sampai
dimana implementasi real dari sebuah ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam upaya mendiskripsikan dan menganalisis permasalahan,
penulis menggunakan metode content analysis ; metode ini dimaksudkan
untuk menganalisis makna yang terkandung dalam pemikiran Bung Hatta, isi
yang terkandung dalam pemikiran ini kemudian dikelompokan melalui tahap
identifikasi, klasifikasi, dan kategorisasi kemudian dilanjutkan dengan
interpretasi.27
25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta :
Renika Cipta, 1998, hlm. 263 26 Mereka adalah Pakar, Pengamat sekaligus Peneliti dan Dosen pada Perguruan Tinggi
Negeri di Indonesia. 27 Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, Edisi ke-3,
1996, hlm. 9
19
F. Sistematika Penelitian
Dalam penulisan sistematika penelitian ini, penulis mengacu pada
buku pedoman yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ ah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Adapun gambaran dari sistematika
penelitian ini, diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini meliputi tentang : A. Latar Belakang Masalah., B.
Perumusan Masalah., C. Tujuan Penelitian., D. Telaah Pustaka., E.
Metode Penelitian., dan F. Sistematika Penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BUNG HATTA
Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang obyek yang
diteliti seperti : A. Biografi Singkat Bung Hatta yang memuat ; 1.
Masa Kecil dan Remaja., 2. Masa Pendidikan.dan Pergerakan., B.
Dasar-Dasar Jejak Langkah Pemikiran Bung Hatta yang memuat ;
1. Konsep Bung Hatta tentang Negara., 2. Konsep Bung Hatta
tentang Keadilan Sosial., C. Karya-Karya Bung Hatta.
BAB III PEMIKIRAN BUNG HATTA TENTANG EKONOMI
KERAKYATAN
Bab ini menguraikan tentang : A. Sejarah Konsep Ekonomi
Kerakyatan., B. Pemikiran Bung Hatta tentang Ekonomi
Kerakyatan dan Rakyat., C. Koperasi sebagai Wadah Organisasi
Ekonomi Kerakyatan dan Rakyat.
20
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN BUNG HATTA TENTANG
EKONOMI KERAKYATAN DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMMAT
Pada bab ini menguraikan analisis tentang : A. Implementasi
Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta dalam Pemberdayaan
Ekonomi Umat, B. Ekonomi Kerakyatan Implikasi dari Penerapan
Nilai-Nilai Ajaran Kultur Islam.
BAB V PENUTUP
Bab terakhir ini memuat tentang kesimpulan dari bab yang ada
sebelumnya. Bab ini pula merupakan intisari dari pemikiran yang
diuraikan. Berupa pokok-pokok dari jawaban atas permasalahan
yang penulis ajukan. Lalu bab ini pula diberikan saran-saran ilmiah
dari berbagai kekurangan yang ada, sehingga dengan demikian
akan memudahkan penelitian lebih lanjut. Kemudian disajikan
lampiran-lampiran yang dianggap perlu.
21
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BUNG HATTA
A. BIOGRAFI SINGKAT BUNG HATTA
Bung Hatta tokoh yang dikenal dengan sikap hidup santun, hemat,
sederhana dan jujur, ini lahir di Kampung Aur, Tanjungkarang, Bukittinggi,
Sumatera Barat, tanggal 12 Agustus 1902 dari pasangan Angku Bule Syekh
Batu Hampar yang juga dikenal dengan sebutan Haji Muhammad Djamil dan
Ibunya Siti Saleha.1
Ayah Bung Hatta adalah keturunan ulama besar di Tanah
Minangkabau dan berasal dari Batu Hampar, dekat Paya Kumbuh. Sedangkan
Ibunya berasal dari keluarga kaya Bukittinggi, anak seorang pedagang, Ilyas
Bagindo Marah. Ia adalah mamak Bung Hatta yang kaya raya di Bukittinggi
dan mempunyai pengaruh besar bagi keluarga, kalangan masyarakat
Sumatera Barat dan kaum para pendatang bagi timur asing dan barat.2
1 E. Fujiachirusanto, “ Peran dan Sosok Bung Hatta “, dalam Dialetika Perkembangan
Sejarah Bangsa Indonesia, dalam Wawasan, 12 Agustus 2002, hlm. 1
2 Tugiyono KS (eds), Dwi Tunggal Soekarno-Hatta Pahlawan Proklamator Kemerdekaan
Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 67.
23
Nama Bung Hatta sesungguhnya ialah Muhammad Athar. Athar itu
sebuah kata Arab; artinya harum ( Minyak Wangi ). Dalam keluarga dan
masyarakat Minangkabau, panggilan kebiasaan sehari-hari, kata Athar
diucapkan Atta, sehingga lama kelamaan dengan tanpa dirasakan berubah
dengan sendirinya menjadi Hatta.3
Seiring dengan perkembangan psikologis Bung Hatta dalam berpikir,
para penulis mengabadikan dalam masa-masa tertentu, sebagaimana dalam
uraian sebagai berikut :
1. Masa Kecil dan Remaja.
Bung Hatta pada masa kecil hidup dalam keluarga yang berada, serba
mewah dan dimanjakan oleh keluarganya. Apalagi Bung Hatta adalah anak
laki-laki tunggal. Pada umur delapan bulan Hatta sudah menjadi anak
yatim, ayahnya wafat dalam usia 30 tahun. Kemudian Siti Saleha menikah
kembali dengan Mas Agus Haji Ning. Haji Ning adalah seorang pedagang
dari Palembang, ia sudah sering berhubungan dagang dengan Ilyas
Bagindo Marah. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai oleh Tuhan empat
orang anak perempuan. Bung Hatta adalah anak laki-laki tunggal dalam
keluarga itu, semula oleh Bung Hatta, Haji Ning adalah dianggap sebagai
ayah kandungnya.4
Meskipun Bung Hatta dimanjakan, tetapi ia sendiri tidak menjadi anak
3 Ibid.
4 Deliar Noer, Biografi Politik Bung Hatta, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 15.
24
yang manja. Artinya Bung Hatta sama sekali tidak bandel, malas atau
cengeng. Pada masa kecilnya pula Bung Hatta bersikap tenang, bahkan
pendiam dan tidak banyak bicara kalau tidak perlu. Watak semasa kecil ini
tetap dibawanya sampai menjadi remaja, dewasa dan orang tua. Bung
Hatta dikenal disiplin, selalu bekerja menurut waktu yang tepat, saleh
dalam beragama dan teguh dalam pendiriannya watak demikian sudah
nampak benih-benihnya pada masa kecilnya dan terus berkembang
sepanjang hidupnya.5
Sedangkan ketika remaja Bung Hatta tidak merasa terikat dengan
sistem adat Minang kabau yang bersifat matrilineal. Dari keluarga kedua
belah pihak membebaskan dan mendorong dirinya untuk meluaskan
pandangannya melampui tempat asalnya. Hal ini diketahui dan diperkuat
oleh pengalamannya sebagai pemuda dimulai di Padang ketika bersekolah
di Europese Logere School (ELS) tahun 1913 dan lulus tahun 1916, dan
kemudian dilanjutkan di Meer Uitgebried Luger Onderwijs (MULO) pada
tahun 1917. Semasa remaja, di Padang Bung Hatta sudah banyak
pengalaman yang didapat bagi masa depannya, dimulai bergerak dari
masyarakat dalam sekolahnya sebagai ketua perkumpulan olah raga,
menjadi anggota kaum muda Sumatera yang dinamakan Jong Sumatranen
Bond. Bung Hatta tertarik pada perkumpulan ini, karena salah satu misinya
dalam deklarasi itu mengungkapkan isinya yang berbunyi memajukan
5 Tugiyono KS (eds), Op. Cit., hlm. 68.
25
bangsa dan tanah air, bagi ia ungkapan tersebut bukan dianggap sebagai
slogan atau formalitas saja. Artinya, apa yang dibacanya. Dalam hati
nuraninya Bung Hatta begitu tersentuh pada kata-kata tersebut dan ia
berjanji akan melaksanakannya. Hal ini sudah terbukti pada saat
perjuangan melawan penjajah hingga sampai mendampingi Bung Karno
membacakan naskah proklamasi kemerdekaan atas nama bangsa
Indonesia.6
2. Masa Pendidikan dan pergerakan.
Pendidikan formalnya dimulai pada awal umur lima tahun, Bung
Hatta sudah masuk pada sekolah taman kanak-kanak atau sekolah Frobel.
Setahun kemudian ia bersekolah di Sekolah Rakyat atau ELS ( Europese
Lagere School ) di Bukittinggi selama dua tahun. Pagi ia belajar di
Sekolah tersebut, sore hari ia belajar bahasa Belanda, karena cita-cita
orang tuanya kelak Bung Hatta akan dimasukan di Sekolah Belanda.7
Semasa kecil oleh neneknya bernama Siti Aminah ia diarahkan,
sesudah maghrib untuk belajar mengaji kepada Syekh Muhammad Djamil
Djambek asal Bantam( 1860-1947 ) dan Haji Abdullah Ahmad ( 1878-
1933 ). Sejak itulah ia diasuh dan dibimbing serta dididik belajar membaca
al- Qur’an hingga sampai menamatkannya. Setelah menyelesaikan belajar
al- Qur’an, di tempat yang sama Bung Hatta mendapat pelajaran Nahwu,
6 Deliar Noer, Loc. Cit.
7 Tugiyono KS (eds), Loc. Cit.
26
Fiqh dan Tafsir. Selain belajar kepada kedua guru tersebut, Bung Hatta
juga belajar agama Islam dari Syekh Arsyad.8
Setelah sekolah di Europese Lagere School ( ELS atau Sekolah
Rakyat ) selama dua tahun, selanjutnya Bung Hatta masuk MULO ( Meer
Uitgrabeid Luger Onderwijs atau Sekolah Menengah Pertama ) di Padang
dan dapat menamatkannya pada tahun 1919. Kemudian setelah
menamatkan dari MULO Bung Hatta melanjutkan kembali studinya di
Handels Midlebare School ( HMS atau Sekolah ) di Betawi ( Jakarta ),
dengan mengambil jurusan dagang, dan lulus dengan baik pada tahun
1921. Pada tahun yang sama ia melanjutkan juga studinya di Handels
Hogere School ( Sekolah Tinggi Ekonomi ) di Rotterdam Belanda, dari
sini Bung Hatta memperoleh gelar sarjana muda. Disamping itu, karena
tuntutan aktif kegiatan di organisasi Perhimpunan Indonesia yang
merupakan wadah organisasi gerakan nasional yang progresif sebagai
tempat bernaung para mahasiswa Indonesia di Belanda, Bung Hatta pindah
kejurusan ekonomi kenegaraan, walaupun pada akhirnya Bung Hatta
mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan studinya hingga baru
tahun 1932 Bung Hatta dapat memperoleh gelar sarjana ekonomi. Di
Belanda juga, pada tahun 1925 Bung Hatta masih sempat mengikuti kuliah
pada Ilmu Hukum Konstitusi di Rotterdam Belanda. Didalam keaktifannya
sebagai anggota di Perhimpunan Indonesia ( PI ) yang pada awalnya PI
8 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Nada Utama, 1993,
hlm. 771.
27
bernama Indische Veriniging kemudian berubah kembali menjadi
Indonesiche Veriniging, selama empat tahun berturut-turut ( 1926 – 1930 )
Bung Hatta menjabat sebagai ketua, namun sampai akhirnya
mengundurkan diri karena PI yang di bawah Rustam Efendi berorientasi
kealiran Komunisme.9
Selain di PI Bung Hatta juga aktif dalam majalah Hindia Putra (
kemudian berubah menjadi Indonesia Merdeka ) yang dimulai dari
menjadi anggota sampai menjabat bendahara merangkap anggota.
Aktivitas politik Bung Hatta mulai muncul pada tahun 1926-1930 saat
menjadi Mahasiswa di Rotterdam Belanda dengan aktif di Perhimpunan
Indonesia dan juga aktif di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan
Indonesia.10
Pada akhir tahun 1927, dia bersama Ali Sastroamidjojo, Mohammad
Natsir Pamuntjak dan Abdul Madjid Djojodiningrat di tahan oleh
pemerintah Belanda selama lima setengah bulan di Den Haag karena
aktivitas politiknya dengan tuduhan sengaja menghasut pemerintah Hindia
Belanda, kemudian dengan pidato pembelaan Bung Hatta yang berjudul
Indonesia Vrij ( Indonesia Merdeka ) pada bulan maret 1928 Bung Hatta
beserta kawan-kawannya dibebaskan.11
9 Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989, hlm.
362. 10 Ibid.
11 Ibid., hlm. 365.
28
Tahun 1932 Bung Hatta kembali ke Indonesia dengan membawa gelar
sarjana ekonomi. Bersama Sutan Sjahrir membentuk dan mendirikan partai
PNI ( Pendidikan Nasional Indonesia ) dengan tujuan perjuangannya
adalah pengkaderan watak dari kepemimpinan. Tahun 1934, dia di tahan
oleh pemerintah Hindia Belanda di Penjara Glodok Jakarta, kemudian
pada Bulan Desember di pindahkan ke Boven Digul selama satu tahun dan
selanjutnya di pindahkan lagi ke Banda Naira selama enam tahun. Pada
bulan Pebruari tahun 1942 dipindahkan ke Sukabumi sewaktu pasukan
Jepang mendarat di Ambon. Pada tahun yang sama Bung Hatta
dibebaskan, bersamaan dengan pendudukan pasukan Jepang di Indonesia
ia menjadi penasehat tentara.12
Pada tahun 1945, bersama dengan Ir. Soekarno memproklamasikan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, kemudian Ir. Soekarno diangkat
menjadi Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden, sampai tahun
1948, pada tahun 1949 selain sebagai Wakil Presiden Bung Hatta
merangkap jabatan sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan.
Bulan Agustus sampai Nopember 1949, dia memimpin delegasi Republik
Indonesia ke Den Haag Belanda untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar
( KMB), hingga pada tanggal 27 Desember tahun yang sama menerima
12 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional ( dari Budi Utomo sampai Proklamasi
1908-1945), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 150.
29
penyerahan kedaulatan Republik Indonesia dari Ratu Juliana.13
Setelah pemilihan DPR dan Konstituante oleh rakyat pada tahun 1956,
Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden dengan
kehendak dan kesadaran sendiri. Sejak itu bukan berarti perjuangannya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia berhenti. Akan tetapi
dilakukannya melalui pendidikan, dengan mengajar diberbagai Universitas
dan Perguruan Tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas
Hasanudin,Universitas Padjajaran dan juga di SESKOAD. Dengan
kegiatan ilmiah yang dilakukan inilah Bung Hatta memperoleh gelar
Dokter kehormatan (H.C) yang pertama kali dari Universitas Gadjah Mada
( 27 Nopember 1956 ).14
Kesibukannya mengajar diberbagai Universitas dilakukannya secara
kontinue sejak tidak menjabat sebagai pejabat negara. Tahun 1969 oleh
Presiden Soeharto dia diangkat sebagai penasehat komisi IV tentang
masalah korupsi, dan tahun 1972 Bung Hatta menerima tanda jasa Bintang
Republik. Pada tahun 1975 ditunjuk menjadi ketua Panitia Lima atau
Panitia Pancasila yang dibentuk atas anjuran Presiden dan bertugas
melakukan penafsiran tunggal mengenai Pancasila. Kesibukannya
mengajar diberbagai Universitas, hingga gelar Doktor Kehormatan
13 Ibid.
14 Wahidin Said, Studi Perbandingan tentang Koperasi Menurut Muhammad Hatta
dengan Koperasi menurut Mahmud Syaltout, dalam Skripsi, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2002, hlm. 66.
30
kembali diperoleh dari Universitas Hasanudin tanggal 9 September 1973
dan Universitas Indonesia dalam Ilmu Hukum tanggal 30 Agustus 1975.15
Bung Hatta wafat pada hari jum’at tanggal 14 Maret 1980 di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo dalam usia 78 tahun, sesuai dengan
keinginannya apa bila dia meninggal agar dimakamkan ditengah-tengah
rakyat, maka dia pun dimakamkan dipemakaman umum Tanah Kusir
Jakarta Selatan. Bung Hatta wafat dengan meninggalkan seorang istri
Rahmi Hatta dan tiga orang putri ( Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah
Hatta dan Halidah Nuriah Hatta ).16
Bung Hatta adalah seorang yang mempunyai integritas pribadi tinggi,
meskipun dididik sebagai seorang ekonom di negeri Belanda, namun
perhatiannya terhadap masalah, hukum, politik dan filsafat begitu besar
hingga sumbangannya terhadap pembentukan Undang-undang Dasar 1945
juga sangat besar.
Sebagai seorang pemimpin Bung Hatta memegang prinsip, bahwa
tugas seorang pemimpin demokrat ialah, mencarikan pengganti
secepatnya. Makin cepat makin lebih baik seorang pemimpin digantikan,
itu merupakan suatu tanda bahwa demokrasi hidup. Hidup seorang
terbatas, tetapi hidup pergerakan atau negara harus terus-menerus berjalan,
jangan sampai nasib negara tergantung pada seorang pemimpin.
15 Ibid.
16 Suhartono, Loc. Cit.
31
D. JEJAK LANGKAH PEMIKIRAN BUNG HATTA
1. Dasar-Dasar Pemikirannya.
Pemikiran-pemikirannya lebih banyak dikemukakan melalui tulisan
dan pidato, terutama sejak ia menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia ( PI ) di
Rotterdam Belanda, ia menulis dalam Indonesia Vrij ( Indonesia Merdeka ),
Majalah PI, dan berkala lain, terutama yang diterbitkan oleh kalangan sosial
Belanda, seperti ; De Socialist, De Vlam, Recht en Vrijheid di negeri Belanda;
dan berkala yang terbit di Indonesia, termasuk Persatuan Indonesia, ( Berkala
Partai Nasional Indonesia ), dan Daulat Rakyat ( Berkala Pendidikan Nasional
Indonesia ). Dalam berkala Indonesia ini, tulisan Bung Hatta bukan saja
mengikuti perkembangan di tanah air, melainkan memberi pendapat dan
saran tentang perkembangan tersebut.17
Indonesia beruntung memiliki seorang Bung Hatta, dibalik segala
kesederhanaannya, Bung Hatta memiliki pemikiran yang melampui anak-
anak muda pada zamannya, ia memang bukan anak muda terasing.
Lompatan-lompatan pemikirannya berjalan sesuai dengan perkembangan
hidupnya, dari bujang muda di Minangkabau, Bung Hatta pindah ke Jakarta
dan mendapat lingkungan Internasional pada usia 22 tahun, lingkungan inilah
yang kemudian membentuk ia sebagai sosok yang rasional dan
17 Deliar Noer, Op. Cit., hlm. 53.
32
kosmopolitan.18
Jarak waktu perjuangan Bung Hatta dan generasinya adalah selama
37 tahun, 1908 – 1945, bandingkan dengan jarak waktu perlawanan yang
dilakukan oleh strategi pendahulunya dengan menggunakan strategi otot yang
memerlukan waktu kurang lebih 300 tahun, abad 17 sampai dengan abad ke-
19, dengan ujung akhir kekalahan yang memedihkan, dari sinilah yang
kemudian disebut sebagai sejarah tonggak pergerakan nasional.
Lebih jauh perkembangan dari periode itu, sejarah pergerakan
nasional ini terbagi pada dua bagian periode, yaitu pertama, 1908 – 1927,
yaitu yang melahirkan Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam, PKI, dan
lain-lain; periode pertama ini berakhir dengan pembrontakan Silungkang pada
Januari 1927. Selanjutnya periode kedua dimulai dengan pembentukan PNI
oleh Ir. Soekarno dan para kawan-kawannya.19
Bung Hatta yang pada kurun waktu 1925 – 1930 menjadi ketua
Perhimpunan Indonesia ( PI ), sebuah organisasi pelajar dan mahasiswa yang
belajar dinegeri Belanda menjadi isi pledoinya sebagai visi dan misi
organisasi yang ia pimpin. Beberapa program Perhimpunan Indonesia ( PI )
yang kelak menjadi dasar Bung Hatta dewasa ketika menelorkan konsep
perekonomian Indonesia lewat pasal 33 UUD 1945 itu diantaranya ; Pertama,
memajukan perekonomian lewat koperasi, pertanian dan bank-bank rakyat.
18 Adnan Buyung Nasition, “ Jejak Pemikiran Bung Hatta dalam UUD 1945 “, dalam
Jacob Oetama (eds), Bung Hatta, Jakarta: Buku Kompas, 2003, hlm. 237.
33
Kedua, memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi. Ketiga,
penghapusan sistem pajak bumi. Keempat, penghapusan tanah partekelir
dalam waktu dekat. Kelima, pengaturan kewajiban membayar pajak yang adil
dengan membebaskan petani, petani yang memiliki tanah kurang dari
setengah bahu dari pembayaran pajak.20
Dari lima pasal tersebut yang menjadi landasan gerak organisasi
perhimpunan Indonesia ini jelas sekali jauh-jauh hari Bung Hatta
berkeinginan negerinya kelak jika sudah merdeka menumbuhkan
perekonomian negerinya pada ekonomi kerakyatan yang digerakan melalui
koperasi. Pada pasal-pasal tersebut jelas sekali warna sosialisme Bung Hatta
lewat klausul membebaskan pajak bagi petani yang memiliki tanah kurang
dari setengah bahu serta penghapusan tanah partekelir yang bisa jadi
penterjemahan ia atas landreform. Kelak ditahun 1960, muncul UU No. 5 /
1960 tentang UUPA ( Undang-Undang Pokok Agraria ) yang merupakan
salah satu undang-undang yang berpihak pada rakyat. Begitu juga UU No. 25
tahun 1992 tentang koperasi, jelas perundang-undangan tersebut bertolak dari
lompatan-lompatan berpikir Bung Hatta yang jauh mendahului generasinya.
Karena semangat dan perundang-undangan tersebut telah dipikirkan pemuda
Bung Hatta pada tahun 1928.21
19 Anhar Gonggong, Beralternatif diTengah Krisis ( Mengikuti Cara Baik Bung Hatta ),
Yogyakarta: Komunikasi Ombak, 2002, hlm. 9. 20 E. Fudjiachirusanto., Loc. Cit.
21 Ibid.
34
Idiologi, keyakinan yang menjadi pegangan perjuangan itulah,
menjadi landasan perjuangan para pendahulu, yang memberikan visi yang
akan dicapai wujudkan dihari depan, merupakan mata rantai paling bersejarah
dilihat dari segi perjuangan saat itu. Sehingga dalam periode Sejarah
Pergerakan Nasional( PNI ) itulah, para pemimpin tercerahkan untuk
mengembangkan ideologi perjuangan masing-masing dan disebarkan
ketengah-tengah rakyat pengikutnya.
Ideologi yang berkembang dalam periode Sejarah Pergerakan
Nasional saat itu dapat dikatakan menginduk pada tiga kekuatan khusus, yaitu
; Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tetapi dengan catatan bahwa jenis
ideologi tersebut masing-maing berkembang pula cabang-cabangnya. Sebagai
misal, Marxisme paling tidak memiliki tiga cabang, yaitu Sosial Demokrat,
Komunisme, Murbais. Sedang dalam perkembangannya kemudian dari
ideologi nasionalisme yang menjadi ideologi PNI, Partindo, telah dirumuskan
apa yang kini dikenal dengan Marhaenisme oleh Ir. Soekarno.
Dari keterangan tersebut, maka didalam periode Sejarah Pergerakan
Nasional tahun 1900, 1908 dan 1945, para pemikir dan pemimpin pergerakan
telah menempuh cara baru didalam perjuangan untuk menjadi bangsa dan
menjadi merdeka, yaitu apa yang sebelumnya disebut didepan dengan strategi
rasional atau strategi otak. Pada periode inilah para tokoh Pergerakan
Nasional memperjuangkan kemerdekaan, diantara salah satunya adalah Bung
35
Hatta.22
Bung Hatta yang merupakan salah satunya diantara tokoh-tokoh
Pergerakan Nasional, ia tampil dengan segala keunikannya, baik dilihat dari
segi pemikirannya maupun dari segi tingkah laku kemanusiaannya, dalam arti
sebagai manusia politik dan sebagai warga biasa ditengah-tengah bangsa-
negaranya yang dalam penegakannya, Bung Hatta telah memberikan
pertanda-tanda yang tidak dapat dihapuskan didalam sejarah, oleh siapapun !
Hal itu terbukti dengan pledoi yang berjudul Indonesie Vrij (
Indonesia Merdeka ), disini Bung Hatta memposisikan diri sebagai seorang
pemuda negeri jajahan yang bersekolah di negeri penjajahnya dalam melihat
pertarungan dua ideologi besar kapitalisme disatu sisi dan sosialisme/
komunisme disisi yang lain berkecamuk dahsyat diawal abad 20.
Pandangannya mengenai kolonialisme bagi Bung Hatta adalah
perluasan ( extended ) dari rakusnya kapital. Kapitalisme yang memuncak
menuju kematangannya, akan dengan sendirinya mencari wilayah lain untuk
perluasan eksistensi perluasan kapital. Kolonialisme dengan demikian harus
dilihat sebagai anak kandung kapitalisme.23
2. Bung Hatta Tentang Negara.
Bagaimana daya jangkau pemikiran Bung Hatta yang jauh ke depan
dapat terlihat pada pergulatan pemikiran Bung Hatta dengan Soepomo dalam
22 Anhar Gonggong., Op. Cit., hlm. 10.
23 E. Fudjiachirusanto., Loc. Cit.
36
merumuskan pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana yang dikenal sekarang ini,
paling tidak jejak pemikiran Bung Hatta yang kini tertuang dalam UUD 1945
mencakup beberapa hal ;
Pertama, didalam naskah mukadimah UUD 1945 kedua mengenai pasal yang
menyangkut hak-hak warga negara yang meliputi pasal 26, 27, dan 28.
Ketiga, yang berkaitan dengan jaminan negara untuk masalah kesejahtraan
rakyat ( demokrasi ekonomi ), yang meliputi pasal 33 dan 34, tapi bukan
dalam pengertian etatisme.24 Keempat, kepiawaian Bung Hatta dalam
mempengaruhi tokoh-tokoh Islam agar mencabut tujuh anak kalimat
bersyarat dalam naskah pembukaan UUD 1945 yang semula berbunyi ; “
Dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “
menjadi kata “ Ketuhanan Yang Maha Esa “.25
Khusus persoalan butir keempat tersebut, Bung Hatta memiliki
pertimbangan obyektif dan subyektif, yang mungkin dapat menjadi bahan
pemikiran anggota MPR sekarang, pertimbangan obyektifnya karena
berdasarkan aspirasi yang berkembang antara lain didukung oleh laporan
intelijen Jepang, bahwa diwilayah-wilayah yang bukan basis Islam seperti
Sulawesi Utara, sebagian Maluku, dan NTT ( Nusa Tanggara Timur ), tidak
akan menggabungkan diri ke wilayah Indonesia apabila tujuh kata itu tidak
24 Etatisme adalah suatu sistem dalam mana negara beserta aparatur ekonomi negara
bersifat dominan dan mendesak serta mematikan dari potensi daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sektor negara.
25 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., 239.
37
dihapus dari pembukaan UUD 1945 dan pasal 29 UUD 1945.
Sedangkan pertimbangan subyektifnya adalah penghayatan Bung
Hatta yang mendalam mengenai hakekat demokrasi selama tinggal di Eropa,
dimana masalah agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari campur
tangan negara. Sejak menjadi tokoh pemimpin pergerakan di Eropa, antara
lain pernah mengetuai Perhimpunan Indonesia ( PI ), Bung Hatta dengan
tepat merumuskan nilai-nilai demokrasi yang tidak dapat diganggu gugat,
antara lain membuka kran partisipasi yang luas bagi rakyat tanpa
membedakan latar belakang sosial suku dan agama. Selain itu, pencantuman
kata Syari’at Islam juga menunjukan sikap diskriminatif terhadap golongan
minoritas yang bukan Islam.26
Pada tanggal 11 Juli 1945 perdebatan mengenai UUD 1945
khususnya klausul pasal 29 memang sudah dipersoalkan sebelumnya oleh
Latuharhary dan didukung oleh Wongsonegoro serta Djajadiningrat, maka
Bung Hatta hanya mengakomodir usulan agar tujuh kata dalam piagam
Jakarta dihapuskan dari mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 tersebut.
Pada rapat BPUPK, 31 Mei 1945, Soepomo berpidato tentang teori-
teori negara. Pertama disebutnya Teori Negara Individualistis yang
dikembangkan oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke, J.J. Rousseau, Herbert
Spencer, dan H.J. Laski yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika. Kedua,
Teori Pertentangan Kelas sebagaimana yang diajarkan oleh Karl Marx. Dan
26 Ibid.
38
ketiga, Teori Integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Hegel dan Adam
Muller. Teori ini mengungkapkan bahwa, “ Negara ialah susunan masyarakat
yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubugan
erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis “.27
Soepomo menegaskan, yang terpenting dalam negara integralistik ini
adalah penghidupan bangsa secara keseluruhan. Negara tidak memihak
sesuatu golongan yang paling kuat, atau paling besar, tidak menganggap
kepentingan seorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan
hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan.
Berdasarkan perbandingan teori-teori negara itu, Soepomo
berpendapat bahwa teori negara integralistik sesuai dengan dengan lembaga-
lembaga sosial yang asli dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Struktur
kebhatinan (kerohanian) bangsa Indonesia, menurutnya bercorak persatuan
hidup, persatuan kawulo gusti, persatuan antara dunia luar dan dunia bhatin,
persatuan antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara rakyat dan
pemimpinnya. Dengan demikian Soepomo yang ditunjuk sebagai salah satu
tim penyusun naskah UUD 1945, menghendaki suatu negara yang totaliter.
Bagi Bung Hatta tidak secara diametral menolak ide negara
kekeluargaan sebagaimana yang diusulkan oleh Soepomo, kendati itu
bertentangan dengan konsepsi negara pengurus yang digagasnya. Bung Hatta
hanya mengingatkan, bahwa dalam satu kelaurga pun ayah mesti mendengar
27 Ibid., hlm. 243.
39
perasaan dan pikiran anaknya yang berkembang dalam diri sang anak.
Dengan kata lain, Bung Hatta menerima UUD 1945 bukan karena
isinya sudah sesuai dengan cita-citanya dalam perjuangan kemerdekaan.
Sebagai sarjana didikan Belanda tentu Bung Hatta melihat keganjilan-
keganjilan yang ada pada naskah UUD 1945, terutama dalam pasal-paalnya
yang terlalu sederhana dan mudah ditafsirkan untuk kepentingan apa saja
yang diinginkan oleh penguasa.
Namun bila melihat konteks pemikiran yang berkembang saat UUD
1945 dirumuskan, pandangan dan gagasan Bung Hatta ini paling tidak sudah
merupakan perjuangan maksimal, mengingat semangat yang berkembang
pada saat itu menganggap bahwa hak asazi manusia dan demokrasi yang
berlaku didasari oleh semangat individualisme yang melahirkan kapitalisme
dengan spirit free figh liberalism 28 dan berujung pada imperialisme.
3. Bung Hatta Tentang Keadilan Sosial.
Pandangannya mengenai kolonialisme bagi Bung Hatta adalah
perluasan ( extended ) dari rakusnya kapital. Kapitalisme yang memuncak
menuju kematangannya, akan dengan sendirinya mencari wilayah lain untuk
perluasan eksistensi perluasan kapital. Kolonialisme dengan demikian harus
dilihat sebagai anak kandung kapitalisme.29
28 Spirit Free Figh Liberalism adalah suatu sistem yang menumbuhkan eksploitasi
terhadap manusia, dan bangsa lain dan yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural posisi Indonesia dalam ekonomi dunia.
29 E. Fudjiachirusanto, Loc. Cit.
40
Dalam kaitannya dengan kapitalisme, sebagai intelektual yang lahir
ditengah-tengah penindasan kapitalisme dan kolonialisme, Bung Hatta
sebagaimana pemimpin pejuang kemerdekaan segenerasinya, bersikap kritis.
Sebaliknya, Bung Hatta juga tidak setuju dengan sistem ekonomi dan politik
sosialis yang berlaku di Uni Soviet dan Cina yang Cenderung etatis. Untuk
itu, pada tahun 1921-1922 Bung Hatta telah melakukan studi mengenai
masalah ekonomi di Inggris, Jerman, dan Swedia. Dalam studinya Bung Hatta
tertarik terhadap bentuk usaha yang dilakukan oleh masyarakat menengah
kebawah di tiga negera tersebut. Bentuk usaha ini disebut koperasi yang
selanjutnya dirumuskan secara umum dalam pasal 33 UUD 1945.30
Bila dikaitkan dengan pidatonya dalam BPUPK mengenai negara
pengurus, Bung Hatta tidak setuju 100 persen bila warga negara hanya
dijamin hak-hak politiknya. Negara juga harus mampu menjamin
kesejahtraan warganya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan ide negara
liberal yang hanya menjamin kemerdekaan politik warganya, tanpa
mempersoalkan kesenjangan taraf hidup warga negaranya. Gagasan Bung
Hatta ini sejalan dengan konsep Negara Kesejahtraan. Belakangan, meskipun
kelembagaan Koperasi surut dibalik program privatisasi, namun hal ini
dibarengi adanya pajak progresif, dan berbagai bentuk jaminan sosial lainnya.
Ide semacam ini telah dilaksanakan di hampir semua negara yang sebelumnya
disebut penjajah.
30 Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hlm. 244.
41
E. BUNG HATTA BAPAK KOPERASI INDONESIA.
Bung Hatta sebagai seorang demokrat berpendapat bahwa
kemerdekaan dapat dicapai melalui mobilisasi ekonomi rakyat, khususnya
melalui koperasi. Atas dasar sejalan dengan meningkatnya kesejahtraan
rakyat maka kemerdekaan politik akan dapat dicapai. Demokrasi dan keadilan
sosial adalah asas perjuangan yang dijunjung tinggi yang digalinya dari kultur
bangsa Indonesia, dari agama yang dipeluknya, dan dari ilmu yang
dikajinya.31
Kalau berbicara lebih lanjut tentang konsep koperasi Indonesia,
rasanya pasal 33 sudah memberikan beberapa patokan, yang pasti ; tinggal
bagaimana garis dalam perundang-undangan yang lebih rendah tingkatnya,
atau mematri peraturan dan kebijaksanaan yang bisa ditempuh.
Menurut Bung Hatta, cita-cita kemerdekaan adalah mencapai
kemakmuran bagi semua rakyat. Sistem ekonomi yang dicita-citakan oleh
bangsa Indonesia dalam perjuangan dulu adalah ekonomi koperasi, dimana
seluruh rakyat dapat diikutsertakan. Sebagaimana diketahui dalam pasal UUD
1945 antara lain ditafsirkan; di negara Indonesia tetap terjamin pemilikan
faktor-faktor ekonomi atau harta benda secara pribadi atau perorangan, juga
ada lapangan gerak bagi perusahaan atau usaha swasta, sejauh hal itu tidak
menguasai hajat hidup orang banyak.32
31 Soehartono, Loc. Cit.
32 Thoby Mutis, Cakrawala Demokrasi Ekonomi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, hlm.
56.
42
Unit usaha berbentuk koperasi diusulkan oleh Bung Hatta sebagai
bentuk unit ekonomi rakyat berdasarkan pengamatannya mengenai struktur
sosial dan struktur ekonomi yang ada dizaman kolonial Belanda di Indonesia.
Kembali menurut Bung Hatta, koperasi dan demokrasi bersifat saling
menunjang. Koperasi mempertebal rasa tanggungjawab dalam kehidupan
demokrasi dan demokrasi yang berakar baik menyuburkan kehidupan
koperasi. Dalam hal ini, ada terdapat tiga alur pendapat di Indonesia
mengenai eksistensi koperasi sebagai bangun usaha dalam sistem ekonomi
Indonesia, yaitu alur pendapat yang menginginkan hapusnya koperasi, alur
pendapat yang mempertahankan koperasi seadanya saja, alur pendapat yang
dilandasi kesetiaan terhadap cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan
demokrasi ekonomi yang sebenarnya. Alur pendapat yang terakhir ini
didasarkan atas dasar pemahaman dan pengahayatan yang mendalam
mengenai latar belakang pencetus gagasan koperasi sebagai salah satu bentuk
organisasi ekonomi untuk Indonesia yang timbul dari pengamatan Bung Hatta
mengenai realitas sosial-ekonomi di zaman kolonial Belanda di Indonesia dan
analisis Bung Hatta mengenai syarat pokok bagi langgengnya suatu
kehidupan demokrasi politik yang sejati.33
Melihat dari alur pendapat tersebut, konsep Bung Hatta tentang
koperasi dan demokrasi, menegaskan bahwa koperasi yang dengan kekuatan
menyatu diharap bisa menumbuhkan potensi ekonomi para anggota serta
33 Sritua Arief, Ekonomi Kerakyatan Mengenang Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan
Indonesia, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002, hlm. 105.
43
masyarakat umumnya. Juga dalam bidang koperasi ini lanjut Bung Hatta
melihatnya sebagai suatu sarana pendidikan yang bermata dua ; kesadaran
kemampuan diri serta kesadaran perlunya usaha bersama sebagai cermin dari
apa yang ia sebut Self help (membantu diri sendiri).34
Gagasan tentang koperasi itu sendiri telah dikenal di Indonesia sejak
akhir abad 19, dengan terbentuknya organisasi swadaya (Self-help
Organization) untuk menanggulangi kemiskinan dikalangan pegawai dan
petani, oleh Patih Purwokerto, Tirto Adi Suryo, yang kemudian dibantu
pengembangannya oleh pejabat Belanda dan akhirnya menjadi program resmi
pemerintah.35
Salah seorang dari pejabat pemerintah Belanda ini adalah Boeke,
yang kemudian menjadi sarjana ekonomi, selanjutnya menaruh perhatian
pada koperasi, yakni atas dasar tesisnya, tentang dualisme sosial budaya
masyarakat Indonesia, antara sektor modern dan sektor tradisional, ia
berkesimpulan bahwa sistem usaha koperasi lebih cocok bagi kaum pribumi
dan pada bentuk-bentuk badan usaha kapitalis, pandangan ini selanjutnya
disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda, sehingga pemerintah kolonial itu
mengadopsi kebijaksanaan pembinaan koperasi.36
34 Deliar Noer, Op. Cit., hlm. 66.
35 Dawam Rahardjo, “ Apa Kabar Koperasi Indonesia “, dalam Jacob Oetama (eds), Op.
Cit., hlm. 326
36 Ibid.
44
Namun demikian, koperasi yang muncul pada saat mencapai puncak
perkembangannya tahun 1933-an, bukanlah hasil dari pembinaan pemerintah
Belanda , tetapi sebaliknya karena dibangun sendiri oleh gerakan kebangsaan
yang dipimpin oleh kaum cendekiawan, dalam hal ini salah satu tokohnya
adalah termasuk Bung Hatta.
Oleh sebab itu, Bung Hatta dalam mencapai kembali kemerdekaan
nasional bangsanya, perjuangan ekonomi tidak boleh ketinggalan dari
perjuangan politik. Keduanya merupakan faktor-faktor yang tidak boleh tidak
mesti harus ada, yakni untuk mencapai cita-cita akhir bangsa Indonesia.
Kalau dilihat pada aspek politik saat perjuangan dan pergerakan
didalam dan luar negeri, Bung Hatta sebenarnya hanya meneruskan tradisi
pemikiran ekonomi generasi sebelumnya. Keterkaitan kepada sistem koperasi
agaknya karena pengaruh kondisi dan situasi Indonesia pada saat terjajah,
kemudian karena hasil pengalaman atas kunjungannya ke negara-negara
Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an.
Meskipun sampai saat ini belum ada dokumen yang menjelaskan
kapan koperasi pertama ada, tetapi yang jelas ia telah lama dikenal. Didaratan
Eropa, koperasi dikenal sebagai Historie Cooperative Institusional,
sedangkan di negara berkembang dalam hal ini termasuk Indonesia ia disebut
sebagai koperasi asli.
Walaupun Bung Hatta sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan
lembaga tradisional gotong-royong, namun persepsinya tentang koperasi
adalah sebuah organisasi ekonomi modern yang berkembang di Eropa Barat.
45
Ia pernah juga membedakan antara “ Koperasi Sosial “ yang berdasarkan asas
gotong-royong dengan “ Koperasi Ekonomi “ yang berdasarkan asas-asas
ekonomi pasar yang tradisional dan kompotitip.
Dalam pasal 33 UUD 1945 sudah tampak, bahwa masalah yang
perlu diurus ialah politik perekonomian, sebagaimana isinya adalah sebagai
berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produki yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.37
Analisis butir pertama 1 diatas mengenai masalah koperasi.
Perkataan koperasi memang tidak disebut dalam pasal 33 UUD 1945, tetapi
asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Istilah asas kekeluargaan itu adalah dari
Taman Siswa, untuk menentukan bagaimana guru dan murid yang tinggal
padanya hidup sebagai suatu keluarga. Demikian hendaknya corak koperasi
Indoensia.38
Jadi jelas sekali, bahwa segala eksplorasi dan eksploitasi segala
kekayaan alam baik diatas, didalam pantai maupun lepas pantai (daratan) dan
semacamnya, boleh saja dikerjakan oleh swasta, kalau negara belum berdaya
37 Mohammad Hatta, “ Pelaksana Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 “, dalam
Soerowo Abdoel Manaf (ed), Republik Indonesia Menggugat, Jakarta: Yayasan Pustaka Grafiksi, 1997, hlm. 322.
38 Ibid.
46
sepenuhnya; namun kesemuanya itu harus “ dimanfaatkan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat “. dan sekali-kali tidak untuk kemakmuran dan
kemewahan minoritas elit atasan yang berkuasa.
Maka secara esensial, Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah sebuah
lembaga yang anti pasar atau non pasar dalam masyarakat tradisional.
Koperasi, baginya adalah sebuah lembaga self-help bagi lapisan masyarakat
ekonomi lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu
koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan
prinsip efesiensi. Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi
terbuka, dengan melayani non anggota, walaupun dengan maksud untuk
menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat
berhubungan dengan koperasi.
Tampaklah kutipan diatas menunjukan sudah, mengenai sekilas
gambaran konsep umum yang dimaksud. Maka dengan demikian, cara itulah
sistem koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang
tidak ramah terhadap pelaku ekonomi lemah dan kecil dalam melalui
persaingan bebas (Kompotisi). Sehingga bagaimana menjadi sistem yang
lebih bersandar kepada kerjasama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar
kompotetitif itu sendiri.
Untuk itu, konsep tentang koperasi Indonesia dari salah satu hasil
pemikirannya ini, dikembangkan Bung Hatta kemudian dalam
pembuangannya di Banda Neira, dan inilah yang tampaknya menjadi dasar
47
pegangan ekonomi kerakyatan sebagai dasar pemikirannya dalam
merumuskan pasal 33 UUD 1945 dari dulu hingga sekarang.
F. KARYA - KARYA BUNG HATTA
Bung Hatta merupakan seorang yang produktif, aktif dan
mempunyai kecerdasan spiritual serta intelektual yang tinggi, dia telah
mengarang lebih dari 40 buah buku. Buku pertama yang di tulis dan
diterbitkan tahun 1926 semasa di Den Haag Belanda berjudul “ Economische
Werelbouw En Macthtstegen Stellingen “ dan tulisannya yang terkenal adalah
“ Portrait of a Patriot “ 39 sedangkan buku-buku yang lain diantaranya
adalah ;
1. Indonesia dan Masalah Kemedekaannya ( L’Indonesie et Son Probleme de’t Independence ) 1928.
2. Indonesia Merdeka ( Indonese Vrij ) 1928.
3. Tujuan dan Politik PNI, tahun 1931. Bersamaan inipula selama memimpin
PNI-Baru, di Jakarta Bung Hatta sempat menulis buku dengan judul Krisis Ekonomi dan Kapitalisme pada tahun 1934.40
Disamping beberapa karya tersebut ada banyak karya lain yang
berupa artikel makalah dan naskah pidato yang telah disadur,dicetak dan
diterbitkan oleh beberapa tokoh-tokoh nasional sekarang dan penerbit,
diantaranya sebagai berikut ;
1. Rasionalisasi, Surabaya; 1939.
2. Mencari Volkend Bond dari Abad ke Abad, Bukittinggi; Penyiaran Ilmu,
39 Wahidin Said, Op. Cit., hlm. 67
40 Ibid.
48
1939.
3. Bank dalam Masyarakat Indonesia, Bukittinggi; Bank Nasional, 1942.
4. Beberapa Pasal Ekonomi, 2 Jilid, Jakarta; Balai Pustaka, Jilid I cet- 4, 1950 dan Jilid 2 cet- 2, 1951.
5. Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta; Kementerian Penerangan, 1950.
6. Kooperasi Jembatan ke Demokrasi Ekonomi, Jakarta; Kementerian Penerangan, 1953.
7. Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta; Tintamas, 1953.
8. Meninjau Masalah Kooperasi, Jakarta; Pembangunan 1954.
9. Verspreide Geschriften, Jakarta; Van der Peet, 1952
10. Pengantar ke Jalan Ekonomi Perusahaan, Jakarta; Pembangunan, 1955.
11. Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan, Jakarta; Pembangunan, 1954.
12. Indonesia’s Foreign Policy, Foreign Affairs, No. 3 April, 1953.
13. Kooperasi dan Pembangunan, Jakarta; Kementerian Penerangan, 1956.
14. The Cooperativ Movement In Indonesie, Ithaca, N. Y ; Cornel University Press, 1956.
15. Lampau dan Datang, Jakarta; Djambatan, 1956.
16. Meninjau Sumatera Tengah, Pikiran Rakyat; 3 Juni 1957 dan 24 Juni 1957.
17. Meninjau Tugas Kita, 8 Juli 1957.
18. Pembentukan Kabinet dan Konstitusi, Pikiran Rakyat; 17 April 1957.
19. Rakyat Terpaksa Menderita Akibat Tindakan Gila-gilaan, Indonesia Raya; 27 Desember 1957.
20. Mari Memperbaiki Nasib Sendiri, 9 Maret 1957.
21. The Cooperativ Movement In Indoensia, Ithaca New York; The Modern Indonesian Project, Sontheast Asia Program; Cornel University Press, 1957.
22. Diatas Jalan Yang Salah, Pikiran Rakyat; 13 Agustus 1957.
49
23. Islam Masyarakat Demokrasi dan Perdamaian, terjemah. L. E. Hakim, Jakarta; Tintamas, 1957.
24. Kumpulan Pidato-Pidato Selama Berkunjung di RRC, Peking; Kedutaan Besar Republik Indonesia, 1957.
25. 25 Tahun Koperasi, 1958.
26. Indonesia Between The Power Bloes, Foreign Affairs; No 3, April 1958
27. Pendidikan Menengah Koperasi, Yogyakarta; Yayasan Pendidikan Koperasi, 1958.
28. Demokrasi Kita, Jakarta; Panji Masyarakat, 1960.
29. Ekonomi Terpimpin, Jakarta; Fasco, 1960.
30. Colonialism and War Danger, Asian Survey; November 1961.
31. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Jakarta; Djambatan, 1963.
32. Nuzulul Qur’an, Bandung; Angkasa 1966.
33. Pancasila Jalan Lurus, Bandung; Angkasa, 1966
34. Peranan Pemuda Menuju Indonesia Merdeka, Bandung; Angkasa, 1966
35. Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi, Jakarta; Tintamas, 1967.
36. Pendidikan Nasional Indonesia, Bogor; Melati, 1968.
37. Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta; Tintamas, 1969.
38. Perkembangan Koperasi di Indonesia, 1970-an.
39. Abadi Indonesia Raya, Kompas; Pedoman, 14 November 1970.
40. Sesudah 25 Tahun, Jakarta; Djambatan, 1970.
41. The Putera Reports : Problem In Indonesia Japanese Wartime Cooperation, terj. William H. Federick, Ithaca New York; Cornel Modern Indoensia Project, 1971.
42. Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun; Kumpulan Karangan, Jakarta; Pusat Koperasi Pegawai Negeri, 1971.
43. Ekonomi Berencana, Jakarta; Gunung Agung, 1971.
50
44. Mimpi dan Kenyataan, 10 Agustus 1972..
45. Merata, Jakarta; Yayasan Idayu, 1972.
46. Apa Benar ?” April 1972.
47. Soal Hak Recall, Kompas; 8 Maret 1973.
48. Masihkah Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila, Kompas; 1 Maret 1973.
49. Participation In The Struggle For Indonesia; Independence, Yogyakarta; 1974.
50. Prinsip Ekonomi dan Pembangunan Ujung Pandang; Hasanudin University Press, 1974.
51. Menuju Negara Hukum, Jakarta; Yayasan Idayu, 1975.
52. Indonesia Merdeka, Jakarta; Bulan Bintang, 1976.
53. Bagaimana Caranya Membangun Koperasi Kembali: Pidato pada Musyawarah Kerja Dewan Koperasi Indonesia di Istana Negara, Jakarta; 8 Januari 1976.
54. Uraian Pancasila, Jakarta; Idayu Press, 1977.
55. Pengertian Pancasila, Jakarta; Idayu Press, 1977.
56. Permulaan Pergerakan Nasional, Jakarta; Idayu Press,1977.
57. Bung Hatta Menjawab, peny. Zainul Yasni, Jakarta; Gunung Agung, 1978.
58. Memoir, Jakarta; Tintamas, 1979.
59. Ekonomi Indonesia, ( ISLD ), 15 Juni 1979.
60. Ilmu dan Agama, Jakarta; Yayasan Idayu, 1980.
61. Nama Indonesia ( Penemuan Komunis ), terj. Bagus Siagian, Jakarta; Yayasan Idayu, 1980.
62. Alam Pikiran Yunani, 3 Jilid, Jakarta; Tintamas, 1941-1950: Terbitan dalam Jilid oleh Tintamas, 1982.41
41 Deliar Noer, Op. Cit., hlm. 759-761
51
Dari sekian karya tulis terpenting yang dihasilkan Bung Hatta
adalah, pledoinya dihadapan pengadilan Den Haag negeri Belanda pada
tanggal 9 Maret 1928, diantaranya salah satu sekian karya merupakan
cerminan sikap Bung Hatta dalam memahami, melihat pertarungan idielogi
kapitalisme dan Sosialisme/komunisme, yaitu pada pledoi yang diberi judul “
Indonesie Vrij ” ( Indonesia Merdeka ) dalam hal ini ia memposisikan diri
sebagai seorang pemuda negeri jajahan yang bersekolah di negeri
penjajahnya.42
Sebagai seorang pejuang, kelihatannya Bung Hatta lebih banyak
membuat karya tulisnya dengan isi-isi perjuangan dan cita-cita Indonesia
Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Tetapi demikian pada
dasarnya, kumpulan karangan Bung Hatta yang diterbitkan dalam tahun 1952
terbagi atas dua bagian yang terpisah. Bagian yang pertama terbit pada saat
hari ulang tahunnya yang ke- 50, berisikan karya-karya yang ditulis dalam
bahasa Belanda, serta beberapa buah karya yang ditulis dalam atau pdato
yang diucapkan dalam bahasa Prancis dan Inggris. Hampir seluruh karya-
karya itu ditulis sewaktu Bung Hatta masih dinegeri Belanda. Kecuali dua,
yang ditulisnya sewaktu ia berada ditempat pembuangan Banda Neira. Yakni
pertama, berjudul “ Enige Grondtreken Van De Economische Wereldbouw ”,
yang pada awal mulanya dimuat dalam Manndblad Sin Titpo, 1938, no. 6, 7,
8 dan 9. Kemudian tulisan yang kedua, berjudul “ Marxisme Of
Epigonenwijsheid ? “ yang isinya sebagai tangkisan atau jawaban atas
52
serangan seorang komunis terhadap karangannya di Sin Tit Po yang dimuat
dalam majalah mingguan Nationale Commentaren, no. 10, 11, 12, 13, dan 14
tahun 1940. Dan ada dua lagi karya yang terbit terlibih dulu dalam majalah
Indonesia dan kemudian disadur ke dalam bahasa Belanda. Tulisan-tulisan
yang berbahasa Belanda ini diterbitkan kembali dengan nama “ Verspreide
Geschriften “ yang tebalnya lebih dari 580 halaman.
Kemudian kumpulan tulisan yang kedua terbagi atas IV jilid, yang
berisi karya-karya Bung Hatta yang kebanyakan ditulis pada saat Bung Haatta
sudah kembali ke Indonesia. Jilid IV ini memuat karya-karya ilmiah, pada
waktu dia sudah menjadi Wakil Presiden. Jadi, kumpulan tulisan karya yang
kedua bukan salinan kedalam bahasa Indonesia, dan dalam jilid IV ini
tebalnya hampir 1000 halaman.
Untuk itu, hingga saat sekarang banyak karya-karya pemikiran Bung
Hatta yang diterbitkan kembali setelah beliau wafat. Baik tulisan-tulisan yang
berisi berupa naskah pidato maupun yang berupa karya ilmiah. Karena
sepertinya bagi mereka ( penulis ) baik jurnalis, maupun tokoh-tokoh nasional
sekarang, karya Bung Hatta masih memiliki nilai filosofis yang mendalam
dan masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan sebagai ide-ide dasar dari
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, baik ditinjau dari aspek sosial,
ekonomi maupun politik.
Mengenai penulisan buku memori pribadinya, Bung Hatta sejak
dahulu tidak mau menulisnya, sebab itu dipandangnya terlalu subyektif. Dia
42 E. Fudjiachirusanto, Loc. Cit.
53
ingin menyerahkan penulisan sejarah bangsa dan negara Indonesia kepada
ahli sejarah. Tetapi berhubung dengan usaha memalsukan sejarah dimasa
orde lama, maka atas desakan pemuda pada permulaan masa 60-an dimulailah
penulisan kenang-kenangan dimasa lampau, yang menceritakan
pengalamannya diwaktu kanak-kanak, perjuangan, dalam masa pemuda dan
masa pergerakan, buku sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai jilid
pertama dari penulisan memori itu.44
44 Ibid.
54
BAB III
PEMIKIRAN BUNG HATTA TENTANG EKONOMI KERAKYATAN