apa tujuan bhp

46
Pendidikan Tinggi Apa Tujuan RUU BHP? Hikmahanto Juwana Kompas dalam beberapa kali terbitan menurunkan ulasan dari berbagai pihak tentang Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP. Berbagai ulasan membahas dampak dari RUU BHP bagi pendidikan di Indonesia. Pembahasan RUU BHP tentunya dapat dilihat dalam perspektif lain, yaitu tujuan dari pengaturan BHP. Tujuan RUU BHP Tujuan RUU yang mengatur BHP pada dasarnya untuk menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada. Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN). Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU. BHP diharapkan menjadi badan hukum yang dapat mengakomodasi organ yang dikenal pada lembaga pendidikan. Hanya saja RUU yang mengatur badan hukum dan secara eksklusif mengatur pendidikan dapat dipertanyakan. Apakah tepat pengaturan badan hukum untuk melakukan satu kegiatan atau industri secara eksklusif? Dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satu pun yang secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu. Sebagai contoh BHMN, tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) didirikan dalam bentuk BHMN. Demikian pula PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu kegiatan (single activity) secara eksklusif. Di Indonesia memang dibutuhkan lebih banyak badan hukum agar setiap kegiatan atau industri dapat memilih badan hukum yang sesuai dengan kebutuhan. Namun adalah suatu yang tidak lazim bila penyelenggara pendidikan dilakukan oleh suatu badan hukum yang khusus untuk itu. Dua alasan Bila ditilik ke belakang, ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum. UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional. Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan bisa muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari

Transcript of apa tujuan bhp

Page 1: apa tujuan bhp

Pendidikan Tinggi

Apa Tujuan RUU BHP?Hikmahanto Juwana

Kompas dalam beberapa kali terbitan menurunkan ulasan dari berbagai pihak tentang Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP. Berbagai ulasan membahas dampak dari RUU BHP bagi pendidikan di Indonesia. Pembahasan RUU BHP tentunya dapat dilihat dalam perspektif lain, yaitu tujuan dari pengaturan BHP.

Tujuan RUU BHP

Tujuan RUU yang mengatur BHP pada dasarnya untuk menciptakan badan hukum baru melengkapi sejumlah badan hukum yang sudah ada.

Adapun jenis badan hukum yang selama ini dikenal adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, yayasan, perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU), perhimpunan, dan yang paling baru adalah badan hukum milik negara (BHMN).

Berbagai jenis badan hukum, kecuali BHMN, dianggap kurang memadai sebagai "kendaraan" yang mengelola pendidikan. PT jelas kurang pas karena fungsi PT adalah mencari keuntungan. Apalagi berbagai organ dalam PT tidak dapat digunakan untuk mengakomodasi pengurus lembaga pendidikan, seperti kepala sekolah dan rektor. Demikian pula dengan koperasi, perum, dan BLU.

BHP diharapkan menjadi badan hukum yang dapat mengakomodasi organ yang dikenal pada lembaga pendidikan. Hanya saja RUU yang mengatur badan hukum dan secara eksklusif mengatur pendidikan dapat dipertanyakan. Apakah tepat pengaturan badan hukum untuk melakukan satu kegiatan atau industri secara eksklusif?

Dari sejumlah jenis badan hukum yang dikenal, tidak ada satu pun yang secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan atau industri tertentu.

Sebagai contoh BHMN, tidak secara eksklusif diperuntukkan untuk menjalankan kegiatan pendidikan mengingat Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) didirikan dalam bentuk BHMN. Demikian pula PT dan yayasan yang tidak ditujukan untuk satu kegiatan (single activity) secara eksklusif.

Di Indonesia memang dibutuhkan lebih banyak badan hukum agar setiap kegiatan atau industri dapat memilih badan hukum yang sesuai dengan kebutuhan. Namun adalah suatu yang tidak lazim bila penyelenggara pendidikan dilakukan oleh suatu badan hukum yang khusus untuk itu.

Dua alasan

Bila ditilik ke belakang, ada dua alasan mendasar mengapa RUU BHP dimunculkan. Pertama, lembaga pendidikan "negeri" yang selama ini merupakan bagian dari instansi pemerintah dalam bentuk unit pelaksana teknis (UPT) ingin dimandirikan dengan status sebagai badan hukum.

UPT yang menjadi badan hukum bukanlah lembaga pendidikan, melainkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Kalaupun pengurus lembaga pendidikan dapat mengikatkan lembaganya dengan pihak ketiga, kewenangan tersebut berasal dari pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Menteri Pendidikan Nasional.

Ada banyak alasan mengapa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah hendak dimandirikan. Alasan bisa muncul dari pemerintah, tetapi juga bisa dari lembaga pendidikan negeri.

Dari pengalaman empat perguruan tinggi negeri, UI, ITB, IPB, dan UGM, sewaktu menjadi badan hukum milik negara (BHMN) alasan muncul dari lembaga pendidikan tersebut.

Kemandirian dibutuhkan oleh keempat perguruan tinggi negeri tersebut karena penyelenggaraan pendidikan yang sudah lama dibirokrasikan layaknya instansi pemerintah membuat mereka kehilangan daya saing. Akibatnya, sulit diharapkan keempat perguruan tinggi itu untuk bersaing dengan perguruan tinggi swasta, apalagi harus bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri.

Birokrasi ala pemerintah membuat para pejabat yang mengelola universitas harus memenuhi syarat kepangkatan untuk menduduki eselonisasi tertentu layaknya instansi pemerintah.

Demikian pula urusan anggaran akan mengikat aturan yang berlaku di instansi pemerintah. Bahkan pengisian jabatan kerap dijadikan ajang politik ketimbang amanah untuk mengedepankan suasana akademis.

Page 2: apa tujuan bhp

Dari sini terlihat bahwa tujuan mem-BHMN-kan keempat perguruan tinggi itu sama sekali bukan untuk komersialisasi pendidikan.

Bila saat ini di antara empat universitas BHMN terkesan melakukan komersialisasi hal ini terpulang pada kebijakan dari pimpinannya yang harus bergelut dengan minimnya subsidi dari pemerintah. Harus diakui bahwa pendidikan yang prima membutuhkan banyak dana.

Menaikkan biaya operasional mahasiswa merupakan kebijakan yang paling mudah meskipun tidak semua universitas melakukannya. Bila kebijakan tersebut yang diambil, maka pimpinan universitas tidak berbeda dengan kepala daerah yang mengenakan retribusi dan pajak daerah untuk mendapatkan pendapatan asli daerah.

Alasan kedua dimunculkannya RUU BHP terkait dengan penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta. Hampir semua penyelenggara pendidikan swasta dilakukan oleh badan hukum berupa yayasan. Penggunaan yayasan memunculkan dua kepengurusan, yaitu pengurus yayasan dan pengurus lembaga pendidikan.

Pengelolaan lembaga pendidikan diserahkan kepada institusi yang dikenal dalam lembaga tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir kerap muncul perselisihan antara pengurus Yayasan dan pengurus lembaga pendidikan.

Bagi Depdiknas kehadiran RUU BHP diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kepengurusan ganda. Namun di sisi lain, RUU BHP menjadi sumber kekhawatiran bagi pengurus yayasan. Hal ini karena fungsi pengurus yayasan akan hilang. Pengurus yayasan akan ditransformasikan menjadi Majelis Wali Amanat (MWA) yang merupakan bagian dari lembaga pendidikan.

Bila RUU BHP menjadi UU, pengurus yayasan tidak akan lagi memiliki kewenangan yang selama ini ada, seperti pengangkatan kepala sekolah dan rektor berikut perangkatnya. Bahkan pengurus yayasan tidak dapat lagi bertindak sebagai pemilik dari lembaga pendidikan yang dikelola.

Substansi RUU BHP

Meskipun badan hukum baru yang dijadikan kendaraan untuk penyelenggaraan pendidikan sangat didambakan, RUU BHP masih belum dapat menjawab kebutuhan tersebut.

Pertama, substansi RUU BHP banyak memiliki kekurangan bila yang hendak diatur adalah keberadaan badan hukum. RUU BHP perlu mendapat revisi besar-besaran (major revisions).

Kedua, ego sektoral dari Depdiknas sangat kental tercermin dalam RUU BHP, padahal yang hendak diatur adalah badan hukum.

Kekurangan lain dari RUU BHP adalah keinginan untuk menyeragamkan lembaga pendidikan dari semua tingkatan. Apalagi yang dijadikan patokan adalah institusi yang dikenal pada empat universitas BHMN. Suatu hal yang mustahil.

Akhirnya menjadi pertanyaan apa yang menjadi tujuan utama dari RUU BHP? Apakah membentuk badan hukum baru ataukah penyeragaman badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan? Jawaban dari pertanyaan ini merupakan politik hukum dari RUU BHP. Bila penyeragaman yang menjadi jawaban, sepertinya kehadiran UU BHP justru akan menambah masalah.

Hikmahanto Juwana Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Page 3: apa tujuan bhp

Kapitalisme Pendidikan Tinggi, Pasca Tragedi UAN

OlehEny Haryati

MITOS bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) identik dengan pendidikan mutu tinggi, berbiaya murah, terjangkau kantong mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat, mungkin segera pupus; ketika kebijakan otonomi kampus kini menghantar PTN berubah status menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN).

Pada saat yang sama, ada indikasi kuat bakal tumbuh subur kapitalisme pendidikan di PTN, sebagaimana sudah lama terjadi di sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS). Sehingga tak heran jika Anita Lie lebih suka menyebut fenomena penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sebagai “industri" pendidikan tinggi (Kompas,17/6/2004).

MENCERMATI sinyalemen yang ada kini, besar kemungkinan kultur kapitalisme mendapat tempat untuk tumbuh dan berakar di lembaga pendidikan tinggi kita, dengan modus klasik: “komersialisasi pendidikan". Ini berarti, anak-anak kita lulusan SMA/SMK, yang baru saja berhadapan dengan “megatragedi" UAN (meminjam istilah Frietz R Tambunan, Kompas, 16/6/2004), kini harus berhadapan dengan rezim kapitalis perguruan tinggi, baik yang ada di bawah bendera PTN yang kini telah berganti “busana" menjadi PT BHMN, maupun PTS.

Implikasi logis fenomena ini, PTN, terlebih PTS, menjadi welcome terhadap calon mahasiswa “berkantong tebal", terlepas si calon memiliki kapabilitas akademik sesuai standar baku atau tidak. Pada kasus demikian, “uang", dalam kerangka “bisnis" pendidikan, menjadi variabel yang mengedepan; dan pada saat sama “potensi akademik" di-nomor dua-kan.

Pertanyaan besar yang kemudian lahir adalah, masih adakah peluang bagi calon mahasiswa dari keluarga miskin duduk di bangku PTN, mengingat selama ini sebagian besar keluarga yang berkantong “pas-pasan" tidak akan mampu membayar biaya pendidikan jika anaknya kuliah di PTS. Pertanyaan inilah yang menjadi sumber kegelisahan sejumlah kalangan. Tulisan ini mengkaji kemungkinan tumbuhnya kapitalisme kampus di sejumlah PTN setelah lembaga itu berubah status menjadi PT BHMN, dan mengkaji implikasinya terhadap wajah pendidikan tinggi kita ke depan, terutama dalam kapasitas PTN sebagai penyelenggara pendidikan tinggi yang berkeadilan.

Setidaknya ada empat titik kritis, yang memberi peluang PTN terjebak kapitalisme. Pertama, sistem rekrutmen mahasiswa yang dikelola secara otonom oleh PTN untuk jalur penelusuran minat dan kemampuan khusus (PMDK) atau sering disebut jalur “khusus" dan jalur ekstensi. Sistem ini bersangkut-paut dengan otoritas PTN dalam menentukan dua keputusan strategis: (1) siapa yang berhak diterima sebagai mahasiswa dan siapa yang tidak, (2) berapa besar sumbangan pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (SP3) atau biasa disebut uang gedung, yang harus dibayar calon mahasiswa yang diterima.

Di Jawa Timur, misalnya, PTN yang disorot publik, karena menjadi pionir dalam membuka kelas ekstensi dan jalur khusus, yang rekrutmennya dikelola secara otonom oleh PTN bersangkutan, artinya tidak melalui jalur sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB) adalah Universitas Airlangga (Unair). Menurut keterangan Ketua Panitia PMDK Unair Dr drg Sherman Salim MS; uang gedung calon mahasiswa baru untuk jalur khusus berkisar antara Rp 5 juta - Rp.75 juta. Dana ini sah-sah saja, karena dijamin pasal 24 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa Perguruan Tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasar prinsip akuntablitas publik. Persoalannya, pengelolaan dana yang berdasar pada prinsip akuntabilitas publik inilah yang masih sulit untuk diwujudkan.

Kedua, komitmen PTN. Jika otoritas untuk melakukan rekrutmen mahasiswa oleh PTN tidak diikuti sikap oportunis para pengelolanya, mungkin PTN itu masih dapat terhindar dari jebakan kapitalisme. Persoalannya, tidak semua pengelola PTN dapat memegang komitmen menegakkan kaidah akademik, dan pada saat sama tidak mengedepankan variabel “kapital" dalam menyelenggarakan pendidikan. Dan lagi-lagi, ini terutama terjadi pada kasus rekrutmen mahasiswa, Di Unair, kendati uang gedung dipatok antara Rp 5 juta - Rp75 juta, namun ada kecenderungan calon mahasiswa berlomba meningkatkan kesanggupan membayar, bahkan ada yang sanggup membayar Rp 500 juta untuk fakultas tertentu. Meski tawaran itu (menurut ketua panitia PMDK) tidak menjadi dasar utama penerimaan mahasiswa, tetapi patut diduga fenomena ini berpeluang dapat melunturkan komitmen akademik para pengelola PTN, sekaligus “meracuni" sistem rekrutmen yang ada.

Ketiga, tahun ini ada kecenderungan PTN memperkecil jumlah penerimaan mahasiswa dari jalur SPMB dan memperbesar jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur khusus. Keputusan ini berimplikasi terhadap makin kecilnya kesempatan anak dari keluarga miskin untuk duduk di bangku PTN. Universitas Gadjah

Page 4: apa tujuan bhp

Mada (UGM) misalnya, tahun ini berencana menerima mahasiswa dari jalur khusus sebesar 75 persen, sisanya 25 persen dari jalur SPMB. Keputusan ini diduga dilatari pertimbangan “uang", selain pertimbangan yang lain. Sehingga tak heran jika akronim PMDK lalu diplesetkan menjadi “penerimaan mahasiswa dana khusus".

Keempat, calon mahasiswa dari keluarga “berada" cenderung memilih jalur khusus ketimbang SPMB dalam menembus pintu masuk PTN. Dalam catatan Panitia PMDK Unair, tidak kurang dari 4.939 formulir PMDK pada pertengahan Juni 2004 ini telah terjual. Jika jalur khusus macam ini memberi kuota penerimaan mahasiswa baru yang lebih besar dari jalur reguler SPMB; ini berarti kian kecil peluang mahasiswa dari keluarga "tidak mampu" untuk dapat mengenyam pendidikan di PTN.

APAPUN alasannya, mengedepannya variabel “kapital" dalam rekrutmen mahasiswa di sejumlah PTN meresahkan sejumlah kalangan. Karena itu, dipandang perlu dibentuk gerakan moral anti-kapitalisme kampus. Dan apa yang telah dilakukan lima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UGM, UI, ITB, IPB dan USU, yang berhasil merumuskan kesepakatan, yang salah satu butirnya berbunyi: Perubahan status hukum perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara yang independen hendaknya tidak berarti menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha seperti layaknya sebuah badan usaha swasta atau swastanisasi perguruan tinggi negeri; dan mengabaikan tanggungjawab sosialnya sebagai lembaga nirlaba penyelenggara pendidikan tinggi (Kompas,14/6/2004), hendaknya didengar dan diwujudkan para pengelola PTN di seluruh Indonesia.

Dengan demikian perubahan dari PTN menjadi PT BHMN, tidak menyuburkan kultur kapitalisme di PTN, sebuah perguruan tinggi yang selama ini menjadi tempat anak-anak cerdas dari berbagai lapisan sosial (termasuk anak dari keluarga pas-pasan), membangun harapan dan masa depan.

Dengan demikian, fenomena tingginya jumlah dana uang gedung yang harus dibayar mahasiswa baru dari jalur khusus, termasuk tingginya nominal penawaran yang dilakukan calon mahasiswa yang merasa “punya" seperti yang terjadi di Unair tidak akan dicontoh sejumlah pengelola dan calon mahasiswa PTN lain ; sehingga eksistensi PTN tetap kokoh sebagai “kawah condrodimuko" dan “gudang"nya anak negeri yang cerdas dari berbagai kelas, bukan kumpulan anak orang berkelas dengan kapabilitas tak jelas.

ENY HARYATI Dosen FIA-Unitomo; staf ahli Center for Policy and Development Studies (CLIENTS)

Inti Permasalahan Pendidikan

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

Masyarakat Indonesia diguncang masalah pendidikan saat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional diundangkan. Sebenarnya sudah lama pendidikan merupakan masalah yang amat mengganggu perkembangan bangsa.

Sekurangnya sepuluh tahun lalu sudah banyak orangtua tidak yakin akan mutu pendidikan yang diperoleh anaknya. Juga sudah lama para guru dan pendidik tak puas akan kesejahteraan yang mereka peroleh. Para pakar pendidikan sudah lama berdebat tentang perlunya renovasi pendidikan. Bahkan, ada yang mengatakan, pendidikan nasional bagai bola ruwet yang sukar memberi manfaat bagi bangsa dan negara.

Tidak mungkin ada sistem persekolahan berjalan baik tanpa kehadiran guru yang memadai mutunya, baik intelektual, teknik keguruan, mental, maupun fisik. Itu memerlukan korps guru yang memperoleh pendidikan guru bermutu, diberikan tingkat kesejahteraan memadai dan status sosial terhormat bahkan di atas status sosial profesi lain. Dan tidak mungkin ada sistem pendidikan nasional yang baik tanpa sistem persekolahan bermutu. Tetapi itu semua memerlukan dana.

Sistem pendidikan nasional yang baik harus dapat menyajikan pendidikan bermutu karena pendidikan bertujuan mentransfer tata nilai dan kemampuan kepada pihak lain, maka pendidikan yang buruk tidak mungkin mencapai tujuan itu. Karena itu, per definisi, pendidikan harus selalu bermutu. Bangsa akan merasakan akibat amat berat dan negatif dalam seluruh aspek kehidupan apabila pendidikan kurang bermutu, seperti dialami bangsa Indonesia kini.

DENGAN makin berkembangnya manusia, berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Itu semua mengharuskan pendidikan menyesuaikan langkahnya jika ingin tetap relevan. Hal itu menjadikan pendidikan kian mahal, satu kenyataan yang sering kurang disadari banyak orang. Di pihak lain

Page 5: apa tujuan bhp

berkembangnya umat manusia mendorong makin banyak orang untuk maju dan tak mau tertinggal. Dan mereka semua memerlukan pendidikan yang baik.

Akibatnya, baik faktor kualitas maupun kuantitas pendidikan tidak dapat diabaikan. Pendidikan harus diselenggarakan secara bermutu dan adil merata bagi seluruh rakyat yang berminat. Maka, pendidikan yang sudah mahal, karena harus mencapai kualitas, menjadi makin mahal karena harus pula melayani kuantitas.

Jika bangsa itu sejahtera, mayoritas bangsa berpenghasilan cukup. Dalam kondisi demikian, masyarakat dapat memegang peran utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan negara atau pemerintah hanya berperan sebagai penentu kebijakan umum dan pengatur.

Namun, jika bangsa tergolong sedang berkembang, warga yang kaya terbatas jumlahnya. Dalam kondisi demikian tidak mungkin peran utama pendidikan di tangan masyarakat. Jika dilakukan, hanya anak orang kaya yang mendapat pendidikan yang bermutu, sedangkan mayoritas anak bangsa tidak sekolah atau harus puas dengan pendidikan kurang bermutu. Lembaga pendidikan swasta dengan sendirinya menuntut bayaran yang sesuai dengan penyelenggaraan pendidikan bermutu dan itu mahal sehingga hanya anak orang kaya yang dapat menikmatinya.

Dalam jangka panjang, itu akan mencelakakan bangsa. Akan terjadi polarisasi antara golongan kaya yang sedikit dengan golongan miskin yang banyak. Sebab, dalam negara sedang berkembang harus ada peran negara atau pemerintah yang kuat guna menjamin pendidikan bermutu, adil merata. Pemerintah harus menyelenggarakan seluruh pendidikan dasar dan menengah tanpa rakyat harus membayar.

Kita lihat negara maju, Jerman dan Swedia, yang pemerintahnya berperan utama dalam menyelenggarakan sistem persekolahan, dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Maka, segala persoalan pendidikan, seperti mutu guru, kualitas, dan kuantitas, tidak mungkin terjawab memuaskan selama masalah pendidikan tidak diatasi.

INTI permasalahan pendidikan, pertama, adalah kepemimpinan bangsa, tingkat pusat maupun daerah, yang menyadari bahwa pendidikan adalah investasi utama satu bangsa. Tanpa pendidikan yang baik, masa depan bangsa akan celaka. Inilah yang sedang kita alami akibat masa lampau.

Kedua, selain sadar akan makna pendidikan sebagai investasi utama, kepemimpinan bangsa juga mengusahakan dengan sungguh-sungguh tersedianya segala faktor yang mendukung pendidikan yang baik, terutama tersedianya dana yang cukup untuk diinvestasikan dalam pendidikan. Para pemimpin bangsa harus berusaha agar dapat memenuhi keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan bermutu, adil merata. Dengan dana itu, kesejahteraan guru dan pendidik lain dapat dijamin sesuai status sosial yang diperlukan. Juga penyelenggaraan pendidikan bermutu untuk seluruh anak bangsa dapat dilakukan secara baik.

Malaysia sejak awal kemerdekaan telah menetapkan minimal 20 persen dari APBN untuk pendidikan, tetapi angka itu kurang berarti jika jumlah APBN terbatas. Karena itu, harus ada peningkatan produksi nasional yang memungkinkan negara menciptakan revenue besar. Tak heran pendidikan di Malaysia kini jauh lebih maju dari Indonesia meski dulu Malaysia meminjam guru dan dosen Indonesia.

Indonesia belum pernah sungguh-sungguh menangani inti permasalahan pendidikan. Itu sebabnya, mutu pendidikan terus menurun. Sekitar 20 tahun lalu, mungkin kita masih dapat mengandalkan sisa-sisa hasil pendidikan bermutu masa penjajahan Belanda, tetapi tidak merata. Kini kita dihadapkan hasil pendidikan masa Orde Bung Karno dan Orde Soeharto yang keduanya kurang menaruh minat pada pendidikan.

Bung Karno dengan elan revolusionernya mengira rakyat akan terdidik melalui gerakan massa yang bersifat politik. Bahkan Bung Karno selalu mengejek kaum cendekiawan yang dianggapnya hanya textbook thinking. Sikap itu sebenarnya menunjukkan pandangan rendahnya terhadap pendidikan sekolah. Akibatnya, betapa mundur pendidikan semasa Orde Bung Karno.

Soeharto dalam ucapannya mengakui pentingnya pendidikan. Akan tetapi, tindakannya tidak menunjukkan kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi utama bangsa. Buktinya, saat Indonesia memperoleh untung besar (windfall profit) dari minyak akhir 1970-an, pemerintah tidak banyak menginvestasikan perolehan itu dalam pendidikan. Baik Soeharto maupun kaum ekonom dalam pemerintahan cenderung menganggap pendidikan sebagai komoditas yang prioritasnya lebih rendah dari pembangunan jalan atau bendungan air, bukan sebagai investasi utama bangsa.

Kelengahan itu mengakibatkan makin menurunnya mutu pendidikan. Sebaliknya, rakyat yang menginginkan pendidikan kian banyak. Untuk itu, rezim Soeharto menetapkan wajib belajar sembilan tahun, tetapi tanpa dukungan dana memadai sehingga menghasilkan pendidikan tidak bermutu.

JADI, apabila kini kita melihat pertentangan antara para mahasiswa dan pemimpin universitas BHMN, maka hanya dapat dikatakan keduanya ada benarnya. Mahasiswa menghendaki pendidikan bermutu bagi anak kaya dan miskin, pemimpin universitas tahu itu, tetapi memerlukan dana besar. Selama pemerintah

Page 6: apa tujuan bhp

tak mampu mendukungnya, pertentangan tidak akan selesai memuaskan.

Karena itu, marilah kita usahakan adanya kepemimpinan bangsa yang sadar akan makna pendidikan sebagai investasi utama bangsa dan mampu menciptakan revenue sehingga mampu mendukung secara efektif penyelenggaraan sistem persekolahan yang bermutu dan adil merata. Ini berlaku bagi kepemimpinan tingkat nasional, tetapi juga kepemimpinan daerah sejak otonomi memberi kekuasaan besar pada daerah.

Sayidiman Suryohadiprojo Mantan Gubernur Lemhannas

Dibekukan, Subsidi PTN yang Menyimpang

Jakarta, Kompas - Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional meminta para pemimpin perguruan tinggi negeri melakukan introspeksi, sebelum membuka jalur khusus penerimaan mahasiswa yang disertai pemungutan biaya lebih mahal dari jalur reguler. PTN yang melanggar norma kepatutan terancam sanksi pembekuan subsidi atau bantuan dana dari pemerintah.

Peringatan tersebut tertuang dalam Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Nomor 1232/DT/2003 tertanggal 18 Juni 2003.

Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brodjonegoro ketika dihubungi, Rabu (18/6) malam, di Jakarta menekankan, pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN) dan badan hukum milik negara (BHMN) bisa melakukan efisiensi ke dalam sehingga beban yang harus dipikul oleh masyarakat tidak terlalu berat.

"Saat ini PTN dan BHMN belum efisien, tetapi biaya akibat ketidakefisienan tersebut tidak boleh dibebankan kepada masyarakat," demikian Satryo dalam suratnya.

Kalaupun sudah mencapai inti tingkat efisiensi dan kemudian masih membutuhkan tambahan biaya untuk meningkatkan mutu, PTN yang bersangkutan harus transparan dan menjunjung tinggi akuntabilitas. Satryo mengingatkan, masyarakat harus mengetahui secara pasti penggunaan uang yang dipungut oleh PTN dan BHMN.

Ia menilai, dari 48 PTN yang ada di Indonesia umumnya masih tidak efisien. Tanpa menyebut angka, Satryo berpendapat, rata-rata PTN kelebihan staf. Akibatnya, dana rutin dan dana pembangunan yang dikucurkan pemerintah selalu tidak mampu mencukupi dana operasional PTN. "Untuk itu perlu pembenahan. Dengan status BHMN, PTN kelak akan punya kewenangan melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi," katanya.

Secara terpisah, Sekretaris Ditjen Dikti Tommy Ilyas mengungkapkan, rata-rata PTN kelebihan 20-30 persen pegawai. Celakanya, kelebihan tenaga justru cenderung pada bidang administratif. Pada sektor tenaga akademis, kelebihan staf di PTN hanya rata-rata 20 persen. Dalam kaitan itu, untuk membuka jalur khusus, kuotanya disesuaikan dengan kelebihan tenaga pengajar. "Maksudnya, agar tambahan kuota mahasiswa tidak mengganggu mutu pembelajaran secara keseluruhan," katanya.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Jusuf Kalla seusai rapat koordinasi bidang kesra mengatakan, jalur khusus (jalur mandiri) penerimaan mahasiswa baru tidak akan ditunda atau dihentikan.

"Hanya perlu dibenahi kembali. Masing-masing PTN yang akan membuka jalur khusus diminta untuk memeriksa kembali apa yang dapat diefisienkan sehingga mengetahui berapa dana yang dibutuhkan untuk memperbaiki mutu PTN masing-masing," katanya.

"Nanti masing-masing PTN memiliki dewan audit dan itu otonomi pendidikan tinggi termasuk pendidikan menengah," kata Mendiknas Abdul Malik Fadjar menambahkan.

Subsidi rendah

Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Sofian Effendi menolak anggapan bahwa UGM termasuk PTN yang eksploitatif dan komersial untuk mencari uang. Rektor UGM bahkan menyatakan adalah melanggar etika akademis ketika sebuah perguruan tinggi melulu berorientasi pada uang, dengan penetapan syarat masuk sekian puluh juta dan calon mahasiswa harus mengambil risiko drop out jika selama setahun tidak berprestasi.

"Itu tidak etis dan tidak bisa kami terima. Perguruan tinggi mana pun seharusnya menerima mahasiswa berdasar, pertama-tama prestasi akademiknya," kata Sofian yang didampingi Drs Suryo Baskoro, Kepala Humas UGM, Rabu siang.

Ia mengakui, mungkin ada satu-dua PTN yang membuat kebijakan seperti itu. "Tetapi saya yakin mereka

Page 7: apa tujuan bhp

tetap akan lebih menekankan pertimbangan akademis dalam penerimaan mahasiswa baru," papar mantan kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nasional itu menambahkan.

Dijelaskan Sofian, isu yang paling penting dan krusial yang dihadapi UGM dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya justru tentang mutu pendidikan yang terus tertinggal, dibanding sejumlah perguruan tinggi di Asia maupun ASEAN.

"Tetapi bagaimana kita akan meningkatkan mutu jika anggaran yang diperoleh UGM seperti sekarang? Padahal, biaya pendidikan untuk tiap mahasiswa per tahunnya juga masih sangat rendah?" katanya.

Indikator kualitas tadi, antara lain diukur dari kualitas (jumlah) dosen berpendidikan S3 (doktor), gaji dosen, tingkat penggunaan Internet, dan jumlah karya ilmiah yang dimuat pada jurnal ilmiah internasional. Selain itu, juga biaya pendidikan mahasiswa per tahun, perbandingan dosen dan mahasiswa, dan jumlah publikasi atau hasil riset.

"Saat ini jumlah dosen yang bergelar doktor di UGM baru mencapai 26 persen," kata Sofian. Ia juga mengatakan, gaji dosen masih seperduapuluh dari gaji dosen di Malaysia.

Anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi secara nasional, lanjutnya, ternyata juga hanya 0,04 persen dari anggaran pemerintah (APBN). Padahal, rata-rata biaya mahasiswa per tahun Rp 6,2 juta. Jumlah itu masih sangat rendah meskipun sudah disubsidi oleh pemerintah karena yang mendekati ideal per mahasiswa per tahun adalah Rp 18 juta.

Jual jasa

Mantan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Marsetio Donosepoetro di Surabaya mengatakan, PTN di Indonesia seharusnya lebih giat menjual produk dan jasa mereka kepada pihak lain. "Jika upaya ini dilakukan secara aktif, maka keterbatasan dana PTN dapat diatasi tanpa harus mengorbankan mahasiswa PTN yang bersangkutan," katanya.

Menilik pokok permasalahan yang ada, subsidi dari pemerintah untuk pendidikan sangat kecil, yakni Rp 48 triliun per tahun untuk 48 PTN. Dengan jumlah mahasiswa sebanyak satu juta orang, PTN memperoleh subsidi Rp 4 juta per mahasiswa per tahun.

"Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai Rp 17 juta per mahasiswa per tahun. Kondisi ini menjadi penyebab fenomena yang kontroversial saat ini," kata Marsetio.

Persoalan pencarian dana melalui jalur khusus mahasiswa baru juga dibahas dalam rapat rutin Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (MWA-UI) yang dihadiri 10 ketua senat fakultas. Para mahasiswa tetap tidak menyetujui dan menuntut program jalur khusus ditinjau kembali.

Namun, Ahmad Kalla, anggota MWA-UI dari unsur masyarakat, justru mempertanyakan mengapa jalur khusus harus dipermasalahkan. "Saya bingung, kenapa sih harus dimasalahkan? Para mahasiswa yang berduit itu kan nantinya malah menyubsidi kalian-kalian ini?" ujarnya.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI Achmad Nur Hidayat menganggap alasan tersebut berarti telah menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Negeri bahwa penerimaan mahasiswa tidak boleh membedakan suku, agama, ras, dan tingkat ekonomi. Jalur khusus dinilai telah sangat diskriminatif menjaring calon mahasiswa yang hanya berduit meskipun juga harus lulus passing grade UI dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). (nar/tri/hrd/b14/idr/ ana/tra/lok)

Kompetensi dan Sertifikasi Dosen

Donny Gahral Adian

Seorang profesor di perguruan tinggi negeri terenyak saat seorang mahasiswa bertanya. Pertanyaannya sungguh di luar lingkar terjauh wawasan keilmuannya. Sejenak ia tercenung lalu mengentak, ”Saya minta pertanyaan tidak melebar dari apa yang saya terangkan!”

Mekanisme pertahanan sang profesor bertolak dari ketidaktahuannya. Alih-alih menyadari kelemahannya, ia justru mematikan iklim kuriositas. Universitas berkelas dunia? Tunda mimpi itu sebelum inkompetensi semacam ini dibenahi.

Sertifikasi dosen yang ramai dibincangkan belakangan, ibarat pahlawan kesiangan. Mutu pendidikan tinggi yang terus merosot berhulu pada inkompetensi pengajar yang tak juga dibenahi. Kita terlalu disibukkan

Page 8: apa tujuan bhp

infrastruktur yang bobrok untuk memikirkan hal ini. Kita sudah amat terlambat dalam mengurus hal ini. Tetapi sudahlah. Yang terpenting, apa yang bisa dibuat dalam suasana seperti ini.

Pertama, kita harus membuang jauh pikiran yang menyetarakan antara gelar dan kompetensi pengajaran. Banyak dosen bergelar profesor yang mengajar ala kadarnya. Alih-alih membina anak didiknya, tenaganya lebih banyak disumbangkan ke lembaga-lembaga non-akademis. Kuliah hanya sesekali dihadiri. Sisanya adalah tugas mandiri yang membebani mahasiswa. Jika ditanya, jawabannya selalu klasik: capaian finansial. Logika finansial membuat drainase pikiran berlangsung laten di dunia pendidikan tinggi kita.

Kedua, kita perlu berjarak dengan label ”selebritis akademis” yang melekat pada sebagian dosen. Dosen-dosen yang ”biasa di luar” ini tidak lagi mengabdi pada pengembangan keilmuan. Mereka hanya mempelajari apa yang bisa dijual. Akibatnya, pengetahuannya tak pernah beringsut maju. Teknologi informasi hanya dimanfaatkan untuk mencari informasi situasi politik, ekonomi, dan sosial terkini. Jurnal-jurnal internasional yang bisa diakses secara virtual tak pernah dijamah. Akibatnya, anak didik sering lebih progresif dalam keilmuan dibanding dosennya.

Kompetensi mengajar bukan sekadar teknik pedagogis, tetapi juga keluasan wawasan dan etika akademis. Jika dosen menganggap dunia akademis sebagai batu loncatan bagi karier politik, maka kualitas komitmen akademisnya pantas dipertanyakan. Profesionalitas di bidang akademis memang bukan hal yang mudah, di tengah pesona finansial lembaga-lembaga non-akademis. Namun, jika yang dipertaruhkan adalah mutu pendidikan tinggi, kita tidak bisa lagi mempertahankan dosen-dosen oportunis semacam itu. Masih banyak dosen muda yang memiliki komitmen tinggi pada dunia akademis meski tidak selebritis.

Bagaimana mengevaluasi teknik pedagogis, keluasan wawasan, dan etika akademis? Ini tentu tidak bisa diserahkan pada satu- dua lembaga secara terpusat. Ada dua sebab, pertama, pengajar yang paham betul teknik mendidik yang baik belum tentu berkualitas secara keilmuan. Kedua, jika menyangkut etika akademis dan keluasan wawasan, maka tak ada yang lebih paham selain instansi tempatnya bekerja. Karena itu, universitas yang bersangkutan mesti diberi wewenang untuk membuat tim evaluator yang berdedikasi tinggi. Tim dibentuk oleh universitas di masing-masing fakultas. Sertifikasi diberikan jika seorang pengajar lolos evaluasi di tingkat fakultas. Dengan ini kecemasan akan masifikasi sertifikat tidak lagi beralasan. Instansi yang bersangkutan akan amat selektif sebab menyangkut mutu pendidikan yang diselenggarakan.

Sertifikasi juga tidak berlaku seumur hidup. Seperti halnya akreditasi perguruan tinggi, ia diperiksa secara berkala (dua tahun sekali). Ia juga harus dibuat bertingkat mulai dari yang tertinggi (A) sampai terendah (C). Jika seorang pengajar turun nilainya sampai C, universitas (atas rekomendasi fakultas) tidak segan-segan mencabut sertifikasinya. Dengan kata lain, pengajar yang bersangkutan dianggap tidak kompeten mengajar. Ini bisa berlaku di semua universitas mengingat perguruan tinggi negeri kini sedang atau sudah menjadi BHMN.

Persoalannya, apa peran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi? Lembaga itu berfungsi sebagai regulator dan mengawasi agar regulasi yang ada benar-benar dijalankan. Fungsi evaluasi tetap diserahkan pada universitas di bawah pengawasan Dirjen Pendidikan Tinggi. Fungsi pengawasan pun sebenarnya bisa didelegasikan kepada universitas bersangkutan. Tiap universitas memiliki senat akademik universitas dan fakultas. Tim evaluator pada tiap fakultas akan diperiksa oleh senat akademik fakultas untuk kemudian diperiksa kembali di tingkat universitas.

Memang tidak mudah membenahi masalah pendidikan tinggi kita. Namun, evaluasi profesionalitas akademis (etika akademis, teknik pedagogis, wawasan) adalah langkah pertama yang penting. Kita tidak bisa mengandalkan kemauan baik tiap dosen untuk memperbaiki diri. Sebuah sistem evaluasi yang ketat dengan imbalan dan hukuman yang proporsional harus benar-benar dijalankan. Setelah itu, kita baru bisa berbicara tentang universitas berkelas dunia (world class university).

Donny Gahral Adian Ketua Jurusan Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

erapa yang Dibayar Masyarakat - Untuk Perguruan Tinggi Negeri Kita?

Eddri Sumitra

AKHIR-akhir ini wacana seputar Student Unit Cost atau kemudian yang dikenal sebagai Biaya Satuan Perguruan Tinggi menjadi pokok pembahasan yang marak terutama di kampus-kampus yang telah berstatus PTN BHMN.

DALAM HITUNGAN sederhananya BSPT adalah jumlah riil harus dibayarkan seorang mahasiswa untuk mendapatkan segenap fasilitas kuliah selama satu tahun dengan konsep full cost. Artinya, semua biaya itu

Page 9: apa tujuan bhp

menutupi kebutuhan yang ia dapatkan di tempat kuliah.

Yang menarik, setelah dihitung-hitung ternyata Biaya Satuan Perguruan Tinggi (BSPT) untuk beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Bahan Hukum Milik Negara (BHMN) secara rata-rata berkisar pada angka Rp 18 juta-Rp 21 juta per tahun. Artinya, untuk setiap semester, idealnya seorang mahasiswa membayar antara Rp 9 juta- Rp 11 juta. Padahal, saat ini jumlah yang dibayar oleh mahasiswa tiap tahunnya rata-rata Rp 3 juta tiap tahun.

Lalu dari mana dana tambahan sebesar Rp 16 juta-Rp 18 juta untuk mencapai angka BSPT? Jawaban yang biasa dikeluarkan oleh pihak birokrat kampus, dana untuk menutupi berasal dari sumbangan Cross Subsidy dari program non-S-1 reguler, subsidi pemerintah dan tentu saja yang tidak kalah penting subsidi dari dosen dan karyawan secara tidak langsung di mana mereka rela untuk dibayar pada angka di bawah ideal yang harusnya mereka terima. Dasar penghitungan BSPT dan hitung-hitungan subsidi ini kemudian menjadi kajian mendalam untuk menggerakkan sebuah wacana bagaimana jika secara bertahap pembayaran untuk biaya pendidikan S-1 reguler mulai mengarah pada full cost payment, dalam bahasa yang sederhana bayaran akan terus naik hingga mencapai angka BSPT. Dengan demikian, gaji dosen karyawan bisa ditingkatkan, ketergantungan pada subsidi pemerintah bisa dikurangi dan yang lebih penting program-program non-S-1 reguler yang tumbuh seperti jamur di musim hujan bisa di terbitkan dan ditata ulang terutama program ekstensi dan D III.

Pendapatan per kapita masyarakat kita hingga saat ini, belumlah kembali melebihi 1.000 dollar AS, atau kita asumsikanlah pendapatan per kapita sebesar itu (walau saya tidak yakin dengan angka yang masih terlalu besar itu). Itu berarti, dengan kurs rata-rata saat ini, setiap tahunnya rata-rata penghasilan masyarakat kita sebesar Rp 8,5 juta. Angka 8,5 juta itu jika kita bayangkan untuk menutupi biaya pendidikan saat ini untuk kuliah di Universitas Indonesia saja, misalnya, sebesar Rp 3 juta per tahun tentu jauh dari layak bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saya angka itu adalah jumlah yang sangat minim. Untuk membayar sekarang saja, itu sudah menimbulkan masalah. Bagaimana nanti seandainya penerimaan dana masyarakat dalam bentuk biaya pendidikan ditargetkan full cost terhadap BPST? Kita belum lagi berbicara tentang realitas ekstrem disparitas ekonomi yang begitu tinggi di Indonesia, di mana sekitar kurang dari 10 persen masyarakat kita menikmati kue pembangunan lebih dari 80 persen, sisanya 20 persen dibagi-bagi untuk lebih dari 90 persen masyarakat kita. Artinya, dalam realitas sesungguhnya lebih banyak lagi masyarakat kita yang penghasilan per tahunnya di bawah Rp 8,5 juta.

Selama ini birokrat kampus senantiasa menawarkan solusi pragmatis untuk permasalahan ini, biaya pendidikan tetap di patok tinggi solusi jangka pendek ditawarkan kepada mahasiswa tidak mampu dengan mekanisme keringanan biaya pendidikan dan beasiswa. Selintas solusi ini cukup moderat dan akomodatif terhadap semua kepentingan. Namun, bila dilihat lebih jauh, konsep ini sama sekali tidak mengobati masalah yang ada ini. Dengan biaya pendidikan yang dipatok saat ini saja masyarakat sudah memiliki kesan tersendiri terhadap PTN terutama empat PTN BHMN yang telah menaikkan biaya kuliah dengan persentase yang cukup besar.

Perspektif luas masyarakat terhadap PTN ini pada akhirnya menciptakan nilai psikologis ketakutan untuk masuk ke PTN bersangkutan, belum lagi ketakutan akibat adanya beberapa pungutan selain sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) yang harus dibayar pada beberapa fakultas tertentu. Hampir lima tahun penerapan PTN BHMN di empat PTN terkemuka di Indonesia dari data yang kami dapatkan, terjadi segregasi yang cukup besar dari mahasiswa yang diterima berdasarkan status ekonominya.

Parameter sederhana untuk mengetahui berapa besar mahasiswa dari tingkat ekonomi menengah ke bawah yang masuk dapat diukur dari seberapa banyak yang mengajukan keringanan atau pembebasan SPP yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga mahasiswa di kampus, dan dari tahun ke tahun angka ini terus-menerus berkurang. Bahkan untuk tahun ini, di sebuah PTN BHMN ada dua fakultas di mana tidak ditemukan satu pun mahasiswa barunya yang mengajukan keringanan atau pembebasan SPP, tentu saja realitas ini menjadi sebuah hal yang menyenangkan bagi birokrat universitas karena mereka tidak perlu mengeluarkan dana lagi untuk subsidi tetapi menjadi sesuatu yang memilukan bagi kita karena lagi-lagi pendidikan mulai dimonopoli oleh mereka yang memiliki uang lebih.

Baiklah, coba kita terima tesis mereka bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas itu butuh dana yang besar. Tetapi dengan kondisi PTN saat ini haruskah masyarakat membayar tinggi untuk tingkat inefisiensi yang masih besar, manajemen yang tidak menyiapkan SDM-nya untuk budaya baru, pengelolaan yang less bureaucracy, haruskah masyarakat membayar tinggi untuk gaji pejabat kampus yang nilainya sangat tinggi akibat mis-persepsi pejabat kampus tentang opportunity cost atau haruskah masyarakat membayar tinggi untuk omong kosong persaingan global yang jauh dari realitas masyarakat?

Solusi sesungguhnya ada di gedung-gedung pengelola kampus itu, dengan manajemen yang efisien berapa rupiah yang harusnya bisa kita tabung untuk setiap efektivitas pengeluaran. Sebab, ternyata status BHMN hanya memberi kesadaran kebebasan mencari dana bagi birokrat kita, ia tidak berpikir dua arah tentang scarcity atau kelangkaan dana akibat nominal subsidi yang tetap dari pemerintah dan aset yang harus di

Page 10: apa tujuan bhp

hitung nilai depresiasinya. Dan yang tidak kalah penting adalah memperbaiki mis-persepsi pejabat kampus selama ini yang berpikir bahwa opportunity cost terhadap seandainya mereka bekerja di luar sesuai bidang profesi juga diperhitungkan dalam skema gaji mereka.

Artinya, mereka memandang bahwa menjadi birokrat kampus telah mengorbankan kemungkinan mereka mendapat uang lebih jika bekerja di luar kampus dan masyarakat harus membayar ongkos kemungkinan itu.

Eddri Sumitra Koordinator Bidang I BEM UI/ Wakil Mahasiswa untuk Tim Evaluasi Pendanaan dan Alternatif Pendanaan UI (2003)

anyak Cara PTS Menyelenggarakan Kuliah

PERGURUAN tinggi swasta yang saat ini sudah menabung mutu sebelum PTN buka jalur khusus penerimaan mahasiswa baru, malah tengah berusaha bikin terobosan baru demi terselenggaranya perkuliahan, yang sebagian besar biaya operasionalnya berasal dari mahasiswa. "Cari duit sebanyak-banyaknya buat apa? Kami tak berminat menambah jumlah mahasiswa dan menaikkan uang pangkal," kata Rektor Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Harimurti Kridalaksana. "Malah kalau bisa menekan biaya pendidikan, kami akan lakukan asalkan perguruan ini masih bisa berlanjut," tambahnya.

PERGURUAN tinggi swasta yang terletak di sekitar Semanggi ini rupanya mau ajek dengan misi sosialnya. Dikepung gedung-gedung pusat kegiatan perusahaan nasional, asing, dan multinasional yang tak terbilang jumlahnya di kawasan nomor satu Jakarta, Jalan Sudirman, Unika Atma Jaya tak tertarik mengubah haluan menjadi, misalnya, tempat belajar orang-orang berpunya dengan memasang uang kuliah yang sangat tinggi.

Penambahan jumlah mahasiswa pun, menurut Harimurti, tidak bisa sembarang dilakukan sebab rasio yang sekarang, 1:12, sudah optimal. "Sekarang 12.700 mahasiswa kami diajar oleh 1.003 dosen tetap dan tak tetap yang 80 persen berkualifikasi pendidikan S2 dan S3," jelasnya. "Lagi pula mahasiswa mau ditaruh di mana? Lahan kami cuma 2,5 hektar," lanjutnya.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Unika Atma Jaya berencana akan menerima 2.700 mahasiswa baru. Uang pangkal tertinggi dari seluruh fakultas yang ada, dikenakan kepada 150 mahasiswa Fakultas Kedokteran. Yang masuk kategori peringkat pertama hasil saringan masuknya akan membayar Rp 40 juta, peringkat kedua Rp 45 juta, dan peringkat ketiga Rp 50 juta. Tujuh fakultas lain-Psikologi, Ekonomi, Teknik, Hukum, Ilmu Administrasi, Keguruan dan Ilmu Pendidikan, serta Teknobiologi-mematok uang pangkal Rp 8,5 juta sampai Rp 11,5 juta. Uang kuliah per tahun Rp 1 juta ditambah dengan Rp 80.000 sampai Rp 100.000 per SKS. Biaya per SKS termahal terjadi di Fakultas Kedokteran.

Dibandingkan dengan Fakultas Kedokteran (FK) PTS lain, uang pangkal di Atma Jaya lewat program swadananya relatif murah, meski FK-nya terakreditasi A plus. Maksudnya, ia bisa membimbing FK PTS lain. FK dengan akreditasi A plus di PTS lain uang pangkalnya mencapai Rp 75 juta ke atas. Dengan pola pembiayaan seperti itu, FK Atma Jaya mengalami defisit Rp 1 miliar setiap tahun. Tapi, kekurangan itu ditutup dengan subsidi silang dari Fakultas Ekonomi-nya.

Struktur pembiayaan di PTS berusia 43 tahun itu 60 persen bertumpu pada SPP mahasiswa. Sisanya diperoleh dari rumah duka Atma Jaya, sumbangan donatur, dan hasil dari kerja sama dengan badan-badan dunia dan industri. Setiap tahun anggaran universitas ini berkisar dari Rp 9 miliar-Rp 12 miliar.

Sebagai PTS dengan misi sosial, kampus yang pernah jadi salah satu pusat geliat mahasiswa aktivis untuk menggerakkan reformasi di Indonesia ini, memberi kesempatan kepada mahasiswa yang kurang mampu ekonominya mencicil uang pangkal sampai 10 kali, atau mengurangi uang pangkal, sampai membebaskannya. Untuk urusan SPP, mereka dimungkinkan mendapat beasiswa dari universitas maupun donatur semacam Astra, misalnya.

BIAYA operasional Universitas Katolik Parahyangan Bandung, menurut Humas Nunung Kusumawardhani, seratus persen ditanggung mahasiswa. PTS yang dipimpin Rektor Pius Suratman Kartasasmita itu malah masih memiliki cadangan uang di yayasan, yang merupakan hasil pengelolaan uang selama ini yang tampaknya efisien dilakukan. Dengan 11.366 mahasiswa, 362 dosen tetap (62 doktor, 191 magister, dan 109 sarjana), dan 419 dosen tak tetap, PTS yang berencana akan menerima 2.500 mahasiswa baru memasang tarif sumbangan pengembangan minimum Rp 9 juta per mahasiswa baru. Selanjutnya diterapkan sumbangan sukarela.

Di luar sumbangan pengembangan dan sumbangan sukarela, masih ada pembayaran uang kuliah yang besarnya Rp 90.000 per SKS. Dengan struktur uang masuk seperti ini, PTS dengan tujuh fakultas dan 15 program studi itu masih menyubsidi beberapa program studi: ekonomi pembangunan, ilmu administrasi negara, filsafat, fisika, dan matematika.

Page 11: apa tujuan bhp

BELUM ada tanda-tanda penurunan pendaftaran mahasiswa baru di kedua PTS itu di tengah maraknya pembicaraan saat ini mengenai jalur khusus penerimaan mahasiswa baru di beberapa PTN terkemuka. Namun, Universitas Islam Bandung yang lebih dikenal sebagai Unisba itu sudah mulai merasakan magnet terhadap jalur khusus PTN yang ada di Bandung bakal mengurangi mahasiswa barunya mulai tahun akademik 2003/2004 ini.

Seorang mahasiswa Unisba mengeluarkan Rp 20 juta sampai Rp 30 juta hingga menyelesaikan sarjananya. "Bagi orang yang mampu, tinggal menambah sedikit saja sudah bisa masuk PTN dengan jalur khususnya yang Rp 45 juta itu," kata Kepala Bagian Akademik Unisba R Dachlan Muchlis.

Jumlah mahasiswa menjadi faktor bagi penyelenggaraan kegiatan akademis. Soalnya, 90 persen biaya operasional pendidikan di Unisba, yang Rp 30 miliar per tahun, berasal dari mahasiswa. Pembebanan hampir semua biaya operasional kepada mahasiswa, menurut Dachlan, disebabkan belum mampunya PTS ini mengurangi peran PTN yang dominan dalam menggandeng pihak lain untuk turut membiayai pendidikan.

"Jalur-jalur itu biasanya tertutup oleh barikade perguruan tinggi negeri, dan kami hanya mengandalkan mahasiswa," lanjutnya.

Barikade yang dimaksud adalah jaringan yang kuat antara kalangan industri dan PTN yang disebabkan nama besar beberapa PTN serta jaringan yang kuat dengan alumninya.

Unisba yang kampusnya tak jauh dari ITB itu punya 10.000 mahasiswa yang menyebar di sembilan fakultas. Setiap mahasiswa membayar Rp 4 juta sampai Rp 6 juta per tahun.

Karena jumlah mahasiswa adalah faktor utama dalam penyelenggaraan kuliah, promosi pun digencarkan. Diadakanlah open house di sejumlah SMU favorit untuk menerangkan program studi yang ada di Unisba. Tak lupa ditekankan pula beberapa program studi unggulannya, seperti Fakultas Ilmu Komunikasi. Siswa yang berminat dan berprestasi diberi kesempatan masuk di Unisba tanpa tes.

"Untuk Fakultas Syariah, Ushuludin, dan Tarbiyah, siswa yang nilai rapornya memenuhi syarat dapat langsung tanpa mengikuti tes," kata Dachlan.

Kerisauan Unisba pada jalur khusus PTN itu tidak mengimbas kepada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pembantu Rektor I yang juga Kepala Penerimaan Mahasiswa Baru SF Marbun malah mengatakan bahwa cara-cara yang ditempuh PTN berbaju BHMN mencari dana melalui jalur khusus itu pernah dilakukan UII sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu 20 persen dari kapasitas jalur umum diberikan kepada mahasiswa yang kurang hasil ujian saringan, tetapi mau membayar lebih. Rupanya cara ini membentuk citra UII sebagai PTS mahal walaupun sebetulnya yang membayar mahal hanya sebagian kecil.

"Jadi cara-cara ini kalau diterapkan UGM misalnya, bisa menciptakan pendapat umum bahwa UGM itu mahal," ujarnya. "Padahal hanya beberapa orang sebetulnya yang membayar mahal," tambah dia.

Belajar dari situ, kata Marbun, UII menerapkan seleksi dengan sistem peringkat. Peringkat itu didasarkan pada hasil ujian saringan masuk. Makin tinggi peringkat yang dicapainya, makin murah dana pengembangan yang harus dibayarnya. Pemeringkatan itu sampai enam lapis. Besar dana pengembangan bergantung pada biaya yang diperlukan tiap program studi. Program studi dengan laboratorium dan kuliah lapangan akan memerlukan dana yang lebih besar.

Dengan 21 program studi dan enam peringkat itu, setiap tahun UII Yogyakarta mengeluarkan matriks berukuran 21 x 6, dinamakan dana caturdarma, yang memuat besarnya dana pengembangan itu. Peringkat pertama Fakultas Kedokteran, misalnya, dikenai Rp 50 juta. Peringkat kelimanya Rp 85 juta. Program Studi Statistik mematok Rp 2 juta untuk mereka yang bertengger di peringkat pertama dan Rp 5,5 juta yang berada di peringkat enam.

"Matriks itu memperlihatkan bahwa kami terutama melihat mutu seseorang dalam menerima mahasiswa baru," papar Marbun seraya menambahkan bahwa UII dikenal dengan dua program studi bagusnya, Hukum dan Manajemen. Menteri Pertahanan di masa Gus Dur, Mahfud, adalah anggota staf pengajar Hukum di UII Yogya. "Calon mahasiswa yang diterima di dua program studi ini akan memilih kuliah di UII ketimbang ke perguruan tinggi lain meski diterima juga di sana," tutur Marbun.

Mutu akhirnya sumber pertaruhan. PTN ternama dikenal karena mutunya, lalu membuka jalur khusus karena negara mengurangi (dan nanti akan menghapus) subsidi. PTS yang terbiasa swadana untuk bisa bersaing dengan jalur khusus PTN ini mau tak mau mesti meningkatkan mutu. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, misalnya, menjalin kerja sama dengan Edith Cowan University, Australia dengan membuka kelas internasional untuk program studi Manajemen. "Baru untuk satu program studi tahun ini," kata Rektor Slamet S Sarwono.(B09/EDN/NAR/SIG/TRI/SAL)

Page 12: apa tujuan bhp

Era BHMN, PTN Perlu Rasionalisasi SDMDepok, Kompas - Seperti halnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi negeri (PTN) yang kini sedang diarahkan menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dituntut melakukan efisiensi dengan sistem manajemen modern. Salah satu syaratnya adalah merasionalisasi sumber daya manusia (SDM), terutama dari segi jumlah dan mentalitasnya.Demikian wacana yang mengemuka dalam pertemuan PTN BHMN di Kampus Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (3/10). Pertemuan yang difasilitasi Rektor UI dr Usman Chatib Warsa PhD SpMK tersebut dihadiri staf pimpinan dari empat PT yang telah berstatus BHMN sejak tahun 2000, masing-masing dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan UI sebagai tuan rumah.

Hadir pula utusan dari enam PTN lainnya sebagai pengamat, yakni Universitas Airlangga (Unair), Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Unair diwakili langsung rektornya, Prof Dr Puruhito, sedangkan univeristas lain diwakili pejabat wakil rektor, staf ahli, dan badan pekerja BHMN.

Perlu pengkajian

Usman Chatib Warsa dan Puruhito di sela-sela pertemuan mengakui, semua PTN menganggap manajemen SDM sebagai salah satu masalah krusial dalam menghadapi era BHMN. Sebagai lembaga milik negara, PTN telanjur diisi SDM yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Selain jumlahnya berlebih, kultur dan mentalitas mereka tidak akrab dengan efisiensi. Kondisi itu diperburuk dengan struktur organisasi yang gemuk.

"Seperti halnya BUMN, sudah saatnya PTN merintis rasionalisasi dan restrukturisasi. Caranya bisa berupa pengurangan jumlah PNS yang diikuti perampingan organisasi. Bisa juga dengan meninjau ulang penempatan PNS sesuai bidangnya," kata Puruhito yang diiyakan oleh Usman.

Seperti apa teknis penciutan PNS, dan berapa jumlah yang harus dipangkas, keduanya mengakui masih perlu pengkajian mendalam. Di antaranya mendengar pengalaman dari BUMN yang pernah melakukan restrukturisasi, serta menerima masukan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Kepegawaian Negara.

Puruhito mengakui, tuntutan rasionalisasi dan restrukturisasi di PTN sebetulnya bukan semata-mata karena BHMN. Ada atau tidak BHMN, memang sudah saatnya PTN menerapkan manajemen modern. Dunia pendidikan di Indonesia sudah sangat jauh ketinggalan dari luar negeri lantaran tidak efisien dan tidak mentradisikan akuntabilitas. Purhuhito menyebut sejumlah contoh inefisiensi dan minimnya akuntabilitas di kampus. Ia mencontohkan unit usaha foto di kantor jurusan yang dikelola pegawai. Unit usaha itu menghimpun laba untuk jurusan tanpa melaporkannya kepada universitas. Padahal, biaya listriknya itu ditanggung universitas.

Dia menambahkan, untuk mewujudkan sistem manajemen modern memang butuh waktu dan proses panjang. Paling tidak perlu sosialisasi 5-10 tahun. "Yang mendesak sebetulnya adalah mengubah pola pikir dari tidak efisien menjadi efisien. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kita tidak akan maju-maju," paparnya.

PNS non-akademik

Puruhito dan Usman sepaham bahwa sasaran utama restrukturisasi adalah PNS non-akademik, karena jumlah mereka cenderung berlebih dibandingkan jumlah pekerjaan administratif yang harus dikerjakan. Adapun PNS staf akademik sudah dianggap memadai.

Di Unair, jumlah pegawai non-akademik sekitar 1.400 orang, dosen sekitar 1.200 orang, dan mahasiswa sekitar 20.000 orang. Sementara di UI, jumlah pegawai non-akademik 1.500 orang, dosen 2.246 orang, dan mahasiswa sekitar 40.000 orang.

Usman yang didampingi Kepala Hubungan Masyarakat UI Dra Diennaryati Tjokro MPsi menambahkan, pada era BHMN PTN dituntut berkreasi dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Secara otonom, kampus berhak mencari sumber-sumber penghasilan baru, terutama untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Misalnya, mencari dana dari dunia industri dengan menawarkan riset unggulan.

Selain itu, kata Usman menambahkan, PTN dituntut pula mempertanggungjawabkan anggaran negara yang dite-rimanya dengan cara menghasilkan keuntungan. Setiap tahun UI menerima kucuran dana dari negara sekitar Rp 150 milyar. Sebanyak Rp 108 milyar di antaranya untuk gaji PNS dan sisanya untuk pembangunan (sarana belajar)

Page 13: apa tujuan bhp

Meraup "Fulus" dari Nonreguler

MINIMNYA dana operasional pendidikan membuat perguruan tinggi melakukan berbagai cara mengumpulkan uang agar tetap eksis. Salah satunya membuka program nonreguler. Malah, di Universitas Indonesia, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, fenomena tiap fakultas membuka berbagai program nonreguler sangat marak, mulai dari program diploma tiga tahun, ekstensi, kelas internasional, hingga pascasarjana.

SEBAGAI gambaran, UI kini memiliki 18 program studi ekstensi, 25 program studi diploma tiga tahun, dan kelas internasional di empat fakultas. Sementara ada juga 58 program studi untuk pascasarjana. Calon mahasiswa program tersebut melalui tes tersendiri di luar SPMB.

Berhubung biaya kuliahnya jauh lebih mahal dibandingkan dengan program sarjana reguler, tentu saja pemasukan uang dari puluhan program nonreguler tersebut lumayan besar.

Menurut Wakil Rektor II Bidang Keuangan UI Darminto, tahun anggaran 2003 ini, pemasukan dari program nonreguler sebesar Rp 188 miliar. Sementara pemasukan dari reguler hanya Rp 29 miliar. Pemasukan tersebut berasal dari biaya kuliah sekitar 40.000 mahasiswa UI.

Namun, maraknya program studi sumber pendanaan itu juga dikritik mahasiswa. Ke mana saja selama ini aliran dananya?

Darminto mengungkapkan, sebenarnya yang terjadi di UI adalah kuatnya otonomi fakultas, bahkan jurusan, dalam mengelola bidang akademik hingga keuangan. Uang yang diperoleh di tiap program studi itu baru sekitar tahun 1998 dapat dimasukkan ke anggaran UI. Lebih parah lagi, penerimaan fulus dari berbagai riset yang bisa mencapai miliaran rupiah setiap riset belum pernah masuk ke anggaran UI.

Setiap unit penelitian di UI lebih gemar mengelola revenue hasil penelitian mereka. "Sebenarnya sudah ada aturannya, sekitar 2,5 persen dari sisa pendapatan (setelah dikurangi untuk para peneliti) harus disetor ke anggaran pusat. Tetapi aturan itu belum bisa jalan," kata Direktur Pendidikan UI Muhammad Anis.

Saking otonominya tiap fakultas di sektor keuangan, tak heran, baik Anis maupun Darminto menyebut, UI sebenarnya lebih cocok disebut multifakultas ketimbang universitas. Selain masalah dana yang tidak tersetor ke anggaran pusat tersebut, mahasiswa juga mempertanyakan mengapa tidak pernah ada audit keuangan selama ini.

"Transparansi keuangan praktis enggak ada. Bahkan, kita enggak tahu apakah dana tambahan dana peningkatan kualitas pendidikan (DPKP) di luar SPP untuk mahasiswa reguler itu untuk apa saja. Kok, masih kurang juga sampai perlu jalur khusus," ujar Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI Achmad Nur Hidayat.

Selain SPP sebesar Rp 475.000, mahasiswa reguler sejak tahun 1999 harus membayar DPKP sebesar rata-rata Rp 1 juta per semester.

Darminto sendiri mengakui, anggaran UI selama ini tidak tiap tahun diaudit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Darminto berargumen, pemasukan dari puluhan program nonreguler dan DPKP tetap saja masih jauh dari kondisi ideal anggaran UI. Tahun 2003 ini, UI menganggarkan Rp 415 miliar. Sementara, menurut Darminto, idealnya adalah Rp 712 miliar dengan perhitungan tiap mahasiswa memakan biaya Rp 17,8 juta per tahun.

Menurut dia, UI bisa saja tetap survive dengan anggaran lebih kecil dari yang tahun ini. Namun, konsekuensinya adalah stagnasi dalam hal peningkatan pendidikan.

Sebenarnya, setelah berstatus BHMN, pemerintah tidak mengurangi bantuan anggaran. Dari total anggaran UI tahun 2003, Rp 129 miliar berasal dari pemerintah dalam bentuk gaji pegawai negeri sipil dan sebagian untuk perawatan fasilitas umum. Akan tetapi, gaji PNS untuk para karyawan, terutama dosen, dinilai masih terlalu rendah.

"Masak untuk profesor hanya Rp 2,5 juta. Makanya, dengan mendapat tambahan dengan mengajar di nonreguler, manfaatnya cukup signifikan. Kan, lebih baik daripada mereka lari ngajar ke swasta," kata Darminto.

Kondisi keuangan UI jadi tampak ruwet. Achmad Nur yakin, jika transparansi, efisiensi, dan tertib anggaran selama ini dilakukan, UI sanggup mengembangkan kualitas pendidikan tanpa perlu jalur khusus yang dinilai diskriminatif itu.

Dalam pandangan Achmad Nur, yang terjadi di UI adalah fenomena raja-raja kecil, yaitu fakultas-fakultas yang kelewat otonom mengelola dana tanpa mau berbagi dengan yang lain. Menurut dia, selalu saja ada alasan kekurangan dana dan mahasiswa menjadi sumber eksploitasi dana yang paling mudah dan cepat.

Page 14: apa tujuan bhp

Lalu akan ke mana cita-cita universitas riset yang selama ini dikumandangkan?

Jangan-jangan setelah jalur khusus, masih akan muncul lagi modus-modus pencarian dana dengan alasan masih juga kekurangan uang. Jika itu terjadi, rakyat akan memandang Kampus Kuning itu bak menara gading. Tak heran mahasiswa menulis komentar pedas di sebuah majalah dinding di FK UI: Swastanisasi UI, sekalian jual saja UI biar dapat duit lebih banyak!

SEPERTI UI dan perguruan tinggi negeri lainnya, Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung juga membuka kelas-kelas diploma maupun ekstensi. Menurut Koordinator Humas Unpad Hadi Suprapto Arifin, ada tujuh program diploma III (D3) yang dibuka di Unpad.

Untuk bidang ilmu-ilmu sosial, program D3 meliputi Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sastra, dan Ilmu Komunikasi. Sementara untuk bidang ilmu-ilmu eksakta, program D3 itu terdiri atas Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Pertanian, dan Peternakan.

Untuk program ekstensi, Unpad membuka di sembilan fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran (Ilmu Keperawatan), MIPA, Pertanian, Peternakan, Hukum, Ekonomi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Sastra, serta Ilmu Komunikasi. Seluruh program diploma dan ekstensi merupakan program-program studi di luar reguler (S1).

Hadi Suprapto menampik tudingan bahwa pembukaan program-program diploma dan ekstensi bermotif penggalangan dana. Malah Pembantu Rektor I Bidang Akademik Unpad Prof Dr H Ponpon S Idjradinata membantah kalau banyaknya program di luar program S1 lewat SPMB membuat mahasiswa di program reguler terbengkalai. Namun, hal itu didorong oleh rendahnya angka partisipasi kasar (APK) penduduk usia 19-29 tahun yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, yakni sekitar 12 persen.

Untuk menepis tudingan adanya motif komersialisasi di balik program-program diploma dan ekstensi itu, ia menjelaskan, uang sumbangan pembangunan pendidikan untuk mahasiswa S1 reguler dan mahasiswa program-program itu tetap sama, yaitu Rp 375.000 per semester.

"Yang beda, uang pengembangannya. Pada program diploma, uang pengembangannya berkisar Rp 2,5 juta-Rp 4 juta. Sedangkan program ekstensi, uang itu berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta," jelas Hadi Suprapto.

Pada mahasiswa S1 reguler, selain membayar SPP, mereka juga membayar uang praktikum yang besarnya sekitar Rp 90.000-Rp 500.000.

Di samping itu, perbedaan lainnya adalah mahasiswa diploma dan ekstensi tidak disubsidi pemerintah, sedangkan mahasiswa S1 reguler mendapat jatah subsidi itu. Besarnya subsidi itu sekitar Rp 5 juta per tahun. Subsidi itu menyumbang 25-50 persen dari seluruh unit cost pengeluaran untuk seorang mahasiswa per tahun (Rp 9 juta hingga Rp 20 juta).

Pada level strata 2, Unpad juga membuka jalur penerimaan nonreguler untuk Magister Manajemen, Lingkungan, Kenotariatan, Administrasi Publik, Kesehatan Masyarakat, dan Psikologi Terapan. Biaya yang dibutuhkan untuk menempuh program nonreguler hingga tamat berkisar Rp 25 juta-Rp 30 juta.

Kendati menjaring mahasiswa melalui jalur nonreguler, ia menegaskan, rasio pengajar dan mahasiswa di Unpad masih bagus. Dengan jumlah mahasiswa 45.000 orang dan 1.800 dosen, rasio dosen dan mahasiswa di Unpad berkisar satu berbanding 20 sampai 25.

Satu lagi cara Unpad menjaring mahasiswa adalah dengan membuka kelas internasional untuk Fakultas Kedokteran. Kelas ini sudah berlangsung sejak dua tahun yang lalu. Pada tahun akademik 2003/2004, kelas internasional itu ditambah lagi dengan Fakultas Kedokteran Gigi.

Hadi Suprapto menolak jika kelas internasional ini disamakan dengan jalur khusus di perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Ia beralasan, program kelas internasional ini dibuka untuk memenuhi aspirasi pasar dari luar negeri.

Kelas internasional ini memang banyak diisi oleh mahasiswa dari luar negeri-di antaranya dari Malaysia-meski ada juga warga Indonesia. Bahasa pengantar dalam kuliah menggunakan bahasa Inggris.

Uang SPP dibayarkan dalam mata uang dollar AS. Untuk masuk kelas internasional ini, sedikitnya dibutuhkan biaya 12.650 dollar AS (warga Indonesia) atau 17.650 dollar AS (warga asing) pada tahun pertama.

Rinciannya, uang pendaftaran (registration fee) 150 dollar AS, uang pengembangan (admission fee) 7.500 dollar AS untuk warga Indonesia dan 10.000 dollar AS untuk warga asing, dan uang SPP (tuition fee) 5.000 dollar AS untuk warga Indonesia dan 7.500 dollar AS untuk warga asing.

DI Institut Teknologi Bandung (ITB), program nonreguler pun juga diluncurkan, bahkan hingga dengan memasang iklan di media cetak. Hanya saja, ITB hanya membuka program nonreguler itu untuk strata 2 (S2). Adapun pada level strata 1 (S1), ITB tidak mempunyai program semisal diploma maupun ekstensi.

Page 15: apa tujuan bhp

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Adang Surahman mengatakan, ada sekitar 30-an program studi untuk magister. Dari 30-an program magister itu, yang paling laris dan diminati masyarakat adalah program magister manajemen (MM). Pada program ini, jumlah mahasiswanya berkisar 100 hingga 200 orang. Di antara program-program magister di ITB, biaya kuliah di MM ITB termasuk yang paling besar.

Adang memaparkan, unit cost untuk pendidikan magister di ITB sebesar Rp 25 juta per tahun. Namun, tidak semua mahasiswa magister membayar penuh unit cost itu. "Dari mahasiswa minimal Rp 8 juta, ada juga yang rata-rata Rp 11 juta, dan ada program-program yang full Rp 25 juta," katanya.

Mahasiswa program magister studi MIPA biasanya membayar Rp 8 juta. Yang membayar Rp 11 juta biasanya mahasiswa fakultas-fakultas teknik. Yang membayar penuh Rp 25 juta adalah program-program khusus seperti magister manajemen dan program kerja sama dengan institusi pemerintah maupun swasta.

Contoh program kerja sama itu antara lain antara Sipil Teknik dengan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Menurut Adang, ITB membuka program-program magister kerja sama rata-rata lima hingga 10 kelas per tahun. Setiap kelas diisi 20 mahasiswa.

Model pembayaran uang kuliahnya per paket, misalnya setiap mahasiswa membayar Rp 40 juta-Rp 50 juta. Selain itu, kadang-kadang masih ada pembayaran tambahan ketika kuliah diselenggarakan dengan sistem jarak jauh. "Karena sempat jadi kontroversi, kami ubah pelan-pelan menjadi kuliah di kampus ITB," ujar Adang.

Ada tiga hal yang mendasari pembentukan sebuah magister, yakni idealisme keilmuan, tuntutan pasar, dan ketersediaan sumber daya manusia atau pengajarnya. Saat ini, ITB mempunyai sekitar 4.500 mahasiswa magister.

Menurut Adang, untuk ke depan, ITB akan lebih mengembangkan magister profesional. Magister profesional ini untuk menjawab kebutuhan praktis pasar. Hal ini dipicu oleh kenyataan belakangan ini semakin turunnya jumlah pendaftar ke magister ITB.

Pada tahun ini, jumlah pendaftar magister di ITB hanya 800-an orang. Padahal, tahun-tahun sebelumnya biasanya lebih dari 1.000 atau 2.000 pendaftar.

Langkah ini merupakan bagian dari industrialisasi perguruan tinggi. "Kita jangan jadi menara gading. Kami ingin jadi center of excellent, juga kami ingin kehadiran kami terasa oleh masyarakat Indonesia. Terhadap kehendak pasar, kita jangan tutup mata," kata Adang.(B14/B05/EDN)

Aturan PTN BHMN Belum KonsistenJakarta, Kompas - Pelaksanaan aturan yang memuat ketentuan terhadap perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) belum konsisten dengan aturan lainnya yang dianggap masih berlaku. Akibatnya, PTN yang menerapkan model pengelolaan BHMN tidak bisa berbuat banyak. "Keluwesan dalam pengelolaan PTN yang diharapkan dalam status BHMN masih terkungkung oleh aturan yang berkaitan dengan aspek legal, finansial, dan manajemen sumber daya manusia (SDM)," kata Rektor Universitas Indonesia (UI) dr Usman Chatib Warsa PhD SpMK ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/10).

Usman dimintakan tanggapannya berkaitan dengan hasil pertemuan PTN BHMN di Kampus UI Depok, pekan lalu. Pertemuan yang menghasilkan "Kesepakatan Depok" tersebut dihadiri 52 peserta utusan dari empat PTN yang sudah berstatus BHMN (UI, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Institut Pertanian Bogor). Serta Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, Universitas Padjajaran, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Diponegoro, Univer-sitas Sumatera Utara, Departemen Pendidikan Nasional, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Kepegawaian Nasional, PT Telkom, dan PT Timah.

Sulit dioperasionalkan

Menurut Usman, aspek legal yang berkaitan dengan status BHMN dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 dan N0 61 Tahun 1999 (tentang Pendidikan Tinggi), dan PP No 152, 153, 154, dan 155 tahun 2000 (tentang status empat PTN sebagai BHMN) perlu diamandemen. Pasalnya, banyak bagian dari aturan tersebut yang tidak bisa dioperasionalkan.

"Memang saat ini kami belum menetapkan bagian mana, atau pasal-pasal mana saja yang perlu diubah. Hanya saja, empat PTN yang berstatus BHMN sekarang ini banyak merasakan hal-hal yang kurang pas dalam penerapan BHMN selama ini, terutama terkait dengan masalah finansial, SDM, dan aspek legal status hukum BHMN," ujarnya.

Di UI, misalnya, meskipun statusnya sudah BHMN namun UI masih kesulitan dalam mengelola keuangan

Page 16: apa tujuan bhp

sendiri. Ada aturan lain yang masih meng-ikat, seperti keharusan menyerahkan dulu penghasilan yang didapat ke kantor kas negara. Padahal, keuangan dengan status BHMN seharusnya diberikan secara block grant dan dapat mengelola secara mandiri.

Contoh lain, dalam manajemen SDM, UI tidak bisa memperpanjang masa kerja guru besar, padahal kekurangan guru besar saat ini sudah ada di depan mata. Usaha untuk menambah guru besar sulit dilakukan karena harus mengikuti aturan pola lama, seperti kriteria pengangkatan guru besar dan dukungan dananya, masih mengikuti pola lama.

"Seharusnya, status BHMN menuntut adanya perubahan paradigma penyelenggara pendidikan secara keseluruhan, serta unsur lain dalam pemerintahan. Tanpa perubahan paradigma, keinginan PTN lain untuk menjadi BHMN yang ta-dinya menggebu-gebu akan mati semangatnya," kata Usman Chatib menambahkan.

Sedang dipersiapkan

Menurut Usman, saat ini UI melalui komisi khusus dalam Senat Akademik Universitas sedang melakukan analisis dan mempersiapkan usulan amandemen aturan yang berkaitan tentang BHMN. Hal yang sama juga dilakukan oleh tiga PTN lain yang sudah berstatus BHMN.

Usman menilai, PTN yang berstatus BHMN saat ini sebenarnya menginginkan adanya konsistensi dalam penerapan BHMN. Untuk itu, dalam Ke-sepakatan Depok dimuat desakan pada instansi terkait agar segera mengeluarkan Undang-Undang Perguruan Tinggi (UUPT) BHMN sebagai landasan hukum perguruan tinggi BHMN.

"Usulan UUPT BHMN ini sebetulnya bukan hal yang baru, sebab konsiderannya sudah diusulkan oleh pemerintah sendiri, dan keinginan itu sudah muncul dari Depdiknas," ujar Usman.

Hal penting lain, tambahnya, selama masa transisi menuju status BHMN pemerintah pernah menjanjikan dukungan dana sebesar 10 juta dollar AS. Dana yang akan diperoleh dari pinjaman Bank Dunia itu tidak pernah terealisasi hingga sekarang. Ternyata, dalam perkembangannya selama ini PTN dengan status BHMN hanya mendapat dana rutin biasa saja.

"Memang masih ada kesimpangsiuran, apakah janji yang diucapkan secara lisan itu bisa dikatakan janji atau baru usulan dari Dewan Perguruan Tinggi. Kalau memang ada, kami berharap bahwa dana itu nantinya diberikan dalam bentuk proyek dengan alokasi dana sistem block grant," ujarnya. (MAM)

Regulasi Pemerintah Tidak Siap

SAAT status hukum perguruan tinggi negeri (PTN) diubah menjadi Badan Hukum Milik Negara, maka yang berlaku adalah ekonomi pasar. Boro-boro mengecap pendidikan gratis seperti di beberapa negara Eropa, perlahan tapi pasti, subsidi negara akan terasa kurang.

ADA empat macan otonomi yang diterima para PTN ini, otonomi keuangan, sumber daya manusia, pengelolaan aset, serta akademik. PTN-PTN ini dipaksa masuk ke dalam kancah kompetisi, yang merupakan ciri utama dalam ekonomi pasar. "Don’t try to do good, let good emerge as a byproduct of selfishness," kata Bapak Ekonomi Pasar, Adam Smith. Semua pihak akan menjadi egois demi memenangkan kompetisi tersebut.

Para pendukung mazhab ekonomi pasar percaya, sebuah invisible hand akan membuat kekuatan optimal masing-masing pribadi muncul dalam kompetisi. Pada akhirnya, yang terjadi adalah evolusi ala Darwin, yaitu perubahan perlahan ke arah bentuk yang lebih sesuai dengan lingkungan dan zamannya.

Masalahnya, proses kehadiran invisible hand itu membutukan keadilan. "Makanya, ekonomi pasar itu, termasuk PTN sebagai BHMN perlu regulasi, itu yang pemerintah tidak siapkan," tandas Ketua Majelis Wali Amanat ITB Iskandar Alisjahbana. Mantan Rektor ITB itu menyoroti, bagaimana PTN harus bersaing dan bertahan dalam era ilmu pengetahuan ini bahkan di dalam negara sendiri. Gejala bahwa kemudian muncul jalur khusus-yang tidak menutup kemungkinan harga Rp 1 miliar seorang di ITB- hanya merupakan gejala dari kompetisi yang tengah terjadi. "Kualitas pendidikan kita turun terus, jalur khusus yang digembor-gemborkan itu sepele dibanding masalah lebih besar, yaitu kualitas pendidikan," ujar Iskandar.

Rektor Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi juga khawatir melihat peringkat UGM di Majalah Asiaweek turun terus sejak tahun 1993. Tahun 1993, UGM masih berada di peringkat 36. Tujuh tahun kemudian, peringkatnya melorot ke angka 68. Di tingkat ASEAN, tahun 2000 UGM menduduki peringkat 11 dengan nilai 46.

Untuk mengefisienkan diri, sekaligus menambah pemasukan, UGM memberlakukan tiga jalur masuk.

Page 17: apa tujuan bhp

Pertama, adalah lewat jalur SPMB. Kedua, melalui jalur ujian masuk UGM (UM-UGM) yang terdiri dari ujian masuk tertulis dan UM nontes, yaitu jalur-jalur penjaringan dan prestasi. Jalur ketiga, adalah program swadaya. Program swadaya adalah program lama yang dahulu bernama program ekstensi yang diadakan karena daya tampung UGM sebenarnya masih jauh lebih besar dari yang ada saat ini.

Diperkirakan, jumlah calon mahasiswa yang diterima melalui UM-UGM 75 persen, sedangkan sisanya melalui tes tertulis SPMB.

Biaya pendidikan di UGM bagi program reguler dan swadaya terdiri atas tiga komponen, yaitu sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) per semester, biaya operasional pendidikan (BOP) dibayar per semester. Total, seorang mahasiswa harus membayar Rp 1 juta untuk jurusan non-eksakta dan Rp 1,25 juta untuk eksakta. Masih ada juga sumbangan pengembangan mutu akademik (SPMA)-semacam uang pangkal-yang besarnya Rp 0, untuk mereka yang kurang mampu, dengan, atau Rp 5 juta, dan atau di atas Rp 5 juta.

Di Universitas Indonesia, juga tersedia jalur khusus dengan nama program prestasi dan minat mandiri (SPMUI-PPMM). "Jalur khusus di UI tidak berarti menggadaikan kualitas intelektual calon mahasiswa," jelas Direktur Pendidikan UI Muhammad Anis. Menurutnya, selama ini yang tidak diterima di UI sebenarnya bukan berarti tidak memenuhi standar passing grade UI, melainkan karena daya tampung UI yang terbatas. Jadi, sebenarnya banyak yang lulus SPMB namun tidak lolos masuk UI, karena yang diambil adalah skor tertinggi dari peserta.

Jalur khusus atau program prestasi dan minat mandiri dibuka di atas ide memanfaatkan kelompok yang lulus tapi "terbuang" tersebut. Kuota penerimaan mahasiswa baru pun ditambah 20 persen bagi mereka yang terbuang itu. Syaratnya, selain rata-rata rapor kelas tiga SLTA harus tujuh, calon peserta jalur khusus harus sanggup membayar uang masuk Rp 25 juta-Rp 75 juta, dan SPP Rp 7,5 juta per semester.

"Jalur khusus hanya untuk yang berduit saja. Yang enggak mampu tapi lulus passing grade, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan yang bisa ikut PPMM, jelas enggak bakal daftar karena enggak sanggup bayar. Prioritas UI memandang calon mahasiswa menjadi semata faktor finansial saja," kata Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UI Achmad Nur Hidayat.

Menanggapi soal keadilan itu, Anis menjawab diplomatis, "Soal adil, tidak adil itu kan relatif, tergantung kacamatanya saja. Toh, pemasukan dari jalur khusus nanti kan akan dinikmati bersama. Sekarang ini, bagaimana pendidikan bisa berjalan tanpa dana?" ujarnya.

REKTOR Institut Pertanian Bogor Prof Ahmad Ansori Mattjik mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjaring mahasiswa baru lewat jalur khusus. Untuk program khusus ini, IPB mematok biaya kuliah sebesar Rp 9 juta setiap tahunnya, jauh lebih besar dari biaya kuliah mahasiswa reguler yang hanya Rp 1,5 juta per tahun.

Jumlah mahasiswa baru yang akan ditambahkan melalui jalur khusus ini maksimal sebanyak 10 persen dari 2.800-3.000 mahasiswa baru yang diterima IPB melalui jalur reguler.

Wakil Rektor IPB Bidang Akademik Prof Dr M Achmad Chozin mengatakan, seleksi berdasarkan nilai rapor SMU dan lampiran kesediaan pemerintah daerah menanggung biaya kuliah mahasiswa itu sampai lulus. Chozin tidak mengelak kemungkinan ada risiko calon mahasiswa baru ini kualitasnya berada di bawah mahasiswa reguler. Untuk itu, uang kuliah yang lebih besar dari mahasiswa reguler ini dikompensasikan dengan pemberian tutorial bagi mahasiswa.

Universitas Airlangga juga memberikan "harga" tinggi bagi mahasiswa tertentu. Melalui sumbangan pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (SP3), sumbangan pembinaan pendidikan, dan biaya praktikum, Unair memperoleh dana yang berlipat kali dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh dari mahasiswa reguler.

Tahun ini, program ekstensi ditawarkan kepada masyarakat dalam penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) jalur D atau kemitraan umum. Selain program ekstensi, tiga jalur lain berada dalam kelompok PMDK, yaitu jalur A (seleksi prestasi), jalur B (alih jenjang), dan jalur C (kemitraan khusus atau luar negeri).

Jika mahasiswa terjaring melalui jalur A, sama seperti halnya mahasiswa baru lain yang diperoleh melalui seleksi SPMB, ia harus membayar SPP untuk program studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebesar Rp 600.000 per semester atau Rp 700.000 per semester untuk program studi berbasis Ilmu Pengetahuan Alam. Untuk PMDK jalur D, SPP yang dibebankan sebesar Rp 1,5 juta-Rp 2,5 juta per semester dan praktikum Rp 500.000-Rp 3 juta per semester, bergantung program studi yang diambil.

Yang lebih mencengangkan adalah besarnya SP3, termurah Rp 3 juta untuk program studi Kesehatan Masyarakat (asal sekolah D3) hingga Rp 30 juta untuk program studi Kedokteran Gigi, dan Rp 75 juta untuk program studi Pendidikan Dokter. Sebuah catatan mengiringi daftar SP3 tersebut.

Catatan itu berbunyi, daftar SP3 yang tercantum merupakan besaran minimal. Hal ini memunculkan

Page 18: apa tujuan bhp

anggapan miring bahwa Unair Surabaya mentolerir nilai ujian yang jeblok selama calon mahasiswa itu mampu menyerahkan SP3 dengan angka yang berderet-deret. "Pendidikan memang mahal, tapi uang tidak bisa membeli pendidikan," ujar Rektor Unair Puruhito.

Mahasiswa baru hasil seleksi PMDK jalur D paling banyak sejumlah mahasiswa dari SPMB, yang tahun ini sebanyak 3.954 orang. Seperti yang dikatakan oleh mantan Rektor Unair Marsetio Donosepoetro, apa pun namanya, program yang berada di luar jalur SPMB adalah program khusus.

Lain halnya dengan sikap yang diambil oleh Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. Meskipun sama-sama memantapkan diri dalam pendidikan berbasis teknologi, ITS tidak mengambil jalan yang sama seperti ITB.

"Kami berusaha menekan pengeluaran melalui efisiensi, baik dalam operasional maupun struktur organisasi. Selain itu, ITS juga mengembangkan dana masyarakat yang bukan berasal dari SPP, melainkan dari kerja sama dengan pihak lain," tegas Rektor ITS Dr Ir Mohammad Nuh DEA.

DI ITB, menurut Rektor Kusmayanto Kadiman, jalur khusus penerimaan mahasiswa baru ITB yang dinamai ujian saringan masuk (USM) penelusuran, minat, bakat, dan potensi (PMBP) bisa disamakan dengan kereta api.

"Ada seseorang mau berangkat (dari) Bandung (ke) Jakarta. Keretanya itu juga, ada yang bisnis, ada yang eksekutif. Silakan (memilih)," tutur Kusmayanto. Menurutnya, ada lapisan masyarakat yang memang akan ikhlas, mau, dan mampu. Jadi, kita lihat si calon mahasiswa PMBP itu pinter, dan si anaknya gaul, ditambah kemauan dan keikhlasan orangtuanya," jelasnya.

Kusmayanto mengatakan, pemerintah tidak memberikan batas-batas atau rambu-rambu kepada perguruan tinggi dalam menggali dana. "Yang tidak boleh adalah komersialisasi yang berdampak kepada penurunan kualitas akademik," ujarnya.

Pemberian otonomi dengan status BHMN itu diharapkan bisa memacu ITB dalam mencapai keunggulan akademik (academic excellence) dan agen pembaru (agent of change).

Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB Adang Surahman, dari 2.000 orang yang membeli formulir PMBP, hanya 1.844 yang ikut tes. Tes itu untuk mengetahui profil psikogram calon mahasiswa. Ia mengakui, dari sekian jumlah peserta ujian, ada yang menyatakan akan menyumbang ratusan juta rupiah kalau anaknya diterima.

"Pokoknya ada sekitar 10 orang yang sumbangan sukarelanya antara Rp 400 juta dan Rp 500 juta," kata Adang yang menepis, ada orangtua yang menawarkan Rp 1 miliar asal anaknya masuk ITB. Adang mengatakan, ada belasan orang mahasiswa yang mendapat tunjangan pemerintah daerahnya dan bukan berasal dari keluarga yang kaya.

Ia memperkirakan, jumlah mahasiswa yang diterima melalui PMBP ini berjumlah 150-300 orang. Sementara, jumlah mahasiswa yang diterima dari SPMB atau jalur biasa tidak dikurangi jatahnya, yaitu tetap 1.930.

Pengumuman jalur khusus ini dilakukan pada tanggal 26 Juni mendatang, dan pendaftaran awal berakhir hingga tanggal 1 Juli, bersamaan dengan hari pertama ujian SPMB. "Kalau sudah keterima PMBP tidak daftar ulang, ya otomatis angus, kan kami mencegah ada yang daftar SPMB dan PMBP pula jadi menyempitkan kemungkinan orang lain," kata Adang.

Dilema lalu muncul di sana-sini. Pemikiran bahwa mereka yang memiliki uang mendapat kesempatan dua kali mengemuka di sana-sini. "Tidak adil," tandasnya.

Sementara, pihak yang pro jalur khusus menuding sistem SPMB yang murni seperti UMPTN yang tidak adil. Bagaimana hanya mereka yang ikut bimbingan tes yang berpeluang lebih besar untuk lulus, sementara hasil tes juga belum tentu mencerminkan kemampuan seseorang, bayangkan seorang yang masuk ITB karena skor tesnya tinggi di Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Pagar sudah dibuka, kompetisi sudah digelar. Sementara gaji dosen hanya Rp 2 juta, pontang-panting cari uang untuk bayar listrik laboratorium. Padahal, budaya riset yang belum kuat karena tidak ditopang industri. Mungkin yang ditunggu hanya satu, regulasi untuk mengatur kekacauan ini. (hrd/B14/B10/B05/idr/was/edn)

Page 19: apa tujuan bhp

Memalukan, Jalur Khusus Masuk PTN

Kediri, Kompas - Mantan Menteri Riset dan Teknologi AS Hikam mengecam kebijakan empat perguruan tinggi negeri untuk membuka program penerimaan mahasiswa baru melalui jalur khusus. Program, yang memasang tarif bervariasi antara Rp 15 juta hingga Rp 150 juta, itu dinilai memalukan.

Hikam mengemukakan hal itu usai berbicara dalam sebuah seminar di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, Rabu (18/6). Mantan Menneg Ristek ini juga meminta keempat PTN membatalkan kebijakan mereka, yang dia nilai tidak memedulikan realitas masyarakat saat ini.

Bahkan, tambah Hikam, kalaupun keempat PTN beralasan program itu digunakan untuk membiayai peningkatan kualitas pendidikan dan riset mereka, alasan seperti itu tetap dianggap tidak masuk akal dan tampak dibuat-buat.

"Jika hal itu dijadikan alasan, terus terang sebagai mantan Menneg Ristek saya malu melihat ulah mereka yang benar-benar serakah. Saya setuju jika mereka memang benar mau mengembangkan riset di perguruan tinggi, tetapi bukan seperti itu caranya," ujarnya.

Sikap keempat PTN itu, menurut Hikam, sama saja dengan melalaikan tugas utama institusi pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Selain itu, pendapatan yang diperoleh dari membuka jalur khusus seperti itu jelas tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan membiayai riset di universitas yang memerlukan anggaran besar.

Dengan begitu, tambah Hikam, keempat PTN tersebut seharusnya merasa malu lantaran tidak mampu bersikap adil terhadap masyarakat Indonesia yang kebanyakan tidak mampu secara ekonomi.

"Hal itu hanyalah logika konsumerisme universitas, yang jangan-jangan hanya bertujuan pragmatis seperti membiayai gaya hidup atau untuk membayar gaji. PTN memiliki peran dan fungsi konstitusional mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama masyarakat miskin," ujar Hikam.

Sebagai pelarian

Sementara itu, dalam kesempatan sama Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Soetandyo Wignjosoebroto menilai, saat ini telah terjadi penyimpangan arah pendidikan. Institusi pendidikan seharusnya merupakan suatu kerja ideal dan bukan malah mendahulukan persoalan uang atau materi.

Akibatnya, seperti yang terjadi pada keempat PTN itu, kebijakan mencari pendapatan melalui program jalur khusus menjadi sekadar pelarian. Hal itu dilakukan lantaran selama ini mereka tidak memiliki kemampuan menjadikan riset-riset ilmiah sebagai salah satu pilihan untuk memperoleh masukan dana.

"Saat ini yang terjadi di Indonesia, selain tidak diurus sungguh-sungguh, misi pendidikan menjadi sekadar berorientasi pada uang dan bukan untuk mengembangkan segi keilmuan," ujar Soetandyo.

Walau diakui pendidikan bermutu memang membutuhkan biaya besar, persyaratan untuk menyediakan uang sekian juta rupiah bagi mereka yang akan masuk ke PTN tertentu, dinilai Soetandyo, sebagai realitas yang sangat menyedihkan.

"Keadaan itu akan menurunkan kualitas moral perguruan tinggi. Institusi pendidikan nantinya hanya akan memperhatikan bagaimana memperoleh uang daripada mengurus kualitas dan masa depan anak didiknya," ujar Soetandyo

Selain itu, Soetandyo juga mengkhawatirkan para peserta didik yang masuk melalui jalur khusus akan berpikir dan bersikap pragmatis. "Lantaran sudah membayar mahal, mereka lalu kuliah seadanya saja dan menuntut untuk cepat lulus. Saya melihat kecenderungan seperti itu nantinya akan terjadi di keempat BHMN itu," ujar Soetandyo. (DWA)

Status PTN Banyak Disalahtafsirkan

Medan, Kompas - Perubahan status Universitas Sumatera Utara dari perguruan tinggi negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara masih banyak disalahtafsirkan menjadi kampus penuh fasilitas dengan keuangan yang melimpah. Padahal, penerapan otonomi pendidikan melalui status BHMN di USU diharapkan membawa perubahan moral di dunia kampus sehingga kualitas pengabdian kepada masyarakat menjadi lebih baik.

"Masih banyak yang salah mengartikan perubahan status USU dari PTN menjadi BHMN dengan mengira akan ada kenaikan gaji dosen, uang kuliah menjadi mahal, dan sebagainya. Padahal, dalam konsep otonomi pendidikan, perubahan (status) itu diharapkan dapat membawa perubahan moral di dunia kampus meskipun

Page 20: apa tujuan bhp

itu masih abstrak," kata Rektor USU Prof Chairuddin di Auditorium USU, Medan, Jumat (20/8).

Hadir dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis Ke-52 USU itu adalah Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Rizal Nurdin, Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Sumut Brigadir Jenderal (Pol) Iwan Pandjiwinata, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut Sudibyo Saleh, dan Ketua DPRD Sumut Ahmad Azhari.

Sejak rencana USU berubah menjadi BHMN digulirkan pada tahun 2001, masyarakat mulai mengeluarkan reaksi penolakan. Bahkan, dari kalangan kampus pun ada yang mengkhawatirkan perubahan status tersebut malah menjadi bumerang bagi pendidikan.

Chairuddin menyebutkan, perubahan status USU menjadi BHMN akan menjadikannya memiliki otonomi. Namun, meski memiliki otonomi dalam berbagai hal, USU tak akan sewenang-wenang menggunakannya. (HAM)

Ke Mana Arah Reformasi Pendidikan Tinggi Kita?

REFORMASI pendidikan tinggi agaknya masih berjalan jauh dari yang diharapkan. Tahun ini, hampir tidak ada fokus bagi institusi pendidikan tinggi nasional untuk memperkuat posisinya dalam persaingan penyiapan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Hampir tidak terlihat usaha yang signifikan untuk memperbaiki proses pembelajaran, penelitian, dan usaha membangun kekuatan untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan asing.

Padahal, sejak beberapa tahun terakhir, institusi pendidikan tinggi asing sudah mulai mengintip pasar pendidikan di Indonesia, terutama Australia. Negara tetangga yang berada di sebelah selatan Indonesia ini setiap tahunnya berusaha menawarkan lembaga pendidikan yang bermutu pada warga negara Indonesia. Bahkan, bukan hanya mutu pendidikan yang ditawarkan, tetapi juga kesempatan kehidupan di lingkungan masyarakat maju di negara mereka bagi orang-orang yang berprestasi tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan.

Di tengah situasi semacam itu, institusi pendidikan tinggi nasional masih berkutat pada masalah-masalah klasik. Sebutlah soal pembiayaan perguruan tinggi, sebuah persoalan riil yang cenderung dijadikan pembenaran atas kemerosotan kualitas pendidikan. Sementara persoalan manajemen perguruan tinggi yang lebih independen, dan daya saing lulusan perguruan tinggi nasional yang menghadapi persaingan tenaga kerja di era global, sepertinya malah tidak pernah dihiraukan.

Hampir tidak ada usaha gigih yang dilakukan kalangan pengelola institusi pendidikan untuk keluar dari kegiatan pendidikan yang cenderung menjadi sebuah rutinitas. Meminjam ungkapan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Abdul Malik Fadjar, proses pendidikan kita sekarang cenderung berjalan menjadi mekanis dan tidak lagi mempunyai semangat pedagogis. Padahal, semangat pedagogis itu sangat dibutuhkan untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.

Selain itu, persoalan hubungan antara tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi warga negaranya di satu sisi, dan tanggung jawab institusi pendidikan tinggi nasional pada kualitas lulusannya di sisi lain, belum memperlihatkan kemajuan yang cukup berarti. Akibatnya, tidak ada kesamaan gerak langkah untuk menyelesaikan persoalan peningkatan mutu pendidikan.

MEMANG, tidak sedikit tantangan yang dihadapi lembaga pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), yang sedang berusaha mengubah paradigma pengelolaan manajemennya; dari sekadar menunggu instruksi menjadi sebuah lembaga yang mandiri dan memiliki inisiatif serta kebebasan untuk berekspresi mengembangkan bidang keilmuan yang dimilikinya dengan kekuatan anggaran yang dipunyainya.

Persoalan ini juga dihadapi oleh PTN yang telah berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Secara hukum, PTN BHMN sudah memiliki kemampuan untuk mandiri dan diperbolehkan melakukan inisiatif bidang keilmuan dan pengelolaan keuangan. Mendiknas dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dalam banyak kesempatan juga menaruh harapan besar kepada PTN dengan status BHMN, terutama agar pengelolaannya dilakukan secara kreatif dan penuh inovatif. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ternyata PTN BHMN harus dihadapkan pada berbagai kendala yang justru datang dari pemerintah.

Rektor Universitas Indonesia (UI) dr Usman Chatib Warsa PhD SpMK melihatnya sebagai ketidakkonsistenan dari aturan pemerintah sendiri. Pelaksanaan aturan yang memuat ketentuan tentang BHMN belum konsisten dengan aturan lainnya yang dianggap masih berlaku. Akibatnya, PTN yang menerapkan model pengelolaan BHMN tidak bisa berbuat banyak. Keluwesan dalam pengelolaan PTN yang diharapkan dari status BHMN masih terkungkung oleh aturan yang berkaitan dengan aspek legal, finansial, dan manajemen sumber daya manusia (SDM).

Page 21: apa tujuan bhp

UI, misalnya, meskipun statusnya sudah BHMN, masih kesulitan dalam mengelola keuangan sendiri. Ada aturan lain yang masih mengikat, seperti keharusan menyerahkan dulu penghasilan yang didapat ke Kantor Kas Negara. Padahal, keuangan dengan status BHMN seharusnya diberikan secara block grant dan dapat mengelola secara mandiri.

Contoh lain, dalam manajemen SDM, UI tidak bisa memperpanjang masa kerja guru besar, padahal kekurangan guru besar saat ini merupakan problem riil yang harus segera diatasi. Usaha untuk menambah guru besar sulit dilakukan karena harus mengikuti aturan pola lama, seperti kriteria pengangkatan guru besar dan dukungan dananya yang masih mengikuti pola lama.

Keinginan PTN yang berstatus BHMN agar ada konsistensi dalam aturan yang dibuat pemerintah sendiri bukanlah keinginan yang berlebihan. Memang, implikasinya tidak hanya Depdiknas yang harus terlibat, tetapi juga departemen pemerintah lainnya juga harus mendukung status BHMN.

Dalam sebuah pertemuan di UI, yang kemudian menghasilkan Kesepakatan Depok, muncul keinginan kuat untuk lahir sebuah Undang-Undang (UU) Perguruan Tinggi BHMN yang bisa dijadikan landasan hukum bagi PTN yang berstatus BHMN saat ini. UU ini diharapkan bisa menjadi sarana untuk mempertemukan peraturan yang selama ini masih saling bertabrakan. Untuk itu, aspek legal yang berkaitan dengan status BHMN dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 dan 61 Tahun 1999, dan PP Nomor 152, 153, 154, dan 155 Tahun 2000, perlu diamandemen. Pasalnya, banyak bagian dari aturan tersebut yang tidak bisa dioperasionalkan.

Sayangnya, PTN yang berstatus BHMN sendiri belum secara konkret menetapkan bagian mana atau pasal-pasal mana saja yang perlu diubah dan belum memiliki usul perubahannya. Empat PTN yang berstatus BHMN-UI, Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB)-ternyata baru sampai tahap merasakan hal-hal yang kurang pas dalam penerapan BHMN selama ini, terutama terkait dengan masalah finansial, SDM, dan aspek legal status hukum BHMN.

Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro mengakui, perguruan tinggi di Indonesia perlu melakukan introspeksi melihat di mana posisinya saat ini berada. Perguruan tinggi juga perlu menyadari bagaimana kondisi mutu dirinya dan lulusannya dalam konteks persaingan global.

"Saya melihat masih banyak yang harus dibenahi untuk memperbaiki mutu pendidikan tinggi. Juga yang terpenting adalah bagaimana cara pengelolaan perguruan tinggi," ujarnya.

Menurut Satryo, pengelolaan perguruan tinggi tidak hanya dilakukan seperti sebuah sekolah, bukan juga sebuah kantor pemerintahan yang sepi dari kegiatan kreatif. Ia adalah institusi yang penuh dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Karena itu, pengelola perguruan tinggi harus memperbaiki dirinya sendiri dan sistem yang dipergunakan untuk mengelola secara profesional. Harus ada kesadaran untuk mengembangkan pola pengelolaan perguruan tinggi yang sebetulnya. Bukan sekadar untuk mencari keuntungan bagi universitas dengan merekrut mahasiswa sebanyak mungkin, tetapi tidak mempedulikan bagaimana kualitas lulusan dan kebutuhan pasar tenaga kerja.

SEPERTI diketahui, ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah akan dimulai awal tahun 2003. Seharusnya, situasi persaingan global semacam ini sudah diantisipasi oleh perguruan tinggi. Permintaan pelayanan jasa pendidikan tidak lagi terbatas pada wilayah lokal, tetapi konstituennya sudah meluas melewati batasan-batasan negara. Munculnya konstituen pendidikan baru yang melewati batas negara ini, disadari atau tidak, telah menciptakan pasar global penyediaan jasa pendidikan dan menjadi tantangan lembaga pendidikan.

Pasar global ini tentu saja melahirkan tuntutan-tuntutan baru pada institusi pendidikan. Salah satu pemicu tuntutan itu adalah pencapaian kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang semakin cepat. Bahkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengikis batas-batas negara dan membantu menciptakan jaringan internasional.

Pasar global jasa pendidikan merupakan kesempatan emas sekaligus tantangan terbesar yang harus dihadapi institusi pendidikan tinggi di masa depan. Pasar ini telah menciptakan persaingan global bagi institusi pendidikan tinggi. Implikasi persaingan global ini bukan saja dihadapi lembaga pendidikan tinggi, tetapi juga lulusan perguruan tinggi tersebut juga harus bersaing ketat. Mereka harus memperebutkan setiap kesempatan kerja yang ada dengan pesaing yang tidak hanya dari negaranya, tetapi juga internasional.

Persoalannya, mampukah institusi pendidikan tinggi kita memenuhi tuntutan pasar global? Mampukah lembaga pendidikan menyediakan layanan yang berkualitas, bisa memberikan nilai tambah pada kalangan bisnis, dan tidak meninggalkan masyarakat setempat. Siap atau tidak, tampaknya lembaga pendidikan harus berhadapan dengan pasar global ini.

Untuk bisa bertahan hidup, institusi pendidikan harus menunjukkan keunggulannya. Apalagi saat ini penyedia jasa pendidikan tidak hanya dilakukan oleh universitas yang sudah diakreditasi. Institusi kursus swasta yang didirikan oleh kalangan industri, sebutlah seperti Microsoft Certification Course, ijazahnya dapat diakui di seluruh dunia.

Page 22: apa tujuan bhp

Kenyataan ini bukan tidak disadari oleh sebagian perguruan tinggi. UI, misalnya, kini sudah mulai dengan mendatangkan eagle dunia bisnis untuk mengajar di kampus. UI juga sudah menggaet industri untuk mendukung kerja sama dengan universitas luar negeri yang bermutu, seperti Havard University dari Amerika Serikat. Kerja sama itu dilakukan dengan menyelenggarakan sebuah mata kuliah yang diajarkan langsung oleh dosen dari Havard University.

Ada banyak jalan dengan beragam kemungkinan yang bisa dipergunakan untuk memperbaiki kualifikasi perguruan tinggi nasional. Bukan saja seperti yang dilakukan UI, tetapi universitas harus kreatif mencari jalannya sendiri. Pasti ada titik temu antara sektor pelatihan dan kebutuhan tenaga kerja dengan universitas yang melahirkan inovasi baru dalam bidang keilmuan.

Persoalannya ke depan adalah bagaimana meyakinkan institusi pendidikan tinggi nasional agar tidak selalu terjebak pada kursi menara gading. Bagaimana mendorong universitas untuk selalu dekat dengan stakeholders-nya sehingga lulusannya pun diterima masyarakat. Bagaimana pemerintah membuat sebuah sistem pendidikan nasional yang bisa mendorong munculnya inovasi baru di berbagai bidang keilmuan, memberikan pemecahan pada berbagai soal yang dihadapi bangsa, dan berbuat sesuatu di forum tingkat internasional.(Imam Prihadiyoko)

Sarapan Pagi Bersama : Darmaningtyas

Jalur Khusus PTN, Kapitalisasi Dunia PendidikanJalur khusus perguruan tinggi negeri (PTN) dengan menjaring calon mahasiswa yang mampu membayar mahal adalah bentuk kapitalisasi dunia pendidikan ungkap pengamat pendidikan Darmaningtyas. Imbalannya di masa depan adalah dampak sosial yang mencemaskan.

"Kalau mau masuk ke fakultas kedokteran saja mesti bayar Rp 100 juta, besok kalau sudah jadi dokter, yang bersangkutan pasti mengeksploitasi pasien biar kembali modal," kritik Darmaningtyas saat dihubungi KCM, Senin (16/6) berkenaan dengan hal tersebut.

Seperti diketahui, selain Institut Teknologi Bandung (ITB), setidaknya tiga universitas negeri yakni Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro dan Universitas Gadjah Mada membuka jalur khusus penerimaan calon mahasiswa bertarif Rp 15 juta hingga Rp 150 juta. Jalur itu sengaja dibuka bagi para lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) yang kemampuan ekonominya di atas rata-rata.

Kenyataan jalur khusus itu, sedikit banyak, memang dipengaruhi oleh status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dikenakan kepada PTN seperti diatur dalam UU Perguruan Tinggi. Salah satu konsekuensinya adalah dengan pengurangan beban pemerintah memberi dukungan dana kepada PTN. Maka, masuk akal kemudian bila kebijakan jalur khusus ditengarai sebagai upaya PTN membiayai kehidupannya.

"Jalur khusus itu contoh kapitalisasi pendidikan," ujar Darmaningtyas seraya memaparkan di Amerika Serikat setiap "state university" tetap dibiayai oleh pemerintah.

Lalu, bertolak dari hal tersebut, ada dua catatan lagi yang ditambahkan Darmaningtyas. Kalau menghitung dari target partisipasi penduduk mengenyam pendidikan tinggi adalah 25 persen dari jumlah tersebut, jalur khusus akan menjadi sandungan pencapaian target tersebut. "Tak mungkin angka 25 persen dari jumlah penduduk tercapai dengan cara itu," ujar Darmaningtyas.

Akhirnya, yang paling parah adalah dampak sosial dari jalur khusus tadi. Mentalitas sarjana akan mengarah pada menurunnya kualitas pendidikan karena sasaran utamanya justru mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. "Dampak sosial kapitalisasi seperti itulah yang bisa terjadi. Makanya, kapitalisasi pendidikan sejak awal harus kita lawan," demikian Darmaningtyas. (prim)  

UPI Belum Siap Menjadi BHMN

Bandung, Kompas - Sejumlah sivitas Universitas Pendidikan Indonesia berpendapat, universitasnya belum siap menjadi badan hukum milik negara. Padahal, UPI sudah ditetapkan sebagai BHMN pada tahun 2004 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004.

"UPI belum mengembangkan usaha-usahanya untuk memenuhi kebutuhan perguruan tinggi. Misalnya, aktivitas penelitian dan konsultasi pendidikan belum dikelola dengan baik dan saling menguntungkan," kata Johan Permana, dosen dan peneliti dari Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), di Bandung, Kamis (19/5).

Selama ini, menurut Johan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terlalu mahal memasang harga untuk

Page 23: apa tujuan bhp

kerja sama penelitian dengan swasta. Akibatnya, pihak swasta langsung menghubungi peneliti tanpa membawa nama lembaga UPI.

Johan juga mengaku, karena keadaan yang belum kondusif, ia melakukan penelitian dengan pihak swasta atas nama pribadi. "Sembunyi-sembunyi itu tidak nyaman. Ini terjadi karena penelitian di UPI belum dikelola dan diatur dengan baik," ujarnya.

Menurut Johan, hal ini harus segera dibenahi sebab pakar dari UPI sudah banyak dan peneliti-penelitinya dipercaya oleh lembaga-lembaga di dalam maupun luar negeri.

Ketidaksiapan juga tampak dari fasilitas kuliah. Andri (21), mahasiswa dari Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), mengatakan, dalam bentuk badan hukum milik negara (BHMN), UPI seharusnya bisa menjaring mahasiswa luar negeri juga. Akan tetapi, dengan fasilitas yang ada, ia tidak yakin UPI bisa melakukannya.

Sebagai gambaran, ruang kuliah di FPIPS sangat kecil dan gelap. "Kalau kuliah gabungan, kami harus duduk berdesakan sampai ke depan meja dosen," kata Andri. Jarak meja dosen dengan papan tulis sekitar satu meter. Dalam kelas yang sumpek dan panas, kegiatan belajar menjadi tidak nyaman.

Tidak memiliki lampu

Gedung Pentagon, tempat kuliah mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, juga kumuh. Ai (21), mahasiswa Pendidikan Bahasa Jepang, mengaku syok saat pertama masuk UPI dan melihat keadaan gedung tempat kuliahnya.

Johan dari FIP mengaku terpaksa menghentikan perkuliahan karena kelas tak memiliki lampu. Akibatnya, jika sore dan hujan, kelas menjadi gelap.

Muhtolib, Kepala Bidang Pendidikan Badan Eksekutif Mahasiswa Gerakan Mahasiswa FPIPS, mengatakan, mereka menolak UPI menjadi BHMN karena khawatir akan terjadi komersialisasi pendidikan.

"Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Jika dikomersialisasi, ada kemungkinan masyarakat bawah tidak bisa mengenyam pendidikan," kata Muhtolib.

Komersialisasi tampak ketika mahasiswa akan menggunakan fasilitas UPI, mereka harus membayar. "Kalau mengadakan acara di Auditorium Pusat Kegiatan Mahasiswa harus bayar Rp 100.000, kalau di ruang bawah Rp 50.000, ruang sidang Rp 50.000," katanya.

Said Hamid Hasan, Pembantu Rektor I Bidang Akademik UPI, mengatakan, siap atau tidaknya UPI sebagai BHMN dinilai oleh Departemen Pendidikan Nasional bukan berdasarkan pandangan individu dan politisi. "Sampai saat ini UPI disebut sebagai BHMN, itu artinya memang sudah layak," katanya.

Said mengatakan, BHMN bukan privatisasi. Pembiayaan tetap berasal dari pemerintah, hanya pihak universitas diringankan bebannya dengan cara dibiarkan lebih mandiri. Oleh karena itu, jika ingin mengembangkan potensi di kampus, tidak perlu melalui birokrasi yang panjang.

Pemerintah berkontribusi memenuhi 90 persen dana yang dibutuhkan perguruan tinggi negeri. Sementara, ujar Said, 10 persen lagi didapat dari sumbangan pengembangan pendidikan (SPP) mahasiswa baru. Namun, universitas bisa meringankan beban pemerintah dengan cara berkreasi menghasilkan dana dari dirinya sendiri.

"Dengan dana dari dirinya sendiri, misalnya dari kerja sama penelitian, beban pemerintah bisa dikurangi dari 90 persen mungkin menjadi 70 persen," kata Said.

Wacana Seputar PTN BHMN Terdistorsi Orientasi BisnisJakarta, Kompas - Wacana tentang pemberian status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada perguruan tinggi negeri (PTN) cenderung terdistorsi pada orientasi bisnis yang mengeliminir sifat nirlaba dari sebuah PTN. Akibatnya, timbul anggapan BHMN menjurus pada penswastaan PTN.Demikian dikemukakan Prof Dr Duad Abdul Hamied, Pembantu Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bidang Kerja Sama, akhir pekan lalu, di Bandung. "Ada kecenderungan wacana BHMN telah membias dari substansi yang sesungguhnya," katanya.

Fuad menilai, gencarnya pembahasan mengenai pem-bentukan divisi bisnis dan masuknya dunia industri di PTN telah menimbulkan kesan bahwa BHMN menjurus pada penswastaan PTN. Mestinya, kata Fuad, wacana BHMN diarahkan pada situasi PTN yang dinamis melalui otoritas keilmuan, otonomi pengelolaan keuangan dan pencarian dana melalui berbagai kegiatan yang efisien dan produktif. "Di sini tatanan

Page 24: apa tujuan bhp

akademik harus menjadi bagian utama," ujarnya.

Fuad tidak menampik anggapan bahwa PTN yang berstatus BHMN perlu ditopang oleh divisi bisnis. Namun, keberadaan divisi bisnis bukanlah tujuan, melainkan hanya faktor pendukung dalam upaya mencari sumber-sumner pembiayaan alternatif. "Ini berarti, pemberian status BHMN tidak serta-merta menghapus kewajiban pemerintah mendanai penyelenggaraan pendidikan tinggi," ujarnya.

Di sisi lain, dia menampik anggapan bahwa status BHMN secara otomatis memberikan beban tambahan bagi mahasiswa dengan kebijakan menaikkan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP). Menurut Fuad, SPP bukanlah satu-satunya sumber dana bagi PTN. Naik atau tidaknya SPP dapat terjadi pada semua PTN, tanpa bergantung pada status biasa atau status BHMN.

Tak ubah kultur

Fuad menegaskan, pada masa awal, PTN yang berstatus BHMN secara obyektif justru butuh limpahan anggaran berlebih dalam rangka memantapkan perangkat kemandiriannya. Dicontohkan, anggaran untuk universitas yang bermodel BHMN di Malaysia justru 80 persen bersumber dari pemerintah.

"Memang PTN harus mandiri, tetapi proses ke arah itu butuh persiapan jangka panjang," paparnya.

Mengutip penjelasan Rektor UPI Prof Dr H Mohammad Fakry Gaffar, Fuad menggarisbawahi, pemberian status BHMN tidak sampai mengubah kultur dan identitas PTN. PTN akan tetap dipertahankan sebagai lembaga ilmiah dan lembaga pendidikan.

Tentang kesiapan UPI sendiri menyongsong era BHMN, Fuad mengungkapkan, sejak Mei 2002 sebuah tim telah dibentuk untuk merumuskan proposal. Untuk mempersiapkan persyaratan yang dibutuhkan, tim tersebut menimba pengalaman dari PTN yang telah lebih dulu bertatus BHMN, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Saat ini, rumusan proposal sudah siap dipresentasikan di hadapan rapat Senat UPI guna memperoleh berbagai masukan," kata Fuad seraya menambahkan, akhir Desember 2002 dokumen kesiapan BHMN UPI itu ditargetkan telah diajukan ke Departemen Pendidikan Nasional. (NAR)

Status BHMN Belum Berdampak pada Peningkatan Mutu Pelayanan Pendidikan

Jakarta, Kompas - Otonomi perguruan tinggi dengan pemberlakuan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang berimplikasi kenaikan biaya kuliah ternyata belum berdampak langsung pada peningkatan pelayanan pendidikan kepada mahasiswa. Sejumlah mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Kamis (26/8), mengungkapkan bahwa kehadiran dosen di ruang kuliah maupun fasilitas penunjang, seperti komputer, internet, dan perpustakaan tidak lebih baik ketimbang sebelum UI berstatus BHMN.

Keluhan itu terungkap dalam diskusi "Evaluasi Lima Tahun Pemberlakuan BHMN" yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, kemarin.

Putri, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI mengemukakan, pimpinan fakultas sejauh ini baru menjanjikan akan meningkatkan fasilitas untuk mahasiswa. Iwan, mahasiswa Fakultas Teknik (FT) UI, mengungkapkan bahwa di fakultasnya sejauh ini baru tersedia empat komputer untuk akses mahasiswa. Itu pun disediakan setelah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi ke fakultas.

"Selama empat tahun UI ditetapkan sebagai BHMN, belum ada perubahan langsung yang dirasakan mahasiswa," kata Iwan.

Rosmalita, mahasiswa FISIP UI mengeluhkan absennya dosen-dosen senior dan doktor yang sedianya mengajar untuk mahasiswa program S1. "Pada umumnya yang mengajar kami adalah dosen-dosen baru dan masih S1," kata Rosmalita.

Deputi Kemahasiswaan UI Erwin Nurdin mengakui bahwa masih banyak kendala yang dihadapi UI sebagai BHMN. Dasar hukum BHMN saat ini masih sangat lemah, sehingga belum dijadikan acuan baik oleh Sekretariat Negara maupun Departemen Keuangan.

Sementara menurut Deputi Kelembagaan UI Tresna Soemardi, perubahan signifikan UI baru dirasakan beberapa tahun mendatang setelah dana dari pemerintah diberikan dalam bentuk block grant, sehingga UI dapat sepenuhnya mengelola keuangannya sendiri. Bila UI dapat sepenuhnya otonom dalam pengelolaan keuangan, ia yakin pada 2010 UI akan menjadi universitas riset dan bukan tidak mungkin biaya yang harus ditanggung mahasiswa akan menurun.

Page 25: apa tujuan bhp

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menyatakan, persoalan BHMN tidak semata-mata persoalan teknis-manajerial, tetapi menyangkut persoalan ideologis. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin pendidikan publik diswastanisasikan. Di negara maju sekalipun, negara yang menanggung sepenuhnya dana perguruan tinggi. Menurut dia, universitas negeri tidak harus dikelola dengan model BHMN, yang penting dikelola secara demokratis, termasuk dalam hal keuangannya. (wis)

Apa Tujuan BHMN?

Oleh Winarso D Widodo

TAYANGAN interaktif salah satu TV swasta menghadirkan Rektor Universitas Gadjah Mada, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, dan-via hubungan telepon-Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi berisi pembahasan mahalnya pendidikan tinggi. Tiga dari empat perguruan tinggi badan hukum milik negara banyak disorot masyarakat dalam hal biaya masuk mahasiswa melalui jalur khususnya

Pemberitaan atau wacana pendidikan berbiaya tinggi terus bergulir. Bila dihitung sejak dimuatnya tulisan Selamat Datang "Pendidikan Mahal" (Kompas, 1/5/2003) yang mendapat tanggapan keras Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Fenomena Inul dan Pendidikan Tinggi (Kompas, 5/5/2003) hingga pekan ketiga Juni, maka berita dan pembahasan tentang "pendidikan mahal" di media sudah berlangsung 1,5 bulan. Arah pemberitaan kian merisaukan karena sudah ada yang menyebut fenomena itu sebagai komersialisasi pendidikan tinggi. Unjuk rasa pun telah dilangsungkan, seperti terjadi di Semarang.

Sementara itu, kalangan penyelenggara pendidikan tinggi, khususnya beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) yang menyelenggarakan jalur khusus penerimaan mahasiswa barunya dengan besaran sumbangan-di luar SPP-yang dinilai mahal, selalu muncul pernyataan pembelaan. Pembelaan itu di antaranya ungkapan pendidikan tinggi yang bermutu memang mahal.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) pun memperkirakan biaya pendidikan tinggi program sarjana yang ideal Rp 18 juta per mahasiswa setahun. Ada pula perkiraan biaya pendidikan sarjana hingga lulus rata-rata Rp 60 juta per mahasiswa. Jadi, sumbangan non-SPP sebesar Rp 5 juta, masih amat murah bukan?

Bahkan, jalur khusus di Institut Teknologi Bandung (ITB) berbiaya Rp 45 juta pun masih belum menutupi biaya pendidikan seseorang mencapai gelar sarjana. Dan mahasiswa jalur khusus yang menyumbang hingga Rp 75 juta, seperti Universitas Indonesia (UI), baru memberi subsidi Rp 15 juta seorang. Jumlah yang amat kecil karena proporsi mahasiswa jalur khusus itu hanya 10–20 persen kapasitas mahasiswa dalam satu angkatan. Jadi, apa masalahnya?

DALAM tayangan interaktif di atas, ada pernyataan Dirjen Dikti yang amat berarti saat ditanya ada tidaknya patokan guna mengendalikan fenomena yang kadung dipersangkakan sebagai komersialisasi pendidikan, yaitu sifat PT yang nirlaba. Sifat nirlaba pun menjadi ketentuan sifat yang diemban empat PT BHMN, seperti tercantum dalam tiap peraturan pemerintah (PP) yang berlaku untuk masing-masing PT BHMN, yaitu PP Nomor 152 hingga 155 Tahun 2000.

Keempat PP Penetapan PT BHMN itu- meski secara tata hukum berkesan aneh, satu PP hanya berlaku untuk satu PTN- jelas mengacu kepada PP yang sama, yaitu PP No 61/1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pada PP No 61/1999 Bab II Sifat dan Tujuan Pasal 2 tertulis, "Perguruan Tinggi merupakan badan hukum milik Negara yang bersifat nirlaba". Yang menjadi persoalan adalah pengertian nirlaba itu sendiri, karena menjadikan PT BHMN sebagai suatu lembaga "jasa" pendidikan yang tidak berorientasi keuntungan.

Keuntungan dalam kerangka bahasan pendidikan mahal berkonotasi finansial. Jadi, PT BHMN tidak boleh komersial. Hitungan itu dengan perumpamaan sumbangan non-SPP hingga Rp 75 juta seorang pun menunjukkan, PT BHMN tidak beruntung secara finansial. Kesan kuat yang ingin diungkapkan beberapa pemimpin PT BHMN adalah jalur khusus itu menjadi sekadar memperingan biaya pendidikan total karena subsidi pemerintah kian berkurang.

Kesan itu seolah diarahkan pada pengertian, otonomi PT membuat sah PT BHMN menghimpun dana masyarakat, terutama keluarga mahasiswa yang kuat ekonominya.

Dasar otonomi yang dikaitkan dengan kebebasan menghimpun dana ini, bila ditinjau dari substansi PP No 61/1999, masih patut dipertanyakan karena bagaimana cara menghimpun dana dari masyarakat dan konsumen PT, yaitu keluarga mahasiswa, tidak jelas tertulis.

Bahkan, cara "memperoleh" mahasiswa baru pun tidak tertulis, kecuali Pasal 19 Ayat (2) tertulis, "Tata cara

Page 26: apa tujuan bhp

pengelolaan keuangan Perguruan Tinggi diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan Perguruan Tinggi dengan memperhatikan efisiensi, otonomi, dan akuntabilitas". Memang ada hak berotonomi finansial, tetapi untuk itu PT BHMN dituntut mengelola secara efisien dan dapat dipertanggungjawabkan.

Tuntutan efisiensi juga diungkapkan Dirjen Dikti dengan mengungkap data bahwa secara rata-rata ada kelebihan pegawai 20-30 persen di kalangan PTN (juga pada PT BHMN).

Mungkinkah inefisiensi dalam pengelolaan SDM internal dapat diperbaiki dengan penambahan mahasiswa melalui jalur khusus-dan pada beberapa PTN-dengan program- program nonreguler bila disinyalir kelebihan pegawainya bukan pada jenis pegawai akademik, tetapi pegawai administrasi?

Ini perlu juga diungkap secara gamblang. Dengan demikian, kalangan umum dan keluarga calon mahasiswa dapat memperoleh pandangan lebih lengkap tentang kondisi pendidikan tinggi dewasa ini.

TUNTUTAN yang lebih penting adalah akuntabilitas yang menghendaki transparansi, keterbukaan PT BHMN dalam mengelola keuangan, terutama pengelolaan dana yang dihimpun dari masyarakat. Ini menjadi penting karena sebenarnya semangat PT BHMN adalah bertumpu pada aspek akuntabilitas dan transparansi yang disemangati prinsip pengelolaan sumber daya yang berasas pengelolaan yang profesional.

Ini merupakan tujuan keempat penyelenggaraan PT BHMN, yang tertulis pada PP No 61/1999 Pasal 3 huruf d, berbunyi, "mencapai keunggulan kompetitif melalui penerapan prinsip pengelolaan sumber daya sesuai dengan asas pengelolaan yang profesional". Pengelolaan finansial yang profesional tentunya harus berpegang pada asas akuntabilitas dan transparansi.

Asas itu amat sesuai dengan tujuan ketiga PT BHMN seperti tertulis pada Pasal 3 huruf c, yang berbunyi, "mendukung pembangunan masyarakat madani yang demokratis dengan berperan sebagai kekuatan moral yang mandiri".

Aspek moral amat dipentingkan sehingga PT BHMN dengan segala potensi dan kemampuannya harus menjadi kekuatan moral dalam membangun masyarakat madani yang demokratis. Sifat demokratis artinya amat memperhatikan suara atau aspirasi masyarakat pengguna PT BHMN, baik sebagai konsumen primer (mahasiswa), konsumen sekunder (keluarga mahasiswa dan masyarakat), maupun konsumen produk PT BHMN (dunia pekerjaan, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa, dan negara).

Tujuan mulia penetapan PTN menjadi PT BHMN menjadi tidak jelas dan kabur entah ke mana ketika dalam suatu tayangan interaktif TV swasta, seorang pemimpin PT BHMN- saat menanggapi pertanyaan pemandu acara tentang desas-desus bahwa ada orangtua calon mahasiswa bersedia menyediakan dana Rp 1 miliar untuk dua anaknya bila diterima di PT BHMN-mengatakan, "Apa salahnya?"

Menanggapi pernyataan itu, penulis berandai-andai, adakah perbedaan dari tawaran orangtua calon mahasiswa dengan seseorang yang mendaftarkan anaknya di suatu SMU, lalu menemui kepala SMU dan mengatakan, "Saya bersedia menyumbang sekian juta rupiah bila anak saya diterima di SMU ini." Mengapa demikian? Karena meski sudah sering diungkapkan bahwa pendidikan tinggi itu mahal (Rp 18 juta/mahasiswa/tahun), belum ada kejelasan penggunaan biaya itu.

Akhirnya, mengutip tulisan Prof Ali Khomsan (Kompas, 19/6/2003) dengan ikut bertanya, PT BHMN Mau ke Mana? Karena beberapa PTN telah mengikuti jejak PT BHMN, menyelenggarakan jalur khusus dalam penerimaan mahasiswa baru.

Winarso D Widodo Dosen Faperta IPB, Anggota Pengurus FOPI

BHMN Putar Otak Mengatur Anggaran

TONY (18), alumnus SMU 91 Jakarta, tercenung di depan loket pendaftaran program prestasi minat mandiri, Gedung Pusat Administrasi Universitas Indonesia, Depok. Maksudnya memang hanya mengantar dua temannya mengikuti jalur khusus UI untuk menjaring mahasiswa baru berkocek tebal itu. Namun, tak urung besarnya sumbangan yang harus dikeluarkan kedua kawannya membuat Tony terperanjat.

"GILA bener, untuk Fakultas Hukum yang paling murah saja harus keluar Rp 25 juta, masih ditambah Rp 7,5 juta per semester untuk SPP-nya," kata Tony. "Enggak nyangka, kuliah di universitas negeri sekarang bisa sampai semahal itu."

Menyadari kemampuan orangtuanya, Tony hanya mendaftar masuk perguruan tinggi negeri melalui jalur seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Dengan mengikuti jalur reguler, ia berharap biaya kuliah yang harus dikeluarkan tidak terlalu besar.

Lain lagi dengan Ibu Ani, sebut saja begitu, yang mengantar putrinya mendaftarkan diri di jurusan Ilmu

Page 27: apa tujuan bhp

Komunikasi. Jika putrinya diterima di jurusan tersebut lewat jalur program prestasi minat mandiri, Ani harus siap merogoh Rp 60 juta.

"Memang sumbangannya mahal, tetapi apa sih yang sekarang enggak mahal?" kata Ani. "Ini peluang kalau anak saya tidak lulus SPMB, yang penting bisa kuliah di sini."

Di tengah pro-kontra yang berkembang, sistem seleksi mahasiswa baru yang akhir-akhir ini dikenal sebagai jalur khusus ini terus berjalan. Berbeda dengan SPMB yang diselenggarakan secara nasional, jalur khusus diselenggarakan perguruan tinggi masing-masing dan mensyaratkan mahasiswanya membayar dengan jumlah tertentu.

Di UI jalur ini dinamai program prestasi dan minat mandiri (PPMM) dengan sumbangan antara Rp 25 juta dan Rp 75 juta. Institut Teknologi Bandung merancang penerimaan mahasiswa lewat penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan sumbangan minimal Rp 45 juta.

Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan ujian masuk tersendiri dengan sumbangan pengembangan mutu akademik (SPMA) minimal Rp 5 juta, sedangkan Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan program mahasiswa utusan daerah (MUD) dengan biaya SPP Rp 9 juta per tahun.

Karena jalur khusus ini, empat perguruan tinggi yang telah berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sejak tahun 2000 menjadi sorotan. Masyarakat mengkritik perubahan keempat perguruan tinggi ini menjadi BHMN hanya memberatkan masyarakat dan meninggikan biaya pendidikan.

Kampus dituding telah meninggalkan misi sosialnya dan berubah menjadi sebuah usaha komersial. Perguruan tinggi menjadi semakin rakus mencari uang dan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab seolah lepas tangan. Itulah kesan di masyarakat yang mungkin tak pernah tahu bahwa gaji dan seluruh tunjangan seorang guru besar dengan golongan tertinggi, IVE, kurang dari Rp 5 juta.

LALU bagaimana kondisi keuangan PT BHMN ini sesungguhnya? Faktanya, setiap pengelola kampus memang harus pandai-pandai memutar otak mendanai kegiatan operasionalnya. Kebutuhan per tahun terus bertambah, sementara bantuan pemerintah dalam bentuk anggaran rutin dan pembangunan hanya mencukupi sekitar 30 persen kebutuhan keseluruhan.

Sebagai contoh, total anggaran IPB untuk tahun ini Rp 252,3 miliar. Pemasukan dari anggaran rutin hanya Rp 56,3 miliar atau 22,32 persen. Dari anggaran pembangunan Rp 36,1 miliar atau 14,32 persen. Sisanya sebesar 63,36 persen atau Rp 159,9 miliar diharapkan dari dana masyarakat berupa SPP maupun dana yang diusahakan oleh IPB.

Rektor IPB Ahmad Ansori Mattjik mengatakan, menjadi BHMN tidak berarti terlepas sama sekali dari negara. Masih ada dana bantuan pemerintah berupa anggaran rutin untuk membayar gaji dosen dan karyawan, serta anggaran pembangunan. Namun, jumlahnya memang terbatas sehingga IPB harus mencari sumber dana lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Dari kebutuhan Rp 159,9 miliar dana masyarakat, komponen yang berasal dari SPP mahasiswa reguler tingkat sarjana besarnya hanya Rp 16,2 miliar. " Dana yang diperoleh dari SPP tersebut jelas sangat kurang bagi upaya meningkatkan kemampuan akademik mahasiswa," kata Mattjik.

Rencana anggaran tahun ini tidak jauh berbeda dengan anggaran IPB sebelum berubah menjadi BHMN. Dengan jumlah tersebut, rata-rata pengeluaran mahasiswa per tahun hanya Rp 10 juta. Angka ini baru separuh nilai ideal kebutuhan mahasiswa yang menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sekitar Rp 18,1 juta setiap tahun. Maka untuk mencapai kondisi ideal tersebut, paling tidak IPB setiap tahunnya membutuhkan dana sebesar Rp 450 miliar.

"Melihat kondisi ini, kami masih kekurangan Rp 200 miliar untuk mencapai kondisi ideal. Namun, bukan berarti dengan kondisi ini kami tidak dapat berjalan," tutur Mattjik.

Untuk memenuhi kebutuhan dana masyarakat di luar SPP, IPB mengintensifkan kerja sama di bidang penelitian. Sekitar 60 persen pendapatan dana masyarakat di luar SPP diperoleh dari penelitian dan kerja sama dengan pemerintah daerah dan industri.

Selain itu, IPB juga memanfaatkan sejumlah aset yang dimiliki untuk memperoleh tambahan dana operasional. Salah satunya, bekerja sama dengan swasta membangun pusat perbelanjaan megah di atas tanah aset IPB di daerah Ekalokasari dengan sistem built-operating-transfer selama 25 tahun. Dari usaha ini IPB mendapat tambahan dana sebesar Rp 1,8 miliar per tahun.

Dana yang dihasilkan dari pemanfaatan aset ini akan digunakan untuk meningkatkan fasilitas pengajaran dan kesejahteraan dosen. Khusus untuk program mahasiswa utusan daerah, menurut Mattjik, kelebihan dana akan digunakan untuk tutorial mahasiswa bersangkutan agar tidak tertinggal dari mahasiswa yang berasal dari program reguler.

Kondisi serupa dialami ITB. Menurut Wakil Rektor ITB Bidang Administrasi Keuangan, Kemitraan, dan

Page 28: apa tujuan bhp

Perencanaan Alibasyah Siregar, besarnya biaya operasional ITB dalam satu tahun Rp 246,5 miliar. Sementara itu, subsidi pemerintah dalam bentuk anggaran rutin dan pembangunan hanya Rp 78 miliar atau 31,64 persen.

Sumber lain diharapkan dari dana masyarakat sebesar Rp 162,25 miliar, antara lain dari SPP yang dibayarkan mahasiswa. Masalahnya, meskipun telah memungut SPP sebesar Rp 3,65 juta per tahun per mahasiswa, sumbangan mahasiswa terhadap pendidikan masih jauh dari kebutuhan ideal.

SPP mahasiswa hanya menutupi sekitar 20 persen dari pengeluaran tahunan setiap mahasiswa, sisanya harus diusahakan dari penerimaan lain. "Saat ini realisasi pengeluaran untuk mahasiswa ITB telah mencapai Rp 15,81 juta per tahun," ungkap Alibasyah. "Semakin mendekati angka Rp 18,1 juta, berarti semakin ideal," tambahnya.

Pemasukan dari penelitian sampai saat ini belum bisa diandalkan. Menjadi perguruan tinggi terkemuka yang mendasarkan diri pada keunggulan rekayasa ternyata tak menjamin besarnya pemasukan dari bidang penelitian. Belum ada regulasi yang mewajibkan perusahaan-perusahaan menyisihkan anggaran untuk riset menyebabkan ITB baru bisa meraih delapan persen dari total anggaran sebagai uang masuk dari riset.

Cara lain memperoleh dana dikembangkan ITB dengan membentuk reksa dana yang merupakan produk jasa keuangan. Masyarakat dapat berinvestasi secara kolektif yang pengelolaannya dilakukan pada instrumen pasar uang dan pasar modal.

Dari jalur khusus PMBP, ITB memperkirakan memperoleh tambahan uang sebesar Rp 10 miliar. Dana itu akan digunakan untuk peningkatan mutu. Di era globalisasi ini, mutu ITB semakin turun karena kemampuan pemerintah rendah dalam pembiayaan. Di antaranya yang akan dinaikkan adalah gaji dosen. "Gaji profesor di sini cuma seperdua belas dibandingkan dengan Malaysia," jelas Alibasyah.

Rektor ITB Kusmayanto Kadiman menambahkan, perubahan yang dilakukan mulai menampakkan hasil karena tahun lalu dosen ITB telah menerima gaji 13 kali dalam setahun. Kesejahteraan dosen akan ditingkatkan terus, dan tahun ini ditargetkan dosen menerima 14 kali gaji dalam setahun.

BAGAIMANA dengan UI? Kampus kuning ini menerima dana dari pemerintah sebesar Rp 110 miliar dalam bentuk anggaran rutin dan Rp 19 miliar anggaran pembangunan. Jumlah ini hanya 31 persen dari kebutuhan UI tahun ini yang mencapai Rp 415 miliar.

Menurut Wakil Rektor UI Bidang Keuangan Darminto, besarnya anggaran UI dibandingkan dengan perguruan tinggi lain karena UI tidak ingin stagnan dengan anggaran yang hanya mencukupi sekadar kebutuhan operasional saja. Anggaran tahun ini naik tajam sebesar 53,7 persen dibandingkan dengan tahun lalu sebesar Rp 270 miliar.

Salah satu aspek yang mendapat perhatian adalah peningkatan kesejahteraan dosen. "Dengan gaji profesor yang berkisar Rp 1,8 juta sampai Rp 2,5 juta, pasti mereka akan mencari pekerjaan di luar," kata Darminto. "Dengan meningkatkan pendapatan dosen, baik dengan mengajar di program nonreguler ataupun melakukan penelitian, kami bisa menahan mereka tetap mengajar di UI," lanjutnya.

Pemasukan terbesar ditargetkan dari dana masyarakat melalui SPP mahasiswa reguler sebesar Rp 29 miliar dan nonreguler sebesar Rp 188 miliar. Pemasukan dari penelitian belum dapat diandalkan karena masih di bawah lima persen dari seluruh anggaran. Keuntungan penelitian hanya diperoleh peneliti dan unit penelitiannya, tidak sampai ke universitas. Sehingga dana UI sebagian besar didapatkan dari dana masyarakat, yaitu orangtua mahasiswa.

Anggaran ini, menurut Darminto, masih lebih kecil dari kebutuhan ideal. Dengan 4.000 mahasiswa dan unit cost sekitar Rp 17,8 juta per mahasiswa per tahun, idealnya anggaran UI sebesar Rp 712 miliar.

Sementara itu di Yogyakarta, Rektor UGM Yogyakarta Sofian Effendi menolak anggapan bahwa UGM termasuk perguruan tinggi negeri yang eksploitatif dan komersial, yang menetapkan SPP tinggi semata-mata untuk mencari uang. Pertimbangan pertama penerimaan mahasiswa baru haruslah semata karena prestasi akademiknya. UGM tetap menyediakan tempat bagi calon mahasiswa yang tidak mampu secara finansial.

Melonjaknya biaya kuliah di UGM terjadi karena rata-rata mahasiswa membayar SPP dan biaya pendidikan lainnya sebesar Rp 1 juta per tahun. Padahal, pengeluaran biaya setiap mahasiswa mencapai Rp 11 juta per tahunnya. Hal ini berarti mahasiswa hanya membayar 9 persen, dan sisanya sebanyak 91 persen merupakan subsidi dari pemerintah maupun subsidi UGM oleh kelompok yang lebih mampu.

Jumlah tersebut juga masih jauh dari kondisi ideal, apalagi dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia dan Jepang. Biaya pendidikan setiap mahasiswa di Malaysia sekitar Rp 153 juta per tahun, sedangkan Jepang sekitar Rp 604,8 juta per tahun. Sedangkan anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi secara nasional saat ini hanya 1,2 persen dari APBN, dengan rata-rata biaya mahasiswa per tahun hanya Rp 6,2 juta.

Page 29: apa tujuan bhp

Tingginya biaya pendidikan tinggi tak terelakkan karena biaya yang disediakan pemerintah masih jauh dari kondisi ideal. Sementara perguruan tinggi memutar otak memenuhi kebutuhan operasional, masyarakat hanya bisa gigit jari karena pendidikan tinggi semakin tak terjangkau. (B10/B14/EDN/HRD/WAS)

PT BHMN dan Potret Buruk PTN Kita

Oleh R Wakhid Akhdinirwanto

EMPAT perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara, yaitu ITB, IPB, UI, dan UGM, sedang berlomba-lomba merekrut mahasiswa lewat berbagai cara sesuai dengan kreativitasnya masing-masing. ITB, misalnya, selain ikut SPMB bersama, juga melakukan penjaringan sekitar 300 hingga 500 calon mahasiswa dengan jalur PMBP dengan materi tes psikotes, bakat skolastik (logika), dan kemampuan bahasa Inggris.

Tidak ketinggalan pula, yaitu persyaratan sumbangan. Konon, di ITB itu, di Depertemen Teknik Fisika, disediakan 10 bangku dengan biaya pendidikan masing-masing 25.000 dollar AS (Kompas, 17/6/2003). Hal yang sama juga terjadi di IPB, UI, dan UGM. Bahkan UGM melakukan penjaringan calon mahasiswa baru swadana jauh hari sebelum UAN dilaksanakan. Materi penjaringan dengan tes tertulis dan formulir kesediaan menyumbang sejumlah uang sesuai dengan kemampuannya.

Sumbangan untuk jurusan "basah", seperti kedokteran, bisa sampai 50 juta rupiah atau lebih. Memang ada sejumlah calon mahasiswa baru swadana ini yang diterima yang tidak memberikan sumbangan alias mengisi nol rupiah, tetapi mereka masih harus berurusan dengan birokrasi kampus untuk diteliti status sosialnya, katagori miskin atau tidak.

Fenomena apa yang sebenarnya sedang terjadi pada perguruan tinggi (PT) Badan Hukum Milik Negara (BHMN)? Apakah memang demikian pelaksanaan PT BHMN? Entahlah! Yang jelas, di saat kondisi serba sulit karena krisis ekonomi yang berkepanjangan, kita justru disuguhi tontonan "mengerikan", yaitu tingginya biaya pendidikan tinggi.

Ini, kan, sama saja pelecehan terhadap masyarakat kelas bawah, yang bisanya hanya melihat dan memimpikan bisa kuliah. Untuk menggapainya jelas tidak mungkin, sebab untuk bertahan hidup saja sulit, apalagi menyekolahkan anak di perguruan tinggi dengan biaya selangit itu, jelas tidak mungkin. Sebaliknya, pihak PT BHMN, paling tidak untuk UGM, memberi alasan bahwa pungutan yang semakin membengkak kepada mahasiswa baru digunakan untuk meningkatkan kualitas lulusan dan pemerataan akses (Kompas, 23/6/2003).

Menurut konsep aslinya PT BHMN itu implementasi dari otonomi kampus. Melalui otonomi dalam bidang akademis, administrasi, dan pengelolaan kehidupan kampus lainnya, diharapkan terjadi efisiensi besar-besaran baik dari segi birokrasi maupun pendanaannya. Pada tataran wacana, otonomi kampus perguruan tinggi negeri (PTN) akan bersifat nonbirokratis, bisa menentukan anggarannya sendiri, memiliki sifat kewirausahaan (entrepreneurship) yang kuat, luwes dalam penyusunan kurikulum, dan sebagainya. Konsekuensi dari ini semua adalah subsidi pemerintah kepada perguruan tinggi yang bersangkutan dikurangi atau bahkan dihapuskan sama sekali.

Semula kita berharap PTN menggunakan kreativitas masing-masing untuk mengelola kehidupannya. Misalnya, dengan membangun universitas riset sebagai salah satu ciri khas perguruan tinggi. Dari riset itu bisa ditemukan sesuatu yang kemudian dijual dengan harga tinggi untuk mendapatkan dana. Tetapi, pada kenyataannya universitas riset tidak pernah terealisasi, bahkan dimulai saja belum.

Yang terjadi justru menciptakan berbagai program baru guna menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan uang, entah itu lewat jalur SPMB maupun lewat jalur yang lebih menjanjikan secara finansial, seperti ekstensi, nonreguler, mahasiswa swadana untuk S1; S2 reguler dan eksekutif; dan berbagai program S3, termasuk dari MM sekalipun. Itu belum cukup, masih ada program D1, D2, dan D3 dengan segala fasilitasnya yang kesemuanya dibuka guna mendapatkan uang sebanyak-banyaknya.

Karena harus mencari uang sebanyak-banyaknya, maka PT BHMN berperan sebagai kapal pukat harimau (pinjam istilah Heru Nugroho) yang jaringnya sekali angkat mendapat ikan paus, tongkol, tengiri, kepiting, ikan kecil-kecil, bahkan telur-telur ikan yang belum menetas sekalipun harus ditangkapnya.

Karena merasa belum cukup mendapatkan uang dari mahasiswa baru, ada kabar bahwa sejumlah PT BHMN mendirikan berbagai usaha waralaba seperti pusat perbelanjaan/mal, pompa bensin, asrama mahasiswa untuk mereka yang berkantong tebal, sampai outlet-outlet semacam McDonald’s, KFC, CFC, dan tidak ketinggalan pula outlet telepon seluler. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan uang demi biaya operasional yang harus ditanggung sendiri.

KONDISI perguruan tinggi BHMN yang demikian itu sesungguhnya menunjukkan kebingungan perguruan

Page 30: apa tujuan bhp

tinggi dalam mengimplementasikan otonomi kampus. Akibatnya, PT BHMN menjadi semakin tidak ramah terhadap masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi lemah.

Kelompok ini telah berkurang kesempatannya karena adanya penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus seperti PMBP di ITB dan mahasiswa mandiri/swadana di UGM, yang memang sengaja dibuka karena motif uang. Beruntung kalau mereka bisa kuliah melalui jalur SPMB lantas mendapat beasiswa. Tetapi, lagi-lagi mereka hanya bisa menyaksikan pembagian beasiswa, sebab jatuhnya beasiswa juga di tangan mahasiswa dari kelompok lapisan mampu karena merekalah yang lebih atraktif dan profitabel dalam mendapatkan beasiswa.

Kesan lain yang muncul, PT BHMN menjadi semacam industri yang didirikan oleh konglomerat-konglomerat kampus yang menguasai teori-teori dan praktik bisnis sekaligus. Sehingga benar apa yang dikatakan Francis Wahono, Ariel Heryanto, dan penulis buku The Accelerated Learning Handbook, Dave Meier, yang mengatakan bahwa pendidikan telah mengalami kapitalisasi, industrialisasi, dan fabrikasi. PT BHMN ini sengaja membuka usaha waralaba dengan dalih mempraktikkan ilmu yang diajarkan dalam perkuliahan. Hanya saja yang dihasilkan bukan barang-barang komoditas melainkan sumber daya manusia (SDM) yang panennya perlu waktu bertahun-tahun.

Celakanya, cara-cara mencari uang gaya PT BHMN ini menjadi kiblat PTN lain yang belum manjadi BHMN. Cara-cara ala PT BHMN itu kemudian ditiru begitu saja oleh PTN lainnya. Mereka juga membuka berbagai program untuk mengeruk keuntungan finansial. Sampai-sampai pihak PTN kerepotan menyusun jadwal karena begitu padatnya acara perkuliahan. Demikian pula para dosennya, mereka melakukan kuliah dari ruang yang satu ke ruang yang lain, dari mahasiswa yang satu ke mahasiswa yang lain, setiap hari sampai tidak ada waktu untuk melakukan pengembangan diri melalui penelitian dan pengabdian masyarakat.

Itu belum cukup. Saat ini ada sejumlah jurusan di PTN yang bekerja sama dengan pemodal untuk mendapatkan keuntungan finansial melalui pinjaman berbunga dalam skala besar layaknya bank. Menyedihkan memang! Tetapi itulah yang terjadi, yang sekarang ini sedang ngetren bagi PTN kita dalam mendapatkan uang. Alasan PTN-PTN itu sama, yakni untuk mendapatkan biaya operasional pendidikan kalau suatu saat yang bersangkutan harus lepas subsidi dari pemerintah dan berubah jadi PT BHMN.

Kondisi PT BHMN dan PTN dalam memperoleh dana seperti tersebut tadi sesungguhnya menunjukkan kebingungan mereka dalam mengimplementasikan konsep otonomi kampus. Seharusnya mereka bisa mencari dana lewat berbagai cara sesuai kemampuan masing-masing yang sekaligus menunjukkan ciri khas pendidikan tinggi; tak hanya melalui mahasiswa baru saja. Misalnya, melalui penelitian, kerja sama dengan perusahaan/industri-industri besar, dan sebagainya.

Melalui penelitian, misalnya, tidak harus dengan peralatan mewah dan canggih. Darwin hanya menggunakan mata dan catatan dan Einstein hanya menggunakan buku catatan (Kompas, 20/9/2000). Namun, Darwin berhasil merumuskan Teori Evolusi dan Einstein berhasil menemukan Teori Relativitas. Memang Darwin dan Einstein tak sebanding dengan kita, mereka itu jenius. Tetapi paling tidak kita bisa mengoptimalkan otak kita untuk penelitian.

Sayangnya kita tidak sadar dalam hal cara sehingga tidak memikirkan secara serius. Mengapa? Sebab budaya meneliti belum tumbuh subur di perguruan tinggi sehingga penelitian bagi kebanyakan dosen kita merupakan hal yang sulit dilakukan. Kalaupun ada sejumlah penelitian dosen, sebagian besar hanya kulakan sana sini lantas diubah seperlunya atau bisa juga penelitian daur ulang. Hanya diubah beberapa variabelnya lantas diajukan dan diterima.

Tujuannya untuk apa lagi kalau bukan untuk kepentingan pribadi peneliti, seperti untuk kenaikan pangkat dan mendapatkan dana segar dari sponsor. Perkara penelitian itu berkualitas atau tidak itu urusan lain. Apalagi bermanfaat bagi masyarakat.

Cara lain PTN mencari dana, yaitu lewat kerja sama dengan perusahaan atau pabrik juga mengalami kendala. Kendalanya adalah enggannya perusahaan membuka diri untuk bekerja sama dengan PT. Itulah sebabnya, mengapa PTN tidak tertarik mencari dana dari penelitian, kerja sama dengan perusahaan, dan sebagainya.

Itu semua menunjukkan ketidaksiapan PTN-PTN dalam alih status menjadi PT BHMN, sekaligus menunjukkan potret buruk PTN kita.

R Wakhid Akhdinirwanto Dosen Universitas Muhammadiyah, Malang

Jalan Lurus PT-BHMN

Sofian Effendi

Page 31: apa tujuan bhp

PEMBERITAAN di media cetak dan elektronik beberapa waktu lalu tentang sistem seleksi calon mahasiswa bukan saja membingungkan masyarakat, tetapi juga mendistorsi opini publik.

Editorial koran nasional (Media Indonesia, 26/6) bahkan telah menabalkan sistem seleksi mahasiswa itu, yang oleh kalangan media dinamakan "jalur khusus", sebagai "jalur sesat". Penamaan secara apriori kian membingungkan. Sayang, peringatan tokoh pers Jakob Oetama, pada pidato promosi Dr Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada, 17 April 2003, bahwa tugas pers bukan semata-mata "memenuhi kebutuhan khalayak ramai tentang fakta, tetapi harus mampu memberi makna atas fakta itu tampaknya belum dihayati insan pers.

Jalan sesat adalah istilah yang banyak digunakan penyebar agama tauhid. Umat dan calon umat selalu diajarkan, agar masuk surga mereka harus ada di jalan benar, jalan tauhid. Bila menyeleweng atau goyang ketauhidan seseorang, dia menyimpang menuju jalan sesat.

Sebelum memberi cap sistem seleksi khusus pada PT-BHMN sebagai jalan sesat, mungkin perlu diketahui jalan lurus bidang pendidikan. Menurut saya, paling tidak ada dua arah jalan lurus. Pertama, kewajiban perguruan tinggi menyediakan pendidikan bermutu tinggi, tidak saja dalam penguasaan iptek, tetapi juga dalam kualitas moral dan budi pekerti luhur. Kedua, kewajiban perguruan tinggi menjadi tiang penyangga keadilan dalam pelaksanaan salah satu hak asasi manusia (HAM) warga negara memperoleh pendidikan tersier yang bermutu.

Terobosan manajemen

Belajar dari kegagalan negara lain dalam reformasi pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia, melalui PP No 61 Tahun 1999, menurut saya, telah melakukan terobosan manajemen cukup berani. Terobosan manajemen itu dilakukan dengan menyapih PTN, yang selama ini merupakan instansi pemerintah, menjadi suatu independent administrative entity yang ditabalkan dengan nama Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Secara administratif badan itu adalah badan milik pemerintah yang bersifat nirlaba. Dia diberi kemandirian dalam mengelola urusan akademik, keuangan, dan kepegawaian. Semua kebebasan ini diberikan agar PT-BHMN tidak terikat berbagai kekakuan peraturan birokrasi pemerintah, khususnya dalam bidang keuangan dan kepegawaian

Selama hampir 60 tahun, kinerja PTN terkendala berbagai aturan ketat yang diterapkan pada instansi pemerintah. Akibatnya, cukup fatal. Lembaga pendidikan nasional tidak mampu melaksanakan misinya dengan baik dan tertinggal jauh dari PT negara tetangga dalam mutu akademik dan memberikan akses yang adil bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Bahwa PT Indonesia belum mampu menyediakan pendidikan tinggi bermutu, ditunjukkan Survei PT yang diselenggarakan majalah Asiaweek. Tahun 2000, PT papan atas Indonesia (UI dan UGM), hanya mampu menduduki posisi 61 dan 68 dari 77 PT yang ikut disurvei. UGM, hanya menduduki rangking 43 dalam kualitas akademik, rangking 77 dalam kualitas dosen, rangking 69 dalam kualitas penelitian, rangking 73 dalam sumber keuangan, 76 dalam publikasi ilmiah, dan 71 dalam fasilitas teknologi informasi. UNDIP dan UNAIR lebih rendah.

Keadilan akses

Kemampuan perguruan tinggi dalam menyediakan akses secara adil bagi golongan tidak mampu juga tidak terbukti. Persepsi masyarakat, pendidikan tinggi murah yang disubsidi besar-besaran oleh pemerintah lebih mampu menciptakan pemerataan dan keadilan, seumur-umur tidak pernah tercapai.

Penulis sudah mengamati keadilan akses golongan berpenghasilan rendah pada pelayanan pendidikan, kesehatan, dan public utilities sejak 1969 (Prisma, 1969). Dalam pendidikan, hanya pada pendidikan dasar sudah ada tanda-tanda pemerataan. Namun, semakin tinggi jenjang pendidikan, subsidi pemerintah cenderung lelbih dinikmati golongan mampu.

Tren ini tidak berubah sampai sekarang. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 menunjukkan, pada tingkat nasional, akses golongan berpendapatan rendah terhadap pendidikan tinggi hanya 3,2 persen, sedangkan golongan berpendapatan tinggi mencapai 30,6 persen. Di DIY akses golongan pertama hampir dua kali lipat, 6,9 persen. Tetapi, akses golongan berpenghasilan tinggi juga meningkat lebih dua kali lipat, menjadi 76,7 persen. Dengan kata lain, pada tingkat nasional kesenjangan akses pendidikan tinggi cukup lebar, Jumlah anak-anak dari golongan berpenghasilan tinggi yang menikmati pendidikan tinggi bersubsidi hampir sepuluh kali lipat dari anak-anak golongan berpenghasilan rendah. Di DIY, keadilan akses menjadi bertambah rendah karena jumlah anak-anak dari golongan berpenghasilan tinggi yang menikmati subsidi pendidikan tinggi mencapai hampir 13 kali jumlah anak-anak golongan berpenghasilan rendah.

Sebaliknya, melalui UM- UGM, yang sama sekali bukan "jalur khusus" seperti persepsi masyarakat dan sebagian media, terbukti lebih mampu menciptakan keadilan akses di UGM. Akses golongan tidak mampu mencapai 9,5 persen dan akses golongan mampu hanya mencapai 26,1 persen. Dengan kata lain, kesenjangan di UGM turun drastis menjadi 2,7 kali. Menurut pendapat saya ini adalah peningkatan akses

Page 32: apa tujuan bhp

dan keadilan amat signifikan, dan sesuai dengan semangat kerakyatan UGM.

Prioritas politik rendah

Mau tidak mau kita akan teringat hipotesis Francis Fukuyama, dalam buku Trust. Bangsa Indonesia, kata Fukuyama, adalah bangsa yang rendah kepercayaan kepada sesamanya. Karena itu bangsa Indonesia sukar maju. Ingar-bingar opini publik sekitar sistem penerimaan calon mahasiswa baru yang dilakukan PT-BHMN, cenderung mendukung kebenaran hipotesis ekonom AS keturunan Jepang itu.

Landasan hukum pemberian kemandirian kepada empat PTN dengan mentransformasi mereka menjadi PT-BHMN sudah jelas, yakni Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Bab VII.C.3. Undang-undang itu jelas mencantumkan, salah satu sasaran Program Pendidikan Tinggi adalah "mewujudkan otonomi pengelolaan empat perguruan tinggi, yaitu Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada.

Selain itu, ada dua sasaran pokok Program Pendidikan Tinggi, yaitu meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi mencapai 15 persen dari jumlah penduduk usia 19-24 tahun, dan meningkatkan jumlah lulusan yang terserap oleh pasar kerja.

Aaron Vildavsky, negara warga AS ahli kebijakan keuangan, pernah menulis "prioritas politik suatu pemerintah dapat dilihat dari alokasi anggarannya". Apa kualitas dan akses pendidikan tinggi merupakan prioritas politik Pemerintah Reformasi yang sedang memegang tampuk kekuasaan saat ini? Tampaknya tidak.

Paling tidak bila diukur dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan bukan saja kecil, jauh di bawah pengeluaran negara tetangga seperti Malaysia, tetapi yang lebih mengejutkan, pengeluaran itu semakin lama semakin turun.

Pada tahun 1980 pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hanya 1,2 persen dari PDB, 1990 turun menjadi 1,0, dan 2000 turun lagi menjadi hanya 0,80 persen.

Sedangkan di negara jiran, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan hampir lima kali lebih besar, 5,2 pada 1980, naik menjadi 5,6 pada 1990 dan naik lagi menjadi 5,8 pada 2000.

Tampaknya, Pemerintah Dato’ Seri Dr Mahathir Muhammad memberi prioritas besar pada pencerdasan anak bangsanya.

Sementara itu, Pemerintah Indonesia, sepertinya belum memberi prioritas tinggi pada bidang pendidikan.

Jangan-jangan polemik berkepanjangan tentang sistem penerimaan mahasiswa baru adalah gejala low trust, termasuk pada PT-BHMN yang sedang melaju di jalan lurus. Tetapi, itu kan hipotesis Fukuyama.

Sofian Effendi Pengamat Pendidikan Tinggi, tinggal di Yogyakarta

BHMN, Bagian dari Proses Demokrasi Pendidikan di PTN * Lima Wakil Rektor UI Dilantik

Depok, Kompas - Perubahan pengelolaan perguruan tinggi negeri (PTN) dari paradigma birokrasi menuju paradigma profesional merupakan bagian dari proses demokrasi di lingkungan pendidikan. Tidak heran kalau dalam konsep PTN yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seluruh stakeholders pendidikan bisa berperan dalam menentukan masa depan suatu lembaga milik negara.Rektor Universitas Indonesia (UI) dr Usman Chatib Warsa SpMK PhD mengemukakan hal ini ketika melantik lima Wakil Rektor UI di Kampus UI Depok, Jumat (11/10). Mereka yang dilantik adalah Dr Ir Sutanto Soehodo Meng (Wakil Rektor I Bidang Akademik), Darminto SE MBA (Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan Sumber Daya Manusia), Drs Arie Susilo Setiabudi Msi (Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni), Edie Toet Hendratno SH MSi (Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama dan Fasilitas), dan Prof Dr Martani Huseini (Wakil Rektor V Bidang Pengembangan Universitas).

"Dunia ini berubah dari hal yang lama menuju demokratisasi. Artinya, dalam proses demokrasi itu masyarakat bisa berperan dalam menentukan masa depannya sendiri. Dalam lingkungan pendidikan, masyarakat juga ikut berperan dalam menentukan masa depan lembaga pendidikan seperti di UI," ujarnya.

Menurut Usman, unsur-unsur yang terlibat dalam Majelis Wali Amanat (MWA) merupakan wujud dari demokratisasi. Selama ini, unsur mahasiswa, masyarakat, dan karyawan-yang kini ada dalam MWA-tidak pernah dilibatkan dalam menentukan masa depan UI. Melalui model pengelolaan BHMN, kini unsur masyarakat memiliki wadah untuk terlibat dalam pengembangan pendidikan.

Tetap ada subsidi

Page 33: apa tujuan bhp

Menurut Usman, pemerintah menjanjikan bahwa subsidi bagi PTN yang sudah berstatus BHMN tidak akan hilang. Dari segi jumlah dana yang diberikan, jumlahnya minimal sama dengan yang diterima saat ini.

"Tidak ada keinginan pemerintah untuk mengurangi jumlah subsidi. Sebab, yang kita kerjakan di sini merupakan kewajiban pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia bangsa ini," kata Usman.

Masalahnya, subsidi yang diberikan pemerintah itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional UI. Konsekuensinya, dengan aturan yang benar, universitas hendaknya diberikan kebebasan untuk mencari uang sendiri, misalnya dengan mendirikan ventura, membuka dana abadi, ataupun usaha lain yang diperbolehkan sesuai aturan yang ada.

Untuk itulah, demikian Usman Chatib, empat PTN BHMN saat ini membutuhkan surat keputusan (SK) bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Dengan SK bersama itu, PTN BHMN diharapkan bisa lebih leluasa mengelola keuangannya sendiri.

Dengan begitu, PTN BHMN bisa mempergunakan dana yang dihasilkannya untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Tentu saja penggunaan dana tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.

"Kami berharap, walaupun belum ada undang-undangnya, namun bisa diberikan kekecualian pada empat PTN BHMN untuk melaksanakan ketentuan BHMN yang diinginkan. Payung hukumnya bisa saja dengan landasan surat keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Kewajiban pemerintah

Usman menilai, pola PTN berstatus BHMN sebetulnya mendekati model pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hanya saja, jika BUMN lebih leluasa lagi dalam mengelola modal keuangan yang ada untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, PTN BHMN hanya diberi modal awal sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana yang sudah dimiliki.

"Saat ini tidak ada modal awal berupa uang cash yang diberikan pemerintah untuk PTN BHMN," ujarnya.

Kalaupun nantinya PTN berstatus BHMN sudah mampu berjalan sendiri, menurut Usman, pemerintah tetap mempunyai kewajiban untuk memberikan subsidi pada PTN. Paling tidak, sepertiga anggaran PTN BHMN itu berasal dari pemerintah. Adapun dua pertiga anggaran sisanya akan didapat dari berbagai usaha yang dilakukan PTN BHMN dan dukungan dari masyarakat. (MAM)

www.kompas.com