BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG...
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, maka orang tidak
mungkin melepaskan pembicaraan tentang tiga institusi pendukungnya, yakni
pesantren, madrasah dan sekolah (agama). Ketiga institusi ini merupakan
penopang gerak langkah dan dinamika dari apa yang dinamakan dengan
pendidikan Islam di Indonesia.1
Tetapi di dalam pembahasan skripsi ini, penulis tidak akan membahas
ketiga institusi pendidikan tersebut, tetapi hanya akan membatasi pada
pembahasan tentang eksistensi pondok pesantren salaf, khususnya yang
berkaitan dengan metode sorogan dan metode bandongan.
Pondok pesantren adalah pendidikan Islam tertua di Indonesia yang
telah berabad-abad lamanya tumbuh dan berkembang di bumi/alam Indonesia
yang kita cintai ini. Pondok pesantren telah tercatat mempunyai peranan
penting dalam sejarah pendidikan di tanah air kita, serta telah banyak
menyumbangkan amal baktinya yang tidak terhingga nilainya, terutama dari
segi mencerdaskan rakyat/warga negara.2
Pondok, artinya tempat menumpang bertempat sementara. Pesantren,
artinya tempat para santri. Santri artinya pelajar yang menuntut ilmu agama.
Maka di Jawa hanya disebut “Pondok” saja. Di tempat lain disebut
“Pesantren”. Pondok Pesantren, adalah lembaga pendidikan Islam dengan
sistem asrama. Di dalamnya ada kyai yang bertindak sebagai guru dan sebagai
sentral figur. Kemudian ada santri, asrama dan lokal belajar serta masjid
sebagai sentral miliu.
Sejarah asal mula pondok pesantren di Indonesia bersamaan dengan
permulaan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Memang ada yang
1 Haidar Putra Daulay, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), Cet. I, hlm. Vii.
2
berpendapat bahwa pondok pesantren itu warisan dari sistem Hindu yang
dinamakan “padepokan”, tetapi jelas ada perbedaan besar antara pesantren
dan padepokan. Kalau pada zaman Hindu yang belajar dan mengajar di
padepokan hanya kasta-kasta khusus, yakni Brahmana dan Ksatria, maka
dalam pondok pesantren Islam semua orang dapat belajar tanpa ada
perbedaan.3
Sementara itu, menurut Zamakhsyari Dhofier sebuah Pondok Pesantren
setidaknya mempunyai lima elemen dasar sebagai tradisi pesantren, yaitu:
pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kyai.4
Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab
komentar (syarh, Indonesia/Jawa: syarah) atau komentar atas komentar
(hasyiyah) atas teks yang lebih tua (matan). Edisi cetakan dari karya-karya
klasik ini biasanya menempatkan teks yang di–syarah-i atau di–hasyiah-i
dicetak di tepi halamannya, sehingga keduanya dapat dipelajari sekaligus.5
Kebanyakan buku-buku teks dasar adalah manzhum, yakni ditulis dalam
bentuk sajak-sajak berirama (nazham), supaya mudah dihafal.6
Sebagian kecil dari terjemahan (berbahasa Jawa, Madura dan Sunda)
hanya berisi terjemahan sela baris yang ditulis mencong, dengan tulisan lebih
kecil, di bawah setiap kata teks Arabnya yang dicetak tebal, dan karena itu
dijulugi jenggotan.7
Format kitab klasik yang paling umum dipakai di pesantren sedikit lebih
kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak berjilid. Lembaran-lembaran (koras-
2 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, (Jakarta:
Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985), hlm. 1.
3 Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi, Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), hlm. 317.
4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet. I, hlm. 44.
5 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. I, hlm. 141.
6 Ibid. 7 Ibid., hlm. 142.
3
koras) tidak berjilid dibungkus kulit sampul, sehingga para santri dapat
membawa hanya satu halaman yang kebetulan sedang dipelajari saja.8
Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab klasik, terutama karangan-
karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah, merupakan satu-satunya
pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama
pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang
tinggal di pesantren untuk jangka pendek (misalnya kurang dari satu tahun)
dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai tujuan untuk mencari
pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan. Kebiasaan semacam
ini terlebih-lebih dijalani pada waktu bulan Ramadhan, sewaktu umat Islam
diwajibkan berpuasa dan menambah amalan-amalan ibadah, antara lain
sembahyang sunnat, membaca al-Qur’an dan mengikuti pengajian. Para santri
yang tinggal sementara ini janganlah kita samakan dengan para santri yang
tinggal bertahun-tahun di pesantren yang tujuan utamanya ialah untuk
menguasai berbagai-bagai cabang pengetahuan Islam.
Para santri yang bercita-cita ingin menjadi ulama, mengembangkan
keahliannya dalam bahasa Arab melalui sistem sorogan dalam pengajian
sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.9
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat
digolongkan ke dalam 8 kelompok: 1. nahwu (syntax) dan saraf (morfologi);
2. fiqh; 3. usul fiqh; 4. hadis; 5. tafsir; 6. tauhid; 7. tasawuf dan etika, dan 8.
cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi
teks yang sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal
mengenai hadis, tafsir, fiqh, usul fiqh dan tasawuf. Kesemuanya ini dapat pula
digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu: 1. kitab-kitab dasar; 2. kitab-kitab
menengah; 3. kitab-kitab besar.10
8 Ibid. 9 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 50. 10 Ibid.
4
Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional,
yaitu model sorogan dan model bandongan.11
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau yang
disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana
seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling
mengenal di antara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu
persatu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang
bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing–masing. Dengan
sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan kiai dengan
santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri
secara satu persatu.12
Adapun model bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana
dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para
santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan
menyimak bacaan kiai. Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah
itu lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai
berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa
pengajian itu merupakan kewajiban bagi mukallaf.13
Dalam penulisan skripsi ini, penulis ingin membahas mengenai studi
komparatif efektifitas metode sorogan dengan metode bandongan dalam
penguasaan kitab Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu yang
merusak puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk
tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang
sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam
lubang, di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal.
II. PENEGASAN ISTILAH
11 Ismail SM (eds.),Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I, hlm. 101.
12 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 50.
5
Untuk menghindari kesalah pahaman tentang judul skripsi ini, maka
perlu ditegaskan beberapa istilah yang digunakan, yaitu:
1. Studi Komparatif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman tentang apakah ada perbedaan nilai suatu
observasi (disebut variabel terikat atau dependent) berdasarkan klasifikasi
subyek (disebut faktor, variabel bebas atau independen).14
Dengan kata lain, penelitian ini mempertanyakan apakah nilai
suatu observasi (penguasaan materi kitab Kasyifatu Saja khususnya pada
fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang macam–macam
orang yang diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya,
dan fasal menjelaskan tentang sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari
hal–hal yang masuk ke dalam lubang), yang diperoleh suatu kelompok
subyek (santriwati yang mengaji dengan metode sorogan) berbeda dari
yang diperoleh oleh kelompok yang lain (santriwati yang mengaji dengan
metode bandongan).
2. Efektifitas; Adapun efektifitas ialah dapat membawa hasil; berhasil
guna.16 Yang dimaksud dalam skripsi ini adalah penulis akan berusaha
mempelajari/meneliti perbandingan lebih efektif manakah materi kitab
Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu yang merusak puasa,
fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak
mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu
yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang,
mudah dipahami oleh santriwati dengan metode sorogan atau metode
bandongan.
3. Metode sorogan adalah metode pendidikan yang tidak hanya dilakukan
oleh santri bersama kyai atau ustadz, melainkan juga antara santri dengan
santri lainnya. Dengan sorogan santri diajak untuk memahami kandungan
13 Ibid., hlm. 51. 14 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 306. 16 Ibid, hlm. 219.
6
kitab secara berlahan-lahan secara detail dengan mengikuti pikiran atau
konsep-konsep yang termuat dalam kitab kata per-kata.17
4. Metode bandongan yaitu sekelompok murid (antara 5 sampai 500)
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan
menerangkan dan seringkali mengulas buku–buku Islam dalam bahasa
Arab.18
5. Penguasaan adalah pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan
pengetahuan, kepandaian dan lain sebagainya. Yang dimaksud di sini
adalah penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
khususnya pada fasal tentang sesuatu yang merusak puasa, fasal tentang
macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak mengerjakan puasa
dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu yag tidak
membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang, baik
dengan metode sorogan maupun metode bandongan di pondok pesantren
salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
6. Kitab Kasyifatu Saja berarti pembuka kegelapan: penjelasan (syarh) atas
Safinatun Naja–nya Syekh Salim bin Samir al–Khudhori. Kitab ini
(Kasyifatun Saja) dikarang/tulis oleh Syekh al-Imam al–Fadhil Abi ‘Abdi
al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi dan kitab ini membahas masalah
tauhid dan fikih ibadah serta menyinggung tentang tasawwuf.19
Kitab ini (Kasyifatu Saja) terdiri dari……………….fasal, adapun
yang penulis jadikan penelitian (eksperimen) terhadap santriwati di
pondok pesantren Arribathul Bathul Islamy saribaru Kaliwungu Kendal
hanya 3 (tiga) fasal yaitu: pertama fasal tentang sesuatu yang merusak
puasa, kedua fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan
untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan ketiga fasal
menjelaskan tentang sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal
yang masuk ke dalam lubang.
17 Husni Rahim, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur
Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999, hlm. 4.
18 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 28.
7
7. Pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal terletak di kota Saribaru yang pada mulanya nama Saribaru adalah
Poting.20 Pendiri pondok pesantren Arribathul Islamy ialah Bapak
Ahmaddun putra Bapak kyai Irfan, pendiri pondok pesantren APIK
Kaliwungu Kendal.21 Pada tahun 1952 atas kesepakatan sesepuh
Kaliwungu beliau mendirikan pondok pesantren Arribathul Islamy yang
menampung santri putra.22 Kemudian atas inisiatif kyai Ahmad Irfan
Ru’yat (saudara sepupu kyai Ahmaddun) dan kesepakatan ulama beserta
masyarakat setempat dan dengan berbagai alasan dan pertimbangn, maka
pondok pesantren Arribathul Islamy bertepatan pada tahun 1957 dirubah
menjadi pondok pesantren putri.23
III. MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang masalah dan penegasan istilah seperti
dikemukakan di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
Saribaru Kaliwungu Kendal?
2. Bagaimana penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
dengan metode bandongan di pondok pesantren salaf putri Arribathul
Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal?
3. Bagaimana komparatif efektifitas penguasaan santriwati terhadap materi
kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan metode bandongan di
pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal?
IV. MANFAAT PENELITIAN
19 Untuk Lebih Jelasnya Lihat Kitab Kasyifatu Saja. 20 Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS”,(Saribaru Kaliwungu Kendal: 2002), hlm. 32. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid.
8
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi tentang metode sorogan, metode bandongan, kitab Kasyifatu Saja
dan pondok pesantren.
Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan
bagi bapak kiai, ustadzah dan khususnya para santriwati untuk meningkatkan
penguasaan materi kitab Kasyifatu Saja khususnya pada fasal tentang sesuatu
yang merusak puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan
untuk tidak mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang
sesuatu yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam
lubang, baik dengan metode sorogan maupun metode bandongan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Untuk mempermudah memahami dan mengetahui pokok bahasan
skripsi ini, maka penulis diskripsikan sesuai dengan urutan dari BAB I sampai
dengan BAB V sebagai berikut: BAB I :Pendahuluan, meliputi: latar belakang masalah, penegasan
istilah, permasalahan, tujuan penelitian, hipotesis, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan skripsi.
BAB II :Membahas mengenai Metode Sorogan, Metode Bandongan
dan Kitab Kasyifatu Saja, metode sorogan dan metode bandongan meliputi:
Pengertian metode sorogan dan bandongan, dasar dan prinsip metode sorogan
dan bandongan (filosofis, historis, psikologis dan didaktis), fungsi dan tujuan
metode sorogan dan bandongan, subjek dan objek penerapan metode sorogan
dan bandongan, prosedur penerapan metode sorogan dan bandongan, faktor–
faktor pendukung dan penghambat penerapan metode sorogan dan bandongan,
persamaan dan perbedaan metode sorogan dan bandongan, efektifitas
penerapan metode sorogan dan bandongan. Kitab Kasyifatu Saja, meliputi:
Pengertian kitab Kasyifatu Saja, pengarang kitab Kasyifatu Saja, isi kitab
Kasyifatu Saja, obyek pengkaji kitab Kasyifatu Saja.
BAB III :Hasil–hasil penelitian, meliputi: Gambaran umum pondok
pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal, Metode
9
pembelajaran di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal, Metode pembelajaran kitab Kasyifatu Saja di pondok
pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal dan Skor
test hasil belajar Kitab Kasyifatu Saja.
Gambaran umum pondok pesantren terdiri atas: diskripsi pondok pesantren,
keadaan ustadz/ustadzah (guru), keadaan santriwati (santri mukim dan santri
kalong).
Metode pembelajaran di pondok pesantren terdiri atas: Metode bandongan,
metode sorogan, metode dialog, metode menguraikan/menjelaskan (murodi),
metode lalaran, metode diskusi (batsul masa’il), metode hafalan.
Metode pembelajaran kitab kasyifatu saja di pondok pesantren terdiri atas:
Metode bandongan, metode sorogan, metode diskusi.
Skor test hasil belajar Kasyifatu Saja terdiri atas: Skor test metode sorogan
dan skor test metode bandongan.
BAB IV :Analisis Data Penelitian, meliputi: Analisis pendahuluan,
analisis uji hipotesis dan analisis lanjut.
BAB V :Penutup, meliputi: kesimpulan, saran dan penutup.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. METODE SOROGAN
1. Pengertian Metode Sorogan
Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti “sodoran atau yang
disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana
seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling
mengenal di antara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu
persatu, secara bergantian.1
Sistem individual ini dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut
sistem sorogan.2 Sorogan, disebut juga sebagai cara mengajar perkepala yaitu
setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran
secara langsung dari kiai.3
Sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau
beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu.4
Metode sorogan yaitu santri membacakan kitab kuning di hadapan kiai–
ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik dalam
konteks makna maupun bahasa (nahwu dan sharf),5
Dari beberapa definisi sorogan di atas, maka dapat diambil suatu
kesimpulan: sistem sorogan adalah proses belajar mengajar secara face to
face, santri berinteraksi secara langsung dengan seorang tutornya (kiai/guru),
dan dalam menentukan suatu materi (kitab) yang akan dibacapun santri
1 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet. I, hlm. 50. 2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta:
LP3ES, 1982), Cet. I, hlm. 28. 3 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. VI, hlm. 145. 4 Nurcholish Madjid, Bilik–Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), Cet. VII, hlm. 28. 5 Affandi Mochtar, “Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum, dalam, Sa’id Aqiel
Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 223.
11
mempunyai indepedensi untuk menentukan sendiri, tanpa adanya interpensi
dari kiai apalagi teman santrinya.
2. Dasar dan Prinsip Metode Sorogan
i. Dasar dan Prinsip Filosofis
Dalam hal ini metode sorogan jika ditinjau dari perspektif filosofis,
khususnya filsafat pendidikan, maka sesuai dengan pandangan aliran
filsafat progresivisme mengenai belajar bertumpu pada pandangan
mengenai anak didik sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan mahluk–mahluk lain.6
Pandangan progesivisme yang memberi tempat demikian khusus
kepada anak, mendorong ke arah pembicaraan tentang pendidikan dan
pengajaran yang terpusat pada anak. Terlepas dari makna–makna yang
sesungguhnya tentang semuanya itu (mengenai pendidikan dan pengajaran
yang berpusat pada anak), timbulnya adalah merupakan reaksi terhadap
pendidikan dan pengajaran yang berpusat pada guru. Pada jenis
pendidikan yang terakhir ini, guru atau pendidik melakukan peranan lebih
dibandingkan dengan anak didik.7
Bila pendidikan yang berpusat pada anak itu diartikan sebagai
pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan potensi dan bakat yang ada
pada anak, maka ada beberapa argumentasi yang dapat dikembangkan.
Secara teoretik dapatlah diterima pengertian, bahwa anak didik memiliki
potensi dan bakat itu. Perkembangannya akan tergantung dari sambutan
dan pengaruh pendidikan dan pengajaran. Itulah sebabnya maka
pendidikan dan pengajaran berusaha menolong dan membantu
perkembangan–perkembangannya.8
Dalam jangkauan untuk mencapai tujuan yang ideal jenis dan taraf
metode tersebut perlu disusun dengan mengingat taraf perkembangan dan
kemampuan anak didik. Dengan mengingat adanya beberapa komponen
6 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek Dan Proses
Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset,1986), hlm. 34. 7 Imam Barnadib, op. cit., hlm. 37. 8 Ibid.
12
yang saling mengadakan interaksi tersebut, maka kebebasan anak didik
dalam menjadi subjek proses pendidikan dan pengajaran itu memiliki
makna tersendiri.9
Dengan demikian jelaslah, bahwa pendidikan dan pengajaran yang
berpusat pada anak bukanlah semata–mata membiarkan anak didik itu
sendiri menempuh perjalanan pribadinya. Bila demikian, ia tidak akan
mampu menemukan diri sendiri sebab bakat dan potensinya baru akan
berkembang bila memperoleh bimbingan dan bantuan oleh pendidikan dan
pengajaran.10
Nyata sekali metode sorogan dalam pandangan aliran filsafat
frogesivisme di mana anak didik (santriwati) menempati posisi yang
sangat luhur, karena santriwati bebas untuk mengekspresikan semua ide-
ide yang ada dalam pikirannya di hadapan seorang gurunya. Bahkan tidak
itu saja, melainkan dalam menentukan kitab yang akan dibacapun seorang
santriwati bebas untuk menentukan kitabnya sendiri sesuai dengan tingkat
penguasaannya, selain itu juga dalam menentukan waktu santriwati bebas
untuk memilihnya sesuai dengan kesempatan dan kondisi keadaan
santriwati.
ii. Dasar dan Prinsip Historis
Ada empat macam bentuk pondok pesantren yang diselenggarakan
pada zaman kerajaan Mataram sewaktu mencapai puncak kejayaannya
tahun 1630 M, yang dimpin oleh Sultan Agung. Antara lain: Tingkat
pengajian al-Qur’an, tingkat pengajian kitab, tingkat pesantren besar dan
pondok pesantren tingkat keahlian (takhassus).11
Tetapi dalam pembahasan ini penulis hanya akan menjelaskan
tentang Tingkat Pengajian Kitab, tentunya yang ada relevansinya dengan
sejarah metode sorogan.
9 op. cit., hlm.38. 10 Ibid. 11 Marwan Saridjo, et.al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, (Dharma Bhakti:
Jakarta, 1979), hlm. 34.
13
Para santri yang belajar pada tingkat ini (Tingkat Pengajian Kitab)
ialah mereka yang telah khatam al–Qur’an. Gurunya biasanya modin
terpandai dalam desa itu sendiri, atau modin yang didatangkan dari luar
dengan syarat–syarat tertentu. Guru–guru yang mengajar itu diberi gelar
Kiai Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka
umumnya mondok. Kitab–kitab yang dipelajari mula–mula Usul 6 Bis,
yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi 6 kitab dengan 6
bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Samarkandi, kemudian
dilanjutkan dengan Matan Taqrib dan Bidayatul Hidayah karangan Imam
Ghazali. Waktu belajar pagi hari, tengah hari dan malam hari. Sistem yang
digunakan ialah sorogan.12
Kembali ke sejarah, sebenarnya tradisi pengajian dengan sistem
sorogan ini sudah lama, yakni sejak kerajaan Mataram mencapai puncak
kejayaannya yang dipimipin oleh Sultan Agung kurang lebih pada tahun
1630 M.
iii. Dasar dan Prinsip Psikologis
Dalam dunia psikologi pendidikan metode ini bisa juga disebut
dengan metode pengajaran yang berorientasi pada individu. Metode
pendekatan belajar–mengajar ini dapat mengandung dua konotasi, yaitu:
i. Sebagai pengajaran yang diprogramkan dan diberikan kepada siswa
secara perseorangan (individual study)
Belajar mandiri (individual study, independent study) karena
program studi setiap orang bersifat mandiri, hampir tiada ikatan
kegiatan seorang siswa dengan siswa lainnya. Tiap orang harus
berhubungan dengan guru atau tutornya.13
ii. Sebagai pengajaran yang memperhatikan dan disesuaikan (adapted)
kepada karakteristik perbedaan individual siswa (individualized
instrukcional).
12 Ibid. 13 Abin Syamsuddin Makmum, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2002), Cet. V, hlm. 245.
14
Program studi untuk keperluan belajar dengan metode ini
biasanya masih ada kaitan dengan kelompoknya (group contex),
namun pelaksanaannya disesuaikan dengan kecepatan, minat, dan
kebutuhan siswa yang bersangkutan.14
Metode sorogan akhir–akhir ini kembali dipandang sebagai
metode yang baik, karena ternyata justru sesuai dengan pandangan
terbaru di bidang pendidikan di mana individualisasi pengajaran dan
bimbingan terhadap murid memperoleh tempatnya lagi.15
Pelajaran individual ini memberikan kebebasan kepada para
siswa sekaligus, untuk mengikuti pelajaran menurut prakarsa dan
perhitungan sendiri, menentukan bidang jurusan dan tingkat kesukaran
buku pelajarannya sendiri serta mengatur intensitas belajar menurut
kemampuan menyerap dan motivasinya sendiri.16
iv. Dasar dan Prinsip Didaktis
Metode sorogan secara didaktik metodik dalam konteks
pencapaian hasil belajar terbukti memiliki efektifitas dan signifikansi
yang tinggi. Karena sistem ini memungkinkan seorang kiai/ustadz
mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan
seorang santri dalam menguasai materi.17
Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode
yang modern, antara antara guru/kiai dan santri saling mengenal
secara erat dan guru menguasai benar materi yang seharusnya
diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya.
Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid
dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi
14 Ibid. 15 Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: al–Ikhlas, 1993),
Cet. I, hlm. 97. 16 Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, terj. Butche B. Soendjoyo,
(Jakarta: P3M, 1986), Cet. I, hlm. 168–169. 17 Ismail SM (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), Cet. I, hlm. 54.
15
muridnya. Di samping itu metode sorogan juga dilakukan secara
bebas (tidak ada paksaan) dan bebas dari hambatan formalitas.18
3. Fungsi dan Tujuan Metode Sorogan
Dalam dunia pendidikan kaum muslimun di Indonesia, metode tersebut
dipergunakan baik dalam pengajaran al–Qur’an di rumah–rumah, di mushalla
(langgar), di Masjid, juga di setiap pesantren tradisional untuk mengajarkan
kitab–kitab klasik kepada para santri.19
Sebab pada hakikatnya, dalam pengajian sorogan inilah, pengajaran
kitab maupun pelimpahan nilai–nilai sebagai proses “delivery of culture”
berlangsung amat intensif.20 Karena, murid diharuskan menguasai pembacaan
dan terjemah persis seperti yang dibacakan oleh ustadz. Dari terjemah itu
sendiri santri mengetahui fungsi dan arti kata dalam suatu kalimat bahasa
Arab.21
Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kiai di dalam
memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu
berusaha agar santri dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab.22
Sistem sorogan dalam pengajian ini merupakan bagian yang paling sulit
dari keseluruhan sistem pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin dari murid.23
Memang benar dalam melakukan sesuatu harus didasari dengan
kesabaran dan ketabahan yang tinggi, apalagi dalam hal ini menuntut ilmu
agama Islam di pondok pesantren, di mana kesabaran dan ketabahan harus
dikedepankan. Maka kesabaran dan ketabahanlah sebagai kunci kesuksesan,
kebanyakan santri yang tidak sabar dan tabah dengan kondisi riil pondok
pesantren maka mereka akan gagal, hal tersebut telah di peringatkan oleh
18 Ibid., hlm. 102. 19 Imam Bawani, loc. cit. 20 Sudjoko Prasodjo, et. al., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren al–Falah
dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1975), Cet. II, hlm. 53. 21 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 132. 22 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 51. 23 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit.
16
Syekh al-Zarnuji dalam kitabnya yang sudah tidak asing lagi dikalangan
pondok pesantren salaf, yakni kitab Ta’limul-Muta’allim.
���������� ������������������������������ “Segala sesuatu, tinggi di dalam cita–cita, sayang seribu sayang, langka orang tabah mengembannya”.24 Kebanyakan murid–murid pengajian di pedesaan gagal dalam
pendidikan dasar ini. Di samping itu banyak di antara mereka yang tidak
menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri pada tingkat sorogan
ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren, sebab pada
dasarnya hanya murid–murid yang telah menguasai sistem sorogan sajalah
yang dapat memetik keuntungan dari sistem bandongan di pesantren.25
Sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi
seorang murid yang bercita–cita menjadi seorang ‘alim.26
Itulah kekhasan pengajaran dengan sistem sorogan di mana mempunyai
fungsi yang multidimensi, di samping untuk pengajaran kitab kuning di
pondok pesantren salaf, sistem ini juga sangat bagus untuk santri yang akan
melanjutkan pendidikannya dalam sistem bandongan. Yang tidak kalah
menariknya sistem ini tidak hanya “dimonopoli” oleh kalangan pondok
pesantren saja tetapi juga digunakan untuk pengajian al–Qur’an di rumah–
rumah atau mushalla dan masjid.
Di samping itu orientasi dari simtem sorogan para pengajar (kiai/guru)
selalu menekankan penguasaan materi yang akan dibaca/dipelajari santri,
sehingga setelah selesai ngaji santri benar–benar dapat memahami kandungan
kitabnya baik itu tarjamah, kosa kata maupun gramernya.
4. Subyek dan Obyek Penerapan Metode Sorogan
Biasanya ngaji secara individual ini dilaksanakan oleh santri yang
yunior dan dibatasi pada kitab–kitab kecil saja,27 jumlah murid yang
24 Syekh Zarnuji Ta’limul Muta’allim, (Semarang: Toha Putra, t.t.), hlm, 14. 25 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit. 26 op. cit., hlm. 29.
17
”dipegang” oleh seorang ustadz tidak lebih dari 3–4 orang dalam suatu
waktu.28
Di pondok pesantren yang besar maka sorogan itu hanya dilakukan
kepada dua, tiga santri saja yang biasanya terdiri dari keluarga kiai atau
santri–santri yang dianggap oleh kiai yang diharapkan dikemudian hari
menjadi orang ‘alim.29
Sebagai pelajaran individual atau dalam kelompok kecil dipelajari
naskah–naskah dasar Arab yang terpenting. Secara individual atau dalam
kelompok kecil hingga lima orang santri berkumpullah murid dengan naskah
pelajaran di sekitar guru (kiai, Ustadz, santri senior).30
Dilingkungan pesantren, sistem ini sering kali hanya dijalankan untuk
menolong santri yang tertinggal dalam mengikuti pelajaran dan dilakukan
oleh santri senior untuk menolong santri muda yang baru masuk. Dalam
beberapa kasus, sistem ini juga dipakai oleh para kiai untuk mengajarkan
secara mendalam suatu kitab kepada santri khusus.31
Sorogan adalah metode pendidikan yang tidak hanya dilakukan oleh
santri bersama kiai atau ustadz, melainkan juga antara santri dengan santri
lainnya.32 Bahkan sorogan yang dilakukan secara paralel antar santri juga
sangat penting, karena santri yang memberikan sorogan memperoleh
kesempatan untuk mereview kembali pemahamannya dengan memberikan
penjelasan kepada santri lainnya.33
27 Chozin Nasuha, “Epistimolog Kitab Kuning”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al.,Pesantren
Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 265..
28 Nurcholish Madjid, loc. cit. 29 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, (Jakarta:
Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985), hlm. 4–5.
30 Manfred Ziemek, loc. cit. 31 Pradjarta Dirdjosanto, Memelihara Ummat Kiai Pesantren–Kiai Langgar di Jawa,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 149. 32 Husni Rahim, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur
Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999, hlm. 4.
33 Ibid.
18
Perlu dimengerti dalam jiwa santri tidak terdapat sifat enggan untuk
menyebarkan ilmu kepada sesama temannya, walaupun ilmu yang dimilikinya
sangat sedikit.
Bila kaum santri mempunyai banyak ilmu pengetahuan dan sekaligus
mendalaminya, dan tidak mau menyebarluaskan ilmunya maka tidak sedikit
orang akan mengatakan bahwa dirinya dungu dan tolol, karena mereka tidak
percaya akan keilmuwanannya. Sebab mereka belum membuktikan dengan
mata kepala sendiri kepandaian yang dimiliki kaum santri itu. Allah SWT
mengancam dengan ancaman api neraka bagi kaum santri yang berprilaku
demikian. Di dunia dia dipandang hina oleh sesama, lantaran tidak
menyebarluaskan ilmu yang dimiliki, sedang di akhirat ia diancam siksaan.34
Rasulullah SAW telah bersabda:
����� �!�����"�#$!��%& '�#� (���')���'��*#)�+�')�+*#,'-./��#0.��1*#-�2�+�')��3�+*'�#���#0.�1*#-�'4�./�'�#��%5�.6#��'�#���7.�.8!����')�9���#��'�#��.:�.;�#<���')�.=#>�#,���'�#��%�'$#,+?
�.�.�(�.=#�'�#�+@�A#���B'$.�#�C�3��DE�#F��3�� �'�+G#>�.��.(#7E�#G�A�%7!����'�#��.��H+G�'�#">%�#?�'��"�%I�#J���)��K#"�#$L�!��#I'�#��#7�J!./�+B#,#M.��17 �N2OP"�M��Q��>R
Rasulullah SAW telah bersabda: “Barangsiapa ditanya tentang ilmu, kemudian dia merahasiakan, kelak di hari kiamat dia akan dibelenggu dengan belenggu api neraka”(H. R. al–Tirmidzi).35 �
Dengan tegas Allah SWT melaknat santri yang merahasiakan ilmu yang
diberikan kepadanya:
��10���+BS01$#)��#"��*'#)�'��"�O* T!�#����U 09$#�!��#��"��#0V�#�'?./��#"�.:'�+,+M!�#��#�'�P�E���E:W���!�����X ��.:'�+0����+7+Y+0#!�#�#�C�3��+7+Y+0#!�#��#Z H��V�C /���[ M�N=�L���A���R
34 A. Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum Santri, (Bandung:
Bayan, 1988), Cet. I, hlm. 105. 35 Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa Ibn Surah, Al–Jami’u Shahihu Sunanu Tarmidziy, (Darul
Fikri, t.t), hlm. 29.
19
“Sesungguhnya orang–orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan–keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nat Allah dan dila’nat (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nat”. (Q.S. al-Baqarah, Ayat 159)36
Selanjutnya pengajian sorogan masih diteruskan, dengan cara
pemberian wewenang kepada guru–guru untuk melaksanakannya di bilik
masing–masing.37
Kiranya dapat diambil suatu kesimpulan dalam pengajaran dengan
sistem sorogan ini subjek/pengajarnya adalah para kiai, ulama, ustadz, guru,
santri senior, bahkan sistem soroganpun akan semakin efektif jika
dilaksanakan dengan sesama teman (santri) lainnya, sebab sorogan yang
dilaksanakan dengan sesama teman itu di samping santri yang membaca
(mengaji) akan membetulkan kesalahannya, dan yang menjadi “gurupun”
akan mendapat wawasan ilmu pengetahuan dan bertambahnya pengalaman.
Tegasnya dalam sistem sorogan yang dilaksanakan dengan sesama
santri ini terjalin suatu hubungan timbal balik yang saling menguntungkan,
yang dalam istilah biologinya di sebut dengan simbiosis muatualisme.
Adapun obyek dari sistem sorogan yaitu para santri secara individual
yang menggerombol dalam kelompok kecil terdiri antara seorang santri
hingga lima orang santri, umumnya mereka santri yang baru masuk di
pondopk pesantren yang memang betul–betul masih membutuhkan bimbingan
secara individu.
5. Prosedur Penerapan Metode Sorogan
Dalam pengajian dengan sistem sorogan ini terdapat dua cara: pertama,
kiai membaca kitab tertentu dan santri mengikutinya dan kedua, santri
membaca kitab di hadapan kiai dan kiai mengamatinya.38
36 AlQur’an dan Terjemahnya, Surat al-Baqarah, Ayat 159, (Semarang, CV. Toha Putra,
1989), hlm. 40. 37 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS,
2001), Cet. I, hlm. 104. 38 Kahrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha
Peningkatan Prestasi kerra dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Cemara Indah, 1978), hlm. 178.
20
Pelaksanaan sistem pengajaran sorogan ini adalah sebagai berikut: santri
yang pandai mensorogkan sebuah kitab untuk dibaca di hadapan kiai. Dan
kalau ada salahnya maka kesalahan itu langsug dibetulkan oleh kiai.39
Menurut Soedjoko Prasodjo, dkk., presedur pengajian dengan sistem
sorogan sebagai berikut,
“Santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiai, kemudian kiai memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan apabila telah meningkat, juga tentang terjemah dan tafsirnya lebih mendalam”.40 Dalam cara sorogan, satu demi satu santri menghadap kiai–ulama
dengan membawa kitab tertentu. Kiai–ulama membacakan kitab itu beberapa
baris dengan makna yang lazim digunakan di pesantren. Seusai kiai–ulama
membaca, santri mengulang bacaan itu, setelah santri dianggap mampu
membaca dan memahami maknanaya, santri lain mendapat giliran dan begitu
seterusnya.41
Pelaksanaan metode sorogan, santri yang banyak itu datang bersama,
kemudian mereka antri menunggu giliran masing–masing.42 Pengajian ini
persis sama dengan pengajian anak–anak di langgar.43
Sistem sorogan yaitu para santri maju satu persatu untuk membaca dan
menguraikan isi kitab di hadapan seorang guru atau kiai.44 Dengan cara
sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai yang disebut badal.
Mula–mula badal tersebut membacakan matan kitab yang tertulis dalam
bahasa Arab, kemudian menerjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa
daerah, dan menerangkan maksudnya, setelah itu santri disuruh membaca dan
mengulangi pelajaran tersebut satu persatu, sehingga setiap santri
menguasainya.45
39 Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, loc. cit. 40 Sudjoko Prasodjo, et. al., loc. cit. 41 Chozin Nasuha, loc. cit. 42 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 50. 43 Pradjarta Dirdjosanto, loc. cit. 44 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 84. 45 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, loc. cit.
21
Sorogan ialah aktifitas pengajaran secara individual, di mana setiap
santri menghadap secara bergiliran kepada ustadz atau kiai, untuk membaca,
menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila
sisantri telah dianggap menguasai, maka sang ustadz atau kiai akan
menambahnya dengan materi baru, biasanya dengan membacakan,
mengartikan, memberi penjelasan dan lain–lain, lalu santri itu meninggalkan
tempat tersebut untuk pergi ke tempat lain guna mengulang atau merenung
kembali apa yang baru saja diberikan kepadanya, sementara telah menghadap
santri lainnya kepada ustadz atau kiai untuk melakukan dan mendapat
perlakuan yang sama, demikian seterusnya.46
Biasanya dalam metode belajar ini, diawali dengan pembuatan kontrak
kerja antara tutor atau guru dan siswa. Kemudian siswa bekerja sendiri,
mencari sumber menggunakan instrumen membuat tugas (assignment) dengan
laporannya. Hasil pekerjaannya dilaporkan kepada tutor, tugas demi tugas
atau unit demi unit sampai program–seperti tercantum dalam kontrak kerja
seluruhnya dipandang tuntas.
Siswa tidak terikat oleh keharusan hadiran di kelas pada jam tertentu,
tetapi bebas mengunjungi orang–orang sumber, objek–objek yang relevan
atau berkonsultasi dengan tutor berdasarkan waktu yang telah ditetapkan
menurut perjanjian. Namun, batas waktu keseluruhan (misalnya, mingguan
dan sebagainya) biasanya ditetapkan dalam pedoman kerja.47
Jelasnya pelaksanaan pengajian dengan sistem sorogan di mana santri
dalam jumlah yang kecil, terdiri antara seorang santri hingga lima orang
santri mereka bergiliran dalam membacakan kitab. Mula–mula seorang santri
membaca, menerjemahkan, dan jika perlu memberi interpretasi pada kitab
yang sedang dibacanya, kemudian kiai menyimak bacaan santri dan jika ada
kesalahan langsung dibetulkan. Setelah santri selesai membacakan kitabnya
dihadapan kiai, maka giliran santri yang lain untuk mendapat perlakuan yang
sama, dan begitulah seterusnya.
46 Imam Bawani, loc. cit. 47 Abin Syamsuddin Makmum, loc. cit.
22
6. Faktor–faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Metode Sorogan
Salah satu faktor pendukung penerapan metode sorogan ialah, kiai yang
menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai
pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam
membaca dan mengkaji kitab–kitab.48
Dan guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid dan
metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya,49
sebaliknya murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya.50
Metodik pengajaran ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang
demi seorang, dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung,51 dan
yang lebih memudahkan lagi tenaga pengajar tanpa perlu mendapat
kwalifikasi dari pemerintah.52
Di samping itu, murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan
tersebut secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran bila telah
berulang–ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Para guru pengajian dalam
taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai
murid lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut
berhasil menelorkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pengajian
dasar ini, dan kemudian melanjutkan pelajaran di pesantren, ia akan dianggap
sebagai seorang guru yang berhasil.53
Dipandang dari segi filosofis–belajar atau pendidikan yang
mengutamakan prinsip perkembangan potensi individu yang seoptimal
mungkin, dan perubahan berdasarkan kriteria yang ditentukan (behavior
change toward prescribed behavioral objectives), metode belajar mengajar
ini memang sangat cocok. Individu dapat mencapai kemajuan dan prestasi
48 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, loc. cit. 49 Ismail SM, (eds.), loc.cit. 50 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantrenn, op. cit., hlm. 102. 51 Sudjoko Prasodjo, et. al., loc. cit. 52 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek
Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995), hlm. 14.
53 Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 28.
23
secepat–cepatnya dan setinggi–tingginya tanpa terkait oleh orang lain. Ia juga
termotivasi dalam belajar intrinsic.54
Adapun faktor penghambat dari metode sorogan menurut Nurcholis
Madjid, yaitu:
“Sistem ini seringkali tidak ada penjelasan sama sekali, sehingga santri dibiarkan memahaminya sendiri, meskipun sebenarnya banyak yang belum mengerti”.55 Bahkan metode ini banyak dikritik karena tidak efesien dan membuat
fihak guru cepat lelah lantaran melayani murid satu persatu,56 sehingga
metode ini dibanyak pesantren semakin kurang diaplikasikan.57
Bahkan yang lebih memilukan lagi dalam dunia pendidikan modern
seperti kita alami saat ini, pengajian ini interaksi kiai–santri berlangsung
searah. Kesempatan bertanya, berdialog, berdebat dan bertukar fikiran, dengan
sendirinya menjadi tertutup. Oleh cara–cara pengajaran seperti itu, maka
terkesan bahwa ilmu–ilmu yang diajarkan adalah bersifat eksotertik pula.
Metode eksoterik rasional, dalam hal ini telah terabaikan. Padahal
kebanyakan ilmu–ilmu di pesantren lebih memerlukan metode–metode yang
rasional ini.58
Akan tetapi, untuk negara berkembang tampaknya wajar kalau masih
dalam taraf panduan, mengingat program pengajarannya untuk menggunakan
metode belajar mengajar ini memerlukan pengembangan yang cermat. Di
samping itu, ahli dan instrumennya juga dapat dikatakan masih langka. Lebih
lanjut lagi, kalau semua kegiatan belajar secara konsekuen menggunakan
tehnik ini, kemungkinan sifat dan sikap individualistis akan sangat menonjol
sedangkan di dalam praktik hidup sehari–hari setiap orang memerlukan kerja
sama dengan orang lain.59
54 Abin Syamsuddin Makmum, op. cit., hlm. 246–247. 55 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 26. 56 Imam Bawani, loc. cit. 57 Husain Muhammad, “Konstektualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian&Metode
Pengajaran”, dalam Sa’id Aqiel Siradj et. al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), Cet. I, hlm. 281.
58 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm. 29–30.
59 Abin Syamsuddin Makmum, loc. cit.
24
Tentunya dalam pelaksanaan metode sorogan terdapat faktor–faktor
pendukung baik itu faktor yang muncul dalam diri santri itu sendiri (faktor
internal) semisal, sebelum santri membacakan kitab di hadapan kiai, santri
terlebih dahulu mempersiapkan bahan pelajaran (materi) yang akan diajukan,
kemudian faktor pendukung yang terdapat di luar diri santri (faktor
eksternal) semisal, kiai memang benar–benar menguasai dan memahami sifat
peserta didik, alokasi waktu yang tersedia, materi pelajaran, serta metode apa
yang tepat untuk disampaikan kepada santri.
Jika kedua faktor tersebut saling mendukung maka proses belajar
mengajar dengan sistem sorogan ini akan cepat berhasil dan bermamfaat bagi
santri maupun pengajar.
Jika dalam proses belajar mengajar dengan sistem sorogan ada faktor
pendukungnya, tentunya metode tersebut juga mempunyai suatu kelemahan
atau penghambat, di antaranya: dalam sistem sorogan ketika santri sedang
membacakan kitabnya di hadapan kiai, maka seakan–akan kiai “lepas tangan”
tidak mempunyai suatu tanggung jawab terhadap anak didiknya (santrinya),
karena di sini santri disuruh untuk membaca, menerjemah, menelaah kitabnya
sendiri, keadaan seperti ini justru akan melumpuhkan dunia pendidikan jika
pelaksana metode tersebut santri yang masih vakum tentang kitab kuning. Di
samping itu juga metode ini dalam pelaksanaannya bersifat satu arah dan
budaya diskusi apalagi debat tidak ada.
Mengingat akhir–akhir ini dekadensi moral sudah banyak dijumpai di
tengah–tengah masyarakat kita dan para pelakunyapun sudah tidak mempuyai
rasa malu, sehingga animo masyarakat untuk memondokkan putra–putrinya
semakin banyak. Dengan semakin banyaknya jumlah santri yang belajar di
pondok pesantren, maka metode sorogan juga akan mengalami suatu
hambatan, sebab jika semua santri mengikuti sistem sorogan maka akan
menyita banyak waktu dan membuat kondisi/fisik pengajar cepat lelah, dan
membuat sistem ini menjadi tidak efisien.
II. METODE BANDONGAN
25
1. Pengertian Metode Bandongan
Metode bandongan atau weton adalah sistem pengajaran secara kolektif
yang dilaksanakan di pesantren,60 disebut weton, karena pelaksanaan
pengajaran jatuh setiap habis shalat (dikaitkan dengan waktu shalat); dan di
sebut bandongan, karena diikuti sekelompok (bandong) santri jumlah
tertentu.61 Kelompok dari sistem bandongan ini, disebut halaqah, yang berarti
sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang kiai/ustadz.62
Metode bandongan menurut H. Abdullah Syukri Zarkasyi disebut juga dengan
metode weton,
“Yaitu di mana kiai membaca kitab dalam waktu tertentu, santri membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai”.63 Menurut Gus Dur, pengajian dengan sistem weton/bandongan yaitu:
“Di mana sang kiai duduk di lantai masjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan menerangkan teks–teks keagamaan dengan dikerumuni oleh santri–santri yang mendengarkan dan mencatat uraiannya itu”.64 Wahjoetomo memberikan definisi tentang sistem halaqah, menurutnya
sistem halaqah,
“Yaitu model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari atau mendiskusikan suatu masalah tertentu di bawah bimbingan seorang guru”.65 Adapun metode bandongan menurut Affandi Mochtar yaitu,
“Santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai–ulama sambil masing–masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu berupa syakl atau makna mufradat atau penjelasan (keterangan tambahan). Penting ditegaskan bahwa kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi), memiliki cara membaca tersendiri, yang
60 Ismail SM., (eds.), op. cit., hlm. 67. 61 Imam Bawani, op. cit., hlm. 98. 62 Ismail SM., (eds), loc. cit. 63 Abdullah Syukri Zarkasyi, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif kelembagaan
Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi, Studi Islam Asia Tenggara, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994), hlm. 319.
64 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, op. cit., hlm. 104. 65 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 83
26
dikenal dengan cara utawi–iki–iku, sebuah cara membaca dengan pendekatan grammer (nahwu dan sharf) yang ketat”,66 Nurcholis Madjid memberikan devinisi tentang metode weton,
menurutnya metode weton,
“Ialah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih–lebih lagi kitabnya”,67 Menurut penulis, dari mayoritas pondok pesantren salaf dalam
mengadakan proses belajar mengajar menggunakan sistem bandongan atau
weton, sebagaimana yang disinyalir oleh Zamakhsari Dhofier bahwasanya
metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah bandongan
atau seringkali disebut sistem weton.68
Perlu dimengerti untuk setiap daerah istilah bandongan ini berbeda–
beda, misalnya di Sumatera dinamakan halaqah, sedang di Jawa Barat disebut
bandongan,69 adapun di Jawa Timur dinamakan weton,70 bahkan istilah
bandongan ada yang menyebutnya dengan balaghan.71
Dari beberapa definisi di atas yang telah dipaparkan oleh beberapa pakar
pendidikan maupun oleh tokoh yang memahami “dalam luarnya” pondok
pesantren, dapat di ambil suatu kesimpulan metode bandongan sama dengan
metode wetonan, halaqah, balaghan. Di mana dalam pengajaran ini santri
secara kolektif mendengarkan, mencatat uraian yang disampaikan oleh kiai,
pengajian ini dilaksanakan pada waktu–waktu tertentu, materi (kitab) dan
tempat sepenuhnya ditentukan oleh kiai.
2. Dasar dan Prinsip Metode Bandongan
i. Dasar dan Prinsip Filosofis
Aliran esensialisme menghendaki pendidikan yang bersendikan atas
nilai–nilai yang tinggi, yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan.
Nilai–nilai ini hendaklah yang sampai kepada manusia melalui sivilisasi
dan yang telah teruji oleh waktu.
66 Affandi Mochtar, loc. cit. 67 Nurcholish Madjid, op. cit., hlm. 28. 68 Zamakhsyari Dhofier, loc. cit. 69 Kafrawi, op. cit., hlm. 54. 70 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, op. cit., hlm. 51.
27
Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai–nilai
yang ada di dalam “gudang” di luar ke jiwa anak didik. Ini berarti bahwa
anak didik itu perlu dilatih agar mempunyai kemampuan absorbsi yang
tinggi.72
Jadi menurut penulis, metode bandongan ini selaras dengan jiwa
aliran filsafat esensialisme, karena pada dasarnya seorang anak didik
(santri) untuk mencapai suatu pemahaman/penguasaan kitab kuning
mustahil dapat tercapai dengan sempurna tanpa adanya bantuan seorang
kiai atau guru. Dengan adanya mereka (kiai), maka transfer of knowledge
dan transfer of value akan mudah dicapai oleh santri.
ii. Dasar dan Prinsip Historis
Tidak didapati keterangan yang jelas tentang tahun atau kapan
metode tersebut di pergunakan sebagai metode penyampaian (materi)
pelajaran kitab kuning di pondok pesantren salaf, tetapi setidaknya ada
informasi yang menyatakan bahwa; konon cara ini diturun dari Mekkah,
yaitu kebiasaan mengaji dalam lingkungan Masjid Haram. Seorang Syeikh
membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah
muridnya, masing–masing memegang kitabnya sendiri, mendengarkan
dan mencatat keterangan gurunya itu, baik langsung pada lembaran kitab
itu atau pada kertas catatan lain. Jumlah murid tidak dapat ditentukan
dengan pasti, namun selalu merupakan suatu kelompok di hadapan atau di
sekeliling Syeikh.73
Menurut hemat penulis, jika kita kembali pada sejarah sebenarnya
tradisi pengajian dengan sistem bandongan ini sudah berlangsung sejak
beberapa abad yang silam, tidak hanya semenjak agama Islam ini masuk
di Nusantara atau bermunculannya pesantren–pesantren yang didirikan
oleh walisongo sebagai tempat dakwah dan pendidikan. Tentunya ini
didasarkan pada kenyataan bahwasanya embrio munculnya agama Islam
itu bermula dari Mekkah
71 Sudjoko Prasodjo, loc. cit, 72 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, op. cit., hlm.25.
28
iii. Dasar dan Prinsip Psikologis
Metode bandongan jika dipandang dari ilmu jiwa (psikologi)
pendidikan, khususnya dari segi sistem pengajaran, maka metode
bandongan ikut kategori sistem pengajaran expository teaching, dalam
sistem ini guru menyajikan bahan dalam bentuk yang telah dipersiapkan
secara rapi, sistematik, dan lengkap sehingga siswa tinggal menyimak dan
mencernanya secara teratur dan tertib.74
Tetapi bila dipandang dari sudut metode mengajar, maka bandongan
termasuk kategori metode ceramah atau kuliah (lecture), maksudnya ialah
suatu cara belajar mengajar di mana bahan disajikan oleh guru secara
monologue (sologuy) sehingga pembicaraan lebih bersifat satu arah (one
way communication). Adapun siswa memiliki keterbatasan dalam
memperhatikan, mendengarkan, mencamkan, mencatat, dan kalau perlu
diberi kesempatan menjawab dan atau mengemukaan pertanyaan.75
iv. Dasar dan prinsip Didaktis
Kegiatan belajar yang bersifat menerima terjadi karena guru
(Kiai/Ustadz) menggunakan pendekatan mengajar yang bersifat
ekspositori. Baik pada tahap perencanaan maupun pada pelaksanaan
mengajar, dalam pendekatan ini guru berperan lebih aktif, lebih banyak
melakukan aktifitas dibandingkan dengan siswa–siswinya (santri). Guru
telah mengelola dan mempersiapkan bahan ajaran secara tuntas, lalu
menyampaikan kepada siswa. Sebaliknya, para siswa berperan lebih pasif,
tanpa banyak melakukan kegiatan pengolahan banyak, karena menerima
bahan ajaran yang disampaikan oleh guru.76
3. Fungsi dan Tujuan Metode Bandongan
73 Sudjoko Prasodjo, et.al., loc. cit. 74 Abin Syamsuddin Makmum, op. cit., hlm. 233. 75 Abin Syamsuddin Makmum, Ibid., hlm. 239. 76 R. Ibrahim dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,
1991), hlm. 43.
29
Di halaqah inilah guru mengajarkan kitab kuning.77 Cara belajar
semacam ini paling banyak dilakukan di pesantren. Bahkan, ada pesantren
tertentu yang mengadakan pengajaran pasaran atau pasanan dengan
mengambil cara yang sama tetapi dikerjakan dalam waktu yang terus menerus
sehingga, misalnya, kitab Shahih al-Bukhari atau kitab besar lainnya dapat
dikhatamkan dalam waktu singkat. Ngaji pasaran ini biasanya dilakukan oleh
santri–santri dewasa yang ingin mencari apsahan (makna kata) pada kitab
tertentu.78
Metode bandonagn juga bermamfaat ketika jumlah murid cukup besar
dan waktu yang tersedia relatif sedikit, sementara materi yang harus
disampaikan cukup banyak. Ia juga berguna dan tepat bila diberikan kepada
murid–murid seusia tingkatan dasar (ibtida’iyah) dan tingkat menengah
(tsanawiyah) yang segala sesuatunya masih perlu diberi atau dibekali.79
Pada umumnya pesantren lebih banyak menggunakan motode weton
karena lebih cepat dan praktis untuk mengajar banyak materi.80 Orientasi
pengajaran secara Bandongan atau halaqah itu lebih banyak pada
keikutsertaan santri dalam pengajian.81 Sementara kiai berusaha menanamkan
pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan
kewajiban bagi mukallaf. Kiai dalam hal ini memandang penyelenggaraan
pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah SWT.82
Semua orang dalam melaksanakan sesuatu tentunya harus didasarkan
pada prinsip ibadah kepada Allah SWT, demikian juga salah satu dari fungsi
dan tujuan pengajaran dengan metode bandongan, sehingga santri dalam hal
ini bukan hanya mendapatkan tambahnya ilmu pengetahuan tetapi juga
mendapatkan ridlo di sisi-Nya. Di samping itu fungsi dari metode bandongan
77 Syafiq A. Mughni, Nilai–Nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. I, hlm. 303. 78 Chozin Nasuha, op. cit., hlm. 266. 79 Husain Muhammad, loc. cit. 80 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 84. 81 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 51. 82 Ibid.
30
untuk mengejar materi yang masih banyak tertinggal akibat libur panjang
semisal.
Fungsi lain adalah untuk kegiatan pasaran di bulan ramadhan sehingga
santri dapat ngapsahi kitabnya, dan walaupun kitab tersebut tergolong besar,
karena targetnya untuk mengejar materi, maka kitab tersebut akan cepat
khatam. Metode ini juga sangat efektif diterapkan bila jumlah santrinya cukup
banyak sedangkan alokasi waktunya sangat sedikit.
4. Subyek dan Obyek Penerapan Metode Bandongan
Dengan duduk di sekitar guru, murid yang jumlahnya kadang–kadang
mencapai 500, mendengarkan dan mencatat pelajaran (kuliah).83 Bahkan ada
yang mengatakan pengajian bandongan dilakukan seperti kuliah terbuka yang
diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100–500 orang atau lebih.84
Sementara itu Zamakhsari Dhofier menyebutkan dalam sistem bandongan ini
sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku–buku
Islam dalam bahasa Arab.85
Bahkan Manfred Ziemek menyebut bandongan identik dengan
ceramah–ceramah, yang ditujukan kepada kelompok besar atau kumpulan
yang kadang–kadang mencakup ratusan siswa. Demikian juga pelajaran dari
badal (wakil kiai), yang sering berlangsung di masjid.86 Sementara para santri
dalam jumlah yang terkadang cukup banyak, mereka bergerombol duduk
mengelilingi sang ustadz atau kiai.87
Sistem bandongan ini diberikan untuk�kelas tinggi, pelajar–pelajar yang
terdiri dari guru–guru bantu dan murid–murid yang merasa sanggup
mengikuti pelajaran tinggi, mengadakan halaqah, yaitu duduk berlingkaran
menghadap guru besar, sedangkan gurupun duduk pula.88
83 Syafiq A. Mughni, loc . cit. 84 Wahjutoemo, op. cit., hlm. 83. 85 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 86 Manfred Ziemek, loc. cit. 87 Imam Bawani, loc. cit. 88 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Cet.
II, hlm. 57.
31
Demikian pula lambat–laun pengajian wetonpun diwakilkan kepada
pengganti–pengganti (badal), sehingga akhirnya kiai hanya memberikan
pengajaran weton dalam teks–teks utama belaka.89
Dalam buku Departemen Agama R.I., disebutkan cara bandongan para
santri tidak menghadap kiai satu persatu, melainkan semuanya (sebanyak 200
sampai 500 santri, bahkan lebih) datang menghadap kiai membawa kitab yang
telah diprogramkan.90
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan subyek dari metode
bandongan adalah: kiai–ulama, ustadz, guru, guru besar, atau badal
(pengganti kiai), adapun obyek dari metode bandongan adalah: sejumlah
santri yang jumlahnya kira–kira 5 sampai 500 orang, bahkan guru–guru bantu
dan murid-murid yang sanggup mengikuti halaqah.
5. Prosedur Penerapan Metode Bandongan
Dalam pelaksanaannya metode bandongan/weton (muhadarah) ini dapat
dilakukan dengan dua cara: pertama, muhadarah umum ialah pembacaan
kitab yang dapat diikuti sebagaian besar dari santri dan kedua, muhadarah
khusus ialah pembacaan kitab yang dikategorikan kitab besar untuk kelompok
tertinggi.91
Prosedur penerapan pengajaran bandongan adalah sebagai berikut di
mana seorang ustadz atau kiai membaca, menterjemahkan dan mengupas
pengertian kitab tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang terkadang
cukup banyak, mereka duduk mengelilingi sang ustadz atau kiai, atau mereka
mengambil tempat agak jauh selama suara beliau dapat didengar, dan masing–
masing orang membawa kitab yang tengah dikaji itu, sambil jika perlu
memberikan syakl (harakat) dan menulis penjelasannya di sela–sela kitab
tersebut.92
89 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta: CV. Dharma Bhakti, 1399 H),
hlm. 129. 90 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, loc. cit. 91 Kafrawi, op. cit., hlm. 178. 92 Imam Bawani, loc. cit.
32
Dalam sistem bandongan sekelompok santri mendengarkan seorang
guru yang membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas
kitab Islam tertentu yang berbahasa Arab. Setiap murid memperhatikan
sendiri dan membuat catatan–catatan (baik arti maupun keterangan) tentang
kata–kata atau buah pikiran yang sulit.93 Pengajian tersebut diberikan pada
waktu–waktu tertentu, yaitu sebelum dan atau sesudah melakukan shalat
fardlu.94
Metode ini menurut penulis dalam pelaksanaanya adalah sebagai
berikut: sekelompok santri (tidak ditentukan secara pasti berapa jumlahnya)
berkeliling mengitari gurunya yang sedang membacakan sebuah kitab,
kemudian santri mendengarkan, menyimak, memaknai (ngsapsahi dalam
bahasa Jawa), memberi catatan–catatan yang dianggap penting pada kitabnya
masing–masing. Kemudian jika sudah selesai pengajiannya terkadang ada kiai
yang menyuruh salah satu santrinya untuk membacakan materi yang baru saja
dikaji itu.
6. Faktor–faktor Pendukung dan Penghambat Penerapan Metode Bandongan
Untuk mendukung/mengembangkan sistem weton itu pada pesantren
perlu dibina suatu perpustakaan.95 Dengan adanya perpustakaan, maka semua
orang memiliki kebebasan untuk tertarik dan mempelajari berbagai ilmu atau
kitab. Perpustakaan dengan demikian merupakan fasilitas pada kebebasan itu
yang membantu mengembangkan sistem weton yang secara tradisional telah
dimiliki oleh pesantren.96 Dsamping itu juga, kesadaran dan kemampuan
individual sangat menentukan berhasil atau tidaknya seorang santri dalam
pengajaran.97 Bagi santri yang rajin dan mempunyai kecerdasan yang tinggi
tentunya ia akan cepat menguasai apa–apa yang dia pelajari.98 Faktor lain
93 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 94 Kafrawi, op. cit., hlm. 19. 95 Sudjoko Prasodjo, op. cit., hlm. 139. 96 Ibid. 97 Imam Bawani, loc. cit. 98 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, op. cit hlm. 146.
33
yang turut mendukung yaitu, konon, mereka percaya bahwa duduk persis di
depan kiai saat mengikuti pengajian mendatangkan pahala.99
Adapun faktor-faktor penghambatnya antara lain: dalam metode ini,
seorang ustadz atau kiai seringkali tidak mengetahui berapa jumlah yang
mengikuti pengajarannya karena tidak ada absensi, juga sulit memperkirakan
apalagi mengenali secara persis siapa di antara mereka yang faham dan yang
tidak faham karena jarang terjadi proses tanya jawab, sementara juga tidak
diadakan tindak evaluasi.100 Kelemahan dari sistem weton sekarang ini adalah
adanya kekurang-bebasan atau ketergantungan para santri kepada para kiai
sebagai “penguasa” kitab,101 ini berakibat hilangnya dorongan terhadap
tingkat kreatif dan sikap kritis dari para santri karena pengaliran ilmu dari kiai
ke murid hanya berjalan sepihak.102 Di samping itu juga yang masih menjadi
doktrin dalam pikiran santri yaitu konsep barakah. Konsep barakah agaknya
terlepas dari pola pemahaman eksoterisme ilmu, lalu dikembangkan menjadi
bagian dari orientasi dan niat belajar para santri. Persoalannya adalah orientasi
barokah itu justru lebih dominan dan menggeser orientasi keilmuan.103
Beberapa penghambat atau kelemahan metode bandongan di atas juga
tak luput dari sorotan psikologi pendidikan, terbatasnya kesempatan
partisipasi siswa (audience); hanya bersifat mental processing saja (itu pun
bagi mereka yang mempunyai daya tangkap dan kecocokan latar belakang
dengan permasalahan yang dibicarakan); kalau penceramah kurang mampu
mempergunakan berbagai teknik secara bervariasi, dapat mendatangkan
kejemuan; begitu juga kalau waktunya terlalu lama serta situasi dalam
forumnya kurang tertib.
Meskipun terdapat kelemahan–kelemahan tadi, menurut Gage dan
Berliner tidak jarang guru yang memperoleh keputusan dan reinforcement
99 Pradjarta Dirdjosanjoto, loc. cit. 100 Imam Bawani, loc. cit. 101 Sudjoko Prasodjo, loc. cit. 102 Abdul Wahid Zaini, “Rekonstruksi Khazanah Kitab Kuning: Dinamika Pemikiran Dunia
Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/TahunVII/1999), hlm. 12.
103 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, loc. cit.
34
dengan adanya perhatian dan tanda-tanda persetujuan atau kepuasan dari
audience. Begitu juga siswa (terutama yang merasa kurang mampu belajar
sendiri atau membaca sendiri). Mereka memperoleh pelajaran dari sumber
yang meyakinkan.104
Saya rasa setiap sesuatu aktivitas itu pasti ada faktor pendukung dan
penghambatnya, demikian juga tidak tertutup kemungkinan pada pengajaran
dengan sistem bandongan. Tentunya di sini yang diinginkan adalah faktor
pendukung itu lebih besar dari pada faktor penghambat, bahkan jika bisa
faktor penghambat tersebut direduksi seluruhnya sehingga kegiatan belajar
mengajar berlangsung dengan normal.
Tetapi faktor penghambat tersebut jika bisa diatasi dengan arif dan
bijaksana oleh para civitas pondok pesantren dan para santri tentu ini juga
tidak akan menggannggu proses belajar mengajar, dan kalau memang tidak
bisa seluruhnya setidaknya bagaimana supaya sistem bandongan itu agar tetap
eksis sebagai salah satu elemen sistem pengajaran di pondok pesantren salaf.
III. METODE SOROGAN DAN METODE BANDONGAN
1. Persamaan dan Perbedaan
Tentunya bagi masyarakat yang memahami seluk beluk, apalagi bagi
mereka yang pernah merasakan pendidikan di dunia pondok pesantren, pasti
mengetahui dan memahami metode pengajaran yang digunakan untuk
menyampaikan materi pelajaran (kitab kuning) oleh kiai kepada santrinya.
Maka ia akan merasa mudah untuk menyebutkan konsep persamaan antara
metode sorogan dengan metode bandongan, demikian juga tentang konsep
perbedaannya.
Ciri utama dari pengajaran tradisional (sorogan dan bandongan) ini
adalah cara pemberian pengajarannya, yang ditekankan pada penangkapan
harfiyyah (letterlik) atas suatu kitab (teks) tertentu. Pendekatan yang
digunakan ialah menyelesaikan pembacaan kitab (teks) tersebut, untuk
selanjutnya diteruskan pembacaan kitab (teks) yang lain.105
104 Abin Syamsuddin Makmun, op. cit., hlm. 240-241. 105 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, op. cit., hlm. 73.
35
Baik dengan model sorogan maupun bandongan dilakukan dengan
pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan
analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik.106
Sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab–kitab
klasik ke dalam bahasa Jawa, dalam kenyataannya tidak hanya sekedar
membicarakan bentuk (form) dengan melupakan isi (content) ajaran yang
tertuang dalam kitab–kitab tersebut. Para kiai sebagai pembaca dan
penerjemah kitab tersebut, bukanlah sekedar membaca teks, tetapi juga
memberikan pandangan–pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi
maupun bahasa dari teks. Dengan kata lain, para kiai tersebut memberikan
pula komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya itu, para penerjemah
tersebut haruslah menguasai tatabahasa Arab, literatur dan cabang–cabang
pengetahuan agama Islam yang lain.107
Sehingga metode pengajaran khas pesantren seperti bandongan dan
sorogan merefleksikan upaya pesantren melakukan pengajaran yang
menekankan kualitas penguasaan materi.108
Adapun perbedaan metode sorogan dengan metode bandongan yaitu:
Dalam metode bandongan, guru berperan aktif, sementara murid pasif. Dalam
metode sorogan, yang berlaku adalah sebaliknya,109 selanjutnya pada metode
sorogan para santri maju satu persatu untuk membaca dan menguraikan isi
kitab di hadapan seorang guru atau kiai,110 tetapi pada metode bandongan
santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai–ulama
sambil masing–masing memberikan catatan pada kitabnya.111
Perbedaan lain menurut Nurcholis Madjid,
“Sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu,112 metode weton/bandongan, ialah pengajian yang inisiatifnya berasal dari
106 Saifudin Zuhri, op. cit., hlm. 101. 107 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 51. 108 Husni Rahim, loc. cit. 109 Husain Muhammad, op. cit., hlm. 280. 110 Wahjoetomo, op. cit., hlm. 83–84. 111 Affandi Mochtar, loc. cit. 112 Nurcholish Madjid, loc. cit.
36
kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih – lebih lagi kitabnya”.113
2. Efektifitas Penerapan
Dengan sorogan santri diajak untuk memahami kandungan kitab secara
perlahan–lahan secara detail dengan mengikuti pikiran atau konsep–konsep
yang termuat dalam kitab kata per–kata. Inilah yang memungkinkan santri
menguasai kandungan kitab baik menyangkut konsep besarnya maupun
konsep–konsep detailnya.114
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan
membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai
bahasa Arab.115 Sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan
hubungan kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal
kemampuan pribadi santri secara satu per satu. Kitab yang disorogkan kepada
kiai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama,116
kemudian kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai.117
Efektifitas atau keuntungan pengajaran dengan metode sorogan
(individual) yaitu jika murid itu merasa bahwa dia sudah mampu membaca
dan memahami secara benar, dia diperbolehkan untuk menyampaikan
bacaannya, biasanya 2 sampai 5 halaman kitab kuning di depan guru. Ini biasa
dilakukan setiap kali murid merasa dirinya bisa membaca.118
Adapun efektifitas atau keuntungan lain dari metode sorogan sebagai
berikut:
1. Memungkinkan anak yang lamban maju menurut kemampuan masing–
masing secara penuh dan tepat.
2. Mencegah terjadinya ilusi dalam kemajuan, tetapi bersifat nyata melalui
diskusi kelompok
113 Ibid. 114 Husni Rahim, loc. cit. 115 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 29. 116 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 50 117 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, op. cit., 26. 118 Syafiq A. Mughni, loc. cit.
37
3. Cenderung mengusahakan perhatian anak terhadap hasil belajar
perseorangan.
4. Cenderung memusatkan terhadap mata pelajaran dan pertumbuhan yang
bersifat pendidikan, bukan kepada tuntutan–tuntutan guru.
5. Memungkinkan anak maju secara optimum dan mengembangkan
kemampuan–kemampuan yang ada padanya.
6. Latihan–latihan tidak diperlukan bagi anak cerdas, karena akan
menimbulkan kebiasaan dan merasa puas dengan hasil belajar yang telah
ada.
7. Menimbulkan hubungan pribadi yang menyenagkan antara guru dan anak.
8. Memungkinkan adanya latihan–latihan berinisiatif bagi anak–anak yang
dianggap lebih cakap.
9. Mengurangi hambatan dan mencegah eliminasi anak–anak yang lebih
lamban.119
Sedangkan efektifitas sistem bandongan terletak pada keperluan praktis
pencapaian kuantitas dan percepatan kajian kitab, selain juga untuk tujuan
kedekatan relasi santri–kiai/ustadz.120 Efektifitas lain dari penerapan metode
bandongan adalah sering guru meminta satu atau dua murid untuk mengulangi
bacaan pada hari selanjutnya untuk meyakinkan bacaan yang benar.121 dan
tidak tertutup kemungkinan juga dalam bandongan para santri memperoleh
kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas
keterangan kiai.122
Dalam sistem bandongan, seorang murid tidak harus menunjukan
bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi. Para kiai biasanya
membaca dan menerjemahkan kalimat–kalimat yang mudah. Dengan cara ini,
kiai dapat menyelesaikan kitab–kitab pendek dalam beberapa minggu saja.
119 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Dan mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru, 2000),
Cet. II, hlm. 166. 120 Ismail SM, (eds.), op. cit., hlm. 54. 121 Syafiq A. Mughni, loc. cit. 122 Husni Rahim, loc. cit.
38
Sistem bandongan, karena dimaksudkan untuk murid–murid yang telah
mengikuti sistem sorogan.123
Bagi santri yang sadar, cinta ilmu, berbakat dan tekun dua sistem
tersebut adalah sangat efesien dan efektif. Sistem ini sangat bermamfaat bagi
mereka yang ingin maju sehingga dalam waktu relatif singkat dia dapat
menyelesaikan beberapa kitab.124
Ternyata dari kedua metode tersebut mempunyai keunikan dan
kelebihan/efektifitas tersendiri, sehingga pantaslah kalau kedua metode ini
masih tetap relevan dipergunakan di pondok pesantren salaf hingga saat ini.
Padahal kedua metode tersebut keberadaannya sudah sangat “tua”
sekali, justeru yang ada metode bandongan dahulu daripada pondok
pesantrennya. Sejarah “mengatakan” metode bandongan ini diadopsi dari
Mekkah, adapun metode sorogan juga keberadaannya sudah sangat lama,
sekitar tahun 1588 M ketika kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung
sedang mencapai masa keemasannya.
Yang menjadi permasalahan menurt penulis bukannya lama atau baru
metode itu berada. Tetapi yang menjadi esensi adalah sejauh mana kedua
metode tersebut efektif dan mencapai sasaran daripada tujuan pengajaran di
pondok pesantren khususnya, dan lembaga pendidikan umumnya.
IV. KITAB KASYIFATU SAJA
1. Pengertian Kitab Kasyifatu Saja
Untuk memudahkan mencapai sasaran pengertian kitab Kasyifatun Saja
yang tepat, maka penulis akan mencoba mendefinisikan kata–kata tersebut
satu persatu.
Jika kita berbicara tentang kitab, khususnya kitab yang menjadi
khazanah intelektual kaum santri di pondok pesantren salaf dan masyarakat
Islam pada umumnya, tentunya asumsi kita tertuju pada kitab kuning.
Nama itu (Kitab Kuning) lazim dipakai untuk menunjuk karya–karya
tulis (tulis: Arab) yang disusun para sarjana Islam abad pertengahan, dan
123 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 30. 124 Kafrawi, op. cit., hlm. 90.
39
karena itu sering disebut pula dengan kitab kuno. Kitab–kitab itu meskipun
dari sudut kandungannya komprehensif dan dapat dikatakan berbobot
akademis, tapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat sederhana.
Misalnya, tidak dikenal tanda–tanda bacaan seperti titik, koma, tanda tanya
dan sebagainya. Pergeseran dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak
dengan menggunakan alinea baru, tapi dengan pasal–pasal atau kode sejenis
seperti; tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan sebagainya.125
Sementara pengertian yang umum beredar di kalangan pemerhati
masalah kepesantrenan adalah bahwa kitab kuning merupakan kitab–kitab
keagamaan berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran
ulama–ulama masa lampau (al–salaf) yang ditulis dengan format khas pra-
modern, sebelum abad ke–17–an M.126
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay–out),
yang terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti) dan syarh (komentar, teks
penjelasan atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu diletakkan
di bagian pinggir (margin, baik sebelah kanan maupun kiri), sementara syarh-
karena penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibanding matn-, ia
diletakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang–lebar
kertas yang digunakan kitab kuning pada umumnya kira–kira 26 cm
(quarto).127
Kitab Kasyifatu Saja berarti pembuka kegelapan: penjelasan (syarh) atas
Safinatun Naja–nya Syaikh Salim bin Samir al–Khudhori. Kitab ini (Kasyifatu
Saja) membahas masalah tauhid dan fikih ibadah serta menyinggung tentang
tasawwuf.128
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan kitab Kasyifatu Saja
adalah kitab kuning yang mengunakan bahasa Arab yang ditulis oleh ulama
al–salaf sekitar abad pertengahan, dan kitab tersebut dalam sistematika
125 M. Dawam Rahardjo, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah,
(Jakarta: P3M, 1985), Cet. I, hlm. 55. 126 Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalimah, 2001),
Cet. I, hlm. 36. 127 Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 37–38. 128 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja
40
penulisannya sama dengan kitab kuning yang lain menggunakan kata–kata
pasal atau kode sejenis seperti; tamimmah, muhimmah, tanbih, far’ dan
sebagainya.
Dalam penulisannya kitab Kasyifatu Saja berada di tengah–tengah
halaman, karena memang kitab tersebut memuat penjelasan yang panjang dan
komprehensif dari pengarang, dan kitab tersebut merupakan syarh dari matn
kitab Safinatun Naja karangan Salim bin Abdullah bin Samir al-Khudhori.
Kitab ini (Kasyifatu Saja) membahas masalah tauhid dan fikh ibadah serta ada
pembahasan tentang tasawwuf.
2. Pengarang Kitab Kasyifatu Saja
Pengarang/penulis Kitab Kasyifatu Saja ialah Syekh al-Imam al–Fadhil
Abi ‘Abdi al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi.129 Beliau lahir di kampung
Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Karesidenan Banten, pada
1230 H/1813 M.130
Syekh Nawawi al–Jawi adalah seorang ulama besar, penulis, dan
pendidik dari Banten, Jawa Barat, yang bermukim di Mekah. Nama aslinya
adalah Nawawi bin Umar bin Arabi. Ia disebut juga Nawawi al–Bantani.
Dikalangan keluarganya, Syekh Nawawi al–Jawi dikenal dengan sebutan Abu
Abdul Mu’ti.131
Sejak kecil Syekh Nawawi telah mendapat pendidikan agama dari orang
tuanya. Mata pelajaran yang diterimanya antara lain bahasa Arab, fiqh dan
ilmu tafsir. Selain itu ia belajar pada Kiai Sahal di daerah Banten dan Kiai
Yusuf di Purwakarta. Pada usia 15 tahun ia pergi menunaikan ibadah haji ke
Mekah dan bermukim di sana selam 3 tahun. Di Mekah ia belajar pada
beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidilharam, seperti Syekh
Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Ia
juga pernah belajar di Madinah di bawah bimbingan Syekh Muhammad
Khatib al–Hanbali.
129 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja, 130 Didin Hafidudin Maturidy, “Tinjauan atas “Tafsir Munir” Karya Imam Muhammad
Nawawi Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Wawasan Intelektual Indonesia Telaah Atas Karya–Karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1987), Cet. I, hlm. 39.
41
Sekitar tahun 1248 H/1831 M ia kembali ke Indonesia. Di tempat
kelahirannya, ia membina pesantren peninggalan orang tuanya. Karena situasi
politik yang tidak menguntungkan, ia kembali ke Mekah setelah 3 tahun
berada di Tanara dan meneruskan belajar di sana. Sejak keberangkatannya
yang kedua kalinya ini, Syekh Nawawi tidak pernah kembali ke Indonesia.
Menurut sejarah, di Mekah ia berupaya mendalami ilmu–ilmu agama dari
gurunya, seperti Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima,
Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.
Dengan bekal pengetahuan agama yang telah ditekuninya selama lebih
kurang 30 tahun, Syekh Nawawi setiap hari mengajar di Masjidilharam.
Murid–muridnya berasasl dari berbagai penjuru dunia. Ada yang berasal dari
Indonesia, seperti KH Khalil (Bangkalan, Madura), KH Asy’ari (Bawean,
Madura), dan KH Hasyim Asy’ari (Jombang, Jawa Timur). Ada pula yang
berasal dari Malasyia, seperti KH Dawud (Perak).132
Tetapi setelah tahun 1870 ia memusatkan aktivitasnya untuk menulis.
Nawawi seorang yang produktif dan berbakat; tulisan–tulisannya meliputi
karya pendek yang berisi tentang pedoman–pedoman ibadah sampai kepada
tafsir Qur’an yang cukup tebal yang terdiri dari dua jilid, yang diterbitkan di
Mesir tahun 1887,133 menurut suatu sumber, ia mengarang kitab sekitar 115
buah, sedang menurut sumber lain sekitar 99 buah, yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu agama.134
Syekh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya
menerangkan kata–kata dan kalimat–kalimat Arab yang artinya tidak jelas
atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan
keagamaan. Kemasyhuran Syekh Nawawi dikenal secara luas di hampir
seluruh dunia Arab. Karya–karyanya banyak beredar terutama di negara–
negara yang menganut faham Syafiiyyah.135
131 Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hoeve, 1993), Cet. I, hlm. 23. 132 Ibid. 133 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 88. 134 Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 24. 135 Zamakhsari Dhofier, op. cit., hlm. 89.
42
Syekh Nawawi wafat pada usia 84 tahun, yaitu pada 25 Syawal 1314
H/1879 M, di tempat kediamannya yang terakhir, kampung Syi’ib Ali, Mekah.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Ma’la, berdekatan dengan makam
Ibn Hajar dan Siti Asma binti Abu Bakar Shiddiq. Beliau wafat pada saat
sedang menyusun sebuah tulisan yang menguraikan dan menjelaskan Minhaj
ath thalibin–nya Imam Yahya bin Syaraf bin Mura bin Hasan bin Husain bin
Muhammad bin Jam’ah bin Hujam an–Nawawi.136
3. Kontent (isi) Kitab Kasyifatu Saja
Bagaimanapun juga kitab kuning klasik sebagai rujukan utama proses
pembelajaran di pondok pesantren salaf, “muncul” tidak dengan sendirinya
tetapi mempunyai keterkaitan dengan motif penulis/pengarang, letak dan
kondisi geografis di mana penulis berada, serta setting sosial yang terjadi
ketika saat itu, bahkan tidak tertutup kemungkinan kitab tersebut “muncul”
atas “reaksi” atau penjelasan (syarh) terhadap kitab sebelumnya (matn).
Indikasi terakhir yang penulis sebutkan ini adalah contoh kitab kuning
klasik yang “muncul” sebagai penjelasan RsyarhN terhadap kitab sebelumnya.
Yang mana kitab awalnya (matan) adalah kitab Safinatun Najah yang
dikarang oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumayr al–Khudhori, kemudian kitab
tersebut disyarahi oleh Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi.137
Sebelum penulis menjelaskan kitab Kasyifatu Saja, alangkah baiknya
penulis akan menyinggung dahulu latar belakang mengapa kitab Safinatun
Najah (sebagai matn) “muncul di tengah–tengah masyarakat Islam, atau
setidaknya ditulis oleh penulisnya Salim ibn Abdullah ibn Sumir al–Khudhori.
Perlu dimengerti Kitab Safinatun Najah keberadaannya “muncul” tidak
dengan sendirinya tetapi atas respon terhadap keadaan masyarakat yang
terjadi ketika itu.
Bahwa penulisnya kitab RSafinatun Najah, sebagai matn) sangat
membenci tarekat (yang dianggapnya heterodoks), seperti tarekat
136 Didin Hafidudin Maturidy, loc. cit. 137 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja
43
Sammaniyyah yang pada masa itu berkembang di Jakarta dan sekitarnya.
Dapat diperkirakan bahwa kehadiran Safinah pun dimaksudkan, antara lain
untuk mengembalikan ummat pada syari’ah.138
Dari informasi di atas dapat dimengerti bahwa (matn) kitab Safinatun
Naja yang ditulis oleh Salim ibn Abdullah ibn Sumair al-Khudhori, berisi
pengetahuan dasar tentang aqidah dan fiqh ibadah.139
Adapun isi daripada (syarh) kitab Kasyifatu Saja di samping membahas
masalah aqidah dan fiqh ibadah juga menyinggung masalah tasawwuf.140
Perbedaan aksen antara Nawawi dan Salim bin Samir adalah dalam
pendekatan tentang tasawwuf. Salim bin Samir sangat keras menentang
tarekat, uraiannya dalam buku Safinatun Naja agak kering, sekalipun dalam
bentuk yang mudah dihafalkan, tetapi yang kurang langsung mengerakkan
hati. Mungkin sebagai kritik manis terhadap sikap ini Nawawi Banten dalam
Syarhnya mengutip hadits, yang menguraikan:141
�:/���\����"�L"�K]���B̂_����`�*���:��B-�a����Z ;�:�$)�:�� �̂: )�b�c��[ �d�B"�eLf��gP��B����D����Y�h�
�i�j�kMG��*(��Z P���Y�h��:/�l�]��:��>\���m��c��K$��Mf"�B$���3��D�F�B"�L"��P@���� �̂3��O���B? ��n-�Kh���o���p
�B$���3��D�F���(��,��7�G��=qr ��i�s$��=�(�U ����7�G����P@��Q*@�c���� �̂3��:/�B$���[ �t�*(��Z P���Y�h��:/�u �]�����Kh���o��I�L"�������?�Q�� �̂�� �̂v�:���B�L��K�(��o��I�L"��@
138 Affandi Mochtar, op. cit., hlm. 64. 139 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja 140 Untuk Lebih Jelas Lihat Kitab Kasyifatu Saja 141 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia, (Jakarta: P.T. Bulan
Bintang, 1984), Cet. I, hlm. 134.
44
�U ?/��Q*�����K�w����@/��"�U ?/��Q*� �̂v�:W�g/�K�(��o��I�L"����"�Lo���"������x����B?/�*LM �̂u $p:�f-��K�q]2�
“Hal ini menjelaskan bahwa seorang dalam hal ibadahnya memiliki tiga maqom, Makom pertama: Seorang hamba yang melaksanakan ibadah hanya untuk menggugurkan kewajiban/syari’at yang disempurnakan dengan syarat–syarat dan rukun–rukunnya. Makom kedua: seorang hamba yang melakukan ibadah disertai dengan syarat–syarat dan rukun yang sempurna dan benar–benar tenggalam dalam lautan mukasyafah hingga dia merasa seakan melihat Allah swt yang menduduki maqom ini adalah Nabi Muhammad saw. sebagaimana sabda beliau: Dan aku menjadikan Dia sebagai kekasihku dalam shalat. Maqom ketiga: seorang hamba melakukan ibadah disertai sebagai syarat–syarat dan rukun–rukun yang sempurna dan dia benar–benar merasa telah bersatu bahwa Allah swt menyaksikan dia. Kalimat fa in lam takun taraahu berarti menunjukan penurunan dari maqom mukasyafah ke maqom muroqobah. Artinya: Jika kamu tidak meyembahnya dan kamu termasuk ahli ru’yah, maka sembahlah Dia seakan kamu yakin bahwa Dia melihatmu. Setiap maqom dari ketiga maqom tersebut dinamakan ihsan”.142 ��� Dari penjelasan di atas, menurut penulis dapat dinyatakan bahwasanya
Nawawi al–Bantani sesungguhnya tidak melarang tarekat ataupun tasawwuf,
hal ini didasarkan karena seseorang dalam beribadah tidak hanya
berpandangan pada syari’at atau fiqh oriented, tetapi juga didasarkan pada
perasaan hati ketika beribadah seakan–akan menyatu dengan Tuhannya.
Dengan kata lain, Syekh Nawawi tidak menolak praktek–praktek tarekat
selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal–hal yang bertentangan dengan
ajaran–ajaran Islam. Sikap Syekh Nawawi inilah yang menyebabkan namanya
di Jawa tetap harum sampai sekarang.143
Dalam mengarang syarh, para pengarang biasanya juga memberikan
pujian tinggi kepada pengarang lain. Kritik, walaupun kritik yang tidak begitu
tajam, harus digali dari bawah pujian itu saja.144
Adapun secara garis besarnya fasal-fasal yang dibahas di dalam kitab
kasyifatu Saja adalah sebagai berikut:145
142 Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi, Syarh Kasyifatu Saja, (Semarang:
Toha Putra, t.t.), hlm. 13. 143 Zamakhsari Dhofier, loc. cit. 144 Karel A. Steenbrink, loc. cit.
45
Pembahasan tauhid meliputi: pendahuluan (muqoddimah), fasal
menjelaskan tentang rukun–rukun Islam dan bagian–bagiannya, fasal
menjelaskan tentang sesuatu yang wajib diimani dan dalil–dalil dari hakikat
iman, fasal menjelaskan tentang kunci surga (kalimat tauhid), dan fasal
menjelaskan tentang balighnya anak murohek (mendekati dewasa/tamyis) dan
waktunya.
Pembahasan thaharah meliputi: fasal menjelaskan tentang istinja
(bersuci) dengan batu, fasal tentang wudhu, fasal menjelaskan tentang
hukumnya niat, fasal menjelaskan tentang air yang tidak bisa menolak najis
dan yang bisa menolak najis (dihukumi najis dan tidak najis ketika terkena
najis), fasal tentang hal–hal yang mewajibkan mandi, fasal tentang mandi,
fasal tentang syarat–syaratnya thaharah (bersuci), fasal menjelaskan tentang
macam-macamnya hadas, fasal menjelaskan tentang sesuatu yang diharamkan
karena memiliki hadas kecil, fasal menjelaskan tentang lemahnya/terhalang
dari mempergunakan air, fasal tentang syarat syahnya tayamum, fasal tentang
rukun-rukunnya tayamum, fasal menjelaskan tentang perubahan dan sucinya
sesuatu yang berubah, fasal menjelaskan tentang macam–macamnya najis,
fasal menjelaskan tentang cara–cara menghilangkan najis, dan fasal
menjelaskan tentang batasan haid dan yang terkait dengannya.
Pembahasan shalat meliputi: fasal menjelaskan tentang
diperbolehkannya oleh syari’at untuk mengakhiri shalat dari waktunya dengan
adanya sebab–sebab tertentu, fasal menjelaskan tentang syarat syahnya shalat,
fasal menjelaskan tentang rukun–rukunnya shalat, fasal tentang sesuatu yang
harus ada di dalam niat, fasal tentang syaratnya tahbiratul ihram, fasal
tentang kewajiban–kewajiban dalam ummul qur’an (membaca al–Fatihah),
fasal menjelaskan tentang bilangan tasydid dan letaknya dalam al–Fatihah,
fasal menjelaskan tentang tempat–tempatnya menganngkat kedua tangan,
fasal tentang kewajiban–kewajiban di dalam sujud, fasal tentang bilangan
tasydid dan letaknya dalam tasyahud, fasal tentang tasydid dalam salawat nabi
saw, fasal tentang salam (yang disebut juga dengan tahlil) dan fasal tentang
145 Abi ‘Abdu al – Mu’thi Muhammad Nawawi al–Jawi, op. cit., hlm. 124.
46
waktu shalat maktubah, fasal tentang waktu yang diharamkan untuk
mengerjakan shalat, fasal menjelaskan tentang diam dalam shalat, fasal
tentang hal–hal yang berkaitan dengan tuma’ninah, fasal menjelaskan tentang
sebab–sebab sujud sahwi dan yang berkaitan dengannya, fasal menjelaskan
tentang bilangannya sunnah ab’ad dalam shalat, penutup dan 21 (dua puluh
satu) hal yang dimakruhkan dalam shalat, fasal tentang hal–hal yang merusak
shalat, fasal menjelaskan tentang shalat yang wajib untuk berniat jama’ah,
fasal tentang syarat–syarat menjadi makmum, fasal menjelaskan tentang
gambaran yang tepat menjadi makmum dan fasal tentang syarat–syarat
diperbolehkannya menjalankan jama’ ta’dim, fasal tentang syarat–syarat
diperbolehkan jama’ ta’hir dan fasal tentang syarat–syaratnya qasar, fasal
tentang syarat syahnya melaksanakan shalat jum’at, fasal tentang rukun dua
kutbah, dan fasal tentang syarat–syaratnya dua kutbah jum’at.
Pembahasan jenazah/mayyit meliputi: fasal menjelaskan tentang
memandikan jenazah, fasal tentang mengkafani jenazah, fasal tentang
menshalati jenazah, fasal tentang mengkubur jenazah dan yang terkait
dengannya dan hal–hal yang perlu diucapkan ketika mengkubur jenazah, dan
fasal tentang hal hal yang mewajibklan menggali jenazah yang sudah dikubur
dan fasal macam–macamnya meminta pertolongan dan hukumnya.
Pembahasan zakat meliputi; fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati,
peringatan -peringatan dan 4 (empat) waktu wajib zakat, dan penutup dan
syarat–syarat wajibnya zakat (4 hal ).
Pembahasan siam/puasa meliputi: fasal tentang hal–hal yang
mewajibkan puasa, fasal tentang syarat–syarat syahnya puasa dan syarat–
syarat wajibnya puasa, fasal tentang rukun-rukunnya puasa, fasal menjelaskan
tentang sesuatu yang mewajibkan kifarat, fasal tentang sesuatu yang merusak
puasa, fasal tentang macam–macam orang yang diperbolehkan untuk tidak
mengerjakan puasa dan hukumnya, dan fasal menjelaskan tentang sesuatu
yag tidak membatalkan puasa dari hal–hal yang masuk ke dalam lubang.
4. Obyek pengkaji Kitab Kasyifatu Saja
47
Kitab–kitab yang dikaji pada tiap–tiap pondok pesantren biasa
digolongkan menjadi kitab kecil, kitab menengah dan kitab besar. Secara
bertingkat dan beratahap, pengajian dimulai dari kitab kecil. Biasanya adalah
kitab–kitab ilmu alat (Nahwu–Sarraf) dan kitab–kitab fardu’ain (Fiqh dan
Tauhid), dilanjutkan dengan kitab–kitab menengah pada cabang ilmu yang
sama. Terakhir kitab–kitab besar dengan cabang ilmu yang sama pula tapi
makin luas dan ditambah dengan cabang ilmu baru, dalam arti belum
diajarkan sebelumnya seperti kitab–kitab Tafsir, Hadits, Balaghah, dan lain–
lain.146
Sekitar seabad lampau, seorang sarjana Belanda L.W.C. Van Den Berg
menerbitkan sebuah daftar kitab kuning yang pada waktu itu digunakan
pesantren–pesantren Jawa dan Madura. Daftar ini didasarkan atas wawancara
dengan para kiai dan barangkali memberikan suatu gambaran tentang kitab
yang waktu itu dianggap paling penting.147 Dari daftar tersebut dinyatakan
bahwa kitab Kasyifatu Saja termasuk kitab yang “dikonsumsi” untuk
tingkatan tsanawiyah.148
Adapun pengklasifisian tingkat dan golongan kitab menurut versi
Departemen Agama dalam bukunya Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Pendidikan Pada Pondok Pesantren disebutkan bahwa kitab Kasyifatu Saja
tergolong kitab menengah, dan obyek pengkajinya adalah santri tingkat
aliyah.149
Walaupun tiap-tiap pesantren sepakat menggunakan kitab kuning
sebagai rujukan intelektualnya, tetapi satu sama lain tidak bersepakat tentang
kurikulum. Karena hal tersebut lebih ditentukan oleh para kiai, atas dasar
146 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm.
23. 147 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 19990), Cet. I, hlm. 114. 148 Untuk Lebih Jelasnya Dapat dilihat Pada Tabel I Kitab Fiqih dan Ushul Fiqih di
Bukunya Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 19990), Cet. I, hlm. 115.
149 Untuk Lebih Jelasnya Dapat Dilihat Pada Tabel Kitab–Kitab Standar di Pesantren-Pesantren di Buku Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, (Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984 / 1985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995), hlm. 23.
48
pertimbangan, kecenderungan, selera dan pengalaman belajar mengajar para
kiai itu sendiri. Lain pesantren lain kiai dan lain kiai lain pula kurikulum.150
V. HIPOTESIS
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan-permasalahan, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.24
Berdasarkan definisi di atas, maka dalam penelitian ini penulis mengajukan
hipotesis bahwa, “metode sorogan lebih efektif bagi santriwati dapat menguasai
kitab Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal”.
BAB III
HASIL–HASIL PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
Mencermati permasalahan yang dibahas dalam skripisi ini, maka tujuan
penelitian ini adalah:
150 Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, op. cit., hlm.
24. 24 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), Cet. XI, hlm. 67.
49
1. Untuk mengetahaui bagaimana penguasaan santri terhadap materi kitab
Kasyifatu Saja dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
2. Untuk mengetahui bagaimana penguasaan santri terhadap materi kitab
Kasyifatu Saja dengan metode bandongan di pondok Pesantren salaf putri
Saribaru Kaliwungu Kendal.
3. Untuk mengetahui bagaimana komparatif penguasaan santri terhadap
materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan metode
bandongan di pondok pesantren salaf putri Saribaru Kaliwungu Kendal.
VI. METODOLOGI PENULISAN SKRIPSI
1. Populasi dan Sampel
Populasi ialah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,
benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau
peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakterisrik tertentu
di dalam suatu penelitian.25 Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh
santri yang ada di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal, yang jumlah santrinya ada 507 orang.
Adapun sampel adalah kelompok kecil individu yang dilibatkan
langsung dalam penelitian.26 Maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih
baik diambil semua sehingga penelitiaanya merupakan penelitian populasi.
Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil rata-rata 10-15%, atau
20-25% atau lebih.27
Berdasarkan pertimbangan di atas maka dalam penelitian ini peneliti
akan mengambil sampel sebanyak 50 santri.Oleh karena itu maka penelitian
ini adalah penelitian sampel.
Adapun mengenai pembagian jumlah santri yang mengikuti metode
sorogan adalah 25 santri dan metode bandongan 25 santri.
25 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm.
118. 26 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. I, hlm. 133.
50
2. Variabel Penelitian
Variabel yaitu pengelompokan yang logis dari dua atribut atau lebih.28
Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:
i. Metode sorogan, dengan indikator:
1. Interaksi santri dengan kiai
2. Penguasaan santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
ii. Metode bandongan, dengan indikator:
1. Interaksi santri dengan kiai
2. Penguasaan santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
3. Metode Pengumpulan Data
Ada dua metode yang dipakai penulis dalam mengumpulkan data. Yang
pertama, library research. Salah satu yang perlu dilakukan dalam persiapan
penelitian ialah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di
perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia. Pemamfaatan perpustakaan ini
diperlukan, baik untuk penelitian lapangan maupun penelitian bahan
dokumentasi (data sekunder). Nyata sekali bahwa, tidak mungkin suatu
penelitian dapat dilakukan dengan baik tanpa orientasi pendahuluan di
perpustakaan.29
Dalam hal ini penulis akan memamfaatkan sumber informasi yang
terdapat di perpustakaan yang berupa: buku–buku ilmiah, ensiklopedi,
majalah dan lain sebagainya yang ada kaitannyanya dengan metode sorogan
dan metode bandongan. Kedua, field reseach yaitu data yang diambil dari
lapangan, dengan menggunakan metode:
i. Metode Tes
Dalam hal ini penulis akan menggunakan tes buatan guru. Tes
buatan guru adalah tes yang disusun oleh guru dengan prosedur tertentu,
27 Suharsimi Arikunto, op. cit., hlm. 120. 28 S. Margono, op. cit., hlm. 133. 29 Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: LP3ES, 1989),Cet. I, hlm. 70.
51
tetapi belum mengalami uji coba berkali–kali sehingga tidak diketahui
ciri–ciri kebaikannya.30
Metode tes ini penulis gunakan untuk mengetahui tingkat
penguasaan santri terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan
dan metode bandongan.
ii. Metode Observasi
Observasi ialah penelitian yang dilakukan dengan cara mengadakan
pengamatan terhadap objek, baik secara langsung maupun tidak
lanngsung.31
Metode observasi ini peneliti gunakan untuk mengetahui proses
belajar mengajar (PBM) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
Saribaru Kaliwungu Kendal, di dalam penerapan metode sorogan dan
metode bandongan.
iii. Metode Interviu/Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih
secara langsung.32
Interviu ini peneliti pergunakan untuk menambah
keterangan/informasi tentang metode sorogan dan metode bandongan.
Interviu ini peneliti lakukan dengan Bapak pengasuh (kyai) dan santri
pondok pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
iv. Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, legger, agenda dan sebagainya.33
Metode ini peneliti pergunakan untuk mendapatkan keterangan
tentang pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal, yang meliputi: tempat/lokasi dan pengasuh, jadwal
30 Suharsimi Arikunto, op. cit, hlm. 227. 31 Muhammad Ali, Startegi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 72. 32 Ibid, hlm. 57-58. 33 Suharsimi Arikunto, op. cit, hlm. 236.
52
pembelajaran, para pengajar (ustad/ustadzah), para santri (baik santri
mukim maupun non mukim/kalong) dan metode pembelajaran.
4. Metode Analisis Data
Di dalam menganalisis data hasil penelitian, penulis menggunakan
beberapa tahapan, yaitu:
i. Analisis Pendahuluan
Di dalam analisis pendahuluan ini, peneliti menyususn data yang
telah terkumpul dari hasil penelitian, kemudian dimasukkan ke dalam
tabel distribusi frekuensi untuk tiap-tiap variabel.
ii. Analisis Uji Hipotesis
Analisis ini digunakan untuk menghitung lebih jauh dari analisa
pendahuluan. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Drs. Anas
Soedijono dalam bukunya Pengantar Pendidikan Statistik mengatakan:
“Test t untuk dua sampel besar yang satu sama lain tidak mempunyai
hubungan” 34 maka rumus yang kita gunakan adalah sebagai berikut:
to = MX - MY
SEMXMY
Keterangan:
to : score / test
MX : Mean variabel sorogan
MY : Mean variabel bandongan
SEMXMY : Standar error perbedaan antara metode sorogan (X)
dengan metode bandongan (Y)
Dari data yang telah diolah menjadi t-score atau yang disebut
observasi (t), kemudian dibandingkan dengan nilai t yang terdapat pada
tabel nilai t. cara untuk mencari nilai t pada tabel adalah dengan
menghitung derajat kebebasan nilai t35, melalui rumus:
d.b = NX-NY-2
Keterangan:
34 Anas Soedijono, Pengantar Pendidikan Statistik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995),
hlm. 325. 35 Ibis., hlm. 272.
53
NX = Jumlah sampel metode sorogan (X)
NY = Jumlah sampel metode bandongan (Y)
Selanjutnya sebagai pedoman untuk menerima/menolak hipotesa
nihil adalah: apabila to�t(d.b),� maka to adalah signifikan sehingga
hipotesis yang diajukan dapat diterima, ini berarti metode sorogan lebih
efektif daripada metode bandongan untuk dapat menguasai kitab Kasyifatu
Saja bagi santriwati. Akan tetapi apabila to<t(d.b), maka to adalah non
signifikan sehingga hipotesis yang diajukan ditolak. Ini berarti metode
sorogan tidak lebih efektif daripada metode bandongan untuk dapat
menguasai kitab Kasyifatu Saja bagi santriwati.
Analisis lanjut
_____
I. GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN SALAF PUTRI
ARRIBATHUL ISLAMY SARIBARU KALIWUNGU KENDAL
1. Diskripsi Pondok Pesantren
Pondok pesantren putri ARIS (Arribathul Islamy) terletak dikota
Saribaru yang pada mulanya nama Saribaru adalah Poting, sebuah desa yang
dipenuhi berbagai kejahatan dan kejahiliyahan yang terjadi pada tahun 1950–
an.
Setelah kedatangan Bapak Ahmaddum putra Bapak Kiai Irfan, pendiri
Pon–Pes APIK Kaliwungu dengan niat dan semangat yang luhur serta
berbekal ilmu dan pekerti yang agung dengan susah payahnya dan
pengorbanan yang disertai keikhlasan dan ketabahan beliau berhasil
mendobrak semua kejahiliyahan.1
Pondok pesantren putri ARIS Kaliwungu didirikan oleh KH.
Ahmaddum Irfan, secara bertahap dan berproses secara sistematis, terorganisir
dan terkondisi dengan letak geografis dan geososial budaya masyarakat
setempat, karena metode penderiannya identik dengan pola pengembangan
1 Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS” (Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 2002), hlm.
32.
54
Islam di Jawa oleh para Wali, yaitu dengan mengedepankan pola interaksi dan
partisipasi masyarakat.2
Pada tahun 1949 beliau (Bapak Ahmaddum putra Bapak Kiai Irfan
mendirikan sekolah jenggot (sekolah untuk orang–orang tua) yang juga
mengadakan marhabanan door to door (dari rumah ke rumah) beliau juga
mengadakan sewelasan tiap bulan tanggal sebelas yang bertempat di rumah
beliau.
Pada tahun1952 atas kesepakatan sesepuh Kaliwungu beliau mendirikan
pondok pesantren ARIS yang menampung santri putra.
Pada tahun 1954 Bapak kiai Ahmaddum mengganti nama kampung
Poting menjadi kampung Saribaru sebagai ungkapan syukur atas perubahan
kampung Poting. Saribaru berasal dari bahasa Arab, Sara berarti berjalan dan
Barrun berarti baik, sedangkan menurut bahasa Indonesia Sari adalah asri,
indah, damai. Baru adalah baru. Maka Saribaru adalah berjalan dalam
kebaikan atau kampung yang baru asri dan damai.
Dengan keberhasilan beliau (Kiai Ahmaddum) pondok pesantren ARIS
telah dihuni 150 santri putra. Kemudian atas inisiatif Kiai Ahmad Irfan Ru’yat
(saudara sepupu Kiai Ahmaddum) dan kesepakatan ulama beserta masyarakat
setempat dan dengan berbagai alasan dan pertimbangan, maka pondok
pesantren ARIS bertepatan pada tahun 1957 dirubah menjadi pondok
pesantren putri.
Pada tahun 1959 beliau Bapak Ahmaddum wafat, ketika semangat juang
membara dan tuntutan masyarakat yang tidak bisa dibendung. Karena putra
beliau masih kecil–kecil maka suasana sempat vacum beberapa saat, lalu
aktivitas pondok pesantren segera dilanjutkan oleh saudara–saudaranya.
Pada tahun 1967 Ibu Nyai Muzayannah (istri bapak Kiai Ahmaddum)
dipersunting oleh seorang Perwira dari Nganjuk yaitu KH. Cholil Hasan
sehingga bapak KH. Cholil lah yang memimpin pondok pesantren ARIS
2 Untuk Lebih Jelasnya Baca Buku: Sejarah Pon–Pes ARIS KH. Ahmad Dum Irfan Pendiri
Pondok Pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal Pengikut Jejak Ayahanda KH. Irfan Pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu Kendal, (Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 1422 H/2001 M).
55
semenjak tahun 1968 dan rencana pondok putri terus dilanjutkan oleh beliau
sehingga terbentuk kepanitian yang terdiri Kiai Humaidullah Irfan, Kiai
Ibadullah Irfan, Kiai Asror Ridwan dan Kiai Cholil Hasan dengan didukung
oleh ulama beserta masyarakat setempat.
Setelah membebaskan tanah seluas 3500 M². kemudian peletakan batu
pertama dilaksanakan pada tahun 1968 dan tepat pada tanggal 28 Agustus
1978 pondok pesantren putri ARIS diresmikan.
Waktu terus berputar yang menyongsong era milinium lebih dari 25
tahun pondok pesantren putri ARIS yang telah mengalami kemajuan dalam
berbagai bidang yang pada tahun 1992 jumlah santri mencapai kurang lebih
700 orang dan ditahun itu pulalah Bapak KH. Cholil Hasan telah wafat
meninggalkan kita semua namun gema jihadnya tetap membahana dengan niat
mencetak wanita sholihah, sesuai hadist:
K8�r �=/�o��Y��M"yz��b�M"��$?*/ “Dunia adalah perhiasan, sedangkan sebaik–baiknya perhiasan adalah wanita sholihah”3. Kemudian pada tahun 1992 kepemimpinan pondok pesantren putri
ARIS dilanjutkan oleh bapak KH. Hafidzin Ahmaddum hingga sekarang4,
dengan sarana dan prasana yang semakin lengkap yang menjadikan tambah
majunya pondok pesantren ARIS salaf.5
2. Keadaan Ustadz/Ustadzah (Guru)
Mengenai tenaga pendidik (ustadz/ustadzah) direkrut dari keluarga
ndalem, guru luar dan siswi (santriwati) tamatan.6 Keseluruhan
ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
saribaru Kaliwungu Kendal berjumlah 37 orang (untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada halaman lampiran)
Adapun ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, dari Jawa Barat
3 Delima,op. cit., hlm. 32. 4 Sejarah Pon–Pes ARIS, op. cit. 5 Delima,op. cit., hlm. 33. 6 Delima, Ibid., hlm. 35.
56
ada 5 (lima) ustadz/ustadzah yang berasal dari kabupaten: Kuningan 1 (satu)
orang ustadzah, Indramayu 2 (dua) orang ustadzah dan Cirebon 2 (dua) orang
ustadzah. Sedangkan dari Jawa Tengah ada 32 (tiga puluh dua) ustadz /
ustadzah, yang mayoritas berasal dari kabupaten Kendal (Kaliwungu), selain
itu juga ada yang berasal dari daerah: Pekalongan, Demak, Tegal, Pemalang,
Pati, Jepara, dan Brebes7.
Usia Ustadz/Ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy berkisar antara 20 tahun hingga 55 tahun8.
Adapun ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy yang sudah berkeluarga ada 16 orang dan yang belum
berkeluarga ada 21 orang.
Mengenai pendidikan ustadz dan ustadzah (pengajar) di pondok
pesantren salaf putri Arribathul Islamy umumnya beliau tamatan Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), kemudian
melanjutkan studinya minimal 6 tahun di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy.
Di pondok pesantren ini, juga terdapat ustadz/ustadzah (guru) dari luar
(maksudnya dari luar adalah guru yang bukan alumni dari pondok pesantren
ARIS dan keluarga ndalem) yakni bapak Itos Budi Santoso S.Pd selaku
pengampu mata pelajaran didaktik methodik dan Bapak Drs. H. Ahmad Nur
pengampu mata pelajaranm Bahasa Indonesia.
Kompetensi atau persyaratan yang harus dipenuhi Sebagai seorang
ustadz/ustadzah (pengajar) di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
ialah wajib hafal nadhom Alfiyah Inbu Malik.
Peneliti juga mendapat informasi/keterangan mengenai masih
terdapatnya ustdzah (guru) yang masih nyantri, dan tinggal (mukim) di
pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy9.
3. Keadaan Santri (Siswa)
7 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal 8 Interviu Peneliti dengan Pengurus (Pengurus Sie Kewanitaan) Azzah, tanggal 20 April
2004.
57
Menurut tradisi pesantren, terdapat 2 (dua) kelompok santri: yaitu santri
mukim dan santri kalong.10
1. Santri Mukim
Di pondok pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal
seluruh santriwatinya menetap di pondok pesantren (santri mukim).
Keseluruhan santriwati pondok pesantren Arribatul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal berjumlah 507 orang.11
Adapun perinciannya sebagai berikut:
(Tabel II)
No. DAERAH SANTRI I Jawa Barat, meliputi: 1 Cirebon 48 2. Indramayu 19 3. Kuningan 8 II Jawa Tengah, meliputi: 1. Kendal 129 2. Pekalongan 71 3. Tegal 63 4. Batang 15 5. Demak 13 6 Jepara 27 7. Pati 12 8. Pemalang 11 9 Semarang 24 III Jawa Timur (Kediri) 7 IV Jakarta 21 V Banten 10 VI Lampung 6
9 Wawancara peneliti dengan kepala Madrasah Mu’alimat Salafiyah, K.H. Masduqi, AH,
pada tanggal 20 April 2004. 10 Santri mukim yaitu murid–murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam
kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari–hari; mereka juga memikul tanggungjawab mengajar santri–santri muda tentang kitab–kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah pesantren yang besar (dan masyur) akan terdapat putera–putera kiai dari pesantren–pesantren lain yang belajar di sana; mereka ini biasanya akan menerima perhatian istimewa dari kiai.
Adapun santri kalong yaitu murid–murid yang berasal dari desa–desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak–balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dibukunya Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), Cet. II, hlm. 51–52.
11 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
58
VII Jambi 12 VIII Riau 11 Jumlah Total 507 santriwati
Usia santriwati di pondok pesantren ARIS rata–rata berkisar antara
13 tahun hingga 20 tahun. Hal ini didasarkan karena yang nyatri di
pondok pesantren ini mayoritas lulusan Sekolah Menengah Pertama
(SMP), Sekolah Menengah atas (SMA) dan tidak tertutup kemungkinan
juga ada yang lulusan Sekolah dasar (SD).
Adapun mengenai status ekonomi orang tua santriwati tergolong
ekonomi kelas menengah (biasa–biasa saja), hal ini tentunya didasari pada
kenyataan bahwasanya mayoritas dari wali santriwati bekerja di bidang
pertanian. Dan tidak tertutup kemungkinan juga ada yang menjadi
pegawai negeri sipil dan pengusaha12.
2. Santri Kalong
Adapun di pondok pesantren Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal tidak terdapat satupun santriwati kalong (santri yang tidak
mukim). Ini tentunya didasarkan pada kenyataan bahwasanya sistem
pembelajaran/pendidikan di pondok pesantren salaf menganut sistem
pendidikan 24 jam (sehari semalam full).
Itulah perbedaan yang secara konkrit tampak antara santriwati
mukim dengan santriwati kalong di mana santriwati mukim dalam
melaksanakan segala aktivitasnya selama 24 jam di pondok pesantren,
tetapi jika santriwati kalong keberadaannya di pondok pesantren jika akan
mengikuti pengajian saja.
Sehinnga pengasuh dan ustadz/ustadzah menginginkan selama
santriwati berada di pondok pesantren mendapat pendidikan tidak hanya
lewat pengajian–pengajian kitab kuning saja, tetapi pergaulan antar
sesama santriwatipun merupakan bagian daripada pendidikan
bermasyarakat dalam ruang lingkup kecil di pondok pesantrten13.
12 Dokumen Pondok Pesantren Salaf Putri Arribatul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal. 13 Wawancara peneliti dengan kepala Madrasah Mu’alimat Salafiyah, K.H. Masduqi, AH,
pada tanggal 24 Maret 2004.
59
II. METODE PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN SALAF
PUTRI ARIBATHUL ISLAMY SARIBARU KALIWUNGU KENDAL
Metode pembelajaran yang dipergunakan di pondok pesantren
salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tidak berbeda
dengan metode pembelajaran yang dipergunakan di pondok pesantren salaf
pada umumnya. Adapun metode pembelajaran yang dipergunakannya, yaitu14: 1. Metode Bandongan
Pelaksanaan dari pada metode bandongan yaitu santriwati secara
bergerombol kurang lebih jumlahnya seratus, duduk di sekeliling
kiai/ustadz/ustadzah yang sedang membacakan kitab kuning, kemudian
santriwati mendengarkan dan memaknai kitabnya dan sambil membuat
catatan–catatan tambahan jika dirasa perlu dan penting.
2. Metode Sorogan
Praktek pengajaran dengan metode sorogan yaitu santri secara individu
maju satu–persatu dengan membawa kitab yang telah dipilih/ditentukan
sendiri (oleh santriwati) dan disesuaikan dengan kemampuannya, kemudian
kitab tersebut dibacanya di depan pengajar (kiai/ustdaz/ustadzah), kemudian
jika ada kesalahan dalam pembacaannya itu, sang pengajar membenarkannya.
3. Metode Dialog (Tanya jawab)
Metode tanya–jawab adala metode mengajar yang memungkinkan
terjadinya komunikasi langsung yang bersifat dua arah sebab pada saat yang
sama terjadi dialog antara santriwati dan kiai/ustadz/ustadzah.
Kiai/ustadz/ustadzah bertanya santriwati menjawab, atau santriwati bertanya
kiai/ustadz/ustadzah menjawab. Dalam komunikasi ini terlihat adanya
hubungan timbal balik secara langsung antara kiai/ustadz/ustadzah dan
santriwati.
4. Metode Menguraikan/menjelaskan (Murodi)
Yang dimaksud dengan metode Menguraikan/menjelaskan (Murodi) di
sini adalah metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya seorang
14 Interviu/Wawancara dengan Azzah (Pengurus Sie Kewanitaan)&Ety Rohayati (Kepala
Pengurus III), tanggal 13–14 Februari 2004.
60
santriwati menjelaskan materi pelajaran yang telah dijelaskan oleh
kiai/ustadz/ustadzah di depan santriwati–santriwati dan kiai/ustadz/ustadzah
atau masih tetap duduk ditempat asalnya.
5. Metode Lalaran
Salah satu kekhasan metode pembelajaran di pondok pesantren salaf
adalah adanya metode pembelajaran dengan sitem lalaran. Metode lalaran
yaitu metode pembelajaran yang dalam pelaksanaannya pelajaran itu
dilagukan dengan lagu–lagu tertentu, dan metode ini tidak semua pelajaran
dapat diterapkan, tetapi pelajaran yang dapat diterapkan dengan metode
lalaran adalah pelajaran–pelajaran yang ada kaitannya dengan nadhom
sehingga nadhom tersebut bisa dilagukan dan dikonstekskan dengan lagu yang
sedang up to date. Dan perlu diingat bahwasanya metode lalaran ini sering
dipergunakan pada pelajaran–pelajaran yang ada nadhomnya seperti
jurumiyah, amrithi dan lain sebagainya.
6. Metode Bahtsul Masail (Diskusi)
Metode Bahtsul Masail (Diskusi) pada dasarnya adalah bertukar
informasi, pendapat, dan unsur–unsur pengalaman secara teratur dengan
maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih cermat
tentang permasalahan atau topik yang sedang dibahas. Dalam Metode Bahtsul
Masail (Diskusi), setiap santriwati diharapkan memberikan sumbangan
pikiran, sehingga dapat diperoleh pandangan dari berbagai sudut berkenaan
dengan masalah tersebut. Dengan sumbangan dari setiap santriwati,
diharapkan akan maju dari satu pemikiran kepemikiran yang lain, langkah
demi langkah, sampai dihasilkannya pemikiran yang lengkap mengenai
permasalahan atau topik yang dibahas.
7. Metode Hafalan
Dengan metode hafalan ini diharapkan pelajaran yang telah difahami
dan dimengerti dapat teringat terus sampai masa hayatnya. Pelaksanaan dari
metode hafalan ini santriwati maju satu–persatu menghadap sang
kiai/ustadz/ustadzah untuk menghafalkan materi pelajaran/syi’ir/nadhom
61
tertentu. Setelah santriwati dianggap hafal semua, maka santriwati tersebut
kembali ke tempatnya. Tetapi jika santriwati tersebut belum hafal, maka
diperintahkan kembali untuk menghafal hingga hafal benar.
Biasanya hafalan ini ditujukan pada pelajaran tertentu saja yang
dianggap penting seperti ilmu alat nahwu dan shorof, tetapi tidak tertutup
kemungkinan nadhom–nadhom dan syi’ir lainnya.
III. METODE PEMBELAJARAN KITAB KASYIFATU SAJA
Metode pembelajaran yang dipergunakan untuk mengajarkan kitab
kuning Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
Saribaru Kaliwungu Kendal, adalah sebagai berikut15:
1. Metode Bandongan
Pengajaran dengan metode bandongan adalah seorang kiai atau
ustadz/ustadzah membaca, menterjemahkan dan mengupas pengertian kitab
tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang terkadang cukup banyak
kurang lebihnya 100 santriwati, mereka duduk mengelilingi sang ustadz atau
kiai, atau mereka mengambil tempat agak jauh selama suara beliau dapat
didengar, dan masing–masing orang membawa kitab yang tengah dikaji itu,
sambil jika perlu memberikan syakl (harakat) dan menulis penjelasannya di
sela–sela kitab tersebut
Pengajaran dengan metode bandongan kemudian materi yang sedang
dibahas, semisal adalah fasal tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan
bagian–bagiannya. Setelah kiai atau ustadz/ustadzah membacakan dan
menerangkan materi kitab tersebut, kemudian para santriwati mendengarkan
dan memaknai kitabnya sendiri–diri, serta bila perlu menambah penjelasan–
penjelasan yang dianggap penting.
2. Metode Sorogan
Metode sorogan adalah proses belajar mengajar secara face to face,
santri berinteraksi (menghadap) secara langsung dengan seorang tutornya
(kiai/guru), dan dalam menentukan suatu materi (kitab) yang akan dibacapun
15 Observasi Peneliti di Pondok Pesantren Putri Salaf ARIS Saribaru Kendal pada
Tanggal 13–14 Februari 2004.
62
santri mempunyai indepedensi untuk menentukan sendiri, tanpa adanya
interpensi dari kiai apalagi teman santrinya.
Pengajaran dengan metode sorogan kemudian materi yang sedang
dibahas, semisal adalah fasal tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan
bagian–bagiannya. Pada pembelajaran model ini santriwati membacakan fasal
tentang menjelaskan rukun–rukun Islam dan bagian–bagiannya di depan
kiai/guru, kemudia kiai/guru mendengarkan dan menyimak bacaan santriwati
tersebut, jika ada kesalahan dalam bacaan itu, maka langsung dibetulkan oleh
kiai/guru, tetapi jika dalam pembacaan tersebut benar maka santriwati tersebut
melanjutkan bacaannya hingga batas tertentu yang telah ditetapkan.
3. Metode Bahtsul Masail (Diskusi)
Metode Bahtsul Masail (Diskusi) pada dasarnya adalah bertukar
informasi, pendapat, dan unsur–unsur pengalaman secara teratur dengan
maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih
cewrmat tentang permasalahan atau topik yang sedang dibahas. Dalam
Metode Bahtsul Masail (Diskusi), setiap santriwati diharapkan memberikan
sumbangan pikiran, sehingga dapat diperoleh pandangan dari berbagai sudut
berkenaan dengan masalah tersebut. Dengan sumbangan dari setiap santriwati,
diharapkan akan maju dari satu pemikiran kepemikiran yang lain, langkah
demi langkah, sampai dihasilkannya pemikiran yang lengkap mengenai
permasalahan atau topik yang dibahas.
Contoh penerapan metode bahtsul masail (diskusi) dengan kitab
Kasyifatu Saja adalah fasal tentang sesuatu yang wajib dizakati, semisal padi.
Mengingat pada kitab tersebut padi secara tekstual tidak termasuk kategori
yang wajib dizakati, kemudian kalau di konstektualisasikan dengan zaman
sekarang, apakah padi tersebut kategori yang wajib dizakati? Di sisnilah maka
dituntut peran aktifnya dari semua para santriwati untuk memecahkan
persoala tersebut.
IV. SKOR TEST HASIL BELAJAR KITAB KASYIFATU SAJA
1. Metode Sorogan
63
(Tabel III)
NO. NAMA BENAR KALI (X) 2 NILAI 1. Maghfiroh 46 “ 92 2. Ummu Khabibah 47 “ 94 3. Titik Khasanah 48 “ 96 4. Khusnul Khotimah 48 “ 96 5. Ima Rosyidah 41 “ 82 6. Khalifah 48 “ 96 7. Siti Mukarramah 48 “ 96 8. Fattatun Muthoharoh 42 “ 84 9. Inasul Usroh 48 “ 96
10. Milatul Zulfa 45 “ 90 11. Minarti 47 “ 94 12. Sri Rezeki 42 “ 84 13. Ulfa Anjalida 47 “ 94 14. Mamluatul Hikmah 50 “ 100 15. Atika 47 “ 94 16. Nurul Fitriyah 49 “ 98 17. Muhasanah 45 “ 90 18. Desi Angraeni 40 “ 80 19 Dewi Hajar 48 “ 96 20. Duwi Fatmawati 45 “ 90 21. Izatul Khayati 39 “ 78 22. Zaenatus Sanaya 43 “ 86 23. Siti Khanifah 45 “ 90 24. Nur Aisyah 44 “ 88 25. Tri Astuti 49 “ 98
2. Metode Bandongan
(Tabel IV)
NO. NAMA BENAR KALI (X) 2 NILAI 1. Ulfa 41 “ 82 2. Nurul Khasanah 39 “ 78 3. Renita 40 “ 80 4. Muzayanah 41 “ 82 5. Imroatun Khasanah 39 “ 78 6. Khoridah 40 “ 80 7. Farichah 42 “ 84 8. Siti Arofah 39 “ 78 9. Eva 40 “ 80
10. Iis Sunaeni 43 “ 86 11. Ikha Faricha 40 “ 80 12. Siti Anifah 42 “ 84
64
13. Marwati 44 “ 88 14. Khabibah 41 “ 82 15. Mukarramah 45 “ 90 16. Nur Laila 43 “ 86 17. Siti Khabibah 42 “ 84 18. Siti Hajar 46 “ 92 19. Siti Maghfiroh 41 “ 82 20. Rosyidah 47 “ 94 21. Muthoharah 49 “ 98 22. Hanifah 43 “ 86 23. Umi Saidah 48 “ 96 24. Siti Aisyah 41 “ 82 25. Fatimah 48 “ 96
65
BAB IV
ANALISIS DATA PENELITIAN
Pada bab IV ini akan dilakukan analisis secara statistik–kuantitatif.
Analisis ini dibagi menjadi tiga yaitu: analisis pendahuluan, analisis uji
hipotesis dan analisis lanjut.
I. ANALISIS PENDAHULUAN
Analisis pendahuluan merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk
mengetahui efektifitas penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu
Saja dengan metode sorogan dan metode bandongan di pondok pesantren
salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
Untuk itu perlu disajikan data hasil penelitian tentang efektifitas penguasaan
santri terhadap materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan dan
metode bandongan, sebagaimana terdapat pada bab III sebagai berikut:
i. Tabel V data hasil penelitian tentang Efektifitas Metode Sorogan (X)
Kitab Kasyifatu Saja.
78 80 82 84 84 86 88 90 90 90 90 92 94 94 94 94 96 96 96 96 96 96 98 98 100
ii. Tabel VI data hasil penelitian tentang Efektifitas Metode bandongan (Y)
Kitab Kasyifatu Saja.
78 78 78 80 80
66
80 80 82 82 82 82 82 84 84 84 86 86 86 88 90 92 94 96 96 98
Data di atas menunjukan bahwa nilai tertinggi dan terendah dari
efektifitas penerapan metode sorogan dan metode bandongan kitab
KasyifatuSaja adalah sebagai berikut:
IX. Efektifitas penerapan metode sorogan kitab Kasyifatu Saja, skor
tertinggi adalah 100 dan skor terendah adalah 78.
{� .� Sedangkan efektifitas penerapan metode bandongan kitab Kasyifatu
Saja, skor tertinggi adalah 98 dan skor terendah adalah 78.
Langkah selanjutnya adalah membuat kualifikasi efektifitas
penerapan metode sorogan kitab Kasyifatu Saja, berdasarkan data–data
yang ada dan jumlah options yang tersedia dalam soal test.
Tabel VII
Kualifikasi Efektifitas Penerapan Metode Sorogan (X) Kitab Kasyifatu
Saja.
No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 94 – 101 Sangat baik 2. 86 – 93 Baik 3. 78 – 85 Cukup
Keterangan:
- Distribusi frekuensi data berkelompok
- Banyaknya deret interval (3 alternatif jawaban responden, berupa
soal pilihan ganda A, B dan C)
- Sedangkan interval dari masing-masing deret adalah 8, pembulatan
dari 7,666.
Tabel VIII
Kualifikasi Efektifitas Penerapan Metode Bandongan (Y) Kitab
Kasyifatu Saja.
No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 91 – 97 Sangat baik 2. 84 – 90 Baik 3. 78 – 84 Cukup
67
Keterangan:
- Distribusi frekuensi data berkelompok
- Banyaknya deret interval (3 alternatif jawaban responden, berupa
soal pilihan ganda A, B dan C)
- Sedangkan interval dari masing-masing deret adalah 7.
Langkah selanjutnya adalah memasukkan (mengklasifikasikan
data yang disajikan pada tabel V sesuai dengan klasifikasi yang telah
dibuat dia atas sehingga hasilnya adalah dalam bentuk tabel diatribusi
relatif dan tabel persentase sebagai berikut:
Tabel IX
Distribusi persentase Efektifitas Metode Sorogan (X) Kitab Kasyifatu
Saja.
N0 Interval Nilai F Presentase Kualifikasi 1 94-101 13 52 % Sangat Baik 2 86-93 7 28 % Baik 3 78-85 5 20 % Cukup
Jumlah - �N = 25 �P = 100 % Keterangan:
Untuk memperoleh angka persenan sebagaimana tertera pada kolom 4
tabel IX, dipergunakan rumus:
P =F x 100 N
Di mana:
F= Frekuensi yang sedang dicari persentasenya
N= Number of cases (jumlah frekuensi/banyaknya individu)
P= Angka persentase.
Berdasrkan tabulasi di atas dapat ditegaskan bahwa: efektifitas
metode sorogan kitab Kasyifatu Saja ada pada kategori atau kualifikasi
sangat baik, karena terlihat jelas frekuensi terbanyak dari nilai efektifitas
metode sorogan kitab Kasyifatu Saja pada deret ke-1 (13) dalam
kualifikasi sangat baik. Dan secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut: 52 % sangat baik, 28 % baik dan 20 % cukup.
68
Tabel X
Distribusi persentase Efektifitas Metode Bandongan (Y) Kitab Kasyifatu
Saja.
N0 Interval Nilai F Presentase Kualifikasi 1 91-97 5 20 % Sangat Baik 2 84-90 8 32 % Baik 3 78-84 12 48 % Cukup
Jumlah - �N = 25 �P = 100 % Berdasrkan tabulasi di atas dapat ditegaskan bahwa: efektifitas
metode bandongan kitab Kasyifatu Saja ada pada kategori atau
kualifikasi cukup, karena terlihat jelas frekuensi terbanyak dari nilai
efektifitas metode bandongan kitab Kasyifatu Saja pada deret ke-3 (12)
dalam kualifikasi cukup. Dan secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut: 20 % sangat baik, 32 % baik dan 48 % cukup.
Jadi dari urain tersebut jelas adanya perbedaan efektifitas
metode sorogan lebih efektif daripada metode bandongan bagi santriwati
untuk dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja. Dari analisis pendahuluan
bahwa pada frekensi kualifikasi dan distribusi persentase diketahui
adanya perbedaan efektifitas metode sorogan lebih efektif daripada
metode bandongan bagi santriwati untuk dapat menguasai kitab
Kasyifatu Saja. Apakah perbedaan tersebut terjadi secara kebetulan atau
merupakan perbedaan yang signifikan. Untuk lebih mengetahui hal ini,
maka peneliti mengadakan analisis uji hipotesis.
II. ANALISIS UJI HIPITESIS
Tabel XI
Persiapan kerja tentang efektifitas metode sorogan (X) kitab Kasyifatu Saja
No. X F X X' FX' FX'² 1. 98-100 3 99 4 12 48 2. 95-97 6 96 3 18 54 3. 92-94 5 93 2 10 20 4. 89-91 4 90 1 4 4 5. 86-88 2 87 0 0 0 6. 83-85 2 82 -1 -2 2 7. 80-82 2 81 -2 -4 8
69
8. 77-79 1 78 -3 -3 9 Jumlah - �N = 25 - - � FX' =35 � FX'² = 145
Keterangan tabel:
- Distribusi data berkelompok
- Interval masing-masing deret adalah 3
Cara mencarinya sebagai berikut:
Rumus: R = H – L + 1
Di mana:
R = Total range
H = Nilai tertinggi
L = Nilai terendah
1 = Bilangan konstan
Jadi R = 100 – 78 + 1
R = 23
Untuk mencari I (interval) dengan cara:
R = (yang menentukan deret interval) I 23 = 7, 666 ( 8 ) 3 Dengan demikian dapat diketahui bahwa interval dari data di atas adalah 3,
sedangkan deret intervalnya adalah 8 (pembulatan dari 7, 666).
Tabel XII
Persiapan kerja tentang efektifitas metode bandongan (X) kitab Kasyifatu
Saja
No. X F X X' FX' FX'² 1. 96-98 3 87 3 9 27 2. 93-95 1 94 2 2 4 3. 90-92 2 91 1 2 2 4. 87-89 1 88 0 0 0 5. 84-86 6 85 -1 -6 6 6. 81-83 5 82 -2 -10 20 7. 78-80 7 79 -3 -21 63
Jumlah - �N = 25 - - � FX' = - 24 � FX'² = 122
70
Keterangan: interval 3 dengan deret interval 7
Rumus: R = H – L + 1
R = 98 – 78 + 1
R = 21
Untuk mencari I (interval) dengan cara:
R = (yang menentukan deret interval) I 21 = 7 3 Adapun langkah-langlkahnya sebagai berikut:
1. Mencari Mean
i. Mencari mean variabel X (metode sorogan), dengan rumus:
MX = M' + i x ( �FX' ) NX
= 87 + 3 x ( 35 ) 25
= 87 + 3 x 1, 4 = 87 + 4.2
MX= 91, 2
ii. Mencari mean variabel Y (metode bandongan), dengan rumus:
MY = M' + i x ( �FY' ) NY
= 88 + 3 x ( -24 ) 25
= 88 + 3 x (-0, 96) = 87 + (-2, 88)
MY= 85, 12
2. Mencari Deviasi Standar
i. Mencari deviasi standar variabel X (metode sorogan), dengan
rumus:
ii. Mencari deviasi standar variabel X (metode sorogan), dengan
rumus:
71
3. Mencari Standar Error Mean
i. Mencari standar error mean variabel X (metode sorogan), dengan
rumus:
ii. Mencari standar error mean variabel Y (metode bandongan), dengan
rumus:
4. Mencari standar error perbedaan mean variabel X (metode sorogan) dan
mean variabel Y (metode bandongan), dengan rumus:
5. mencari to
(Tabel VIII)
No. Interval Nilai Kualifikasi 1. 94 – 101 Sangat baik 2. 86 – 93 Baik 3. 78 – 85 Cukup
2. Metode Sorogan (X)
Untuk mengetahui bagaimana efktifitas metode sorogan (X) kitab
Kasyifatu Saja, maka dicari nilai rata–rata (mean) dari tabel di atas dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
MX = M' + i ( �FX' ) N = 90 + 2 ( -16 )
25 = 90 + ( -32 )
25 = 90 + ( -1, 28 )
MX= 88, 72 Dengan melihat tabel VI kualifikasi efektifitas penerapan metode
sorogan (X) kitab Kasyifatu Saja di atas, maka dapat diketahui bahwa
penguasaaan santriwati terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan
rata–rata adalah baik.
Setelah diketahui nilai rata–rata (mean) dari metode sorogan, kemudia
72
langkah selanjutnya penulis mencari standar deviasi metode sorogan (SDX),
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
SDX = i FX'² _ FX' ² N N
= 2 228 _ -16 ² 25 25 = 2 � 9, 12 – (- 0, 64) ² = 2 � 9, 12 – 0, 41 = 2 � 8, 71 = 2 X 2, 951
SDX = 5, 902
3. Metode Bandongan (Y)
Untuk mengetahui bagaimana efektifitas metode bandongan (Y) kitab
Kasyifatu Saja, maka dicari nilai rata–rata (mean) dari tabel di atas dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
MY = M' + i ( �FY' ) N
= 88 + 2 ( 36 ) 25 = 88 + ( 72 ) 25 = 88 + 2, 88
MY = 90, 88 Dengan melihat tabel VII kualifikasi efektifitas penerapan metode
bandongan (Y) kitab Kasyifatu Saja di atas, maka dapat diketahui bahwa
penguasaaan santriwati terhadap kitab Kasyifatu Saja dengan metode
bandongan rata–rata adalah baik.
Setelah diketahui nilai rata–rata/mean dari metode bandongan,
kemudian langkah selanjutnya penulis mencari standar deviasi metode
bandongan (SDY), dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
SDY = i FY'² _ FY' ² N N
= 2 270 - 36 ² 25 25 = 2 � 10, 8 - ( 1, 44 )²
73
= 2 � 10,8 - 2, 074 = 2 � 8, 726 = 2 X 2, 954
SDY = 5, 908 4. Mencari Standar error perbedaan mean variabel X (metode sorogan) dan mean
variabel Y (metode bandongan), dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
SDXY = NX . SDX² + NY . SDY² NX + NY – 2
= 25 X 5, 902² + 25 X 5, 908² 25 + 25 - 2 = 25 X 34, 834 + 25 X 34, 904 48 = 870, 85 + 872, 6 48 = 1743, 45 48 = �36, 322
SDXY = 6, 027 III. ANALISIS UJI HIPOTESIS
Analisis uji hipotesis merupakan analisis untuk menguji hipotesis yang
diajukan oleh peneliti dalam penelitian. Adapun hipotesis penelitian ini adalah
“metode sorogan lebih efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu
Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal”. Maka akan diadakan analisis uji hipotesis dengan menggunakan
rumus “t-score”.
to = MX - MY
SDXY 1 + 1 NX NY
= 88, 72 - 90, 88 6, 027 1 + 1
25 25 = -2, 16
6, 027 2 25
= -2, 16 6, 027 (� 0,08)
= -2, 16 6, 027 X 0,283
= -2, 16 1,706
to = -1, 266
74
Setelah diketahui hasil “to”, langkah selanjutnya penulis akan menguji
nilai “t” apakah signifikans atau tidak suatu hipotesis yang telah diajukan,
maka dicari degrees of freedom (df) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
df = NX +NY - 2
= 25 + 25 – 2
= 50 – 2
df = 48
Setelah diadakan penghitungan dengan langkah–langkah di atas, maka
langkah selanjutnya adalah menguji hasil pengolahan tersebut dengan taraf
signifikansi 5% dengan hasil sebagai berikut:
i. Taraf signifikansi 5% adalah:
to = -1, 266
tt = 2,008
Ini berarti to<tt, jadi non signifikan. Berarti hipotesis nihil yang penulis
ajukan ditolak.
ii. Taraf signikansi 1% adalah:
to = -1, 266
tt = 2,678
Ini berarti to<tt, jadi non signifikan. Berarti hipotesis nihil yang penulis
ajukan ditolak.
Dengan demikian, to (-1, 266) adalah jauh lebih kecil dari pada tt, baik
pada taraf signifikansi 5% (2,008) maupun taraf signifikansi 1% (2,678),
yang berarti hipotesis nihil yang penulis ajukan ditolak.
Jadi dapat ditegaskan bahwa metode sorogan tidak (non
signifikan) efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja di
pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu
Kendal”.
IV. ANALISIS LANJUT
75
Berdasarkan analisis uji hipotesis di atas diketahui bahwa metode
sorogan tidak efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab Kasyifatu Saja di
pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal”.
Oleh karena itu, analisis lanjut yang dapat penulis kemukakan adalah
sebaiknya kiai, ustadz dan ustadzah dalam membimbing/mengajarkan kitab
Kasyifatu Saja kepada santriwati–santriwatinya dengan metode sorogan harus
merubah paradigma.
Adapun kriteria merubah paradigma yaitu: dalam sistem ini (metode
sorogan) seharusnya kiai, ustadz dan ustadzah memberikan penjelasan
terhadap materi yang sedang dikaji, sehingga santriwati dapat memahaminya.
Kriteria lain adalah perlunya diadakan sistem sorogan yang yang
mutakhir sebagaimana praktek guru besar Mukti Ali, beliau mengajarkan
mahasiswa pasca sarjana dan pendidikan doktor dengan metode sorogan.
Mahasiswa diberi tugas untuk membaca satu persatu pada waktu tatap muka
yang terjadwal, kemudian setelah membaca diadakan pembahasan dengan
cara dialog dan berdiskusi sampai mendapat pemahaman yang jelas pada
pokok bahasan.
Di samping faktor di atas, santriwati juga ikut mewarnai sukses tidaknya
proses pembelajaran dengan metode sorogan. Karena dalam sistem ini ada
juga santriwati yang berasal dari daerah sunda, Jakarta, Sumatera dan lain
sebagainya sehingga tidak begitu memahami bahasa Jawa khususnya yang
digunakan sebagai penerjemah kitab Kasyifatu Saja.
Oleh sebab itu peneliti mempunyai suatu alternatif untuk mengantisipasi
hal tersebut, yaitu kombinasi antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam
membaca dan menerjemahkan kitab Kasyifatu Saja sehingga santriwati benar–
benar memahami kandungan isi kitabnya.
Kemudiann jadwal, pembelajaran juga ikut mempengaruhi keberhasilan
proses pembelajaran kitab Kasyifatu Saja. Di pondok pesantren ini alokasi
pembelajaran kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan sangatlah minim
sekali, seminggu dua kali, (satu pertemuan kurang lebih 60 menit), inilah
76
kiranya yang membuat pembelajaran dengan metode sorogan tidak begitu
efektif.
Untuk mengantipasi hal tersebut peneliti menyarankan kepada bapak
kiai, ustadz/ustadzah untuk menambah alokasi waktu sehingga proses
pembelajaran dengan metode sorogan dapat berjalan dengan baik dan efektif.
Adapun mengenai fasilatas dalam pembelajaran kitab Kasyifatu Saja
dengan metode sorogan dan metode bandongan, peneliti tidak melihat adanya
perbedaan secara signifikan sebab, keduanya sama–sama tidak menggunakan
papan tulis, dan semua santriwati mempunyai kitabnya sendiri–sendiri.
77
BAB V
KESIMPULAN, SARAN DAN PENUTUP
I. KESIMPULAN
Setelah menganalisis studi komparatif efektifitas metode sorogan
dengan metode bandongan kitab kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari analisis data penelitian diatas, nilai rata–rata/mean metode sorogan
adalah 88,72, ini menunjukan penguasaan santriwati terhadap materi kitab
Kasyifatu Saja dengan metode sorogan di pondok pesantren salaf putri
Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tergolong baik.
2. Kemudian penguasaan santriwati terhadap materi kitab Kasyifatu Saja
dengan metode bandongan di pondok pesantren salaf putri Arribathul
Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal tergolong baik juga, jika dibandingkan
dengan mean metode sorogan. Ini terbukti dengan hasil nilai rata–rata
metode bandongan yaitu 90, 88.
3. Setelah peneliti menganalisis data yang diperoleh melalui penghitungan
statistik dengan rumus T–test menunjukan hasil –1,266 Bila hasil tersebut
dikonsultasikan dengan nilai (t–tabel) baik pada taraf signifikansi 5%
maupunn taraf 1%, maka hasilnya adalah non signifikan. Hal ini berarti
bahwa metode sorogan tidak efektif bagi santriwati dapat menguasai kitab
Kasyifatu Saja di pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru
Kaliwungu Kendal”.
78
II. SARAN
Saran yang dapat penulis sampaikan kepada segenap civitas (santri
ustadz/stadzah dan kiai) pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy
Saribaru Kaliwungu Kendal.
1. Hendaknya para santriwati memperhatikan bagaimana jalur yang sesuai
dalam mengikuti pengajian/pengajaran di pondok pesantren sebelum
mengikuti pengajian dengan metode sorogan dan bandongan.
2. Alangkah baiknya apabila Bapak kiai memberikan motivasi kepada para
santriwati sehingga dapat menambah giatnya dalam mengikuti pengajian
dengan sistem sorogan dan bandongan.
3. Dalam menyampaikan materi kitab Kasyifatu Saja dengan metode sorogan
sebaiknya ustadz/ustadzah dan kiai mempunyai suatu paradigma yang
baru, yaitu: memberikan penjelasan terhadap materi yang sedang dikaji,
sehingga santriwati dapat memahaminya.
Di samping itu juga perlu diadakannya sistem sorogan yang yang
mutakhir sebagaimana praktek guru besar Mukti Ali, beliau mengajarkan
mahasiswa pasca sarjana dan pendidikan doktor dengan metode sorogan.
Mahasiswa diberi tugas untuk membaca satu persatu pada waktu tatap
muka yang terjadwal, kemudian setelah membaca diadakan pembahasan
dengan cara dialog dan berdiskusi sampai mendapat pemahaman yang
jelas pada pokok bahasan.
4. Begitu juga sebaliknya dalam pengajaran dengan metode bandongan ini,
ustadz/ustadzah dan kiai setelah membacakan dan menjelaskan materi
yang dikaji, salah satu santriwati diperintah untuk membaca dan
menjelaskan materi tersebut. Sehinnga seakan–akan yang dapat membaca
dan menjelaskan materi kitab itu seorang ustadz, ustadzah ataupun kiai.
III. PENUTUP
Dengan rasa rendah hati penulis mengucapkan rasa syukur kepada
Allah SWT, bahwa proses pembuatan skripsi yang berjudul “studi komparatif
efektifitas metode sorogan dengan metode bandongan kitab Kasyifatu Saja di
79
pondok pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal”,
telah selesai.
Oleh karena itu penulis mengharapkan bagi para pembaca yang
kebetulan membaca skripsi ini, sebuah kritikan yang dinamis, progresif yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan proses pembuatan skripsi ini.
Akhirnya, semoga proses pembuatan skripsi ini dapat bermamfaat bagi
diri penulis dan masyarakat pada umumnya serta khususnya bagi pondok
pesantren salaf putri Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal.
80
81
82
DARTAR PUSTAKA
AlQur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV. Toha Putra, 1989.
Al–Jawi, Abi ‘Abdu al–Mu’thi Muhammad Nawawi, Syarh Kasyifatu Saja, Semarang: Toha Putra, t.t.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, Cet. XI.
Ali, Muhammad, Startegi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, 1993.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999, Cet. I.
Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: Al–Ikhlas, 1993, Cet. I.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Tinjauan Mengenai Beberapa Aspek Dan Proses Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset 1986.
_____________, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1994, Cet. VII.
Dokumentasi Pondok Pesantren Salaf putri Arribathul Islamy, tt.p.: Saribaru Kaliwungu Kendal, t.p.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982, Cet. I.
Delima 2002 Purna Siswi MMS “ARIS”, tt. p., Saribaru Kaliwungu Kendal, 2000.
83
Daulay, Haidar Putra, Historisitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001, Cet. I.
Dirdjosanto, Pradjarta, Memelihara Ummat Kiai Pesantren–Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van hoeve, 1993, Cet. I.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 15, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1991.
Hadjar, Ibnu, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif Dalam Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. I.
Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Dan mengajar, Bandung: PT. Sinar Baru, 2000, Cet. II.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996,Cet. VI.
________, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. I.
Ibrahim, R. dan Nana Syaodih S, Perencanaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Ibn Surah, Abi ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa, Al–Jami’u Shahihu Sunanu Tarmidziyy,Darul Fikri, t.t.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, Cet. IV.
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Cemara Indah, 1978.
Maturidy, Didin Hafidudin, “Tinjauan atas “Tafsir Munir” Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara”, dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Wawasan
84
Intelektual Indonesia Telaah Atas Karya–Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, Cet. I.
Muslim, Aplikasi Statistik, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1996.
Mughni, Syafiq A., Nilai–Nilai Islam Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, Cet. I.
Madjid, Nurcholish, Bilik–Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, Cet. VII.
Muhammad, Husain, “Konstektualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian & Metode Pengajaran”, dalam Sa’id Aqiel Siradj et. al, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.
Mochtar, Affandi, “Tradisi Kitab Kuning sebuah Observasi Umum”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.
______________, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, Jakarta: Kalimah, 2001, Cet. I.
Makmum, Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002, Cet. V.
Margono, S., Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Mahali, A. Mudjab dan Umi Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum Santri, Bandung: Bayan, 1988, Cet. I
Nasuha, Chozin, “Epistimologi Kitab Kuning”, dalam, Sa’id Aqiel Siradj et. al., Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet. I.
Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren, Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984/1985,
85
Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1995.
Prasodjo, Sudjoko, et. al., Profil Pesantren Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al–Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, Jakarta: LP3ES, 1975, Cet. II.
Rahim, Husni, “Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional: Mempertimbangkan Kultur Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, Edisi Nopember/68/Tahun VII/1999.
Rahardjo, M. Dawam, (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985, Cet. I.
Seri Monografi Penyelenggaraan Pendidikan Formal di: Pondok Pesantren, Jakarta: Proyek Pembinaan Dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren 1984 /985, Ditjen Binbaga Islam DEP. Agama R.I., 1985.
Saridjo, Marwan et. al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, Jakarta: Dharma Bhakti, 1979.
Singarimbun, Masri , Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, Cet. I.
SM, Ismail, (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. I,
Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia, Jakarta: P.T. Bulan Bintang, 1984, Cet. I.
Sejarah Pon–Pes ARIS KH. Ahmad Dum Irfan Pendiri Pondok Pesantren Arribathul Islamy Saribaru Kaliwungu Kendal Pengikut Jejak Ayahanda KH. Irfan Pendiri Pondok Pesantren APIK Kauman Kaliwungu Kendal, Saribaru Kaliwungu Kendal: t.p., 1422 H/2001 M.
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantrenn, Yogyakarta: LKiS, 2001, Cet. I.
_________________, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: CV. Dharma Bhakti,
86
1399 H.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara, 1979, Cet. II.
Zarkasyi, Abdullah Syukri, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara”, dalam Charles M. Stanton, et. al., Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994.
Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Terj. Butche B. Soendjoyo, Jakarta: P3M, 1986, Cet. I.
Zaini, Abdul Wahid, “Rekonstruksi Khazanah Kitab Kuning: Dinamika Pemikiran dunia Pesantren”, Buletin Bina Pesantren Media Komunikasi, Informasi dan Pengembangan Pesantren, akarta: Edisi Nopember/68/TahunVII/1999. Zarnuji, Syekh, Ta’limul Muta’allim, Semarang: Toha Putra, t.t.