BAB 1-5 nita riset

49
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih menimbulkan masalah kesehatan yang besar di negara yang sedang berkembang, khususnya Indonesia. Di Indonesia, sejak penyakit ini pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1968, memperlihatkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit serta tingginya kematian yang ditimbulkan. Di samping itu penyakit ini sering muncul sebagai KLB (Rampengan, 1997). Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality rate) DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO, 2004). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS DR. Wahidin Sudirohusodo di Bagian Ilmu Kesehatan Anak selama kurun waktu Januari 1998 sampai dengan Desember 2005 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak diperoleh data pasien DBD yang dirawat sebanyak 1157 orang. Empat ratus lima puluh sembilan orang (40%) adalah penderita Dengue Syock Syndrom (DSS) dan 698 (60%) adalah penderita DBD tanpa renjatan (Ganda dan Bombang, 2000). Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, jika dilihat secara total kasus DBD sepanjang tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir misalnya, angka peningkatan jelas, yakni kasusnya 79.462 dan meninggal 957 tahun 2004, 95.000 kasus dan meninggal 1.350 tahun 2005, 113.640 kasus dan meninggal 1.184 tahun 2006 dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380 meninggal tahun 2007 (Anonim, 2008). Berdasarkan data yang disampaikan di atas, penulis ingin mengetahui prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Alasan pemilihan RSUP Fatmawati sebagai tempat penelitian dikarenakan rumah sakit tersebut tempat dimana penulis melakukan pendidikan dan RSUP Fatmawati sebagai rumah sakit rujukan wilayah Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menjadi masukan untuk RSUP Fatmawati sehingga diperlukan adanya upaya

Transcript of BAB 1-5 nita riset

Page 1: BAB 1-5 nita riset

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih

menimbulkan masalah kesehatan yang besar di negara yang sedang berkembang,

khususnya Indonesia. Di Indonesia, sejak penyakit ini pertama kali ditemukan

yaitu pada tahun 1968, memperlihatkan peningkatan baik dalam jumlah maupun

luas wilayah yang terjangkit serta tingginya kematian yang ditimbulkan. Di

samping itu penyakit ini sering muncul sebagai KLB (Rampengan, 1997).

Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality

rate) DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia

berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO, 2004).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS DR. Wahidin

Sudirohusodo di Bagian Ilmu Kesehatan Anak selama kurun waktu Januari 1998

sampai dengan Desember 2005 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak diperoleh data

pasien DBD yang dirawat sebanyak 1157 orang. Empat ratus lima puluh sembilan

orang (40%) adalah penderita Dengue Syock Syndrom (DSS) dan 698 (60%)

adalah penderita DBD tanpa renjatan (Ganda dan Bombang, 2000).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, jika dilihat

secara total kasus DBD sepanjang tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun

terakhir misalnya, angka peningkatan jelas, yakni kasusnya 79.462 dan meninggal

957 tahun 2004, 95.000 kasus dan meninggal 1.350 tahun 2005, 113.640 kasus

dan meninggal 1.184 tahun 2006 dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380

meninggal tahun 2007 (Anonim, 2008).

Berdasarkan data yang disampaikan di atas, penulis ingin mengetahui

prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode

Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Alasan pemilihan RSUP Fatmawati

sebagai tempat penelitian dikarenakan rumah sakit tersebut tempat dimana penulis

melakukan pendidikan dan RSUP Fatmawati sebagai rumah sakit rujukan wilayah

Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat

menjadi masukan untuk RSUP Fatmawati sehingga diperlukan adanya upaya

Page 2: BAB 1-5 nita riset

2

untuk memperbaiki tingkat pelayanan rumah sakit dalam hal promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif DBD pada anak dikalangan masyarakat umum.

1.2. Rumusan Masalah

Berapa prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP

Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009 ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP

Fatmawati peride Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui fluktuasi kasus perbulan

2. Mengetahui distribusi umur terbanyak.

3. Mengetahui frekuensi penderita laki-laki dan perempuan.

4. Mengetahui angka kematian yang timbul.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Menjadi dasar bukti medis secara ilmiah tentang prevalensi penderita

DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus

2008 sampai dengan Juli 2009.

2 Sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam menyelesaikan program

sarjana kedokteran.

Comment [M1]: distribusi

Comment [M2]: yg timbul?

Page 3: BAB 1-5 nita riset

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori

2.1.1. Definisi DBD

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus dengue, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau

Aedes albopictus (Anonim, 2007).

2.1.2. Virus Penyebab DBD

DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus

Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30

nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe

ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan

banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2

(Anonim, 2007).

Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain,

tetapi antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan

perlindungan silang. Hal tersebut karena variasi genetik yang berbeda pada

keempat serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam

serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-

masing segmen kodon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6-11,0% pada

tingkat nukleotida dan mencapai 1,3-7,7% untuk tingkat protein (WHO, 2000).

Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat

biologis dan antigenitasnya. Virus Dengue yang mempunyai genom dengan berat

molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural yang terdiri dari protein envelope

(E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total

protein dan protein non-struktural yang merupakan bagian terbesar yaitu 75% dari

total protein terdiri dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang pembentukkan

antibodi diantara protein struktural, urutan imunitas tertinggi adalah protein E,

Page 4: BAB 1-5 nita riset

4

kemudian diikuti protein prM dan selanjutnya protein C. Sedangkan pada protein

nonstruktural yang paling berperan adalah protein NS-1 (Soegiyanto, 2000).

2.1.3. Masa Inkubasi Virus Dengue

Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi ekstrinsik. Masa

inkubasi ekstrinsik merupakan periode waktu perkembanganbiakan virus dalam

kelenjar liur nyamuk sampai menularkan pada manusia yang berkisar antara 8-10

hari. Masa inkubasi intrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus

di dalam tubuh manusia sejak masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang

berkisar antara 4-6 hari (PPMPL Depkes RI, 2004).

2.1.4. Sumber dan Cara Penularan DBD

2.1.4.1. Nyamuk Penular

1. Anatomi Nyamuk

Nyamuk Aedes aegypti mudah dikenali dengan memperhatikan warna

tubuhnya, tanda-tanda yang dapat digunakan adalah: merupakan lalat

kecil dengan tubuh halus, lunak dan langsing, yang terbagi menjadi tiga

bagian yaitu: caput (kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut), pada

caput terdapat sepasang antena dengan mulut tipe menusuk dan

menghisap, bernafas dengan menggunakan sistem trakea yang langsung

berhubungan dengan jaringan tubuh,dengan mata faset yang tersusun atas

omnatidia dan mata tunggal (ocelli), sedangkan pada daerah toraks

terdapat tiga pasang kaki, tubuh dan kaki berwarna gelap diselingi

belang-belang putih, pada permukaan atas punggung terdapat semacam

huruf ‘Y’ dan terdapat sepasang garis membujur, mempunyai sepasang

sayap (Diptera), sayap muka transparan dengan beberapa pembuluh darah

dan sayap belakang mengalami reduksi berubah bentuk seperti ‘halter’

dan mempunyai sistem saraf tangga tali yang terdiri atas ganglion-

ganglion pada setiap ruas tubuhnya, organ kelamin yang bersifat tunggal

bermuara pada ujung abdomen dan nyamuk betina bersifat ovivar (Borror

dan Delong, 1970).

Comment [M3]: Spasi cukup satu, memang mau disingkat?

Page 5: BAB 1-5 nita riset

5

2. Asal dan Penyebaran Nyamuk

Nyamuk ini pertama kali ditemukan di kawasan Timur Tengah yaitu

daerah Mesir, sehingga nama petunjuk spesies nyamuk ini “aegypti”,

berasal dari kata egypt. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia

yang mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia

dan Amerika (Hadinegoro dan Satari, 2002).

3. Karakteristik Nyamuk

Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih

darah untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan dapat

hidup dengan cara menghisap sari bunga tumbuh-tumbuhan. Struktur

mulut nyamuk betina lebih panjang dengan struktur khusus untuk

menusuk dan menghisap darah, sungut berbulu jarang, sedangkan pada

nyamuk jantan sungut berbulu tebal dengan struktur mulut lebih lemah dan

tidak mampu menembus kulit manusia atau binatang. Nyamuk betina

mempunyai kebiasaan menggigit berulang-ulang kepada orang yang

berbeda-beda secara bergantian dalam waktu yang singkat (multiple

bitters), hal tersebut terjadi karena nyamuk ini sangat sensitif dan mudah

terganggu, kebiasaan ini sangat memungkinkan nyamuk untuk

menyebarkan dan menularkan virus kepada banyak orang sekaligus,

sehingga sering dilaporkan terdapat penderita penyakit demam berdarah

dalam keluarga atau keluarga-keluarga yang berdekatan rumahnya atau

terdapat dalam satu lingkungan (Brotowidjoyo, 1987).

Umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3

bulan atau rata-rata 1 ½ bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di

sekelilingnya. Kemampuan terbangnya berkisar antara radius 50-100 mil,

tetapi jarak efektif dihitung dari tempat perindukan dengan sumber

makanan berupa darah jadi kurang lebih sekitar 40 meter. Nyamuk Aedes

aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air

bersih yang tidak berhubungan dengan tanah seperti: bak mandi/wc,

minuman burung, air tempayan/gentong, kaleng, ban bekas, dan lain-lain.

Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung

yang ada di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu dan baju/pakaian di

Page 6: BAB 1-5 nita riset

6

kamar yang gelap dan lembab. Nyamuk betina hanya menggigit pada

waktu tertentu, biasanya pada pagi atau sore hari. Sedangkan nyamuk Ae

albopictus hidup dan berkembang biak di pohon-pohon, kebun atau

semak-semak. Menggigit pada waktu siang hari dan memiliki jarak

terbang 50 meter (Kadarsan dkk., 1983).

4. Siklus hidup Nyamuk

Siklus hidup nyamuk umumnya mulai dari telur, larva (jentik), pupa

(kepompong), dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Telur nyamuk bisa

mencapai ratusan butir dengan ukuran 0,5 milimeter per butir dan dapat

bertahan hidup selama tiga sampai empat minggu. Nyamuk biasanya

meletakkan telur di atas dinding kontainer tepat di atas permukaan air

yang tenang. Telur-telur nyamuk akan menetas sekitar dua hari kemudian

menjadi jentik-jentik nyamuk. Jentik nyamuk ini akan berkembang biak di

permukaan air yang jernih. Dalam waktu 4 hingga 5 hari kemudian akan

berubah menjadi pupa. Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam

air, tetapi tidak makan. Sedangkan untuk berubah menjadi nyamuk

dewasa, kepompong membutuhkan waktu sekitar dua hari. Perkembangan

hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu

sekitar 10-12 hari (Depkes RI, 2004).

Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber: Soedarmo, 1988

Page 7: BAB 1-5 nita riset

7

2.1.4.2. Cara Penularan DBD

Penularan DBD terjadi ketika nyamuk terinfeksi virus pada saat

menggigit manusia yang pada darahnya mengandung virus dengue (viremia),

selanjutnya pada usus nyamuk virus akan mengalami replikasi dan berkembang

biak kemudian akan migrasi sampai pada kelenjar ludah. Virus memasuki tubuh

manusia melalui gigitan nyamuk menembus kulit, dengan waktu inkubasi empat

hari virus akan bereplikasi dan berkembang biak pada jaringan dekat titik

inokulasi atau Lymph node dengan cepat dan apabila jumlahnya sudah cukup

virus akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang akan ditandai gejala klinis berupa

demam (Silalahi, 2004).

Gambar 2.2. Penularan Penyakit DBD Sumber: Soedarmo, 1988

2.1.5. Gambaran Epidemiologi DBD

2.1.5.1. Morbiditas dan Mortalitas

Di Indonesia DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya

dan Jakarta. Pada epidemi DBD yang terjadi 1998, sebanyak 47.573 kasus

dilaporkan dengan 1.527 kematian. Selama tahun 2004, dilaporkan setiap bulan

dengan jumlah 78.690 kasus dengan 954 kematian (CFR=1,2% ). Wabah

Desember 2004-Februari 2005 dilaporkan sebanyak 10.517 kasus dengan 182

kematian (CFR=1,73%) untuk 30 Provinsi. Pada tahun 2005, Indonesia

merupakan kontributor utama kasus DBD di Asia Tenggara (53%) dengan jumlah

kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian (CFR = 1,36%). Jumlah kasus meningkat

menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Jumlah kasus yang

Page 8: BAB 1-5 nita riset

8

dilaporkan merupakan yang terbesar dalam sejarah DBD di Indonesia (Nicolas et

al., 2007).

2.1.5.2. Umur dan Jenis Kelamin

Di Indonesia penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun.

Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984 meningkat

(Hadinegoro dan Satari, 2002). Berdasarkan jenis kelamin DBD secara

keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi kematian

ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki

(Rampengan, 1997).

2.1.5.3. Musim

Di negara-negara di wilayah tropis, DBD umumnya meningkat pada

musim hujan, sehingga banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat

berkembang biak nyamuk Aedes aegypti (Suroso, 1983, Suroso dan Umar, 1999).

Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan

September sampai dengan Februari dengan puncak pada bulan Desember atau

Februari. Akan tetapi untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan

Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret sampai dengan Agustus

dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli (Siregar, 2004).

2.1.6. Penyebaran Penyakit DBD

Penyebaran penyakit DBD di daerah perkotaan lebih intensif dari pada di

daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi di

daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat

berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular DBD (Aedes aegypti)

menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya.

Selain itu mobilitas penduduk kota pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan

di pedesaan (Suroso, 1983).

Page 9: BAB 1-5 nita riset

9

2.1.7. Faktor Risiko

Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain

faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri (Depkes RI,

2004).

1. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun.

2. Faktor lingkungan (environment) yaitu:

a. Geografi

Lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan nyamuk Aedes

aegypti adalah lingkungan yang lembab dan gelap. Kondisi lingkungan

yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk antara

27 hingga 30 derajat Celsius, dengan kelembaban udara antara 70 hingga

74 persen, dan pH rata-rata 7. Sedangkan nyamuk dewasa idealnya

berkembang pada suhu 20 hingga 30 derajat Celsius dan kelembaban

udara di atas 60 persen. Pada kondisi normal seperti ini nyamuk dapat

menghasilkan telur antara 50 hingga 100 butir, sedangkan apabila terjadi

peningkatan suhu lingkungan bisa meningkat mencapai 400 butir.

Pada umumnya nyamuk dapat menyelesaikan siklus hidupnya (dari telur

hingga nyamuk dewasa) membutuhkan waktu selama 10-12 hari. Namun,

siklus ini bisa lebih singkat apabila terjadi peningkatan suhu. Perubahan

cuaca karena pemanasan global akibat dari efek rumah kaca (seperti akibat

yang dirasakan saat berada di rumah kaca) akan menyebabkan

meningkatnya populasi nyamuk hingga dua kali lipat. DBD berkembang di

wilayah beriklim tropis terutama pada saat musim hujan.

b. Demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi

penduduk).

3. Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor

agen yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis

serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4.

Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan

bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi

dan serotipe virusnya.

Page 10: BAB 1-5 nita riset

10

2.1.8. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan dengue

(Suhendro dkk., 2007).

1. Mekanisme imunopatologis

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:

a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam

proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan

sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue

berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.

Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement (ADE).

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam

respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu

TH1 akan memproduksi INFγ, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2

memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi

antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi

virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.

d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan

terbentuknya C3a dan C5a (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Imunopatogenesis DBD Sumber: Rothman, 2009

Page 11: BAB 1-5 nita riset

11

2. Secondary Heterologous Infection

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary

Heterologous Infection dapat dilihat pada Gambar 2.4 yang dirumuskan oleh

Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue

yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan

terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi

limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Selain itu,

replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan

akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan

terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang

selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a

dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan pasien dengan syok berat, volume plasma dapat

berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.

Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,

penurunan kadar natrium, dan terdapat cairan di dalam rongga serosa (efusi

pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan

menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,

pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian (Suhendro dkk.,

2007).

Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus

binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu

virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh

nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat

menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi

dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah (Suhendro dkk., 2007).

Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk

menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data

epidemiologis dan laboratoris. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus

dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen,

juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi

melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (Gambar 2.5). Kedua faktor

Comment [M4]: Disamping gunakan kata lain

Page 12: BAB 1-5 nita riset

12

tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran

trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin Diphosphat), sehingga

trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit

dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran

platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =

Koagulasi Intravaskular Diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP

(Fibrinogen Degredation Product) sehingga terjadi penurunan faktor

pembekuan (Suhendro dkk., 2007).

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi

baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor

Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah yang dapat mempercepat terjadinya

syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,

penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan

kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat

syok yang terjadi (Suhendro dkk., 2007).

Gambar 2.4. Patogenesis terjadinya syok pada DBD Sumber: Suhendro dkk., 2007

Page 13: BAB 1-5 nita riset

13

Gambar 2.5. Patogenesis Perdarahan pada DBD Sumber: Suhendro dkk., 2007

Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit keluar

dari kompartemen intravaskular ke dalam kompartemen ektravaskular (B).

Dengan adanya protein dalam kompartemen ektravaskular tekanan osmotik

cairan ekstravaskular meningkat yang menyebabkan penarikan masuk air dan

elektrolit dari kompartemen intravaskular ke kompartemen ekstravaskular.

Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen intravaskular

menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskular, hemokonsentrasi,

viskositas darah meningkat, aliran darah menurun, perfusi jaringan berkurang

dan mungkin terjadi renjatan dengan komplikasi yang berat yaitu Koagulasi

Intravaskular Diseminata (KID). Terkumpulnya cairan di kompartemen

ektravaskular dapat bermanifestasi sebagai cairan pleura dan asites (Tatang

dkk., 1997).

Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskular membaik,

kebocoran plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih ada di

kompartemen ekstravaskular dan perbedaan tekanan intra dan ekstra vaskular

belum kembali normal sehingga masih mungkin terjadi keseimbangan negatif

antara cairan yang keluar dan yang masuk kembali ke dalam kompartemen

intravaskular (D). Pada saat semua sisa protein/albumin ekstravaskular telah

Page 14: BAB 1-5 nita riset

14

dimetabolisme maka perbedaan tekanan osmotik intra dan ekstra vaskular

menjadi normal kembali (E). Cairan ekstravaskular (efusi pleura, asites dll)

diserap kembali dan menghilang (Tatang dkk., 1997).

Virus dengue

Air , elektrolit

Albumin

Air, elektrolit

Air, elektrolit

KELAINAN UTAMA PADA DBD:

Permeabi litas vaskuler meningkat

Perbedaan tekanan onkot ikintravaskule r

dan extravaskuler menurun

(B dan D)

Cairanekstravaskuler bertambah

* Efusipleura, asites, dll

Cairanmasuk intravaskulermenurun (hipovolemi)

* Hemokonsentrasi

* Viskositas darah meningkat

* Aliran darah menurun (lambat)

** agregasi trombosit

* Perfusi jaringan perifer menurun

** asidosis metabolik

* Syok hipovolemik

* KID

C

Gambar 2.6. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD Sumber: Tatang dkk., 1997

2.1.9. Gambaran Klinik

Spektrum klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 1) gejala klinis paling

ringan atau tanpa gejala (silent dengue infection), 2) demam dengue (DD), 3)

demam berdarah dengue (DBD), dan 4) demam berdarah disertai syok (Dengue

Syock Syndrom) (Rampengan, 1997, Anonim, 2007).

Page 15: BAB 1-5 nita riset

15

Gambar 2.7. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

1. Anamnesis

Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, terus

menerus, berlangsung 2-7 hari, umumnya bifasik, naik turun, tidak turun

dengan obat antipiretik. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40oC

dan dapat terjadi kejang demam. Gejala klinis lain yang tidak khas lesu, tidak

mau makan, dan muntah. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot

dan nyeri perut. Kadang terdapat diare. Perdarahan yang paling sering

dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan. Gejala klinis DBD diawali

demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan

sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga

kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD.

Gambar 2.8. Kurva Suhu Demam Dengue Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

Page 16: BAB 1-5 nita riset

16

Gambar 2.9. Kurva Suhu Demam Berdarah Dengue Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

2. Pemeriksaan Fisik

a. Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.

b. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan perembesan

plasma, hipovolemia dan syok.

c. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga

pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.

d. Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini

suhu turun dan dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan

namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.

e. Tanda-tanda perdarahan

Karena manipulasi

Uji Turniket/Rumpel Leede tes positif. Cara melakukan uji turniket

sebagai berikut (Hadinegoro dan Satari, 2002):

- Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan

dengan umur anak, yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas).

- Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan tekanan

diastolik.

- Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik

dan diastolik selama 5 menit (bila telah terlihat adanya bintik-bintik

Page 17: BAB 1-5 nita riset

17

merah >10 buah, pembendungan dapat dihentikan).

- Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah

lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda

perdarahan (petekie).

- Hasil uji turniket dianggap positif (+) bila ditemukan > 10 bintik

perdarahan (petekie), pada luas diameter 2,8 cm2.

Perdarahan spontan

- Petekie/ekimosis

- Perdarahan gusi (gum bleeding)

- Epistaksis

- Hematemesis/melena

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu

ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/µl biasa

ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau

bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang

disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai

hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul

dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal

tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.

Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian

cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit dapat menurun (leukopenia)

atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering

ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemia

akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan

gangguan koagulasi tampak pada penggunaan fibrinogen, protrombin,

faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada

sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis metabolik dan

peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.

Page 18: BAB 1-5 nita riset

18

Gambar 2.10. Perubahan Ht, Trombosit & LPB

Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

b. Pemeriksaan Radiologis

Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah

kanan (Gambar 2.11). Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan

berat ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura

dapat ditemukan bilateral. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya

dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (RLD). Indikasi

pemeriksaan foto dada RLD (1) Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun

perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma

20-40%, (2) Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan

(Suhendro dkk., 2007). Kelainan radiologi yang dapat terjadi dilatasi

pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih

radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi

daripada kanan (Gambar 2.11). Asites dan efusi pleura dapat pula

dideteksi dengan pemeriksaan USG (Suhendro dkk., 2007).

Page 19: BAB 1-5 nita riset

19

Gambar 2.11. Foto toraks pasien DBD derajat III Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

c. Diagnosis Laboratoris Lain

Uji laboratorium merupakan uji yang sangat penting dalam memberikan

konfirmasi diagnosis klinis dari infeksi virus dengue. Uji laboratorium

tersebut meliputi isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam

serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum

pasien (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dalam arti sangat

menentukan, tetapi diperlukan peralatan dan teknik yang canggih,

sehingga tidak dipakai secara rutin (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih sederhana

dan lebih cepat, tetapi kros reaksi antibodi antara virus dengue dan virus

dari kelompok flavivirus dapat memberikan hasil positif palsu. Selain itu

dengan kebanyakan uji serologi yang ada tidak dapat menentukan serotipe

dari virus dengue yang menginfeksi. Cara ini banyak dipakai secara rutin

sebagai uji laboratorium untuk konfirmasi (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Dengan kemajuan teknologi pada saat ini tersedia uji baru untuk

konfirmasi infeksi virus dengue seperti immunohistochemistry pada

jaringan otopsi dan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi

virus RNA di dalam serum atau jaringan (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Comment [M5]: Selain itu? Gunakan kata yg baku jgn disamping

Page 20: BAB 1-5 nita riset

20

Uji Mac Elisa

Uji ini cukup sederhana dan tidak memerlukan alat canggih. Uji ini banyak

dipakai orang. Sesuai namanya, tes tersebut akan mengetahui kandungan

IgM dalam serum pasien (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Antibodi anti-dengue IgM akan timbul lebih dulu dari pada antibodi anti-

dengue IgG, dan biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke 4-5. Perlu

diketahui pula timbulnya IgM ini dapat bervariasi pada beberapa orang.

Pada beberapa orang dapat timbul pada hari ke 2-4 dari jalannya penyakit

tetapi dapat pula timbul pada hari ke 7-8 (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Pada infeksi primer, titer IgM dapat juga lebih tinggi dibandingkan pada

infeksi sekunder. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat bertahan di

dalam darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi pada kebanyakan

penderita IgM sudah akan menurun dan hilang pada hari ke-60. Untuk

memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG

(Hadinegoro dan Satari, 2002).

Dari uraian di atas jelas bahwa uji IgM Mac-Elisa tidak selalu dapat

menentukan secara pasti adanya infeksi dengue baru. Jika pengambilan

spesimen akut terlalu dini ada kemungkinan IgM belum timbul sehingga di

dalam uji hasilnya akan negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang.

Demikian juga sebaliknya apabila IgM positif, masih belum tentu juga

karena ada kemungkinan infeksi terjadi 60-90 hari yang lalu. Disinilah

diperlukan kehati-hatian di dalam menginterpretasikan hasil tersebut

(Hadinegoro dan Satari, 2002).

2.1.10. Dengue Syock Syndrom (DSS)

2.1.10.1. Definisi Dengue Syock Syndrom (DSS)

Dengue Syock Syndrom (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada

penderita demam berdarah dengue. DSS bukan saja merupakan suatu

permasalahan kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba,

tetapi juga merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita DBD

akan mengalami renjatan dan berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak

ditangani secara dini dan adekuat. Renjatan yang berlangsung lama (prolonged

Page 21: BAB 1-5 nita riset

21

shock) dan dalam (profoun shock) makin sulit diatasi dan ini merupakan penyebab

kematian yang terbesar bagi penderita DSS (Rampengan, 1997, Nhan dkk., 1997,

Soni dkk., 2005, Ganda, 2005).

2.1.10.2. Manifestasi Klinik DSS

DSS menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan DBD derajat III dan IV

atau DBD dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan

(Rampengan, 1997).

1. Renjatan

Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadi pada saat atau setelah demam

menurun yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada

hari ke-10. Menurut Wong dkk, (1973) renjatan terjadi pada hari ke-5 (39%),

hari ke-4 (23%). Sumarmo (1983) mendapatkan 39,2% pada hari ke-5 dan

25% pada hari ke-4. Renjatan yang terjadi pada saat demam mulai turun dapat

diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (The

Immunological Enhancement Hypothesis).

2. Tanda-tanda syok

a. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah sampai terjadi penurunan

kesadaran menjadi apatis, sopor dan koma.

b. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan

hidung. Capillary Refill test menurun.

c. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba.

d. Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.

e. Diuresis menurun sampai anuria.

Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa

asidosis metabolik dan perdarahan hebat.

Page 22: BAB 1-5 nita riset

22

2.1.11. Diagnosis

Menurut WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria

klinis dan laboratorium (Anonim, 2007).

1. Kriteria Klinis

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari.

b. Manifestasi perdarahan, termasuk Uji Turniket positif, petekie, ekomosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.

c. Pembesaran hati.

d. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.

2. Kriteria Laboratorium

a. Trombositopenia (< 100.000/µl).

b. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit > 20% menurut

standar umur dan jenis kelamin.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan dua kriteria klinis pertama ditambah

trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2.1.12. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi diantaranya (Rampengan, 1997):

1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.

2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal

akut.

3. Edema paru seringkali terjadi akibat overloading cairan.

2.1.13. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO membagi menjadi 4

derajat, yaitu (WHO, 1997):

1 Derajat I

Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi

perdarahan satu-satunya adalah Uji Turniket positif.

Page 23: BAB 1-5 nita riset

23

2 Derajat II

Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau

manifestasi perdarahan yang lebih berat.

3 Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan

lembab, gelisah.

4 Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak

terukur.

Tabel 2.1. Derajat DBD

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium DD Demam disertai 2 atau lebih gejala:

sakit kepala, nyeri retroorbital, mialgia artralgia dll

Leukopenia Trombositopenia (<100.000/ µl), tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

Serologi dengue positif

DBD I Gejala di atas ditambah Uji Turniket positif

Trombositopenia (<100.000/ µl), bukti ada kebocoran plasma

Serologi dengue positif

DBD II Gejala di atas ditambah perdarahan spontan

Trombositopenia (<100.000/ µl), bukti ada kebocoran plasma

Serologi dengue positif

DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit dingin dan lembab serta gelisah)

Trombositopenia (<100.000/ µl), bukti ada kebocoran plasma

Serologi dengue positif

DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak terukur

Trombositopenia (<100.000/ µl), bukti ada kebocoran plasma

Serologi dengue positif

Sumber: Suhendro dkk., 2007

2.1.14. Penatalaksanaan

Terapi DBD dibagi menjadi 4 bagian, (1) Tersangka infeksi dengue, (2)

DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit, (3) DBD derajat II dengan

peningkatan hematokrit > 20%, (4) DBD derajat III dan IV (Dengue Syock

Syndrom) (Anonim, 2007). Lihat bagan 1,2,3,dan 4 dalam lampiran.

Page 24: BAB 1-5 nita riset

24

1. DBD tanpa syok (derajat I dan II)

a. Medikamentosa

i. Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan

aspirin.

ii. Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misal

antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam

hati.

iii. Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat

perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.

iv. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

b. Suportif

i. Kehilangnan cairan plasma perlu diatasi sebagai upaya meningkatkan

permeabilitas dinding pembuluh darah.

ii. Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa

peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu dengan baik.

iii. Cairan intravena diperlukan apabila a) Anak terus menerus muntah,

tidak mau minum, demam tinggi, dehidrasi dapat mempercepat

terjadinya syok, b) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada

pemeriksaan berkala.

2. DBD disertai syok (Dengue Syock Syndrom, derajat III dan IV)

a. Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat

10-20 ml/kg secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.

Apabila syok belum teratasi tetap diberikan ringer laktat 20 ml/kg

ditambah koloid 20-30 ml/kg/jam, maksimal 1500 ml/hari.

b. Pemberian cairan 10 ml/kg tetap diberikan sampai 24 jam pasca syok.

Volume cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg dan selanjutnya 5 ml, dan 3 ml

apabila tanda vital baik dan adanya penurunan Ht.

c. Jumlah urin > 2 ml/kg/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.

d. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok

teratasi.

e. Oksigen diberikan 2-4 l/menit pada DBD syok.

f. Perlu koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.

Page 25: BAB 1-5 nita riset

25

g. Indikasi pemberian darah:

i. Terdapat perdarahan secara klinis.

ii. Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,

hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar

10 cc/kg.

iii. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam

volume kecil.

iv. Plasma segar beku dan suspensi trombosit digunakan untuk koreksi

gangguan koagulopati pada kadar trombosit < 50.000/mm yang

disertai perdarahan atau KID pada syok berat yang menimbulkan

perdarahan masif.

v. Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai

dengan plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk

mencegah perdarahan lebih berat.

3 DBB Ensefalopati

Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok

telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3- dan

jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan

larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.

4 Pemantauan

Hal yang vital dalam tata laksana DBD derajat apapun adalah pemantauan.

a. Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran

hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor

dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan.

b. Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, maksimal tiap 12

jam.

c. Keseimbangan cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung

dan jumlah perdarahan.

Pada DBD dengan syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi

darah apabila diperlukan. Pasien DBD perlu dirujuk ke ICU anak atas

indikasi:

a. Syok berkepanjangan (syok yang tidak teratasi > 60 menit).

Page 26: BAB 1-5 nita riset

26

b. Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal).

c. Perdarahan saluran cerna berat.

d. DBD ensefalopati.

2.1.15. Langkah Promotif/Preventif

Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah

hujan maka puncak jumlah kasus berbeda tiap daerah. Pada umumnya di

Indonesia meningkat saat musim hujan, sejak bulan Desember sampai April-Mei

setiap tahun (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian

vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat

dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu (Wahono,

2004):

1. Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi

tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan

perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:

a. Menguras bak mandi atau penampungan air sekurang kurangnya sekali

seminggu.

b. Mengganti atau menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu

sekali.

c. Menutup rapat tempat penampungan air.

d. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah

dan lain sebagainya.

2. Biologis

Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik

(ikan cupang, ikan kepala timah, ikan guppy), jamur (Tolypocladium

cylindosporum, Culicinomyces clavisporus, Metarhizium sp).

Page 27: BAB 1-5 nita riset

27

3. Kimiawi

Cara pengendalian ini antara lain dengan :

a. Pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malation dan fention),

berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu

tertentu.

b. Memberikan bubuk abate (temephos) sesuai dengan dosis 1 sendok makan

peres (10 gram) abate untuk 100 liter air pada tempat-tempat

penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.

Setelah dibubuhkan abate maka selama tiga bulan bubuk abate dalam air

tersebut mampu membunuh jentik atau larva nyamuk Aedes aegypti,

selama tiga bulan apabila tempat penampungan air tersebut akan

dibersihkan atau diganti airnya, sebaiknya dinding bagian dalam tidak

disikat karena akan membuang abatenya dan air dalam penampungan yang

mengandung abate dengan takaran yang benar cukup aman dan tidak

berbahaya untuk digunakan sebagai air minum.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan

mengkombinasikan cara-cara di atas, yaitu disebut dengan 3M plus, yaitu

menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus

seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan

kelambu pada waktu tidur, menyemprot dengan insektisida, memasang obat

nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai dengan kondisi

setempat.

2.1.16. Program DBD Di Indonesia

Di Indonesia ada beberapa program yang dilakukan untuk menekan angka

kejadian DBD, yaitu: Angka Bebas Jentik (ABJ) minimal 95%, penyelidikan

epidemiologi bila ada penderita, abatisasi, pemberantasan nyamuk, fogging focus,

dan peran serta masyarakat (Depkes RI, 2009). Strategi program DBD, meliputi:

1. Kewaspadaan Dini penyakit DBD, guna membatasi terjangkitnya KLB atau

wabah penyakit DBD.

Page 28: BAB 1-5 nita riset

28

2. Pemberantasan intensif penyakit DBD di daerah endemis DBD, melalui

pelaksanaan (Siregar, 2004):

a. Penyemprotan masal di desa atau kelurahan endemis sebelum musim

penularan disertai abatisasi selektif.

b. Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD melalui penyuluhan dan

motivasi dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan informasi

yang ada, melalui kerja sama lintas program dan sektor dan

dikoordinasikan oleh kepala daerah atau wilayah.

2.1.17. Prognosis

Bila tidak disertai renjatan maka prognosis baik, biasanya dalam 24-36

jam cepat menjadi baik. Apabila lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda

perbaikan maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosis menjadi jelek

(Rampengan, 1997).

2.2. Kerangka Konsep

Gambar 2.12. Kerangka Konsep

Page 29: BAB 1-5 nita riset

29

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis secara deskriptif

dengan desain potong lintang/cross sectional (Sastroasmoro dan Sofyan, 2005).

3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik RSUP Fatmawati. Waktu

penelitian adalah pada bulan September sampai dengan Oktober 2009.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat di instalasi

rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

Sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh pasien DBD di instalasi rawat

inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

Sampel yang ditargetkan pada penelitian ini minimal sebanyak 106 orang.

Dihitung dengan rumus yang menggunakan ketetapan absolut:

Ket:

n : besar sampel

P : proporsi penyakit yang akan dicari

Q : (1-P)

d : ketepatan absolut yang diinginkan

Tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan ketepatan absolut yang

diinginkan sebesar 10%.

P=0,50; Zα=1.96; d=0,10

n= (1.96)2x0.50x(1-0.50) = 106

(0.10)2

Pada penelitian ini, sampel yang diambil adalah total populasi terjangkau.

N = Zα2PQ

d2

Comment [M6]: Buat pada hal baru

Comment [M7]: Definisi operasional harus masuk ya nita

Comment [M8]: Plus 10 % jadi 106 ....*

Page 30: BAB 1-5 nita riset

30

3.4. Kriteria Penelitian

3.4.1. Kriteria Inklusi:

1. Mendapat persetujuan rumah sakit.

2. Data pasien anak yang terdiagnosis pasti DBD

3. Data pasien DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati

periode bulan Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

4. Data pasien anak berumur 0-18 tahun

3.4.2. Kriteria Eksklusi:

1. Tidak mendapat persetujuan dari rumah sakit.

2. Data pasien anak yang tidak terdiagnosis pasti DBD

3. Data pasien DBD anak yang menjalani rawat jalan.

4. Data pasien yang berumur >18 tahun

3.5. Cara Kerja Penelitian

1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian

Data sekunder penelitian berupa rekam medik pasien anak yang

terdiagnosis DBD dan mendapat izin dari RSUP Fatmawati setelah

diajukan permohonan.

2. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Page 31: BAB 1-5 nita riset

31

3.6. Managemen Data

3.6.1. Pengumpulan Data

Data diperoleh dari bagian rekam medik RSUP Fatmawati Jakarta Selatan.

Data berupa rekam medik pasien DBD di instalasi rawat inap anak RSUP

Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

3.6.2. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for

Windows versi 15,0.

3.6.3. Analisis Data

Pada penelitian ini tidak dilakukan análisis data melainkan menyajikan

data secara deskriptif.

3.6.4. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tekstural, grafikal, dan tabular.

Comment [M9]: Turunkan ke hal brikut saja

Page 32: BAB 1-5 nita riset

32

3.7. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Istilah Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Prevalensi Jumlah semua kasus baru

dan lama dari suatu penyakit atau kejadian dari suatu peristiwa dalam periode tertentu (Mosby, 2009).

Data sekunder Telaah data sekunder Nominal

DBD Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti (Anonim, 2007).

Kriteria DBD menurut WHO 1997

Telaah data sekunder Nominal

Anak Orang yang berusia kurang dari 18 tahun (Annex, 2003).

Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal

Umur Durasi atau lamanya seseorang ada (Dorland, 2007).

Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal

Jenis Kelamin

Klasifikasi jenis kelamin seseorang menjadi perempuan laki-laki, atau ambivalen (Mosby, 2009).

Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal

Bulan Sebuah periode yang terbentang dari tanggal dalam satu bulan kalender dengan tanggal yang sesuai pada bulan berikutnya (Collins, 2003).

Data sekunder Telaah data sekunder Nominal

Kematian Angka kematian, yang mencerminkan jumlah kematian per satuan penduduk di setiap wilayah tertentu, kelompok usia, penyakit, atau klasifikasi lain, biasanya dinyatakan sebagai kematian per 1000, 10.000 atau 100.000 (Mosby, 2009).

Data sekunder Telaah data sekunder Nominal

Page 33: BAB 1-5 nita riset

33

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Prevalensi Penderita DBD di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP

Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009

Berdasarkan data yang diperoleh, prevalensi penderita DBD di Instalasi

Rawat Inap Anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli

2009 adalah 1517 orang dengan jumlah seluruh pasien anak pada saat itu

sebanyak 4363 orang.

Data yang diperoleh dari instalasi rawat inap RSUP Fatmawati tahun

sebelumnya, prevalensi DBD anak adalah 1237 orang. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Ganda (2005) diperoleh data pasien DBD yang dirawat di

Perawatan Anak RSWS menunjukan jumlah yang terus meningkat yaitu 241

orang pada tahun 1998, 65 orang tahun 1999, 84 orang tahun 2000, 189 orang

tahun 2001, 129 orang tahun 2002, 138 orang tahun 2003, 94 orang tahun 2004

dan 281 orang tahun 2005. Dari data diatas didapatkan bahwa prevalensi DBD

anak terus meningkat.

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan

antara lain terdapat manifestasi klinik demam, terdapat minimal satu dari tanda

perdarahan, trombositopenia < 100.000/µl dan peningkatan Ht > 20%. Karena

keterbatasan, peneliti hanya memperoleh nilai trombosit dan hematokrit pasien.

Selain itu, peneliti tidak memperoleh nilai trombosit dan hematokrit secara

berkala untuk mengetahui perkembangan pasien DBD yang datang dengan

trombositopenia ringan dan tanpa peningkatan hematokrit. Dari 1517 orang yang

terdiagnosis DBD, didapatkan 1145 orang (75,5%) dengan nilai trombosit <

100.000/µl dan peningkatan hematokrit > 20%, 372 orang (24,5%) dengan nilai

trombosit antara 101.000-149.000 tanpa peningkatan hematokrit.

Trombositopenia dan hemokonsenrasi adalah temuan tetap pada DBD. Penurunan

jumlah trombosit sampai di bawah 100.000/µl biasanya ditemukan antara hari ke

tiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa

jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan

pertama pada saat pasien diduga menderita DBD, bila perlu diulang setiap hari

Comment [M10]: Tlg semua diperbaiki lai out

Page 34: BAB 1-5 nita riset

34

sampai suhu turun. Penurunan nilai trombosit sering sebelum atau bersamaan

dengan perubahan hematokrit. Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi

selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya

perembesan plasma; sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara

berkala. Perlu mendapat perhatian bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh

penggantian cairan atau perdarahan (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Pada penelitian di RSCM (1995) persentase penderita DBD yang dirawat

di Bagian Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 1985-1986

yang mempunyai trombosit kurang dari 100.000/µl ialah 64%. Pada penelitian

Suglanto D (1992), trombositopenia dan hemokonsentrasi didapat sekitar 50%-

60% kasus sesuai dengan peneliti-peneliti sebelumnya (Kho dkk., 1969, Sumarno,

1990, Tatang dan Susanto, 1987).

Pasien dengan penurunan kadar trombosit < 100.000/µl dan peningkatan

hematokrit > 20% merupakan indikator yang jelas bahwa pasien tersebut

menderita DBD dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Pasien dengan

trombosit turun tetapi belum mencapai < 100.000/µl dan tanpa peningkatan

hematokrit kemungkinan yang terjadi adalah pengukuran nilai trombosit dan

hematokrit dilakukan pada saat awal pasien mengeluh sakit, sehingga perlu

dilakukan pengukuran ulang. Berikut data penderita DBD tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Data Penderita DBD Berdasarkan Nilai Trombosit dan Hematokrit

4.2. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Bulan

Berdasarkan distribusi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP

Fatmawati berdasarkan bulan dapat diketahui bahwa kejadian DBD paling tinggi

pada bulan Juni sebesar 229 orang (15%) dan paling rendah pada bulan September

sebesar 23 orang (1,5%). Gambaran fluktuasi kasus perbulan tidak menunjukkan

karakteristik musim yang konsisten. Menurut Siregar (2004), di kota besar seperti

Jakarta puncak kasus terjadi pada bulan Maret sampai dengan Agustus dengan

Trombosit Nilai Lab < 100.000/ul 101.000-149.000/ul Ht meningkat 1145 (75.5%) - Ht tidak meningkat - 372 (24.5%)

Page 35: BAB 1-5 nita riset

35

puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli. Menurut Hadinegoro dan Satari (2004),

puncak kasus DBD diketahui pada permulaan musim kemarau.

Dengan perubahan cuaca di Indonesia yaitu berada dalam musim kemarau

basah, kasus DBD tetap meningkat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut

memungkinkan adanya genangan air yang menjadi tempat berkembang biak

nyamuk Aedes aegypti (Anonim, 2008, Soegiyanto, 2000, PPMPL Depkes RI,

2004).

Disamping itu suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan mempersingkat

masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan

virus dengue (Depkes RI, 2004). Sebaran pasien tiap bulan tertera pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Data Penderita DBD Periode Agustus 2008 sampai Juli 2009

No Bulan Jumlah Persentase (%) 1 Agustus 46 3.0 2 September 23 1.5 3 Oktober 48 3.2 4 November 74 4.9 5 Desember 138 9.1 6 Januari 204 13.4 7 Februari 180 11.9 8 Maret 94 6.2 9 April 112 7.4 10 Mei 197 13.0 11 Juni 229 15.1 12 Juli 172 11.3 Total 100 100

4.3. Distribusi Penderita DBD Anak Berdasarkan Umur

Bedasarkan Provisional Guidelines On Standard International Age

Classification (1982) distribusi penderita DBD di rawat inap anak RSUP

Fatmawati periode Agustus 2008 sampai Juli 2009 dapat lihat bahwa DBD

tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-14 yaitu sebanyak 1048 orang (69,1%)

dengan rata-rata umur menurut nilai median adalah 11 tahun. Kelompok umur

yang sering terkena infeksi adalah umur 4-10 tahun (Anonim, 2007).

Sumanno (1983), Azhali (1988) dan Gama (1986) mendapatkan distribusi

umur penderita DBD terbanyak berada pada kisaran 5-10 tahun. Menurut Dit.Jen

PPM dan PLP Depkes RI (2004), didapatkan 46,1% kasus DBD mengenai anak

pada kelompok umur 5-14 tahun.

Page 36: BAB 1-5 nita riset

36

Pada penelitian yang dilakukan Nicolas Duma S. dkk (2007) umur

penderita DBD yang terbanyak berada pada umur 5-14 tahun (32,6%), yang

terendah berada pada umur 0-4 tahun dan ≥ 55 tahun masing-masing 1 orang

(0,4%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hefeni (2005), yang mendapatkan

sebagian besar penderita DBD berada pada kelompok umur 5-14 tahun sebanyak

19 orang (45,2%) dari 42 penderita DBD dan dari 200 responden, dimana hasil ini

juga sejalan dengan laporan dari Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2005 yang

mendapatkan kelompok umur yang banyak terserang penyakit DBD di Kota

Kendari adalah umur 5-14 tahun sebanyak 323 orang. Menurut Azhali (1998),

menyatakan bahwa penyakit DBD utamanya banyak diderita anak dibawah usia

15 tahun dan kebanyakan terjadi pada daerah tropis. Pada penelitian lain tahun

2008 di Palu distribusi umur penderita terbanyak < 15 tahun (46,60%).

Nyamuk betina hanya menggigit pada waktu tertentu, biasanya pada pagi

atau sore hari. Dengan pola seperti itu, anak-anak kelompok umur 5-14 mudah

terkena DBD dikarenakan pada waktu-waktu tersebut anak-anak sedang giat

beraktivitas baik di sekolah maupun di tempat-tempat bermain. (Hadinegoro dan

Satari, 2002). Data penderita DBD berdasarkan umur tertera pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Data Penderita DBD Berdasarkan Umur

Kelompok umur Frekuensi Persentase (%)

<1 16 1.1 1-14 1048 69.1

15-24 453 29.9 Total 1517 100

4.4. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.4, memperlihatkan distribusi jenis kelamin penderita DBD di

instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan

Juli 2009. Dapat dilihat bahwa jumlah pasien yang terjadi pada laki-laki sebesar

730 orang (48,1%) dan perempuan 787 orang (51,9%). Hal ini menunjukkan

perbedaan yang tidak terlalu besar.

Sumarmo (1983), Azhali (1998) dan Gama (1986) mendapatkan bahwa

DBD menyerang laki-laki dan perempuan hampir sama banyak sesuai dengan

hasil yang dilaporkan Dit.Jen. P3M Depkes RI (1976), Muchlastriningsih (1992)

Comment [M11]: Bisa susun kalimat sendiri? Shg tdk sepenuhnya bahasa salinan/ copas.

Page 37: BAB 1-5 nita riset

37

mendapatkan secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin

penderita DBD. Pada sejumlah golongan umur penderita laki-laki lebih banyak

daripada penderita perempuan, tetapi pada sebagian golongan umur lainnya

sebaliknya, sehingga tidak tampak perbedaan bermakna dalam jumlah penderita

berdasarkan jenis kelamin. Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun

2005 yang mendapatkan penderita DBD kebanyakan anak perempuan sebanyak

33 orang (63,5%). Jenis kelamin penderita DBD diperoleh proporsi perempuan

lebih besar yaitu sebesar 118 orang (52,0%) dibandingkan dengan proporsi laki-

laki yaitu 109 orang (48,0%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Daud (2008) di

Palu distribusi penderita DBD terbanyak laki-laki (52,48%). Data penderita DBD

berdasarkan jenis kelamin tertera pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Data Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-laki 730 48.1 Perempuan 787 51.9 Total 1517 100

4.5. Angka Kematian Anak Akibat DBD

Berdasarkan tabel 4.5, selama periode Agustus 2008 sampai Juli 2009

didapatkan bahwa jumlah pasien yang hidup setelah perawatan di RSUP

Fatmawati mencapai 98,9% atau 1501 orang dan pasien yang mati mencapai 1,1%

atau 16 orang. Data dari WHO yang melaporkan dari beberapa senter menyatakan

bahwa persentase kematian penderita DBD/SSD adalah antara 1-5% namun angka

ini dapat meningkat menjadi 44% jika terjadi renjatan yang menetap (Suroso,

1983). Dari data yang diperoleh dari RSUP Fatmawati tahun sebelumnya, pasien

anak yang mati akibat DBD sebesar 0,7%. Target pemerintah yaitu CFR <1%

belum tercapai (Depkes RI, 2002). Case Fatality Rate (CFR) masih cukup tinggi

disebabkan keterlambatan diagnosis, pertolongan tidak segera dan mutu

pelayanan dan perawatan rendah (Nisa, 2006). Berikut data kematian anak akibat

DBD tertera pada tabel 4.5.

Dilihat dari jenis kelamin, angka kematian pada anak perempuan lebih

Page 38: BAB 1-5 nita riset

38

banyak daripada laki-laki yaitu perempuan 11 (0,7%) dan laki-laki 5 (0,3%).

Secara keseluruhan penderita DBD anak tidak berbeda antara laki-laki dan

perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan

daripada anak laki-laki (Rampengan, 1997). Laporan dari Dinas Kesehatan Kota

Kendari (2005) didapatkan jumlah kematian anak akibat DBD sebesar 11 orang

dan rata-rata berjenis kelamin perempuan.

Pada penelitian yang dilakukan Sarwanto di Bagian Anak RSUD Dr.

Soetomo (2001) dengan jumlah penderita 282 anak, didapatkan data jumlah

kematian anak sebanyak 17 orang, 14 diantaranya perempuan dan 3 lainnya laki-

laki. Berikut data kematian anak akibat DBD berdasarkan jenis kelamin tertera

pada tabel 4.6.

Tabel 4.5. Data Kematian Anak Akibat DBD

Kondisi Akhir Perawatan Frekuensi Persentase (%) Pulang 1501 98.9 Mati 16 1.1 Total 1517 100

Tabel 4.6. Data Kematian Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Kondisi Akhir Perawatan Total Pulang Mati Jumlah (%) Jumlah (%) Laki-laki 725 (47.8) 5 (0.3) Perempuan 776 (51) 11 (0.7)

1517(100%)

Page 39: BAB 1-5 nita riset

39

BAB 5

PENUTUP

5.I. Kesimpulan

1. Prevalensi penderita DBD di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP

Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009 adalah 1517

orang.

2. Distribusi DBD terbanyak terjadi pada bulan Juni yaitu 15,1% dan

terendah pada bulan September yaitu 1,5%.

3. Distribusi DBD terbanyak mengenai kisaran umur 1-14 tahun yaitu

sebesar 69,1% dengan rata-rata umur 11 tahun.

4. Distribusi DBD pada laki-laki sebesar 48,1% dan perempuan 51.9%.

5. Angka mortalitas penderita DBD anak sebesar 1,1% dan kasus

terbanyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 0,7%.

5.2. Saran

1. Diharapkan dalam penelitian selanjutnya dapat diperoleh data pasien

dengan lengkap sehingga diperoleh diagnosis penyakit dengan jelas.

2. Diharapkan dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi DBD pada anak.

Comment [M12]: Turunkan ke hal baru

Comment [M13]: Kesimpulan harus sesuai dengan tujuan khusus

Page 40: BAB 1-5 nita riset

40

DAFTAR PUSTAKA

Annex. 2003. Convention on The Rights of The Child. Artikel diakses tanggal 21 Februari 2011 dalam http://www.hrweb.org/legal/child.html Anonim. 1995. Demam Berdarah Dengue Aspek Klinis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anonim. 2007. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta. Anonim. 2008. Laporan Media Tracking YPHA. Kondisi Kesehatan Anak Indonesia: Di Bawah Ancaman Gizi Buruk, DBD, Hiv/Aids, dan Flu Burung. Anonim. 1982. Provisional guidelines On standard international Age Classification. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://unstats.un.org/unsd/publication/SeriesM/SeriesM_74e.pdf Azhali, MS. 1998. Aspek klinik dan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue pada anak. Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD. Bandung: 29-47. Borror, D.J. and Delong M. 1970. An Introduction To The Study of Insect, Holt, Rine Hart and Winston, New York. Brotowidjoyo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT. Media Sarana Press. Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publisher. Daud, Oslan., Hartono dan Satoto, TBT. 2008. Studi Epidemiologi Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Pendekatan Spasial Sistem Informasi Geografis di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu. Artikel diakses tanggal 26 Oktober 2009 dalam http://www.scribd.com/doc/16349352/Studi-Epidemiologi-Kejadian-Penyakit-Demam-Berdarah-Dengue-Dengan-Pendekatan-Spasial-Sistem-Informasi-Geografis-Di-Kecamatan-Palu-Selatan-Kota-Palu Depkes RI. 2009. Kasus Demam Berdarah Mulai Meningkat. Artikel diakses tanggal 26 Oktober 2009 dalam http://www.penyakitmenular.info/def_menu.asp?menuID=18&menuType=1&SubID=2&DetId=404 Depkes RI. 2004. Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://www.depkes.go.id/downloads/Bulletin%20Harian%2011032004.pdf

Page 41: BAB 1-5 nita riset

41

Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2002. Profil Kesehatan 2001. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Kendari. 2006. Profil Kesehatan Kota Kendari. Dit.Jen. P3M, Depkes RI. 1976. Proyek Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan Binatang. Sub Proyek Arbovirus: Penyakit Demam Berdarah di Indonesia dan Pemberantasannya. Bahan Penataran Pelaksanaan Pemberantasan Demam Berdarah Tingkat Propifisi se-Indonesia. Jakarta. Dorland’s Medical Dictionary. 2007. Philadelphia: Saunders Company. Gama H, Azhali MS. 1986. Tinjauan kasus Demam Berdarah Dengue selama 5 tahun di Lab I UPF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung. Pekan Ilmiah FKUP/RSHS. Ganda, Idham Jaya dan Bombang, Hasniah. 2005. Morbiditas dan Mortalitas Sindrom Syok Dengue di Pediatric Intensive Care Unit ( Picu) Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit DR.Wahidin Sudirohusodo Makasssar Januari 1998-Desember 2005. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://med.unhas.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=254:morbiditas-dan-mortalitas-sindrom-syok-dengue&catid=114&Itemid=48 Hadinegoro, Sri Rezeki., Satari, Hindra Irawan. 2004. Demam Berdarah Dengue, Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: FKUI. Kadarsan, S., A. Salim, E Purwaningsih, H.B. Munaf, I Budiarti dan S. Hartini. 1983. Binatang Parasit. Jakarta: LBN. Kho, LK., Wulur, Hamsa., Karsono, Agung., Thaib, Suprapto 1969. Dengue Hemorrhagic Fever in Jakarta. Jakarta: MKI, 19:417. Kristina, Isminah dan L. Wulandari. 2004. Kajian Masalah Kesehatan: Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Litbang Depkes. Mosby’s Medical Dictionary. 2009. 8th edition. Elsevier. Muchlastriningsih, Enny., Susilowati, Sri., Hutauruk, Diana Siti., Saragih, John Master. 1992. Analisis Hasil Test Hemaglutinasi. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05AnalisisHasilTestHemaglutinasi119.pdf/05AnalisisHasilTestHemaglutinasi119.html Nhan T, Phuong C, Kneen R, et. Al. 2001. Acute management of dengue shock syndrome. Clinical Infectious Diseases 2001;32:204-213. Accessed December 10, 2005.

Page 42: BAB 1-5 nita riset

42

Nicolas, Duma S. et al. 2007. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Baruga Kota Kendari 2007. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://pasca.unhas.ac.id/jurnal_pdf/an_4_2/03JURNAL%20tesis%20MAWAN.pdf Nisa, Hoirun. 2006. Modul Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular (DBD), PSKM UIN Jakarta. PPMPL DEPKES RI. 2004. Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Jakarta. Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC. h 135. Rothman, Alan. 2009. Imunopatogenesis DBD. Diakses tanggal 26 Oktober 2009 dalam www.umassmed.edu/cidvr/faculty/rothman.cfm Sarwanto. 2001. Kematian Karena DBD pada Anak dan Faktor Penentunya. Surabaya: Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan. Sastroasmoro, Sudigjo dan Sofyan, Ismael. 2005. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinik, Ed II. Jakarta: Sagung Seto. Silalahi, L. 2004. Demam Berdarah, Penyebaran dan Penanggulannya. Jakarta: Litbang Departemen Kesehatan RI. Siregar, Faizah. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. FKM USU. Soedarmo, S.P.S. 1988. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Jakarta: UI Press. Soegiyanto. 2000. Demam Berdarah di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehehatan RI. Soni A, Chugh K, Sachdev A, Gupta D. 2001. Management of dengue fever in ICU. Avalaible at http:// www . The Indian Journal of pediatric htm. Accessed December 10, 2005. Suglanto D dan K.S Tatang. 1992. Demam Berdarah Dengue Berat dengan Konfirmasi Virologi. UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak/Rumah Sakit Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_DBDberatdengankonfirmasivirologik81.pdf/12_DBDberatdengankonfirmasivirologik81.htm Suhendro, Leonard, Nainggolan., Chen, Khie ., T. pohan, Herdiman. 2007. Demam Berdarah Dengue. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

Page 43: BAB 1-5 nita riset

43

III. Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, h 1709-1713. Sumarmo. 1983. Demam Berdarah Dengue pada anak, Cetakan I. Jakarta: UI Press. Sumarmo. 1990. Demam Berdarah Dengue, Aspek Klinik dan Penatalaksanaan. Artikel diakses tanggal 20 Oktober 2009 dalam http://www.scribd.com/doc/7539722/Cdk-060-Demam-Berdarah-i Suroso, Thomas. 1983. Tinjauan Keadaan dan Dasar-Dasar Pemikiran dalam Pemberantasan Demam Berdarah di Indonesia Periode 1968-1981. Direktorat Jenderal P3M Depkes RI. Jakarta. Suroso, Thomas dan Umar, Ali Imran. 1999. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Saat Ini. Dalam Sri Rezeki H. Hadinegoro & Hindra Irawan Satari eds. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam untuk Tata Laksana Kasus DBD. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suvatte V. 1977. Dengue haemorrhagic fever. Hematological abnormalities and pathogenesis. Dalam Ghai OP. New developments in pediatric research. Vol. 1. Interprint, New Delhi, India, hal. 447. Tatang, KS dan Susanto I. 1987. Pengenalan Dini dan Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue, Simposium Dwidasawarsa Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras, Jakarta. Tatang, KS., Wulur, H., D, Suglanto., Setiawan, Melani., Jenning, GB. 1997. Dengue Hemorrhagic Fever with unusual manifestation in Sumber Waras Hospital. Diajukan pada 7th Asian Congress of Pediatrics, Perth. Wahono, Tri Djoko. 2004. Kajian Masalah kesehatan: Demam Berdarah Dengue. Artikel diakses tanggal 26 Oktober 2009 dalam http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demam berdarah1.htm World Health Organization (WHO) South East Asia Regional Office. 2004. Situation Of Dengue / Dengue Haemorrhagic Fever In the South-East Asia Region: Prevention And Control Status In SEA Countries. Artikel diakses tanggal 26 Oktober dalam http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332.htm. WHO. 2000. Epidemiologi Molekuler: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) In Indonesia. New York. WHO. 1997. Guide for diagnosis, treatment and control of dengue hemorrhagic fever. 2nd ed. Geneva.

Page 44: BAB 1-5 nita riset

44

Lampiran 1

Rawat inap

Segera bawa ke rumah sakit

Lab : Hb & Ht naik, trombosit turun

Rawat jalanMinum banyak1,5-2 liter/hariParasetamolKontrol tiap hari smpai demam turunPeriksa Hb, Ht, Trombosit tiap kali

Perhatian untuk orang tuaPesan bila timbul tanda syok, yaitu gelisah, lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, berakhitam, BAK kurang

Jumlah trombosit< 100.000/ul Rawat jalan

ParasetamolKontrol tiap harisampai demamhilang

Jumlah trombosit>100.000/ul

-Tanda syok-Muntahterusmenerus

-Kejang-Kesadaran menurun-Muntah darah-Berak hitam

Uji Turniketnegatif (-)

Uji Turniket positif(+)

Periksa UjiTurniket

Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan

Demam tinggi, mendadak terus menerus <7 hari tidak disertai infeksi saluran napas

atas, badan lemah dan lesu

Tersangka DBD

Bagan 1. DBD Tersangka

DBD derajat I atau derajat II Tanpa Peningkatan Hematokrit

Gejala klinis : demam 2-7 hari, Uji Turniket positif atauperdarahan spontanLab hematokrit tidakmeningkat, trombositopenia(ringan)

Pasien masih dapat minumBeri minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menitJenis minuman : air putih, the manis, sirup, jus buah, susu, oralitBila suhu >38,5 o C beri parasetamolBila kejang beri obat anti konvulsif

Pasien tidak dapat minumPasien muntah terus-menerus

Pasang infus NaCl 0,9% : dekstrosa 5% (1:3), tetesanrumatan sesuai berat badanPeriksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Monitor gejala klinis dan laboratoriumPerhatikan tanda syokPalpasi hati setiap hariUkur diuresis setiap hariAwasi perdarahanPeriksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam

Ht naik dan/ trombosit turun

Infus ganti ringer laktat (tetesandisesuaikan, lihat bagan 3)

Perbaikan klinis dan laboratoris

Pulang Bagan 2. DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit

Page 45: BAB 1-5 nita riset

45

Lampiran (lanjutan)

Tanda vital tidak stabil

Tanda vital memburukHt meningkat

GelisahDistres pernapasanFrekuensi nadi naikHt tetap tinggi/naikDiuresis kurang/tidak ada

Perbaikan

Tetesan dinaikkan 10-15 ml/kgBB/jam tetesandinaikkan bertahap

3 ml/kgBB/jam

Tetesan dikurangi

IVFD stop pada 24-48 jamBila tanda vital/Ht stabilDiuresis cukup Hb/Ht turun

Evaluasi 15 menit

5 ml/kgBB/jam

Transfusi darah segar10 ml/kgBB

Perbaikansesuaikan tetesan

Tidak gelisahNadi kuatTekanan darah stabilDiuresis cukup (1 ml/kgBB)Ht turun (2x pemeriksaan)

Distres pernapasanHt naikTekanan darah <20 mmHg

Tidak ada perbaikanPerbaikan

Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam

RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl0,9%+D5, 6-7 ml/kgBB/jam (BB<20 kg)

Cairan awal

DBD derajat II dengan Peningkatan Ht > 20%

Koloid20-30 ml/kgBB

Bagan 3. DBD derajat II dengan Peningkatan Ht >20%

DBD Derajat III & IV

Oksigenasi (berikan O2, 2-4 liter/menitPenggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer Laktat/NaCl 0.9% 10-20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)

Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?Pantau tanda vital tiap 10 menitCatat keseimbangan cairan selama pemberian cairan intravena

Syok teratasi Syok tidak teratasi

Evaluasi ketat

Cairan dan tetesan disesuaikan10ml/kgBB/jam

Stabil dalam 24 jam tetesan 5ml/kgBB/jam

Tetesan 3ml/kgBB/jam

Infus stop tidak melebihi 48 jam

Kesadarn membaik, nadi teraba kuat, tekanan nadi >20 mmHgTidak sesak nasas/sianosisEkstremitas hangat, diuresis cukup1ml/kgBB/jam

Tanda vitalTanda perdarahanDiuresis, Hb, Ht, trombosit

Kesadarn menurun, nadi lembut/tidakteraba, tekanan nadi <20 mmHgDistres pernafasan atau sianosisKulit dingin dan lembabEkstremitas dinginPeriksa kadar gula darah

Ht tetap tinggi/naikHt turun

Syok belum teratasi

Lanjutkan cairan15-20ml/kgBBTambahkan koloid/plasmaDekstran/FFP10-20 (max 30)ml/kgBBKoreksi asidosisEvaluasi 1 jam

Syok teratasi

Transfusi darah segar 10ml/kg diulang sesuai kebutuhan

Koloid 20ml/kg

Bagan 4. DBD Derajat III dan IV

Page 46: BAB 1-5 nita riset

46

Lampiran 2

Tabel 1. Jadwal Penelitian Bulan September 2009 Oktober 2009 November 2009 April 2010 Kegiatan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Persetujuan Judul Penelitian

Pembuatan Proposal

Revisi Proposal

Pengambilan data

Pengolahan Data

Menyerahkan Hasil Penelitian

Sidang Penelitian

Revisi

Page 47: BAB 1-5 nita riset

47

Lampiran 3

Frek

uens

i

Bulan

3%

1.5%

3.2%3.2%

4.9%

9.1%

13.4%

11.9%

6.2%

7.4%

13%

15.1%

11.3%

Agustus September Oktober Agustus Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

Grafik 1. Data Penderita DBD Berdasarkan Bulan

Kelompok Umur

Frek

uens

i

1.1%

69.1%

29.9%%

Grafik 2. Data Penderita DBD Berdasarkan Umur

Page 48: BAB 1-5 nita riset

48

Jenis Kelamin

Frek

uens

i

48.1%

51.9%

Laki-laki Perempuan

Grafik 3. Data Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Frek

uens

i

Jenis Kelamin

0.7%

57%

47.8%

0.3%

PerempuanLaki-laki

Grafik 4. Data Kematian Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Page 49: BAB 1-5 nita riset

49

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nita Nuranisa

Tempat, Tgl Lahir : Pandeglang, 22 Oktober 1986

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Jendral Sudirman No.18 RT 02 RW 09

Labuan, Pandeglang-Banten

Kode Pos : 62264

Tlp/ Hp : (0253) 801172 / 085218387828

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1. TK Pertiwi Kuntum Harapan (1991-1992)

2. SDN 4 labuan (1992-1998)

2. MtsN 2 Pandeglang (1998-2001)

3. Ponpes As-Syafi’iyah Sukabumi (2001-2004)

4. S-1 Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)