BAB I-III Abses Leher Dalam
-
Upload
miftahul-khairat-musmar-elbama -
Category
Documents
-
view
141 -
download
9
Transcript of BAB I-III Abses Leher Dalam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti, gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%)
dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%). Kuman penyebab abses leher dalam
biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.1
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula
(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),
diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
masticator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.2
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan nafas, kelumpuhan
saraf cranial, mediastinitis dan kompresi hingga rupture arteri karotis interna.
Penegakan diagnosis yang cepat dapat mencegah timbulnya komplikasi-
komplikasi tersebut.1 Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui
bagaimana cara mendiagnosis, tatalaksana dan komplikasi-komplikasi apa yang
akan muncul pada abses leher dalam.
1
1.2 Batasan Masalah
Refrat ini membahas tentang anatomi leher dalam, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi dan klasifikasi abses leher dalam. Serta lebih mentikberatkan dalam
membahas diagnosis, tatalaksana dan komplikasi masing-masing klasifikasi abses
leher dalam tersebut
1.3 Metode Penulisan
Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai
literatur.
1.4 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai
diagnosis, penatalaksanaan serta komplikasi dari abses leher dalam.
1.5 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman
mengenai diagnosis, penatalaksanaan serta komplikasi abses leher dalam.
Sehingga kita dapat mencegah pasien tidak jatuh pada kondisi yang memperberat
keadaannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia
servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda
dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula.2
cFig.1a±c. Drawing of the fascial anatomy in the neck. a Coronal section of the neck showing relationship between the peritonsillar space and the greater cornu of the hyoid bone. b Sagittal section of the neck showing the anterior cervical space and the retropharyngeal space. c Transverse section of the infrahyoid neck showing that the anterior cervical and posterior cervical spaces are intervened by the carotid space. Dots indicate middle layer of the deep cervical fascia; ACS anterior cervical space; CS carotid space; PCS posterior cervical space; PPS parapharyngeal space; PTS peritonsillar space; RPS retropharyngeal space. 1 V3 nerve; 2 mandibulum; 3 submandibular gland; 4 infrahyoid strap muscles; 5 greater cornu of hyoid bone; 6 palatine tonsil; 7 superior pharyngeal constrictor muscle; 8 pharyngobasilar fascia; 9 prevertebral fascia; 10 fascia of infrahyoid strap muscles; 11 thyroid isthmus; 12 body of hyoid bone; 13 thyroid gland; 14 common carotid artery; 15 internal jugular vein; 16 esophagus; 17 trachea
3
Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem
muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan
dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan, yaitu : 2
lapisan superfisial
lapisan tengah
lapisan dalam.
Ruang potensial leher dalam
Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. 2 Ruang-ruang ini
dideskripsikan berdasarkan hubungannya dengan tulang hyoid di leher: 3
1. Ruang-ruang yang berlokasi di atas level hyoid (ruang peritonsil,
submandibular, parafaring, masticator/temporal, bukal, dan ruang parotis)
2. Ruang-ruang yang melibatkan keseluruhan panjang leher (ruang
retrofaring, prevertebra, the danger space, dan ruang karotid)
3. Ruang yang berlokasi di bawah hyoid (ruang pretrakeal)
Gambar 4. Potongan sagital leher2
4
Gambar 5 : Ruang leher dalam tampak lateral3
2.2 Definisi
Abses adalahc kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi
(biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi
perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke
bagian lain dari tubuh.
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari
berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga
dan leher.1
5
2.3 Epidemiologi
Ungkanot dikutip Murray dkk mendapatkan 117 anak-anak yang
ditatalaksana sebagai abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun. Abses
peritonsil 49%, abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal
11%, abses parafaring 2%, lainnya 2%. 2
Sakaguchi dkk, melaporkan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus
dari tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki
sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan,
yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan
submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.2
Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,
menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula
(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),
diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).2
Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,
parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra
hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.2
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun
terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam
sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)
kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses
masticator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.2
2.4 Patofisiologi
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka
6
kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.2
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif anaerob, dengan perbandingan
mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses
leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob
dan fakultatif anaerob adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.2
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan
masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya
berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah
submaksila.2
Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)
kasus dapat diidentifikasi penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.
Tujuh puluh enam persen Ludwig’s angina disebabkan infeksi gigi, abses
submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi. Yang dkk melaporkan dari 100
orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat diidentifikasi sumber infeksi
sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring 35%,
odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,
tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.2
2.5 Klasifikasi
Abses leher dalam dapat berupa:1
abses peritonsil
abses retrofaring
abses parafaring
abses submandibula
7
2.5.1 Abses Peritonsil
a. Etiologi
Abses peritonsil adalah infeksi akut pada tonsil dengan terbentuknya abses
diruang peritonsil yang berlokasi diantara bantalan tonsil dan kapsul tonsil4. Abses
peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis1,dimana bakteri penyebab
tersering tampak berubah – ubah mulai dari kokus gram positif ( tersering
streptokokus B hemolitikus grup A) ke kuman anaerob dan batang gram negative.5
Gambar 6 : Abses peritonsil kanan7
b. Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang1.
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil
yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan
cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-
sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan
8
dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut
lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi
infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan
sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan
terjadinya abses.6
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak
juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak
dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,
uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.6
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.6
c. Gejala dan Tanda
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan
awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang
menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil
biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.1
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga
keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat
merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk
makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah
sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan
lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri
alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-
otot pterigoid.5 Suara gumam atau hot potato voice serta pembengkakakan
kelenjar submandibula dengan myeri tekan1.
Table 1. Common Symptoms and Physical Findings in
9
Patients with Peritonsillar Abscess7
Symptoms Physical findings
Fever
Malaise
Severe sore throat
(worse on one side)
Dysphagia
Otalgia (ipsilateral)
Erythematous, swollen soft palate
with uvula deviation to contralateral
side and enlarged tonsil
Trismus
Drooling
Muffled voice (“hot potato voice”)
Rancid or fetor breath
Cervical lymphadenitis
d. Diagnosis6
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan
fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau
punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses
peritonsil.
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang
kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Pada pemeriksaan fisik penderita
dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar
servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak
pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-
pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri pada umumnya
tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus.
Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada
sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau
di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan
pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Abses peritonsil yang terjadi
pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub
superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah
peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.
10
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya
leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto
rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi computer. Saat ini ultrasonografi
telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin
dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa
menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.
Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh
abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan
lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta
menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan
kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses
peritonsil di daerah kutub computer.
Gambar 7 : Tomografi komputer abses peritonsil7
11
e. Penatalaksanaan
Drainase abses, pemberian antibiotic dan terapi suportif untuk
mempertahankan hidrasi dan mengontrol nyeri merupakan dasar terapi untuk
tatalaksana abses peritonsiler.7 Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis
tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan
kompres dingin pada leher1. Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan
Sensitifitas pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana
yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua
atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai
obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi
atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organism.6
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang
diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan
antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan
antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin
saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang
memproduksi beta laktamase.6
Regimen antimikroba untuk tatalaksana abses peritonsil dapat diberikan
secara terapi intravena ataupun terapi oral. Terapi intravena dapat menggunakan
ampicillin / sulbactam 3 gram enam jam, penicillin G 10 juta unit setiap 6 jam
ditambah metronidazol 500 mg setiap 6 jam. Jika alergi terhadap penicillin
diberika clindamycin 900 mg setiap 8 jam. Terapi antibiotic oral dapat diberikan
amoxicillin/klavulanat 875 mg dua kali sehari, penicillin 500 mg 4 kali sehari
ditambah metronodazol 500 mg 4 kali sehari. Clindamycin 600 mg 2 kali sehari
atau 300 mg 4 kali sehari.7
Prosedur utama untuk drainase abses peritonsil adalah aspirasi jarum,
insisi dan drainase dan tonsilektomi segera.7 Tempat insisi ialah di daerah yang
paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan
dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Kemudian pasien dinjurkan untuk
operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu
sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
12
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.1
Table 3. Antimicrobial Regimens for
Peritonsillar Abscess7
Intravenous therapy
Ampicillin/sulbactam (Unasyn) 3 g every six hours
Penicillin G 10 million units every six hours plus
metronidazole (Flagyl) 500 mg every six hours
If allergic to penicillin, clindamycin (Cleocin) 900 mg
every eight hours
Oral therapy
Amoxicillin/clavulanic acid (Augmentin) 875 mg twice daily
Penicillin VK 500 mg four times daily plus metronidazole
500 mg four times daily
Clindamycin 600 mg twice daily or 300 mg four times daily
f. komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau
piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum
menimbulkan mediastinitis.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
13
Table 3. Complications of Peritonsillar Abscess7
Airway obstruction
Aspiration pneumonitis or lung abscess secondary to
peritonsillar abscess rupture
Death secondary to hemorrhage from erosion or septic
necrosis into carotid sheath
Extension of the infection into the tissues of the deep neck
or posterior mediastinum
Poststreptococcal sequelae (e.g., glomerulonephritis, rheumatic
fever) when infection is caused by Group A streptococcus
2.5.2 Abses Parafaring
a. Definisi1
Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
parafaring. Ruang parafaring atau disebut juga ruang faringomaksila adalah ruang
yang berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kormu mayus os hyoid. Ruang ini
dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.pterigoid interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh
prosesus styloid menjadi kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid dan
komponen posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi
lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar
di medial dan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a.
14
karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung
yang disebut selubung karotis dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini
dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan yang tipis.
b. Etiologi 1
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :
1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang
terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis
(m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari
fossa tonsilaris.
2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
c. Patologi8
Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda
setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan
yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu
selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena
jugularis interna. Abses dapat mengikuti m. stiloglosus ke dasar mulut dimana
terbentuk abses. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan
perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai
oleh trombosis v. jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior
akan meluas ke atas sepanjang pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan
infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.
15
d. Gejala dan Tanda8
Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,
odinofagi dan disfagia Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid
akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas. Trismus yang disebabkan oleh
menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi mungkin
tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang
melekat padanya sehingga tidak mengenai M.Pterigoid internus.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring
dengan nyeri tekan daerah submandibula terutama pada angulus mandibula.
Terlihat edema uvula, pilar tonsil, angulus mandibula tidak teraba , palatum dan
pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses
peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada rontgenogram lateral
mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior.
e. Diagnosis8
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda
klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto
rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.
f. Penatalaksanaan
Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.
Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk
melokalisasi tempat abses.7 Terapi antimikroba sangat perlu, diberikan antibiotika
dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Penentuan
antibiotika apa yang digunakan tergantung hasil biakan kuman dan tes kepekaan
terhadap bakteri penyebab infeksi. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila
tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24 – 48 jam dengan cara eksplorasi
dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.1
Insisi dari luar dilakukan secara teknik Mosher yaitu insisi seperti huruf
“T” yang dilakukan pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul
eksplorasi dilanjutkan dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-
posterior menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang
16
parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat di selubung
karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke
bawah di depan m. sternokleiodomastoideus.1
Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan
dengan memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan menembus m.
konstriktor faring superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila
perlu dan sebagai terapi tambahan dari insisi eksternal.1
g. Komplikasi1
Berbagai komplikasi dapat terjadi sebagai akibat keterlambatan diagnosis,
penatalaksanan yang tidak tepat dan tidak adekuat. Proses infeksi menjalar secara
hematogen, limfogen dan langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya.
Penjalaran ke superior bisa menyebabkan komplikasi intrakranial, ke bawah
menyebabkan nekrosis pembuluh karotis yang bisa menyebabkan ruptur sehingga
terjadi perdarahan hebat. Mediastinis terjadi jika infeksi sampai ke mediastinum
yang bisa berlanjut menjadi sepsis.
2.5.3 Abses Retrofaring
Abses retrofaring adalah infeksi leher dalam yang bisa memburuk menjadi
obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa.3
Ruang retrofaring meluas dari dasar tengkorak sampai mediastinum. Di
bagian lateral, ruang ini berhubungan dengan selubung carotid.3
17
Gambar 8 : Penampang melintang dari ruang leher dalam3
a. Epidemiologi
Abses retrofaring sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 6 tahun
dengan puncak insiden pada usia 3 tahun.3 Hal ini terjadi karena pada usia tersebut
ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi
kanan dan kiri. Pada usia di atas 6 tahun, kelenjar ini akan mengalami atrofi.1
Penggunaan antibiotik secara luas telah menurunkan angka kejadian
infeksi leher dalam secara dramatis.3
b. Etiologi3
Ruang retrofaring bisa terinfeksi melalui dua cara, baik melalui
penyebaran infeksi lokal atau sekunder akibat penetrasi trauma.
- Abses retrofaring “klasik” pada anak cenderung terjadi melalui infeksi
nodus limfoid akibat infeksi traktus respiratorius atas seperti faringitis,
tonsillitis, sinusitis, limfadenitis servikal, atau infeksi dental.
- Trauma penetrasi faring relatif sering pada anak (terkena objek tajam pada
mulut). Benda asing (tulang ikan), dan trauma iatrogenic (trauma setelah
18
laringoskopi, intubasi endotrakea, pemasangan selang makanan, serta
injeksi dan prosedur dental).
Patogen yang menyerang tergantung pada asal infeksi dan sering
melibatkan organism aerobik dan anaerobic. Penyebab infeksi paling sering
adalah akibat Streptococcus ß haemolyticus grup A dan Staphylococcus aureus.
Patogen yang tidak biasa seperti Mycobacterium tuberculosa juga harus selalu
dipertimbangkan.
c. Manifestasi Klinis
Gejala utama abses retrofaring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau
makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku, dan nyeri. Dapat timbul
sesak napas karena sumbatan jalan napas. Bila proses peradangan berlanjut
sampai mengenai laring dapat terjadi stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat
mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.1
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.1
Limfadenopati servikal (biasanya unilateral) juga mungkin ditemukan.
Kuduk kaku dan terbatasnya gerakan leher mungkin bisa di salah interpretasikan
sebagai kaku kuduk dan dapat salah diagnosis sebagai meningitis. Anak-anak
dengan infeksi yang berat mungkin memosisikan diri mereka untuk
mempertahankan jalan udara yang paten dengan bernafas dengan mulut, protrusi
lidah atau mandibula.3
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang.1
Pemeriksaan laboratorium rutin sering menunjukkan hasil yang tidak spesifik
seperti leukositosis dan tidak terlalu bermanfaat dalam diagnosis abses
retrofaring.3
Pemeriksaan Rontgen jaringan lunak leher lateral merupakan investigasi
lini pertama pada anak yang stabil. Secara umum, diameter anteroposterior dari
19
ruang retrofaring tidak boleh melebihi korpus vertebra dibelakangnya. Pada abses
retrofaring, dapat tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak
dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan 22 mm
pada dewasa. Pelebaran ruang retrofaring menunjukkan adanya massa. Pada
radiografi juga dapat terlihat adanya air or fluid level yang menunjukkan infeksi
anaerob. Di samping itu, vertebra servikal juga mungkin melurus dengan
berkurangnya lordosis normal (Ram Rod Spine).1.3
Gambar 9 : Perbandingan radiografi lateral leher menunjukkan X-ray normal dan abses
retrofaring3
Saat ini, CT Scan dengan kontras merupakan modalitas pencitraan terpilih
dan akan tampak lesi hipodens, “ring enhancement” atau “scalloping” dari dinding
nodus limfoid. CT Scan juga membantu dalam menandai batas lesi dan
menentukan adanya keterlibatan vaskular atau tidak.3
MRI dapat memperlihatkan jaringan lunak lebih baik daripada CT Scan,
akan tetapi pemeriksaan ini biasanya tidak diperlukan dan jarang digunakan
kecuali ada kemungkinan penyebaran ke sistem saraf pusat.3
Ultrasonografi telah dianjurkan oleh beberapa penulis sebagai alternatif
CT Scan dalam mengevaluasi abses retrofaring dan memantau progresinya.
Modalitas ini, terutama ketika dikombinasikan dengan color Doppler, bisa
mendiagnosis infeksi pada stadium nonsupuratif awal. Akan tetapi, USG tidak
terlalu membantu untuk perencanaan operasi.3
e. Diagnosis Banding1.3
20
- Adenoiditis
- Tumor leher
- Aneurisma aorta
- Adenitis servikal
f. Terapi3
Prioritas managemen abses retrofaring adalah :
- Mempertahankan jalan napas
- Pasang kateter intravena
- Observasi untuk mendeteksi gangguan jalan nafas secara dini.
- Terapi antibiotik intravena harus diberikan sementara menunggu hasil
kultur dan sensitivitas. Klindamisin merupakan antibiotik lini pertama.
Obat ini dikombinasikan dengan penghambat ß-lactamase (seperti asam
klavulanat) atau cefoxitin, cefuroxime, imipenem untuk organisme resisten
ß-lactamase. Vankomisin harus dipertimbangkan untuk pasien yang
neutropenia atau disfungsi imun. Pemberian terapi antibiotik intravena
harus dilanjutkan sampai pasien membaik secara klinik/ afebril setidaknya
selama 48 jam, diikuti dengan terapi oral menggunakan amoksisilin
dengan asam klavulanat, klindamisin, ciprofloxacin, kotrimoxazol atau
metronidazol.
- Insisi dan drainase abses, dapat dilakukan melalui insisi intraoral atau
melalui servikal eksterna.
Aspirasi intraoral dan drainase direkomendasikan dengan anestesi umum
jika abses terbatas pada ruang retrofaring atas. Lokalisasi awal dari abses
dilakukan dengan aspirasi jarum untuk menyingkirkan adanya darahdan
untuk mengkonfirmasi adanya material purulen yang harus dikirim untuk
kultur dan sensitivity. Insisi vertikal dibuat melalui mukosa yang udem
dari dinding posterior faring. Blunt dissection kemudian dilanjutkan ke
dalam cavitas untuk mendrainasenya secara komplit. Jika darah ditemukan
selama lokalisasi, pendekatan eksternal harus dilakukan untuk
pengontrolan vascular.
21
Drainase eksternal digunakan ketika abses meluas ke inferior dari tulang
hyoid. Insisi dibuat dengan cara apron-like termodifikasi dengan
potongan horizontal pada bagian tengah cavitas abses (dinilai dari x-ray
lateral dan CT Scan) dan potongan vertikal dibuat sepanjang batas anterior
otot sternokleidomastoideus ke superior. Jika ada perluasan ke inferior,
insisi leher bisa dilanjutkan ke klavikula. Batas anterior dari otot
sternokleidomastoideus diidentifikasi dan ditarik ke lateral. Selubung
karotid juga diidentifikasi dan ditarik ke medial. Mengikuti fasia
prevertebra dengan retraksi medial dari laring, trakea, dan tiroid, cavitas
abses dibuka dan didrainase. Saluran irigasi dimasukkan dan dilepas
setelah 24-48 jam. Drainase transtorakal dibutuhkan bila infeksi menyebar
dibawah karina.
g. Komplikasi1.3
Komplikasi dari abses retrofaring berhubungan dengan kompresi struktur
sekitarnya, rupture abses, atau penyebaran infeksi. Komplikasi termasuk:
- Kompresi faring (gangguan jalan nafas)
- Aspirasi pneumonia (rupture abses dengan inhalasi materialnya)
- Mediastinitis, perikarditis, tamponade jantung
- Empiema, thrombosis vena jugularis, rupture carotid
- Osteomielitis dari tulang servikal, subluksasi vertebra, dan kerusakan
korda spinalis
2.5.4 Abses Submandibula
Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang
potensial di regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam
dan terbatasnya gerakan membuka mulut.1
22
Gambar 10. Anatomi ruang submandibula9
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior.1
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang
submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah
kepala dan leher.1
Ruang submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat
penyebaran infeksi dari gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi
saluran nafas atas, trauma, benda asing, dan 20% tidak diketahui fokus
infeksinya.9
a. Etiologi
23
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer
limfa submandibula. Mungkin juga sebagai kelanjutan dari infeksi ruang leher
dalam lain. kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaaerob.1,9
b. Gejala dan tanda
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di bawah
lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan
trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak.1,9
c. Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-
kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa
daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.9
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis.
Pada foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan
gambaran pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di
subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat
komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan
gambaran pneumomediastinum.9
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan
abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan.
Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi
infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan
abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras
akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di
dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu
tidaknya operasi.9
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi
magnetik (Magneticresonance Imaging / MRI) yang dapat mengetahui lokasi
abses, perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah 24
pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah
dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses.9
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses
pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang
diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.9
Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan
nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui
jenis kuman dan antibiotik yang sesuai.9
d. Terapi
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat
dan drainase abses yang baik.1,9
Seharusnya pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes
kepekaan terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan
waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus
segera diberikan.16 Sebelum hasil mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman
aerob dan anaerob.9
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas.9 Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai
mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir. Pasien dirawat inap sampai
1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.1
Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral.
Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika
terdapat fasilitas bronkoskop fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan
secara intranasal.9
25
Gambar 11. Alur pengobatan abses submandibula9
e. Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat
dan tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes
mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat
dapat menyebabkan kematian.1,9
Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai
struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X.
Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung
karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas
ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal.
Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis.9
BAB III
26
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher
dalam yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,
Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher
dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan abses
submandibula.
Secara umum penatalaksanaan abses leher dalam adalah berupa terapi
medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan
pemberian antibiotika kemudian dilakukan terapi bedah dengan menginsisi abses.
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa jika
disertai dengan komplikasi. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan
komplikasi yang potensial terjadi pada abses leher dalam. Dengan demikian kita
harus waspada terhadap tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin
sangat berbahaya.
DAFTAR PUSTAKA
27
1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI. 2007:p. 226-30
2. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang
3. Ko-Villa, Evangeline. Anaesthetic management of retropharyngeal abscess in
children. Anaesthesia Tutorial of The Week 211. 2011
4. Su, Wang-Yu et al. Inferior pole peritonsillar abscess successfully treated with
non surgical approach in four cases. Tzu Chi Medical Journal. 2006; 18:287-
290.
5. Marom T et al. Changing trends of peritonsillar abscess. American Journal of
Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery. 2010; 31:162-67
6. Prijaldi, Jon. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. Bagian Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang
7. Galioto NJ. Peritonsillar abscess. American Family Physician. 2008;77:199-
202.
8. Fitri M et al. Abses parafaring. Departemen ilmu THT RSPAD Gatot Subroto.
2011
9. Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses submandibula dengan penyulit uremia
dan infark miokardium lama. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil
Padang
28