Bab 2 2006sun - Copy

29
4 TINJAUAN PUSTAKA Logam Berat Timbal (Pb) Istilah logam berat lebih sering digunakan untuk mengartikan logam yang bersifat toksik. Adapun definisi yang paling banyak digunakan untuk mengartikan logam berat adalah logam yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari 5 gram/cm 3 (Martin dan Loughtrey 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa kata berat digunakan untuk mengartikan logam yang bertahan lama di lingkungan. Logam berat timbal merupakan logam yang sangat banyak digunakan untuk kepentingan industri, dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup. Dalam tabel periodik unsur, timbal termasuk golongan IV dengan nomor atom 82 dan berat atom 207.19. Timbal merupakan logam lunak berwarna abu-abu kebiruan, massa jenis 11.34 gram/cm 3 . Pada tekanan 1 atmosfer logam tersebut meleleh pada suhu 327 o C dan mendidih pada suhu 1740 o C (Darmono 1995). Timbal (Pb) secara alami terdapat sebagai sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat, dan timbal klorofosfat. Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat- sifatnya yaitu (1) Timbal mempunyai titik cair yang rendah, sehingga jika digunakan dalam bentuk cair dibutuhkan teknik sederhana dan tidak mahal, (2) Timbal merupakan logam lunak, sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk, (3) Sifat kimia timbal menyebabkan logam tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab (Fardiaz 1992). Timbal dalam tanah dapat dibedakan antara timbal yang berasal dari pencemaran dengan timbal yang terdapat secara alami. Jumlahnya berkisar 2-200 ppm dengan kandungan rata-rata 16 ppm. Akibat aktifitas manusia terutama kendaraan bermotor dan industri yang menggunakan bahan bakar mengandung timbal telah meningkatkan jumlahnya di lapisan permukaan tanah, sehingga mencapai 1600-2400 ppm (NAS 1972). Partikel timbal sebagai salah satu logam berat berbahaya dalam tanah dapat berasal dari aktivitas penambangan, pertanian, limbah pupuk, bahan bakar, industri metalurgi, elektronik, bahan-bahan kimia dan industri manufaktur lainnya. Sedangkan konsentrasi total logam berat dalam tanah bersumber dari bahan induk tanah, deposisi atmosfirik, penumpukan sampah-sampah organik dan pencemar anorganik, dikurangi kehilangan melalui serapan tanaman, pencucian dan volatilisasi (Alloway 1995).

description

aedww

Transcript of Bab 2 2006sun - Copy

  • 4

    TINJAUAN PUSTAKA

    Logam Berat Timbal (Pb)

    Istilah logam berat lebih sering digunakan untuk mengartikan logam yang bersifat

    toksik. Adapun definisi yang paling banyak digunakan untuk mengartikan logam berat

    adalah logam yang mempunyai bobot jenis lebih besar dari 5 gram/cm3 (Martin dan

    Loughtrey 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa kata berat digunakan untuk mengartikan

    logam yang bertahan lama di lingkungan.

    Logam berat timbal merupakan logam yang sangat banyak digunakan untuk

    kepentingan industri, dan paling banyak menimbulkan keracunan pada makhluk hidup.

    Dalam tabel periodik unsur, timbal termasuk golongan IV dengan nomor atom 82 dan

    berat atom 207.19. Timbal merupakan logam lunak berwarna abu-abu kebiruan, massa

    jenis 11.34 gram/cm3. Pada tekanan 1 atmosfer logam tersebut meleleh pada suhu

    327oC dan mendidih pada suhu 1740oC (Darmono 1995).

    Timbal (Pb) secara alami terdapat sebagai sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat,

    dan timbal klorofosfat. Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-

    sifatnya yaitu (1) Timbal mempunyai titik cair yang rendah, sehingga jika digunakan

    dalam bentuk cair dibutuhkan teknik sederhana dan tidak mahal, (2) Timbal merupakan

    logam lunak, sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk, (3) Sifat kimia timbal

    menyebabkan logam tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan

    udara lembab (Fardiaz 1992).

    Timbal dalam tanah dapat dibedakan antara timbal yang berasal dari

    pencemaran dengan timbal yang terdapat secara alami. Jumlahnya berkisar 2-200 ppm

    dengan kandungan rata-rata 16 ppm. Akibat aktifitas manusia terutama kendaraan

    bermotor dan industri yang menggunakan bahan bakar mengandung timbal telah

    meningkatkan jumlahnya di lapisan permukaan tanah, sehingga mencapai 1600-2400

    ppm (NAS 1972). Partikel timbal sebagai salah satu logam berat berbahaya dalam

    tanah dapat berasal dari aktivitas penambangan, pertanian, limbah pupuk, bahan bakar,

    industri metalurgi, elektronik, bahan-bahan kimia dan industri manufaktur lainnya.

    Sedangkan konsentrasi total logam berat dalam tanah bersumber dari bahan induk

    tanah, deposisi atmosfirik, penumpukan sampah-sampah organik dan pencemar

    anorganik, dikurangi kehilangan melalui serapan tanaman, pencucian dan volatilisasi

    (Alloway 1995).

  • 5

    Konsentrasi Pb dalam tanaman mempunyai pola yang sama seperti yang terjadi

    dalam tanah. Timbal merupakan unsur yang tidak esensial bagi tanaman. Masuknya

    timbal ke dalam jaringan daun melalui proses penyerapan pasif. Penyerapan terjadi

    karena partikel timbal di udara, jatuh dan mengendap pada permukaan daun.

    Permukaan daun yang lebih kasar, berbulu, dan lebar akan lebih mudah menangkap

    partikel dari pada permukaan daun yang halus, tidak berbulu dan sempit. Tingkat

    akumulasi timbal pada vegetasi dan di tanah akan meningkat seiring dengan

    meningkatnya kepadatan arus lalu lintas, dan menurun dengan bertambahnya jarak dari

    tepi jalan raya. (Harahap 2004). Selanjutnya dikatakan bahwa timbal terakumulasi di

    dinding dan di dalam sel xilem penyusun tulang daun, di dalam sel penyusun jaringan

    bunga karang. Timbal juga menyebabkan terjadinya penurunan kerapatan stomata,

    tebal daun, bunga karang, dan penurunan kandungan klorofil.

    Toksisitas Timbal (Pb)

    Toksisitas didefinisikan sebagai efek berbahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat

    atau bahan atau senyawa pada organ yang dijadikan sasaran. Ada beberapa istilah

    dalam pengkajian toksisitas yaitu toksisitas akut, sub akut dan kronis (Lu 1995).

    Selanjutnya Soemirat (2005) menyatakan bahwa toksisitas adalah kemampuan racun

    (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk ke dalam tubuh dan lokasi

    organ yang rentan terhadapnya.

    Toksisitas akut adalah pengaruh merugikan yang timbul segera setelah

    pemberian dosis tunggal dari suatu zat atau bahan atau senyawa atau pemberian dosis

    berulang dalam waktu 24 jam. Ada beberapa cara untuk pengujian toksisitas akut yaitu

    oral, parenteral, inhalasi, kulit dan mata. Pengertian sub-akut adalah percobaan atau

    penyelidikan toksisitas dari suatu zat dengan pemberian dosis berulang dalam jangka

    pendek. Biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang

    lebih 10% dari masa hidup hewan percobaan. Beberapa peneliti menggunakan jangka

    waktu yang lebih pendek misalnya pemberian zat selama 14 dan 28 hari. Pengujian

    toksisitas kronis adalah pengujian yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang,

    dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang selama masa hidup hewan

    percobaan atau sekurang-kurangnya sebagian besar hidupnya, misalnya 18 bulan

    sampai 24 bulan (Lu 1995).

    Timbal merupakan penyebab utama kejadian keracunan logam berat pada

    ternak. Hal ini disebabkan karena kebiasaan untuk memasukkan garam Pb-halida

  • 6

    seperti PbBrCl ke dalam bensin sebagai pelumas katup mesin. Ternyata kendaraan

    bermotor yang menggunakan bensin bertimbal itu mengemisikan Pb ke udara, dan

    kemudian masuk kedalam tubuh ternak melalui pernafasan dan pori-pori kulit (NRC

    2001). Selain itu, dalam tanah yang mengalami erosi berat, kandungan Pb

    kemungkinan besar tinggi. Dengan demikian adanya Pb di dalam pakan ternak

    merupakan hal yang sering terjadi (Tabel 1).

    Tabel 1. Kandungan Al, Pb dan Cd beberapa sumber pakan ternak

    Kandungan Mineral Toksik Pakan (mg/kg) Pakan Aluminium (Al) Timbal (Pb) Cadmium (Cd)

    Daun kelapa sawit 334 3.99 0.12 Pucuk Tebu 394 0.53 0.05 Sabut sawit 793 7.15 0.09 Lumpur sawit 2035 4.05 0.14 Bungkil inti kelapa sawit 129 0.21 0.02 Onggok 100 0.32 0.134 Bungkil kedelai 0 0.11 0.034 Jagung 149 1.60 0.033 Dedak gandum 50 0.11 0.081

    Timbal (Pb) sangat berbahaya bagi ternak, walaupun yang diserab oleh ternak

    jumlahnya kecil. Namun demikian logam tersebut berpotensi untuk berakumulasi dalam

    tubuh ternak sehingga dalam jangka panjang dapat meracuni ternak. Organ-organ yang

    terganggu antara lain sistem saraf, sistem gastrointestinal, hati dan ginjal. Sifat

    neurotoksik Pb antara lain disebabkan oleh kemampuannya untuk membentuk komplek

    dengan gugus karboksil (-COO-), gugus amino (-NH3-) dan sulfhidril (-SH) asam amino,

    protein dan enzim (Bernal et al. 1997), enzim yang bersangkutan akan mengalami

    denaturasi. Salah satu akibatnya adalah rusaknya homeostasis Ca sehingga kinerja

    saraf terganggu. Bogden et al. (1992) memperlihatkan bahwa peningkatan pemberian

    0, 50 dan 100 mg/L Pb ke dalam air minum tikus yang disertai dengan pemberian 0.1,

    0.5 dan 2.5% Ca dalam ransum menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan berikut :

    Pb darah meningkat sejalan dengan meningkatnya pemberian Pb ke dalam air minum,

    namun peningkatan itu dapat dikurangi secara signifikan bila kadar Ca ransum

    ditingkatkan. Konsentrasi Pb dalam pakan yang dapat mengakibatkan keracunan kronis

    pada ternak ruminansia menurut Fahey (1987) adalah sebagai berikut : pada anak sapi

    6 ppm, sapi dewasa 7 ppm, domba 4.5 ppm. Sedangkan konsentrasi Pb yang

    mengakibatkan keracunan akut pada anak sapi sekitar 400-600 ppm, dan pada sapi

    dewasa sekitar 600-800 ppm.

  • 7

    Timbal masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga saluran yaitu saluran

    pernafasan, saluran pencernaan dan melalui kulit. Dari sejumlah timbal yang masuk

    melalui saluran pencernaan, hanya 8-12 persen yang akan diabsorsi meskipun preparat

    dalam bentuk garam yang larut. Sebagian besar absorsi terjadi di usus halus dan

    sedikit di usus besar, sedangkan di dalam lambung tidak ada penyerapan . Diketahui

    pula bahwa penyerapan timbal melalui saluran pernafasan mencapai 30-50 persen

    dengan waktu lebih cepat dari pada penyerapan melalui saluran pencernaan. Timbal

    yang masuk dan ditahan dalam tubuh akan terakumulasi di hati, ginjal dan tulang.

    Akumulasi juga terjadi di limpa, pankreas dan paru-paru. Timbal terakumulasi di tingkat

    seluler dalam inti sel, mitokondria dan mikrosom. Timbal diekskresikan terutama melalui

    urin dan feses serta sedikit melalui keringat.

    Masuknya timbal ke dalam tubuh akan meningkatkan kandungan timbal dalam

    darah yang apabila melebihi nilai ambang batas dapat mengakibatkan gangguan

    kesehatan. WHO telah menetapkan nilai ambang batas timbal di dalam darah manusia

    sebesar 40 mg per 10 ml darah (Soemarwoto 1985). Orang normal dengan intake 0.6

    mg timbal sehari dalam jangka waktu yang lama dapat menderita keracunan. Intake

    timbal lebih besar dari 0.6 mg per hari menyebabkan akumulasi dan gejala keracunan

    lebih cepat. Misalnya intake 1 mg per hari dapat menyebabkan keracunan dalam

    jangka waktu 8 tahun; 2.5 mg per hari memerlukan waktu 4 tahun; sedangkan intake 3.5

    mg per hari dapat mengakibatkan keracunan dalam jangka waktu beberapa bulan.

    Pembahasan tentang timbal biasanya dihubungkan dengan aktivitas racunnya

    dan bukan karena pentingnya dalam metabolisme tubuh. Kelebihan timbal pada

    manusia secara spesifik akan mempengaruhi metabolisme sel darah merah dengan

    cara menghambat 2 enzim dalam biosintesis heme yaitu d-aminolevulinate dehydratase

    dan ferrochelatase yang menempatkan Fe+2 dalam cincin porfirin, sehingga

    menimbulkan penyakit anemia. Timbal juga berpengaruh terhadap ATPase tertentu,

    respirasi mitokondria sangat tertekan, eritrosit cenderung mengakumulasi timbal dan

    menyebabkan mudah pecah dan selanjutnya mengakibatkan terjadinya anemia. Sel-sel

    tubuli ginjal ternyata merupakan target pengrusakan oleh timbal dengan cara

    mengganggu resorpsinya sehingga akan menyebabkan glukosuria dan aminoasiduria.

    Kapasitas ginjal dalam mengaktifkan vitamin D (25-OH kolekalsiferol menjadi 1,25-di-OH

    kolekalsiferol) juga dipengaruhi, hal ini terlihat pada kerusakan ginjal menyebabkan

    hipertensi yang diamati melalui lead burdens (beban Pb) pada penderita hipertensi

    (Linder 1992).

  • 8

    Mineral timbal sangat berbahaya bagi tubuh, walaupun yang diserap oleh tubuh

    dalam jumlah sedikit. Hal ini disebabkan oleh senyawa-senyawa Pb yang dapat

    memberikan efek racun terhadap banyak fungsi organ tubuh. Organ-organ yang

    dipengaruhi antara lain sistem saraf, sistem gastrointestinal, hati dan ginjal. Gangguan

    pada sistem saraf mengakibatkan kelelahan, sakit kepala, tremor, halusinasi,

    kemunduran intelektual, hydrocephalus dan kebutaan. Kelebihan juga dapat

    mengakibatkan penumpukan Pb dalam gusi atau gusi menjadi berwarna hitam

    keunguan, kulit menjadi pucat dan kehilangan berat badan (Cassarett dan Doul 1975).

    Sedangkan keracunan timbal yang akut pada manusia dapat mengakibatkan

    terbakarnya mulut, terjadinya perangsangan dalam sistem gastrointestinal yang disertai

    diare. Keracunan yang kronis dapat mengakibatkan anemia, mual, sakit disekitar perut

    serta kelumpuhan (Hamidah 1980).

    Timbal juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi yaitu terjadi penurunan

    dalam ukuran, hambatan pada pertumbuhan janin dalam rahim dan setelah dilahirkan

    (Fardiaz 1992). Kandungan Pb pada darah tikus diatas 30 mg/100ml berpengaruh

    terhadap jumlah sperma dan testicural atropi pada tikus jantan , serta terhadap siklus

    estrus pada tikus betina (Chowdhury et al. 1984). Kadar Pb darah antara 40-50 mg/100

    ml pada pria menyebabkan disfungsi gonad termasuk penurunan jumlah sperma

    (Assennato 1986).

    Pengaruh timbal pada otak, mengakibatkan hiperaktivitas dan masalah kelainan

    sifat pada anak, serta keterbelakangan intelektual (Underwood 1977). Anak kecil lebih

    sensitif terhadap timbal atau keracunan, karena mempunyai kapasitas penyerapan yang

    lebih besar. Hal ini banyak menimpa anak-anak yang kurang mampu di kota besar yang

    secara tidak langsung mengkonsumsi timbal melalui mainan atau menelan bekas-bekas

    cat dari dinding yang banyak mengandung timbal. Bila timbal sudah masuk dalam tubuh

    akan didistribusikan melalui darah dan hampir semua ada di dalam eritrosit. Hampir 90

    persen timbal dideposit dalam tulang, jaringan lemak terutama hati dan ginjal.

    Kerusakan hati mengindikasikan adanya penyimpangan biokimia darah.

    Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

    Pencernaan merupakan rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang

    dialami oleh bahan makanan di dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan

    ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan dengan proses pencernaan pada

  • 9

    ternak lainnya. Menurut Sutardi (1980) proses pencernaan makanan pada ternak

    ruminansia terjadi secara mekanis atau didalam mulut, secara fermentatif oleh enzim-

    enzim pencernaan hewan induk semang. Lokasi proses pencernaan fermentatif

    bervariasi antar jenis ternak, dan hal ini akan menentukan karakteristik pakan yang

    sesuai untuk jenis ternak yang bersangkutan.

    Organ sistem pencernaan ternak ruminansia terdiri dari 4 bagian penting yaitu

    mulut, perut, usus halus dan organ pencernaan bagian belakang. Perut ternak

    ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum atau perut jala, rumen dikenal

    dengan perut beludru, omasum atau perut buku, dan abomasums atau perut sejati.

    Dalam sudut pandang fisiologi sistem pencernaan ruminansia, rumen dan retikulum

    sering dikenal sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum dikenal

    sebagai perut buku karena dipenuhi oleh lembaran jaringan sekitar 100 lembar. Fungsi

    omasum belum diketahui secara jelas, namun demikian pada organ ini terjadi

    penyerapan air, amonia, asam lemak atsiri atau VFA dan elektrolit, serta ada produksi

    amonia dan mungkin juga produksi VFA (Forbes dan France 1993). Organ sistem

    percernaan ruminansia bagian belakang terdiri dari sekum, kolon dan rektum, yang

    diduga mempunyai aktivitas fermentasi. Aktivitas fermentasi ini belum banyak

    terungkap karena terletak pada bagian setelah organ penyerapan utama.

    Proses pencernaan fermentatif di dalam organ retikulorumen terjadi sangat

    intensif dan dalam kapasitas yang sangat besar. Hal ini sangat menguntungkan karena

    pakan dapat diubah dan disajikan dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap.

    Ternak ruminasia akan mampu memanfaatkan pakan dalam jumlah lebih banyak dan

    lebih efisien. Sebaliknya pada ternak kuda, babi dan kelinci proses pencernaan

    fermentatif terjadi setelah usus halus, yaitu di organ sekum. Oleh karena itu kelompok

    ternak ini menuntut bahan pakan yang lebih bermutu atau rendah kadar seratnya

    dibandingkan dengan pakan ternak ruminansia.

    Pada sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang dikenal

    dengan istilah memamah biak atau ruminasi. Pakan berserat atau hijauan yang

    dimakan ditahan untuk sementara waktu di dalam rumen. Pada saat ternak beristirahat,

    pakan dari dalam rumen lalu dikembalikan ke mulut atau dikenal dengan proses

    regurgitasi untuk dikunyah kembali atau proses remastikasi, dan selanjutnya pakan akan

    ditelan kembali atau proses redeglutasi. Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh

    enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam

    rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta, inokulasi digesta

  • 10

    dan penyerapan nutrient. Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk

    pergerakan digesta meninggalkan retikulorumen ke organ pencernaan dibelakangnya.

    Mikroorganisme Rumen

    Didalam rumen terdapat empat jenis mikroorganisme seperti fungi, protozoa,

    bakteri dan virus. Berbagai jenis mikroorganisme tersebut memiliki produk fermentasi

    intermedier dan produk fermentasi akhir yang bermacam-macam, sehingga

    menyebabkan kehidupan di dalamnya menjadi sangat kompleks (Preston dan Leng,

    1987).

    Bakteri didalam rumen merupakan bakteri yang paling banyak jenis dan lebih

    beragam macam substratnya. Bakteri di dalam rumen mempunyai populasi yang paling

    besar yaitu sekitar 1010-1011 per gram isi rumen (Yokohama dan Johnson 1988).

    Berdasarkan substrat yang difermentasi, bakteri dapat dikelompokkan sebagai bakteri

    selulolitik (Fibrobacter succinogenes, Ruminococcusalbus, Butyrivibrio fibrisolvens),

    bakteri hemiselulolitik (Butyrivibrio fibrisolvens, Prevotella ruminicola, Ruminococcus sp);

    bakteri amilolitik (Bacteriodes amilophylus, B. fibrisolvens, Succinomonas amylolytica,

    Streptococcus bovis, Lactobacillus albus, Prevotella ruminicola), pencerna gula

    (Lactobacillus ruminis), bakteri laktilitik (Selenomonas ruminantium, Megasphaera

    elsdenii, Anaerovibrio, Propionic bacterium), bakteriproteolitik (Ruminobacter

    amylophylus, Prevotella ruminicola, Butyrivibriofibrisolvens, Streptococcus bovis ).

    Disamping bakteri di atas masih ada bakteri lain yaitu bakteri penghasil metan

    (Methanobrevibacter ruminantium, Methanobacterium formicicum, Methanobacterium

    mobile) dan bakteri-bakteri ureolitik (Succinivibrio dextrinosolvens, Selonomonas sp,

    Prevotella ruminicola, Ruminicoccus bromii, Butyrivibrio sp, Treponema) (Hungate 1966;

    Sutardi 1977; Ogimoto dan Imai 1981; Yokohama dan Johnson 1988).

    Proses fermentasi ransum yang dilakukan oleh mikroba rumen menghasilkan

    asam lemak volatil (Volatile Fatty Acid atau VFA) yang telah diketahui merupakan

    sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Sumbangan energi yang berasal dari

    asam lemak volatil dapat mencapai 60-80 persen dari kebutuhan energi pada ternak

    ruminansia (Ensminger et al. 1990). Adapun yang termasuk dalam asam lemak volatil

    (VFA) rumen adalah asam asetat (CH3COOH), asam propionat (CH3CH2COOH), asam

    butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat (CH3(CH2)3COOH) dan asam lemak rantai

    cabang (asam isobutirat, 2-metilbutirat, dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai

  • 11

    cabang ini berasal dari katabolisme protein. Selain itu fermentasi juga menghasilkan

    produk gas meliputi gas CO2, gas CH4 dan gas hidrogen (Czerkawski 1986).

    Stokiometri reaksi fermentasi karbohidrat (heksosa) oleh bakteri menjadi tiga

    produk fermentasi utama dalam rumen dapat disederhanakan sebagai berikut (Orskov

    dan Ryle 1990) :

    C6H12O6 + H2O 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2

    C6H12O6 + 2H2 2 CH3CH2COOH + 4 H2O

    C6H12O6 CH3(CH2)2COOH + 2CO2 + 2H2

    4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

    Dari reaksi stokiometri di atas tampak jelas bahwa pada proses sintesis asam

    asetat banyak dihasilkan gas hidrogen. Demikian pula halnya pada proses sintesis

    asam butirat. Sebaliknya pada proses sintesis asam propionat, gas hidrogen banyak

    yang digunakan. Gas hidrogen dan gas CO2 merupakan prekusor untuk sintesis gas

    metan. Gas metan sesungguhnya tidak bermanfaat bagi induk semang. Berdasarkan

    proses tersebut maka pola fermentasi mikroba rumen yang mengarah pada sintesis

    asam propionat jelas akan lebih menguntungkan daripada efisiensi penggunaan energi

    pakan, karena dengan demikian produksi gas metan akan cenderung berkurang (Russel

    dan Hespell 1981). Pada kondisi pola produksi VFA utama cairan rumen 65 persen

    asetat, 25 persen propionat dan 10 persen butirat, maka energi yang berasal ransum

    dalam bentuk VFA sekitar 75 persen. Sedangkan sisanya akan muncul gas metan 12.4

    persen, panas fermentasi 6.4 persen dan sekitar 6.2 persen dimanfaatkan oleh mikroba

    rumen sebagai sumber enrgi dalam bentuk ATP (Clark dan Davis 1983).

    Berbeda dengan bakteri, protozoa didalam rumen mempunyai populasi lebih

    sedikit yaitu 105-106 cacahan sel per mili isi rumen (Yokohama dan Johnson, 1988),

    akan tetapi dari segi jumlah biomassa serta ternyata cukup besar karena ukuran

    protozoa lebih besar dari bakteri. Produk yang dihasilkan protozoa adalah asam asetat,

    asam butirat, asam laktat, gas CO2 dan gas hidrogen. Protozoa lebih menyukai substrat

    yang fermentable seperti pati, gula dan bakteri (Russell dan Hespell 1981).

    Populasi protozoa rumen umumnya didominasi oleh spesies ciliata. Spesies

    flagellate biasanya banyak terdapat pada anak sapi (pedet), sebelum populasi ciliata

    berkembang dengan pesat. Spesies ciliata dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok,

    yaitu holotrika (cilia ada disekitar tubuhnya) dan oligotrika (cilia hanya ada disekitar

    mulut). Kelompok holotrika memiliki morfologi yang sederhana, meliputi Isotricha dan

    Dasytricha, dengan sumber energi utama pati dan gula. Sebaliknya kelompok

  • 12

    oligotrycha yang meliputi spesies Entodinium, Epidinium, Diplodinium dan Ophyroscolex

    memiliki aktifitas selulolitik (Russell dan Hespell 1981; Bird et al. 1990)

    Pada akhir-akhir ini studi tentang mikroba rumen mulai tertarik untuk mempelajari

    peranan fungi anaerob misalnya Neocallimastic frontalis, Sphaeromonas communis dan

    Piromonas communis. Kehadiran fungi di dalam rumen telah diakui sangat bermanfaat

    bagi kecernaan fraksi serat dalam pakan. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding

    sel serat dalam pakan. Fungi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa

    partikel pakan. Fungi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa partikel

    pakan. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel serat tanaman, sehingga

    dapat memberikan akses bagi bakteri dan enzim selulasenya untuk mencerna serat.

    Dengan cara demikian fungi menjadi pelopor dalam aktifitas seluloltik pada pakan serat

    (Fonty et al. 1990).

    Pencernaan Nutrien Pada Ternak Ruminansia

    Pakan ternak ruminansia mengandung sejumlah nutrient seperti karbohidrat,

    protein, lemak, vitamin dan mineral. Ransum pertama kali mengalami pencernaan

    secara mekanik di dalam mulut, kemudian masuk kedalam retikulum dan rumen untuk

    dicerna secara fermentatif. Hasil pencernaan fermentatif berupa VFA (Volatile Fatty

    Acid), NH3, CH4, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum.

    Selanjutnya pakan yang tidak tercerna disalurkan abomasum dan dicerna secara

    hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan seperti halnya terjadi pada hewan monogastrik

    (Sutardi 1981).

    Karbohidrat ransum di dalam rumen mengalami 3 tahap pencernaan oleh enzim-

    enzim yang dihasilkan mikroba rumen (Gambar 1). Komponen karbohidrat berupa

    selulosa, hemiselulosa, pektin, pati, fruktan dan sukrosa mengalami perubahan menjadi

    bentuk yang lebih sederhana. Selulosa dan hemiselulosa akan mengalami hidrolisis

    oleh enzim -1-4-glukosidase yang dihasilkan oleh mikroba menjadi sakarida sederhana

    seperti heksosa, pentosa, selobiosa (pencernaan tahap I). Sementara karbohidrat yang

    lain seperti pati, fruktan dan sukrosa akan dicerna menjadi maltosa dan glukosa. Hasil

    pencernaan di atas segera memasuki tapak jalan glikolisis Embden-Meyerhoff untuk

    mengalami pencernaan lebih lanjut menghasilkan piruvat (pencernaan tahap II).

    Pada tahap pencernaan selanjutnya piruvat diubah menjadi VFA yang terdiri atas

    asetat, butirat, dan propionat (tahap III). Asetat dihasilkan melalui dua jalan yaitu yang

    pertama melalui pembentukan asetil-CoA terlebih dahulu, kemudian diubah menjadi

  • 13

    asetil fosfat, selanjutnya menjadi asetat. Jalan yang kedua yaitu langsung dari piruvat

    diubah menjadi asetil fosfat dan format. Format yang terbentuk oleh Methanobacterium

    diurai menjadi CO2 dan H2 yang selanjutnya dihasilkan metan. Pembentukan propionat

    juga dapat melalui dua jalur yaitu jalur laktat atau akrilat dan jalur suksinat (Collier 1985;

    Arora 1989).

    Fruktan Sukrosa Pati Selulosa Hemiselosa Pektin

    Maltosa Isomaltosa Selubiosa I

    Fruktosa G l u k o s a Pentosa

    Glukosa-6-fosfat

    Fruktosa-6-fosfat II

    Fruktosa-1-6-difosfat

    Piruvat

    Format Asetil-CoA Laktat Oksaloasetat

    Asetil- fosfat Akrilik-CoA Suksinat III

    CO2+H2 CO2+H2 Butiril-CoA Propionil Co-A

    Metan Asetat Butirat Propionat

    Gambar 1. Jalur pencernaan karbohidrat dalam rumen (Collier 1985)

    Produk akhir berupa VFA dalam jaringan tubuh akan dimanfaatkan sebagai

    sumber energi dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorsi melalui epitel

    rumen dan masuk kesirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi

    glukosa dan menjadi bagian cadangan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke

  • 14

    sirkulasi darah dan dibawa ke hati bersama asetat dikonversi menjadi asam beta

    hidroksi butirat (-hydroxybutyric acid / BHBA) di dalam epitil rumen. Asetat dan BHBA

    dari hati disalurkan ke sistem sirkulasi dan digunakan oleh jaringan sebagai sumber

    energi melalui siklus asam sitrat dan sebagai substrat lipogenesis lemak susu,

    sedangkan propionat untuk glukonegenesis dan lipogenesis lemak tubuh (Forbes dan

    France 1993).

    Urea, NPN Protein

    Rumen

    Oligopeptida NH3 Asam Amino Asam Keto-

    VFA

    Protein Mikroba

    Usus Protein Mikroba Asam keto- Protein

    Asam amino Oligopeptida

    Gambar 2. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen

    Sumber protein untuk ruminansia dari protein ransum maupun non protein nitrogen

    (NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam rumen menghasilkan

    peptida dan asam-asam amino. Produk ini akan mengalami katabolisme lebih lanjut

    atau deaminasi sehingga dihasilkan amonia (NH3). Amonia asal perombakan ransum

    sangat besar kontribusinya terhadap pool amonia rumen. Proses proteolitik dan

    deaminasi asam-asam amino menghasilkan amonia diduga bersifat konstitutif, artinya

    tidak ada kontrol metabolik. Degradasi protein dan deaminasi terhadap asam amino

    akan terus berlangsung, walaupun telah terjadi akumulasi ammonia yang cukup tinggi di

    dalam rumen (Sutardi 1977). Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan

    amonia untuk mikroba, tetapi juga pasokan peptida yang dapat dimanfaatkan langsung

  • 15

    oleh beberapa bakteri rumen untuk sintesis protein. Dari kenyataan ini maka

    suplementasi urea dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan amonia.

    Konsentrasi amonia yang optimal dibutuhkan untuk sintesis protein mikroba

    rumen. Menurut Satter dan Slyter (1974) konsentrasi amonia yang dibutuhkan sekitar

    50 mg per liter atau 3.57 mM, atau sekitar 4 sampai 12 mM (Sutardi 1979). Sedangkan

    menurut Erwanto et al. (1993) mendapatkan kadar amonia yang optimum sekitar 7-8

    mM. Amonia yang diproduksi tidak semua digunakan untuk sintesis protein mikroba,

    sebagian diserap oleh dinding rumen, masuk kedalam sirkulasi portal dan dibawa ke hati

    untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirkulasi darah.

    Sumbangan protein asal mikroba rumen berkisar 40 sampai 80 persen (Sniffen

    dan Robinson 1987), sedangkan sumbangan energi asal VFA berkisar 60 sampai 80

    persen (Ensminger et al. 1990). Pada ternak yang berproduksi tinggi, pasokan protein

    asal mikroba saja tidak cukup, sehingga harus diberi protein dari pakan.

    Lemak ransum di dalam rumen akan mengalami dua proses yang sangat penting

    yaitu lipolisis dan hidrogenasi. Lemak mengalami lipolisis oleh enzim lipase mikroba

    sehingga menghasilkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid, FFA), gliserol dan

    galaktosa. Gliserol dan galaktosa difermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan VFA

    terutama propionat, sedangkan FFA dengan cepat akan dihidrogenasi oleh mikroba

    menjadi produk akhir berupa asam lemak jenuh (Preston dan Leng, 1987). Pada proses

    hidrogenasi terjadi perubahan asam lemak tidak jenuh C18 seperti oleat, linoleat dan

    linolenat menjadi stearat. Sedangkan asam lemak tidak jenuh berantai panjang lebih

    dari C18 seperti arakhidonat, eikosa pentaenoat (EPA) dan dokosa heksaenoat (DHA) di

    dalam rumen tidak mengalami hidrogenasi (Ashes et al. 1992).

    Lipolisis pada beberapa lemak ransum terjadi sangat cepat di dalam rumen,

    seperti yang dilaporkan Immig et al. (1993) tentang lipolisis minyak kedelai di rumen

    domba mencapai 90 persen selama satu jam setelah introduksi, dan dirumen sapi

    mencapai 85-90 persen (Bauchart et al. 1990). Lipolisis menurun pada ransum

    berprotein rendah, atau berkadar pati atau sukrosa tinggi. Menurunnya lipolisis tersebut

    berhubungan dengan turunnya pH rumen. Van Nevel dan Demeyer (1995) melaporkan

    bahwa lipolisis minyak kedelai pada percobaan in vitro dengan pH 5.25 sangat lambat

    akibat terhambatnya mikroba lipolitik.

    Asam lemak rantai pendek (C2-C14) dan VFA hasil pencernaan lemak langsung

    diserap oleh dinding rumen, sedangkan penyerapan asam lemak jenuh rantai panjang

    (>C14) hanya terjadi di usus halus. Asam-asam lemak dan monogliserida diserap oleh

  • 16

    mukosa usus dan diubah menjadi triasilgliserol dan membentuk kilomikron. Kilomikron

    dibebaskan kedalam jaringan limfe dan masuk peredaran darah untuk ditranspor ke

    dalam sel jaringan yang membutuhkan yaitu jaringan perifer dan adipose (Collier 1985),

    sisanya yang tidak diserap bersama-sama dengan hasil pencernaan karbohidrat dan

    protein dibawa ke hati melalui sistem porta untuk dimetabolisasi lebih lanjut.

    Mineral Proteinat (Mineral Organik)

    Pembuatan mineral proteinat dapat menggunakan yeast sebagai senyawa

    pengikat mineral. Mineral proteinat merupakan salah satu bahan yang dapat berperan

    sebagai probiotik dan sebagai sumber mineral. Bahan ini berupa inokulum padat, yang

    mengandung berbagai jenis kapang, kamir, dan bakteri yang mampu menghidrolisis

    pati. Menurut Siti (1996) ragi tape mengandung beberapa jenis kapang yaitu

    Chlamidomucor oryzae, Rhizopus oryzae, Mucor sp, sedangkan dari khamir adalah

    Saccharomyces cereviceae, Saccharomyces verdomanni, Candida dan Hensenula.

    Dari mikroba tersebut yang terpenting adalah Rhizopus, Mucor sp, dan Saccharomyces

    cereviceae.

    Penggunaan kultur ragi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan

    maupun produktivitas ternak dilaporkan oleh beberapa peneliti. Menurut Wallace dan

    Newbold (1993) penggunaan Saccharomyces cereviceae pada ruminansia adalah

    dalam level rendah (

  • 17

    optimum yang kemudian dapat meningkatkan populasi mikroba. Meningkatnya populasi

    mikroba juga dapat menyebabkan peningkatan pemanfaatan amonia, peningkatan

    kecernaan serat dan peningkatan sintesa protein mikroba. Peningkatan kecernaan

    serat dan pembentukan mikroba akan menyebabkan laju aliran pakan ke usus halus

    lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dimakan dan pasokan

    substrat ke usus halus dan akhirnya dapat meningkatkan produksi ternak (Wallace

    1994).

    Untuk meningkatkan produksi ternak dilakukan dengan pendekatan

    suplementasi mineral organik yaitu mineral yang berikatan dengan ligand (pengikat).

    Mineral organik memiliki keutamaan karena lebih mudah larut dan lebih mudah diserap

    (Georgievskii 1982; McDowell 1997) serta bebas dari gangguan antagonisnya (Chase et

    al. 2000; Bailey et al. 2001). Masalah mineral ini terkait dengan lingkungan yang

    mengalami kerusakan vegetasi akibat penataan lingkungan yang kurang baik sehingga

    terjadi pengikisan mineral esensial dari tanah karena banjir. Untuk mengatasi

    kekurangan mineral esensial pada ternak maka dilakukan suplementasi. Suplemen

    mineral ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim terkait sehingga dapat

    meningkatkan produksi dan juga meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen (Sutardi

    2002).

    Mineral Seng (Zn)

    Kandungan mineral seng pada hijauan di Indonesia umumnya relative rendah.

    Hal ini didasarkan laporan Little (1986), kandungan seng pada pakan ruminansia

    berkisar antara 20 sampai 38 mg per kg bahan kering. Padahal kebutuhan seng bagi

    ternak ruminansia sekitar 40-50 mg per kg dan untuk mikroorganisme rumen cukup

    tinggi yaitu sekitar 130-220 mg per kg (Hungate 1966). Dengan demikian bisa

    diperkirakan bahwa ternak yang dipelihara di Indonesia berpotensi mengalami

    defisiensi seng.

    Defisiensi Zn pada ternak berdampak luas terhadap performans produksi dan

    reproduksi seperti (1) pertumbuhan akan lambat karena biosintesis asam nukleat dan

    penggunaan asam amino atau sintesis protein terganggu, (2) spermatogenesis dan

    produksi testoteron oleh sel leydig yang abnormal atau hipofungsi testikuler pada hewan

    jantan karena gagalnya pertumbuhan testis, (3) parakeratosis atau hiperkeratinisasi kulit

    akibat gagalnya degenerasi inti sel secara lengkap pada sel epitel kulit atau jaringan

  • 18

    usus, (4) menurunnya berat thymus dan sirkulasi limposit yang berpengaruh terhadap

    berbagai fungsi sel-T (McDowell 1992).

    Seng merupakan kofaktor pada lebih dari 70 macam enzim (Berdanier 1998),

    enzim tersebut banyak terlibat dalam proses metabolisme dan penting untuk menjaga

    stabilitas dan integritas biomembran. Sebagai bagian dari sistem enzim, mineral Zn

    berperan banyak dalam metabolisme kerbohidrat, sintesis protein, dan metabolisme

    asam nukleat (NRC 1988).

    Penyerapan Zn dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain, kadar dan

    bentuk Zn dalam ransum (Underwood 1977). Komponen pakan seperti fitat, kalsium,

    fosfor, tembaga, cadmium dan kromium dapat menurunkan penyerapan Zn, sedangkan

    kasein, ekstrak hati, minyak jagung, tepung darah, asam etilendiaminasetat (EDTA),

    sitrat, pikolinat, vitamin D, asam amino (histidin, sistein dan asam glutamate) dapat

    meningkatkan penyerapan Zn (McDowell 1992).

    Peningkatan produksi juga dapat dilakukan dengan suplementasi mineral

    esensial yang defisien. Masalah mineral ini terkait dengan lingkungan yang mengalami

    erosi yang disebabkan oleh banjir. Little (1986) melaporkan bahwa kandungan seng (Zn)

    pada pakan ruminansia berkisar antara 20 dan 38 mg.kg-1 bahan kering. Padahal kebutuhan

    Zn bagi bagi ruminansia berkisar antara 40 dan 50 mg.kg-1, dan kebutuhan seng untuk mikroba

    rumen yaitu antara 130 dan 220 mg kg-1 (Arora 1989). Dengan demikian secara alami ternak-

    ternak yang dipelihara di Indonesia berpotensi terjadi defisiensi Zn. Apabila defisiensi Zn terus

    berlanjut dapat menyebabkan parakeratosis pada jaringan usus yang pada akhirnya

    produktivitas ternak menjadi rendah.

    Mineral Tembaga (Cu)

    Ternak ruminansia membutuhkan Cu untuk keperluan sejumlah enzim yang

    terlibat dalam beberapa fungsi diantaranya (1) Oksidase sitokrom, berperan pada

    transport elektron selama respirasi aerob, (2) oksidase lisil, berperan dalam

    mengkatalisis pembentukan ikatan silang desmosine di dalam kolagen dan elastin untuk

    memperkuat tulang dan jaringan ikat, (3) seruloplasmin berperan dalam penyerapan dan

    transport Fe yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin, (4) tirosinase, berperan dalam

    meproduksi pigmen melanin, dan (5) dismutase superoksidase (SOD) berperan dalam

    perlindungan sel terhadap efek racun dari pengaruh metabolit oksigen yang penting

    dalam fungsi sel fagosit (NRC 2001).

  • 19

    Bagi ternak ruminansia mineral digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan

    juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi

    defisiensi salah satu mineral maka aktivitas fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum

    sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak. Beberapa faktor yang

    menyebabkan rendahnya ketersediaan mineral, di antaranya adalah akibat antagonisme

    dengan kation lain seperti Cu++ dan Pb++ (Davis dan Mertz 1987; McDowell 1992).

    Secara umum tembaga (Cu) sangat sedikit diserap oleh ternak. Pada kebanyakan

    ternak, Cu pakan diserap tidak lebih dari 5-10% oleh ternak dewasa, dan ternak muda sekitar

    15-30%, dan hanya 1-3% diserap oleh ruminansia (McDowell 1992). Cu dibutuhkan untuk

    respirasi seluler, formasi tulang, kerja jantung, perkembangan jaringan penghubung,

    keratinisasi, dan pigmentasi jaringan. Cu merupakan komponen dari beberapa metaloenzim

    yang penting seperti oksidase sitokrom, oksidase lisin, dismutase superoksida, dopamin--

    hidroksilase, dan tirosinase.

    Ketersediaan Cu yang berasal dari Cu anorganik dan Cu organik memberikan

    respon terhadap ternak berbeda-beda. Kincaid et al. (1986) melaporkan bahwa

    ketersediaan Cu pada Cu proteinat lebih besar dari pada CuSO4 bagi anak sapi sedang

    tumbuh dengan ransum hay alami. Kadar Cu dalam usus halus domba yang diberi Cu

    proteinat lebih tinggi dibandingkan dengan CuSO4. Hal tersebut mungkin disebabkan

    oleh pembentukan komplek Cu metallothionein lebih tersedia Cu proteinat dibandingkan

    dari sumber CuSO4. Selanjutnya domba yang diberi Cu proteinat memiliki aktifitas

    seruloplasmin lebih tinggi 23 persen dibandingkan Cu anorganik. Sedangkan

    hematokrit, sel darah putih, Hb, dan Cu plasma tidak dipengaruhi oleh sumber Cu

    (Eckert et al. 1999).

    Mineral Kromium (Cr)

    Status kebutuhan kromium (Cr) pada ternak belum diketahui secara pasti,

    karena selalu berubah sesuai dengan kondisi ternak. Pada kondisi stres kebutuhan Cr

    akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh mobilisasi cadangan Cr dalam tubuh akibat

    peningkatan mobilisasi cadangan glukosa jaringan perifer untuk mencukupi kebutuhan

    glukosa pada otak, selanjutnya sebagian Cr itu akan dikeluarkan melalui urin (Burton

    1995). Meskipun konsentrasi Cr dalam tubuh relatif kecil, toleransinya dalam pakan

    cukup besar yaitu 3000 ppm dalam bentuk Cr2O3 dan 1000 ppm dalam bentuk CrCl3

    (NRC 1988). Efektivitas suplementasi Cr selain tergantung pada jenis ternak juga

    tergantung pada kondisi fisiologis dan bentuk Cr yang digunakan.

  • 20

    Suplementasi Cr ke dalam pakan akan lebih menguntungkan apabila diberikan

    dalam bentuk kompleks organik. Hal ini karena dalam bentuk anorganik Cr ditemukan

    dapat meracuni terutama yang berbentuk heksavalen (Cr6+), walaupun tingkat

    absorsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalent (Cr3+) yang tidak beracun sangat

    sulit diserap. Dalam beberapa kasus Cr anorganik yang dikonsumsi lewat makanan 98

    persen tidak diserap dan dikeluarkan lewat feses (Offenbacher et al. 1986). Sebaliknya

    ketersediaan Cr-organik cukup tinggi, tercatat 25 sampai 30 persen (Mordenti et al.

    1997).

    Komplek organik Cr terdapat dalam bentuk Cr-chelate, Cr proteinat ragi (high Cr-

    yeast) dan Cr-pikolinat. Kromium pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat 3 molekul

    asam pikolinat. Asam pikolinat adalah metabolit sekunder yang dihasilkan pada

    metabolisme triptofan sebelum membentuk niasin atau asam nikotinat (Combs 1992;

    Groff dan Gropper 2000).

    Kromium (Cr) menjadi unsur mikro yang esensial karena berhubungan dengan kerja

    insulin. Dalam bentuk kompleks, Cr memfasilitasi interaksi jaringan antara insulin dan reseptor

    insulin (Mertz et al. 1974). Menurut Kahn (1978), GTF-Cr (Glucose Tolerance Factor yang

    mengandung Cr), meningkatkan pengikatan insulin oleh reseptor pada membran sel sehingga

    entri glukosa ke dalam sel meningkat. Peningkatan ini akan terjadi walaupun insulin rendah. Cr

    ada yang bervalensi 3 (Cr +3) ada juga yang bervalensi 6 (Cr+6). Krom yang esensial adalah

    Cr+3, namun sulit diserap, sedangkan Cr+6 mudah larut dan mudah diserap akan tetapi toksik.

    Mengingat keadaan serba salah itu, maka satu-satunya jalan untuk memasok Cr+3 ke dalam

    tubuh ternak ialah dengan memasoknya dalam bentuk ikatan dengan ligand organik (Sutardi

    2002). Suplementasi Cr organik pada sapi perah menunjukkan peningkatan konsumsi, protein

    susu, laktosa susu, lemak susu dan produksi susu (Muktiani 2002). Analisis darah pada jam 0,

    3 dan 5 jam setelah makan terjadi peningkatan glukosa pada jam ke-3 dan menurun pada jam

    ke-5. Keadaan ini sedikit banyak menunjukkan bahwa terjadi entri glukosa ke dalam sel. Hal ini

    seiring dengan terjadinya peningkatan laktosa susu yang cukup tinggi. Untuk mengatasi

    kekurangan mineral esensial pada ternak maka dilakukan suplementasi. Suplemen

    mineral ini diharapkan dapat meningkatkan aktivitas enzim terkait sehingga dapat

    meningkatkan produksi dan juga meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen. Dalam

    penelitian di laboratorium antara lain diperoleh petunjuk bahwa pemberian Cr pikolinat

    sebesar 4 mg.kg-1 dapat mencapai pertumbuhan sapi 1.60 kg.hari-1. Berdasarkan hasil-

    hasil penelitian terdahulu, ransum percobaan yang akan digunakan akan diperkaya

  • 21

    kandungan mineralnya serta ditingkatkan manfaatnya dengan suplemen-suplemen yang

    bermanfaat bagi proses nutrisi protein.

    Mineral Selenium (Se)

    Selenium (Se) merupakan salah satu mineral yang mempunyai fungsi fisiologis

    sebagai glutation peroksidase (GSH Px) berperanan dalam melindungi sel dan

    subseluler dari kerusakan oksidatif dengan jalan mereduksi senyawa-senyawa

    peroksida menjadi senyawa yang aman bagi sel. Peroksida ini terbentuk selama proses

    metabolisme berlangsung. Glutation (GSH) adalah tripeptida yang mengandung tiga

    asam amino yaitu glutamat, sistin dan glisin yang digunakan sebagai sumber asam

    amino bersulfur (Baumrucker 1985). Disamping Se berperan sebagai anti oksidan,

    mineral ini juga terlibat dalam sistem kekebalan, sehingga ketersediannya sangat

    penting bagi ternak.

    Kebutuhan selenium (Se) pada sapi perah 0.30 mg.kg-1 (NRC 2001). Penyerapan Se

    tidak terjadi di dalam rumen atau abomasum. Absorpi terbesar terjadi di usus kecil (duodenum)

    dan sekum (McDowell 1992). Selenium merupakan bagian integral dari enzim peroksidase

    glutation yang fungsinya meredam peroksida. Dengan demikian Se merupakan salah satu

    unsur pertahanan tubuh. Selain itu ada beberapa enzim yang juga aktivitasnya bergantung

    pada Se. Salah satu di antaranya enzim deiodinase yang fungsinya mengubah T4

    (tetraiodotironin) menjadi triodotironin (T3) yang merupakan bentuk aktif dari tiroksin. Hormon

    tersebut mengatur metabolisme umum, karena itu dapat diharapkan bahwa suplementasi Se

    akan meningkatkan produksi ternak dan menambah kekebalan tubuh (Sutardi 2002). Sapi

    perah yang mengkonsumsi Se organik menghasilkan susu yang lebih tinggi dibandingkan

    dengan yang mengkonsumsi Se anorganik (Awadeh et al. 1999). Penggunaan Se-proteinat

    pada sapi perah menunjukkan adanya kenaikan konsumsi, T3, sintesis protein susu, laktosa

    susu, lemak susu dan produksi susu (Prayitno 2002).

    Bentuk suplemen Se harus dipertimbangkan dalam penggunaannya, karena

    sodium selenit yang biasa digunakan sebagai sumber Se diketahui bersifat merugikan.

    Dengan valensi yang besar, Se dalam tubuh dapat mengikat protein, enzim dan hormon,

    sehingga enzim menjadi tidak aktif (Mahan 1995). Disamping itu absorsi sodium selenit

    kecenderungan rendah di dalam rumen dikarenakan tereduksi menjadi senyawa yang

    tidak larut.

  • 22

    Windisch et al. (1998) menyatakan bahwa secara umum Se organik dapat

    dideposisikan dalam jaringan lebih tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik. Bentuk

    selenometionin dan selenosistein lebih mudah diabsorsi oleh ternak karena sel-sel tubuh

    secara aktif memanfaatkannya sebagai nutrient organik. Dikemukakan lebih lanjut

    bahwa suplementasi selenometionin menghasilkan konsentrasi Se yang tinggi pada

    seluruh jaringan, dengan rataan peningkatannya 19 persen lebih tinggi dibandingkan

    selenit. Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan selenometionin dan sisanya

    berikatan dengan protein dan asam amino lainnya (Stone 1998).

    Khitin dan Khitosan

    Khitin merupakan biopolimer terbanyak kedua setelah selulosa yang berlimpah

    dan tersebar di alam. Khitin termasuk komponen organik penting yang terdapat dalam

    berbagai spesies binatang perairan, seperti pada kulit udang, cangkang rajungan

    masing-masing sebesar 14-27 persen dan 13-15 persen bahan kering (Tsugita 1997).

    Khitin merupakan biopolimer polisakarida dengan rantai lurus yang tersusun dari 2000-

    3000 monomer N-asetil-D-glukosamin, monomer-monomer tersebut tersusun dengan

    ikatan glikosidik (1-4) dengan nama kimia poli-(1-4)-N-asetil-D-glukosamin (Knorr

    1994).

    CH2OH CH2OH CH2OH O O O O O OH H OH H OH H

    H HNCOCH3 H HNCOCH3 H HNCOCH3

    Gambar 3. Struktur berulang khitin

    Bentuk molekul khitin hampir sama dengan selulosa yaitu polisakarida yang

    dibentuk dari molekul-molekul sederhana yang identik. Bedanya dengan selulosa

    terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus hidroksil pada C-2 digantikan oleh gugus

    asetil amino (NHCOCH3). Selulosa mengandung monomer glukosa yang terlihat dalam

    bentuk (1-4), sedangkan khitin mengandung monomer N-asetil-D-glukosamin (Ornum

    1992).

  • 23

    Khitin tidak larut dalam air, basa, alkohol atau pelarut organik lainnya, tetapi

    khitin dapat larut dalam larutan HCl pekat, H2SO4 pekat, asam fosfat 78-79 persen atau

    asam format anhidrat (angka dan Suhartono 2000). Khitin mudah mengalami degradasi

    secara biologis, tidak beracun, tidak beracun, dengan warna putih, berbentuk kristal

    dengan berat molekul lebih dari 1.2x105 dalton (Knorr 1984).

    Khitosan merupakan turunan khitin yang diperoleh melalui proses deasetilasi

    atau penghilangan gugus COCH3. Pemrosesan khitin dengan alkali akan menghasilkan

    khitosan yang merupakan substansi heterogen dari proses deasetilasi. Dari sekian

    banyak sumber khitosan hanya kulit udang dan rajungan yang sudah dimanfaatkan

    secara komersial. Cangkang rajungan merupakan sumber utama dari industri yang

    memproduksi khitin dan khitosan, karena cangkang rajungan relatif kaya khitin, sedikit

    mengandung CaCO3, dan mudah didapat dalam jumlah besar sebagai hasil samping

    industri pengolahan rajungan (Hirano 1989).

    CH2OH CH2OH CH2OH O O O O O OH H OH H OH H

    H NH2 H NH2 H NH2

    Gambar 4. Struktur berulang khitosan

    Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin yang bersifat unik, dengan unit

    penyusun berupa disakarida (1-4)-2-amino-2-dioksi--D-glukosa dengan ikatan

    (Angka dan Suhartono 2000). Berat molekul khitosan sekitar 1.036x106 dalton,

    tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin

    banyak gugus asetil yang hilang dari polimer khitin, maka berat molekulnya semakin

    rendah dan sebaliknya interaksi antar ion dan ikatan hydrogen dari khitosan semakin

    kuat (Ornum 1992).

    Penampilan fungsional khitosan ditentukan oleh sifat fisik dan kimianya. Seperti

    halnya dengan polisakarida lain, khitosan memiliki kerangka gula tetapi dengan sifat

    yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif , sedangkan

    polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif (Angka dan Suhartono

    2000). Menurut Sandford (1989), bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida dan

  • 24

    asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan khitosan

    membentuk ion netral. Khitosan mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak

    beracun, kationik kuat, flokulan dan koagulan yang baik, mudah membentuk membran

    atau film serta membentuk gel dengan anion bervalensi ganda.

    Khitin dan khitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri,

    hidrofilik, memiliki reaktifitas kimia tinggi karena mengandung gugus OH dan gugus

    NH2 untuk ligan yang bervariasi sebagai penukar ion. Selain itu ketahanan kimia

    keduanya cukup baik yaitu khitosan larut dalam larutan asam tetapi tidak larut dalam

    basa dan posisi silang khitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan khitin, serta

    tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Muzarelli 1977). Khitosan tidak larut

    dalam alkali pada pH diatas 6.5 dan pelarut organik, tetapi dapat larut cepat dalam asam

    organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat dan asam mineral lain

    kecuali sulfur (Austin 1984). Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dan asam

    asetat dengan konsentrasi 0.2-1.0% dan 1-2% (Ornum 1992). Sifat kelarutan khitosan

    dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi, dan rotasi spesifik yang bervariasi

    serta tergantung dari sumber dan metode isolasinya (Austin 1984).

    Molekul khitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat

    lebih kompak dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya, hal ini disebabkan

    densitas muatan yang tinggi. Akan tetapi, dalam larutan berkekuatan ionik tinggi ikatan

    hidrogen dan gaya elektrostatik pada molekul khitosan terganggu sehingga

    konformasinya menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini yang

    menjadikannnya dapat membentuk baik konformasi kompak maupun memanjang

    sehingga membantu fleksibilitas pemananfaatannya dalam berbagai produk (Angka dan

    Suhartono 2000).

    Sifat yang menarik lainnya dari khitosan adalah kemampuannya untuk mengikat

    ion logam (Chelates metal ions) seperti Fe, Cu, Pb, Cd, Hg dan lain-lain, mengikat air

    dan lemak, menggumpalkan suspensi koloid dengan membentuk blok-blok gumpalan

    seperti aluminium sulfat, ferosulfat atau feriklorida serta mempunyai sifat adsorbsi

    (Karim dan Sistrunk 1985). Khitosan memiliki sifat reaktifitas kimia yang tinggi yang

    menyebabkan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung dengan adanya gugus

    polar dan nonpolar yang dikandungnya, maka khitosan dapat digunakan sebagai

    pengental, pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan

    pembentuk tekstur (Brzeski 1989). Selanjutnya Hirano (1989) menjelaskan kelebihan

    dari khitin dan khitosan diantaranya : (1) Merupakan komponen biomassa utama pada

  • 25

    udang dan rajungan (2) Sumberdaya yang dapat diperbaharui (3) Senyawa biopolimer

    yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan (4) Hampir tidak bersifat toksik

    (5) Konformasi molekul dapat diubah, (6) Mempunyai fungsi biologis, dapat membentuk

    gel, koloid, serat dan film, dan (7) Mengandung gugus amino dan hidroksi yang dapat

    dimodifikasi.

    Khitosan memiliki potensi untuk digunakan dalam industri dan kesehatan.

    Kualitas khitosan tergantung pada penggunaannya, misalnya khitosan yang digunakan

    dalam proses pemurnian air limbah tidak membutuhkan bahan dengan kemurnian yang

    tinggi sedangkan untuk obat-obatan diperlukan khitosan dengan kemurnian yang tinggi.

    Mutu khitosan tergantung pada beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu,

    kelarutan, derajat deasetilasi, viskositas, dan berat molekul (Bastaman 1989).

    Rumput Laut Coklat

    Rumput laut adalah biota laut yang tergolong tanaman tingkat rendah.

    Umumnya tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak memilik akar, batang, dan daun

    sejati. Pada umumnya rumput laut dapat dikelompokkan menjadi empat kelas yaitu (1)

    Rumput laut hijau (Clorophyceae), (2) Rumput laut biru (Cyanophyceae), (3) Rumput

    laut merah (Rhodophyceae), (4) Rumput laut coklat (Phaeophyceae). Rumput laut

    coklat terdiri dari sekitar 1500 jenis (Dawes 1981). Jenis rumput dari kelas ini umumnya

    hidup di perairan subtropis seperti Macrocytis, Laminaria, Ascophyllum, dan lain-lain,

    sedangkan diperairan tropis termasuk Indonesia terdapat jenis-jenis lain seperti

    Sargassum, Turbinaria, Padina, dan Dictyota.

    Rumput laut coklat membutuhkan air bersih dengan suhu 4o sampai 18oC.

    Rumput laut ini berfotosintesis dibatasi lokasi dan kondisi cahaya yang cocok dari zona

    tidal sampai kedalam 50 meter, tergantung pada spesies (Onseyen 1992). Alginat

    terdapat pada semua rumput laut coklat (Phaeophyceae). Salah satu rumput laut coklat

    yang potensial di Indonesia adalah Sargassum sp yang tersebar hampir di seluruh

    perairan Indonesia, tumbuh diperairan yang terlindungi dan berombak besar pada

    habitat batu (Kadi dan Atmadja 1988).

    Sargassum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : bentuk Thallus umumnya

    silindris atau gepeng, percabangan rimbun menyerupai pepohonan di darat, bangun

    daun melebar, lonjong atau menyerupai pedang mempunyai gelembung udara (bladder)

    yang umumnya soliter, panjangnya dapat mencapai tujuh meter dan warna thallus

    umumnya coklat, dan umur tanaman lebih dari satu tahun (Kadi dan Atmadja 1988).

  • 26

    Pada mulanya rumput laut dimanfaatkan sebagai makanan, baik dimakan

    langsung maupun sebagai sayur atau lalap. Untuk pakan ternak atau campuran ransum

    ternak biasanya didasarkan pada kandungan vitamin E, fukoxanthine, dan iodium.

    Pemakaian rumput laut sebagai pakan ternak unggas dapat memperbaiki warna kuning

    telur dan melunakkan daging ternak. Rumput laut juga bisa digunakan sebagai pupuk,

    hal ini disebabkan karena kandungan N, P, K, dan iodium yang cukup tinggi (Satari

    1997).

    Komposisi kimia rumput laut sangat bervariasi, tergantung pada jenis spesies,

    masa perkembangan, dan kondisi tempat tumbuhnya. Hasil fotosintesa yang bernilai

    ekonomi tinggi dan dapat diekstrak dari Sargassum sp adalah alginat, yaitu garam dari

    asam alginat yang mengandung ion sodium, kalsium dan kalium. Asam alginat

    merupakan senyawa organik kompleks yang termasuk golongan karbohidrat (Chapman

    dan Chapman 1980).

    Alginat pertama kali diekstraksi dari rumput laut coklat jenis Laminaria oleh

    Stanford. Proses yang dilakukannya sangat sederhana yaitu bahan baku alga coklat

    dicuci dengan air dingin atau asam untuk melarutkan garam-garam kalium, iodium dan

    garam anorganik lainnya yang dapat larut dalam air. Bahan ini dimasak dengan larutan

    Na2CO3 10% selama 24 jam. Filtrat yang terbentuk selanjutnya ditambahkan HCl atau

    H2SO4 sehingga asam alginat akan terendapkan. Pemucatan dapat dilakukan selama

    proses pengendapan berlangsung. Pengeringan asam alginat dilakukan pada bak

    terbuka dengan aliran udara panas atau pada silinder berputar (Chapman dan Chapman

    1980).

    COOH COOH COOH O O O O O OH OH OH OH OH OH

    H H H H H H

    Gambar 5. Struktur berulang alginat

    Rumput laut coklat memiliki kandungan senyawaan yang potensial untuk

    menyerap logam berat. Hal ini karena kandungan polisakarida gugus karboksil dari

    alginat sebagai tempat utama penyerapan logam berat. Sargassum sp merupakan

  • 27

    salah satu rumput laut coklat yang terbaik sebagai pengumpul logam berat dibandingkan

    dengan jenis rumput laut lainnya. Hal ini karena rumput laut coklat memiliki kapasitas

    penyerapan yang tinggi, murah dan mudah dikembangkan, serta memiliki kandungan

    antioksidan yang tinggi (Franca et al. 2001).

    Karakteristik Semen Ternak Domba

    Semen merupakan sekresi kelamin jantan yang secara normal dikeluarkan pada

    saat ejakulasi yang terdiri dari spermatozoa dalam plasma semen. Sedangkan ejakulat

    merupakan semen hasil satu kali proses ejakulasi. Setiap ejakulat berbeda antar

    spesies, dimana untuk domba berkisar antara 0.8 1.2 ml (Hafez 1993). Spermatozoa

    dihasilkan didalam testis, sedangkan plasma semen adalah campuran sekresi yang

    dibuat oleh epididymis dan kelenjar-kelenjar pelengkap yaitu vesikularis dan prostate

    (Toelihere 1981).

    a. Testis kiri i. Corpus prostate b. Caput epididymis j. Pars prostata disseminata c. Corpus epididymis l. Kelenjar cowper d. Cauda epididymis p. Penis e. Vas deferens r. Bagian bebas penis f. Buluh darah dan syaraf spermaticus s. M. Retractor penis g. Ampulla vas deferens t. Vesica urinaria h. Kelenjar vesikularis v. Rectum x. processus urethrae

    Gambar 6. Organ reproduksi jantan dan bagian-bagiannya pada domba (Toelihere 1993).

  • 28

    Menurut Garner dan Hafez (2000) bagian ekor antara leher dan annulus adalah

    bagian tengah yang diselaputi oleh axonema yang terdiri dari 9 pasang mikrotubuli yang

    melingkari 2 buah filamen, bagian tengah ekor juga diselubungi oleh mitokondria yang

    berbentuk pola helix disepanjang serat longitudinal dari ekor dan merupakan sumber

    energi yang dibutuhkan untuk motilitas sperma. Bagian utama yang dimulai dari

    annulus sampai mendekati ujung ekor dibentuk terutama pada axonema dan sejenis

    serat kasar, bagian serat kasar inilah yang memberikan kestabilan dalam pergerakan

    ekor. Bagian akhir yang merupakan bagian posterior dan merupakan akhir dari serat-

    serat yang kompak, hanya terdiri dari axonema dan dilapisi oleh plasma membrane.

    Gambar 7. Spermatozoa dan bagian-bagiannya (Toelihere, 1993)

    Sekitar 90 % volume semen terdiri dari plasma semen, sifat-sifat fisik dan kimia

    semen sebagian besar ditentukan oleh plasma semen (Toelihere 1981). Plasma semen

    adalah campuran sekresi yang dibuat oleh epididimis dan kelenjar-kelenjar kelamin

    pelengkap yaitu ampula, kelenjar vesikularis, kelanjar prostate dan kelenjar

    bulbourethralis. Menurut Toelihere (1981) dan Senger (1999) fungsi utama plasma

    semen adalah sebagai medium perjalanan spermatozoa dari lingkungan saluran

    reproduksi jantan ke traktus reproduksi betina selama ejakulasi. Fungsi ini dapat di

    jalankan dengan baik karena pada banyak spesies plasma semen mengandung bahan-

    bahan penyangga dan makanan sebagai sumber energi bagi spermatozoa baik yang

    dapat digunakan secara langsung misalnya fruktosa dan sorbitol maupun secara tidak

  • 29

    langsung misalnya glyseryl phosphoryl choline (GPC). Plasma semen yang sebagian

    besar terdiri dari air, merupakan cairan netral bersifat isotonik serta berisi substansi

    organik dan inorganik sebagai cadangan makanan dan perlindungan sperma.

    Plasma semen mengandung asam sitrat konsentrasi tinggi, ergothionin, fruktosa,

    GPC, sorbitol, asam askorbat, asam amino, peptide, protein, lipid, asam lemak dan

    sejumlah enzim. Di dalam plasma semen juga dapat ditemukan adanya hormon

    androgen, estrogen, prostaglandin, FSH, LH, chorionik gonadotropin, hormon

    pertumbuhan, insulin, glukagon, prolaktin, relaxin, thyroid releasing hormon dan

    encephalin (Garner dan Hafez 2000).

    Tabel 2. Karakteristik seminal dan komposisi kimia semen domba

    Sifat-sifat dan komposisi kimiawi semen domba Jumlah

    Volume ejakulat (ml) Konsentrasi spermatozo9a (106/ml) Persentase motilitas spermatozoa per ejakulat Persentase spermatozoa normal Protein (gr/100 ml) pH Fruktosa (mg/100ml) Sorbitol (mg/100ml) Asam sitrat (mg/100 ml) Inositol Gliserol phosphoril Kholine (mg/100 ml) Ergothionine (mg/100 ml) Sodium (mg/100 ml) Potassium (mg/100 ml) Kalsium (mg/100 ml) Mg (mg/100 ml)

    0.8-1.2 2000-3000

    60-80 1.6-3.9 (109)

    80-95 5.0

    5.9-7.9 250

    26-170 110-260

    7-14 1100-2100

    0 178 11 89 4 6 2

    6 0.8

    Sumber : Hafez (1993).

    Volume semen yang dapat diperoleh tiap penampungan sangat bervariasi

    tergantung pada usia domba jantan, bangsa domba, musim dan waktu penampungan,

    serta kemampuan individu ternak (Hafez 1993). Rata-rata volume setiap penampungan

    berkisar antara 0.2 2.5 ml semen dengan konsentrasi 1500 3000 juta sel sperma per

    ml (Toelihere 1993), sedangkan menurut Singleton (2002) rata-rata volume pada

    domba jantan antara 0.8 2.0 ml dengan konsentrasi antara 1.5 4.0 x 109 sel.

    Konsentrasi spermatozoa menggambarkan kualitas semen yang menentukan

    berapa betina yang dapat dikawini dengan ejakulat yang diperoleh (Hafez 1993).

    Menurut Inounu et al. (2000) dinyatakan bahwa konsentrasi spermatozoa tergantung

  • 30

    dari bobot badan. Semen pada domba mempunyai pH berkisar antara 5.9 sampai 7.3

    dengan warna cream atau agak keabua-abuan. Semen dengan konsentrasi sperma

    yang tinggi bersifat agak asam, sedangkan semen dengan konsentrasi rendah

    cenderung bersifat basa (Toelihere 1993). Secara spesifik kualitas semen domba Garut

    dilaporkan Rizal et al. (2002), volume ejakulat 1,2,3 masing-masing 0.770.19,

    0.950.31, 0.770.19, warna putih susu, konsistensi kental, gerakan massa +++, pH

    7.120.09, konsentrasi 2845.00355x106 sel/ml, persentase motilitas 76.672.36,

    persentase hidup 88.332.87, dan persentase abnormalitas 4.330.74. Selanjutnya

    Herdis et al. (2005) juga melaporkan bahwa volume per ejakulat 0.790.08 ml, warna

    krem, konsistensi kental, pH 7.000.08, gerakan massa 3.000.00, konsentrasi

    3674400 juta sel permililiter, persentase motilitas 75.000.00%, persentase hidup

    84.800.84%, dan persentase abnormal 2.400.54%.

    Karakteristik Darah

    Hewan tingkat tinggi mempunyai sistem sirkulasi darah dan cairan-cairan,

    sebagai suatu cara untuk mempertahankan lingkungan yang relatif konstan bagi semua

    sel. Darah terdiri dari sel-sel yang terendam di dalam cairan yang disebut plasma.

    Darah mempunyai peranan dalam membawa nutrient, transport O2 dan CO2, transport

    hormon, sebagai buffer, dan sebagai faktor penting dalam pertahanan tubuh terhadap

    penyakit (Frandson 1996).

    Darah adalah jaringan ikat cair yang terdapat dimana-mana dalam tubuh. Darah

    mengandung sel-sel, serat ekstraseluler yang potensial dan substansi dasar amorf

    ekstrseluler. Sel-sel darah dihasilkan di bagian dalam tulang pada jaringan ikat khusus

    disebut sumsum tulang. Sel-sel dalam darah ialah eritrosit, leukosit, dan trombosit.

    Darah mengandung serat-serat fibrinogen yang potensial, yang menjadi serat

    sebenarnya (fibrin) selama pembekuan. Bekuan darah adalah jaringan ikat semisolid

    yang dengan cepat menghentikan perdarahan dan bekerja sebagai sel-sel penting untuk

    penyembuhan luka. Substansi dasar amorf ekstraseluler darah adalah cairan dan

    protein dalam plasma darah (Johnson dan Gunawijaya 1994).

    Sel darah merah (red blood cell) atau eritrosit adalah sel-sel dengan diameter

    rata-rata sebesar 7.5 , dengan spesialisasi untuk pengangkutan oksigen. Sel-sel ini

    merupaka cakram yang bikonkaf, dengan pinggiran sirkuler yang tebalnya 1.5 dan

    pusatnya yang tipis. Cakram bikonkaf tersebut mempunyai permukaan yang relatif luas

    untuk pertukaran oksigen melintasi membran sel. Adanya hemoglobin di dalam eritrosit

  • 31

    memungkinkan timbulnya kemampuan kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta

    menjadi penyebab timbulnya warna merah pada darah. Dari segi kimia, hemoglobin

    merupakan suatu senyawa organik yang kompleks yang terdiri dari empat pigmen

    porfirin merah (heme), masing-masing mengandung atom besi ditambah globin, yang

    merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam amino.

    Hemoglobin bergabung dengan dengan oksigen udara yang terdapat didalam paru-paru,

    sehingga terbentuklah oksihemoglobin, yang selanjutnya melepaskan oksigen itu ke sel-

    sel jaringan di dalam tubuh (Frandson 1996).

    Sel darah putih atau leukosit sangat berbeda dari eritrosit, karena adanya

    nucleus dan memiliki kemampuan gerak yang independent. Leukosit digolongkan

    dalam beberapa bentuk yaitu Granulosit yang terdiri dari Netrofil, Eosinofil, dan Basofil.

    Sedangkan Agranulosit terdiri dari Monosit dan Limfosit. Masa hidup leukosit sangatlah

    bervariasi, mulai dari beberapa jam untuk granulosit, sampai bulanan untuk monosit,

    dan bahkan tahunan untuk limfosit. Di dalam aliran darah kebanyakan sel darah putih

    bersifat nonfungsional dan hanya diangkut ke jaringan ketika dan dimana dibutuhkan

    saja.

    Netrofil mengandung granula yang memberikan warna indiferen dan tidak merah

    ataupun biru. Ini merupakan jajaran pertama untuk sistem pertahanan melawan infeksi

    dengan cara migrasi ke daerah yang sedang mengalami serangan oleh bakteri,

    menembus dinding pembuluh, dan menerkam bakteri untuk dihancurkan. Dalam proses

    ini banyak pula netrofil yang mendegradasi jaringan yang mati (nekrotik) dan

    menghasilkan zat semi cair yang disebut nanah (pus). Jumlah netrofil di dalam darah

    meningkat cepat tatkala terjadi infeksi yang akut. Hitungan atas sel darah putih yang

    menunjukkan peningkatan, merupakan diagnosis infeksi yang bermanfaat.

    Eosinofil juga dikenal dengan asidofil nampak sebagai granula yang berwarna

    merah di dalam sitoplasma. Sel-sel ini yang umumnya jumlah tidak banyak, dapat

    meningkat dalam kasus-kasus penyakit kronis tertentu, seperti infeksi oleh parasit.

    Eosinofil juga bersifat ameboid dan fagositik. Fungsi utamanya adalah untuk toksifikasi

    baik terhadap protein asing yang masuk kedalam tubuh melalui paru-paru ataupun

    saluran pencernaan, maupun racun yang dihasilkan oleh bakteri atau parasit. Dalam

    keadaan reaksi alergi juga eosinofil akan meningkat.

    Basofil yang mengandung granula yang berwarna biru oleh pewarnaan, juga

    sedikit dalam darah yang normal. Karena basofil mengandung heparin (zat

    antikoagulan), dipostulasikan bahwa heparin itu dilepaskan di daerah peradangan guna

  • 32

    mencegah timbulnya pembekuan darah. Karena terlibat dalam proses peradangan

    maka dapat mengganggu keseimbangan yang peka antara basofil dan eosinofil dalam

    mengawali atau mengontrol peradangan itu. Basofil juga mengandung histamine dan

    diperkirakan pula basofil adalah prekursor bagi mast cell. Basofil dan mast cell

    melepaskan histamin, sedikit bradikinin dan serotonin. Sel-sel ini terlibat dalam reaksi

    peradangan jaringan dan dalam proses reaksi alergik.

    Monosit merupakan sel-sel darah putih yang menyerupai netrofil, bersifat

    fagositik yang mempunyai kemampuan utuk menerkam material asing seperti bakteri.

    Akan tetapi kalau netrofil kerja utamanya mengatasi infeksi yang akut , monosit akan

    mulai bekerja pada keadaan infeksi yang tidak terlalu akut seperti pada kasus

    tuberkolosis. Tatkala monosit darah masuk kedalam jaringan, monosist itu akan

    berkembang menjadi fagosit yang lebih besar yang disebut makrofag.

    Limfosit mempunyai ukuran dan penampilan yang bervariasi, mempunyai

    nucleus relatif besar yang dikelilingi oleh sejumlah sitoplasma. Fungsi utama limfosit

    adalah responnya terhadap antigen atau benda-benda asing dengan membentuk

    antibodi yang bersirkulasi di dalam darah atau dalam pengembangan imunitas

    (kekebalan) seluler.