BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1...

21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 Definisi Infertilitas Menurut the Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine (ASRM), infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk mencapai kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Wein et al., 2012). Sedangkan menurut The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO) tahun 2009 menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009). Definisi klinis ini didesain sedemikian rupa untuk dapat mendeteksi sejak dini dan melakukan penatalaksanaan yang tepat pada kejadian infertilitas (Mascarenhas et al., 2012). 2.1.2 Tipe Infertilitas Pria Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) : 1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi. 2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi. Terdapat tiga faktor yang menjadi indikator penting dalam memberikan informasi tentang fertilitas suatu pasangan di masa yang akan datang yaitu adanya hubungan seksual secara teratur, lamanya berusaha, tidak menggunakan kontrasepsi. Jika durasi infertilitas kurang dari 3 tahun, maka pasangan tersebut memiliki kesempatan yang lebih baik untuk hamil di waktu yang akan datang. Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1...

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infertilitas pada Pria

2.1.1 Definisi Infertilitas

Menurut the Practice Committee of the American Society for Reproductive

Medicine (ASRM), infertilitas didefinisikan sebagai suatu kegagalan untuk

mencapai kehamilan setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara

regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Wein et al., 2012). Sedangkan

menurut The International Committee for Monitoring Assisted Reproductive

Technology (ICMART) dan World Health Organization (WHO) tahun 2009

menyebutkan definisi infertilitas secara klinis bahwa infertilitas merupakan suatu

penyakit sistem reproduksi yang ditetapkan dengan adanya kegagalan mencapai

kehamilan klinis setelah 12 bulan atau lebih melakukan hubungan seksual secara

regular tanpa menggunakan alat kontrasepsi (Zegers et al., 2009). Definisi klinis

ini didesain sedemikian rupa untuk dapat mendeteksi sejak dini dan melakukan

penatalaksanaan yang tepat pada kejadian infertilitas (Mascarenhas et al., 2012).

2.1.2 Tipe Infertilitas Pria

Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua yaitu ( Al-Haija, 2011) :

1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah

menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara

teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah

menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita

(istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12

bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.

Terdapat tiga faktor yang menjadi indikator penting dalam memberikan

informasi tentang fertilitas suatu pasangan di masa yang akan datang yaitu adanya

hubungan seksual secara teratur, lamanya berusaha, tidak menggunakan

kontrasepsi. Jika durasi infertilitas kurang dari 3 tahun, maka pasangan tersebut

memiliki kesempatan yang lebih baik untuk hamil di waktu yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Tetapi jika durasinya sudah cukup lama artinya lebih dari 3 tahun, maka

kemungkinan terdapat masalah biologis yang berat pada pasangan tersebut ( Al-

Haija, 2011).

2.1.3 Faktor Penyebab Infertilitas Pria

Penyebab yang mendasari infertilitas pria dikelompokkan menjadi 3 faktor

yaitu level pre testikular, testikular, dan post testikular (Tanagho dan Jack ed.,

2008) :

1. Faktor pre testikular

Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses spermatogenesis.

Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan

karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:

a) Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann), defisiensi

LH, defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital. Adanya kelainan pada

hipotalamus menyebabkan tidak adanya sekresi hormonal yang berperan penting

dalam spermatogenesis sehingga menginduksi keadaan infertil.

b) Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi, radiasi),

hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-androgen, kelebihan

glukokortikoid, hipertirod dan hipotiroid) dan defisiensi hormon pertumbuhan

(growth hormone) menyebabkan gangguan spermatogenesis.

2. Faktor testikular

1) Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma Klinefelter, terjadi

penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi dengan baik, sehingga

spermatogenesis tidak terjadi.

2) Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena skrotum yang

mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis yang akan mengganggu

proses spermatogenesis.

3) Gonadotoksin (radiasi, obat)

4) Adanya trauma, torsi, peradangan

5) Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit)

6) Tumor

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

7) Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena kriptorkismus

(testis tidak turun pada skrotum).

8) Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi penyebabnya.

3. Faktor post testikular

Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens,

dan duktus ejakulatorius.

1) Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya blokade kongenital,

ketiadaan vas deferens kongenital (CAVD), obstruksi epididimis idiopatik,

penyakit ginjal polikistik, blokade didapat (vasektomi, infeksi), blokade

fungsional (perlukaan saraf simpatis, farmakologi)

2) Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia, defek maturasi,

infertilitas imunologik, infeksi).Pada reaksi imunologi, dapat ditemukan antibodi

sperma pada semen pria fertil dan infertil.Imunologi didiagnosis menyebabkan

infertilitas pria saat 50% atau lebih spermatozoa yang motil yang dilapisi oleh

antibodi sperma.Antibodi sperma ditemukan pada 3-7% pria infertil dan antibodi

ini dapat merusak fungsi sperma dan menyebabkan infertilitas pada beberapa pria

(Al-Haija, 2011).

3) Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.

2.1.4 Faktor Resiko Infertilitas Pria

Berbagai hal telah diketahui menjadi faktor resiko infertilitas pria, yaitu:

1. Usia

Usia memegang peranan penting dalam fertilitas. Puncak umur kehamilan

terjadi pada usia 34 tahun untuk pria dan wanita dan kemudian setelah usia 35

tahun akan menurun secara signifikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa level

testosteron darah akan menurun seiring bertambahnya usia dan resiko pria untuk

menjadi infertil 2 kali lipat lebih besar pada usia di atas 35 tahun dibandingkan

dengan pria di bawah 25 tahun dan 5 kali lipat pada usia di atas 45 tahun.

Produksi hormon testosteron mulai menurun sekitar usia 40 tahun, perubahan

kualitas sperma seiring dengan bertambahnya usia juga menurunkan volume

semen, motilitas dan morfologi sperma normal (Al-Haija, 2011).

2. Obesitas

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi penurunan fertilitas pada pria

gemuk. Sebuah studi di Amerika Serikat menginvestigasi petani dan istri mereka

menunjukkan bahwa peningkatan 10 kg berat badan dapat menurunkan fertilitas

sekitar 10% dan efek terbesar pada pria dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih

dari 32. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan jumlah sperma motil normal

secara signifikan pada pria tersebut (Al-Haija, 2011).

3. Alkohol

Alkohol merupakan substansi adiktif yang sangat berpengaruh pada fertilitas.

Konsumsi alkohol dengan rentang antara konsumsi alkohol yang jarang hingga

yang berat sangat berdampak pada kesehatan termasuk kegagalan

fertilitas.Konsumsi alkohol dapat merusak aksi HPG dan berpengaruh pada

spermatogenesis sehingga menurunkan kualitas sperma (Carrell ed., 2013).

4. Paparan dalam pekerjaan

Studi di Lebanon menunjukkan bahwa paparan lingkungan pekerjaan sangat

berbahaya terhadap fisik dan bahan kimianya yang dihubungkan dengan

peningkatan resiko infertilitas pria. Paparan senyawa organik saat bekerja dapat

menurunkan jumlah sperma yang motil, sejumlah senyawa yang digunakan

industri yang dapat menyebabkan efek samping pada sistem reproduksi pria yaitu

karbon disulfida yang mempengaruhi kualitas semen.Riwayat terpapar glycol

ether pada lingkungan kerja juga dapat menurunkan kualitas semen. Demikian

juga halnya pada pekerja di bidang pertanian atau pabrik pestisida yang juga

mengalami dampak negatif akibat paparan Dibromochloropropane (DBCP) dapat

menyebabkan toksisitas testikular dan menurunkan produksi sperma. Paparan

pada Ethylene Di-Bromide (EDB) juga menurunkan jumlah sperma dan

meningkatkan jumlah sperma yang abnormal.Dichloro-Diptenyl-Trichloro-ethane

(DDT) yang merupakan salah satu tipe pestisida juga dapat menurunkan fertilitas

dan mengubah jumlah sperma (Al-Haija, 2011).

5. Olahraga

Terdapat banyak keuntungan yang didapat dari berolahraga secara teratur.

Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa olahraga berat jangka panjang dapat

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

mempengaruhi kualitas parameter semen dan dapat menurunkan jumlah

testosteron total (Al-Haija, 2011).

6. Merokok

Banyak penelitian yang menyelidiki pengaruh merokok terhadap infertilitas

pria. Hasil penelitiannya masih kontroversial; beberapa penelitian menunjukkan

bahwa merokok menyebabkan efek samping pada perburukan kualitas sperma

terutama pada perokok berat, perbedaan itu didasarkan pada begitu besarnya level

stress oksidatif semen pada perokok berat dibandingkan dengan perokok ringan

maupun perokok pasif (Saleh et al., 2001). Namun studi di Singapura menemukan

bahwa merokok memang meningkatkan resiko infertilitas dan tidak terdapat

perbedaan yang menonjol antara perokok berat dan ringan. Di sisi lain, hasil yang

kontras ditemukan pada penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat

efek signifikan antara merokok dengan infertilitas pria (Al-Haija, 2011).

7. Laptop dan telepon seluler

Pemaparan jangka panjang pada laptop dapat meningkatkan suhu skrotum dan

berdampak negatif pada parameter sperma. Lebih lanjut, penggunaan telepon

seluler juga berdampak negatif pada infertilitas pria yaitu menurunkan jumlah

sperma yang hidup secara paralel pada setiap kali terpapar telepon seluler dan

juga berhubungan dengan durasi menggunakan telepon seluler tersebut (Al-Haija,

2011). Studi terbaru juga menunjukkan hal yang serupa yaitu spermatozoa

manusia bila terpapar oleh radiasi gelombang elektormagnetik dari telepon seluler

selain dapat menurunkan jumlah sperma juga dapat menurunkan motilitas sperma

dan meningkatkan stress oksidatif sperma (Vignera et al., 2012).

8. Stres

Hubungan antara stres dengan infertilitas juga diperhitungkan. Pria di bawah

tekanan stres pada hasil pemeriksaan analisa semen menunjukkan terjadi

penurunan yang signifikan pada parameter sperma (Al-Haija, 2011). Hal ini

dikaitkan dengan penurunan level testosteron yang menyebabkan kegagalan

spermatogenesis dan akhirnya berpengaruh pada jumlah, motilitas, dan morfologi

sperma (Carrell ed., 2013).

2.1.5 Diagnosis Infertilitas Pria

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Langkah yang paling penting dalam mendiagnosis pria infertil adalah

melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis mengenai

riwayat infertilitas (durasi, kehamilan sebelumnya, evaluasi dan pengobatan

fertilitas sebelumnya). Riwayat seksual juga sangat penting ditanyakan seperti

fungsi ereksi, frekuensi dan waktu melakukan hubungan seksual dengan

pasangannya. Riwayat intervensi medis sebelumnya juga tak kalah penting

ditanyakan karena hal tersebut berkontribusi dalam penegakan diagnosis dari

seperempat kasus infertilitas (Al-Haija, 2011).

Rekomendasi terbaru dalam menegakkan diagnosis infertilitas menurut

Practice Committees of the American Urological Association and the American

Society for Reproductive Medicine menyebutkan bahwa perlu dilakukannya

evaluasi infertilitas sebelum 1 tahun jika terdapat faktor resiko infertilitas pria

seperti memiliki riwayat kriptorkrismus bilateral (Wein et al., 2012). Anamnesis

juga mengenai riwayat peradangan seperti orchitis, waktu pubertas, riwayat

keluarga yang mengalami infertilitas dan penyakit sistemik lainnya (Al-Haija,

2011).

Pemeriksaan fisik merupakan langkah yang kedua dalam mendiagnosis

abnormalitas yang menyebabkan infertilitas pada pria, terdiri dari pemeriksaan

fisik secara umum dan pemeriksaan genitalia. Pemeriksaan fisik secara umum

seperti pengukuran tinggi, berat badan, dan tekanan darah yang akan memberikan

informasi tentang penyakit sistemik. Distribusi rambut di tubuh juga memberikan

indikasi produksi androgen, ukuran payudara juga perlu diinspeksi untuk

mendeteksi ginekomasti (Al-Haija,2011). Hepatomegali pada pemeriksaan

abdomen meningkatkan kecurigaan kejadian perubahan metabolisme hormon seks

steroid (Wein et al., 2012).

Pemeriksaan genitalia dimulai dengan pemeriksaan yang cermat, seperti

pemeriksaan isi skrotum yang merupakan bagian yang paling kritis dalam

pemeriksaan ini. Palpasi permukaan testis harus benar-benar dilakukan dengan

hati-hati untuk menilai konsistensi dan ada atau tidaknya massa dalam testis untuk

menyingkirkan diagnosis infertilitas akibat karsinoma testikular. Ukuran testis

juga merupakan hal yang potensial diperiksa dalam kasus infertilitas. Ukuran

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

testis normal adalah 4 x 3 cm atau volumenya 20 mL. Palpasi epididimis, korda

spermatika penting dilakukan untuk menentukan apakah terdapat peradangan atau

kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan salah satu bagian dari

etiologi infertilitas pada pria. Pemeriksaan rektal juga sebaiknya dilakukan, untuk

mengevaluasi prostat, apakah terdapat peradangan ataupun kista yang dapat

menyumbat duktus ejakulatorius (Wein et al., 2012).

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka perlu dilakukan

evaluasi lebih lanjut dalam menegakkan diagnosis infertilitas pada pria melalui

pemeriksaan analisis semen. Analisis semen merupakan prediktor yang sangat

penting dalam menentukan fertilitas pria. Analisis semen berguna untuk

mengevaluasi variasi dari parameter termasuk karakteristik spermatozoa, plasma

semen dan sel non-sperma (Wein et al., 2012).

Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok

yaitu (Wein et al., 2012):

1. Pemeriksaan makroskopik:

Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,

koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal

manusia berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi

dengan urin, maka semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah

muda pada pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien

jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar

20 menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi oleh

fibrinolisin enzim proteolitik yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran

tidak wajar berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH

merupakan komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh sekresi

vesika seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena

sekresi vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat

hipoplasia vesika seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Tabel 2.1 Gambaran Makroskopik Analisis Semen (WHO, 2010) Parameter Nilai

Normal Abnormalitas Signifikansi Klinik

pH ≥ 7,2 Asam, <7,2 Dengan volume rendah dan non koagulasi; adanya ketiadaan kongenital vas deferens bilateral, obstruksi duktus ejakulatorius, ejakulasi retrograde parsial.

Koagulasi/ pengenceran

Koagulasi dan pengenceran dalam 15-60 menit.

Tidak ada koagulasi dan pemanjangan pengenceran >60 menit.

Ketiadaan vesika seminalis kongenital.

Warna Putih keabu-abuan.

Kekuning-kuningan, merah kecoklatan.

Jaundice, karotenemia, obat, inflamasi vesika urinaria.

Viskositas ≤2cm >2cm Berhubungan dengan motilitas yang rendah.

Volume ≥1,5 mL 0 (azoospermia) <1,5mL (hypospermia)

Ejakulasi retrograde pengumpulan yang tidak lengkap, ejakulasi retrograde parsial, abstinensi seksual.

2. Pemeriksaan Mikroskopik

a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan

meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada

pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan sperma dan

motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal tidak ditemukan

adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤ 1 juta/mL serta tidak ditemukan adanya

immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non spema

mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi sperma-sperma

mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder .

b. Jumlah dan konsentrasi: Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi

pengenceran cairan semen. Jumlah sperma normal ≥ 20 juta sperma per mL.

Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut sebagai oligospermia.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Azoospermia (ketiadaan sperma) dapat disebabkan karena adanya gangguan saat

spermatogenesis, disfungsi ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi.

Laboratorium WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah yang

masih dikatakan normal adalah ≥ 20juta sperma/mL atau jumlah sperma total

≥ 39 juta/ejakulasi (WHO, 2010).

c. Motilitas: Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek

fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan

normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO tahun

2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

• Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus

maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.

• Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak

memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/ flagel

yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang bergerak.

• Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali

Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility (PR)≥

32% atau PR + NP ≥ 40% . Disebut asthenospermia (motilitas yang tidak sesuai

dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%), periode

abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus parsial, dan

varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam penetrasi ke mukosa

servikal.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

d. Morfologi

Gambar 2.1 Struktur Morfologi Sperma Normal ( Guyton dan Hall, 2007)

Morfologi sperma menunjukkan persentasi bentuk abnormal yang

ditemukan dalam semen. Terdapat dua klasifikasi yang digunakan untuk

menentukan morfologi sperma yaitu berdasarkan kriteria WHO, dan kriteria

Kruger’s strict. Teratozoospermia (<15% morfologi normal sperma) dapat terjadi

pada keadaan demam, varikokel, dan stres (Wein et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Tabel 2.2 Klasifikasi Morfologi Sperma (Wein et al., 2012)

World Health Organization (WHO)

Kruger’s Strict Criteria

Kisaran referensi nomal ≥ 4% > 14% Kepala Bentuk Oval Oval, pinggiran halus Akrosom 40%-70% dari permukaan

kepala 40%-70% dari permukaan kepala

Ukuran Panjang 4-5, 5 mm, lebar 2, 5-3, 5 mm, P/l 1,5-1,72

Panjang 3-5mm Lebar 2-3 mm

Vakuola <20% area kepala ≤ 1/4 area kepala Bagian tengah Bentuk Lurus regular, melengkung

aksial Kurus, lurus regular, melengkung aksial

Ukuran <1/3 area kepala Lebar < 1mm, panjang 1,5 x kepala

Droplet sitoplasma

<1/3 area kepala <1/3 area kepala

Ekor Tampilan Lebar Kurus , tidak melengkung Bentuk sama, tidak melengkung,

lebih kurus dari bagian tengahnya Panjang >45 mm 10 x kepala

e. Viabilitas: Standar nilai viabilitas normal dalah ≥ 58%. Bila sperma yang motil

ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas

sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia). Perlu

dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini (WHO, 2010).

f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit

merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai

pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit diatas

1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai normalnya adalah

≤ 1juta/mL (Wein et al., 2012).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

2.2. Spermatogenesis, Semen dan Kelainan pada Sperma

2.2.1 Spermatogenesis

Gambar 2.2 Spermatogenesis (Guyton dan Hall, 2007)

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa.

Spermatozoa merupakan sel yang dihasilkan oleh fungsi reproduksi pria

(Junqueira dan Jose, 2007). Spermatozoa merupakan sel hasil maturasi dari sel

germinal primordial yang disebut dengan spermatogonia. Spermatogonia berada

pada dua atau tiga lapisan permukaan dalam tubulus seminiferus. Spermatogonia

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

mulai mengalami pembelahan mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus

berproliferasi dan berdiferensiasi melalui berbagai tahap perkembangan untuk

membentuk sperma (Guyton dan Hall, 2007).

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif

akibat stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior,

yang dimulai rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh

sisa kehidupan, namun sangat menurun pada usia tua (Guyton dan Hall, 2007).

Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia bermigrasi di antara

sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus. Sel-sel sertoli ini sangat

besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang mengelilingi

spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah lumen

tubulus (Guyton dan Hall, 2007).

Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini

spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel

Sertoli akan dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk

membentuk spermatosit primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut,

selanjutnya mengalami pembelahan mitosis untuk membentuk dua spermatosit

sekunder. Setelah beberapa hari, spermatosit sekunder ini juga membelah menjadi

spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi spermatozoa (sperma) (Guyton dan

Hall, 2007).

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46

kromosom spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom

diberikan ke satu spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua (Sherwood,

2012). Keadaaan ini juga membagi gen kromosom sehingga hanya setengah

karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah, sedangkan setengah sisanya

diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan proses spermatogenesis,

dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu sekitar 74 hari

(Guyton dan Hall, 2007).

Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid

dibentuk pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel

epiteloid, tetapi spermatid tersebut segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

spermatozoa. Masing-masing spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor. Kepala

terdiri atas inti sel yang padat dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan

membran sel di sekeliling permukaannya. Di bagian luar, dua pertiga anterior

kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom yang terutama dibentuk oleh

apparatus Golgi. Selubung ini mengandung sejumlah enzim yang serupa dengan

enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi hialuronidase

(yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik yang

sangat kuat (yang dapat mencerna protein). Enzim ini memainkan peranan penting

sehingga memungkinkan sperma untuk memasuki ovum dan membuahinya

(Guyton dan Hall, 2007).

Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga komponen utama yaitu

(1) kerangka pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema, yang memiliki

struktur yang serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan sel tipe

lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok

mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal ekor ( badan ekor)

(Guyton dan Hall, 2007).

Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas

sperma. Gerakan ini disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis

di antara tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Sperma yang

normal bergerak dalam medium cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit.

Kecepatan ini akan memungkinkan sperma untuk bergerak melalui traktus

genitalia wanita untuk mencapai ovum (Guyton dan Hall, 2007).

Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan

sperma di epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma

membutuhkan waktu beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang

panjangnya 6 meter. Sperma yang bergerak dari tubulus seminiferus dan dari

bagian awal epididimis adalah sperma yang belum motil, dan tidak dapat

membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam epididimis selama

18-24 jam, sperma akan memiliki kemampuan motilitas (Guyton dan Hall, 2007).

Kemampuan bergerak maju (motilitas progresif) yang diperoleh di

epididimis, melibatkan aktivasi suatu protein unik yang disebut CatSper, yang

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

berada di bagian utama ekor sperma. Protein ini tampaknya adalah suatu kanal

Ca2+ yang memungkinkan influx Ca2+ generalisata c-AMP. Selain itu,

spermatozoa mengekspresikan reseptor olfaktorius, dan ovarium menghasilkan

molekul mirip odoran. Bukti-bukti terkini mengisyaratkan bahwa berbagai

molekul ini dan reseptornya saling berinteraksi, yang memperkuat gerakan

spermatozoa ke arah ovarium (Ganong, 2008).

2.2.2 Semen

Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen

(air mani), mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar

Cowper, dan mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat

adalah 2,5-3,5 mL setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan

hitung sperma menurun cepat bila ejakulasi berkurang. Walaupun hanya

diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum, setiap milliliter semen normalnya

mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria dengan hitung sperma 20-

40 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung yang kurang dari

20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang immotil atau

cacat juga berkorelasi dengan infertilitas. Prostaglandin dalam semen, yang

sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi

turunan asam lemak in di dalam semen tidak diketahui (Ganong, 2008).

Sperma manusia bergerak dengan kecepatan sekitar 3 mm/menit

melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-60 menit

setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah

transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi

semacam itu penting pada manusia (Ganong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Tabel 2.3 Komposisi Semen Manusia (Ganong, 2008)

Warna : putih Berat jenis spesifik : 1,028 pH : 7,35-750

Hitung sperma : Rerata sekitar 100 juta/mL, dengan bentuk abnormal kurang dari 20% Komponen lain: Fruktosa (1,5-6,5 mg/ml) Fosforilkolin, ergotionein Asam askorbat, flavin , prostaglandin Spermin Asam sitrat Kolesterol, fosfolipid Fibrinolisin, fibrogenase Seng Fosfatase asam Fosfat Bikarbonat Hialuronidase

2.2.3 Kelainan pada Sperma

Oligospermia idiopatik ditemukan bila konsentrasi sperma kurang dari 20

x106/mL tetapi lebih dari 10 x106/mL. Asthenospermia idiopatik pada kasus ini

konsentrasi spermanya normal tetapi terdapat proporsi yang rendah dari

spermatozoa dengan motilitas yang cepat. Teratozoospermia idiopatik ditemukan

bila konsentrasi dan motilitas sperma normal tetapi morfologinya abnormal.

Kriptozoospermia idiopatik didiagnosis bila tidak terdapat spermatozoa dalam

sampel semen yang baru diambil, namun mulai terlihat beberapa spermatozoa

setelah disentrifugasi (Al-Haija, 2011).

Azoospermia obstruktif didiagnosa bila semen adalah azoospermia (tidak

terdapat sperma dalam semen) namun pada biopsi testis menunjukkan terdapat

banyak komplemen spermatogenik dalam tubulus seminiferus (Al-Haija, 2011).

Terdapat banyak bukti kuat penyebab yang paling berperan dalam kejadian

infertilitas pria seperti kanker testis, penurunan kualitas semen, andesensus

Dari vesikula seminalis

(membentuk 60% volume total)

Dari prostat

(membentuk 20 % volume total)

Dapar

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

testikularis, dan hipospadia akibat gangguan pemprograman embrional dan

perkembangan gonad selama kehidupan masa janin (Al-Haija, 2011).

2.3. Leukosit

Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan imun tubuh.

Imunitas adalah kemampuan tubuh menahan atau menyingkirkan benda asing

yang berpotensi merugikan atau sel yang abnormal. Leukosit dan turunan-

turunannya, bersama dengan berbagai protein plasma, membentuk sistem imun,

suatu sistem pertahanan internal yang mengenali dan menghancurkan atau

menetralkan benda-benda dalam tubuh yang asing bagi “diri normal” (Sherwood,

2012).

Leukosit ini sebagian besar diproduksi di sumsum tulang (granulosit,

monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-

sel plasma). Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai

bagian tubuh untuk digunakan. Manfaat sesungguhnya dari sel darah putih ialah

sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami

peradangan serius. Jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan yang cepat

dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton dan Hall, 2007).

Terdapat enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan di

dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, basofil

polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, monosit, limfosit dan kadang-

kadang, sel plasma. Ketiga tipe pertama dari sel yaitu sel-sel polimorfonuklear,

seluruhnya memiliki gambaran granular, sehingga sel-sel tersebut disebut

granulosit (Guyton dan Hall, 2007).

Pada manusia dewasa, leukosit dapat dijumpai sekitar 7000 sel per

mikroliter darah. Presentasi normal dari sel darah putih kira-kira sebagai berikut

(Guyton dan Hall, 2007):

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Tabel 2.4 Persentase Normal Sel Darah Putih

Jenis-jenis leukosit Persentase sel normal

Netrofil polimorfonuklear 62,0% Eosinofil polimorfonuklear 2,3% Basofil polimorfonuklear 0,4% Monosit 5,3% Limfosit 30,0%

Pembentukan sel darah putih dimulai dari diferensiasi dini dari sel stem

hemopoietik pluripoten menjadi berbagai tipe sel stem committed. Sel-sel

committed ini selain membentuk sel darah merah, juga membentuk sel darah

putih. Dalam pembentukan leukosit terdapat dua tipe yaitu mielositik dan

limfositik. Pembentukan leukosit tipe mielositik dimulai dengan sel muda yang

berupa mieloblas sedangkan pembentukan leukosit tipe limfositik dimulai dengan

sel muda yang berupa limfoblas (Guyton dan Hall, 2007).

Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit

dan sel plasma diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya kelenjar

limfe, limpa, timus, tonsil dan berbagai kantong jaringan limfoid dalam sumsum

tulang dan plak Peyer di bawah epitel dinding usus (Guyton dan Hall, 2007).

Leukosit yang dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit,

disimpan dalam sumsum sampai sel-sel tersebut diperlukan dalam sirkulasi.

Kemudian, bila kebutuhannya meningkat, beberapa faktor seperti sitokin-sitokin

akan dilepaskan. Dalam keadaan normal, granulosit yang bersirkulasi dalam

seluruh darah kira-kira tiga kali jumlah yang disimpan dalam sumsum. Jumlah ini

sesuai dengan persediaan granulosit selama enam hari. Sedangkan limfosit

sebagian besar akan disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada

sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah (Guyton dan Hall,

2007).

Masa hidup granulosit setelah dilepaskan dari sumsum tulang normalnya

4-8 jam dalam sirkulasi darah, dan 4-5 jam berikutnya dalam jaringan. Pada

keadaan infeksi jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali

berkurang. Hal ini dikarenakan granulosit dengan cepat menuju jaringan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

terinfeksi, melakukan fungsinya, dan masuk dalam proses dimana sel-sel itu

sendiri harus dimusnahkan (Guyton dan Hall, 2007).

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam, berada di

dalam darah sebelum berada dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam jaringan, sel-

sel ini membengkak sampai ukurannya yang sangat besar untuk menjadi makrofag

jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup hingga berbulan-bulan

atau bahkan bertahun-tahun. Makrofag jaringan ini akan menjadi dasar bagi

sistem makrofag jaringan yang merupakan sistem pertahanan lanjutan dalam

jaringan untuk melawan infeksi (Guyton dan Hall, 2007).

Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara kontinu, bersama dengan aliran

limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Kemudian, setelah beberapa

jam, limfosit keluar dari darah dan kembali ke jaringan dengan cara diapedesis.

Dan selanjutnya memasuki limfe dan kembali ke darah lagi demikian seterusnya.

Limfosit memiliki masa hidup berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan

bertahun-tahun, tetapi hal ini tergantung pada kebutuhan tubuh akan sel-sel

tersebut (Guyton dan Hall, 2007).

2.4. Hubungan antara Leukosit dengan Motilitas Sperma

Leukosit terdapat dalam saluran reproduktif pria dan hampir selalu

ditemukan pada pemeriksaan cairan sperma. Secara fisiologis, kebanyakan dari

leukosit terebut berkumpul pada epididimis dan berfungsi untuk sistem imunitas

dan proses fagositosis dari spermatozoa abnormal. Kadar jenis leukosit yaitu

granulosit (50%-60%), makrofag (20%-30%) dan limfosit (2%-5%) (Aryoseto,

2009).

Pengamatan akurat jumlah leukosit adalah penting karena jika jumlahnya

berlebihan (leucocytospermia) merupakan indikasi adanya infeksi saluran

reproduksi, yang memerlukan terapi antibiotika. Selanjutnya, leukositospermia

mungkin berkaitan dengan kelainan profil semen termasuk berkurangnya volume

ejakulat, jumlah sperma, termasuk yang terpenting adalah menurunnya motilitas

sperma sehingga fungsi sperma terganggu akibat pengaruh oksidasi atau adanya

sitokin tertentu yang bersifat sitotoksik (Aryoseto, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

Batas jumlah leukosit yang apabila dilampaui akan mengganggu fertilitas

masih sulit untuk ditentukan. Pengaruh sel-sel ini tergantung dari tempat dimana

leukosit masuk semen, tipe leukosit, dan keadaan pengaktifan leukosit tersebut

(Aryoseto, 2009).

Dikarenakan hanya jumlah sperma yang dihitung dalam pencacahan

sperma, jumlah dari leukosit dapat dihitung secara relatif dengan jumlah sperma

yang diketahui. Jika N adalah jumlah dari jenis sel yang dicacah dalam sebuah

lapangan pandang sama dengan 100 sperma dan S adalah jumlah sperma dalam

juta/mL, maka C jumlah sel yang dicacah dalam juta/mL dapat dihitung

menggunakan rumus:

Contohnya: jika jumlah sel-sel leukosit yang dicacah adalah 10 per 100

sperma dan jumlah sperma adalah 120 x 106/mL, maka jumlah sel-sel leukosit

adalah: 10 ×120×104

100per milliliter = 12× 104/mL

Nilai normal jumlah leukosit adalah kurang dari 1× 106/mL ( Lackner, et

al., 2010).

Pengaruh leukosit pada motilitas sperma terdapat pada adanya sitokin-

sitokin dan reactive oxygen species (ROS). Peningkatan konsentrasi dari leukosit

dapat meningkatkan kadar kedua senyawa tersebut (Lui dan Cheng, 2007).

Peningkatan kadar sitokin dapat mengurangi beberapa produksi protein

yang dibutuhkan untuk proses spermatogenesis. Beberapa sitokin-sitokin seperti

TNF-α dan TGF-β3 yang bisa mengurangi produksi Ocludin yang dapat

mengurangi pembentukan spermatozoa dan Claudin yang menyebabkan tubulus

seminiferus terisi banyak nucleated cell yang berkumpul (Lui dan Cheng, 2007).

Peningkatan jumlah leukosit dalam semen sangat erat hubungannya

dengan reactive oxygen species (ROS). ROS itu sendiri merupakan produk normal

metabolisme seluler, termasuk diantaranya adalah ion oksigen, radikal bebas dan

peroksida. Tingkat produksi ROS oleh leukosit dilaporkan mencapai 1000 kali

lebih besar dibandingkan dengan kapasitas spermatozoa yang ada (Tremellen,

C=𝑁𝑥𝑆100

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infertilitas pada Pria 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41150/4/Chapter II.pdf · kelainan lain seperti varikokel yang juga merupakan

2008). Dalam kondisi fisiologis, sel spermatozoa memproduksi ROS dalam

jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi

fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah

yang besar ROS toksik terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari

sperma (Nallella, et al., 2005).

ROS dapat menyebabkan infertilitas melalui dua mekanisme yaitu

pertama, ROS merusak membran sperma yang dapat menurunkan motilitas

sperma dan menurunkan kemampuan untuk bergabung dengan oosit. Kemudian

yang kedua, ROS secara langsung merusak DNA sperma, yang dapat

menyebabkan gangguan perkembangan embrio karena kerusakan DNA paternal

dari sperma (Tremellen, 2008).

Hubungan leukosit dan ROS adalah pada neutrofil polimorfonuklear dan

makrofag yang merupakan sebagian besar leukosit, berperan menyerang bakteri

patogen dan benda-benda asing, keduanya berkemampuan membangkitkan ROS.

Senyawa ini dapat menginduksi lipid peroksidase di dalam membran sel, jika lipid

peroksidase dalam jumlah yang banyak ditambahkan ke dalam suspensi sperma

akan mempengaruhi motilitas sperma dan menyebabkan agregasi sperma

(Aryosetto, 2009).

Universitas Sumatera Utara