BAB I-III Abses Leher Dalam

41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti, gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%) dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%). Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob. 1 Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002, menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula (15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4), diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%). Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses 1

Transcript of BAB I-III Abses Leher Dalam

Page 1: BAB I-III Abses Leher Dalam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam

sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti, gigi, mulut,

tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang

terlibat. Penyebab paling sering dari abses leher dalam adalah infeksi gigi (43%)

dan penyalahgunaan narkoba suntikan (12%). Kuman penyebab abses leher dalam

biasanya terdiri dari campuran kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.1

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,

menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula

(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),

diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun

terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam

sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)

kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses

masticator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.2

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat

komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan nafas, kelumpuhan

saraf cranial, mediastinitis dan kompresi hingga rupture arteri karotis interna.

Penegakan diagnosis yang cepat dapat mencegah timbulnya komplikasi-

komplikasi tersebut.1 Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui

bagaimana cara mendiagnosis, tatalaksana dan komplikasi-komplikasi apa yang

akan muncul pada abses leher dalam.

1

Page 2: BAB I-III Abses Leher Dalam

1.2 Batasan Masalah

Refrat ini membahas tentang anatomi leher dalam, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi dan klasifikasi abses leher dalam. Serta lebih mentikberatkan dalam

membahas diagnosis, tatalaksana dan komplikasi masing-masing klasifikasi abses

leher dalam tersebut

1.3 Metode Penulisan

Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke berbagai

literatur.

1.4 Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai

diagnosis, penatalaksanaan serta komplikasi dari abses leher dalam.

1.5 Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman

mengenai diagnosis, penatalaksanaan serta komplikasi abses leher dalam.

Sehingga kita dapat mencegah pasien tidak jatuh pada kondisi yang memperberat

keadaannya.

2

Page 3: BAB I-III Abses Leher Dalam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia

servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia

profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot plastima yang tipis dan meluas ke

anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda

dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior

mandibula.2

cFig.1a±c. Drawing of the fascial anatomy in the neck. a Coronal section of the neck showing relationship between the peritonsillar space and the greater cornu of the hyoid bone. b Sagittal section of the neck showing the anterior cervical space and the retropharyngeal space. c Transverse section of the infrahyoid neck showing that the anterior cervical and posterior cervical spaces are intervened by the carotid space. Dots indicate middle layer of the deep cervical fascia; ACS anterior cervical space; CS carotid space; PCS posterior cervical space; PPS parapharyngeal space; PTS peritonsillar space; RPS retropharyngeal space. 1 V3 nerve; 2 mandibulum; 3 submandibular gland; 4 infrahyoid strap muscles; 5 greater cornu of hyoid bone; 6 palatine tonsil; 7 superior pharyngeal constrictor muscle; 8 pharyngobasilar fascia; 9 prevertebral fascia; 10 fascia of infrahyoid strap muscles; 11 thyroid isthmus; 12 body of hyoid bone; 13 thyroid gland; 14 common carotid artery; 15 internal jugular vein; 16 esophagus; 17 trachea

3

Page 4: BAB I-III Abses Leher Dalam

Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem

muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan

dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda

mengelilingi daerah leher dalam terdiri dari 3 lapisan, yaitu : 2

lapisan superfisial

lapisan tengah

lapisan dalam.

Ruang potensial leher dalam

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah

sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. 2 Ruang-ruang ini

dideskripsikan berdasarkan hubungannya dengan tulang hyoid di leher: 3

1. Ruang-ruang yang berlokasi di atas level hyoid (ruang peritonsil,

submandibular, parafaring, masticator/temporal, bukal, dan ruang parotis)

2. Ruang-ruang yang melibatkan keseluruhan panjang leher (ruang

retrofaring, prevertebra, the danger space, dan ruang karotid)

3. Ruang yang berlokasi di bawah hyoid (ruang pretrakeal)

Gambar 4. Potongan sagital leher2

4

Page 5: BAB I-III Abses Leher Dalam

Gambar 5 : Ruang leher dalam tampak lateral3

2.2 Definisi

Abses adalahc kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang

terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi

(biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya

serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi

perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke

bagian lain dari tubuh.

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang

potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari

berbagai sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

dan leher.1

5

Page 6: BAB I-III Abses Leher Dalam

2.3 Epidemiologi

Ungkanot dikutip Murray dkk mendapatkan 117 anak-anak yang

ditatalaksana sebagai abses leher dalam pada rentang waktu 6 tahun. Abses

peritonsil 49%, abses retrofaring 22%, abses submandibula 14%, abses bukkal

11%, abses parafaring 2%, lainnya 2%. 2

Sakaguchi dkk, melaporkan kasus infeksi leher dalam sebanyak 91 kasus

dari tahun 1985 sampai 1994. Rentang usia dari umur 1-81 tahun, laki-laki

sebanyak 78% dan perempuan 22%. Infeksi peritonsil paling banyak ditemukan,

yaitu 72 kasus, diikuti oleh parafaring 8 kasus, submandibula, sublingual dan

submaksila masing-masing 7 kasus dan retrofaring 1 kasus.2

Huang dkk, dalam penelitiannya pada tahun 1997 sampai 2002,

menemukan kasus infeksi leher dalam sebanyak 185 kasus. Abses submandibula

(15,7%) merupakan kasus terbanyak ke dua setelah abses parafaring (38,4),

diikuti oleh Ludwig’s angina (12,4%), parotis (7%) dan retrofaring (5,9%).2

Yang dkk, pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001

sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan

3:2. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial 29%. Abses submandibula 35%,

parafaring 20%, mastikator 13%, peritonsil 9%, sublingual 7%, parotis 3%, infra

hyoid 26%, retrofaring 13%, ruang karotis 11%.2

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun

terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam

sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%)

kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses

masticator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.2

2.4 Patofisiologi

Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal

dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh

baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.

Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka

6

Page 7: BAB I-III Abses Leher Dalam

kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian

besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman

aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.2

Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak

dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif anaerob, dengan perbandingan

mulai 10:1 sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses

leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob

dan fakultatif anaerob adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.2

Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi

tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran

infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi

molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan

masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya

berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah

submaksila.2

Parhischar dkk mendapatkan, dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)

kasus dapat diidentifikasi penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%.

Tujuh puluh enam persen Ludwig’s angina disebabkan infeksi gigi, abses

submandibula 61% disebabkan oleh infeksi gigi. Yang dkk melaporkan dari 100

orang abses leher dalam, 77 (77%) pasien dapat diidentifikasi sumber infeksi

sebagai penyebab. Penyebab terbanyak berasal dari infeksi orofaring 35%,

odontogenik 23%. Penyebab lain adalah infeksi kulit, sialolitiasis, trauma,

tuberkulosis, dan kista yang terinfeksi.2

2.5 Klasifikasi

Abses leher dalam dapat berupa:1

abses peritonsil

abses retrofaring

abses parafaring

abses submandibula

7

Page 8: BAB I-III Abses Leher Dalam

2.5.1 Abses Peritonsil

a. Etiologi

Abses peritonsil adalah infeksi akut pada tonsil dengan terbentuknya abses

diruang peritonsil yang berlokasi diantara bantalan tonsil dan kapsul tonsil4. Abses

peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman

penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsillitis1,dimana bakteri penyebab

tersering tampak berubah – ubah mulai dari kokus gram positif ( tersering

streptokokus B hemolitikus grup A) ke kuman anaerob dan batang gram negative.5

Gambar 6 : Abses peritonsil kanan7

b. Patologi

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat

longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses

peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang1.

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra tonsil

yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah mengeluarkan

cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk menghancurkan sisa-

sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan

8

Page 9: BAB I-III Abses Leher Dalam

dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut

lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang mengakibatkan

terjadinya pembesaran kelenjar. Jika tidak diobati secara maksimal, akan terjadi

infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan

sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga menyebabkan

terjadinya abses.6

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak

juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak

dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah,

uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral.6

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses

dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.6

c. Gejala dan Tanda

Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa pembengkakan

awal hampir selalu berlokasi pada daerah palatum mole di sebelah atas tonsil yang

menyebabkan tonsil membesar ke arah medial. Onset gejala abses peritonsil

biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5 hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.1

Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga

keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri

terlokalisir demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat

merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk

makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah

sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. Keluhan

lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi) sampai nyeri

alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-

otot pterigoid.5 Suara gumam atau hot potato voice serta pembengkakakan

kelenjar submandibula dengan myeri tekan1.

Table 1. Common Symptoms and Physical Findings in

9

Page 10: BAB I-III Abses Leher Dalam

Patients with Peritonsillar Abscess7

Symptoms Physical findings

Fever

Malaise

Severe sore throat

(worse on one side)

Dysphagia

Otalgia (ipsilateral)

Erythematous, swollen soft palate

with uvula deviation to contralateral

side and enlarged tonsil

Trismus

Drooling

Muffled voice (“hot potato voice”)

Rancid or fetor breath

Cervical lymphadenitis

d. Diagnosis6

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan

berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan

fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau

punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses

peritonsil.

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang

kedua tonsil terinfeksi pada waktu bersamaan. Pada pemeriksaan fisik penderita

dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar

servikal / servikal adenopati. Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak

pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-

pilar tonsil atau palatum mole yang terkena. Tonsil sendiri pada umumnya

tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau tertutup oleh mukopus.

Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya uvula pada

sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau

di belakang tonsil, penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan

pembengkakan supraglotis dan obstruksi jalan nafas. Abses peritonsil yang terjadi

pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama dengan pada kutub

superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah

peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.

10

Page 11: BAB I-III Abses Leher Dalam

Pemeriksaan laboratorium darah berupa faal hemostasis, terutama adanya

leukositosis sangat membantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi berupa foto

rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi computer. Saat ini ultrasonografi

telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara spesifik dan mungkin

dapat digunakan sebagai alternative pemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksa

menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh

abses adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan

lokasi abses yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta

menunjukkan gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan

kelebihan penggunaan tomografi komputer. Khusus untuk diagnosis abses

peritonsil di daerah kutub computer.

Gambar 7 : Tomografi komputer abses peritonsil7

11

Page 12: BAB I-III Abses Leher Dalam

e. Penatalaksanaan

Drainase abses, pemberian antibiotic dan terapi suportif untuk

mempertahankan hidrasi dan mengontrol nyeri merupakan dasar terapi untuk

tatalaksana abses peritonsiler.7 Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis

tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan

kompres dingin pada leher1. Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan

Sensitifitas pemberian terapi antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana

yang lebih banyak muncul. Penisilin dan sefalosporin (generasi pertama kedua

atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai

obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi

atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi organism.6

Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang

diperkirakan disebabkan oleh kuman staphylococcus. Metronidazol merupakan

antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan

antibiotika alternatif yang sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin

saat ini dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang

memproduksi beta laktamase.6

Regimen antimikroba untuk tatalaksana abses peritonsil dapat diberikan

secara terapi intravena ataupun terapi oral. Terapi intravena dapat menggunakan

ampicillin / sulbactam 3 gram enam jam, penicillin G 10 juta unit setiap 6 jam

ditambah metronidazol 500 mg setiap 6 jam. Jika alergi terhadap penicillin

diberika clindamycin 900 mg setiap 8 jam. Terapi antibiotic oral dapat diberikan

amoxicillin/klavulanat 875 mg dua kali sehari, penicillin 500 mg 4 kali sehari

ditambah metronodazol 500 mg 4 kali sehari. Clindamycin 600 mg 2 kali sehari

atau 300 mg 4 kali sehari.7

Prosedur utama untuk drainase abses peritonsil adalah aspirasi jarum,

insisi dan drainase dan tonsilektomi segera.7 Tempat insisi ialah di daerah yang

paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan

dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Kemudian pasien dinjurkan untuk

operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah

drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu

sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya

12

Page 13: BAB I-III Abses Leher Dalam

tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase

abses.1

Table 3. Antimicrobial Regimens for

Peritonsillar Abscess7

Intravenous therapy

Ampicillin/sulbactam (Unasyn) 3 g every six hours

Penicillin G 10 million units every six hours plus

metronidazole (Flagyl) 500 mg every six hours

If allergic to penicillin, clindamycin (Cleocin) 900 mg

every eight hours

Oral therapy

Amoxicillin/clavulanic acid (Augmentin) 875 mg twice daily

Penicillin VK 500 mg four times daily plus metronidazole

500 mg four times daily

Clindamycin 600 mg twice daily or 300 mg four times daily

f. komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau

piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses

parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum

menimbulkan mediastinitis.

Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus

sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

13

Page 14: BAB I-III Abses Leher Dalam

Table 3. Complications of Peritonsillar Abscess7

Airway obstruction

Aspiration pneumonitis or lung abscess secondary to

peritonsillar abscess rupture

Death secondary to hemorrhage from erosion or septic

necrosis into carotid sheath

Extension of the infection into the tissues of the deep neck

or posterior mediastinum

Poststreptococcal sequelae (e.g., glomerulonephritis, rheumatic

fever) when infection is caused by Group A streptococcus

2.5.2 Abses Parafaring

a. Definisi1

Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang

parafaring. Ruang parafaring atau disebut juga ruang faringomaksila adalah ruang

yang berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak

dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kormu mayus os hyoid. Ruang ini

dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah

ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.pterigoid interna dan bagian

posterior kelenjar parotis.

Ruang parafaring dibagi menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya oleh

prosesus styloid menjadi kompartemen anterior atau muskuler atau prestyloid dan

komponen posterior atau neurovaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi

lemak, otot, kelenjar limfe dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar

di medial dan pterygoid medial di sebelah lateral. Ruang poststyloid berisi a.

14

Page 15: BAB I-III Abses Leher Dalam

karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung

yang disebut selubung karotis dan saraf kranialis IX, X, XII. Bagian ini

dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan yang tipis.

b. Etiologi 1

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara :

1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi

dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang

terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis

(m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari

fossa tonsilaris.

2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,

hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan

sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.

3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

c. Patologi8

Infeksi leher dalam merupakan selulitis flegmonosa dengan tanda-tanda

setempat yang sangat mencolok atau menjadi tidak jelas karena tertutup jaringan

yang melapisinya. Seringkali dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu

selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena

jugularis interna. Abses dapat mengikuti m. stiloglosus ke dasar mulut dimana

terbentuk abses. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan

perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai

oleh trombosis v. jugularis atau suatu mediastinitis. Infeksi dari bagian posterior

akan meluas ke atas sepanjang pembuluh- pembuluh darah dan mengakibatkan

infeksi intracranial atau erosi a. karotis interna.

15

Page 16: BAB I-III Abses Leher Dalam

d. Gejala dan Tanda8

Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,

odinofagi dan disfagia Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid

akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas. Trismus yang disebabkan oleh

menegangnya M. Pterigoid internus merupakan gejala menonjol, tetapi mungkin

tidak terlihat jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang

melekat padanya sehingga tidak mengenai M.Pterigoid internus.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring

dengan nyeri tekan daerah submandibula terutama pada angulus mandibula.

Terlihat edema uvula, pilar tonsil, angulus mandibula tidak teraba , palatum dan

pergeseran ke medial dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses

peritonsil hanya tonsil yang terdorong ke medial. Pada rontgenogram lateral

mungkin tampak pergeseran trakea ke arah anterior.

e. Diagnosis8

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda

klinik. Bila meragukan dapat dilakukan pemerksaan penunjang berupa foto

rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.

f. Penatalaksanaan

Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah.

Sebelumnya diperlukan istirahat di tempat tidur, kompres panas untuk

melokalisasi tempat abses.7 Terapi antimikroba sangat perlu, diberikan antibiotika

dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Penentuan

antibiotika apa yang digunakan tergantung hasil biakan kuman dan tes kepekaan

terhadap bakteri penyebab infeksi. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila

tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24 – 48 jam dengan cara eksplorasi

dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral.1

Insisi dari luar dilakukan secara teknik Mosher yaitu insisi seperti huruf

“T” yang dilakukan pada 2 ½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul

eksplorasi dilanjutkan dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-

posterior menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai ruang

16

Page 17: BAB I-III Abses Leher Dalam

parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah terdapat di selubung

karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke

bawah di depan m. sternokleiodomastoideus.1

Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan

dengan memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan menembus m.

konstriktor faring superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukan bila

perlu dan sebagai terapi tambahan dari insisi eksternal.1

g. Komplikasi1

Berbagai komplikasi dapat terjadi sebagai akibat keterlambatan diagnosis,

penatalaksanan yang tidak tepat dan tidak adekuat. Proses infeksi menjalar secara

hematogen, limfogen dan langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya.

Penjalaran ke superior bisa menyebabkan komplikasi intrakranial, ke bawah

menyebabkan nekrosis pembuluh karotis yang bisa menyebabkan ruptur sehingga

terjadi perdarahan hebat. Mediastinis terjadi jika infeksi sampai ke mediastinum

yang bisa berlanjut menjadi sepsis.

2.5.3 Abses Retrofaring

Abses retrofaring adalah infeksi leher dalam yang bisa memburuk menjadi

obstruksi jalan napas yang mengancam jiwa.3

Ruang retrofaring meluas dari dasar tengkorak sampai mediastinum. Di

bagian lateral, ruang ini berhubungan dengan selubung carotid.3

17

Page 18: BAB I-III Abses Leher Dalam

Gambar 8 : Penampang melintang dari ruang leher dalam3

a. Epidemiologi

Abses retrofaring sering terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 6 tahun

dengan puncak insiden pada usia 3 tahun.3 Hal ini terjadi karena pada usia tersebut

ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi

kanan dan kiri. Pada usia di atas 6 tahun, kelenjar ini akan mengalami atrofi.1

Penggunaan antibiotik secara luas telah menurunkan angka kejadian

infeksi leher dalam secara dramatis.3

b. Etiologi3

Ruang retrofaring bisa terinfeksi melalui dua cara, baik melalui

penyebaran infeksi lokal atau sekunder akibat penetrasi trauma.

- Abses retrofaring “klasik” pada anak cenderung terjadi melalui infeksi

nodus limfoid akibat infeksi traktus respiratorius atas seperti faringitis,

tonsillitis, sinusitis, limfadenitis servikal, atau infeksi dental.

- Trauma penetrasi faring relatif sering pada anak (terkena objek tajam pada

mulut). Benda asing (tulang ikan), dan trauma iatrogenic (trauma setelah

18

Page 19: BAB I-III Abses Leher Dalam

laringoskopi, intubasi endotrakea, pemasangan selang makanan, serta

injeksi dan prosedur dental).

Patogen yang menyerang tergantung pada asal infeksi dan sering

melibatkan organism aerobik dan anaerobic. Penyebab infeksi paling sering

adalah akibat Streptococcus ß haemolyticus grup A dan Staphylococcus aureus.

Patogen yang tidak biasa seperti Mycobacterium tuberculosa juga harus selalu

dipertimbangkan.

c. Manifestasi Klinis

Gejala utama abses retrofaring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada

anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau

makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku, dan nyeri. Dapat timbul

sesak napas karena sumbatan jalan napas. Bila proses peradangan berlanjut

sampai mengenai laring dapat terjadi stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat

mengganggu resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.1

Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.

Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.1

Limfadenopati servikal (biasanya unilateral) juga mungkin ditemukan.

Kuduk kaku dan terbatasnya gerakan leher mungkin bisa di salah interpretasikan

sebagai kaku kuduk dan dapat salah diagnosis sebagai meningitis. Anak-anak

dengan infeksi yang berat mungkin memosisikan diri mereka untuk

mempertahankan jalan udara yang paten dengan bernafas dengan mulut, protrusi

lidah atau mandibula.3

d. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas

bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik, serta pemeriksaan penunjang.1

Pemeriksaan laboratorium rutin sering menunjukkan hasil yang tidak spesifik

seperti leukositosis dan tidak terlalu bermanfaat dalam diagnosis abses

retrofaring.3

Pemeriksaan Rontgen jaringan lunak leher lateral merupakan investigasi

lini pertama pada anak yang stabil. Secara umum, diameter anteroposterior dari

19

Page 20: BAB I-III Abses Leher Dalam

ruang retrofaring tidak boleh melebihi korpus vertebra dibelakangnya. Pada abses

retrofaring, dapat tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak

dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan 22 mm

pada dewasa. Pelebaran ruang retrofaring menunjukkan adanya massa. Pada

radiografi juga dapat terlihat adanya air or fluid level yang menunjukkan infeksi

anaerob. Di samping itu, vertebra servikal juga mungkin melurus dengan

berkurangnya lordosis normal (Ram Rod Spine).1.3

Gambar 9 : Perbandingan radiografi lateral leher menunjukkan X-ray normal dan abses

retrofaring3

Saat ini, CT Scan dengan kontras merupakan modalitas pencitraan terpilih

dan akan tampak lesi hipodens, “ring enhancement” atau “scalloping” dari dinding

nodus limfoid. CT Scan juga membantu dalam menandai batas lesi dan

menentukan adanya keterlibatan vaskular atau tidak.3

MRI dapat memperlihatkan jaringan lunak lebih baik daripada CT Scan,

akan tetapi pemeriksaan ini biasanya tidak diperlukan dan jarang digunakan

kecuali ada kemungkinan penyebaran ke sistem saraf pusat.3

Ultrasonografi telah dianjurkan oleh beberapa penulis sebagai alternatif

CT Scan dalam mengevaluasi abses retrofaring dan memantau progresinya.

Modalitas ini, terutama ketika dikombinasikan dengan color Doppler, bisa

mendiagnosis infeksi pada stadium nonsupuratif awal. Akan tetapi, USG tidak

terlalu membantu untuk perencanaan operasi.3

e. Diagnosis Banding1.3

20

Page 21: BAB I-III Abses Leher Dalam

- Adenoiditis

- Tumor leher

- Aneurisma aorta

- Adenitis servikal

f. Terapi3

Prioritas managemen abses retrofaring adalah :

- Mempertahankan jalan napas

- Pasang kateter intravena

- Observasi untuk mendeteksi gangguan jalan nafas secara dini.

- Terapi antibiotik intravena harus diberikan sementara menunggu hasil

kultur dan sensitivitas. Klindamisin merupakan antibiotik lini pertama.

Obat ini dikombinasikan dengan penghambat ß-lactamase (seperti asam

klavulanat) atau cefoxitin, cefuroxime, imipenem untuk organisme resisten

ß-lactamase. Vankomisin harus dipertimbangkan untuk pasien yang

neutropenia atau disfungsi imun. Pemberian terapi antibiotik intravena

harus dilanjutkan sampai pasien membaik secara klinik/ afebril setidaknya

selama 48 jam, diikuti dengan terapi oral menggunakan amoksisilin

dengan asam klavulanat, klindamisin, ciprofloxacin, kotrimoxazol atau

metronidazol.

- Insisi dan drainase abses, dapat dilakukan melalui insisi intraoral atau

melalui servikal eksterna.

Aspirasi intraoral dan drainase direkomendasikan dengan anestesi umum

jika abses terbatas pada ruang retrofaring atas. Lokalisasi awal dari abses

dilakukan dengan aspirasi jarum untuk menyingkirkan adanya darahdan

untuk mengkonfirmasi adanya material purulen yang harus dikirim untuk

kultur dan sensitivity. Insisi vertikal dibuat melalui mukosa yang udem

dari dinding posterior faring. Blunt dissection kemudian dilanjutkan ke

dalam cavitas untuk mendrainasenya secara komplit. Jika darah ditemukan

selama lokalisasi, pendekatan eksternal harus dilakukan untuk

pengontrolan vascular.

21

Page 22: BAB I-III Abses Leher Dalam

Drainase eksternal digunakan ketika abses meluas ke inferior dari tulang

hyoid. Insisi dibuat dengan cara apron-like termodifikasi dengan

potongan horizontal pada bagian tengah cavitas abses (dinilai dari x-ray

lateral dan CT Scan) dan potongan vertikal dibuat sepanjang batas anterior

otot sternokleidomastoideus ke superior. Jika ada perluasan ke inferior,

insisi leher bisa dilanjutkan ke klavikula. Batas anterior dari otot

sternokleidomastoideus diidentifikasi dan ditarik ke lateral. Selubung

karotid juga diidentifikasi dan ditarik ke medial. Mengikuti fasia

prevertebra dengan retraksi medial dari laring, trakea, dan tiroid, cavitas

abses dibuka dan didrainase. Saluran irigasi dimasukkan dan dilepas

setelah 24-48 jam. Drainase transtorakal dibutuhkan bila infeksi menyebar

dibawah karina.

g. Komplikasi1.3

Komplikasi dari abses retrofaring berhubungan dengan kompresi struktur

sekitarnya, rupture abses, atau penyebaran infeksi. Komplikasi termasuk:

- Kompresi faring (gangguan jalan nafas)

- Aspirasi pneumonia (rupture abses dengan inhalasi materialnya)

- Mediastinitis, perikarditis, tamponade jantung

- Empiema, thrombosis vena jugularis, rupture carotid

- Osteomielitis dari tulang servikal, subluksasi vertebra, dan kerusakan

korda spinalis

2.5.4 Abses Submandibula

Abses submandibula di defenisikan sebagai terbentuknya abses pada ruang

potensial di regio submandibula yang disertai dengan nyeri tenggorok, demam

dan terbatasnya gerakan membuka mulut.1

22

Page 23: BAB I-III Abses Leher Dalam

Gambar 10. Anatomi ruang submandibula9

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.

Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang

submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila

(lateral) oleh otot digastrikus anterior.1

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke

dalam ruang submandibula dan membagi ruang submandibula atas ruang

submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang

submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah

kepala dan leher.1

Ruang submandibula merupakan daerah yang paling sering terlibat

penyebaran infeksi dari gigi. Penyebab lain adalah infeksi kelenjar ludah, infeksi

saluran nafas atas, trauma, benda asing, dan 20% tidak diketahui fokus

infeksinya.9

a. Etiologi

23

Page 24: BAB I-III Abses Leher Dalam

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer

limfa submandibula. Mungkin juga sebagai kelanjutan dari infeksi ruang leher

dalam lain. kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaaerob.1,9

b. Gejala dan tanda

Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di bawah

lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan

trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan

dapat berfluktuasi atau tidak.1,9

c. Diagnosis

Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-

kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa

daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.9

Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis.

Pada foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan

gambaran pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di

subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat

komplikasi dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan

gambaran pneumomediastinum.9

Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan

abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi komputer idealnya dilakukan.

Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk evaluasi

infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara selulitis dengan

abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran TK dengan kontras

akan terlihat abses berupa daerah hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di

dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu

tidaknya operasi.9

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi

magnetik (Magneticresonance Imaging / MRI) yang dapat mengetahui lokasi

abses, perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah 24

Page 25: BAB I-III Abses Leher Dalam

pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak invasif dan relatif lebih murah

dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai lokasi dan perluasan abses.9

Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya abses

pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher dalam yang

diduga sumber infeksinya berasal dari gigi.9

Pemeriksaan darah rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang

merupakan tanda infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan

nafas. Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui

jenis kuman dan antibiotik yang sesuai.9

d. Terapi

Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara

parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat

dan drainase abses yang baik.1,9

Seharusnya pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes

kepekaan terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan

waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus

segera diberikan.16 Sebelum hasil mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman

aerob dan anaerob.9

Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang

dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam

dan luas.9 Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os

hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai

mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir. Pasien dirawat inap sampai

1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.1

Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral.

Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika

terdapat fasilitas bronkoskop fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan

secara intranasal.9

25

Page 26: BAB I-III Abses Leher Dalam

Gambar 11. Alur pengobatan abses submandibula9

e. Komplikasi

Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat

dan tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes

mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat

dapat menyebabkan kematian.1,9

Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya, dapat mengenai

struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna dan n. X.

Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi sarung

karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang meluas

ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra servikal.

Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi dan sepsis.9

BAB III

26

Page 27: BAB I-III Abses Leher Dalam

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang

potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai

sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.

Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher

dalam yang terlibat.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,

Staphylococcus, kuman anaerob Bacterioides atau kuman campuran. Abses leher

dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring dan abses

submandibula.

Secara umum penatalaksanaan abses leher dalam adalah berupa terapi

medikamentosa dan terapi bedah. Terapi medikamentosa dilakukan dengan

pemberian antibiotika kemudian dilakukan terapi bedah dengan menginsisi abses.

Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa jika

disertai dengan komplikasi. Obstruksi jalan nafas dan asfiksia merupakan

komplikasi yang potensial terjadi pada abses leher dalam. Dengan demikian kita

harus waspada terhadap tanda-tanda komplikasi yang muncul, yang mungkin

sangat berbahaya.

DAFTAR PUSTAKA

27

Page 28: BAB I-III Abses Leher Dalam

1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor.

Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai

Penerbit FK-UI. 2007:p. 226-30

2. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang

3. Ko-Villa, Evangeline. Anaesthetic management of retropharyngeal abscess in

children. Anaesthesia Tutorial of The Week 211. 2011

4. Su, Wang-Yu et al. Inferior pole peritonsillar abscess successfully treated with

non surgical approach in four cases. Tzu Chi Medical Journal. 2006; 18:287-

290.

5. Marom T et al. Changing trends of peritonsillar abscess. American Journal of

Otolaryngology-Head and Neck Medicine and Surgery. 2010; 31:162-67

6. Prijaldi, Jon. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil. Bagian Telinga

Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang

7. Galioto NJ. Peritonsillar abscess. American Family Physician. 2008;77:199-

202.

8. Fitri M et al. Abses parafaring. Departemen ilmu THT RSPAD Gatot Subroto.

2011

9. Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses submandibula dengan penyulit uremia

dan infark miokardium lama. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil

Padang

28