BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka...

8
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas tinggi. Balita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan (Wayana, 2010). Masa gizi balita berhubungan langsung dengan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsinya. Balita dalam mengkonsumsi makanan masih tergantung pada orang tua terutama ibunya. Pada masa ini balita tidak dapat memilih atau menentukan makanan mana yang baik untuk dirinya. Menurut Satoto (2003) masalah gizi kurang atau lebih terjadi terutama karena salah pilih makanan, yang sedikit ataupun banyak disebabkan oleh ketidaktahuan cara memilih makanan yang benar. Menurut United Nations Internasional Children’s Emergency Fund (UNICEF) (2005) timbulnya masalah gizi pada balita terutama terkait dengan factor pengasuhan, ketahanan pangan keluarga serta kesehatan lingkungan. Hartog, Steveren dan Brouwer (2005) mengatakan bahwa ibu memiliki peran utama dalam mengatur dan menyiapkan makanan bagi keluarga serta bertanggung jawab langsung dalam pemeliharaan anak. Jurnal kesehatan Inggris The Lanchet mengungkapkan, gizi kurang dan buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak dibawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan

Transcript of BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka...

Page 1: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

pesat, disertai dengan perubahan yang memerlukan zat-zat yang jumlahnya lebih

banyak dengan kualitas tinggi. Balita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah

menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya

akan menyebabkan beberapa efek serius seperti kegagalan pertumbuhan fisik serta

tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan (Wayana, 2010).

Masa gizi balita berhubungan langsung dengan kuantitas dan kualitas

makanan yang dikonsumsinya. Balita dalam mengkonsumsi makanan masih

tergantung pada orang tua terutama ibunya. Pada masa ini balita tidak dapat memilih

atau menentukan makanan mana yang baik untuk dirinya. Menurut Satoto (2003)

masalah gizi kurang atau lebih terjadi terutama karena salah pilih makanan, yang

sedikit ataupun banyak disebabkan oleh ketidaktahuan cara memilih makanan yang

benar. Menurut United Nations Internasional Children’s Emergency Fund (UNICEF) (2005)

timbulnya masalah gizi pada balita terutama terkait dengan factor pengasuhan,

ketahanan pangan keluarga serta kesehatan lingkungan. Hartog, Steveren dan

Brouwer (2005) mengatakan bahwa ibu memiliki peran utama dalam mengatur dan

menyiapkan makanan bagi keluarga serta bertanggung jawab langsung dalam

pemeliharaan anak.

Jurnal kesehatan Inggris The Lanchet mengungkapkan, gizi kurang dan buruk

dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak dibawah usia lima tahun (balita)

di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan

Page 2: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

2

Wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara dan Indonesia. Lebih dari

separuh kematian bayi balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko

meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan dengan anak

normal. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 54% penyebab

kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek. (Fitria, 2012)

Hasil riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan. Badan kesehatan dunia (WHO)

memperkirakan bahwa 54% kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk.

Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak

(WHO, 2011)

Faktor sosial budaya merupakan pedoman hidup mendasar dan umum yang

terintegrasi sebagai sistem pengetahuan dari pada lingkungan masyarakat. Inti dari

kebudayaan dan yang mengintegrasikan konsep – konsep kebudayaan sebagai suatu

pedoman hidup adalah nilai – nilai yang bersumber pada agama dan kepercayaan /

moral masyarakat setempat (Soemardjan, 2008).

Faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam keluarga

sehingga berdampak pada status kesehatan dan status gizi balita. Faktor sosial budaya

tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tradisi / kebiasaan dan

pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Orang tua dengan latar belakang

pendidikan yang baik akan lebih mudah dalam menerima informasi kesehatan yang

dapat mendukung peningkatan status gizi balita (WHO, 2010).

Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals

(MDGs) pada poin tujuan ke 4 yakni menurunkan angka kematian anak dan

dijelaskan dalam target ke 5 yang berisi tentang penurunan angka kematian balita

sebesar dua sepertiganya, antara 1990 dan 2015. Menurut Bappenas (2010), setiap

Page 3: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

3

daerah pada tahun 2015 harus mencpai penurunan prevalensi balita gizi buruk

menjadi 3,6% atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5.

Keadaan gizi kurang pada anak – anak mempunyai dampak pada kelambatan

pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Balita dengan gizi

kurang memiliki kemampuan belajar dan bekerja serta bersikap lebih terbatas

dibandingkan anak yang normal. Gizi buruk terjadi bila gizi kurang berlangsung lama,

maka akan berakibat semakin berat tingkat kekurangannya. Keadaan ini dapat

menjadi kwashiorkor dan marasmus disertai penyakit lain seperti diare, infeksi,

penyakit pencernaan, infeksi saluran pernapasan bagian atas, anemia dan lain – lain.

(Santoso & Anne, 2004).

Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti di puskesmas

Keraton didapatkan hasil jumlah balita 3579 terdapat 106 balita dengan gizi kurang.

Kejadian gizi kurang ini dipengaruhi oleh budaya ibu balita dalam pemberian asupan

nutrisi kepada balita. Ibu balita memberikan makanan pada balita usia 5 bulan dalam

bentuk nasi dicampur kuah bakso dan kerupuk tanpa ada tambahan lauk, balita tidak

diperkenankan mendapatkan makanan yang beragam atau yang sesuai menu dengan

nilai gizi yang seimbang sehingga mnyebabkan keadaan dimana apabila balita

mengalami penurunan berat badan dianggap ibu sebagai hal yang wajar karena hal

tersebut dianggap sebagai salah satu proses dalam pertumbuhan balita.

Kehidupan sosial orang jawa penuh dengan berbagai aturan yang tidak

tertulis, dirasakan sebagai kewajiban moral yang perlu untuk ditaati. Orang tua akan

sangat malu apabila anak tidak mengindahkan tata karma, karena anak tersebut

mungkin dianggap nakal atau kurang terdidik. Masyarakat yang terdiri dari berbagai

lapisan (stratified society) membuat prinsip tata krama tersebut lebih kompleks.

Hubungan antara individu sangat dipengaruhi olehnya (Azwar, 2006).

Page 4: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

4

Pandangan ibu balita dengan balita gizi kurang dipengaruhi oleh sesuatu pola

kebiasaan masyarakat yang turun menurun tersebut sehingga menjadi budaya bagi

wilayah tersebut. Keadan budaya yang tidak memandang sebagai suatu penyakit,

tetapi misalnya keadaan balita diganggu makhuk halus, tanda balita akan tumbuh

besar, sehingga para orang tua atau para ibu mencari penyembuhan pada dukun atau

paranormal (Arif, 2006).

Dengan latar belakang sosial budaya ibu dan lingkungan sekitar, Fakta

dilapangan sering dijumpai pemberian porsi makanan dalam keluarga dimana

makanan untuk dan laki – laki dewasa dengan porsi lebih banyak dan jenis lauk yang

lebih bervariasi dibandingkan ibu dan anak – anak. Balita dianggap tidak perlu nutrisii

lengkap karena balita tidak mengeluarkan banyak energi dan tenaga dibandingkan

orang dewasa. Sekarang ini sosialisasi dan pengetahuan tentang pemberian asupan

gizi yang baik masih kurang di lingkungan masyarakat, misalnya mitos tentang

larangan makanan tertentu bagi perempuan, ibu hamil dan balita padahal makanan

tersebut bermanfaat bagi kesehatan. terdapat fenomena yaitu umumnya nilai – nilai

sosial budaya menempatkan peran ibu dan perempuan dalam hal pengolahan

makanan dan pemenuhan gizi keluarga di tingkat rumah tangga dan masyarakat

sebagai bagian dari peran domestik perempuan (Pasaribu, 2005).

Perawat dapat melakukan peran sebagai konsulen dan edukator dalam

penanganan gizi kurang terhadap masyarakat atau orang tua dengan balita gizi

kurang. Perawat dapat memberikan informasi dengan melakukan sosialisasi atau

penyuluhan di desa, berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain untuk

memberikan tindakan dan informasi secara intensif kepada ibu sekaligus keluarga

dengan gizi kurang. Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian dikaitkan peran

perawat sebagai edukator dan konselor maka peneliti ingin melakukan penelitian

Page 5: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

5

tentang gambaran perilaku pemberian makanan pada balita gizi kurang ditinjau dari

aspek sosial budaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini :

“Bagaimana gambaran perilaku pemberian makanan pada balita kurang gizi ditinjau

dari apek sosial budaya di Puskesmas Keraton?”

1.3 Tujuan Penelitian

1) Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perilaku ibu terhadap

pemberian makanan pada balita kurang gizi ditinjau dari aspek sosial budaya di

Puskesmas Keraton.

2) Tujuan Khusus

Mendiskripsikan perilaku ibu dalam pemberian makanan pada balita kurang

gizi ditinjau dari aspek sosial budaya meliputi pendidikan, pekerjaan (pendapatan),

Tradisi (kepercayaan), pengetahuan, perilaku makan.

Page 6: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

6

1.4 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan penulisan yang

akan dicapai, maka manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, antara lain:

1) Bagi Orang Tua Balita

Bagi orang tua dapat memperoleh informasi yang tepat untuk mengetahui

tentang gizi kurang yang benar dan dapat memberikan tindakan atau perlakuan sesuai

dengan informasi yang benar.

2) Bagi Instasi Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi dan dapat

diterapkan dalam program kerja di Puskesmas tentang hubungan budaya dan perilaku

ibu terhadap PMT pada balita. memberikan alternative lain dalam penangan balita

dengan gizi kurang.

3) Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi sumber referensi tambahan dalam penelitian

selanjutnya, tentunya dengan variable independen yang berbeda.

4) Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai dokumentasi serta informasi dalam rangka pengembangan

pengetahuan mahasiswa mengenai penatalaksanaan intervensi terhadap balita dengan

gizi kurang. Sebagai bahan masukan bagi para pengambil keputusan dibidang

kesehatan dalam mengambil kebijakan strategis untuk menanggulangi masalah gizi

kurang pada balita.

Page 7: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

7

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan dari hasil kajian pustaka, belum ada penelitian yang telah

dilakukan berkaitan tentang hubungan budaya dan perilaku ibu terhadap PMT

(Pemberian Makanan Tambahan) pada balita gizi kurang, namun penelitian yang

memiliki kemiripan pernah dilakukan seperti tercantum sebagai berikut :

1) Laili (2014), “ Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Dengan Sikap Ibu

Balita Tentang Gizi Kurang Pada Balita di Desa Pitu Kab, Ngawi”.

Penelitian ini membahas tentang pengetahuan dan sikap ibu tentang gizi

kurang dalam studi terhadap 56 ibu balita terpilih dengan menggunakan

tehnik sampling Proportional Random Sampling dengan desain Cross Sectional.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dan sikap

ibu terhadap gizi kurang pada balita. perbedaan penelitian yang dilakukan

dengan peneliti Laili (2014) yaitu terletak pada variable independen,

dimana variable independen pada penelitian sebelumnya yaitu tingkat

pengetahuan ibu balita tentang gizi kurang sedangkan pada penelitian

selanjutnya variable independennya adalah hubungan budaya dan perilaku

ibu.

2) Nugraha (2011), “Pengaruh Biskuit Konsumsi pada Status Gizi dan

Morbiditas Tingkat Balita anak – anak yang memiliki Status Gizi kurang

pada tiga komunitas di Kabupaten Sukabumi”. Penelitian ini membahas

masalah gizi kurang pada tiga komunitas di Kabupaten Sukabumi, yaitu

komunitas perkotaan, komunitas perikanan dan komunitas pertanian

melalui studi terhadap 572 keluarga yang dipilih dengan menggunakan

tehnik purposive random sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada

Page 8: BAB I PENDAHULUANeprints.umm.ac.id/39619/2/BAB I.pdfBalita termasuk kelompok rawan gizi, mereka mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan. Akibatnya akan

8

pengaruh pmberian biskuit terhadap morbiditas balita. Perbedaan

penelitian yang akan dilakukan dengan peneliti Wiko (2003) yaitu terletak

pada variable independen. Dimana variable independen peneliti

sebelumnya yaitu pengaruh konsumsi biskuit, sedangkan penelitian yang

akan dilakukan, variable independennya adalah pengaruh sosial budaya.