BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahfh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/Skripsi...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan adanya kendaraan yang
digunakan untuk melakukan mobilitas. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sangat pesat saat ini memicu kebutuhan yang besar pula yang
dibutuhkan oleh manusia akan adanya kendaraan, dengan begitu produksi akan
kendaraan pun meningkat dan memenuhi pasar industri dari kendaraan yang ada di
Indonesia. Melihat perkembangan pasar yang sangat pesat tersebut banyak produsen
dan juga importir untuk memasarkan kendaraan yang tidak diproduksi di Indonesia
yang disebut dengan kendaraan Built Up atau rakitan luar negeri, untuk mendukung
pemasaranya para produsen memasukan kendaraan yang memang mereknya ada di
Indonesia tetapi produk kendaraannya tidak diproduksi di Indonesia. Produk-produk
impor tersebut dimasukan ke Indonesia bukan melalui Agen Tunggal Pemegang
Merek yang selanjutnya disebut dengan ATPM, tetapi melalui agen atau importir
umum yang dalam pelayanan purna jualnya diragukan karena agen-agen tersebut
bukan merupakan agen resmi dari perusahaan yang memproduksi kendaraan-
kendaraan yang resmi dijual di Indonesia.
Adapun keuntungan bagi para ATPM resmi yang memegang merek dengan
adanya produk Built Up tersebut adalah menuai keuntungan dari segi promosi,
2
dengan masuknya produk Built Up tersebut para konsumen jadi mengetahui produk-
produk lain selain yang di rakit oleh ATPM resmi sehingga kepercayaan dan
fanatisme terhadap merek-merek yang dipegang oleh ATPM semakin meningkat
yang berpengaruh terhadap naiknya tingkat penjualan untuk produk-produk lainnya.
Namun selain keuntungan adapula kerugiannya yaitu bagi konsumen pengguna
kendaraan-kendaraan Built Up tersebut, ketika terjadi kerusakan atau cacat produk
yang merugikan konsumen, dan kebutuhan-kebutuhan setelah purna jual, ketika agen
yang menjual kendaraan-kendraan Built Up tersebut telah tidak ada atau tidak mampu
untuk memberikan ganti rugi konsumen tersebut tidak dapat mengajukan ganti rugi
kepada ATPM resmi. Hal ini di karenakan ATPM resmi beralasan tidak mempunyai
kewenangan dan tidak harus bertanggung jawab berdasarkan Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen yaitu Pasal 19 angka (1) dan
Pasal 21 angka (1) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19 angka(1) :
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.”
Pasal 21 angka (1) :
“Importir barang yang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
produsen luar negeri”
Kedua pasal tersebut menjadi alasan kuat bagi ATPM resmi untuk tidak
bertanggung jawab terhadap konsumen pengguna kendraan Built Up, padahal ATPM
resmi tersebut telah mendapat keuntungan dari digunakan produk-produk Built Up
3
tersebut yaitu Good Will atau nama baik dari merek-merek yang dipegang oleh
ATPM - ATPM tersebut.
Salah satu contoh kasusnya adalah yang terjadi pada produk mobil Toyota
RAV 4 yang merupakan salah satu produk Built Up Toyota yang memiliki kegagalan
pada sistem pedal gasnya yang telah banyak menimbulkan kerugian pada
penggunanya bahkan di beberapa kasus menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan hal
tersebut pihak PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM resmi Toyota mengklaim tidak
akan bertanggung jawab terhadap kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh produk
kendaraan yang bernama Toyota RAV 4 tersebut, alasannya adalah meskipun Toyota
RAV 4 tersebut adalah produk Toyota tetapi Toyota RAV 4 tersebut bukanlah rakitan
dan tidak dikeluarkan oleh PT. Toyota Astra Motor selaku pemegang merek Toyota
di Indonesia. PT. Toyota Astra Motor menyatakan bahwa hal tersebut adalah
tanggung jawab dari agen atau importir umum dari Toyota RAV 4, padahal
berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas bahwa pihak PT. Toyota Astra Motor
juga dapat dikatakan menikmati keuntungan dari masuknya produk Toyota RAV 4
tersebut yaitu dari segi promosi Toyota sebagai merek yang diusung oleh ATPM
tersebut.1
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang perlindungan hukum terhadap pengguna kendaraan Built Up atau
1 E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional (8Maret 2010).
diakses pada Maret 2011
4
rakitan luar negeri yang tidak di produksi oleh ATPM resmi dengan judul
“Tanggung Jawab ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek ) dan Importir
Umum (agen tidak resmi) Dalam Memberikan Perlindungan hukum terhadap
Pengguna Toyota RAV 4 Sebagai Salah Satu Kendaraan Built Up Yang
Dipasarkan Di Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan suatu masalah,
yaitu : Bagaimanakah tanggung jawab PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi
pemegang merek Toyota dan Importir Umum (agen tidak resmi) dalam memberikan
prerlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV 4 sebagai salah satu kendaraan
Built Up yang dipasarkan di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab ATPM
(agen tunggal Pemegang Merek) sebagai agen resmi dengan importir umum (agen
tidak resmi) dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pengguna Toyota RAV
4 sebagai salah satu kendaraan Built Up yang dipasarkan di Indonesia dengan adanya
penolakan tanggung jawab dari PT. Toyota Astra Motor sebagai ATPM resmi
pemegang merek Toyota dikarenakan RAV 4 adalah bukan produk dari PT. Toyota
Astra Motor.
5
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah meliputi dua aspek yaitu :
a. Kegunaan Teoretis
Kegunaan teoretis dalam penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan
terhadap perkembangan ilmu hukum, terutama perkembangan hukum perlindungan
konsumen di Indonesia
b. Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk memberi masukan bagi pihak
ATPM resmi ataupun agen selaku pihak pengimpor kendaraan-kendraan Built Up
dari luar negeri.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Konsumen
1. Sejarah Pelindungan Konsumen di Indonesia
Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia di mulai sekitar 20 tahun yang
lalu ditandai dengan berdirinya sutau lembaga swadaya masyarakat yang bernama
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul
beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan
Konsumen (LP2K) di Semarang yang bergabung sebagai anggota Consumer
International (CI). Di luar itu, banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang
berorientasi kepada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga
Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan di berbagai propinsi
di tanah air. Gerakan konsumen Indonesia mencatat prestasi besar setelah naskah
akademik UUPK berhasil di bawa ke DPR. Selanjutnya rancanganya disahkan
menjadi undang-undang.2
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Tujuan Perlindungan konsumen termuat dalam Pasal 3 Undang-undang No.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terdiri dari :
2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 42
7
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkanya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Mengangkatakan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntuk hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha tentang pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Asas-Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum Perlindungan Konsumen,
khususnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yaitu
dituangkan dalam Pasal 2, asas-asas tersebut yaitu :
8
1) Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha;
2) Asas Keadilan, dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajiban secara adil;
3) Asas Keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materilataupun spiritual;
4) Asas Keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalm penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan;
5) Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar baik pelaku usha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, serta negara menjamin
Kepastian hukum.3
3 Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2007, halaman 16
9
4. Pihak-pihak Dalam Perlindungan Konsumen
Masalah konsumen berkaitan dengan ekonomi dan merupakan masalah
bersama masyarakat, maka pelindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok
yang merupakan pihak-pihak dalam pelindungan konsumen, yaitu :
1. Kelompok pengusaha;
2. Kelompok pemerintah;
3. Kelompok masyrakat konsumen;
4. Kelompok-kelompok lain, seperti organisasi konsumen, organisasi
peneliti, organisasi profesi.4
5. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Dasar hukum perlindungan konsumen yaitu :
1. UUD 1945, pada :
a. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yaitu :
“ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.”
Penjelasan dari pasal ini yaitu bahwa ketentuan mengenai hak warga negara.
Hak warga negara yang dinyatakan dalam penjelasan pasal 27 (2) ini adalah hak
warga negara yang menjamin agar mereka dapat hidup sebagai manusia seutuhnya,
4 Laporan Simposium Aspek – Aspek Hukum Masalah Pelindungan Konsumen, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, halaman 107
10
bukan hanya hak-hak yang bersifat fisik, material tetapi juga hak bersifat psikis,
seperti hak mendapat pengetahuan yang benar tentang segala barang dan jasa yang
ditawarkan.
b. Pasal 28 ayat (3) UUD 1945, yaitu :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa pasal ini mengenai kedudukan
penduduk. Pasal ini juga memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun Negara
yang bersifat demokrasi dan hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan
perikemanusiaan.
Berbagai hal yang dimiliki konsumen telah termasuk dalam kedua pasal
tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua pasal dalam UUD 1945 merupakan
sumber hukum bagi perlindungan konsumen.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
a. Pasal 1238 KUH. Perdata, mengatur:
“Si berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatanya
sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
11
Wanprestasi terjadi karena terjadinya perjanjian dengan pihak lawan dan
pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan atau mungkin memenuhi tetapi
tidak sebagaimana mestinya.
b. Pasal 1267 KUH. Perdata, mengatur:
“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia,
jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk
memenuhi persetujuan ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan,
disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga.”
Pasal ini memberikan pilihan kepada kreditur untuk menuntut debitur karena
perbuatan wanprestasi yang dilakukan debitur, bahwa kepada kreditur dapat memilih
tuntutan sebagai berikut :
1) Pemenuhan perjanjian;
2) Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
3) Ganti rugi saja;
4) Pembatalan Perjanjian;
5) Pembatalan disertai ganti kerugian.5
c. Pasal 1320 KUH. Perdata, mengatur :
“ untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
5 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, halaman 53
12
4) Suatu sebab yang halal.”
Kesepakatan dalam Pasal 1320 KUH. Perdata ini tidak di berikan dalam
kekhilafan, paksaan atau penipuan. Kesepakatan yang dicapai karena penipuan dapat
dimintakan pembatalan.
Penipuan dalam hal ini dirumuskan sebagai pernytaan tentang fakta yang
dibuat oleh suatu pihak dalam perjanjian terhadap pihak lainya sebelum perjanjian itu
terjadi, dengan maksud untuk membujuk pihak lainnya membuat perjanjian,
sedangkan perjanjian itu tidak benar atau palsu.6
d. Pasal 1365 KUH. Perdata, mengatur :
“ Tiap perbutan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.”
Pasal ini mengatur tentang tuntutan ganti rugi yang diakibatkan perbuatan
melawan hukum, maka pasal ini juga dapat digunakan untuk melindungi hak
konsumen.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Sumber hukum perlindungan konsumen juga terdapat dalam hukum pidana
yaitu dalam buku III tentang pelanggaran. Ketentuan tersebut antara lain terdapat
dalam pasal 204, 205, 393 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen.
5. Peraturan Perundang-undangan lain seperti :
6 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982 halaman 120
13
a. Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 tentang Penerapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1961 tentang
Barang menjadi undang-undang;
b. Undang-undang No. 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;
c. Undang-Undang No. 3 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
f. Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan
lain-lain.
6. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen
Pelaksanaan dari perlindungan konsumen memerlukan peran serta dari
berbagai pihak. Peran serta tersebut antara lain :
a. Peranan masyarakat selaku konsumen
1. Masyarakat yang berkedudukan selaku konsumen berperan sebagai
kontrol sosial bagi para pelaku usaha untuk mentaati dan
melaksanakan etika bisnis yang berlaku;
2. Masyarakat selaku konsumen memiliki peran serta untuk
mengembangkan organisasi konsumen sebagai tandingan organisasi
pelaku usaha agar terwujud keseimbangan hak dan kewajiban antara
pelaku usaha dan konsumen.
14
b. Peranan Pemerintah
1. Pemerintah memberi petunjuk bagi pelaku usaha tentang hal-hal yang
boleh dilakukan;
2. Pemerintah membentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk
menanggulangi persaingan curang;
3. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksaan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan dengan bidang usaha secara
konsekuen dan konsisten.
c. Peranan Organisasi Pelaku Usaha
1. Organisasi pelaku usaha menentukan dan menyusun standar etik yang
harus diketahui dan ditaati oleh semua pelaku usaha;
2. Menghayati dan melaksanakan dengan sungguh-sungguh segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan
kegiatanya;
3. Melakukan peningkatan mutu produk Indonesia sehingga lebih dapat
bersaing di pasar domestik maupun di pasar internasional.7
Konsumen yang dirugikan hingga menimbulkan ketidak puasan, kerugian
material, gangguan pada kesehatan tubuh atau ancaman bahaya pada jiwa konsumen
7 Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan Curang,
Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992
15
disebabkan oleh tidak sempurnanya produk konsumen, baik berupa gugatan perdata
atau tuntutan pidana dari pihak yang dirugikan.8
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
menjelaskan secara rinci mengenai pengertian dari sengketa konsumen. Ada beberapa
kunci untuk memahami “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dengan
metode penafsiran. Petama batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK.9
Sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen dapat diselesaikan
melalui dua jalur yaitu lewat pengadilan atau litigasi dan diluar pengadilan atau non
litigasi. Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, setiap konsumen tang dirugikan dapat menggugat pelaku
usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa yang berada di
lingkungan peradilan umum. Pasal 45 ayat (4) menjelaskan bahwa apabila telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui
pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut telah dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa yang disebutkan dalam pasal 45 ayat (1) UUPK
baru dapat dibentuk secara De Jure pada tahun 2001 dengan KEPPRES NOMOR 90
TAHUN 2001 tentang Pembentukan BPSK (Badan penyelesaian Sengketa
Konsumen) yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan
8 Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 57
9 ibid, halaman 13
16
Perdagangan No. 301/MPP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota
dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Menurut Yusuf Shofie,
fungsi utama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu sebagai
instrumen hukum penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Yusuf
Shofie menuliskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu :
a. Konsiliasi
Cara ini ditempuh berdasarkan inisiatif salah satu pihak yang bersengketa
atau para pihak yang bersengketa. Majelis Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen hanya bersikap pasif, hanya sebagai perantara antara para
pihak yang bersengketa tersebut.
b. Mediasi
Mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dan
Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersikap aktif dengan
menjadi perantara dan penasihat. Mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa dimana pihak ketiga merupakan pihak netral
mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang
disepakati.
c. Arbitrase
Arbitrase ini ditempuh dengan cara para pihak menyerahkan sepenuhnya
kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk
memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.
Ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut dilakukan atas dasar pilihan dan
persetujuan para pihak dan bukan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Instrumen hukum lain dapat ditempuh konsumen tanpa terlebih dahulu melalui
instrumen hukum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.10
10
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 26
17
d. Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas
Adanya liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi yang berdampak
positif ataupun negatif terhadap para konsumen di Indonesia, karena barang dan jasa
dari luar negeri akan lebih mudah masuk ke Indonesia kemudian juga barang dan jasa
yang masuk tersebut biasanya tidak di kenal dan tidak diketahui secara pasti
mengenai sejauh mana kualitas barang dan/atau jasa tersebut apakah sudah layak
ataukah masih diragukan.
Yusuf sofie menjelaskan mengenai Permasalahan akibat liberalisasai
Permasalahan akibat liberalisasi perdagangan ini tampil ke permukaan
dalam bentuk pengaduan/komplain dari konsumen atas barang atau jasa
yang dikonsumsinya. Dari sudut hukum belum jelas mekanisme
penyelesainya. Tidak hanya itu, secara yuridis muncul juga permasalahan
apabila peraturan perundang-undangan Indonesia bertentangan atau
berbeda dengan peraturan perundang-undangan negara lain, ketentuan
regional, bahkan ketentuan atau kesepakatan World Trade Organization
(WTO) atau sebaliknya sehingga diperlukan harmonisasi ketentuan-
ketentuan nasional Indonesia terhadap ketentuan atau kesepakatan
regional dan World Trade Organization (WTO).11
Keadaan ini diperparah dengan adanya kemudahan bagi importir umum
untuk menyediakan barang dan jasa bagi para konsumen yang ada di Indonesia,
kemudian yang menjadi masalah lagi adalah adanya importir umum kurang kapabel
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumen.
11
Ibid, Halaman 10
18
B. Konsumen
1. Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor
8 tahun 1999 tentang Pelindungan Konsumen yang selanjutnya disebut dengan
UUPK. Dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan bahwa:
“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk di perdagangkan.”
Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK (Undang-undang
Perlindungan Konsumen) sangat luas hal ini dapat diketahui karena dalam UUPK
pengertian konsumen juga meliputi pemakaian barang dan jasa untuk kepentingan
makhluk hidup lain. 12
Hal ini berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan
kepada konsumen yang bukan manusia (hewan dan tumbuhan). Pengertian yang luas
seperti itu, sangatlah tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya
kepada konsumen.
Dalam penjelasan resmi Undang-undang ini menentukan dalam kepustakaan
ekonomi terdapat istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah pengguna dan pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang mempergunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir.
12
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 6
19
AZ. Nasution menjelaskan bahwa Konsumen dapat digolongkan dalam dua
kelompok sebagai berikut :
1. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang dan/atau jasa dengan tujuan
memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa; atau mendapatkan barang
atau jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial); dan
2. Pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan non
komersial)13
Kelompok pertama dapat juga disebut konsumen antara, sedangkan kelompok
kedua merupakan konsumen akhir.
2. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Kemajuan teknologi informasi yang mengakibatkan luasnya ruang gerak arus
transaksi barang dan jasa akibatnya barang dan jasa yang ditawarkan semakin
bervariasi baik produksi dalam negeri ataupun luar negeri. Kondisi ini menimbulkan
suatu keadaan dimana kedudukan antara pelaku usaha dengan konsumen menjadi
tidak seimbang, oleh karena itulah perlulah dijelaskan pula apa hak dan kewajiban
konsumen dan pelaku usaha. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 dalam Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yaitu :
Pasal 4, Hak konsumen adalah :
a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan /atau jasa;
b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
13
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 19
20
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainya.
Konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak-hak konsumen yang
disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun oleh produsen,
karena pemenuhan hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari
berbagai aspek.14
Secara umum, hak-hak konsumen diatas tidak disebutkan scara tegas di dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Hak Asasi Manusia.
Yusuf Shofie memberikan suatu hipotesis bahwa hak-hak konsumen tersirat
dalam Undang-undang hak Asasi Manusia, yaitu :
1. Hak hidup ( Pasal 9 Undang-Undang Hak Asasi Manusia ), menyangkut
hak untuk hidup bahagia sejahtera lahir batin, hak untuk meningkatkan
taraf hidup, serta hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat;
2. Hak mengembangkan diri ( Pasal 11 sampai Pasal 16 Undang-Undang
Hak Asasi Manusia ), menyangkut hak atas pemenuhan kebutuhan dasar,
hak untuk meningkatkan kualitas hidup, serta hak untuk memperoleh
informasi;
3. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17 sampai Pasal 19 Undang-
Undang Hak Asasi Manusia), menyangkut hak untuk mengajukan
14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo , Op.cit., halaman 47
21
permohonan, dan gugatan dalam perkara Pidana, Perdata, maupun
Administrasi;
4. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 sampai Pasal 42 Undang-Undang Hak
Asasi Manusia), hak untuk mempunyai milik atas suatu benda yang tidak
boleh dirampas sewenang-wenang dan melanggar hukum, serta hak untuk
berkehidupan yang layak.
Tentunya instrumen Undang-Undang Hak Asasi Manusia ini menjadi induk
dari dari hak-hak konsumen yang telah dinyatakan secarategas oleh Pasal 4
UUPK.15
Adapun yang menjadi kewajiban konsumen menurut Undang-Undang no. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 5 yaitu :
a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan;
b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
c) membayar dengan nilai tukar yang di sepakati;
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
3. Kepentingan Konsumen
Kepentingan konsumen termuat dalam Resolusi PBB 39/248 tahun 1985
dalam Guidelines for Consumer Protection, bagian II (General Principled), angka 3,
digariskan kepentingan konsumen (legitimate needs) yang dimaksudkan yaitu :
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamananya;
b. Promosi dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen;
15
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang
Perlindungan konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2003, halaman 3
22
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan mereka kememapuan untuk melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugiyang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi
tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.16
Menurut AZ Nasution, ada 3 bentuk kepentingan konsumen, yaitu:
1. Kepentingan Fisik
Kepentingan fisik adalah kepentingan badani konsumen yang
berhubungan dengan kemanan dan keselamatan tubuh dan atau jiwa
mereka dalam penggunaan barang dan atau jasa. Dalam setiap
perolehan barang dan/atau jasa konsumen haruslah barang dan/atau
jasa itu memenuhi kebutuhan hidup konsumen tersebut dan
memberikan manfaat baginya. Kepentingan fisik konsumen dapat
terganggu kalau satu perolehan barang dan/atau jasa menimbulkan
kerugian berupa gangguan kesehatan badan atau ancaman keselamatan
jiwanya.
2. Kepentingan Sosial Ekonomi Konsumen
Kepentingan ini menghendaki agar konsumen dapat memperoleh hasil
optimal dari penggunaan sumber-sumber ekonomi mereka dalam
mendapatkan barang dan atau/jasa kebutuhan hidup mereka, misalnya:
konsumen mendapat informasi yang benar dan bertanggungjawab
tentang produk tersebut;
konsumen mendapat pendidikan yang relevan untuk dapat
mengerti informasi mengenai produk konsumen yang disediakan;
16
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, halaman 76
23
tersedia upaya penggantian kerugian yang efektif, apabila mereka
di rugikan dalam transaksi konsumen;
kebebasan untuk membentuk organisasi atau kelompok-kelompok
yang diikutsertakan dalam setiap proses pengambilan keputusan
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan
konsumen.
3. Kepentingan Perlindungan Hukum
Kepentingan hukum bagi masyarakat dalam kualitas mereka sebagai
konsumen merupakan satu kepentingan dan kebutuhan yang sah. Akan
tidak adil jika kepentingan konsumen tidak seimbang dan tidak di
hargai sebagaimana penghargaan pada kepentingan kalangan
usaha/bisnis.17
C. Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan:
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang no. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen cukup luas karena meliputi grosir,
leverransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku
usaha dalam Undang-undang no. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha
dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasi sebagai produsen adalah : pembuat produk jadi (finished
product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang
menampakan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya,
tanda pengenal tertentu, atau tanda lain, yang membedakan dengan produk
17
Ibid, halaman 51
24
asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk
diperjual belikan, disewakan, disewagunakan,atau bentuk distribusi lain dalam
transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen
atau importir tidak dapat ditentukan. 18
Berdasarkan hal tersebut pelaku usaha yang dimaksudkan dalam UUPK sama
dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa
perorangan ataupun badan hukum.
2. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Sama hal nya dengan konsumen bahwa pelaku usaha juga mempunyai Hak
dan Kewajiban, yaitu diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang no. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang isinya pada intinya adalah untuk
memberikan perlindungan hukum kepada pelaku usaha dan juga bahwa pelaku usaha
haruslah beritikad baik dalam melaksanakan usahanya.
Hak Pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-undang no. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen yaitu :
a) hak utuk menerima pembayaran uang yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang tidak beritikad baik;
c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
di perdagangkan;
18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 9
25
e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Tentang hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainya, maka harus diingat bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Pelindungan Konsumen adalah payung bagi semua aturan lainnya berkenaan dengan
perlindungan konsumen.19
Adanya keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen, maka pelaku usaha
harus memenuhi kewajibanya, kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, seperti yang dijelaskan
oleh Gunawan Widjaja yaitu :
a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
Itikad baik merupakan salah satu asas dalam hukum perjanjian. Pasal 1338
ayat (3) KUH. Perdata mencantumkan bahawa “ Perjanjian-perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.” arti dari ayat tersebut bahwa
sebagai suatu hal yang disepakati dan disetujui oleh para pihak,
pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati
sepenuhnya.20
Perjanjian haruslah dilaksanakan secara pantas dan patut. Hal lain yang
mendasari adanya Pasal 1338 KUH.Perdata dengan rumusan itikad baik
tersebut adalah bahwa suatu perjanjian tersebut sama sekali tidak
dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor,
maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya diluar perjanjian.21
19
Ibid halaman 51 20
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum
Perdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 halaman 283 21
Ibid, halaman 284
26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menjelaskan:
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tampak
bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua
tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa
kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang
/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan sebaliknya konsumen hanya
diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa.22
Informasi tersebut merupakan salah satu hak konsumen dan jika tidak
tersedia informasi itu, barang dan/atau jasa yang dikonsumsi konsumen dapat
mngalami kerusakan dan hal itu merupakan salah satu hal yang akan sangat
merugikan konsumen.
Ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku
usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan
sangat merugikan konsumen.23
b) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
Dalam penjelasan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha
dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Pelaku
usaha tidak diperbolehkan untuk membedakan antara konsumen yang satu
dengan yang lainya hanya berdasarkan agama, suku, ras, dan lain-lain.
22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54 23
Ibid, halaman 55
27
c) menjamin mutu barang dan/atau yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Pelaku usaha diwajibkan untuk menjamin bahwa barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan telah sesuai dengan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Menyadari peranan standarisasi yang penting dan strategis,
pemerintah dengan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang
kemudian disempurnakan dengan keputusan Presiden Nomor 7 Tahun
1989 membentuk Dewan standarisasi Nasional.24
Peraturan mengenai Standarrisasi nasional tersebut telah diperbaharui
lagi dengan adanya Perturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102
Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, jo. Peraturan Kepala Badan
Standardisasi Nasional Nomor 135/PER/BSN/12/2010 Tentang Sistem
Standardisasi Nasional.
d) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba
barang dan atau/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang di buat dan/atau diperdagangkan.
Barang yang dapat diuji dan/atau dicoba hanyalah barang-barang
yang jika diuji dan/atau dicoba tidak mengalami kerusakan atau kerugian.
Ayat ini memuat kewajiban pelaku usaha yakni kewajiban untuk
24
Ibid, halaman 67
28
memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau
yang diperdagangkan.
Menurut Fandi Tjiptono garansi ada dua macam yaitu:
Garansi Internal, yaitu janji yang dibuat oleh suatu divisi kepada
pelanggan internalnya, yakni pemeroses lebih lanjut dan setiap
orang dalam perusahaan yang sama yang memanfaatkan hasil/jasa
departemen tersebut.
Garansi Eksternal, yaitu jaminan yang dibuat oleh perusahaan
kepada para pelanggan eksternalnya, yakni mereka yang membeli
dan menggunakan produk perusahaan. Garansi ini menyangkut
servis yang unggul dan produk yang handal serta berkualitas
tinggi.25
Garansi ini dilakukan tidak lain adalah agar pelaku usaha dapat
bersaing dengan pelaku usaha lainya. Suatu garansi yang baik harus
memenuhi beberapa kriteria, diantaranya meliputi :
Realistis dan dinyatakan secara spesifik, misalnya garansi berlaku
untuk jangka waktu 1 tahun;
Sederhana, Komunikltif, dan mudah dipahami;
mudah diperoleh atau diterima konsumen;
Tidak membebani konsumen deangan syarat-syarat yang
berlebihan;
Terpercaya (credible), baik reputasi perusahaan, yang
memberikan maupun tipe garansi itu sendiri;
Berfokus pada kebutuhan Konsumen;
Sungguh berarti, artinya disertai ganti rugiyang signifikan dan
disesuaikan dengan harga produk yang dibeli, tingkat keseriusan
masalah yang dihadapi, dan persepsi konsumen terhadap apa yang
adil bagi mereka;
memberikan standar kinerja yang jelas.26
25
Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 1997, halaman 42 26
Ibid, halaman 42
29
e) memberi kompensasi ganri rugi,dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diteriam atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.
Pelaku usaha wajib untuk memberikan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi oleh
konsumen menimbulkan kerugian pada diri konsumen.
f) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai
dengan perjanjian.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.27
3. Larangan Bagi Pelaku Usaha
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga memuat larangan bagi para pelaku usaha
yang dimuat dalam BAB IV yang terdiri dalai 10 pasal, yaitu Pasal 8
sampai Pasal 17. Suyadi menjelaskan Larangan tersebut adalah :
a. Memproduksi dan/atau memperdagangkan barng dan/atau jasa,
dengan berbagai macam perincian yang pada pokoknya merugikan
27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.cit, halaman 54
30
konsumen (Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).
b. Menawarkan, mempromosikan, mngakibatkan, suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar (dan/atau seolah-olah), dengan berbagai macam
perincian (Pasal 9 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).
c. Menawarkan, mempromosikan, mengikalankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau mnyesatkan konsumen mengenai
beberapa hal tentang barang dan/atau jasa tersebut (Pasal 10 Undang-
undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
d. Dalam hal penjualan yang dilakukan secara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen, dengan berbagai macam
perincian yang merugikan konsumen (Pasal 11 Undang-undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).
e. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau
diiklankan (Pasal 12 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).
f. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa lain-lain sacara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya
atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan (Pasal 13 ayat (1)
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
g. Menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain (Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.
h. Menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian,
dengan berbagai kriteria yang isinya merugikan konsumen (Pasal 14
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).
i. Menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara
lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen (Pasal 15 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen).
j. Menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan, tetapi tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan. Atau tidak menepati janji atau suatu
31
pelayanan dan/atau prestasi (Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen).
k. Memproduksi iklan bagi pelaku usaha periklanan, dengan beberapa
perincian atau kriteria yang intinya merugikan konsumen (Pasal 17
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen).28
4. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen
Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dengan
konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan kesinambungan.
Hubungan tersebut terjadi karena kedua pihak saling menghendaki dan
mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi antara yang satu dengan
yang lain. Suyadi Menjelaskan:
Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung kepada
konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin
seorang pelaku usaha dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya
konsumen kebutuhanya sangat bergantung dari barang dan/atau jasa
pelaku usaha. Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat
menciptakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan
sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan
yang tidak terputus-putus. Hubungan antara pelaku usaha dan
konsumenyang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi, di
samping pemasaran dan penawaran.29
Hubungan hukum ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai
keadaan antara lain :
1. Kondisi, harga dari suatu jenis komoditas tertentu;
28
Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2007, halaman 33 29
Sri Redjeki, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen Pada Era Perdagangan Bebas
dalam Husni Syawali dan Neni Imayanti, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar
Maju, Bandung, 2000, halaman 36
32
2. Penawaran dan syarat sah perjanjian;
3. Fasilitas yang ada, sebelum dan sesudah penjualan;
4. Kebutuhan para pihak dalam rentang waktu tertentu.30
Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen sangat
sering terjadi hanya sebatas pada kesepakatan lisan mengenai “harga” dan
“barang dan/atau Jasa” tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu
bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.31
Hubungan pelaku usaha dengan konsumen dalam transaksi
perdagangan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH. Perdata
adalah sah dan mengikat bagi pelaku usaha dan konsumen.
Pasal 1320 KUH. Perdata memuat 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan Antara Para Pihak
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara
orang atau lebih dengan pihak lainya. Menurut J. Satrio syarat ini
adalah syarat yang logis karena dalam perjanjian setidaknya ada
dua orang yang mempunyai kehendak yang saling mengisi.
Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk mencapai kata
sepakat, dan untuk dapat saling bertemu, kehendak itu harus
dinyatakan. J.Satrio mengklasifikasikan cara untuk menyatakan
kehendak sebagai berikut :
1). Pernyataan kehendak secara tegas :
a. Dengan tertulis, dapat melalui:
Akta otentik
30
Ibid, halaman 38 31
Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 25
33
Akta dibawah tangan.32
2). Pernyataan kehendak secara diam-diam
Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan,
tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal
1320 KUH. Perdata jo. Pasal 1338 KUH. Perdata, orang
menyimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali ditentukan lain,
undang-undang tidak menentukan cara orang menyatakan
kehendak.33
2. Kecakapan Bertindak Dalam Membuat Perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan
untuk melakukan perbutan hukum. Perbuatan hukum adalah
perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang
yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang
cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut J.
Satrio, kecakapan bertindak merupakan suatu istilah teknik
hukum, bukan sifat pembawaan, karenanya tidak tertutup
kemungkinan bahwa ia tidak sesuai dengan kenyataanya, orang
yang secara yuridis tidak cakap, ada kemungkinan dalam
kenyataanya adalah orang yang tahu/sadar betul akan
akibat/konsekuensi dari tindakanya.
3. Suatu Hal Tertentu/Adanya Objek perjanjian
32
J. Satrio, Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, halaman 183 33
Loc.Cit
34
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi
objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi
kewajiban kreditor. Prestasi ini terdiri atas :
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH.Perdata)
4. Sebab Yang Halal/Adanya Causa Yang Halal
Di dalam Pasal 1337 KUH. Perdata disebutkan causa yang
terlarang yakni apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Peraturan yang berlaku di Indonesia mengenal adanya asas
terbuka yang menimbulkan asas kebebasan berkontrak.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak ini, orang bebas untuk
menutup kontrak perjanjian, mengatur sendiri isi perjanjian yang
akan mengikat perbuatanya. Asas ini dapat disimpulkan dari pasal
1338 ayat (1) KUH.Perdata yang menyebutkan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut juga menimbulkan
asas kekuatan hukum yang mengikat yang berarti kedua pihak
wajib menghormati dan melaksanakan isi perjanjian yang
35
dibuatnya. Apabila salah satu pihak yang tidak menghormati atau
tidak melaksankan is perjanjian, dan akibtanya pihak yang lain
mangalami kerugian dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi
atas dasar wanprestasi. Dalam perdagangan, ada beberapa tahapan
transaksi, antara lain :
1) Tahap Pra Transaksi Konsumen
Dalam tahapan ini, konsumen membutuhkan informasi yang akurat
tentang karakteristik suatu barang dan/atau jasa. Right to be
imformed of consumers memegang peranan penting dan harus
dihormat,baik bagi pelaku usaha maupun konsumen.
2) Tahapan transaksi Konsumen
Konsumen melakukan transaksi dengan pelaku usaha dalam suatu
perjanjian (jual beli, sewa, atau bentuk lainya). Antara kedua belah
pihak beritikad baik sesuai dengan kapasitasnya.
3) Tahap Purna Transaksi Konsumen
Tahap ini dapat disebut dengan tahap purna jual atau after sale
service, dimana penjual menjanjikan beberapa pelayanan cuma-
cuma dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya penjual
menjanjikan garansi atau servis gratis selama periode tertentu.34
Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang
berbentuk perjanjian, mengikat bagi kedua pihak, yang harus
menghormati dan melaksanakan isi dari perjanjian yang dibuatnya.
Apabila salah satu pihak tidak menghormati dan malaksanakan isi dari
perjanjian dan mengakibatkan kerugian pada pihak lain maka ia harus
bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian pada pihak yang
dirugikan akibat dari perbuatanya itu.
34
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2001 halaman 67
36
5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Selain mempunyai hak dan kewajiban, pelaku usaha juga memiliki
tanggung jawab dikarenakan adanya hak dan kewajiban tadi. Tanggung
Jawab tersebut diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Undang-
undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu :
Pasal 19 :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggaltransaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan;
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20 :
“Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di
produksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”
Pasal 21 :
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh
agen atau perwakilan produsen luar negeri.
37
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing
apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22 :
“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan
Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa
menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”
Dalam perlindungan konsumen dikenal adanya prinsip tanggung
jawab yang merupakan hal yang amat penting. Seandainya terjadi
pelanggaran terhadap hak konsumen, perlu adanya kehati-hatian dalam
menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh
tanggung jawab dapat di bebankan kepada pihak yang bersangkutan.
Sidharta dalam bukunya menyebutkan ada 5 macam prinsip tanggung
jawab yang dikenal dalam hukum, yaitu :
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Pada Pokoknya prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru
dapat dimintakan pertanggung jawabanya secara hukum apabila
ada unsur kesalahan yang telah dilakukanya. Dalam hukum
perdata, tepatnya diatur dalam Pasal 1365 KUH. Perdata,
mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok agar seseorang
dapat dimintakan pertanggung jawabanya dengan dasar prinsip ini,
yaitu :
a). adanya kesalahan
b). adanya unsur kesalahan
c). adanya kerugian yang diderita
e). adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan
kerugian.
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab
Berdasarkan prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung
jawab sampai dirinya dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
38
Prinsip ini memuat sistem beban pembuktian terbalik yakni beban
pembuktian ada pada diri si tergugat.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini berlawanan dengan prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab, dan hanya dikenal dalam lingkup transaksi
konsumen yang sangat terbatas.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan
konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha,
khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang
merugikan konsumen.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan
Prinsip ini memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk
mencantumkan kalusula eksonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya. Prinsip ini sangat merugikan konsumen bila diterapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha.35
Sedangkan tanggung jawab pelaku usaha yang diamaksud yang ada di
dalam perlindungan konsumen adalah :
1. Tanggung Jawab Produk (product liability)
Tentang pengertian product liability (tanggung jawab produk) dapat
dikemukan definisi sebagai berikut :
Menurut Hursh :
“ Product liability is the liability of a manufacturer. Processor or non
manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or
third party, caused by product which has benn sold.”
Perkins Coie Menyatakan :
“Product liability: The liability of the manufacturer or others in the chain
of distribution of a product to a person injured by the use of the product.”
Sedangkan dalam Convention on The Law Applicable to product
Liability (The Hague Convention), Article 3, menyatakan :
1. manufacturers of a finished product or of component part;
2. producers of a natural product;
3. suppliers of a product;
4. other person, including repairers, and ware housemen, in the
commercial chain of preparation or distribution of a product.
35
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2003 halaman 78
39
It shall also apply to the liability of the agents or employees of the
persons specified above.
Dengan demikian yang dimaksud dengan product liability adalah
sutau tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan hukum yang
menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang bergerak
dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau dari orang atau
badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut bahkan dilihat
dari konvensi tentang product liability diatas berlakunya konvensi tersebut
di perluas terhadap orang atau badan yang terlibat dalam rangkaian
komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para
pengusaha bengkel dan pergudangan. demikian juga para agen dan pekerja
badan-badan usaha diatas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan
produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugian bagii pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian,
atau harta benda.36
Shidarta menjelaskan dasar gugatan untuk tanggung jawab produk
dapat dilakukan atas landasan adanya :
a. Pelanggaran Jaminan (breach of warranty).
Pelanggran jaminan berkaitan dengan jaminan dari pelaku usaha
bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat;
b. Kelalaian (negiince)
Kelalaian (negiince) mempunyai arti jika si pelaku usaha yang di
gugat gagal menunjukan bahwa ia cukup berhati-hati dalam
membuat, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau
mendistribusikan suatu barang.
c. Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)37
Alasan-alasan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
1. Diantara korban/konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha di
pihak lain, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh
pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang
cacat/berbahaya tersebut di pasaran.
2. Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran,
berarti pelaku usaha menjamin bahwa barang-barang tersebut
36
H.E Saefullah, Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era Perdagangan
Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, halaman 46 37
Shidarta Op.cit, halaman 81
40
aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak
demikian dia harus bertanggung jawab.
3. Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak
pun pelaku usaha yang melakukan kesalahan tersebut dapat
dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen
kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada
distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen.
Penerapan strict liability ini dimaksudkan untuk menghilangkan
proses yang panjang ini38
Dalam hukum tentang product liability pihak korban/konsumen yang
akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukan
3 hal : Pertama, bahwa produk telah cacat pada waktu diserahkan oleh
produsen; kedua, bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut
menyebabkan kerugia/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun juga
diakui secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukan
bahwa pada waktu terjadinya kerugian produk tersebut pada prinsipnya
berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen (artinya
tidak diadakan modifikasi-modifkasi).39
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku strict
liability, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat
membebaskan tanggung jawab pelaku usaha tersebut adalah :
a. Jika pelaku usaha tidak mendengarkan produknya (put into
circulation);
b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat
produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau terjadinya cacat tersebut
baru timbul kemudian;
c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh pelaku usaha baik untuk
dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau
diedarkan dalam rangka bisnis;
d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat kaharusan
memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang
dukeluarkan oleh pemerintah;
e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical
knowledge, state of art defense);
f. Dalam hal pelaku usaha dari sutu komponen, bahwa cacat tersebut
disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen
38
H.E. Saefullah, Op.cit, halaman 54 39
ibid, halaman 57
41
telah dicocokan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang
diberikan oleh pihak pelaku usaha produk tersebut;
g. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak yang ketiga turut
menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory
negligence)
h. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force
majeur40
Salah satu usaha untuk melindungi hak konsumen adalah dengan
menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam
pelaksanaan tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukanya prinsip
tanggung jawab mutlak diharapkan pula para pelaku usaha menyadari
pentingnya untuk menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkanya,
sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar
risiko yang harus ditanggungnya. Para pelaku usaha akan lebih berhati-
hati dalam memproduksi barang sebelum diedarkan di pasaran sehingga
para konsumen, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi mereka.
Demikian juga bila kesadaran para pelaku usaha terhadap tanggung jawab
pelaku usaha tidak ada, dikhawatirakanakan berdampak buruk terhadap
perkembangan industri nasional.41
Namun demikian, dengan diberlakukanya tanggungjawab mutlak
dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak pelaku usaha
tidak mendapat perlindungan. Pihak pelaku usaha masih diberi
kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal-
hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang.
Sidharta menjelaskan bahwa dalam KUH.Perdata, ketentuan tanggung
jawab produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322,
1491, 1504, sampai 1511. Pasal 1504 KUH. Perdata berbunyi,
“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada
barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk
40
ibid, halaman 58 41
Ibid, halaman 59
42
pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu,
ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan
membelinya selain dengan harga yang kurang.”
Undang-undang Perlindungan Konsumen memuat ketentuan
mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai
dengan Pasal 11. Pelanggaran terhadap Pasal-pasal tersebut dikategorikan
tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Rumusan Tanggung Jawab Produk
ini secara lebih tegas dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Profesinal Liability (Tanggung Jawab Profesional)
Tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, sedangkan
Tanggung Jawab Profesional berkaitan dengan jasa.
Yang berlaku bukan lagi prinsip caveat emptor, tetapi caveat venditor
(produsen/penyalur produk (penjual) atau krediturlah yang bertanggung
jawab), yang lazim disebut tanggung jawab produk. Tanggung jawab dari
si produsen dan pihak-pihak yang menyalurkan produknya secara
tanggung renteng seluruhnya bersifat tanggung jawab mutlak (strict
liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan.42
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan
rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang
secara hukum dapat dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh
suatu pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi
pelaku usaha tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini
erat kaitannya dengan konsep product liability (tanggung jawab produk)
yang banyak dianut oleh negara-negara maju.43
42
Shidarta Op.cit halaman 154 43
Gunawan Wiijaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, halaman 59
43
Tanggung Jawab Pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur
dalam BAB VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa :
“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat (2) menyebutkan :
“Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”
Dijelaskan lagi lebih lanjut dalam Pasal 23 bahwa,
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan Pengadilan di tempat
kedudukan Konsumen.”
Ayat (2) menjelaskan :
“Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatanya
berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun,
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen
apabila pelaku usaha tersebut :
a. Tidak mnyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas perbaikan;
b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.
Pelaku usaha tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha itu tidak menyediakan
atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; juga jika
ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan.44
Kewajban pelaku usaha ini merupakan suatu kewajiban yang vital
bagi konsumen, khususnya bagi konsumen barang-barang yang
44
Shidarta Op.cit halaman 156
44
memerlukan suku cadang ketika mengalami kerusakan seperti barang-
barang elektronika.
Pasal-pasal mengenai tanggunjawab diatas dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
a. Bagian pertama dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 UUPK
mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha;
b. Bagian kedua dari Pasal 23 sampai dengan Pasal 26 UUPK mengatur
mengenai konsumen yang menuntut ganti rugi dan mengajukan
gugatan kepada pelaku usaha yang menyebabkan kerugian pada
dirinya;
c. Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus
Pidana diatur dalam Pasal 22 UUPK dan pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi diatur dalam Pasal
28 UUPK.
d. Pembebasan tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 27
UUPK.45
Permasalahan yang timbul antara pelaku usaha dengan konsumen
pada mulanya terjadi melalui suatu perikatan baik karena perjanjian
maupun karena undang-undang. Karenanya kedua belah pihak harus
melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya perikatan
tersebut sehingga apabila ada salah satu pihak yang tidak melaksanakan
hak dan kewajibanya, ia melakukan suatu perbuatan cidera janji
(wanprestasi). Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi
berdasarkan adanya wanprestasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan
kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
45
Suyadi, Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2007, halaman 43
45
antara kreditur dengan debitur. Ada empat akibat adanya wanprestasi,
yaitu :
a. Perikatan tetap ada, Kreditur dapat menuntut kepada debitur
pelaksana prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi.
Disamping itu, kreditur berhak untuk menuntut ganti rugi akibat
keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan
kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur
malaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti kerugian kepada kreditor (Pasal
1243 KUH.Perdata).
c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu
timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan
atau kesalahaan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu,
debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan
memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibanya memberikan kontra prestasi
dengan menggunkan Pasal 1266 KUH.Perdata.46
Kreditur dapat menunutut kepada debitur yang telah melakukan
wanprestasi, hal-hal sebagai berikut :
a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur .
b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada
debitur (Pasal 1267 KUH.Perdata).
c. Kreditur dapat menuntut dan dan meminta ganti rugi, hanya
mungkin kerugian karena keterlambatan.
d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian
e. kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada
debitur. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.47
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian
yang telah dibuat antara kreditor dengan debitor.
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor lain
adalah:
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-
biaya dan kerugian;
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246
KUH.Perdata), ini ditujukan kepad bunga-bunga.
46
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW), Sinar Grafika, jakarta , 2002,
halaman 180 47
Ibid halaman 181
46
Yang diartikan dengan biaya-biaya (ongkos-ongkos), adalah ongkos
yang telah dikeluarkan kreditor untuk mengurus objek perjanjian.
Kerugian adalah berkurangya harta kekayaan yang disebabkan adanya
kerusakan atau kerugian, sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang
akan dinikmati kreditor. Penggantian biaya-biaya, kerugian, dan bunga itu
harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada
saat sebelum terjadinya perjanjian.48
D. ATPM ( Agen Tunggal Pemegang Merek )
1. Sejarah Dan Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
a. Sejarah ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
Kebutuhan akan adanya perusahaan yang dapat menjadi perantara
guna memperluas jaringan pemasaran barang-barang dan jasa dari
produsen ke konsumen menyebabkan akan adanya perusahaan keagenan
di Indonesia. Sementara itu dalam sisitem hukum Indonesia, terutama
dalam hukum perdata dan hukum dagang tidak ditemukan ketentuan
tentang keagenan. Sudah barang tentu dengan tingkat populasi
kepadatan penduduk yang sedemikan banyak merupakan potensi pasar
yang luar biasa. Negara-negara produsen sudah barang tentu memilki
kepentingan tersendiri agar supaya produk-produk mereka dapat terjual
di pasaran.
Pemerintah menyikapi Perkembangan dalam dinia usahadan oleh
karenanya dalam rangka berusaha untuk membina dan mengembangkan
industri, dapalam perkembangannya terdapat beberapa ketentuan
48
Ibid halaman 182
47
pelaksanaan yang mengatur tentang keagenan telah dikeluarkan yang
antara lain adalah Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga
Usaha Perdagangan (Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian
diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/Kep/I/1998 tentang
Lembaga-Lembaga Perdagangan.49
Sebagaimana disampaikan dalam laporan Pengkajian tentang
Beberapa Aspek Hukum Perjanjian Keagenan dan Distribusi yang
disusun oleh Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman tahun 1992/1993 berikut adalah hasil penelitiannya,
dimana agen dalam melakukan perbutan hukum dengan pihak ketiga,
kedudukanya adalah merupakan kuasa prinsipal.
Agen bukan karyawan prinsipal. Perbuatan-perbuatan hukum
yang berkaitan dengan transaksi perdgangan yang harus dilakukan
oleh agen untuk prinsipalnya diatur dalam perjanjian agenan yang
dibuat antara agen dan prinsipalnya. Biasanya agen diberi kuasa dan
wewenang untuk melakukan penjualan dan promosi barang-barang
prinsipal. Sehubungan agen dalam kegiatannya bertindak mewakili
prinsipalnya berdasarkan pemberian kuasa maka hubungan hukum
antara agen dengan prinsipalnya, sifatnya, tidak seperti hubungan
hukum antara agen dengan prinsipalnya. sifatnya tidak seperti
hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian
perburuhan yang paling penting adalah penyediaan tenaga kerja
semata-mata dengan memperoleh upah, disamping itu terdapat
kedudukan lebih rendah daripada majikan, dimana hal demikian
tidak dijumpai pada hubungan anatara agen dengan prinsipal.
disinilah prinsipal ini memberikan kesan seolah-olah pengusaha atau
perushaan diluar negeri adalah majikan ataua atasan dari agen di
Indonesia. Padahal sebenarnya agen (di Indonesia) bukanlah
49
Felix Ountoeng Soebagioe, Beberapa aspek Dari Perjanjian Keagenan Dan distributor.
Majalh Hukum Dan Pembangunan tahun ke 27 no. 3 Juli-september 1997. Jakarta, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
48
bawahan dari principal itu. Padahal sebenarnya agen dan prinsipal
adalah pada posisi yang setingkat.50
Agen Bertindak melakukan perbuatan hukum misalnya menjual
barang dan/atau jasa tidak atas namanya sendiri tetapi atas nama
prinsipal. Agen dalam hal ini berkedudukan sebagai perantara. Jika agen
mengadakan transaksi dengan konsumen/pihak ketiga maka barang
dikirimkan langsung dari prinsipal kepada konsumen. Pembayaran atas
barang yang telah diterima oleh konsumen secara langsung kepada
principal bukan melalui agen, sedangkan pembayaran kepada agen
berupa komisi dari hasil penjualannya. Hak-hak dan kewajiban para
pihak dituangkan dalam perjanjian kegaenan yang dibuat berdasarkan
asas kebebasan berkontrak sehingga jika dilihat maka hubungan yang
terjadi antara agen dengan prinsipalnya adalah tunduk pada perjanjian
pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam ketentuana Pasal 1792
KUH.Perdata
Selanjutnya Kepmen No.23/1998 memberikan pengklasifikasian
lembaga keagenan dan distributor sesuaai dengan Perkembangan dan
praktek dilapangan menjadi sebagai berikut:
50 Laporan Pengkajian tentang Beberapa Aspek Hukum Perjaniian Keagenan dan Distribusi
yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tahun 1992/)
1993. hal.10.
49
a. Agen tunggal pemegang merek (ATPM) termasuk agen
pemegang lisensi perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk
dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk
melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut;
b. Agen, adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai
perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya
untuk melakukan pembelian penjualan/pemasaran tanpa melakukan
pemindahan fisik barang;
c. Agen pabrik (manufactures agent), adalah agen yang
melakukan kegiatan penjualan untuk dan atas nama
kepentingan pabrik yang menunjuknya tanpa melakukan
pemindahan fisik barang;
d. Agen penjualan (sales agent), adalah agen yang melakukan
penjualan atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang
menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang;
e. Agen pembelian (purchasing agent), adalah agen yang melakukan
pembelian atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang
menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang;
f. Agen penjualan pemegang merek (APPM), adalah agen yang
melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan agen
tunggal pemegang merek (ATPM) yang menunjuknya.
50
g. Distributor utama (main distributor), adalah perorangan atau badan
usaha yang bertindak atas namanya sendiri yang ditunjuk oleh
pabrik atau pemasok untuk melakukan pembelian dan
penyimpanan. Penjualan serta pemasaran barang dalam partai besar
secara tidak langsung kepada konsumen akhir terhadap barang yang
dimiliki/dikuasai oleh pihak lain yang menunjuknya.
h. Sub distributor, adalah perorangan atau badan usaha yang
ditunjuk oleh distributor utama atau grosir yang bertindak atas namanya
sendiri untuk melakukan kegiatan penjualan barang dalam partal
besar sampai pada pengecer.
b. Pengertian ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama
distributor adalah berbeda. Namun dalam praktek bisnis sehari-hari
keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai
agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila
seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk
dan atas nama dirinya sendiri.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu
hubungan hukum dimana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak
untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan bisnis
51
dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat dikatakan adanya
suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dipunyai oleh agen tadi
yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang
dilakukan seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam batas-
batas wewenang yang diberikan kepadanya. dengan perkataan lain, bila
seseorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya, maka
agen itu sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya
tadi.51
Agen dan distributor sebenarnya merupakan dua terminologi yang
berbeda dan mempunyai konotasi yang berbeda pula. Namun agen dan
distributor mempunyai fungsi dan manfaat yang hampir sama yaitu
memberikan jasa perantara dari prinsipal atau petunjuk kepada
konsumen di wilayah pemasaran tertentu. Jika diperhatikan lebih
mendalam, maka akan terlihat perbedaan yang spesifik antara agen
dan distributor, yaitu:
1) Agen
a. Pihak yang menjual barang atau jasa untuk dan atas
nama prinsipal;
b. Pendapatan yang diterimanya berupa komisi
51
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT. Rieneka Cipta, Jakarta,
1996. halaman 68
52
berdasarkan jumlah barang atau jasa yang dijualnya kepada
konsumen;
c. Barang dikirimkan langsung dari prinsipal ke
konsumen jika antara agen dengan konsumen
mencapai suatu persetujuan;
d. Pembayaran atas barang yang telah diterima konsumen
langsung kepada prinsipal bukan melalui agen.
2) Distributor
a. Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya
sendiri;
b. Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada
konsumen untuk kepentingannya sendiri;
c. Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari
produk-produknya;
d. Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang-
barangnya untuk kepentingan sendiri.
2. Dasar Hukum Adanya ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
Adapun yang menjdi dasar hukum adanya Agen Tunggal Pemegang
Merek adalah sebagai berikut :
53
a. Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor dengan
prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak
tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan
kepentingan para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan
hukum dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata;52
b. Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 77/KP/III/78, tanggal 9
Maret 1978 yang mengatur mengenai jangka waktu perjanjian bagi
agen/distributor perusahaan asing;
c. Keputusan Menperin Nomor 295/M/SK/7/1982 tanggal 7 Juli 1982,
tentang Ketentuan-ketentuan Keagenan Tunggal;
d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan
pembentukan organisasi perdagangan dunia. Yang didalamnya
memuat rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara
anggota WTO, dalam merumuskan kebijakan perdagangan
internasional. Jadi berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa
dasar hukum untuk Agen tunggal Pemegang Merek apabila
melakukan kegiatan usaha berupa impor maka harus mengikuti
peraturan yang berdasarkan konvensi-konvesi internasional mengenai
ekspor dan impor;
e. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha
52
Richard Burton Simatupang, Ibid, halaman 69
54
Perdagangan sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan
Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan;
f. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni
1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor.
g. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
3. Hak Dan Kewajiban Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM)
Hak dan kewajiban ATPM selain berdasarakan pada perjanjian atau
yamg dilakukan dengan prinsipal maupun dengan konsumen, terdapat juga
hak dan kewajiban bagi ATPM yang berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Pertama adalah bahwa ATPM adalah termasuk ke dalam pelaku usaha
maka hak dan keawajiban bagi pelaku usaha yang ada di dalam UUPK
adalah berlaku yaitu Pasal 6 dan 7 yaitu :
Pasal 6 UUPK :
Hak pelaku usaha adalah:
1) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
55
2) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
3) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
5) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Pasal 7 UUPK :
Kewajiban pelaku usaha adalah:
1) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barangdan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
5) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
7) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
b. hak dan kewajiban lainnya adalah dalam melakukan kegiatan usahanya
adalah harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang mengatur mengenai keberadaan ATPM tersebut.
56
E. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )
1. Pengertian Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )
Lembaga distributor ini adalah salah satu lembaga dalam perjanjian
keagenan. Lembaga distributor ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian antara
agen tunggal itu tidak merangkap sebagai distributor, dan sebagai agen tunggal
suatu perusahaan dapat menunjuk suatu perusahaan lain sebagai distributor bagi
barang-barang yang didatangkan oleh agen tunggal.
Importir Umum dalam hal ini dapat dikatakan sebagai distributor, karena
dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang dan/atau jasa
kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan konsumennya
yang berada di dalam negeri.
Lembaga distributor dalam hal ini adalah agen tidak resmi yang dalam
perkembangannya bukan merupakan suatu hal yang baru. Namun demikian,
seiring dengan berkembangnya praktek-praktek dunia usaha baik dalam sakala
domestic maupun internasional, sedikit banyak memberikan suatu pengaruh
terhadap bagaimana lembaga distributor dimaksud dalam menjalankan praktek
usahanya. tidak jarang lembaga usahanya adalah distributor tetapi justru pada
prakteknya merupakan lembaga subdistributor atau bahkan pada prakteknya
57
lembaga-lembaga distributor ini melakukan parktek-praktek layaknya retailer
(pedagang eceran). Secara umum memang para pelaku usaha yang kreatif adalah
mereka-mereka yang dapat mempertahankan kinerja usaha perushaannya untuk
kurun waktu lama. Eksistensi lembaga ini ada karena tuntutan ekonomi yang
kerangkanya adalah bagaimana mempercepat produk-produk dapat sampai ke
tangan penggunanya.
Faktor kelangsungan usaha merupakan kunci penting dari sebuah
perusahaan. Sedangkan, bagaimana untuk menciptakan kelangsungan
usaha tersebut juga merupakan hal lain yang terintegrasi dengan
kreatifitas untuk memenuhi keinginan pasar. Sudah merupakan suatu
tolok ukur sederhana bahwa tidak ada pasar yang memiliki loyalitas mutlak
terhadap suatu produk dan jasa, melainkan bagaimana produk dan jasa
dapat memenuhi kepuasan pasar dengan berbagai insentif yang diberikan
oleh karenanya akan diburu oleh pasar. Sifat pasar yang sedemikian rupa
menjadikan para pedagang besar ataupun para distributor dituntut untuk
senantiasa kreatif dalam mempertahankan bisnisnya.
2. Dasar Hukum Adanya Importir Umum (Agen Tidak Resmi)
Khusus tentang distributor termasuk dalam hal ini adalah importir
umum sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1319 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata distributor dapat dikategorikan dalam ketentuan-
58
ketentuan mengenai perjanjian tidak bernama (innominaat). Dalam
KUHPerdata mempunyai beberapa ketentuan yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian bernama yang dinyatakan dalam Pasal 1338
KUHPerdata bahwa:
“Semua perikatan yang dibuat sesuai dengan undang-undang maka berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatanya”
Perikatan yang sesuai dengan undang-undang itu diantaranya, adalah:
1. Jual beli menurut KUH.Perdata adalah suatu perjanjian
bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji
untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak
yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang
terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak
milik tersebut (Pasal 1457-1540 BW.);
2. Tukar menukar adalah suatu perjanjian dengan nama kedua belah
pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang
secara bertimbal-balik sebagai gantinya suatu barang lain Pasal
1541-1546 BW;
3. Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang
lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu
tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang
tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya (Pasal 1547-1600
KUH.Perdata), dan
4. Persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan (Pasal1 601-
1617 KUH.Perdata).53
Distributor dalam dunia perdagangan mempunyai peranan yang
hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk
memudahkan penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Namun
demikian pada kurun waktu sebelum tahun 1990 distributor cenderung
53
Ibid
59
kurang diperhatikan perkembangannya dari segi hukum, hal ini
berbeda dengan lembaga keagenan yang oleh pemerintah Republik
Indonesia dalam hal ini melalui Departemen Perdagangan dan
Perindustrian, telah dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk
lembaga pengakuan agen tunggal, dimana disyaratkan bagi perusahaan
asing yang akan memasarkan barang-barang produksinya di Indonesia,
harus menunjuk satu perusahaan nasional yang akan merupakan agen
tunggalnya, dan sekaligus sebagai pemegang merek (agen tunggal
pemegang merek) dari barang-barang tersebut.
Secara khusus Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang
distributor belum ada, jadi ketentuan-ketentuan yang berlaku
adalah ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh beberapa
departemen teknis misalnya, Departemen Perdagangan dan
Perindustrian yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan
Nomor 77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978, yang menentukan bahwa
lamanya perjanjian harus dilakukan. Sampai dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan
(Kepmen No.23/1998) sebagaimana kemudian diubah dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri No.I59/MPP/Kep/4/I998 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
60
No.23/MPP/Kep/3/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan. Selain
itu para pihak dalam membuat perjanjian keagenan dan/atau distributor
biasanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang
diatur oleh Pasal 1338 KUHPerdata.
Adapun hal yang melatarbelakangi dibuatnya suatu standar kontrak
adalah untuk mempermudah perusahaan prinsipal dalam menjalankan
usahanya, yang dalam lingkup usahanya perusahaan prinsipal telah
mempersiapkan jaringan distribusi produknya tidak secara ekslusif
dipegang oleh 1 (satu) distributor dan hanya pada 1 (satu) negara,
melainkan Iebih dari itu. Oleh karenanya untuk mernpermudah
aspek pemahaman transaksi, pola administrasi dan permasalahan
lainnya, maka perusahaan prinsipal cenderung menjalankan pola
pemberlakuan standar kontrak baku tersebut.
Sebagai penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan,
distributor memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai
pihak, terutama dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan
khususnya produsen. Jika pengecer-pengecer dapat dimasukkan pula
sebagai distributor, maka kedudukan distributor berada di tengah-tengah
antara produsen dan konsumen. Tetapi secara umum, distributor
cenderung senantiasa dikaitkan dengan konsep wholesaler (pedagang
besar), karena itu, tidak berhubungan dengan konsurnen secara langsung.54
Adapun yang menjadi dasar hukum distributor dalam hal ini adalah agen
tidak resmi untuk melakukan penyaluran barang dan/atau jasa yang dalam
penelitian dibatasi mengenai pengadaan barang impor berupa produk otomotif,
54
P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5
61
dasar hukumnya adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan persetujuan
pembentukan organisasi perdagangan Dunia. Yang didalamnya memuat
rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO,
dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional. Jadi
berdasarkan undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk
importir umum juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai
ekspor dan impor.
b. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor : 23/MPP/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha
Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir,
yaitu :
“ Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan
perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar
negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
c. Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan Nomor
290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai pengimporan
kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakuakan oleh Importir
umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu :
1) Memiliki VIN (Vehicle Identification Number) dari
produsen/supplier/dealer;
2) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat;
62
3) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka;
4) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang
berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual;
5) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan
satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut.
d. Keputusan Menperindag Nomor 275/MPP Kep/6/1999 tanggal 24 Juni
1999 tentang Industri Kendaraan Bermotor.
e. Keputusan Menperindag Nomor 49/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari
2000 tentang Persyaratan Impor Kendaraan Bermotor dalam Keadaan
Utuh (CBU).
f. Keputusan Menperindag Nomor 50/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari
2000 tentang Perubahan Keputusan Menperindag Nomor
230/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Barang yang Diatur
Tata Niaga Impornya Sebagaimana Telah Diubah Beberapa Kali Terakhir
dengan Keputusan Menperindag Nomor 290/MPP/Kep/6/1999.
g. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 015/SK/DJILMEA/X/2001
tanggal 26 Oktober 2001 tentang Pedoman Teknis Pendaftaran Tipe dan
Varian Kendaraan Bermotor.
h. Keputusan Direktur Jenderal ILMEA Nomor 017/SK/DJILMEA/XI/2001
tanggal 9 Nopember 2001 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
63
Kode Perusahaan Dalam Rangka Penerapan Nomor Identifikasi
Kendaraan Bermotor (NIK).
3. Hak Dan Kewajiban Importir Umum (Agen Tidak resmi)
Sama halnya dengan ATPM importir umum juga memiliki hak dan
kewajiban yang ada didalam peraturan perundang-undangan maupun hak dan
kewajiban yang timbul bukan karena peraturan perundang-undangan. Hak dan
kewajiban tersebut adalah sebagai berikut :
a. kewajiban yang diatur dalam UUPK. yaitu dalam pasal 21
yaitu:
Pasal 21:
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen
atau perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau
perwakilan penyedia jasa asing.
b. Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
28/KP/I/1982 yang telahbeberapa kali diubah dan ditambah, dan terakhir
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
229/MPP/Kep/7/1997 tanggal 4 Juli 1997 tentang Ketentuan Umum di
Bidang Impor, yang di dalamnya meliputi:
1. Impor hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan yang telah memiliki
API;
64
2. Barang impor harus dalam keadaan baru;
3. Pengecualian:
a. Barang Pindahan, Barang Impor Sementara, Barang Kiriman,
Barang Contoh Tidak Diperdagangkan, Hadiah, Barang
Perwakilan Negara Asing dan Barang Untuk Badan
Internasional/Pejabatnya Bertugas di Indonesia;
b. Kapal Pesiar dan kapal Ikan, atau Ditetapkan Lain Oleh Menteri
Perdagangan;
c. Barang Tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
65
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.55
Dengan pendekatan
Perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach)
maksudnya adalah membandingkan peraturan hukum yang berlaku dengan peristiwa
yang terjadi.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah inventarisasi hukum, maksudnya adalah
mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peristiwa
hukum yang terjadi yang merupakan masalah dalam penelitian ini yang kemudian
mengklasifikasinya dan di analisis. Spesifikasi yang berikutnya adalah penemuan
hukum Inconcreto maksudnya adalah manganalisis peraturan hukum yang berlaku
(abstrak) yang dianalisis terhadap peristiwa hukum yang terjadi (konkrit) yang
kemudian akan ditemukan kesinkronisasianya.
3. Lokasi Penelitian
55
Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,, Bayu Media,
Malang, hal 295.
66
Lokasi penelitian ini adalah dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Perpustakaan UNSOED, Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum UNSOED dan
media internet maupun media massa lainya yang membahas peristiwa hukum yang
menjadi masalah dalam penelitian ini.
4. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Menurut Soerjono Soekanto dan
Sri Mamudji, data sekunder dapat berupa bahan-bahan hukum sebagai berikut:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan mengikat seperti
norma dasar, peraturan perundang-undangan atau keputusan pengadilan.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan isinya tidak mengikat. Bahan hukum sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini berupa literatur atau pustaka.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang sifatnya melengkapi kedua
bahan hukum tersebut diatas.56
56
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, CV Rajawali,
Jakarta, halaman 14
67
5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode dalam pengumpulan bahan hukum untuk penelitan ini adalah melalui
metode kepustakaan atau metode dokumenter terhadap bahan hukum primer,
sekunder maupun tersier yang berhubungan dengan obyek yang akan diteliti,
kemudian kemudian di hubungkan bahan hukum satu dengan yang lainya sesuai
dengan pokok permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan utuh (comprehensive),
all inclusive, dan sistematik.
6. Metode Penyajian Bahan Hukum
Penyajian data dalam penelitian ini adalah dengan cara penyajian data
dilakukan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.
7. Metode Analisis
Metode analisis dalam peneltian ini adalah dengan cara menggunakan
metode-metode interpretasi yang ada dalam ilmu hukum, yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain yang pertama adalah metode interpretasi Teleologis yaitu
untuk mengetahui bagaimana suatu peraturan hukum berlaku dan untuk siapa
peraturan hukum tersebut berlaku. Kemudian yang kedua adalah metode interpretasi
sistematis yaitu untuk mengetahui saling keterkaitannya antara suatu peratuan hukum
yang berkaitan dengan obyek penelitian.57
57
Loc.cit.
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian studi pustaka yang penulis lakukan, diperoleh data
sebagai berikut :
1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, bahwa Tanggung Jawab Pelaku Usaha yaitu :
Pasal 19 :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggaltransaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku
apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20 :
“Pelaku Usaha Periklanan bertanggung jawab atas iklan yang di produksi
dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut”
69
Pasal 21 :
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang
diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau
perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan
penyedia jasa asing.
Pasal 22 :
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup
kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
Berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen diatas, Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam
Perlindungan Konsumen adalah Tanggung Jawab Produk, dan Tanggung Jawab
Profesional, yang keduanya termasuk kedalam Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan
Unsur kesalahan dan Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan.
2. ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Toyota Di Indonesia
PT. Toyota-Astra Motor atau biasa disingkat dengan TAM merupakan Agen
Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Mobil Toyota dan Lexus di Indonesia. TAM
merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International Tbk. dengan
persentase saham 51% dan Toyota Motor Corporation yang disingkat dengan nama
TMC Jepang dengan persentase saham 49 %. PT Toyota-Astra Motor diresmikan
pada tanggal 12 April 1971, peranan TAM semula hanya sebagai importir kendaraan
70
Toyota, namun setahun kemudian sudah berfungsi sebagai distributor. Pada tanggal
31 Desember 1989, TAM melakukan merger bersama tiga perusahaan yaitu :
a. PT. Multi Astra (pabrik perakitan, didirikan tahun 1973)
b. PT. Toyota Mobilindo (pabrik komponen bodi, didirikan tahun 1976)
c. PT. Toyota Engine Indonesia (pabrik mesin, didirikan tahun 1982)
Gabungan semuanya diberi nama PT. Toyota-Astra Motor. Merger ini
dilakukan guna menyatukan langkah dan efisiensi dalam menjawab tuntutan akan
kualitas serta menghadapi ketatnya persaingan di dunia otomotif.
Selama lebih dari 30 tahun, PT. Toyota-Astra Motor telah memainkan
peranan penting dalam pengembangan industri otomotif di Indonesia serta membuka
lapangan pekerjaan termasuk dalam industri pendukungnya. PT. Toyota-Astra Motor
telah memiliki pabrik produksi seperti stamping, casting, engine dan assembly di area
industri Sunter Jakarta. Tahun 1998 untuk meningkatkan kualitas produk dan
kemampuan produksi, diresmikan pabrik di Karawang yang menggunakan teknologi
terbaru di Indonesia.
Sejak tanggal 15 Juli 2003, TAM direstrukturisasi menjadi 2
perusahaan,yaitu :
a. PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia disingkat TMMIN yang
merupakan perakit produk Toyota dan eksportir kendaraan dan suku
cadang Toyota. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan ini adalah
Astra International 5 % dan TMC. menjadi 95%;
71
b. PT. Toyota-Astra Motor sebagai agen penjualan, importir dan distributor
produk Toyota di Indonesia. Komposisi kepemilikan saham di perusahaan
ini adalah Astra International 51 % sedangkan TMC. 49%.
Sektor pendukung penjualan dan layanan purna jual, TAM dibantu oleh 5
Dealer Utama yang membawahi dealer-dealer yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hingga bulan Desember 2005 telah terdapat 181 outlet dan 101 bengkel resmi.
Berikut ini kelima Dealer Utama yang dibagi berdasarkan wilayah geografisnya :
a. Auto 2000 merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur,Nusa Tenggara Timur,Bali,Kalimantan serta sebagian
Sumatera;
b. PT. New Ratna Motor merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Jawa
Tengah dan Yogyakarta;
c. NV Hadji Kalla Trd. Co. merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara;
d. PT. Hasjrat Abadi merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Ternate dan Papua;
e. PT. Agung Automall merupakan Dealer Utama Toyota di wilayah Bali,
Riau,Jambi, Bengkulu dan Batam.
Produk yang sedang dan pernah dijual oleh TAM di Indonesia yaitu :
- Sedan : Starlet, Yaris, Soluna, Vios, Corona, Corolla, Camry, Cressida,
Crown.
72
- Kendaraan Penumpang jenis SUV dan MPV : Fortuner, Kijang Innova,
Kijang, Avanza, Hiace, Toyota Land Cruiser, Previa.
- Truk dan kendaraan Niaga : Dyna, Hilux, Kijang Pick up.
Struktur dari perusahaan ini yaitu:
- Presiden Direktur : Johnny Darmawan Danusasmita.
- Wakil Presiden Direktur : Sam Budiman.
- Direktur : Benny Redjo, Daisuke Yanagawa, Joko Trisanyoto, dan
Hiroyuki Hirakawa.
Sebagai ATPM merek Toyota di Indonesia, PT. Toyota Astra Motor memilki
hak dan kewajiban sesuai dengan prinsipalnya, kemudian juga memiliki hak dan
kewajiban sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia termasuk tunduk
kepada peraturan yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dan terhadap peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia.
3. Importir Umum ( Agen Tidak Resmi )
Importir umum dalam hal ini agen tidak resmi dapat dikatakan sebagai
distributor, karena dalam menjalankan usahanya hanyalah menyampaikan barang
dan/atau jasa kepada konsumen dari produsen yang berada di luar negeri dan
konsumennya yang berada di dalam negeri. Dalam penelitian ini adalah Importir
73
umum dari Mobil dengan Merek Toyota RAV4. Sebagaimana menurut P. Susilo
dalam bukunya Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor yaitu :
Sebagai Penyalur barang dan jasa dalam sistem perdagangan, distributor
memiliki berbagai macam hubungan kerja dengan berbagai pihak, terutama
dengan mitra kerja utamanya, pengecer (retailer) dan khususnya produsen.
Jika pengecer-pengecer dapat dimasukan pula sebagai distributor, maka
kedudukan distributor berada di tengah-tengah antara produsen dan
konsumen. tetapi secara umum distributor cenderung senantiasa dikaitkan
dengan konsep wholesaler (pedagang besar), karena itu, tidak
berhubungan dengan konsumen secara langsung. 58
Importir Umum Agen tidak resmi dalam dunia perdagangan mempunyai
peranan yang hampir sama dengan lembaga keagenan yaitu sebagai perantara untuk
memudahkan penyampaian barang dari produsen luar negeri langsung kepada
konsumen dalam negeri.
4. Norma-Norma Yang Mengatur Mengenai ATPM (Agen Tunggal Pemegang
Merek) Dan Importir Umum
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka diperoleh data
sebagai berikut :
a. Pasal 1 angka (3) Undang-Undang no.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang dimaksud pelaku usaha adalah:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
58
P.Susilo, Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor. 2002 hal. 5
74
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Berdasarkan pada pasal 1 angka (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tersebut bahwa ATPM (Agen Tunggal Pemegang
Merek) dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum adalah merupakan
pelaku usaha yang mempunyai hak dan kewajiban, dan tanggung jawab, serta
mematuhi larangan sesuai dengan peraturan yang ada dalam Undang-Undang no.8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan
sebagaimana kemudian diubah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri
No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri
Perindustrian dan perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang
Lembaga-Lembaga Perdagangan menjelaskan bahwa Agen tunggal
pemegang merek (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi
perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama
pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan
dalam partai besar barang dari pihak tersebut. PT. Toyota Astra
Motor adalah termasuk kedalam ATPM (Agen Tunggal Pemegang
Merek).
75
c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan
pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang didalamnya memuat
rambu-rambu yang wajib dipatuhi oleh setiap Negara anggota WTO,
dalam merumuskan kebijakan perdagangan internasional. Berdasarkan
undang-undang tersebut diatas bahwa dasar hukum untuk importir umum
juga termasuk konvensi-konvesi internasional mengenai ekspor dan
impor. Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor : 23/MPP/Kep/1998 tentang Lembaga-Lembaga Usaha
Perdagangan. yang dalam Pasal 1 angka (5) mendefinisikan Importir,
yaitu :
“Importir, adalah perorangan atau badan usaha yang melakukan
perdagangan dengan cara memasukan barang dan/atau jasa dari luar
negeri ke wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Peraturan hukum lainya adalah Keputusan Menteri perindustrian dan
Perdagangan Nomor 290/MPP/Kep/6/1999 yang yang menjelaskan mengenai
pengimporan kendaraan secara utuh atau Built Up/CBU dapat dilakukan oleh Importir
umum. Pasal 11 menyebutkan persyaratanya yaitu :
a) Memiliki VIN (Vehicle Identification Number) dari
produsen/supplier/dealer;
b) Melampirkan sertifikat uji tipe dari negara asal pembuat;
c) Memiliki Tanda Pendaftaran Tipe (TPT) yang diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka;
76
d) Importir memiliki surat jaminan yang dibuat di hadapan notaris yang
berkaitan dengan mutu dan layanan purna jual;
e) Tanda Pendaftaran Tipe hanya diterbitkan satu kali untuk satu tipe dan
satu importir, berlaku seterusnya untuk tipe tersebut.
Berdasarkan peraturan-peraturan hukum tersebut maka adalah sah apabila
seseorang atau badan usaha melakukan impor kendaraan secara utuh asalkan
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan perturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Hak dan kewajiban Konsumen ATPM Dan Importir Umum
Hak dan kewajiban konsumen baik konsumen dari ATPM maupun konsumen
Importir Umum adalah sama yaitu diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, yaitu :
Pasal 4, Hak Konsumen adalah :
a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan /atau jasa;
b) hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d) hak untuk di dengar pendapat dan keluhanya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan atau jasa yang diteriama tidaksesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainya.
77
Pasal 5, kewajiban Konsumen adalah :
a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen tersebut diatas bahwa para pemilik kendaraan dengan merek Toyota RAV
4 adalah konsumen yang memilki hak dan kewajiban sesuai dengan yang undang-
undang tersebut.
B. PEMBAHASAN
Pasal 1 angaka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memuat pengertian mengenai pelaku usaha, yaitu :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelengarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Berdasarkan pendapat AZ. Nasution, kelompok penyedia barang /
penyelenggara jasa pada umumnya terdiri dan berlaku sebagai pihak :
a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa
(investor);
b. Penghasil atau pembuat barang atau jasa (produsen);
c. Penyalur barang atau jasa (distributor).59
59
Az Nasution, op. cit, halaman 20
78
Brotosusilo memberi batasan pengertian mengenai produsen, sebagai
berikut :
1. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang
manufaktur. Mereka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang
timbul dari barang yang mereka edarkan ke masyarakat, termasuk bila
keruian timbul akibat cacatnya barang yang merupakan komponen
dalam proses produksinya;
2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;
3. Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-
tanda lainpada produk menampakan dirinya sebagai produsen dari
suatu barang.60
Berdasarkan data penelitian no. 2 dan 3 tentang PT. Toyota Astra Motor
selaku ATPM merek Toyota dan Importir Umum selaku distributor mobil Toyota
RAV 4, apabila dikaitkan dengan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan pendapat AZ. Nasution, maka dapat
dideskripsikan bahwa ATPM dan Importir Umum tersebut adalah sebagai pelaku
usaha mengingat ATPM dan importir umum tersebut adalah badan usaha yang
didirikan dan berkedudukan serta melakukan kegiatan ekonomi dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia.
Shidarta menjelaskan bahwa dalam KUHPerdata, ketentuan tanggung jawab
produk ada dalam Pasal 1504, yang berkaitan dengan Pasal 1322, 1491, 1504, sampai
1511. Pasal 1504 KUHPerdata menyebutkan :
“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada
barang yang dijual, yang membuat barang itu tidak sanggup untuk
60
Agus Brotossusilo, makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam
sistem Hukum Di Indonesi. Dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas
Hukum, Editor Yusuf Sofie. Jakarta : YLKI-USAID. 1998.Hal 46.
79
pemakaian itu sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia
sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya
selain dengan harga yang kurang.”
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat
ketentuan mengenai Tanggung Jawab Produk yaitu mulai dari Pasal 7 sampai dengan
Pasal 11 yaitu pada pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 7 yang memuat tentang kewajiban pelaku usaha, yaitu
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasaserta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Pasal 8
1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
80
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar atas barang dimaksud.
3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Pasal 9
1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
81
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-
ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merencahkan barang dan/atau jasa
lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak
keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau
jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan;
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat ersembunyi;
82
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah
cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan
obral.
Pertanggung jawaban produk bermerek Toyota RAV 4 yang memiliki cacat
tersembunyi yaitu pada sistem gas dan pengeremannya, produk ini diimpor oleh
Importir umum tetapi adanya cacat tersenbunyi pihak importir umum tidak dapat
memberikan ganti rugi yang berkaitan dengan penyediaan spareparts, dan melakukan
recall atau penarikan kembali karena pihak importir umum hanya bertindak sebagai
distributor dari prinsipal bukanlah sebagai agen resmi, sedangkan menurut Undang-
Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan KUH Perdata
Importir umum dalam hal ini bertindak sebagai Pelaku Usaha seharusnya dapat
melakukan pertanggung jawabanya terhadap konsumen Toyota RAV 4 tersebut.
Pihak Importir Umum dalam hal ini tidak dapat melakukan tindakan
pertanggung jawabanya untuk melakukan perbaikan terhadap cacat tersembunyi
ataupun pemberian pelayanan purna jualnya dan penarikan kembali atau recall
produk yang diimpornya yaitu Toyota RAV 4, maka Importir umum juga telah
memberikan keuntungan kepada pihak ATPM yaitu dari segi promosi, sehingga
konsumen mengetahui produk-produk lainnya dari Toyota yang tidak dipasarkan oleh
83
PT. Toyota Astra Motor dan hal ini otomatis memberi efek fanatisme terhadap
konsumen terutama konsumen lama dari produk-produk Toyota.
Pelaku usaha dalam hal ini PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek
Toyota dan Importir umum adalah mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dengan demikian apabila kewajiban tidak dilaksanakan
maka semestinya pelaku usaha wajib bertanggung jawab. Berkaitan dengan tanggung
jawab Pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, meliputi :
1. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan /atau kerugian
konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
Adanya kerusakan barang dan pelayanan kurang memuaskan yang dapat
menimbulkan akibat mengkonsumsi produk barang dan/atau jasa, sehingga harus
dipenuhi, diganti, atau diperbaiki. sedangkan kerugian yang diderita konsumen dapat
berupa kerugian materi ataupun kerugian yang menyangkut diri.
Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban hukum, hal ini berkaitan erat
dengan ada atau tidaknya suatu kerugian yang diderita oleh suatu pihak sebagai
akibat dalam hubungan konsumen pelaku usaha baik dari penggunaan, pemanfaatan,
84
serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh
pelaku usaha tertentu.61
Merujuk pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha
meliputi :
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas keruskan;
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal di atas, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat
bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini
berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami
konsumen.62
Shidarta berpendapat “sejak dahulu menjadi kewajiban produsen untuk
menjamin barang yang dijual itu bebas dari cacat. Jaminan ini merupakatan perikatan
yang otomatis dibebankan kepada produsen untuk menjamin barang yang dijual itu
bebas dari cacat. Jaminan ini merupakan perikatan yang otomatis dibebankan kepada
produsen/penyalur produk (penjual) atau debitur.”63
Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani
61
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media.
2008. hal 14 62
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, halaman 126. 63
Shidarta, 2006. hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : PT. Grafindo. Hal 90.
85
“ Siapapun yang tindakanya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi
kepada pihak yang menderita kerugian tersebut, perbuatan yang merugikan
dapat lahir karena tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah
dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi) dan semata-
mata lahir karena suatu perbuatan tersebut.64
Berdasarkan data nomor 1 tentang tanggung jawab, data nomor 2 tentang
ATPM, data nomor 3 tentang Importir umum dan data nomor 5 tentang hak dan
kewajiban ATPM dan Importir Umum apabila dikaitkan dengan pasal 19 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta
pendapat Shidarta, Gunawan Widjaja, maka dapat dideskripsikan bahwa ATPM
Toyota yaitu PT. Toyota Astra Motor dan Importir Umum yang mendatangkan
Toyota RAV 4 ke Indonesia adalah belum memberikan ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat menerima produk cacat. Hal ini
merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan Konsumen yaitu pasal Pasal 7 sampai dengan Pasal 11. Hal ini
didukung oleh adanya kejadian kecelakaan Mobil Toyota RAV 4 yang setelah
diselidiki bahwa mobil tersebut adalah memiliki cacat tersembunyi dan diluar negeri
telah dilakukan recall atau penarikan kembali.
Dalam hal ATPM seharusnya ikut bertanggung jawab walaupun Toyota RAV 4
bukan salah saru katalog dari produk yang dipasarkan oleh PT. Toyota Astra Motor,
64
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama 2000. Hal. 62.
86
karena berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 23
tahun 1998 manjelaskan bahawa :
“Agen tunggal pemegang (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi perorangan
atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek
barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak
tersebut.”
Berdasarkan hal tersebut diatas seharusnya PT. Toyota Astara Motor melakukan
recall terhadap produk cacat tersebut, karena ATPM lah yang mempunyai hak
tersebut dan mampu untuk melakukan hal tersebut karena berhubungan langsung
dengan Toyota Motor Co. Jepang dan mempunyai lisensi terhadap merek Toyota di
Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat dari Shidarta.
2. Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa Ganti rugi sebagaimana pada ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundanng-undanngan.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo berpendapat bahwa pemberian ganti rugi
dapat berupa pengembalian barang yang setara nilainya dan/atau dapat diberikan
sekaligus kepada konsumen.65
65
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. Hal 126.
87
Berdasarkan pada data nomor 5 tentang hak dan kewajiban konsumen, apabila
dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen serta dikaitkan dengan pendapat Ahmadi Miru dan
Sutarman Yodo, dapat dideskripsikan seharusnya para konsumen dari Toyota RAV 4
yang memiliki cacat tersembunyi seharusnya mendapat ganti rugi minimal yaitu
perbaikan terhadap sistem gasnya yang mengalami cacat tersembunyi, bengkel-
bengkel resmi ATPM lah yang dapat melakukan hal tersebut, dalam masalah ini
seharusnya bengkel resmi ATPM tersebut dapat bekerja sama dengan Importir umum
untuk melakukan perbaikan terhadap Toyota RAV yang memiliki cacat tersembunyi
tersebut.
3. Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi .
Berdasarkan Pasal 1946 KUHPerdata menyebutkan bahwa daluwarsa adalah
suatu alat memperoleh sesuatu untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan
lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang.
Dapat dilihat bahwa tanggung jawab importir atas mobil-mobil CBU (Completey
Built Up) atau rakitan langsung luar negeri yang dijualnya mengikat importir tersebut
sebagai “produsen” dari mobil tersebut dan memiliki tanggung jawab atas produk
88
yang dijualnya. Tanggung jawab itu diikuti dengan kewajiban untuk menyediakan
suku cadang dan fasilitas purna jual. Jadi Importir memiliki apa yang disebut Product
Liability (tanggung jawab produk). Product Liability ini sendiri sebenarnya muncul
untuk memberikan tanggung jawab kepada Produsen pembuat barang / penyedia jasa,
apabila barang atau jasa yang diberikannya menimbulkan kerugian bagi pihak
konsumen. Product liability ini mengharuskan pihak importir selaku produsen dari
mobil-mobil CBU (Completey Built Up) memberikan jaminan apabila ada kerugian
yang diakibatkan karena adanya cacat yang melekat pada mobil-mobil CBU
(Completey Built Up). Pengertian cacat itu sendiri dapat berupa cacat dalam konstruksi,
Desain dan/atau pelabelan. Dengan adanya product liability ini secara otomatis
membuat importir tidak dapat lepas tangan atas produk yang dijualnya, dengan
menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pihak produsen asli dari mobil-
mobil CBU (Completey Built Up) tersebut, sehingga menolak untuk melakukan
perbaikan-perbaikan dan memberikan layanan purna jual.
4. Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa pemberian ganti rugi sebagamana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
Unsur kesalahan sangat berpengaruh dalam proses penentuan ganti rugi yang
harus dibayarkan oleh pelaku usaha. Pasal 1365 KUHPerdata secara tegas memuat
89
dasar tanggung jawab karena kesalahan atau karena kelalaian seseorang akan tetapi
tidak mengatur jangka waktu pembayaran.
Menurut Abdul Halim Barkatullah, sanksi pidana adalah sanksi yang dapat
dikarenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memungkinkan dilakukanya penuntutan pidana terhadap
pelaku dan/atau penngurusnya.66
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan kata kesalahan, dalam pasal ini
menegaskan bahwa tanggung jawab produsen (pelaku usaha) muncul apabila
mengalami kerugian akibat mengkonsumsi produk yang diperdagangkan, selain itu
dalam pasal ini ditetapkan mengenai jangka waktu pembayaran yaitu 7 hari.
Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen menegaskan bahwa produsen tidak membayar ganti kerugian
dalam batas waktu yang ditentukan. Sikap produsen ini membuka peluang bagi
konsumen untuk mengajukan gugatan ke pengadilan atau penyelesaian sengketa
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). ketentuan lanjutan yang
relevan dan signifikan dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen adalah rumusan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu “pembuktian terhadap ada tidaknya
66
Abdul Halim Barkatullah. Hukum Perlindungan Konsumen. badung : PT. Nusa Media.
2008. hal 103
90
unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 22
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 23
Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merupakan
tanggung jawab pelaku usaha” Rumusan inilah yang kemudian dikenal dengan
sistem pembuktian terbalik.67
Berdasarkan Pasal 62 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa adanya ganti rugi secara normatif tidak
menghapus adanya tuntutan pidana terhadap pelaku usaha karena dalam hal ini
pelaku usaha telah melanggar hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4
huruf (a) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dideskripsikan bahwa pemberian ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana dari pihak pelanggan yang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, karena dalam kenyataanya selalu dibutuhkan pembuktian terlebih dahulu.
Pemberian ganti kerugian seharusnya berupa perbaikan terhadap cacat tersembunyi
dan perawatan purna jual serta penyediaan spare parts oleh importir umum yang
bekerja sama dengan ATPM. Apabila terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen
dapat mengajukan tuntutan pidana.
67
ibid. hal 73.
91
5. Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menjelaskan bahwa Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan (2) tidak belaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya
unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebgaimana dimaksud dalam Pasal 19,
Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Berdasarkan pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman yodo menyatakan bahwa:
“berhasil atau tidaknya pelaku usaha membuktikan bersalah tidaknya atas
kerugian konsumen, sangat menentukan bebas tidaknya pelaku usaha dari
tanggung jawab untuk membayar ganti kerugian terhadap konsumen. Ini
berarti bahwa prinsip tanggung jawab yang dianut dalam Undang-Undang
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung
jawab berdasarkan kesalahan, dengan pembuktian terbalik. Berdasarkan
prinsip ini, kedua belah pihak dilindungi, karena prinsip ini memberikan
beban kepada masing-masing pihak secara proporsional, yaitu konsumen
hanya membuktikan adanya kerugian yang dialami karena akibat
mengkonsumsi produk tertentu yang diperoleh atau berasal dari pelaku usaha,
sedangkan pembuktian tentang ada tidaknya kesalahan pihak pelaku usaha
yang menyebabkan kerugian konsumen dibebankan kepada pelaku usaha” 68
Berdasarkan penjelasan diatas, data nomor 1 tentang tanggung jawab dan
data nomor 5 tentang hak dan kewajiban ATPM dan Importir umum, apabila
dikaitkan dengan Pasal 19 ayat (5) Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen maka dapat dideskripsikan bahwa prinsip tanggung jawab
68
Ahmadi Miru. Op. Cit. halaman 169
92
yang dianut dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab. Prinsip ini
merupakan salah prinsip tanggung jawab berdasarkan pada kesalahan dengan beban
pembuktian terbalik. Pemberian ganti rugi yaitu berupa perbaikan terhadap cacat
tersembunyi Toyota RAV 4 dan/atau penarikan kembali. jika terbukti terdapat unsur
pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana, tetapi jika ternyata
kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti rugi dan tuntutan pidana adalah batal
demi hukum.
93
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil simpulan
bahwa Importir Umum dan PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek
Toyota adalah belum memenuhi tanggung jawab sebagai pelaku usaha untuk
konsumen Toyota RAV 4 sebagai salah satu mobil Built Up Toyota sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
1. Importir Umum selaku pelaku usaha yang mendistribusikan Toyota RAV 4
adalah belum melaksanakan tanggung jawabnya kepada konsumen yang berupa
penggantian produk cacat yang diterima oleh konsumen dan mengenai perawatan
pada masa purna jualnya.
2. PT. Toyota Astra Motor selaku ATPM dari merek Toyota tidak bertanggung
jawab kepada konsumen yang menggunakan Toyota RAV 4, dengan alasan tidak
memproduksinya, padahal berdasarkan perjanjian dengan prinsipalnya yaitu
Toyota Motor Co. jepang dan ketentuan dalam Keputusan Menteri Perindustrian
No. 23/1998 menjelaskan bahwa ATPM adalah pemegang lisensi dari
prinsipalnya dan dapat dengan mudah untuk melakukan hubungan dengan
prinsipalnya dalam hal adanya pengadaan spare parts.
94
3. Pemberian ganti kerugian sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana, sebatas pada kerugian
konsumen akibat produk yang tidak layak pakai. Jika terbukti terdapat unsur
pidana maka konsumen dapat mengajukan tuntutan pidana.
4. Pemberian ganti rugi hanya sebatas pada kerugian konsumen yang ditimbulkan
akibat adanya cacat tersembunyi pada Toyota RAV 4 yang sangat merugikan
konsumen. Jika terbukti terdapat unsur pidana maka konsumen dapat mengajukan
tuntutan pidana, tetapi jika ternyata kesalahan terbukti dari konsumen maka ganti
rugi dan tuntutan pidana batal demi hukum. Prinsip ini merupakan salah satu
prinsip tanggung jawab berdasrkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka penulis
memberikan saran sebagai berikut :
1. Untuk Pemerintah : diharapkan agar lebih meningkatkan sosialisasi Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga
masyarakat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban baik sebagai
konsumen maupun sebagai pelaku usaha;
2. Untuk pelaku usaha : diharapkan agar ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek)
maupun Importir umum kendaraan bermotor lebih memperhatikan jaminan purna
95
jualnya apabila akan mendatangkan produk barang dan/atau jasanya yang
langsung atau rakitan dari luar negeri sebagai salah satu bentuk pertanggung
jawabanya terhadap kosumennya.
3. Untuk konsumen : diharapakan agar masyarakat lebih teliti dalam mengkonsumsi
atau menggunakan kendaraan rakitan langsung dari luar negeri, apakah barang
dan/atau jasa tersebut telah memiliki jaminan purna jualnya atau tidak.
96
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur:
Barkatullah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Nusa
Media. Bandung.
Brotossusilo, Agus. 1998. makalah : Aspek-Aspek Perlindungan Terhadap
Konsumen Dalam sistem Hukum Di Indonesia Dalam Percakapan tentang
Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf
Sofie. YLKI-USAID. Jakarta.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang Perlindungan
Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
H.S., Salim. 2002. Pengantar Hukum Perdata Terulis (BW). Sinar Grafika.
Jakarta.
Ibrahim, Jhonny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu
Media. Malang.
Laporan Hasil Temu Wicara Nasional tentang Penanggulangan Perbuatan
Curang, Yogyakarta, 6-7 Oktober 1992
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Nasution, AZ. 1995. Konsumen dan Hukum. Pustaka Sinara Harapan. Jakarta.
Saefullah, H.E. 2000. Tanggung Jawab Produsen (Product Liability) Dalam Era
Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati,
Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen. CV. Mandar Maju.
Bandung.
Subekti, R. 1990. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.
97
Susilo. P. 2002. Prinsip-Prinsip Perlindungan Distributor.
Shidarta. 2003. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Grasindo. Jakarta.
Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen
Hukumnya. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Suyadi, 2007. Diktat Dasar-Dasar Hukum Perlindungan Konsumen. Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 1985. Penelitian Hukum Normatif. CV
Rajawali. Jakarta.
B. Sumber Internet
E Mei Amelia R. arsipberita.com 2010 http://www.arsipberita.com/list/regional
(8Maret 2010). diakses pada Maret 2011
C. Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.23/MPP/KEP/1/1998
tentang Lembaga-Lembaga Usaha Perdagangan sebagaimana kemudian diubah
dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No.159/MPP/Kep/4/1998 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan perdagangan
No.23/MPP/KEP/1/1998 tentang Lembaga-Lembaga Perdagangan
98