BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...

98
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan adanya kendaraan yang digunakan untuk melakukan mobilitas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat saat ini memicu kebutuhan yang besar pula yang dibutuhkan oleh manusia akan adanya kendaraan, dengan begitu produksi akan kendaraan pun meningkat dan memenuhi pasar industri dari kendaraan yang ada di Indonesia. Melihat perkembangan pasar yang sangat pesat tersebut banyak produsen dan juga importir untuk memasarkan kendaraan yang tidak diproduksi di Indonesia yang disebut dengan kendaraan Built Up atau rakitan luar negeri, untuk mendukung pemasaranya para produsen memasukan kendaraan yang memang mereknya ada di Indonesia tetapi produk kendaraannya tidak diproduksi di Indonesia. Produk-produk impor tersebut dimasukan ke Indonesia bukan melalui Agen Tunggal Pemegang Merek yang selanjutnya disebut dengan ATPM, tetapi melalui agen atau importir umum yang dalam pelayanan purna jualnya diragukan karena agen-agen tersebut bukan merupakan agen resmi dari perusahaan yang memproduksi kendaraan- kendaraan yang resmi dijual di Indonesia. Adapun keuntungan bagi para ATPM resmi yang memegang merek dengan adanya produk Built Up tersebut adalah menuai keuntungan dari segi promosi,

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan adanya kendaraan yang

digunakan untuk melakukan mobilitas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang sangat pesat saat ini memicu kebutuhan yang besar pula yang

dibutuhkan oleh manusia akan adanya kendaraan, dengan begitu produksi akan

kendaraan pun meningkat dan memenuhi pasar industri dari kendaraan yang ada di

Indonesia. Melihat perkembangan pasar yang sangat pesat tersebut banyak produsen

dan juga importir untuk memasarkan kendaraan yang tidak diproduksi di Indonesia

yang disebut dengan kendaraan Built Up atau rakitan luar negeri, untuk mendukung

pemasaranya para produsen memasukan kendaraan yang memang mereknya ada di

Indonesia tetapi produk kendaraannya tidak diproduksi di Indonesia. Produk-produk

impor tersebut dimasukan ke Indonesia bukan melalui Agen Tunggal Pemegang

Merek yang selanjutnya disebut dengan ATPM, tetapi melalui agen atau importir

umum yang dalam pelayanan purna jualnya diragukan karena agen-agen tersebut

bukan merupakan agen resmi dari perusahaan yang memproduksi kendaraan-

kendaraan yang resmi dijual di Indonesia.

Adapun keuntungan bagi para ATPM resmi yang memegang merek dengan

adanya produk Built Up tersebut adalah menuai keuntungan dari segi promosi,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

2

dengan masuknya produk Built Up tersebut para konsumen jadi mengetahui produk-

produk lain selain yang di rakit oleh ATPM resmi sehingga kepercayaan dan

fanatisme terhadap merek-merek yang dipegang oleh ATPM semakin meningkat

yang berpengaruh terhadap naiknya tingkat penjualan untuk produk-produk lainnya.

Namun selain keuntungan adapula kerugiannya yaitu bagi konsumen pengguna

kendaraan-kendaraan Built Up tersebut, ketika terjadi kerusakan atau cacat produk

yang merugikan konsumen, dan kebutuhan-kebutuhan setelah purna jual, ketika agen

yang menjual kendaraan-kendraan Built Up tersebut telah tidak ada atau tidak mampu

untuk memberikan ganti rugi konsumen tersebut tidak dapat mengajukan ganti rugi

kepada ATPM resmi. Hal ini di karenakan ATPM resmi beralasan tidak mempunyai

kewenangan dan tidak harus bertanggung jawab berdasarkan Undang- Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen yaitu Pasal 19 angka (1) dan

Pasal 21 angka (1) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19 angka(1) :

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.”

Pasal 21 angka (1) :

“Importir barang yang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang

diimpor apabila importasi tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan

produsen luar negeri”

Kedua pasal tersebut menjadi alasan kuat bagi ATPM resmi untuk tidak

bertanggung jawab terhadap konsumen pengguna kendraan Built Up, padahal ATPM

resmi tersebut telah mendapat keuntungan dari digunakan produk-produk Built Up

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

3

tersebut yaitu Good Will atau nama baik dari merek-merek yang dipegang oleh

ATPM - ATPM tersebut.

Salah satu contoh kasusnya adalah yang terjadi pada produk mobil Toyota

RAV 4 yang merupakan salah satu produk Built Up Toyota yang memiliki kegagalan

pada sistem pedal gasnya yang telah banyak menimbulkan kerugian pada

penggunanya bahkan di beberapa kasus menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan hal

tersebut pihak PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM resmi Toyota mengklaim tidak

akan bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh produk

kendaraan yang bernama Toyota RAV 4 tersebut, alasannya adalah meskipun Toyota

RAV 4 tersebut adalah produk Toyota tetapi Toyota RAV 4 tersebut bukanlah rakitan

dan tidak dikeluarkan oleh PT. Toyota Astra Motor selaku pemegang merek Toyota

di Indonesia. PT. Toyota Astra Motor menyatakan bahwa hal tersebut adalah

tanggung jawab dari agen atau importir umum dari Toyota RAV 4, padahal

berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas bahwa pihak PT. Toyota Astra Motor

juga dapat dikatakan menikmati keuntungan dari masuknya produk Toyota RAV 4

tersebut yaitu dari segi promosi Toyota sebagai merek yang diusung oleh ATPM

tersebut.1

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pengguna kendaraan Built Up atau

1 E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional (8Maret 2010).

diakses pada Maret 2011

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

4

rakitan luar negeri yang tidak di produksi oleh ATPM resmi dengan judul

“Tanggung Jawab ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek ) dan Importir

Umum (agen tidak resmi) Dalam Memberikan Perlindungan hukum terhadap

Pengguna Toyota RAV 4 Sebagai Salah Satu Kendaraan Built Up Yang

Dipasarkan Di Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan suatu masalah,

yaitu : Bagaimanakah tanggung jawab PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi

pemegang merek Toyota dan Importir Umum (agen tidak resmi) dalam memberikan

prerlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV 4 sebagai salah satu kendaraan

Built Up yang dipasarkan di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab ATPM

(agen tunggal Pemegang Merek) sebagai agen resmi dengan importir umum (agen

tidak resmi) dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV

4 sebagai salah satu kendaraan Built Up yang dipasarkan di Indonesia dengan adanya

penolakan tanggung jawab dari PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi

pemegang merek Toyota dikarenakan RAV 4 adalah bukan produk dari PT. Toyota

Astra Motor.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

5

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah meliputi dua aspek yaitu :

a. Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis dalam penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan

terhadap perkembangan ilmu hukum, terutama perkembangan hukum perlindungan

konsumen di Indonesia

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk memberi masukan bagi pihak

ATPM resmi ataupun agen selaku pihak pengimpor kendaraan-kendraan Built Up

dari luar negeri.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Konsumen

1. Sejarah Pelindungan Konsumen di Indonesia

Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia di mulai sekitar 20 tahun yang

lalu ditandai dengan berdirinya sutau lembaga swadaya masyarakat yang bernama

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul

beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan

Konsumen (LP2K) di Semarang yang bergabung sebagai anggota Consumer

International (CI). Di luar itu, banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang

berorientasi kepada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga

Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan di berbagai propinsi

di tanah air. Gerakan konsumen Indonesia mencatat prestasi besar setelah naskah

akademik UUPK berhasil di bawa ke DPR. Selanjutnya rancanganya disahkan

menjadi undang-undang.2

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan Perlindungan konsumen termuat dalam Pasal 3 Undang-undang No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdiri dari :

2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 42

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

7

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkanya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Mengangkatakan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntuk hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha tentang pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen

Asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum Perlindungan Konsumen,

khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yaitu

dituangkan dalam Pasal 2, asas-asas tersebut yaitu :

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

8

1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha;

2) Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan

kewajiban secara adil;

3) Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materilataupun spiritual;

4) Asas Keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalm penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi atau digunakan;

5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta negara menjamin

Kepastian hukum.3

3 Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2007, halaman 16

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

9

4. Pihak-pihak Dalam Perlindungan Konsumen

Masalah konsumen berkaitan dengan ekonomi dan merupakan masalah

bersama masyarakat, maka pelindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok

yang merupakan pihak-pihak dalam pelindungan konsumen, yaitu :

1. Kelompok pengusaha;

2. Kelompok pemerintah;

3. Kelompok masyrakat konsumen;

4. Kelompok-kelompok lain, seperti organisasi konsumen, organisasi

peneliti, organisasi profesi.4

5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen

Dasar hukum perlindungan konsumen yaitu :

1. UUD 1945, pada :

a. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu :

“ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang

layak bagi kemanusiaan.”

Penjelasan dari pasal ini yaitu bahwa ketentuan mengenai hak warga negara.

Hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 27 (2) ini adalah hak

warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya,

4 Laporan Simposium Aspek – Aspek Hukum Masalah Pelindungan Konsumen, Badan

Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, halaman 107

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

10

bukan hanya hak-hak yang bersifat fisik, material tetapi juga hak bersifat psikis,

seperti hak mendapat pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang

ditawarkan.

b. Pasal 28 ayat (3) UUD 1945, yaitu :

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.”

Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan

penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara

yang bersifat demokrasi dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan

perikemanusiaan.

Berbagai hal yang dimiliki konsumen telah termasuk dalam kedua pasal

tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasal dalam UUD 1945 merupakan

sumber hukum bagi perlindungan konsumen.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

a. Pasal 1238 KUH. Perdata, mengatur:

“Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan

sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatanya

sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus

dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

11

Wanprestasi terjadi karena terjadinya perjanjian dengan pihak lawan dan

pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan atau mungkin memenuhi tetapi

tidak sebagaimana mestinya.

b. Pasal 1267 KUH. Perdata, mengatur:

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia,

jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk

memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan,

disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.”

Pasal ini memberikan pilihan kepada kreditur untuk menuntut debitur karena

perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih

tuntutan sebagai berikut :

1) Pemenuhan perjanjian;

2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

3) Ganti rugi saja;

4) Pembatalan Perjanjian;

5) Pembatalan disertai ganti kerugian.5

c. Pasal 1320 KUH. Perdata, mengatur :

“ untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

5 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, halaman 53

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

12

4) Suatu sebab yang halal.”

Kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH. Perdata ini tidak di berikan dalam

kekhilafan, paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang dicapai karena penipuan dapat

dimintakan pembatalan.

Penipuan dalam hal ini dirumuskan sebagai pernytaan tentang fakta yang

dibuat oleh suatu pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainya sebelum perjanjian itu

terjadi, dengan maksud untuk membujuk pihak lainnya membuat perjanjian,

sedangkan perjanjian itu tidak benar atau palsu.6

d. Pasal 1365 KUH. Perdata, mengatur :

“ Tiap perbutan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.”

Pasal ini mengatur tentang tuntutan ganti rugi yang diakibatkan perbuatan

melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi hak

konsumen.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber hukum perlindungan konsumen juga terdapat dalam hukum pidana

yaitu dalam buku III tentang pelanggaran. Ketentuan tersebut antara lain terdapat

dalam pasal 204, 205, 393 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.

5. Peraturan Perundang-undangan lain seperti :

6 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982 halaman 120

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

13

a. Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penerapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1961 tentang

Barang menjadi undang-undang;

b. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;

c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;

e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan

lain-lain.

6. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

Pelaksanaan dari perlindungan konsumen memerlukan peran serta dari

berbagai pihak. Peran serta tersebut antara lain :

a. Peranan masyarakat selaku konsumen

1. Masyarakat yang berkedudukan selaku konsumen berperan sebagai

kontrol sosial bagi para pelaku usaha untuk mentaati dan

melaksanakan etika bisnis yang berlaku;

2. Masyarakat selaku konsumen memiliki peran serta untuk

mengembangkan organisasi konsumen sebagai tandingan organisasi

pelaku usaha agar terwujud keseimbangan hak dan kewajiban antara

pelaku usaha dan konsumen.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

14

b. Peranan Pemerintah

1. Pemerintah memberi petunjuk bagi pelaku usaha tentang hal-hal yang

boleh dilakukan;

2. Pemerintah membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk

menanggulangi persaingan curang;

3. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksaan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan dengan bidang usaha secara

konsekuen dan konsisten.

c. Peranan Organisasi Pelaku Usaha

1. Organisasi pelaku usaha menentukan dan menyusun standar etik yang

harus diketahui dan ditaati oleh semua pelaku usaha;

2. Menghayati dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala

peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan

kegiatanya;

3. Melakukan peningkatan mutu produk Indonesia sehingga lebih dapat

bersaing di pasar domestik maupun di pasar internasional.7

Konsumen yang dirugikan hingga menimbulkan ketidak puasan, kerugian

material, gangguan pada kesehatan tubuh atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen

7 Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan Curang,

Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

15

disebabkan oleh tidak sempurnanya produk konsumen, baik berupa gugatan perdata

atau tuntutan pidana dari pihak yang dirugikan.8

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak

menjelaskan secara rinci mengenai pengertian dari sengketa konsumen. Ada beberapa

kunci untuk memahami “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dengan

metode penafsiran. Petama batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.9

Sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen dapat diselesaikan

melalui dua jalur yaitu lewat pengadilan atau litigasi dan diluar pengadilan atau non

litigasi. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, setiap konsumen tang dirugikan dapat menggugat pelaku

usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa yang berada di

lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat (4) menjelaskan bahwa apabila telah

dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui

pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut telah dinyatakan tidak

berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Lembaga yang

bertugas menyelesaikan sengketa yang disebutkan dalam pasal 45 ayat (1) UUPK

baru dapat dibentuk secara De Jure pada tahun 2001 dengan KEPPRES NOMOR 90

TAHUN 2001 tentang Pembentukan BPSK (Badan penyelesaian Sengketa

Konsumen) yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan

8 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 57

9 ibid, halaman 13

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

16

Perdagangan No. 301/MPP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota

dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Menurut Yusuf Shofie,

fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu sebagai

instrumen hukum penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Yusuf

Shofie menuliskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan

dengan 3 cara yaitu :

a. Konsiliasi

Cara ini ditempuh berdasarkan inisiatif salah satu pihak yang bersengketa

atau para pihak yang bersengketa. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen hanya bersikap pasif, hanya sebagai perantara antara para

pihak yang bersengketa tersebut.

b. Mediasi

Mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dan

Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif dengan

menjadi perantara dan penasihat. Mediasi adalah suatu proses

penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga merupakan pihak netral

mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang

disepakati.

c. Arbitrase

Arbitrase ini ditempuh dengan cara para pihak menyerahkan sepenuhnya

kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk

memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.

Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan

persetujuan para pihak dan bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.

Instrumen hukum lain dapat ditempuh konsumen tanpa terlebih dahulu melalui

instrumen hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.10

10

Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 26

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

17

d. Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas

Adanya liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi yang berdampak

positif ataupun negatif terhadap para konsumen di Indonesia, karena barang dan jasa

dari luar negeri akan lebih mudah masuk ke Indonesia kemudian juga barang dan jasa

yang masuk tersebut biasanya tidak di kenal dan tidak diketahui secara pasti

mengenai sejauh mana kualitas barang dan/atau jasa tersebut apakah sudah layak

ataukah masih diragukan.

Yusuf sofie menjelaskan mengenai Permasalahan akibat liberalisasai

Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan

dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa

yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme

penyelesainya. Tidak hanya itu, secara yuridis muncul juga permasalahan

apabila peraturan perundang-undangan Indonesia bertentangan atau

berbeda dengan peraturan perundang-undangan negara lain, ketentuan

regional, bahkan ketentuan atau kesepakatan World Trade Organization

(WTO) atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi ketentuan-

ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan atau kesepakatan

regional dan World Trade Organization (WTO).11

Keadaan ini diperparah dengan adanya kemudahan bagi importir umum

untuk menyediakan barang dan jasa bagi para konsumen yang ada di Indonesia,

kemudian yang menjadi masalah lagi adalah adanya importir umum kurang kapabel

dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen.

11

Ibid, Halaman 10

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

18

B. Konsumen

1. Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor

8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan

UUPK. Dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa:

“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk di perdagangkan.”

Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK (Undang-undang

Perlindungan Konsumen) sangat luas hal ini dapat diketahui karena dalam UUPK

pengertian konsumen juga meliputi pemakaian barang dan jasa untuk kepentingan

makhluk hidup lain. 12

Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan

kepada konsumen yang bukan manusia (hewan dan tumbuhan). Pengertian yang luas

seperti itu, sangatlah tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya

kepada konsumen.

Dalam penjelasan resmi Undang-undang ini menentukan dalam kepustakaan

ekonomi terdapat istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir

adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara

adalah konsumen yang mempergunakan suatu produk sebagai bagian dari proses

produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini

adalah konsumen akhir.

12

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, halaman 6

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

19

AZ. Nasution menjelaskan bahwa Konsumen dapat digolongkan dalam dua

kelompok sebagai berikut :

1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang dan/atau jasa dengan tujuan

memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa; atau mendapatkan barang

atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan

2. Pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk memenuhi

kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan non

komersial)13

Kelompok pertama dapat juga disebut konsumen antara, sedangkan kelompok

kedua merupakan konsumen akhir.

2. Hak Dan Kewajiban Konsumen

Kemajuan teknologi informasi yang mengakibatkan luasnya ruang gerak arus

transaksi barang dan jasa akibatnya barang dan jasa yang ditawarkan semakin

bervariasi baik produksi dalam negeri ataupun luar negeri. Kondisi ini menimbulkan

suatu keadaan dimana kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi

tidak seimbang, oleh karena itulah perlulah dijelaskan pula apa hak dan kewajiban

konsumen dan pelaku usaha. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan

Pasal 5 dalam Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

yaitu :

Pasal 4, Hak konsumen adalah :

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan /atau jasa;

b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

13

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 19

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

20

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainya.

Konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang

disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen,

karena pemenuhan hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari

berbagai aspek.14

Secara umum, hak-hak konsumen diatas tidak disebutkan scara tegas di dalam

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia.

Yusuf Shofie memberikan suatu hipotesis bahwa hak-hak konsumen tersirat

dalam Undang-undang hak Asasi Manusia, yaitu :

1. Hak hidup ( Pasal 9 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ), menyangkut

hak untuk hidup bahagia sejahtera lahir batin, hak untuk meningkatkan

taraf hidup, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;

2. Hak mengembangkan diri ( Pasal 11 sampai Pasal 16 Undang-Undang

Hak Asasi Manusia ), menyangkut hak atas pemenuhan kebutuhan dasar,

hak untuk meningkatkan kualitas hidup, serta hak untuk memperoleh

informasi;

3. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17 sampai Pasal 19 Undang-

Undang Hak Asasi Manusia), menyangkut hak untuk mengajukan

14

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo , Op.cit., halaman 47

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

21

permohonan, dan gugatan dalam perkara Pidana, Perdata, maupun

Administrasi;

4. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Hak

Asasi Manusia), hak untuk mempunyai milik atas suatu benda yang tidak

boleh dirampas sewenang-wenang dan melanggar hukum, serta hak untuk

berkehidupan yang layak.

Tentunya instrumen Undang-Undang Hak Asasi Manusia ini menjadi induk

dari dari hak-hak konsumen yang telah dinyatakan secarategas oleh Pasal 4

UUPK.15

Adapun yang menjadi kewajiban konsumen menurut Undang-Undang no. 8

tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 5 yaitu :

a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan

keselamatan;

b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

c) membayar dengan nilai tukar yang di sepakati;

d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

3. Kepentingan Konsumen

Kepentingan konsumen termuat dalam Resolusi PBB 39/248 tahun 1985

dalam Guidelines for Consumer Protection, bagian II (General Principled), angka 3,

digariskan kepentingan konsumen (legitimate needs) yang dimaksudkan yaitu :

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamananya;

b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen;

15

Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 3

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

22

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan mereka kememapuan untuk melakukan pilihan yang tepat

sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugiyang efektif;

f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi

lainya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi

tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan

keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.16

Menurut AZ Nasution, ada 3 bentuk kepentingan konsumen, yaitu:

1. Kepentingan Fisik

Kepentingan fisik adalah kepentingan badani konsumen yang

berhubungan dengan kemanan dan keselamatan tubuh dan atau jiwa

mereka dalam penggunaan barang dan atau jasa. Dalam setiap

perolehan barang dan/atau jasa konsumen haruslah barang dan/atau

jasa itu memenuhi kebutuhan hidup konsumen tersebut dan

memberikan manfaat baginya. Kepentingan fisik konsumen dapat

terganggu kalau satu perolehan barang dan/atau jasa menimbulkan

kerugian berupa gangguan kesehatan badan atau ancaman keselamatan

jiwanya.

2. Kepentingan Sosial Ekonomi Konsumen

Kepentingan ini menghendaki agar konsumen dapat memperoleh hasil

optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam

mendapatkan barang dan atau/jasa kebutuhan hidup mereka, misalnya:

konsumen mendapat informasi yang benar dan bertanggungjawab

tentang produk tersebut;

konsumen mendapat pendidikan yang relevan untuk dapat

mengerti informasi mengenai produk konsumen yang disediakan;

16

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 76

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

23

tersedia upaya penggantian kerugian yang efektif, apabila mereka

di rugikan dalam transaksi konsumen;

kebebasan untuk membentuk organisasi atau kelompok-kelompok

yang diikutsertakan dalam setiap proses pengambilan keputusan

tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan

konsumen.

3. Kepentingan Perlindungan Hukum

Kepentingan hukum bagi masyarakat dalam kualitas mereka sebagai

konsumen merupakan satu kepentingan dan kebutuhan yang sah. Akan

tidak adil jika kepentingan konsumen tidak seimbang dan tidak di

hargai sebagaimana penghargaan pada kepentingan kalangan

usaha/bisnis.17

C. Pelaku Usaha

1. Pengertian Pelaku Usaha

Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan:

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir,

leverransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku

usaha dalam Undang-undang no. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha

dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat

dikualifikasi sebagai produsen adalah : pembuat produk jadi (finished

product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang

menampakan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya,

tanda pengenal tertentu, atau tanda lain, yang membedakan dengan produk

17

Ibid, halaman 51

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

24

asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk

diperjual belikan, disewakan, disewagunakan,atau bentuk distribusi lain dalam

transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen

atau importir tidak dapat ditentukan. 18

Berdasarkan hal tersebut pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK sama

dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa

perorangan ataupun badan hukum.

2. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha

Sama hal nya dengan konsumen bahwa pelaku usaha juga mempunyai Hak

dan Kewajiban, yaitu diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang no. 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yang isinya pada intinya adalah untuk

memberikan perlindungan hukum kepada pelaku usaha dan juga bahwa pelaku usaha

haruslah beritikad baik dalam melaksanakan usahanya.

Hak Pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-undang no. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

a) hak utuk menerima pembayaran uang yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang tidak beritikad baik;

c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

di perdagangkan;

18

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, halaman 9

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

25

e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Tentang hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainya, maka harus diingat bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Pelindungan Konsumen adalah payung bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan

perlindungan konsumen.19

Adanya keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha

harus memenuhi kewajibanya, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-

Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, seperti yang dijelaskan

oleh Gunawan Widjaja yaitu :

a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya

Itikad baik merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Pasal 1338

ayat (3) KUH. Perdata mencantumkan bahawa “ Perjanjian-perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik.” arti dari ayat tersebut bahwa

sebagai suatu hal yang disepakati dan disetujui oleh para pihak,

pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati

sepenuhnya.20

Perjanjian haruslah dilaksanakan secara pantas dan patut. Hal lain yang

mendasari adanya Pasal 1338 KUH.Perdata dengan rumusan itikad baik

tersebut adalah bahwa suatu perjanjian tersebut sama sekali tidak

dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor,

maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya diluar perjanjian.21

19

Ibid halaman 51 20

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum

Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 halaman 283 21

Ibid, halaman 284

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

26

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan:

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tampak

bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua

tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa

kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang

/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan sebaliknya konsumen hanya

diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa.22

Informasi tersebut merupakan salah satu hak konsumen dan jika tidak

tersedia informasi itu, barang dan/atau jasa yang dikonsumsi konsumen dapat

mngalami kerusakan dan hal itu merupakan salah satu hal yang akan sangat

merugikan konsumen.

Ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku

usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan

sangat merugikan konsumen.23

b) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif.

Dalam penjelasan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang

membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha

dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Pelaku

usaha tidak diperbolehkan untuk membedakan antara konsumen yang satu

dengan yang lainya hanya berdasarkan agama, suku, ras, dan lain-lain.

22

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54 23

Ibid, halaman 55

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

27

c) menjamin mutu barang dan/atau yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Pelaku usaha diwajibkan untuk menjamin bahwa barang dan/atau jasa

yang diproduksi dan/atau diperdagangkan telah sesuai dengan ketentuan

standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

Menyadari peranan standarisasi yang penting dan strategis,

pemerintah dengan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang

kemudian disempurnakan dengan keputusan Presiden Nomor 7 Tahun

1989 membentuk Dewan standarisasi Nasional.24

Peraturan mengenai Standarrisasi nasional tersebut telah diperbaharui

lagi dengan adanya Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102

Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, jo. Peraturan Kepala Badan

Standardisasi Nasional Nomor 135/PER/BSN/12/2010 Tentang Sistem

Standardisasi Nasional.

d) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba

barang dan atau/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang di buat dan/atau diperdagangkan.

Barang yang dapat diuji dan/atau dicoba hanyalah barang-barang

yang jika diuji dan/atau dicoba tidak mengalami kerusakan atau kerugian.

Ayat ini memuat kewajiban pelaku usaha yakni kewajiban untuk

24

Ibid, halaman 67

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

28

memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau

yang diperdagangkan.

Menurut Fandi Tjiptono garansi ada dua macam yaitu:

Garansi Internal, yaitu janji yang dibuat oleh suatu divisi kepada

pelanggan internalnya, yakni pemeroses lebih lanjut dan setiap

orang dalam perusahaan yang sama yang memanfaatkan hasil/jasa

departemen tersebut.

Garansi Eksternal, yaitu jaminan yang dibuat oleh perusahaan

kepada para pelanggan eksternalnya, yakni mereka yang membeli

dan menggunakan produk perusahaan. Garansi ini menyangkut

servis yang unggul dan produk yang handal serta berkualitas

tinggi.25

Garansi ini dilakukan tidak lain adalah agar pelaku usaha dapat

bersaing dengan pelaku usaha lainya. Suatu garansi yang baik harus

memenuhi beberapa kriteria, diantaranya meliputi :

Realistis dan dinyatakan secara spesifik, misalnya garansi berlaku

untuk jangka waktu 1 tahun;

Sederhana, Komunikltif, dan mudah dipahami;

mudah diperoleh atau diterima konsumen;

Tidak membebani konsumen deangan syarat-syarat yang

berlebihan;

Terpercaya (credible), baik reputasi perusahaan, yang

memberikan maupun tipe garansi itu sendiri;

Berfokus pada kebutuhan Konsumen;

Sungguh berarti, artinya disertai ganti rugiyang signifikan dan

disesuaikan dengan harga produk yang dibeli, tingkat keseriusan

masalah yang dihadapi, dan persepsi konsumen terhadap apa yang

adil bagi mereka;

memberikan standar kinerja yang jelas.26

25

Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, halaman 42 26

Ibid, halaman 42

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

29

e) memberi kompensasi ganri rugi,dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diteriam atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai

dengan perjanjian.

Pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi oleh

konsumen menimbulkan kerugian pada diri konsumen.

f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai

dengan perjanjian.

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan

usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.27

3. Larangan Bagi Pelaku Usaha

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen juga memuat larangan bagi para pelaku usaha

yang dimuat dalam BAB IV yang terdiri dalai 10 pasal, yaitu Pasal 8

sampai Pasal 17. Suyadi menjelaskan Larangan tersebut adalah :

a. Memproduksi dan/atau memperdagangkan barng dan/atau jasa,

dengan berbagai macam perincian yang pada pokoknya merugikan

27

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

30

konsumen (Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen).

b. Menawarkan, mempromosikan, mngakibatkan, suatu barang dan/atau

jasa secara tidak benar (dan/atau seolah-olah), dengan berbagai macam

perincian (Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen).

c. Menawarkan, mempromosikan, mengikalankan atau membuat

pernyataan yang tidak benar atau mnyesatkan konsumen mengenai

beberapa hal tentang barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 10 Undang-

undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

d. Dalam hal penjualan yang dilakukan secara obral atau lelang, dilarang

mengelabui/menyesatkan konsumen, dengan berbagai macam

perincian yang merugikan konsumen (Pasal 11 Undang-undang

Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

e. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau

jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,

jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya

sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau

diiklankan (Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen).

f. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau

jasa lain-lain sacara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya

atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan (Pasal 13 ayat (1)

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).

g. Menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat

tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan pelayanan

kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang

dan/atau jasa lain (Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

h. Menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,

dengan berbagai kriteria yang isinya merugikan konsumen (Pasal 14

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).

i. Menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara

lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis

terhadap konsumen (Pasal 15 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen).

j. Menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan, tetapi tidak

menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai

dengan yang dijanjikan. Atau tidak menepati janji atau suatu

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

31

pelayanan dan/atau prestasi (Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen).

k. Memproduksi iklan bagi pelaku usaha periklanan, dengan beberapa

perincian atau kriteria yang intinya merugikan konsumen (Pasal 17

Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen).28

4. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen

Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan

konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan.

Hubungan tersebut terjadi karena kedua pihak saling menghendaki dan

mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi antara yang satu dengan

yang lain. Suyadi Menjelaskan:

Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung kepada

konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin

seorang pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya

konsumen kebutuhanya sangat bergantung dari barang dan/atau jasa

pelaku usaha. Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat

menciptakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan

sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan

yang tidak terputus-putus. Hubungan antara pelaku usaha dan

konsumenyang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, di

samping pemasaran dan penawaran.29

Hubungan hukum ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai

keadaan antara lain :

1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;

28

Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2007, halaman 33 29

Sri Redjeki, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas

dalam Husni Syawali dan Neni Imayanti, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar

Maju, Bandung, 2000, halaman 36

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

32

2. Penawaran dan syarat sah perjanjian;

3. Fasilitas yang ada, sebelum dan sesudah penjualan;

4. Kebutuhan para pihak dalam rentang waktu tertentu.30

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen sangat

sering terjadi hanya sebatas pada kesepakatan lisan mengenai “harga” dan

“barang dan/atau Jasa” tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu

bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.31

Hubungan pelaku usaha dengan konsumen dalam transaksi

perdagangan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata

adalah sah dan mengikat bagi pelaku usaha dan konsumen.

Pasal 1320 KUH. Perdata memuat 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu :

1. Kesepakatan Antara Para Pihak

Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara

orang atau lebih dengan pihak lainya. Menurut J. Satrio syarat ini

adalah syarat yang logis karena dalam perjanjian setidaknya ada

dua orang yang mempunyai kehendak yang saling mengisi.

Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk mencapai kata

sepakat, dan untuk dapat saling bertemu, kehendak itu harus

dinyatakan. J.Satrio mengklasifikasikan cara untuk menyatakan

kehendak sebagai berikut :

1). Pernyataan kehendak secara tegas :

a. Dengan tertulis, dapat melalui:

Akta otentik

30

Ibid, halaman 38 31

Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 25

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

33

Akta dibawah tangan.32

2). Pernyataan kehendak secara diam-diam

Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan,

tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal

1320 KUH. Perdata jo. Pasal 1338 KUH. Perdata, orang

menyimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali ditentukan lain,

undang-undang tidak menentukan cara orang menyatakan

kehendak.33

2. Kecakapan Bertindak Dalam Membuat Perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan

untuk melakukan perbutan hukum. Perbuatan hukum adalah

perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang

yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang

cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum

sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut J.

Satrio, kecakapan bertindak merupakan suatu istilah teknik

hukum, bukan sifat pembawaan, karenanya tidak tertutup

kemungkinan bahwa ia tidak sesuai dengan kenyataanya, orang

yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam

kenyataanya adalah orang yang tahu/sadar betul akan

akibat/konsekuensi dari tindakanya.

3. Suatu Hal Tertentu/Adanya Objek perjanjian

32

J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2001, halaman 183 33

Loc.Cit

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

34

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi

objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi

adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi

kewajiban kreditor. Prestasi ini terdiri atas :

a. Memberikan sesuatu

b. Berbuat sesuatu

c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH.Perdata)

4. Sebab Yang Halal/Adanya Causa Yang Halal

Di dalam Pasal 1337 KUH. Perdata disebutkan causa yang

terlarang yakni apabila bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan, dan ketertiban umum.

Peraturan yang berlaku di Indonesia mengenal adanya asas

terbuka yang menimbulkan asas kebebasan berkontrak.

Berdasarkan asas kebebasan berkontrak ini, orang bebas untuk

menutup kontrak perjanjian, mengatur sendiri isi perjanjian yang

akan mengikat perbuatanya. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal

1338 ayat (1) KUH.Perdata yang menyebutkan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut juga menimbulkan

asas kekuatan hukum yang mengikat yang berarti kedua pihak

wajib menghormati dan melaksanakan isi perjanjian yang

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

35

dibuatnya. Apabila salah satu pihak yang tidak menghormati atau

tidak melaksankan is perjanjian, dan akibtanya pihak yang lain

mangalami kerugian dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi

atas dasar wanprestasi. Dalam perdagangan, ada beberapa tahapan

transaksi, antara lain :

1) Tahap Pra Transaksi Konsumen

Dalam tahapan ini, konsumen membutuhkan informasi yang akurat

tentang karakteristik suatu barang dan/atau jasa. Right to be

imformed of consumers memegang peranan penting dan harus

dihormat,baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.

2) Tahapan transaksi Konsumen

Konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam suatu

perjanjian (jual beli, sewa, atau bentuk lainya). Antara kedua belah

pihak beritikad baik sesuai dengan kapasitasnya.

3) Tahap Purna Transaksi Konsumen

Tahap ini dapat disebut dengan tahap purna jual atau after sale

service, dimana penjual menjanjikan beberapa pelayanan cuma-

cuma dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya penjual

menjanjikan garansi atau servis gratis selama periode tertentu.34

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang

berbentuk perjanjian, mengikat bagi kedua pihak, yang harus

menghormati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang dibuatnya.

Apabila salah satu pihak tidak menghormati dan malaksanakan isi dari

perjanjian dan mengakibatkan kerugian pada pihak lain maka ia harus

bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian pada pihak yang

dirugikan akibat dari perbuatanya itu.

34

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,

Jakarta, 2001 halaman 67

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

36

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Selain mempunyai hak dan kewajiban, pelaku usaha juga memiliki

tanggung jawab dikarenakan adanya hak dan kewajiban tadi. Tanggung

Jawab tersebut diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Undang-

undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :

Pasal 19 :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau

pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

hari setelah tanggaltransaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana

berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20 :

“Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di

produksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”

Pasal 21 :

1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang

diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh

agen atau perwakilan produsen luar negeri.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

37

2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing

apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen

atau perwakilan penyedia jasa asing.

Pasal 22 :

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan

Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa

menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”

Dalam perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip tanggung

jawab yang merupakan hal yang amat penting. Seandainya terjadi

pelanggaran terhadap hak konsumen, perlu adanya kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh

tanggung jawab dapat di bebankan kepada pihak yang bersangkutan.

Sidharta dalam bukunya menyebutkan ada 5 macam prinsip tanggung

jawab yang dikenal dalam hukum, yaitu :

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Pada Pokoknya prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru

dapat dimintakan pertanggung jawabanya secara hukum apabila

ada unsur kesalahan yang telah dilakukanya. Dalam hukum

perdata, tepatnya diatur dalam Pasal 1365 KUH. Perdata,

mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok agar seseorang

dapat dimintakan pertanggung jawabanya dengan dasar prinsip ini,

yaitu :

a). adanya kesalahan

b). adanya unsur kesalahan

c). adanya kerugian yang diderita

e). adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan

kerugian.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Berdasarkan prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung

jawab sampai dirinya dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

38

Prinsip ini memuat sistem beban pembuktian terbalik yakni beban

pembuktian ada pada diri si tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini berlawanan dengan prinsip praduga untuk selalu

bertanggung jawab, dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi

konsumen yang sangat terbatas.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan

konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha,

khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang

merugikan konsumen.

5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip ini memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk

mencantumkan kalusula eksonerasi dalam perjanjian standar yang

dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan

secara sepihak oleh pelaku usaha.35

Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha yang diamaksud yang ada di

dalam perlindungan konsumen adalah :

1. Tanggung Jawab Produk (product liability)

Tentang pengertian product liability (tanggung jawab produk) dapat

dikemukan definisi sebagai berikut :

Menurut Hursh :

“ Product liability is the liability of a manufacturer. Processor or non

manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or

third party, caused by product which has benn sold.”

Perkins Coie Menyatakan :

“Product liability: The liability of the manufacturer or others in the chain

of distribution of a product to a person injured by the use of the product.”

Sedangkan dalam Convention on The Law Applicable to product

Liability (The Hague Convention), Article 3, menyatakan :

1. manufacturers of a finished product or of component part;

2. producers of a natural product;

3. suppliers of a product;

4. other person, including repairers, and ware housemen, in the

commercial chain of preparation or distribution of a product.

35

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 78

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

39

It shall also apply to the liability of the agents or employees of the

persons specified above.

Dengan demikian yang dimaksud dengan product liability adalah

sutau tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang

menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak

dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau dari orang atau

badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut bahkan dilihat

dari konvensi tentang product liability diatas berlakunya konvensi tersebut

di perluas terhadap orang atau badan yang terlibat dalam rangkaian

komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para

pengusaha bengkel dan pergudangan. demikian juga para agen dan pekerja

badan-badan usaha diatas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan

produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan

kerugian bagii pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian,

atau harta benda.36

Shidarta menjelaskan dasar gugatan untuk tanggung jawab produk

dapat dilakukan atas landasan adanya :

a. Pelanggaran Jaminan (breach of warranty).

Pelanggran jaminan berkaitan dengan jaminan dari pelaku usaha

bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat;

b. Kelalaian (negiince)

Kelalaian (negiince) mempunyai arti jika si pelaku usaha yang di

gugat gagal menunjukan bahwa ia cukup berhati-hati dalam

membuat, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau

mendistribusikan suatu barang.

c. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)37

Alasan-alasan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :

1. Diantara korban/konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha di

pihak lain, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh

pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang

cacat/berbahaya tersebut di pasaran.

2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran,

berarti pelaku usaha menjamin bahwa barang-barang tersebut

36

H.E Saefullah, Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era Perdagangan

Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen,

CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, halaman 46 37

Shidarta Op.cit, halaman 81

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

40

aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak

demikian dia harus bertanggung jawab.

3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak

pun pelaku usaha yang melakukan kesalahan tersebut dapat

dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen

kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada

distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.

Penerapan strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan

proses yang panjang ini38

Dalam hukum tentang product liability pihak korban/konsumen yang

akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukan

3 hal : Pertama, bahwa produk telah cacat pada waktu diserahkan oleh

produsen; kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut

menyebabkan kerugia/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun juga

diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukan

bahwa pada waktu terjadinya kerugian produk tersebut pada prinsipnya

berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya

tidak diadakan modifikasi-modifkasi).39

Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku strict

liability, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung

jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat

membebaskan tanggung jawab pelaku usaha tersebut adalah :

a. Jika pelaku usaha tidak mendengarkan produknya (put into

circulation);

b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat

produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau terjadinya cacat tersebut

baru timbul kemudian;

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh pelaku usaha baik untuk

dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau

diedarkan dalam rangka bisnis;

d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat kaharusan

memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang

dukeluarkan oleh pemerintah;

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical

knowledge, state of art defense);

f. Dalam hal pelaku usaha dari sutu komponen, bahwa cacat tersebut

disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen

38

H.E. Saefullah, Op.cit, halaman 54 39

ibid, halaman 57

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

41

telah dicocokan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang

diberikan oleh pihak pelaku usaha produk tersebut;

g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak yang ketiga turut

menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory

negligence)

h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force

majeur40

Salah satu usaha untuk melindungi hak konsumen adalah dengan

menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam

pelaksanaan tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukanya prinsip

tanggung jawab mutlak diharapkan pula para pelaku usaha menyadari

pentingnya untuk menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkanya,

sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar

risiko yang harus ditanggungnya. Para pelaku usaha akan lebih berhati-

hati dalam memproduksi barang sebelum diedarkan di pasaran sehingga

para konsumen, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi mereka.

Demikian juga bila kesadaran para pelaku usaha terhadap tanggung jawab

pelaku usaha tidak ada, dikhawatirakanakan berdampak buruk terhadap

perkembangan industri nasional.41

Namun demikian, dengan diberlakukanya tanggungjawab mutlak

dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak pelaku usaha

tidak mendapat perlindungan. Pihak pelaku usaha masih diberi

kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal-

hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang.

Sidharta menjelaskan bahwa dalam KUH.Perdata, ketentuan tanggung

jawab produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322,

1491, 1504, sampai 1511. Pasal 1504 KUH. Perdata berbunyi,

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada

barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk

40

ibid, halaman 58 41

Ibid, halaman 59

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

42

pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu,

ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan

membelinya selain dengan harga yang kurang.”

Undang-undang Perlindungan Konsumen memuat ketentuan

mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai

dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap Pasal-pasal tersebut dikategorikan

tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen. Rumusan Tanggung Jawab Produk

ini secara lebih tegas dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Profesinal Liability (Tanggung Jawab Profesional)

Tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, sedangkan

Tanggung Jawab Profesional berkaitan dengan jasa.

Yang berlaku bukan lagi prinsip caveat emptor, tetapi caveat venditor

(produsen/penyalur produk (penjual) atau krediturlah yang bertanggung

jawab), yang lazim disebut tanggung jawab produk. Tanggung jawab dari

si produsen dan pihak-pihak yang menyalurkan produknya secara

tanggung renteng seluruhnya bersifat tanggung jawab mutlak (strict

liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan.42

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan

rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang

secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh

suatu pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi

pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini

erat kaitannya dengan konsep product liability (tanggung jawab produk)

yang banyak dianut oleh negara-negara maju.43

42

Shidarta Op.cit halaman 154 43

Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 59

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

43

Tanggung Jawab Pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur

dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.

Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa :

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”

Ayat (2) menyebutkan :

“Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku”

Dijelaskan lagi lebih lanjut dalam Pasal 23 bahwa,

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau

tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 19, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan Pengadilan di tempat

kedudukan Konsumen.”

Ayat (2) menjelaskan :

“Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatanya

berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,

bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

apabila pelaku usaha tersebut :

a. Tidak mnyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau

fasilitas perbaikan;

b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang

diperjanjikan.

Pelaku usaha tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti

rugi dan/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha itu tidak menyediakan

atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; juga jika

ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang

diperjanjikan.44

Kewajban pelaku usaha ini merupakan suatu kewajiban yang vital

bagi konsumen, khususnya bagi konsumen barang-barang yang

44

Shidarta Op.cit halaman 156

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

44

memerlukan suku cadang ketika mengalami kerusakan seperti barang-

barang elektronika.

Pasal-pasal mengenai tanggunjawab diatas dapat diklasifikasikan

sebagai berikut :

a. Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UUPK

mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha;

b. Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 UUPK mengatur

mengenai konsumen yang menuntut ganti rugi dan mengajukan

gugatan kepada pelaku usaha yang menyebabkan kerugian pada

dirinya;

c. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus

Pidana diatur dalam Pasal 22 UUPK dan pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi diatur dalam Pasal

28 UUPK.

d. Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 27

UUPK.45

Permasalahan yang timbul antara pelaku usaha dengan konsumen

pada mulanya terjadi melalui suatu perikatan baik karena perjanjian

maupun karena undang-undang. Karenanya kedua belah pihak harus

melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya perikatan

tersebut sehingga apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan

hak dan kewajibanya, ia melakukan suatu perbuatan cidera janji

(wanprestasi). Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi

berdasarkan adanya wanprestasi.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan

kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat

45

Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,

Purwokerto, 2007, halaman 43

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

45

antara kreditur dengan debitur. Ada empat akibat adanya wanprestasi,

yaitu :

a. Perikatan tetap ada, Kreditur dapat menuntut kepada debitur

pelaksana prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi.

Disamping itu, kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat

keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan

kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur

malaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitur harus membayar ganti kerugian kepada kreditor (Pasal

1243 KUH.Perdata).

c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu

timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan

atau kesalahaan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu,

debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan

memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibanya memberikan kontra prestasi

dengan menggunkan Pasal 1266 KUH.Perdata.46

Kreditur dapat menunutut kepada debitur yang telah melakukan

wanprestasi, hal-hal sebagai berikut :

a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur .

b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada

debitur (Pasal 1267 KUH.Perdata).

c. Kreditur dapat menuntut dan dan meminta ganti rugi, hanya

mungkin kerugian karena keterlambatan.

d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian

e. kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada

debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.47

Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang

dibebankan kepada kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian

yang telah dibuat antara kreditor dengan debitor.

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor lain

adalah:

1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-

biaya dan kerugian;

2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246

KUH.Perdata), ini ditujukan kepad bunga-bunga.

46

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW), Sinar Grafika, jakarta , 2002,

halaman 180 47

Ibid halaman 181

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

46

Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), adalah ongkos

yang telah dikeluarkan kreditor untuk mengurus objek perjanjian.

Kerugian adalah berkurangya harta kekayaan yang disebabkan adanya

kerusakan atau kerugian, sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang

akan dinikmati kreditor. Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu

harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada

saat sebelum terjadinya perjanjian.48

D. ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek )

1. Sejarah Dan Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)

a. Sejarah ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)

Kebutuhan akan adanya perusahaan yang dapat menjadi perantara

guna memperluas jaringan pemasaran barang-barang dan jasa dari

produsen ke konsumen menyebabkan akan adanya perusahaan keagenan

di Indonesia. Sementara itu dalam sisitem hukum Indonesia, terutama

dalam hukum perdata dan hukum dagang tidak ditemukan ketentuan

tentang keagenan. Sudah barang tentu dengan tingkat populasi

kepadatan penduduk yang sedemikan banyak merupakan potensi pasar

yang luar biasa. Negara-negara produsen sudah barang tentu memilki

kepentingan tersendiri agar supaya produk-produk mereka dapat terjual

di pasaran.

Pemerintah menyikapi Perkembangan dalam dinia usahadan oleh

karenanya dalam rangka berusaha untuk membina dan mengembangkan

industri, dapalam perkembangannya terdapat beberapa ketentuan

48

Ibid halaman 182

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

47

pelaksanaan yang mengatur tentang keagenan telah dikeluarkan yang

antara lain adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga

Usaha Perdagangan (Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian

diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri

No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/I/1998 tentang

Lembaga-Lembaga Perdagangan.49

Sebagaimana disampaikan dalam laporan Pengkajian tentang

Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi yang

disusun oleh Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman tahun 1992/1993 berikut adalah hasil penelitiannya,

dimana agen dalam melakukan perbutan hukum dengan pihak ketiga,

kedudukanya adalah merupakan kuasa prinsipal.

Agen bukan karyawan prinsipal. Perbuatan-perbuatan hukum

yang berkaitan dengan transaksi perdgangan yang harus dilakukan

oleh agen untuk prinsipalnya diatur dalam perjanjian agenan yang

dibuat antara agen dan prinsipalnya. Biasanya agen diberi kuasa dan

wewenang untuk melakukan penjualan dan promosi barang-barang

prinsipal. Sehubungan agen dalam kegiatannya bertindak mewakili

prinsipalnya berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan hukum

antara agen dengan prinsipalnya, sifatnya, tidak seperti hubungan

hukum antara agen dengan prinsipalnya. sifatnya tidak seperti

hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian

perburuhan yang paling penting adalah penyediaan tenaga kerja

semata-mata dengan memperoleh upah, disamping itu terdapat

kedudukan lebih rendah daripada majikan, dimana hal demikian

tidak dijumpai pada hubungan anatara agen dengan prinsipal.

disinilah prinsipal ini memberikan kesan seolah-olah pengusaha atau

perushaan diluar negeri adalah majikan ataua atasan dari agen di

Indonesia. Padahal sebenarnya agen (di Indonesia) bukanlah

49

Felix Ountoeng Soebagioe, Beberapa aspek Dari Perjanjian Keagenan Dan distributor.

Majalh Hukum Dan Pembangunan tahun ke 27 no. 3 Juli-september 1997. Jakarta, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

48

bawahan dari principal itu. Padahal sebenarnya agen dan prinsipal

adalah pada posisi yang setingkat.50

Agen Bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual

barang dan/atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama

prinsipal. Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen

mengadakan transaksi dengan konsumen/pihak ketiga maka barang

dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas

barang yang telah diterima oleh konsumen secara langsung kepada

principal bukan melalui agen, sedangkan pembayaran kepada agen

berupa komisi dari hasil penjualannya. Hak-hak dan kewajiban para

pihak dituangkan dalam perjanjian kegaenan yang dibuat berdasarkan

asas kebebasan berkontrak sehingga jika dilihat maka hubungan yang

terjadi antara agen dengan prinsipalnya adalah tunduk pada perjanjian

pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam ketentuana Pasal 1792

KUH.Perdata

Selanjutnya Kepmen No.23/1998 memberikan pengklasifikasian

lembaga keagenan dan distributor sesuaai dengan Perkembangan dan

praktek dilapangan menjadi sebagai berikut:

50 Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjaniian Keagenan dan Distribusi

yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/)

1993. hal.10.

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

49

a. Agen tunggal pemegang merek (ATPM) termasuk agen

pemegang lisensi perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk

dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk

melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut;

b. Agen, adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai

perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya

untuk melakukan pembelian penjualan/pemasaran tanpa melakukan

pemindahan fisik barang;

c. Agen pabrik (manufactures agent), adalah agen yang

melakukan kegiatan penjualan untuk dan atas nama

kepentingan pabrik yang menunjuknya tanpa melakukan

pemindahan fisik barang;

d. Agen penjualan (sales agent), adalah agen yang melakukan

penjualan atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang

menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang;

e. Agen pembelian (purchasing agent), adalah agen yang melakukan

pembelian atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang

menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang;

f. Agen penjualan pemegang merek (APPM), adalah agen yang

melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan agen

tunggal pemegang merek (ATPM) yang menunjuknya.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

50

g. Distributor utama (main distributor), adalah perorangan atau badan

usaha yang bertindak atas namanya sendiri yang ditunjuk oleh

pabrik atau pemasok untuk melakukan pembelian dan

penyimpanan. Penjualan serta pemasaran barang dalam partai besar

secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap barang yang

dimiliki/dikuasai oleh pihak lain yang menunjuknya.

h. Sub distributor, adalah perorangan atau badan usaha yang

ditunjuk oleh distributor utama atau grosir yang bertindak atas namanya

sendiri untuk melakukan kegiatan penjualan barang dalam partal

besar sampai pada pengecer.

b. Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)

Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama

distributor adalah berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari

keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai

agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila

seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk

dan atas nama dirinya sendiri.

Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu

hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak

untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan bisnis

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

51

dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya

suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dipunyai oleh agen tadi

yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.

Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang

dilakukan seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batas-

batas wewenang yang diberikan kepadanya. dengan perkataan lain, bila

seseorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya, maka

agen itu sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya

tadi.51

Agen dan distributor sebenarnya merupakan dua terminologi yang

berbeda dan mempunyai konotasi yang berbeda pula. Namun agen dan

distributor mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama yaitu

memberikan jasa perantara dari prinsipal atau petunjuk kepada

konsumen di wilayah pemasaran tertentu. Jika diperhatikan lebih

mendalam, maka akan terlihat perbedaan yang spesifik antara agen

dan distributor, yaitu:

1) Agen

a. Pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas

nama prinsipal;

b. Pendapatan yang diterimanya berupa komisi

51

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT. Rieneka Cipta, Jakarta,

1996. halaman 68

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

52

berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijualnya kepada

konsumen;

c. Barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke

konsumen jika antara agen dengan konsumen

mencapai suatu persetujuan;

d. Pembayaran atas barang yang telah diterima konsumen

langsung kepada prinsipal bukan melalui agen.

2) Distributor

a. Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya

sendiri;

b. Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada

konsumen untuk kepentingannya sendiri;

c. Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari

produk-produknya;

d. Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang-

barangnya untuk kepentingan sendiri.

2. Dasar Hukum Adanya ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)

Adapun yang menjdi dasar hukum adanya Agen Tunggal Pemegang

Merek adalah sebagai berikut :

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

53

a. Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan

prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak

tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan

kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan

hukum dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata;52

b. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/KP/III/78, tanggal 9

Maret 1978 yang mengatur mengenai jangka waktu perjanjian bagi

agen/distributor perusahaan asing;

c. Keputusan Menperin Nomor 295/M/SK/7/1982 tanggal 7 Juli 1982,

tentang Ketentuan-ketentuan Keagenan Tunggal;

d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan

pembentukan organisasi perdagangan dunia. Yang didalamnya

memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara

anggota WTO, dalam merumuskan kebijakan perdagangan

internasional. Jadi berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa

dasar hukum untuk Agen tunggal Pemegang Merek apabila

melakukan kegiatan usaha berupa impor maka harus mengikuti

peraturan yang berdasarkan konvensi-konvesi internasional mengenai

ekspor dan impor;

e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha

52

Richard Burton Simatupang, Ibid, halaman 69

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

54

Perdagangan sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya

Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan

Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan

No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan;

f. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni

1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor.

g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas.

3. Hak Dan Kewajiban Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)

Hak dan kewajiban ATPM selain berdasarakan pada perjanjian atau

yamg dilakukan dengan prinsipal maupun dengan konsumen, terdapat juga

hak dan kewajiban bagi ATPM yang berdasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Pertama adalah bahwa ATPM adalah termasuk ke dalam pelaku usaha

maka hak dan keawajiban bagi pelaku usaha yang ada di dalam UUPK

adalah berlaku yaitu Pasal 6 dan 7 yaitu :

Pasal 6 UUPK :

Hak pelaku usaha adalah:

1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

55

2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Pasal 7 UUPK :

Kewajiban pelaku usaha adalah:

1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

b. hak dan kewajiban lainnya adalah dalam melakukan kegiatan usahanya

adalah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang mengatur mengenai keberadaan ATPM tersebut.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

56

E. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )

1. Pengertian Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )

Lembaga distributor ini adalah salah satu lembaga dalam perjanjian

keagenan. Lembaga distributor ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian antara

agen tunggal itu tidak merangkap sebagai distributor, dan sebagai agen tunggal

suatu perusahaan dapat menunjuk suatu perusahaan lain sebagai distributor bagi

barang-barang yang didatangkan oleh agen tunggal.

Importir Umum dalam hal ini dapat dikatakan sebagai distributor, karena

dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang dan/atau jasa

kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan konsumennya

yang berada di dalam negeri.

Lembaga distributor dalam hal ini adalah agen tidak resmi yang dalam

perkembangannya bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun demikian,

seiring dengan berkembangnya praktek-praktek dunia usaha baik dalam sakala

domestic maupun internasional, sedikit banyak memberikan suatu pengaruh

terhadap bagaimana lembaga distributor dimaksud dalam menjalankan praktek

usahanya. tidak jarang lembaga usahanya adalah distributor tetapi justru pada

prakteknya merupakan lembaga subdistributor atau bahkan pada prakteknya

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

57

lembaga-lembaga distributor ini melakukan parktek-praktek layaknya retailer

(pedagang eceran). Secara umum memang para pelaku usaha yang kreatif adalah

mereka-mereka yang dapat mempertahankan kinerja usaha perushaannya untuk

kurun waktu lama. Eksistensi lembaga ini ada karena tuntutan ekonomi yang

kerangkanya adalah bagaimana mempercepat produk-produk dapat sampai ke

tangan penggunanya.

Faktor kelangsungan usaha merupakan kunci penting dari sebuah

perusahaan. Sedangkan, bagaimana untuk menciptakan kelangsungan

usaha tersebut juga merupakan hal lain yang terintegrasi dengan

kreatifitas untuk memenuhi keinginan pasar. Sudah merupakan suatu

tolok ukur sederhana bahwa tidak ada pasar yang memiliki loyalitas mutlak

terhadap suatu produk dan jasa, melainkan bagaimana produk dan jasa

dapat memenuhi kepuasan pasar dengan berbagai insentif yang diberikan

oleh karenanya akan diburu oleh pasar. Sifat pasar yang sedemikian rupa

menjadikan para pedagang besar ataupun para distributor dituntut untuk

senantiasa kreatif dalam mempertahankan bisnisnya.

2. Dasar Hukum Adanya Importir Umum (Agen Tidak Resmi)

Khusus tentang distributor termasuk dalam hal ini adalah importir

umum sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1319 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata distributor dapat dikategorikan dalam ketentuan-

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

58

ketentuan mengenai perjanjian tidak bernama (innominaat). Dalam

KUHPerdata mempunyai beberapa ketentuan yang mengatur tentang

perjanjian-perjanjian bernama yang dinyatakan dalam Pasal 1338

KUHPerdata bahwa:

“Semua perikatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang maka berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatanya”

Perikatan yang sesuai dengan undang-undang itu diantaranya, adalah:

1. Jual beli menurut KUH.Perdata adalah suatu perjanjian

bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji

untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak

yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak

milik tersebut (Pasal 1457-1540 BW.);

2. Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan nama kedua belah

pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang

secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain Pasal

1541-1546 BW;

3. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang

satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang

lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu

tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang

tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya (Pasal 1547-1600

KUH.Perdata), dan

4. Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal1 601-

1617 KUH.Perdata).53

Distributor dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang

hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk

memudahkan penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Namun

demikian pada kurun waktu sebelum tahun 1990 distributor cenderung

53

Ibid

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

59

kurang diperhatikan perkembangannya dari segi hukum, hal ini

berbeda dengan lembaga keagenan yang oleh pemerintah Republik

Indonesia dalam hal ini melalui Departemen Perdagangan dan

Perindustrian, telah dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk

lembaga pengakuan agen tunggal, dimana disyaratkan bagi perusahaan

asing yang akan memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia,

harus menunjuk satu perusahaan nasional yang akan merupakan agen

tunggalnya, dan sekaligus sebagai pemegang merek (agen tunggal

pemegang merek) dari barang-barang tersebut.

Secara khusus Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang

distributor belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku

adalah ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh beberapa

departemen teknis misalnya, Departemen Perdagangan dan

Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan

Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978, yang menentukan bahwa

lamanya perjanjian harus dilakukan. Sampai dengan dikeluarkannya

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan

(Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian diubah dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri No.I59/MPP/Kep/4/I998 tentang

Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

60

No.23/MPP/Kep/3/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan. Selain

itu para pihak dalam membuat perjanjian keagenan dan/atau distributor

biasanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang

diatur oleh Pasal 1338 KUHPerdata.

Adapun hal yang melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak

adalah untuk mempermudah perusahaan prinsipal dalam menjalankan

usahanya, yang dalam lingkup usahanya perusahaan prinsipal telah

mempersiapkan jaringan distribusi produknya tidak secara ekslusif

dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara,

melainkan Iebih dari itu. Oleh karenanya untuk mernpermudah

aspek pemahaman transaksi, pola administrasi dan permasalahan

lainnya, maka perusahaan prinsipal cenderung menjalankan pola

pemberlakuan standar kontrak baku tersebut.

Sebagai penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan,

distributor memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai

pihak, terutama dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan

khususnya produsen. Jika pengecer-pengecer dapat dimasukkan pula

sebagai distributor, maka kedudukan distributor berada di tengah-tengah

antara produsen dan konsumen. Tetapi secara umum, distributor

cenderung senantiasa dikaitkan dengan konsep wholesaler (pedagang

besar), karena itu, tidak berhubungan dengan konsurnen secara langsung.54

Adapun yang menjadi dasar hukum distributor dalam hal ini adalah agen

tidak resmi untuk melakukan penyaluran barang dan/atau jasa yang dalam

penelitian dibatasi mengenai pengadaan barang impor berupa produk otomotif,

54

P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

61

dasar hukumnya adalah sebagai berikut :

a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan

pembentukan organisasi perdagangan Dunia. Yang didalamnya memuat

rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO,

dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional. Jadi

berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk

importir umum juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai

ekspor dan impor.

b. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor : 23/MPP/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha

Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir,

yaitu :

“ Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan

perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar

negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

c. Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan Nomor

290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai pengimporan

kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakuakan oleh Importir

umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu :

1) Memiliki VIN (Vehicle Identification Number) dari

produsen/supplier/dealer;

2) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat;

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

62

3) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh

Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka;

4) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang

berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual;

5) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan

satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut.

d. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni

1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor.

e. Keputusan Menperindag Nomor 49/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari

2000 tentang Persyaratan Impor Kendaraan Bermotor dalam Keadaan

Utuh (CBU).

f. Keputusan Menperindag Nomor 50/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari

2000 tentang Perubahan Keputusan Menperindag Nomor

230/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Barang yang Diatur

Tata Niaga Impornya Sebagaimana Telah Diubah Beberapa Kali Terakhir

dengan Keputusan Menperindag Nomor 290/MPP/Kep/6/1999.

g. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 015/SK/DJILMEA/X/2001

tanggal 26 Oktober 2001 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Tipe dan

Varian Kendaraan Bermotor.

h. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 017/SK/DJILMEA/XI/2001

tanggal 9 Nopember 2001 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

63

Kode Perusahaan Dalam Rangka Penerapan Nomor Identifikasi

Kendaraan Bermotor (NIK).

3. Hak Dan Kewajiban Importir Umum (Agen Tidak resmi)

Sama halnya dengan ATPM importir umum juga memiliki hak dan

kewajiban yang ada didalam peraturan perundang-undangan maupun hak dan

kewajiban yang timbul bukan karena peraturan perundang-undangan. Hak dan

kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :

a. kewajiban yang diatur dalam UUPK. yaitu dalam pasal 21

yaitu:

Pasal 21:

1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang

diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen

atau perwakilan produsen luar negeri.

2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila

penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau

perwakilan penyedia jasa asing.

b. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor

28/KP/I/1982 yang telahbeberapa kali diubah dan ditambah, dan terakhir

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor

229/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Ketentuan Umum di

Bidang Impor, yang di dalamnya meliputi:

1. Impor hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan yang telah memiliki

API;

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

64

2. Barang impor harus dalam keadaan baru;

3. Pengecualian:

a. Barang Pindahan, Barang Impor Sementara, Barang Kiriman,

Barang Contoh Tidak Diperdagangkan, Hadiah, Barang

Perwakilan Negara Asing dan Barang Untuk Badan

Internasional/Pejabatnya Bertugas di Indonesia;

b. Kapal Pesiar dan kapal Ikan, atau Ditetapkan Lain Oleh Menteri

Perdagangan;

c. Barang Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

65

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan

kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.55

Dengan pendekatan

Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach)

maksudnya adalah membandingkan peraturan hukum yang berlaku dengan peristiwa

yang terjadi.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah inventarisasi hukum, maksudnya adalah

mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peristiwa

hukum yang terjadi yang merupakan masalah dalam penelitian ini yang kemudian

mengklasifikasinya dan di analisis. Spesifikasi yang berikutnya adalah penemuan

hukum Inconcreto maksudnya adalah manganalisis peraturan hukum yang berlaku

(abstrak) yang dianalisis terhadap peristiwa hukum yang terjadi (konkrit) yang

kemudian akan ditemukan kesinkronisasianya.

3. Lokasi Penelitian

55

Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,, Bayu Media,

Malang, hal 295.

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

66

Lokasi penelitian ini adalah dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT)

Perpustakaan UNSOED, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum UNSOED dan

media internet maupun media massa lainya yang membahas peristiwa hukum yang

menjadi masalah dalam penelitian ini.

4. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan

Sri Mamudji, data sekunder dapat berupa bahan-bahan hukum sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat seperti

norma dasar, peraturan perundang-undangan atau keputusan pengadilan.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur atau pustaka.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua

bahan hukum tersebut diatas.56

56

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV Rajawali,

Jakarta, halaman 14

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

67

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode dalam pengumpulan bahan hukum untuk penelitan ini adalah melalui

metode kepustakaan atau metode dokumenter terhadap bahan hukum primer,

sekunder maupun tersier yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti,

kemudian kemudian di hubungkan bahan hukum satu dengan yang lainya sesuai

dengan pokok permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan utuh (comprehensive),

all inclusive, dan sistematik.

6. Metode Penyajian Bahan Hukum

Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan cara penyajian data

dilakukan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.

7. Metode Analisis

Metode analisis dalam peneltian ini adalah dengan cara menggunakan

metode-metode interpretasi yang ada dalam ilmu hukum, yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain yang pertama adalah metode interpretasi Teleologis yaitu

untuk mengetahui bagaimana suatu peraturan hukum berlaku dan untuk siapa

peraturan hukum tersebut berlaku. Kemudian yang kedua adalah metode interpretasi

sistematis yaitu untuk mengetahui saling keterkaitannya antara suatu peratuan hukum

yang berkaitan dengan obyek penelitian.57

57

Loc.cit.

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

68

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian studi pustaka yang penulis lakukan, diperoleh data

sebagai berikut :

1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, bahwa Tanggung Jawab Pelaku Usaha yaitu :

Pasal 19 :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggaltransaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut

merupakan kesalahan konsumen.

Pasal 20 :

“Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di produksi

dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

69

Pasal 21 :

1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang

diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau

perwakilan produsen luar negeri.

2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila

penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan

penyedia jasa asing.

Pasal 22 :

Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup

kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

Berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen diatas, Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam

Perlindungan Konsumen adalah Tanggung Jawab Produk, dan Tanggung Jawab

Profesional, yang keduanya termasuk kedalam Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan

Unsur kesalahan dan Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan.

2. ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Toyota Di Indonesia

PT. Toyota-Astra Motor atau biasa disingkat dengan TAM merupakan Agen

Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Mobil Toyota dan Lexus di Indonesia. TAM

merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International Tbk. dengan

persentase saham 51% dan Toyota Motor Corporation yang disingkat dengan nama

TMC Jepang dengan persentase saham 49 %. PT Toyota-Astra Motor diresmikan

pada tanggal 12 April 1971, peranan TAM semula hanya sebagai importir kendaraan

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

70

Toyota, namun setahun kemudian sudah berfungsi sebagai distributor. Pada tanggal

31 Desember 1989, TAM melakukan merger bersama tiga perusahaan yaitu :

a. PT. Multi Astra (pabrik perakitan, didirikan tahun 1973)

b. PT. Toyota Mobilindo (pabrik komponen bodi, didirikan tahun 1976)

c. PT. Toyota Engine Indonesia (pabrik mesin, didirikan tahun 1982)

Gabungan semuanya diberi nama PT. Toyota-Astra Motor. Merger ini

dilakukan guna menyatukan langkah dan efisiensi dalam menjawab tuntutan akan

kualitas serta menghadapi ketatnya persaingan di dunia otomotif.

Selama lebih dari 30 tahun, PT. Toyota-Astra Motor telah memainkan

peranan penting dalam pengembangan industri otomotif di Indonesia serta membuka

lapangan pekerjaan termasuk dalam industri pendukungnya. PT. Toyota-Astra Motor

telah memiliki pabrik produksi seperti stamping, casting, engine dan assembly di area

industri Sunter Jakarta. Tahun 1998 untuk meningkatkan kualitas produk dan

kemampuan produksi, diresmikan pabrik di Karawang yang menggunakan teknologi

terbaru di Indonesia.

Sejak tanggal 15 Juli 2003, TAM direstrukturisasi menjadi 2

perusahaan,yaitu :

a. PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia disingkat TMMIN yang

merupakan perakit produk Toyota dan eksportir kendaraan dan suku

cadang Toyota. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan ini adalah

Astra International 5 % dan TMC. menjadi 95%;

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

71

b. PT. Toyota-Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor

produk Toyota di Indonesia. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan

ini adalah Astra International 51 % sedangkan TMC. 49%.

Sektor pendukung penjualan dan layanan purna jual, TAM dibantu oleh 5

Dealer Utama yang membawahi dealer-dealer yang tersebar di seluruh Indonesia.

Hingga bulan Desember 2005 telah terdapat 181 outlet dan 101 bengkel resmi.

Berikut ini kelima Dealer Utama yang dibagi berdasarkan wilayah geografisnya :

a. Auto 2000 merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Timur,Nusa Tenggara Timur,Bali,Kalimantan serta sebagian

Sumatera;

b. PT. New Ratna Motor merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jawa

Tengah dan Yogyakarta;

c. NV Hadji Kalla Trd. Co. merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara;

d. PT. Hasjrat Abadi merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Sulawesi

Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Ternate dan Papua;

e. PT. Agung Automall merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Bali,

Riau,Jambi, Bengkulu dan Batam.

Produk yang sedang dan pernah dijual oleh TAM di Indonesia yaitu :

- Sedan : Starlet, Yaris, Soluna, Vios, Corona, Corolla, Camry, Cressida,

Crown.

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

72

- Kendaraan Penumpang jenis SUV dan MPV : Fortuner, Kijang Innova,

Kijang, Avanza, Hiace, Toyota Land Cruiser, Previa.

- Truk dan kendaraan Niaga : Dyna, Hilux, Kijang Pick up.

Struktur dari perusahaan ini yaitu:

- Presiden Direktur : Johnny Darmawan Danusasmita.

- Wakil Presiden Direktur : Sam Budiman.

- Direktur : Benny Redjo, Daisuke Yanagawa, Joko Trisanyoto, dan

Hiroyuki Hirakawa.

Sebagai ATPM merek Toyota di Indonesia, PT. Toyota Astra Motor memilki

hak dan kewajiban sesuai dengan prinsipalnya, kemudian juga memiliki hak dan

kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia termasuk tunduk

kepada peraturan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dan terhadap peraturan-peraturan lain yang mengatur

tentang perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia.

3. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )

Importir umum dalam hal ini agen tidak resmi dapat dikatakan sebagai

distributor, karena dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang

dan/atau jasa kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan

konsumennya yang berada di dalam negeri. Dalam penelitian ini adalah Importir

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

73

umum dari Mobil dengan Merek Toyota RAV4. Sebagaimana menurut P. Susilo

dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor yaitu :

Sebagai Penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan, distributor

memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai pihak, terutama

dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan khususnya produsen.

Jika pengecer-pengecer dapat dimasukan pula sebagai distributor, maka

kedudukan distributor berada di tengah-tengah antara produsen dan

konsumen. tetapi secara umum distributor cenderung senantiasa dikaitkan

dengan konsep wholesaler (pedagang besar), karena itu, tidak

berhubungan dengan konsumen secara langsung. 58

Importir Umum Agen tidak resmi dalam dunia perdagangan mempunyai

peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk

memudahkan penyampaian barang dari produsen luar negeri langsung kepada

konsumen dalam negeri.

4. Norma-Norma Yang Mengatur Mengenai ATPM (Agen Tunggal Pemegang

Merek) Dan Importir Umum

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka diperoleh data

sebagai berikut :

a. Pasal 1 angka (3) Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara

58

P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

74

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Berdasarkan pada pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen tersebut bahwa ATPM (Agen Tunggal Pemegang

Merek) dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum adalah merupakan

pelaku usaha yang mempunyai hak dan kewajiban, dan tanggung jawab, serta

mematuhi larangan sesuai dengan peraturan yang ada dalam Undang-Undang no.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan

sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri

No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri

Perindustrian dan perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang

Lembaga-Lembaga Perdagangan menjelaskan bahwa Agen tunggal

pemegang merek (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi

perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama

pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan

dalam partai besar barang dari pihak tersebut. PT. Toyota Astra

Motor adalah termasuk kedalam ATPM (Agen Tunggal Pemegang

Merek).

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

75

c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan

pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang didalamnya memuat

rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO,

dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional. Berdasarkan

undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk importir umum

juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai ekspor dan

impor. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor : 23/MPP/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha

Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir,

yaitu :

“Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan

perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar

negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Peraturan hukum lainya adalah Keputusan Menteri perindustrian dan

Perdagangan Nomor 290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai

pengimporan kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakukan oleh Importir

umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu :

a) Memiliki VIN (Vehicle Identification Number) dari

produsen/supplier/dealer;

b) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat;

c) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh Direktur

Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka;

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

76

d) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang

berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual;

e) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan

satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut.

Berdasarkan peraturan-peraturan hukum tersebut maka adalah sah apabila

seseorang atau badan usaha melakukan impor kendaraan secara utuh asalkan

memenuhi syarat-syarat sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Hak dan kewajiban Konsumen ATPM Dan Importir Umum

Hak dan kewajiban konsumen baik konsumen dari ATPM maupun konsumen

Importir Umum adalah sama yaitu diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, yaitu :

Pasal 4, Hak Konsumen adalah :

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan /atau jasa;

b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainya.

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

77

Pasal 5, kewajiban Konsumen adalah :

a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen tersebut diatas bahwa para pemilik kendaraan dengan merek Toyota RAV

4 adalah konsumen yang memilki hak dan kewajiban sesuai dengan yang undang-

undang tersebut.

B. PEMBAHASAN

Pasal 1 angaka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen memuat pengertian mengenai pelaku usaha, yaitu :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan

dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Berdasarkan pendapat AZ. Nasution, kelompok penyedia barang /

penyelenggara jasa pada umumnya terdiri dan berlaku sebagai pihak :

a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa

(investor);

b. Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen);

c. Penyalur barang atau jasa (distributor).59

59

Az Nasution, op. cit, halaman 20

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

78

Brotosusilo memberi batasan pengertian mengenai produsen, sebagai

berikut :

1. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang

manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang

timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila

keruian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen

dalam proses produksinya;

2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;

3. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-

tanda lainpada produk menampakan dirinya sebagai produsen dari

suatu barang.60

Berdasarkan data penelitian no. 2 dan 3 tentang PT. Toyota Astra Motor

selaku ATPM merek Toyota dan Importir Umum selaku distributor mobil Toyota

RAV 4, apabila dikaitkan dengan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat AZ. Nasution, maka dapat

dideskripsikan bahwa ATPM dan Importir Umum tersebut adalah sebagai pelaku

usaha mengingat ATPM dan importir umum tersebut adalah badan usaha yang

didirikan dan berkedudukan serta melakukan kegiatan ekonomi dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia.

Shidarta menjelaskan bahwa dalam KUHPerdata, ketentuan tanggung jawab

produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322, 1491, 1504, sampai

1511. Pasal 1504 KUHPerdata menyebutkan :

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada

barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk

60

Agus Brotossusilo, makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam

sistem Hukum Di Indonesi. Dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas

Hukum, Editor Yusuf Sofie. Jakarta : YLKI-USAID. 1998.Hal 46.

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

79

pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia

sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya

selain dengan harga yang kurang.”

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat

ketentuan mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai dengan

Pasal 11 yaitu pada pasal-pasal sebagai berikut :

Pasal 7 yang memuat tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasaserta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Pasal 8

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

80

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku

usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus dipasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap

dan benar atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Pasal 9

1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan

suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:

a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,

harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,

karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

81

c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki

sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-

ciri kerja atau aksesori tertentu;

d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai

sponsor, persetujuan atau afiliasi;

e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;

h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;

i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa

lain;

j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak

berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak

keterangan yang lengkap;

k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang

untuk diperdagangkan.

3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang

melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau

jasa tersebut.

Pasal 10

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,

mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau

menyesatkan mengenai:

a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang

dan/atau jasa;

d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Pasal 11

Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau

lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan;

a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi

standar mutu tertentu;

b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak

mengandung cacat ersembunyi;

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

82

c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan

maksud untuk menjual barang lain;

d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang

cukup dengan maksud menjual barang yang lain;

e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah

cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;

f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan

obral.

Pertanggung jawaban produk bermerek Toyota RAV 4 yang memiliki cacat

tersembunyi yaitu pada sistem gas dan pengeremannya, produk ini diimpor oleh

Importir umum tetapi adanya cacat tersenbunyi pihak importir umum tidak dapat

memberikan ganti rugi yang berkaitan dengan penyediaan spareparts, dan melakukan

recall atau penarikan kembali karena pihak importir umum hanya bertindak sebagai

distributor dari prinsipal bukanlah sebagai agen resmi, sedangkan menurut Undang-

Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata

Importir umum dalam hal ini bertindak sebagai Pelaku Usaha seharusnya dapat

melakukan pertanggung jawabanya terhadap konsumen Toyota RAV 4 tersebut.

Pihak Importir Umum dalam hal ini tidak dapat melakukan tindakan

pertanggung jawabanya untuk melakukan perbaikan terhadap cacat tersembunyi

ataupun pemberian pelayanan purna jualnya dan penarikan kembali atau recall

produk yang diimpornya yaitu Toyota RAV 4, maka Importir umum juga telah

memberikan keuntungan kepada pihak ATPM yaitu dari segi promosi, sehingga

konsumen mengetahui produk-produk lainnya dari Toyota yang tidak dipasarkan oleh

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

83

PT. Toyota Astra Motor dan hal ini otomatis memberi efek fanatisme terhadap

konsumen terutama konsumen lama dari produk-produk Toyota.

Pelaku usaha dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek

Toyota dan Importir umum adalah mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam

Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dengan demikian apabila kewajiban tidak dilaksanakan

maka semestinya pelaku usaha wajib bertanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung

jawab Pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, meliputi :

1. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menjelaskan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan /atau kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan

atau diperdagangkan.

Adanya kerusakan barang dan pelayanan kurang memuaskan yang dapat

menimbulkan akibat mengkonsumsi produk barang dan/atau jasa, sehingga harus

dipenuhi, diganti, atau diperbaiki. sedangkan kerugian yang diderita konsumen dapat

berupa kerugian materi ataupun kerugian yang menyangkut diri.

Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban hukum, hal ini berkaitan erat

dengan ada atau tidaknya suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak sebagai

akibat dalam hubungan konsumen pelaku usaha baik dari penggunaan, pemanfaatan,

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

84

serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh

pelaku usaha tertentu.61

Merujuk pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha

meliputi :

1. Tanggung jawab ganti kerugian atas keruskan;

2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;

3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal di atas, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami

konsumen.62

Shidarta berpendapat “sejak dahulu menjadi kewajiban produsen untuk

menjamin barang yang dijual itu bebas dari cacat. Jaminan ini merupakatan perikatan

yang otomatis dibebankan kepada produsen untuk menjamin barang yang dijual itu

bebas dari cacat. Jaminan ini merupakan perikatan yang otomatis dibebankan kepada

produsen/penyalur produk (penjual) atau debitur.”63

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani

61

Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media.

2008. hal 14 62

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, halaman 126. 63

Shidarta, 2006. hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT. Grafindo. Hal 90.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

85

“ Siapapun yang tindakanya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi

kepada pihak yang menderita kerugian tersebut, perbuatan yang merugikan

dapat lahir karena tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah

dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi) dan semata-

mata lahir karena suatu perbuatan tersebut.64

Berdasarkan data nomor 1 tentang tanggung jawab, data nomor 2 tentang

ATPM, data nomor 3 tentang Importir umum dan data nomor 5 tentang hak dan

kewajiban ATPM dan Importir Umum apabila dikaitkan dengan pasal 19 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta

pendapat Shidarta, Gunawan Widjaja, maka dapat dideskripsikan bahwa ATPM

Toyota yaitu PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum yang mendatangkan

Toyota RAV 4 ke Indonesia adalah belum memberikan ganti kerugian atas kerusakan,

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat menerima produk cacat. Hal ini

merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan Konsumen yaitu pasal Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Hal ini

didukung oleh adanya kejadian kecelakaan Mobil Toyota RAV 4 yang setelah

diselidiki bahwa mobil tersebut adalah memiliki cacat tersembunyi dan diluar negeri

telah dilakukan recall atau penarikan kembali.

Dalam hal ATPM seharusnya ikut bertanggung jawab walaupun Toyota RAV 4

bukan salah saru katalog dari produk yang dipasarkan oleh PT. Toyota Astra Motor,

64

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT.

Gramedia Pustaka Utama 2000. Hal. 62.

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

86

karena berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 23

tahun 1998 manjelaskan bahawa :

“Agen tunggal pemegang (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi perorangan

atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek

barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak

tersebut.”

Berdasarkan hal tersebut diatas seharusnya PT. Toyota Astara Motor melakukan

recall terhadap produk cacat tersebut, karena ATPM lah yang mempunyai hak

tersebut dan mampu untuk melakukan hal tersebut karena berhubungan langsung

dengan Toyota Motor Co. Jepang dan mempunyai lisensi terhadap merek Toyota di

Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari Shidarta.

2. Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menjelaskan bahwa Ganti rugi sebagaimana pada ayat (1) dapat

berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang

sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundanng-undanngan.

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa pemberian ganti rugi

dapat berupa pengembalian barang yang setara nilainya dan/atau dapat diberikan

sekaligus kepada konsumen.65

65

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. Hal 126.

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

87

Berdasarkan pada data nomor 5 tentang hak dan kewajiban konsumen, apabila

dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen serta dikaitkan dengan pendapat Ahmadi Miru dan

Sutarman Yodo, dapat dideskripsikan seharusnya para konsumen dari Toyota RAV 4

yang memiliki cacat tersembunyi seharusnya mendapat ganti rugi minimal yaitu

perbaikan terhadap sistem gasnya yang mengalami cacat tersembunyi, bengkel-

bengkel resmi ATPM lah yang dapat melakukan hal tersebut, dalam masalah ini

seharusnya bengkel resmi ATPM tersebut dapat bekerja sama dengan Importir umum

untuk melakukan perbaikan terhadap Toyota RAV yang memiliki cacat tersembunyi

tersebut.

3. Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menjelaskan bahwa Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam

tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi .

Berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata menyebutkan bahwa daluwarsa adalah

suatu alat memperoleh sesuatu untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan

lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang.

Dapat dilihat bahwa tanggung jawab importir atas mobil-mobil CBU (Completey

Built Up) atau rakitan langsung luar negeri yang dijualnya mengikat importir tersebut

sebagai “produsen” dari mobil tersebut dan memiliki tanggung jawab atas produk

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

88

yang dijualnya. Tanggung jawab itu diikuti dengan kewajiban untuk menyediakan

suku cadang dan fasilitas purna jual. Jadi Importir memiliki apa yang disebut Product

Liability (tanggung jawab produk). Product Liability ini sendiri sebenarnya muncul

untuk memberikan tanggung jawab kepada Produsen pembuat barang / penyedia jasa,

apabila barang atau jasa yang diberikannya menimbulkan kerugian bagi pihak

konsumen. Product liability ini mengharuskan pihak importir selaku produsen dari

mobil-mobil CBU (Completey Built Up) memberikan jaminan apabila ada kerugian

yang diakibatkan karena adanya cacat yang melekat pada mobil-mobil CBU

(Completey Built Up). Pengertian cacat itu sendiri dapat berupa cacat dalam konstruksi,

Desain dan/atau pelabelan. Dengan adanya product liability ini secara otomatis

membuat importir tidak dapat lepas tangan atas produk yang dijualnya, dengan

menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pihak produsen asli dari mobil-

mobil CBU (Completey Built Up) tersebut, sehingga menolak untuk melakukan

perbaikan-perbaikan dan memberikan layanan purna jual.

4. Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menjelaskan bahwa pemberian ganti rugi sebagamana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya

tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya

unsur kesalahan.

Unsur kesalahan sangat berpengaruh dalam proses penentuan ganti rugi yang

harus dibayarkan oleh pelaku usaha. Pasal 1365 KUHPerdata secara tegas memuat

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

89

dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena kelalaian seseorang akan tetapi

tidak mengatur jangka waktu pembayaran.

Menurut Abdul Halim Barkatullah, sanksi pidana adalah sanksi yang dapat

dikarenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum

terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukanya penuntutan pidana terhadap

pelaku dan/atau penngurusnya.66

Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan kata kesalahan, dalam pasal ini

menegaskan bahwa tanggung jawab produsen (pelaku usaha) muncul apabila

mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan, selain itu

dalam pasal ini ditetapkan mengenai jangka waktu pembayaran yaitu 7 hari.

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen menegaskan bahwa produsen tidak membayar ganti kerugian

dalam batas waktu yang ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi

konsumen untuk mengajukan gugatan ke pengadilan atau penyelesaian sengketa

melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). ketentuan lanjutan yang

relevan dan signifikan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen adalah rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu “pembuktian terhadap ada tidaknya

66

Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media.

2008. hal 103

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

90

unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 22

Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 23

Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan

tanggung jawab pelaku usaha” Rumusan inilah yang kemudian dikenal dengan

sistem pembuktian terbalik.67

Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa adanya ganti rugi secara normatif tidak

menghapus adanya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha karena dalam hal ini

pelaku usaha telah melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4

huruf (a) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dideskripsikan bahwa pemberian ganti rugi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan

adanya tuntutan pidana dari pihak pelanggan yang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, karena dalam kenyataanya selalu dibutuhkan pembuktian terlebih dahulu.

Pemberian ganti kerugian seharusnya berupa perbaikan terhadap cacat tersembunyi

dan perawatan purna jual serta penyediaan spare parts oleh importir umum yang

bekerja sama dengan ATPM. Apabila terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen

dapat mengajukan tuntutan pidana.

67

ibid. hal 73.

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

91

5. Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen menjelaskan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan (2) tidak belaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan

bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya

unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebgaimana dimaksud dalam Pasal 19,

Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Berdasarkan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman yodo menyatakan bahwa:

“berhasil atau tidaknya pelaku usaha membuktikan bersalah tidaknya atas

kerugian konsumen, sangat menentukan bebas tidaknya pelaku usaha dari

tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap konsumen. Ini

berarti bahwa prinsip tanggung jawab yang dianut dalam Undang-Undang

nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung

jawab berdasarkan kesalahan, dengan pembuktian terbalik. Berdasarkan

prinsip ini, kedua belah pihak dilindungi, karena prinsip ini memberikan

beban kepada masing-masing pihak secara proporsional, yaitu konsumen

hanya membuktikan adanya kerugian yang dialami karena akibat

mengkonsumsi produk tertentu yang diperoleh atau berasal dari pelaku usaha,

sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan pihak pelaku usaha

yang menyebabkan kerugian konsumen dibebankan kepada pelaku usaha” 68

Berdasarkan penjelasan diatas, data nomor 1 tentang tanggung jawab dan

data nomor 5 tentang hak dan kewajiban ATPM dan Importir umum, apabila

dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen maka dapat dideskripsikan bahwa prinsip tanggung jawab

68

Ahmadi Miru. Op. Cit. halaman 169

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

92

yang dianut dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab. Prinsip ini

merupakan salah prinsip tanggung jawab berdasarkan pada kesalahan dengan beban

pembuktian terbalik. Pemberian ganti rugi yaitu berupa perbaikan terhadap cacat

tersembunyi Toyota RAV 4 dan/atau penarikan kembali. jika terbukti terdapat unsur

pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana, tetapi jika ternyata

kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti rugi dan tuntutan pidana adalah batal

demi hukum.

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

93

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil simpulan

bahwa Importir Umum dan PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek

Toyota adalah belum memenuhi tanggung jawab sebagai pelaku usaha untuk

konsumen Toyota RAV 4 sebagai salah satu mobil Built Up Toyota sesuai dengan

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :

1. Importir Umum selaku pelaku usaha yang mendistribusikan Toyota RAV 4

adalah belum melaksanakan tanggung jawabnya kepada konsumen yang berupa

penggantian produk cacat yang diterima oleh konsumen dan mengenai perawatan

pada masa purna jualnya.

2. PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek Toyota tidak bertanggung

jawab kepada konsumen yang menggunakan Toyota RAV 4, dengan alasan tidak

memproduksinya, padahal berdasarkan perjanjian dengan prinsipalnya yaitu

Toyota Motor Co. jepang dan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perindustrian

No. 23/1998 menjelaskan bahwa ATPM adalah pemegang lisensi dari

prinsipalnya dan dapat dengan mudah untuk melakukan hubungan dengan

prinsipalnya dalam hal adanya pengadaan spare parts.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

94

3. Pemberian ganti kerugian sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana, sebatas pada kerugian

konsumen akibat produk yang tidak layak pakai. Jika terbukti terdapat unsur

pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana.

4. Pemberian ganti rugi hanya sebatas pada kerugian konsumen yang ditimbulkan

akibat adanya cacat tersembunyi pada Toyota RAV 4 yang sangat merugikan

konsumen. Jika terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan

tuntutan pidana, tetapi jika ternyata kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti

rugi dan tuntutan pidana batal demi hukum. Prinsip ini merupakan salah satu

prinsip tanggung jawab berdasrkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.

B. Saran

Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka penulis

memberikan saran sebagai berikut :

1. Untuk Pemerintah : diharapkan agar lebih meningkatkan sosialisasi Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga

masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban baik sebagai

konsumen maupun sebagai pelaku usaha;

2. Untuk pelaku usaha : diharapkan agar ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)

maupun Importir umum kendaraan bermotor lebih memperhatikan jaminan purna

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

95

jualnya apabila akan mendatangkan produk barang dan/atau jasanya yang

langsung atau rakitan dari luar negeri sebagai salah satu bentuk pertanggung

jawabanya terhadap kosumennya.

3. Untuk konsumen : diharapakan agar masyarakat lebih teliti dalam mengkonsumsi

atau menggunakan kendaraan rakitan langsung dari luar negeri, apakah barang

dan/atau jasa tersebut telah memiliki jaminan purna jualnya atau tidak.

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

96

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Literatur:

Barkatullah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Nusa

Media. Bandung.

Brotossusilo, Agus. 1998. makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap

Konsumen Dalam sistem Hukum Di Indonesia Dalam Percakapan tentang

Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf

Sofie. YLKI-USAID. Jakarta.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang Perlindungan

Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

H.S., Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW). Sinar Grafika.

Jakarta.

Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu

Media. Malang.

Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan

Curang, Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992

Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. PT.

Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Nasution, AZ. 1995. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinara Harapan. Jakarta.

Saefullah, H.E. 2000. Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era

Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,

Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen. CV. Mandar Maju.

Bandung.

Subekti, R. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.

Page 97: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

97

Susilo. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor.

Shidarta. 2003. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Grasindo. Jakarta.

Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen

Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Suyadi, 2007. Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif. CV

Rajawali. Jakarta.

B. Sumber Internet

E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional

(8Maret 2010). diakses pada Maret 2011

C. Peraturan Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum perdata

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998

tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan sebagaimana kemudian diubah

dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang

Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan

No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan

Page 98: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi BAB 1-5... · c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; ... Pelaksanaan

98