BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

74
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis, berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu. Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat kitab- kitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang, serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. 1 Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi. 2 Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah. Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud, penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah. 3 Maka nampak bahwa secara umum, tauhid lebih sering diartikan dengan teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara, 1 Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 36. 2 Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, (Bandung: al-Ma’arif, 1975), hlm. 68. 3 Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, terj. M. Habin Wicaksana, (Bandung: Mizan, 2003), Cet. 1, hlm. 61-64.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, tauhid diartikan sebagai satu keyakinan dan kesaksian

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Tauhid secara etimologis,

berasal dari bahasa Arab wahdah atau wahid yang berarti satu.

Hakeem Hameed mengartikan tauhid sebagai sebuah kepercayaan

ritualistik dan perilaku seremonial yang mengajak manusia menyembah realitas

hakiki (Allah); dan menerima segala pesan-Nya yang disampaikan lewat kitab-

kitab suci dan para Nabi untuk diwujudkan dalam sikap yang adil, kasih sayang,

serta menjaga diri dari perbuatan maksiat dan sewenang-wenang demi

mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.1

Tauhid menurut Abu al-A’la al-Maududi adalah kalimat deklarasi seorang

muslim, kalimat pembeda seorang muslim dengan orang kafir, ateis dan

musyrik. Sebuah perbedaan yang lebih terletak pada peresapan makna tauhid dan

meyakininya dengan sungguh-sungguh kebenaran-Nya; dengan mewujudkannya

dalam perbuatan agar tidak menyimpang dari ketetapan Ilahi. 2

Lain halnya Muhammad Taqi, tauhid berarti meyakini keesaan Allah.

Keyakinan ini berarti meyakini bahwa Allah adalah satu dalam hal wujud,

penciptaan, pengatur, pemerintah, penyembahan, meminta pertolongan, merasa

takut, berharap, dan tempat pelabuhan cinta. Intinya tauhid menghendaki agar

seorang muslim menyerahkan segala urusan dan hatinya hanya kepada Allah.3

Maka nampak bahwa secara umum, tauhid lebih sering diartikan dengan

teoantroposentris; yang mana pembahasannya masih berkutat pada pemusatan

pada Allah dan bahwa manusia mesti mengabdi pada-Nya. Belum ada

pembahasan secara rinci tentang tauhid sebagai prinsip kehidupan, prinsip pokok

yang menjadi prinsip atas aspek-aspek kehidupan. Aspek keluarga, negara,

1Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta:

Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 36. 2Abul A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip Islam, terj. Abdullah Suhaili, (Bandung: al-Ma’arif,

1975), hlm. 68. 3Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Filsafat Tauhid, terj. M. Habin Wicaksana, (Bandung: Mizan,

2003), Cet. 1, hlm. 61-64.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

2

ekonomi, sosial, politik, sosial, pengetahuan dan sebagainya selengkap yang

dilakukan oleh Ismail Raji al-Faruqi.4

Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari

berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan,

etika, metafisika, sejarah, tatanegara (tata politik, sosial, dan ekonomi), ummah,

dan estetika.5

Tauhid sebagai prinsip keluarga artinya keluarga merupakan suatu sarana

mewujudkan ketentuan moral dari Tuhan (penghambaan). Keluarga melahirkan

suatu pola hubungan kompleks yang menjadi dasar pendidikan bagi anak.

Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas

epistemologi dan metodologi pengetahuan. Epistemologi memunculkan rasa

sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi

berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran

suatu pengetahuan.6

Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah

sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti

diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan

moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.

Dengan landasan inilah tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar

manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk mencipta perubahan sejarah

menurut pola Ilahi. Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.

Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan

syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas

ketentraman dan kesejahteraan umat. Secara sosial ekonomi, tauhid

mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.

Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah

sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi

4Untuk selanjutnya penulis menyebut al-Faruqi untuk menunjuk Ismail Raji al-Faruqi. 5Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), Cet. 1,

seluruh isi buku. 6Islamisasi Pengetahuan adalah salah satu wujud konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari

gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, (Bandung: Pustaka, 1984), Cet. 1.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

3

sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya

sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran

inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.7

Adapun penelitian dalam skripsi ini akan difokuskan pada pemikiran al-

Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Sebagai prinsip keluarga, tauhid

(menurut al-Faruqi) memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi

tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan

kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai,

menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.8

Keluarga merupakan unit pembentuk-pembangun masyarakat.

Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya.

Maka rasanya tepat sekali ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu

lembaga pendidikan yang paling esensial. Peranannya dalam perkembangan anak

lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan

waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya. 9

Bahkan menurut Ngalim Purwanto, pendidikan keluarga adalah dasar

pendidikan bagi anak berikutnya. Nilai pendidikan dalam keluarga menentukan

pendidikan anak itu selanjutnya baik di sekolah maupun dalam masyarakat.10

Hal ini terutama karena keluarga adalah satu wadah pertama bagi

pertumbuhan dan pengembangan anak.11 Keluarga bertanggung jawab

mengembangkan anak baik dalam hal jasmani, akal dan rohani.12

Perkembangan ini tentu saja mesti dilandasi dengan norma tauhid agar

tidak terjadi sebuah perkembangan yang menyeleweng dari fitrah. Untuk itu, ada

dua hal pokok yang harus ada dalam pendidikan keluarga yaitu tauhid dan

7Untuk lebih jelasnya lihat buku Ismail Raji al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono Hadikusumo,

(Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999). Cet. 1. 8Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. 9Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi,

(Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm.12. 10Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2000), Cet. 12, hlm.79. 11Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995),

Cet. 2, hlm. 47. 12Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2004), Cet. 4, hlm. 155.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

4

akhlak. Pokok-pokok tauhid mutlak diperlukan karena tauhid mengajarkan akan

sifat dan kekuasaan Allah sehingga melalui pendidikan tauhid akan tumbuh

generasi yang sadar akan sifat-sifat Ilahiah. Begitu pula halnya dengan akhlak

yang mengatur pola hubungan dengan masyarakat sehingga melalui pendidikan

akhlak akan tumbuh generasi yang berakhlak mulia yakni generasi yang

tindakannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.13

Kedua aspek tersebut (tauhid dan akhlak), menjadi bahan wajib bagi

pendidikan dalam keluarga. Karena keluarga menurut Drijarkara sebagaimana

dikutip Djudju Sudjana, mengemban tanggung jawab vertikal dan horizontal.

Tanggung jawab vertikal ini diwujudkan melalui komunikasi dan dialog dengan

Tuhan sedangkan tanggung jawab horizontal dilakukan melalui komunikasi

dengan manusia termasuk dengan dirinya sendiri, masyarakat dan lebih luas lagi

dengan umat manusia secara keseluruhan.14

Bahkan tanggung jawab pendidikan ini telah dijelaskan dalam al-Quran.

Sebagaimana firman Allah:

)6: التحرمي(..يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارةHai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….(QS. At Tahrim: 6)15

Ayat ini turun sesaat setelah Allah memerintahkan kepada sebagian dari

istri Nabi Muhammad SAW agar bertaubat dari kesalahan yang terlanjur

dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah akan menjaga dan

menolong Rasul-Nya, Allah juga memperingatkan mereka agar tidak

berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan di-talak dan

dijatuhkan kedudukannya yang mulia sebagai ibunya kaum mukmin karena

tergantikan oleh istri-istri lain dari orang-orang yang shaleh.16

13Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet. 1,

hlm. 92. 14Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat

dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 22.

15Soenarjo, Al-quran dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), ed. Baru, hlm. 951. 16Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Juz. 28. terj. Heri Noer Ali, et.al.,

(Semarang: Toha Putra, 1989), cet. 1, hlm. 272.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

5

Ayat ini oleh al-Maraghi ditafsiri sebagai seruan bagi orang-orang yang

percaya kepada Allah dan Rasul-Nya agar dapat menjaga diri dari api neraka

dengan taat pada Allah serta mengajarkan kepada keluarganya tentang perbuatan

yang dapat menjauhkan diri dari api neraka melalui nasehat dan pengajaran.17

Begitu halnya menurut Ibn Katsier, ayat ini adalah seruan bagi orang-

orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka melalui

pengajaran kepada orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya

mengenai segala sesuatu yang diwajibkan dan dilarang oleh Allah. Pendidikan ini

menyangkut pula pimpinan kepada mereka melalui dorongan agar direalisasikan

dalam setiap perbuatan serta pemeliharaan diri dari perbuatan maksiat.18

Maka tanggung jawab tersebut diwujudkan dengan pemberian perhatian

dan bimbingan atas perkembangan anak secara utuh. Baik dalam aspek jasmani,

maupun rohani. Tanggung jawab jasmani diwujudkan dengan pemenuhan

kebutuhan kesehatan, pangan, dan ketrampilan. Sedangkan tanggung jawab

rohani meliputi pemenuhan kebutuhan jasmani dan akal dengan menaruh

perhatian serius pada setiap perkembangannya. Dan kunci dari seluruh upaya

tersebut adalah dengan terjalinnya komunikasi intensif antara orang tua dan anak.

Komunikasi inilah yang terkadang terabaikan oleh orang tua. Karena

kesibukan mereka dengan masalah keduniaan demi pemenuhan kebutuhan

jasmani dan akal saja. Belum lagi fenomena workaholic (gila kerja) di kalangan

orang tua yang tidak hanya melanda kaum ayah saja bahkan ibu rumah tangga.

Dengan alasan persamaan jender ataupun hak berkarir di luar rumah berakibat

terabainya tugas dan kewajiban orang tua sebagai pendidik bagi anaknya.

Dengan rutinitas kerja yang cukup menguras tenaga dan pikiran dapat

membuat mereka jauh dari anak. Kondisi ini menyebabkan anak akan mencari

perhatian kepada pihak lain secara sembarangan. Hal ini mengakibatkan pada

mudahnya anak menerima pengaruh apa saja dari lingkungan pergaulannya.

Inilah yang menjadi penyebab awal rusaknya tingkah laku anak.

Penelitian yang dilakukan oleh majalah At tarbiyatul Qathriyah edisi 79-81

17Ibid. 18Muhammad Nashib ar-Rifai, Ringkasan Tafsir Ibn Katsier, Jilid 4, terj. Syihabuddin, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2000), Cet. 1, hlm. 751.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

6

(bulan Muharram-Rajab), tahun 1407 H (1986 M) sebagaimana dikutip oleh

Khalid Syantuh dinyatakan bahwa para ahli telah menyimpulkan bahwa

penyebab rusaknya tingkah laku anak adalah karena tidak adanya perhatian dan

sikap orang tua yang meremehkan tanggung jawab. Hal ini kemudian berpangkal

pada kenyataan anak yang sering bergantung pada para pembantu yang telah

menggantikan posisi orang tua karena kesibukan kerja mereka. Ketergantungan

anak kepada para pembantu mendominasi 80% dari perkembangannya pada tiga

tahun pertama dan 50% setelah anak berumur empat tahun. Sehingga

pengaruhnya akan menyatu pada kehidupan anak hingga jangka waktu lama.19

Hal ini menjadi satu hal yang mesti menjadi perhatian serius dari berbagai

pihak atas pentingnya pendidikan akhlak. Ketika akhlak tidak lagi menempati

posisi terdepan dalam setiap aktivitas, maka yang terjadi adalah lunturnya

perikemanusiaan. Maka pendidikan akhlak menjadi mutlak diperlukan karena

akhlak adalah suatu keniscayaan bagi setiap muslim sebab akhlak akan

mempertinggi kualitas iman seorang muslim itu sendiri serta masyarakatnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mencoba

menelaah tema tauhid yang dikemukakan oleh seorang pemikir Islam; al-Faruqi.

Tauhid sebagai inti ajaran Islam merupakan prinsip dasar hidup; termasuk

diantaranya adalah prinsip keluarga. Tauhid sebagai prinsip keluarga berarti

tauhid sebagai dasar setiap aktifitas dan interaksi dalam keluarga. Dari tema

tersebut, penulis mencoba mengimplementasikannya dalam pendidikan akhlak.

Maka penelitian ini diberi judul, “Implementasi Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga

dalam Pendidikan Akhlak (Studi Pemikiran Terhadap Ismail Raji al-Faruqi).”

B. Penegasan Istilah

Untuk menghindari salah persepsi tentang arah judul yang dimaksud,

maka penulis merasa perlu menjelaskan istilah-istilah dari judul yang penulis

maksud, yaitu:

1. Implementasi

Secara harfiah, kata implementasi berasal dari bahasa Latin, Implere yang

berarti something used or needed in a given activity especially an instrument,

19Khalid Ahmad asy-Syantuh, op.cit., hlm. 87.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

7

tool, utensil, vessel or the like20 (sesuatu yang digunakan atau diperlukan

pada suatu aktivitas terutama peralatan, atau sesuatu yang serupa dengan

peralatan). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, implementasi

berarti pelaksanaan, penerapan.21 Jadi implementasi berarti pelaksanaan.

2. Tauhid sebagai prinsip keluarga

Pengertian tauhid sebagai prinsip keluarga di sini hanya terbatas pada

pengertian yang diajukan oleh al-Faruqi saja. Tauhid sebagai prinsip keluarga

ini dimaksudkan dengan tauhid yang berkedudukan sebagai pondasi

hubungan dalam suatu keluarga.22 Bahwa keluarga merupakan suatu sarana

untuk memenuhi tujuan Ilahi.23

3. Pendidikan akhlak

Pendidikan akhlak menurut Suwito adalah inti dari semua jenis pendidikan

karena ia mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia

sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya

maupun luar dirinya.24 Maka pendidikan akhlak ini diartikan dengan upaya

pendidikan untuk mengarahkan perilaku yang baik.

4. Studi pemikiran

Secara harfiah kata studi berasal dari bahasa Inggris study yang berarti to

apply the mind to attentively, (mengerahkan pikiran untuk menaruh perhatian

pada), to examine or investigate carefully25 (menguji atau menyelidiki dengan

teliti). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata studi diartikan

penelitian ilmiah, kajian, telaahan.26 Selanjutnya kata pemikiran berarti

proses, perbuatan cara memikir;27berasal dari kata pikir, memikir yang berarti

berpikir tentang sesuatu; kemudian kata pikir tersebut mendapat awalan pen-

dan akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pemikiran.

20Jean L. Mckechnie, Webster’s New Twentieth Century Dictionary, Second Edition (Amerika, William Collins Publisher Inc., 1980), hlm. 914.

21Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. 3, hlm. 374.

22Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 137. 23Ibid, hlm.139. 24Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak, (Yogyakarta: Belukar, 2004), Cet. 1, hlm. 38. 25Jean L. Mckechnie, op.cit., hlm. 1808. 26Tim Penyusun Kamus Pusat, op.cit., hlm. 965 27Ibid., hlm. 768.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

8

Maka studi pemikiran ini berarti kajian atas pemikiran al-Faruqi. Kajian ini

mencakup pembacaan dan penganalisaan atas pemikiran al-Faruqi tersebut.

5. Ismail Raji al-Faruqi

Al-Faruqi adalah seorang intelektual Islam yang lahir di Jaffa, Palestina pada

tanggal 1 Januari 1921 dan meninggal pada tanggal 27 Mei 1986. Pekerjaan

terakhirnya sebagai seorang pendidik (guru besar penuh/full profesor) di

Fakultas Agama Universitas Temple (Amerika).28

Maka judul yang penulis maksud adalah penelitian atas:

1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.

Bahwa tema tauhid dalam skripsi ini adalah tauhid sebagai prinsip keluarga

bukan pengertian dari tauhid.

2. Pelaksanaan pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga

dalam pendidikan akhlak. Adapun pendidikan akhlak yang penulis maksud

adalah pendidikan akhlak dalam keluarga. Hal ini sebagai efek (tindak lanjut)

dari tema pokok tauhid sebagai prinsip keluarga seperti tersebut di atas.

Untuk selanjutnya istilah pendidikan akhlak atau pendidikan akhlak dalam

keluarga akan dipersamakan dalam skripsi ini. Sehingga penulis kadang-

kadang menggunakan istilah pendidikan akhlak dalam keluarga untuk

menyebut pendidikan akhlak begitupun sebaliknya.

C. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah penulis kemukakan dapat penulis angkat

beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip

keluarga?

2. Bagaimana implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid

sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bertolak dari pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan

dan mempunyai manfaat sebagai berikut:

28M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), cet. 1, hlm. 43.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

9

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai

prinsip keluarga.

b. Untuk mengetahui implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang

tauhid sebagai prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara teorititis, hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk

pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pemikiran

pendidikan Islam pada umumnya serta lebih spesifik lagi untuk

mengembangkan gagasan seorang tokoh muslim sebagai sumbangsih bagi

dunia keilmuan.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai

informasi dan pengetahuan bagi para pendidik (orang tua) dalam

membimbing, dan mengarahkan perkembangan akhlak anak-anaknya agar

tercapai sosok individu yang berakhlak mulia.

E. Tinjauan Pustaka

Untuk memudahkan mendapatkan data yang valid dan untuk

menghindari adanya duplikasi, penulis melakukan tinjauan pustaka terhadap

penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu:

1. Tesis Komaruddin yang berjudul “Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam,

Sebuah Kajian Atas Kesadaran Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail

Raji al-Faruqi”.29 Dalam penelitiannya, penulis mengeksplorasi pemikiran al-

Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip etika untuk dijadikan sebagai pijakan

dalam berperilaku agar sesuai dengan nilai-nilai Islam dan berpegang teguh

pada esensi yang tauhid (Allah).

2. Skripsi Didik Widayat yang berjudul “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya dengan Perkembangan

29Komaruddin,“Tauhid Sebagai Prinsip Etika dalam Islam, Sebuah Kajian Atas Kesadaran

Tauhid Bagi Moralitas Islam Menurut Ismail Raji al-Faruqi” ,Tesis Pasca Sarjana IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Walisongo, 1999), t.d.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

10

Pemikiran Pendidikan Islam30 Skripsi ini menggali pandangan al-Faruqi

tentang Islamisasi ilmu; kemudian merelevansikannya dengan kurikulum

pendidikan Islam; bahwa Islamisasi ini menghilangkan dikhotomi ilmu

agama dan ilmu umum; maka tercipta sebuah gagasan kurikulum yang Islami.

3. Skripsi Abdur Rauf yang berjudul “Konsepsi Harun Nasution Tentang

Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”.31 Skripsi ini

menjelaskan bahwa keluarga berperan penting dalam pendidikan moral anak.

Pendidikan ini harus diberikan pada anak saat masih kecil. Bahkan jauh

sebelumnya, pendidikan ini telah dimulai pada saat pemilihan jodoh. Bahwa

orang tua sebagai pendidik harus bisa mendidik, membimbing serta

memberikan contoh (teladan) pada anak-anaknya dengan mengajarkan

perihal ibadah sebab ibadah mengandung nilai-nilai moral.

4. Skripsi Nurul Ustadziroh yang berjudul “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang

Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak

Anak.”32 Skripsi ini menjelaskan bahwa akhlak merupakan watak manusia

yang bisa berubah menjadi baik maupun buruk. Maka untuk mengarahkan

perkembangan watak perlu adanya upaya pembentukan akhlak melalui

pendidikan dan harus berlandaskan pada al-Quran dan Hadits agar tercapai

suatu kebahagiaan dunia akhirat.

Penelitian yang penulis lakukan di sini berbeda dengan penelitian-

penelitian seperti tersebut di atas. Dalam skripsi ini penulis hanya akan meneliti

pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan berpijak pada

buku “Tauhid” karya Ismail Raji al-Faruqi.33 Buku ini menjelaskan secara rinci

makna tauhid sebagai prinsip kehidupan. Dan prinsip keluarga adalah salah satu

diantaranya. Dalam bab ini al-Faruqi menjelaskan pandangan tauhid tentang

30Didik Widayat, “Konsepsi Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut Ismail Raji al-Faruqi dan Relevansinya Dengan Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.

31Abdur Rauf, “Konsepsi Harun Nasution Tentang Pendidikan Moral di Lingkungan Keluarga (Studi Analisis)”, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2005), t.d.

32Nurul Ustadziroh, “Pemikiran Ibn Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Anak dan Relevansinya terhadap Pembentukan Akhlak Anak,” Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, (Semarang: Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2003), t.d.

33Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

11

pokok-pokok dalam keluarga seperti perihal pembentukan keluarga, keluarga

besar, dan ibu rumah tangga. Namun tidak disebutkan di dalamnya perihal

pendidikan akhlak dalam keluarga.

Begitu pula buku yang membahas tentang pendidikan dalam keluarga

yang sepengetahuan penulis masih memberikan wacana umum tentang

pendidikan keluarga. Misalnya saja buku “Anak Shaleh Dambaan Keluarga”

karya M. Nipan Abdul Azis34. Buku ini menjelaskan tentang cara-cara

membentuk anak shaleh dalam keluarga. Dalam bukunya, penulis menjelaskan

cara-cara tersebut pada setiap tahap usia anak mulai dari tahap usia bayi,

mumayiz, usia remaja, sampai usia nikah. Adapun upaya pendidikannya meliputi

pendidikan akidah, ibadah, akhlak, ekonomi, dan kesehatan.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Achmad Suja’i yang berjudul

”Tauhid Sebagai Sumber Dasar Pendidikan Islam” dalam jurnal Media terbitan

Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.35 Dalam jurnal tersebut, penulis

mengetengahkan tauhid sebagai dasar bagi kehidupan dan pendidikan karena

tauhid mengajarkan norma-norma pokok yang transenden (keilahian).

Buku lainnya yang mengulas sosok al-Faruqi yang dilakukan oleh

mahasiswa sekaligus kawan al-Faruqi, “Mendidik Generasi Baru Muslim” yang

ditulis oleh M. Shafiq36 mengulas biografi al-Faruqi mulai dari setting sosial,

politik dan budaya diseputar kehidupan al-Faruqi, karya-karya nya serta ulasan

luas mengenai Islamisasi pengetahuan. Dengan demikian, penelitian skripsi ini

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

F. Metodologi Penelitian Skripsi

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yakni penelitian yang datanya

berupa data nonstatistik dengan fokus pada studi tokoh (biografi). Penelitian

biografis menurut M. Nazir dikategorikan sebagai salah satu penelitian

34M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),

Cet. 1. 35Achmad Suja’i,“Tauhid Sebagai Sumber Pendidikan Islam”, Media, II, 12 Agustus, 1992. 36M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2000), Cet. 1.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

12

sejarah. Penelitian biografis berarti penelitian tentang kehidupan seseorang

dan hubungannya dengan masyarakat. Dalam penelitian ini diteliti sifat-sifat,

watak, pengaruh, baik pengaruh lingkungan maupun pengaruh pemikiran dan

ide dari subjek penelitian dalam masa hidupnya, serta pembentukan watak

figur yang diterima selama hayatnya.37

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan Socio Intellectual History

Pendekatan socio-intellectual history penulis gunakan untuk mengkaji

aktivitas ilmiah tokoh.38 Pendekatan ini penulis gunakan untuk

mengetahui biografi al-Faruqi.

b. Pendekatan Hermeneutik

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani

hermeneuein yang berarti menafsirkan. Hermeneutik sebagai suatu

metode diartikan sebagai cara menafsirkan simbol yang berupa teks atau

benda kongkret untuk dicari arti dan maknanya. Menurut Friedrich Ast.

dalam Sudarto, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna

internal dari suatu teks beserta isi situasinya menurut zamannya.39

Pendekatan ini tidak hanya sekedar penafsiran akan tetapi juga

penelusuran yang penulis gunakan untuk mengungkap pemikiran Ismail

Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berusaha mengumpulkan data-data yang

diperlukan dengan teknik studi kepustakaan (library research) yaitu

serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan

data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.40

37Mohammad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 62. 38Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:

LKiS, 2004), Cet. 1, hlm. 16. 39Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 3, hlm.

84-85. 40Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), Cet.

1, hlm. 3.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

13

Teori-teori tersebut penulis jadikan sebagai sumber data dengan klasifikasi

sebagai berikut:

a. Sumber data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian.41

Data primer diperoleh dari buku-buku yang ditulis oleh Ismail Raji al-

Faruqi seperti Tawhid Its Implications for Thought and Life yang

diterbitkan oleh Poligraphic Sdn. Bhd. Kuala Lumpur dan The Cultural

Atlas of Islam yang diterbitkan oleh Macmillan Publishing Company,

New York, USA, yang telah mengalami alih bahasa.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder adalah data yang erat hubungannya dengan data primer

dan dapat dipergunakan untuk membantu menganalisis dan memahami

data primer.42 Data sekunder diperoleh dari tulisan karya penulis umum

tentang tema yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Seperti buku

Mendidik Generasi Baru Muslim yang ditulis oleh M. Shafiq, dan buku-

buku lainnya.

4. Metode Analisis Data

Data-data penelitian yang telah ditemukan akan dianalisis dengan

menggunakan metode:

a. Analisis isi (content analysis)

Analisis isi adalah metode analisis tentang isi pesan suatu komunikasi. 43

Yang dimaksud dengan isi pesan suatu komunikasi di sini adalah isi atau

pesan dari sumber-sumber data yang telah diperoleh oleh peneliti melalui

buku-buku karya al-Faruqi. Dari data yang telah diperoleh tersebut,

penulis berusaha mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan tujuan

penelitian. Dengan langkah-langkah, yaitu; pertama, mengklasifikasi

tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, kedua, menggunakan

41Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), Cet. 1, hlm. 91. 42Ronny Hanityo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1988), Cet. 3, hlm. 53. 43Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), Cet. 7,

hlm. 49.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

14

kriteria sebagai dasar klasifikasi, ketiga, menggunakan teknik analisis

tertentu sebagai pembuat prediksi.44 Secara operasional, analisis ini

dilakukan dengan pembacaan, penelaahan kemudian dilakukan

kategorisasi (pemilahan) atas pemikiran al-Faruqi berdasarkan tema-tema

tertentu.

b. Interpretasi

Interpretasi yaitu dengan cara menyelami karya tokoh untuk menangkap

arti dan nuansa yang dimaksudkan tokoh secara khas.45 Dengan analisis

ini peneliti berusaha untuk menyelami alam pikiran al-Faruqi kemudian

mengungkapkan apa adanya dalam bentuk tulisan sesuai dengan sumber

yang ada, baik dengan bahasa sendiri maupun meminjam istilah yang

dipakai al-Faruqi.

c. Komparasi

Komparasi ini dimaksudkan untuk memperbandingkan pendapat tokoh

(al-Faruqi) dengan tokoh-tokoh lain baik yang dekat dengannya

(sependapat) atau justru yang sangat berbeda (pemikirannya).46 Hal ini

dimaksudkan agar diperoleh pemahaman yang komprehensip.

A. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi ke dalam lima bab sebagai

berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran

umum pembahasan skripsi yang meliputi latar belakang masalah, penegasan

istilah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

metodologi penelitian skripsi serta sistematika penulisan.

Bab kedua akan mengkaji pendidikan akhlak dalam keluarga. Dalam bab

ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian pendidikan akhlak dalam

keluarga, pendidikan akhlak pada masa pra kelahiran dalam keluarga, dan

pendidikan akhlak pada masa pasca kelahiran dalam keluarga.

44Ibid. 45Anton Bekker dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Kanisius,

1990), Cet. 1, hlm. 63. 46Ibid, hlm. 65.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

15

Bab ketiga lebih terfokus pada pembahasan tentang pemikiran al-Faruqi

tentang tauhid sebagai prinsip keluarga. Dan penulis akan menjelaskan biografi,

aktivitas ilmiah serta karya-karya al-Faruqi, serta pemikiran al-Faruqi tentang

tauhid yang pembahasannya meliputi tauhid prinsip Islam dan dilanjutkan

dengan tauhid sebagai prinsip keluarga.

Bab keempat merupakan analisis terhadap pemikiran al-Faruqi tentang

tauhid sebagai prinsip keluarga dan implementasinya dalam pendidikan akhlak

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang kaitan antara pemikiran al-

Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga dengan pendidikan akhlak; serta

implementasi dari pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga

dalam pendidikan akhlak.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan yang

ditarik dari bab-bab sebelumnya. Dan kesimpulan ini merupakan jawaban dari

permasalahan yang ada pada skripsi ini. Selain itu penulis menyertakan pula

saran-saran. Sebagai pelengkap pada bab lima ini penulis melengkapi dengan

daftar pustaka.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

16

BAB II

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KELUARGA

Pengertian Pendidikan Akhlak dalam Keluarga

Pengertian Keluarga

Kata keluarga secara bahasa menurut Ki Hadjar Dewantara

merupakan rangkaian dari kata kawula dan warga.

Kawula berarti abdi, hamba; sedangkan warga berarti anggota. Jadi keluarga memposisikan anggotanya sebagai abdi yang harus menyerahkan segala kepentingannya, mengorbankan dan mengikhlaskan hidup dirinya kepada keluarganya sekaligus juga memposisikan anggotanya sebagai tuan yang berhak sepenuhnya untuk ikut mengurus segala kepentingan di dalam keluarganya tadi.47

Secara sederhana, Hasan Langgulung mengartikan keluarga sebagai

perkumpulan yang halal antara seorang pria dan wanita yang bersifat terus

menerus sesuai ketentuan agama dan masyarakat.48 Keluarga menurutnya

terdiri dari suami, istri dan anak serta kerabat yang lain seperti saudara-

saudara, kakek dan nenek, paman dan bibi, sepupu dan lain-lain.49

Ada dua kategori umum bentuk keluarga. Hasan Shadily membagi

nya kepada dua kategori yakni keluarga inti dan keluarga besar. Keluarga inti

adalah keluarga kecil yang terdiri dari bapak, ibu dan anak yang terjalin oleh

hubungan kekeluargaan. Sedangkan keluarga besar tersusun dari keluarga inti

ditambah dengan saudara-saudara dari ibu dan atau bapak dan seterusnya

(tiga sampai empat keturunan) yang tinggal serumah.50

Secara sosiologis, keluarga merupakan bentuk masyarakat kecil yang

terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan yakni suatu

kesatuan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak.51

47Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan,

(Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa, 1962), Cet. 1, hlm. 391. 48Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995), Cet. 3, hlm.

346. 49Ibid, hlm. 348. 50Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1982), hlm.

1729. 51Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet. 2,

hlm. 176.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

17

Kesatuan tersebut tidak hanya berarti sebagai kesatuan yang mengikat

saja namun lebih dari itu, keluarga menurut sudut pandang pedagogis adalah

persekutuan hidup yang terjalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis

manusia yang dikukuhkan dalam pernikahan untuk menyempurnakan diri.52

Inilah tujuan dibentuknya keluarga yakni untuk menyempurnakan

diri; baik kesempurnaan diri pribadi maupun kesempurnaan bagi anggota

keluarga lainnya. Karena keluarga tidak hanya berfungsi sebagai media

pemenuhan kebutuhan biologis.

Keluarga juga mengemban fungsi-fungsi lain. Seperti fungsi edukatif

(media pembelajaran), fungsi religius (media tumbuh-kembang norma-norma

agama), fungsi sosialisasi anak (media penghubung anak dengan

masyarakat), fungsi protektif (media perlindungan anak), fungsi rekreatif

(media untuk memperoleh ketenangan), fungsi ekonomis (penunjang

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan) dan fungsi-fungsi lainnya.53

Jadi yang dimaksud dengan keluarga adalah sekumpulan orang tua

(bapak, ibu, kakek, nenek, paman, bibi) yang terikat oleh ikatan perkawinan

yang sah dan anak(-anak)nya yang tinggal satu atap demi mencapai

kesempurnaan diri.

Pengertian Pendidikan

Untuk mencapai tujuan kesempurnaan diri tersebut, maka fungsi

edukatif merupakan satu hal yang penting terlebih lagi Allah telah

memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka

yang mana hal ini dapat terwujud melalui upaya pendidikan akhlak.

Sebagaimana firman-Nya dalam QS. at-Tahrim: ayat 6. Bahwa tugas

pendidikan ini menjadi tanggung jawab orang tua terhadap anak karena anak

di bawah tanggung jawab orang tua.

Kata pendidikan berasal dari kata didik, mendidik yang berarti

memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan

52M. I. Soelaeman, Pendidikan dalam Keluarga, (Bandung: Alfabeta, 1994), ed. 1, hlm. 12. 53Djudju Sudjana, “Peranan Keluarga di Lingkungan Masyarakat”, dalam Jalaluddin Rakhmat

dan Muhtar Gandaatmaja (eds.), Keluarga Muslim dalam Masyarakat Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. 2, hlm. 20-22.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

18

kecerdasan pikiran; kemudian kata didik tersebut mendapat awalan pen- dan

akhiran -an sehingga membentuk kata benda abstrak yakni pendidikan yang

berarti perbuatan (hal, cara) mendidik.54

Kata pendidikan menurut Abdurrahman Shalih Abdullah, dimaknai

sebagai sebuah proses bertujuan yang dilaksanakan untuk menghasilkan

peserta didik agar memiliki pola-pola perilaku tertentu.55

Pengertian pendidikan ini masih sangat umum. Pengertian pendidikan

secara rinci dideskripsikan oleh Ki Hadjar Dewantara yang memaknai

pendidikan sebagai:

Usaha kebudayaan yang berazas keadaban untuk memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan dengan memelihara hidup-tumbuh ke arah kemajuan56…. melalui upaya menuntun segala kodrat yang ada pada anak serta menumbuhkembangkan budi pekerti (kelakuan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak57…. agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.58

Sedangkan pendidikan menurut Musthafa Ghalayini adalah:

G. األخالق الفاضلة في نفوس الناشئين وسقيها بماء اإلرشاد والنصيحة التربية هي غرس 59 حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون ثمراتها الفضيلة والخير وحب العمل لنفع الوطن

Pendidikan adalah penanaman akhlak yang mulia dalam jiwa anak-anak dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat hingga (didikan yang mereka terima) menjadi malakah (hal-hal yang meresap) dalam jiwa kemudian malakah itu membuahkan kemuliaan, kebaikan serta cinta beramal untuk kepentingan negara.

Dari sini nampak bahwa aspek akhlak menjadi bagian yang tak

terpisahkan dalam pendidikan. Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan

berarti upaya menumbuhkembangkan potensi-potensi anak agar terbentuk

sikap dan perilaku baik, untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan.

Pengertian Akhlak

54WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), Cet.

1, hlm. 250. 55Abdurrahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan menurut al-Quran serta

Implementasinya, terj. Mutammam, (Bandung: Diponegoro, 1991), Cet. 1, hlm. 243. 56Ki Hadjar Dewantara, op. cit, hlm. 166. 57Ibid, hlm. 14 58Ibid, hlm. 20. 59Musthafa Ghalayini, ‘Izhatun Nasyi’in, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashiriyah Lithaba’ah wa an-

Nasyr, 1958), hlm. 185.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

19

Akhlak secara etimologi berasal dari kata akhlaq yang merupakan

bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun yang berarti tabiat, budi pekerti.60

Secara istilah, akhlak menurut Muslim Nurdin adalah sistem nilai

yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai

yang dimaksud adalah sumber ajaran Islam yakni al-Quran dan Sunnah.61

Sedangkan menurut Muhammad Amin, akhlak adalah kehendak yang

dibiasakan. Artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu maka

kebiasaan itu disebut akhlak.62

Akhlak menurut Mahmud merupakan implementasi dari iman dalam

segala bentuk perilakunya. Pendidikan akhlak dalam keluarga dilaksanakan

dengan contoh dan teladan dari orang tua melalui perilaku dalam keseharian

(pergaulan) antara ibu dengan bapak, orang tua dengan anak-anaknya, orang

tua dengan orang lain di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.63

Akhlak menurut Burhanuddin Salam merupakan suatu pola hubungan

antara hak dan kewajiban. Akhlak merupakan faktor yang menentukan dalam

proses mencapai kebahagiaan, ketenangan dalam rumah tangga bahkan

merupakan penghubung yang paling utuh antara Khalik dengan makhluk.64

Akhlak meliputi dua hal yaitu akhlak terhadap Khalik dan akhlak

terhadap makhluk. Akhlak terhadap makhluk mencakup akhlak terhadap

manusia dan bukan manusia (alam). Akhlak terhadap manusia mencakup

akhlak terhadap diri sendiri dan orang lain.

Akhlak terhadap orang lain meliputi akhlak terhadap Rasulullah,

akhlak terhadap keluarga (yang mencakup akhlak istri dengan suami, dan

60Ahmad Warso Munawwir, Al-munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), Cet. 25, hlm. 364. 61Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), ed. 1, hlm. 205. 62Ahmad Amin, Etika, Ilmu Akhlak, terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7,

hlm. 62. 63Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala

Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 117. 64Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

20

sebaliknya suami terhadap istri; anak dengan orang tua, dan sebaliknya; serta

akhlak terhadap karib kerabat); akhlak terhadap tetangga dan masyarakat. 65

Akhlak kepada Allah diantaranya seperti dengan tidak menyekutukan-

Nya, bertakwa kepada-Nya, mencintai-Nya, ridha dan ikhlas terhadap segala

keputusan-Nya, bertobat serta mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdoa kepada-

Nya, meniru sifat-sifat-Nya, dan selalu berusaha mencari keridhaan-Nya.66

Akhlak terhadap diri sendiri dengan cara menjaga kesucian diri dari

sifat rakus dan mengumbar nafsu, mengembangkan keberanian dalam

menyampaikan yang hak serta bijaksana dalam memberantas kebodohan, dan

kezaliman, bersabar ketika mendapat musibah, rendah hati, pemaaf, jujur,

serta bersyukur dan merasa cukup atas pemberian Allah.67 Akhlak terhadap

Rasulullah seperti mencintainya secara tulus, serta menjadikannya sebagai

panutan untuk ditiru sifar dan siakpnya.68

Akhlak terhadap keluarga mencakup akhlak antara suami istri seperti

menjaga nama baik pasangan serta bergaul dengan baik dan sopan,

mencukupi nafkah lahir dan batin; akhlak terhadap orang tua seperti

mencintainya, mendoakannya, patuh, baik dalam bertutur dan berperilaku

terhadap kedua orang tua.69 Akhlak terhadap karib kerabat diwujudkan

dengan mendoakan mereka, menjaga nama baik, mencintai, menghormati,

dan menjaga tali silaturahim.70

Akhlak terhadap tetangga seperti saling mengunjungi, saling

membantu, saling memberi dan saling menghormati demi menghindari

pertengkaran dan permusuhan.71

Akhlak terhadap masyarakat baik dalam kedudukannya sebagai warga

maupun pemimpin. Dalam konteks kepemimpinan, diwujudkan dengan cara

65Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),

Cet. 3, hlm. 352. 66Ibid, hlm. 356. 67Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 206. 68Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 357. 69Zahruddin AR, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, hlm.

75-76. 70Muhammad Daud Ali, op.cit., hlm. 358.. 71Ibid.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

21

menegakkan keadilan, berlaku baik, menjunjung tinggi musyawarah,

memandang kesederajatan manusia serta membela orang-orang yang lemah.

Sementara sebagai warga, diwujudkan dengan menjaga hubungan baik

dengan sesama, mematuhi peraturan yang ada, menjaga tali ukhuwah, serta

saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan.72

Akhlak terhadap alam ditujukan sebagai pemenuhan manusia atas

tugasnya sebagai khalifah dengan sikap sadar untuk memelihara kelestarian

alam, sayang pada sesama makhluk (baik binatang maupun tumbuh-

tumbuhan) untuk dijaga ataupun dimanfaatkan demi kemakmuran bersama.73

Jadi yang dimaksud dengan akhlak adalah sifat-sifat baik dalam diri

pribadi dan terwujud dalam perbuatan menurut aturan hak dan kewajiban

sebagaimana aturan dalam al-Quran dan Sunnah.

Akhlak merupakan aspek penting dalam kehidupan. Sebegitu

pentingnya bahkan Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dalam

sabdanya:

مالك أنه قد بلغه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال بعثت ألمتم عنحدثين 74 )رواه مالك بن انس(حسن األخالق

Telah diceritakan kepadaku dari Malik sesungguhnya telah disampaikan kepadaku, bahwa Rasulullah saw bersabda: aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik. (HR. Malik bin Anas).

اخللق احلسن جامع ملعان كثرية منها حسن املعاشرة يف اإلخوان واجلريان واألهل 75 ومنها اجلود ومنها العفو عمن ظلم

Akhlak yang baik mengandung banyak arti diantaranya pergaulan yang baik dalam berteman, bertetangga dan berkeluarga, dermawan, dan memaafkan terhadap orang yang berbuat zalim.

Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak dalam keluarga

berarti upaya orang tua menanamkan dan memupuk nilai-nilai akhlak agar

72Muslim Nurdin, op. cit, hlm. 209. 73Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo apersad, 2000), Cet. 3, hlm. 150. 74Malik bin Anas, Al-Muwatha, (Beirut: Dar Ihyaul Ulum: 1990), hlm. 693. 75Imam wali ad-Dahlawi, al-Maswa Syarhu al-Muwatha, juz. 2, (Beirut: Dar Kutub al-

‘Ilmiyah: 1983), hlm. 459.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

22

terbentuk suatu kebiasaan baik sehingga menjadi suatu perilaku baik pada diri

anak baik dalam hubungannya terhadap Khalik maupun terhadap makhluk.

Adapun bentuk pendidikan akhlak dalam keluarga ini tidaklah

terstruktur sebagaimana pendidikan formal (di sekolah) yang memiliki

bagian-bagian seperti tujuan, materi, metode, evaluasi bahkan kurikulum;

akan tetapi pendidikan keluarga ini sifatnya alamiah. Artinya setiap interaksi,

suasana yang tengah terjadi dalam setiap interaksi dan aktivitas dalam

keluarga itulah sebuah media bahkan proses dari pendidikan itu sendiri.

Maka pendidikan akhlak yang penulis maksud di sini adalah upaya

orang tua mendidik akhlak anak-anaknya. Adapun materi-materinya tidaklah

penulis jabarkan secara mendetail karena pada dasarnya materi pendidikan

akhlak ini akan lebih diarahkan kepada sasaran akhlak yang mencakup

akhlak terhadap Khalik dan makhluk. Artinya pendidikan akhlak dalam

keluarga yang penulis maksud di sini adalah upaya orang tua menerjemahkan

sasaran akhlak tersebut ke dalam pendidikan akhlak.

Selanjutnya tugas pendidikan dalam keluarga ini penulis

klasifikasikan ke dalam dua tahap sebagaimana Mahmud, mengklasifikasikan

pola pengasuhan anak dalam keluarga ke dalam dua tahap yakni pertama

tahap pra kelahiran anak, kedua tahap pasca kelahiran anak.76

Pendidikan Akhlak pada Masa Pra-kelahiran dalam Keluarga

Pembentukan Keluarga

Masih menurut Mahmud, pendidikan pada tahap pra kelahiran anak

dimulai semenjak pemilihan jodoh, kemudian pada saat melangsungkan akad

nikah yang diiringi dengan khutbah nikah (nasehat pernikahan). Hal ini

dilakukan dalam rangka mempersiapkan kedua pengantin membina rumah

tangga yang sakinah, mawadah warahmah; sekaligus mempersiapkan

lingkungan yang baik untuk perkembangan anak.

Sebelum prosesi upacara pernikahan dilakukan, terlebih dahulu

dilakukan khitbah (peminangan) yang ditujukan untuk memberikan gambaran

76Mahmud, op.cit., hlm. 94.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

23

yang jelas tentang calon pendamping hidup.77 Hal ini dapat dimaksudkan

untuk mengenal lebih dekat pendamping hidupnya agar dapat

mempertemukan atau bahkan menyatukan persepsi perihal kehidupan rumah

tangganya sekaligus pendidikan anaknya kelak.

Selanjutnya upacara akad nikah yang didahului dengan khutbah nikah.

Khutbah nikah menurut Mahmud mengandung makna untuk meningkatkan

iman, amal shaleh dan anjuran membina rumah tangga yang rukun serta

sebagai motivasi dan dinamisasi pendidikan yang dilakukan terhadap

pengantin yang diharapkan akan bermuara pada pendidikan dirinya sekaligus

akan signifikan bagi pendidikan anak di masa mendatang.78

Langkah berikutnya adalah berdoa pada waktu akan melakukan

hubungan badan agar anak yang akan terkonsepsi (calon janin) pada saat

berhubungan badan terhindar dari gangguan setan. Kemudian setelah istri

diketahui mengandung, pola pendidikan anak dilaksanakan dengan cara

meningkatkan kasih sayang dan ibadah misalnya shalat berjamaah; karena

anak yang sedang dikandung sangat responsif terhadap segala rangsangan

dari luar termasuk kegembiraan dan kesedihan.79

Keseluruh hal-hal tersebut penting sebab langkah pertama yang harus

dilakukan dalam rangka membangun rumah tangga adalah bertopang pada

pondasi yang benar. Manakala pondasi bangunan suatu rumah tangga kuat

lagi kokoh, maka bangunan yang terbentuk akan sempurna.

Terlebih lagi keluarga adalah media pertama yang mempengaruhi

anak. Pastolozzi dalam Ibrahim Nashir mengatakan:

H. ا الطفل ن أ 80االسرة هي مصدر كل تربية صحيحة يتأثر

Keluarga adalah dasar dari setiap pendidikan yang baik yang mempengaruhi anak.

77Ibid, hlm. 137. 78Ibid. 79Ibid hlm. 94. 80Ibrahim Nashir, Muqoddimah fi at-Tarbiyah,(Aman: al-Ardan,1983), hlm. 182.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

24

Pengaruh itu akan dapat terealisir dalam kehidupan keluarga yang

penuh kasih sayang, serta jauh dari ketegangan dan kekerasan yang mana

semua faktor tersebut akan mempengaruhi kondisi psikis anak.

Pendidikan Bagi Janin

Pentingnya Pendidikan Bagi Janin

Pendidikan anak dalam kandungan merupakan hasil dari proses

sistematis yang merupakan rangkaian langkah, metode dan materi yang

dipakai oleh orang tuanya dalam melakukan pendidikan (stimulasi-

edukatif) dan orientasi serta tujuan arahan dan didikan.81

Pendidikan pra kelahiran ini merupakan investasi (dasar) bagi

pendidikan anak selanjutnya. Untuk itu, seorang ibu harus memperhatikan

kondisi diri sekaligus janin yang dikandungnya.

Penelitian yang dilakukan oleh F. Rene Van de Carr di Thailand

membuktikan bahwa bayi yang diberi stimulasi pra lahir cepat mahir

bicara, menirukan suara, tersenyum secara spontan, mampu menoleh ke

arah suara orang tuanya, lebih tanggap terhadap musik serta mampu

mengembangkan pola sosial yang lebih baik saat ia dewasa.82

Hal ini didukung pula bahwa kondisi (fisik dan psikis) ibu yang

akan selalu berpengaruh pada janin. Bahkan Mansur menyatakan seorang

wanita yang sabar, setia dan takwa serta ikhlas menerima kehadiran anak

akan melahirkan manusia yang baik; disamping itu, faktor genetik juga

menentukan baik buruknya perkembangan janin karena genetik akan

menurunkan sifat-sifat pembawaan.83

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kondisi fisik dan psikis

ibu yang terlalu lemah akan menghambat pertumbuhan janin. FJ. Monks

menyatakan bahwa kegoncangan psikis selama dua bulan pertama dapat

menyebabkan gangguan sentral pada bayi yang disebut down syndrome.84

81Ubes Nur Islam, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.

1, hlm. 59. 82Ubes Nur Islam, op.cit., ,hlm. 3. 83Mansur, Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), Cet. 1,

hlm. 40. 84Ibid, hlm. 19.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

25

Dengan demikian nampak bahwa kondisi orang tua terutama ibu

dan lingkungan di sekitar kehidupan janin berpengaruh terhadap

perkembangan janin bahkan secara tidak langsung membentuk karakter

anak.

Faktor–faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Janin

Suharsono mengklasifikasikan aspek-aspek dasar yang sangat

mempengaruhi perkembangan janin serta setelah anak lahir kelak.

Pertama, aspek fisik dan material yakni segala sesuatu yang berkenaan

dengan menjaga kesehatan fisik, makanan dan gizi, pengadaan finansial

serta sarana material lainnya.

Kedua, aspek moral yakni moralitas orang tua terutama ibu yang

sangat menentukan bagi upaya pembentukan moralitas bayi. Ketiga,

aspek intelektual ibu (sense of intellectuality) seperti meningkatkan minat

dan semangat mencari ilmu. Keempat aspek spiritual yakni dimensi

spiritual seperti ibadah shalat yang dilakukan ibu.85

Sedangkan menurut Mansur, faktor yang dapat mempengaruhi

pendidikan anak dalam kandungan adalah faktor pendidikan dan

keagamaan kedua orang tua terutama ibu serta faktor lingkungan.86

Baihaqi menyebut beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai

materi pendidikan bagi anak pra lahir. Diantaranya shalat, membaca al-

Quran, akidah tauhid, akhlak, ilmu pengetahuan dan doa-doa.87

Maka dapat dipahami bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan janin mencakup faktor internal (kualitas orang tua) dan

eksternal (lingkungan). Adapun faktor internal ini diwujudkan dengan

penjagaan diri (kondisi fisik dan psikis ibu) dengan semakin memegang

teguh dan melaksanakan ajaran agama. Sedangkan faktor eksternal

diwujudkan dengan penjagaan lingkungan yang kondusif yang dapat

85Suharsono, Akselerasi Inteligensi, (Jakarta: Inisisasi Press, 2004), Cet. 1, hlm. 66. 86Mansur, op.cit., hlm. 197. 87Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1,

hlm. 127-137.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

26

membantu pertumbuhan dan perkembangan kesehatan (fisik dan psikis)

janin seperti penciptaan suasana yang religius dan tenang.

Metode Pendidikan Bagi Janin

Sebuah kandungan (kehamilan) merupakan lembaga pendidikan

pertama manusia. Oleh karena itu, ibu sebagai lembaga pendidikan

pertama harus menjaga kemurnian tauhid dengan melaksanakan nilai-

nilainya dalam kehidupannya, hal ini sebagai cerminan bagi anak

integritas eksekutif muslim yang bertauhid tinggi; yang dapat membentuk

figur anak yang religius.88 Adapun bentuk paling dini pendidikan janin

dapat dilakukan melalui komunikasi ibu dengan janin.89

Pembentukan janin ini akan dipengaruhi oleh situasi emosional

ibu. Pembentukan fisik dan akhlak seorang anak yang baru dilahirkan

akan dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif dan positif lingkungannya.90

Maka metode pendidikan akhlak bagi janin mencakup metode

langsung dan tak langsung. Metode langsung ini diwujudkan dengan

komunikasi orang tua (ibu) terhadap janin. Sedangkan metode tak

langsung diwujudkan dengan penciptaan suasana religius dalam keluarga.

Pendidikan Akhlak pada Masa Pasca-kelahiran dalam Keluarga

Pendidikan pada tahap pasca kelahiran diwujudkan dengan cara segera

dibacakan kalimat adzan dan iqamat di telinga bayi pada saat lahirnya dilanjutkan

dengan pemberian nama yang baik pada hari ke tujuh kelahirannya.91

Pendidikan awal

Mengadzani Bayi yang Baru Lahir

Adzan merupakan kalimat pertama yang harus didengar oleh bayi

ketika ia menghirup udara untuk pertama kalinya. Dalam hadits

disebutkan:

88Mansur, op.cit., hlm. 158. 89Ibid, hlm. 124. 90Muhammad Quthb, Sang Anak dalam Naungan Pendidikan Islam, terj. Bahrun Abu Bakar

Ihsan, (Bandung; Diponegoro, 1993), Cet. 2, hlm. 28. 91Mahmud, op.cit., hlm. 95.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

27

: الرمحن بن مهدي قا ال حد ثنا حممد بن بشار حد ثنا حيىي بن سعيد وعبد: عن عبيد اهللا بن أيب رافع عن أبيه قال أخربنا سفيان عن عاصم بن عبيد اهللا

ن احلسن بن علي حني رأيت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أذن يف أذ 92 )رواه الترمذي(ولدته فاطمة بالصالة

Muhammad bin Basyar bercerita kepada kami, Yahya bin Sa’id bercerita kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi berkata: Sofyan mengabarkan kepada kami ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya berkata: Aku melihat Rasulullah SAW beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, dan bershalawat. (HR. At-Tirmidzi)

Adzan yang mengandung kalimat tauhid mesti menjadi kalimat

pertama yang harus masuk atau diperdengarkan dan diajarkan kepada

anak sebagai penanaman dasar keimanan. Kalimat tauhid merupakan

pengikat kuat sekaligus fundamen kehidupan manusia untuk mengemban

fungsi kekhalifahan dalam kehidupan beragama, dan berbangsa demi

memperoleh kedamaian, ketentraman, dan keberkahan hidup.93

Ketika Adzan berikut kalimat yang dikandungnya (kalimat takbir

dan kalimat tauhid) menyentuh pendengaran bayi (meski waktu itu bayi

masih belum mampu merasakan) namun kesadarannya dapat merekam

nada dan bunyi kalimat adzan yang diperdengarkan kepadanya. Kalimat

tersebut dapat mencegah jiwanya dari kecenderungan kemusyrikan serta

dapat memelihara dirinya dari kemusyrikan itu. 94

Khairiyah Hasan dalam Mahmud menambahkan bahwa

memperdengarkan adzan dan iqomat ke telinga anak mengandung hikmah

terusirnya setan serta untuk mematri suatu pengaruh yang menunjuki hati

anak; meski ia belum menyadari hal itu tapi itu adalah benih menerima

92At-Tirmidzi, Al-Jami’u ash-Shahih, Juz 4, (Beirut: Darul Fikr, tth), hlm. 82. 93Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam,

(Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 13. 94Muhammad Quthb, op.cit., hlm. 48.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

28

agama Islam sebagai suatu kesiapan fitriah untuk selanjutnya memenuhi

panggilan, petunjuk dan dakwah Islam.95

Makna yang terkandung dalam adzan adalah membesarkan nama

Allah SWT, mentauhidkan dan memahasucikan-Nya, serta menyatakan

kesaksian terhadap kerasulan dan kenabian Muhammad SAW,

mendirikan shalat dan demikian pula kaitannya dengan Sunnah-sunnah

lainnya. 96

Maka ketika anak lahir ia tidak akan diberi kesempatan meskipun

sejenak untuk lebih dahulu mendengar apapun kecuali suara tauhidullah

yang menjadi pertanda masuknya anak itu ke dalam agamanya melalui

adzan dan iqomat.

Pemberian Nama

Selanjutnya kewajiban orang tua lainnya adalah memberikan

nama yang baik; bahkan Rasul bersabda:

بن مسلم عن مسهر عن إمساعل حد ثنا علي بن حجر أخربنا علي بنرسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم الغالم مرن : قال: احلسن عن مسرة قال

97 ) رواه الترمذي(يذبح عنه يوم السابع ويسمى وحيلق رأسه بعقيقتهAli bin Hujrin bercerita kepada kami, Ali bin Mushirin bercerita kepada kami dari Ismail bin Muslim dari Hasan dari Samuroh berkata Rasulullah bersabda: seorang anak digadaikan dengan aqiqah yang disembelih untuknya pada hari ke tujuh dan diberi nama dan dicukur rambut kepalanya. (HR. At-Tirmidzi)

Adapun pemberian nama yang baik dan mulia oleh Sayyid

Muhammad dikategorikan sebagai akhlak orang tua kepada anaknya.

Nama yang mulia dan julukan yang baik merupakan kehormatan bagi

pemiliknya. Adapun nama yang paling mulia adalah nama-nama yang

sama dengan para Nabi. Ada banyak kebaikan dalam nama-nama itu serta

95Mahmud, op.cit., hlm. 147. 96Muhammad Quthb, hlm. 51. 97At-Tirmidzi, op.cit., hlm. 85.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

29

kemuliaan dalam julukan Islam itu bahkan kehormatan dan kehidupan

umat serta keridhaan Allah pun terkandung.98

Sedangkan menurut Muhammad Suwaid pemberian nama

merupakan suatu penghormatan terhadap anak.99 Menyitir perkataan

Zubair, Muhammad Suwaid menjelaskan pula bahwa pemberian nama

sebaiknya dengan meniru nama-nama sahabat dengan harapan agar anak-

anaknya kelak mengikuti langkah para syuhada’ itu, sehingga meraih

syahadah (kesyahidan) di jalan Allah.100 Bahkan pemberian nama baik

kepada anak berarti juga sebagai upaya menyiarkan tauhid.101

Hal ini oleh karena secara psikologis, anak terpengaruh dengan

nama dan panggilan yang diberikan kepadanya. Ibnu Qayyim dalam

Adnan Hasan menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama

dengan yang dinamai. Bahwa pemberian nama yang baik akan

mendorong yang punya nama untuk berbuat sesuai dengan makna yang

terdapat dalam namanya. Hal ini dapat terjadi karena anak akan merasa

malu apabila ia berbuat yang tidak sesuai dengan makna namanya .102

Maka pemberian nama ini dimaksudkan sebagai akhlak orang tua

terhadap anaknya. Disamping itu, pemberian nama merupakan upaya

pengenalan awal label Islam sebagai bekal bagi anak; karena hal yang

paling sering didengar oleh anak adalah namanya. Maka dengan nama

yang baik akan melatih anak terhadap hal baik.

Pemberian Suasana dalam Keluarga

Pada dasarnya pendidikan dalam keluarga terjadi melalui pengalaman

yang dilalui anak. Baik melalui ucapan yang didengarnya, tindakan,

perbuatan dan sikap yang dilihatnya maupun perlakuan yang dirasakannya.

98Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Surga Bernama Keluarga, terj. Nawang Sri

Wahyuningsih (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), Cet. 1, hlm. 6. 99Muhammad Suwaid, Mendidik Anak Bersama Nabi, terj. Salafuddin Abu Sayyid, (Solo:

Pustaka Arafah, 2004), Cet. 2, hlm. 79. 100Ibid, hlm. 82. 101Ibid, hlm. 87. 102Adnan Hasan Shalih Baharits, Tanggung Jawab Ayah Terhadap Anak Laki-laki, terj.

Shihabuddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. 1, hlm. 49.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

30

Adapun keluarga merupakan satu lembaga yang mampu

menyuguhkan pola-pola tersebut dalam setiap interaksi dan aktivitas nya

yang terjadi secara alamiah. Hal ini diungkapkan oleh Zakiah Daradjat bahwa

pendidikan dalam keluarga terjadi secara alamiah tanpa disadari oleh orang

tua, namun memiliki pengaruh dan akibat yang sangat besar.103

Crow dan Crow dalam Arifin menyatakan bahwa pendidikan pertama

anak diterima dalam lingkungan rumah. Keadaan ekonomi serta tingkat

kehidupan di rumah, kestabilan emosi orang tua dan keluarga serta cita-cita

dan ambisi yang tampak dari tingkah laku anggota-anggota keluarga yang

lebih tua umurnya, kesemuanya itu mempengaruhi tingkah laku serta sikap

anak secara langsung maupun tidak langsung. 104

Karena pada dasarnya seluruh interaksi dalam keluarga bernilai

edukatif. Bahwa pengaruh yang paling kuat dan paling kekal pada diri anak

adalah pengaruh yang terjadi pada masa kecil mereka di lingkungan keluarga

di mana mereka tumbuh dan dibesarkan.105

Maka seluruh interaksi dalam keluarga akan memberikan pengaruh

pada anak. Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy menyatakan:

106أثر باملثل الذى يراه وبالبيئة الىت يعيش فيها وباللغة الىت يسمعها يت الطفل نإSesungguhnya anak dipengaruhi oleh contoh yang ia lihat, lingkungan tempat ia tinggal dan bahasa yang ia dengar.

Nilai pendidikan dalam keluarga ini diperoleh dari orang tua, saudara

dan diri sendiri. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa:

Alam keluarga buat tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan , di dalamnya pertama kali bersifat pendidikan dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntun), pengajar, dan pemimpin pekerjaan (pemberi contoh). Kedua, di dalam keluarga itu anak-anak saling mendidik. Inilah nampak seterang-terangnya di

103Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995),

Cet. 2, hlm. 74. 104Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. 4,

hlm. 93. 105Ma’ruf Zurayk, Pedoman Mendidik Anak, terj. Imron Hasani, (Yogyakarta: Bintang

Cemerlang, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 106Muhammad ‘Athiyah al-Abrasy, Ruhut Tarbiyah wa Ta’lim, (Arab: Darul Ihya al-Kutb,

1950), hlm. 117.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

31

dalam keluarga apalagi di dalam keluarga yang besar…ketiga, di dalam alam keluarga anak-anak berkesempatan mendidik diri sendiri. Karena di dalam keluarga itu mereka tidak berbeda kedudukannya seperti orang hidup di dalam masyarakat yang seringkali terpaksa mengalami macam-macam kejadian hingga dengan sendirinya menimbulkan pendidikan diri sendiri.107

Pada dasarnya faktor identifikasi dan meniru pada anak amat lah

besar. Mereka terbina, terdidik dan belajar dari pengalaman langsung bahkan

lebih besar pengaruhnya daripada informasi atau pengajaran lewat instruksi

(kata-kata). Karena itu maka suasana keluarga, ketaatan ibu-bapak dalam

beribadah dan perilaku serta sikap dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran

Islam akan menjadikan anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga baik,

akan beriman dan berakhlak terpuji.108

Anak yang lahir dalam keluarga yang selalu membiasakan berbuat

baik biasanya menghasilkan pribadi anak yang baik pula. Dan sebaliknya

anak yang lahir dalam keluarga yang membiasakan perbuatan yang tercela

akan menghasilkan pribadi anak yang tercela pula.109

Keshalehan orang tua merupakan teladan yang baik bagi anak,

mengandung pengaruh yang besar terhadap kejiwaan anak. Apabila orang tua

mempunyai kedisiplinan untuk bertakwa kepada Allah dan mengikuti jalan

Allah dan juga terus ada kerjasama antara kedua orang tua untuk menunaikan

hal tersebut maka akan tumbuh pula pada diri anak ketaatan dan kepatuhan

kepada Allah karena mencontoh kedua orang tuanya.

Pada kenyataannya, suasana kehidupan keluarga sehari-hari tidaklah

monoton bahkan selalu berubah-ubah masing-masing dengan muatan iklim

yang bervariasi. Ada kalanya suasana keluarga itu santai, bahkan riang

gembira, penuh canda dan kelakar yang mengundang gelak tawa, bahkan

tidak jarang terjadi saling melempar ejekan yang ajaibnya tidak mengundang

marah atau terhina, akan tetapi malahan lebih menghangatkan suasana.

107Ki Hadjar Dewantara, op.cit., hlm. 375. 108Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 75. 109Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, op.cit., hlm. 179.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

32

Semuanya itu mencerminkan suasana keakraban dan keterbukaan antara

sesama anggota keluarga. 110

Interaksi antara anggota keluarga itu bisa menimbulkan pertentangan,

masalah dan tekanan-tekanan dan di saat yang sama interaksi mereka bisa

menghasilkan kebahagiaan, kepuasan dan kesenangan bagi setiap anggota

keluarga.111

Suasana inilah yang mendukung pendidikan akhlak dalam keluarga.

Komunikasi interaktif akan selalu bernilai edukatif. Keluarga yang memiliki

budaya komunikasi dengan anak secara baik akan mampu menciptakan pra

kondisi bagi tumbuhnya kecerdasan anak-anak. Oleh karena itu orang tua di

rumah harus bersedia berinteraksi secara positif dengan cara merespon

perilaku anak-anak secara kultural.112 Sehingga tampak bahwa interaksi

verbal merupakan bentuk yang sangat penting dan bermanfaat terutama

dalam mendorong anak bertanya.113

Sebab kualitas hubungan anak dan orang tuanya akan mempengaruhi

keyakinan beragamanya di kemudian hari. Apabila ia merasa disayang dan

diperlakukan adil, maka ia akan meniru orang tuanya dan menyerap agama

dan nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya. Dan jika yang terjadi

sebaliknya, maka ia akan menjauhi apa yang diharapkan orang tuanya,

mungkin ia tidak mau melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya.114

Oleh karena setiap interaksi dalam keluarga bersifat edukatif, maka

orang tua harus menghiasi diri dengan akhlak dan perilaku yang baik. Hal ini

perlu karena orang tua berperan sebagai pendidik. Sedangkan pendidik yang

sukses menurut Muhammad Maulawy adalah pendidik yang paham terhadap

ilmu-ilmu yang hendak diajarkannya.115

110M.I. Soelaeman, op.cit., hlm. 54. 111Promod Batra et. al., Merakit dan Membina Keluarga Bahagia, terj. Dedy Ahimsa,

(Bandung: Cendekia, 2002), Cet. 1, hlm. 13. 112Sintha Ratnawati, Keluarga Kunci Sukses Anak, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2000), Cet. 2,

hlm. 14. 113Ibid, hlm. 11. 114Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 66. 115Muhammad Said Maulawy, Mendidik Generasi Islami, terj. Ghazali Mukri, (Yogyakarta:

Izzan Pustaka, 2002), Cet. 1, hlm.30.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

33

Masih menurut Muhammad Maulawy, di samping memiliki

pemahaman atas ilmu, pendidik juga harus selalu menghiasi diri dengan

kesabaran, welas asih, ramah, penyayang, berpandangan ke depan serta

bersikap tegas menurut kondisinya. Hal ini penting karena di antara akhlak-

akhlak itu ada yang bersifat positif, efektif, dan langsung serta ada pula yang

mempunyai pengaruh negatif dalam interaksi antara orang tua dan anak.116

Hal ini dikuatkan oleh Zakiah Daradjat yang menyatakan bahwa

apabila anak dididik dengan penuh kasih sayang, lemah lembut, adil dan

bijaksana maka akan tumbuh dalam diri anak sikap sosial yang

menyenangkan. Anak akan terlihat ramah, gembira, dan mudah akrab dengan

orang lain. Sebaliknya ketika orang tua bersikap keras, kurang perhatian, dan

sering bertengkar maka anak tersebut akan berkembang menjadi anak yang

kurang pandai bergaul, mengisolasi diri dan bersikap antipati terhadap

lingkungannya.117

Maka nampak sekali bahwa kualitas orang tua sangat berpengaruh

terhadap kualitas anaknya. Sebab dari merekalah pertama-tama anak belajar

mengenal lingkungan masyarakatnya. Kualitas pribadi yang baik tentu akan

memunculkan sebuah keharmonisan. Keharmonisan dan keserasian antara

Ibu dan Bapak memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkah laku dan

intelektualitas anak.118

Keharmonisan komunikasi ini terjadi dalam setiap interaksi diantara

mereka dan akan bersifat edukatif. Artinya dalam setiap aktivitas nya akan

selalu meninggalkan kesan bagi anak. Untuk itu, orang tua menjadi sosok

teladan bagi anak; maka mereka harus menghiasi diri dengan akhlak yang

mulia. Sebab, kualitas ini, mempengaruhi kualitas anak berikutnya.

Bentuk Pendidikan Akhlak dalam Keluarga

Adapun pemberian suasana ini mesti disesuaikan dengan taraf

perkembangan anak. Perkembangan ini berhubungan dengan tahap-tahap

116Ibid, hlm. 31. 117Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 67. 118Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga Muslim, terj. Kathur

Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), Cet. 2, hlm. 44.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

34

umur tertentu. Hal ini perlu diketahui oleh orang tua agar mereka mampu dan

mendidik anak-anak secara benar, serta dapat menghindari kemungkinan

kesalahan yang membawa akibat tidak baik bagi perkembangan anak. Secara

umum, pola perkembangan anak adalah sebagai berikut119:

a. Masa vital (anak usia 0-2 tahun)

Masa ini merupakan masa penting bagi kelanjutan hidup jasmani

dan rohani. Dalam tahun pertama ini, anak masih sangat tergantung

dengan lingkungannya. Seorang bayi masih memerlukan perawatan yang

telaten karena kemampuannya masih terbatas pada gerak-gerak

pernyataan seperti menangis dan meraban (menggumam) tanpa makna .120

Pada masa ini anak sangat tergantung pada ibu. Bisikan-bisikan

kalbu seorang ibu akan memberikan efek psikologis pada anak. Bahkan

pemberian ASI pun memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk

aspek jasmaniah, emosional dan sosial kehidupan anak.

Secara psikologis dan sosial, pemberian ASI ini dapat

menimbulkan rasa kehangatan, kasih sayang dan ketentraman pada anak

ketika sedang berada di pangkuan ibunya. Inilah moment pertama dari

interaksi sosial. Suatu perasaan tentram, hangat dan kasih sayang yang

dialami oleh anak.121

Pada masa ini anak telah dapat meniru hal-hal kecil yang

dilihatnya. Suatu percobaan yang telah dilakukan oleh Peugeut (dalam

Mahmud) membuktikan bahwa anak pada umur 9 dan 11 bulan ketika

dicoba agar meniru gerak mata dibuka dan ditutup ternyata anak

menirunya dengan menutup dan membukanya.122

Hal ini oleh karena pada masa ini anak dapat (meskipun masih

sangat terbatas) merasakan sikap, tindakan dan perasaan orang tua. Maka

anak akan mulai mengenal Tuhan dan agama melalui orang-orang dalam

119Periodisasi ini mengikuti periodisasi menurut Kohnstam dalam Mustaqim, Psikologi

Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 2, hlm. 16. 120Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4,

hlm. 117 121Mahmud, op.cit., hlm. 148. 122Ibid, 148.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

35

lingkungan sekitarnya. Kata Allah yang mulanya mungkin tidak menjadi

perhatiannya lama kelamaan akan menjadi perhatiannya dan anak akan

ikut mengucapkannya setelah ia mendengar kata Allah itu berulang kali

dalam berbagai keadaan, tempat dan situasi. Apalagi ketika ia melihat

raut muka ibunya yang penuh kesungguhan ketika berucap kata Allah

dengan begitu, perhatian anak akan bertambah.123

Dengan demikian nampak bahwa pada masa ini, anak dapat

dididik dengan nasehat dan pembiasaan. Adapun materinya masih berupa

pengenalan-pengenalan baik terhadap Allah maupun terhadap orang-

orang di sekitarnya (sosialisasi). Hal ini merupakan bekal bagi anak.

b. Masa estetis (anak usia 2-7 tahun)

Masa ini disebut masa estetis karena pada masa ini anak sangat

menghajatkan (membutuhkan, suka akan) keindahan, suasana yang

menggembirakan dirinya. Suasana ini penting dalam kehidupan agama

anak. Karena kesan yang indah, menggembirakan dan tenang dalam jiwa

anak akan membawa perasaan cinta mereka kepada agama pada masa

dewasanya kelak.124

Pada masa ini anak sudah mulai senang terhadap fantasi

(imajinasi). Mereka menyenangi kreasi yang bersifat fantasi baik dalam

mendengar cerita ataupun menciptakan sesuatu secara sederhana.125 Maka

penting bagi orang tua menyuguhkan cerita-cerita teladan bagi anaknya

untuk mendorong anak agar meniru perilaku tokoh kisah itu.

Selain itu, yang terpenting bagi orang tua agar anak diperkenalkan

dan dibiasakan dengan suasana kehidupan religius di rumah. Kedua orang

tua mengaji al-Quran atau berdzikir pada saat anak masih tidur; suara ini

akan direkam dalam dunia anak. Atau bisa juga dengan menunjukkan

perhatian kepada suara adzan (misalnya dengan menjawab adzan),

mengajar mengaji kepada kakak si bayi atau di dekat tempat tidur bayi

123Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. 17, hlm. 127. 124Arifin, op.cit., hlnm. 51. 125Jalaluddin, op.cit., hlm. 118.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

36

merupakan suatu metode yang cukup efektif dalam memperkaya rekaman

sang bayi, bahkan meningkatkan intensitas kedekatan kepada Allah.126

Berbagai nazham yang biasa diucapkan kedua orang tua berulang

kali dan diperdengarkan langsung bahkan melalui kaset atau suara orang

lain, merupakan hal yang baik bagi anak. Suara dan isi nazham tersebut

akan direkam pula dalam khazanah nurani anak. Dekorasi kamar dan

berbagai ruangan dalam rumah dengan berbagai lafadz ayat al-Quran

akan menjadi katalisator terciptanya suasana religius dalam rumah.127

Pada masa ini kemampuan komunikasi anak semakin baik. Hal ini

mendorong mereka untuk semakin intensif melontarkan pertanyaan-

pertanyaan yang mengusik alam pikiran mereka. Karena menyukai fantasi

dan hal-hal yang estetis dan menggembirakan, penting bagi orang tua

untuk mendidik mereka dengan cara belajar sambil bermain. Hal ini dapat

diwujudkan melalui kebiasaan mencuci tangan yang dipimpin oleh ayah

dengan perkataan yang halus. Hal ini penting sebab, anak pada masa ini

bersifat sugestibel (mudah dipengaruhi) terutama jika dengan cara yang

baik dan ramah. 128

Jadi pendidikan akhlak dalam masa ini dapat diwujudkan melalui

contoh, teladan, tingkah laku yang baik bahkan juga dapat diwujudkan

dalam bentuk cerita-cerita teladan dan permainan.. Adapun materinya

adalah lanjutan dari masa vital. Artinya masih seputar sosialisasi

lingkungan dan agama akan tetapi taraf sosialisasinya (hal-hal yang

disosialisasikan) lebih berkembang (banyak).

c. Masa intelektual (anak usia 7-13 tahun)

Pada masa ini anak mulai mengembangkan intelektual dan rasa

sosialnya. Maka dari itu perlu bagi anak suatu bimbingan untuk

kecerdasan serta sikap sosial sebaik-baiknya. Pada masa ini pula anak

126Djawad Dahlan,”Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 0-5 Tahun dalam

Keluarga” dalam Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 3, hlm. 90.

127Ibid, hlm. 91. 128Jalaluddin, op.cit., hlm. 119.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

37

sudah memiliki kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan. Selain itu

mereka sudah memiliki keserasian untuk bergaul dengan anak-anak lain

dan menganggap mereka sebagai teman yang memiliki hak yang sama;

bahkan, anak sudah mempunyai kecenderungan terhadap kebutuhan akan

pengetahuan untuk memperluas lingkungan hidupnya.129

Maka, pendidikannya dapat berupa pemberian perhatian atas

keseharian anak; pergaulannya dan aktivitasnya. Hal ini dapat diwujudkan

dengan pengarahan dan bimbingan terhadap perilaku anak agar dapat

menghormati orang lain (menjaga akhlak terhadap sesama). Sehingga

akan terbentuk sosok anak yang mampu bergaul dengan baik.

Disamping itu, pendidikan pada masa ini lebih dititikberatkan

pada pembentukan disiplin. Anak dibiasakan untuk mentaati peraturan

dan penyelesaian tugas-tugas atas dasar tanggung jawab.130

Adapun bentuknya bisa berupa pendidikan shalat untuk menjaga

akhlak terhadap Allah sekaligus akhlak terhadap diri sendiri dan sesama.

Akhlak terhadap Allah ini artinya melalui shalat, anak diajak untuk

belajar tentang kewajibannya sebagai seorang muslim yang mesti

menyembah kepada Pencipta; akhlak terhadap diri ini, artinya anak diajak

untuk belajar tentang hak dan kewajibannya sebagai seorang muslim yang

mesti menyembah Tuhannya, disamping itu, shalat juga sebagai ajang

bagi diri untuk melatih kedisiplinan dengan menjaga waktu dan

kebersihan; kemudian akhlak terhadap sesama ini, artinya apabila shalat

dilakukan secara berjamaah maka anak akan dilatih untuk bersosialisasi

terhadap masyarakat dan orang-orang di sekitarnya.

Maka bentuk pendidikannya diwujudkan melalui pemberian

perhatian dan pengawasan serta praktek. Artinya nilai pendidikan yang

tengah diajarkan langsung dipraktekkan dengan pengawasan dan

perhatian orang tua secara langsung.

129Ibid., hlm. 127. 130Ibid, hlm. 129.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

38

d. Masa sosial (anak usia 13-21 tahun)

Masa ini merupakan masa peralihan dari suatu kondisi kanak-

kanak ke kondisi remaja bahkan dewasa yang independen (mandiri).

Masa ini ditengarai dengan kuatnya dorongan untuk hidup bermasyarakat

dan adanya tanda-tanda perubahan pada anggota tubuh.131

Masa ini merupakan masa dimana emosi anak mengalami

ketidakstabilan. Hal ini dapat mendorong mereka untuk berbuat kekerasan

bahkan pengrusakan atau bisa jadi justru mendorong mereka untuk

berbuat yang lebih baik lagi; sebuah tindakan susila. Pada masa ini pula

mereka mulai tertarik pada masalah kemanusiaan dan keagamaan.132

Namun hal ini justru dapat membuat mereka semakin goyah atas

ketidaksamaan antara ide dan realita. Starbuck dalam Jalaluddin

menyatakan bahwa anak pada masa ini mengalami pertumbuhan pikiran,

mental dan sosial serta timbul pula minat terhadap masalah-masalah yang

berhubungan dengan moral serta ibadah.133

Hal ini dipandang sebagai sebuah peluang bagi upaya pendidikan

akhlak agar dapat membantu mereka menghadapi gejolak batin mereka.

Adapun upaya pendidikan ini dilakukan dengan dialog dan diskusi serta

memposisikan mereka sejajar (tidak menganggap mereka sebagai anak-

anak lagi).134

Maka bentuk pendidikan akhlak pada masa ini diwujudkan

melalui dialog dan diskusi mengenai banyak hal yang lebih real (sesuai

dengan kenyataan yang tengah terjadi) dengan tetap berpegang pada

norma-norma agama; agar terbentuk sosok yang idealis sekaligus realis.

Sehingga menjadi figur muslim yang mampu menempatkan posisinya

sebagai muslim yang bertakwa yakni muslim yang tidak sekedar

menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah akan tetapi takwa di

131Abdul Aziz Abdul Malik, Mendidik Anak Lewat Cerita, terj. Syarif Hade Masyah, dan

Mahfud Lukman Hakim, (Jakarta: Mustaqim, 2005), Cet. 6, hlm. 27. 132Jalaluddin, op.cit., hlm. 136. 133Ibid. 134Ibid, hlm. 134.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

39

sini sebagaimana Toto Tasmara mengartikan bahwa manusia yang

bertakwa adalah manusia yang bertanggung jawab yang senantiasa

menunjukkan amal prestatif yang dilakukan dengan penuh rasa cinta di

bawah semangat pengharapan ridha Allah.135

Maka bentuk pendidikannya dilakukan dengan diskusi dan dialog

dengan materi seputar masalah-masalah yang tengah terjadi. Dengan

menggunakan landasan agama sebagai paradigma dalam melihat dan

membahas materi-materi tersebut.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak

dalam keluarga merupakan upaya orang tua menanamkan serta

menumbuhkembangkan potensi baik (akhlak) pada diri anak agar tumbuh

dalam diri anak sifat-sifat akhlak yang baik dan menjadikannya sebagai

sebuah kebiasaan baik; dalam hubungannya terhadap Khalik maupun

terhadap makhluk. Pendidikan ini dapat dilaksanakan melalui dua tahap

yakni tahap pra kelahiran anak dan tahap pasca kelahiran anak. Adapun

bentuk-bentuk pendidikannya disesuaikan dengan taraf perkembangan

anak.

135Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. 1, hlm. 2.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

40

BAB III

I. PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI TENTANG

TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA

A. Biografi Ismail Raji al-Faruqi

1. Sejarah Hidup dan Riwayat Pendidikan Ismail Raji al-Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina; yang dilahirkan

pada 1 Januari 1921.136 Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd

al-Huda al-Faruqi), seorang hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan

sarjana Islam dan juga dari masjid setempat. Pada tahun 1926 al-Faruqi mulai

bersekolah di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah biara

yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus

pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di sekolah ilmu seni dan

pengetahuan pada The American University di Beirut dan mendapat gelar

sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941.

Tahun 1948 Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi. Kondisi ini

mengharuskan al-Faruqi dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan

terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat. Di sana, al-Faruqi mendaftarkan diri

di Indiana University’s Graduate School of Arts and Sciences dan

memperoleh gelar MA di bidang filsafat. Tahun 1951, al-Faruqi menerima

anugerah gelar MA di bidang filsafat dari Department of Philosophy Harvard

University. Tahun 1951, al-Faruqi mengajukan tesisnya yang berjudul

Justifying the Good Metaphysics and Epistemology of Value (Justifikasi

Kebenaran: Metafisika dan Epistemologi Nilai) pada Indiana University di

Blomingtoon dan berhasil menerima gelar Ph.D pada 1952. Awal tahun 1953,

al-Faruqi dan istrinya tinggal di Syria kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk

mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar, Kairo dan

berhasil memperoleh gelar Ph.D.137

Kini Ismail Raji al-Faruqi telah tiada. Tanggal 27 Mei 1986 al-Faruqi

tewas mengenaskan karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi)

136M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), Cet. 1, hlm. 13.

137Ibid, hlm. 14-16.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

41

di kediamannya di Wyncote, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kematiannya

diduga akibat suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat

Afro-Amerika dan para imigran muslim serta kritiknya pada zionisme-

Israel.138

2. Aktivitas Ilmiah Ismail Raji al-Faruqi

Segera setelah lulus (1941-1945), al-Faruqi menempuh karir

pemerintahan di negerinya dan menjadi seorang Register of Cooperative

Societies di bawah mandat pemerintahan Inggris di Jerusalem. Selanjutnya al-

Faruqi menjabat sebagai gubernur wilayah Galilee pemerintahan Palestina.

Tahun 1958, al-Faruqi diundang sebagai dosen tamu bidang studi

Islam di Mc Gill University’s Institute of Islamic Studies sekaligus menjadi

mahasiswa tingkat doktoral sebagai penerima Rockefeller Foundation

Fellowship (1959-1960) pada Fakultas Teologi dengan spesialisasi Kristen-

Yahudi. Dari Mc Gill inilah al-Faruqi bergabung dengan the School of

Divinity sebagai peneliti di bidang Christianity and Judaism dan

menghasilkan karya Christian Ethics. Lewat karyanya ini al-Faruqi

menjelaskan perlunya dialog antara Kristen-Islam agar tidak terjadi

ketegangan diantara mereka serta terciptanya perilaku etis dalam kehidupan

demi terpenuhinya tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai manusia dalam

spektrum dunia.139

Karir profesionalnya sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat

Riset Islam di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur

Rahman (1961-1963). Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam

bidang sejarah agama di Fakultas Teologi Universitas Chicago dan pada

tahun itu pula al-Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai

guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas Syracuse.140 Dan mulai

1968 al-Faruqi mengabdi di Fakultas Agama Universitas Temple sebagai staf

pengajar penuh.

138M. Shafiq, op.cit., hlm. 1. 139Ibid, hlm. 23-26. 140John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj

Sugeng Hariyanto, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, hlm. 264.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

42

Tahun 1965 al-Faruqi mulai mengenal dan bergabung dengan MSA

(The Moslem Students Association). Di sini, al-Faruqi semakin intens untuk

mendalami ilmu-ilmu keislaman dan memperkuat keinginannya untuk

mengembangkan Islam di Amerika. Dengan spirit inilah al-Faruqi bersama

dengan tokoh-tokoh MSA yang lain membentuk AMSS (The Association of

Moslem Social Scientist) pada 1972 yang memfokuskan diri pada masalah-

masalah Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial. Dan sebagai tindak lanjutnya, AMSS

membentuk IIIT (The International Institute of Islamic Thought) pada 1977;

sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang pendidikan.

Tidak hanya itu, al-Faruqi juga mengupayakan Gerakan Dakwah di

Amerika Utara bagi penduduk asli muslim melalui training pendidikan dan

keislaman pada malam hari di Sister Clara Muhammad School. Tahun 1982,

al-Faruqi juga terlibat dalam pendirian The American Islamic and College di

Chicago yang mengetengahkan studi sastra dan pendidikan Islam sebagai

program studinya; disamping keterlibatannya yang lain dalam pendirian

Universitas Islam Internasional di Islamabad dan di Kuala Lumpur.141

Disamping itu al-Faruqi juga seorang konsultan dan penguji tamu di

University of Libya, The Jami’a Milliyah Islamiyyah (India), The University

of Durban-Westville (Afrika Selatan), The National University of Malaysia,

Imam Muhammad Ibn Sa’ud University (Arab Saudi), The University of

Jordan, The University of Qatar, The University of Alexandria (Mesir), The

University of Qum (Iran), Mindanau State University (Filipina), Umm

Durman Islamic University (Sudan), Yarmuk University (Yordania), The

University of Karachi (Pakistan), Sultan Zainul Abidin Religious College

(Malaysia), dan lain-lain. Al-Faruqi juga seorang ketua The International

Scholar Committee yang bertugas menasehati pemerintah federal Malaysia.142

3. Karya-karya Ismail Raji al-Faruqi

Selain sebagai seorang pengajar, al-Faruqi adalah seorang pemikir,

cendikiawan dan filosof. Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan

141M. Shafiq, op.cit., hlm. 49-61 142Ibid, hlm. 61.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

43

sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129

karya tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya

serta 104 karya artikelnya.143 Beberapa diantaranya telah diterjemahkan ke

dalam Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi yang belum.

Karya-karyanya diantaranya On Arabism Urubah and Religion

diterbitkan di Amsterdam tahun 1962, Christian Ethics diterbitkan di

Amsterdam 1968, Historical Atlas of the Religion of the World diterbitkan di

New York 1975, Trialogue of the Abrahamic Faiths diterbitkan di Virginia

1982, Tawhid its Implications for Thought and Life diterbitkan di Kuala

Lumpur 1982, dan The Cultural Atlas of Islam diterbitkan di New York 1986.

Dari latar belakang biografi tersebut nampak figur al-Faruqi yang

tangguh karena terbentuk oleh latar belakang kehidupan yang menyertainya.

Bermula dari pendidikan dasarnya yang diperolehnya dari seorang ayah yang

mumpuni dalam masalah keislaman dilanjutkan pendidikan formalnya di

biara semakin mengasah nilai keislamannya yang inklusif. Meski pernah

merasa tersakiti oleh kaum Yahudi yang menggulirkan Zionisme, namun hal

itu justru mendorongnya untuk mempelajari Christianity and Judaism.

Di samping itu, kehidupannya di Amerika Serikat semakin

mendorongnya untuk senantiasa memegang erat norma dasar agama Islam

(tauhid). Ditambah pergulatannya dengan komunitas yang kompleks

(mahasiswa muslim imigran dari berbagai belahan dunia dengan karakter dan

budaya masing-masing) membuatnya merasa perlu mengajak mereka agar

bersungguh-sungguh dalam belajar di dunia akademis sekaligus memegang

erat norma dasar Islam (tauhid).

B. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid

Gagasan tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat

Islam yang masih tergantung pada Barat baik dalam hal produksi maupun

pertahanan diri dari intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.144

143Daftar judul buku lengkap lihat Muhammad Shafiq, op.cit., hlm. 209-222. 144Lihat kata pengantar dalam Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung:

Pustaka, 1988), Cet. 1, hlm. vii.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

44

1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Pokok Tauhid

Prihatin atas fenomena tersebut, al-Faruqi mengajak umat Islam untuk

kembali kepada asas Islam (tauhid). Secara tradisional dan dalam ungkapan

yang sederhana, tauhid menurutnya adalah:

The conviction and witnessing that there is no God but God.145 The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.146

Keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Nama Tuhan adalah Allah dan menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim.

Maka tauhid menurut al-Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya

sekedar pernyataan atas satu Tuhan akan tetapi tauhid menurutnya adalah

tauhid aktif yang senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid

berarti dzikrullah (senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan

mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah maka seorang muslim

meniadakan, menolak tuhan-tuhan lain dan hanya mengakui bahwa Allah

adalah Tuhan yang paling hak. Maka seluruh manusia adalah sama yakni

sama-sama makhluk Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang

lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula deklarasi persamaan manusia.

2. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Filosofis Tauhid

Secara detail al-Faruqi mengungkapkan tiga makna yang terkandung

dalam tauhid. Pertama, manusia sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan)

yang mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak

dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan (penghambaan)147

melalui tindakan moral (tindakan moral yang dimaksud adalah

kemerdekaan)148; yakni kemerdekaan yang memungkinkan untuk bisa

dipenuhi sekaligus di langgar.149 Artinya kemerdekaan ini menyangkut pula

145Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, (Kula Lumpur: IIIT,

1982), hlm. 11. 146Ibid, hlm. 32. 147Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 17. 148Ibid, hlm. 5. 149Ibid, hlm. 11.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

45

kemerdekaan berkehendak (free will) sekaligus kemerdekaan memilih (free

choice).150 Jadi tindakan moral ini bersifat bebas, sadar dan sukarela.151

Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih

kebahagiaan bukan keselamatan sebab Allah telah menjanjikan balasan baik

di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut harus

dilakukan sendiri oleh pribadi (diri sendiri, bukan diwakilkan orang lain)

dalam mengarungi lika-liku hidup dengan segala konsekuensi dan resikonya.

Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu

tanpa perantara (juru selamat).

Ketiga, Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya

bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada perintah-Nya.

Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari makhluk kepada

Khalik.152

3. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid Sebagai

Prinsip Islam

Dari penjabaran atas makna tauhid tersebut al-Faruqi meyakini bahwa

tauhid adalah esensi Islam yang mesti melandasi setiap gerak aktivitas umat

agar tercipta suatu tatanan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dimulai

dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah.

Pembentukan peradaban ini harus dimulai dari diri sendiri melalui

pengakuan atas eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban

beban moral) sehingga mampu melestarikan dan mengembangkan

kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Tuhan153 (yang terwujud dalam

hukum alam).154 Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam

lembaga keluarga sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu.

Ummah yang al-Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan

orang-orang sebangsa, sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi

150Ibid, hlm. 14. 151Ibid, hlm. 11. 152Ibid, hlm. 31. 153Ibid, hlm. 138. 154Ibid, hlm. 5.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

46

ummah menurutnya adalah ummah universal yang terbangun atas dasar

agama, ideologi dan merupakan suatu masyarakat universal yang

keanggotaannya mencakup ragam etnisitas sehingga terbentuk komunitas luas

yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.155

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai inti ajaran

Islam tidak sekedar dimaknai sebagai pernyataan dan pengakuan atas satu

Tuhan dan berhenti sampai di situ saja. Akan tetapi dari inti tauhid tersebut,

al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam

seluruh aspek kehidupan (pribadi dan sosial) agar kehidupan dapat berjalan

sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.

Sebuah penghambaan yang diwujudkan oleh manusia dengan

kemerdekaannya mengolah, menata dan memanfaatkan alam (kehidupan) ini

demi Ridha Ilahi.

C. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip

Keluarga

1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Makna Tauhid sebagai

prinsip keluarga

Secara umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut al-

Faruqi adalah keluarga merupakan media untuk memenuhi tujuan Ilahi

(penghambaan).156 Dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia

menikah, melahirkan keturunan dan juga hidup bersama.157

2. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan Keluarga

Menikah adalah wajib. Dengan menikah, maka pemenuhan kebutuhan

sex terwadahi. Namun, menikah yang hanya dilandasi sex semata adalah

tidak sempurna. Islam sangat menghargai kebutuhan umatnya dengan

menyediakan keluarga.

Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi adalah mereka yang terikat oleh

ikatan darah yang hidup bersama yang suasananya diliputi dengan rasa cinta,

155Ibid, hlm. 107. 156Ibid, hlm. 139. 157Ibid, hlm. 138.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

47

percaya dan peduli,158 yang terbentuk melalui suatu ikatan pernikahan antara

pria dan wanita menurut persetujuan dan tanggung jawab masing-masing

(mempelai) sesuai dengan konstitusi.159 Persetujuan atau kesepakatan tersebut

bisa berupa kesepakatan sepihak (perjodohan) ataupun kedua belah pihak.

Apabila dengan perjodohan tersebut tidak diperoleh kesepakatan bersama

maka pernikahan dapat dibatalkan; sebab kesepakatan (bersama) adalah

sebuah prasyarat penting pembentukan keluarga.160

Kesepakatan tersebut harus dinyatakan dalam akad disamping

pernyataan (ketentuan) tentang mahar yang dibayarkan (berupa perhiasan dan

atau uang kontan untuk membeli pakaian pengantin wanita atau perabot

rumah) dan juga mahar yang ditunda (berupa uang kontan atau apapun yang

dapat dibayarkan oleh pihak pria ketika bercerai); hal ini sebagai pencegah

dan penjamin keputusan seenaknya pria yang mengakhiri perkawinan.161

Dari pernyataannya tersebut nampak bahwa al-Faruqi menjunjung

tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan

antara pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan

persamaan manusia) karena keluarga tidak hanya sekedar perkumpulan

namun juga kehidupan antara pria dan wanita yang berbeda (sifat) nan rawan

terjadi ketidakcocokan serta perbedaan lain yang dapat memicu perpisahan;

sehingga dengan landasan tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi

hubungan.

3. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga besar

(Extended Family)

Keluarga (Islam) menurut al-Faruqi tidak seperti keluarga-keluarga di

negara komunis yang merampas ikatan batin sebuah keluarga karena

pengambilalihan anak dari pemerintah yang memperlakukan mereka sebagai

anak negara. Keluarga (Islam) bukan pula seperti keluarga-keluarga di negara

158Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan,

(Bandung: Mizan, 1998), Cet. 1, hlm. 163. 159Ibid, hlm. 373. 160Ibid, hlm. 184. 161Ibid.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

48

Barat yang anak-anaknya terabaikan oleh orang tuanya karena budaya

workaholic (gila kerja).

Keluarga (Islam) adalah keluarga patriarkal (pimpinan keluarga ada di

tangan pria) bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan

wanita) ataupun poliandri (seorang istri bersuamikan banyak).162

a. Arti Keluarga besar

Bentuk keluarga (Islam) adalah keluarga besar (extended family)

yang keanggotaannya mencakup tiga generasi yang meliputi ayah, ibu,

kakek, nenek, paman, bibi, cucu, serta anak-anak keturunan mereka,163

yang hidup dalam satu kompleks tempat tinggal dengan satu dapur dan

balai keluarga tempat bercengkerama sekaligus sebagai ruang tamu164;

yang berkembang menurut hukum tanggungan dan warisan.

Hukum tanggungan memandang semua wanita dalam keluarga

menjadi tanggungan kaum pria tanpa memandang status keuangan

mereka sedangkan hukum warisan memandang semua anggota keluarga

sebagai ahli waris yang beragam derajatnya; yaitu seorang pria mendapat

dua kali bagian dari wanita (2:1). Dalam hal ini, wanita adalah pihak yang

diuntungkan sebab satu bagian yang ia peroleh dapat disimpannya karena

ia telah menjadi tanggungan kaum pria; sedangkan dua bagian milik pria

mesti dibagi pada kaum wanita demi memenuhi tanggungannya

tersebut165

Selain itu, pria juga harus mencukupi seluruh kebutuhan ekonomi

para anggota keluarga karena semua kerabat (betapapun jauhnya

hubungan kekerabatannya) asal mereka dalam keadaan kekurangan dan

tidak didapati pria dewasa yang mencari nafkah menjadi tanggungan

kaum pria. Adapun kerabat yang menjadi prioritas adalah kakek, nenek,

162Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op. cit., hlm. 137. 163Ibid, hlm. 142. 164Ibid, hlm. 144. 165Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

49

paman, dan anak-anak mereka (di samping kaum wanita). Dan lebih

diutamakan kerabat yang berasal dari garis keturunan pria (patriarkal).166

b. Nilai Plus Keluarga besar

Keluarga besar dapat memberikan untuk setiap anggota keluarga

nya kemampuan mengatasi kesulitan hidup. Melalui keluarga besar ini

pula individualisme, egoisme dan kesendirian akan terhapus;167bahkan

mempermudah sosialisasi dan akulturasi sebagaimana pernyataanya:

The large membership prevented any gap from forming between the generations and facilitated the process of socialization of the members… in any household, a wild variety of talents and temperaments so that the members might complement one another and it disciplined them to adjust to one another’s needs.168

Banyaknya anggota keluarga mencegah terjadinya jurang antar generasi dan mempermudah proses sosialisasi serta akulturasi anggota keluarga… dalam rumah tangga terdapat beragam bakat dan temperamen, sehingga anggota keluarga dapat saling melengkapi dan mendisiplinkan mereka untuk saling memenuhi kebutuhan.

Keluarga besar tidak hanya menjadikan karir di dalam dan di luar

rumah tangga mungkin dilaksanakan, tetapi juga menjadikan segenap

anggota masyarakat lebih sehat dan sejahtera.

Karena dalam keluarga besar, akan selalu ada orang yang akan

memberikan perhatian kepada rumah tangga sehingga apabila sang ibu

melanjutkan karir maupun pendidikannya tidak akan merasa terbebani

dengan pengelolaan rumah tangga sebab telah ada orang di rumah.169

Bahkan akan selalu ada beberapa orang yang dapat dipilih oleh

anak untuk bermain, bercanda, berdiskusi, merenung dan berharap

bahkan mengatasi kesulitan hidup.170 Kebersamaan seperti ini penting

bagi kesehatan jiwa seseorang dan kesejahteraan masyarakat.

166Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. 167Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 168Ismail Raji al-Faruqi and Lois Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York:

Macmillan, 1986), hlm. 128. 169Ismail Raji al-Faruqi, Islam Sebuah Pengantar, terj. Luqman Hakim, (Bandung: Pustaka,

1992), hlm. 61. 170Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 144.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

50

Selanjutnya al-Faruqi menambahkan bahwa pada dasarnya

manusia membutuhkan kasih sayang, bimbingan dan keprihatinan

menolong orang lain sebanyak mereka membutuhkan makanan dan

udara.171

Karena keluarga besar memungkinkan terjadinya pemenuhan

kebutuhan pada masing-masing anggota keluarga-nya. Sebagaimana

pernyataannya:

Unlike any other social system, the law of Islam articulated the relations of all members of the extended family in order to insure proper functioning of all of them.172 Tak seperti sistem sosial lainnya Islam membicarakan pula hubungan para anggota keluarga besar untuk memastikan pemenuhan fungsi diantara mereka. Jadi keluarga besar memungkinkan terciptanya pemenuhan fungsi

seseorang atas orang lain dalam keluarga itu. Artinya jika seorang anak

memerlukan figur ibu akan tetapi karena ketiadaannya di rumah oleh

karena tuntutan karir, maka anak akan bisa mendapatkan figur ibu dari

nenek atau bibinya misalnya.

4. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tugas Pendidikan

dalam Keluarga

a. Misi Sosial

Keluarga menurut al-Faruqi mengemban misi sosial yaitu sebagai

media sosialisasi anak.173 Keluarga bertugas mempersiapkan warga

negara yang baik yakni generasi yang menjunjung tinggi sistem sosial,

budaya, politik, dan ekonomi serta ikut serta menyejahterakan masyarakat

dan membela umat bila diperlukan.174

Dan melalui keluarga besar-lah misi itu dapat terwujud sebab

keluarga besar memungkinkan terciptanya pendidikan dasar melalui

kompleksitas interaksi (misalnya interaksi antara anak dengan ayah-

171Ibid,hlm. 62. 172Ismail Raji al-Faruqi, Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, (Beltsville:

Amana Publication, 1995), Cet. 4, hlm. 49. 173Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 183. 174Ibid, hlm. 185.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

51

ibunya, anak dengan saudaranya, anak dengan kakek-neneknya dan

sebagainya) di dalamnya dimana hal ini akan mendidik anak nilai-nilai

kemasyarakatan walau dari level yang sangat kecil; karena keluarga

adalah masyarakat dalam bentuk mini.

b. Arti Pendidikan

Maka sekali lagi nampak bahwa al-Faruqi menegaskan bahwa

keluarga mengemban tugas pendidikan. Pendidikan itu sendiri oleh al-

Faruqi dimaknai sebagai:

Commanding of the good and forbidding of evil is education in highest sense. Virtue and righteousness are the ultimate end of all education in Islam.175

Memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk adalah pendidikan dalam pengertiannya yang paling tinggi. Kebajikan dan ketakwaan merupakan tujuan akhir semua pendidikan dalam Islam.

Selanjutnya pendidikan tersebut diwujudkan dalam wujud nyata

sebagaimana pernyataannya:

To assist the whole of mankind to perceive and having perceived, to actualize the values constitutive of the divine will. This is education in its noblest and greatest sense.176

Membantu seluruh umat manusia untuk memahami, dan setelah memahami mengaktualisasikan nilai-nilai yang merupakan pilar-pilar kehendak Ilahi. Inilah makna pendidikan yang paling tinggi.

c. Pendidikan Awal

Orang tua menurut al-Faruqi wajib memberikan pendidikan dasar

sejak anak menghirup udara pertama kalinya. Pendidikan itu berupa

pembacaan syahadat ke telinga anak yang baru lahir, nama (Islam) yang

bagus, rukun Islam, cara membaca al-Quran, serta khitan.177 Tegasnya

orang tua harus mendidik anaknya tentang ritual Islam serta hukum dan

etika Islam dan tentang menjadi bagian dari umat.178

175Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid its Implications for Thought and Life, op.cit., hlm. 202 176Ibid, hlm. 120. 177Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 178Ibid.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

52

d. Pemberian Suasana

Interaksi-edukatif ini terwujud dalam bentuk mencintai,

mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong dan

menemani179 Interaksi (suasana edukatif) tersebut oleh al-Faruqi

ditujukan sebagai upaya akulturasi ke dalam Islam dan sosialisasi ke

dalam umat yang dimulai dengan nasehat dan pemberian contoh yang

baik serta sikap yang tegas dalam menghadapi anak yang berbuat

kesalahan.180

Interaksi itu penting untuk membentuk watak anak. Sebagaimana

pernyataannya:

Certainly family-living engenders in humans other characteristics which are acquired through association….Members born to one family may successfully be brought up as members of another but the innate characteristics remain unchanged.181

Memang kehidupan keluarga menyebabkan pada diri manusia karakter atau watak yang diperolehnya melalui pergaulan…. Seseorang yang terlahir dalam sebuah keluarga bisa jadi berhasil dididik menjadi orang lain tetapi tetap karakter bawaannya tak akan dapat diubah.

5. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin

a. Arti Tabyin serta Materinya

Tugas pendidikan itu, oleh al-Faruqi; disebut dengan tabyin; yaitu

pendidikan mengenai akulturasi dan kebenaran Ilahi.182 Adapun upaya

tabyin dapat dilakukan melalui pengajaran atas ritus dan hukum Islam,

nilai-nilai dan etika Islam serta menjadikan nilai Islam tersebut sebagai

petunjuk hidup bahkan gaya hidup demi kesetiaan pada Allah dan

umat.183

Tabyin menurut al-Faruqi adalah kewajiban bagi setiap manusia

terlebih lagi bagi orang tua dan generasi muda. Gerakan tabyin ini

179Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 139. 180Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, loc.cit. 181Ismail Raji al-Faruqi, Trialogue of the Abrahamic Faiths, loc.cit. 182Ismail Raji al-Faruqi, Hakikat Hijrah, terj. Badril Saleh, (Bandung: Mizan, 1993), Cet. 3,

hlm. 59. 183Ibid, hlm. 60.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

53

merupakan gerakan untuk membentuk generasi-generasi Islam; yakni

generasi yang tetap dengan kondisi jiwa kepemudaannya namun tetap

dalam jalur Islam. Adapun program-programnya mesti disusun secara

seksama untuk mempercerah dan mengembangkan rasa keislaman serta

menumbuhkan generasi muda sebagai manusia yang mantap.184

Adapun materinya dapat dimulai dengan sejarah budaya masa

lalu, negara dan lingkungan (Islami) berikut permasalahan dan

prospeknya. Program ini mesti dirancang untuk membebaskan kaum

muslim dari kesibukan kehidupan keseharian dan mengisinya dengan

semangat meraih cita-cita mulia untuk menyingkirkan budaya

kekerasan.185

b. Metode Tabyin

Program tabyin ini ditujukan untuk mendidik pikiran dan hati.

Pendidikan pikiran dilakukan melalui penjelasan tentang nilai-nilai Islam

dalam bentuk diskusi. Materi-materi seputar superioritas Islam menjadi

kajian utamanya. Melalui diskusi tersebut al-Faruqi menghendaki agar

nilai-nilai Islam dapat terealisir dalam kehidupan.186

Sedangkan pendidikan hati dilakukan melalui keteladanan bukan

dengan konsep (teori). Hati menurut al-Faruqi bersifat emosional maka

hati perlu dididik dengan lembut melalui penciptaan suasana ketundukan

(tawadhu’) sehingga perlahan akan meresap dalam hati dan memacu

imajinasi anak untuk mencipta suatu pola laku yang Ilahiah

(mengabdi).187

Untuk itu diperlukan pemimpin (imam) yang tangguh dalam

mewujudkan program tabyin tersebut. Imam dalam hal ini terbentuk

dalam sebuah keluarga besar yang melakukan pendidikan internal

keluarganya sekaligus melakukan komunikasi-interaktif dengan keluarga

lainnya.

184Ibid, hlm. 61 185Ibid, hlm. 62. 186Ibid, hlm. 63. 187Ibid, hlm. 65.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

54

Upaya komunikasi-interaktif ini dapat diwujudkan melalui

kunjungan atau melalui pertemuan setiap seminggu sekali untuk

berdiskusi tentang sejarah dan adab, literatur ushul fiqh, serta hadits-

hadits pilihan. Keberhasilan pertemuan ini mensyaratkan adanya apresiasi

imam yang lebih tinggi (ilmunya) atas imam yang lain, profesionalitas

serta penghormatan atas yang lain.188

Selanjutnya agar program tabyin tersebut dapat berhasil maka

perlu diwujudkan dalam bentuk al-arkan untuk mengorganisir pertemuan

antar keluarga tersebut dan mengokohkan pemahaman atas nilai-nilai

Islam sehingga terwujud kehidupan yang etis berdasarkan hukum

Islam.189

6. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah Tangga

Seorang istri menurut al-Faruqi diperbolehkan berkarir di luar rumah

dengan catatan agar tetap menjaga citra diri (menutup aurat) karena pada

dasarnya Islam tidak mengungkung kaum wanita di balik cadar dan dinding

rumah tinggalnya.190

Wanita yang memiliki kecenderungan, bakat dan kecerdasan dapat

bekerja di luar rumah tanpa mengancam jiwa anak-anak ataupun

keharmonisan dan keindahan rumah tangga.191

Bahwa setiap wanita seperti juga pria harus melaksanakan tugas

mengabdi kepada Allah dan memberi manfaat kepada ummah sesuai dengan

bakat dan kemampuannya. Tugas ini bertambah wajib dikarenakan

kemerosotan dan kemandegan ummah. Fenomena ini kemudian dicontohkan

oleh al-Faruqi dengan timpangnya persentase orang-orang buta huruf

dibanding yang melek huruf.192

Keadaan ini menuntut setiap wanita muslim untuk berkarir paling

tidak dalam sebagian dari masa hidupnya. Hal ini dapat dilakukan apabila ia

masih dalam masa studinya atau selama ia bertugas sebagai ibu rumah tangga

188Ibid, hlm. 68. 189Ibid, hlm. 69. 190Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 141. 191Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, op.cit., hlm. 184. 192Ibid, hlm. 159.

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

55

jika ia hidup dalam keluarga besar (karena akan selalu ada orang yang dengan

senang hati mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan mengawasi dan

menjagakan anak-anak selagi mereka sibuk di luar rumah).193atau setelah

masa keibuannya.194

Masa setelah keibuannya ini maksudnya saat anak-anaknya sudah

dewasa (sekitar umur 20-30 tahun) sehingga tugas pengasuhan sudah

berkurang atau bahkan telah terpenuhi atau tuntas sehingga pada masa ini

seorang ibu lebih banyak memiliki waktu luang yang dapat dipergunakannya

untuk berkarir.195

Selanjutnya al-Faruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita

karir sejati. Tugas dalam rumah tangga adalah sebuah pekerjaan yang

menuntut ilmu pendidikan yang sama atau bahkan lebih tinggi dari karir

apapun di luar rumah. Pekerjaan ini bukan hanya sekedar memasak dan

mengerjakan pekerjaan rumah tangga saja, namun karir ini menyangkut tugas

perawatan manusia tua dan muda, kecerdasan seni, kreatifitas, ketrampilan

dan pengalaman.196

Kompleks, memang pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid

sebagai prinsip keluarga. Mulai dari perjodohan, menikah, akad nikah,

warisan dan tanggungan, perceraian, sampai kepada kedudukan istri; seorang

ibu rumah tangga (yang oleh al-Faruqi sebut sebagai wanita karir sejati)

sebagai mitra sejajar suami dalam mendidik anak, maupun suami sebagai

pemegang tanggung jawab (finansial) tertinggi dalam keluarga. Serta gagasan

umumnya mengenai keluarga besar dan keluarga patriarkal dan juga tugas-

tugas pendidikan bagi anak yang diemban keluarga (orang tua).

Keseluruh gagasan tersebut semata-mata adalah penerjemahan atas

tauhid. Keluarga sebagai media pemenuhan tujuan pola Ilahi (pengabdian)

mensyaratkan tauhid sebagai dasar aktivitas dalam keluarga. Suasana

pendidikan (seperti mencintai, mendukung dan sebagainya) serta pendidikan

awal (seperti kumandang azan, nama Islami dan sebagainya) merupakan

193Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, op.cit., hlm. 143. 194Ibid, hlm. 145. 195Ibid. 196Ibid.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

56

penjabaran awal makna pendidikan yang al-Faruqi ajukan. Sebuah tugas

pendidikan yang tidak hanya diemban oleh orang tua saja namun juga

anggota keluarga yang lain (yang merupakan bagian dari keluarga besar). Hal

ini sebagai konsekuensi (kewajiban) atas hak pemenuhan kebutuhan mereka

(hukum tanggungan dan warisan).

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

57

BAB IV

IMPLEMENTASI PEMIKIRAN ISMAIL RAJI AL-FARUQI

TENTANG TAUHID SEBAGAI PRINSIP KELUARGA

DALAM PENDIDIKAN AKHLAK

A. Kaitan Antara Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai

Prinsip Keluarga dengan Pendidikan Akhlak

Tauhid merupakan inti ajaran Islam yang menjadi prinsip hidup. Ini

berarti tauhid merupakan prinsip utama dalam seluruh dimensi kehidupan

manusia baik dalam aspek hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan

maupun hubungan horisontal antara manusia dengan manusia. Tauhid yang

seperti inilah yang dapat menyusun pergaulan manusia secara harmonis dengan

sesamanya dalam rangka menyelamatkan manusia dari perbudakan atas

ketundukan manusia terhadap makhluk serta untuk mencapai kehidupan yang

sejahtera dan bahagia dunia-akhirat. Baik pergaulan dalam masyarakat maupun

keluarga.

Sebab tauhid mengandung dua dimensi sekaligus yakni normativitas

akidah dan praktis sosial. Tauhid bukan hanya sekedar kepercayaan keagamaan

atau urusan seseorang dengan Tuhan sebagai sumber akhir dari pembebasan dan

perlindungan di dunia dan akhirat tetapi juga prinsip persamaan sosial seluruh

umat sebagai satu masyarakat yakni makhluk Allah.197

Bahkan lebih dari itu, tauhid merupakan sumber kehidupan jiwa dan

pendidikan kemanusiaan yang tinggi. Tauhid memberi pendidikan pada jiwa

manusia untuk ikhlas. Dengan tauhid manusia yakin bahwa ia senantiasa diawasi

oleh Allah. Dan keikhlasan itu sendiri adalah tujuan hidup untuk mencapai ridha

Ilahi (pengabdian). Maka pada akhirnya pendidikan ini dapat membebaskan

manusia dari belenggu perbudakan oleh sesama, nafsu, harta dan kedudukan

sehingga akan tertutup oleh penghambaan semata.198

Makna inilah yang diungkapkan oleh al-Faruqi dalam menerjemahkan isi

tauhid. Tauhid sebagai pandangan hidup perlu diterjemahkan ke dalam

197Hakeem Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, terj. Ruslan Shiddieq, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. 1, hlm. 40.

198Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1984), Cet. 7, hlm. 42.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

58

kehidupan agar hidup menjadi lebih bermakna. Esensi tauhid oleh al-Faruqi

diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip utama dalam setiap aspek kehidupan

seperti aspek ekonomi, etika, sejarah, keluarga dan sebagainya. Upaya

perealisasian tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata melalui media. Dan

keluarga adalah salah satu media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid.

Pemahaman al-Faruqi atas tauhid ini lebih diarahkan kepada aspek fungsi

sosiologis. Artinya makna tauhid dijadikan prinsip spiritual bagi usaha manusia

membangun peradaban baru yang agung dan kemanusiaan yang mulia.199

1. Kaitan Antara Tauhid dan Keluarga

Keluarga menurut al-Faruqi merupakan media penerjemahan tauhid

artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai tauhid (dzikrullah

dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk mensosialisasikan

kandungan tauhid. Atau dalam bahasa lain, Ramayulis sebut dengan tauhid

sebagai energi akhlak keluarga. Artinya tauhid sebagai pokok daya kerja yang

utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga,

masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak

didasarkan pada perasaan ataupun insting batin tetapi pada tauhid.200

Maka jelas apabila nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi

landasan dalam keluarga sebab keluarga mengemban tugas sebagai peletak

dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan .201 Keluarga

juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti

kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tinggi.202

Jadi tauhid sebagai landasan dalam kehidupan keluarga untuk

mempersiapkan anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan

akhlak. Sebuah pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat

199A. Tafsir, et. al. Moralitas al-Quran dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media,

2001), cet. 1, hlm. 184. 200Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), Cet. 4,

hlm. 10. 201Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),

Cet. 1, hlm. 38. 202Ibid, hlm. 39.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

59

baik dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap

perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya.

2. Kaitan Antara Tauhid dan Akhlak dalam Keluarga

Bentuk real tauhid adalah akhlak atau dalam bahasanya Burhanudin

Salam akhlak merupakan kristalisasi dari Tauhid; sedangkan akhlak

merupakan suatu pola hubungan yang mengandung relasi hak-kewajiban. 203

Burhanuddin Salam menyatakan bahwa prinsip-prinsip akhlak

merupakan prasyarat pembinaan keluarga sejahtera; akhlak ini diwujudkan

melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang

tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan kewajiban antara suami

terhadap istri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya.204

Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran al-Faruqi tentang tauhid

sebagai prinsip keluarga berkaitan dengan pendidikan akhlak. Keluarga

sebagai media edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya

memerlukan tauhid sebagai landasannya. Dan landasan ini dapat berpijak

pada pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.

B. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai

Prinsip Keluarga dalam Pendidikan Akhlak

1. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pembentukan

Keluarga

Mengawali gagasan tauhidnya sebagai prinsip keluarga, al-Faruqi

mengkategorikan pernikahan sebagai suatu hal yang wajib terlebih di dunia

yang kini cenderung bebas dalam pemenuhan kebutuhan sex (budaya sex

bebas). Menikah sebagai anjuran Islam dalam menanggapi kebutuhan

biologis umatnya.

Dari sini dapat diketahui bahwa kewajiban menikah merupakan suatu

bentuk pengakuan tauhid atas akhlak manusia terhadap diri sendiri yakni

akhlak yang mencakup penjagaan kesucian diri dan mengumbar nafsu.

203Burhanuddin Salam, Etika Individual, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), Cet. 1, hlm. 196. 204Ibid, hlm. 192.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

60

Melanjutkan gagasan mengenai anjuran menikah tersebut, al-Faruqi

menganjurkan perjodohan sebagai langkah awal pernikahan; meski

selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan bersama sebagai syarat

mutlak pernikahan.

Perjodohan ini merupakan suatu bentuk awal pendidikan bagi

individu baru (anak). Dalam perjodohan biasanya dilakukan seleksi atas

seseorang untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Hal ini dimaksudkan

sebagai langkah awal pemilihan bibit, bebet, dan bobot sehingga diharapkan

benih dan buah yang baik pula.

Mahmud menyatakan bahwa, pemilihan pasangan yang didasarkan

pada agama dan akhlak yang baik; merupakan langkah awal dalam

mempersiapkan diri untuk pengasuhan anak agar masa depan nya menjadi

baik dan shaleh.205

Dengan demikian nampak bahwa al-Faruqi menganjurkan perjodohan

semata-mata hanya untuk menjaga kemurnian dan kesucian untuk

mendapatkan anak yang baik sesuai keturunan awalnya sehingga anak akan

benar-benar mendapatkan pendidikan dari orang yang terbaik sebab

permulaan yang baik diharapkan berbuah baik pula.

Selanjutnya al-Faruqi mensyaratkan kesepakatan sebagai syarat

mutlak pernikahan. Kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa pria dan

wanita sederajat. Sebuah kesepakatan menunjukkan bahwa setiap manusia

mengemban tanggung jawab masing-masing. Dengan menyatakan

kesepakatan tersebut, berarti ketika seorang memutuskan untuk menikah

maka secara otomatis akan teremban di pundaknya sebuah beban dan

tanggung jawab untuk hidup bersama, dan berkomitmen dengan segala

konsekuensinya.

Maka dengan kesepakatan tersebut nampak bahwa al-Faruqi

mengakui (menjaga) akhlak pribadi yang memiliki tanggung jawab

menentukan masa depannya dengan segala konsekuensinya. Konsekuensi

205Mahmud, “Pola Asuh Anak pada Keluarga Islam”, dalam A. Tafsir et. al., Cakrawala

Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), Cet. 1, hlm. 135.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

61

untuk memadukan dua perbedaan karakter sekaligus melaksanakan tugas

pengabdian yang kemudian diwujudkan dalam pendidikan dalam keluarga.

Suatu pendidikan awal sebagai bekal anak kelak.

Dengan kesepakatan ini; maka diharapkan akan muncul rasa tentram

dan cinta kasih antara suami istri dalam rumah tangga. Suasana ini

merupakan langkah awal mempersiapkan lingkungan yang baik bagi

pendidikan anak; baik yang dikandung maupun yang sudah lahir. Karena

keluarga berfungsi sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak.

Maka bentuk implementasi pembentukan keluarga menurut al-Faruqi

dalam pendidikan akhlak adalah gagasan pembentukan keluarga tersebut

diposisikan sebagai dasar dibentuknya sebuah keluarga. Artinya gagasan al-

Faruqi tersebut dipegang sebagai dasar membentuk sebuah sebuah keluarga.

2. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pendidikan

Awal

Al-Faruqi menyatakan bahwa pendidikan awal yang wajib diberikan orang

tua kepada anaknya adalah pembacaan syahadat setelah anak lahir, serta

nama (Islam) yang bagus.

Mencermati kandungan pendidikan awal tersebut, maka nampak

bahwa al-Faruqi memperhatikan betul nilai awal yang mesti masuk dalam

jiwa anak. Adzan oleh al-Faruqi dikategorikan sebagai kewajiban orang tua

bagi anaknya. Inilah sebuah perwujudan akhlak orang tua terhadap anak.

Dengan memperdengarkan suara adzan dan iqomat sebagai suara

yang paling awal diperdengarkan, maka diharapkan kandungan lafadz-lafadz

itulah yang akan mempengaruhi perkembangannya.

Hal ini sejalan dengan teori responsifnya Freud yang dikembangkan

oleh Lee Salk dan Rita Kramer yang menjelaskan bahwa setiap suara yang

didengar bayi pada saat awal ia terjun ke dunia akan sangat mempengaruhi

sikap jiwa, pertumbuhan intelektual dan tingkah lakunya. Demikian Mahmud

mengutip teorinya Freud.206

206Mahmud, op.cit., hlm. 145.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

62

Maka nilai pendidikan dari pengucapan kalimat syahadat merupakan

materi sekaligus metode pendidikan akhlak terhadap Khalik dan Rasul atas

diri anak, sehingga diharapkan kalimat tersebut meresap dalam kalbu dan

akan mewarnai kehidupannya kelak. Bahwa setiap manusia mempunyai

Tuhan Sang Maha Tahu yang akan hadir dan mengawasi setiap gerak

manusia. Disamping itu, seorang muslim memiliki Rasul sosok teladan untuk

setiap aktivitas kesehariannya. Maka hal ini merupakan sebuah materi

pendidikan akhlak yang diberikan secara langsung dan bersifat dogmatis.

Adapun materi pendidikan ini lebih layak diberikan pada anak pada masa

vital (usia 0-2 tahun). Hal ini sebagai dasar penanaman pada anak tentang

Tuhan.

Aspek-aspek pendidikan awal tersebut adalah dasar dari pendidikan

akhlak. Artinya melalui adzan dan nama baik merupakan materi sekaligus

metode pendidikan akhlak dalam keluarga; kesemuanya adalah nilai-nilai

yang berujung kepada Allah dan akan bermuara pada manusia. Maka

pendidikan awal tersebut merupakan nilai pertama yang menjadi materi

utama bagi anak agar meresap dalam jiwanya nilai-nilai pokok Islam

sehingga mewarnai kehidupannya kelak.

Maka bentuk implementasi pendidikan awal menurut al-Faruqi dalam

pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai suatu

kewajiban orang tua terhadap anaknya. Sebuah kewajiban yang mesti

diberikan bagi bayi untuk melaksanakan syiar Islam. Sebuah syiar tentang

tauhid agar anak terdogma dengan ajaran tauhid; sebuah langkah awal

pengenalan terhadap Allah agar anak senantiasa dekat dan patuh pada

perintah-Nya. Inilah sebuah dasar pendidikan akhlak bagi anak. Pendidikan

akhlak terhadap Khalik.

3. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Pemberian

Suasana

Suasana yang bernilai edukatif ini diantaranya seperti mencintai,

mendukung, menghibur, menuntun, mendidik, menolong dan menemani.

Suasana seperti mencintai dan menghormati ini pun termasuk nilai

pendidikan. Ibnu Musthafa menyatakan bahwa pelajaran pertama yang

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

63

diperoleh oleh seorang manusia adalah mencintai, menghormati, mengabdi,

menaruh kesetiaan dan taat beribadah serta melaksanakan nilai-nilai moral.

Kesemuanya itu merupakan bunga-bunga mekar dari sebuah keluarga yang

akan menciptakan keindahan dan keserasian dalam masyarakat dan yang

memungkinkan manusia berjalan seiring dengan manusia lainnya dalam jagat

raya ini. Jika pelajaran semacam itu tidak diperoleh dari sebuah keluarga

muncullah manusia kontradiktif yang saling mencurigai dan menjatuhkan.207

Sebab keluarga menurut Mahmud merupakan kelompok sosial

pertama dalam kehidupan sosial. Di dalam kelompok ini terbentuklah norma-

norma sosial berupa frame of reference dan sense of belonging. Di dalam

keluarga manusia pertama kali belajar memperhatikan keinginan-keinginan

orang lain. Pengalaman berinteraksi dalam keluarga akan menentukan

tingkah laku dalam kehidupan sosial di luar keluarga.208

Untuk itu, dalam upaya mendidik anak, orang tua mesti pandai-pandai

menciptakan lingkungan pergaulan yang mendidik, mulai dari lingkungan

pergaulan di dalam keluarga itu sendiri, teman sepermainan, sekolah sampai

masyarakat; sebab setiap interaksinya akan selalu bernilai edukatif bagi anak.

Adapun pemberian perhatian ini lebih efektif diberikan pada anak mulai masa

estetis (usia 2-7 tahun) karena pada masa ini anak mulai senang bergaul dan

bersosialisasi dengan orang banyak. Hal ini sebagai langkah awal

pembentukan karakter sosial anak (bagaimana berperilaku terhadap orang

lain). Karena pendidikan akhlak bukan sekedar pemberian nasehat teoritis

akan tetapi bersifat praktis langsung dirasakan oleh anak dalam

kesehariannya.

Maka bentuk implementasi pemberian suasana menurut al-Faruqi

dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai

upaya orang tua melaksanakan pendidikan terhadap anaknya. Sebuah

pendidikan yang tidak mesti berupa doktrinasi suatu ajaran akan tetapi lebih

kepada penciptaan suasana edukatif. Karena dengan suasana inilah nilai-nilai

yang tengah diberikan atau bahkan diajarkan lebih mudah diserap oleh anak.

207Ibnu Musthafa, Keluarga Muslim Menyongsong Abad 21, (Bandung: al-Bayan, 1993), Cet.1, hlm. 95.

208Mahmud, hlm. op.cit.,hlm.107.

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

64

4. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Keluarga Besar

Pemberian suasana ini akan lebih efektif terjadi dalam keluarga besar. Ada

banyak nilai plus yang terkandung dalam keluarga besar. Lois Lamya

menjelaskan beberapa nilai plus tersebut sebagaimana pernyataannya:

The extended family is an institution which can provide tremendous benefits for both women and men. 1. It guards against the selfishness or eccentricity of any one party. 2. It provides for psychological and sosial diversity in

companionship for adults as well as children. 3. It allows for careers for women without detriment to themselves,

spouse, children or elders, since there are always other adults in the home to assist the working wife or mother.

4. It insures the adequate socialization of children. 5. It guards against the development of the generation gap. 6. It eliminates the problems of loneliness which plague the isolated

and anonymous dwellers in the urban centers of many contemporary societies.

7. It provides a more feasible and human sharing of the care of the elderly. 209

Keluarga besar adalah sebuah lembaga yang dapat menyediakan keuntungan besar baik bagi wanita maupun pria.

1. Keluarga besar menjaga dari (mencegah) kesendirian atau keanehan (keterasingan) seseorang dalam kelompok.

2. Keluarga besar menyediakan (menimbulkan) pertemanan (hubungan) bagi anak-anak maupun orang dewasa yang beda secara psikologis dan sosial.

3. Keluarga besar membolehkan (menguntungkan) bagi wanita karir tanpa merasa menderita (gelisah) atas kondisi pasangannya, anak-anaknya sebab akan selalu ada orang di rumah yang akan membantu (mengerjakan) pekerjaan rumah tangga.

4. Keluarga besar memastikan (memungkinkan) sosialisasi yang cukup bagi anak.

5. Keluarga besar mencegah berkembangnya jurang (perbedaan lintas) generasi.

6. Keluarga besar mengeliminir (mengurangi) masalah kesepian yang mengusik penghuni (orang) yang merasa terisolir di pusat kota dalam lingkungan masyarakat kontemporer.

7. Keluarga besar menyediakan lebih banyak kemungkinan berbagai perhatian dan keramahan (kenyamanan) dari orang yang lebih dewasa.

209Lois Lamya al-Faruqi, Women Muslim Society in Islam, (Indianapolis: American Trust

Publication, 1991), Cet. 1, hlm.41-43.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

65

Melalui keluarga besar tersebut, anak akan menerima banyak hal yang

akan melekat dalam jiwanya. Keluarga besar mendidik anak nilai akhlaki

yang diperolehnya melalui keteladanan dari saudara dan orang tuanya yang

akan semakin mendidik anak dalam berperilaku.

Ahmad Amin menyatakan bahwa setengah dari yang dapat mendidik

akhlak adalah berkawan dengan orang yang terpilih, karena manusia itu suka

mencontoh orang sekelilingnya termasuk perilaku bahkan pakaian mereka.210

Maka penting bagi anak untuk hidup di lingkungan keluarga besar.

Sebab selama seorang anak tidak mengenal banyak orang, maka sulit baginya

untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Berbagai

pengaruh dan rangsangan luar ini mematangkan anak. Anak tidak akan

merasa cemas bila berada di antara orang banyak.211

Namun demikian menurut Shantut, keiuktsertaan kakek dan nenek

kurang begitu baik bagi perkembangan anak. Menurut Shantut; dalam

mendidik anak, orang tua harus konsisten; dan di antara konsistensi tersebut

adalah ayah tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ibu dan ibu pun

tidak melarang hal-hal yang diperbolehkan oleh ayah. Dan konsistensi

lainnya adalah mereka perlu membatasi para kerabat (khususnya nenek)

untuk ikut campur dalam pendidikan anaknya. Karena sudah menjadi

kebiasaan seorang kakek dan nenek diliputi perasaan emosional. Mereka akan

membela anak berdasarkan emosinya. Hal ini dapat merusak rencana kedua

orang tua dalam pendidikan tersebut. 212

Akan tetapi tidaklah mungkin apabila seorang kakek dan nenek

memperlakukan cucunya dengan perilaku yang negatif yang tidak

mendukung pendidikan akhlak. Sebab dengan pengalaman hidup yang

mereka punyai akan dapat mengantarkan kebijaksanaan bagi anak. Dan

kalaupun begitu, keluarga besar tidak hanya terdiri kakek dan nenek saja

210Ahmad Amin, Etika; Ilmu Akhlak, terj Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. 7,

hlm. 65. 211Save M Dagun, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, hlm. 191. 212Khatib A. Shantut, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga,

terj. Ibnu Burdah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), Cet. 1, hlm. 93.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

66

akan tetapi anggota yang lain seperti paman dan bibi serta sepupu; yang

tentunya jika kakek nenek memberikan pendidikan yang kurang positif akan

ada orang yang mengevaluasi pendidikan yang diberikannya.

Melalui keluarga besar banyak sekali yang dapat dipelajari dari kakek

dan neneknya yang berharga seperti perhatian, rasa berbagi, saling memberi;

yang tidak akan mereka (anak) temukan dalam buku. Terkadang kakek dan

nenek bisa menjadi guru terbaik dibanding orang tuanya. Mereka mempunyai

begitu banyak kebijaksanaan yang diambil dari pengalaman mereka sendiri.

Diusia tuanya, kakek dan nenek mempunyai banyak waktu luang untuk cucu-

cucu mereka.

Keluarga besar menurut al-Faruqi mengandung nilai lebih; selain

sebagai media sosialisasi anak, keluarga besar juga merupakan sebuah

jawaban dari pasangan yang sibuk baik dalam urusan karir maupun

pendidikan. Dengan keluarga besar maka pendidikan anak dapat diserahkan

pada anggota keluarga yang lain yang ada di rumah. Ini berarti tanggung

jawab pendidikan tidak mesti diemban ayah dan ibu saja akan tetapi diemban

pula anggota keluarga yang lainnya dengan catatan demi sebuah alasan yang

dapat diterima.

Ketiadaan orang tua di rumah karena ada halangan memperbolehkan

mereka mengalihkan pendidikan anak pada orang lain. Sebagaimana Nipan

Halim; jika pihak orang tua yang bersangkutan (ayah atau ibu kandungnya)

ada udzur seperti meninggal atau karena udzur lainnya maka pihak pendidik

berpindah tangan kepada pihak yang terdekat.213

Oleh karena itu, penting bagi anak (mulai masa vital; usia 0-2 tahun)

hidup dalam lingkungan keluarga besar untuk mendidik mereka mengenai

akhlak terhadap banyak orang. Sebab kompleksitas orang akan bernilai

positif bagi anak. Kompleksitas tersebut akan semakin membentuk karakter

dan pengetahuan bagi anak.

213M. Nipan A. Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000),

Cet. 1, hlm. 85.

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

67

Selain itu, keluarga besar memungkinkan adanya pendidikan sosial

dan disiplin tinggi. Bagaimana tidak, begitu banyak anggota dalam sebuah

keluarga tentunya memerlukan aturan untuk menjaga ketertiban. Selain itu,

banyaknya anggota semakin melatih kedewasaan anak akibat intensitas

mereka dalam berinteraksi dengan orang lain terlebih mereka yang lebih tua

dan mestinya lebih bijaksana dan berpengalaman.

Maka bentuk implementasi keluarga besar menurut al-Faruqi dalam

pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud

real sebuah keluarga dalam rangka melaksanakan pendidikan akhlak terhadap

anaknya. Bahwa keluarga besar sebagai sebuah media pendidikan akhlak bagi

anak. Sebuah media pendidikan yang mendukung terciptanya suasana

edukatif bagi anak.

Akan tetapi gagasan ini nampak begitu sulit diterapkan di Indonesia

dimana kondisi kuantitas dan kapasitas tanah (rumah) yang semakin

menyusut karena telah tergantikan oleh tempat-tempat untuk keperluan

produksi ekonomi (perusahaan). Maka rasanya tidak mungkin memaksakan

para anggota keluarga besar untuk tinggal satu atap dengan kondisi minimnya

tempat tinggal yang justru dapat menghambat pelaksanaan pendidikan

akhlak. Meski keluarga besar merupakan jawaban dari fenomena wanita karir

namun sekali lagi mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan media. Maka

nampak bahwa gagasan ini sulit diwujudkan di sini.

5. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tabyin

Selanjutnya dari keluarga besar tersebut tercipta pendidikan (tabyin)

yang akan berpengaruh bagi pendidikan akhlak. Tabyin yang mempelajari

sejarah tentu berimplementasi pada pendidikan akhlak. Sebab banyak orang

yang terdorong mengerjakan perbuatan yang besar karena membaca

hikayatnya orang besar atau kejadian orang besar yang diceritakan.214

Karena pada dasarnya pandangan anak terhadap warisan budayanya

dipengaruhi oleh cara pandang keluarganya. Demikian pula pilihan dan

214Ahmad Amin, loc.cit.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

68

penilaian anak, serta cita-cita dan kecenderungannya akan terpengaruhi pula.

Bahkan nilai-nilai tersebut merupakan penjelmaan ekspresi keluarga.215

Maka, pembinaan akhlak memerlukan kesungguhan dalam

menerjemahkan nilai luhur agama agar dapat dipahami oleh umat beragama

sehingga diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.216

Tabyin merupakan bentuk penjabaran atas tauhid sebagai prinsip

keluarga. Tabyin merupakan upaya membentuk manusia utuh atau dalam

bahasanya Amien Rais manusia-tauhid; yakni manusia yang memiliki atribut:

1. Berkomitmen pada Allah. 2. Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah. 3. Memiliki tujuan hidup yang jelas. 4. Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap

kualitas kehidupannya, adat istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya.

5. Memiliki visi yang jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama-sama manusia lain; suatu kehidupan yang harmonis antara manusia dengan Tuhannya, lingkungannya, dan sesamanya serta dirinya sendiri.217

Jadi tabyin merupakan wujud pelaksanaan pendidikan akhlak dalam

keluarga. Materi-materinya yang kompleks memudahkan anak untuk semakin

menambah khazanah pengetahuan akhlaknya. Adapun tabyin ini lebih sesuai

apabila diberikan kepada anak pada masa sosial (usia 13-21 tahun) karena

tabyin ini lebih bersifat kompleks baik dalam hal materi maupun metode.

Maka bentuk implementasi tabyin menurut al-Faruqi dalam

pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai wujud

real pendidikan akhlak dalam keluarga. Bahwa tabyin sebagai bentuk

pendidikan akhlak terhadap sesama; karena mendidik akhlak anak tentang

tata cara bersikap terhadap banyak orang, sekaligus akhlak terhadap diri

sendiri karena mendidik pribadi untuk senantiasa meningkatkan kualitas

pribadi dengan cara melakukan kajian atas tema-tema yang tengah

215Hery Noer Ali dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000),

Cet. 1, hlm. 206. 216Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qurani dalam Sistem Pendidikan Islam,

(Jakarta; Ciputat Press, 2005), Cet. 2, hlm. 14. 217Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1995), Cet. 6, hlm. 20.

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

69

berkembang dengan menggunakan paradigma Islam sebagai dasar pembacaan

atas fenomena yang tengah terjadi.

Namun demikian, tabyin ini nampak cukup sulit untuk diwujudkan.

Karena pada kenyataannya keluarga kini tengah tenggelam dengan kesibukan

demi pemenuhan kebutuhan materi dan fisik dan sedikit mengesampingkan

kebutuhan spiritual. Belum lagi kondisi ekonomi yang semakin menghimpit

kehidupan keluarga semakin memudarkan tugas pendidikan yang mesti

diemban oleh keluarga.

6. Implementasi Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Ibu Rumah

Tangga

Al-Faruqi memposisikan wanita sebagai ibu rumah tangga bahkan al-

Faruqi menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir sejati. Artinya al-

Faruqi berupaya agar kaum wanita lebih memfokuskan diri pada urusan

rumah tangga. Bahkan dengan menyebut bahwa pekerjaan kerumahtanggaan

ini dikategorikan sebagai sebuah karir sejati; maka al-Faruqi menjunjung

tinggi kaum wanita. Hal ini terutama karena orang pertama dan utama yang

dikenal anak adalah ibunya yang memiliki hubungan langsung dan terikat

semenjak anak dalam kandungan sampai lahir.

Margaret Raybel dalam ay-Syantuh menyatakan bahwa ada kebutuhan

instingtif bagi anak untuk menempel pada ibu yang sekaligus hal ini memberi

kesempatan baginya untuk membantu perkembangannya secara benar. 218

Adapun pembinaan kebudayaan pada anak oleh ibunya ini

berlangsung secara tidak sengaja dibawa bersama di dalam kehidupan dan

penampilan ibu di hadapannya setiap harinya;219hal ini oleh karena ibu lebih

banyak menyertai anak; anak merupakan bagian dari dirinya.

Dengan menyebut ibu rumah tangga sebagai wanita karir, nampak

bahwa al-Faruqi mengangkat posisi pentingnya figur ibu rumah tangga

sebagai sosok pendidik utama bagi anak. Bahwa ibu rumah tangga adalah

sosok yang biasanya paling dekat pada anak; maka ibu rumah tangga harus

218Khalid ay-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), Cet. 3, hlm. 48.

219Ibid, hlm. 76.

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

70

menyertai perkembangan anak baik pada masa vital sampai masa sosial (usia

0-21 tahun)

Maka bentuk implementasi ibu rumah tangga menurut al-Faruqi

dalam pendidikan akhlak adalah gagasan al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai

seruan bagi kaum wanita sebagai golongan ibu rumah tangga agar dapat

memfungsikan diri sebagai wanita karir sejati. Sebuah karir yang mulia

karena mencakup perawatan terhadap anak; sebuah karir yang tidak mudah

yang memerlukan kesabaran, dan ketrampilan dalam pelaksanaannya.

Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tauhid sebagai prinsip

keluarga menurut al-Faruqi berkaitan dengan pendidikan akhlak dalam

keluarga. Gagasan mengenai kewajiban menikah dan perjodohan ini

berkaitan pada penjagaan (persiapan) pendidikan akhlak anak. Pernikahan

yang dilandaskan atas keshalehan pemilihan jodoh dan kesungguhan

mewujudkan perintah Ilahi merupakan jalan menuju kehidupan yang berarti.

Selanjutnya mengenai ibu rumah tangga pun berkaitan dengan proses

pendidikan akhlak itu sendiri. Dengan memperhatikan aspek psikologis anak,

maka anak cenderung untuk lebih dekat dengan ibu. Maka nampak sinkron

antara gagasan ibu rumah tangga al-Faruqi dengan kondisi psikologis anak.

Bahwa seorang ibu adalah pilar utama dalam pendidikan akhlak dalam

keluarga. Dari keterkaitan tersebut maka aspek-aspek dalam tauhid sebagai

prinsip keluarga yang diajukan oleh al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai dasar

pelaksanaan pendidikan akhlak.

Pendidikan awal sebagai materi pendidikan akhlak dalam keluarga

merupakan pendidikan awal bagi anak; nilai dasar yang mesti diberikan orang

tua terhadap anak sebagai pemenuhan akhlaknya terhadap anak sekaligus

untuk membentuk pembiasaan dan keteladanan bagi anak. Sebuah pendidikan

yang wajib diberikan pada anak dalam masa vital (usia 0-2 tahun).

Adapun keluarga besar sebagai wujud konkrit dari tauhid sebagai

prinsip keluarga mendukung pelaksanaan pendidikan akhlak dalam keluarga.

Di dalamnya tercipta metode-metode pendukung pendidikan akhlak dalam

keluarga. Betapa tidak, di dalam keluarga besar anak akan senantiasa

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

71

disuguhi pemandangan miniatur masyarakat yang akan memberikan nuansa

keteladanan orang tua dalam bersikap terhadap anggota keluarga baik

terhadap yang lebih tua maupun kepada yang lebih muda merupakan suatu

pembiasaan bagi anak bagaimana menerapkan kebiasaan baik (akhlak) dalam

kesehariannya.

Selanjutnya upaya pendidikan lain yang mudah dilaksanakan dalam

keluarga besar yakni tabyin sebagai upaya pemenuhan tujuan pendidikan

akhlak yakni untuk membentuk insan yang bertakwa yang senantiasa

menyadari fungsi dan tugasnya sebagai khalifah sekaligus abdi yang

senantiasa meningkatkan kualitas pribadi sebagai insan bertakwa dengan

senantiasa menunjukkan amal prestatif membentuk diri dan orang-orang di

sekitarnya agar memegang teguh prinsip tauhid sebagai prinsip hidup demi

meraih Ridha Ilahi. Sebuah pendidikan yang sesuai apabila diberikan pada

anak dalam masa sosial (usia 13-21 tahun).

Maka dapat penulis simpulkan bahwa secara umum, tauhid sebagai

prinsip keluarga menurut Ismail Raji al-Faruqi nampak sangat ideal; demi

menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditentukan. Akan tetapi secara

real terlebih lagi apabila dikontekskan dengan kondisi di sini (Indonesia)

cukup sulit diterapkan. Ada beberapa kendala yang tidak mendukung

gagasannya al-Faruqi.

Gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip keluarga lebih banyak

berkutat pada pembicaraan seputar keluarga besar. Tema ini nampaknya

cukup sulit diterapkan karena mesti terbentur dengan kenyataan ketiadaan

media (tempat) untuk mewujudkan sebuah keluarga besar.

Disamping itu, tugas pokok keluarga besar adalah tabyin; pun cukup

sulit untuk diwujudkan. Hal ini oleh karena kondisi keluarga yang kini tengah

disibukkan dengan urusan pemenuhan kebutuhan keduniaan (materi).

Namun demikian yang terpenting sekarang adalah bagaimana sebuah

keluarga mampu menjalankan tugas pendidikannya dengan baik tanpa harus

mengorbankan haknya (orang tua) untuk berkarir dan mengembangkan diri.

Hal ini membutuhkan kreatifitas orang tua dalam mengelola kehidupannya

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

72

secara proporsional dan profesional. Misalnya saja dengan tetap berkarir pada

hari sibuk (Senin-Jumat) dan memanfaatkan weekend untuk keluarganya

secara penuh. atau bisa jadi berkarir di rumah demi menjaga kualitas

komunikasi dengan anak meski kuantitas pertemuan sangat minim. Karena

yang terpenting dalam sebuah kehidupan dan keberlangsungan keluarga

adalah kualitas komunikasi serta penjagaan sikap orang tua sebagai figur

teladan bagi anaknya.

Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama mesti berpegang

pada nilai dasar yakni tauhid. Sebuah nilai pokok yang mendasari setiap

aktivitas dalam keluarga. Sehingga semua unsur yang tengah melingkupi

keluarga akan dilihat dari paradigma tauhid. Bahwa setiap aktivitasnya

diawali atas dasar tauhid dan akan ditujukan kepada Yang Maha Tauhid.

Adapun aktivitas ini secara real terwujud dalam pendidikan akhlak. Bahwa

pendidikan akhlak sebagai media menuju pemahaman dan kedekatan pada

Realitas Tauhid. Wallahu a’lam.

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

73

BAB V

KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP

B. Kesimpulan

Berawal dari beberapa permasalahan yang penulis angkat dan disertai

dengan landasan teori dan penelitian mengenai pemikiran Ismail Raji al-Faruqi

tentang tauhid sebagai prinsip keluarga, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga

merupakan penerjemahan al-Faruqi atas makna tauhid. Tauhid sebagai inti

ajaran Islam mesti dijadikan prinsip hidup. Tauhid sebagai prinsip hidup

berarti esensi tauhid melandasi setiap aktivitas muslim. Makna tauhid itu

sendiri yang masih sangat basic (keyakinan dan kesaksian bahwa tidak ada

Tuhan selain Allah) perlu untuk diterjemahkan dan disosialisasikan melalui

media. Dan keluarga sebagai salah satu media itu. Jadi tauhid sebagai prinsip

keluarga menurut al-Faruqi berarti keluarga sebagai sarana pemenuhan tujuan

Ilahi (penghambaan). Sebagai prinsip keluarga, tauhid menjadi landasan

untuk setiap aktivitas dalam keluarga.

2. Bentuk implementasi pemikiran Ismail Raji al-Faruqi tentang tauhid sebagai

prinsip keluarga dalam pendidikan akhlak ini dapat dijelaskan bahwa gagasan

al-Faruqi tersebut dijadikan sebagai pijakan pelaksanaan pendidikan akhlak

dalam keluarga. Artinya aspek-aspek yang ada pada tauhid sebagai prinsip

keluarga sebagaimana dijelaskan oleh al-Faruqi tersebut diposisikan sebagai

landasan membentuk dan membangun keluarga; yakni keluarga yang setiap

interaksinya akan selalu bernilai bahkan sebagai sebuah media pendidikan

akhlak. Bahwa keluarga sebagai media pendidikan pertama memerlukan

tauhid sebagai pijakan dalam setiap aktivitasnya terlebih untuk melandasi

pendidikan akhlaknya. Tauhid yang merupakan pokok transenden mutlak

diperlukan untuk membentuk akhlak agar tidak melenceng dari norma tauhid

terlebih di dalam keluarga yang merupakan media pendidikan pertama bagi

individu sebagai bekal hidupnya esok sehingga kelak hidupnya akan lebih

lurus sesuai tujuan penciptaan makhluk. Adapun bentuk real pendidikan

akhlak ini disesuaikan dengan tahap usia anak.

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/23/jtptiain-gdl-s1...Tauhid menurut al-Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai

74

C. Saran-saran

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis mengemukakan hal-hal

yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:

1. Keluarga merupakan alam pendidikan pertama dan utama bagi anak. Setiap

interaksinya akan selalu bernilai edukasi. Untuk itu, keluarga hendaknya

dilandasi dengan nilai dasar tauhid agar interaksi-edukasi nya lebih bermakna

transenden. Oleh karena itu, hendaknya institusi keluarga melalui anggota-

anggotanya terutama orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga agar benar-

benar menjunjung tinggi dan melandasi diri pada al-Quran dan Sunnah dan

mengejawantahkan kandungannya dalam setiap aktivitasnya.

2. Keluarga adalah sarana untuk menyempurnakan diri; yakni kesempurnaan

untuk meraih tujuan pengabdian kepada Ilahi. Untuk itu, hendaknya para

anggota keluarga senantiasa meningkatkan kualitas pribadi melalui

pendidikan akhlak. Pendidikan yang terbentuk melalui pembiasaan dan

peneladanan terhadap apa yang dirasa dan dilalui anak setiap saatnya. Oleh

karena itu, hendaknya para orang tua menjaga diri dengan melakukan

keteladanan dan pembiasaan akhlak pada anak agar teresap dan menjadi

kebiasaan baginya.

D. Penutup

Dengan segala kerendahan hati penulis senantiasa memanjatkan segala

puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.

Tidak lupa, shalawat serta salam semoga tetap tercurah dalam rengkuhan Nabi

Muhammad SAW sebagai the best model. Tidak lupa penulis haturkan sejuta

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus baik berupa

material maupun spiritual, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Hal ini tak lain adalah karena

keterbatasan penulis sendiri. Untuk itu, saran dan kritik konstruktif sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini berguna

bagi keilmuan penulis secara pribadi dan para pembaca pada umumnya. Amien.