B A B I - sinta.unud.ac.id 2 Hasil... · Definisi Sepsis (Levy et al., 2003) Infeksi, baik yang...

29
B A B II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sepsis Berat Dan Respon Imun Pada Sepsis 2.1.1 Definisi Sepsis Berdasarkan International Sepsis Definitions Conference 2001, sepsis adalah kondisi adanya bukti infeksi (baik yang sudah terbukti maupun yang baru diduga) disertai manifestasi sistemik akibat infeksi tersebut (Tabel 1). Tabel 2.1. Definisi Sepsis (Levy et al., 2003) Infeksi, baik yang sudah terbukti maupun yang baru diduga, dan ditambah hal-hal dibawah ini: Variabel umum: Demam (>38,5 0 C) Hipotermia (temperatur <36 0 C) Denyut jantung > 90 kali/menit Takipneu Gangguan status mental Edema yang signifikan atau positif fluid balance (>20 ml/kg dalam 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl) tanpa ada diabetes Variabel inflamasi: Leukositosis (WBC > 12.000 μL -1 ) Leukopenia (WBC< 4000 μL -1 ) Jumlah WBC normal namun >10% dalam bentuk immatur Kadar C-reactive protein plasma lebih dua SD diatas normal Prokalsitonin plasma lebih dua SD diatas normal Variabel hemodinamik: Hipotensi (sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg atau penurunan sistolik >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari dua SD dibawah normal Variabel disfungsi organ: Hipoksia (Pa02/F1O2 <300) Oliguria akut (produksi urin <0,5 ml/kg/jam selama paling sedikit 2 jam walaupun telah dilakukan resusitasi cairan) Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dl atau 44,2 μmol/L Abnormalitas koagulasi (INR>1,5 atau aPTT >60 detik) Ileus Trombositopenia (jumlah platelet <100.000 μL -1 ) Hiperbilirubinemia (total bilirubin plasma >4 mg/dl atau 70 μmol/L) Variabel perfusi jaringan : Hiperlaktatemia (>1 mmol/L) Penurunan pengisian kapiler (capillary refill) WBC = white blood cell, MAP = mean arterial pressure, SD = simpangan deviasi Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256. 6

Transcript of B A B I - sinta.unud.ac.id 2 Hasil... · Definisi Sepsis (Levy et al., 2003) Infeksi, baik yang...

B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sepsis Berat Dan Respon Imun Pada Sepsis

2.1.1 Definisi Sepsis

Berdasarkan International Sepsis Definitions Conference 2001, sepsis adalah

kondisi adanya bukti infeksi (baik yang sudah terbukti maupun yang baru diduga)

disertai manifestasi sistemik akibat infeksi tersebut (Tabel 1).

Tabel 2.1. Definisi Sepsis (Levy et al., 2003)

Infeksi, baik yang sudah terbukti maupun yang baru diduga, dan ditambah hal-hal dibawah ini: Variabel umum: Demam (>38,50C) Hipotermia (temperatur <360C) Denyut jantung > 90 kali/menit Takipneu Gangguan status mental Edema yang signifikan atau positif fluid balance (>20 ml/kg dalam 24 jam) Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl) tanpa ada diabetes Variabel inflamasi: Leukositosis (WBC > 12.000 μL-1) Leukopenia (WBC< 4000 μL-1) Jumlah WBC normal namun >10% dalam bentuk immatur Kadar C-reactive protein plasma lebih dua SD diatas normal Prokalsitonin plasma lebih dua SD diatas normal Variabel hemodinamik: Hipotensi (sistolik <90 mmHg, MAP <70 mmHg atau penurunan sistolik >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari dua SD dibawah normal Variabel disfungsi organ: Hipoksia (Pa02/F1O2 <300) Oliguria akut (produksi urin <0,5 ml/kg/jam selama paling sedikit 2 jam walaupun telah dilakukan resusitasi cairan) Peningkatan kreatinin >0,5 mg/dl atau 44,2 μmol/L Abnormalitas koagulasi (INR>1,5 atau aPTT >60 detik) Ileus Trombositopenia (jumlah platelet <100.000 μL-1) Hiperbilirubinemia (total bilirubin plasma >4 mg/dl atau 70 μmol/L) Variabel perfusi jaringan : Hiperlaktatemia (>1 mmol/L) Penurunan pengisian kapiler (capillary refill) WBC = white blood cell, MAP = mean arterial pressure, SD = simpangan deviasi Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001 SCCM/ ESICM/ ACCP/ ATS/ SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003; 31: 1250–1256.

6

7

2.1.2 Definisi Sepsis Berat dan Syok Sepsis

Berdasarkan International Sepsis Definitions Conference 2001, sepsis berat

merupakan kondisi yang ditandai dengan adanya hipotensi (tekanan darah sistolik

<90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah ≥40 mmHg dari nilai dasar tanpa

adanya penyebab hipotensi yang lain) maupun tanda-tanda hipoperfusi jaringan atau

disfungsi organ yaitu, kadar laktat diatas nilai normal, penurunan produksi urin <0,5

mL/kg/jam paling sedikit 2 jam walaupun telah dilakukan resusitasi cairan, acute

lung injury dengan Pa02/Fi02< 250 dengan menyingkirkan pneumonia sebagai

sumber infeksi, acute lung injury dengan Pa02/Fi02< 300 dengan menyingkirkan

pneumonia sebagai sumber infeksi, kreatinin > 20mg/dl, bilirubin >2mg/dl atau

jumlah platelet <100.000 μL (Levy et al., 2003, Dellinger et al., 2013).

Sedangkan syok sepsis merupakan kondisi yang ditandai oleh hipotensi

(tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah ≥40 mmHg

dari nilai dasar tanpa adanya penyebab hipotensi yang lain) yang tidak membaik

walaupun telah dilakukan resusitasi cairan (Levy et al., 2003, Dellinger et al., 2013)

2.1.3 Patogenesis Sepsis Berat dan Syok Sepsis

Sepsis merupakan respon adaptasi tubuh secara sistemik terhadap invasi

mikroorganisme patogen kedalam tubuh. Bila tidak ditangani dengan baik, sepsis

dapat menjadi suatu kondisi yang berkelanjutan, dimulai dari infeksi yang berlanjut

menjadi sepsis, kemudian sepsis berat dengan disfungsi organ, menjadi syok sepsis

dan diakhiri dengan kematian. (Artero et al., 2012, Nduka dan Parillo, 2009,

Remmick, 2007)

Sepsis berat dan syok sepsis merupakan hasil akhir dari interaksi antara

organisme yang menginfeksi dengan respon tubuh terhadap infeksi tersebut di mana

8

terjadi ketidakseimbangan antara respon tubuh dengan intensitas stimulus patogen

sehingga menyebabkan disfungsi organ (Nduka dan Parillo, 2009).

Gambar 2.1 Patofisiologi Sepsis Berat dan Syok Sepsis (Nduka dan Parillo,

2009)

Bakteri maupun virus memiliki petanda molekular yang memungkinkan

tubuh untuk mengidentifikasinya. Petanda ini disebut pathogen-assosiated molecular

pattern (PAMPs) atau microbial-assosiated molecular pattern (MAMPs). Petanda

molekular lain yang dapat dikenali tubuh adalah damage-assosiated molecular

pattern (DAMPs), yaitu protein intraselular yang dikeluarkan sel tubuh yang

mengalami luka (injury). Respon awal tubuh adalah mengenali petanda-petanda

tersebut melalui pattern recognition receptor (PRR) (Souza-Fonseca-Guimaraes et

al., 2012, Nduka dan Parillo, 2009).

Interaksi antara PAMPs dan PRRs akan menghasilkan sinyal-sinyal untuk

mengaktifkan respon imun tubuh berupa aktivasi sitokin-sitokin pro-inflamasi dan

9

anti-inflamasi. Kesimbangan di antara ke dua respon tersebut yang akan menentukan

hasil akhir sepsis. Respon imun sistemik terhadap infeksi inilah yang memberikan

manifestasi sepsis yang dapat dinilai dan diukur (Souza-Fonseca-Guimaraes et al.,

2012, Nduka dan Parillo, 2009).

2.1.4 Respon Imun Pada Sepsis

Respon imun terhadap infeksi dibagi menjadi dua yaitu sistem imun awal

yang sifatnya non spesifik (respon imun innate) dan respon imun yang sifatnya

spesifik (respon imun adaptif). Respon imun normal membutuhkan koordinasi dari

ke dua sistem imun ini, dimana akan terjadi pengenalan dini terhadap patogen yang

masuk kemudian dicetuskan proses eliminasi patogen tersebut dengan seminimal

mungkin merusak jaringan tubuh normal (Kumar dan Abbas, 2010, Chen et al.,

2011, Hwang dan Mckenzie, 2013).

Respon imun manusia baik respon imun innate maupun adaptif berperan

dalam mengenali dan menghilangkan patogen asing dan juga sel host yang terinfeksi.

Sel imun yang berfungsi membunuh sel secara langsung adalah sel NK dan sel T

CD8+. Sel NK dan sel T CD8+ sama-sama berasal dari progenitor limfoid. Saat

terjadi infeksi, ke dua sel tersebut diaktifkan oleh antigen-specific receptor dan

sitokin proinflamasi (seperti interleukin-12 dan interferon tipe 1) kemudian

memproduksi interferon gamma (IFN γ) (Sun dan Lanier, 2011).

Ketika patogen melewati barier anatomik tubuh, terjadi tiga fase sistem

pertahanan tubuh terhadap patogen tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 2.2.

Fase pertama (innate immunity: terjadi dalam waktu 0-4 jam setelah infeksi) oleh

enzim antimikroba, peptida antimikroba dan sistem komplemen. Fase ke dua (early

induced innate response : terjadi dalam 4-96 jam setelah infeksi) di mana sel-sel

10

sistem imun innate mengenali PAMPs bakteri kemudian teraktivasi untuk

mengeliminasi patogen tersebut. Fase ke tiga (adaptive response immune : terjadi >

96 jam setelah infeksi) yang ditandai oleh munculnya antigen spesifik yang

mentargetkan patogen spesifik serta munculnya sel memori yang memberikan

perlindungan dalam jangka waktu panjang (Murphy, 2011).

Gambar 2.2 Tiga Fase Sistem Imun Terhadap Infeksi (Murphy, 2011)

.

Gambar 2.3 Respon Sistem Imun Terhadap Sepsis (Munszynsky dan Hall, 2011)

11

Pada awal kondisi sepsis, terjadi kondisi pro-inflamasi yang disebut sistemic

inflamatory response sindrome (SIRS). Hal ini biasanya berlangsung selama

beberapa waktu kemudian diikuti dengan kondisi compensatory anti-inflamatory

response syndrome (CARS) yang ditandai dengan sel-sel imun innate yang

hiporesponsif. Dalam hitungan jam sampai hari, pasien seharusnya akan mencapai

kondisi kesembangan yang disebut immunological homeostasis. Namun pada

sebagian pasien terjadi kondisi anti-inflamasi yang berkepanjangan yang disebut

dengan immunoparalysis (Munszynsky dan Hall, 2011, Boomer et al., 2014)

Berbagai studi menunjukkan bahwa derajat keparahan dan durasi kondisi

immunoparalysis ini berhubungan erat dengan tingkat disfungsi organ dan mortalitas

pada pasien sepsis. Berbagai penelitian saat ini sudah mulai diarahkan untuk mencari

penanda kondisi immunoparalysis ini untuk mengetahui prognosis dari pasien-pasien

sepsis (Munszynsky dan Hall, 2011; Gogos et al., 2010, Boomer et al., 2014).

2.1.5 Sepsis Menekan Respon Imun Innate dan Adaptif

Parameter sistem imun innate yang selama ini dipakai untuk mengetahui respon

sistem imun innate pada kondisi sepsis adalah pemeriksaan HLA-DR monosit serta

pengukuran produksi sitokin inflamasi (TNF-α). Dengan mengukur ke dua parameter

tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa sepsis terbukti menekan respon imun innate.

Studi oleh Volk et al., pada tahun 1990 menunjukkan bahwa ekspresi HLA-DR

monosit menurun pada pasien sepsis namun jumlah penurunan ini tidak

mempengaruhi mortalitas. Hanya pasien-pasien dengan ekspresi HLA-DR monosit

yang terus menerus berada pada level < 30% selama lebih dari 5 hari yang

mengalami peningkatan risiko kematian. Hasil yang sama juga didapatkan oleh

12

Monneret et al., pada tahun 2006 dan Abe et al., tahun 2008. Sementara studi oleh

Hall et al., tahun 2007 dengan mengukur fluktuasi produksi sitokin TNF-α pada

pasien sepsis juga mendapat kesimpulan bahwa terjadi penurunan produksi sitokin

TNF-α pada pasien sepsis, serta tingkat penurunan dan durasi penurunan

berhubungan secara signifikan dengan kematian (Munszynsky dan Hall, 2011).

Studi-studi juga menunjukkan bahwa supresi sistem imun innate ini bersifat

reversible. Fumeaux et al., pada tahun 2002 berhasil memperbaiki penurunan HLA-

DR monosit pada pasien sepsis dengan memberikan IL-10. Docke et al., pada tahun

1997 menggunakan IFN-γ kepada 9 pasien sepsis dan terjadi peningkatan HLA-DR

monosit serta peningkatan produksi TNF-α. Terapi lain yang banyak diteliti untuk

memperbaiki disfungsi sistem imun innate adalah granulocyte macrophage colony-

stimulating factor (GM-CSF). Studi oleh Rosenbloom et al., pada tahun 2005, Bilgin

et al., pada tahun 2001 serta Meisel et al., pada tahun 2009 menunjukkan perbaikan

HLA-DR monosit dan TNF-α serta penurunan mortalitas (Munszynsky dan Hall,

2011).

Selain supresi sistem imun innate, sepsis juga terbukti menekan sistem imun

adaptif. Parameter yang dipakai adalah dengan mengukur jumlah dan aktivitas

limfosit. Beberapa studi hewan menunjukkan terjadi penurunan jumlah limfosit serta

peningkatan apotosis limfosit pada pasien dengan sepsis. Boomer et al., pada tahun

2012 melakukan penelitian dengan mengukur fluktuasi beberapa fenotip limfosit

serta fungsinya pada pasien sepsis. Didapatkan hasil bahwa terjadi penurunan

berbagai fenotif limfosit serta penurunan sekresi IFN-γ pada pasien sepsis

dibandingkan dengan kontrol. Monserrat et al., pada tahun 2008 mengukur berbagai

13

fenotip limfosit pada pasien syok sepsis, dengan hasil limfosit CD3+, CD3+CD4+

dan CD3+CD8+ secara signifikan lebih rendah pada pasien syok sepsis dibandingkan

dengan kontrol. Selain itu juga disimpulkan bahwa limfosit CD3+CD8+CD28+

dengan cutoff 136 sel/mm3 memiliki sensitivitas 70% dan spesifisitas 100% dalam

memprediksi kematian (Boomer et al., 2012, Monserrat et al., 2009, Monserrat et al.,

2012).

Tabel 2 Fluktuasi Komponen Sistem Imun Innate dan Adaptif Pada Kondisi

Sepsis (Munszynsky dan Hall, 2011)

2.2 Sel NK dan Mekanisme Kerjanya

2.2.1 Definisi Sel NK

Keberadaan sel NK pertama kali dilaporkan oleh grup Hanz Wigzell pada

tahun 1975. Sel ini awalnya diketahui berperan dalam membunuh sel tumor dan sel

yang terinfeksi virus. Namun 10 tahun setelah penemuannya, diketahui bahwa sel

NK juga berperan dalam melawan infeksi bakteri melalui antibody-dependent

cellular cytotoxicity (ADCC) serta kemampuannya menghasilkan berbagai sitokin-

sitokin inflamasi (Fouza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012, Hyun-Park et al., 2013).

Berdasarkan morfologi dan ekspresi marker-marker limfosit pada

permukaannya, sel NK diklasifikasikan sebagai bagian dari limfosit (Lanier, 2005).

Secara fenotip, sel NK didefinisikan sebagai sel yang memiliki CD56 dan tidak

14

memiliki CD3. Antigen CD56 merupakan sebuah isoform human neural cell

adhesion. Antigen CD56 berfungsi sebagai mediator antara sel NK dengan sel target

(Copper et al., 2001). Sel NK merupakan turunan limfosit nomor tiga terbesar setelah

sel B dan sel T, dengan jumlah ± 15% dari seluruh limfosit. (Sun dan Lanier, 2011).

2.2.2 Perkembangan Sel NK

Sel NK berasal dari hematopoetic progenitor cell (HPC) CD34+ di dalam

sumsum tulang, kemudian sel-sel tersebut ke luar ke darah dan masuk ke dalam

limfonodi. Di dalam limfonodi, sel pre-NK ini mengalami berbagai proses maturasi

menjadi sel NK CD56bright dan sel NK CD56dim. Sel NK CD56dim matur masuk

kembali ke sirkulasi melalui limfa efferen sementara CD56bright tetap berada di dalam

jaringan limfoid sekunder untuk nantinya berinteraksi dengan sel dendritik (Cooper

et al., 2001, Domaica et al., 2012, Eissens et al., 2012).

Gambar 2.4 Perkembangan Sel NK (Cagliuri, 2008)

Perkembangan sel NK dapat dibagi menjadi dua fase. Pada fase awal, HPC

CD34+ merespon sinyal growth factor (flt3 ligand dan atau c-kit ligand) dan

15

berkembang menjadi sel NK prekursor intermediate dengan fenotip CD34+IL-15R+.

Pada fase selanjutnya, prekursor sel NK intermediate ini akan berkembang menjadi

sel NK CD56bright dengan rangsangan sinyal IL-15. Yang masih menjadi perdebatan

sampai saat ini adalah hubungan sel NK CD56bright dan sel NK CD56dim (Cooper et

al., 2001, Domaica et al., 2012, Eissens et al., 2012).

Masih belum diketahui dengan pasti apakah benar sel NK CD56dim

merupakan bentuk yang lebih matur dari sel NK CD56bright. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa sel NK CD56dim memiliki telomer yang lebih pendek dari sel NK

CD56bright yang berarti sel NK56dim merupakan bentuk yang lebih matur dari sel NK

CD56bright (Poli et al., 2009).

Gambar 2.5 Konsep Perkembangan Sel NK CD56dim (Cooper et al., 2001)

Ada beberapa konsep pembentukan sel NK CD56dim seperti yang terlihat

pada Gambar 2.5. Pertama, sel NK CD56dim mungkin memiliki prekursor unik yang

belum teridentifikasi sehingga memungkinkan terjadi perubahan dari progenitor sel

NK langsung menjadi sel NK CD56dim seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10a.

16

Ke dua, sel NK prekursor intermediate (sel NK CD34+IL-15R+) dapat berubah

menjadi sel NK CD56bright maupun sel NK CD56dim tergantung sinyal sitokin yang

mengaktivasi, seperti yang ditunjukkan Gambar 2.10b. Ke tiga, sel NK CD56dim

dibentuk dari sel NK CD56bright yang mengalami maturasi, seperti yang ditunjukkan

Gambar 2.10c (Cooper et al., 2001).

2.2.3 Subset Sel NK

Seiring dengan perkembangan teknologi, diketahui bahwa berdasarkan

densitas CD56 pada permukaan selnya, sel NK dapat dibagi menjadi dua subset yaitu

CD56bright dan CD56dim. Namun jika dilakukan pembagian berdasarkan CD56 dan

CD16 pada permukaan selnya, sel NK dapat dibagi menjadi lima subset: (1)

CD56brightCD16- (50-70% dari seluruh CD56bright), (2) CD56brightCD16dim (30-50%

dari seluruh CD56bright), (3) CD56dimCD16-, (4) CD56dimCD16bright, (5) CD56-

CD16bright (Poli et al., 2009). 50-70% sel NK CD56bright sedikit atau bahkan tidak

memiliki CD16 sementara >95% sel NK CD56dim memiliki CD16 (Cooper et al.,

2001, Lanier, 2003, Dong et al., 2011)..

CD16 merupakan salah satu antigen yang diekspresikan oleh permukaan sel

NK dan bekerja dengan mengikat sel target sehingga menghasilkan ADCC pada sel

target (Cagliuri, 2008; Cooper et al., 2001).

Selain CD56 dan CD16, terdapat berbagai reseptor-reseptor permukaan

lainnya yang diekspresikan dalam jumlah berbeda di antara ke dua subset sel NK ini.

Reseptor-reseptor ini juga mempengaruhi perbedaan fungsi dan peranan ke dua

subset sel NK tersebut (Cooper et al., 2001).

Sel NK CD56bright mengekspresikan reseptor NKG2A-CD94 dalam jumlah

banyak sementara KIR dan ILT-2 (reseptor inhibitor) dalam jumlah sedikit. Sel NK

17

CD56bright juga mengekspresikan reseptor IL-2R (IL-2Rγβγ) dalam jumlah besar

sementara sel NK CD56dim sebaliknya. Hal ini menjelaskan mengapa sel NK

CD56dim memiliki kemampuan sitotoksik yang lebih besar daripada sel NK

CD56bright dan sel NK CD56bright sebagai penghasil sitokin yang lebih baik daripada

sel NK CD56dim. (Cooper et al., 2001).

Gambar 2.6 Perbandingan Fenotip Antara CD56bright dengan CD56dim (Cooper

et al, 2001)

2.11.3.1 Sel NK CD56bright

Sel NK CD56bright sebagian besar berada dalam jaringan limfoid sekunder dan

hanya 10% yang beredar bebas di dalam darah. Sel ini dapat memproduksi sitokin

dan kemokin dalam jumlah yang besar namun tidak memiliki kemampuan melisiskan

sel target. Sel NK CD56bright menghasilkan berbagai sitokin seperti IFN-γ, TNF-α,

GM-CSF, IL-10 serta IL-13 (Poli et al., 2009).

18

Dalam tugasnya dalam memproduksi sitokin, sel NK CD56bright memerlukan

dua sinyal. Sinyal pertama diberikan oleh IL-12 sementara sinyal ke dua dapat

diberikan oleh sitokin (IL-1, IL-2, IL-15, IL-18) atau reseptor (CD16 (FcγRIIIa) atau

NKG2D). Sinyal-sinyal ini dihasilkan oleh makrofag, monosit dan atau sel dendritik

(Cagliuri, 2008).

Peranan sitokin IL-12 terhadap kemampuan sel NK CD56bright dalam

menghasilkan sitokin sangatlah penting. Studi-studi menunjukkan bahwa aktivitas

produksi sitokin sel NK CD56bright dapat ditingkatkan dengan pemberian IL-12

eksternal (Cooper et al., 2001).

Pada orang normal jumlah sel NK CD56bright di perifer hanya sekitar 10%

namun pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi peningkatan maupun penurunan

jumlahnya. Mekanisme peningkatan maupun penurunan jumlah ini memang belum

jelas, namun terdapat hipotesis yang mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu di

mana dibutuhkan potensi produksi sitokin dibandingkan aktivitas sitotoksik dari sel

NK maka akan terjadi peningkatan produksi sel NK CD56bright dan sebaliknya (Poli

et al., 2009).

2.2.3.2 Sel NK CD56dim

Sebagian besar sel NK yang berada dalam sirkulasi adalah sel NK CD56dim

dengan jumlah 90% dari seluruh sel NK di sirkulasi. NK CD56dim dapat melisiskan

sel target secara efektif tanpa melalui stimulasi awal maupun pengenalan antibodi

terlebih dahulu. NK CD56dim mengekspresikan CD16 atau FcγRIIIa pada

permukaannya yang dapat berikatan dengan regio fc imunoglobulin sehingga

menghasilkan ADCC pada sel target (Cagliuri, 2008).

19

Aktivitas sitotoksik sel NK CD56dim lebih besar daripada CD56bright. Hal ini

bukan hanya karena sel NK CD56dim memiliki lebih banyak CD13 di permukaannya

namun juga memiliki porforin, granzymes dan granula sitotoksik. Rangsangan

sitokin IL-2 dan IL-12 dapat meningkatkan aktivitas sitotoksik sel NK CD56dim

secara signifikan (Poli et al., 2009).

2.2.4 Reseptor Sel NK

Aktivitas sitotoksik sel NK diatur oleh setidaknya tiga kelompok besar

reseptor yang mengenali molekul MHC class I klasik pada permukaan sel target,

yaitu Immunoglobulin (Ig) superfamily atau Killer Immunoglobulin-like Receptor

(KIR), C-type lectin-like domain (CTLD) superfamily dan natural cytotoxicity

receptor (NCR) dengan ligand yang belum diketahui (Garcia et al., 2003, Copper et

al., 2001).

KIR dikoding oleh leucocyte receptor complex (LRC) yang terletak pada

kromosom 19 manusia. KIR gene family terdiri dari 15 gen serta dua pseudogen.

Nomenklatur reseptor KIR dibuat berdasarkan struktur ekstraseluler dan

intraselulernya. KIR gene dapat dibagi menjadi 2 haplotip mayor yaitu KIR-A dan

KIR-B. KIR-A hanya memiliki satu reseptor aktivator yaitu KIR2DS4. Haplotip

KIR-A ini dimiliki oleh sepertiga populasi kulit putih di Amerika Serikat. KIR-B

memiliki 2 atau lebih reseptor aktivator, serta dimiliki oleh dua pertiga populasi kulit

putih di Amerika Serikat. Pembagian ke dua haplotip KIR ini penting karena

penelitian menunjukkan bahwa pemilihan donor dan resipien berdasarkan perbedaan

haplotip KIR akan meningkatkan outcome (Miller, 2013).

CTLD dikoding oleh natural killer complex (NKC) yang terletak pada

kromosom 6 tikus dan kromosom 9 manusia. CTLD terdiri dari beberapa keluarga

20

reseptor yang memiliki struktur genomik mengikuti pola type II transmembrane-

oriented C-type lectin-like receptor. Beberapa keluarga reseptor sel NK yang

termasuk CTLD di antaranya Ly49 family gene, NKRP1 family gene, NKG2 family

gene dan CD94, serta NKG2D (Yokohama dan Plougastel, 2003; Lanier, 2005).

Berdasarkan aktivitasnya, ke tiga kelompok besar reseptor ini dibagi menjadi

dua yaitu reseptor inhibitor dan reseptor aktivator. Mekanisme sel NK dalam

mengenali sel target melalui sinyal aktivasi dan inhibisi bersifat kompleks dan belum

sepenuhnya dimengerti (Copper et al., 2001).

Reseptor-reseptor inhibitor ini di antaranya KIR yang berikatan dengan

ligand MHC class Ia klasik dan reseptor heterodimer CD94-NKG2A yang berikatan

dengan ligand nonklasik MHC class Ib. Setelah berikatan dengan MHC class I, KIR

akan mengirimkan sinyal yang mencegah sel NK membunuh sel-sel yang

mengekspresikan MHC class I seperti yang dijelaskan dalam “missing self

hypothesis” (Lanier 2005).

Gambar 2.7 Aktivitas Reseptor-Reseptor Sel NK (Yokohama dan Plougastel,

2003)

21

Reseptor inhibitor bekerja melalui immunoreceptor tyrosine-based inhibitory

motif (ITIM) yang terletak di domain sitoplasma pada sel NK. Setelah berikatan

dengan ligand sel target, ITAM akan mengalami fosforilasi oleh SCR-family tyrosine

kinase dan berikatan dengan fosfatase intraseluler seperti SH2-domain-containing

protein tyrosine phosphatase 1 (SHP-1), SHP-2 dan SH2-domain-containing inositol

polyphosphatase 5’ phosphatase (SHIP1) (Yokohama dan Plougastel, 2003).

Walaupun cara kerja fosfatase yang telah teraktivasi terhadap sel target belum

jelas, mereka diasumsikan bekerja dengan mengganggu jalur fosforilasi yang

dibutuhkan untuk aktivasi sel NK. Dengan kata lain, reseptor inhibitor memblok

aktivasi reseptor aktivator, sehingga secara umum efek reseptor inhibitor terhadap

MHC class I lebih dominan terhadap efek reseptor aktivator (Yokohama dan

Plougastel, 2003).

Selain reseptor inhibitor juga terdapat reseptor aktivator seperti NKG2D,

NCR, nectin, nectin-like receptor serta NKp80 yang bekerja mengaktifkan kapasitas

sitotoksik sel NK (Cagliari, 2008). Reseptor aktivator bekerja melalui

immunoreceptor tyrosine-based activation motif (ITAM) (Yokohama dan Plougastel,

2003). Untuk dapat berfungsi, ITAMs harus berikatan dengan adaptor protein seperti

CD3ζ, FcεRIγ dan DAP12 (Lanier, 2003).

Reseptor aktivator yang paling banyak diteliti adalah CD16. CD16 akan

berikatan dengan CD3ζ atau FcεRIγ yang selanjutnya akan mengaktifkan ADCC

serta mengaktifkan produksi sitokin oleh sel NK. Adaptor protein lainnya seperti

DAP 12 akan berikatan dengan reseptor Ly49, NKG2C/CD94 serta KIR (Lanier,

2003).

22

Selain reseptor aktivator dan inhibitor, sel NK juga memiliki beberapa jenis

reseptor-reseptor lain di permukaaannya yaitu reseptor kemotaktik, reseptor sitokin

dan reseptor adhesi. Reseptor-reseptor ini juga diekspresikan dalam jumlah berbeda

di antara kedua sel NK subset yang menyebabkan perbedaan fungsional ke duanya

(Vivier dan Ugolini, 2011, Vivier et al., 2011).

Reseptor sitokin yang dimiliki sel NK seperti IL-15R, IL-2R, IL-21R

berfungsi untuk menangkap sinyal-sinyal sitokin yang dibutuhkan dalam maturasi

dan fungsional sel NK (Vivier et al., 2011).

Gambar 2.8 Reseptor Sel NK dan Ligandnya (Garcia et al., 2003)

Untuk dapat berikatan dengan reseptor, sel NK harus berikatan dengan

ligand. Ligand reseptor sel NK dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu

ligand MHC kelas I, MHC class I-related ligand serta host-encoded non MHC

ligand. Reseptor yang berikatan dengan ligand MHC kelas I adalah KIR, Ly49,

NKG2/CB94 serta LILR. Reseptor yang berikatan dengan MHC class I-related

ligand contohnya adalah NKG2D. reseptor yang berikatan dengan host-encoded non

MHC ligand adalah NKRP1, 2B4, DNAM-1 serta PILR (Lanier, 2005).

23

2.2.5 Mekanisme Kerja Sel NK

Pada awalnya, sel NK dianggap bekerja melalui “missing self hypothesis”

yaitu sel NK akan membunuh sel target yang tidak memiliki molekul major

hystocompatibility complex (MHC) class I. Namun hal ini tidak menjelaskan

mengapa sel NK tidak membunuh sel eritrosit yang tidak mengekspresikan MHC

class I maupun sel tubuh lainnya yang hanya mengekspresikan sedikit MHC class I

seperti sel saraf (Lanier, 2005).

Gambar 2.9 Teori Missing Self (Garcia et al., 2003)

Studi terbaru menunjukkan bahwa ternyata respon imun sel NK diatur oleh

sinyal inhibitor dan aktivator yang ditransmisikan oleh reseptor pada permukaan

selnya (Lanier, 2003, Garcia et al., 2003, Bolanos dan Tripathy, 2011). Sehingga

teori “missing selfl” sekarang dijelaskan oleh keberadaan reseptor yang

mengekspresikan sinyal inhibitor yang spesifik terhadap MHC class I sehingga

mencegah sel NK menyerang sel target tersebut (Yokohama dan Plougastel, 2003).

Gambar 2.10 menunjukkan empat skenario yang mungkin terjadi saat sel NK

bertemu sel target. Skenario pertama, bila sel NK yang bertemu dengan sel target

24

yang tidak memiliki MHC class I atau ligand yang cocok dengan reseptor yang ada

maka sel NK tidak akan berespon terhadap sel target tersebut. Skenario ke dua, bila

sel NK bertemu sel target yang memiliki MHC kelas 1 maka akan diikat oleh

reseptor inhibitor sehingga mencegah sel NK untuk membunuh sel target tersebut.

Skenario ke tiga, bila sel NK bertemu sel target yang mengekspresikan ligand yang

diikat oleh reseptor aktivator maka sel NK akan teraktivasi sehingga sel taget

dibunuh. Skenario ke empat, bila sel NK bertemu sel target yang memiliki ligand

yang berikatan dengan reseptor aktivator dan inhibitor maka sel NK akan berespon

sesuai dengan sinyal yang lebih dominan (Lanier, 2003).

Gambar 2.10 Mekanisme Kerja Sel NK (Lanier, 2005)

2.3 Sel NK Dan Sepsis

2.3.1 Sel NK Sebagai Mata Rantai Sel Imun Innate Dan Adaptif

Sel NK bekerja sebagai respon awal terhadap infeksi virus, bakteri, parasit

dan sel tumor. Sel NK secara tradisional dianggap sebagai sel imun innate karena

25

kemampuannya berespon secara cepat dalam mengenali sel target tanpa melalui

proses sensitisasi (Sun et al., 2012). Namun belakangan terjadi pergeseran paradigma

mengenai sel NK. Studi-studi menunjukkan bahwa sel NK juga berperan dalam

membentuk respon imun adaptif dan memiliki peran imunoregulator, sehingga sel

NK dianggap sebagai mata rantai antara sistem imun innate dengan sistem imun

adaptif (Poli et al., 2009, Cooper et al., 2009).

Memori imunologis merupakan hallmark dari sistem imun adaptif. Hal ini

ditandai oleh keberadaan sel memori yang dengan cepat bereaksi bila terjadi paparan

ulang. Sel imun innate diketahui tidak memiliki kemampuan memori imunologis,

namun studi-studi menunjukkan bahwa sel NK memiliki kemampuan memori

imunologis (Vivier et al., 2011).

Gambar 2.11 Kemampuan Memori Imunologis Sel NK (Cooper et al., 2009)

Mekanisme pembentukan sel memori sel NK diperkirakan berlangsung dalam

tiga tahap. Tahap pertama, saat awal infeksi sel NK akan mengeluarkan IFN-γ

sebagai respon terhadap sinyal sitokin oleh sel dendritik dan makrofag. Tahap ke

26

dua, sebagian dari sel NK yang telah teraktivasi akan berubah menjadi sel NK

memori. Tahap ke tiga, saat terjadi infeksi ulang, sel NK memori akan teraktivasi

dan menghasilkan respon IFN-γ yang lebih cepat (Cooper et al., 2009).

Sama seperti sel limfosit B dan T, sel NK mengalami proses edukasi dalam

perkembangannya. Selain itu, Sel NK juga memiliki antigen reseptor spesifik,

mengalami ekspansi klonal saat terjadi infeksi serta menghasilkan sel dengan

kemampuan memori. Sehingga dikatakan bahwa sel NK mirip dengan sel limfosit T-

CD8 sitotoksik (Sun et al., 2012).

2.3.2 Aktivasi Sel NK pada Infeksi Bakteri

Sel NK awal dikenal dalam peranannya sebagai anti viral dan antitumor.

Namun peranannya dalam infeksi bakteri masih belum banyak dipaparkan. Studi

awal yang membuktikan bahwa sel NK berperan dalam infeksi bakteri adalah studi

pada NK cell-deficient mice yang ternyata mengalami penurunan kemampuan

antibakteri terhadap paparan Salmonella typhimurium. Laporan-laporan lain juga

mendapatkan bukti sel NK melisiskan sel yang terinfeksi Shigella flexneri serta

monosit yang terinfeksi Legionella pneumophilla dan Mycobacterium avian (Souza-

Fonseca-Guimaraes et al., 2012, Wang et al., 2013).

Dalam menghadapi infeksi bakteri, sel NK teraktivasi melalui dua jalur, jalur

langsung dan jalur tidak langsung. Jalur langsung melalui peranan reseptor aktivator

maupun inhibitor yang mengenali sel yang terinfeksi bakteri. Mycobacterium bovis

BCG, Nocardia fascinica dan Pseudomonas aeruginosa mengeluarkan protein yang

secara langsung berikatan dengan reseptor NKp44 sel NK dan mengaktifkan

kapasitas sitotoksiknya (Horowitz et al., 2012, Wang et al, 2013 ).

Ketika terjadi proses infeksi bakteri, PAMP yang dihasilkan bakteri akan

dikenali oleh PRR sel imun innate. PRR yang sudah di kenali di antaranya adalah

Toll-like receptor (TLR) dan nucleotide oligomerization domain (NOD)-like

27

receptor (NLR) (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012). Sel NK mengekspresikan

TLR (TLR1-9) dan NLR di antaranya NOD1, NOD2 dan NLRP3. NOD2 merupakan

reseptor terhadap muramyl dipeptide (MDP) di mana MDP adalah komponen

peptidoglikan dari bakteri gram positif dan gram negatif. NLRP3 dapat mengenali

komponen toksik yang dihasilkan bakteria (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012).

Gambar 2.12 Aktivasi Sel NK Oleh PAMPs Bakteri (Souza-Fonseca-Guimaraes

et al., 2012)

Jalur aktivasi tidak langsung membutuhkan sinyal sitokin dari sel imun lain

seperti sel dendritik maupun makrofag yang nantinya akan mengaktifkan sel NK

(Horowitz et al., 2012, Andoniou et al., 2008).

Toksin yang dikeluarkan oleh bakteri juga dapat mengaktifkan sel NK secara

langsung. Streptococcal pyrogenic exotoxin A (SPEA) dan staphylococcal

enterotoxin B terbukti mengaktifkan sel NK dan menginduksi produksi IFN-γ.

Namun, toksin lain seperti staphylococcal enterotoxin A dan listeriolysin O yang

dihasilkan oleh Listeria monocytogenes mengaktivasi sel T dan monosit untuk

28

menghasilkan sitokin-sitokin. Sitokin inilah yang selanjutkan mengaktifkan sel NK

(Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012).

Setelah teraktivasi, sel NK akan bekerja melisiskan sel target maupun

mengeluarkan sitokin-sitokin inflamasi seperti IFNγ, GM-CSF, IL-5, IL-6, IL-10,

TGFβ, IL-12, IL-13, IL-16, IL-17 dan IL-22. Sel NK juga memproduksi TNF-α,

lyphotoxin (LT)-α, LT-β, Fas ligand, CD27L, CD30L, OX40L, 4-1BB ligand

(4-1BBL) dan TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL) (Souza-Fonseca-

Guimaraes et al., 2012).

Sel NK juga mensekresi beberapa kemokin seperti CCL2 (MCP-1), CCL3

(MIP1-α), CCL4 (MIP1-β), CCL5 (RANTES), XCL1 (lymphotactin) dan CXL8 (IL-

8). Kemokin-kemokin ini berperan dalam proses kolonisasi sel NK di lokasi

inflamasi bersama dengan sel imun lainya (Vivier and Ugolini., 2011).

Gambar 2.13 Jalur Aktivasi Sel NK Secara Tidak Langsung Pada Infeksi

Bakteri (Horowitz et al., 2012)

29

Studi pada Listeria monocytogenes dan Yersinia pestis menunjukkan bahwa

pada infeksi yang terlokalisir sel dendritik akan mengenali agen infeksi dan bereaksi

dengan menghasilkan IL-12. IL-12 akan mengaktifkan sel NK untuk menghasilkan

IFN-γ. Namun pada infeksi sistemik, aktivasi IL-12 pada sel NK menyebabkan sel

NK mengeluarkan IL-10. IL-10 bekerja menekan produksi IL-12 oleh sel dendritik

sehingga aktivasi sel NK bisa berhenti dan kerusakan jaringan juga berhenti

(negative regulatory feedback loop) (Horowitz et al., 2012)

2.3.3 Aktivasi Sel NK oleh Sel Imun Lainnya

Untuk mendapatkan potensi efektornya, sel NK membutuhan berbagai sinyal

dari sel imun lainnya (accessory myeloid cells) seperti IL-15, Il-18, IL12 yang

dihasilkan sel dendritik, makrofag, monosit maupun sel limfosit T (Horowitz et al.,

2012, Hallet dan Murphy, 2006).

Gambar 2.14 Komunikasi Antara Sel NK dengan Sel Dendritik (Hamerman et al.,

2005)

Hubungan antara sel NK dan sel dendritik pertama kali dipubliksikan oleh

Fernandez et al. pada tahun 1992. Sel NK dan sel dendritik saling mengaktivasi satu

sama lain. Sel dendritik secara langsung mengaktivasi sel NK melalui sinyal sitokin

IL-12, IL-18 dan IFN tipe 1. Sel NK mengaktivasi maturasi sel dendritik baik secara

30

langsung maupun melalui melalui produksi TNF-α. Piccioli et al., menjelaskan

bahwa interaksi sel NK-sel dendritik diatur oleh rasio sel NK-sel dendritik. Bila rasio

NK: sel dendritik rendah maka sel NK akan mengaktivasi maturasi sel dendritik,

namun bila rasio sel NK: sel dendritik tinggi maka sel NK akan melisiskan sel

dendritik (Hamerman et al., 2005; Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012).

Gambar 2.15 Sinyal Aktivasi dan Inhibisi Sel NK dari Berbagai Sel Imun

(Hallet dan Murphy, 2006)

Sel NK berkomunikasi dua arah dengan monosit dan makrofag. Stimulasi

monosit/makrofag dibutuhkan sel NK untuk menghasilkan IFN-γ serta pembentukan

ekspresi CD69 pada permukaannya. Sel NK menginduksi aktivitas fagositosis

makrofag melalui interaksi CD40/CD154 seperti yang ditunjukkan pada penelitian

infeksi oleh Eschericia coli (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012, Nedvetzki et al.,

2007).

31

Hubungan neutrofil dengan sel NK berlangsung dua arah. Neutrofil

memproduksi IL-18 yang dibutuhkan untuk aktivasi sel NK, sementara sel NK

mengaktifkan sel neutrofil, meningkatkan kelangsungan hidupnya, meningkatkan

ekspresi reseptor CD64, CD11b dan CD69 pada permukaan neutrofil serta

meningkatkan produksi superoxide anion dan heparin binding epidermal growth

factor (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012, Jaeger et al., 2011).

Sel limfosit juga berinteraksi dengan sel NK. Sel limfosit B mengaktivasi

produksi IFN-γ sel NK sementara sel NK menghambat proliferasi poliklonal sel

limfosit B. Sel limfosit T menginduksi pembentukan IL-17A di mana bersama-sama

dengan IL-18 akan berkontribusi dalam pembentukan sitokin IFN-γ oleh sel NK. Sel

NK terbukti mengaktivasi sel limfosit T melalui ikatan ICAM-1 (Souza-Fonseca-

Guimaraes et al., 2012, Mitrovitc et al., 2012).

2.3.4 Peranan Sel NK dalam Sepsis

Peranan sel NK dalam sepsis sebagian besar diketahui melalui studi pada

tikus. Carson et al. melakukan penelitian terhadap tikus dihilangkan sel NK-nya

dengan menggunakan antiasialo GM1 poliklonal atau antibodi monoklonal anti

NK1.1. Tikus-tikus ini kemudian diberikan lipopolysaccharide (LPS) dosis tinggi

sehingga memberikan respon seperti kondisi syok sepsis. Hasilnya, dengan

menghilangkan sel NK, angka mortalitas dan kadar sitokin-sitokin inflamasi (TNF-α

dan IFN-γ) menurun drastis. Studi lain oleh Kerr et al. dan Sherwood et al. pada

tikus yang dihilangkan sel NK-nya dan diinfeksi dengan Streptococcus pneumoniae

juga menunjukkan penurunan bakteremia dan penurunan kadar sitokin-sitokin

inflamasi secara signifikan. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa menurunkan atau

32

menghilangkan sel NK dapat memberikan efek protektif pada tikus dengan sepsis

(Chiche et al., 2011; Goldmann et al., 2005, Hildebrand et al., 2004).

Terdapat beberapa studi-studi mengenai sel NK dalam sepsis pada manusia.

Dibandingkan dengan studi pada tikus, studi pada manusia memberikan hasil yang

berbeda. Hipotesisnya adalah, tikus yang diinduksi dengan LPS dosis tinggi tidak

memberikan gambaran kondisi sepsis yang sebenarnya, karena pasien-pasien sepsis

berat di ruang intensif pada umumnya adalah pasien yang telah melewati fase SIRS

dan berada pada fase CARS (immunosuppressive phase), di mana kematian paling

banyak terjadi (Chiche et al., 2011).

Gambar 2.16 Respon Sel NK dalam Sepsis (Chiche et al., 2011)

Peranan sel NK dalam tahapan-tahapan sepsis ditunjukkan oleh Gambar 2.16.

Pada awal proses infeksi, sel NK akan menginisisasi proses inflamasi sebagai respon

33

terhadap masuknya patogen (Gambar 2.16.a). Pada kondisi SIRS, sel NK berperan

melalui dua jalur yaitu aktivitas sitolitik serta menghasilkan sitokin-sitokin inflamasi,

granzyme dan porfirin (Gambar 2.16.b). Sel NK berperan dalam proses transisi dari

SIRS ke CARS. Pada kondisi sepsis berat, beberapa pasien akan mengalami sindrom

secondary hemophagocytic limphohistiocytic (HLH) atau yang disebut juga

macrophage activation syndrome (MAS). MAS ditandai oleh demam

berkepanjangan, sitopenia berat serta disfungsi organ. Interaksi antara sel NK dan

makrofag bersifat dua arah. Makrofag dapat merangsang aktivasi sel NK sedangkan

sel NK dapat membatasi aktivitas makrofag dengan meliliskan sel tersebut. Pada

MAS juga terjadi penurunan jumlah sel NK serta penurunan aktivitas sitolitik dan

ADCC sehingga terjadi aktivasi makrofag yang tidak terkontrol, stimulasi limfosit

Th-1 serta peningkatan kadar sitokin-sitokin inflamasi (INF-γ, TNF-α, IL-6 dan IL-

18) (Gambar 2.16.c). Bila kondisi disfungsi sel NK ini berjalan terus maka akan

terjadi penurunan respon pertahanan tubuh sehingga infeksi nosokomial mudah

terjadi dan akhirnya menyebabkan kematian (Gambar 2.16.d). Hal ini menunjukkan

bahwa sel NK berperan di setiap tahap sepsis (Chiche et al., 2011, Scott et al., 2004).

Sepsis terbukti menekan respon imun, termasuk respon imun innate. Sepsis

menyebabkan dengan limfopenia berat yang berhubungan dengan penurunan jumlah

sel NK dalam sirkulasi. Penurunan jumlah sel NK ini dapat berlangsung lebih dari

satu minggu. Penurunan jumlah sel NK yang paling berat ditemukan pada pasien

dengan risiko kematian yang paling tinggi. Pada sepsis berat, aktivitas sitolitik dan

produksi sitokin oleh sel NK juga mengalami penurunan. Hipotesisnya adalah

endotoksin yang beredar saat kondisi sepsis menekan aktivitas sel NK secara

34

langsung (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012, Carson et al., 1999, Bohannon et

al., 2012, Hotchkiss dan Nickolson, 2006, Monserrat et al., 2009).

Forel et al., pada tahun 2012 melakukan penelitian dengan mengukur jumlah

sel NK serta aktivitas sitotoksik dan produksi sitokin pada pasien sepsis berat dan

syok sepsis. Hasilnya didapatkan bahwa jumlah sel NK CD3-CD56+ menurun pada

pasien sepsis. Selain itu juga terdapat penurunan aktivitas sitotoksik sel NK yang

diukur dengan degranulation assay (ekspresi CD170) dan penurunan produksi

sitokin IFN-γ pada pasien sepsis dibandingkan dengan kontrol (Forel et al., 2012).

Kondisi ini bersifat reversibel, karena penelitian membuktikan bahwa

pemberian suplementasi IL-5 pada polymicrobial sepsis-murine model dapat

mengembalikan respon sel NK (Souza-Fonseca-Guimaraes et al., 2012).