BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG...

86
1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka orang tidak mungkin melepaskan pembicaraan tentang tiga institusi pendukungnya, yakni pesantren, madrasah dan sekolah (agama). Ketiga institusi ini merupakan penopang gerak langkah dan dinamika dari apa yang dinamakan dengan pendidikan Islam di Indonesia. 1 Tetapi di dalam pembahasan skripsi ini, penulis tidak akan membahas ketiga institusi pendidikan tersebut, tetapi hanya akan membatasi pada pembahasan tentang eksistensi pondok pesantren salaf, khususnya yang berkaitan dengan metode sorogan dan metode bandongan. Pondok pesantren adalah pendidikan Islam tertua di Indonesia yang telah berabad-abad lamanya tumbuh dan berkembang di bumi/alam Indonesia yang kita cintai ini. Pondok pesantren telah tercatat mempunyai peranan penting dalam sejarah pendidikan di tanah air kita, serta telah banyak menyumbangkan amal baktinya yang tidak terhingga nilainya, terutama dari segi mencerdaskan rakyat/warga negara. 2 Pondok, artinya tempat menumpang bertempat sementara. Pesantren, artinya tempat para santri. Santri artinya pelajar yang menuntut ilmu agama. Maka di Jawa hanya disebut “Pondok” saja. Di tempat lain disebut “Pesantren”. Pondok Pesantren, adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama. Di dalamnya ada kyai yang bertindak sebagai guru dan sebagai sentral figur. Kemudian ada santri, asrama dan lokal belajar serta masjid sebagai sentral miliu. Sejarah asal mula pondok pesantren di Indonesia bersamaan dengan permulaan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Memang ada yang 1 Haidar Putra Daulay, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), Cet. I, hlm. Vii.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka orang tidak

mungkin melepaskan pembicaraan tentang tiga institusi pendukungnya, yakni

pesantren, madrasah dan sekolah (agama). Ketiga institusi ini merupakan

penopang gerak langkah dan dinamika dari apa yang dinamakan dengan

pendidikan Islam di Indonesia.1

Tetapi di dalam pembahasan skripsi ini, penulis tidak akan membahas

ketiga institusi pendidikan tersebut, tetapi hanya akan membatasi pada

pembahasan tentang eksistensi pondok pesantren salaf, khususnya yang

berkaitan dengan metode sorogan dan metode bandongan.

Pondok pesantren adalah pendidikan Islam tertua di Indonesia yang

telah berabad-abad lamanya tumbuh dan berkembang di bumi/alam Indonesia

yang kita cintai ini. Pondok pesantren telah tercatat mempunyai peranan

penting dalam sejarah pendidikan di tanah air kita, serta telah banyak

menyumbangkan amal baktinya yang tidak terhingga nilainya, terutama dari

segi mencerdaskan rakyat/warga negara.2

Pondok, artinya tempat menumpang bertempat sementara. Pesantren,

artinya tempat para santri. Santri artinya pelajar yang menuntut ilmu agama.

Maka di Jawa hanya disebut “Pondok” saja. Di tempat lain disebut

“Pesantren”. Pondok Pesantren, adalah lembaga pendidikan Islam dengan

sistem asrama. Di dalamnya ada kyai yang bertindak sebagai guru dan sebagai

sentral figur. Kemudian ada santri, asrama dan lokal belajar serta masjid

sebagai sentral miliu.

Sejarah asal mula pondok pesantren di Indonesia bersamaan dengan

permulaan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Memang ada yang

1 Haidar Putra Daulay, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), Cet. I, hlm. Vii.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

2

berpendapat bahwa pondok pesantren itu warisan dari sistem Hindu yang

dinamakan “padepokan”, tetapi jelas ada perbedaan besar antara pesantren

dan padepokan. Kalau pada zaman Hindu yang belajar dan mengajar di

padepokan hanya kasta-kasta khusus, yakni Brahmana dan Ksatria, maka

dalam pondok pesantren Islam semua orang dapat belajar tanpa ada

perbedaan.3

Sementara itu, menurut Zamakhsyari Dhofier sebuah Pondok Pesantren

setidaknya mempunyai lima elemen dasar sebagai tradisi pesantren, yaitu:

pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai.4

Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab

komentar (syarh, Indonesia/Jawa: syarah) atau komentar atas komentar

(hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matan). Edisi cetakan dari karya-karya

klasik ini biasanya menempatkan teks yang di–syarah-i atau di–hasyiah-i

dicetak di tepi halamannya, sehingga keduanya dapat dipelajari sekaligus.5

Kebanyakan buku-buku teks dasar adalah manzhum, yakni ditulis dalam

bentuk sajak-sajak berirama (nazham), supaya mudah dihafal.6

Sebagian kecil dari terjemahan (berbahasa Jawa, Madura dan Sunda)

hanya berisi terjemahan sela baris yang ditulis mencong, dengan tulisan lebih

kecil, di bawah setiap kata teks Arabnya yang dicetak tebal, dan karena itu

dijulugi jenggotan.7

Format kitab klasik yang paling umum dipakai di pesantren sedikit lebih

kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak berjilid. Lembaran-lembaran (koras-

2 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, (Jakarta:

Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985), hlm. 1.

3 Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi, Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), hlm. 317.

4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet. I, hlm. 44.

5 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. I, hlm. 141.

6 Ibid. 7 Ibid., hlm. 142.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

3

koras) tidak berjilid dibungkus kulit sampul, sehingga para santri dapat

membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari saja.8

Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab klasik, terutama karangan-

karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah, merupakan satu-satunya

pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama

pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang

tinggal di pesantren untuk jangka pendek (misalnya kurang dari satu tahun)

dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai tujuan untuk mencari

pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan. Kebiasaan semacam

ini terlebih-lebih dijalani pada waktu bulan Ramadhan, sewaktu umat Islam

diwajibkan berpuasa dan menambah amalan-amalan ibadah, antara lain

sembahyang sunnat, membaca al-Qur’an dan mengikuti pengajian. Para santri

yang tinggal sementara ini janganlah kita samakan dengan para santri yang

tinggal bertahun-tahun di pesantren yang tujuan utamanya ialah untuk

menguasai berbagai-bagai cabang pengetahuan Islam.

Para santri yang bercita-cita ingin menjadi ulama, mengembangkan

keahliannya dalam bahasa Arab melalui sistem sorogan dalam pengajian

sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.9

Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat

digolongkan ke dalam 8 kelompok: 1. nahwu (syntax) dan saraf (morfologi);

2. fiqh; 3. usul fiqh; 4. hadis; 5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika, dan 8.

cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi

teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal

mengenai hadis, tafsir, fiqh, usul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya ini dapat pula

digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. kitab-kitab dasar; 2. kitab-kitab

menengah; 3. kitab-kitab besar.10

8 Ibid. 9 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 50. 10 Ibid.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

4

Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional,

yaitu model sorogan dan model bandongan.11

Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau yang

disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana

seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling

mengenal di antara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu

persatu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang

bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing–masing. Dengan

sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kiai dengan

santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri

secara satu persatu.12

Adapun model bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana

dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para

santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan

menyimak bacaan kiai. Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah

itu lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai

berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa

pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukallaf.13

Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin membahas mengenai studi

komparatif efektifitas metode sorogan dengan metode bandongan dalam

penguasaan kitab Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu yang

merusak puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk

tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang

sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam

lubang, di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal.

II. PENEGASAN ISTILAH

11 Ismail SM (eds.),Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm. 101.

12 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 50.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

5

Untuk menghindari kesalah pahaman tentang judul skripsi ini, maka

perlu ditegaskan beberapa istilah yang digunakan, yaitu:

1. Studi Komparatif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk

mendapatkan pemahaman tentang apakah ada perbedaan nilai suatu

observasi (disebut variabel terikat atau dependent) berdasarkan klasifikasi

subyek (disebut faktor, variabel bebas atau independen).14

Dengan kata lain, penelitian ini mempertanyakan apakah nilai

suatu observasi (penguasaan materi kitab Kasyifatu Saja khususnya pada

fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang macam–macam

orang yang diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya,

dan fasal menjelaskan tentang sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari

hal–hal yang masuk ke dalam lubang), yang diperoleh suatu kelompok

subyek (santriwati yang mengaji dengan metode sorogan) berbeda dari

yang diperoleh oleh kelompok yang lain (santriwati yang mengaji dengan

metode bandongan).

2. Efektifitas; Adapun efektifitas ialah dapat membawa hasil; berhasil

guna.16 Yang dimaksud dalam skripsi ini adalah penulis akan berusaha

mempelajari/meneliti perbandingan lebih efektif manakah materi kitab

Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu yang merusak puasa,

fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak

mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu

yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang,

mudah dipahami oleh santriwati dengan metode sorogan atau metode

bandongan.

3. Metode sorogan adalah metode pendidikan yang tidak hanya dilakukan

oleh santri bersama kyai atau ustadz, melainkan juga antara santri dengan

santri lainnya. Dengan sorogan santri diajak untuk memahami kandungan

13 Ibid., hlm. 51. 14 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 306. 16 Ibid, hlm. 219.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

6

kitab secara berlahan-lahan secara detail dengan mengikuti pikiran atau

konsep-konsep yang termuat dalam kitab kata per-kata.17

4. Metode bandongan yaitu sekelompok murid (antara 5 sampai 500)

mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan

menerangkan dan seringkali mengulas buku–buku Islam dalam bahasa

Arab.18

5. Penguasaan adalah pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan

pengetahuan, kepandaian dan lain sebagainya. Yang dimaksud di sini

adalah penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

khususnya pada fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang

macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa

dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu yag tidak

membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang, baik

dengan metode sorogan maupun metode bandongan di pondok pesantren

salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

6. Kitab Kasyifatu Saja berarti pembuka kegelapan: penjelasan (syarh) atas

Safinatun Naja–nya Syekh Salim bin Samir al–Khudhori. Kitab ini

(Kasyifatun Saja) dikarang/tulis oleh Syekh al-Imam al–Fadhil Abi ‘Abdi

al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi dan kitab ini membahas masalah

tauhid dan fikih ibadah serta menyinggung tentang tasawwuf.19

Kitab ini (Kasyifatu Saja) terdiri dari……………….fasal, adapun

yang penulis jadikan penelitian (eksperimen) terhadap santriwati di

pondok pesantren Arribathul Bathul Islamy saribaru Kaliwungu Kendal

hanya 3 (tiga) fasal yaitu: pertama fasal tentang sesuatu yang merusak

puasa, kedua fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan

untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan ketiga fasal

menjelaskan tentang sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal

yang masuk ke dalam lubang.

17 Husni Rahim, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur

Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999, hlm. 4.

18 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 28.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

7

7. Pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal terletak di kota Saribaru yang pada mulanya nama Saribaru adalah

Poting.20 Pendiri pondok pesantren Arribathul Islamy ialah Bapak

Ahmaddun putra Bapak kyai Irfan, pendiri pondok pesantren APIK

Kaliwungu Kendal.21 Pada tahun 1952 atas kesepakatan sesepuh

Kaliwungu beliau mendirikan pondok pesantren Arribathul Islamy yang

menampung santri putra.22 Kemudian atas inisiatif kyai Ahmad Irfan

Ru’yat (saudara sepupu kyai Ahmaddun) dan kesepakatan ulama beserta

masyarakat setempat dan dengan berbagai alasan dan pertimbangn, maka

pondok pesantren Arribathul Islamy bertepatan pada tahun 1957 dirubah

menjadi pondok pesantren putri.23

III. MASALAH PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang masalah dan penegasan istilah seperti

dikemukakan di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

Saribaru Kaliwungu Kendal?

2. Bagaimana penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

dengan metode bandongan di pondok pesantren salaf putri Arribathul

Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal?

3. Bagaimana komparatif efektifitas penguasaan santriwati terhadap materi

kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan metode bandongan di

pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal?

IV. MANFAAT PENELITIAN

19 Untuk Lebih Jelasnya Lihat Kitab Kasyifatu Saja. 20 Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS”,(Saribaru Kaliwungu Kendal: 2002), hlm. 32. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

8

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

informasi tentang metode sorogan, metode bandongan, kitab Kasyifatu Saja

dan pondok pesantren.

Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan

bagi bapak kiai, ustadzah dan khususnya para santriwati untuk meningkatkan

penguasaan materi kitab Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu

yang merusak puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan

untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang

sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam

lubang, baik dengan metode sorogan maupun metode bandongan.

G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Untuk mempermudah memahami dan mengetahui pokok bahasan

skripsi ini, maka penulis diskripsikan sesuai dengan urutan dari BAB I sampai

dengan BAB V sebagai berikut: BAB I :Pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, penegasan

istilah, permasalahan, tujuan penelitian, hipotesis, metodologi penelitian, serta

sistematika penulisan skripsi.

BAB II :Membahas mengenai Metode Sorogan, Metode Bandongan

dan Kitab Kasyifatu Saja, metode sorogan dan metode bandongan meliputi:

Pengertian metode sorogan dan bandongan, dasar dan prinsip metode sorogan

dan bandongan (filosofis, historis, psikologis dan didaktis), fungsi dan tujuan

metode sorogan dan bandongan, subjek dan objek penerapan metode sorogan

dan bandongan, prosedur penerapan metode sorogan dan bandongan, faktor–

faktor pendukung dan penghambat penerapan metode sorogan dan bandongan,

persamaan dan perbedaan metode sorogan dan bandongan, efektifitas

penerapan metode sorogan dan bandongan. Kitab Kasyifatu Saja, meliputi:

Pengertian kitab Kasyifatu Saja, pengarang kitab Kasyifatu Saja, isi kitab

Kasyifatu Saja, obyek pengkaji kitab Kasyifatu Saja.

BAB III :Hasil–hasil penelitian, meliputi: Gambaran umum pondok

pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal, Metode

Page 9: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

9

pembelajaran di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal, Metode pembelajaran kitab Kasyifatu Saja di pondok

pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal dan Skor

test hasil belajar Kitab Kasyifatu Saja.

Gambaran umum pondok pesantren terdiri atas: diskripsi pondok pesantren,

keadaan ustadz/ustadzah (guru), keadaan santriwati (santri mukim dan santri

kalong).

Metode pembelajaran di pondok pesantren terdiri atas: Metode bandongan,

metode sorogan, metode dialog, metode menguraikan/menjelaskan (murodi),

metode lalaran, metode diskusi (batsul masa’il), metode hafalan.

Metode pembelajaran kitab kasyifatu saja di pondok pesantren terdiri atas:

Metode bandongan, metode sorogan, metode diskusi.

Skor test hasil belajar Kasyifatu Saja terdiri atas: Skor test metode sorogan

dan skor test metode bandongan.

BAB IV :Analisis Data Penelitian, meliputi: Analisis pendahuluan,

analisis uji hipotesis dan analisis lanjut.

BAB V :Penutup, meliputi: kesimpulan, saran dan penutup.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. METODE SOROGAN

1. Pengertian Metode Sorogan

Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau yang

disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana

seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling

mengenal di antara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu

persatu, secara bergantian.1

Sistem individual ini dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut

sistem sorogan.2 Sorogan, disebut juga sebagai cara mengajar perkepala yaitu

setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran

secara langsung dari kiai.3

Sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau

beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu.4

Metode sorogan yaitu santri membacakan kitab kuning di hadapan kiai–

ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam

konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf),5

Dari beberapa definisi sorogan di atas, maka dapat diambil suatu

kesimpulan: sistem sorogan adalah proses belajar mengajar secara face to

face, santri berinteraksi secara langsung dengan seorang tutornya (kiai/guru),

dan dalam menentukan suatu materi (kitab) yang akan dibacapun santri

1 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),

Cet. I, hlm. 50. 2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:

LP3ES, 1982), Cet. I, hlm. 28. 3 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. VI, hlm. 145. 4 Nurcholish Madjid, Bilik–Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:

Paramadina, 1997), Cet. VII, hlm. 28. 5 Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum, dalam, Sa’id Aqiel

Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 223.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

11

mempunyai indepedensi untuk menentukan sendiri, tanpa adanya interpensi

dari kiai apalagi teman santrinya.

2. Dasar dan Prinsip Metode Sorogan

i. Dasar dan Prinsip Filosofis

Dalam hal ini metode sorogan jika ditinjau dari perspektif filosofis,

khususnya filsafat pendidikan, maka sesuai dengan pandangan aliran

filsafat progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan

mengenai anak didik sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan

dibandingkan dengan mahluk–mahluk lain.6

Pandangan progesivisme yang memberi tempat demikian khusus

kepada anak, mendorong ke arah pembicaraan tentang pendidikan dan

pengajaran yang terpusat pada anak. Terlepas dari makna–makna yang

sesungguhnya tentang semuanya itu (mengenai pendidikan dan pengajaran

yang berpusat pada anak), timbulnya adalah merupakan reaksi terhadap

pendidikan dan pengajaran yang berpusat pada guru. Pada jenis

pendidikan yang terakhir ini, guru atau pendidik melakukan peranan lebih

dibandingkan dengan anak didik.7

Bila pendidikan yang berpusat pada anak itu diartikan sebagai

pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan potensi dan bakat yang ada

pada anak, maka ada beberapa argumentasi yang dapat dikembangkan.

Secara teoretik dapatlah diterima pengertian, bahwa anak didik memiliki

potensi dan bakat itu. Perkembangannya akan tergantung dari sambutan

dan pengaruh pendidikan dan pengajaran. Itulah sebabnya maka

pendidikan dan pengajaran berusaha menolong dan membantu

perkembangan–perkembangannya.8

Dalam jangkauan untuk mencapai tujuan yang ideal jenis dan taraf

metode tersebut perlu disusun dengan mengingat taraf perkembangan dan

kemampuan anak didik. Dengan mengingat adanya beberapa komponen

6 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek Dan Proses

Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset,1986), hlm. 34. 7 Imam Barnadib, op. cit., hlm. 37. 8 Ibid.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

12

yang saling mengadakan interaksi tersebut, maka kebebasan anak didik

dalam menjadi subjek proses pendidikan dan pengajaran itu memiliki

makna tersendiri.9

Dengan demikian jelaslah, bahwa pendidikan dan pengajaran yang

berpusat pada anak bukanlah semata–mata membiarkan anak didik itu

sendiri menempuh perjalanan pribadinya. Bila demikian, ia tidak akan

mampu menemukan diri sendiri sebab bakat dan potensinya baru akan

berkembang bila memperoleh bimbingan dan bantuan oleh pendidikan dan

pengajaran.10

Nyata sekali metode sorogan dalam pandangan aliran filsafat

frogesivisme di mana anak didik (santriwati) menempati posisi yang

sangat luhur, karena santriwati bebas untuk mengekspresikan semua ide-

ide yang ada dalam pikirannya di hadapan seorang gurunya. Bahkan tidak

itu saja, melainkan dalam menentukan kitab yang akan dibacapun seorang

santriwati bebas untuk menentukan kitabnya sendiri sesuai dengan tingkat

penguasaannya, selain itu juga dalam menentukan waktu santriwati bebas

untuk memilihnya sesuai dengan kesempatan dan kondisi keadaan

santriwati.

ii. Dasar dan Prinsip Historis

Ada empat macam bentuk pondok pesantren yang diselenggarakan

pada zaman kerajaan Mataram sewaktu mencapai puncak kejayaannya

tahun 1630 M, yang dimpin oleh Sultan Agung. Antara lain: Tingkat

pengajian al-Qur’an, tingkat pengajian kitab, tingkat pesantren besar dan

pondok pesantren tingkat keahlian (takhassus).11

Tetapi dalam pembahasan ini penulis hanya akan menjelaskan

tentang Tingkat Pengajian Kitab, tentunya yang ada relevansinya dengan

sejarah metode sorogan.

9 op. cit., hlm.38. 10 Ibid. 11 Marwan Saridjo, et.al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Dharma Bhakti:

Jakarta, 1979), hlm. 34.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

13

Para santri yang belajar pada tingkat ini (Tingkat Pengajian Kitab)

ialah mereka yang telah khatam al–Qur’an. Gurunya biasanya modin

terpandai dalam desa itu sendiri, atau modin yang didatangkan dari luar

dengan syarat–syarat tertentu. Guru–guru yang mengajar itu diberi gelar

Kiai Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka

umumnya mondok. Kitab–kitab yang dipelajari mula–mula Usul 6 Bis,

yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6

bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Samarkandi, kemudian

dilanjutkan dengan Matan Taqrib dan Bidayatul Hidayah karangan Imam

Ghazali. Waktu belajar pagi hari, tengah hari dan malam hari. Sistem yang

digunakan ialah sorogan.12

Kembali ke sejarah, sebenarnya tradisi pengajian dengan sistem

sorogan ini sudah lama, yakni sejak kerajaan Mataram mencapai puncak

kejayaannya yang dipimipin oleh Sultan Agung kurang lebih pada tahun

1630 M.

iii. Dasar dan Prinsip Psikologis

Dalam dunia psikologi pendidikan metode ini bisa juga disebut

dengan metode pengajaran yang berorientasi pada individu. Metode

pendekatan belajar–mengajar ini dapat mengandung dua konotasi, yaitu:

i. Sebagai pengajaran yang diprogramkan dan diberikan kepada siswa

secara perseorangan (individual study)

Belajar mandiri (individual study, independent study) karena

program studi setiap orang bersifat mandiri, hampir tiada ikatan

kegiatan seorang siswa dengan siswa lainnya. Tiap orang harus

berhubungan dengan guru atau tutornya.13

ii. Sebagai pengajaran yang memperhatikan dan disesuaikan (adapted)

kepada karakteristik perbedaan individual siswa (individualized

instrukcional).

12 Ibid. 13 Abin Syamsuddin Makmum, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,

2002), Cet. V, hlm. 245.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

14

Program studi untuk keperluan belajar dengan metode ini

biasanya masih ada kaitan dengan kelompoknya (group contex),

namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kecepatan, minat, dan

kebutuhan siswa yang bersangkutan.14

Metode sorogan akhir–akhir ini kembali dipandang sebagai

metode yang baik, karena ternyata justru sesuai dengan pandangan

terbaru di bidang pendidikan di mana individualisasi pengajaran dan

bimbingan terhadap murid memperoleh tempatnya lagi.15

Pelajaran individual ini memberikan kebebasan kepada para

siswa sekaligus, untuk mengikuti pelajaran menurut prakarsa dan

perhitungan sendiri, menentukan bidang jurusan dan tingkat kesukaran

buku pelajarannya sendiri serta mengatur intensitas belajar menurut

kemampuan menyerap dan motivasinya sendiri.16

iv. Dasar dan Prinsip Didaktis

Metode sorogan secara didaktik metodik dalam konteks

pencapaian hasil belajar terbukti memiliki efektifitas dan signifikansi

yang tinggi. Karena sistem ini memungkinkan seorang kiai/ustadz

mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan

seorang santri dalam menguasai materi.17

Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode

yang modern, antara antara guru/kiai dan santri saling mengenal

secara erat dan guru menguasai benar materi yang seharusnya

diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya.

Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid

dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi

14 Ibid. 15 Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: al–Ikhlas, 1993),

Cet. I, hlm. 97. 16 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjoyo,

(Jakarta: P3M, 1986), Cet. I, hlm. 168–169. 17 Ismail SM (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2002), Cet. I, hlm. 54.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

15

muridnya. Di samping itu metode sorogan juga dilakukan secara

bebas (tidak ada paksaan) dan bebas dari hambatan formalitas.18

3. Fungsi dan Tujuan Metode Sorogan

Dalam dunia pendidikan kaum muslimun di Indonesia, metode tersebut

dipergunakan baik dalam pengajaran al–Qur’an di rumah–rumah, di mushalla

(langgar), di Masjid, juga di setiap pesantren tradisional untuk mengajarkan

kitab–kitab klasik kepada para santri.19

Sebab pada hakikatnya, dalam pengajian sorogan inilah, pengajaran

kitab maupun pelimpahan nilai–nilai sebagai proses “delivery of culture”

berlangsung amat intensif.20 Karena, murid diharuskan menguasai pembacaan

dan terjemah persis seperti yang dibacakan oleh ustadz. Dari terjemah itu

sendiri santri mengetahui fungsi dan arti kata dalam suatu kalimat bahasa

Arab.21

Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kiai di dalam

memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu

berusaha agar santri dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.22

Sistem sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit

dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini

menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin dari murid.23

Memang benar dalam melakukan sesuatu harus didasari dengan

kesabaran dan ketabahan yang tinggi, apalagi dalam hal ini menuntut ilmu

agama Islam di pondok pesantren, di mana kesabaran dan ketabahan harus

dikedepankan. Maka kesabaran dan ketabahanlah sebagai kunci kesuksesan,

kebanyakan santri yang tidak sabar dan tabah dengan kondisi riil pondok

pesantren maka mereka akan gagal, hal tersebut telah di peringatkan oleh

18 Ibid., hlm. 102. 19 Imam Bawani, loc. cit. 20 Sudjoko Prasodjo, et. al., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren al–Falah

dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1975), Cet. II, hlm. 53. 21 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 132. 22 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 51. 23 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

16

Syekh al-Zarnuji dalam kitabnya yang sudah tidak asing lagi dikalangan

pondok pesantren salaf, yakni kitab Ta’limul-Muta’allim.

���������� ������������������������������ “Segala sesuatu, tinggi di dalam cita–cita, sayang seribu sayang, langka orang tabah mengembannya”.24 Kebanyakan murid–murid pengajian di pedesaan gagal dalam

pendidikan dasar ini. Di samping itu banyak di antara mereka yang tidak

menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan

ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren, sebab pada

dasarnya hanya murid–murid yang telah menguasai sistem sorogan sajalah

yang dapat memetik keuntungan dari sistem bandongan di pesantren.25

Sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi

seorang murid yang bercita–cita menjadi seorang ‘alim.26

Itulah kekhasan pengajaran dengan sistem sorogan di mana mempunyai

fungsi yang multidimensi, di samping untuk pengajaran kitab kuning di

pondok pesantren salaf, sistem ini juga sangat bagus untuk santri yang akan

melanjutkan pendidikannya dalam sistem bandongan. Yang tidak kalah

menariknya sistem ini tidak hanya “dimonopoli” oleh kalangan pondok

pesantren saja tetapi juga digunakan untuk pengajian al–Qur’an di rumah–

rumah atau mushalla dan masjid.

Di samping itu orientasi dari simtem sorogan para pengajar (kiai/guru)

selalu menekankan penguasaan materi yang akan dibaca/dipelajari santri,

sehingga setelah selesai ngaji santri benar–benar dapat memahami kandungan

kitabnya baik itu tarjamah, kosa kata maupun gramernya.

4. Subyek dan Obyek Penerapan Metode Sorogan

Biasanya ngaji secara individual ini dilaksanakan oleh santri yang

yunior dan dibatasi pada kitab–kitab kecil saja,27 jumlah murid yang

24 Syekh Zarnuji Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm, 14. 25 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit. 26 op. cit., hlm. 29.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

17

”dipegang” oleh seorang ustadz tidak lebih dari 3–4 orang dalam suatu

waktu.28

Di pondok pesantren yang besar maka sorogan itu hanya dilakukan

kepada dua, tiga santri saja yang biasanya terdiri dari keluarga kiai atau

santri–santri yang dianggap oleh kiai yang diharapkan dikemudian hari

menjadi orang ‘alim.29

Sebagai pelajaran individual atau dalam kelompok kecil dipelajari

naskah–naskah dasar Arab yang terpenting. Secara individual atau dalam

kelompok kecil hingga lima orang santri berkumpullah murid dengan naskah

pelajaran di sekitar guru (kiai, Ustadz, santri senior).30

Dilingkungan pesantren, sistem ini sering kali hanya dijalankan untuk

menolong santri yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran dan dilakukan

oleh santri senior untuk menolong santri muda yang baru masuk. Dalam

beberapa kasus, sistem ini juga dipakai oleh para kiai untuk mengajarkan

secara mendalam suatu kitab kepada santri khusus.31

Sorogan adalah metode pendidikan yang tidak hanya dilakukan oleh

santri bersama kiai atau ustadz, melainkan juga antara santri dengan santri

lainnya.32 Bahkan sorogan yang dilakukan secara paralel antar santri juga

sangat penting, karena santri yang memberikan sorogan memperoleh

kesempatan untuk mereview kembali pemahamannya dengan memberikan

penjelasan kepada santri lainnya.33

27 Chozin Nasuha, “Epistimolog Kitab Kuning”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al.,Pesantren

Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 265..

28 Nurcholish Madjid, loc. cit. 29 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, (Jakarta:

Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985), hlm. 4–5.

30 Manfred Ziemek, loc. cit. 31 Pradjarta Dirdjosanto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren–Kiai Langgar di Jawa,

(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 149. 32 Husni Rahim, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur

Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999, hlm. 4.

33 Ibid.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

18

Perlu dimengerti dalam jiwa santri tidak terdapat sifat enggan untuk

menyebarkan ilmu kepada sesama temannya, walaupun ilmu yang dimilikinya

sangat sedikit.

Bila kaum santri mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan sekaligus

mendalaminya, dan tidak mau menyebarluaskan ilmunya maka tidak sedikit

orang akan mengatakan bahwa dirinya dungu dan tolol, karena mereka tidak

percaya akan keilmuwanannya. Sebab mereka belum membuktikan dengan

mata kepala sendiri kepandaian yang dimiliki kaum santri itu. Allah SWT

mengancam dengan ancaman api neraka bagi kaum santri yang berprilaku

demikian. Di dunia dia dipandang hina oleh sesama, lantaran tidak

menyebarluaskan ilmu yang dimiliki, sedang di akhirat ia diancam siksaan.34

Rasulullah SAW telah bersabda:

����� �!�����"�#$!��%& '�#� (���')���'��*#)�+�')�+*#,'-./��#0.��1*#-�2�+�')��3�+*'�#���#0.�1*#-�'4�./�'�#��%5�.6#��'�#���7.�.8!����')�9���#��'�#��.:�.;�#<���')�.=#>�#,���'�#��%�'$#,+?

�.�.�(�.=#�'�#�+@�A#���B'$.�#�C�3��DE�#F��3�� �'�+G#>�.��.(#7E�#G�A�%7!����'�#��.��H+G�'�#">%�#?�'��"�%I�#J���)��K#"�#$L�!��#I'�#��#7�J!./�+B#,#M.��17 �N2OP"�M��Q��>R

Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang ilmu, kemudian dia merahasiakan, kelak di hari kiamat dia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka”(H. R. al–Tirmidzi).35 �

Dengan tegas Allah SWT melaknat santri yang merahasiakan ilmu yang

diberikan kepadanya:

��10���+BS01$#)��#"��*'#)�'��"�O* T!�#����U 09$#�!��#��"��#0V�#�'?./��#"�.:'�+,+M!�#��#�'�P�E���E:W���!�����X ��.:'�+0����+7+Y+0#!�#�#�C�3��+7+Y+0#!�#��#Z H��V�C /���[ M�N=�L���A���R

34 A. Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum Santri, (Bandung:

Bayan, 1988), Cet. I, hlm. 105. 35 Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Surah, Al–Jami’u Shahihu Sunanu Tarmidziy, (Darul

Fikri, t.t), hlm. 29.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

19

“Sesungguhnya orang–orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan–keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nat Allah dan dila’nat (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nat”. (Q.S. al-Baqarah, Ayat 159)36

Selanjutnya pengajian sorogan masih diteruskan, dengan cara

pemberian wewenang kepada guru–guru untuk melaksanakannya di bilik

masing–masing.37

Kiranya dapat diambil suatu kesimpulan dalam pengajaran dengan

sistem sorogan ini subjek/pengajarnya adalah para kiai, ulama, ustadz, guru,

santri senior, bahkan sistem soroganpun akan semakin efektif jika

dilaksanakan dengan sesama teman (santri) lainnya, sebab sorogan yang

dilaksanakan dengan sesama teman itu di samping santri yang membaca

(mengaji) akan membetulkan kesalahannya, dan yang menjadi “gurupun”

akan mendapat wawasan ilmu pengetahuan dan bertambahnya pengalaman.

Tegasnya dalam sistem sorogan yang dilaksanakan dengan sesama

santri ini terjalin suatu hubungan timbal balik yang saling menguntungkan,

yang dalam istilah biologinya di sebut dengan simbiosis muatualisme.

Adapun obyek dari sistem sorogan yaitu para santri secara individual

yang menggerombol dalam kelompok kecil terdiri antara seorang santri

hingga lima orang santri, umumnya mereka santri yang baru masuk di

pondopk pesantren yang memang betul–betul masih membutuhkan bimbingan

secara individu.

5. Prosedur Penerapan Metode Sorogan

Dalam pengajian dengan sistem sorogan ini terdapat dua cara: pertama,

kiai membaca kitab tertentu dan santri mengikutinya dan kedua, santri

membaca kitab di hadapan kiai dan kiai mengamatinya.38

36 AlQur’an dan Terjemahnya, Surat al-Baqarah, Ayat 159, (Semarang, CV. Toha Putra,

1989), hlm. 40. 37 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS,

2001), Cet. I, hlm. 104. 38 Kahrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha

Peningkatan Prestasi kerra dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), hlm. 178.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

20

Pelaksanaan sistem pengajaran sorogan ini adalah sebagai berikut: santri

yang pandai mensorogkan sebuah kitab untuk dibaca di hadapan kiai. Dan

kalau ada salahnya maka kesalahan itu langsug dibetulkan oleh kiai.39

Menurut Soedjoko Prasodjo, dkk., presedur pengajian dengan sistem

sorogan sebagai berikut,

“Santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan apabila telah meningkat, juga tentang terjemah dan tafsirnya lebih mendalam”.40 Dalam cara sorogan, satu demi satu santri menghadap kiai–ulama

dengan membawa kitab tertentu. Kiai–ulama membacakan kitab itu beberapa

baris dengan makna yang lazim digunakan di pesantren. Seusai kiai–ulama

membaca, santri mengulang bacaan itu, setelah santri dianggap mampu

membaca dan memahami maknanaya, santri lain mendapat giliran dan begitu

seterusnya.41

Pelaksanaan metode sorogan, santri yang banyak itu datang bersama,

kemudian mereka antri menunggu giliran masing–masing.42 Pengajian ini

persis sama dengan pengajian anak–anak di langgar.43

Sistem sorogan yaitu para santri maju satu persatu untuk membaca dan

menguraikan isi kitab di hadapan seorang guru atau kiai.44 Dengan cara

sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang disebut badal.

Mula–mula badal tersebut membacakan matan kitab yang tertulis dalam

bahasa Arab, kemudian menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa

daerah, dan menerangkan maksudnya, setelah itu santri disuruh membaca dan

mengulangi pelajaran tersebut satu persatu, sehingga setiap santri

menguasainya.45

39 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, loc. cit. 40 Sudjoko Prasodjo, et. al., loc. cit. 41 Chozin Nasuha, loc. cit. 42 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 50. 43 Pradjarta Dirdjosanto, loc. cit. 44 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1997), hlm. 84. 45 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, loc. cit.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

21

Sorogan ialah aktifitas pengajaran secara individual, di mana setiap

santri menghadap secara bergiliran kepada ustadz atau kiai, untuk membaca,

menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila

sisantri telah dianggap menguasai, maka sang ustadz atau kiai akan

menambahnya dengan materi baru, biasanya dengan membacakan,

mengartikan, memberi penjelasan dan lain–lain, lalu santri itu meninggalkan

tempat tersebut untuk pergi ke tempat lain guna mengulang atau merenung

kembali apa yang baru saja diberikan kepadanya, sementara telah menghadap

santri lainnya kepada ustadz atau kiai untuk melakukan dan mendapat

perlakuan yang sama, demikian seterusnya.46

Biasanya dalam metode belajar ini, diawali dengan pembuatan kontrak

kerja antara tutor atau guru dan siswa. Kemudian siswa bekerja sendiri,

mencari sumber menggunakan instrumen membuat tugas (assignment) dengan

laporannya. Hasil pekerjaannya dilaporkan kepada tutor, tugas demi tugas

atau unit demi unit sampai program–seperti tercantum dalam kontrak kerja

seluruhnya dipandang tuntas.

Siswa tidak terikat oleh keharusan hadiran di kelas pada jam tertentu,

tetapi bebas mengunjungi orang–orang sumber, objek–objek yang relevan

atau berkonsultasi dengan tutor berdasarkan waktu yang telah ditetapkan

menurut perjanjian. Namun, batas waktu keseluruhan (misalnya, mingguan

dan sebagainya) biasanya ditetapkan dalam pedoman kerja.47

Jelasnya pelaksanaan pengajian dengan sistem sorogan di mana santri

dalam jumlah yang kecil, terdiri antara seorang santri hingga lima orang

santri mereka bergiliran dalam membacakan kitab. Mula–mula seorang santri

membaca, menerjemahkan, dan jika perlu memberi interpretasi pada kitab

yang sedang dibacanya, kemudian kiai menyimak bacaan santri dan jika ada

kesalahan langsung dibetulkan. Setelah santri selesai membacakan kitabnya

dihadapan kiai, maka giliran santri yang lain untuk mendapat perlakuan yang

sama, dan begitulah seterusnya.

46 Imam Bawani, loc. cit. 47 Abin Syamsuddin Makmum, loc. cit.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

22

6. Faktor–faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Metode Sorogan

Salah satu faktor pendukung penerapan metode sorogan ialah, kiai yang

menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai

pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam

membaca dan mengkaji kitab–kitab.48

Dan guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid dan

metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya,49

sebaliknya murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya.50

Metodik pengajaran ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang

demi seorang, dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung,51 dan

yang lebih memudahkan lagi tenaga pengajar tanpa perlu mendapat

kwalifikasi dari pemerintah.52

Di samping itu, murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan

tersebut secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran bila telah

berulang–ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Para guru pengajian dalam

taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai

murid lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut

berhasil menelorkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pengajian

dasar ini, dan kemudian melanjutkan pelajaran di pesantren, ia akan dianggap

sebagai seorang guru yang berhasil.53

Dipandang dari segi filosofis–belajar atau pendidikan yang

mengutamakan prinsip perkembangan potensi individu yang seoptimal

mungkin, dan perubahan berdasarkan kriteria yang ditentukan (behavior

change toward prescribed behavioral objectives), metode belajar mengajar

ini memang sangat cocok. Individu dapat mencapai kemajuan dan prestasi

48 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, loc. cit. 49 Ismail SM, (eds.), loc.cit. 50 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantrenn, op. cit., hlm. 102. 51 Sudjoko Prasodjo, et. al., loc. cit. 52 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek

Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995), hlm. 14.

53 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 28.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

23

secepat–cepatnya dan setinggi–tingginya tanpa terkait oleh orang lain. Ia juga

termotivasi dalam belajar intrinsic.54

Adapun faktor penghambat dari metode sorogan menurut Nurcholis

Madjid, yaitu:

“Sistem ini seringkali tidak ada penjelasan sama sekali, sehingga santri dibiarkan memahaminya sendiri, meskipun sebenarnya banyak yang belum mengerti”.55 Bahkan metode ini banyak dikritik karena tidak efesien dan membuat

fihak guru cepat lelah lantaran melayani murid satu persatu,56 sehingga

metode ini dibanyak pesantren semakin kurang diaplikasikan.57

Bahkan yang lebih memilukan lagi dalam dunia pendidikan modern

seperti kita alami saat ini, pengajian ini interaksi kiai–santri berlangsung

searah. Kesempatan bertanya, berdialog, berdebat dan bertukar fikiran, dengan

sendirinya menjadi tertutup. Oleh cara–cara pengajaran seperti itu, maka

terkesan bahwa ilmu–ilmu yang diajarkan adalah bersifat eksotertik pula.

Metode eksoterik rasional, dalam hal ini telah terabaikan. Padahal

kebanyakan ilmu–ilmu di pesantren lebih memerlukan metode–metode yang

rasional ini.58

Akan tetapi, untuk negara berkembang tampaknya wajar kalau masih

dalam taraf panduan, mengingat program pengajarannya untuk menggunakan

metode belajar mengajar ini memerlukan pengembangan yang cermat. Di

samping itu, ahli dan instrumennya juga dapat dikatakan masih langka. Lebih

lanjut lagi, kalau semua kegiatan belajar secara konsekuen menggunakan

tehnik ini, kemungkinan sifat dan sikap individualistis akan sangat menonjol

sedangkan di dalam praktik hidup sehari–hari setiap orang memerlukan kerja

sama dengan orang lain.59

54 Abin Syamsuddin Makmum, op. cit., hlm. 246–247. 55 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 26. 56 Imam Bawani, loc. cit. 57 Husain Muhammad, “Konstektualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian&Metode

Pengajaran”, dalam Sa’id Aqiel Siradj et. al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 281.

58 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm. 29–30.

59 Abin Syamsuddin Makmum, loc. cit.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

24

Tentunya dalam pelaksanaan metode sorogan terdapat faktor–faktor

pendukung baik itu faktor yang muncul dalam diri santri itu sendiri (faktor

internal) semisal, sebelum santri membacakan kitab di hadapan kiai, santri

terlebih dahulu mempersiapkan bahan pelajaran (materi) yang akan diajukan,

kemudian faktor pendukung yang terdapat di luar diri santri (faktor

eksternal) semisal, kiai memang benar–benar menguasai dan memahami sifat

peserta didik, alokasi waktu yang tersedia, materi pelajaran, serta metode apa

yang tepat untuk disampaikan kepada santri.

Jika kedua faktor tersebut saling mendukung maka proses belajar

mengajar dengan sistem sorogan ini akan cepat berhasil dan bermamfaat bagi

santri maupun pengajar.

Jika dalam proses belajar mengajar dengan sistem sorogan ada faktor

pendukungnya, tentunya metode tersebut juga mempunyai suatu kelemahan

atau penghambat, di antaranya: dalam sistem sorogan ketika santri sedang

membacakan kitabnya di hadapan kiai, maka seakan–akan kiai “lepas tangan”

tidak mempunyai suatu tanggung jawab terhadap anak didiknya (santrinya),

karena di sini santri disuruh untuk membaca, menerjemah, menelaah kitabnya

sendiri, keadaan seperti ini justru akan melumpuhkan dunia pendidikan jika

pelaksana metode tersebut santri yang masih vakum tentang kitab kuning. Di

samping itu juga metode ini dalam pelaksanaannya bersifat satu arah dan

budaya diskusi apalagi debat tidak ada.

Mengingat akhir–akhir ini dekadensi moral sudah banyak dijumpai di

tengah–tengah masyarakat kita dan para pelakunyapun sudah tidak mempuyai

rasa malu, sehingga animo masyarakat untuk memondokkan putra–putrinya

semakin banyak. Dengan semakin banyaknya jumlah santri yang belajar di

pondok pesantren, maka metode sorogan juga akan mengalami suatu

hambatan, sebab jika semua santri mengikuti sistem sorogan maka akan

menyita banyak waktu dan membuat kondisi/fisik pengajar cepat lelah, dan

membuat sistem ini menjadi tidak efisien.

II. METODE BANDONGAN

Page 25: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

25

1. Pengertian Metode Bandongan

Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif

yang dilaksanakan di pesantren,60 disebut weton, karena pelaksanaan

pengajaran jatuh setiap habis shalat (dikaitkan dengan waktu shalat); dan di

sebut bandongan, karena diikuti sekelompok (bandong) santri jumlah

tertentu.61 Kelompok dari sistem bandongan ini, disebut halaqah, yang berarti

sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang kiai/ustadz.62

Metode bandongan menurut H. Abdullah Syukri Zarkasyi disebut juga dengan

metode weton,

“Yaitu di mana kiai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai”.63 Menurut Gus Dur, pengajian dengan sistem weton/bandongan yaitu:

“Di mana sang kiai duduk di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks–teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri–santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu”.64 Wahjoetomo memberikan definisi tentang sistem halaqah, menurutnya

sistem halaqah,

“Yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu di bawah bimbingan seorang guru”.65 Adapun metode bandongan menurut Affandi Mochtar yaitu,

“Santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai–ulama sambil masing–masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang

60 Ismail SM., (eds.), op. cit., hlm. 67. 61 Imam Bawani, op. cit., hlm. 98. 62 Ismail SM., (eds), loc. cit. 63 Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif kelembagaan

Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi, Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), hlm. 319.

64 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, op. cit., hlm. 104. 65 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 83

Page 26: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

26

dikenal dengan cara utawi–iki–iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammer (nahwu dan sharf) yang ketat”,66 Nurcholis Madjid memberikan devinisi tentang metode weton,

menurutnya metode weton,

“Ialah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih–lebih lagi kitabnya”,67 Menurut penulis, dari mayoritas pondok pesantren salaf dalam

mengadakan proses belajar mengajar menggunakan sistem bandongan atau

weton, sebagaimana yang disinyalir oleh Zamakhsari Dhofier bahwasanya

metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah bandongan

atau seringkali disebut sistem weton.68

Perlu dimengerti untuk setiap daerah istilah bandongan ini berbeda–

beda, misalnya di Sumatera dinamakan halaqah, sedang di Jawa Barat disebut

bandongan,69 adapun di Jawa Timur dinamakan weton,70 bahkan istilah

bandongan ada yang menyebutnya dengan balaghan.71

Dari beberapa definisi di atas yang telah dipaparkan oleh beberapa pakar

pendidikan maupun oleh tokoh yang memahami “dalam luarnya” pondok

pesantren, dapat di ambil suatu kesimpulan metode bandongan sama dengan

metode wetonan, halaqah, balaghan. Di mana dalam pengajaran ini santri

secara kolektif mendengarkan, mencatat uraian yang disampaikan oleh kiai,

pengajian ini dilaksanakan pada waktu–waktu tertentu, materi (kitab) dan

tempat sepenuhnya ditentukan oleh kiai.

2. Dasar dan Prinsip Metode Bandongan

i. Dasar dan Prinsip Filosofis

Aliran esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas

nilai–nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan.

Nilai–nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi

dan yang telah teruji oleh waktu.

66 Affandi Mochtar, loc. cit. 67 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 28. 68 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit. 69 Kafrawi, op. cit., hlm. 54. 70 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, op. cit., hlm. 51.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

27

Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai–nilai

yang ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa

anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang

tinggi.72

Jadi menurut penulis, metode bandongan ini selaras dengan jiwa

aliran filsafat esensialisme, karena pada dasarnya seorang anak didik

(santri) untuk mencapai suatu pemahaman/penguasaan kitab kuning

mustahil dapat tercapai dengan sempurna tanpa adanya bantuan seorang

kiai atau guru. Dengan adanya mereka (kiai), maka transfer of knowledge

dan transfer of value akan mudah dicapai oleh santri.

ii. Dasar dan Prinsip Historis

Tidak didapati keterangan yang jelas tentang tahun atau kapan

metode tersebut di pergunakan sebagai metode penyampaian (materi)

pelajaran kitab kuning di pondok pesantren salaf, tetapi setidaknya ada

informasi yang menyatakan bahwa; konon cara ini diturun dari Mekkah,

yaitu kebiasaan mengaji dalam lingkungan Masjid Haram. Seorang Syeikh

membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah

muridnya, masing–masing memegang kitabnya sendiri, mendengarkan

dan mencatat keterangan gurunya itu, baik langsung pada lembaran kitab

itu atau pada kertas catatan lain. Jumlah murid tidak dapat ditentukan

dengan pasti, namun selalu merupakan suatu kelompok di hadapan atau di

sekeliling Syeikh.73

Menurut hemat penulis, jika kita kembali pada sejarah sebenarnya

tradisi pengajian dengan sistem bandongan ini sudah berlangsung sejak

beberapa abad yang silam, tidak hanya semenjak agama Islam ini masuk

di Nusantara atau bermunculannya pesantren–pesantren yang didirikan

oleh walisongo sebagai tempat dakwah dan pendidikan. Tentunya ini

didasarkan pada kenyataan bahwasanya embrio munculnya agama Islam

itu bermula dari Mekkah

71 Sudjoko Prasodjo, loc. cit, 72 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, op. cit., hlm.25.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

28

iii. Dasar dan Prinsip Psikologis

Metode bandongan jika dipandang dari ilmu jiwa (psikologi)

pendidikan, khususnya dari segi sistem pengajaran, maka metode

bandongan ikut kategori sistem pengajaran expository teaching, dalam

sistem ini guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan

secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan

mencernanya secara teratur dan tertib.74

Tetapi bila dipandang dari sudut metode mengajar, maka bandongan

termasuk kategori metode ceramah atau kuliah (lecture), maksudnya ialah

suatu cara belajar mengajar di mana bahan disajikan oleh guru secara

monologue (sologuy) sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah (one

way communication). Adapun siswa memiliki keterbatasan dalam

memperhatikan, mendengarkan, mencamkan, mencatat, dan kalau perlu

diberi kesempatan menjawab dan atau mengemukaan pertanyaan.75

iv. Dasar dan prinsip Didaktis

Kegiatan belajar yang bersifat menerima terjadi karena guru

(Kiai/Ustadz) menggunakan pendekatan mengajar yang bersifat

ekspositori. Baik pada tahap perencanaan maupun pada pelaksanaan

mengajar, dalam pendekatan ini guru berperan lebih aktif, lebih banyak

melakukan aktifitas dibandingkan dengan siswa–siswinya (santri). Guru

telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran secara tuntas, lalu

menyampaikan kepada siswa. Sebaliknya, para siswa berperan lebih pasif,

tanpa banyak melakukan kegiatan pengolahan banyak, karena menerima

bahan ajaran yang disampaikan oleh guru.76

3. Fungsi dan Tujuan Metode Bandongan

73 Sudjoko Prasodjo, et.al., loc. cit. 74 Abin Syamsuddin Makmum, op. cit., hlm. 233. 75 Abin Syamsuddin Makmum, Ibid., hlm. 239. 76 R. Ibrahim dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,

1991), hlm. 43.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

29

Di halaqah inilah guru mengajarkan kitab kuning.77 Cara belajar

semacam ini paling banyak dilakukan di pesantren. Bahkan, ada pesantren

tertentu yang mengadakan pengajaran pasaran atau pasanan dengan

mengambil cara yang sama tetapi dikerjakan dalam waktu yang terus menerus

sehingga, misalnya, kitab Shahih al-Bukhari atau kitab besar lainnya dapat

dikhatamkan dalam waktu singkat. Ngaji pasaran ini biasanya dilakukan oleh

santri–santri dewasa yang ingin mencari apsahan (makna kata) pada kitab

tertentu.78

Metode bandonagn juga bermamfaat ketika jumlah murid cukup besar

dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus

disampaikan cukup banyak. Ia juga berguna dan tepat bila diberikan kepada

murid–murid seusia tingkatan dasar (ibtida’iyah) dan tingkat menengah

(tsanawiyah) yang segala sesuatunya masih perlu diberi atau dibekali.79

Pada umumnya pesantren lebih banyak menggunakan motode weton

karena lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak materi.80 Orientasi

pengajaran secara Bandongan atau halaqah itu lebih banyak pada

keikutsertaan santri dalam pengajian.81 Sementara kiai berusaha menanamkan

pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan

kewajiban bagi mukallaf. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan

pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.82

Semua orang dalam melaksanakan sesuatu tentunya harus didasarkan

pada prinsip ibadah kepada Allah SWT, demikian juga salah satu dari fungsi

dan tujuan pengajaran dengan metode bandongan, sehingga santri dalam hal

ini bukan hanya mendapatkan tambahnya ilmu pengetahuan tetapi juga

mendapatkan ridlo di sisi-Nya. Di samping itu fungsi dari metode bandongan

77 Syafiq A. Mughni, Nilai–Nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, hlm. 303. 78 Chozin Nasuha, op. cit., hlm. 266. 79 Husain Muhammad, loc. cit. 80 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 84. 81 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 51. 82 Ibid.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

30

untuk mengejar materi yang masih banyak tertinggal akibat libur panjang

semisal.

Fungsi lain adalah untuk kegiatan pasaran di bulan ramadhan sehingga

santri dapat ngapsahi kitabnya, dan walaupun kitab tersebut tergolong besar,

karena targetnya untuk mengejar materi, maka kitab tersebut akan cepat

khatam. Metode ini juga sangat efektif diterapkan bila jumlah santrinya cukup

banyak sedangkan alokasi waktunya sangat sedikit.

4. Subyek dan Obyek Penerapan Metode Bandongan

Dengan duduk di sekitar guru, murid yang jumlahnya kadang–kadang

mencapai 500, mendengarkan dan mencatat pelajaran (kuliah).83 Bahkan ada

yang mengatakan pengajian bandongan dilakukan seperti kuliah terbuka yang

diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100–500 orang atau lebih.84

Sementara itu Zamakhsari Dhofier menyebutkan dalam sistem bandongan ini

sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang

membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku–buku

Islam dalam bahasa Arab.85

Bahkan Manfred Ziemek menyebut bandongan identik dengan

ceramah–ceramah, yang ditujukan kepada kelompok besar atau kumpulan

yang kadang–kadang mencakup ratusan siswa. Demikian juga pelajaran dari

badal (wakil kiai), yang sering berlangsung di masjid.86 Sementara para santri

dalam jumlah yang terkadang cukup banyak, mereka bergerombol duduk

mengelilingi sang ustadz atau kiai.87

Sistem bandongan ini diberikan untuk�kelas tinggi, pelajar–pelajar yang

terdiri dari guru–guru bantu dan murid–murid yang merasa sanggup

mengikuti pelajaran tinggi, mengadakan halaqah, yaitu duduk berlingkaran

menghadap guru besar, sedangkan gurupun duduk pula.88

83 Syafiq A. Mughni, loc . cit. 84 Wahjutoemo, op. cit., hlm. 83. 85 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 86 Manfred Ziemek, loc. cit. 87 Imam Bawani, loc. cit. 88 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Cet.

II, hlm. 57.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

31

Demikian pula lambat–laun pengajian wetonpun diwakilkan kepada

pengganti–pengganti (badal), sehingga akhirnya kiai hanya memberikan

pengajaran weton dalam teks–teks utama belaka.89

Dalam buku Departemen Agama R.I., disebutkan cara bandongan para

santri tidak menghadap kiai satu persatu, melainkan semuanya (sebanyak 200

sampai 500 santri, bahkan lebih) datang menghadap kiai membawa kitab yang

telah diprogramkan.90

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan subyek dari metode

bandongan adalah: kiai–ulama, ustadz, guru, guru besar, atau badal

(pengganti kiai), adapun obyek dari metode bandongan adalah: sejumlah

santri yang jumlahnya kira–kira 5 sampai 500 orang, bahkan guru–guru bantu

dan murid-murid yang sanggup mengikuti halaqah.

5. Prosedur Penerapan Metode Bandongan

Dalam pelaksanaannya metode bandongan/weton (muhadarah) ini dapat

dilakukan dengan dua cara: pertama, muhadarah umum ialah pembacaan

kitab yang dapat diikuti sebagaian besar dari santri dan kedua, muhadarah

khusus ialah pembacaan kitab yang dikategorikan kitab besar untuk kelompok

tertinggi.91

Prosedur penerapan pengajaran bandongan adalah sebagai berikut di

mana seorang ustadz atau kiai membaca, menterjemahkan dan mengupas

pengertian kitab tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang terkadang

cukup banyak, mereka duduk mengelilingi sang ustadz atau kiai, atau mereka

mengambil tempat agak jauh selama suara beliau dapat didengar, dan masing–

masing orang membawa kitab yang tengah dikaji itu, sambil jika perlu

memberikan syakl (harakat) dan menulis penjelasannya di sela–sela kitab

tersebut.92

89 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1399 H),

hlm. 129. 90 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, loc. cit. 91 Kafrawi, op. cit., hlm. 178. 92 Imam Bawani, loc. cit.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

32

Dalam sistem bandongan sekelompok santri mendengarkan seorang

guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas

kitab Islam tertentu yang berbahasa Arab. Setiap murid memperhatikan

sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan) tentang

kata–kata atau buah pikiran yang sulit.93 Pengajian tersebut diberikan pada

waktu–waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat

fardlu.94

Metode ini menurut penulis dalam pelaksanaanya adalah sebagai

berikut: sekelompok santri (tidak ditentukan secara pasti berapa jumlahnya)

berkeliling mengitari gurunya yang sedang membacakan sebuah kitab,

kemudian santri mendengarkan, menyimak, memaknai (ngsapsahi dalam

bahasa Jawa), memberi catatan–catatan yang dianggap penting pada kitabnya

masing–masing. Kemudian jika sudah selesai pengajiannya terkadang ada kiai

yang menyuruh salah satu santrinya untuk membacakan materi yang baru saja

dikaji itu.

6. Faktor–faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Metode Bandongan

Untuk mendukung/mengembangkan sistem weton itu pada pesantren

perlu dibina suatu perpustakaan.95 Dengan adanya perpustakaan, maka semua

orang memiliki kebebasan untuk tertarik dan mempelajari berbagai ilmu atau

kitab. Perpustakaan dengan demikian merupakan fasilitas pada kebebasan itu

yang membantu mengembangkan sistem weton yang secara tradisional telah

dimiliki oleh pesantren.96 Dsamping itu juga, kesadaran dan kemampuan

individual sangat menentukan berhasil atau tidaknya seorang santri dalam

pengajaran.97 Bagi santri yang rajin dan mempunyai kecerdasan yang tinggi

tentunya ia akan cepat menguasai apa–apa yang dia pelajari.98 Faktor lain

93 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 94 Kafrawi, op. cit., hlm. 19. 95 Sudjoko Prasodjo, op. cit., hlm. 139. 96 Ibid. 97 Imam Bawani, loc. cit. 98 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, op. cit hlm. 146.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

33

yang turut mendukung yaitu, konon, mereka percaya bahwa duduk persis di

depan kiai saat mengikuti pengajian mendatangkan pahala.99

Adapun faktor-faktor penghambatnya antara lain: dalam metode ini,

seorang ustadz atau kiai seringkali tidak mengetahui berapa jumlah yang

mengikuti pengajarannya karena tidak ada absensi, juga sulit memperkirakan

apalagi mengenali secara persis siapa di antara mereka yang faham dan yang

tidak faham karena jarang terjadi proses tanya jawab, sementara juga tidak

diadakan tindak evaluasi.100 Kelemahan dari sistem weton sekarang ini adalah

adanya kekurang-bebasan atau ketergantungan para santri kepada para kiai

sebagai “penguasa” kitab,101 ini berakibat hilangnya dorongan terhadap

tingkat kreatif dan sikap kritis dari para santri karena pengaliran ilmu dari kiai

ke murid hanya berjalan sepihak.102 Di samping itu juga yang masih menjadi

doktrin dalam pikiran santri yaitu konsep barakah. Konsep barakah agaknya

terlepas dari pola pemahaman eksoterisme ilmu, lalu dikembangkan menjadi

bagian dari orientasi dan niat belajar para santri. Persoalannya adalah orientasi

barokah itu justru lebih dominan dan menggeser orientasi keilmuan.103

Beberapa penghambat atau kelemahan metode bandongan di atas juga

tak luput dari sorotan psikologi pendidikan, terbatasnya kesempatan

partisipasi siswa (audience); hanya bersifat mental processing saja (itu pun

bagi mereka yang mempunyai daya tangkap dan kecocokan latar belakang

dengan permasalahan yang dibicarakan); kalau penceramah kurang mampu

mempergunakan berbagai teknik secara bervariasi, dapat mendatangkan

kejemuan; begitu juga kalau waktunya terlalu lama serta situasi dalam

forumnya kurang tertib.

Meskipun terdapat kelemahan–kelemahan tadi, menurut Gage dan

Berliner tidak jarang guru yang memperoleh keputusan dan reinforcement

99 Pradjarta Dirdjosanjoto, loc. cit. 100 Imam Bawani, loc. cit. 101 Sudjoko Prasodjo, loc. cit. 102 Abdul Wahid Zaini, “Rekonstruksi Khazanah Kitab Kuning: Dinamika Pemikiran Dunia

Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/TahunVII/1999), hlm. 12.

103 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, loc. cit.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

34

dengan adanya perhatian dan tanda-tanda persetujuan atau kepuasan dari

audience. Begitu juga siswa (terutama yang merasa kurang mampu belajar

sendiri atau membaca sendiri). Mereka memperoleh pelajaran dari sumber

yang meyakinkan.104

Saya rasa setiap sesuatu aktivitas itu pasti ada faktor pendukung dan

penghambatnya, demikian juga tidak tertutup kemungkinan pada pengajaran

dengan sistem bandongan. Tentunya di sini yang diinginkan adalah faktor

pendukung itu lebih besar dari pada faktor penghambat, bahkan jika bisa

faktor penghambat tersebut direduksi seluruhnya sehingga kegiatan belajar

mengajar berlangsung dengan normal.

Tetapi faktor penghambat tersebut jika bisa diatasi dengan arif dan

bijaksana oleh para civitas pondok pesantren dan para santri tentu ini juga

tidak akan menggannggu proses belajar mengajar, dan kalau memang tidak

bisa seluruhnya setidaknya bagaimana supaya sistem bandongan itu agar tetap

eksis sebagai salah satu elemen sistem pengajaran di pondok pesantren salaf.

III. METODE SOROGAN DAN METODE BANDONGAN

1. Persamaan dan Perbedaan

Tentunya bagi masyarakat yang memahami seluk beluk, apalagi bagi

mereka yang pernah merasakan pendidikan di dunia pondok pesantren, pasti

mengetahui dan memahami metode pengajaran yang digunakan untuk

menyampaikan materi pelajaran (kitab kuning) oleh kiai kepada santrinya.

Maka ia akan merasa mudah untuk menyebutkan konsep persamaan antara

metode sorogan dengan metode bandongan, demikian juga tentang konsep

perbedaannya.

Ciri utama dari pengajaran tradisional (sorogan dan bandongan) ini

adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan

harfiyyah (letterlik) atas suatu kitab (teks) tertentu. Pendekatan yang

digunakan ialah menyelesaikan pembacaan kitab (teks) tersebut, untuk

selanjutnya diteruskan pembacaan kitab (teks) yang lain.105

104 Abin Syamsuddin Makmun, op. cit., hlm. 240-241. 105 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, op. cit., hlm. 73.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

35

Baik dengan model sorogan maupun bandongan dilakukan dengan

pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan

analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik.106

Sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab–kitab

klasik ke dalam bahasa Jawa, dalam kenyataannya tidak hanya sekedar

membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang

tertuang dalam kitab–kitab tersebut. Para kiai sebagai pembaca dan

penerjemah kitab tersebut, bukanlah sekedar membaca teks, tetapi juga

memberikan pandangan–pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi

maupun bahasa dari teks. Dengan kata lain, para kiai tersebut memberikan

pula komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya itu, para penerjemah

tersebut haruslah menguasai tatabahasa Arab, literatur dan cabang–cabang

pengetahuan agama Islam yang lain.107

Sehingga metode pengajaran khas pesantren seperti bandongan dan

sorogan merefleksikan upaya pesantren melakukan pengajaran yang

menekankan kualitas penguasaan materi.108

Adapun perbedaan metode sorogan dengan metode bandongan yaitu:

Dalam metode bandongan, guru berperan aktif, sementara murid pasif. Dalam

metode sorogan, yang berlaku adalah sebaliknya,109 selanjutnya pada metode

sorogan para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi

kitab di hadapan seorang guru atau kiai,110 tetapi pada metode bandongan

santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai–ulama

sambil masing–masing memberikan catatan pada kitabnya.111

Perbedaan lain menurut Nurcholis Madjid,

“Sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu,112 metode weton/bandongan, ialah pengajian yang inisiatifnya berasal dari

106 Saifudin Zuhri, op. cit., hlm. 101. 107 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 51. 108 Husni Rahim, loc. cit. 109 Husain Muhammad, op. cit., hlm. 280. 110 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 83–84. 111 Affandi Mochtar, loc. cit. 112 Nurcholish Madjid, loc. cit.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

36

kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih – lebih lagi kitabnya”.113

2. Efektifitas Penerapan

Dengan sorogan santri diajak untuk memahami kandungan kitab secara

perlahan–lahan secara detail dengan mengikuti pikiran atau konsep–konsep

yang termuat dalam kitab kata per–kata. Inilah yang memungkinkan santri

menguasai kandungan kitab baik menyangkut konsep besarnya maupun

konsep–konsep detailnya.114

Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan

membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai

bahasa Arab.115 Sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan

hubungan kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal

kemampuan pribadi santri secara satu per satu. Kitab yang disorogkan kepada

kiai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama,116

kemudian kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai.117

Efektifitas atau keuntungan pengajaran dengan metode sorogan

(individual) yaitu jika murid itu merasa bahwa dia sudah mampu membaca

dan memahami secara benar, dia diperbolehkan untuk menyampaikan

bacaannya, biasanya 2 sampai 5 halaman kitab kuning di depan guru. Ini biasa

dilakukan setiap kali murid merasa dirinya bisa membaca.118

Adapun efektifitas atau keuntungan lain dari metode sorogan sebagai

berikut:

1. Memungkinkan anak yang lamban maju menurut kemampuan masing–

masing secara penuh dan tepat.

2. Mencegah terjadinya ilusi dalam kemajuan, tetapi bersifat nyata melalui

diskusi kelompok

113 Ibid. 114 Husni Rahim, loc. cit. 115 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 29. 116 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 50 117 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, op. cit., 26. 118 Syafiq A. Mughni, loc. cit.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

37

3. Cenderung mengusahakan perhatian anak terhadap hasil belajar

perseorangan.

4. Cenderung memusatkan terhadap mata pelajaran dan pertumbuhan yang

bersifat pendidikan, bukan kepada tuntutan–tuntutan guru.

5. Memungkinkan anak maju secara optimum dan mengembangkan

kemampuan–kemampuan yang ada padanya.

6. Latihan–latihan tidak diperlukan bagi anak cerdas, karena akan

menimbulkan kebiasaan dan merasa puas dengan hasil belajar yang telah

ada.

7. Menimbulkan hubungan pribadi yang menyenagkan antara guru dan anak.

8. Memungkinkan adanya latihan–latihan berinisiatif bagi anak–anak yang

dianggap lebih cakap.

9. Mengurangi hambatan dan mencegah eliminasi anak–anak yang lebih

lamban.119

Sedangkan efektifitas sistem bandongan terletak pada keperluan praktis

pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan

kedekatan relasi santri–kiai/ustadz.120 Efektifitas lain dari penerapan metode

bandongan adalah sering guru meminta satu atau dua murid untuk mengulangi

bacaan pada hari selanjutnya untuk meyakinkan bacaan yang benar.121 dan

tidak tertutup kemungkinan juga dalam bandongan para santri memperoleh

kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas

keterangan kiai.122

Dalam sistem bandongan, seorang murid tidak harus menunjukan

bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kiai biasanya

membaca dan menerjemahkan kalimat–kalimat yang mudah. Dengan cara ini,

kiai dapat menyelesaikan kitab–kitab pendek dalam beberapa minggu saja.

119 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Dan mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru, 2000),

Cet. II, hlm. 166. 120 Ismail SM, (eds.), op. cit., hlm. 54. 121 Syafiq A. Mughni, loc. cit. 122 Husni Rahim, loc. cit.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

38

Sistem bandongan, karena dimaksudkan untuk murid–murid yang telah

mengikuti sistem sorogan.123

Bagi santri yang sadar, cinta ilmu, berbakat dan tekun dua sistem

tersebut adalah sangat efesien dan efektif. Sistem ini sangat bermamfaat bagi

mereka yang ingin maju sehingga dalam waktu relatif singkat dia dapat

menyelesaikan beberapa kitab.124

Ternyata dari kedua metode tersebut mempunyai keunikan dan

kelebihan/efektifitas tersendiri, sehingga pantaslah kalau kedua metode ini

masih tetap relevan dipergunakan di pondok pesantren salaf hingga saat ini.

Padahal kedua metode tersebut keberadaannya sudah sangat “tua”

sekali, justeru yang ada metode bandongan dahulu daripada pondok

pesantrennya. Sejarah “mengatakan” metode bandongan ini diadopsi dari

Mekkah, adapun metode sorogan juga keberadaannya sudah sangat lama,

sekitar tahun 1588 M ketika kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung

sedang mencapai masa keemasannya.

Yang menjadi permasalahan menurt penulis bukannya lama atau baru

metode itu berada. Tetapi yang menjadi esensi adalah sejauh mana kedua

metode tersebut efektif dan mencapai sasaran daripada tujuan pengajaran di

pondok pesantren khususnya, dan lembaga pendidikan umumnya.

IV. KITAB KASYIFATU SAJA

1. Pengertian Kitab Kasyifatu Saja

Untuk memudahkan mencapai sasaran pengertian kitab Kasyifatun Saja

yang tepat, maka penulis akan mencoba mendefinisikan kata–kata tersebut

satu persatu.

Jika kita berbicara tentang kitab, khususnya kitab yang menjadi

khazanah intelektual kaum santri di pondok pesantren salaf dan masyarakat

Islam pada umumnya, tentunya asumsi kita tertuju pada kitab kuning.

Nama itu (Kitab Kuning) lazim dipakai untuk menunjuk karya–karya

tulis (tulis: Arab) yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan, dan

123 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 30. 124 Kafrawi, op. cit., hlm. 90.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

39

karena itu sering disebut pula dengan kitab kuno. Kitab–kitab itu meskipun

dari sudut kandungannya komprehensif dan dapat dikatakan berbobot

akademis, tapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat sederhana.

Misalnya, tidak dikenal tanda–tanda bacaan seperti titik, koma, tanda tanya

dan sebagainya. Pergeseran dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak

dengan menggunakan alinea baru, tapi dengan pasal–pasal atau kode sejenis

seperti; tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan sebagainya.125

Sementara pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati

masalah kepesantrenan adalah bahwa kitab kuning merupakan kitab–kitab

keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran

ulama–ulama masa lampau (al–salaf) yang ditulis dengan format khas pra-

modern, sebelum abad ke–17–an M.126

Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay–out),

yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks

penjelasan atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan

di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh-

karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibanding matn-, ia

diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang–lebar

kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira–kira 26 cm

(quarto).127

Kitab Kasyifatu Saja berarti pembuka kegelapan: penjelasan (syarh) atas

Safinatun Naja–nya Syaikh Salim bin Samir al–Khudhori. Kitab ini (Kasyifatu

Saja) membahas masalah tauhid dan fikih ibadah serta menyinggung tentang

tasawwuf.128

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan kitab Kasyifatu Saja

adalah kitab kuning yang mengunakan bahasa Arab yang ditulis oleh ulama

al–salaf sekitar abad pertengahan, dan kitab tersebut dalam sistematika

125 M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah,

(Jakarta: P3M, 1985), Cet. I, hlm. 55. 126 Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 2001),

Cet. I, hlm. 36. 127 Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 37–38. 128 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja

Page 40: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

40

penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain menggunakan kata–kata

pasal atau kode sejenis seperti; tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan

sebagainya.

Dalam penulisannya kitab Kasyifatu Saja berada di tengah–tengah

halaman, karena memang kitab tersebut memuat penjelasan yang panjang dan

komprehensif dari pengarang, dan kitab tersebut merupakan syarh dari matn

kitab Safinatun Naja karangan Salim bin Abdullah bin Samir al-Khudhori.

Kitab ini (Kasyifatu Saja) membahas masalah tauhid dan fikh ibadah serta ada

pembahasan tentang tasawwuf.

2. Pengarang Kitab Kasyifatu Saja

Pengarang/penulis Kitab Kasyifatu Saja ialah Syekh al-Imam al–Fadhil

Abi ‘Abdi al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi.129 Beliau lahir di kampung

Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten, pada

1230 H/1813 M.130

Syekh Nawawi al–Jawi adalah seorang ulama besar, penulis, dan

pendidik dari Banten, Jawa Barat, yang bermukim di Mekah. Nama aslinya

adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al–Bantani.

Dikalangan keluarganya, Syekh Nawawi al–Jawi dikenal dengan sebutan Abu

Abdul Mu’ti.131

Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang

tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fiqh dan

ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai

Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke

Mekah dan bermukim di sana selam 3 tahun. Di Mekah ia belajar pada

beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidilharam, seperti Syekh

Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia

juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad

Khatib al–Hanbali.

129 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja, 130 Didin Hafidudin Maturidy, “Tinjauan atas “Tafsir Munir” Karya Imam Muhammad

Nawawi Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Wawasan Intelektual Indonesia Telaah Atas Karya–Karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1987), Cet. I, hlm. 39.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

41

Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat

kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi

politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun

berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya

yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia.

Menurut sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu–ilmu agama dari

gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima,

Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.

Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih

kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidilharam.

Murid–muridnya berasasl dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari

Indonesia, seperti KH Khalil (Bangkalan, Madura), KH Asy’ari (Bawean,

Madura), dan KH Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang

berasal dari Malasyia, seperti KH Dawud (Perak).132

Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis.

Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan–tulisannya meliputi

karya pendek yang berisi tentang pedoman–pedoman ibadah sampai kepada

tafsir Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari dua jilid, yang diterbitkan di

Mesir tahun 1887,133 menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115

buah, sedang menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai

disiplin ilmu agama.134

Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya

menerangkan kata–kata dan kalimat–kalimat Arab yang artinya tidak jelas

atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan

keagamaan. Kemasyhuran Syekh Nawawi dikenal secara luas di hampir

seluruh dunia Arab. Karya–karyanya banyak beredar terutama di negara–

negara yang menganut faham Syafiiyyah.135

131 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hoeve, 1993), Cet. I, hlm. 23. 132 Ibid. 133 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 88. 134 Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 24. 135 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 89.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

42

Syekh Nawawi wafat pada usia 84 tahun, yaitu pada 25 Syawal 1314

H/1879 M, di tempat kediamannya yang terakhir, kampung Syi’ib Ali, Mekah.

Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la, berdekatan dengan makam

Ibn Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Beliau wafat pada saat

sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan Minhaj

ath thalibin–nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin

Muhammad bin Jam’ah bin Hujam an–Nawawi.136

3. Kontent (isi) Kitab Kasyifatu Saja

Bagaimanapun juga kitab kuning klasik sebagai rujukan utama proses

pembelajaran di pondok pesantren salaf, “muncul” tidak dengan sendirinya

tetapi mempunyai keterkaitan dengan motif penulis/pengarang, letak dan

kondisi geografis di mana penulis berada, serta setting sosial yang terjadi

ketika saat itu, bahkan tidak tertutup kemungkinan kitab tersebut “muncul”

atas “reaksi” atau penjelasan (syarh) terhadap kitab sebelumnya (matn).

Indikasi terakhir yang penulis sebutkan ini adalah contoh kitab kuning

klasik yang “muncul” sebagai penjelasan RsyarhN terhadap kitab sebelumnya.

Yang mana kitab awalnya (matan) adalah kitab Safinatun Najah yang

dikarang oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumayr al–Khudhori, kemudian kitab

tersebut disyarahi oleh Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi.137

Sebelum penulis menjelaskan kitab Kasyifatu Saja, alangkah baiknya

penulis akan menyinggung dahulu latar belakang mengapa kitab Safinatun

Najah (sebagai matn) “muncul di tengah–tengah masyarakat Islam, atau

setidaknya ditulis oleh penulisnya Salim ibn Abdullah ibn Sumir al–Khudhori.

Perlu dimengerti Kitab Safinatun Najah keberadaannya “muncul” tidak

dengan sendirinya tetapi atas respon terhadap keadaan masyarakat yang

terjadi ketika itu.

Bahwa penulisnya kitab RSafinatun Najah, sebagai matn) sangat

membenci tarekat (yang dianggapnya heterodoks), seperti tarekat

136 Didin Hafidudin Maturidy, loc. cit. 137 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja

Page 43: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

43

Sammaniyyah yang pada masa itu berkembang di Jakarta dan sekitarnya.

Dapat diperkirakan bahwa kehadiran Safinah pun dimaksudkan, antara lain

untuk mengembalikan ummat pada syari’ah.138

Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa (matn) kitab Safinatun

Naja yang ditulis oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumair al-Khudhori, berisi

pengetahuan dasar tentang aqidah dan fiqh ibadah.139

Adapun isi daripada (syarh) kitab Kasyifatu Saja di samping membahas

masalah aqidah dan fiqh ibadah juga menyinggung masalah tasawwuf.140

Perbedaan aksen antara Nawawi dan Salim bin Samir adalah dalam

pendekatan tentang tasawwuf. Salim bin Samir sangat keras menentang

tarekat, uraiannya dalam buku Safinatun Naja agak kering, sekalipun dalam

bentuk yang mudah dihafalkan, tetapi yang kurang langsung mengerakkan

hati. Mungkin sebagai kritik manis terhadap sikap ini Nawawi Banten dalam

Syarhnya mengutip hadits, yang menguraikan:141

�:/���\����"�L"�K]���B̂_����`�*���:��B-�a����Z ;�:�$)�:�� �̂: )�b�c��[ �d�B"�eLf��gP��B����D����Y�h�

�i�j�kMG��*(��Z P���Y�h��:/�l�]��:��>\���m��c��K$��Mf"�B$���3��D�F�B"�L"��P@���� �̂3��O���B? ��n-�Kh���o���p

�B$���3��D�F���(��,��7�G��=qr ��i�s$��=�(�U ����7�G����P@��Q*@�c���� �̂3��:/�B$���[ �t�*(��Z P���Y�h��:/�u �]�����Kh���o��I�L"�������?�Q�� �̂�� �̂v�:���B�L��K�(��o��I�L"��@

138 Affandi Mochtar, op. cit., hlm. 64. 139 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja 140 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja 141 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia, (Jakarta: P.T. Bulan

Bintang, 1984), Cet. I, hlm. 134.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

44

�U ?/��Q*�����K�w����@/��"�U ?/��Q*� �̂v�:W�g/�K�(��o��I�L"����"�Lo���"������x����B?/�*LM �̂u $p:�f-��K�q]2�

“Hal ini menjelaskan bahwa seorang dalam hal ibadahnya memiliki tiga maqom, Makom pertama: Seorang hamba yang melaksanakan ibadah hanya untuk menggugurkan kewajiban/syari’at yang disempurnakan dengan syarat–syarat dan rukun–rukunnya. Makom kedua: seorang hamba yang melakukan ibadah disertai dengan syarat–syarat dan rukun yang sempurna dan benar–benar tenggalam dalam lautan mukasyafah hingga dia merasa seakan melihat Allah swt yang menduduki maqom ini adalah Nabi Muhammad saw. sebagaimana sabda beliau: Dan aku menjadikan Dia sebagai kekasihku dalam shalat. Maqom ketiga: seorang hamba melakukan ibadah disertai sebagai syarat–syarat dan rukun–rukun yang sempurna dan dia benar–benar merasa telah bersatu bahwa Allah swt menyaksikan dia. Kalimat fa in lam takun taraahu berarti menunjukan penurunan dari maqom mukasyafah ke maqom muroqobah. Artinya: Jika kamu tidak meyembahnya dan kamu termasuk ahli ru’yah, maka sembahlah Dia seakan kamu yakin bahwa Dia melihatmu. Setiap maqom dari ketiga maqom tersebut dinamakan ihsan”.142 ��� Dari penjelasan di atas, menurut penulis dapat dinyatakan bahwasanya

Nawawi al–Bantani sesungguhnya tidak melarang tarekat ataupun tasawwuf,

hal ini didasarkan karena seseorang dalam beribadah tidak hanya

berpandangan pada syari’at atau fiqh oriented, tetapi juga didasarkan pada

perasaan hati ketika beribadah seakan–akan menyatu dengan Tuhannya.

Dengan kata lain, Syekh Nawawi tidak menolak praktek–praktek tarekat

selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal–hal yang bertentangan dengan

ajaran–ajaran Islam. Sikap Syekh Nawawi inilah yang menyebabkan namanya

di Jawa tetap harum sampai sekarang.143

Dalam mengarang syarh, para pengarang biasanya juga memberikan

pujian tinggi kepada pengarang lain. Kritik, walaupun kritik yang tidak begitu

tajam, harus digali dari bawah pujian itu saja.144

Adapun secara garis besarnya fasal-fasal yang dibahas di dalam kitab

kasyifatu Saja adalah sebagai berikut:145

142 Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi, Syarh Kasyifatu Saja, (Semarang:

Toha Putra, t.t.), hlm. 13. 143 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 144 Karel A. Steenbrink, loc. cit.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

45

Pembahasan tauhid meliputi: pendahuluan (muqoddimah), fasal

menjelaskan tentang rukun–rukun Islam dan bagian–bagiannya, fasal

menjelaskan tentang sesuatu yang wajib diimani dan dalil–dalil dari hakikat

iman, fasal menjelaskan tentang kunci surga (kalimat tauhid), dan fasal

menjelaskan tentang balighnya anak murohek (mendekati dewasa/tamyis) dan

waktunya.

Pembahasan thaharah meliputi: fasal menjelaskan tentang istinja

(bersuci) dengan batu, fasal tentang wudhu, fasal menjelaskan tentang

hukumnya niat, fasal menjelaskan tentang air yang tidak bisa menolak najis

dan yang bisa menolak najis (dihukumi najis dan tidak najis ketika terkena

najis), fasal tentang hal–hal yang mewajibkan mandi, fasal tentang mandi,

fasal tentang syarat–syaratnya thaharah (bersuci), fasal menjelaskan tentang

macam-macamnya hadas, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang diharamkan

karena memiliki hadas kecil, fasal menjelaskan tentang lemahnya/terhalang

dari mempergunakan air, fasal tentang syarat syahnya tayamum, fasal tentang

rukun-rukunnya tayamum, fasal menjelaskan tentang perubahan dan sucinya

sesuatu yang berubah, fasal menjelaskan tentang macam–macamnya najis,

fasal menjelaskan tentang cara–cara menghilangkan najis, dan fasal

menjelaskan tentang batasan haid dan yang terkait dengannya.

Pembahasan shalat meliputi: fasal menjelaskan tentang

diperbolehkannya oleh syari’at untuk mengakhiri shalat dari waktunya dengan

adanya sebab–sebab tertentu, fasal menjelaskan tentang syarat syahnya shalat,

fasal menjelaskan tentang rukun–rukunnya shalat, fasal tentang sesuatu yang

harus ada di dalam niat, fasal tentang syaratnya tahbiratul ihram, fasal

tentang kewajiban–kewajiban dalam ummul qur’an (membaca al–Fatihah),

fasal menjelaskan tentang bilangan tasydid dan letaknya dalam al–Fatihah,

fasal menjelaskan tentang tempat–tempatnya menganngkat kedua tangan,

fasal tentang kewajiban–kewajiban di dalam sujud, fasal tentang bilangan

tasydid dan letaknya dalam tasyahud, fasal tentang tasydid dalam salawat nabi

saw, fasal tentang salam (yang disebut juga dengan tahlil) dan fasal tentang

145 Abi ‘Abdu al – Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi, op. cit., hlm. 124.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

46

waktu shalat maktubah, fasal tentang waktu yang diharamkan untuk

mengerjakan shalat, fasal menjelaskan tentang diam dalam shalat, fasal

tentang hal–hal yang berkaitan dengan tuma’ninah, fasal menjelaskan tentang

sebab–sebab sujud sahwi dan yang berkaitan dengannya, fasal menjelaskan

tentang bilangannya sunnah ab’ad dalam shalat, penutup dan 21 (dua puluh

satu) hal yang dimakruhkan dalam shalat, fasal tentang hal–hal yang merusak

shalat, fasal menjelaskan tentang shalat yang wajib untuk berniat jama’ah,

fasal tentang syarat–syarat menjadi makmum, fasal menjelaskan tentang

gambaran yang tepat menjadi makmum dan fasal tentang syarat–syarat

diperbolehkannya menjalankan jama’ ta’dim, fasal tentang syarat–syarat

diperbolehkan jama’ ta’hir dan fasal tentang syarat–syaratnya qasar, fasal

tentang syarat syahnya melaksanakan shalat jum’at, fasal tentang rukun dua

kutbah, dan fasal tentang syarat–syaratnya dua kutbah jum’at.

Pembahasan jenazah/mayyit meliputi: fasal menjelaskan tentang

memandikan jenazah, fasal tentang mengkafani jenazah, fasal tentang

menshalati jenazah, fasal tentang mengkubur jenazah dan yang terkait

dengannya dan hal–hal yang perlu diucapkan ketika mengkubur jenazah, dan

fasal tentang hal hal yang mewajibklan menggali jenazah yang sudah dikubur

dan fasal macam–macamnya meminta pertolongan dan hukumnya.

Pembahasan zakat meliputi; fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati,

peringatan -peringatan dan 4 (empat) waktu wajib zakat, dan penutup dan

syarat–syarat wajibnya zakat (4 hal ).

Pembahasan siam/puasa meliputi: fasal tentang hal–hal yang

mewajibkan puasa, fasal tentang syarat–syarat syahnya puasa dan syarat–

syarat wajibnya puasa, fasal tentang rukun-rukunnya puasa, fasal menjelaskan

tentang sesuatu yang mewajibkan kifarat, fasal tentang sesuatu yang merusak

puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak

mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu

yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang.

4. Obyek pengkaji Kitab Kasyifatu Saja

Page 47: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

47

Kitab–kitab yang dikaji pada tiap–tiap pondok pesantren biasa

digolongkan menjadi kitab kecil, kitab menengah dan kitab besar. Secara

bertingkat dan beratahap, pengajian dimulai dari kitab kecil. Biasanya adalah

kitab–kitab ilmu alat (Nahwu–Sarraf) dan kitab–kitab fardu’ain (Fiqh dan

Tauhid), dilanjutkan dengan kitab–kitab menengah pada cabang ilmu yang

sama. Terakhir kitab–kitab besar dengan cabang ilmu yang sama pula tapi

makin luas dan ditambah dengan cabang ilmu baru, dalam arti belum

diajarkan sebelumnya seperti kitab–kitab Tafsir, Hadits, Balaghah, dan lain–

lain.146

Sekitar seabad lampau, seorang sarjana Belanda L.W.C. Van Den Berg

menerbitkan sebuah daftar kitab kuning yang pada waktu itu digunakan

pesantren–pesantren Jawa dan Madura. Daftar ini didasarkan atas wawancara

dengan para kiai dan barangkali memberikan suatu gambaran tentang kitab

yang waktu itu dianggap paling penting.147 Dari daftar tersebut dinyatakan

bahwa kitab Kasyifatu Saja termasuk kitab yang “dikonsumsi” untuk

tingkatan tsanawiyah.148

Adapun pengklasifisian tingkat dan golongan kitab menurut versi

Departemen Agama dalam bukunya Pedoman Teknis Penyelenggaraan

Pendidikan Pada Pondok Pesantren disebutkan bahwa kitab Kasyifatu Saja

tergolong kitab menengah, dan obyek pengkajinya adalah santri tingkat

aliyah.149

Walaupun tiap-tiap pesantren sepakat menggunakan kitab kuning

sebagai rujukan intelektualnya, tetapi satu sama lain tidak bersepakat tentang

kurikulum. Karena hal tersebut lebih ditentukan oleh para kiai, atas dasar

146 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm.

23. 147 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di

Indonesia, (Bandung: Mizan, 19990), Cet. I, hlm. 114. 148 Untuk Lebih Jelasnya Dapat dilihat Pada Tabel I Kitab Fiqih dan Ushul Fiqih di

Bukunya Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 19990), Cet. I, hlm. 115.

149 Untuk Lebih Jelasnya Dapat Dilihat Pada Tabel Kitab–Kitab Standar di Pesantren-Pesantren di Buku Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984 / 1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995), hlm. 23.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

48

pertimbangan, kecenderungan, selera dan pengalaman belajar mengajar para

kiai itu sendiri. Lain pesantren lain kiai dan lain kiai lain pula kurikulum.150

V. HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan-permasalahan, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.24

Berdasarkan definisi di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan

hipotesis bahwa, “metode sorogan lebih efektif bagi santriwati dapat menguasai

kitab Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal”.

BAB III

HASIL–HASIL PENELITIAN

TUJUAN PENELITIAN

Mencermati permasalahan yang dibahas dalam skripisi ini, maka tujuan

penelitian ini adalah:

150 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm.

24. 24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1998), Cet. XI, hlm. 67.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

49

1. Untuk mengetahaui bagaimana penguasaan santri terhadap materi kitab

Kasyifatu Saja dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

2. Untuk mengetahui bagaimana penguasaan santri terhadap materi kitab

Kasyifatu Saja dengan metode bandongan di pondok Pesantren salaf putri

Saribaru Kaliwungu Kendal.

3. Untuk mengetahui bagaimana komparatif penguasaan santri terhadap

materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan metode

bandongan di pondok pesantren salaf putri Saribaru Kaliwungu Kendal.

VI. METODOLOGI PENULISAN SKRIPSI

1. Populasi dan Sampel

Populasi ialah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,

benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau

peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakterisrik tertentu

di dalam suatu penelitian.25 Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh

santri yang ada di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal, yang jumlah santrinya ada 507 orang.

Adapun sampel adalah kelompok kecil individu yang dilibatkan

langsung dalam penelitian.26 Maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih

baik diambil semua sehingga penelitiaanya merupakan penelitian populasi.

Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil rata-rata 10-15%, atau

20-25% atau lebih.27

Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalam penelitian ini peneliti

akan mengambil sampel sebanyak 50 santri.Oleh karena itu maka penelitian

ini adalah penelitian sampel.

Adapun mengenai pembagian jumlah santri yang mengikuti metode

sorogan adalah 25 santri dan metode bandongan 25 santri.

25 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm.

118. 26 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 133.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

50

2. Variabel Penelitian

Variabel yaitu pengelompokan yang logis dari dua atribut atau lebih.28

Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:

i. Metode sorogan, dengan indikator:

1. Interaksi santri dengan kiai

2. Penguasaan santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

ii. Metode bandongan, dengan indikator:

1. Interaksi santri dengan kiai

2. Penguasaan santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

3. Metode Pengumpulan Data

Ada dua metode yang dipakai penulis dalam mengumpulkan data. Yang

pertama, library research. Salah satu yang perlu dilakukan dalam persiapan

penelitian ialah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di

perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Pemamfaatan perpustakaan ini

diperlukan, baik untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan

dokumentasi (data sekunder). Nyata sekali bahwa, tidak mungkin suatu

penelitian dapat dilakukan dengan baik tanpa orientasi pendahuluan di

perpustakaan.29

Dalam hal ini penulis akan memamfaatkan sumber informasi yang

terdapat di perpustakaan yang berupa: buku–buku ilmiah, ensiklopedi,

majalah dan lain sebagainya yang ada kaitannyanya dengan metode sorogan

dan metode bandongan. Kedua, field reseach yaitu data yang diambil dari

lapangan, dengan menggunakan metode:

i. Metode Tes

Dalam hal ini penulis akan menggunakan tes buatan guru. Tes

buatan guru adalah tes yang disusun oleh guru dengan prosedur tertentu,

27 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 120. 28 S. Margono, op. cit., hlm. 133. 29 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES, 1989),Cet. I, hlm. 70.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

51

tetapi belum mengalami uji coba berkali–kali sehingga tidak diketahui

ciri–ciri kebaikannya.30

Metode tes ini penulis gunakan untuk mengetahui tingkat

penguasaan santri terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan

dan metode bandongan.

ii. Metode Observasi

Observasi ialah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan

pengamatan terhadap objek, baik secara langsung maupun tidak

lanngsung.31

Metode observasi ini peneliti gunakan untuk mengetahui proses

belajar mengajar (PBM) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

Saribaru Kaliwungu Kendal, di dalam penerapan metode sorogan dan

metode bandongan.

iii. Metode Interviu/Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih

secara langsung.32

Interviu ini peneliti pergunakan untuk menambah

keterangan/informasi tentang metode sorogan dan metode bandongan.

Interviu ini peneliti lakukan dengan Bapak pengasuh (kyai) dan santri

pondok pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

iv. Metode Dokumentasi

Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, legger, agenda dan sebagainya.33

Metode ini peneliti pergunakan untuk mendapatkan keterangan

tentang pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal, yang meliputi: tempat/lokasi dan pengasuh, jadwal

30 Suharsimi Arikunto, op. cit, hlm. 227. 31 Muhammad Ali, Startegi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 72. 32 Ibid, hlm. 57-58. 33 Suharsimi Arikunto, op. cit, hlm. 236.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

52

pembelajaran, para pengajar (ustad/ustadzah), para santri (baik santri

mukim maupun non mukim/kalong) dan metode pembelajaran.

4. Metode Analisis Data

Di dalam menganalisis data hasil penelitian, penulis menggunakan

beberapa tahapan, yaitu:

i. Analisis Pendahuluan

Di dalam analisis pendahuluan ini, peneliti menyususn data yang

telah terkumpul dari hasil penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam

tabel distribusi frekuensi untuk tiap-tiap variabel.

ii. Analisis Uji Hipotesis

Analisis ini digunakan untuk menghitung lebih jauh dari analisa

pendahuluan. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Drs. Anas

Soedijono dalam bukunya Pengantar Pendidikan Statistik mengatakan:

“Test t untuk dua sampel besar yang satu sama lain tidak mempunyai

hubungan” 34 maka rumus yang kita gunakan adalah sebagai berikut:

to = MX - MY

SEMXMY

Keterangan:

to : score / test

MX : Mean variabel sorogan

MY : Mean variabel bandongan

SEMXMY : Standar error perbedaan antara metode sorogan (X)

dengan metode bandongan (Y)

Dari data yang telah diolah menjadi t-score atau yang disebut

observasi (t), kemudian dibandingkan dengan nilai t yang terdapat pada

tabel nilai t. cara untuk mencari nilai t pada tabel adalah dengan

menghitung derajat kebebasan nilai t35, melalui rumus:

d.b = NX-NY-2

Keterangan:

34 Anas Soedijono, Pengantar Pendidikan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995),

hlm. 325. 35 Ibis., hlm. 272.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

53

NX = Jumlah sampel metode sorogan (X)

NY = Jumlah sampel metode bandongan (Y)

Selanjutnya sebagai pedoman untuk menerima/menolak hipotesa

nihil adalah: apabila to�t(d.b),� maka to adalah signifikan sehingga

hipotesis yang diajukan dapat diterima, ini berarti metode sorogan lebih

efektif daripada metode bandongan untuk dapat menguasai kitab Kasyifatu

Saja bagi santriwati. Akan tetapi apabila to<t(d.b), maka to adalah non

signifikan sehingga hipotesis yang diajukan ditolak. Ini berarti metode

sorogan tidak lebih efektif daripada metode bandongan untuk dapat

menguasai kitab Kasyifatu Saja bagi santriwati.

Analisis lanjut

_____

I. GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN SALAF PUTRI

ARRIBATHUL ISLAMY SARIBARU KALIWUNGU KENDAL

1. Diskripsi Pondok Pesantren

Pondok pesantren putri ARIS (Arribathul Islamy) terletak dikota

Saribaru yang pada mulanya nama Saribaru adalah Poting, sebuah desa yang

dipenuhi berbagai kejahatan dan kejahiliyahan yang terjadi pada tahun 1950–

an.

Setelah kedatangan Bapak Ahmaddum putra Bapak Kiai Irfan, pendiri

Pon–Pes APIK Kaliwungu dengan niat dan semangat yang luhur serta

berbekal ilmu dan pekerti yang agung dengan susah payahnya dan

pengorbanan yang disertai keikhlasan dan ketabahan beliau berhasil

mendobrak semua kejahiliyahan.1

Pondok pesantren putri ARIS Kaliwungu didirikan oleh KH.

Ahmaddum Irfan, secara bertahap dan berproses secara sistematis, terorganisir

dan terkondisi dengan letak geografis dan geososial budaya masyarakat

setempat, karena metode penderiannya identik dengan pola pengembangan

1 Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS” (Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 2002), hlm.

32.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

54

Islam di Jawa oleh para Wali, yaitu dengan mengedepankan pola interaksi dan

partisipasi masyarakat.2

Pada tahun 1949 beliau (Bapak Ahmaddum putra Bapak Kiai Irfan

mendirikan sekolah jenggot (sekolah untuk orang–orang tua) yang juga

mengadakan marhabanan door to door (dari rumah ke rumah) beliau juga

mengadakan sewelasan tiap bulan tanggal sebelas yang bertempat di rumah

beliau.

Pada tahun1952 atas kesepakatan sesepuh Kaliwungu beliau mendirikan

pondok pesantren ARIS yang menampung santri putra.

Pada tahun 1954 Bapak kiai Ahmaddum mengganti nama kampung

Poting menjadi kampung Saribaru sebagai ungkapan syukur atas perubahan

kampung Poting. Saribaru berasal dari bahasa Arab, Sara berarti berjalan dan

Barrun berarti baik, sedangkan menurut bahasa Indonesia Sari adalah asri,

indah, damai. Baru adalah baru. Maka Saribaru adalah berjalan dalam

kebaikan atau kampung yang baru asri dan damai.

Dengan keberhasilan beliau (Kiai Ahmaddum) pondok pesantren ARIS

telah dihuni 150 santri putra. Kemudian atas inisiatif Kiai Ahmad Irfan Ru’yat

(saudara sepupu Kiai Ahmaddum) dan kesepakatan ulama beserta masyarakat

setempat dan dengan berbagai alasan dan pertimbangan, maka pondok

pesantren ARIS bertepatan pada tahun 1957 dirubah menjadi pondok

pesantren putri.

Pada tahun 1959 beliau Bapak Ahmaddum wafat, ketika semangat juang

membara dan tuntutan masyarakat yang tidak bisa dibendung. Karena putra

beliau masih kecil–kecil maka suasana sempat vacum beberapa saat, lalu

aktivitas pondok pesantren segera dilanjutkan oleh saudara–saudaranya.

Pada tahun 1967 Ibu Nyai Muzayannah (istri bapak Kiai Ahmaddum)

dipersunting oleh seorang Perwira dari Nganjuk yaitu KH. Cholil Hasan

sehingga bapak KH. Cholil lah yang memimpin pondok pesantren ARIS

2 Untuk Lebih Jelasnya Baca Buku: Sejarah Pon–Pes ARIS KH. Ahmad Dum Irfan Pendiri

Pondok Pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal Pengikut Jejak Ayahanda KH. Irfan Pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu Kendal, (Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 1422 H/2001 M).

Page 55: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

55

semenjak tahun 1968 dan rencana pondok putri terus dilanjutkan oleh beliau

sehingga terbentuk kepanitian yang terdiri Kiai Humaidullah Irfan, Kiai

Ibadullah Irfan, Kiai Asror Ridwan dan Kiai Cholil Hasan dengan didukung

oleh ulama beserta masyarakat setempat.

Setelah membebaskan tanah seluas 3500 M². kemudian peletakan batu

pertama dilaksanakan pada tahun 1968 dan tepat pada tanggal 28 Agustus

1978 pondok pesantren putri ARIS diresmikan.

Waktu terus berputar yang menyongsong era milinium lebih dari 25

tahun pondok pesantren putri ARIS yang telah mengalami kemajuan dalam

berbagai bidang yang pada tahun 1992 jumlah santri mencapai kurang lebih

700 orang dan ditahun itu pulalah Bapak KH. Cholil Hasan telah wafat

meninggalkan kita semua namun gema jihadnya tetap membahana dengan niat

mencetak wanita sholihah, sesuai hadist:

K8�r �=/�o��Y��M"yz��b�M"��$?*/ “Dunia adalah perhiasan, sedangkan sebaik–baiknya perhiasan adalah wanita sholihah”3. Kemudian pada tahun 1992 kepemimpinan pondok pesantren putri

ARIS dilanjutkan oleh bapak KH. Hafidzin Ahmaddum hingga sekarang4,

dengan sarana dan prasana yang semakin lengkap yang menjadikan tambah

majunya pondok pesantren ARIS salaf.5

2. Keadaan Ustadz/Ustadzah (Guru)

Mengenai tenaga pendidik (ustadz/ustadzah) direkrut dari keluarga

ndalem, guru luar dan siswi (santriwati) tamatan.6 Keseluruhan

ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

saribaru Kaliwungu Kendal berjumlah 37 orang (untuk lebih jelasnya dapat

dilihat pada halaman lampiran)

Adapun ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, dari Jawa Barat

3 Delima,op. cit., hlm. 32. 4 Sejarah Pon–Pes ARIS, op. cit. 5 Delima,op. cit., hlm. 33. 6 Delima, Ibid., hlm. 35.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

56

ada 5 (lima) ustadz/ustadzah yang berasal dari kabupaten: Kuningan 1 (satu)

orang ustadzah, Indramayu 2 (dua) orang ustadzah dan Cirebon 2 (dua) orang

ustadzah. Sedangkan dari Jawa Tengah ada 32 (tiga puluh dua) ustadz /

ustadzah, yang mayoritas berasal dari kabupaten Kendal (Kaliwungu), selain

itu juga ada yang berasal dari daerah: Pekalongan, Demak, Tegal, Pemalang,

Pati, Jepara, dan Brebes7.

Usia Ustadz/Ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy berkisar antara 20 tahun hingga 55 tahun8.

Adapun ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy yang sudah berkeluarga ada 16 orang dan yang belum

berkeluarga ada 21 orang.

Mengenai pendidikan ustadz dan ustadzah (pengajar) di pondok

pesantren salaf putri Arribathul Islamy umumnya beliau tamatan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), kemudian

melanjutkan studinya minimal 6 tahun di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy.

Di pondok pesantren ini, juga terdapat ustadz/ustadzah (guru) dari luar

(maksudnya dari luar adalah guru yang bukan alumni dari pondok pesantren

ARIS dan keluarga ndalem) yakni bapak Itos Budi Santoso S.Pd selaku

pengampu mata pelajaran didaktik methodik dan Bapak Drs. H. Ahmad Nur

pengampu mata pelajaranm Bahasa Indonesia.

Kompetensi atau persyaratan yang harus dipenuhi Sebagai seorang

ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

ialah wajib hafal nadhom Alfiyah Inbu Malik.

Peneliti juga mendapat informasi/keterangan mengenai masih

terdapatnya ustdzah (guru) yang masih nyantri, dan tinggal (mukim) di

pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy9.

3. Keadaan Santri (Siswa)

7 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal 8 Interviu Peneliti dengan Pengurus (Pengurus Sie Kewanitaan) Azzah, tanggal 20 April

2004.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

57

Menurut tradisi pesantren, terdapat 2 (dua) kelompok santri: yaitu santri

mukim dan santri kalong.10

1. Santri Mukim

Di pondok pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal

seluruh santriwatinya menetap di pondok pesantren (santri mukim).

Keseluruhan santriwati pondok pesantren Arribatul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal berjumlah 507 orang.11

Adapun perinciannya sebagai berikut:

(Tabel II)

No. DAERAH SANTRI I Jawa Barat, meliputi: 1 Cirebon 48 2. Indramayu 19 3. Kuningan 8 II Jawa Tengah, meliputi: 1. Kendal 129 2. Pekalongan 71 3. Tegal 63 4. Batang 15 5. Demak 13 6 Jepara 27 7. Pati 12 8. Pemalang 11 9 Semarang 24 III Jawa Timur (Kediri) 7 IV Jakarta 21 V Banten 10 VI Lampung 6

9 Wawancara peneliti dengan kepala Madrasah Mu’alimat Salafiyah, K.H. Masduqi, AH,

pada tanggal 20 April 2004. 10 Santri mukim yaitu murid–murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam

kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari–hari; mereka juga memikul tanggungjawab mengajar santri–santri muda tentang kitab–kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar (dan masyur) akan terdapat putera–putera kiai dari pesantren–pesantren lain yang belajar di sana; mereka ini biasanya akan menerima perhatian istimewa dari kiai.

Adapun santri kalong yaitu murid–murid yang berasal dari desa–desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak–balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dibukunya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet. II, hlm. 51–52.

11 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

Page 58: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

58

VII Jambi 12 VIII Riau 11 Jumlah Total 507 santriwati

Usia santriwati di pondok pesantren ARIS rata–rata berkisar antara

13 tahun hingga 20 tahun. Hal ini didasarkan karena yang nyatri di

pondok pesantren ini mayoritas lulusan Sekolah Menengah Pertama

(SMP), Sekolah Menengah atas (SMA) dan tidak tertutup kemungkinan

juga ada yang lulusan Sekolah dasar (SD).

Adapun mengenai status ekonomi orang tua santriwati tergolong

ekonomi kelas menengah (biasa–biasa saja), hal ini tentunya didasari pada

kenyataan bahwasanya mayoritas dari wali santriwati bekerja di bidang

pertanian. Dan tidak tertutup kemungkinan juga ada yang menjadi

pegawai negeri sipil dan pengusaha12.

2. Santri Kalong

Adapun di pondok pesantren Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal tidak terdapat satupun santriwati kalong (santri yang tidak

mukim). Ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwasanya sistem

pembelajaran/pendidikan di pondok pesantren salaf menganut sistem

pendidikan 24 jam (sehari semalam full).

Itulah perbedaan yang secara konkrit tampak antara santriwati

mukim dengan santriwati kalong di mana santriwati mukim dalam

melaksanakan segala aktivitasnya selama 24 jam di pondok pesantren,

tetapi jika santriwati kalong keberadaannya di pondok pesantren jika akan

mengikuti pengajian saja.

Sehinnga pengasuh dan ustadz/ustadzah menginginkan selama

santriwati berada di pondok pesantren mendapat pendidikan tidak hanya

lewat pengajian–pengajian kitab kuning saja, tetapi pergaulan antar

sesama santriwatipun merupakan bagian daripada pendidikan

bermasyarakat dalam ruang lingkup kecil di pondok pesantrten13.

12 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal. 13 Wawancara peneliti dengan kepala Madrasah Mu’alimat Salafiyah, K.H. Masduqi, AH,

pada tanggal 24 Maret 2004.

Page 59: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

59

II. METODE PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN SALAF

PUTRI ARIBATHUL ISLAMY SARIBARU KALIWUNGU KENDAL

Metode pembelajaran yang dipergunakan di pondok pesantren

salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tidak berbeda

dengan metode pembelajaran yang dipergunakan di pondok pesantren salaf

pada umumnya. Adapun metode pembelajaran yang dipergunakannya, yaitu14: 1. Metode Bandongan

Pelaksanaan dari pada metode bandongan yaitu santriwati secara

bergerombol kurang lebih jumlahnya seratus, duduk di sekeliling

kiai/ustadz/ustadzah yang sedang membacakan kitab kuning, kemudian

santriwati mendengarkan dan memaknai kitabnya dan sambil membuat

catatan–catatan tambahan jika dirasa perlu dan penting.

2. Metode Sorogan

Praktek pengajaran dengan metode sorogan yaitu santri secara individu

maju satu–persatu dengan membawa kitab yang telah dipilih/ditentukan

sendiri (oleh santriwati) dan disesuaikan dengan kemampuannya, kemudian

kitab tersebut dibacanya di depan pengajar (kiai/ustdaz/ustadzah), kemudian

jika ada kesalahan dalam pembacaannya itu, sang pengajar membenarkannya.

3. Metode Dialog (Tanya jawab)

Metode tanya–jawab adala metode mengajar yang memungkinkan

terjadinya komunikasi langsung yang bersifat dua arah sebab pada saat yang

sama terjadi dialog antara santriwati dan kiai/ustadz/ustadzah.

Kiai/ustadz/ustadzah bertanya santriwati menjawab, atau santriwati bertanya

kiai/ustadz/ustadzah menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya

hubungan timbal balik secara langsung antara kiai/ustadz/ustadzah dan

santriwati.

4. Metode Menguraikan/menjelaskan (Murodi)

Yang dimaksud dengan metode Menguraikan/menjelaskan (Murodi) di

sini adalah metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya seorang

14 Interviu/Wawancara dengan Azzah (Pengurus Sie Kewanitaan)&Ety Rohayati (Kepala

Pengurus III), tanggal 13–14 Februari 2004.

Page 60: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

60

santriwati menjelaskan materi pelajaran yang telah dijelaskan oleh

kiai/ustadz/ustadzah di depan santriwati–santriwati dan kiai/ustadz/ustadzah

atau masih tetap duduk ditempat asalnya.

5. Metode Lalaran

Salah satu kekhasan metode pembelajaran di pondok pesantren salaf

adalah adanya metode pembelajaran dengan sitem lalaran. Metode lalaran

yaitu metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya pelajaran itu

dilagukan dengan lagu–lagu tertentu, dan metode ini tidak semua pelajaran

dapat diterapkan, tetapi pelajaran yang dapat diterapkan dengan metode

lalaran adalah pelajaran–pelajaran yang ada kaitannya dengan nadhom

sehingga nadhom tersebut bisa dilagukan dan dikonstekskan dengan lagu yang

sedang up to date. Dan perlu diingat bahwasanya metode lalaran ini sering

dipergunakan pada pelajaran–pelajaran yang ada nadhomnya seperti

jurumiyah, amrithi dan lain sebagainya.

6. Metode Bahtsul Masail (Diskusi)

Metode Bahtsul Masail (Diskusi) pada dasarnya adalah bertukar

informasi, pendapat, dan unsur–unsur pengalaman secara teratur dengan

maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih cermat

tentang permasalahan atau topik yang sedang dibahas. Dalam Metode Bahtsul

Masail (Diskusi), setiap santriwati diharapkan memberikan sumbangan

pikiran, sehingga dapat diperoleh pandangan dari berbagai sudut berkenaan

dengan masalah tersebut. Dengan sumbangan dari setiap santriwati,

diharapkan akan maju dari satu pemikiran kepemikiran yang lain, langkah

demi langkah, sampai dihasilkannya pemikiran yang lengkap mengenai

permasalahan atau topik yang dibahas.

7. Metode Hafalan

Dengan metode hafalan ini diharapkan pelajaran yang telah difahami

dan dimengerti dapat teringat terus sampai masa hayatnya. Pelaksanaan dari

metode hafalan ini santriwati maju satu–persatu menghadap sang

kiai/ustadz/ustadzah untuk menghafalkan materi pelajaran/syi’ir/nadhom

Page 61: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

61

tertentu. Setelah santriwati dianggap hafal semua, maka santriwati tersebut

kembali ke tempatnya. Tetapi jika santriwati tersebut belum hafal, maka

diperintahkan kembali untuk menghafal hingga hafal benar.

Biasanya hafalan ini ditujukan pada pelajaran tertentu saja yang

dianggap penting seperti ilmu alat nahwu dan shorof, tetapi tidak tertutup

kemungkinan nadhom–nadhom dan syi’ir lainnya.

III. METODE PEMBELAJARAN KITAB KASYIFATU SAJA

Metode pembelajaran yang dipergunakan untuk mengajarkan kitab

kuning Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

Saribaru Kaliwungu Kendal, adalah sebagai berikut15:

1. Metode Bandongan

Pengajaran dengan metode bandongan adalah seorang kiai atau

ustadz/ustadzah membaca, menterjemahkan dan mengupas pengertian kitab

tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang terkadang cukup banyak

kurang lebihnya 100 santriwati, mereka duduk mengelilingi sang ustadz atau

kiai, atau mereka mengambil tempat agak jauh selama suara beliau dapat

didengar, dan masing–masing orang membawa kitab yang tengah dikaji itu,

sambil jika perlu memberikan syakl (harakat) dan menulis penjelasannya di

sela–sela kitab tersebut

Pengajaran dengan metode bandongan kemudian materi yang sedang

dibahas, semisal adalah fasal tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan

bagian–bagiannya. Setelah kiai atau ustadz/ustadzah membacakan dan

menerangkan materi kitab tersebut, kemudian para santriwati mendengarkan

dan memaknai kitabnya sendiri–diri, serta bila perlu menambah penjelasan–

penjelasan yang dianggap penting.

2. Metode Sorogan

Metode sorogan adalah proses belajar mengajar secara face to face,

santri berinteraksi (menghadap) secara langsung dengan seorang tutornya

(kiai/guru), dan dalam menentukan suatu materi (kitab) yang akan dibacapun

15 Observasi Peneliti di Pondok Pesantren Putri Salaf ARIS Saribaru Kendal pada

Tanggal 13–14 Februari 2004.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

62

santri mempunyai indepedensi untuk menentukan sendiri, tanpa adanya

interpensi dari kiai apalagi teman santrinya.

Pengajaran dengan metode sorogan kemudian materi yang sedang

dibahas, semisal adalah fasal tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan

bagian–bagiannya. Pada pembelajaran model ini santriwati membacakan fasal

tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan bagian–bagiannya di depan

kiai/guru, kemudia kiai/guru mendengarkan dan menyimak bacaan santriwati

tersebut, jika ada kesalahan dalam bacaan itu, maka langsung dibetulkan oleh

kiai/guru, tetapi jika dalam pembacaan tersebut benar maka santriwati tersebut

melanjutkan bacaannya hingga batas tertentu yang telah ditetapkan.

3. Metode Bahtsul Masail (Diskusi)

Metode Bahtsul Masail (Diskusi) pada dasarnya adalah bertukar

informasi, pendapat, dan unsur–unsur pengalaman secara teratur dengan

maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih

cewrmat tentang permasalahan atau topik yang sedang dibahas. Dalam

Metode Bahtsul Masail (Diskusi), setiap santriwati diharapkan memberikan

sumbangan pikiran, sehingga dapat diperoleh pandangan dari berbagai sudut

berkenaan dengan masalah tersebut. Dengan sumbangan dari setiap santriwati,

diharapkan akan maju dari satu pemikiran kepemikiran yang lain, langkah

demi langkah, sampai dihasilkannya pemikiran yang lengkap mengenai

permasalahan atau topik yang dibahas.

Contoh penerapan metode bahtsul masail (diskusi) dengan kitab

Kasyifatu Saja adalah fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati, semisal padi.

Mengingat pada kitab tersebut padi secara tekstual tidak termasuk kategori

yang wajib dizakati, kemudian kalau di konstektualisasikan dengan zaman

sekarang, apakah padi tersebut kategori yang wajib dizakati? Di sisnilah maka

dituntut peran aktifnya dari semua para santriwati untuk memecahkan

persoala tersebut.

IV. SKOR TEST HASIL BELAJAR KITAB KASYIFATU SAJA

1. Metode Sorogan

Page 63: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

63

(Tabel III)

NO. NAMA BENAR KALI (X) 2 NILAI 1. Maghfiroh 46 “ 92 2. Ummu Khabibah 47 “ 94 3. Titik Khasanah 48 “ 96 4. Khusnul Khotimah 48 “ 96 5. Ima Rosyidah 41 “ 82 6. Khalifah 48 “ 96 7. Siti Mukarramah 48 “ 96 8. Fattatun Muthoharoh 42 “ 84 9. Inasul Usroh 48 “ 96

10. Milatul Zulfa 45 “ 90 11. Minarti 47 “ 94 12. Sri Rezeki 42 “ 84 13. Ulfa Anjalida 47 “ 94 14. Mamluatul Hikmah 50 “ 100 15. Atika 47 “ 94 16. Nurul Fitriyah 49 “ 98 17. Muhasanah 45 “ 90 18. Desi Angraeni 40 “ 80 19 Dewi Hajar 48 “ 96 20. Duwi Fatmawati 45 “ 90 21. Izatul Khayati 39 “ 78 22. Zaenatus Sanaya 43 “ 86 23. Siti Khanifah 45 “ 90 24. Nur Aisyah 44 “ 88 25. Tri Astuti 49 “ 98

2. Metode Bandongan

(Tabel IV)

NO. NAMA BENAR KALI (X) 2 NILAI 1. Ulfa 41 “ 82 2. Nurul Khasanah 39 “ 78 3. Renita 40 “ 80 4. Muzayanah 41 “ 82 5. Imroatun Khasanah 39 “ 78 6. Khoridah 40 “ 80 7. Farichah 42 “ 84 8. Siti Arofah 39 “ 78 9. Eva 40 “ 80

10. Iis Sunaeni 43 “ 86 11. Ikha Faricha 40 “ 80 12. Siti Anifah 42 “ 84

Page 64: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

64

13. Marwati 44 “ 88 14. Khabibah 41 “ 82 15. Mukarramah 45 “ 90 16. Nur Laila 43 “ 86 17. Siti Khabibah 42 “ 84 18. Siti Hajar 46 “ 92 19. Siti Maghfiroh 41 “ 82 20. Rosyidah 47 “ 94 21. Muthoharah 49 “ 98 22. Hanifah 43 “ 86 23. Umi Saidah 48 “ 96 24. Siti Aisyah 41 “ 82 25. Fatimah 48 “ 96

Page 65: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

65

BAB IV

ANALISIS DATA PENELITIAN

Pada bab IV ini akan dilakukan analisis secara statistik–kuantitatif.

Analisis ini dibagi menjadi tiga yaitu: analisis pendahuluan, analisis uji

hipotesis dan analisis lanjut.

I. ANALISIS PENDAHULUAN

Analisis pendahuluan merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk

mengetahui efektifitas penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu

Saja dengan metode sorogan dan metode bandongan di pondok pesantren

salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

Untuk itu perlu disajikan data hasil penelitian tentang efektifitas penguasaan

santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan

metode bandongan, sebagaimana terdapat pada bab III sebagai berikut:

i. Tabel V data hasil penelitian tentang Efektifitas Metode Sorogan (X)

Kitab Kasyifatu Saja.

78 80 82 84 84 86 88 90 90 90 90 92 94 94 94 94 96 96 96 96 96 96 98 98 100

ii. Tabel VI data hasil penelitian tentang Efektifitas Metode bandongan (Y)

Kitab Kasyifatu Saja.

78 78 78 80 80

Page 66: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

66

80 80 82 82 82 82 82 84 84 84 86 86 86 88 90 92 94 96 96 98

Data di atas menunjukan bahwa nilai tertinggi dan terendah dari

efektifitas penerapan metode sorogan dan metode bandongan kitab

KasyifatuSaja adalah sebagai berikut:

IX. Efektifitas penerapan metode sorogan kitab Kasyifatu Saja, skor

tertinggi adalah 100 dan skor terendah adalah 78.

{� .� Sedangkan efektifitas penerapan metode bandongan kitab Kasyifatu

Saja, skor tertinggi adalah 98 dan skor terendah adalah 78.

Langkah selanjutnya adalah membuat kualifikasi efektifitas

penerapan metode sorogan kitab Kasyifatu Saja, berdasarkan data–data

yang ada dan jumlah options yang tersedia dalam soal test.

Tabel VII

Kualifikasi Efektifitas Penerapan Metode Sorogan (X) Kitab Kasyifatu

Saja.

No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 94 – 101 Sangat baik 2. 86 – 93 Baik 3. 78 – 85 Cukup

Keterangan:

- Distribusi frekuensi data berkelompok

- Banyaknya deret interval (3 alternatif jawaban responden, berupa

soal pilihan ganda A, B dan C)

- Sedangkan interval dari masing-masing deret adalah 8, pembulatan

dari 7,666.

Tabel VIII

Kualifikasi Efektifitas Penerapan Metode Bandongan (Y) Kitab

Kasyifatu Saja.

No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 91 – 97 Sangat baik 2. 84 – 90 Baik 3. 78 – 84 Cukup

Page 67: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

67

Keterangan:

- Distribusi frekuensi data berkelompok

- Banyaknya deret interval (3 alternatif jawaban responden, berupa

soal pilihan ganda A, B dan C)

- Sedangkan interval dari masing-masing deret adalah 7.

Langkah selanjutnya adalah memasukkan (mengklasifikasikan

data yang disajikan pada tabel V sesuai dengan klasifikasi yang telah

dibuat dia atas sehingga hasilnya adalah dalam bentuk tabel diatribusi

relatif dan tabel persentase sebagai berikut:

Tabel IX

Distribusi persentase Efektifitas Metode Sorogan (X) Kitab Kasyifatu

Saja.

N0 Interval Nilai F Presentase Kualifikasi 1 94-101 13 52 % Sangat Baik 2 86-93 7 28 % Baik 3 78-85 5 20 % Cukup

Jumlah - �N = 25 �P = 100 % Keterangan:

Untuk memperoleh angka persenan sebagaimana tertera pada kolom 4

tabel IX, dipergunakan rumus:

P =F x 100 N

Di mana:

F= Frekuensi yang sedang dicari persentasenya

N= Number of cases (jumlah frekuensi/banyaknya individu)

P= Angka persentase.

Berdasrkan tabulasi di atas dapat ditegaskan bahwa: efektifitas

metode sorogan kitab Kasyifatu Saja ada pada kategori atau kualifikasi

sangat baik, karena terlihat jelas frekuensi terbanyak dari nilai efektifitas

metode sorogan kitab Kasyifatu Saja pada deret ke-1 (13) dalam

kualifikasi sangat baik. Dan secara rinci dapat dijelaskan sebagai

berikut: 52 % sangat baik, 28 % baik dan 20 % cukup.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

68

Tabel X

Distribusi persentase Efektifitas Metode Bandongan (Y) Kitab Kasyifatu

Saja.

N0 Interval Nilai F Presentase Kualifikasi 1 91-97 5 20 % Sangat Baik 2 84-90 8 32 % Baik 3 78-84 12 48 % Cukup

Jumlah - �N = 25 �P = 100 % Berdasrkan tabulasi di atas dapat ditegaskan bahwa: efektifitas

metode bandongan kitab Kasyifatu Saja ada pada kategori atau

kualifikasi cukup, karena terlihat jelas frekuensi terbanyak dari nilai

efektifitas metode bandongan kitab Kasyifatu Saja pada deret ke-3 (12)

dalam kualifikasi cukup. Dan secara rinci dapat dijelaskan sebagai

berikut: 20 % sangat baik, 32 % baik dan 48 % cukup.

Jadi dari urain tersebut jelas adanya perbedaan efektifitas

metode sorogan lebih efektif daripada metode bandongan bagi santriwati

untuk dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja. Dari analisis pendahuluan

bahwa pada frekensi kualifikasi dan distribusi persentase diketahui

adanya perbedaan efektifitas metode sorogan lebih efektif daripada

metode bandongan bagi santriwati untuk dapat menguasai kitab

Kasyifatu Saja. Apakah perbedaan tersebut terjadi secara kebetulan atau

merupakan perbedaan yang signifikan. Untuk lebih mengetahui hal ini,

maka peneliti mengadakan analisis uji hipotesis.

II. ANALISIS UJI HIPITESIS

Tabel XI

Persiapan kerja tentang efektifitas metode sorogan (X) kitab Kasyifatu Saja

No. X F X X' FX' FX'² 1. 98-100 3 99 4 12 48 2. 95-97 6 96 3 18 54 3. 92-94 5 93 2 10 20 4. 89-91 4 90 1 4 4 5. 86-88 2 87 0 0 0 6. 83-85 2 82 -1 -2 2 7. 80-82 2 81 -2 -4 8

Page 69: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

69

8. 77-79 1 78 -3 -3 9 Jumlah - �N = 25 - - � FX' =35 � FX'² = 145

Keterangan tabel:

- Distribusi data berkelompok

- Interval masing-masing deret adalah 3

Cara mencarinya sebagai berikut:

Rumus: R = H – L + 1

Di mana:

R = Total range

H = Nilai tertinggi

L = Nilai terendah

1 = Bilangan konstan

Jadi R = 100 – 78 + 1

R = 23

Untuk mencari I (interval) dengan cara:

R = (yang menentukan deret interval) I 23 = 7, 666 ( 8 ) 3 Dengan demikian dapat diketahui bahwa interval dari data di atas adalah 3,

sedangkan deret intervalnya adalah 8 (pembulatan dari 7, 666).

Tabel XII

Persiapan kerja tentang efektifitas metode bandongan (X) kitab Kasyifatu

Saja

No. X F X X' FX' FX'² 1. 96-98 3 87 3 9 27 2. 93-95 1 94 2 2 4 3. 90-92 2 91 1 2 2 4. 87-89 1 88 0 0 0 5. 84-86 6 85 -1 -6 6 6. 81-83 5 82 -2 -10 20 7. 78-80 7 79 -3 -21 63

Jumlah - �N = 25 - - � FX' = - 24 � FX'² = 122

Page 70: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

70

Keterangan: interval 3 dengan deret interval 7

Rumus: R = H – L + 1

R = 98 – 78 + 1

R = 21

Untuk mencari I (interval) dengan cara:

R = (yang menentukan deret interval) I 21 = 7 3 Adapun langkah-langlkahnya sebagai berikut:

1. Mencari Mean

i. Mencari mean variabel X (metode sorogan), dengan rumus:

MX = M' + i x ( �FX' ) NX

= 87 + 3 x ( 35 ) 25

= 87 + 3 x 1, 4 = 87 + 4.2

MX= 91, 2

ii. Mencari mean variabel Y (metode bandongan), dengan rumus:

MY = M' + i x ( �FY' ) NY

= 88 + 3 x ( -24 ) 25

= 88 + 3 x (-0, 96) = 87 + (-2, 88)

MY= 85, 12

2. Mencari Deviasi Standar

i. Mencari deviasi standar variabel X (metode sorogan), dengan

rumus:

ii. Mencari deviasi standar variabel X (metode sorogan), dengan

rumus:

Page 71: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

71

3. Mencari Standar Error Mean

i. Mencari standar error mean variabel X (metode sorogan), dengan

rumus:

ii. Mencari standar error mean variabel Y (metode bandongan), dengan

rumus:

4. Mencari standar error perbedaan mean variabel X (metode sorogan) dan

mean variabel Y (metode bandongan), dengan rumus:

5. mencari to

(Tabel VIII)

No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 94 – 101 Sangat baik 2. 86 – 93 Baik 3. 78 – 85 Cukup

2. Metode Sorogan (X)

Untuk mengetahui bagaimana efktifitas metode sorogan (X) kitab

Kasyifatu Saja, maka dicari nilai rata–rata (mean) dari tabel di atas dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

MX = M' + i ( �FX' ) N = 90 + 2 ( -16 )

25 = 90 + ( -32 )

25 = 90 + ( -1, 28 )

MX= 88, 72 Dengan melihat tabel VI kualifikasi efektifitas penerapan metode

sorogan (X) kitab Kasyifatu Saja di atas, maka dapat diketahui bahwa

penguasaaan santriwati terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan

rata–rata adalah baik.

Setelah diketahui nilai rata–rata (mean) dari metode sorogan, kemudia

Page 72: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

72

langkah selanjutnya penulis mencari standar deviasi metode sorogan (SDX),

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SDX = i FX'² _ FX' ² N N

= 2 228 _ -16 ² 25 25 = 2 � 9, 12 – (- 0, 64) ² = 2 � 9, 12 – 0, 41 = 2 � 8, 71 = 2 X 2, 951

SDX = 5, 902

3. Metode Bandongan (Y)

Untuk mengetahui bagaimana efektifitas metode bandongan (Y) kitab

Kasyifatu Saja, maka dicari nilai rata–rata (mean) dari tabel di atas dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

MY = M' + i ( �FY' ) N

= 88 + 2 ( 36 ) 25 = 88 + ( 72 ) 25 = 88 + 2, 88

MY = 90, 88 Dengan melihat tabel VII kualifikasi efektifitas penerapan metode

bandongan (Y) kitab Kasyifatu Saja di atas, maka dapat diketahui bahwa

penguasaaan santriwati terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode

bandongan rata–rata adalah baik.

Setelah diketahui nilai rata–rata/mean dari metode bandongan,

kemudian langkah selanjutnya penulis mencari standar deviasi metode

bandongan (SDY), dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SDY = i FY'² _ FY' ² N N

= 2 270 - 36 ² 25 25 = 2 � 10, 8 - ( 1, 44 )²

Page 73: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

73

= 2 � 10,8 - 2, 074 = 2 � 8, 726 = 2 X 2, 954

SDY = 5, 908 4. Mencari Standar error perbedaan mean variabel X (metode sorogan) dan mean

variabel Y (metode bandongan), dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

SDXY = NX . SDX² + NY . SDY² NX + NY – 2

= 25 X 5, 902² + 25 X 5, 908² 25 + 25 - 2 = 25 X 34, 834 + 25 X 34, 904 48 = 870, 85 + 872, 6 48 = 1743, 45 48 = �36, 322

SDXY = 6, 027 III. ANALISIS UJI HIPOTESIS

Analisis uji hipotesis merupakan analisis untuk menguji hipotesis yang

diajukan oleh peneliti dalam penelitian. Adapun hipotesis penelitian ini adalah

“metode sorogan lebih efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu

Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal”. Maka akan diadakan analisis uji hipotesis dengan menggunakan

rumus “t-score”.

to = MX - MY

SDXY 1 + 1 NX NY

= 88, 72 - 90, 88 6, 027 1 + 1

25 25 = -2, 16

6, 027 2 25

= -2, 16 6, 027 (� 0,08)

= -2, 16 6, 027 X 0,283

= -2, 16 1,706

to = -1, 266

Page 74: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

74

Setelah diketahui hasil “to”, langkah selanjutnya penulis akan menguji

nilai “t” apakah signifikans atau tidak suatu hipotesis yang telah diajukan,

maka dicari degrees of freedom (df) dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

df = NX +NY - 2

= 25 + 25 – 2

= 50 – 2

df = 48

Setelah diadakan penghitungan dengan langkah–langkah di atas, maka

langkah selanjutnya adalah menguji hasil pengolahan tersebut dengan taraf

signifikansi 5% dengan hasil sebagai berikut:

i. Taraf signifikansi 5% adalah:

to = -1, 266

tt = 2,008

Ini berarti to<tt, jadi non signifikan. Berarti hipotesis nihil yang penulis

ajukan ditolak.

ii. Taraf signikansi 1% adalah:

to = -1, 266

tt = 2,678

Ini berarti to<tt, jadi non signifikan. Berarti hipotesis nihil yang penulis

ajukan ditolak.

Dengan demikian, to (-1, 266) adalah jauh lebih kecil dari pada tt, baik

pada taraf signifikansi 5% (2,008) maupun taraf signifikansi 1% (2,678),

yang berarti hipotesis nihil yang penulis ajukan ditolak.

Jadi dapat ditegaskan bahwa metode sorogan tidak (non

signifikan) efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja di

pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu

Kendal”.

IV. ANALISIS LANJUT

Page 75: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

75

Berdasarkan analisis uji hipotesis di atas diketahui bahwa metode

sorogan tidak efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja di

pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal”.

Oleh karena itu, analisis lanjut yang dapat penulis kemukakan adalah

sebaiknya kiai, ustadz dan ustadzah dalam membimbing/mengajarkan kitab

Kasyifatu Saja kepada santriwati–santriwatinya dengan metode sorogan harus

merubah paradigma.

Adapun kriteria merubah paradigma yaitu: dalam sistem ini (metode

sorogan) seharusnya kiai, ustadz dan ustadzah memberikan penjelasan

terhadap materi yang sedang dikaji, sehingga santriwati dapat memahaminya.

Kriteria lain adalah perlunya diadakan sistem sorogan yang yang

mutakhir sebagaimana praktek guru besar Mukti Ali, beliau mengajarkan

mahasiswa pasca sarjana dan pendidikan doktor dengan metode sorogan.

Mahasiswa diberi tugas untuk membaca satu persatu pada waktu tatap muka

yang terjadwal, kemudian setelah membaca diadakan pembahasan dengan

cara dialog dan berdiskusi sampai mendapat pemahaman yang jelas pada

pokok bahasan.

Di samping faktor di atas, santriwati juga ikut mewarnai sukses tidaknya

proses pembelajaran dengan metode sorogan. Karena dalam sistem ini ada

juga santriwati yang berasal dari daerah sunda, Jakarta, Sumatera dan lain

sebagainya sehingga tidak begitu memahami bahasa Jawa khususnya yang

digunakan sebagai penerjemah kitab Kasyifatu Saja.

Oleh sebab itu peneliti mempunyai suatu alternatif untuk mengantisipasi

hal tersebut, yaitu kombinasi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam

membaca dan menerjemahkan kitab Kasyifatu Saja sehingga santriwati benar–

benar memahami kandungan isi kitabnya.

Kemudiann jadwal, pembelajaran juga ikut mempengaruhi keberhasilan

proses pembelajaran kitab Kasyifatu Saja. Di pondok pesantren ini alokasi

pembelajaran kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan sangatlah minim

sekali, seminggu dua kali, (satu pertemuan kurang lebih 60 menit), inilah

Page 76: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

76

kiranya yang membuat pembelajaran dengan metode sorogan tidak begitu

efektif.

Untuk mengantipasi hal tersebut peneliti menyarankan kepada bapak

kiai, ustadz/ustadzah untuk menambah alokasi waktu sehingga proses

pembelajaran dengan metode sorogan dapat berjalan dengan baik dan efektif.

Adapun mengenai fasilatas dalam pembelajaran kitab Kasyifatu Saja

dengan metode sorogan dan metode bandongan, peneliti tidak melihat adanya

perbedaan secara signifikan sebab, keduanya sama–sama tidak menggunakan

papan tulis, dan semua santriwati mempunyai kitabnya sendiri–sendiri.

Page 77: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

77

BAB V

KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP

I. KESIMPULAN

Setelah menganalisis studi komparatif efektifitas metode sorogan

dengan metode bandongan kitab kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari analisis data penelitian diatas, nilai rata–rata/mean metode sorogan

adalah 88,72, ini menunjukan penguasaan santriwati terhadap materi kitab

Kasyifatu Saja dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri

Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tergolong baik.

2. Kemudian penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja

dengan metode bandongan di pondok pesantren salaf putri Arribathul

Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tergolong baik juga, jika dibandingkan

dengan mean metode sorogan. Ini terbukti dengan hasil nilai rata–rata

metode bandongan yaitu 90, 88.

3. Setelah peneliti menganalisis data yang diperoleh melalui penghitungan

statistik dengan rumus T–test menunjukan hasil –1,266 Bila hasil tersebut

dikonsultasikan dengan nilai (t–tabel) baik pada taraf signifikansi 5%

maupunn taraf 1%, maka hasilnya adalah non signifikan. Hal ini berarti

bahwa metode sorogan tidak efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab

Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru

Kaliwungu Kendal”.

Page 78: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

78

II. SARAN

Saran yang dapat penulis sampaikan kepada segenap civitas (santri

ustadz/stadzah dan kiai) pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy

Saribaru Kaliwungu Kendal.

1. Hendaknya para santriwati memperhatikan bagaimana jalur yang sesuai

dalam mengikuti pengajian/pengajaran di pondok pesantren sebelum

mengikuti pengajian dengan metode sorogan dan bandongan.

2. Alangkah baiknya apabila Bapak kiai memberikan motivasi kepada para

santriwati sehingga dapat menambah giatnya dalam mengikuti pengajian

dengan sistem sorogan dan bandongan.

3. Dalam menyampaikan materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan

sebaiknya ustadz/ustadzah dan kiai mempunyai suatu paradigma yang

baru, yaitu: memberikan penjelasan terhadap materi yang sedang dikaji,

sehingga santriwati dapat memahaminya.

Di samping itu juga perlu diadakannya sistem sorogan yang yang

mutakhir sebagaimana praktek guru besar Mukti Ali, beliau mengajarkan

mahasiswa pasca sarjana dan pendidikan doktor dengan metode sorogan.

Mahasiswa diberi tugas untuk membaca satu persatu pada waktu tatap

muka yang terjadwal, kemudian setelah membaca diadakan pembahasan

dengan cara dialog dan berdiskusi sampai mendapat pemahaman yang

jelas pada pokok bahasan.

4. Begitu juga sebaliknya dalam pengajaran dengan metode bandongan ini,

ustadz/ustadzah dan kiai setelah membacakan dan menjelaskan materi

yang dikaji, salah satu santriwati diperintah untuk membaca dan

menjelaskan materi tersebut. Sehinnga seakan–akan yang dapat membaca

dan menjelaskan materi kitab itu seorang ustadz, ustadzah ataupun kiai.

III. PENUTUP

Dengan rasa rendah hati penulis mengucapkan rasa syukur kepada

Allah SWT, bahwa proses pembuatan skripsi yang berjudul “studi komparatif

efektifitas metode sorogan dengan metode bandongan kitab Kasyifatu Saja di

Page 79: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

79

pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal”,

telah selesai.

Oleh karena itu penulis mengharapkan bagi para pembaca yang

kebetulan membaca skripsi ini, sebuah kritikan yang dinamis, progresif yang

sifatnya membangun demi kesempurnaan proses pembuatan skripsi ini.

Akhirnya, semoga proses pembuatan skripsi ini dapat bermamfaat bagi

diri penulis dan masyarakat pada umumnya serta khususnya bagi pondok

pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.

Page 80: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

80

Page 81: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

81

Page 82: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

82

DARTAR PUSTAKA

AlQur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV. Toha Putra, 1989.

Al–Jawi, Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi, Syarh Kasyifatu Saja, Semarang: Toha Putra, t.t.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, Cet. XI.

Ali, Muhammad, Startegi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, 1993.

Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, Cet. I.

Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al–Ikhlas, 1993, Cet. I.

Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek Dan Proses Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset 1986.

_____________, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, Cet. VII.

Dokumentasi Pondok Pesantren Salaf putri Arribathul Islamy, tt.p.: Saribaru Kaliwungu Kendal, t.p.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, Cet. I.

Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS”, tt. p., Saribaru Kaliwungu Kendal, 2000.

Page 83: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

83

Daulay, Haidar Putra, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, Cet. I.

Dirdjosanto, Pradjarta, Memelihara Ummat Kiai Pesantren–Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hoeve, 1993, Cet. I.

Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 15, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991.

Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. I.

Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Dan mengajar, Bandung: PT. Sinar Baru, 2000, Cet. II.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996,Cet. VI.

________, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. I.

Ibrahim, R. dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Ibn Surah, Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa, Al–Jami’u Shahihu Sunanu Tarmidziyy,Darul Fikri, t.t.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, Cet. IV.

Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Cemara Indah, 1978.

Maturidy, Didin Hafidudin, “Tinjauan atas “Tafsir Munir” Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Wawasan

Page 84: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

84

Intelektual Indonesia Telaah Atas Karya–Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, Cet. I.

Muslim, Aplikasi Statistik, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1996.

Mughni, Syafiq A., Nilai–Nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I.

Madjid, Nurcholish, Bilik–Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. VII.

Muhammad, Husain, “Konstektualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian & Metode Pengajaran”, dalam Sa’id Aqiel Siradj et. al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.

Mochtar, Affandi, “Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.

______________, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, Jakarta: Kalimah, 2001, Cet. I.

Makmum, Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002, Cet. V.

Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.

Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum Santri, Bandung: Bayan, 1988, Cet. I

Nasuha, Chozin, “Epistimologi Kitab Kuning”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.

Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985,

Page 85: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

85

Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995.

Prasodjo, Sudjoko, et. al., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al–Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1975, Cet. II.

Rahim, Husni, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999.

Rahardjo, M. Dawam, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985, Cet. I.

Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984 /985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985.

Saridjo, Marwan et. al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1979.

Singarimbun, Masri , Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, Cet. I.

SM, Ismail, (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I,

Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia, Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984, Cet. I.

Sejarah Pon–Pes ARIS KH. Ahmad Dum Irfan Pendiri Pondok Pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal Pengikut Jejak Ayahanda KH. Irfan Pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu Kendal, Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 1422 H/2001 M.

Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantrenn, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. I.

_________________, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV. Dharma Bhakti,

Page 86: BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAHlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/31/jtptiain-gdl-s1-2004... · 1 BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG MASALAH Berbicara tentang

86

1399 H.

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1979, Cet. II.

Zarkasyi, Abdullah Syukri, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Charles M. Stanton, et. al., Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994.

Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Terj. Butche B. Soendjoyo, Jakarta: P3M, 1986, Cet. I.

Zaini, Abdul Wahid, “Rekonstruksi Khazanah Kitab Kuning: Dinamika Pemikiran dunia Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, akarta: Edisi Nopember/68/TahunVII/1999. Zarnuji, Syekh, Ta’limul Muta’allim, Semarang: Toha Putra, t.t.