Bab i II III IV Bhp 8

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya kesehatan merupakan aset penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan, untuk mendukung dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermututinggi, maka kapasitas tenaga kesehatan perlu senantiasa ditingkatkan. Dalam pelayanan kesehatan, adanya sebuah standar tertentu dalam melakukan setiap tinkadakan medis sangat membantu setiap dokter untuk mencapai pelayanan yang berkualitasdan optimal. Pelayanan kesehatan saat ini memiliki paradigm baru yaitu menempatkan pasien sebagai pelanggan dan menjadi focus pelayanan, yang berarti kepuasan, keselamatan dan kenyamanan merupakan hal utama bagi pasien. Harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mencakup pelayanan yang indikatif dan bermutu, diberikan oleh dokter dengan sikap dan perilaku yang professional dan bertanggung jawab. 1

description

bhp

Transcript of Bab i II III IV Bhp 8

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSumber daya kesehatan merupakan aset penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan, untuk mendukung dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermututinggi, maka kapasitas tenaga kesehatan perlu senantiasa ditingkatkan. Dalam pelayanan kesehatan, adanya sebuah standar tertentu dalam melakukan setiap tinkadakan medis sangat membantu setiap dokter untuk mencapai pelayanan yang berkualitasdan optimal.Pelayanan kesehatan saat ini memiliki paradigm baru yaitu menempatkan pasien sebagai pelanggan dan menjadi focus pelayanan, yang berarti kepuasan, keselamatan dan kenyamanan merupakan hal utama bagi pasien. Harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan mencakup pelayanan yang indikatif dan bermutu, diberikan oleh dokter dengan sikap dan perilaku yang professional dan bertanggung jawab.Profesi dokter merupakan tugas mulia bagi kehidupan manusia dalam bidang kesehatan. Karenanya seorang dokter dalam menjalankan tugasnya dituntut untuk bersikap profesional. Untuk mencapai kompetensi tersebut, pendidikan dokter yang merupakan pendidikan profesi harus didasari oleh keilmuan yang kokoh. Dengan demikian seorang dokter akan mempunyai kompetensi akademik - profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi yang didasari oleh pendidikan akademik, sehingga setelah selesai pendidikannya akan memiliki kemampuan melaksanakan praktik sesuai dengan keahliannya, bersikap profesional, dengan selalu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Seiring dengan perubahan sikap masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan terutama yang dilakukan oleh seorang dokter maka dibutuhkannya kesiapan yang menyeluruh dalam memberikan pelayanan kesehatan yang optimal sehingga adanya suatu prosedur operasional yang terstandar dan menjadi acuan atau dasar dalam melakukan suatu tindakan pelayanan kesehatan menjadi sangat penting.

B. Rumusan masalaha. Pengertian Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medisb. Manfaat Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medis c. Peraturan tentang Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medis

C.Tujuan a. Mengetahui Pengertian Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medisb. Mengetahui Manfaat Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medisc. Mengetahui peraturan tentang Standar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medis

KASUS

Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anestesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anestesi, sedangkan operasinya dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (ortopedi).Operasi berjalan lancar. Namun tiba-tiba pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan, karena sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik kecuali masalah pada tulangnya.Didapatkan bahwa ada kekeliruan pada pemasangan gas anestesi (N2O) yang dipasang pada mesin anestesi. Seharusnya gas N2O yang diberikan kepada pasien, ternyata yang diberikan adalah gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan (respiratory distress) sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien menjadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan yang sederhana, namun berakibat fatal. Terdapat sebuah kegagalan dalam proses penempatan gas anestesi. Di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar (SOP) pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anestesi.

BAB IIStandar Operasional Prosedur dan Standar Pelayanan Medis

2.1 Standar Operasional ProsedurSuatu standar / pedoman tertulis yang dipergunakan untuk mendorong dan menggerakkan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.a. Tujuan SOPTujuan SOP antara lain (SOP Rumah Sakit Dr. Kariadi, 2011) :a) Petugas / pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas /pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.b) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasic) Memperjelas alur tugas, wewenang dan tanggung jawab dari petugas/pegawai terkait.d) Melindungi organisasi/unit kerja dan petugas/pegawai dari malpraktek atau kesalahan administrasi lainnya.e) Untuk menghindari kegagalan/kesalahan, keraguan, duplikasi dan inefisiensi

b. Fungsi SOPFungsi SOP antara lain (SOP Rumah Sakit Dr. Kariadi, 2011) :a) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.b) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.c) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.d) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.

c. SOP diperlukana) SOP harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukanb) SOP digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidakc) Uji SOP sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada perubahan langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.

d. Keuntungan adanya SOPa) SOP yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi dan pengawasan dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsistenb) Para pegawai akan lebih memiliki percaya diri dalam bekerja dan tahu apa yang harus dicapai dalam setiap pekerjaanc) SOP juga bisa dipergunakan sebagai salah satu alat trainning dan bias digunakan untuk mengukur kinerja pegawai.

Tinjauan Hukum Keselamatan Pasien Di Indonesia Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan namun berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan tersebut adalah:1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:1. Hak pasien2. Mendididik pasien dan keluarga3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan 4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasienAkreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien. Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009:1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.3. Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam: Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009. Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang komprehensif. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

2.2 Standar Pelayanan MedisUpaya peningkatan mutu dapat dilaksanakan melalui clinical governance. Karena secara sederhana Clinical Governance adalah suatu cara (sistem) upaya menjamin dan meningkatkan mutu pelayanan secara sistematis dan efisien dalam organisasi rumah sakit. Karena upaya peningkatan mutu sangat terkait dengan standar baik input, proses maupun outcome maka penyusunan indikator mutu klinis yang merupakan standar outcome sangatlah penting. Dalam organisasi rumah sakit sesuai dengan Pedoman Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis, masing-masing kelompok staf medis wajib menyusun indikator mutu pelayanan medis. Dengan adanya penetapan jenis indikator mutu pelayanan medis diharapkan masing-masing kelompok staf medis melakukan monitoring melalui pengumpulan data, pengolahan data dan melakukan analisa pencapaiannya dan kemudian melakukan tindakan koreksi.Upaya peningkatan mutu pelayanan medis tidak dapat dipisahkan dengan upaya standarisasi pelayanan medis, karena itu pelayanan medis di rumah sakit wajib mempunyai standar pelayanan medis yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan standar prosedur operasional. Tanpa ada standar sulit untuk melakukan pengukuran mutu pelayanan.Di Indonesia standar pelayanan medik yang diterbitkan oleh departemen Kesehatan telah disususn pada bulan April thn 1992, berdasarkan keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia No.436/MENKES/SK/VI/1993. Standar pelayanan medik ini disususn oleh Ikatan Dokter Indonesia, sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah sakit dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada di rumah sakit agar mencapai hasil yang seoptimal mungkin berisi penatalaksanaan penyakit saja, sesuai profesi yang menyusun. Yang terdiri dari komponen: Jenis penyakit, penegakan diagnosanya, lama rawat inap, pemeriksaan penunjang yang diperlukan, terapi yang diberikan (medikamentosa, psikoterapi, anjuran diit, dsb).Standar pelayanan medik disusun oleh profesi yang selanjutnya di rumah sakit akan disusun standard operating procedur berdasarkan standar pelayanan medik tersebut. Terhadap pelaksanaan standar dilakukan audit medik. Penetapan standar dan prosedur ini oleh peer-group (kelompok staf medis terkait) dan atau dengan ikatan protesi setempat.Pola penyusunan dirancang sama untuk semua profesi yang memberikan bahan masukan, terdiri dari: 1. Nama penyakit/diagnosa, dengan mencantumkan nama penyakit atau dibagi dalam kelompok sesuai kepentingan, bila perlu dengan definisi, berdasarkan ICD IX yang direvisi; 2. Kriteria diagnosis, terutama klinis dan waktu (untuk data laboratorium dicantumkan nilai tertentu); 3. Diagnosis differensial, maksimum 3 (tiga); 4. Pemeriksaan penunjang; 5. Konsultasi, rujukan kepada spesialis terkait di luar bidangnya atau oleh dokter umum diterangkan tempat merujuk pertama kali; 6. Perawatan RS, perlu/tidak; 7. Terapi, farmakologik, non farmakologik, bedah dan non bedah; 8. Standar RS, kelas RS minimal yang menangani; 9. Penyulit, komplikasi yang mungkin terjadi; 10. Informed consent; 11. Standar tenaga; 12. Lama perawatan, khusus untuk penayakit tanpa komplikasi; 13. masa pemulihan; 14. output, keterangan sembuh/komplikasi/kematian pada saat pasien pulang; 15. Patologi anatomi, khusus bedah; 16. Autopsi/risalah rapat, bila terjadi kasus kematian. Pada penyusunan terdapat kesepakatan bahwa standar no 8 (standar RS) dan no 11 (standar tenaga) tidak harus selalu disebutkan agar pelaksana pelayanan medis tidak dibatasi, selama pelaksanaan memenuhi prosedur yang ditetapkan.

BAB IIIPEMBAHASAN

Pada kasus yang telah di uraikan di atas bahwa ada Seorang pasien yang menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anestesi terlebih dahulu yang di lakukan oleh dokter anastesi dan pembedahan dilakukan oleh dokter bedah ortopedin awalnya operasi berjalan lancar. Namun, pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Dan setelah diketahui penyebabnya ternyata didapatkan bahwa ada kekeliruan pada pemasangan gas anestesi (N2O) yang dipasang pada mesin anestesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Sehingga mengakibatakan gangguan pernafasan pada pasien. Pada rumah sakit yang bersangkutan, tidak terdapat standar operasional prosedur (SOP) pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anestesi. Padahal harusnya di setiap rumah sakit harus terdapat standar operasional prosedur (SOP) seperti, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis dari pihak rumah sakit (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai (cross) dan ditandatangani. Seandainya, prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadinya kekeliruan. Dan kalaupun terjadi, akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.Jadi pada kasus ini terdapat suatu kesalahan dimana harusnya setiap rumah sakit dalam melakukan pelayan medis wajib mempunyai standar pelayanan medis yang kemudian perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan standar prosedur operasional sehingga dengan adanya SOP dapat memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan pada saat melakukan tindakan kepada pasien.dimna kewajiban setiap rumah sakit mempunyai SOP telah di atur oleh departemen Kesehatan yang di susun pada bulan April thn 1992, berdasarkan keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia No.436/MENKES/SK/VI/1993. Dimana Standar pelayanan medik ini disususn oleh Ikatan Dokter Indonesia, sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah sakit dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada di rumah sakit agar mencapai hasil yang seoptimal mungkin.Pada rumah sakit yang tidak terdapat standar operasional prosedur (SOP) mendapatkam sanksi dimana biasanya akan diserahkan pada IDI untuk menganai hukuman dan sanksi yang diberikan pada rumah sakit. Seharusnya terdapat standar operasional prosedur, sebab salah satu syarat akreditasi harus terdapat standar operasional prosedur pada rumah sakit.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KesimpulanPada kasus di atas, Rumah sakit telah melakukan suatu pelanggaran karena di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar (SOP) pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anestesi sehingga terdapat sebuah kegagalan dalam proses penempatan gas anestesi, sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien menjadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Dalam kasus ini juga terdapat kelalaian tenaga medis yang salah memberikan terapi yang mengakibatkan kematian pasien.

4.1 SaranPihak rumah sakit khususnya tenaga medis sebelum melakukan terapi atau pengobatan seharusnya memeriksa dan memastikan terlebih dahulu kelengkapan alat dan peralatan yang memang dibutuhkan pada saat akan melakukan pengobatan atau terapi, Rumah sakit juga harus memiliki standar oprasional yang mendetail mengenai setiap pelayanan yang akan diberikan. Sehingga peraturan setiap pelayanan lebih jelas.

14