BAB I (Autosaved)

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1Tujuan Percobaan Untuk mengetahui kadar Fe(II) yang terkandung dalam sampel dengan menggunakan metode titrasi oksidimetri. 1.2Dasar Teori 1.2.1 Titrasi Titrasi adalah proses penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi yang diketahui dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah contoh tertentu yang akan di analisis. Contoh yang akan di analisis dirujuk sebagai zat yang tidak diketahui (uknown). Titrasi didasarkan pada suatu reaksi yang digambarkan sebagai : aA + tT → hasil reaksi dimana : a adalah molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi T. Pelaksanaan pengukuran volume ini dilakukan dengan jalan titrasi yaitu proses dimana larutan baku (dalam bentuk larutan yang diketahui konsentrasinya) ditambahkan sedikit demi sedikit dari buret pada larutan yang ditentukan atau yang dititrasi sampai

description

BAB I

Transcript of BAB I (Autosaved)

Page 1: BAB I (Autosaved)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan

Untuk mengetahui kadar Fe(II) yang terkandung dalam sampel dengan

menggunakan metode titrasi oksidimetri.

1.2 Dasar Teori

1.2.1 Titrasi

Titrasi adalah proses penentuan banyaknya suatu larutan dengan konsentrasi

yang diketahui dan diperlukan untuk bereaksi secara lengkap dengan sejumlah

contoh tertentu yang akan di analisis. Contoh yang akan di analisis dirujuk

sebagai zat yang tidak diketahui (uknown). Titrasi didasarkan pada suatu reaksi

yang digambarkan sebagai :

aA + tT → hasil reaksi

dimana : a adalah molekul analit A bereaksi dengan t molekul pereaksi T.

Pelaksanaan pengukuran volume ini dilakukan dengan jalan titrasi yaitu

proses dimana larutan baku (dalam bentuk larutan yang diketahui

konsentrasinya) ditambahkan sedikit demi sedikit dari buret pada larutan yang

ditentukan atau yang dititrasi sampai keduanya bereaksi sempurna dan mencapai

jumlah mol ekuivalen larutan baku sama dengan mol ekuivalen larutan yang

dititrasi, dimana titik titrasi ini dinamakan titik ekuivalen.

Untuk mengetahui kesempurnaan berlangsungnya reaksi antara larutan baku

dan larutan yang dititrasi digunakan suatu zat kimia yang dikenal sebagai

indikator, yang dapat membantu dalam menentukan kapan penambahan titran

harus dihentikan. Bila reaksi antara analit dan titran telah berlangsung sempurna,

maka indikator harus memberikan perubahan visual yang jelas pada larutan

(misalnya dengan adanya perubahan warna atau pembentukan endapan). Saat

Page 2: BAB I (Autosaved)

indikator memberikan perubahan disebut titik akhir titrasi. Titik ekuivalen

terkadang tidak sama dengan titik akhir titrasi, namun titik ekuivalen biasanya

mendekati titik akhir titrasi.

1.2.2 Persyaratan untuk Reaksi yang Dipergunakan dalam Analisis Titrimetrik.

Sejauh ini, relatif sedikit reaksi kimia yang dapat dipergunakan sebagai basis

untuk titrasi. Sebuah reaksi harus memenuhi beberapa persyaratan sebelum

reaksi tersebut dapat dipergunakan :

1. Reaksi tersebut harus diproses sesuai persamaan kimiawi tertentu.

Seharusnya tidak ada reaksi sampingan.

2. Reaksi tersebut harus diproses sampai benar-benar selesai pada titik

ekuivalensi. Cara lain untuk mengatakannya adalah bahwa konstanta

kesetimbangan dari reaksi tersebut haruslah amat besar. Jika persyaratan

ini dipenuhi, akan terjadi perubahan yang besar dalam konsentrasi analit

(atau titran) pada titik ekuivalensi.

3. Harus tersedia beberapa metode untuk menentukan kapan titik ekuivalen

tercapai. Harus tersedia beberapa indikator atau metode instrumental agar

analis dapat mengentikan penambahan dari titran.

4. Diharapkan reaksi tersebut berjalan cepat, sehingga titrasi dapat

diselesaikan dalam beberapa menit. (Day & Underwood, 2002).

Penggunaan indikator warna untuk menunjukkan titik akhir titrasi harus

tergantung pada senyawa yang akan ditentukan konsentrasinya. Setelah proses

titrasi selesai, maka perhitungannya menggunakan rumus :

V1 x N1 = V2 x N2

Dimaana, V1 = Volume larutan titrit

N1 = Normalitas larutan titrit

V2 = Volume larutan titran

N2 = Normalitas larutan titran

Page 3: BAB I (Autosaved)

Sebagai contoh suatu reaksi yang cocok untuk titrasi, penentuan konsentrasi

dari larutan asam klorida melalui titrasi dengan natrium hidroksida standar.

Hanya ada satu reaksi,

H3O+ + OH- → 2H2O Kw = 1 x 10-14

Dan reaksi ini berjalan cepat. Reaksi ini berlangsung samapi benar-benar selesai.

Pada titik ekuivalen pH larutan berubah beberapa bagian untuk beberapa tetes

titran, dan tersedia sejumlah indikator yang bereaksi pada perubahan pH ini

dengan berubah warna.

Dengan kata lain, reaksi antara asam borat dan natrium hidroksida,

HBO2 + OH- → BO2- + H2O K = 6 x 104

Tidak cukup sempurna untuk memenuhi persyaratan 2; konstanta kesetimbagan

hanya sekitar 6 x 104. Untuk alasan ini, perubahan pH untuk beberapa tetes titran

pada titik ekuivalen sangat kecil, dan isi titran yang dibutuhkan tidak dapat

ditentukan dengan akurasi yang tinggi.

Reaksi antara etil alkohol dengan asam asetat juga tidak cocok untuk titrasi,

karena sangat lambat untuk kenyamanan dan tidak berjalan baik sampai selesai.

Reaksi antara timah (II) dengan kalium permanganat tidak memuaskan jika

udara tidak dihilangkan. Reaksi sampingan dapat terjadi karena timah telah

teroksidasi dahulu dengan oksigen dalam atmosfer. Pengendapan dari ion metal

tertentu oleh ion sulfida memenuhi persyaratan di atas terkecuali nomor 3;

karena tidak tersedia indikator yang cocok . (Day & Underwood, 2002).

Istilah-istilah penting dalam titrasi :

1. Titik ekuivalen : keadaan dimana mol ekuivalen (grek) titran sama

dengan mol ekuivalen (grek) titrat secara stokiometri.

2. Titik akhir titrasi : saat dimana titrasi harus dihentikan yang ditandai

dengan adanya perubahan warna.

3. Normalitas : banyaknya gram ekiuvalen zat terlarut dalam 1 L

larutan.

4. Molaritas : jumlah mol zat terlarut dalam setiap 1 L larutan.

Page 4: BAB I (Autosaved)

1.2.3 Standarisasi Larutan

Proses dimana konsentrasi suatu larutan ditetapkan dengan tepat, dikenal

sebagai standarisasi. Suatu larutan standar dapat disiapkan dengan menguraikan

suatu sampel dari zat terlarut yang diinginkan dan menimbang secara akurat

dalam suatu larutan yang volumenya diukur secara akurat. Tetapi pada umumnya

metode ini tidak dapat diterapkan karena relatif sedikit reagensia kimia yang

diperoleh dalam bentuk yang cukup murni unuk memenuhi kebutuhan analis

dalam hal keakuratan. (Day & Underwood, 2002).

Apabila titran tidak cukup murni maka perlu distandarisasi dengan standar

primer. Standar yang tidak termasuk standar primer dikelompokkan sebagai

standar sekunder. Contohnya : NaOH, karena NaOH tidak cukup murni

(mengandung air, natrium karbonat dan logam-logam tertentu) untuk digunakan

sebagai larutan standar secara langsung, oleh karena itu perlu distandarisasi

dengan asam yang merupakan standar primer, misal Asam Oksalat (H2C2O4).

1.2.3.1 Persyaratan Standar Primer

Reaksi antara titran dengan substansi yang terpilih sebagai standar primer

harus memenuhi sejumlah persyaratan untuk analisis titrimetrik. Di samping itu,

standar primer harus mempunyai karakteristik sebagai berikut :

1. Kemurnian tinggi

2. Stabil terhadap udara

3. Harus mudah dikeringkan dan tidak terlalu higroskopis

4. Bukan termasuk kelompok hidrat

5. Berat ekuivalen yang cukup tinggi

6. Tersedia dengan mudah

7. Cukup mudah larut

1.2.3.2 Larutan Standar yang Ideal untuk Titrasi

1. Cukup stabil sehingga penentuan konsentrasi cukup dilakukan sekali

2. Bereaksi cepat dengan analit sehingga waktu titrasi dapat dipersingkat

Page 5: BAB I (Autosaved)

3. Bereaksi sempurna dnegan analit sehingga titik akhir yang memuaskan

dapat dicapai

4. Melangsungkan reaksi selektif dengan analit

1.2.4 Metode Titrasi

Macam-macam metode titrasi adalah :

a. Titrasi Asam - Basa (Asidi – Alkalimetri)

Reaksi dasar dalam titrasi asidi alkalimetri adalah reaksi netralisasi /

penetralan yaitu reaksi asam-basa yang dapat dinyatakan dalam persamaan

reaksi sebagai berikut :

H2O + OH- → H2O

Larutan asam dengan titar tertentu yang diperlukan untuk menentukan

suatu larutan basa, yang kadar atau titarnya dicari disebut sebagai asidimetri,

sedangkan penitaran sebaliknya, asam dengan basa yang titarnya diketahui

disebut alkalimetri.

Beberapa indikator titrasi asam – basa (Day & Underwood, 2002)

INDIKATOR PERUBAHAN

WARNA

RENTANG pH

Timol Biru Merah – Kuning 1,2 – 2,8

Metil Kuning Merah – Kuning 2,9 – 4,0

Bromofenol Biru Kuning – Biru 3,0 – 4,6

Metil Orange Merah – Kuning 3,1 – 4,4

Bromokresol Hijau Kuning – Biru 3,8 – 5,4

Metil Merah Merah – Kuning 4,2 – 6,2

Bromtimol Biru Kuning – Biru 6,0 – 7,6

Fenolftalein Tidak berwarna –

Merah

8,0 – 9,6

Page 6: BAB I (Autosaved)

b. Titrasi Oksidimetri (Redoks)

Titrasi oksidimetri (redoks) adalah titrasi yang dasarnya melibatkan

reaksi oksidasi dan reduksi antara titran dan analit. Reaksi ini melibatkan

transfer elektron. Istilah oksidasi mengacu pada kehilangan satu atau lebih

elekton oleh suatu molekul atom, sedangkan reduksi adalah perolehan

elektron.

Reaksi kimia yang melibatkan oksidasi – reduksi dipergunakan secara

luas dalam analisisi titrimetrik. Sebagai contoh, besi dengan tingkat oksidasi

+ 2 dapat dititrasi dengan sebuah larutan standar dari serium (IV) sulfat :

Fe2+ + Ce4+ → Fe3+ + Ce3+

Untuk pengoksidasi lainnya yang sering dipergunakan sebagai titran

adalah kalium permanganat, KMnO4. Reaksinya dengan besi (II) dalam

larutan asam adalah :

5Fe2+ + MnO4- + 8H+ → 5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O

c. Titrasi Pengendapan (Argentometri)

Dasar titrasi ini adalah reaksi-reaksi yang menghasilkan endapan

yang sukar larut termasuk didalam golongan argentometri (titrasi dengan

AgNO3) yaitu titrasi yang berdasarkan pada pengendapan ion klorida,

idodida atau bromida dengan AgNO3 yang konsentrasinya telah

diketahui.

NaCl + AgNO3 → AgCl + NaNO3

Titrasi ini dibagi menjadi tiga metode yaitu :

a) Metode Mohr : titik ekuivalen data diamati dengan penambahan

indikator K2Cr2O7 yang dengan kelebihan AgNO3 akan membentuk

endapan perak kromat berwarna kemerah-merahan Ag2Cr2O7.

AgNO3 + K2Cr2O7 → Ag2Cr2O7 + 2KNO3

Page 7: BAB I (Autosaved)

Titrasi Mohr terbatas pada larutan-larutan dengan nilai pH

sekitar 6 sampai dengan 10. Dalam larutan-larutan yang lebih alkalin

perak oksida ( AgOH ) akan mengendap, sedangkan dalam larutan-

larutan asam Ag2Cr2O4 akan larut dalam asam.

b) Metode Volhard : Metode ini didasari oleh pengendapan dari perak

tiosianat dalam larutan asam nitrit, dengan ion besi (III)

dipergunakan untuk mendeteksi kelebihan ion thiosianat :

Ag+ + SCN- → AgSCN(s)

Fe3+ + SCN- → FeSCN2+(merah)

Ion Fe3+ dengan kelebihan rhodanida (CNS) akan menghasilkan

warna merah yang berasal dari kompleks besi yaitu Fe(CNS)6.

Larutan harus diasamkan dengan HNO3 untuk menghindari hidrolisis

dari indikator ion-besi(III), dan titrasi pada suhu biasa. Pada akhir

titrasi harus dikocok kuat-kuat karena mungkin ion Ag+ yang di

adsorbsi oleh endapan tidak larut dalam reaksi. Kesalahan lain yang

mungkin terjadi disebabkan reaksi :

AgCl + NH4CNS → AgSCN + NH4Cl

Yang terjadi karena harga Ksp AgCl dan AgSCN masing-masing :

[Ag+] [Cl-] = 2 x 10-10

[Ag+] [SCN-] = 1,5 x 10-12

Oleh karena AgSCN kurang dapat larut dibandingkan dengan

AgCl, reaksi ini cenderung untuk bergeser dari kiri ke kanan dan akan

menyebabkan hasil-hasil yang rendah dalam analisis klorida. Hal ini

dapat dicegah dengan menyaring penuh AgCl atau menambahkan

nitrobenzena sebelum titrasi dengan tiosianat.

c) Metode Fajans : pemanfaatan peristiwa adsorbsi ion-ion yang

sejenis. Bila ada ion Cl dalam suatu medium yang mengandung

endapan AgCl, maka ion Cl- akan diadsorbsi oleh AgCl. Setelah

Page 8: BAB I (Autosaved)

tercapai fluorensein akan membentuk larutan berwarna kehijau-

hijauan.

d. Titrasi Kompleksometri

Titrasi kompleksometri adalah suatu titrasi berdasarkan reaksi

pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan zat

pembentuk kompleks (ligan) (Day & Underwood, 2002). Dasar

penentuan titrasi ini melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau

ion kompleks yang larut namun sedikit terdisosiasi.

Jenis kompleks yang paling banyak digunakan adalah EDTA (Etilen

Diamine Tetra Asetat) dalam bentuk garam dinatriumnya. Indikator

yang digunakan dalam titrasi ini antara lain EBT (Eriochrome Black

Tea) dengan Kalsium, Magnesium atau kation lain yang membentuk

kompleks berwarna merah tua (merah Anggur) sedangkan warna

indikatornya sendiri adalah biru tua.

1.2.5 Titrasi Oksidemetri

Titrasi oksidimetri ini menggunakan reaksi oksidasi-reduksi sebagai

dasarnya. Ada tiga metode yang dikenal dalam cara ini, yaitu Titrasi

Permanganometri, Titrasi Dikromatometri, dan Titrasi Iodometri/Iodimetri.

a. Titrasi Permanganometri

Permanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan

kalium permanganat yang merupakan oksidator kuat sebagai

titran.titrasi ini dadasarkan atas titrasi okidasi reduksi atau redoks.

Kalium permanganat terlah digunakan sebagai pengoksidasi selama

lebih dari 100 tahun. Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak

mahal, dan tidak membutuhkan indikator terkecuali untuk larutan yang

sangat encer. Permanganat berekasi secara beraneka, karena mangan

Page 9: BAB I (Autosaved)

dapat memiliki keadaan oksidasi +2, +3, +4, +6, dan +7 (Day &

Underwood, 2002).

Dalam suasana asam atau [H+] ≥ 0,1 N, ion permanganat mengalami

reduksi menjadi ion mangan (II) sesuai reaksi :

MnO4- + 8H+ + 5e → Mn2+ + 4H2O E°=1,51 volt

Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi

mangan dioksida seperti reaksi berikut :

MnO4- + 4H+ + 3e → MnO2 + 2H2O E° = 1,70 volt

Dalam suasan basa atau [OH-] ≥ 0,1 N, ion permanganat akan

mengalami reduksi sebagai berikut :

MnO4- + e → MnO42- E°= 0,56 volt

(Svehla, 1995)

Asam sulfat adalah asam yang paling sesuai, karena tidak bereaksi

terhadap permanganat dalam larutan encer. Dengan asam klorida, ada

kemungkinan terjadi reaksi :

2MnO4- + 10Cl- + 16H+ → 2Mn2+ + 5Cl2 + 8H2O

dan sedikit permanganat dapat dipakai dalam pembentukan klor. Reaksi

ini terutama berkemungkinan akan terjadi dengan garam-garam besi,

kecuali jika tindakan-tindakan pencegahan yang khusus diambil.

Dengan asam bebas yang sedikit berlebih, larutan yang sangat encer,

temperatur yang rendah, dan titrasi yang lambat sambil mengocok terus

menerus, bahaya dari penyebab ini telah dikurangi sampai minimal.

Pereaksi kalium permangat bukan merupakan larutan baku primer dan

karenanya perlu dibakukan terlebih dahulu. Pada percobaan ini untuk

membakukan kalium permanganat dapat digunakan natrium oksalat

yang merupakan standar primer yang baik untuk permanganat dalam

larutan asam (Basset, 1994).

Page 10: BAB I (Autosaved)

Untuk pengasaman sebaiknya dipakai asam sulfat, karena asam ini

tidak menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai asam

klorida dapat terjadi kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi

gas klor dan reaksi ini mengakibatkan dipakainya larutan permanganat

dalam jumlah yang berlebih. Kalium permanganat adalah oksidator

kuat, oleh karena itu jika berada dalam HCl akan mengoksidasi ion Cl-

yang menyebabkan terbentuknya gas klor dan kestabilan ion ini juga

terbatas. (Svehla, 1995)

b. Titrasi Dikromatometri

Titrasi dikromatometri adalah titrasi redoks yang menggunakan

senyawa dikromat sebagai oksidator. Senyawa dikromat merupakan

oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari permanganat. Penggunaan utama

dikromatometri adalah untuk penentuan besi (II) dalam asam klorida.

Larutan baku kalium dikromat lebih stabil dari KMnO4. Persamaan

pengasaman dapat dilakukan dengan H2SO4, HClO4, HCl

Cr2O72- + 14H+ + 6e → 2Cr3+ + 7H2O

c. Titrasi Iodometri/Iodimetri

Titrasi dengan iodium ada dua macam yaitu iodimetri (secara

langsung), dan iodometri (secara tidak langsung). Iodin mempunyai

potensial standar sebesar +0,54V. karena itu iodin adalah sebuah agen

pengoksidasi yang jauh lebih rendah daripada kalium permanganat dan

kalium dikromat.

Dalam proses analitis, iodin dipergunakan sebagai agen

pengoksidasi (iodimetri), dan iodida dipergunakan sebagi sebuah agen

pereduksi (iodometri). Hanya sedikit substansi yang cukup kuat sebagai

unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin. Karena itu jumlah

penentuan iodimetrik cenderung sedikit. Akan tetapi, banyak agen

pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara lengkap dengan

iodida dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Kelebihan dari

Page 11: BAB I (Autosaved)

ion iodida ditambahkan ke dalam agen pengoksidasi yang sedang

ditentukan, dengan membebaskan iodin yang kemudian dititrasi dengan

larutan natrium thiosulfat. Reaksi antara iodin dengan thiosulfat

berlangsung sempurna.

Iodin hanya sedikit larut dalam air (0,00134 mol/liter pada 25°C),

namun cukup banyak larut dalam larutan yang mengandung ion iodida.

Larutan standar iodin dapat dibuat melalui penimbangan langsung iodin

murni dan pengenceran dalam labu volumetrik. Iodin akandimurnikan

oleh sublimasi dan ditambahkan ke dalam sebuah larutan KI pekat yang

ditimbang secara akurat baik sebelum atau sesudah penambahan iodin.

Namun demikian, biasanya larutan tersebut distandarisasi terhadap

suatu standar primer, As2O3 yang paling sering dipergunakan.

HAsO2 + I2 + 2H2O → H3AsO4 + 2H+ + 2I-

Larutan standar yang dipergunakan dalam kebanyak proses

iodometrik adalah natrium thiosulfat. Garam ini tersedia sebagai

penghidrat, Na2S2O3 . 5H2O, dan larutannya distandarisasi terhadap

suatu standar primer. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil dalam

jangka waktu yang lama. Iodin murni merupakan standar yang paling

nyata, namun jarang dipergunakan dikarenakan kesulitannya dalam

penanganan dan penimbangan yang lebih sering dipergunakan adalah

standar dari agen pengoksidasi kuat yang akan membebaskan iodin dari

iodida, suatu proses iodometri. (Day & Underwood, 2002).

1.2.6 Reaksi Redoks

Reaksi redoks dapat digunakan untuk mengetahui jumlah elektron yang

terlibat dalam suatu reaksi. Jumlah inilah yang menentukan valensi dari suatu

senyawa. Secara umum ada tiga hal yang harus dilakukan dalam penyetaraan

reaksi redoks, antara lain :

Page 12: BAB I (Autosaved)

1. ∑ atom sejenis rumus kiri = ∑ atom sejenis ruas kanan

2. ∑ muatan reaksi kiri = ∑ muatan reaksi kanan

3. ∑ elektron reaksi oksida = ∑elektron reaksi reduks

Jika ketiga hasil tersebut sudah dipenuhi, maka persamaan reaksi tersebut

dapat diuraikan melalui dua prosedur yang biasa digunakan untuk menyetarakan

persamaan rekasi reduksi, yaitu :

a. Aturan bilangan oksidasi

b. Aturan setengah sel

Pada reaksi redoks, komponen-komponen yang terlibat mengalami

perubahan bilangan oksidasi (Biloks). Pada reaksi redoks terjadi 2 reaksi yaitu :

a. Reaksi oksidasi yaitu :

Reaksi kenaikan bilangan oksidasi

Reaksi pelepasan elektron

Reaksi pengikatan oksigen

b. Reaksi reduksi yaitu :

Reaksi penurunan bilangan oksidasi

Reaksi pengikatan elektron

Reaksi pelepasan oksigen

Adapun zat yang mengalami reduksi adalah oksidator (zat yang meyebabkan

zat lain mengalami oksidasi) sedangkan zat yang mengalami oksidasi disebut

reduktor (zat yang menyebabkan zat lain mengalami reduksi).

Valensi oksidator adalah banyaknya penurunan bilangan oksidasi atom pusat

oleh satu molekul dan banyaknya pengikatan elektron oleh satu molekul

oksidator. Sedangkan valensi reduktor adalah banyaknya kenaikan bilangan

oksidasi atom pusat oleh satu molekul dan banyaknya pelepasan elektron oleh

satu molekul reduktor.

Bilangan oksidasi adalah muatan formal atom dalam suatu molekul atau

dalam ion yang dialokasikan sedemikian sehingga atom yang

keelektronegatifannya lebih rendah mempunyai muatan positif. Bilangan

Page 13: BAB I (Autosaved)

oksidasi memudahkan dalam menghitung valensi dan dalam menangani reaksi

redoks.

1.2.7 Penentuan Valensi

a. Aturan cara bilangan oksidasi

Dalam reaksi redoks hanya beberapa unsur yang mengalami oksidasi-

reduksi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui spesi-spesi yang

mengalami perubahan biloks sebelum persamaan redoks tersebut disetarakan.

Beberapa aturan dalam penentuan bilangan oksidasi :

Bilangan oksidasi senyawa atau ion sama dengan muatannya.

Bilangan oksidasi semua unsur adalah 0

Bilangan oksidasi atom atau gugus atom sama dengan total bilangan oksidasi

atom penyusunnya.

Bilangan oksidasi dari H adalah + 1, kecuali pada hidrida logam (-1).

Bilangan oksidasi O2 adalah -2, kecuali pada peroksida (-1).

Bilangan oksidasi logam selalu sama dengan muatan ion yang dapat

dibentuk. (Purba, 2004)

Tahap-tahap cara bilangan oksidasi adalah :

1. Tuliskan bilangan oksidasi unsur-unsur yang mengalami perubahan

bilangan oksidasi diatas lambangnya.

Biloks Mn dalam MnO4- :

MnO4−

+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-1

+2+7

Mn + 4(Biloks.O) = -1

Mn + 4(-2) = -1

Mn + (-8) = -1

Mn = -1+ 8

Mn = +7

Page 14: BAB I (Autosaved)

Biloks Mn dalam Mn+2 = + 2 (Biloks sama dengan muatannya)

2. Memasangkan zat pengoksidasi dengan produknya dan zat pereduksi

dengan produknya.

3. Menyetarakan koefisien unsur yang mengalami perubahan bilangan oksidasi

4. Menghitung pertambahan dan penurunan bilangan oksidasi masing-masing

unsur.

5. Menuliskan jumlah ē yang terlibat

Jadi valensi MnO4- yang terlibat dibagi dengan koefisiennya = 5 x 1 = 5

b. Aturan setengah sel

Menurut cara ini redoks dipecah menjadi dua buah reaksi. Setengah reaksi

oksidasi dan setengah reduksi. Suatu setengah reaksi menyatakan dari jumlah

reaksi. Tahap-tahap setengah reaksi :

MnO4−

+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-1

+2+7

X2MnO4

− + Cl-→ Mn2+ + Cl20-1

+2+7

-2

+5

MnO4−

+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-2

+2+7

-2e-

+5e-

MnO4−

+ Cl-→ Mn2+ + Cl20-2

+2+7

Page 15: BAB I (Autosaved)

Cr2O72- + 14 H+ + 2S2O3

2- → 2Cr3+ + 7H2O + S4O62-

Tuliskan dua buah setengah reaksi yang belum setara, satu untuk spesies

yang dioksidasi dan hasilnya setara satu untuk spesies yang direduksi dengan

hasilnya.

R = Cr2O72- → Cr3+

O = S2O32- → S4O6

2-

1. Menyetarakan jumlah atom unsur-unsur diruas kiri dan kanan (kecuali H dan

O)

R = Cr2O72- → 2Cr3+

O = 2S2O32- → S4O6

2-

2. Menyetarakan atom oksigen dan hidrogen. Untuk larutan asam atom O

disetarakan dengan menambahkan H2O ruas yang kekurangan O dan atom H

disetarakan dengan menambahkan ion H+ pada ruas kekurangan yang

kekurangan atom H. Jika larutan basa, diasamkan terlebih dahulu.

R = Cr2O72- + 14 H+ + 6 ē → 2Cr3+ + 7H2O

O = 2S2O32- → S4O6

2- + 2 ē

3. Menyatakan jumlah muatan listrik dengan menambahkan ē pada ruas yang

mewakili jumlah muatan yang lebih besar.

R = Cr2O72- + 14 H+ + 6 ē → 2Cr3+ + 7H2O

O = 2S2O32- → S4O6

2- + 2 ē

4. Menentukan valensi zat yang diinginkan. Misalnya Cr2O72- mempunyai

valensi ∑ muatan dibagi dengan koefisien Cr2O72- = 6/1 = 6 dan S2O3

2-

mempunyai valensi = 2/2 = 1

Page 16: BAB I (Autosaved)

1.2.8 Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum

1. Kalium Permanganat

Kalium permanganat adalah oksidator kuat yang telah banyak digunakan

sebagai agen pengoksidasi selama lebih dari 100 tahun. Reagen ini dapat

diperoleh dengan mudah, tidak mahal, dan tidak membutuhkan indikator

terkecuali untuk larutan yang amat encer. Satu tetes permanganat 0,1 N dapat

memberikan warna merah muda yang jelas pada volume dari larutan yang biasa

dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini digunakan untuk mengidentifikasi

kelebihan reagen tersebut. Kelemahannya adalah medium HCl. Cl- dapat

teroksidasi, demikian juga larutannya, memiliki kestabilan yang terbatas. Reaksi

yang paling umum ditemukan dalam laboratorium pengantar adalah reaksi yang

terjadi dalam larutan yang bersifat asam 0,1 N atau lebih besar.

MnO4- + 8H+ + 5e ? Mn2+ + 4H2O     E° = +1,51 V

Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi menurut

reaksi diatas, namun beberapa zat memerlukan pemanasan atau katalis untuk

mempercepat reaksi. Sebagai contoh, permanganat merupakan zat pengoksidasi

yang cukup kuat untuk mengoksidasi Mn(II) menjadi MnO2, titik akhir

permanganat tidak permanen dan warnanya dapat hilang karena reaksi :

3Mn2+ +2MnO4- + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+

Ungu Tidak berwarna

Reaksi ini berjalan lambat dalam keadaan asam, tapi cepat dalam keadaan

netral. Sedikit kelebihan yang ada pada titik akhir suatu titrasi telah cukup untuk

menimbulkan pengendapan sejumlah MnO2. Mengingat reaksinya yang berjalan

lambat, MnO2 tidak diendapkan secara normal pada titik akhir titrasi

permanganat. Valensi dari kalium permanganat adalah 5.

Page 17: BAB I (Autosaved)

2. Asam Sulfat

Asam yang digunakan adalah asam sulfat encer, karena tidak bersifat

oksidator, sehingga tidak bereaksi dengan zat yang ditentukan dan juga tidak

beroksidasi oleh kalium permanganat. Bila menggunakan asam klorida sebagai

pengasam, sebagian klorida akan ikut teroksidasi klor dan pemakaian kalium

akan menjadi berlebihan. Valensi dari asam sulfat adalah 2.

3. Besi

Endapan besi dalam biji besi merupakan salah satu endapan yang penting

dari titrasi permanganat. Bijih besi yang utama adalah oksida atau oksida

terhidrasi : homofit Fe2O3 ; magnetik Fe3O4; geofit Fe2O3 . H2O dan limonit

2Fe2O3 . 7H2O, karbonat FeCO3 dan sulfida FeS2. Asam terbaik untuk

melarutkan bijih-bijih besi ini adalah asam klorida. Oksida terhidrasi mudah

melarut, sedangkan magnetik dan homofit melarut dengan agak lambat.

Penambahan timah (II) klorida membantu dalam melarutkan oksida tak terhidrasi

ini. Residu silika yang tetap tinggal setelah sampel dipanaskan dengan asam,

dapat menahan sejumlah besi. Silika itu dapat dileleh dengan natrium karbonat

dan kemudian diolah dengan asam klorida untuk memulihkan besinya. Valensi

dari FeSO4 adalah 1.

4. Asam Oksalat

Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4 dengan

nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa

digambarkan dengan rumus HCOOH-COOH. Merupakan asam organik yang

relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal

sebagai oksalat, juga agen pereduktor. Banyak ion logam yang membentuk

endapan tak larut dengan asam oksalat, contoh terbaik adalah kalsium oksalat

(CaCOOC-COO), penyusun utama jenis batu ginjal yang sering ditemukan.

Valensi dari asam oksalat adalah 2.

Page 18: BAB I (Autosaved)

1.2.9 Pembuktian Rumus

Grek Oksidator = Grek Reduktor

Grek KMnO4 = Grek H2C2O4

N KMnO4 . V KMnO4 = N H2C2O4 . V H2C2O4

N KMnO4 . V KMnO4 = M H2C2O4 . Valensi . V H2C2O4

N KMnO4 . V KMnO4 =Massa H 2C2O 4

Mr .V H 2C2O4awal . Valensi . VH2C2O4

N KMnO4 . V KMnO4 = Massa H2C2O4 . V H 2C2O4

V H 2C2O4awal . ValensiBM

N KMnO4 . V KMnO4 = Massa H2C2O4 . 1Fp.

1BEH 2C2O4

N KMnO4 = Massa H 2C2O 4

V KMnO4 . Fp .BEH 2C2O4

Kadar Fe (II)

Grek Oksidator = Grek Reduktor

Grek KMnO4 = Grek FeSO4 . 7 H2O

N KMnO4 . V KMnO4 = n Fe . Valensi

N KMnO4 . V KMnO4 =MassaFeAr

. Valensi

Massa Fe = N KMnO4 . V KMnO4 . Mr

Valensi

Massa Fe = N KMnO4 . V KMnO4 . BEFe

% Berat = MassaFe

MassaFeSO4 .7H2O x 100%

= N KMnO 4 .V KMnO4 .BEFeMassaFeSO4 .7H 2O

x 100

Jika volume yang digunakan dalam satuan ml, maka satuan massa yang

digunakan adalah mili gram (mg).

Page 19: BAB I (Autosaved)

BAB II

METODOLOGI

2.1 Alat yang digunakan

1. Erlenmeyer 250 ml

2. Buret

3. Neraca digital

4. Gelas kimia 100 ml

5. Labu ukur 100 ml

6. Spatula

7. Kaca arloji

8. Hot plate

9. Pipet volume 10 ml

10. Statif dan klem

11. Botol semprot

12. Magnetik stirrer

2.2. Bahan yang digunakan

1. Sampel (FeSO4 . 7H2O)

2. Larutan KmnO4 0.1 N

3. Larutan H2S2O4

4. Hablur asam oksalat

5. Aquadest

Page 20: BAB I (Autosaved)

2.3 Prosedur Kerja

2.3.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat

1. Mengambil hablur asam oksalat dengan menggunakan spatula.

2. Menimbang dengan teliti ± 500 mg hablur asam oksalat dengan neraca

digital.

3. Membilas dengan air suling ke dalam labu ukur 100 ml, melarutkan dan

mengimpitkan hingga tanda batas.

4. Memipet larutan dari labu ukur sebanyak 10 ml dan memasukannya ke

dalam Erlenmeyer 250 ml. menambahkan 25 ml larutan H2SO4 dan

mengencerkan hingga 100 ml.

5. Memanaskan larutan hingga 70°C dan menitrasi dengan KMnO4 0,1 N

(dalam keadaan panas) hingga terjadi perubahan warna dari tidak

berwarna hingga menjadi merah muda.

6. Melakukan penetapan secara triplo.

2.3.2 Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel

1. Memanaskan aquadest didalam Erlenmeyer diatas hot plate kemudian

mendinginkannya kembali.

2. Mengambil sampel besi sulfat menggunakan spatula kemudian

menimbang dengan neraca digital ±500 mg sampel besi sulfat.

3. Melarutkan sampel ke dalam Erlenmeyer 250 ml dengan aquadest yang

telah dididihkan terlebih dahulu dan didinginkan kembali.

4. Kemudian menambahkan 25 ml H2SO4 dengan pipet volume dan menitar

dengan KMnO4 dengan buret hingga terjadi perubahan warna menjadi

merah muda

5. Menghitung kadar Fe(II) dalam sampel.

Page 21: BAB I (Autosaved)

2.4 Diagram Alir

2.4.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat

Menimbang ± 500 mg hablur H2C2O4, membilas dengan air suling ke dalam

labu ukur 100 ml, melarutkan dan mengimpitkan hingga tanda batas

2.1 Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel.

Memipet 10 ml larutan H2C2O4, memasukan ke dalam Erlenmeyer 250 ml, menambahkan 25 H2SO4 4N dan mengencerkan hingga 100 ml

Memanaskan larutan hingga 70°C kemudian menitrasi dengan KMnO4 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda.

MMelakukan penetapan secara triplo

Menimbang ± 500 mg sampel besi sulfat, melarutkan kedalam erlenmeyer dengan aquadest yang telah dipanaskan lalu didinginkan kembali.

Menambahkan 25 ml H2SO4 4N kemudian menitar dengan KMNO4 0,1 N hingga berubah warna menjadi merah muda

Page 22: BAB I (Autosaved)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Pengamatan

3.1.1 Standarisasi Larutan KMnO4 Dengan Bahan Baku Asam Oksalat

No

Volume

H2C2O4

Massa

H2C2O4

Volume

H2SO4 4 N

Volume

H2C2O4

untuk

titrasi

Volume

KMnO4

Volume

KmnO4

(rata-

rata)

fp

1

100 mL 527,6 mg 25 mL 10 mL

10,1 mL

10, 1 mL 102 10,2 mL

3 10 mL

3.1.2 Penentuan Kadar Fe (II)

NoMassa FeSO4 . 7H2O

(mg)

Volume KMnO4

(mL)

Perubahan

Warna

1 500,3 22,4Bening menjadi

merah muda

3.2 Data Hasil Perhitungan

Normalitas KMnO4 Kadar Fe(II)

0,083 N 20,78 %

Menghitung kadar Fe(II) dalam sampel

Page 23: BAB I (Autosaved)

3.1 Pembahasan Hasil

Pada praktikum ini yang bertujuan untuk menentukan kadar Fe(II) dalam

sampel dengan menggunakan metode titrasi oksidimetri. Sebelum menentukan

kadar Fe(II) dalam sampel hal pertama yang dilakukan adalah menstandarisasi

larutan KMnO4. Kalium permanganat ini yang nantinya akan digunakan untuk

menentukan kadar Fe(II) dalam sampel.

Langkah awal dalam standarisasi KMnO4 adalah menimbang ± 500 mg asam

oksalat yang kemudian ditambahkan dengan 25 mL H2S2O4 4N. Larutan asam

sulfat digunakan karena asam sulfat bukan merupakan oksidator kuat dan tidak

ikut beroksidasi dengan KMnO4. Selanjutnya larutan asam oksalat dan asam

sulfat dititrasi dengan KMnO4. Titrasi dilakukan dengan pemanasan agar reaksi

berlangsung cepat. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari bening

menjadi merah muda. Titrasi dilakukan secara triplo dan didapat volume rata-

rata sebesar 10,1 mL dengan Normalitas KMnO4 yang didapat yaitu 0,083 N.

Langkah selanjutnya adalah penentuan kadar Fe(II) dalam sampel besi sulfat.

Sampel besi sulfat digunakan sebesar ± 500 mg yang dilarutkan dengan

menggunakan aquadest yang telah dipanaskan lalu didinginkan kembali.

Tujuannya adalah untuk menghilangkan ion-ion pengotor yang terdapat dalam

sampel. Kemudian larutan ditambahkan dengan H2S2O4 lalu dititrasi dengan

KMnO4 sampai terjadi perubahan warna dari kuning bening menjadi merah

muda. Volume titrasi yang didapatkan adalah 22,4 ml dan kadar Fe(II) yang

didapatkan sebesar 20,87%. Kadar Fe(II) yang diperoleh berbeda dari kadar Fe

secara teoritis yaitu 20,14%. Hal ini dikarenakan sampel FeSO4 . 7H2O yang

terurai di udara sehingga mengakibatkan kandungan H2O dalam sampel

berkurang hingga membuat kadar semakin bertambah.

Page 24: BAB I (Autosaved)

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Normalitas KMnO4 adalah sebesar 0,083 N.

2. Kadar Fe(II) dalam sampel sebesar 20,78% (praktek).

3. Kadar Fe(II) dalam sampel sebesar 20,14% (teoritis).

4. Hasil praktikum tidak sesuai dengan teoritis karena sampel FeSO4 . 7H2O

yang terurai di udara, sehingga mengakibatkan kandungan H2O dalam

sampel berkurang dan membuat kadar semakin bertambah.

Page 25: BAB I (Autosaved)

DAFTAR PUSTAKA

Bassett, J, dkk. 1994. Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik Edisi Keempat.

Jakarta : Buku Kedokteran EGC

Day, R.A. dan A.L. Underwood. 2002. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keenam.

Jakarta : Erlangga.

Purba,Michael. 2006. Kimia untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga

Svehla, G. 1979. Vogel Analisis Anorganik Kualitatif Edisi Kelima. Jakarta : Kalman

Media Pusaka.

Page 26: BAB I (Autosaved)

LAMPIRA

N

Page 27: BAB I (Autosaved)

PERHITUNGAN

Standarisasi KMnO4

N KMnO4 = mgH 2C2O4

fp xV KMnO4 x63

= 527,6mg

10x 10,1x 63

= 0,083 N

Penentuan Kadar Fe(II) Dalam Sampel

Kadar Fe (II) praktek = V KMnO4 x N KM nO4 x 56

mgFeSO4 .7H 2Ox 100 %

= 22,4mL x 0,0823N x 56

500,3mgx 100 %

= 20,78 %

Kadar Fe(II) secara teoritis = Ar Fe

MrFeSO 4 .7H 2Ox100 %

= 56

278x100 %

=20,14 %

Page 28: BAB I (Autosaved)

GAMBAR ALAT

Neraca Digital Buret Erlenmeyer Kaca Arloji

Spatula Pipet Ukur Hot Plate

Page 29: BAB I (Autosaved)

Bulp Labu Ukur