BAB 4 PEMBAHASAN.docx

30
BAB IV PEMBAHASAN Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual, memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium falsiparum. Setelah sel parenkim hati terinfeksi terbentuk sizont hati yang apabila pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke dalam sirkulasi darah. Setelah berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Reseptor untuk P. falsiparum diduga suatu glycophorins. Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk ring, pada P. falsiparum menjadi bentuk stereo-headphones yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin 29

description

pembahasan

Transcript of BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Page 1: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

BAB IV

PEMBAHASAN

Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina

menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh

darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju hati dan

sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah

perkembangan aseksual, memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium

falsiparum. Setelah sel parenkim hati terinfeksi terbentuk sizont hati yang apabila

pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke dalam sirkulasi darah. Setelah

berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk

melalui reseptor permukaan eritrosit. Reseptor untuk P. falsiparum diduga suatu

glycophorins. Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk

ring, pada P. falsiparum menjadi bentuk stereo-headphones yang mengandung

kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan

hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen hemozoin. Ertrosit

yang berparasit menjadi lebih elastik dan pada P. falsiparum dinding eritrosit

membentuk tonjolan yang disebut knob, penting dalam proses cytoadherence dan

rosetting (1).

Pada hasil laboratorium pasien, ditemukan trofozoit (+1). Pada P.

falciparum, trofozoit biasanya jarang terlihat pada apusan darah perifer. Pada

perhitungan secara semi-kuantitatif, ring ditemukan (+3), artinya terdapat 1-10

parasit dalam 1 lapang pandang besar (LPB). Ring P. falciparum memiliki

sitoplasma yang halus, serta 1 atau 2 titik kromatin yang kecil (5).

29

Page 2: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Gambar 4.1. Perbedaan bentuk ring dan trofozoit pada 4 spesies

Plasmodium

Gambar 4.2. Gambaran mikroskopik apusan darah Malaria

falsiparum.

30

ring

Page 3: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Pemeriksaan miksroskopik darah tepi untuk menemukan parasit malaria

sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Tetesan preparat darah tebal

merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah

cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Tetesan darah tipis digunakan

untuk identifikasi jenis plasmodium (1).

Pemeriksaan darah tepi merupakan gold standar pada diagnosis malaria,

sehingga penting untuk mengetahui pembuatan apusan darah tebal dan tipis.

Pembuatan apusan darah tipis dan tebal berbeda dalam hal pemulasan. Langkah-

langkah pembuatan sediaan malaria dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menyiapkan semua peralatan dan bahan yang akan digunakan dalam

pengambilan sampel darah.

2. Meremas ujung jari yang akan diambil darahnya untuk

mengumpulkan darah ke ujung jari.

3. Mengusap ujung jari yang akan ditusuk menggunakan kapas alkohol

70 % dan biarkan kering angin (jangan ditiup).

4. Menusuk ujung jari tersebut menggunakan blood lancet steril.

5. Meneteskan darah yang keluar pada obyek glass, minimal 2 buah

obyek glass (satu untuk sediaan tipis satu lagi untuk sediaan tetes

tebal)

6. Untuk sediaan darah tipis lakukan penggeseran darah pada

obyek glass tersebut menggunakan deck glass atau obyek glass

lain, sedangkan untuk sediaan darah tebal, lebarkanlah sampel

darah kira-kira selebar 1,5 cm. Keringkanlah di udara.

31

Page 4: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

7.  Lakukanlah pewarnaan dengan larutan Giemsa 1 :  9, selama kurang

lebih 5 – 10  menit. (Pada sediaan darah tipis, sebelum diwarnai

hendaknya dilakukan fiksasi menggunakan larutan methanol selama 1

menit. Sedangkan pada sediaan darah tebal hendaknya dilakukan

proses hemolisis sampai sempurna sebelum diwarnai).

Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor

pejamu (host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi,

densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor

pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status

nutrisi, dan status imunologi (1).

Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu

stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua.

Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen Ring-erythrocyte

Surface Antigen (RESA) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.

32

Page 5: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan

membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen

utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan

toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfotidilinositol yang merangsang

pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag (1).

Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan

endotel vaskular. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di

permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di

permukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara

kolektif disebut P. falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1).

Molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin,

intercellular-adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1

(VCAM-1), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1), dan

glycosaminoglycan chondroitin sulfate A (1).

Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam

sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular

disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang

mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi

pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan

hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti

dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga

memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat (1).

33

Page 6: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih

eritrosit yang nonparasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga

dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstrusi aliran darah

lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren (1).

Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah

mendapat stimulasi dari malaria toksin (LSP, GPI). Sitokin ini antara lain tumor

necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), interleukin-3 (IL-3),

interleukin-6 (IL-6), lymphotoxin (LT), dan interferon-gamma (INF-G). dari

beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal

atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang

tinggi. demikian juga malaria tanpa komplikasi, kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6

lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten

karena juga dijumpai pada penderita malaria berat dengan TNF-α normal/atau

rendah (1).

Malaria memiliki manifestasi umum, yaitu karakteristik demam periodik,

anemia, dan splenomegali (1). Hal ini sesuai dengan manifestasi pada pasien:

1. Pasien mengeluh demam menggigil berkeringat yang bersifat periodik

atau hilang timbul, disertai menggigil dan berkeringat. Hal ini sesuai

dengan gejala klasik yaitu trias malaria, secara berurutan: periode dingin (15-

60 menit): pasien membungkus diri dengan selimut saat menggigil, seluruh

badannya terasa gemetaran; dikuti dengan periode panas: penderita mukanya

merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan

keadaan berkeringat; periode berkeringat: penderita berkeringat banyak,

34

Page 7: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

temperature turun. Pada kasus, keluhan utama pasien adalah menggigil. Pada

malaria falciparum menggigil dapat berlangsung berat.

Demam pada pasien yang terjadi secara periodik berhubungan dengan waktu

pecahnya skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran

darah (sporulasi). Infeksi Plasmodium falciparum menyebabkan demam

berulang setiap 36-48 jam dan hampir terus menerus.

2. Anemia. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis serta kulit

dan telapak tangan yang pucat. Anemia pada pasien juga didukung oleh hasil

laboratorium. Saat pertama masuk rumah sakit, Hb pasien= 9,5 (tanggal 27

april). Dalam perkembangannya Hb pasien= 4,6 g/dl (tanggal 1 mei), 4,9 g/dl

(tanggal 3 mei), dan 8,8 g/dl (tanggal 8 mei). Saat kadar hemoglobin pasien

telah turun dibawah 7g/dl, gejala umum anemia semakin jelas terlihat. Berat

ringannya gejala umum anemia tergantung pada; derajat penurunan

hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung

atau peru sebelumnya. Gejala anemia disebut juga sindrom anemia, timbul

karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh

terhadap hemoglobin. Pada kasus, terdapat sindrom anemia yang dikeluhkan

pasien, yaitu: lemas lesu, cepat lelah, mata berkunang, dan dyspepsia (pasien

mengeluh nyeri ulu hati).

3. Splenomegali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan objektif: splenomegali,

besar limpa diukur menurut schuffner, termasuk dalam schuffner 3.

Splenomegali pada pasien ini merupakan gejala spesifik dan khas pada

anemia hemolitik. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut,

35

Page 8: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

limpa menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Pada anemia hemolitik, terjadi

hyperplasia limpa akibat penyakit infeksi atau parasit. Fungsi limpa sangat

luas mulai dari pembersihan bakteri, antigen, antibody, penggantian darah.

Pada anemia hemolitik, kerja limpa bertambah sehingga menyebabkan

pembesaran limpa sebagai kompensasi. Pembesaran limpa menyebabkan

peregangan kapsul limpa, sehingga akan dijumpai rasa sakit pada perut.

Selain splenomegali, gejala khas lain pada anemia hemolitik adalah ikterus

dan hepatomegali. Ikterus dan hepatomegali juga terdapat pada pasien, sehingga

semakin mendukung dan mendasari diagnosis anemia hemolitik. Ada dua

mekanisme hemolisis, yaitu hemolisis intravaskular dan hemolisis ekstravaskular.

Malaria adalah infeksi penyebab hemolisis intravaskular. Hemolisis intravaskular

terjadi karena ruptur atau lisisnya eritrosit di dalam sirkulasi. Ketika membran

eritrosit rupture, hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Hemoglobin (tetramer)

dipecahkan menjadi hemoglobin dimer di dalam plasma. Haptoglobulin (ɑ-2

globulin yang diproduksi di hati) mengikat hemoglobin dimmers yang bebas di

plasma. Ketika haptoglobulin sudah mengalami saturasi (terjadi ketika konsentrasi

hemoglobin 150 mg/dL) dan hemolisis intravakular terus berlanjut, maka

hemoglobin dimmers yang berlebihan di plasma akan disaring melalui glomerulus

(karena ukurannya < 20 kd). Hal ini yang menyebabkan hemoglobinuria dan

reaksi positif untuk protein heme pada dipstick. Manifestasi klinis pada hemolisis

intravaskular adalah ikterik dan urin berwarna coklat seperti teh. Manifestasi

laboratoriumnya, yaitu penurunan haptoglobin (6).

36

Page 9: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Gambar 4.3. Mekanisme Hemolisis intravaskular.

Hemolisis ekstravaskular terjadi ketika sel darah merah difagositosis oleh

makrofag di dalam hepar, lien, dan sumsum tulang. Hemolisis ekstravaskular

dapat terjadi sendiri atau disertai dengan hemolisis intravaskular. Perbedaanya,

pada manifestasi, tidak ditemukan hemoglobinuria (urin berwarna merah

kecoklatan) pada hemolisis ekstravaskular. Pada hasil laboratorium akan

ditemukan peningkatan bilirubin dan peningkatan LDH. Pada kasus ditemukan

peningkatan bilirubin total dan peningkatan LDH (6).

37

Page 10: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Gambar 4.4. Mekanisme Hemolisis Ekstravaskular.

Anemia terjadi karena proses sporulasi dan destruksi eritrosit, baik yang

mengandung parasit maupun tidak. Anemia pada pasien termasuk anemia

normositik hipokromik, dikatakan normositik karena nilai MCV: 87,7 fl.

Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi anemia

normositik (MCV: 80-100 fL), anemia mikrositik (MCV < 80 fl), dan anemia

makrositik (MCV > 100 fl). Dikatakan hipokromik karena MCH < 27,00 pg.

Anemia normositik biasanya disebabkan oleh: anemia pada penyakit ginjal

38

Page 11: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

kronik, anemia sindrom kardiorenal, anemia hemolitik karena kelainan intrinsic

sel darah merah (kelainan membrane/sfrositosis herediter, kelainan

enzim/defisiensi G6PD, kelainan hemoglobin/ penyakit sickle cell), anemia

hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah (imun, autoimun, alloimun,

mikroangipati, infeksi/malaria, dan zat kimia/bisa ular). Gejala klinis, parameter

MCV, RDW (red cell distribution width), hitung retikulosit, dan morfologi apus

darah tepi merupakan petunjuk penting dalam diagnosis penyebab anemia Untuk

menegakkan diagnosis lebih lanjut pada anemia normositik, dilakukan hitung

retikulosit. Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Dari hasil laboratorium

pasien didapatkan peningkatan retikulosit. Peningkatan retikulosit merupakan

kompensasi sebagai respon penghancuran eritrosit oleh P. falciparum.

Peningkatan retikulosit khas menandakan adanya proses hemolitik. Jadi,

infeksi malaria pada pasien sesuai dengan teori, menyebabkan anemia normositik

karena kelainan ekstrinsik sel darah merah (7).

Malaria palcifarum bersifat sangat virulen dan yang paling

membedakannya dengan malaria lainnya adalah plasmodium falciparum dapat

menginfeksi sel darah merah pada semua stadium. Monitoring pada malaria

dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-14, dan ke-28. Setelah dilakukan monitoring

pada hari ke-3, hapusan darah menunjukkan bahwa malaria sudah negatif. Namun,

dari hasil pemeriksaan darah rutin, didapatkan hemoglobin turun secara cepat

(Hb= 4,6 g/dl). Hal ini menunjukkan adanya malaria berat, karena malaria sudah

disertai satu komplikasi, yaitu anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokit < 15%)

(8).

39

Page 12: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Tahap dalam mendiagnosis anemia adalah; menentukan ada tidaknya

anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi atau penyakit dasar

anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan

mempengaruhi hasil pengobatan (1):

1. Pada kasus, jelas terdapat anemia pada pasien. Hb pasien= 9,5 g/dl (tanggal

27 april), termasuk dalam kategori anemia ringan. Sedangkan pada tanggal 1

mei, Hb pasien= 4,6 g/dl, dan tanggal 3 mei Hb pasien= 4,9 g/dl, termasuk

dalam kategori anemia berat.

Tabel 4.1. Klasifikasi anemia berdasarkan usia dan nilai hemoglobin (9)

2. Anemia yang terjadi pada pasien termasuk jenis anemia hemolitik yang

didapat. Menurut pendekatan klinis, anemia hemolitik merupakan anemia

yang timbul cepat (beberapa hari sampai minggu) (1).

3. Ada banyak penyebab pada anemia hemolitik, sehingga manifestasinya

tergantung penyakit yang mendasarinya. Etiologi atau penyakit dasar anemia

pada pasien adalah malaria falciparum. Hal ini didukung oleh hasil

pemeriksaan tetes darah tebal yang menunjukkan ring (+3) dan trofozoit (+1),

serta tetes darah ti[is yang menunjukkan jenis malaria falciparum. Manifestasi

40

Page 13: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

klinis anemia e.c. malaria falciparum terjadi karena penghancuran eritrosit

oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses

complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan

pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin (10).

Penyebab malaria pada pasien kemungkinan berhubungan dengan

pekerjaan pasien yang sering keluar masuk hutan di daerah batu kayang. Ada

kemungkinan daerah tersebut merupakan daerah endemis malaria, dan pasien

datang dari daerah lain sehingga rentan terinfeksi. Endemisitas merupakan salah

satu faktor penjamu yang berperan dalam terjadinya malaria terutama malaria

berat. Selain itu, splenomegali umumnya sering ditemukan pada daerah endemis

(10).

Pada hasil laboratorium juga didapatkan trombositopenia. Mekanisme

trombositopenia masih belum pasti, lisis yang dimediasi imun, pengambilan di

limpa, dan proses dispoeitik pada sumsum tulang yang menyebabkan

berkurangnya produksi platelet telah dikemukakan. Penemuan trombositopenia

dan anemia pada pasien dengan demam akut merupakan prediktor penting dalam

mendiagnosis malaria. Trombositopenia juga merupakan observasi umum pada

malaria falciparum dengan penyembuhan spontan pada terapi (12).

Pada infeksi malaria falciparum, anemia lebih menonjol dan biasanya

disertai leukopenia dan monositosis. Hal ini sesuai pada kasus, dari hasil

laboratorium didapatkan leukosit=2,3 ribu/ul (tanggal 27 april) dan 2,1 ribu/ul

(tanggal 3 mei). Pada kasus ini juga didapatkan peningkatan LDH (laktat

dehidrogenase). Peningkatan serum LDH menunjukan terjadinya hemolisis.

41

Page 14: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase

(LDH) terutama LDH2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan

destruksi eritrosit (13).

Pada anamnesis, pasien mengeluh kencingnya coklat seperti teh. Warna

urin yang gelap juga merupakan tanda dini hiperbilirubinemia. Hal ini terjadi

akibat eksresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid (14).

Pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi kulit dan sclera, didapatkan hasil

ikterik pada pasien. Ikterik adalah pigmentasi kuning pada kulit dan sclera. Ikterik

merupakan manifestasi klinis dari hiperbilirubinemia. Hal ini didukung oleh hasil

laboratorium, yaitu terdapat peningkatan bilirubin total dan bilirubin direk. Gejala

ikterik biasanya baru dapat dilihat jika kadar bilirubin melebihi 2,0 hingga 2,5

mg/dL, namun gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih

rendah pada pasien yang kulitnya putih dan menderita anemia berat. Saat pertama

masuk rumah sakit, ikterik pada pasien jelas terlihat di sclera. Jaringan sclera kaya

dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga

ikterus pada sclera merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan

hiperbilirubinemia daripada ikterik yang menyeluruh (14).

Hepatomegali pada kasus terjadi karena hipertrofi sel RES. Saat serangan

akut malaria, terjadi pembesaran dan peningkatan jumlah sel kupffer (hipertrofi

dan hyperplasia, sehingga hepar membesar dan beratnya bisa sampai 2,5 kg. Pada

sinusoid dapat terlihat akumulasi fokal histiosit yang membentuk lesi

granulomatosa non spesifik (14).

42

Page 15: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

Pada evaluasi morfologi apusan darah tepi ditemukan Eritrosit:

normokrom anisositosis, polikromasia. Normoblast. 5/100 leukosit. Normoblast

adalah sel darah merah berinti. Pada keadaan normal, tidak terdapat normoblas.

Normoblas ditemukan pada penderita dengan kelainan heamtologis (penyakit

sickle cell, talasemia, anemia hemolitik). Pada kasus, normoblas ditemukan

karena adanya proses hemolitik eritrosit. Anisositosis adalah suatu keadaan

dimana ukuran diameter eritrosit yang terdapat di dalam suatu sediaan apus

berbeda-beda. Anisositosis juga disebabkan karena proses hemolitk pada eritrosit

(7).

Gambar 4. 3. Anemia normositik

Komplikasi pada Malaria

Anemia merupakan komplikasi utama pada malaria, terutama malaria

falsiparum yang dapat menyebabkan anemia berat karenba proses hemolisis.

Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu gagal ginjal akut pada malaria.

Kelainan fungsi ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 5-10%

disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal disebabkan adanya anoksia

penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler. Sebagai

43

Page 16: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

akibatnya terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi

fase oliguria atau poliuria. Apabila berat jenis (BJ) urin <1,010 menunnjukkan

dugaan nekrosis tubulus akut, sedangkan urin yang pekat BJ>1,015; rasio

urea:urin darah> 4:1 ; natrium urin < 20mmol/l ; menunjukkan keadaan dehidrasi

(1).

Pembahasan terapi

Lini pertama pengobatan malaria palcifarum adalah artesunat +

amodiakuin + primakuin. Lini pertama lainnya adalah dihydroartemisinin +

piperaquin + primakuin. Pada pasien, terapi antimalaria sudah sesuai dengan lini

pertamanya (2).

Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria

dengan memakai obat Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Golongan

artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam

mengatasi plasmodium yang resisten terhadap pengobatan. Selain itu, ART juga

bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit dan

efektif terhadap semua spesies. Pemakain obat golongan artemisinin harus disertai

dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat

antigen yang postif (2).

Lini pertama pengobatan malaria adalah Artemisinin Combination

Therapy (ACT). Pada saat ini pada program pengendalian malaria mempunyai 2

sediaan yaitu: (1) Artesunate-Amodiaquin; (2) Dihydroartemisinin-Piperaquin.

WHO telah merekomendasikan artesunat sebagai terapi pilihan untuk dewasa dan

anak-anak pada kasus malaria berat. Lini pertama lainnya adalah

44

Page 17: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

dihydroartemisinin + piperaquin + primakuin. Primakuin memiliki efek samping

anoreksia, mual, muntah, kejang-kejang, gangguan sistem hemopoietik, dan dapat

terjadi hemolisis pada penderita dengan defisiensi G6PD (2).

Pengobatan lini kedua malaria falsiparum adalah kombinasi kina-

doksisiklin atau tetrasiklin+primakuin. Pengobatan ini diberikan jika pengobatan

lini pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi

parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).

Kina memiliki efek samping tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo. Gejala akan

timbul bila konsentrasi plasma > 5mg/dl. Kina juga menyebabkan hipotensi berat

bila diinjeksi terlalu cepat. Hal yang penting diketahui, infus kina menyebabkan

hipoglikemia karena obat menstimuli sekresi insulin pada sel β pancreas,

terutama pada ibu hamil. (2,15).

Pasien diberikan injeksi antrain apabila diperlukan untuk meredakan

demam, sehingga pada follow up dari tanggal 30 april, tidak ditemukan febris

pada pengukuran suhu. Sebagian besar pasien menjadi afebris dan tidak

ditemukan parasit dalam tubuhnya dalam waktu 2-3 hari, termasuk pasien pada

kasus. Terdapat rasio kematian yang tinggi pada kasus malaria berat, terutama

pada pasien non imun. Obat antimalaria harus diteruskan sampai tuntas; apabila

terjadi terapi tidak adekuat, atau apabila parasitnya resisten secara parsial

terhadap obat yang digunakan, maka dapat terjadi infeksi kembali (16).

Ranitidin dan antasida bertujuan untuk mengatasi nyeri ulu hati yang

dialami pasien dan mengurangi efek samping obat antimalaria karena bersifat

45

Page 18: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

iritasi lambung. Ondancentron diberikan untuk mengurangi keluhan mual muntah

pada pasien (17).

Pada pasien, diberikan transfusi PRC sebanyak 6 kolf untuk menaikkan

kadar Hb. Penggunaan darah untuk transfusi hendaklah selalu dilakukan secara

rasional dan efisien, yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang

diperlukan saja. PRC (packet red blood cell) /sel darah merah pekat berisi

eritrosit, trombosit, lekosit, dan sedikit plasma. PRC digunakan untuk

meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala

anemia. Transfusi menggunakan PRC dapat menaikkan kadar Hb secara

signifikan yakni 0,8-1 g/dl untuk setiap kantong darah. Namun, pemberian unit ini

disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, bukan hanya bergantng pada nilai Hb

dan hematokrit saja. Pada pasien, setelah mendapatkan transfusi PRC, keadaan

klinis mulai membaik dan Hb pun meningkat (1).

Pasien diperbolehkan pulang setelah dirawat selama 13 hari dan

disarankan untuk menjalani rawat jalan ke poliklinik penyakit dalam apabila

keluhan masih muncul.

Relaps pada Malaria falciparum

Malaria falsiparum dapat menimbulkan relaps. Plasmodium falciparum

tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder. Parasit tetap berada di dalam darah

selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan

gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh

proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short

term relapse). Rekrudesensi (relaps jangka pendek) timbul karena parasit

46

Page 19: BAB 4 PEMBAHASAN.docx

dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Pada malaria falciparum,

rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari. Oleh karena itu apusan

darah tepi perlu diperiksa ulang pada hari ke-3, 7, 14, dan 28. Pada pasien juga

harus diberikan pengobatan primakuin selama 14 hari untuk mencegah terjadinya

relaps tersebut (18).

47