BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf ·...

40
7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi nifas adalah sebuah istilah yang umum digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan dimana terdapat serangan berbagai bakteri pada saluran reproduksi setelah persalinan. Infeksi nifas menyebabkan kematian 13% pada masa kehamilan dan persalinan dan membentuk trias letal setelah pre- eklamsia dan perdarahan (Cunningham et al., 2016). Infeksi nifas ditandai dengan gejala demam dengan suhu mulai 38 sampai 39 0 C selama 2 hari berturut-turut pada 10 hari pertama nifas, bila disertai menggingil menunjukkan adanya bakteremia, lochea berubah warna dan berbau dan nyeri pada tempat infeksi (Lowdermilk, 2010 ; Wong et al., 2015). Ibu biasanya menguluh nyeri pada abdomen, nyeri parametrial muncul bila dilakukan pemeriksaan bimanual dan abdominal. Leukositosis berkisar antara 15.000 hingga 30.000 sel/µL, namun pada kasus bedah caesar jumlah leukosit juga meningkat. Pada wanita yang tidak menyusui atau sekitar 15% akan mengalami demam nifas karena mengalami pembengkakan payudara, hal tersebut lebih rendah pada wanita yang menyusui (Cunningham et al., 2016). Perubahan yang terjadi pada masa nifas seperti konsentrasi hormon steroid termasuk hormon estrogen, progesteron, glukokortikoid dan metabolisme asam arakidonat saat mendekati persalinan berperan menekan fungsi leukosit sehingga rentan terjadinya infeksi pada masa nifas (Weissenbacher et al., 2013). Pada masa nifas terjadi penurunan jumlah dan fungsi limfosit seperti proliferasi sel, produksi antibodi dan sitokin sehingga berkontribusi menyebabkan terjadinya infeksi. Penurunan produksi sitokin pada masa nifas juga menyebabkan

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf ·...

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nifas

2.1.1 Definisi Infeksi Nifas

Infeksi nifas adalah sebuah istilah yang umum digunakan untuk

menjelaskan suatu keadaan dimana terdapat serangan berbagai bakteri pada

saluran reproduksi setelah persalinan. Infeksi nifas menyebabkan kematian 13%

pada masa kehamilan dan persalinan dan membentuk trias letal setelah pre-

eklamsia dan perdarahan (Cunningham et al., 2016).

Infeksi nifas ditandai dengan gejala demam dengan suhu mulai 38 sampai

390C selama 2 hari berturut-turut pada 10 hari pertama nifas, bila disertai

menggingil menunjukkan adanya bakteremia, lochea berubah warna dan berbau

dan nyeri pada tempat infeksi (Lowdermilk, 2010 ; Wong et al., 2015). Ibu biasanya

menguluh nyeri pada abdomen, nyeri parametrial muncul bila dilakukan

pemeriksaan bimanual dan abdominal. Leukositosis berkisar antara 15.000 hingga

30.000 sel/µL, namun pada kasus bedah caesar jumlah leukosit juga meningkat.

Pada wanita yang tidak menyusui atau sekitar 15% akan mengalami demam nifas

karena mengalami pembengkakan payudara, hal tersebut lebih rendah pada

wanita yang menyusui (Cunningham et al., 2016).

Perubahan yang terjadi pada masa nifas seperti konsentrasi hormon

steroid termasuk hormon estrogen, progesteron, glukokortikoid dan metabolisme

asam arakidonat saat mendekati persalinan berperan menekan fungsi leukosit

sehingga rentan terjadinya infeksi pada masa nifas (Weissenbacher et al., 2013).

Pada masa nifas terjadi penurunan jumlah dan fungsi limfosit seperti proliferasi

sel, produksi antibodi dan sitokin sehingga berkontribusi menyebabkan terjadinya

infeksi. Penurunan produksi sitokin pada masa nifas juga menyebabkan

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

8

perubahan respon imun sehingga meningkatkan kerentanan host terhadap infeksi

(Patra, 2013).

2.1.2 Faktor Predisposisi

2.1.2.1 Persalinan Per Vagina

Proses persalinan menjadi salah satu faktor utama penyebab terjadinya

infeksi uterus. Persalinan melalui bedah caesar meningkatkan infeksi yakni

hampir 25 kali lipat dibandingkan persalinan per vagina. Pada persalinan per

vagina, kasus metritis lebih jarang terjadi dibandingkan dengan bedah caesar.

Resiko terjadinya infeksi pada persalinan per vagina disebabkan oleh kasus

seperti pecah ketuban, persalinan lama, pemeriksaan pembukaan serviks yang

berulang, korioamnionitis dan manual plasenta juga mempunyai resiko

peningkatan kasus metritis (Cunningham et al., 2016).

2.1.2.2 Bedah Caesar

Pemberian profilaksis antimikrobial dosis tunggal perioperatif hampir rutin

diberikan pada pasien yang akan melakukan bedah sesar. American Collage of

Obstetricians and Gynecologists merekomendasikan pemberian profilaksis

antimikroba tersebut kepada ibu-ibu yang akan melakukan bedah sesar dengan

resiko tinggi mengalami infeksi pascapartum. Profilaksis antimikroba dosis tunggal

telah terbukti mampu mengurangi insiden dan keparahan infeksi pasca bedah

caesar dibanding tindakan lainnya yang telah terbukti selama 30 tahun terakhir

(Cunningham et al., 2016).

Faktor resiko infeksi pasca bedah caesar antara lain persalinan lama,

ketuban pecah, pemeriksaan pembukaan serviks yang sering, dan pemantaun

janin internal. Ibu-ibu dengan semua faktor resiko tersebut jika tidak diberikan

profilaksis antimikroba perioperatif maka mempunyai resiko 90% angka infeksi

pelvis yang serius (Manuaba, 2009).

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

9

2.1.2.3 Faktor Risiko Lainnya

Sebagaimana diketahui secara umum bahwa infeksi pelvis lebih sering

dialami oleh ibu dengan keadaan sosial ekonomi yang lemah dibandingkan

dengan ibu yang mampu, sedangkan anemia dan asupan nutrisi yang kurang bisa

dikatakan tidak banyak mempengaruhi presdisposisi terjadinya infeksi

(Cunningham et al., 2016).

Kolonisasi bakteri pada traktus genetalis bagian bawah dengan

mikroorganisme tertentu seperti streptokokus grup B, Chlamydia trachomatis,

mycoplasma hominis, ureaplasma urealyticum, dan gardnella vaginalis menjadi

penyebab meningkatnya resiko infeksi nifas. Pada 5 tahun terakhir, infeksi kulit

dan jaringan lunak karena community-acquired methicillin-resistant

Staphylococcus aureus (CA-MRSA) telah banyak terjadi, bahkan strain tersebut

bukan merupakan agen utama metritis puerperal tetapi merupaka penyebab

utama infeksi luka insisional (Cunningham et al., 2016). Seorang wanita dengan

selulitis episiotomi yang disebabkan oleh MRSA dan pneumonia nekrotikans yang

dapat menyebar dengan cara hematogen (Rotas, 2007).

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya resiko infeksi nifas yakni

mencakup bedah caesar untuk kehamilan kembar, usia ibu yang masih muda dan

nullipara, induksi persalinan yang lama, obesitas, dan cairan amnion yang

bercampur mekonium (Cunningham et al., 2016).

2.1.3 Bakteriologi

Penyebab tersering terjadinya infeksi pada masa nifas adalah masuknya

bakteri melalui perlukaan jalan lahir seperti episiotomi, diantara bakteri yang sering

teridentifikasi pada infeksi nifas antara lain : Chlamydia, Clostridium tetani,

Clostridium welchii, Escherichia coli, Gonococci, Staphylococci dan Streptococci

(Wong et al., 2015).

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

10

Penelitian pada sekitar 6077 pasien nifas yang melahirkan secara per

vagina dan bedah caesar di Rumah Sakit Khanevadah mulai tahun 2003 sampai

2008, ditemukan diantaranya 461 pasien yang mengalami infeksi nifas. Diantara

bakteri yang berhasil diisolasi antara lain : Peptostreptococcus spp sejumlah 57

pasien (12,4%), Enterococcus 54 (11,8%), Bakteroids spp sejumlah 50 pasien

(10,9), Peptococcus spp 49 (10,7%), E.coli dan enterobacteriaceae 43 (9,3%),

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis 36 (7,9%), Streptococcus

agalactie 34 (7,3%), Gardnerella vaginalis 31 (6,8%), Streptococcus pyogenes 31

pasien (6,7%), Staphylococcus saprophyticus 27 (5,8%), Mycoplasma hominis dan

Ureaplasma 15 (3,2%), Chlamydia trachomatis 11 (2,3%), Clostridium 10 (2,1%),

dan N.gonorheae 4 (0,8%) dan semua bakteri diatas adalah bakteri flora normal

vagina (Nahid et al., 2009).

Sedangkan pada penelitian lainnya ditemukan bahwa sekitar 42 ibu hamil

(8%) dari 524 ibu hamil dengan kehamilan aterm dan preterm positif terinfeksi

Staphylococcus aureus, selain itu bakteri lain yang juga teridentifikasi adalah

Candida albican 189 (36%), E.coli 42 (8%) dan Streptococcus agalactie 25 (4,8%)

(Dechen et al., 2010).

Namun pada beberapa tahun terakhir, infeksi pada kulit dan jaringan lunak

banyak disebabkan oleh bakteri staphylococcus. Dalam penelitian yang dilakukan

oleh Chen et al., (2006) dinyatakan bahwa 17% wanita hamil ditemukan koloni

Staphylococcus aureus di vagina mereka. Yang dikhawatirkan adalah galur bakteri

tersebut resisten terhadap beberapa antibiotik seperti penisilin, dan galur bakteri

yang resisten tersebut semakin banyak menyebar terutama galur bakteri

methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Sekitar 14.300 wanita hamil

atau postpartum mengalami infeksi MRSA pada tiap tahun secara invasif.

Akibatnya terjadi abses atau selulitis yang sebagian besar didapati pada wanita

yang terinfeksi HIV, pemakai narkoba suntik dan diabetes (Beigi et al., 2009).

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

11

2.1.4 Patogenesis

Infeksi nifas yang terjadi setelah persalinan per vagina melibatkan tempat

implantasi plasenta, desidua dan juga miometrium di sekitarnya, atau melalui

laserasi servikovaginal. Sedangkan patogenesis infeksi uterus pasca caesar

adalah pada tempat insisi bedah caesar. Bakteri yang bertempat pada serviks dan

vagina secara normal mendapatkan akses untuk masuk ke dalam cairan amnion

pada saat persalinan dan postpartum. Bakteri tersebut menginvasi jaringan mati

pada uterus, selanjutnya terjadi selulitis parametrial dengan infeksi jaringan ikat

fibroareolar retropritoneal pelvis. Pada proses terapi awal, infeksi hanya terjadi di

dalam jaringan paravaginal saja, tetapi selanjutnya dapat meluas hingga ke pelvis

(Cunningham et al., 2016). Skema patogenesis infeksi pada luka insisi dapat dilihat

pada gambar berikut :

Pemeriksaan serviks Pemantauan internal Persalinan lama Insisi uterus

Trauma Pembedahan Jahitan Jaringan mati Darah dan serum

Gambar 2.1 Skema Patogenesis Metritis Pasca Bedah CaesarInfeksi nifas pada bedah caesar dapat terjadi melalui cairan amnion padaservikovaginal saat proses persalinan, selanjutnya bakteri akan menginvasijaringan mati di uterus dan dapat menyebar ke organ yang lainnya melaluidarah (Cunningham et al., 2016).

Flora normal bakteriservikovaginal

Inokulasi Insisi Uterus

Kondisi Anaerob

Infeksi KlinisProliferasi Bakteri

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

12

2.1.5 Sindrom Syok Toksik

Sindrom syok toksik ditandai dengan keluhan demam akut dengan

komplikasi yang berat mempunyai resiko meningkatkan angka kematian 10 hingga

15%. Keluhan seperti demam, sakit kepala, stres, ruam eritematosa makular difus,

edema subkutan, mual, muntah, diare air, dan hemoknsentrasi yang jelas. Gagal

ginjal dan disertai gagal hati, koagulasi intravaskular diseminata dan kolaps

kardiovaskular dapat menyertai di dalam urutan dengan sangat cepat

(Cunningham et al., 2016).

Bakteri Staphylococcus aureus telah ditemukan pada hampir semua pasien

yang mengalami infeksi. Secara spesifik, eksotoksin stafilokokus atau yang

dinamakan dengan Toxic Shock Syndrome Toksin-1 (TSST-1) menyebabkan

manifestasi klinis yang memicu kerusakan endotel yang parah. Dalam jumlah yang

sangat sedikit, TSST-1 mampu mengaktifkan 5 hingga 30% sel T untuk membuat

“badai sitokin” (Cunningham et al., 2016).

Berdasarkan beberapa kasus, infeksi tidak terlihat tetapi kolonisasi

permukaan mukosa menjadi sumber infeksi. Pada wanita hamil terdapat 10-20%

terdapat kolonisasi Staphylococcus aureus pada vagina, sehingga tidak

mengherankan jika resiko infeksi karena kolonisasi bakteri tersebut akan

berkembang pada saat postpartum. Penemuan yang hampir serupa dengan syok

septik ditemukan pada wanita dengan kolonisasi bakteri Clostridium sordelli

(Cunningham et al., 2016).

Pemberian antimikroba selain mencakup terapi untuk bakteri

Staphylococcus dan Streptococcus juga harus mencakup agen terapi infeksi

polimikroba. Pada kasus dengan infeksi seperti disebut diatas membutuhkan

debridemen luka yang intensif karena mempunyai kemungkinan histerektomi.

Karena toksin tersebut sangat poten sehingga semakin meningkatkan resiko

mortalitas maternal dan fetal (Cunningham et al., 2016).

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

13

2.2 Staphylococcus aureus

2.2.1 Pengertian

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang tersusun

berkelompok seperti buah anggur (seperti yang terlihat pada gambar 2.2). Bakteri

ini umumnya terdapat pada kulit dan membran mukosa. Staphylococcus aureus

merupakan jenis bakteri yang banyak menyebabkan infeksi terutama pada

manusia (Brooks et al., 2007). Staphylococcus aureus menjadi penyebab infeksi

di masyarakat dan juga nosokimial, kolonisasi bakterial sendiri seringkali tidak

terlihat menimbulkan gejala dan banyak hidup di hidung manusia (Dzen et al.,

2003).

Staphylococcus aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif, tes katalase

positif serta mampu bertahan hidup di lingkungan halofilik (tinggi kandungan

garam) misalnya NaCL 10% (Jawetz et al., 1996).

(a) (b)

Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus(a) Staphylococcus aureus dengan pewarnaan gram menunjukkan bahwaadalah jenis bakteri gram positif, akan terlihat bergerombol seperti anggur,berbentuk bulat dan berwarna ungu; (b) Staphylococcus aureus yangditanam di media Mannitol Salt Agar (MSA) akan memfermentasi manitoldan akan berwarna kuning keemasan (Jawetz, et al., 2014 & Acharya, T.2013).

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

14

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk

kokus dengan ukuran diameter sekitar 0,5 – 1 µm. Pada pemeriksaan secara

mikroskopis Staphylococcus aureus tampak seperti berpasangan seperti buah

anggur. Staphylococcus aureus bersifat tidak motil dan tidak membentuk spora

bila dipengaruhi oleh obat seperti pensilin (Brooks et al., 2007).

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Staphylococcus aureus menurut Bergey dalam Capuccino

(1998) adalah sebagai berikut :

Domain : Bacteria

Phylum : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Ordo : Bacillales

Family : Staphylococcaceae

Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

2.2.3 Patogenesis Staphylococcus aureus

Patogenesis Staphylococcus aureus dibedakan menjadi 3 yaitu infeksi

invasif, toksikosis dan campuran. Cara invasif yaitu Staphylococcus aureus

penetrasi melalui kulit atau mukosa sehingga menyebabkan terjadinya infeksi

lokal, yang ditandai dengan keluarnya sekret purulen dan abses. Contoh infeksi

lokal Staphylococcus aureus adalah mastitis puerperalis. Yang kedua yakni

toksikosis dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan, yang ditandai

dengan gejala mual, muntah, diare berat yang terjadi setelah makan makanan

yang sudah terkontaminasi oleh enterotoksin. Dan yang terakhir adalah tipe

campuran, gejala klinis patogenesis campuran antara lain : dermatitis exfoliative,

pemphigus nenonatorom dan bullous impetigo yang disebabkan oleh toksin

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

15

eksfoliatif. Sedangkan gejala klinis dari TSST-1 adalah sindrom syok toksik yakni

berupa hipotensi, demam dan lesi pada kulit scarlatinifum (Kayser et al., 2005).

2.2.4 Patofisiologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus memiliki faktor virulensi yang dapat menimbulkan

infeksi pada saat memasuki tubuh dan menghadapi respon imun. Berikut adalah

beberapa cara bakteri Staphylococcus aureus menimbulkan infeksi pada tubuh

berdasarkan Naber (2009) antara lain :

a. Adhesi dan kolonisasi

Staphylococcus aureus menghasilkan taichoid acid pada permukaan kulit,

yang dapat menyebabkan bakteri tersebut memiliki kemampuan untuk menempel

dan berkolonisasi pada kulit selanjutnya akan merusak tempat yang ditempeli

tersebut sehingga menyebabkan infeksi yang serius pada aliran darah.

b. Invasi

Staphylococcus aureus mengganggu pertahanan imun pertama pada kulit

dengan cara mengeluarkan exfoliative toxin, hemolysin yang dapat membentuk

pori pada membran sel kulit, serta beberapa enzim lainnya yang dapat merusak

jaringan. Invasi terjadi pada saat adanya gangguan sistem imun (immune

compromised), terdapat kerusakan intergument secara fisik dan pada saat terjadi

inflamasi.

c. Evasi

Staphylococcus aureus juga dapat menghindari respon imun dengan cara

mengeluarkan protein anti-opsonisasi (protein yang menghambat kemotaksis)

dengan cara mencegah fagositosis dari neutrofil yang disebut dengan potein A

yang memiliki bahan anti-fagositosik pada permukaan sel S.aureus. Selain itu

Staphylococcus aureus juga mengeluarkan leukotoxin yang dapat melisiskan

leukosit dan mengekspresikan superantigen (yang menyebabkan Toxic Shock

Syndrome) sehingga mampu mengalahkan respon imun dengan induksi kuat,

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

16

stimulasi polyclonal dan ekspansi dari reseptor sel T Vβ-Spesifik sel T (diikuti oleh

supresi sel T).

d. Biofilm

Staphylococcus aureus mampu meregulasi ekspresi gen hingga

membentuk biofilm yang tipis pada kulit yang rusak, peralatan medis, katup

jantung yang sehat maupun yang rusak. Koloni Staphylococcus aureus pada fase

stasionery dengan adanya biofilm, menunjukkan hampir seluruhnya resisten

terhadap agen antimikroba. Matriks biofilm ini mampu memproteksi sel imun

terutama imunoglobulin serta membatasi penetrasi antibiotik.

e. Resistensi Antibiotik

Staphylococcus aureus mampu meningkatkan resistensinya terhadap

beberapa antibiotik diantaranya : penisilin, methicillin, vancomycin, linezolid dan

cephalosporin. Staphylococcus aureus akan menghasilkan β-lactamase sehingga

menyebabkan efek penicillin. Methicillin-Resistants Staphylococcus aureus

(MRSA) memiliki gen mec sebagai pengikat penicillin dan gen fem mampu

memberikan resistensi terhadap methicillin, penicilline-resisten dan

cephalosporins. Resistensi terhadap vancomycin bergantung pada gen vanA dan

resistensi terhadap linezoid disebabkan oleh mutasi pada RNA S.aureus.

2.2.5 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus aureus dapat menimbulkan berbagai penyakit

dengan cara pembentukan berbagai macam zat seperti protein, enzim dan toksin,

berikut adalah faktor yang berperan sebagai faktor virulensi menurut Jawetz et al.

(2014), Irianto (2014) dan Todar (2005) adalah sebagai berikut :

1. Katalase

Katalase adalah enzim yang menyebabkan bakteri mampu bertahan terhadap

proses fagositosis. Uji katalase mampu membedakan genus bakteri

Staphylococcus dan Streptococcus.

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

17

2. Koagulase

Enzim koagulase yang terdapat pada bakteri Staphylococcus aureus dapat

menyebabkan penggumpalan plasma oksalat dan plasma sitrat. Selain itu,

esterase yang dihasilkan juga dapat meningkatkan penggumpalan, sehingga

terbentuk deposit fibrin pada permukaan bakteri yang dapat menghambat

fagositosis.

3. Hemolisin

Hemolisin adalah protein eksotoksin yang dikode di kromosom dan mempunyai

kemampuan melisiskan eritrosit, membebaskan Hb dan menghancurkan

banyak sel-sel lain. Hemolisin adalah imunogenik yang aktifitasnya dapat

dinetralkan oleh antibodi. Hemolisin dapat merusak eritrosit, menyebabkan

nekrosis jaringan lokal dan membunuh hewan coba. Hemolisin dibedakan

menjadi hemolisin alfa, beta, delta toksin.

Alfa toksin (α-toksin) adalah toksin yang mempunyai karakteristi diproduksi oleh

S.aureus. Pada manusia, α-toksin paling sensitif terhadap trombosit dan

monosit sedangkan pada hewan adalah eritrosit. α-toksin dapat dinetralkan

oleh IgG, namun tidak mampu dinetralisir oleh IgA dan IgM.

Beta toksin (β-toksin) merupakan sphingomyelinase yang banyak selaput lipid.

Toksin dapat menyebabkan hot-cold lysis pada eritrosit domba, setalah

diinkubasi selama 1 jam pada suhu 370C. Bakteriofag yang lisogenik diketahui

menyandi toksin tersebut.

Delta toksin (δ-toksin) merupakan peptida yang sangat kecil yang diproduksi

oleh bakteri Staphylococcus aureus dan S.epidermis, namun perannya belum

jelas diketahui.

4. Leukosidin

Leukosidin adalah protein toksin multicomponent yang dihasilkan sebagai

komponen terpisah. Toksin ini mampu membunuh sel darah putih pada

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

18

beberapa hewan tetapi patogenesis pada manusia masih belum jelas. Karena

diketahui bahwa, Staphylococcus patogen tidak mampu membunuh sel darah

putih pada manusia karena dapat difagositisis.

5. Toksin eksofoliatif

Toksin eksofoliatif dikenal mempunyai aktifitas proteolitik yang dapat

melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebakan

terjadinya pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum.

Toksin ini yang menybabkan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome yang

ditandai dengan melepuh pada kulit.

6. Toxic Shock Syndrome Toxin (TSST)

Sebagian besar dari galur Staphylococcus aureus yang berhasil diisolasi dari

penderita sindrom syok toksik, didapatkan toksin eksotoksin pirogenik. Toksin

ini dikenal mampu menyebabkan demam, syok, ruam pada kulit dan gangguan

multisistem pada organ tubuh manusia jika bakteri berhasil menginvasi dalam

waktu 3-5 hari.

7. Enterotoksin

Enterotoksin merupakan enzim yang tahan panas, pH basa di dalam usus,

enzim ini adalah penyebab utama keracunan makanan dengan waktu inkubasi

1-8 jam.

2.3 Respon Imun

2.3.1 Sistem Imun Non Spesifik

Sebagaimana diketahui, tubuh manusia memiliki imunitas bawaan (innate

immunity) yang merupakan benteng pertahanan tubuh yang pertama setelah kulit

dan mukosa. Sistem imun bawaan akan mengaktivasi fagosit (neutrofil dan

makrofag) serta komplemen yang memegang peranan sangat penting. Aktivasi

fagosit tersebut menggunakan reseptor permukaan yaitu reseptor mannose,

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

19

reseptor Fc dan aktivasi Toll-like receptors (TLRs) yang berfungsi sebagai

pengenal bakteri ekstraseluler dan meningkatkan fagositosis terhadap mikroba.

Bakteri gram positif yang mengandung peptidoglycan pada dinding selnya dan

lipopolysacharida (LPS) yang meningkatkan aktivasi komplemen pada jalur

alternatif. Bakteri tersebut juga mengekspresikan ikatan mannose-binding lectin

yang dapat mengaktifkan jalur lectin komplemen. Dimana fungsi daripada aktivasi

komplemen adalah untuk meningkatkan opsonisasi yang meningkatkan

fagositosis (Abbas & Litchman, 2014).

Proses fagositosis yang dilakukan oleh fagosit (neutrofil dan makrofag)

terjadi dalam 5 fase antara lain : fase pergerakan, perlekatan, penelanan

(ingestion), degranulasi, dan pembunuhan (killing). Diawali dengan penelanan

bakteri, dimana proses ini karena fagosit membentuk tonjolan pseudopodia,

kemudian membentuk kantung yang mengelilingi bakteri dan akan mengurungnya

sehingga bakteri akan terkurung di dalam kantung (vakuola) atau yang disebut

fagosom. Kemudian fagosom dengan berbagai jenis enzim dan protein lain dari

granula intraseluler bergabung (fusi) sehingga menyebabkan terjadinya

degranulasi dan respiratory burst di dalam fagolisosom. Enzim dan protein yang

terdapat di dalam granula tersebut mampu membunuh kuman, dengan cara

oksidatif maupun dengan cara non-oksidatif (Mayer, 2016).

Proses oksidatif dapat berlangsung dengan cara mieloperoksidase

ataupun tidak. Sedangkan proses non-oksidatif berlangsung dengan cara bantuan

protein sitolitik misalnya flavoprotein, sitokrom-β, laktoferin, lisozim, katepsin G,

defensin, dan sebagainya. Proses pembunuhan mikroba, pH dalam fagosom akan

meningkat menjadi basa selanjutnya turun kembali menjadi asam. Mekanisme

pembunuhan bakteri dengan cara non-oksidatif terjadi karena protein neutrofil

bermuara positif, sedangkan makrofag dalam suasana pH basa bersifat mampu

membunuh mikroba (Abbas & Litctman, 2015).

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

20

2.3.2 Sistem Imun Spesifik

Sistem imun spesifik bereaksi melawan mikroba dengan cara merangsang

limfosit B untuk mensekresikan antibodi. Limfosit T meregulasi sintesis antibodi

serta sel T yang bertugas sebagai sel T helper (Th1 dan Th2) dan sel T sitolitik.

Respon sistem imum spesifik diawali dengan terdeteksinya mikroba patogen oleh

makrofag sebagai Antigen Presenting Cells (APC) yang selanjutnya akan

dipresentasikan melalui MHC-II kepada sel TCD4+. Kemudian sel TCD4+ akan

mengeluarkan sitokin pro-inflamasi yang akan menginduksi terjadinya inflamasi

lokal, meningkatkan proses fagositosis, aktivitas mikrobisida dari makrofag dan

neutrofil, dan juga akan merangsang sel B untuk mensekresikan antibodi (Subowo,

2014).

Aktivasi sel B dapat terjadi dengan 2 cara yaitu aktivasi melalui jalur sel T

dependen dan sel T independen. Aktivasi melalui sel T dependen yaitu dengan

cara teraktivasinya sitokin-sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yaitu sitokin IL-4,

IL-5, IL-10 dan IL-13 maka akan meningkatkan proliferasi sel B yang akan

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mengeluarkan antibodi. Sedangkan

aktivasi melalui sel T independen berarti proliferasi sel B menjadi sel plasma dan

mengeluarkan antibodi tidak dibantu oleh jalur sitokin Th2 (Baratawidjaja dan

Rangganis, 2014).

Mekanisme antibodi dalam membunuh mikroba penyebab infeksi yaitu

dengan cara neutralisasi, opsonisasi dan fagositosis dan juga aktivasi komplemen.

Proses neutralisasi akan meningkatkan antibodi Immunoglobulin A (IgA) dalam

lumen organ mukosa, proses opsonisasi dan fagositosis dimediasi oleh subkelas

IgA dan aktivasi komplemen dimediasi oleh IgM dan IgG. IgA sendiri merupakan

produk sel plasma yang paling banyak ditemukan pada sekresi saluran nafas,

saluran cerna dan saluran kemih, keringat, ludah, air mata dan air susu ibu (ASI),

di dalam ASI bentuk sekretori IgA (sIgA) (Abbas & Lichtman, 2015).

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

21

2.3.3 Konsep Keseimbangan Th1 dan Th2

Pertumbuhan sel TH1 dan TH2 bukan proses acak tapi diatur oleh stimulus

yang diterima oleh sel T CD4+ yang naïf ketika mereka bertemu antigen mikroba.

Makrofag dan sel dendritik merespon banyak bakteri dan virus dengan

menghasilkan sitokin yang disebut IL-12. Ketika sel T naïf mengenali antigen dari

mikroba tersebut maka akan ditunjukkan oleh APC yang sama, sel T juga terpapar

dengan sitokin IL-12. IL-12 membantu diferensiasi sel T menjadi Th1, yang

kemudian memproduksi IFN- untuk mengaktifkan makrofag untuk mempercepat

pembunuhan mikroba (Abbas & Lichtman, 2015).

Produksi IL-12 oleh APC mempengaruhi respon imun adaptif, yang

mengarahkannya menuju sel Th1. Jika bakteri penyebab infeksi tidak

menyebabkan produksi IL-12 oleh APC, seperti kasus dengan helminth, sel T

sendiri yang akan memproduksi IL-2 yang mendorong diferensiasi sel ini menuju

bagian Th2, selanjutnya Th2 akan memproduksi IL-4 untuk sebagai respon imun

terhadap bakteri patogen dengan cara memproduksi antibodi, seperti yang terlihat

pada gambar 2.3 di bawah ini (Abbas & Lichtman, 2015).

Gambar 2.3 Perkembangan sel Th2 efektorKeseimbangan Th1 dan Th2 dipengaruhi oleh respon imun terhadap jenismikroba yang masuk, diferensiasi Th1 distimulasi oleh sitokin IL-2sedangkan pada Th2 diinduksi oleh sitokin IL-4 (Abbas & Lichtman,2015).

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

22

Keseimbangan antara diferensiasi Th1 dan Th2 dapat dipengaruhi oleh tipe

sel dendritik yang pada awalnya merespon infeksi dari mikroba tertentu. Jenis sel

dendritik akan dikenali tergantung pada jenis respon dan sitokin yang dikeluarkan.

Diferensiasi sel Th CD4+ menjadi bagian Th1 dan Th2 pada imunitas adaptif, dapat

menjelaskan bagaimana respon imun tubuh terhadap tipe mikroba yang masuk.

Selanjutnya, sel Th1 atau Th2 akan berkembang dari sel Th naif yang dikenali

antigen sehingga menghasilkan sitokin yang memperkuat diferensiasi sel T

(Baratawidjaja dan Rangganis, 2014).

Sel T CD8+ yang diaktifkan oleh antigen dan costimulator dibedakan

menjadi CTL (Cytolitic) yang mampu untuk membunuh sel terinfeksi yang

mempresentasikan antigen, CTL efektor akan membunuh sel yang terinfeksi

dengan cara mengeluarkan protein yang menimbulkan pori-pori pada membran

sel yang terkena infeksi dan mendorong pembagian DNA dan kematian sel.

Diferensiasi sel T CD8+ menjadi CTL efektor disertai dengan sintesis molekul yang

membunuh sel yang terinfeksi oleh mikroba (Abbas & Lichtman, 2015).

2.3.4 Respon Imun Mukosa Vagina

Vagina adalah pintu masuk ke dalam traktus genetalia pada wanita, vagina

dilapisi oleh epitel skuamus kompleks non-keratinisasi. Permukaan epitel kulit

vagina dan ektoserviks mempunyai kesamaan struktur, namun berbeda dengan

endoserviks yang dilapisi oleh sel epitel kolumner simpleks, dimana lapisan ini

memproduksi mukus yang membasahi dan melindungi epitel. Apabila terjadi

infeksi, trauma fisik, dan kimiawi maka dapat menyebabkan kerusakan sel epitel

dan membuka pintu masuknya patogen. Karena kulit dan mukosa merupakan

pertahanan awal terhadap patogen yang dapat menginfeksi masuk (Baratawidjaja

dan Rengganis, 2014).

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

23

Pertahanan kedua yakni sistem imum bawaan pada mukosa. Sistem ini

aktif bila dipicu oleh invasi patogen. Pengenalan antigen tersebut dimediasi oleh

Pattern Recognition-Receptor (PRR) yang terdiri dari Toll-Like Receptor (TLR),

NOD-like Receptor (NOD) dan Ribonukleated Acid (RNA) helicases. Reseptor-

reseptor tersebut mendeteksi antigen dengan cara pengenalan protein pemicu

yang dimiliki antigen atau yang dikenal dengan Pathogen-Associated Molecular

Pattern (PAMP), sebagai contoh bakteri gram negatif akan mengeluarkan

lipopolisakarida dan teichoid acid pada bakteri gram positif sebagai antigen PAMP

(Subowo, 2014).

Apabila PRR teraktivasi oleh patogen makan sel epitel akan melepaskan

beberapa kemokin seperti IL-8, RANTES, MIP-1α dan β, dan SDF-1 yang akan

mengumpulkan sel imun lain untuk menuju ke tempat yang terinfeksi. Selain itu,

sitokin proinflamasi juga dikeluarkan seperti IL-12, IFN-Ɣ, TNF-α dan IL-1β yang

akan mengaktifkan leukosit, serta sitokin IL-6, IL-15, TGF-β dan G-CSF yang

mempengaruhi diferensiasi dan regulasi respon limfosit T dan B. Sel-sel fagosit

yang terdiri dari makrofag, neutrofil, eosinofil, sel mast, sel dendritik, sel epithelial

dan sel Natural Killer (NK) berada pada jaringan mukosa (Pudjiati, 2010).

Pertahanan selanjutnya adalah sistem imun adaptif pada mukosa yang

terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Imunitas humoral dimediasi oleh antibodi

yang diproduksi oleh sel plasma. Setelah di stimulasi oleh antigen yang masuk,

maka sel B di jaringan limfoid berdiferensiasi menjadi sel plasma yang selanjutnya

mengeluarkan IgA yang disekresi di mukosa jaringan limfoid genitourinaria yang

disebut dengan IgA sekretori (sIgA), sedangkan IgG bergerak ke sumsum tulang

atau ke daerah inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Sedangkan imunitas seluler pada mukosa merupakan kunci pertahanan

terhadap patogen intraseluler. Pada mukosa genetalia terdapat sel T dan sel B,

regional kecil sistem imun adaptif yang khusus pada mukosa genitourinaria,

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

24

dimana terdapat Mucosal-Associated Lymphoid Tissue (MALT) yang kurang

menonjol. Pada saat sel densritik atau Antigen Presenting Cell (APC) yang berada

di lamina propia teraktivasi oleh antigen yang masuk, maka sel dendritik bermigrasi

menuju jaringan limfoid geniuterinaria dan mempresentasikan antigen ke limfosit

T, dari sini mulai terjadinya respon imun pada mukosa (Baratawidjaja dan

Rengganis, 2014).

2.3.5 Respon Imun pada Staphylococcus aureus

Respon imun berfungsi untuk melawan pathogen. Respon imun pada awal

infeksi bakteri Staphylococcus aureus ditandai dengan adanya sel neutrofil dan

makrofag setelah bakteri tersebut melewati barier kulit atau mukosa. Neutrofil dan

makrofag merupakan garis pertahanan terdepan (innate immunity) yang mampu

bergerak aktif dan dalam waktu singkat berkumpul dalam jumlah sangat banyak di

area yang mengalami inflamasi (Sunarso, 2007).

Selain itu, makrofag juga berperan sebagai antigen presenting cells (APC).

Peran makrofag, bakteri akan difagositosis dan juga akan dikenali oleh MHC II

selanjutnya akan dipresentasikan sebagai bentuk antigen peptida. Kemudian MHC

II akan berikatan dengan dengan limfosit T helper (CD4+) pada T Cell reseptor

(TCR) (Abbas, 2015).

Sel T CD4+ yang teraktivasi akan kehilangan CD62L dan mengekspresikan

berbagai molekul seperti CD25, CD44 dan CD69 sebagai bentuk perlawanan dan

meregulasi aktivitas sel T efektor yang teraktivasi akibat adanya paparan dari

antigen bakteri (Rifa’i, 2011). Selanjutnya sel T CD4+ efektor akan mensekresikan

IFN-Ɣ yang berfungsi sebagai aktivasi makrofag, fagositosis dan killing bacteri.

Kemudian sel T CD4+ akan mengeluarkan sitokin IL-2 yang mengakibatkan

aktivasi sel T sitotoksik (CD8+) dan sel Treg (CD4+ CD25+) (Abbas, 2015).

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

25

2.3.6 Inflamasi

Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi pertahanan tubuh terhadap infeksi

atau kerusakan jaringan yang disebabkan karena trauma fisik atau kimia. Inflamasi

atau disebut juga peradangan dapat ditandai dengan gejala seperti rubor, kalor,

tumor, dolor, function laesa (Subowo, 2014). Inflamasi merupakan respon yang

terjadi terhadap respon rangsangan seperti terjadinya infeksi dan cidera jaringan.

Inflamasi dapat terjadi pada lokal, sistematik, akut dan kronis hingga menimbulkan

kelainan patologis (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Salah satu respon terhadap infeksi dan kerusakan jaringan adalah

terjadinya peningkatan sekeresi sitokin-sitokin proinflamasi untuk menginduksi

terjadinya inflamasi akut. Diantara sitokin yang dikeluarkan adalah IL-12 yang

kemudian merangsang perkembangan sel T naif menjadi aktif, selanjutnya

merangsang pengeluaran IFN-Ɣ sebagai salah satu sitokin proinflamasi akut

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

2.3.6.1 Sitokin Interleukin-12

1. Pengertian Interleukin-12

Interleukin 12 (IL-12) adalah interleukin yang secara alami diproduksi

oleh sel dendritik, makrofag dan limfoblastoid B manusia (NC-37) dalam

menanggapi rangsangan antigen. IL-12 merupakan sitokin heterodimer yang

dihasilkan oleh dua gene yang terpisah yaitu gene IL-12A (p35) dan IL-12B (p40)

(Subowo, 2014). IL-12 dikenal sebagai sitokin heterodimer yang memiliki beberapa

famili diantaranya IL-23, IL-27 dan yang baru ditemukan adalah IL-35, dimana

molekul-molekulnya mempunyai peran dalam imunitas seluler dan proses

perkembangan Th1 (Hamza et al, 2010).

Toll like receptors (TLRs) diyakini mempunyai peran yang sangat penting

dalam menjaga keseimbangan produksi pada IL-12 dan beberapa familinya. TLRs

menjadi bagian dalam proses aktivasi sistem imun seluler dalam melawan

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

26

patogen yang masuk yang menyebabkan terjadinya respon imun. Bentuk TLRs

dapat berbeda-beda tergantung pada sitokin yang ingin diaktifkan dari IL-12 dan

familinya. Sebagai contoh ligan TLR8 yang berpasangan dengan TLR3 atau TLR4

mampu menginduksi pengeluaran IL-12 lebih tinggi daripada hanya diinduksi oleh

satu TLR saja. IFN-regulatory factors (IRFs) terlibat dalam produksi IL-12,

termasuk diantaranya IRF1, IRF3 dan IRF7. Oleh sebab itu, sinyal IFN- melalui

IRF1 dan IRF8 dapat memicu induksi TLR memproduksi IL-12 (Hamza et al.,

2010).

IL-12 sangat penting dan mempunyai fungsi biologi yang menghubungkan

imunitas non-spesifik/innate immunity dan imunitas spesifik/adaptive immunity.

Awalnya IL-12 dikenal sebagai faktor diferensiasi sel T atau T cell Diferentiation

Factor (TCDF) dan Natural Killer Cell Stimulatory Factor (NKSF). Patogen yang

mempunyai lipopolisakarida (LPS), teichoic acid, peptigoglycan dan bacteril Cpg

DNA dapat menginduksi pengeluaran IL-12. Sitokin IL-12 teregulasi oleh feedback

positif dan negatif pada sitokin Th1 seperti IFN-γ, Th2 seperti IL-10 dan IFN-γ tipe

1 (Hamza et al,. 2010).

2. Peran IL-12 Pada Infeksi

IL-12 adalah sitokin yang terlibat dalam diferensiasi limfosit sel T CD4+ naif

menjadi sel Th1. IL-12 dikenal sebagai T cell-stimulating factor yang dapat

merangsang pertumbuhan serta fungsi sel T. Seperti yang terlihat pada gambar

2.4 di bawah ini bahwa IL-12 dapat merangsang produksi interferon-gamma (IFN-

γ) dan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) oleh sel limfosit T dan sel natural killer

(NK), dan mengurangi supresi IL-4 yang dimediasi oleh IFN-γ. Sel limfosit T yang

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

27

memproduksi IL-12 memiliki koreseptor yakni CD30, yang berhubungan dengan

aktifitas IL-12 (Subowo, 2014).

Gambar 2.4 Peran IL-12 Dalam Fagositosis MikrobaIL-12 membantu peningkatan produksi IFN-γ sehingga memperkuat kinerjamakrofag dalam mempercepat proses fagositosis mikroba (Subowo, 2014).

IL-12 memainkan peran penting dalam kegiatan sel NK dan limfosit T, yaitu

dengan cara IL-12 meningkatkan aktivitas sitotoksik sel NK dan CD8+ (limfosit T

sitotoksik). Hal tersebut karena ada hubungan antara IL-2 dan sinyal transduksi

dari IL-12 dalam sel NK. IL-2 merangsang ekspresi dari dua reseptor yaitu IL-12

(IL-12R-β1 dan IL-12R-β2), selain itu juga mempertahankan ekspresi protein

penting yang terlibat dalam sinyal IL-12 dalam sel NK (Baratawidjaja, 2014).

IL-12 juga memiliki aktivitas anti- angiogenik , yang berarti dapat memblokir

pembentukan pembuluh darah baru. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan

produksi interferon gamma, selanjutnya akan menginduksi peningkatan produksi

kemokin IP-10 yang akan memberikan efek anti-angiogenik (Subowo, 2014).

Dari gambar 2.5 berikut ini dapat dipahami bahwa IL-12 mempunyai

banyak peran dalam mencegah terjadinya infeksi yaitu dengan cara meningkatkan

proliferasi haematopoietic progenetor yang bekerja sinergis sebagai colony-

stimulating factors, juga proliferasi sel NK, sel NKT, dan sel T yang akan

meningkatkan sitotokisitas dan memproduksi sitokin seperti IFN- yang

merupakan produksi dari sel Th1 yang akan memberikan feedback kembali

kepada makrofag untuk membunuh bakteri, dan juga memproduksi sel B melalui

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

28

efek sitokin Th1 yaitu IFN- yang akan meningkatkan aktivasi dan memproduksi

immunoglobulin seperti IgG sehingga infeksi dapat dicegah (Hamza et al., 2010).

Gambar 2.5 Aktivitas IL-12 Dalam Mencegah InfeksiPeran IL-12 selain membantu diferensiasi sel T naif menjadi sel Th1, jugamembantu proliferasi sel NK, sel NKT serta memproduksi sel B melalui efeksitokin Th1 seperti IFN- sehingga meningkatkan produksi antibodi (Hamzaet al., 2010).

Sebuah hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa kurangnya kadar IL-12

pada mencit yang diinduksi oleh bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan

penyebaran koloni bakteri ke beberapa organ. Hal tersebut disebabkan karena

produksi IFN- juga kurang pada mencit tersebut. Sehingga bila kadar IL-12

menurun maka resiko terjadinya infeksi arthritis pada mencit tersebut meningkat

(Hultgren et al., 2000).

Penelitian lainnya menilai kadar IL-12 dan perbedaannya pada anak yang

mengalami kondisi septik, dimana hasilnya berupa kadar IL-12 tidak dapat

dibedakan pada pasien dengan keadaan septik, kadar IL-12 dapat terjadi

peningkatan pada suatu waktu-waktu (Martin et al., 2012).

IL-12 berpeluang menjadi agen immunoterapetik karena mempunyai peran

sentral dalam meregulasi respon imun innate dan adaptiv, serta mempu bekerja

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

29

secara sinergis bersama dengan sitokin lainnya dalam meningkatkan

immunoregulator. Beberapa penelitian pada manusia dan hewan coba

menunjukkan adanya hasil yang baik daripada mekanisme IL-12 dalam mencegah

ataupun mengobati infeksi yang disebabkan oleh salah satunya bakteri (Hamza et

al., 2010).

2.3.8 Interferon-gamma

1. Pengertian Interferon-Gamma

IFN-γ (interferon-gamma) merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel NK

yang teraktivasi, sel Th1, dan sel TCD8+ sitotoksik. Produksinya juga banyak

diregulasi oleh sitokin seperti IL-12, IL-18 dan TNF-α (Schulte et al., 2013).

IFN-γ merupakan sitokin yang kritis terhadap imun alami dan imun adaptif

dalam melawan virus dan infeksi bakteri intraselluler dan untuk mengontrol tumor.

Ekspresi IFN-γ dihubungkan dengan sejumlah penyakit autoinflamatori dan

autoimun. Hal yang paling penting dari IFN-γ dalam sistem imun adalah

kemampuannya untuk menghambat replikasi virus secara langsung, Namun, yang

paling terpenting, adalah pengaruh immunostimulator dan immunomodulatornya

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Fungsi IFN-γ termasuk mengaktivasi makrofag untuk meningkatkan proses

fagositosis dan kemampuan membunuh sel-sel tumor dan juga mengaktifkan dan

meningkatkan pertumbuhan sel-sel T sitolitik dan sel NK (Baratawidjaja dan

Rengganis, 2014).

2. Peran Interferon-gamma Dalam Infeksi

IFN-γ meregulasi ekspresi antigen MHC klas I, dan menginduksi MHC klas

II dan ekspresi reseptor Fcγ pada makrofag dan sel-sel lainnya termasuk sel-sel

limfoit, sel-sel endotel, sel-sel mast dan fibroblas sehingga mempengaruhi

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

30

kemampuan sel-sel tersebut untuk menyajikan antigen. Dengan diaktifkannya

MHC klas II pada sel-sel endotel, sel-sel ini kemudian menjadi peka terhadap aksi

sel-sel T sitolitik spesifik klas II (Subowo, 2014).

IFN-γ merupakan sitokin yang sangat penting untuk imunitas alami dan

adaptif pada infeksi virus dan infeksi bakteri intraseluler serta terhadap kontrol

tumor, IFN-γ berfungsi sebagai pengaktif utama sel makrofag. Ekspresi IFN-γ

berhubungan dengan penyakit autoimun dan peradangan (Abbas & Lichtman,

2015). Skema IFN-γ dalam mengaktifkan makrofag untuk membantu proses killing

bakteri dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.6 Aktivitas IL-12 dan IFN-γ Dalam Membunuh BakteriIFN-γ dapat mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan fungsinya dalammelakukan fagositosis terhadap mikroba yang masuk (Abbas & Lichtman,2015).

Reseptor IFN-γ hampir dimiliki oleh semua jenis sel kecuali eritrosit dan

merespons rangsangan IFN-γ dengan cara meningkatkan ekspresi MHC kelas I,

dimana MHC kelas I berperan penting dalam penyajian epitop antigen endogen

kepada limfosit sitotoksik (limfosit T CD8+) dalam respons imun seluler. IFN-γ juga

berperan dalam meningkatkan ekspresi MHC kelas II yang penting dalam

penyajian epitop antigen kepada limfosit TCD4+. Selain itu, IFN-γ juga memiliki

aktifitas potensial bagi sel makrofag yang dirangsang sehingga mendorong sekresi

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

31

monokin IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF; dan juga IFN-γ berperan pada aktivasi sel

netrofil, sel NK dan sel-sel endotel (Subowo, 2014).

Secara fisiologi pembentukan osteoklas diatur oleh sitokin-sitokin utama

osteoklastogenik M-CSF dan RANKL. Bagaimanapun, kondisi fisiologik yang

terjadi, seperti selama berlangsungnya inflamasi, infeksi, dan defisiensi estrogen,

resorpsi tulang secara signifikan distimulasi sehubungan dengan penambahan

produksi faktor-faktor disregulasi pro- dan anti- osteoklastogenik, termasuk IFN-γ,

yang menjadi pusat mediator imun adaptif (Abbas & Lichtman, 2015).

Penelitian menyebutkan bahwa mencit yang kekurangan kadar IFN-γ

menunjukkan lebih rentan dimasuki oleh bakteri patogen intraseluler seperti

Leishmania major, Listeria monocytogenes, Mycobacteria dan beberapa virus

lainnya. Kadar IFN-γ pada orang sehat tidak dapat terdeteksi, namun pada pasien

dengan sepsis level IFN-γ justru tinggi akan tetapi tidak berkorelasi secara

significan dengan parahnya sepsis ataupun kematian (Schulte et al., 2013).

Peran IFN-γ pada penyembuhan sepsis telah dilaporkan, dimana selama

immunoparalytic fungsi fagositosis pada makrofag terganggu dan berkurangnya

jumlah sitokin Th1 yang terjadi selama simulasi oleh produk-produk bakteri.

Namun, Flohe et al., mengatakan bahwa IFN-γ bekerja sebagaimana Granulocyte-

Macrophage Colony-Stimulating Factor (GM-CSF) yang mampu mengembalikan

fungsi makrofag untuk mencegah mencit sepsis selama terjadi rangsangan dari

bakteri (Schulte et al., 2013).

Terapi IL-12 menstimulasi sel Th untuk mensekresikan sitokin Th1 seperti

IFN-γ. Aktivasi makrofag memproduksi sitokin IL-12 yang semakin banyak, dan ini

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

32

memberikan positif feedback dimana IL-12 sendiri menstimulasi pengeluaran IFN-

γ dan sel NK sehingga memperkuat makrofag untuk membunuh bakteri sebagai

upaya mencegah terjadinya infeksi seperti dijelaskan gambar 2.7 berikut (Schulte

et al., 2013).

Gambar 2.7 Aktivasi Makrofag oleh IFN-γProduksi IFN-γ yang distimulasi oleh IL-12 melalui sel Th1 dapatmengaktivasi makrofag dalam membunuh bakteri patogen yangmasuk ke dalam tubuh (Schulte et al., 2013).

2.4 Turi Merah

2.4.1 Pengertian, Morfologi dan Klasifikasi Turi Merah

Tanaman turi atau Sesbania grandiflora atau agati merupakan

tanaman yang berbentuk pohon dan digolongkan ke dalam subfamili

Faboideae. Turi banyak ditemukan di beberapa daerah tropikal di Asia

seperti Indonesia, India, Malaysia, Myanmar, dan Filipina. Di India

tanaman turi banyak digunakan dalam teknik pengobatan Ayurveda.

Tanaman legum ini sudah banyak dikenal di seluruh Indonesia, terutama

di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Hal tersebut

menyebabkan banyak nama yang diberikan pada tanaman ini (Nasution,

2010).

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

33

Daun dari tanaman ini berbentuk lonjong (oval), bersifat majemuk

menyirip ganda, dan letaknya tersebar. Panjang daun sekitar 20-30 cm

dengan daun penumpu dimana panjangnya sekitar 0.5-1 cm. Anak daun

bertangkai pendek dengan jumlah yaitu kurang lebih 20-50 pasang anak

daun dalam satu tangkai. Helaian anak daun berbentuk jorong

memanjang, tepi rata, panjang 3-4 cm, lebar 0,8-1,5 cm (Nasution,

2010). Gambaran bentuk daun dan bunga turi merah dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

Gambar 2.8 Daun Dan Bunga Turi MerahTanaman turi merah terdiri dari batang, daun, bunga, buah dan akar.Kelopak bunga membentuk bulan sabit berwarna merah. Daunnya menyiripberganda dengan bentuk bulat sampai bulat memanjang (Nasution, 2010)

Klasifikasi dari tanaman turi merah menurut Nasution, (2010)

antara lain :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Devisi : Mangnoliphyta (tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping daun/dikotil)

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae (suku polong-polongan)

Bangsa : Robinieae

Genus : Sesbania

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

34

Spesies : Sesbania grandiflora (L) Pers

2.4.2 Kandungan Kimia Dalam Daun Turi Merah

Uji fitokimia dengan beberapa jenis pelarut dilakukan untuk menguji

kandungan fitokimia secara kualitatif dari tanaman turi (sesbania grandiflora), dari

uji fitokimia tersebut disimpulkan bahwa beberapa kandungan kimia yang terdapat

dalam daun turi antara lain seperti alkaloid, saponin, karbohidrat, terpenoid,

flavonoid, tanin, fenol, fitosterol, dan triterpenen (Dethe et al., 2014). Namun hanya

dengan menggunakan pelarut etanol maka kandungan seperti flavonoid, saponin

dan tanin dapat terdeteksi secara kualitatif, hal tersebut sebagaimana ditampilkan

dalam tabel berikut :

Tabel 2.1 Fitokimia Ekstrak Aqueous, Ethanol Dan Acetone Daun TuriKandungan daun turi merah yang mempunyai sifat sebagai antibakteri yaituflavonoid, tanin dan saponin yang ketiganya dapat dikeluarkan dengan caraekstraksi menggunakan pelarut etanol (Dethe et al., 2014).

Terdapat beberapa kandungan kimia yang diduga mempunyai efek

sebagai anti bakteri yaitu antara lain flavonoid, saponin dan tanin.

2.4.2.1 Flavonoid

Flavonoid atau dikenal sebagai bioflavonoid adalah jenis polifenol yang

terdapat hampir pada seluruh tanaman yang terkonsentrasi di bagian daun, kulit,

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

35

buah, biji dan bunganya. Senyawa-senyawa flavonoid umumnya bersifat

antioksidan dan banyak yang telah digunakan sebagai salah satu komponen

bahan baku obat-obatan. Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya

mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, methanol, butanol, dan aseton

Dethe et al., 2014).

Penelitian di bidang farmasi menunjukkan bahwa flavonoid mampu menjadi

antioksidan yang baik. Jenis flavonoid seperti flavones dan katekin merupakan

yang paling kuat dalan menangkal reactive oxygen spesies (ROS) yang menjadi

penyebab kerusakan sel dan jaringan tubuh. Selain itu, terdapat beberapa derivat

flavonoid yang dapat digunakan sebagai antijamur, antibakteri dan antivirus

(Cushnie and Lamb, 2005).

1. Flavonoid sebagai antibakteri

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol. Senyawa

fenol mempunyai sifat efektif menghambat pertumbuhan virus, bakteri dan jamur,

karena menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri.

Selain itu, flavonoid juga mampu menghambat motilitas bakteri (Darsana et al.,

2012).

Fungsinya sebagai antibakteri, flavonoid bekerja dengan tiga mekanisme

yaitu mencegah sintesis asam nukleat maka akan menghambat sintesis DNA dan

RNA dari bakteri, menghambat sitoplasma bakteri dan menegatif nghambat

metabolisme energi bakteri. Selain itu, katekin yang juga masih kelompok

flavonoid yang memiliki aktifitas yang sangat besar sebagai antibakteri pada

bakteri gram positif dan negatif dengan cara merusak membran bakteri dan

menggnggu fungsi barier bakteri (Cushnie and Lamb, 2005).

Flavonoid merupakan senyawa fenol yang berfungsi sebagai koagulator

protein. Flavonoid berfungsi sebagai antibakteri dengan cara membentuk senyawa

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

36

kompleks pada protein ekstraseluler sehingga mengakibatkan terganggunya

integritas membran sel bakteri (Juliantina, 2008).

2. Farmakokinetik flavonoid

Sebagian besar flavonoid yang berada pada tumbuhan akan terkonjugasi

dengan glikosida yaitu β-glycosides. Glukosides merupakan salah satu glikosida

yang diserap oleh usus kecil. Penyerapan melalui usus kecil akan lebih efisien

daripada penyerapan melalui usus besar, dimana penyerapan melalui usus kecil

terjadinya peningkatan plasma (Holman, 2004).

Absorbsi flavonoid dari makanan tergantung pada sifat fitokimia seperti

ukuran mlekul, konfigurasi, lipofilisitas, kelarutan dan pKa. Flavonoid secara garis

besar berikatan dengan molekul gula, sehingga usus akan mengubahnya menjadi

aglycon bebas gula. Hal tersebut dikarenakan hanya aglycon saja yang mampu

diserap di dalam usus kecil, sedangkan glikosida dianggap terlalu hidrofilik

untukpenyerapan pasif difusi melalui usus kecil (Holman, 2004).

Setalah penyerapan di usus kecil, flavonoid selanjutnya akan terkonjugasi

dengan glucuronic acid atau sulfate atau O-methylation. Reaksi konjugasi tersebut

sangat efisien, dikarenakan tidak ditemukan aglycon flavonoid yang bebas di

dalam urine kecuali jenis flavonoid katekin. Flavonoid yang tidak dapat diserap

oleh usus kecil selanjutnya akan melewati proses fermentasi di usus besar dan

dimetabolisme kembali oleh mikroflora di usus, mikroorganisme ini akan

mengubah flavonoid menajdi stuktur cincin (Holman,2004).

Selanjutnya flavonoid diserap melalui membran gastrointestinal lalu dibawa

menuju ke hati, karena metabolisme flavonoid terjadi di hati dan terkonjugasi

dengan glucoronic acid, sulfate atau glycine lalu akhirnya akan disekresikan

melalui urine (Holman, 2004).

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

37

2.4.2.2 Saponin

Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks dengan berat molekul

tinggi yang dihasilkan terutama oleh makanan. Saponin banyak dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai bahan pembuat sabun. Saponin diketahui larut dalam air dan

etanol, tetapi tidak larut dalam eter, sehingga ekstraksi saponin paling tepat

dilarutkan dengan etanol 70%-96% atau pelarut metanol (Suharto et al., 2001).

Saponin mengandung gugus gula terutama dalam bentuk glukosa,

galaktosa, xylosa rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu

aglikon hidrofobik (sapogenin) berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkalid.

Saponin banyak ditemukan pada berbagai jenis tanaman, baik itu tanaman liar

ataupun tanaman yang dibudidayakan (Suharto et al., 2001).

1. Saponin sebagai antibakteri

Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah dengan menurunkan

tegangan permukaan sehingga mengakibatkan naiknya permeabilitas atau

kebocoran sel dan mengakibatkan senyawa intraseluler keluar (Nuria, 2009).

Selain itu, saponin bekerja sebagai antibakteri dengan cara mengganggu

stabilitas membran sel bakteri yang menyebabkan penurunan tegangan

permukaan dan peningkatan permeabilitas sel bakteri sehingga mengakibatkan

kerusakan membran sel karena disebabkan oleh komponen penting dari bakteri

sudah keluar seperti protein, asam nukleat, dan nukleatida yang akhirnya

membuat bakteri lisis (Darsana et al., 2012).

2. Famakokinetik saponin

Saponin memiliki sifat fisikokimia yang kurang menguntungkan dari segi

proses penyerapan ke dalam tubuh, hal tersebut disebabkan karena saponin

memiliki massa molekul sebesar >500 Da, kapasitas hydrogen-binding yang tinggi

yaitu >12 dan fleksibilitas molekul yang tinggi yaitu >10. Kesulitan penyerapan

terutama terjadi di dalam usus halus dan dapat menurunkan permeabilitas

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

38

membran, hal tersebut ditunjukkan dengan konsentrasi saponin pada sebagian

jaringan tikus lebih rendah dibandingkan di dalam plasmanya. Namun, konsentrasi

saponin banyak ditemukan di dalam hati, sedangkan pada ginjal saponin

melibatkan mekanisme transfer-mediated uptake yang cukup tinggi. Saponin

dapat dihidrolisis oleh mikroflora kolon. Beberapa saponin seperti ginsenosides

Ra3, Rb1, dan Rd serta Dioscin mampu diekskresikan secara perlahan ke dalam

empedu dengan waktu paruh yang panjang yaitu selama 7-25 jam pada tikus

(Keyu et al., 2012).

Saponin juga diketahui dapat menigkatkan permeabilitas sel mukosa

intestinal, menghambat transpor aktif zat-zat makanan dan memudahkan

masuknya substansi yang dalam kondisi tidak dapat diserap. Saponin juga

diketahui dapat mengganggu penyerapan mineral dan vitamin dalam tubuh,

saponin juga menekan konsentrasi Fe hati dengan cara penyerapan Fe yang tidak

sempurna dengan membentuk kompleks Saponin-Fe. Sponin lucerne diketahui

dapat meningkatkan ekskresi Fe dan Mg, serta menurunkan Ca dan Zn pada

plasma (Keyu et al., 2012).

Mekanisme kerja saponin di dalam usus halus belum dipahami mendalam.

Saponin yang dikonsumsi mempunyai ligand yang potensial di dalam usus halus

seperti garam empedu, kolesterol, sterol membran sel mukosa dan antinutrisi,

ligand-ligand tersebut mampu menurunkan atau menghambat efektifitas saponin

(Suparjo, 2011).

2.4.2.3 Tanin

Tanin adalah kelompok dari metabolit fenolik dengan berat molekul antara

500 dan 30000 Da yang terdapat pada banyak makanan nabati dan minuman.

Bagian tumbuhan yang banyak terdapat kandungan tanin adalah kulit, kayu daun,

akar dan buah (Serrano et al., 2009).

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

39

Tanin banyak dikandung pada beberapa jenis makanan seperti teh, biji

kokoa, anggur dan strawberry. Bahan astrigen dari tanin dapat mendorong dan

menyatu dengan enzim dari mikroba. Dengan demikian, akan menghambat banteri

membentuk diri dikarenakan enzim dari bakteri bercampur dengan enzim dari

tanin. Adanya ion logam yang berkumpul dan membentuk tannins toxocity yang

mempengaruhi pembentukan membran mikroorganisme (Akiyama et al., 2001).

1. Tanin sebagai antibakteri

Mekanisme tanin tanin sebagai antibakteri yaitu tanin diketahui mempunyai

kemampuan dalam menginaktivasi molekul yang menempel pada sel hospes yang

terdapat pada permukaan sel. Enzim yang terikat pada membran sel dan

polipeptida dinding sel akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel, kerena

mempunyai senyawa fenol. Karena kerusakan pada dinding sel bakteri maka

dapat menyebabkan kerusakan membran sel bakteri tanpa dinding atau yang

dikenal dengan protoplast (Naim, 2004).

Kerusakan pada dinding sel bakteri menyebabkan kerusakan membran sel

bakteri yaitu hilangnya sifat permeabilitas membran sel, sehingga keluar dan

masuknya zat-zat seperti air, nutrisi, enzim-enzim yang tidak terseleksi. Apabila

banyak zat yang keluar dari dalam sel bakteri maka akan menghambat

metabolisme sel sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan ATP yang

diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel bakteri. Bila hal

tersebut terjadi maka kematian sel bakteri (Hayati et al., 2009).

Selain itu, tanin juga menghambat enzim reverse transcriptase dan DNA

topoisomerase sehingga jumlah asam amino yang menjadi pembentuk sel bakteri

tidak dapat terbentuk (Nuria et al., 2009).

2. Farmakokinetik tanin

Tanin yang bersumber dari ekstrak tumbuhan akan dapat diabsorpbsi

dengan cepat di dalam saluran cerna serta melewati proses distribusi dan eliminasi

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

40

yang cukupcepat pula. Bioavailabilitasnya sangat rendah pada pemberian peroral.

Konsentrasi dalam plasma sekitar 213 ng/ml setelah 1 jam pemberian peroral

sebanyak 0.8 g/kgBB ekstrak yang mengandung tanin. Tanin banyak mengalami

hidrolisis yang terjadi pada usus besar pada pH alkalin (Wang et al., 2010).

Substrat tanin yang dicerna pada usus besar akan difermentasi oleh bakteri

mikroflora bersama dengan substrat lainnya yang tidak dapat dicerna.

Metabolisme tanin di dalam usus besar dibantu oleh enzim mikrobiota yang

mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur asli tanin menjadi sulit diserap dan

akan tetap berada di dalam lumen usus dimana akan menetralkan peroksidan dari

makanan yang berada di dalam usus besar yang dihasilkan selama metabolisme

mikroba usus. Sebagaimana dilaporkan bahwa hydrolysable yang tergradasi

menjadi gallic acid, pirogalol, phloroglucinol dan akhirnya menjadi asetat dan

butiran yang terjadi melalui aksi enzim bakteri yang berbeda-beda. Galotanin

sangat mudah tergradasi oleh bakteri, jamur dan ragi, sedangkan residu galloy

hanya mampu terhidrolisis pada ellagitannins oleh mikroba (Serrrano et al., 2016).

Senyawa tanin seperti ellagic acid dapat bereaksi bersama dengan radikal

bebas karena kemampuannya untuk berikatan dengan ion-ion metal, sehingga

mempunyai efek antioksidan yang poten terhadap lipid peroksidasi dalam

mitokondria dan mikrosom. Kemampuannya sebagai antioksidan dinilai dengan

cara tanin menyediakan elektron yang mampu mengeliminasi radikal bebas hasil

peroksidasi lipid (Wang et al., 2010).

2.4.3 Daun Turi Merah Sebagai Antibakteri

Tanaman turi dikenal memiliki aktifitas sebagai antibakteri berdasarkan

pada beberapa penelitian berikut ini :

1. Ekstraksi daun turi merah terbukti memiliki kemampuan sebagai antibakteri

terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae secara in vitro dengan kadar hambat

minimal pada kosentrasi 17,5% dan kadar bunuh minimal (KHM) pada

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

41

konsentrasi 20%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol daun turi merah,

maka semakin rendah jumlah koloni bakteri Klebsiella pneumoniae yang

tumbuh pada media NA (natrium agar) (Ikrimah, 2013).

2. Ekstrak etanol daun turi merah mempunyai efek sebagai antibakteri secara in

vivo terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan kadar hambat minimum

konsentrasi 14% dan kadar bunuh minimum (Yusniawati, 2015).

3. Ekstrak bunga turi merah mempunyai efek antibakteri secara in vivo terhadap

bakteri Staphylococcus aureus dengan KHM 5% dan KBM 6% (Mirza, 2008).

4. Senyawa kimia dari daun turi selain dapat dapat dijadikan sebagai terapi

antibakteri juga sangat potensial sebagai terapi antifungi dan juga anti-

inflamasi. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitiannya dengan

membandingkan efektifitas daun turi sebagai antibakteri pada bakteri E.coli dan

Pseudomonas aeruginosa dan sebagai antifungi pada Candida albicans

(Kumar, 2015).

5. Daun turi mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dan potensial

berpeluang sebagai produk antibiotik terbaru yang sangat efektif untuk

pencegahan, dan pengobatan infeksi dan kemoterapi (Vipin et al., 2011).

2.4.4 Manfaat lain dari Turi Merah

Selain mempunyai khasiat sebagai antibakteri, tanaman turi juga diketahui

memiliki kemampuan lainnya yakni sebagai imunomudulator. Hal ini dibuktikan

dengan hasil ekstrak metanol dari bunga turi tidak hanya dapat menstimulasi

respon imun nonspesifik seperti aktifitas fagositosis, tetapi juga mampu

meningkatkan respon imun humoral serta imunitas seluler dengan sangat efektif

(Arunabha, 2014).

Imunomudulator terbagi menjadi imunosupresan dan imunopotensiasi

yang terbagi menjadi imunorestorasi dan imunostimulan. Imunosupresan adalah

suatu proses supresi sistem imun untuk meminimalisir reaksi penolakan pada

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

42

kejadian transplantasi maupun akibat daripada kejadian inflamasi. Imunorestorasi

merupakan proses pengembalian fungsi sistem imun yang terganggu dengan

berbagai komponen sistem imun seperti transplantasi sumsum tulang, sedangkan

imunostimulan merupakan suatu proses perbaikan fungsi sistem imun dengan

menggunakan bahan-bahan yang dapat meningkatkan fungsi sistem imun baik

dari bahan biologis seperti hormon dan sitokin maupun sintetis seperti levamisol

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Pemberian ekstrak rumput mutiara yang mempunyai kandungan flavonoid,

dapat meningkatkan aktivitas fagositosis makrofag. Mekanisme flavonoid dapat

meningkatkan fagositosis yakni dengan cara memacu produksi IFN-Ɣ dan

mempercepat diferensiasi monosit menjadi makrofag di dalam jaringan.

Kemampuan sebagai imunostimulator dari flavonoid tersebut tidak hanya dilihat

dari indeks fagositosis tetapi juga dapat dilihat dari fungsi makrofag seperti mampu

memfagositosis partikel asing contohnya mikroorganisme, makromolekul yang

mempresentasikan sel atau jaringan yang mengalami kerusakan atau mati, dan

juga sebagai APC kepada sel T dan mampu memproduksi sejumlah sitokin

(Azenda, 2006).

Selain itu, penelitian secara in vivo menyatakan bahwa pemberian ekstrak

tumbuhan yang mengandung saponin secara oral dapat meningkatkan proliferasi

sel dan menginduksi proliferasi sel T dan sel B independen yang distimulasi oleh

LPS (Chavali et al.,1987).

2.5 Mus musculus

2.5.1 Pengertian Mus musculus

Mencit (mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang

berukuran kecil yang dapat hidup pada daerah dingin dan panas. Mencit

merupakan hewan yang banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

43

biomedis, pengujian dan pendidikan yaitu berkisar antara 40%-80%. Hal ini

dikarenakan memiliki keunggulan-keunggulan seperti mudah dibiakkan, siklus

hidup yang relatif pendek, jumlah perkelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi,

mudah ditangani serta tergolong murah (Kusumawati, 2004).

Mencit termasuk hewan poliestrus dimana siklusnya berlangsung setiap 4-

5 hari, lama birahi 9-20 jam, dan estrus dapat terjadi pada 20-40 jam pasca partum.

Mencit betina dikenali dengan cara jarak lubang genital dan lubang anusnya yang

berdekatan sedangkan mencit jantan dikenali pada saat organ seksualnya sudah

matang maka testisnya akan terlihat sangat jelas, karena ukurannya yang relatif

besar dan biasanya tidak tertutupi oleh rambut (Kusumawati, 2004). Gambaran

bentuk mencit dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.9 Mencit (Mus musculus)Mencit galur Balb/c berwarna putih termasuk sebagai hewanmamalia (Kusumawati, 2004).

2.5.2 Klasifikasi Mus musculus

Klasifikasi mencit (Mus musculus) menurut Kusumawati (2004) antara lain

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

44

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Sub Ordo : Myoimorphia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

2.5.3 Karakteristik Mus musculus

Karakteristik mencit (mus musculus) menurut Syamsuddin dan Darmono

(2011) antara lain sebaagi berikut :

Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun

Lama produksi ekonomis : 9 bulan

Lama bunting : 19-21 hari

Kawin sesudah beranak : 1-24 jam

Umur dewasa : 35 hari

Umur sapih : 21 hari

Umur dewasa : 35 hari

Umur dikawinkan : 8 minggu (jantan dan betina)

Siklus estrus (menstruasi) : 4-5 hari

Lama estrus : 12-14 jam

Ovulasi : dekat akhir periode estrus, spontan

Fertilisasi : 2 jam sesudah kawin

Berat dewasa : 20-40 gram jantan, 18-35 gram betina

Berat lahir : 0,5 – 1 gram

Jumlah anak : rata-rata 6-15

Suhu rektal : 37,50C

Laju respirasi : 40

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

45

Denyut jantung : 165 x/mm

Pengambilan darah maksimum : 310-840 x/mm

Jumlah sel darah merah : 7,7 ml/kg

Jumlah sel darah putih : 8,4 x 103/µl

Kadar haemoglobin (Hb) : 8,7-10,5 x 106/µl

Konsumsi pakan perhari : 5 gram (umur 8 minggu)

Konsumsi air minum perhari : 6,7 ml (umur seminggu)

2.5.4 Mus musculus nifas

Pada mencit, fase nifas estrus akan dimulai antara sekitar 10 dan 24 jam

setelah melahirkan dan fase estrus ini cenderung terjadi pada malam pertama dan

berlangsung setelah 10 jam melahirkan (Gillbert et al., 1985). Jarak kelahiran dan

ovulasi berikutnya pada mencit yakni sekitar 14-28 jam (Long dan Mark, 1911).

Masa nifas (postpartum) mencit terjadi secara acak dalam jangka waktu 24

jam dan masa ovulasi dan pembuahan sangat dipengaruhi oleh cahaya. Namun

kecenderungan ovulasi berkurang selama 12-18 jam setelah kelahiran (Runner

dan Ladman, 1950).

2.5.5 Mus musculus Model Infeksi

Berdasarkan penelitian disebutkan bahwa pemberian bakteri

Staphylococcus aureus sebanyak 5 x 107 sebanyak 0.2 ml pervaginal pada Mus

musculus terbukti mampu memberikan efek antagonis dan berpengaruh terhadap

respon imun (Liudmilla et al., 2012). Inokulasi bakteri Staphylococcus aureus

dengan dosis 5 x 107 sampai 5 x 108 dapat menyebabkan mencit mengalami

infeksi dan memiliki potensi mengalami syok septik dan mematikan dalam waktu

12-48 jam. Sedangkan dalam waktu 2-3 jam mencit telah menunjukkan gejala

klinis antara lain mengacak-acak bulu, aktivitas dan nafsu makan mulai berkurang,

Page 40: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi ...repository.ub.ac.id/3189/3/BAB 2.pdf · 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Nifas 2.1.1 Definisi Infeksi Nifas Infeksi

46

postur membungkuk, diare, dehidrasi hingga pernafasan yang tidak teratur (Kim,

2014).

Uji konfirmasi yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 3-29 Maret

2017 dengan menginokulasi bakteri Staphylococcus aureus pada 3 kelompok

mencit nifas yaitu pembedahan 1 jam (K1), pembedahan 2 jam (K2) dan

pembedahan 4 jam (K3) lalu diambil darah jantung untuk diukur jumlah leukosit

dan mengambil organ untuk menghitung koloni bakteri di beberapa organ seperti

uterus, limpa, ovarium, dan hati. Hasil yang didapatkan adalah terjadi peningkatan

jumlah leukosit diatas normal pada kelompok 2 dan 3 dengan jumlah leukosit

antara 13.000-19.000 sel/µl. Jumlah leukosit normal pada mencit berkisar antara

5.100-11.600 sel/µl (Saputri, 2006). Jumlah leukosit yang meningkat menunjukkan

adanya infeksi, inflamasi, nekrosis jaringan ataupun neoplasia leukemik, pada

sepsis biasanya jumlah leukosit sangat tinggi (Atmadja, 2016).