Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus”...

19
37 Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan dalam Matius 26:36-46 3.1 Pendahuluan Pada pembahasan dalam bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang pentingnya perspektif dalam hermeneutik poskolonial untuk memaknai sebuah teks. Teks yang penulis maksudkan di sini ialah teks Matius 26:36-46. Namun, sebelum melakukan hal tersebut penulis akan memaparkan konteks dari teks. Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial, keagamaan maupun budaya, termasuk di dalamnya tentang ritus korban yang berlaku dalam konteks teks tersebut. Hal inilah yang akan menjadi pembahasan dalam bab ketiga ini. 3.2 Waktu dan Tempat Penulisan Injil Matius Di dalam memahami sebuah teks berdasarkan konteksnya, kita perlu untuk mencari tahu tempat dan waktu secara spesifik. Hal ini karena masing-masing teks ditulis dalam waktu dan tempat yang tentu saja turut mempengaruhi isi dari masing-masing teks. Untuk itu, penulis akan memaparkan tentang tempat dan waktu penulisan Injil Matius sebagai awal dari penjelasan tentang berbagai konteks yang terdapat dalam Injil Matius. Injil Matius merupakan Injil pertama yang tercatat dalam Alkitab Perjanjian Baru. Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa Injil Matius merupakan Injil yang ditulis pertama kali sebelum Injil-Injil lainnya dalam Alkitab. Banyak penelitian membuktikan bahwa Injil Markuslah adalah Injil tertua dan merupakan salah satu sumber dari penulisan Injil Sinoptis lainnya. Matius ditempatkan diawal karena sesuai dengan yang tertera dalam

Transcript of Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus”...

Page 1: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

37

Bab 3

Konteks Kultural Praktik Pengorbanan

dalam Matius 26:36-46

3.1 Pendahuluan

Pada pembahasan dalam bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang

pentingnya perspektif dalam hermeneutik poskolonial untuk memaknai sebuah teks. Teks

yang penulis maksudkan di sini ialah teks Matius 26:36-46. Namun, sebelum melakukan hal

tersebut penulis akan memaparkan konteks dari teks. Konteks yang dimaksud adalah konteks

sosial, keagamaan maupun budaya, termasuk di dalamnya tentang ritus korban yang berlaku

dalam konteks teks tersebut. Hal inilah yang akan menjadi pembahasan dalam bab ketiga ini.

3.2 Waktu dan Tempat Penulisan Injil Matius

Di dalam memahami sebuah teks berdasarkan konteksnya, kita perlu untuk mencari

tahu tempat dan waktu secara spesifik. Hal ini karena masing-masing teks ditulis dalam

waktu dan tempat yang tentu saja turut mempengaruhi isi dari masing-masing teks. Untuk itu,

penulis akan memaparkan tentang tempat dan waktu penulisan Injil Matius sebagai awal dari

penjelasan tentang berbagai konteks yang terdapat dalam Injil Matius.

Injil Matius merupakan Injil pertama yang tercatat dalam Alkitab Perjanjian Baru.

Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa Injil Matius merupakan Injil yang ditulis pertama

kali sebelum Injil-Injil lainnya dalam Alkitab. Banyak penelitian membuktikan bahwa Injil

Markuslah adalah Injil tertua dan merupakan salah satu sumber dari penulisan Injil Sinoptis

lainnya. Matius ditempatkan diawal karena sesuai dengan yang tertera dalam

Page 2: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

38

“Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian

Baru.1

Banyak kesulitan yang dialami oleh para ahli untuk menentukan siapa penulis atau

pengarang dari Injil ini. Duyverman misalnya, menyebutkan bahwa sudah berabad lamanya

taradisi gereja memperkirakan nama Matius sebagai penulis Injil Matius. Matius yang

dimaksud dihubung-hubungkan dengan salah seorang murid Yesus yakni Rasul Matius,

bekas pemungut cukai yang juga disebut orang Lewi. Namun, ia meragukan hal tersebut oleh

karena bahasa yang dipakai untuk menulis Injil Matius adalah bahasa Yunani sedangkan

Rasul Matius sendiri berbahasa Aram. Kalaupun ia memang adalah benar penulisan yang

sebenarnya, maka ia tidak perlu mengutip Injil Markus. Hal ini karena Rasul Matius adalah

seorang murid yang selalu bersama-sama dengan Yesus dan karena itu ia pasti dapat

menggambarkan atau menuliskan kisah tentang Yesus tanpa mengutip dari pihak mana pun.

Ia malah memperkirakan bahwa penulis Injil Matius yang sebenarnya mungkin seorang

pemimpin agama Yahudi.2 Hal senada juga disampaikan oleh Kingsbury bahwa penulis Injil

Matius adalah seorang Kristen asal Yahudi atau paling tidak memiliki latar belakang

Yahudi.3 Michael Baigent dan kawan-kawan juga setuju dengan pernyataan tersebut dengan

mengatakan bahwa penulis Injil Matius mungkin adalah seorang pelarian dari Palestina.

Mereka juga mengatakan bahwa jelas penulis Injil ini bukanlah murid Yesus yang bernama

Matius.4

Berbicara mengenai waktu dan tempat sekiranya Injil Matius itu ditulis, beberapa ahli

berusaha menyampaikan pendapatnya untuk menjelaskan hal tersebut. Duyverman

mengatakan bahwa keterangan mengenai waktu penulisan Injil Matius sangat minim.

1 J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab, Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, ), 1

2 M. E. Duyverman, Pembimbing Ke dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 48

3 Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita, Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, Wenas

Kalangit (terj,.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 220 4 Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, Holy Blood, Holy Grail, Isma B. Koesalamwardi (terj,.),

(Jakarta: Cahaya Insan Suci, 2006), 413

Page 3: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

39

Mengacu pada satra Kristen di luar Alkitab dilihat bahwa kira-kira tahun 100 M, Injil ini

sudah dikutip sehingga sudah diakui dan dihormati. Hal ini berarti bahwa penulisan Injil

Matius diperkirakan sebelum tahun 100 M. Dari keterangan tersebut, ia menyimpulkan

bahwa Injil ini ditulis antara tahun 72-85M. Menurutnya, Injil ini ditujukan kepada pembaca

Yahudi yang ditulis dalam bahasa Yunani dengan disertakan juga ungkapan dan adat Yahudi.

Oleh karena itu, diperkirakan bahwa Injil ini ditulis di sebuah daerah di luar Palestina, yakni

Antiokhia.5

Jack Dean Kingsbury menyarankan untuk melihat kembali perikop dalam Injil

Matius tentang perumpamaan mengenai perjamuan anggur. Dikatakannya bahwa pada pasal

22:7 ditemukan apa yang para ahli anggap sebagai singgungan yang jelas terhadap

kehancuran Yerusalem (66-70 M). Dari sudut sejarah penulisan Injil pertama, peristiwa ini

nampaknya sudah terjadi di masa lalu (bnd. Pasal 21:41). Selain itu, ada keterangan bahwa

Ignatius, yang menulis tidak lama sesudah abad pertama (110 atau 115 M), nampaknya

mengetahui Injil Matius. Dengan keterangan ini, menurut Jack, orang bisa berkesimpulan

bahwa waktu penulisan Injil Matius adalah tahun 85 atau 90 M. Senada dengan Duyverman,

ia juga memperkirakan bahwa lokasi penulisan Injil Matius, yakni Antiokhia di Syria.6

Injil Matius mendapatkan bentuknya yang terakhir sekitar tahun 85M. Kemungkinan

ditulis di Antiokia, Syria. Ini berarti bahwa jemaat Kristen telah berdiri sekitar lima tahun

sesudah kematian Yesus dan sekitar lima belas tahun sesudah Yerusalem dihancurkan pada

tahun 70M. Data ini berdasarkan pada apa yang muncul sebagai bagian penggambaran

kejadian tahun 70M dalam pasal 22:7. Kemungkinan lain mengenai kehancuran Yerusalem

tampak dalam pasal 21:4 dan 27:25.7

5 M. E. Duyverman, Pembimbing Ke..., 48-49

6 Jack Dean Kingsbury, Injil Matius..., 195

7 Daniel J. Harington, Matius, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Dianne Bergant dan Robert J. Karris (edt.),

Yogyakarta: Kanisius, 2002, 33

Page 4: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

40

Bersama-sama dengan kebanyakan para ahli masa kini, David J. Bosch mengakui

bahwa pengarang dari Injil Matius adalah seorang anggota komunitas Kristen Yahudi yang

telah meninggalkan Yudea sebelum perang Yahudi dan menetap di sebuah lingkungan yang

kebanyakan bukan Yahudi, kemungkinan di Syria. Di Yudea, komunitas itu kemungkinan

besar telah bersama-sama mengalami keterpisahan dari orang-orang Kristen Yahudi lainnya.

Oleh karena itu, kemungkinan mereka telah mengikuti budaya dan juga ibadah-ibadah

Yudaisme sejauh hal tersebut dimungkinkan sebelum perang. Berdasarkan hal itu, ia juga

sepakat bahwa Injil Matius memang ditulis di Syria, Antiokhia kira-kira pada tahun 80an

sesudah Masehi.8

Groenen juga mengatakan bahwa daerah yang paling cocok untuk dikatakan sebagai

lokasi tempat penulisan Injil Matius adalah Syria khususnya Antiokhia.9 Mengenai waktu

penulisan, ia memperkirakan Injil ini ditulis antara tahun 60-100M. Hal ini dikatakannya

karena ia melihat situasi yang terjadi di Syria sangat cocok dengan keadaan yang terjadi pada

pertengahan kedua abad pertama Masehi. Pada saat itu, jemaat Kristen di Syria (Pantai

Palestina) di satu pihak masih berkaitan erat dengan masyarakat Yahudi dan belum terkucil.

Di lain pihak, hubungan itu sudah mulai longgar atau retak. Dari penjelasan tersebut,

Groenen kemudian menyimpulkan lagi bahwa Injil ini ditulis sekitar tahun 75-80M. Jadi,

persis pada saat masa peralihan agama Kristen yang masih baru dari kerangka masyarakat

dan agama Yahudi ke dalam masyarakat Yunani sebagai suatu agama sendiri.10

Di dalam menetapkan tempat dan tahun penulisan Injil Matius, J. de Heer

membandingkannya dengan waktu dan tempat ditulisnya Injil Markus. Injil Markus adalah

Injil tertua yang ditulis kira-kira 65M. Oleh karena isi dari Injil Matius juga bersumber dari

Injil Markus, maka diperkirakan penulisan Injil Matius adalah sebelum tahun 65M. Sesuai

8 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah,

(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), 89-90 9 C. Groenen, Pengantar Ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 88

10 C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 90

Page 5: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

41

dengan penjalasan sebelumnya, para ahli menduga bahwa Injil Matius baru ditulis kira-kira

tahun 80M. Menurutnya, hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, pada tahun 70 terjadi

satu peristiwa penting di mana Bait Allah dibakar habis oleh tentara Romawi. Hal ini terjadi

ketika orang Romawi berhasil mengalahkan orang Yahudi yang telah memberontak terhadap

pemerintahan Romawi. Perebutan Kota Yerusalem oleh orang Romawi pastilah

menggemparkan Gereja Kristen pada saat itu. Injil Matius dalam perumpamaan tentang

perjamuan kawin menekankan bahwa “kota orang-orang yang bersalah dibakar” (Mat.22:7).

Ahli-ahli umumnya menganggap itu sebagai suatu tanda bahwa Injil Matius ditulis setelah

pembakaran Bait Allah. Kedua, orang Yahudi yang masih hidup setelah Bait Allah tidak

dapat mengejar tujuan politis lagi. Mereka memusatkan perhatiannya pada suatu reorganisasi

rohani di bawah pimpinan Ahli-ahli Taurat. Ahli-ahli Taurat itu mulai membedakan dengan

lebih tegas ajaran yang benar dan aliran-aliran sesat yang tidak boleh diikuti oleh orang-orang

Yahudi. Antara lain, yaitu ajaran agama Kristen. Hal ini juga dijelaskan dalam Injil Matius

yang mengupas secara jelas tentang kesalahan-kesalahan dari para Ahli Taurat. Oleh karena

itu, pendapat dari para ahli bahwa Injil Matius ditulis kira-kira pada tahun 80M dapat

diterima.11

Dengan berbagai pemaparan di atas terkait dengan waktu dan tempat penulisan Injil

Matius, maka penulis sepakat bahwa Injil Matius memang ditulis di Antiokhia, Syria kira-

kira antara tahun 72-85M. Perkiraan ini tepat dengan alasan-alasan yang tentu secara historis

benar adanya. Gambaran yang dikemukakan oleh penulis Injil Matius dalam tulisannya pun

turut mendukung diperkirakannya tempat dan waktu penulisan Injil tersebut. Berdasarkan hal

tersebut, maka pada bagian selanjutnya penulis merasa perlu untuk memaparkan tentang

konteks dari wilayah Anthiokia. Hal ini karena Injil Matius diperuntukkan bagi komunitas

Kristen yang berada di perantauan (diaspora) dalam hal ini di Anthiokia.

11

J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab..., 4-5

Page 6: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

42

3.3 Konteks Sosio-Kultural Syria, Anthiokia

Anthiokia didirikan oleh Seleucus I Nicator pada tahun 300 SM setelah

kemenangannya atas Antigonus. Nama Antiokhia diberikan untuk menghormati ayahnya.

Antiokhia di Syria terletak di sisi timur Sungai Orontes, kira-kira 25 kilometer dari laut, di

sebelah timur Laut Mediterania. Pada masa itu, kota ini menjadi pusat perdagangan penting

antara dunia Mediterania, daerah pedalaman Suriah, dan Timur yang dapat diakses baik dari

darat maupun perairan. Antiokhia bertanggung jawab atas pengiriman barang dari Arab,

China, India, Babilonia dan Persia ke Roma. Kota ini dikatakan telah melampaui Roma

bahkan dalam kemewahan dan kemegahannya. Sejak awal, Antiokhia dihuni oleh orang

Makedonia, Yunani, dan penduduk asli Syria, serta koloni orang Yahudi yang telah diberi

tanah oleh Seleukus sebagai hadiah untuk layanan militer mereka.12

Kota ini merupakan kota

ketiga terbesar di dunia kuno setelah Roma dan Alexandria dan merupakan ibukota provinsi

gabungan Romawi, Suriah, dan Kilika pada masa itu.13

Dalam struktur sosial masyarakat Anthiokia, terdapat dua kelompok besar, yakni

kelompok elit dan kelompok non-elit. Kelompok elit ini relatif sedikit tetapi merekalah yang

menguasai kehidupan kota untuk keuntungan mereka sendiri. Kehidupan mereka lebih

menonjol karena mereka mengendalikan kekayaan dan kekuasaan politik pemerintahan.14

Dalam struktur ini, dominasi kelompok elit sosial pada dasarnya bertumpu pada kemampuan

ekonomi, politik, kekayaan (tanah) , dan reputasinya dalam masyarakat.15

Golongan elit juga

dibantu oleh dua grup di dalam menjalankan kekuasaan mereka. Pertama, para pemimpin

keagamaan yang bertugas di kuil-kuil kota. Kedua, para pelayan yang bertugas sebagai

12

Douglas Rutt, Antioch as Pardigmatic of the Urban Center of Mission, Missio Apostolica 11 no 1 (My 2003), 2

13 David J. Bosch, Transformasi Misi..., 67

14 John Stambaugh, David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Stephen Suleeman (terj.,),

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 133 15

Warren Carter, Matthew and The Margins, A Sociopolitical and Religious Reading, (Maryknoll: Orbis Bokks, 2000), 17

Page 7: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

43

pemungut cukai, petugas pengadilan, birokrat pemerintah atau administrator atau pegawai,

pendidik, hakim, dan tentara.16

Selanjutnya, kelompok non-elit yang terdiri dari para

pedagang kecil, pengrajin dengan penghasilan yang terbatas sehingga tidak bisa mendapatkan

kekayaan yang signifikan. Selain itu, para buruh, penjual makanan, penyedia transportasi

juga termasuk dalam kelompok ini.17

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelompok ini

merupakan kelompok marginal yang sering dikucilkan oleh para kaum elit.

Sebagai kota yang mempertemukan berbagai identitas dan etnis, wilayah ini

menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan antara dua atau lebih entitas

yang saling bertolak belakang. Streeter sebagaimana yang dikutip oleh Ner Dah, menyebut

kondisi tersebut sebagai “Antagonisme Etnis” oleh karena wilayah ini diliputi ancaman

kejahatan dan konflik akibat percampuran orang-orang dari berbagai latar belakang etnis

yang berbeda.18

Berkenaan dengan hal tersebut, Rodney Stark mengungkapkan bahwa kota

Anthiokia adalah sebuah kota yang penuh dengan penderitaan, bahaya, ketakutan, putus asa,

dan kebencian.19

Kota ini juga menjadi tempat yang dituju oleh para penginjil yang diusir dari

Yerusalem. Di sana mereka mulai nampak sebagai suatu kelompok tersendiri. Kemungkinan

mereka menamai kelompok tersebut sebagai orang-orang Kristen (bdk. Kis. 11:26). Di

Palestina sendiri orang-orang percaya tersebar di daerah pedalaman, meskipun pusat mereka

di Yerusalem (bdk. Kis 8:4-5; 26; 40; 9:32). Justru di Antiokhia orang-orang Kristen mulai

menyebarkan keyakinan kepada orang-orang bukan Yahudi atau setengah Yahudi.20

Di

Anthiokia mereka tergolong dalam kelompok sosial kelas atas dalam hal ini kelompok elit.21

16

Warren Carter, Matthew and..., 19 17

Warren Carter, Matthew and..., 20 18

Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, “Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Konteks of Myanmar,” PhD., diss, 2009

19 Rodney Stark, Antioch as the Social Situation for Matthew’s Gospel, in David L. Balch, Social History

of the Matthean Comunity, ed. David L. Balch, (Minneapolis: Fotress Press, 1991), 198 20

C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 32 21

Herman C. Waetjen, The Origin and Destiny of Hummanes, (California: Crystal Press, 1976), 29

Page 8: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

44

Mereka berprofesi sebagai tuan tanah dan pedagang yang terlibat dalam bisnis dan

perdagangan.22

Justin Taylor memaparkan bahwa sebutan Kristen (pengikut Kristus) berasal dari

bahasa Latin dan bukan bahasa Yunani.23

Pada mulanya nama itu dimaksudkan sebagai nama

ejekan, tetapi kemudian orang-orang Kristen menganggapnya sebagai nama kehormatan.24

Misi mereka ialah memberitakan Injil kepada orang-orang yang masih berpegang teguh

kepada takhyul dan yang masih memuja dewa-dewa. Mereka mengabarkan tentang Yesus

Kristus yang telah meruntuhkan tembok pemisah antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa

lain.25

Dua tokoh yang terkenal sebagai pemberita yang begitu peduli terhadap keadaan

jemaat di Anthiokia dan terus membina orang-orang percaya di wilayah tersebut, yakni

Barnabas dan Paulus.26

Pada masa itu timbul berbagai kesukaran antara lain, perdebatan

mengenai sunat. Orang-orang Kristen Yahudi menyebarkan ajaran bahwa orang-orang dari

bangsa lain yang telah dibaptiskan dan telah masuk Krsiten wajib disunat. Sunat merupakan

tradisi yang diwariskan oleh Musa. Sunat sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang

yang diistimewakan oleh Allah di antara bangsa-bangsa lain. Dengan memberi diri untuk

disunat, maka orang tersebut layak untuk memperoleh keselamatan. Namun, Barnabas dan

Paulus menyampaikan hal berbeda bahwa untuk mendapatkan keselamatan hanya melalui

satu jalan yaitu percaya kepada Yesus.27

Rupanya mereka juga masih memegang teguh

Hukm-hukum Musa (Taurat). Ritual-ritual yang mereka jalankan masih disertai dengan

penumpahan darah seperti pemberian korban untuk keampunan dosa dan lain sebagainya.

Mereka tidak menyadari bahwa darah Yesus yang telah dicurahkan di Bukit Golgota telah

menghapus segala dosa manusia. Dengan kehadiran Yesus di dunia dan mengerjakan karya

22

Herman C. Waetjen, The Origin..., 30 23

Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 170 24

J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2, Perjanjian Baru, A. Simanjuntak (terj,.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 763

25 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 760

26 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 762

27 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 783

Page 9: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

45

Allah mulai dari kelahiran hingga kenaikanNya menunjukkan bahwa Turat Musa telah

digenapi.28

Dewata pelindung kota ini adalah Dewi Tikhe (Fortuna atau dewi keberuntungan).

Pada dinding kota terdapat patung Dewi Tikhe yang memakai mahkota dan menggenggam

gandum dengan tangan kanannya. Ia duduk di atas batu karang yang melambangkan Gunung

Siplus, dan meletakkan sebelah kakinya di atas seorang anak laki-laki yang sedang berenang

(lambang sungai Orentas). Dewi ini dipercaya sebagai pembawa keberuntungan seperti

kesuburan tanah, keamanan kota sehingga terlepas dari bencana banjir dan gempa bumi.29

Selain Dewi Tike, nama Adinos sebagai dewa penebus dosa juga dipuja oleh

penduduk Anthiokia dan Siprus serta wilayah-wilayah sekitar Mediterania lainnya. Dewa

Adinos merupakan salah satu di antara dewa-dewa penebus dosa. Hashem dalam tulisannya

mengutip Davies bahwa banyak tuhan kafir yang dipuja di sekitar penyebaran agama Kristen

yang memiliki kemiripan dengan riwayat hidup Yesus sebagaimana digambarkan dalam

Alkitab.30

Ia juga memaparkan apa yang disampaikan oleh Arthur Weigall yang mengatakan

bahwa meskipun Anthiokia sebagai tempat pertama agama Kristen, namun di wilayah ini

pada tiap tahunnya memperingati kematian dan kebangkitan tuhan Adonis/Tammuz. Adonis

dikisahkan mengalami kematian dengan cara yang sangat kejam lalu turun ke neraka Hades

kemudian naik ke langit. Peringatan akan Adinos ditandai dengan disediakannya sebuah

boneka tubuhnya yang telah mati sambil diratapi oleh para pemujanya. Boneka itu kemudian

dibaptis dengan air lalu diurapi dan dikuburkan. Keesokan harinya kebangkitannya

diperingati dengan penuh kegembiraan.31

28

J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 784 29

John Stambaugh, David Balch, Dunia Sosial..., 179 30

M. Hashem, Misteri Darah dan Penebusan Dosa di Mata Agama Purba, Yahudi, Kristen, dan Islam, (Jakarta: Hikmah, 2006), 20

31 M. Hashem, Misteri Darah..., 25

Page 10: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

46

3.4 Ritus Korban di Wilayah Mediterania

Tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual).32

Dhavamony

mengatakan bahwa dalam pemikiran manusia religius, kehidupan di alam semesta dalam

kesatuan sosial maupun sebagai individu tidak dapat berlangsung, jika tidak dipelihara dan

dirangsang dengan ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kekuatan-kekuatan kosmis

atau ilahi. Dari semua ritus, upacara korban mempunyai tempat utama karena dengannya

manusia religius mengadakan persembahan diri kepada dewa lewat suatu pemberian. Oleh

karena itu, tidak perlu diragukan bahwa upacara korban tampak sebagai suatu ritus religius

yang penting dan pada banyak suku bangsa korban darah merupakan tindakan religius inti.33

Berikut ini, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai ritus korban di

wilayah Mediterania sekitar wilayah pusat penyebaran agama Kristen dini. Ritus korban di

wilayah ini terbilang lumrah.

Masyarakat Yunani kuno adalah masyarakat yang percaya kepada banyak dewa

bahkan sejumlah dewa-dewi khusus dipuja secara resmi oleh negara. Dewa utamanya ialah

Jupiter yang disamakan dengan dewa utama Yunani, yakni Zeus. Dewa-dewi lain yang juga

secara resmi dihormati, antara lain, Mars, Neptunus, Mercurius, Yuno, Vespa, dan lain-lain.34

Legenda-legenda Yunani kuno memperlihatkan bagaimana hubungan para dewa dengan

manusia. Terkadang manusia dan dewa itu saling bersitegang. Oleh karena mereka meyakini

bahwa kekuatan para dewa sangat mempengaruhi kehidupan mereka, maka untuk

menghentikan ketegangan tersebut mereka mengadakan pendekatan-pendekatan untuk

merebut hati para dewa. Hal ini dicapai dengan jalan melakukan ritual-ritual, upacara-upacara

atau pemberian korban. Legenda yang sama juga terdapat dalam masyarakat Mesir kuno dan

Romawi kuno. Sama halnya dengan masayrakat primitif lainnya, upacara, ritual, dan doa

32

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 167 33

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 203 34

C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 61

Page 11: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

47

merupakan jalan untuk “menundukkan para dewa” agar mereka memberikan bantuan atau

pertolongan, keselamatan, mengabulkan harapan, serta tidak memberikan ketakutan-

ketakutan dan kengerian-kengerian. Singkatnya ialah agar para dewa itu memberi

keselamatan dan bukan menghukum manusia.35

A. Powell Davies menulis, “menonjol di mana-mana di seluruh wilayah Mediterania,

di mana terdapat pemujaan bagi dewi Rhea (atau dengan berbagai nama lain), di mana

pendeta-pendetanya menari mengikuti lagu liar, dan dalam keadaan kerasukan mereka

merogoh darah dari si korban, darah yang berarti nyawa.”36

Rhea adalah salah satu dewi bumi

dalam mitologi Yunani. Ia dipercaya memiliki kekuatan produktif yang menyebabkan

tumbuhan mulai bersemi sehingga dapat mempertahankan kehidupan manusia dan hewan.37

Di Uspala, manusia atau binatang korban digantungkan pada pohon suci, kemudian ditusuk

dan mengeluarkan darah korban hingga mati.38

Kepada Dionysos yang adalah dewa anggur

dan penjelmaan dari berkah alam,39

disajikan korban berupa kambing dan lembu. Sementara

kepada Artemis seorang dewi bulan yang mewakili cahaya, dikorbankan beruang.40

James

Carpenter menulis, “Banyak makna yang terdapat dalam berbagai macam ritual pengorbanan

karena magi dan agama telah bercampur aduk secara aneh. Kisah-kisah panjang tentang

korban berupa manusia menggambarkan hasrat dan gairah manusia untuk memperoleh

berbagai pertolongan adikodrati. Korban-korban itu dibunuh di saat bangsa itu dalam krisis

mara bahaya, untuk menebus dosa, atau sebagai pernyataan syukur atas kemenangan.

Korban-korban itu dikuburkan di pondasi rumah atau pondasi kota supaya rohnya tetap

35

Muhammad Muhyidin, Hidup di Pusaran Al-Fatihah, Mengungkap Keajaiban Konstruksi Ummul Kitab, (Bandung: Mizan Media Utama, 2008), 136

36 M. Hashem, Misteri Darah..., 4

37 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani dan Romawi, (Jakarta: Bukune, 2010), 47

38 M. Hashem, Misteri Darah..., 4

39 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi..., 121

40 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi..., 88

Page 12: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

48

melindungi gerbang-gerbang kota itu. Manusia korban itu dibunuh pada musim bertani

supaya nyawanya dapat menyuburkan tanah dan menumbuhkan benih.”41

Dalam tulisannya, Tiele juga mengungkapkan hal yang sama bahwa di dalam dinding-

dinding Kota Kopenhagen yang kokoh itu terdapat seorang gadis kecil yang dijadikan sebagi

korban untuk mengokohkan dinding-dinding tersebut. Praktik ini dianggap Kristiani dan

dibenarkan oleh para pemuka agama. Bahkan dikatakan bahwa pembangunan gereja pun

diperlukan pengorbanan yang keji itu.42

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ritus persembahan korban di wilayah

ini merupakan sebuah ritus yang terbilang sangat kejam. Untuk menenangkan hati para dewa,

ada darah bahkan nyawa yang harus dikorbankan. Dari sini, penulis menemukan beberapa

makna persembahan korban dalam ritus yang sangat mengerikan itu. Pertama, korban

dimaknai sebagai sebuah bentuk persembahan untuk melunakkan hati para dewa. Di sini,

para pemuja atau para pemberi korban harus berupaya untuk mengambil hati para dewa

tersebut. Mereka tidak hanya sekadar memuji dan “merayu” para dewa dengan berbagai

macam puisi atau kata-kata yang menyanjung hati, tetapi semuanya itu dinyatakan lewat

pemberian nyawa seorang manusia. Hanya dengan melakukan hal tersebut, mereka meyakini

bahwa segala permintaan mereka akan dipenuhi oleh para dewa. Kedua, persembahan korban

sebagai bentuk pengampunan dosa. Sama halnya dengan yang terdapat dalam ritual korban di

wilayah lainnya, dalam komunitas ini pun memiliki pemahaman bahwa ritus persembahan

korban yang mereka lakukan merupakan sebuah upaya untuk mengharapkan pengampunan

dari yang kuasa (para dewa). Mereka meyakini bahwa dengan adanya pemberian darah atau

nyawa dari seorang manusia, maka segala bentuk kejahatan dan dosa yang telah dilakukan

sehingga melukai hati para dewa dapat diampuni.

41

M. Hashem, Misteri Darah..., 5 42

M. Hashem, Misteri Darah..., 6

Page 13: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

49

3.5 Ritus Korban dalam Komunitas Bangsa Yahudi

Selain membahas tentag ritus korban di wilayah Mediterania, penulis merasa perlu

juga untuk memaparkan tentang ritus korban dalam komunitas bangsa Yahudi. Hal ini

sebagai upaya untuk memahami Yesus sebagai korban sebagaimana tercatat di dalam Injil

termasuk Injil Matius. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa orang-

orang Yahudi yang hidup dirantauan (diaspora) tetap setia pada agama nenek moyangnya

termasuk Hukum Taurat. Dalam ajaran agama mereka, terdapat juga berbagai macam ibadah

kultis yang dilakukan sebagai bentuk pemujaan dan persembahan kepada Allah. Dalam kitab

suci Yahudi, yakni Kitab Perjanjian Lama, hampir segala sesuatu harus diselesaikan melalui

upacara korban. Ada korban penghapusan dosa, ada korban keselamatan, korban perdamaian,

korban tahunan, korban bulanan, korban mingguan (sabat), dan korban harian yang dilakukan

setiap pagi dan petang.43

Hans Weber mengatakan bahwa pelaksanaan kultis ini sebagai respon terhadap

manifestasi Allah yang berlangsung di Gunung Sinai.44

Salah satu bentuk ibadah kultis yang

telah membudaya dalam kehidupan mereka ialah pelaksanaan upacara/ritus. Ritus yang

dipandang penting dalam kehidupan mereka yakni ritus korban. Ritus yang diturunkan dari

nenek moyang mereka (Israel) ini biasanya dipimpin oleh para imam kepala dan kaum Lewi.

Keterangan mengenai seluk beluk sistem korban di Israel sangatlah minim.

Keterangan tersebut hanya dapat ditemukan dalam Kodeks-kodeks Hukum yang kuno

maupun karangan sejarah zaman pra-pembuangan di Isarel. Baru pada zaman post-

pembuangan, Kodeks Imamat melakukan pembaruan terhadap bentuk-bentuk kuno tersebut.45

Di dalam bagian prasejarah dari sumber Yahwist, terdapat dua jenis persembahan korban

yang berbeda. Kain mengorbankan hasil pertama dari tanamannya sedangkan Habel

43

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 107 44

Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah Studi Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 150 45

H. H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, Worship in Ancient Israel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 89

Page 14: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

50

mempersembahkan anak ternak pertamanya. Upacara ini dikatakan sebagai sebuah respon

atau ungkapan terimakasih kepda Yahwe atas berkat-Nya yang diberikan lewat pekerjaan

manusia. Selanjutnya, Nuh yang mempersembahkan korban kepada Yahwe setelah air bah

surut. Persembahan ini bertujuan sebagai sebuah bentuk pemujaan dan ungkapan terima kasih

kepada-Nya yang telah memberikan pertolongan. Dalam perkembangannya, hukum-hukum

para imam mengenai tata cara persembahan korban juga mencantumkan bentuk persembahan

korban lainnya yang berbeda. Korban persembahan yang dimaksudkan seperti, korban

bakaran, korban tanaman, korban perdamaian, korban dosa, dan korban salah (Im. 1-7).

Pemujaan itu membantu Israel untuk mengenang Allah mereka dan membuat mereka selalu

sadar bahwa segala sesuatu itu adalah milik Allah.46

Rowley dalam tulisannya juga memaparkan bahwa terdapat beberapa jenis korban

dalam komunitas bangsa Israel kuno.47

Pertama, korban Paskah. Upacara korban Paskah

merupakan suatu masa raya musim semi di kalangan nomadis (penggembala pengembara)

yang bertujuan mencegah pengaruh jahat yang mengancam kawanan ternak dan rumah

tangga. Upacara ini sudah dilakukan sejak perebutan tanah Kanaan sampai kepada zaman

Yosia.48

Orang-orang Israel mempertahankan hubungan perayaan ini dengan pertanian

namun tidak lagi dihubungkan dengan dewa-dewi kesuburan Kanaan yang diakui sebagai

pembawa hujan dan sinar matahari bagi pertumbuhan dan hasil panen. Perayaan ini ditujukan

hanya kepada Yahwe.49

Dalam pelaksanaan upacara korban Paskah, biasanya binatang-binatang korban

dibawa ke kuil setempat untuk disembelih disitu. Riwayat tentang perayaan Paskah ini, tidak

disebutkan mengenai adanya sebuah mezbah. Dengan demikian tidak dapat dipastikan

apakah darah dan lemak korban Paskah dipersembahkan di atas mezbah. Rowley berpendapat

46

Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 152 47

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 93 48

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 95 49

Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 154

Page 15: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

51

bahwa rupanya masing-masing keluarga menyembelih binatang korbannya sendiri. Lalu,

darah korban itu disapukan ke ambang atas dan pada kedua tiang pembantu rumah masing-

masing keluarga. Setelah itu, binatang korban itu dipanggang dalam keadaan utuh dan

dimakan habis sebelum fajar menyingsing. Bagian-bagian yang tidak dapat dimakan harus

dibakar habis sebelum esok hari. Perayaan ini selalu dikaitkan dengan masa raya Roti tak

Beragi oleh karena pada saat upacara ini berlangsung, daging korban itu biasanya dimakan

bersamaan dengan roti yang tak beragi beserta sayur pahit (Kel. 12:8).50

Kedua, korban bakaran. Upacara korban ini biasanya disebut Olah yang berasal dari

kata kerja nahasa Ibrani yang berarti naik. Maksudnya ialah korban yang naik dalam bentuk

asap. Upacara ini sering juga disebut dengan Kail yang berasal dari kata Kol yang berarti

“seluruh,” dalam arti bahwa korban itu secara keseluruhan dibakar di atas mezbah.51

Istilah

lain yang sering terdapat dalam Kodeks Imamat, tetapi jarang ditemukan ialah isysyeh yang

berasal dari kata esy yang berarti api. Maksudnya ialah korban dibakar habis dengan api.

Upacara korban bakaran ini bertujuan untuk menyatakan sembah sujud si penyembah kepada

Tuhan dan untuk menarik perhatian Tuhan dengan menyerahkan persembahan yang berharga

kepadaNya. Kodeks Imamat menyebutkan korban bakaran itu sebagi korban api-apian yang

baunya menyenangkan hati Tuhan (Im. 1:9; 13, 17). Kodeks Imamat juga mencatat bahwa

korban bakaran ini wajib disajikan dua kali sehari, yakni pagi dan sore, sebagai persembahan

masyarakat umum.52

Ketiga, korban pendamaian. Upacara korban ini kadang disebut dengan syelamim

yang berhubungan dengan kata syalom (damai, kesejahteraan). Akan tetapi, kata kerja syilem

digunakan dalam arti “melunasi utang” atau “membayar nazar.” Menurut Koehler, jika kedua

kata ini dihubungkan, maka dapat ditemukan sebuah makna “beres di hadapan Allah.” Di lain

50

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 93-94 51

Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Imamat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 31 52

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 97-98

Page 16: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

52

pihak, Pedersen menerjemahkan syelamim dengan istilah “persembahan perjanjian.”

Meskipun demikian, Rowley meragukan apakah konsep ini meliputi segala aspek dari kata

syelamim. Menurutnya, korban syelamim adalah upacara korban yang bertujuan untuk

memelihara atau memperbaiki hubungan antara si penyembah dengan Tuhan. Hal ini

bersesuaian dengan arti kata syalom yang pada akhirnya dapat dikatakan sebagai sebuah

kesadaran bahwa kesejahteraan manusia berlandaskan hubungan yang baik dengan Allah.

Proses pelaksanaan upacara korban pendamaian adalah dengan cara mencucurkan darah

korban pada kaki mezbah kemudian lemaknya dibakar di atas mezbah (Im.3:2). Sebagian dari

daging menjadi hak para imam dan sebagian lagi dimakan oleh para penyembah beserta

keluarga dan tamu-tamunya (Im. 7:11). Oleh karena itu, persembahan ini juga disebut sebagai

persembahan persaudaraan atau persembahan pembagian.53

Hans Weber mengemukakan

bahwa biasanya dalam ritus ini korban dalam bentuk hasil penenan pun turut

dipersembahkan. Biasanya setelah ritus ini dilakukan, para pemujanya akan berpesta dan

bersukaria (Kel. 3:26; bnd. Ul. 12:5-7; 1 Sam. 1:3).54

Salah satu ritus korban yang erat

kaitannya dengan korban pendamaian adalah ritus korban kambing bagi Azazel. R. D. Vaux

berpendapat bahwa Azazel merupakan nama dari salah satu roh jahat. Ritus ini merupakan

sebuah ritus yang sudah sangat kuno. Dalam upacara ini, disediakan dua ekor kambing

namun hanya satu yang disembelih sedangkan satunya lagi dilepaskan ke padang gurun.

Salah satu korban yang dilepaskan itu ditujukan kepada Azazel sedangkan korban yang

disembelih ditujukan kepada Yahwe.55

Ketiga, korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Korban penebus salah

dalam bahasa Ibrani disebut dengan istilah asyam. Istilah ini terdapat dalam dokumen-

domuken pra-pembuangan, namun yang dimaksudkan bukanlah penyembelihan binatang

53

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 99-100 54

Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 154 55

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 74

Page 17: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

53

korban melainkan simbol-simbol emas yang diletakkan di samping tabut pada waktu orang

Filistin mengembalikannya kepada Israel (1 Sam. 6:3, 4, 8, 17). Istilah asyam juga menunjuk

pada uang yang dibayar kepada imam (2 Raj. 12:17). Istilah asyam juga diartikan “salah

karena dosa” tanpa menyinggung adanya persembahan korban yang menyatakan rasa salah

itu. Sedangkan untuk upacara korban penghapus dosa digunakan istilah hata’th.56

Kata yang

diterjemahkan sebagai korban penghapus dosa pada aslinya bukan istilah tehknis di bidang

agama/kultus sama seperti korban bakaran, korban keselamatan, dan sering berart dosa saja.

Memang ungkapan ini bisa diterjemahkan sebagai untuk dosa. Jika diperhatikan, korban ini

berbeda dengan korban-korban lainnya karena sebagian besar dari korban itu bukan dibakar

di atas mezbah, tetapi di luar perkemahan.57

Kedua ritus korban ini pada dasarnya memiliki

perbedaan. Perbedaannya terletak pada proses pelaksanaannya di mana dalam ritus korban

penebus salah darah dan korban dilemparkan atau disiramkan pada mezbah. Pada

pelaksanaan korban penebus dosa, pemberi korban mencucukan jarinya ke darah korban lalu

dibubuhkan di atas tanduk-tanduk mezbah dan sisanya dituangkan di kaki mezbah.58

Menurut Luis Berkhof, ada lima teori pengorbanan dalam memahami ibadah korban

di Israel. Pertama, The gift theory. Teori ini melihat korban sebagai hadiah-hadiah atau

pemberian kepada dewa untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat

perlindungan. Kedua, The sacramental-communion theory. Latar belakang teori ini

adalah pemujaan terhadap totem. Warga komunitas ibadah bertemu pada waktu untuk

menyembelih binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka

dengan ilahi sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu. ketiga, The homage-theory.

Teori ini menyatakan bahwa korban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan

ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada Tuhan bukan karena perasaan

56

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 104 57

Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab..., 97 58

H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 102

Page 18: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

54

bersalah melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan hormat kepada

Tuhan. Keempat, The simbol-theory. Di sini korban dipahami sebagai simbol pemulihan

relasi dengan Tuhan yang terganggu. Kehadiran darah binatang korban yang merupakan

simbol kehidupan adalah untuk memulihkan kembali relasi itu. Kelima, The piacular theory.

Dalam teori ini, ritus korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang korban yang

disembelih berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi dosa dari

pemberi korban. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktek korban, baik yang

ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama manusia.59

3.6 Kesimpulan

Injil Matius yang diperkirakan dituliskan sekitar tahun 75-85 M di Anthiokia, Syria

merupakan sebuah Injil yang sangat dipengaruhi oleh konteks masyarakat Yahudi di

perantauan (diaspora). Penulisnya adalah seorang Yahudi yang dalam tulisannya banyak kali

mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi bahkan komunitas itu sendiri lewat kisah

perjanalan Yesus mulai dari kelahiran hingga amanat terakhir yang Ia berikan sebelum

terangkat ke surga. Tulisan ini menekankan terutama pada Perjanjian Lama dan Hukum

Taurat.

Anthiokia sebagai tempat penulisan Injil Matius merupakan sebuah kota yang penting

karena merupakan jalur para pedagang asing. Dalam kehidupan sosial, masyarakat ini terdiri

dari dua kelompok, yakni kelompok elit dan non-elit. Perbedaan status sosial ini seringkali

memicu konflik di antara keduanya. Selain itu, terdapat juga suatu kelompok dari kalangan

Yahudi yang disebut Kristen. Dalam komunitas Kristen dan komunitas Yahudi pun sering

terjadi konflik yang diakibatkan oleh perbedaan keyakinan yang dianut oleh masing-masing

59

Luis Berkhof, Sistematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1949), 362-363

Page 19: Bab 3 Konteks Kultural Praktik Pengorbanan 3.1 Pendahuluan · 2019. 7. 18. · “Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian Baru.

55

dari mereka. Persoalan yang dimaksud antara lain mengenai sunat, makanan yang najis dan

tidak najis, serta pemahaman mereka yang berbeda tentang Mesias.

Kota ini masih kental dengan budayanya dalam hal ini yang berhubungan dengan

keagamaan. Mereka masih percaya kepada para dewa yang memiliki kekuatannya masing-

masing. Untuk menjaga hubungan mereka dengan para dewa, mereka mengadakan berbagai

ritus termasuk di dalamnya ritus persembahan korban.

Yesus sebagaimana yang dikabarkan oleh penulis Injil Matius, hidup dalam sebuah

komunitas yang juga melakukan ritus-ritus untuk menjaga hubungan mereka dengan yang

Maha Kuasa. Korban atau persembahan yang diberikan kepada Yahwe adalah sebuah bentuk

permohonan dan perlindungan kepada Tuhan agar mereka diluputkan dari berbagai bencana

dan malapetaka. Korban juga sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas segala berkat yang

diberikan Tuhan kepada mereka. Korban yang dimaksud antara lain, korban pendamaian,

korban bakaran, korban pengampunan dosa dan pengahapusan salah. Dalam pemberian

korban tersebut darah memainkan peranan penting. Arti pentingnya darah untuk pemurnian

sudah terkenal. Hampir semua benda, menurut hukum Taurat dibersihkan dengan darah.

Tanpa menumpahkan darah tidak ada pengampunan dari dosa.60

Konteks ini adalah konteks Injil Matius yang menjadi bagian penting dalam

menafsirkan Matius 26:36-46. Penafsiran tersebut akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.

Dari penjelasan dalam bab ini jelas bahwa ritus korban memainkan peranan penting baik

dalam komunitas Yahudi maupun nonYahudi. Ritus ini bertujuan untuk menyatukan

masyarakat bahkan untuk membangun hubungan yang baik dengan yang Ilahi atau Sang

Adikodrati, mereka meyakini bahwa ada darah yang harus ditumpahkan.

60

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 28