PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL...

145
PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Disusun oleh: YULIANA PRATIWI NIM E1A009240 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Transcript of PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL...

PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL

SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

(Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana pada

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:

YULIANA PRATIWI

NIM E1A009240

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL

SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

(Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota Surakarta)

OLEH

YULIANA PRATIWI

E1A009240

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Meraih

Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UNSOED

Isi dan format telah disetujui,

Pada tanggal: 27 Agustus 2013

Pembimbing I/ Pembimbing II/ Penguji IIIPenguji I Penguji II

Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. Pranoto, S.H., M.H. Handri W. S ., S.H., M.H.NIP.19640724 199002 1 001 NIP. 19540305 198601 1 001 NIP.19581019 198702 2 001

MengetahuiDekan,

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.NIP. 19640923 198901 1 001

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama : YULIANA PRATIWI

NIM : E1A009240

Judul Skripsi : PERANAN ADVOKAT DALAM MENERAPKAN

MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi

terhadap Penerapan Mediasi Penal di Wilayah Kota

Surakarta)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul karya sendiri dan

tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas,

maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 27 Agustus 2013

YULIANA PRATIWINIM E1A009240

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan

semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga akhirnya

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PERANAN ADVOKAT

DALAM MENERAPKAN MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi terhadap Penerapan Mediasi

Penal di Wilayah Kota Surakarta).

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat meraih gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum UNSOED dan pemilihan judul ini didasarkan pada

ketertarikan penulis terhadap gagasan penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan untuk perkara-perkara tertentu yang merupakan perwujudan dari

prinsip keadilan restoratif. Selesainya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari

bantuan serta bimbingan berbagai pihak yang telah berjasa, oleh karena itu

penghargaan dan ucapan terima kasih penulis bisa haturkan kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto;

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen

penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan

pengalaman yang berharga;

3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang

telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran

dalam skripsi penulis yang sangat berharga;

4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang

telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam

menyempurnakan skripsi penulis;

5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing

akademik;

6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu,

dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang

melibatkan penulis;

7. Advokat, Polisi, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta yang

telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data untuk

penelitian ini;

8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih

atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini;

9. Orang tua, kakak dan adik dari penulis yang telah memberikan dukungan,

kasih sayang dan doa yang tulus.

10. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan

terima kasih.

Kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa Penulis nantikan

sebagai acuan untuk karya ilmiah selanjutnya. Semoga karya ini dapat

bermanfaat, baik kepada Penulis maupun kepada semua pihak. Penulis menyadari

masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini.

Purwokerto, 26 Agustus 2013

Penulis,

Yuliana Pratiwi

E1A009240

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penulis memanjatkan Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT, Tuhan

Semesta Alam, atas karunia, petunjuk, berkah dan kasih sayang-Nya dalam masa

perkuliahan penulis, dalam penyusunan skripsi ini, serta atas kebesaran-Nya

menciptakan dan menakdirkan keberadaan orang-orang ini dalam kehidupan

penulis:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.H, selaku Dekan Fakuktas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman Purwokerto;

2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing I / dosen

penguji I, yang telah memberikan arahan, nasihat, ilmu-ilmu dan

pengalaman yang berharga;

3. Pranoto, S.H., M.H, selaku dosen pembimbing II / dosen penguji II, yang

telah membimbing, memberikan arahan, dukungan, ilmu-ilmu serta saran

dalam skripsi penulis yang sangat berharga;

4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.Hum, selaku dosen penguji III yang

telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam

menyempurnakan skripsi penulis;

5. Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum, selaku dosen pembimbing

akademik;

6. Dr. Agus Raharjo, S.H., M.Hum, yang telah memberikan nasihat, ilmu,

dukungan dan pengalaman yang berharga melalui penelitiannya yang

melibatkan penulis;

7. Para advokat (M. Taufik, S.H, M.H., M.T Heru, S.H, M.H, M. Mohani,

S.H., Yayuk, S.H., Yusuf, S.H., Amir, S.H, M.H), Polisi dan Penyidik di

Polresta Surakarta, dan Korban tindak pidana di wilayah kota Surakarta

yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama pengumpulan data

untuk penelitian ini;

8. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih

atas ilmu dan pengetahuan serta dedikasi yang telah diberikan selama ini,

serta karyawan-karyawan yang telah memberikan warna tersendiri di

Fakultas Hukum;

9. Orang tua, Soekirno dan Siti Nurini, kakak dan adik penulis, Ratih

Sukowati, Bayu Kurniawan, Kartika Diani telah memberikan dukungan,

semangat, pelajaran hidup, kasih sayang dan doa yang tulus.

10. Rekan penelitian penulis serta keluarga Pakdhe Tjip di Surakarta, atas

perhatian, bantuan, dan kehangatan yang diberikan selama penulis

melaksanakan penelitian di Surakarta.

11. Orang terdekat, Aghan Sugandhi dan Retno Septiana, yang selalu

menemani, menghibur, memberi semangat, dan mengajarkan banyak hal.

12. Sahabat-sahabat penulis, Etta, Tiara, Widi, Feby, Upay, Aka, Finny,

Palupi, Syaikhu, Melda, Bagus, Ardi, Gilang, Mbak Nana, Mas Yogi,

Nikodemus, atas ketulusan persahabatan dan pengalaman-pengalaman

yang berharga.

13. Sahabat-sahabat kelas C, angkatan 2009, kakak-kakak angkatan dan adik-

adik kelas di Fakultas Hukum UNSOED, dan teman-teman seperjuangan

skripsi yang selalu memberikan dukungan, perhatian dan semangat.

14. One Big Family of “Justitia English Club” (JEC) untuk pengalaman

persahabatan dan pengalaman keorganisasian yang sangat berharga.

15. Google Search Engine yang telah membuat penulis menemukan situs dan

tulisan-tulisan yang begitu menginspirasi.

16. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang telah

memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran penulis haturkan

terima kasih, semoga diberkahi oleh Allah SWT.

ABSTRAK

Salah satu kritik yang ditujukan pada peradilan Indonesia adalahpenyelesaian perkara pidana yang hanya berorientasi pada penghukuman pelakudan tidak memperhatikan upaya pemulihan kerugian korban. Hal ini mendorongberkembangnya konsep keadilan restoratif yang bertujuan untuk mengupayakanpemulihan kerugian korban daripada dengan mudah memenjarakan orang. Salahsatu perwujudan dari konsep keadilan restoratif adalah mediasi penal, sebuahgagasan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Beberapa negara sepertiPrancis, Polandia, dan Norwegia telah menerapkan dan menempatkan mediasipenal dalam hukum positif mereka. Dalam hukum positif Indonesia tidak dikenaladanya mediasi untuk perkara pidana, namun ternyata dalam praktik mediasipenal sudah sering diterapkan. Hal ini terjadi karena adanya kehendak dari korbandan pelaku serta peranan dari para penegak hukum seperti polisi dan advokat.Menurut undang-undang bantuan hukum, jasa dan bantuan hukum yang dapatdiberikan advokat tidak hanya berupa beracara dalam persidangan, tapi jugamemberikan bantuan hukum non litigasi yang salah satu bentuknya adalahmediasi. Jadi, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalammengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui persepsi dan perilaku advokat dalam menerapkan mediasi penalserta mengetahui akibat hukum dari kesepakatan damai yang dicapai mediasipenal terhadap proses penanganan perkara pidana. Berdasarkan penelitian denganmetode yuridis-sosiologis, diketahui bahwa advokat berperan aktif dalam mediasipenal dengan bertindak sebagai inisiator, mediator, dan fasilitator mediasi. Akibathukum kesepakatan mediasi penal adalah timbulnya kewajiban pelaku tindakpidana untuk memulihkan kerugian korban dan penghentian perkara pidana padatingkat penyidikan. Tindakan menghentikan perkara dengan alasan mediasisebenarnya tidak sesuai dengan aturan KUHP dan KUHAP, namun tindakan iniberlaku di Surakarta karena adanya kehendak korban dan pelaku yang didukungoleh tindakan diskresi polisi yang didasarkan pada Surat Kapolri No. Pol:B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 tentang Penanganan Kasus melalui AlternatifDispute Resolution (ADR).

Kata Kunci: Mediasi Penal, Mediasi Pidana, Alternative Dispute Resolution,Peranan Advokat, Sistem Peradilan Pidana, Diskresi Polisi

ABSTRACT

The criticizing have been directed to Indonesian criminal justice systembecause its major interest lies in putting behind bars the offender and has noattention for the needs of victims. This is one reason of the Restorative Justicedevelopment that aims to repair the victim’s detrimen rather than simply jailingsomeone. Penal mediation, an idea about resolving criminal matter without court,is one of restorative justice’s realization. Some countries such us France, Poland,and Norway already implement and legitimate penal mediation in their positivelaw. Indonesian positive law doesnt recognize mediation for criminal matter butin the practice mediation have been choosen to solve criminal matter. It is causedby the initiative of the parties; victims, offender, police and lawyer. According tothe act about legal aid, the legal aid that can be given by the lawyer is not onlyabout assist their client in the court but also giving non-litigation legal aid whichone of its form is mediation. So, lawyer is one law enforcer who have importantrole in develop the mediation idea and practice. This research aims to know theperception and behaviour in implementing penal mediation and to know the legalconcequences of agreement that reached in penal mediation for the criminalmatter judgement in Surakarta. Based on the research that already implementedwith sosio-legal research, the result show that lawyers in Surakarta do the activerole in implement mediation as initiator, mediator and facilitator. The legalconcequences of penal mediation agreement are put the offender into theresponsibility to recover victim’s detrimen and stop the judgement of criminalmatter when the matter is in police investigation stage. Actually the ceasing ofcriminal matter with penal mediation as the reason is contradict with theregulation of penal code (KUHP) and criminal law procedure book (KUHAP),but this act is always implemented in Surakarta because it’s the willing of thesociety especially the victims and supported by police with their discretionauthority that based on Indonesian Police Chief’s Decision Number Pol:B/3022/XII/2009/SDEOPS 2009 about presiding criminal case with AlternatifDispute Resolution (ADR).

Keyword: Penal Mediation, Mediation for Penal Matter, Alternative Dispute

Resolution, Advocate Role, Lawyer Role, Criminal Justice System,

Discretion

HALAMAN MOTTO

“Barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan

mereka tidak akan bersedih hati” (Q.S. Al-Baqarah Ayat 38)

“Siapa yang tidak pandai mensyukuri nikmat yang sedikit maka tidak akan

mendapat nikmat yang banyak” (H.R. Muslim)

“There will be an answer, let it be”- (The Beatles)

“Sepi ing pamrih, rame ing gawe”

“One Big Family” (Justitia English Club)

“Jangan mendahului nasib.” (Andrea Hirata)

“Makna dari mencari ilmu bukanlah hanya semata-mata untuk pencapaian nilai,

prestasi ataupun karier masa depan, lebih dari itu, adalah sebagai penghargaan

pada diri dan kehidupan kita”

“Don’t worry about your future, just do your best everyday”

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah-------------------------------------------------1

B. Perumusan Masalah------------------------------------------------------7

C. Tujuan Penelitian---------------------------------------------------------7

D. Kegunaan Penelitian -----------------------------------------------------7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Asas Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana-----------------------------------9

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ----------------------- 11

3. Asas Hukum Acara Pidana ---------------------------------------- 13

B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)

1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice--------------------- 15

2. Perbandingan Restorative Justice dengan

Retributive Justice -------------------------------------------------- 19

C. Mediasi Penal sebagai Penyelesaian Perkara Pidana

di Luar Pengadilan

1. Pengertian Mediasi Penal------------------------------------------ 21

2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal ------------------ 23

3. Prinsip Kerja Mediasi Penal -------------------------------------- 25

4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia -------- 29

5. Arti Penting Mediasi Penal bagi Korban dan Pelaku --------- 38

D. Diskresi Kepolisian

1. Pengertian Diskresi Kepolisian ----------------------------------- 40

2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum --------------- 42

3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Mediasi Penal-------- 44

E. Bantuan Hukum

1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum------------------------ 47

2. Jenis Bantuan Hukum---------------------------------------------- 50

3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum ------------------------- 53

F. Advokat dalam Penegakkan Hukum

1. Pengertian Advokat ------------------------------------------------ 54

2. Peran dan Fungsi Advokat ---------------------------------------- 54

3. Advokat sevagai Officium Nobile ------------------------------- 56

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan ---------------------------------------------------- 59

B. Spesifikasi Penelitian -------------------------------------------------- 60

C. Lokasi Penelitian ------------------------------------------------------- 60

D. Sumber Data ------------------------------------------------------------ 61

E. Metode Pengumpulan Data ------------------------------------------- 62

F. Metode Penyajian Data------------------------------------------------ 62

G. Metode Penentuan Sampel-------------------------------------------- 63

H. Metode Validitas Data ------------------------------------------------ 63

I. Metode Analisis Data ------------------------------------------------- 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Penelitian Data Sekunder------------------------------------ 66

2. Hasil Penelitian Data Primer -------------------------------------- 77

B. Pembahasan ------------------------------------------------------------- 92

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ----------------------------------------------------------------126

B. Saran---------------------------------------------------------------------127

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum pidana telah disepakati dan dibakukan sebagai bagian dari hukum

publik (algemene belangen). Dengan sifat ini, ketika seseorang melakukan suatu

tindak pidana yang merugikan kepentingan orang lain, pembalasan terhadap pelaku

tidak hanya menjadi hak dari korban tindak pidana itu, tetapi berkembang menjadi

kewajiban bersama seluruh keluarga, masyarakat dan akhirnya pembalasan tersebut

menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Hukum Negara pun menjadi satu-

satunya instrument dalam menyelesaikan perkara pidana dengan prosedur yang telah

ditentukan.

Konsep tersebut sedang berlaku di Indonesia sejak diundangkannya Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP). Dengan konsep ini,

dimana penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai pemberi keadilan,

ternyata mengakibatkan sedikitnya peran individu dalam mengupayakan penyelesaian

perkara pidana. Pencarian keadilan dalam perkara pidana sepenuhnya bertumpu pada

sistem yang dibangun oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Padahal keadilan yang diberikan oleh negara belum tentu sesuai

dengan kehendak para pencari keadilan itu sendiri, sebab pada dasarnya setiap orang

memiliki kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang beragam atas rasa keadilan.

Penyelesaian perkara pidana yang hanya dapat diselesaikan melalui mekanisme

yang disediakan oleh hukum Negara juga dapat menimbulkan masalah lain.

2

Meningkatnya volume dan jenis perkara yang diajukan ke pengadilan harus

berhadapan dengan kemampuan organisasi pengadilan yang terbatas baik secara

teknis maupun sumber daya manusia. Terhadap fakta ini, Yahya Harahap

mendeskripsikan kritik pada pengadilan yaitu: penyelesaian sengketa melalui litigasi

sangat lama, biaya berperkara mahal, pengadilan kerap tidak responsif, putusan

pengadilan tidak menyelesaikan masalah, dan kemampuan para hakim bersifat

generalis.1

Keadaan yang demikian memunculkan kebutuhan akan suatu mekanisme yang

mampu untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan serta menghasilkan

keputusan yang disepakati bersama. Salah satu konsep untuk mewujudkan gagasan

tersebut adalah Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian perkara pidana diluar

pengadilan. Di tengah permasalahan-permasalahan di atas, mediasi penal dirasa lebih

dapat mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan murah yang amat penting

untuk perlindungan hak dari korban maupun pelaku.

Mekanisme mediasi yang merupakan bagian dari alternative dispute resolution

(ADR) selama ini hanya dikenal dalam ranah hukum privat. Kini mediasi mulai

banyak dipraktikkan untuk menyelesaikan perkara pidana karena adanya pergeseran

paradigma penegakan hukum pidana dari keadilan retributif menjadi keadilan

restoratif yang pertama-tama dikembangkan di Amerika. Pada keadilan retributif,

1 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan PenyelesaianSengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 153.

3

orientasi penyelesaian sengketa pidana adalah pembalasan terhadap pelaku dengan

penjatuhan hukuman penjara sebagai bentuk nestapa. Pada prinsip keadilan restoratif,

terdapat suatu perkembangan penyelesaian sengketa yang lebih dapat memulihkan

hak-hak korban dan mengakomodir kepentingan para pihak dengan memberikan

keadilan dan kemanfaatan.

Untuk beberapa tindak pidana, seperti pencurian, kecelakaan lalu lintas, dan

tindak pidana lain yang berdimensi perdata, keberhasilan keadilan bukan diukur

oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim, tapi sebesar apa kerugian

dipulihkan oleh pelaku. Pemahaman ini berkaitan dengan usaha-usaha pembaharuan

pidana yang sekarang sedang disusun. Konsep rancangan KUHP baru jika dipelajari

menunjukkan adanya pembaharuan yang sangat mendasar terutama dalam sistem

pemidanaan. Beberapa pembaharuan yang humanistis tanpa menghilangkan sifat

represif dari hukum pidana diantaranya; (1) lebih mengutamakan pidana denda, (2)

pidana penjara digunakan sebagai pilihan terakhir, hanya untuk tindak pidana serius

dan berbahaya, (3) adanya pedoman dalam penerapan pidana penjara.2

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, meskipun tidak ada landasan

hukumnya, namun dalam praktik sudah sering perkara pidana diselesaikan di luar

pengadilan. Padahal, Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara eksplisit

memberikan aturan mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya

2 Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, 2002,hlm 17.

4

melingkupi ranah hukum perdata. Fakta ini pun menimbulkan pertanyaan seperti apa

dasar pelaksanaan mediasi penal dan bagaimana mekanisme penyelenggaraan

mediasi penal?

Selama ini, upaya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dipraktikkan

melalui diskresi aparat penegak hukum, khususnya penyidik. Dalam proses

penyidikan akan ditentukan apakah sebuah perkara akan dilimpahkan ke kejaksaan

atau dihentikan. Dengan wewenang diskresinya, polisi dapat memutuskan untuk

menyelesaikan suatu perkara pidana di luar pengadilan dan polisi diharapkan dapat

bersikap bijaksana terhadap penanganan perkara pidana atau laporan tindak pidana.

Harapan agar aparat tidak menerapkan hukum secara kaku dan semata-mata

mengikuti teks dalam undang-undang makin banyak disuarakan terutama sejak

munculnya kontroversi korban pemidanaan seperti kasus ‘Kakao Minah’ dan kasus

‘Semangka Basar dan Kholil’. Selanjutnya, karena penyelesaian perkara pidana di

luar pengadilan dirasa semakin penitng dan tidak adanya Undang-undang yang

mengatur, dikeluarkanlah Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal

14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution

(ADR).

Selain peran polisi dengan diskresinya itu, pihak lain yang memiliki peranan

dalam menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan adalah advokat. Seorang

advokat haruslah selalu mengikuti perkembangan hukum, sehingga dalam

mendampingi kliennya baik sebagai korban maupun sebagai pelaku kejahatan, tidak

bisa hanya melihat perkara yang ditangani dengan sudut pandang law in book, tetapi

5

juga law in action. Pasal 4 Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 tentang Bantuan

Hukum menentukan bahwa Bantuan Hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan

hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik

litigasi maupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili,

membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum

Penerima Bantuan Hukum. Dengan begitu, dalam tugas dan kewajibannya, seorang

advokat tidak diharuskan untuk sampai beracara dalam persidangan. Penyelesaian

melalui mediasi penal adalah langkah awal dari tugas advokat dan merupakan salah

satu bentuk pemberian bantuan hukum.

Jadi sementara, tidak ada peraturan mengenai mediasi penal dalam hukum

positif Indonesia, advokat adalah salah satu pihak yang berperan dalam

mengembangkan gagasan dan praktik mediasi penal. Dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan Undang-undang Nomor 16

Tahun 2001 tentang Bantuan Hukum, advokat memiliki peran strategis untuk

mendampingi para pihak dalam mengupayakan penyelesaian perkara di luar

pengadilan.

Masalah lain yang timbul dari praktik mediasi penal adalah mengenai

konsekuensi dari kesepakatan damai yang dicapai dalam mediasi penal. Tidak ada

kepastian apakah kesepakatan hukum itu selain mengikat para pembuatnya juga

sekaligus menghentikan perkara, ataukah tidak berpengaruh terhadap proses

pemeriksaan perkara? Ketika mediasi penal menghasilkan kesepakatan kesepakatan

namun pelaku tetap dituntut, hal inisangat dipertanyakan oleh masyarakat. Misalnya,

6

dalam kasus Andika “Kangen Band”. Perkara ‘Andika membawa Lari Gadis di

Bawah Umur (CC)’ tetap dilimpahkan ke kejaksaan meski dia sudah berdamai

dengan keluarga CC.3

Apa yang diuraikan di atas adalah masalah yang dapat timbul setelah mediasi

penal dilaksanakan dengan menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam hukum pidana

terdapat prinsip ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum dalam tindak

pidana. Selain itu, dalam hukum acara pidana, pencabutan laporan dapat dilakukan

tergantung pada tindak pidananya, apakah merupakan delik aduan atau delik biasa.

Apakah kesepakatan itu hanya menimbulkan kewajiban bagi tersangka untuk

melakukan perbuatan yang disepakati (misalnya ganti rugi), atau sekaligus membuat

pernyidik harus menghentikan pemeriksaan terhadap perkara itu? Peran aktif baik

dari aparat polisi maupun advokat berpengaruh dalam tercapainya kesepakatan yang

adil, final dan mengikat. Maka dari itu kajian mengenai penerapan mediasi penal

perlu juga diikuti kajian mengenai akibat hukum kesepakatan damai mediasi penal.

Berdasarkan latar belakang yang saya uraikan di atas, saya tertarik untuk

mengambil judul Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai

Penyelesaian Perkara Pidana.

B. Perumusan Masalah

3 Anonim, Andika tetap diproses Hukum meski telah berdamai dengan Pihak CC.life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013.

7

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah peranan advokat dalam melakukan mediasi penal pada

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta?

2. Apakah akibat hukum dari kesepakatan damai yang dihasilkan mediasi penal

terhadap proses penanganan perkara pidana?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan

bertujuan untuk:

1. Mengetahui peran advokat dalam melakukan mediasi penal sebagai

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan di wilayah kota Surakarta.

2. Mengetahui akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan mediasi penal.

D. Kegunaan Penelitian

Peneliti berharap agar penulisan usulan penelitian ini dapat memberikan

kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan saran yang

bermanfaat terhadap ilmu Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada

khususnya, dalam hal Mediasi Penal sebagai pembaharuan sistem peradilan

pidana, serta sebagai materi muatan untuk peraturan mengenai Mediasi Penal.

2. Kegunaan Praktis

8

Kegunaan praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi para pelaku dan korban tindak pidana, dan penegak hukum khususnya

advokat dalam menerapkan mediasi penal sebagai penyelesaian perkara

pidana.

9

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Tujuan, Fungsi dan Asas Hukum Acara Pidana

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Menurut Andi Hamzah, penggunaan istilah ‘hukum acara pidana’ sudah

tepat dibanding dengan istilah ‘hukum proses pidana’ atau ‘hukum tuntutan

pidana’. Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan akan

menjadi tuntutan pidana, bukan istilah strafprocesrecht yang padanannya adalah

acara pidana.

KUHAP tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana, tetapi

bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan

pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan,

dan lain-lain di definisikan dalam Pasal 1.

Menurut Simons, hukum acara pidana (hukum pidana formal) mengatur

tentang bagaimana Negara melalu alat-alatnya melaksanakan haknya untuk

memidana dan menjatuhkan pidana4.

Van Bemellen memberi definisi yang lebih lengkap dan tepat karena

merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan akhirnya

saja.

Terjemahan bebas definisi van Bemellen adalah sebagai berikut5:

4 D. Simons, Beknopte Handleiding tot hek Wetboek van Strafvordering dalam Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 4.

10

“Ilmu hukum acara pidana ialah mempelajari peraturan-peraturan yangdiciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undangpidana, yaitu; negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran, sedapatmungkin menyidik pelaku perbuatan itu, mengambil tindakan-tindakanyang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya,mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh padapenyidikan guna dilimpahkan pada hakim dan membawa terdakwa kedepan hakim, hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknyaperbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkanpidana, upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut, akhirnyamelaksanakan keputusan tentang pidana.”

Mantan ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, juga menyatakan

pendapatnya tentang hukum acara pidana, yaitu:

“Jika suatu perbuatan dari seorang tertentu menurut peraturan hukumpidana merupakan perbuatan yang diancam dengan hukum pidana, jadijika ternyata ada hak badan pemerintah yang bersangkutan untukmenuntut seseorang guna mendapat hukuman pidana, timbullah soalcara bagaimana hak menuntut itu dapat dilaksanakan, cara bagaimana,dan oleh siapa suatu putusan putusan pengadilan harus dijalankan, halini semua harus diatur dan peraturan inilah yang dinamakan hukumacara pidana.”6

Menurut R. Soesilo, hukum acara pidana dapat diartikan secara sempit dan

luas. Hukum acara pidana memiliki arti sempit ketika hukum acara pidana hanya

meliputi; pemeriksaan pendahuluan oleh polisi dan penuntutan oleh jaksa,

pemeriksaan dan penuntutan perkara pidana dalam sidang, dan pelaksanaan

putusan hakim oleh jaksa. Sedangkan Hukum acara pidana dalam arti luas selain

5 Van Bemmelen dalam Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta 2008, hlm 5.

6 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur bandung, Bandung, 1981,hlm 15.

11

memuat tiga hal di atas, meliputi pula hal susunan, kekuasaan, peraturan

kehakiman yang yang ada hubungannya dengan penuntutan pidana7.

Jika mengacu pada pendapat para ahli di atas dan pada KUHAP, maka

nampaknya pembicaraan mengenai hukum acara pidana akan selalu seputar

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan, dan pada akhirnya

penjatuhan sanksi oleh hakim. Jadi, dapat dikatakan penerapan mediasi penal

adalah suatu pembaharuan dalam penegakkan hukum pidana dan penanggulangan

kejahatan.

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada pedoman

pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut 8:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari danmendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil, ialahkebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidanadengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dantepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapatdidakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnyameminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukanapakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakahorang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

Dalam kalimat yang sangat panjang di atas, Andi Hamzah tidak setuju

dengan bagian kalimat, ”...setidak-tidaknya-mendekati kebenaran.” Kebenaran itu

7 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAPbagi Penegak Hukum, Politeia, Bogor, 1982, hlm 6.

8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm 7.

12

harus didapatkan dalam menjalankan hukum acara pidana dan umumnya para

penulis menyebut “mencari kebenaran materil” merupakan tujuan dari hukum

acara pidana.

Mengenai fungsi hukum acara pidana, pengertian antara tujuan hukum

acara pidana dan fungsi atau tugas hukum acara pidana sering begitu saja

dicampuradukkan, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pedoman Pelaksanaan

KUHAP diatas, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebenaran, dan

keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan tatanan beracara perkara

pidana itu tujuannya diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun

penyelenggaraan beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari

dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan

hukum yang tepat untuk mendapatkan penerapan hukum berdasarkan keadilan.9

Dengan demikian, fungsi atau tugas dalam hukum acara pidana melalui alat

perlengkapannya adalah: (1) untuk mencari dan menemukan fakta menurut

kebenaran, (2) mengadakan penuntutan hukum dengan tepat, (3) menerapkan

hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan, dan (4) melaksanakan keputusan

secara adil.

9 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakkan HukumPidana, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm 29

13

3. Asas-asas Hukum Acara Pidana

1. Asas Legalitas

Asas pertama dalam hukum acara pidana adalah asas legalitas sebagai

padanan asas legalitas dalam hukum pidana materil. Ada perbedaan dengan

asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merumuskan:

“Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkankekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang ada sebelumnya.”

Dalam KUHP dipakai istilah perundang-undangan pidana (wettelijk

strafbepaling) yang berarti suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-

undang dalam arti formil, seperti Peraturan Pemerintah dan Perda dapat

memuat rumusan delik dan sanksi pidana. Adapun dalam hukum acara pidana

dipakai istilah undang-undang (wet), sehingga hanya dengan undang-undang

suatu tindakan pembatasan hak asasi manusia seperti penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan dapat dilakukan10.

2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan

Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut dalam

KUHAP merupakan penjabaran dari Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009. Dalam KUHAP, sebagai

perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, tersangka

atau terdakwa berhak:

- segera mendapat pemeriksaan dari penyidik (Pasal 50),

10 Andi Hamzah, op.cit., hlm 10.

14

- segera diajukan pada penuntut umum oleh penyidik (Pasal 107 ayat (3)),

- segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum (Pasal 140 ayat (1)),

- segera diadili oleh pengadilan

3. Asas Praduga Tidak bersalah (Presumption of Innocence)

Asas ini ada dalam penjelasan umum butir 3 huruf c dan sebenarnya

telah dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-undang Pokok kekuasaan Indonesia

No. 48 Tahun 2009, yang merumuskan;

“Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut danatau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidakbersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakankesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas Praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis maupun dari

teknis penyidikan dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure, yang

menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap pemeriksaan:

- Adalah subjek, bukan objek, harus diperlakukan sebagai manusia yang

bermartabat,

- Yang menjadi objek pemriksaan adalah kesalahan yang dilakukan tersangka/

terdakwa.11

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Dapat kita perhatikan Pasal 153 KUHAP merumuskan:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidangdan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara

11 Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan danPenuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm 40.

15

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”(ayat 3), “Tidakdipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkanbatalnya putusan demi hukum.” (ayat 4).

Terhadap ketentuan tersebut, selain dalam perkara mengenai kesusilaan

atau terdakwanya anak-anak, sebenarnya masih ada pengecualian lain, yaitu

delik yang berhubungan dengan rahasia militer atau yang menyangkut

ketertiban umum (openbare orde).Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk

umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk

umum, bahkan Pasal 13 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 195 KUHAP menentukan,

“Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabiladiucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”

5. Semua Orang diperlakukan Sama di Depan Hakim

Negara-negara hukum yang menjunjung tinggi persamaan kedudukan di

hadapan hukum atau equality before the law pada umumnya menganut pasal

ini. Asas ini secara tegas tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan

Umum butir 3a KUHAP, yang menentukan,

”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

B. Restorative Justice (Keadilan Restoratif)

1. Pengertian dan Konsep Restorative Justice

Selama ini upaya penanggulangan kejahatan masih menitikberatkan pada

penghukuman pelaku. Hampir seluruh tindak pidana yang ditangani oleh sistem

16

peradilan pidana berakhir dengan penjatuhan hukuman penjara. Padahal penjara

bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah kejahatan karena tidak

selalu berhasil memberikan pendidikan dan penyadaran bagi narapidananya dan

pada akhirnya tidak berhasil mencegah bekas narapidana melakukan kejahatan

lagi. Penjatuhan pidana penjara yang tidak tepat pun dikritik sebagai sanksi yang

hanya akan menyisakan penderitaan, masalah ekonomi, dan stigma.12

David Lerman mengemukakan bahwa sementara orang merasa

pemenjaraan pelaku kejahatan dapat meningkatkan keamanan, sesungguhnya ada

konsekuensi yang akan timbul disebabkan adanya stigma terhadap narapidana dan

kurangnya rasa percaya di antara masyarakat.13 Rasa curiga antar masyarakat itu

ternyata dapat memicu dilakukannya sebuah perbuatan kriminal. Rasa curiga

menimbulkan rasa takut pada masyarakat dan memutuskan untuk harus

mewaspadai bahkan jika perlu menjaga jarak dari ‘orang lain’. Semakin besar

kecurigaan itu, semakin orang menjadi individual, dan semakin rentan pula dia

terhadap ancaman kejahatan. Mengapa? Karena menurunnya rasa percaya antar

masyarakat akan melemahkan ikatan pada suatu kesatuan masyarakat. Tanpa

ikatan yang bisa memperkuat suatu komunitas masyarakat, maka akan hilang pula

kontrol sosial yang seharusnya bisa menciptakan ketertiban masyarakat dan

mencegah kejahatan.

12 Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia. JurnalDinamika Hukum. Vol. 12 No.3. Universitas Jenderal Soedirman. Hal 416.

13 David Lerman, Restoring Justice, Mediation, Asghate Publishing Company, USA,2001, hlm 591.

17

Sistem pemidanaan yang memiliki fokus yang salah dengan hanya

mementingkan tentang bagaimana menghukum dan memenjarakan seorang pelaku

tindak pidana mendorong berkembangnya paradigma penghukuman yang disebut

restorative justice. Patrialis Akbar ketika masih menjabat sebagai Menteri Hukum

dan HAM sempat mengajukan konsep penegakkan hukum yang berlandaskan

prinsip restorative justice untuk mengatasi permasalahan lemahnya sistem

peradilan pidana di negara kita.

Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan untuk

keadilan yang berfokus pada kebutuhan korban, pelaku, serta masyarakat yang

terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum

pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku didorong

untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, untuk memperbaiki hal-

hal yang membahayakan mereka, dengan cara meminta maaf, mengembalikan

uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat.

Pendekatan baru bernama restorative justice ini muncul sebagai respon

terhadap sistem pemidanaan yang fokusnya hanya mementingkan tentang

bagaimana menghukum dan memenjarakan seseorang yang melakukan tindak

pidana. Restorative justice bertujuan untuk merubah pengarahan hukum pidana

dengan merubah fokusnya pada kebutuhan korban dan perbaikan ketertiban

masyarakat daripada dengan gampangnya memenjarakan seseorang.14

14 Carrie Menkel-Meadow, Mediation, Asghate Publishing Company, USA, 2001, hlm591.

18

Dewasa ini, kesadaran untuk tidak hanya membentuk instrument hukum

yang menfokuskan pada perlingan HAM pelaku terlihat dalam berbagai konvensi

atau deklarasi internasional. Salah satunya pada tahun 1985 melalui Declaration of

Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power, perhatian

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mulai meningkat khususnya yang berkaitan

dengan akses untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi,

restitusi, serta bantuan-bantuan lain yang harus diatur dalam undang-undang

nasional.15

Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak

lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku, namun

perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan

kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab. Selain itu, juga

memberikan suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di

masa depan. Keadilan Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku

menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.

Kekuatan konsep dari restorative justice adalah penempatan korban dan

masyarakat yang berbeda dari paradigma peradilan pidana selama ini.

Penerapannya adalah suatu mekanisme informal dan non ajudikatif dalam

menangani konflik atau permasalahan kejahatan dimana pelaku, korban dan

masyarakat mengambil peranan penting dalam pengambilan keputusan. Salah satu

15 Siswanto Sunarso, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,2012, hlm 74.

19

bentuk mekanisme itu adalah mediasi penal yang mendorong adanya pertemuan

antara pelaku dan korban dengan dibantu seorang mediator sebagai fasilitator.

2. Perbandingan Retributive Justice dengan Restorative Justice

Munculnya ide keadilan restoratif tidak lepas dari eksistensi pandangan yang

sebelumnya telah mendominasi sistem pemidanaan, yaitu pandangan retributif

(retributive justice). Dalam retributive justice tidak terdapat tempat bagi korban

untuk masalah pemidanaan. Teori ini menekankan pada pembalasan yang

tercermin dari sanksi pidana penjara. Dalam United Nations Office for Drug

Control and Crime Prevention, dinyatakan pendekatan restorative justice telah

digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan

perdamaian di masyarakat karena pendekatan-pendekatan retributive terhadap

kejahatan dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi.

Oleh karenanya menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan

restorative justice.16

Retributive justice atau keadilan retributive adalah teori keadilan yang

menganggap hukum itu, jika proporsional, merupakan resiko yang diterima secara

moral sebagai kejahatan, dengan penglihatan untuk manfaat kepuasan dan

psikologis yang dapat dilimpahkan ke pihak yang dirugikan, teman-teman, dan

16 United Nations Office For Drug Control and Crime Prevention, Handbook on Justice forVictims, centre for International Crime Prevention, New York, 1999, hal. 42-43 dalam SahuriLasmadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Universitas Jambi, online-journal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduh pada 20 Mei 2012.

20

masyarakat17. Jika keadilan retributif memusatkan perhatian pada penentuan

aturan apa yang dilanggar, siapa yang melanggarnya, dan bagaimana menentukan

hukuman untuk pelaku itu, restorative justice mempertanyakan; siapa yang telah

dirugikan, bagaimana korban bisa mendapat kerugian, dan bagaimana pelaku,

masyarakat, dan sistem peradilan pidana dapat membantu memperbaiki kerugian.

Menurut David Lerman, hal itu karena a core principle of Restorative Justice

requires that you care about the needs of crime victims.18 Jadi, prinsip dasar

Restorative Justice adalah perhatian terhadap kebutuhan korban. Perbedaan

lainnya dijabarkan oleh Howar Zahr19:

Retributive Justice Restorative Justice

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Kejahatan adalah pelanggaran system

Fokus pada penjatuhan hukuman

Menimbulkan rasa bersalah dan jera

Korban diabaikan

Pelaku pasif

Pertanggungjawaban pelaku adalah

hukuman

Kejahatan adalah perlukaan

terhadap individu dan/

masyarakat

Fokus pada pemecahan masalah

Memperbaiki kerugian

Hak dan kebutuhan korban

diperhatikan

Pelaku didorong untuk

bertanggung jawab

Pertanggungjawaban pelaku

adalah menunjukkan empati dan

memperbaiki kerugian

17 http://id.wikipedia.org/wiki/retributif-justice diunduh pada tanggal 16 Maret 201318 Ibid, hal. 593.19 Howar Zahr, The Little Book of Restorative Justice, dikutip oleh Riswanto, Mediasi Penal

sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, 2011, hal. 95.

21

7.

8.

9.

Stigma tidak terhapuskan

Tidak didukung untuk menyesal dan

dimaafkan

Proses bergantung pada aparat

Stigma dapat hilang melalui

tindakan yang tepat

Didukung agar pelaku menyesal

dan diberi maaf oleh korban

Proses bergantung pada

keterlibatan orang yang

terpengaruh oleh kejadian

C. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di Luar

Pengadilan

1. Pengertian Mediasi Penal

Menurut Kovach, mediasi berarti, “facilitated negotiation. It process by

which a neutral party, the mediator, assist disputing parties in reaching a mutually

satisfaction solution.”20 Tom Campbell dalam International Library of Essays in

Law and Legal Theory menyatakan pemahaman yang lebih luas tentang mediasi,

“Mediation represent a political theory about the role of conflict in society, the

importance of equality, participation, self-determination and a form of leaderless

leadership in problem-solving and decision making.” 21 Artinya Mediasi mewakili

teori politis tentang peran konflik dalam masyarakat, pentingnya kesamaan

kedudukan, partisipasi, menentukan apa yang diperlukan diri sendiri, dan sebuah

bentuk dari kepemimpinan dalam menyelesaikan masalah dan mengambil

20 Kimberlee K. Kovach, Mediation Principle and Practice, dalam Suyud Margono, ADR danArbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm 59.

21 Carrie Menkel-Meadow, op.cit., hal 13.

22

keputusan. Sedangkan pengertian mediasi menurut Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2008 adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk mencapai kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.

Mengenai mediasi penal (penal mediation), peristilahan dan pengertiannya

masih sangat sedikit karena wacana tentang mediasi penal baru diperkenalkan di

Indonesia. Barda Nawawi Arief sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara

lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam

istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der

Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis

disebut ”de mediation pénale”.

Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service digambarkan

sebagai proses yang melibatkan kontak antara korban dengan pelaku, baik secara

langsung maupun ditengahi mediator. Proses mediasi secara umum dianggap

sebagai isu lebih lanjut dari keadilan restoratif.22 Keadilan retoratif

mengedepankan konsep dialog, mediasi dan rekonsiliasi dalam penanganan suatu

tindak pidana; suatu metode yang pada prinsipnya tidak dikenal sistem peradilan

pidana, hanya dikenal dalam hukum acara perdata. Mediasi untuk perkara pidana

berupaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku melalui tanggung

jawab dan upaya perbaikan. Para pihak (pelaku, korban, dan mediator)

22 Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, theExecutive Committee of the European Forum for Victim Services, November 2003

23

mengidentifikasi permasalahan dan mencari akar permasalahan bersama lalu

menentukan upaya perbaikan yang diperlukan.

2. Latar Belakang dan Ide Dasar Mediasi Penal

Ada beberapa hal yang melatar belakangi wacana penggunaan mediasi

dalam masalah pidana. Menurut Barda Nawawi, latar belakang pemikirannya ada

yang dikaitkan dengan ide pembaharuan hukum ( legal reform) dan ada yang

dikaitkan dengan masalah pragmatism. Latar belakang ide penal reform itu antara

lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restrotative justice, ide

mengatasi kekakuan atau formalitas dalam system yang berlaku, ide menghindari

efek negative dari system peradilan pidana dan system pemidanaan yang ada saat

ini, khususnya dalam mencari alternative lain dari pidana penjara (alternative to

imprisonment/ alternative to custody). Latar belakang pragmatis antara lain untuk

mengurangi penumpukan perkara (the problem of court case overload), untuk

penyederhanaan proses peradilan dan sebagainya23.

Selain latar belakang teoritik di atas, kearifan local dalam hukum adat di

Indonesia yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan religious sudah lama

mengenal lembaga mediasi untuk perkara pidana, antara lain di Sumatera Selatan,

Aceh, dan Lampung.24 Bahkan di Aceh, mediasi penal sudah dituangkan dalam

Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat yang antara lain intinya

sebagai berikut:

23 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, PenerbitPustaka Magister, Semarang, 2008, hal 21.

24 HIlman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung,

24

Pasal 13:Sengketa diselesaikan terlebih dahulu secara damai melalui musyawarahadat.Pasal 14:- Perdamaian: mengikat para pihak;- Yang tidak mengindahkan keputusan adat, dikenakan sanksi adat.Pasal 15:- Apabila para pihak tidak puas terhadap putusam adat dapat mengajukan

perkaranya ke aparat penegak hukum.- Keputusan adat dapat dijadikan pertimbangan oleh aparat penegak

hukum.

Suatu penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal ternyata telah

dipraktikkan untuk menyelesaikan sengketa akibat dilakukannya tindak pidana

yang serius, yaitu Carok, di Madura. Perkara carok dimungkinkan untuk

diselesaikan dengan mediasi penal karena adanya nilai-nilai budaya masyarakat

Madura yang terbiasa dengan penyelesaian berdasarkan musyawaearh hingga

menghasilkan kesepakatan berupa perdamaian. Hal ini mungkin cukup

mengherankan karena dalam kasus Carok terdapat kerugian yang sangat serius

yaitu hilangnya nyawa, bukan hanya sekedar luka ringan atau hilangnya harta

benda sebagaimana dalam tindak pidana ringan. Ternyata cara masyarakat Madura

memandang carok berbeda dengan pandangan masyarakat umum yang menilai

carok semata-mata adalah tindakan pembunuhan yang sadis.

Orang Madura akan membunuh siapapun ketika harga dirinya dilecehkan,

terutama dalam kaitannya dengan pembelaan keluarga (istri) dan agama. Menurut

mereka agama jelas membolehkan membunuh orang yang mengganggu istri

mereka. Hukum Negara melalui aparat hukumnya tidak melihat hal itu sebagai hal

25

yang sangat penting karena biasanya hukum Negara tidak mempertimbangkan

nilai adat dan agama dalam kaitannya dengan penghormatan harga diri.25

Dalam praktik peradilan pidana Indonesia pun pernah terjadi perdamaian

yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menyatakan tindak pidana yang

terbukti tidak lagi merupakan suatu kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh

karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Keputusan yang pada

waktu itu merupakan suatu terobosan hukum itu dilakukan oleh hakim Bismar

Siregar dalam kasus Ny. Ellya Dado.26

3. Prinsip Kerja Mediasi Penal

Mediasi pidana yang dikembangkan bertolak dari ide dan prinsip kerja

(working principles) sebagai berikut:.27:

a) Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator

adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong

mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa

kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal, konflik itulah yang dituju

oleh proses mediasi,

b) Berorientasi pada proses (Process Orientation): Mediasi penal lebih

berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu menyadarkan pelaku

25 Mahrus Ali, Melampaui Positivisme Hukum Negara, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013,hal 58. Wawancara dengan Riyadi, warga Pamekasan, tanggal 26 Juni.

26 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No.46/PID/78/UT/WANITA, 17Juni 1978. Hakim Ketua Sidang: Bismar Siregar, SH.

27Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Mediation

- a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germanyand France, http://www.iuscrim.mpg.de/ orsch/krim/traenkle_e.html

26

tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan konflikterpecahkan, ketenangan

korban dari rasa takut dicapai, dll,

c) Proses informal (Informal Proceeding - Informalität): Mediasi penal

merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis serta

menghindari prosedur hukum yang ketat,

d) Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autono-mous

Participation - Parteiautonomie/Subjektivierung.

Sementara itu Vasso Artinopoulou menyebutkan hal pertama yang harus

dipastikan dalam mediasi penal adalah persetujuan, kesadaran dan dari kedua

pihak baik korban maupun pelaku untuk menempuh penyelesaian perkara di luar

pengadilan. Dengan adanya kesadaran dari para pihak untuk menempuh jalur

mediasi, maka para pihak tidak dilihat sebagai objek prosedur hukum acara pidana

tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan

kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri

dan mencapai win-win solution berdasarkan pertimbangan sendiri.

Prinsip kerja mediasi penal di atas dianggap senada dengan ide diversi

yang merupakan salah satu model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan,

yang terutama sering diterapkan pada perkara yang melibatkan anak.28 Dari

prinsip-prinsip tersebut berkembanglah beberapa model mediasi. Dalam

“Explanatory memorandum” dari Rekomendasi Dewan Eropa No.R 99/ 19 tentang

28 Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak diIndonesia. Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal 70.

27

“Mediation in Penal Matters”, dikemukakan beberapa model mediasi penal

sebagai berikut29:

a. Model "informal mediation"

Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice

personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian

informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai

kesepakatan. Mediasi ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat

pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi, atau oleh hakim. Jenis

intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

b. Model "Traditional village or tribal moots"

Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik

pidana di antara warganya. Model ini ada di beberapa negara yang kurang

maju di wilayah pedesaan/ pedalaman. Model ini lebih memilih keuntungan

bagi masyarakat luas. Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi

inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program

mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari

pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur

masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakui menurut hukum.

29 http://search.conduit.comMediation in-Penal-Matters html di akses 5 Maret 2013

28

c. Model "victim-offender mediation"

Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh

mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat

berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini

dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap pemeriksaan di

kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan.

Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap

kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah

pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak

pidana; ada yang khusus untuk anak, ada yang untuk tipe pidana tertentu. Ada

yang treutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga

untuk delik-delik berat bahkan untuk residivis.

Model Victim-Offender Mediation adalah model yang di negara kita disebut

dengan mediasi penal karena mediasi penal terutama mempertemukan antara

‘pelaku tindak pidana’ dengan ‘korban’.

d. Model ”Reparation negotiation programmes"

Model ini semata-mata untuk menaksir/ menilai kompensasi atau perbaikan

yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada

saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini tidak berhubungan dengan

rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan

perbaikan materi. Dalam mpdel ini pelaku tindak pidana dapat dikenakan

29

program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/

kompensasi.

e. Model "Community panels or courts"

Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari

penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan

informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model "Family and community group conferences"

Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang

melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana. Model ini

tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga

pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan

hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan

menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta

dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan

berikutnya.

4. Dasar Hukum ADR atau Mediasi Penal di Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pada prinsipnya berdasarkan

hukum positif Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan melalui mediasi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa hanya melingkupi ranah hukum perdata (pasal 6 Undang-

undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif. Meski begitu dalam

30

beberapa peraturan dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar

pengadilan, antara lain:

a) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Menurut

undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan

sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di

bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada

orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina

atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi

dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5 Undang-undang Pengadilan Anak).

Ketika pelaku adalah anak berusia di bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat

diserahkan ke pengadilan dan dimungkinkan perkara diselesaikan di luar

pengadilan melalui mekanisme mediasi.

b) Dalam hal delik yang dilakukan berupa “pelanggaran yang hanya diancam

dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/ hak menuntut

delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda

maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah

dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan pasal 82 KUHP ini

dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang

merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.

c) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang memberi

kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres No. 50

31

Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (Pasal

1 ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4, Pasal 96).

d) Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009

tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).

Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan kekuatan hukum

undang-undang, namun dapat dikatakan Surat Kapolri ini adalah aturan

pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi penal meskipun secara

parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini memerintahkan penyidik untuk

menyaring perkara mana yang harus dilimpahkan ke kejaksaan dan mana

yang lebih baik diselesaikan melalui ADR sebagai perwujudan restorative

justice.

e) Kemungkinan lain ada dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor

2 Tahun 2012 menentukan pencurian dibawah Rp 2.500.000,- tidak dapat

ditahan. Dalam Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh

rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca

menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah. Kemudian, pada

Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan, apabila nilai barang atau uang tersebut

bernilai tidak lebih dari Rp Rp 2.500.000,- Ketua Pengadilan segera

menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus

perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal

205-210 KUHAP dan Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun

32

perpanjangan penahanan. Meski begitu pencuri tidak dibebaskan. Perkara

pencurian yang dilakukan dapat diselesaikan secara kekeluargaan lalu

diproses hukum bila tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Dengan

adanya Perma ini terdakwa yang terlibat dalam perkara tipiring, walaupun

tidak berhasil menyelesaikan perkaranya denagn mediasi, dia tidak perlu

menunggu persidangan berlarut-larut sampai ke tahap kasasi seperti yang

terjadi pada kasus Nenek Rasminah, pencurian piring yang sampai Kasasi.

Selain itu untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi

beban Lembaga Pemasyarakatan.

f) Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme ADR juga dapat didasarkan

pada Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.

Beberapa ketentuan di atas memberi kemungkinan adanya penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga belum secara

eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah diuraikan di atas.

Penyelesaian di luar pengadilan dalam ketentuan di atas belum menggambarkan

secara tegas adanya mediasi yang dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’

untuk dihentikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana.

Begitu pula dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM

dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa

melalui pengadilan. Terutama dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2012 yang

meskipun memberi kemungkinan dilakukannya mediasi, namun tujuan utama

33

PERMA ini adalah memberikan peradilan yang cepat bagi pelaku dan

mengekfektifkan pidana denda, bukan semata-mata mengatur tentang mediasi

yang berorientasi pada pemulihan kerugian korban. Selain itu tidak ditentukan

dengan tegas bahwa akibat adanya mediasi itu dapat menghapuskan penuntutan

atau pemidanaan.

Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah

mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan

Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang

Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal diatur

secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act), yang

diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.30 Menurut Pasal 90 g

KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara pidana dari

pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap melakukan ganti

rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul dan apabila terdakwa.

Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila

diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara

untuk kasus anak.

Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang

mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure), penuntut

30 Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketadi Luar Pengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban HukumKorporasi dalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di InterContinental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.

34

umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum mengambil

keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu ialah: penuntut

umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan korban dan pelaku)

apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang dapat memperbaiki

kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu rehabilitasi pelaku.

Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru dilakukan, namun

apabila berhasil penuntutan diberhentikan.31

Pengaturan mengenai mediasi penal sudah tegas dan berkembang di

banyak negara karena sebenarnya wacana mediasi penal sudah cukup lama

menjadi isu dan perhatian dunia internasional. Salah satu ide dimasukkannya

ADR dalam penyelesaian perkara pidana ada dalam dokumen penunjang Kongres

PBB ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan pidana

(dokumen A/CONF.169/6). 32Dalam dokumen ini diungkapkan perlunya semua

negara mempertimbangkan “privatizing some law enforecement and justice

function” dan “alternative dispute resolution/ADR.” (berupa mediasi, konsiliasi,

restitusi dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana. Khususnya mengenai

ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut:

“The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been

developed in the civil law environment, may well be more widely applicable in

31Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,

http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi,Ibid.

32 Natangsa Surbakti, Gagasan Pemberian Maaf dalam Konteks Kebijakan PembaharuanSistem Peradilan Pidana di Indonesia, Tesis Magister Hukum UNDIP, 2003, hal 24.

35

criminal law. For example, it is possible that some of the serious problems that

complex and lengthy cases involving fraud and white collar crime pose for courts

could be reduced, if not entirely eliminated, by applying principles developed in

conciliation and arbitration hearing. In particular, if the accused is a corporation

or business entity rather than an individual person, the fundamental aim of the

court hearing must be not 21 to impose punishment but to achieve an aoutcome

that is in the interest of society as a whole and to reduce the probability of

recidivism.”

Menurut kutipan di atas, ADR yang telah dikembangkan dalam linglungan

hukum perdata, seyogyanya juga dapat diterapkan secara luas di bidang hukum

perdata. Dicontohkan misalnya, untuk perkara-perkara pidana yang mengandung

unsur “fraud” dan “white collar crime” atau apabila terdakwanya adalah

korporasi/ badan usaga. Ditegaskan pula, apabila terdakwanya adalah korporasi

atau badan usaha, maka tujuan utama dari pemeriksaan pengadilan seharusnya

tidaklah menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi

kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi kemungkinan

terjadinya pengulangan tindak pidana (recidive).

Di Indonesia sebenarnya juga terdapat kemungkinan diaturnya mediasi

penal dalam suatu perundang-undangan secara tegas dan mengikat. Kemungkinan

ini dapat kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang

Mediasi Penal pada Pasal 111 yang merumuskan sebagai berikut:

36

(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau

penyidikan dihentikan demi hukum.

(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga

dilakukan atas dasar:

a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor;

b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengan tersangka.

(3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:

a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara paling lama 4

(empat tahun);

c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;

d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70 (tujuh puluh)

tahun;

e. kerugian sudah diganti;

(4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf e hanya

berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun;

(5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada

atasan penyidik.

37

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melalui mediasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Rancangan KUHAP tersebut menunjukkan kemungkinan mediasi penal

dapat digunakan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan

kemungkinan adanya pengaturan mekanisme mediasi penal dalam peraturan

pemerintah. Pertanyaan yang dapat muncul terhadap rancangan di atas adalah

bagaimana jika keinginan perdamaian muncul tidak pada tingkat penyidikan,

namun pada tingkat selanjutnya yaitu penuntutan dan sidang pengadilan?

Selanjutnya, sebagaimana dalam mediasi untuk perkara perdata, mediasi

penal juga memerlukan mediator yang dapat mempengaruhi efektifitas dan

keberhasilan suatu perundingan damai. Salah satu pihak yang dapat menjadi

mediator dalam mediasi penal adalah penyidik berdasarkan Surat Kapori di atas.

Selain itu advokat juga dapat berperan sebagai mediator berdasarkan pada:

a) Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008. Dalam pasal ini

ditentukan bahwa selain hakim, advokat atau akademisi hukum dapat dipilih

oleh para pihak untuk menjadi mediator. PERMA ini memang mengatur

mediasi untuk perkara perdata namun pada dasarnya tugas mediator baik

dalam upaya penyelesaian perkara perdata maupun pidana pada dasarnya

sama jadi menentukan mediator untuk mediasi penal dapat mengacu pada

peraturan mahkamah agung ini.

38

b) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Bantuan

Hukum dalam pasal 4 menentukan bahwa bantuan hukum yang dapat

diberikan advokat meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan tata

usaha negara baik litigasi maupun nonlitigasi. Adapun bantuan hukum

nonlitigasi ini meliputi: penyuluhan hukum; konsultasi hukum; investigasi

perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik; penelitian hukum;

mediasi; negosiasi; pemberdayaan masyarakat; pendampingan di luar

pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum.

5. Arti Penting Mediasi penal bagi Korban dan Pelaku Kejahatan

Meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana sering ditafsirkan

sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban. Reiff

melihat kurangnya perhatian pada korban dengan mengemukakan bahwa the

problem of crime, always gets reduced to ‘what can be done about criminals’,

nobody asks, ‘what can be done about victims?’ everyones assumes the best ways

to help the victim is to catch the criminal-as though the offenderis the only source

of the victim’s trouble.33 Maksudnya peradilan pidana hanya berorientasi pada

terdakwa. Penuntut dan hakim kerap hanya fokus untuk menentukan seberat apa

pelaku harus dihukum. Pada akhirnya penjatuhan pidana penjara sebagai bentuk

33 J.E. Sahetapy, Victimology Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987,hlm 40.

39

nestapa pun tidak selalu relevan dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan

korban.

Keadilan restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka

pemikiran kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perkara pidana.

Dalam sistem peradilan pidana peran korban kerap hilang karena adanya beberapa

kelemahan sistem peradilan seperti berikut34:

a. Tindak pidana lebih diartikan sebagai penyerangan terhadap otoritas

pemerintahan dan negara dibandingkan serangan kepada korban;

b. Korban hanya menjadi bagian dari sistem pembuktian dan bukan sebagai pihak

yang berkepentingan akan proses yang berlangsung;

c. Proses peradilan hanya difokuskan pada upaya penghukuman pelaku tanpa

melihat upaya perbaikan atas kerugian yang ditimbulkan dan mengembalikan

keseimbangan dalam masyarakat;

d. Dalam penyelesaiannya, fokus perhatian hanya diarahkan pada pembuktian

kesalahan pelaku, komunikasi hanya berlangsung antara hakim dan pelaku,

dialog antara pelaku dan korban sama sekali tidak ada.

Mediasi penal menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam

menangani tindak pidana. Dalam banyak kasus tertentu, berkaitan dengan

34 Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice dan Peradilan Pro Korban, Reparasi danKompensasi Korban dalam Restorative Justice, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta,2011, hal 28.

40

aspek kerugian korban, mediasi penal yang orientasinya memulihkan hak

korban dianggap lebih dapat memenuhi kepentingan dan rasa keadilan korban.

Mediasi Penal berupaya menciptakan dialog antara pelaku dan korban

karena memperhatikan kepentingan pelaku. Pelaku didorong untuk menyadari

kesalahannya dan memahami kerugian korban. Jika pelaku sudah menyadari hal

itu dan bertekad bertanggungjawab dan berbuat baik akan mudah pembinaanya.

Pelaku akan terhindar dari stigma yang akan dia peroleh jika mendapat status

sebagai narapidana. Sanksi berupa pemulihan terhadap hak korban akan

mengembangkan tanggung jawab pelaku. Menjalani hukuman penjara memang

merupakan bentuk tanggung jawab pelaku atas kejahatannya, namun dengan

menjalani pembinaan di penjara pelaku menjalani tanggung jawab secara pasif.

D. Diskresi Kepolisian

1. Pengertian Diskresi Kepolisian

Diskresi berasal dari bahasa Inggris ”discretion“ yang menurut kamus

umum yang disusun John M Echols, dkk., berarti kebijaksanaan, keleluasaan.35

Menurut kamus hukum diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan

dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.36 Thomas J.

Aaron menyatakan bahwa diskresi artinya suatu kekuasaan atau wewenang yang

35 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1981,hlm 185.

36 J.C.T Simorangkir, dkk., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1980, hlm 45.

41

dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinannya dan lebih

menekankan pertimbangan moral daripada pertimbangan hukum. Sedangkan

menurut Barker konsep dari diskresi adalah wewenang yang diberikan hukum

untuk bertindak dalam situasi khusus sesusi dengan penilaian-penilaian dan kata

hati instansi atau pengawas itu sendiri.37

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat diartikan bahwa diskresi

kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil suatu keputusan pada kondisi

tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi dalam kapasitas petugas

polisi, untuk menentukan tindakan dari beberapa puluhan baik legal maupun

illegal. Meskipun didasarkan atas pertimbangan dan keyakinan pribadi, diskresi itu

dilakukan bukan lepas dari ketentuan hukum tapi tetap dilakukan dalam kerangka

hukum. Dalam pembicaraan tentang diskresi kepolisian ini, M. Faal

mencontohkan polisi dapat melakukan tindakan penangkapan atau tidak terhadap

seseorang walau ia yakin telah ada bukti-bukti permulaan. Misalnya seorang

pelajar mencuri mangga orang lain, secara yuridis formal ia telah memenuhi

unsur-unsur tindak pidana, tetapi seorang polisi yang mengetahui tindak pidana itu

tidak bertindak untuk memprosesnya, hanya menasihati lalu melepasnya.38

Tindakan polisi itu seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif.

Namun apabila kita kaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai dengan tujuan hukum

37 Barker dikutip dalam Riswanto, 2011, Mediasi Penal sebagai Alternatif PenyelesaianPerkara di luar Pengadilan, Tesis, Purwokerto, hal. 105.

38 M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,Jakarta, 1991, hlm 16.

42

yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi tersebut memutuskan

untuk tidak memproses pelajar itu karena pertimbangan bahwa penggunaan hukum

pidana bukan satu-satunya cara untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap

anak-anak.

2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakkan Hukum

Diskresi sebagai salah satu wewenang yang diberikan kepada Polisi

Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan upaya pencapaian penegakan

hukum, dan diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum

itu sendiri. Di negara Belanda mengenai wewenang Kepolisian dinyatakan dengan

tegas oleh pengadilan tertinggi Hooge Raad dalam arrestnya pada tanggal 19

Maret 1917 bahwa tindakan polisi dapat dianggap rechmatig (sah) walaupun

tanpa“Speciale wettelijke machtinging” (pemberian kekuasaan secara khusus oleh

undang - undang ) dengan pembatasan harus didasarkan kepada wewenang umum

(elgemene bevoegdhied) dan harus termasuk lingkungan kewajiban - kewajiban

(plichmatigheid) dari pada si petugas itu.

Di Indonesia tercantum dalam Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Republik Indonesia pasal 18, disebutkan :

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri”.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan

43

perundang – undangan, serta kode etik Profesi Kepolisian Negara Republik

Indonesia”.

Wewenang untuk melakukan tindakan yang diberikan kepada POLRI

umumnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : wewenang - wewenang umum

yang mendasarkan tindakan yang dilakukan polisi dengan azas Legalitas dan

Plichmatigheid yang sebagian bersifat preventif dan yang kedua adalah wewenang

khusus sebagai wewenang untuk melaksanakan tugas sebagai alat negara penegak

hukum khususnya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dimana

sebagian besar bersifat represif.

Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick didasarkan kepada

pertimbangan - pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip

kelembagaan, sebagai berikut:

a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada

seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.

b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin

apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa

tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.

Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi maka polisi memiliki

kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan dimana

keputusannya bisa diluar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan

atau diperbolehkan oleh hukum. Meski begitu, diskresi bukanlah hal yang

sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Untuk mencegah tindakan

44

sewenang-wenang atau arogansi petugas tersebut yang didasarkan atas

kemampuan atau pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan

Tugas Bintara polisi maka tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:39

1. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan.

2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.

3. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu

gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih

besar .

4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan

keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar

kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Selain itu penerapan diskresi oleh polisi juga harus berdasar pada asas-asas

hukum (asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan), konsistensi dengan misi

kepolisian sebagai pelayan keamanan, tidak sewenang-wenang, dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum maupun moral, serta dilakukan demi

kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi maupun organisasi.40

3. Hubungan Diskresi Kepolisian dengan Penerapan Mediasi Penal

Adanya diskresi polisi dalam bentuk penyaringan perkara itu didasarkan

pada pemikiran bahwa di dalam kenyataannya hukum itu tidak seharusnya secara

39 MABESPOLRI, 2002, Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI Di Lapangan, Jakarta, hal.132

40 Chrysnanda Dwilaksana, 2001, Corak Diskresi dalam Proses Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas, UI,Jakarta, hal. 36, dikutip dalam Riswanto, Op.Cit., hal. 85.

45

membabi buta diperlakukan kepada siapapun dalam kondisi apapun persis seperti

bunyi peraturan perundang-undangan. Diskresi kerap diterapkan pada tingkat

penyidikan dengan pertimbangan agar polisi yang berada dalam barisan paling

depan dalam sistem peradilan pidana tidak disibukkan oleh tumpukan perkara

yang seharusnya dapat diselesaikan tanpa proses di pengadilan. Saat polisi

menggunakan asas diskresinya, pada tahap itulah mediasi penal dapat terjadi.

Penerapan diskresi polisi yang berkaitan dengan penyelesaian perkara

pidana di luar pengadilan dapat kita lihat dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun

2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat

dalam Penyelenggaraan Tugas Kapolri, yang secara umum prinsip-prinsipnya

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sebagai strategi yaitu model perpolisian yang menegakkan pada kemitraan

sejajar antara petugas polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan

dan mengatasi masalah sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban

masyarakat dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan

akan kejahatan.

2. Sebagai falsafah, Polmas mengandung makna sutau model perpolisian yang

menekankan hubungan yang menjunjung nilai-nilai sosial kemanusiaan dan

menampilkan sikap santun dan saling menghargai antara polisi dan warga

dalam rangka menciptakan kondisi yang menunjang kelancaran fungsi

kepolisian dan peningkatkan kualitas hidup masyarakat.

46

3. Upaya penegakkan hukum lebih diutamakan kepada sasaran peningkatan

kesadaran hukum daripada penindakan.

4. Upaya penindakan hukum merupakan alternatif tindakan paling akhir bila

upaya pemecahan masalah bersifat persuasive tidak berhasil.

5. Penerapan konsep Alternative Dispute Resolution yaitu pola penyelesaian

masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif yaitu menetralisir

masalah selain melalui proses hukum/ non litigasi (missal perdamaian).

Penerapan mediasi penal yang didasarkan pada dikresi kepolisian pun

semakin dikuatkan dengan dikeluarkannya Surat Kapolri No Pol

B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus

melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Pada surat Kapolri ini ditentukan

beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu:

- Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugian materi kecil,

penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR;

- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh

pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru

diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional

dan proporsional;

- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati

norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan;

47

- Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak

lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan

Polmas.

E. Bantuan Hukum

1. Pengertian dan Konsep Bantuan Hukum

Konsep bantuan hukum yang berkembang di negara kita pada hakikatnya

tidak luput dari arus perkembangna hukum yang terdapat di negara-negara yang

sudah maju. Di dunia Barat pada umumnya, pengertian bantuan hukum

mempunyai ciri yang berbeda dalam istilah yang berbeda, seperti berikut ini41:

- Legal Aid, yang berarti pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang

yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang karakteristiknya:

a. pemberian jasa hukum dilakukan dengan cuma-cuma,

b. bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak

mampu dalam lapisan masyarakat miskin,

c. dengan demikian motivasi utama dalam konsep legal aid adalah

menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi

rakyat kecil yang tak berpunya dan buta hukum.

- Legal Assistance, yang mengandung pengertian lebih luas dari legal aid

karena pada legal assistance di samping mengandung makna memberi jasa

41 Yahya Harahap, Op., Cit., hal 333.

48

bantuan hukum, lebih dekat dengan pengertian yang kita kenal dengan profesi

advokat, yang memberi bantuan:

a. baik kepada mereka yang mampu membayar prestasi,

b. maupun kepada mereka yang miskin secara cuma-cuma.

- Legal Service, istilah ini dapat kita terjemahkan dengan ‘pelayanan hukum’.

Konsep dan makna legal service lebih luas dari konsep dan makna legal aid

atau legal assistance, karena dalam legal service terkandung makna dan

tujuan:

a. memberi bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya

bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam

penegakkan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang

berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber

dana dan posisi kekuasaan,

b. dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat

yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh

aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang

dibenarkan hukum tanpa membedakan yang kaya dan miskin,

c. di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak

yang diberikan hukum kepada setiap orang, legal service di dalam

operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap sengketa

dengan menempuh cara perdamaian,

49

Itulah pengertian bantuan hukum yang dijumpai dalam praktek di beberapa

negara. Mereka memisahkan istilah dan konsep bantuan hukum dalam tiga pola.

Sementara di Indonesia, jarang sekali ada pembedaan istilah tersebut dalam

pemberian bantuan hukum. kalangan profesi dan praktisi biasanya hanya

mempergunakan istilah ‘bantuan hukum’.

Menurut Adnan Buyung Nasution42, bantuan hukum pada dasarnya

meliputi segala pekerjaan dan servis yang diberikan oleh seorang advokat atau

pengacara terhadap kliennya, di dalam proses peradilan. Menurut Pratno

Koesoemo43, bantuan hukum adalah bantuan yang diberikan oleh ahli hukum

kepada seseorang baik di dalam maupun di luar pengadilan yang menyangkut

hukum. Menurut Yahya Harahap44, bantuan hukum berarti pemberian jasa di

bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara,

dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tak punya dan

buta hukum. Menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal

1 angka 9, bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara

cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu.

Unsur klien yang tidak mampu sebagai penerima bantuan hukum juga

ditekankan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan

Hukum. Hal ini dijelaskan pada Pasal 1 angka 1, bahwa bantuan hukum adalah

42 Adnan Buyung Nasution dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 27.43 Pratno Koesoemo dalam Soerjono Soekanto, Ibid, hlm 27.44 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan danPenuntutan). Sinar Grafika: Jakarta Jakarta, hlm 363.

50

jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma

kepada penerima bantuan hukum. Adapun yang dimaksud penerima bantuan

hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang mana hal ini di terangkan

di ayat selanjutnya.

KUHAP tidak menyebutkan secara jelas tentang pengertian bantuan

hukum. Meski begitu terdapat pengaturan bantuan hukum berkaitan dengan

pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang dirumuskan dalam Pasal 56 KUHAP

sebagai berikut:

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhakmendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukumselama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”

Dari berbagai definisi di atas terdapat perbedaan pada bagian ruang lingkup

pemberian bantuan hukum. Adnan Buyung Nasution berpendapat bahwa bantuan

hukum meliputi segala jasa yang diberikan oleh pengacara terhadap kliennya di

dalam proses peradilan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa bantuan hukum

tidak hanya diberikan oleh pengacara dalam proses pengadilan, tapi juga di luar

pengadilan. Pendapat ini sejalan dengan Pasal 4 Undang-undang No. 16 Tahun

2001 tentang Bantuan Hukum yang merumuskan:

“Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputimasalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik litigasimaupun nonlitigasi dan meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untukkepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum. “

2. Jenis Bantuan Hukum

51

Pembedaan antar jenis bantuan hukum akan sangat berguna bagi penelitian

mengenai korelasi antara berbagai faktor sosial dengan jenis-jenis bantuan hukum

tersebut. Penjenisan bantuan bantuan hukum akan dapat dijadikan pedoman, untuk

melakukan penelitian terhadapnya. Atas dasar pembedaan tertentu, akan dapat

diatasi masalah-masalah pokok seperti45:

1. Pihak-pihak manakah yang dapat memberikan jenis-jenis bantuan hukum

tertentu?

2. Keahlian apakah yang diperlukan bagi penyelenggaraan dan pemberian

bantuan hukum tertentu?

3. Pihak manakah yang membiayai bantuan hukum dan bagaimana caranya?

4. Bentuk-bentuk pendekatan interdisipliner yang bagaimana yang perlu

diterapkan?

5. Pada bentuk atau jenis bantuan hukum manakah yang harus diadakan

identifikasi terhadap karakteristik pihak yang berhak untuk menerima bantuan

hukum?

Menurut Schuyt, Groenendijk dan Sloot46, dibedakan antara lima jenis

bantuan hukum, sebagai berikut:

1. Bantuan Hukum Preventif yaitu penerangan dan penyuluhan hukum kepada

warga masyarakat luas.

2. Bantuan hukum diagnostic yaitu pemberian nasihat atau konsultasi hukum.

45 K. Schuyt dalam Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, GhaliaIndonesia, Jakarta, 1983, hlm 27.46 Ibid, hal. 27

52

3. Bantuan hukum pengendalian konflik yaitu bantuan hukum yang bertujuan

untuk mengatasi masalah hukum konkrit secara aktif.

4. Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk

memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar.

5. Bantuan hukum pembaharuan hukum yang usaha-usaha untuk mengadakan

pembaharuan hukum melalui hakim atau pembentuk undang-undang.

Adapun di Indonesia ada beberapa jenis bantuan hukum yang diberlakukan,

yaitu:

1. Bantuan Hukum Konvensional.

Bantuan ini adalah sebuah tanggungjawab moral ataupun profesional bagi

para advokat atau pengacara yang sifatnya meliputi individual, bersifat

pasif juga terbatas antara pendekatan formal atau juga legal. Bentuk

bantuan hukum konvensional adalah berupa pendampingan atau pembelaan

yang terjadi di pengadilan.

2. Bantuan Hukum Konstitusional.

Bantuan ini adalah bantuan khusus untuk para masyarakat yang miskin.

Semua itu dilakukan berdasarkan kepada kerangka usaha-usaha yang lebih

luas dari sekedar pelayanan hukum di pengadilan. Bantuan hukum ini

diorientasikan ke dalam sebuah sebuah perwujudan negara hukum

berlandaskan pada prinsip demokrasi dan juga Hak Asasi Manusia.

Bantuan hukum ini berdasarkan pada sebuah kewajiban dalam kerangka

menyadarkan semua orang sebagai subyek hukum yang sama-sama

53

mempunyai hak tanpa dibedakan dengan golongan lain. sifat dari bantuan

hukum ini adalah aktif dan tidak terbatas pada setiap individu juga kepada

formal legal.

3. Bantuan Hukum Struktural

Dalam bantuan hukum yang satu ini, bantuan hukum bukan hanya sebagai

tempat pelayanan bagi masyarakat miskin tapi juga menjadi gerakan untuk

melakukan pembebasan masyarakat dari segala belenggu dalam segala

struktur dari bidang ekonomi, politik, sosial, juga yang sampai saat ini

masih banyak yang mengisyaratkan penindasan. Dalam bantuan hukum

struktural, masyarakat miskin mendapatkan berbagai macam pengetahun

tentang semua hal yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan

bersama mereka, kemudian pemberian pengertian kepada mereka tentang

apa saja kepentingan dan hak yang harus dan perlu dilindungi oleh hukum.

Konsep bantuan hukum struktural dikembangkan oleh Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan cita-cita mewujudkan negara hukum

yang penuh dan menjamin keadilan sosial. Lembaga bantuan hukum yang pernah

diketuai oleh Adnan Buyung Nasution ini ingin agar para klien yang terjerat

masalah hukum tidak sepenuhnya bergantung pada pengacara dan dapat ikut

menyelesaikan permasalahannya.

3. Hak Masyarakat akan Bantuan Hukum

54

Hak atas bantuan hukum adalah bagian dari proses peradilan yang adil dan

inherent di dalam prinsip Negara hukum dan merupakan salah satu prinsip HAM

yang telah diterima secara universal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 deklarasi

Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menjamin persamaan kedudukan di

muka hukum dan dijabarkan dalam International Covenant on Civil dan Political

Rights (ICCPR) atau Konvensi Hak Sipil dan Politik.

Begitu pentingnya jaminan akan bantuan hukum membuat hak bantuan

hukum dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak yang tak dapat dikurangi)

dan dijamin dalam Pasal 17, 18, 19 dan 34 Undang-undang No. 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia. Hak bantuan hukum juga merupakan hak

konstitusional, yang ditunjukkan dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan ketiga UUD

1945 dengan menegaskan adanya persamaan di hadapan hukum dan pernyataan

bahwa Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu, Undang-undang No 14 tahun

1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan perubahannya

dalam Undang-undang No. 48 tahun 2009, dalam Pasal 56 menyatakan setiap

orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Akhirnya perihal hak akan bantuan hukum diatur secara khusus dalam

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Meski begitu

berdasar pada Pasal 24, pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bantuan hukum

dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan

dalam undang-undang ini.

55

F. Advokat dalam Penegakkan Hukum

1. Pengertian Advokat

Menurut Black’s Law Dictionary, kata advokat berasal dari kata latin yaitu

advocare yang berarti: seseorang yang membantu, mempertahankan, membela,

membela orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan

berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang mempelajari

hukum dan telah diakui untuk berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien

dan berbicara untuk yang bersangkutandi hadapan pengadilan. Seorang asisten,

penasihat, atau pembicara untuk kasus-kasus.47

Selanjutnya Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

mendefinisikan advokat dalam pasal 1 angka (1) sebagai berikut:

“Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik didalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratanberdasarkan ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian dapatdisimpulkan cakupan advokat meliputi mereka yang melakukanpekerjaan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.”

2. Peran dan Fungsi Advokat

Peran dan fungsi advokat dapat diketahui dari definisi advokat di atas, yaitu

sebagai pemberi bantuan hukum yang dilakukan di pengadilan dan di luar

pengadilan, mencakup seluruh masalah hukum publik maupun hukum privat.

47 Henry Campbel Black, Blacks’s Law Dictionary, West Publishing Co., St.Paul, 1990, hlm55.

56

Secara normatif, Undang-undang Advokat telah menegaskan bahwa peran advokat

adalah penegak hukum. Menegakkan hukum lazim diartikan sebagai

mempertahankan hukum atau “reshtshanhaving” dari setiap pelanggaran atau

penyimpangan. Hukum diartikan dalam arti yang luas, baik hukum sebagai produk

kekuasaan publik (law as command of the sovereign).

Secara sosiologis, ada suatu jenis hukum yang mempunyai daya laku lebih

kuat dibanding hukum yang lain. Didapati hukum sebagai produk kekuasaan

ternyata tidak sesuai dengan hukum yang nyata hidup dalam masyarakat. Berdasar

fenomena tersebut, maka peran advokat dalam menegakkan hukum akan

berwujud, yaitu48:

1. Mendorong penerapan hukum yang tepat untuk setiap kasus atau perkara

2. Mendorong penerapan hukum tidak bertentangan dengan tuntutan kesusilaan,

ketertiban umum dan rasa keadilan individual dan sosial.

3. Mendorong agar hakim tetap netral dalam memeriksa dan memutus perkara,

bukan sebaliknya menempuh segala cara agar hakim tidak netral dalam

menerapkan hukum. Karena itu salah satu asas penting dalam pembelaan,

apabila berkeyakinan seorang klien bersalah, maka advokat sebagai penegak

hukum akan menyodorkan asas “clemency” atau sekedar memohon keadilan.

Banyak orang beranggapan ruang lingkup pekerjaan advokat hanya

berkaitan dengan beracara di pengadilan atau pekerjaan litigasi. Sebetulnya masih

48Bagir Mannan, Peran Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa dalam Majalah

Hukum No. 240 September 2005

57

terdapat banyak pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan

pekerjaan non-litigasi yang meliputi pemberian pelayanan hukum (legal service),

nasihat hukum (legal advice),pendapat hukum (legal opinion), menyusun kontrak

(legal drafting), memberikan informasi hukum dan membela dan melindungi hak

asasi manusia.49 Bentuk bantuan non litigasi lain yang diatur adalah penyuluhan

hukum; investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;

penelitian hukum; mediasi; negosiasi; pemberdayaan masyarakat;

pendampingan di luar pengadilan; dan/atau drafting dokumen hukum.

Pekerjaan non-litigasi di Indonesia memiliki kesamaan dengan tugas

socilitor, yaitu mereka yang dapat melakukan pekerjaan di bidang hukum tetapi

tidak tampil di pengadilan. Agak mirip dengan hal ini, fungsi advokat di Amerika

Serikat dapat dibagi ke dalam tiga jenis: advokat yang mewakili pekerjaan di

pengadilan; advokat sebagai penasihat; advokat sebagai juru runding.

3. Advokat sebagai Officium Nobile

Tugas advokat bukanlah merupakan pekerjaan (vocation beroep), tetapi

lebih merupakan profesi. Profesi advokat disebut sebagai profesi mulia (officium

nobile) sebagaimana hakim, jaksa, dan polisi yang wajib melakukan pembelaan

kepada semua orang tanpa membedakan latar belakang ras, warna kulit, agama,

budaya, kaya-miskin, keyakinan politik dan gender. Profesi advokat ini meliputi

unsur manusia dengan kualitas dan kualifikasi tertentu yang diperlukan untuk

menjalankan tugas profesinya. Selain itu, advokat juga dapat dilihat sebagai

49 V. Harlen Sinaga, Dasar-dasar Profesi Advokat, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2011, hlm 20.

58

institusi atau organisasi profesi yang bertanggung jawab dalam mengelola profesi

advokat serta memastikan bahwa setiap advokat memiliki kualitas dan kualifikasi

yang ditentukan.50

Advokat sebagai profesi mulia yang dalam menjalankan profesinya berada

di bawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan

yang didasarkan pada kehormatan dan kepribadian advokat yang berpegang teguh

pada Kemandirian, Kejujuran, kerahasiaan, dan Keterbukaan.51 Dalam usaha

mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan

bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga penegak

hukum lainnya seperti pengadilan, jaksa dan kepolisian. Melalui jasa hukum yang

diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan

berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk

usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka

di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan

salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.

50 Jimly Asshiddiqie, Kitab Advokat Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm. xi51 Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Kanwa Publisher,

Yogyakarta, 2010, hlm 96.

59

BAB III

Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini beranjak dari hukum acara pidana dalam hal penanganan

perkara pidana melalui jalur non-litigasi atau yang mulai dikenal dengan istilah

Mediasi Penal. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis,

yaitu metode yang mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi kehidupan

masyarakat yang menekankan pada pencarian keajegan-keajegan empiris dengan

konsekuensi selain mengacu pada hukum tertulis juga mengadakan observasi

terhadap tingkah laku yang benar-benar terjadi.52

Dipilihnya penelitian kualitatif ini didasarkan alasan bahwa: (1) hukum

dalam penelitian ini diartikan sebagai makna-makna simbolik sebagaimana

termanifestasikan dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga

masyarakat; (2) agar dapat mengungkap dan mendapatkan makna yang mendalam

dan rinci terhadap obyek penelitian dari informan.53 Dalam hal ini adalah makna-

makna yang akan disimak adalah mengenai bagaimana peran advokat sebagai

pemberi bantuan hukum ketika ADR (mediasi) dipilih sebagai penyelesaian

perkara pidana, lalu bagaimana peran advokat dalam menerapkan mediasi penal

itu. Selain itu penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyimak makna dari

52 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,Jakarta, 1998, hlm 11.

53 Sutandyo Wignyosoebroto. 2006. Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian danMetode Penelitiannya. Makalah Lokakarya. Semarang: Yayasan Dewis Sartka. hlm. 2.

60

perilaku para pihak dalam mediasi penal berkaitan dengan bagaimana penerapan

mediasi penal, apa dasar tujuannya dan seperti apa hasil serta akibat hukumnya.

Dalam penelitian ini penulis akan fokus advokat mengenai keterlibatan

mereka dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Selain itu juga pada

pihak lain yang terlibat atau pernah terlibat dalam mediasi penal yaitu penyidik,

tersangka dan korban. Dengan narasumber tersebut diharapkan akan terbuka

informasi baru yang belum pernah terungkap sebelumnya.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu

penelitian yang bertujuan menggambarkan keadaan atau gejala dari objek yang

akan diteliti.54 Deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek

atau obyek penelitian pada saat sekarang secara utuh berdasarkan fakta-fakta yang

nampak sebagaimana keadaannya. Dalam penelitian ini penulis akan

menggambarkan perilaku advokat di wilayah hukum polresta Surakarta pada saat

penerapan mediasi penal sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non-litigasi.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan secara purposive dengan mendasar pada

alasan-alasan, kemampuan pendanaan, dan keperluan informasi. Lokasi penelitian

54 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 9.

61

akan dilakukan di kantor advokat di Surakarta, Polresta Surakarta, dan kediaman

korban.

4. Sumber Data

Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis

adalah data primer dan sebagai pendukung digunakan data sekunder.

a. Data primer, adalah informasi dan pendapat yang didapat langsung atau

bersumber dari mereka yang berkaitan dengan penerapan mediasi penal.

Dalam penelitian ini narasumber yang berkaitan dengan penerapan mediasi

penal terutama adalah advokat yang memberi bantuan hukum di wilayah

hukum Polresta Surakarta, baik yang berasal dari kantor Pengacara maupun

Lembaga Bantuan Hukum di Solo. Selain itu sebagai data primer didukung

oleh informasi dan pendapat dari Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian

Resor Surakarta, tersangka dan korban yang pernah terlibat dalam penerapan

mediasi penal.

b. Data sekunder, yakni data tertulis yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah serta dokumen-dokumen

yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. Peraturan perundang-

undangan meliputi undang-undang dan peraturan daerah yang meskipun

tidak secara khusus mengatur tentang mediasi penal namun relevan dengan

penerapan dan kajian mediasi penal.

62

5. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan metode wawancara yang

terutama dilakukan dengan advokat. Wawancara akan dilakukan secara

terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara

terdapat pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah

yang dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah

dipersiapkan.55 Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk

membangkitkan pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara

berterus terang.56

2. Data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan

perundang-undangan, buku-buku literatur, karya-karya ilmiah, serta

dokumen yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

6. Metode Penyajian Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari narasumber penelitian melalui

wawancara maupun data pendukung akan disajikan dalam bentuk teks naratif dan

disusun secara sistematis sebagai kesatuan yang utuh.

55 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal 60.56 Ibid, hal 61.

63

7. Metode Penentuan Sampel

Proses pemilihan dan cara penetapan sampel dalam penelitian ini

menggunakan purposive sampling dengan criterian based selection. Melalui

pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan criterian based

selection, maka peneliti cenderung memilih narasumber yang dianggap tahu dan

dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalah

secara mendalam. Dalam penelitian ini, yang ditentukan sebagai sebagai sampel

dalam penelitian ini adalah advokat yang dianggap tahu, dapat dipercaya dan

memiliki pengalaman seputar penerapan dan permasalahan mengenai mediasi

penal. Dari beberapa advokat yang diwawancarai, diantaranya terdapat advokat

yang menjabat sebagai ketua organisasi advokat yang dianggap tidak hanya dapat

memberikan informasi mengenai penerapan mediasi penal yang dia lakukan

sendiri tapi juga informasi mengenai isu Mediasi Penal di kalangan advokat di

Solo pada umumnya. Selain itu sampel lain yang dipilih karena berkaitan dengan

penerapan mediasi penal adalah Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor

Surakarta, korban dan tersangka.

8. Metode Validitas Data

Cara yang digunakan untuk menguji validitas, keansihan, keabsahan atau

kebenararn data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan triangulasi. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber,

yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi

64

yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.

Menurut Moleong, triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data

dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.57

9. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif,

yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut,

logis, tidak tumpang tindih, dan efektif. Data yang diperoleh disusun secara

sistematis, untuk selanjutnya dianalisa secara kualitatif, dengan menggunakan

teori-teori dalam hukum pidana formil, materil dan kriminologi, kemudian diambil

simpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.

57 Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PTRemaja Rosada Karya. hal. 330.

65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai

Alternatif Pernyelesaian perkara Pidana (Studi Penerapan Mediasi Penal di Wilayah

Hukum Polresta Surakarta) ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis atau

sosio-legal research. Dalam penelitian ini diperlukan data primer atau data empiris

dan data sekunder. Data primer yaitu data berupa informasi dan pendapat yang

diperoleh langsung dari advokat, penyidik, korban dan tersangka. Data sekunder

diperoleh dari peraturan perundang-undangan, literatur dan doktrin yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti.

Peranan advokat yang diteliti oleh penulis adalah peranan advokat dalam

menerapkan mediasi atau penyelesaian perkara pidana luar pengadilan untuk

kliennya, baik pelaku maupun korban, sebagai suatu bentuk pemberian bantuan

hukum non-litigasi. Bab ini menyajikan hasil penelitian dan analisis data baik data

primer maupun data sekunder yang diperoleh selama penelitian di lapangan di lokasi

penelitian, dengan menggunakan metode kualitatif. Data sekunder akan disajikan

terlebih dahulu untuk mengetahui dasar dari peranan advokat dalam menerapkan

mediasi penal.

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Penelitian Data Sekunder

1.1.Mediasi sebagai Bantuan Hukum Non Litigasi

66

Ruang lingkup bantuan hukum yang diatur oleh Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah meliputi bantuan

hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-undang

Nomor 16 tahun 2011 yang merumuskan sebagai berikut:

(1) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukumyang menghadapi masalah hukum.

(2) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputimasalah hukum keperdataan, pidana, dan tata usaha negarabaik litigasi maupun nonlitigasi.

(3) Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputimenjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela,dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentinganhukum Penerima Bantuan Hukum.

Baru-baru ini, perihal bantuan hukum litigasi dan non litigasi telah

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang

Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana

Bantuan Hukum. Dalam peraturan ini litigasi didefinisikan sebagai proses

penanganan Perkara hukum yang dilakukan melalui jalur pengadilan untuk

menyelesaikannya. Pemberian Bantuan Hukum secara Litigasi dilakukan oleh

Advokat yang berstatus sebagai pengurus Pemberi Bantuan Hukum dan/atau

Advokat yang direkrut oleh Pemberi Bantuan Hukum. Pasal 16 dalam

peraturan ini menentukan pemberian bantuan hukum litigasi meliputi:

a. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dantingkat penyidikan, dan penuntutan;

b. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam prosespemeriksaan di persidangan; atau

c. pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap PenerimaBantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.

67

Adapun menurut Pasal 1 ayat 9 bantuan hukum non litigasi adalah

proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan

untuk menyelesaikannya. Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat

dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum

dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan

akreditasi. Pasal 16 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013

menentukan sebagai berikut:

Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan:a. penyuluhan hukum;b. konsultasi hukum;c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;d. penelitian hukum;e. mediasi;f. negosiasi;g. pemberdayaan masyarakat;h. pendampingan di luar pengadilan; dan/ataui. drafting dokumen hukum.

Dari ketentuan peraturan pemerintah di atas dapat kita ketahui bahwa

mediasi adalah salah satu bentuk bantuan hukum non litigasi. Lalu apakah

relevansinya dengan penerapan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan?

Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

untuk memperoleh kesepakatan (damai) para pihak dengan dibantu oleh

mediator (Pasal 1 butir 7 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan). Berdasarkan pada rumusan pengertian mediasi, baik

pengertian menurut PERMA di atas maupun menurut para ahli yang telah

68

diuraikan pada bab sebelumnya, dapat kita simpulkan unsur-unsur mediasi

adalah :

a. merupakan suatu proses penyelesaian sengketa berdasarkan

kesukarelaan melalui suatu perundingan

b. adanya mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak untuk

membantu mencari penyelesaian

c. mediasi bertujuan menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima

pihak-pihak yang bersengketa.

Dari pengertian mediasi dan uraian unsur-unsur di atas, tidak

ditemukan adanya pembatasan mengenai ruang lingkup pelaksanaan mediasi

hanya untuk sengketa perdata. Selain itu, berdasarkan Pasal 4 Undang-undang

Bantuan Hukum di atas, bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan

hukum yang menghadapi masalah hukum yang meliputi masalah hukum

keperdataan, pidana, dan tata usaha negara baik secara litigasi maupun non

litigasi. Dengan demikian mediasi sebagai bantuan hukum non-litigasi dapat

diberikan kepada klien yang sedang menghadapi masalah hukum perdata,

pidana maupun tata usaha negara.

Satu-satunya peraturan di Indonesia yang mengatur mediasi secara

eksplisit adalah Pertauran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan dan dalam peraturan ini mediasi dimaksudkan

untuk menyelesaikan sengketa perdata. Meski begitu, dengan adanya

ketentuan Pasal 4 Undang-undang Bantuan Hukum, maka mediasi

69

dimungkinkan untuk diterapkan tidak hanya untuk masalah hukum perdata

namun juga pidana dan tata usaha negara. Hal ini memang bukan berarti Pasal

4 di atas memberi legitimasi pada Mediasi Penal, melainkan menegaskan

bahwa pemberian bantuan hukum tidak hanya sebatas memberikan pelayanan

hukum secara litigasi namun juga secara non litigasi, yang salah satu

bentuknya adalah mekanisme mediasi. Selanjutnya, berkaitan penerapan

mediasi penal untuk menyelesaikan perkara pidana dengan peran advokat,

peran advokat dalam penelitian ini adalah dalam konteks pemberian bantuan

hukum non litigasi dalam bentuk mediasi.

1.2.Advokat sebagai Pemberi Jasa Hukum dan Bantuan Hukum

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

menentukan bahwa kriteria pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan

hukum atau organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum, terakreditasi,

memiliki kantor atau sekretariat tetap, memiliki pengurus dan memiliki

program bantuan hukum.

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam

maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

ketentuan-ketentuan undang-undang. Menurut Undang-undang Nomor 18

Tahun 2003, yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan

70

Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan

kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum

lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Salah satu jasa hukum

yang diberikan advokat adalah pemberian bantuan hukum, yaitu jasa hukum

yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada klien

yang menghadapi masalah hukum, baik masalah hukum perdata, pidana

maupun tata usaha Negara. Selain itu jasa hukum dan bantuan hukum yang

dapat diberikan oleh advokat tidak hanya secara litigasi melainkan juga non

litigasi. Hal ini sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (9) Peraturan

Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian

Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, bahwa pemberian

bantuan hukum secara non litigasi (salah satunya adalah mediasi), dapat

dilakukan oleh advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum

dalam lingkup Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan

akreditasi.

Jasa hukum yang berkaitan dengan mediasi atau perdamaian

dikemukakan oleh Soemarno P. Wirjanto. Menurut Soemarno P. Wirjanto,

tugas advokat ada tiga macam, yaitu:

a. Sebagai procurator, yaitu mewakili dan membantu kliennya didalam segala pekerjaan yang diperlukan untuk mempersiapkanperkara pengadilan sehingga siap untuk diputus hakim;

71

b. Sebagai pleader atau pleiter, yaitu mengucapkan pledoi, presentasifakta-fakta, argumentasi hukum, sehingga hakim mendapatpandangan yang tepat terhadap fakta-fakta suatu perkara danhukum yang berlaku untuk itu;

c. Sebagai juris-consult, yaitu memberi nasehat hukum di luarperadilan, membantu dengan atau membuat akta-akta hukum,perdamaian hukum dan lain-lain58.

1.3.Advokat sebagai Mediator

Advokat sebagai pemberi jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi

dalam bentuk mediasi dimungkinkan berperan sebagai mediator. Peraturan

yang secara eksplisit mengatur advokat sebagai mediator adalah PERMA

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan. Pasal 8 Ayat 1

PERMA Nomor 1 tahun 2008 menentukan sebagai berikut:

Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihanberikut ini:a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang

bersangkutan;b. Advokat atau akademisi hukumc. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

berpengalaman dalam pokok sengketa;d. Hakim majelis pemeriksa perkara;e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d,

atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d.

PERMA ini memang mengatur mediasi untuk perkara perdata namun

pada dasarnya tugas mediator baik dalam upaya penyelesaian perkara perdata

maupun pidana pada dasarnya sama jadi menentukan mediator untuk mediasi

penal dapat mengacu pada peraturan mahkamah agung ini.

58 Djoko Prakoso, Peranan Psikologi Dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 86

72

Selanjutnya berkaitan dengan tugas mediator, Pasal 24 PERMA

Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan:

(1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaatipedoman perilaku mediator.

(2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pada 11 Februari 2010 Ketua

Mahkamah Agung telah menetapkan Pedoman Perilaku Mediator yang

dalam Pasal 6 ayat (3) menyatakan:

“Seorang mediator yang berpotensi sebagai advokat dan rekan padafirma hukum yang sama dilarang menjadi penasihat hukum salah satupihak dalam sengketa yang sedang ditangani baik selama maupunsesudah proses mediasi.“

Jadi Pedoman Perilaku Mediator itu melarang seorang mediator untuk

menjadi penasihat hukum (advokat) dari salah satu pihak yang bersengketa

dalam mediasi. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa jika

seorang mediator sekaligus bertindak sebagai penasihat hukum salah satu

klien dimungkinkan akan muncul konflik kepentingan. Hal ini menarik untuk

diperhatikan karena pada praktiknya seorang Advokat, dalam memberikan

Jasa Hukum kepada klient diluar persidangan, terlebih dahulu membuat surat

somasi kepada pihak lawan untuk Negosiasi guna mencari penyelesaian.

Negosiasi ini merupakan tahap tawar – menawar antara pihak – pihak yang

bersengketa, dimana pihak yang satu dalam hal ini Advokat berhadapan

73

dengan pihak kedua dan berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang

persoalan tertentu yang dipersengketakan. Lalu sebagai kelanjutan proses

negosisi, advokat juga memberikan jasa hukum kepada klien dengan cara

mediasi.

1.4.Kebijakan Penerapan ADR (Mediasi) sebagai Penyelesaian Perkara

Pidana

Berkembangnya ide Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana

mendorong munculnya kebijakan penerapan Alternative Dispute Resolution

(ADR) sebagai Penyelesaian Perkara Pidana. Untuk beberapa tindak pidana

penyelesaian perkara melalui mekanisme ADR, terutama dengan mediasi,

dianggap dapat lebih memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan serta sejalan

dengan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Beberapa kebijakan

penerapan ADR dalam bentuk mediasi tertuang dalam beberapa peraturan di

bawah ini:

a. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14

Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute

Resolution (ADR).

Kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan

kekuatan hukum undang-undang, namun dapat dikatakan Surat Kapolri

ini adalah aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi

penal meskipun secara parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini

74

memerintahkan penyidik untuk menyaring perkara mana yang harus

dilimpahkan ke kejaksaan dan mana yang lebih baik diselesaikan melalui

ADR sebagai perwujudan restorative justice. Pada surat Kapolri ini

ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR,

yaitu:

- Mengupayakan penanganan kasus yang mempunyai kerugianmateri kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsepADR;

- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harusdisepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidakterdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedurhukum yang berlaku secara profesional dan proporsional;

- Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harusmenghormati norma sosial/ adat serta memenuhi asas keadilan;

- Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADRagar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontraproduktif dengan tujuan Polmas.

b. Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Sebenarnya undang-undang ini tidak mengatur alternatif mediasi

secara tegas, namun terdapat kemungkinan mediasi dapat dilakukan

terhadap pelaku tindak pidana dnegan usia di bawah delapan tahun.

Menurut undang-undang ini, batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke

pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun.

Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali

anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila

dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial

apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali (Pasal 5

75

Undang-undang Pengadilan Anak). Ketika pelaku adalah anak berusia di

bawah delapan tahun, pelaku tidak dapat diserahkan ke pengadilan dan

dimungkinkan perkara diselesaikan di luar pengadilan melalui mekanisme

mediasi. Upaya penyelesaian melalui ADR merupakan bentuk

perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana dan pada praktiknya, di

Mojokerto, pelaku anak dengan usia di atas delapan tahun pun pernah

diupayakan penyelesaian secara mediasi. Hal ini dilakukan karena

berkembangnya konsep restorative justice dan ide diversi pemidanaan

pelaku anak.

c. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM

memberi kewenangan pada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar

Keppres No. 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus

pelanggaran HAM (Pasal 76 ayat 1). Mediasi adalah salah satu cara

Komnas HAM dalam menangani kasus HAM dan berkaitan dengan

pengalaman ini Komnas HAM telah menerbitkan buku berjudul ‘Belajar

dari Pengalaman: Praktik Mediasi Hak Asasi Manusia’.

Beberapa ketentuan di atas memberi kemungkinan adanya

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namum bagaimanapun juga

belum secara eksplisit dan tegas merupakan mediasi penal seperti telah

diuraikan dalam penelitian ini. Penyelesaian di luar pengadilan dalam

ketentuan di atas belum menggambarkan secara tegas adanya mediasi yang

76

dapat menjadi ‘sarana pengalihan/ diversi’ untuk dihentikannya penuntutan

maupun penjatuhan pidana.

Sebagai bahan komparasi, di beberapa negara lain mediasi penal sudah

mendapat pengaturan yang lebih tegas. Di Austria, Jerman, Finlandia, dan

Polandia mediasi penal ditempatkan sebagai bagian dari Undang-undang

Pengadilan Anak (The Juvenile Justice Act). Di Norwegia mediasi penal

diatur secara tersendiri dalam Undang-undang Mediasi (The Mediation Act),

yang diberlakukan untuk anak-anak maupun bagi orang dewasa.59 Menurut

Pasal 90 g KUHAP Austria, penuntut umum dapat mengalihkan perkara

pidana dari pengadilan apabila terdakwa mau mengakui perbuatannya, siap

melakukan ganti rugi khususnya kompensasi atas kerusakan yang timbul.

Tindak pidana yang dapat dikenakan diversi termasuk mediasi penal, apabila

diancam dengan pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara atau 10 tahun penjara

untuk kasus anak.

Di Perancis, berdasarkan Undang-undang No. 4 januari 1993 yang

mengamandemen Pasal 41 KUHAP (CCP- Code Criminal Procedure),

penuntut umum dapat melakukan mediasi antara pelaku dan korban, sebelum

mengambil keputusan dituntut tidaknya seseorang. Inti Pasal 41 CCP itu

ialah: penuntut umum dapat melakukan mediasi penal (dengan persetujuan

59 Lihat Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di LuarPengadilan, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasidalam Konteks Good Corporate Governance”, Program Doktor Ilmu UNDIP, di Inter ContinentalHotel, Jakarta, 27 Maret 2007, dikutip dalam Setya Wahyudi, Op. Cit., hal 73.

77

korban dan pelaku) apabila hal itu dipandang merupakan suatu tindakan yang

dapat memperbaiki kerugian korban, mengakhiri kesusahan, dan membantu

rehabilitasi pelaku. Apabila mediasi tidak berhasil dilakukan, penuntutan baru

dilakukan, namun apabila berhasil penuntutan diberhentikan.60

2. Hasil Penelitian Data Primer

Narasumber dalam penelitian ini adalah advokat, penyidik serta korban

suatu tindak pidana dan dilakukan di kota Surakarta. Wawancara dilakukan secara

terarah dan mendalam. Wawancara terarah maksudnya dalam wawancara terdapat

pengarahan atau struktur tertentu dengan membatasi aspek masalah yang

dibicarakan dan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan.

Sedangkan wawancara mendalam dimaksudkan untuk membangkitkan

pernyataan-pernyataan bebas yang dikemukakan secara berterus terang.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap narasumber di kota tersebut maka

diperoleh data sebagai berikut:

2.1. Peranan Advokat dalam menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Pidana

2.1.1 Pandangan Advokat mengenai Mediasi Penal

Dari hasil wawancara dengan advokat-advokat di Surakarta,

sebagian besar mengetahui wacana dan ide mediasi sebagai alternatif

60Deborah Macfarlane, Victim-Offender Mediation in France,

http://www.mediationcobference.com.au/2006///_papers/Deborah%20Macfarlane%20-%20VICTIM%20OFFENDER%20MEDIATION%20IN%20FRANCE1,dOC, dikutip dalam Setya Wahyudi,Ibid.

78

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Meski begitu tidak semua

mengetehui dan menggunakan istilah Mediasi Penal ketika

menerapkannya. Dalam wawancara dengan penulis, M. Taufik, S.H,

M.H., mengemukakan persetujuannya pada penerapan konsep Restorative

Justice yang salah satu perwujudannya adalah berupa mekanisme mediasi

penal. Menurut M. Taufik proses peradilan pidana yang hanya berorientasi

pada pemenjaraan pelaku dengan mengabaikan kebutuhan korban adalah

sistem pemidanaan yang sudah kuno. Penegakkan hukum haruslah

memperhatikan kemanfaatan bagi para pihak. Penegakkan hukum pidana

tidak seharusnya dilakukan secara kaku persis sesuai dengan bunyi pasal,

karena hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Penerapan

mediasi penal untuk tindak pidana tertentu tidak hanya dapat memberi

kemanfaatan bagi para pihak yang berperkara namun juga memberi

manfaat ekonomis bagi Negara. Ketika mediasi penal berhasil

menyelesaikan perkara pidana, maka akan mengurangi pemenjaraan yang

berarti mengurangi juga beban biaya persidangan dan kehidupan terpidana

di penjara. Dengan pemikiran ini, M. taufik menyatakan perlunya mediasi

penal dan bahkan memungkinkan penerapannya tidak hanya untuk tindak

pidana ringan. Selain itu M. Taufik juga menyarankan agar mediasi penal

mendapat pengaturan khusus dan tegas baik dalam KUHAP yang baru

ataupun PERMA61.

61 Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta

79

Advokat lain, MT. Heru, S.H, M.H., Ketua DPC IKADIN,

berpendapat bahwa sudah seharusnya penyelesaian perkara pidana secara

non litigasi secara kekeluargaan selalu dicoba sebagai upaya mewujudkan

asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pihak terkait seperti

polisi pun harus memperhatikan hal ini, tidak semua perkara harus

dilimpahkan ke kejaksaan62. Harsono, S.H, M.H., juga berpendapat bahwa

dalam beberapa kasus penerapan mediasi penal dapat lebih memberi

kemanfaatan dan keadilan. Diapun sering berupaya menempuh jalur litigasi

ketika memberikan bantuan hukum baik bantuan hukum individual

maupun struktural.63 Advokat lainnya, M. Moehani, S.H., mengemukakan

bahwa upaya penyelesaian secara kekeluargaan penting untuk selalalu

ditempuh baik untuk perkara perdata mapun pidana dan M. Moehani

sendiri juga sudah memasukkan mediasi sebagai salah satu jasa pelayanan

hukumnya.64

Sementara itu, advokat Ratno, S.H., yang menyatakan tidak begitu

mengetahui dan tidak begitu menyetujui ide mediasi untuk menyelesaikan

perkara pidana di luar pengadilan. Menurut Ratno pelayanan hukum yang

dia lakukan menjunjung asas kepastian hukum sehingga dalam hal mediasi

pada hari Senin, tanggal 15 April 2013.62 Hasil wawancara dengan M. T. Heru, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC IKADIN Kota

Surakarta pada hari Rabu, tanggal 17 April 2013.63 Hasil wawancara dengan Harsono, S.H, M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADI Kota

Surakarta pada hari Senin 22 April 2013.64 Hasil wawancara dengan M. Mohani,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada

hari Kamis, tanggal 18 April 2013.

80

hanya dapat diterapkan pada perkara perdata yang telah diatur secara tegas

dalam peraturan Mahkamah Agung65.

2.1.2 Peranan Advokat dalam Mediasi Penal

Hasil penelitian dengan metode wawancara terhadap beberapa

advokat dan penyidik menunjukkan bahwa Mediasi Penal di Kota

Surakarta dapat dilakukan pada saat tahap penyidikan di kepolisian

maupun sebelum tahap penyidikan, yaitu pada tahap penyelidikan atau

pada saat perkara baru dilaporkan. Baik pada tahap penyidikan maupun

sebelum penyidikan terdapat peranan advokat dalam pemilihan dan

penyelenggaraan penyelesaian perkara secara non litigasi. Peranan yang

dilakukan advokat adalah mendorong atau mengusulkan pemilihan

penyelesaian perkara secara non litigasi, menfasilitasi penyelenggaraan

mediasi penal, dan menjadi mediator.

Peran advokat dalam mendorong penerapan mediasi penal salah

satunya dilakukan pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan

oleh seorang pelajar. Pelajar yang melakukan pencurian di sebuah toko ini

pun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah sempat ditahan. Advokat M.

Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya

kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat

nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka

65 Hasil wawancara dengan Ratno,. S.H., Advokat DPC PERADI Kota Surakarta pada hariSenin, tanggal 15 April 2013

81

yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Pada saat

inilah pendamping hukum berperan untuk mendorong dipilihnya

penyelesaian perkara pidana secara non litigasi dikepolisian dengan cara

mengajukan usulan dan bernegosiasi dengan penyidik. Dalam penerapan

mediasi ini advokat berperan mewakili tersangka melakukan perundingan

dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi oleh penyidik sebagai

mediator, hingga akhirnya tercapai kesepakatan damai.66

Selain berperan mendorong penerapan mediasi penal, advokat juga

berperan sebagai mediator terutama jika perkara belum memasuki tahap

penyidikan. Advokat M. Mohani., S.H., mengemukakan bahwa ketika

klien pertama kali datang, baik dalam perkara perdata maupun pidana,

tindakan yang pertama kali dilakukan adalah membuat somasi atau

peringatan. Dalam perkara pidana maka somasi diberikan dari pihak korban

terhadap pelaku yang isinya adalah tawaran menyelesaikan perkara melalui

mediasi. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk dari jasa hukum dan

bantuan hukum non litigasi. Selain itu peran advokat dalam menjadi

mediator juga didasarkan pada keinginan para pihak untuk berupaya

mencapai kesepakatan win-win solution melalui jalur non litigasi.67

Advokat M.T. Heru., S.H., M.H., yang juga seorang mediator

mengemukakan bahwa berdasarkan pengalamannya, spirit dari mediator

66 Hasil wawancara dengan M.Taufik., S.H., M.H., Op.Cit.,67 Hasil wawancara dengan Advokat M. Mohani, S.H., Op. Cit.,

82

dalam mediasi penal biasanya lebih dari hakim mediator pada mediasi

perdata. Advokat yang menjadi mediator dalam mediasi penal lebih

bersikap aktif mendorong para pihak dalam merundingkan kesepakatan

damai dibanding hakim mediator yang cenderung menganggap mediasi

perdata hanya sebatas prosedur sebelum memasuki tahap sidang di

pengadilan. Hal ini juga salah satunya dikarenakan mediator dalam mediasi

penal dapat menerapkan honorarium atas jasa hukum non litigasinya itu. 68

Dalam praktiknya mediasi selalu ditempuh sebagai upaya awal

penyelesaian perkara pidana. Advokat menyarankan penggunaan

penyelesaian di luar pengadilan kepada para pihak dan secara aktif

berperan dalam penyelenggaraan mediasi penal. Mediasi Penal biasanya

dilakukan di kepolisian, di kantor advokat atau ditempat lain sesuai

keinginan para pihak. Kantor Advokat Heru Buwono and Partners telah

memberikan jasa hukum dan bantuan hukum selama tujuh tahun dan

selama waktu itu sebanyak 60% perkara pidana dapat menemukan

diselesaikan melalui jalur non litigasi.69

Advokat Harsono., S.H., M.H., mengemukakan bahwa mediasi

penal biasanya dia terapkan sebagai bentuk pemberian bantuan hukum

struktural, pada kasus tindak pidana lingkungan atau kasus

ketenagakerjaan. Dalam bantuan hukum struktural maupun individual

68 Hasil wawancara dengan M. T. Heru,. S.H., M.H., Op. Cit.,69 Ibid.

83

advokat bertindak secara aktif mengupayakan mediasi, terutama untuk

tindak pidana yang dimensinya perdata selama perkara belum P21 yang

artinya berkas lengkap dan siap dilimpahkan ke kejaksaan. Selama belum

P21 mediasi dapat dilaksanakan setelah advokat mengusulkan alternatif

mediasi pada penyidik, lalu penyidik memberi ruang.70 Tidak semua

advokat memasukkan mediasi penal sebagai upaya awal penyelesaian

sengketa. Menurut advokat Yusuf., S.H., advokat berperan dalam mediasi

penal ketika atas inisiatif pihak dipilih mekanisme mediasi penal dan para

pihak menyepakati untuk difasilitasi oleh advokat. Selanjutnya yang

bertindak sebagai mediator bisa advokat, polisi atau tokoh masyarakat.71

2.1.3 Dasar Penerapan Mediasi Penal

Dalam beberapa praktik, mediasi penal dilaksanakan atas dasar

usulan advokat terhadap kliennya, baik korban maupun pelaku. Advokat

secara aktif mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan dengan

memasukkan mediasi sebagai tahap awal penyelesaian perkara pidana. Hal

ini menurut advokat MT. Heru S.H.,M.H. perlu untuk selalu dicoba

mengingat dari manfaat dan keuntungan dari mediasi penal terhadap

penegakkan hukum, terutama terhadap korban. Selain itu jasa hukum dan

bantuan hukum yang diberikan oleh advokat seharusnya tidak hanya

70 Hasil wawancara dengan advokat Harsono,. S.H.,M.H., Advokat dan Ketua DPC PERADIKota Surakarta pada hari Senin, tanggal 22 April 2013.

71 Hasil wawancara dengan advokat Yusuf., S.H., Advokat LPH YAPHI dan dari DPCPERADI Kota Surakarta pada tanggal 22 April 2013

84

sebatas mendampingi di muka persidangan.72 Setiap kasus yang akan

ditangani sebaiknya ditelaah mengenai kemanfaatan dan keadilannya

apakah lebih baik dipilih jalur litigasi atau non litigasi sebagai

penyelesaiannya. Secara kasuistis advokat akan aktif mengupayakan

penerapan mediasi penal baik dengan mengusulkannya pada korban dan

pelaku maupun pada pihak kepolisian.73

Advokat lainnya tidak selalu aktif mengusulkan mediasi penal

melainkan bergantung pada kehendak dan inisiatif para pihak baik korban

maupun pelaku. Dengan demikian dasar lain dari dilaksanakannya mediasi

penal adalah inisiatif korban dan pelaku yang lebih menghendaki jalan

damai. Menurut Misfan Fitriana, seorang korban tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT), meskipun menderita kerugian dan tahu

bahwa pelaku seharusnya dapat dituntut di muka pengadilan, namun dalam

hatinya lebih menghendaki penyelesaian di luar pengadilan, dimana dirinya

dapat turut serta menentukan isi kesepakatan.74 Selanjutnya korban atau

pelaku meminta advokat untuk membantu memfasilitasi penerapan mediasi

penal.75

Inisiatif dan kehendak dari para pihak seringkali masih bergantung

pada kebijaksanaan pihak kepolisian. Terlebih jika perkara sudah sampai

72 Hasil wawancara dengan MT. Heru., Op.Cit.73 Disarikan dari hasil wawancara M. Taufik., S.H.,M.H dan M. Mohani., S.H., Op.Cit.74 Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi,

Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013.75 Hasil wawancara dengan M. Mohani., S.H., Op. Cit.

85

pada tahap pemeriksaan di penyidikan dan berkas sudah siap untuk

dilimpahkan ke kejaksaan. Dengan begitu salah satu dasar dilaksanakannya

mediasi penal adalah diskresi polisi. Ketika suatu perkara dinilai lebih

mendapat kemanfaatan dan keadilan bila diselesaikan dengan mediasi

penal, pelaku menyatakan siap bertanggung jawab dan korban memerlukan

pemulihan kerugian, maka polisi dapat memutuskan untuk melakukan

penyelesaian di luar pengadilan.76 Keputusan polisi yang demikian itu juga

merupakan implementasi dari Surat Kapolri No. Pol:

B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan

Kasus melalui Alternatif Dispute Resolution yang menginstruksikan polisi

untuk menerapkan mekanisme ADR untuk tindak pidana tertentu.

(tambahin yang bukan residivis)

Jadi, penerapan mediasi penal di Surakarta bedasarkan pada usulan

dari advokat yang mendampingi klien, inisiatif para pihak (korban dan

pelaku), dan wewenang diskresi polisi.

2.1.4 Perkara Pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal

Dalam berbagai diskusi mengenai ide mediasi penal, mekanisme ini

dimaksudkan sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana yang

mengakibatkan kerugian ringan. Tindak pidana yang direkomendasikan

76 Hasil wawancara dengan Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta pada hariJumat, 19 April 2013.

86

untuk diselesaikan melalui mediasi penal biasanya adalah pencurian ringan

dan kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

terhadap advokat, penyidik dan korban di Surakarta, ternyata tindak pidana

yang telah diselesaikan melalui mediasi penal cukup bervariasi. Salah satu

tindak pidana yang selalu mendapat perhatian untuk dicoba diselesaikan

dengan mediasi penal adalah pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal

362 KUHP dan 363 KUHP, terutama jika pelakunya adalah anak-anak.

Pada awal tahun 2013 terjadi pencurian yang dilakukan oleh

seorang pelajar. Pelajar inipun ditetapkan sebagai tersangka dan sudah

sempat ditahan di Polres Karanganyar. Berdasarkan pada Pasal 56

KUHAP, tersangka ini pun mendapat penasihat hukum. Advokat M.

Taufik, S.H., yang pada waktu itu mendampingi anak ini melihat adanya

kemungkinan dilakukannya penyelesaian secara non litigasi mengingat

nilai kerugian korban yang masih dapat dipulihkan serta kondisi tersangka

yang masih anak-anak dan akan menghadapi Ujian Nasional. Selanjutnya

advokat ini mendorong dipilihnya penyelesaian perkara pidana secara non

litigasi dikepolisian dengan cara mengajukan usulan dan bernegosiasi

dengan penyidik. Selanjutnya advokat berperan mewakili tersangka

melakukan perundingan dengan pihak toko sebagai korban dan difasilitasi

87

oleh penyidik yang menyaksikan proses mediasi, hingga akhirnya tercapai

kesepakatan damai.77

Penyidik di Polresta Surakarta membenarkan bahwa ketika seorang

terlapor atau bahkan tersangka mengakui kesalahannya dan korban

menghendaki, mediasi penal bisa diterapkan. Menurut AKP Ari

Suwarwono, selain adanya kehendak para pihak, karakteristik perkara yang

dapat diupayakan untuk diselesaikan melalui ADR adalah78:

a. Tindakan pidana ringan dengan ancaman pidana penjara

paling lama tiga bulan, atau tindak pidana yang

mengakibatkan kerugian tidak terlalu besar;

b. Pelaku bukan residivis;

c. Proses mediasi melibatkan pihak ketiga yang dipilih para

pihak dan melibatkan sistem sosial di masyarakat;

d. Adanya pengawasan dari pimpinan, agar mediasi tidak

disalahgunakan menjadi ‘jalan damai yang melawan

hukum (seperti suap dari pelaku)’.

Advokat juga dapat berperan sebagai mediator dalam mediasi penal

jika para pihak memilih atau menyepakati. Salah satu perkara pidana yang

telah diselesaikan dengan mediasi penal dimana advokat menjadi mediator

adalah perkara pelecehan. Dalam kasus ini seorang remaja putri yang

77 Hasil wawancara dengan M. Taufik, S.H, M.H., Op.Cit.78 Hasil wawancara dengan AKP Suwarwono, S.H, M.H., Wakasat Reskrim Polresta

Surakarta, Jumat, 19 April 2013.

88

menjadi korban pelecehan teman lelakinya meminta bantuan hukum pada

advokat MT. Heru, SH., M.H. Korban yang merasa marah ingin pelaku

mendapat sanksi namun korban ini malu jika harus menjalani persidangan.

Akhirnya mekanisme mediasi penal pun ditempuh dengan difasilitasi oleh

advokat. Mediasi penal dilaksanakan di luar pengadilan dan telah mencapai

kesepakatan damai yang mengharuskan pelaku melakukan beberapa

tindakan pertanggungjawaban.79 Advokat lain yang berperan dalam mediasi

penal sebagai mediator adalah Mohani, S.H. Perkara yang ditangani adalah

kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaian satu pihak mengakibatkan

pihak lain mengalami luka berat dan kerugian yang besar.

Perkara pidana lainnya yang telah diselesaikan dengan mediasi

penal dengan melibatkan peran advokat adalah perkara penggelapan yang

diancam dengan Pasal 372 KUHP. Tindak pidana penggelapan ini

dilakukan oleh seorang pengacara terhadap kliennya pada tahun 2013.

Sebelum diselesaikan melalui jalur litigasi, advokat Harsono, S.H., M.H

yang juga ketua PERADI DPC Surakarta mengupayakan mediasi untuk

pengacara itu dan korbannya. Mediasi penal pun berhasil diselenggarakan

dan mencapai kesepakatan untuk memulihkan kerugian korban.80 Kasus

penggelapan lain yang terjadi pada tahun 2012 juga diselesaikan melalui

mediasi penal ketika kasus ini baru saja dilaporkan ke Polresta Surakarta.

79 Hasil wawancara dengan MT. Heru., S.H., M.H., Op.Cit.80 Hasil wawancara dengan advokat Harsono, S.H., M.H., Op.Cit

89

LSM Pengabdian Hukum YAPHI juga telah menerapkan mediasi

penal terhadap perkara KDRT yang terjadi pada tahun 2010. Mediasi penal

yang dilakukan menghasilkan kesepakan damai antara korban Misfan

Fitriana dengan Wiji Winarno. Setelah kesepakatan damai dicapai,

advokat Yayuk S.H., masih mendampingi korban untuk melakukan

pencabutnya laporan sehingga perkara tidak diteruskan ke persidangan.81

2.2.Akibat Hukum Kesepakatan yang dicapai dalam Mediasi Penal terhadap

Proses penanganan Perkara Pidana

Data penelitian mengenai penerapan mediasi penal menunjukkan di

setiap kesepakatan perdamaian yang dibuat para pihak terdapat kesamaan

mengenai isi kesepakatan. Kesepakatan perdamaian itu biasanya berisi:

a. Kewajiban pelaku untuk mengakui dan meminta maaf secara terbuka

atas kesalahan yang diperbuat;

b. Bentuk pertanggungjawaban pelaku untuk memulihkan kerugian

korban (biasanya dengan pembayaran ganti rugi);

c. Pernyataan dari korban bahwa dia tidak akan melanjutkan perkara ke

proses hukum dan segera mencabut laporan tindak pidana ke polisi.82

Advokat Yusuf S.H., M.H., menyatakan bahwa kesepakatan damai

dalam mediasi penal kasus KDRT yang dia tangani mengikat para pihak

81 Disarikan dari wawancara dengan advokat Yusuf S.H dan Yayuk S.H di Kantor LembagaPengabdian Hukum YAPHI di Surakarta, pada hari Selasa, 23 April 2013.

82 Disimpulkan berdasarkan wawancara dengan para advokat, penyidik, korban, serta suratkesepakatan damai yang dihasilkan dari mediasi penal di Solo, pada hari Jumat, 10 Mei 2013.

90

untuk melaksanakan isi dari kesepakatan. Tidak hanya itu, dibuatnya dan

ditandatanganinya surat kesepakatan oleh para pihak juga menghentikan

proses penanganan tindak pidana karena dicabutnya laporan tindak pidana

KDRT itu. Menurut Yusuf S.H., pencabutan laporan dan penghentian

penangan perkara seharusnya tergantung dari tindak pidananya apakah

termasuk delik biasa atau delik aduan. Kalau delik aduan, berdasarkan Pasal

75 KUHP pengaduan tindak pidana dapat ditarik kembali dalam waktu tiga

bulan setelah diajukan. Sedangkan untuk delik biasa seperti pencurian dan

penggelapan, meskipun telah dilakukan perdamaian tidak menghentikan

proses penuntutan di pengadilan. Namun pada praktiknya ketika korban dan

pelaku mencapai kesepakatan perdamaian, kesepakatan yang telah dibuat

diajukan ke kepolisian lalu proses penyidikan dihentikan. Yusuf sendiri

berpendirian bahwa meskipun sebagai advokat mendukung dan menerapkan

mediasi penal, bukan berarti proses penuntutan dipaksakan untuk berhenti.

Kesepakatan perdamaian yang akibat hukumnya secara otomatis

menghentikan penyidikan dan penuntutan baru ada dalam semangat KUHAP

yang baru, sedangkan dalam hukum positif sekarang tidak ada aturan seperti

itu.83

Advokat Harsono S.H., menceritakan bahwa mediasi penal yang dia

tangani mencapai kesepakatan yang dianggap sebagai win-win solution bagi

83 Hasil wawancara dengan Yusuf S.H., Op.Cit.,

91

kedua belah pihak. Harsono S.H., mengemukakan bahwa konsekuensi dari

kesepakatan itu adalah:

1. Pelaku diwajibkan melakukan suatu tindakan pertanggungjawaban

untuk memulihkan kerugian korban penggelapan;

2. Laporan terhadap polisi dicabut sehingga perkara tidak sampai

diselesaikan melalui jalur litigasi.

Jadi menurut beliau akibat hukum dari kesepakatan itu adalah

berakhirnya perkara pidana dengan dicabutnya laporan ke polisi. Meski begitu

dia tidak memungkiri bahwa pada prinsipnya ganti rugi tidak mengahapuskan

ancaman pidana pada delik biasa ini sehingga proses hukum harus terus

dilanjutkan dengan penuntutan. Dan sebenarnya jika berdasar pada norma

hukum pidana tersebut, kontribusi dari kesepakatan mediasi penal mungkin

hanya sebatas meringankan putusan hakim.84

AKP Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta

menyatakan bahwa benar pada prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat

melawan hukum pada tindak pidana dan kesepakatan damai tidak

menghentikan proses hukum. Namun ketika dalam praktik kesepakatan

mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya pemeriksaan perkara pidana,

pidana. Ketika para pihak telah menyepakati suatu bentuk

pertanggungjawaban perbuatan pidana tanpa melalui proses sidang

pengadilan, maka telah selesai pula perkara itu.

84 Hasil dengan advokat Harsono., S.H., M.H., Op.Cit.

92

Berkaitan dengan proses penanganan perkara pidana setelah adanya

kesepakatan damai, AKP Ari mengemukakan bahwa saat ini sudah diperlukan

suatu peraturan tegas mengenai pelaksanaan mediasi penal beserta akibat

hukumnya. Bahkan dia berpendapat ada baiknya kesepakatan yang dicapai

dalam mediasi penal yang dibuat oleh para pihak dan disaksikan oleh

penyidik membuat perkara itu menjadi nebis in idem ketika kemudian hari

perkara itu dilaporkan kembali oleh salah satu pihak. Hal itu dimaksudkan

untuk mewujudkan kepastian hukum dan menjaga kewibawaan hukum.

B. Pembahasan

1. Peranan Advokat dalam Menerapkan Mediasi Penal sebagai Alternatif

Penyelesaian Perkara Pidana

Soerjono Soekanto berpendapat, peranan adalah aspek dinamis

kedudukan seseorang. Apabila seseorang menjalankan kedudukannya, maka

dia telah menjalankan suatu peranan.85 Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pengertian peranan seperangkat tindakan yang diharapkan dimiliki

oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.86 Berdasarkan pengertian

diatas, peranan advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat diartikan

sebagai serangkaian tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh advokat

85 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm 2010.86 Tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta, balai Pustaka, 1988, hlm. 667.

93

sebagai orang yang berkedudukan di masyarakat sebagai pemberi jasa dan

bantuan hukum dalam menerapkan mediasi penal.

Dalam membicarakan penerapan mediasi penal, sepintas advokat

tampak seperti bukan pihak yang tugasnya tidak berkaitan langsung dengan

mediasi penal. Memang, dapat dikatakan polisi sebagai ujung tombak proses

peradilan pidana adalah pihak utama yang memiliki wewenang (wewenang

diskresi) dan pengaruh terhadap penerapan mediasi penal. Namun jika dikaji

berdasarkan undang-undang advokat dan undang-undang bantuan hukum,

sebenarnya advokat memiliki peran penting dalam penyelsaian perkara secara

non litigasi dan tugas advokat tidak dapat dikatakan hanya sebatas tugas

litigasi. Litigasi adalah proses penanganan Perkara hukum yang dilakukan

melalui jalur pengadilan untuk menyelesaikannya.

Seringkali orang beranggapan bahwa jasa hukum dan bantuan hukum

yang diberikan advokat hanya sebatas beracara di pengadilan atau dengan kata

lain hanya melakukan pekerjaan litigasi. Sebetulnya terdapat banyak

pekerjaan advokat di luar bidang litigasi, yang disebut dengan jasa hukum dan

bantuan hukum non litigasi. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003,

yang disebut dengan jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa

memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,

mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain

untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 ayat 2). Sedangkan bantuan hukum

94

adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada

lien yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 9).

Jasa hukum maupun bantuan hukum yang diberikan advokat tidak

hanya meliputi jasa hukum dan bantuan hukum litigasi namun juga non

litigasi. Pengertian bantuan hukum non litigasi dirumuskan dalam Pasal 1 ayat

9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara

Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum sebagai

berikut:

‘‘Bantuan hukum non litigasi adalah proses penanganan perkarahukum yang dilakukan di luar jalur pengadilan untukmenyelesaikannya.“

Pemberian bantuan hukum secara non litigasi dapat dilakukan oleh

advokat, paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum dalam lingkup

Pemberi Bantuan Hukum yang telah lulus verifikasi dan akreditasi. Mengenai

bantuan hukum non litigasi yang dapat diberikan oleh advokat, Pasal 16 ayat

2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 menentukan sebagai berikut:

Pemberian Bantuan Hukum secara Nonlitigasi meliputi kegiatan:a. penyuluhan hukum;b. konsultasi hukum;c. investigasi perkara, baik secara elektronik maupun nonelektronik;d. penelitian hukum;e. mediasi;f. negosiasi;g. pemberdayaan masyarakat;h. pendampingan di luar pengadilan; dan/ataui. drafting dokumen hukum.

95

Meskipun diatur secara tegas dalam undang-undang beserta peraturan

pelaksanaanya, implementasi bantuan hukum non litigasi belum sepopuler

bantuan hukum litigasi. Pemberian bantuan hukum non litigasi sebetulnya

sama pentingnya dengan pemberian bantuan hukum litigasi karena keadilan

yang dicari oleh masyarakat tidak hanya dapat didapatkan melalui proses

persidangan melainkan juga melalui proses penyelesaian perkara di luar

pengadilan. Dengan begitu advokat sebagai pendamping masyarakat dalam

mencari akses keadilan diharapkan tidak hanya bertumpu pada proses litigasi

dalam meberikan jasa dan bantuan hukum. Ketika alternatif penyelesaian

perkara pidana di luar pengadilan diabaikan, proses menyelesaikan perkara

dan pemulihan kerugian korban akan berlangsung lama bahkan terhenti.

Kenyataan ini terjadi pada kasus ‘Pelanggaran Hak Cipta Bowo Leksono vs

LPPM UNSOED‘. Dalam kasus ini advokat yang menjadi kuasa hukum

Bowo Leksono melaporkan LPPM kepada polisi atas tuduhan pelanggaran

hak cipta pada film karya Bowo. Kasus yang dilaporkan pada tahun lalu itu

hingga kini tidak mengalami perkembangan. Hal ini tentu tidak sejalan

dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Adalah hak dari setiap warga negara untuk melaporkan suatu tindak

pidana jika merasa dirugikan. Meski begitu, jika para pihak dalam kasus ini

(pelapor, terlapor, advokat dan polisi) terlebih dahulu menempuh

penyelesaian secara non litigasi, kemungkinan besar kesepakatan damai telah

dicapai. Dibandingkan menunggu pengadilan membuktikan unsur-unsur

96

pelanggaran hak cipta, akan lebih bermanfaat jika para pihak dipertemukan

dan pihak yang merasa dirugikan dapat mengemukakan hak nya yang

terlanggar. Dengan mengupayakan penyelesaian perkara pidana melalui jalur

non litigasi, advokat tidak hanya telah memberi jasa dan bantuan hukum non

litigasi namun juga telah turut mewujudkan peradilan cepat, sederhana, dan

biaya ringan.

Berdasarkan penelitian dengan metode wawancara, advokat di

Surakarta menerapkan mediasi sebagai bentuk dari pemberian jasa hukum dan

bantuan hukum. Untuk perkara pidana, sebagian besar advokat di Surakarta

menyatakan setuju dengan ide mediasi penal dan menerapkannya untuk

menyelesaikan perkara pidana sebagai perwujudan dari konsep Restorative

Justice. Selain itu mediasi penal selalu ditempuh sebagai alternatif

penyelesaian perkara pidana terutama untuk kasus-kasus yang berdimensi

perdata, misalnya penggelapan yang berawal dari bisnis. Diantara beberapa

advokat yang menerapkan mediasi penal, ada yang sudah menerapkan sejak

tahun 2004 dan dari semua kasus pidana yang ditangani, 60 % dapat

diselesaikan secara non litigasi. Selain itu, mediasi penal juga diterapkan

ketika advokat memberikan bantuan hukum struktural, misalnya dalam kasus

tindak pidana lingkungan, yang merugikan sekelompok masyarakat.

Dalam penerapan mediasi penal, menurut M.T Taufik, S.H, M.H,

advokat berperan secara aktif. Bentuk dari berperan secara aktif antara lain

sebagai inisiator yang mengusulkan penerapan mediasi penal sebagai

97

alternatif penyelesaian perkara pidana pada korban, pelaku, dan penyidik.

Tindakan ini dilakukan setelah advokat mempertimbangkan jenis tindak

pidana yng dilakukan oleh pelaku, siapa dan bagaimana kondisi pelaku,

bagaimana sifat kerugian korban dan kehendak korban.

Peran aktif semacam ini salah satunya dilakukan ketika terjadi perkara

pencurian yang dilakukan oleh seorang pelajar SMP yang akhirnya ditahan di

Polres Karanganyar. Advokat yang menjadi penasihat hukum tersangka ini

mempertimbangkan besarnya kerugian korban serta kondisi pelaku yang akan

menghadapi ujian nasional. Advokat ini pun akhirnya bertindak aktif

mengusulkan pada polisi untuk menerapkan mediasi penal lalu akhirnya

melakukan mediasi dengan korban pencurian. Akhirnya mediasi yang

dilakukan menghasilkan kesepakatan yang dibuat oleh pihak pelaku dan

korban. Polisi akan memutuskan untuk menyelesaikan perkara melalui

mekanisme ADR (mediasi penal) dengan syarat tindak pidana merupakan

tindak pidana ringan, pelkau bukan residivis, dan tentu harus ada kesediaan

dari para pihak.

Peran aktif lain yang dilakukan oleh advokat adalah menjadi mediator

dalam mediasi penal. Sesuai dengan Pasal 8 Ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun

2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan, advokat dapat bertindak

menjadi mediator dalam suatu mediasi. Peran ini terutama dilakukan jika

mediasi penal terjadi sebelum tahap penyidikan. Mediasi penal biasanya

terjadi sebelum tahap penyidikan ketika korban datang kepada advokat

98

meminta jasa hukum. Sebelum advokat mendampingi korban membuat

laporan kepada pihak polisi, advokat akan mengusulkan penyelesaian perkara

pidana secara non litigasi dan menfasilitasi penerapan mediasi sekaligus

menjadi mediator. Tahap ini selalu ditempuh oleh sebagian besar advokat baik

terhadap perkara perdata maupun pidana. Jika yang disepakati menjadi

mediator adalah pihak selain advokat, maka advokat akan berperan sebagai

fasilitator yang menfasilitasi, mempersiapkan dan menyelenggarakan mediasi

penal.

Mediasi penal akan diterapkan pada tahap penyidikan ketika advokat

masuk sebagai penasihat hukum tersangka berdasarkan pasal 54 KUHAP

tentang hak tersangka atas bantuan hukum. Jika mediasi penal dilaksanakan

pada tahap ini maka yang menjadi mediator biasanya tokoh masyarakat atau

polisi. Ketika polisi menjadi mediator, advokat bertindak aktif membantu

pelaksanaan mediasi.

Peranan advokat baik sebagai mediator maupun sebagai pengusul

sangat berpengaruh pada diterapkan atau tidaknya mediasi penal terutama

dalam tingkat penyidikan. Hal ini dikarenakan pihak kepolisian tidak

bertindak aktif mengupayakan penyelesaian perkara pidana melalui

mekanisme ADR. Menurut Ari Suwarwono, Wakasat Reskrim Polresta

Surakarta, bagaimanapun juga penerapan konsep Restorative Justice dalam

bentuk mediasi penal tergantung pada kehendak para pihak terutama korban.

Fokus Restorative Justice adalah memberikan perhatian pada posisi korban

99

yang menderita kerugian. Ketika korban merasa karena kerugian yang

dideritanya itu pelaku pantas diadili di pengadilan, maka penerapan mediasi

penal tidak dapat dipaksakan.87 Jadi mengenai inisiatif diadakannya mediasi

penal, polisi yang menangani perkara pidana di Polresta Surakarta tidak

bertindak secara aktif, melainkan tergantung pada kehendak para pihak.

Ketika penggunaan mediasi sudah disepakati pun polisi tidak selalu aktif

menjadi mediator melainkan menunjuk pihak ke tiga lainnya untuk menjadi

mediator.

Peran sebagai inisiator, mediator dan fasilitator dilakukan oleh

advokat sebagai bentuk pemberian bantuan hukum non litigasi. Namun peran

dalam mediasi penal tidak selalu mereka lakukan secara cuma-cuma. Advokat

biasanya tidak memungut bayaran ketika para pihak adalah orang tidak

mampu dan ketika mereka berperan sebagai inisiatior. Ketika mereka menjadi

inisiator, biasanya penyelenggaraan mediasi dilakukan di kepolisian dengan

polisi atau tokoh masyarakat sebagai mediator. Advokat biasanya menerapkan

biaya jasa hukum apabila mereka menjadi mediator dan fasilitator, seperti

yang dilakukan advokat M.T Heru, S.H, M.H. Menurut M.T Heru, biaya

dapat diterapkan karena advokat secara aktif mendorong dan mengusahan

87 Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim PolrestaSurakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.

100

keberhasilan mediasi, serta adanya biaya yang diperlukan untuk

penyelenggraan mediasi.88

Perkara pidana yang pernah diselesaikan melalui mediasi penal dengan

melibatkan peran advokat diantaranya adalah:

1. Kasus pencurian (Pasal 362 KUHP).

Pada tahun 2013 bulan Maret, terjadi pencurian yang

dilakukan oleh seorang pelajar disebuah toko. Pelajar ini tertangkap

dan akhirnya ditahan di Polres Karanganyar. Advokat M. Taufik,

S.H, M.H., yang menjadi penasihat hukum anak ini melihat dampak

yang diderita oleh korban pencurian masih sangat mungkin

dipulihkan dan anak ini lebih baik dibina dengan cara lain selain

pemenjaraan. Terlebih lagi anak ini akan menghadapi ujian

nasional. Advokat pun membicarakan kemungkinan dan manfaat

mediasi penal untuk kasus ini dengan polisi dan akhirnya perkara

ini berhasil diselesaikan melalui mediasi penal. Mediasi yang terjadi

antara pihak pelaku diwakili advokat dengan pihak toko sebagai

korban dan dimediasi oleh polisi ini telah mencapai kesepakatan

damai.

2. Kasus Pelecehan Seksual

88 Hasil wawancara dengan M.T. Heru Buwono, S.H, M.H, advokat dan Ketua IKADIN DPCSurakarta, Rabu, 18 April 2012, di Surakarta.

101

Perkara ini ditangani oleh advokat M.T. Heru, S.H, M.H.,

yang dimintai pendampingan oleh seorang wanita sebagai korban.

Korban ini menginginkan pertanggungjawaban dari pelaku namun

merasa malu jika harus menghadapi sidang untuk kasus ini.

Advokat melayangkan somasi pada pelaku yang isinya ajakan

melakukan penyelesaian secara kekeluargaan untuk membicarakan

akibat perbuatan pelaku melecehkan korban di jalan dengan meraba

dan memegang daerah pinggang serta pantat korban secara paksa

sambil berkomentar tidak senonoh. Jadi korban yang didampingi

oleh penasihat hukum belum sampai melaporkan kasus ini ke

kepolisian. KUHP sebenarnya tidak mengenal istilah ‘pelecehan

seksual’, melainkan perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289

sampai dengan 296 KUHP. Menurut R. Soesilo, Pasal 289 dapat

ditujukan kepada perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan yang

semuanya dalam lingkungan nafsu berahi, misalnya cium-ciuman,

memegang- megang anggota badan yang vital seperti kemaluan,

atau buah dada, pantat. Selain itu unsur penting dari pelecehan

seksual adalah adanya ketidakmauan atau penolakan terhadap

bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual, termasuk

berkomentar atau bersiul dalam lingkup nafsu seksual. Jika

dilaporkan, pelaku dapat diancam dengan Pasal 289. Perkara ini

telah berhasil diselesaikan melalui mediasi penal dan dengan

102

kemauan pelaku mengakui kesalahan, meminta maaf, serta

bertanggung jawab, perkara ini tidak jadi dilaporkan pada polisi.

3. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT, pelaku

diancam dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang

penghapusan kekerasan dalam rumah tangga)

Kasus ini ditangani oleh advokat Yayuk, S.H., dari Lembaga

Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Perkara ini sudah mancapai

tahap pemeriksaan di penyidikan. Di tengah-tengah proses

pemeriksan saksi, korban menghendaki penyelesaian di luar

pengadilan dengan suaminya dan meminta bantuan advokat untuk

menfasilitasi. Polisi pun juga turut memberi ruang untuk

menyelenggarakan mediasi dan akhirnya perkara ini diselesaikan

melalui mediasi penal. Isi dari kesepakatan damai salah satunya

adalah kesediaan korban untuk tidak meneruskan proses hukum dan

mencabut laporan di kepolisian.

4. Kasus Penggelapan (372 KUHP)

Beberapa praktik mediasi untuk kasus penggelapan menurut

advokat didasarkan pada pertimbangan bahwa kasus ini memiliki

dimensi perdata. Mediasi penal untuk kasus ini pernah diterapkan

untuk perkara penggelapan yang dilakukan oleh seorang advokat dan

advokat yang berperan menerapkan mediasi penal ini adalah Harsono,

S.H, M.H, advokat sekaligus Ketua DPC PERADI. Selain itu mediasi

103

penal untuk perkara penggelapan juga diterapkan pada kasus yang

dilakukan seorang warga Laweyan dan diterapkan di Polresta

Surakarta.

5. Kasus Kecelakaan Lalu Lintas

Kasus kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian

seorang pengendara motor pernah beberapa kali diselesaikan melalui

mediasi penal oleh advokat M. Mohani, S.H, M.H. Sebelum pelaku

diperkarakan di pengadilan, cara penyelesaian menggunakan

mekanisme mediasi penal ditempuh dan akhirnya menghasilkan

kesepakatan damai.

6. Penganiayaan Ringan

Kasus ini ditangani oleh advokat Yusuf, S.H., dari Lembaga

Pengabdian Hukum YAPHI Surakarta. Mediasi penal diupayakan

sebelum pihak korban yang merupakan warga Laweyan melaporkan

pelaku ke polisi, mengingat akibat yang ditimbulkan (luka) tidak

terlalu serius dan pelaku bersedia bertanggung jawab, serta mengingat

hubungan bertetangga antara korban dan pelaku. Upaya mediasi

beberapa kali dilakukan advokat YAPHI terutama untuk perkara

pidana yang pelakunya adalah anak-anak.

Berbagai diskusi dan kajian mengenai mediasi penal seringkali

mengemukakan bahwa perkara pidana yang telah dan dapat diselesaikan

secara non litigasi adalah tindak pidana dengan pelaku anak, tindak pidana

104

ringan seperti pencurian ringan, tindak pidana yang berdimensi perdata, serta

kasus-kasus yang termasuk dalam kategori delik aduan. Perkara-perkara

pidana yang telah diselesaikan melalui peranan advokat di Surakarta ternyata

tidak hanya meliputi perkara pidana dengan pelaku anak. Sebagian besar

perkara pidana yang diselesaikan dengan mediasi penal adalah perkara dengan

orang dewasa yang juga memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab.

Selain itu, upaya penyelesaian melalui mediasi penal juga tidak hanya

ditempuh oleh advokat terhadap tindak pidana ringan dan perkara delik aduan.

Pelaku tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan sepuluh tahu jika kekerasan

yang dilakukan mengakibatkan korban jatuh sakit. Ancaman pidana ini

menunjukkan bahwa KDRT bukan merupakan tindak pidana ringan dan

kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku KDRT juga bisa merupakan kerugian

serius terhadap korban baik kerugian fisik maupun psikis korban.

Penggelapan dan pelecehan seksual juga sebenarnya bukan merupakan

kategori tindak pidana ringan.

Sebagian advokat memang berpendapat bahwa mediasi penal tidak

hanya dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara ringan seperti pencurian

ringan tapi juga perkara serius seperti korupsi yang dilakukan oleh seorang

kepala desa misalnya. Bagi seorang koruptor tingkat desa, sanksi sosial dari

masyarakat desa sesungguhnya sudah cukup berat, dan akan lebih bermanfaat

bagai masyarakat desa apabila pelaku mengembalikan kerugian desa daripada

105

menjalani hukuman penjara.89 Pada faktanya, beberapa perkara pidana serius

diselesaikan melalui mediasi penal karena pihak korban sendiri juga

menghendaki penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Jika dianalisis, pemilihan mediasi penal untuk menyelesaikan perkara

pidana baik perkara ringan maupun serius didasarkan pada pertimbangan

mengenai sifat dari perkara itu. Perkara-perkara yang diselesaikan melalui

jalur non litigasi merupakan perkara yang berkaitan erat dengan para pihak,

artinya pelaku dan korban lebih banyak memiliki urusan dengan perkara itu

dibandingkan dengan perkara pidana lain yang (sebagian besar) menjadi

urusan negara karena mengganggu ketertiban dan ketentraman seperti

pembunuhan dan perampokan. Sifat tersebut ada dalam perkara KDRT,

penggelapan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, pencurian dan penganiayaan

ringan, dimana korban lebih menghendaki untuk menyelesaikan sendiri

‘urusannya’ itu dengan korban dan advokat serta menghendaki pelaku

bertanggungjawab dalam bentuk lain, bukan penjara.

Fakta mengenai kehendak korban dan inisiatif advokat untuk

menerapkan mediasi sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana

menunjukkan bahwa masyarakat berkeyakinan keadilan yang mereka cari

tidak hanya dapat diberikan oleh Sistem Peradilan Pidana (SPP) dengan

segala prosedurnya. Ada banyak cara dan tempat untuk mendapatkan

89 Hasil Wawancara dengan M. Taufik, advokat DPC PERADI Surakarta, Senin, 15 April2013.

106

keadilan, peradilan pidana hanya salah satu cara dan tempat yang dapat

ditempuh. Marc Galenter menyebut hal ini dengan “Justice in many rooms.”

Ketika SPP tidak dapat memberikan keadilan yang diharapkan, atau sebelum

korban mencari keadilan dari SPP, maka mereka yang bermasalah dapat

mencari alternative lain yang bisa memenuhi harapan itu.90 Selain ini

kehendak para pihak dalam memilih mediasi penal juga dipengaruhi oleh pola

pikir masyarakat (terutama masyarakat desa) yang masih merasa asing dan

takut ketika menghadapi perkara hukum berikut lembaga peradilannya seperti

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Terlebih lagi bagi masyarakat yang

masih memegang kuat prinsip hukum adat mengenai penyelesaian masalah

secara kekeluargaan. Untuk tindak pidana ringan, misalnya pencurian,

pertanggungjawaban yang berlaku dalam masyarakat adat biasanya mengganti

segala kerugian korban atau cukup mengembalikan saja barang yang dicuri

itu.

Masyarakat adat yang telah mengenal lembaga mediasi, salah satunya

mediasi untuk perkara KDRT, salah satunya adalah masyarakat adat Atoin

Meto, dalam menyelesaikan kasus KDRT diselesaikan secara adat dengan

pemberian Opat. Pada umumnya pola penyelesaiannya didahului oleh

informasi dari pihak korban (keluarga) teristimewa pihak istri terhadap

keluarga pelaku (suami) bahwa telah terjadi KDRT. Setelah itu para pihak

90 Marc Galenter, Justice in Many Rooms: Courts, Private Ordering, and Indegenous Law,Journal of Legal Pluralism No 19, dikutik dalam Agus Raharjo, Mediasi sebagai Basis dalamPenyelesaian Perkara Pidana, Mimbar Hukum, Vol.20, Nomor 1, 2008, hlm. 101.

107

akan duduk bersama (tok tabua he taloitan), untuk membicarakan bagaimana

baiknya penyelesaiannya. Penyelesaian KDRT sebagaimana kasus pidana

pada umumnya, memiliki acara (hukum acara) yang paten, artinya jika ada

lasi (masalah) maka pelaku (amoet lasi) harus memberikan denda (opat).

Untuk urusan Opat, dapat disesuaikan dengan komunikasi para pihak (Lamber

Missa, 2010:134). 91

Data yang diperoleh dari hasil penelitian (tesis) Lamber Missa yang

berjudul Studi Kriminologi Penyelesaian KDRT Di Wilayah Kota Kupang

Propinsi NTT menyebutkan bahwa pada umumnya kasus KDRT lebih

cenderung diselesaikan secara non justitia, jarang sekali sampai ke tingkat

Pengadilan, sekalipun tingkat penanganannya sudah sampai pada P.21, tapi

biasanya masih ada kemungkinan kasus tersebut akan diselesaikan dengan

damai, sehingga pada akhirnya hanya satu atau dua kasus saja yang sampai ke

Pengadilan. Dari data kasus KDRT di Polresta Kupang Tahun 2004 s/d 2007

terdapat 27 kasus KDRT hanya 8 yang P.21 dan 11 kasus diselesaikan secara

non justitia.92

Model mediasi penal yang dipakai dalam penyelesaian perkara-perkara

di atas adalah model ‘victim-offender mediation’ dimana korban dan pelaku

91 Liliana dan Krismiyarsi, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan melalui Mediasi Penalsebagai Alternatif Penyelesaian Tindak Pidana KDRT, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 8 No.1Mei, 2012, hlm. 59.

92 Lamber Nisa, Studi Kriminologi Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga diWilayah Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur, dalam Liliana dan Krismiyarsi, Ibid.

108

dipertemukan untuk mencapai kesepakatan win-win solution dengan

melibatkan mediator yang ditunjuk atau disepakati para pihak, dapat berasal

dari pejabat formal, advokat, bahkan tokoh masyarakat. Dengan mekanisme

ini ketika korban dan pelaku sama-sama merasakan keuntungan ini, maka

hubungan mereka yang sempat retak dapat diperbaiki serta memperkecil

kemungkinan timbulnya dendam. Keuntungan terutama didapat oleh korban,

antara lain tidak merasakan tekanan berperkara di pengadilan, tidak perlu

mengikuti tahap-tahap persidangan yang kerap memakan waktu berbulan-

bulan, mendapat kesempatan lebih besar untuk mengemukakan apa yang

dibutuhkannya berkaitan dengan kerugian yang diakibatkan pelaku, serta

dimungkinkan menghilangkan trauma karena terlibat secara langsung

mengupayakan penyelesaian dan secara langsung menerima

pertanggungjawaban dari pelaku.

Keuntungan bagi pelaku antara lain terhindar dari pidana penjara yang

dapat membuat dia memiliki riwayat kejahatan dan stigma dari masyarakat.

Stigmatisasi ini pada dasarnya menghasilkan segala bentuk sanksi negatif,

yang berturut-turut menghasilkan stigma lagi. Hal ini karena dengan resminya

orang dipenjara, identitas orang tersebut terganggu atau rusak. Lalu orang itu

kehilangan pekerjaannya dan hali ini selanjutnya akan menempatkan orang itu

109

di luar lingkungan teman-temannya, kemudian stigmatisasi itu dapat

menyingkirkan orang itu dari longkungan yang benar.93

2. Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan

Tindak Pidana

Pada mediasi perdata, kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan

akta perdamaian akan memiliki kekuatan eksekutorial. Dengan berhasilnya

upaya perdamaian itu, suatu perkara perdata pun selesai penanganannya dan

tidak dilanjutkan pada penyelesaian perkara secara litigasi. Lalu bagaimana

dengan kesepakatan yang dicapai dalam mediasi penal? Dengan tidak adanya

suatu peraturan yang mengatur tata cara mediasi penal, maka tidak ada pula

ketentuan yang tegas mengenai akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal

terhadap proses penanganan perkara pidana. Untuk menjawab hal ini kita

dapat terlebih dahulu mengacu pada prinsip-prinsip hukum pidana mengenai

pencabutan laporan dan pengaduan tindak pidana.

2.1 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan

Perkara Pidana menurut KUHP dan KUHAP

Pertanyaan mengenai apakah sebenarnya akibat hukum dari mediasi

penal mulai sering dipertanyakan masyarakat sejak munculnya kasus

‘Andhika Kangen Band’ membawa lari gadis di bawah umur (CC)’. Selama

93 Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penrbit Alumni, Bandung, 1992,hlm. 81.

110

Andhika ditahan, diupayakan penyelesaian melalui mediasi dengan keluarga

CC. Akhirnya dicapai sebuah kesepakatan yang berisi pemberian maaf dari

pihak CC dan tindakan pertanggungjawaban Andhika dengan diketahui oleh

pihak kepolisian. Selanjutnya, perkara tetap dilimpahkan ke kejaksaan dan

Andhika tetap harus menjalani proses penuntutan meskipun CC sendiri telah

menyatakan tidak mau melanjutkan proses penuntutan.

Kenyataan tersebut dirasa mengherankan bagi banyak pihak, namun

sebenarnya polisi meneruskan proses hukum terhadap Andhika karena

undang-undang menentukan demikian. Menurut KUHAP, perdamaian

bukanlah salah satu alasan yang dapat menghentikan proses penyidikan.

Alasan penghentian penyidikan telah diatur secara limitatif pada Pasal 109

ayat (2) KUHAP, yaitu:

a. Tidak diperoleh bukti yang cukup;

b. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana;

c. Penghentian penyidikan demi hukum.

Selain itu, tindak pidana yang diatur dalam undang-undang

Perlindungan Anak itu bukanlah merupakan delik aduan. Berkaitan dengan

penghentian penanganan perkara pidana, perlu kita perhatikan norma hukum

pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya delik yang

hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang

menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang

111

mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan

yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan terhadap

delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada

pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu

perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP yang

merumuskan:

“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalamwaktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan

bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat

dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan

yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan

Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang

menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:

“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yangmenurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutanitu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidanatersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapordengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui,karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnyalebih besar dari pada bila dilanjutkan”.

Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan:

112

“Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yangdisebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagaipelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflikjuga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnyahubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungankemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaiankonflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.”

Jadi, laporan tindak pidana dapat dicabut dan proses penanganan

perkara pidana dapat dihentikan apabila tindak pidana yang telah diselesaikan

melalui mediasi penal adalah delik aduan. Sedangkan pada delik biasa,

laporan tindak pidana tidak dapat dicabut dan meskipun sudah ada

kesepakatan perdamaian, penyidik tetap dapat meneruskan proses penyidikan.

Selain itu, kita perhatikan ketentuan dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d

Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan

Menjalankan Pidana. Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut

yang diatur secara umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:

1 Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijkgewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76);

2 Terdakwa meninggal (Pasal 77);3 Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78);4 Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk

pelanggaran yang diancam dengan pidana denda).

Sepanjang unsur-unsur pidana dalam dalam suatu tindak pidana telah

terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal penggelapan tersebut

karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah termasuk dalam alasan

113

penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan sebagaimana diatur dalam

KUHP.

2.2 Akibat Hukum Kesepakatan Mediasi Penal terhadap Proses Penanganan

Perkara Pidana di Surakarta

Hasil menelitian menunjukkan dalam kesepakatan yang dicapai dalam

mediasi penal di Surakarta selalu ada point kesediaan dari pihak korban untuk

mencabut laporan ke pihak kepolisian dan menyatakan tidak akan

melanjutkan proses penuntutan. Dengan demikian, pada praktik mediasi penal

di Surakarta, akibat hukum dari kesepakatan mediasi penal adalah:

1. Mengharuskan pelaku melakukan suatu tindakan untuk

memulihkan kerugian korban; dan

2. Berakibat dihentikannya proses penanganan perkara pidana.

Yang dimaksud dengan proses penanganan tindak pidana adalah

proses penanganan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang meliputi

penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, pemeriksaan di muka

pengadilan dan penjatuhan putusan oleh hakim. Ketika suatu tindak pidana

yang sedang diperiksa di tahap penyidikan telah diselesaikan para pihak

melalui mediasi penal, yang dilakukan kemudian adalah dicabutnya laporan

tindak pidana oleh korban dan penyidikan perkara dihentikan. Penghentian

114

perkara ini disebut dengan istilah ‘perkara dibekukan’ oleh penyidik di

Surakarta.94

Pada sub bab sebelumnya telah penulis uraikan ketentuan hukum

mengenai dapat tidaknya suatu laporan tindak pidana dicabut dan dapat

tidaknya mediasi menghentikan penanganan perkara pidana. Dengan

berdasarkan pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan di atas mari kita

analisis penghentian penanganan perkara pidana di Surakarta.

Berkaitan dengan penghentian perkara pidana perlu kita perhatikan

norma hukum pidana tentang delik aduan dan delik biasa. Delik aduan artinya

delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang

yang menjadi korban tindak pidana. Hal ini diatur dalam Bab VII KUHP

tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-

kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Dalam delik aduan penuntutan

terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan

(korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut

laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah

terjadi suatu perdamaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 75 KUHP

yang merumuskan:

“Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalamwaktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.”

94 Wawancara dengan AKP Ari Suwarwono, S.H, M.H, Wakasat Reskrim Polresta Surakarta,Jumat, 19 April 2013

115

Berdasarkan ketentuan Pasal 75 KUHP, setelah pengaduan diajukan

bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat

dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan

yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan

Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang

menyatakan pada pokoknya sebagai berikut:

“… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yangmenurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutanitu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidanatersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapordengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui,karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnyalebih besar dari pada bila dilanjutkan”.

Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan:

“Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yangdisebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagaipelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflikjuga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnyahubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungankemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaiankonflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.”

Kita kembali pada penghentian penanganan perkara pidana yang

didasarkan pada kesepakatan mediasi penal di Surakarta. Pencabutan laporan

terjadi pada praktik mediasi penal perkara KDRT yang ditangani oleh

advokat Yusuf, S.H., dan advokat Yayuk, S.H. Korban KDRT, Misfan

Fitriana, meskipun menderita kerugian dan tahu bahwa pelaku seharusnya

dapat dituntut di muka pengadilan, namun karena merasa rasa keadilannya

116

sudah cukup terpenuhi dengan kesepakatan mediasi penal, Misfan tidak

menginginkan pelaku dituntut. Dengan adanya kesediaan pelaku untuk

melakukan beberapa tindakan pertanggungjawaban, Misfan merasa lebih baik

perkara KDRT ini dihentikan.95 Tindak Pidana KDRT yang dihentikan

penanganannya ini merupakan delik aduan yang diatur dalam Pasal 51 dan 52

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Dengan begitu, maka tindakan itu tidak bertentangan dengan

norma-norma hukum pidana yang diuraikan di atas.

Lalu bagaimana jika pencabutan laporan dilakukan pada tindak pidana

yang bukan merupakan delik aduan?

Penghentian penanganan perkara pada delik biasa terjadi pada perkara

penggelapan (Pasal 372 KUHP), pencurian (Pasal 362), pelecehan seksual dan

perkara kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kelalaian.96 Beberapa

tindak pidana tersebut adalah delik biasa yang laporannya tidak dapat dicabut

meskipun sudah ada kesepakatan perdamaian. Sepanjang unsur-unsur pidana

dalam pasal tersebut telah terpenuhi, maka pelaku dapat dituntut dengan pasal

penggelapan tersebut karena pengembalian dana hasil penggelapan tidaklah

termasuk dalam alasan penghapusan hak menuntut/peniadaan penuntutan

95 Hasil wawancara dengan Misfan Fitriana, korban tindak pidana KDRT, di Semanggi,Surakarta, pada hari Senin, 22 April 2013.

96 Perkara pidana yang telah diselesaikan melalui mediasi penal dengan peranan advokat M.Taufik, advokat M.T. Heru Buwono, advokat M. Mohani, advokat Yusuf, advokat Yayuk, dan advokatHarsono, serta yang diselesaikan melalui mediasi di kepolisian.

117

sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP

tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.

Peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara

umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:

1. Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijkgewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76);

2. Terdakwa meninggal (Pasal 77);3. Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78);4. Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk

pelanggaran yang diancam dengan pidana denda).

Berdasarkan kajian terhadap beberapa norma di atas, dapat kita

simpulkan bahwa pencabutan laporan terhadap delik biasa yang telah

mencapai kesepakatan mediasi penal sesungguhnya bertentangan dengan

norma hukum pidana dan hukum acara pidana. AKP Ari Suwarwono,

Wakasat Reskrim Polresta Surakarta menyatakan bahwa benar pada

prinsipnya ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum pada tindak

pidana dan kesepakatan damai tidak menghentikan proses hukum. Namun

ketika dalam praktik kesepakatan mediasi penal itu berakibat pada ditutupnya

pemeriksaan perkara pidana, hal ini dipengaruhi oleh spirit menerapkan

Restorative Justice, dimana tujuan dari penyelesaian perkara pidana tidak

berfokus pada upaya pemenjaraan tapi upaya pemulihan kerugian korban oleh

pelaku.97 Selain itu, bagi para pihak dan polisi, (terutama bagi korban dan

97 Hasil wawancara dengan AKP Ari Suwarwono S.H., M.H., Wakasat Reskrim PolrestaSurakarta, pada hari Jumat, 19 April 2013.

118

pelaku) menghentikan perkara pidana adalah suatu prosedur yang lazim

bahkan seharusnya dilakukan setelah pelaku dan korban telah mencapai

kesepakatan damai. Para pihak kepolisian menyebut hal itu dengan istilah

perkara ‘dibekukan’.

Kesepakatan damai yang dihasilkan oleh mediasi penal akan

berkekuatan hukum bagi para pihak (pelaku dan korban) berdasarkan asas

pacta sunt servanda bahwa perjanjian itu merupakan undang-undang bagi

pembuatnya sehingga harus dipatuhi (Pasal 1338 KUHPerdata). Namun

advokat M. Taufik, S.H, M.H,98 menyatakan kesepakatan damai itu

sesungguhnya tidak mengikat bagi penyidik atau menimbulkan kewajiban

bagi penyidik untuk mengehentikan penyidikan. Meskipun telah melakukan

suatu tindakan pertanggungjawaban yang dikehendaki korban, pelaku tetap

dapat dituntut sampai dijatuhi putusan oleh hakim. Hanya saja, adanya

kesepakatan damai mungkin dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan

oleh hakim. Hal ini pun pernah terjadi dalam praktek peradilan pidana di

Indonesia. Dalam kasus Ny. Ellya Dado, (dikenal dengan “Kasus Ny. Elda”),

dilakukan perdamaian selagi pelaku menjalani proses penyidikan dan

penuntutan. Akhirnya “perdamaian” digunakan sebagai pertimbangan untuk

menyatakan bahwa tindak pidana yang terbukti tidak lagi merupakan suatu

98 Hasil wawancara dengan advokat M. Taufik., S.H., M.H, advokat DPC PERADI Surakarta,di Surakarta pada hari Senin, 15 April 2013.

119

kejahatan ataupun pelanggaran, dan oleh karenanya Bismar Siregar, S.H,

selaku Hakim Ketua melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.99

Keputusan hakim yang demikian adalah suatu bentuk hukum progresif

yang sebenarnya di kemudian hari dapat menjadi yurisprudensi untuk perkara

yang sama. Dalam tata hukum Indonesia, tindakan hakim yang membuat

peraturan sendiri atau menemukan kaidah hukum yang baru dalam

menyelesaikan suatu perkara yang diadilinya karena tidak diatur secara jelas

dalam undang-undang dapat dibenarkan.

Pada praktiknya perkara dihentikan karena advokat dan penyidik

dalam kasus-kasus tertentu tersebut meyakini jika perkara dihentikan akan

memberikan kemanfaatan dan keadilan yang lebih besar dari pada bila

dilanjutkan, meskipun bisa dikatakan bertentangan dengan asas kepastian

hukum. Ketika kesepakatan damai telah dicapai namun proses penuntutan

tetap dilanjutkan, maka hal ini akan sangat dipertanyakan oleh para pihak

khususnya korban dan pelaku.

Norma hukum pidana dan hukum acara pidana memang menentukan

bahwa mediasi penal tidak menghapuskan kewenangan menuntut. Namun

tidak semua masyarakat yang menghadapi perkara hukum paham akan

ketentuan pencabutan laporan untuk delik aduan atau delik biasa serta

ketentuan tentang alasan-alasan diperbolehkannya penghentian penyidikan.

99 Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur, No. 46/PID/78/UT/ WANITA, 17Juni 1978. Hakim ketua sidang : Bismar Siregar, SH.

120

Yang mereka pahami adalah dengan adanya kesepakatan damai yang dibuat

oleh para pihak (dimana salah satu isi kesepakatan biasanya berupa kesediaan

korban untuk tidak melanjutkan laporan tindak pidana), maka perkara pidana

itu pun selesai. Dilanjutkannya proses penuntutan terhadap perkara yang telah

mencapai kesepakatan damai pun akan menuai polemik dari masyarakat

seperti yang terjadi pada ‘Kasus Andhika Mahesa ‘Kangen Band’ membawa

Lari Gadis di Bawah Umur (CC)’. Perkara ini tetap dilimpahkan ke kejaksaan

meski dia sudah berdamai dengan keluarga CC. CC sebagai korban

menyatakan sudah mencapai kesepakatan damai dengan Andhika dan

mengajukan bentuk pertanggungjawaban yang harus dijalani andhika, namun

ternyata Andhika masih harus menjalani sidang sampai mendapat putusan dari

hakim.

Adanya pertentangan dengan norma hukum acara pidana juga terdapat

pada dikeluarkannya Surat Perintah Pengehentian Penyidikan (SP3) pada

perkara yang diselesaikan dengan mediasi penal. Merujuk pada bunyi Pasal 1

butir 2 KUHAP, pengertian penyidikan dirumuskan sebagai berikut:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal danmenurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencariserta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terangtentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukantersangkanya.”

Jika dalam penyidikan suatu perkara pidana ternyata berdasarkan fakta

dan ketentuan bahwa perkara itu bukanlah suatu tindak pidana, maka penyidik

121

wajib menghentikan penyidikan, lalu memberitahukan itu pada penuntut

umum, tersangka dan keluarganya. Adapun alasan penghentian penyidikan

telah diatur secara limitatif pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:

a. Tidak diperoleh bukti yang cukup;

b. Peristiwa yang disangkakan bukan tindak pidana;

c. Penghentian penyidikan demi hukum.

Diantara ketiga alasan yang ditentukan oleh KUHAP itu, tidak kita

temukan alasan penghentian penyidikan karena perdamaian atau mediasi

penal. jadi tindakan penghentian perkara yang didasarkan pada perdamaian

dapat dikatakan bertentangan dengan norma hukum acara pidana. Mengenai

hal ini pihak kepolisian berpendapat bahwa tindakan itu adalah suatu

penerapan diskresi polisi yang didasarkan pada pertimbangan sosial dan

kemanfaatan. Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang untuk mengambil

suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan

pribadi dalam kapasitas petugas polisi, untuk menentukan tindakan dari

beberapa pilihan baik legal maupun illegal.

Tindakan polisi yang menjadikan kesepakatan mediasi penal sebagai

dasar penghentian perkara sekilas tampak seperti mengabaikan ketentuan

hukum positif. Namun apabila dikaji lebih jauh, tindakan itu justru sesuai

dengan tujuan hukum yaitu perlindungan terhadap setiap warga Negara. Polisi

tersebut memutuskan untuk tidak memproses suatu perkara karena

pertimbangan bahwa penggunaan hukum pidana bukan satu-satunya cara

122

untuk menanggulangi kejahatan, terlebih terhadap dalam kasus pencurian

yang pelakunya adalah anak-anak. 100 Wewenang diskresi ini pun didukung

dengan adanya Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14

Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternatif Dispute

Resolution.

Akibat hukum mediasi penal terhadap proses penanganan perkara

pidana tidaklah diatur dalam KUHAP karena mediasi penal sendiri pun tidak

dikenal dalam KUHP maupun KUHAP. Menjadikan kesepakatan mediasi

penal sebagai alasan penghentian penanganan perkara pidana telah menjadi

semacam hukum tidak tertulis di Surakarta. Menurut bentuknya, hukum

dibedakan menjadi hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tidak tertulis

(unstatutery law or unwritten law) adalah hukum yang masih hidup dalam

keyakinan masyarakat tetapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti

suatu peraturan perundang-undangan.101 Berlakunya suatu hukum tidak

tertulis ini bertitik tolak pada keyakinan bahwa undang-undang yang berlaku

secara positif (hukum tertulis) tidak akan pernah betul-betul lengkap untuk

memenuhi segala kehidupan hukum masyarakat karena kebutuhan masyarakat

yang semakin kompleks, berubah, dan berbeda-beda.

100 M. Faal, Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,Jakarta, 1991, hlm 16.

101 Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1979, hlm. 70.

123

Kebijakan menghentikan perkara pidana tersebut dapat dikatakan

sebagai pengisi kekosongan hukum dalam memutuskan suatu akibat hukum

kesepakatan mediasi penal secara in concreto. Artinya kebijakan itu berlaku

antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu perkara tertentu. Inisiatif

para pihak dalam memilih mediasi penal sebagai penyelesaian perkara pidana

di Surakarta adalah suatu fenomena dan gejala sosial yang mengarah pada

pembaharuan hukum acara pidana. Pembaharuan disini maksudnya

pembaharuan yang berkaitan dengan kesadaran mengenai pemulihan kerugian

korban dan efektifitas pemenjaraan bagi pelaku, terutama pelaku yang masih

anak-anak. Perhatian terhadap korban terutama timbul karena selama ini

peradilan ditengarai kurang memenuhi rasa keadilan karena korban hanya

ditempatkan sebagai bagian dari pembuktian tindak pidana, bukan sebagai

pihak yang berkepentingan.

Selanjutnya menurut advokat Yusuf, S.H, seringnya ditemui kehendak

para pihak untuk menyelesaikan perkara pidana dengan mediasi dan

diterimanya tindakan penghentian perkara itu dapat menjadi sumber bahan

pembangunan hukum, bahkan telah sejalan dengan semangat KUHAP yang

baru. Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal

111 merumuskan sebagai berikut:

124

(1) Penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena tidakterdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakantindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.

(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat juga dilakukan atas dasar:

a. putusan hakim praperadian atas dasar permintaan korban/pelapor;

b. dicapainya penyelesaian mediasi antara korban/pelapor dengantersangka.

(3) Tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui mediasisebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:

a. tindak pidana yang dilakukan bersifat ringan;

b. tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara palinglama 4 (empat tahun);

c. tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda;

d. umur tersangka pada waktu melakukan tindak pidana di atas 70(tujuh puluh) tahun;

e. kerugian sudah diganti;

(4) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan huruf ehanya berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidanapenjara paling lama 5 (lima) tahun;

(5) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan sebagaimanadimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menyampaikan laporanpertanggungjawaban kepada atasan penyidik.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian melaluimediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan PeraturanPemerintah.

Dapat kita lihat dalam Rancangan KUHAP yang merupakan ius

constituendum itu dimungkinkan adanya mediasi penal pada tingkat

125

penyidikan sebagai alasan penyidik menghentikan suatu perkara pidana dan

juga diatur secara limitatif tentang tindak pidananya. Selain itu ide mediasi

penal sebagai alasan hapusnya kewenangan melakukan penuntutan juga

terkandung dalam kebijakan konsep KUHP tahun 2008 tentang gugur atau

hapusnya kewenangan menuntut tindak pidana, sebagaimana tertuang dalam

Pasal 145 yang menentukan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika: (d)

Penyelesaian di luar proses; (e) Maksimum pidana denda dibayar dengan

sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana

denda paling banyak kategori ll; (f) Maksimum pidana denda dibayar dengan

sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama

satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.102

Jika rancangan peraturan itu kelak diberlakukan, mungkin satu hal

yang dapat dipertanyakan adalah bagaimana jika ditingkat penyidikan para

pihak tidak melakukan mediasi penal, tetapi kesadaran itu muncul pada

tingkat penuntutan atau sidang pengadilan, apakah mediasi penal dapat

dilakukan? Hal ini mungkin dapat menjadi bahan kajian selanjutnya mengenai

penerapan mediasi penal.

102 Umi Rozah, Hukum Pidana dalam Perspektif , Bali, Penerbit Pustaka Larasan, 2012,hlm. 320.

126

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Peranan yang dilakukan advokat dalam menerapkan mediasi penal merupakan

bentuk dari pemberian jasa hukum dan bantuan hukum non litigasi terhadap

kliennya. Dalam mediasi penal advokat berperan sebagai:

a. Inisiator, yaitu sebagai pihak yang memprakarsai penerapan mediasi penal

untuk menyelesaikan suatu perkara pidana dan mengusulkannya kepada

para pihak (korban, pelaku, penyidik).

b. Mediator, yaitu sebagai pihak ketiga yang memimpin dan menengahi

jalannya perundingan secara netral berdasarkan pilihan atau kesepakatan

para pihak.

c. Fasilitator, yaitu sebagai pihak yang membantu proses penerapan mediasi

penal dengan cara mempersiapkan dan mengusulkan materi kesepakatan,

mempersiapkan tempat, waktu serta para pihak yang diperlukan untuk

hadir dalam proses mediasi.

2. Akibat hukum dari kesepakatan yang dihasilkan dari mediasi penal adalah:

1. Timbulnya kewajiban pelaku untuk bertanggungjawab memulihkan

kerugian korban.

127

2. Dihentikannya proses penanganan perkara pidana, dalam hal perkara sudah

sampai tahap penyidikan, kesepakatan mediasi penal berakibat

dihentikannya penyidikan. Tindakan ini sebenarnya tidak sesuai dengan

norma hukum pidana dan acara pidana, namun dijadikannya kesepakatan

damai sebagai dasar penghentian penyidikan sudah menjadi semacam

hukum tidak tertulis yang didasarkan pada wewenang diskresi polisi.

B. Saran

Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan yang

diajukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut adalah:

1. Peran aktif advokat dalam menerapkan mediasi penal dapat membantu

tercapainya kemanfaatan dan keadilan bagi penyelesaian perkara pidana.

Meski begitu tindakan itu perlu mendapat pengawasan dari organisasi

advokat agar mediasi penal benar-benar diterapkan karena alasan kemanfaatan

bagi para pihak dan pemulihan kerugian bagi korban sebagai perwujudan

Restorative Justice, bukan dimanfaatkan sebagai alat untuk pelaku ‘mangkir’

dari pertanggungjawaban pidana.

2. Pengawasan juga harus dilakukan oleh pimpinan terhadap tindakan

penghentian perkara yang dilakukan penyidik agar diskresi polisi yang

dilakukan benar-benar untuk keadilan dan kemanfaatan masyarakat, jangan

sampai menjadi celah untuk ‘suap agar pelaku bebas dari jeratan hukum’,

jangan sampai ke arah penghentian penyidikan yang tidak sah yang dapat di

praperadilan kan.

128

3. Rancangan KUHAP yang memuat aturan perdamaian sebagai alasan

penghentian perkara perlu segera diundangkan.

4. Sosialisasi mengenai peristilahan dan penerapan mediasi penal perlu

ditingkatkan.

Daftar Pustaka

1. Buku

Ali, Mahrus. 2013. Melampaui Positivisme Hukum Negara. Aswaja Pressindo:

Yogyakarta.

Arief, Barda Nawawi. 2008. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di LuarPengadilan. Pustaka Magister: Semarang.

Faal, M. 1991. Penyaringan Tindak Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian).Pradnya Paramita: Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni: Bandung.

Hamzah, Andi. 2008. Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika: Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 1997. Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan danPenyelesaian Sengketa. Citra Aditya Bakti: Bandung.

------------------------. 2001. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP(Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika: Jakarta.

Margono, Suyud. 2004. ADR dan Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum.Ghalia Indonesia: Jakarta.

Meadow, Carie-Menkel. 2001. Mediation. Asghate Publishing Company: USA.

Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidanadan Penegakkan Hukum Pidana. Liberty: Yogyakarta.

Sahetapy, J.E. 1987. Victimology Sebuah Bunga Rampai. Pustaka Sinar Harapan:

Jakarta.

Prayitno, Kuat Puji. 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum. KanwaPublisher: Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur bandung:

Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1977. Aneka Persoalan Hukum dan Mayarakat. Penerbit Alumni:Bandung.

Riswanto, 2009. Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana diLuar Pengadilan, Tesis, Purwokerto.

Santoso, Muhari Agus. 2002. Paradigma Baru Hukum Pidana. Averroes Press:

Malang.

Sinaga, V. Harlen. 2011. Dasar-dasar Profesi Advokat. Penerbit Erlangga: Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis. GhaliaIndonesia: Jakarta.

Soemitro, Ronny H. 1998. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia

Indonesia: Jakarta.

Sunarso, Siswanto. 2012. Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. Sinar Grafika:

Jakarta.

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidanamenurut KUHAP bagi Penegak Hukum). Politeia: Bogor.

Tim Departemen Kriminologi Fisip UI. 2011. Reparasi dan Kompensasi Korbandalam Restorative Justice System. LPSK: Jakarta Pusat.

Wahyudi, Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan SistemPeradilan Anak di Indonesia. Genta Publishing: Yogyakarta.

2. Jurnal dan Internet

Kuat Puji Prayitno. 2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (PerspektifYuridis Filosofis dalam Penegakkan Hukum In Concreto). Jurnal DinamikaHukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto,Volume 12 No.3.

Lasmadi, Sahuri. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, JurnalFakultas Hukum Universitas Jambi, online-journal.unja.ac.id/index.php/kimih/article/download/530/484+&cd, diunduhpada 20 Mei 2012.

Tedjosaputro, Liliana dan Krismiyarsi. 2012. Kebijakan Penanggulangan KejahatanMelalui Mediasi Penal sebagai Alternatif Penyelesaian Tindak PidanaKDRT. Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 8 No.1http://journal.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/1081/993, diunduh pada 5Juni 2013.

Anonim, 15 Februari 2013. Andika Tetap diproses Hukum Meski telah Berdamaidengan Pihak CC. life.viva.co.id/news/read, diunduh pada 10 Maret 2013.

---------, Pengertian Keadilan Retributif. http://id.wikipedia.org/wiki/retributif-justice, diunduh pada tanggal 16 Maret 2013.

Vasso Artinopoulou. Victim Offender in Family Violance Cases: The GreekExperience.http://bunmegelozez.easyhosting.hu/dok/20091427_eloadasok/artinopoulou_workshop3.ppt_2009., diunduh pada 2 maret 2013.

3. Kamus

Henry Campbel Black. 1990. Blacks’s Law Dictionary. West Publishing Co.:St.Paul.

John M. Echols dan Hassan Shadily. 1981. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia:

Jakarta.

J.C.T Simorangkir, dkk. 1980. Kamus Hukum. Aksara Baru: Jakarta.

4. Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

------------, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undangHukum Pidana (KUHP).

------------, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

------------, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa.

------------, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM.

------------, Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian.

------------, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

------------, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

------------, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI Nomor: 1 Tahun 2008tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

International Covenant on Civil dan Political Rights (ICCPR) atau Konvensi HakSipil dan Politik.

Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 tentang

Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Perpolisian Masyarakat..

Surat Kapolri No Pol B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang

Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).