Hipotensi Ortostatik

29
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan jumlah morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya penyakit kardiovaskuler dan sistem saraf. Hipotensi ortostatik pada usia lanjut merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada sistem kardiovaskuler dan saraf. Oleh karena itu, penanganan pasien dengan ortostatik hipotensi sangat penting untuk dilakukan sehingga dapat mencegah morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ini. 1.2 Tujuan Memenuhi penugasan sebagai prasyarat dalam melaksanakan kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi dokter di bagian saraf RSUD Margono Soekarjo Purwokerto. Mengetahui tentang hipotensi ortostatik pada usia lanjut, meliputi definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan penatalaksaannya. 1

Transcript of Hipotensi Ortostatik

Page 1: Hipotensi Ortostatik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan

jumlah morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang

menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya

penyakit kardiovaskuler dan sistem saraf. Hipotensi ortostatik pada usia

lanjut merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh kelainan pada

sistem kardiovaskuler dan saraf. Oleh karena itu, penanganan pasien

dengan ortostatik hipotensi sangat penting untuk dilakukan sehingga dapat

mencegah morbiditas dan mortalitas akibat gangguan ini.

1.2 Tujuan

Memenuhi penugasan sebagai prasyarat dalam melaksanakan

kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi dokter di bagian saraf RSUD

Margono Soekarjo Purwokerto.

Mengetahui tentang hipotensi ortostatik pada usia lanjut, meliputi

definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, diagnosis dan

penatalaksaannya.

1

Page 2: Hipotensi Ortostatik

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Hipotensi ortostatik berdasarkan The Consensus Committee of the

American Autonomic Society and the American Academy of Neurology

merupakan penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau penurunan

tekanan darah diastolik ≥10 mmHg dari posisi berbaring ke posisi duduk

atau berdiri. Penurunan harus ada dalam waktu 3 menit setelah perubahan

posisi.1

2.2. Implikasi klinis dari proses menua

Mengelola orang berusia lanjut berbeda dengan mengelola orang

muda untuk beberapa alasan, antara lain karena adanya perubahan-

perubahan yang terjadi di dalam proses menua, antara lain 2 :

a. Sistem Endokrin

Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1

mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10

mg/dl/dekade)

Insulin serum meningkat, HbA1C meningkat, IGF-1 berkurang.

b. Kardiovaskular

Berkurangnya pengisian ventrikel kiri

Hipertrofi atrium kiri

Kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama

Lapisan subendotel menebal dengan jaringan ikat

Ukuran dan bentuk yang irregular pada sel-sel endotel

Fragmentasi elastin pada lapisan media dinding arteri

Peningkatan resistensi vaskuler perifer

c. Tekanan Darah

Peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tidak

berubah

Berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta-adrenergik

Vasokonstriksi yang dimediasi alfa-adrenergik tidak berubah

2

Page 3: Hipotensi Ortostatik

Terganggunya perfusi autoregulasi otak

d. Sistem Saraf Pusat

Berkurangnya sedikit massa otak

Berkurangnya aliran darah otak dan terganggunya autoregulasi

perfusi

Berkurangnya densitas koneksi dendritik

Berubahnya neurotransmitter, termasuk dopamine dan serotonin

Melambatnya proses sentral dan waktu reaksi

e. Berkaitan dengan kasus hipotensi ortostatik, pada usia lanjut terjadi:

Penurunan sensitivitas baroreseptor yang diakibatkan oleh

proses atherosklerosis sekitar sinus karotikus dan arkus aorta. Hal

ini akan menyebabkan tak berfungsinya refleks vasokonstriksi dan

peningkatan frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan

kegagalan pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri

Menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot ekstremitas

inferior.

2.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Penurunan tekanan darah yang drastis saat perubahan posisi dapat

terjadi oleh banyak penyebab, baik akut maupun kronis ataupun yang

bersifat neurogenik ataupun non-neurogenik.(artikel). Penyakit diabetes

mellitus dan penggunaan obat yang berkepanjangan merupakan penyebab

yang paling sering ditemukan.3

a. Akut atau reversibel

1) Dehidrasi dan Hiponatremi

Dehidrasi dapat terjadi dikarenakan proses penuaan yang

menyebabkan penurunan kemampuan homeostatik, penurunan

respon rasa haus terhadap kondisi hipovolemik, serta penurunan

laju filtrasi glumerulus dan kemampuan fungsi konsentrasi ginjal.3

3

Page 4: Hipotensi Ortostatik

2) Obat-obatan

Terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume

atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan kelompok yang

rentan dengan efek hipotensif obat-obatan akibat penurunan

sensitivitas baroreseptor, berkurangnya aliran darah selebral, renal

sodium wasting dan gangguan mekanisme haus akibat proses

penuaan. Jenis obat-obatan yang menyebabkan hipotensi ortostatik

pada usia lanjut antara lain : 4

Diuretika

Penghambat adrenergik alfa misalnya: terazosin

Penghambat saraf adrenergik misalnya: guanetidin

Penghambat ACE

Antidepresan: MAO Inhibitor

Alkohol

Penghambat ganglion misalnya: heksametonium, mekamilamin

Tranquilizer misalnya: fenotiazin, barbiturate

Vasodilator: prazosin, hidralazin, penghambat saluran kalsium

Obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya: metildopa,

clonidin.4

b. Kronik atau irreversibel

1) Gagal jantung

2) Diabetes mellitus

3) Insufisiensi adrenal

4) Parkinson

5) Kegagalan otonom murni

6) Atrofi beberapa sistem

c. Neurogenik

1) Insufisiensi otonom primer : kegagalan otonom murni dan atrofi

beberapa sistem.

2) Insufisiensi otonom sekunder : kegagalan otonom sekunder karena

stroke, diabetes melitus, polineuropati alkohol, parkinson idiopatik,

neuropati amiloid dan anemia pernisiosa.3

4

Page 5: Hipotensi Ortostatik

d. Non-neurogenik

1) Kardiovaskuler : infark miokard, stenosis aorta, perikarditis

konstriktif, gagal jantung lanjutan, hypertrophic obstructive

cardiomyopathy (HOCM), aritmia (takikardi dan bradikardi),

varises vena besar.

2) Endokrin dan Ginjal : insufisiensi adrenal, diabetes insipidus,

hipoaldosteron, kerusakan konsentrat ginjal.

3) Venous pooling : alkohol, pelebaran pembuluh darah splanknikus

postprandial, lingkungan yang panas, demam, berdiri lama.

4) Penurunan volume intravaskular : dehidrasi, perdarahan, luka

bakar, nefropati kehilangan garam, insufisiensi adrenal, diabetes

insipidus.3

2.4. Patofisiologi

Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari berbaring ke berdiri

maka tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh

gravitasi. Respon tekanan darah normal yang terjadi ketika seseorang

bergerak dari berbaring ke posisi berdiri adalah sedikit penurunan tekanan

darah sostolik (<10 mmHg) dan sedikit peningkatan tekanan darah

diastolik (sekitar 2,5 mmHg) serta stabilisasi ortostatik biasanya dicapai

dalam 1 menit berdiri.3,5

Ketika seseorang berdiri dari posisi berbaring, sekitar 500 sampai

700 ml darah terkumpul di ekstrimitas bawah dan di sirkulasi splanknikus

serta sirkulasi paru. Akibatnya pengisian atrium kanan jantung akan

berkurang, dengan sendirinya curah jantung juga berkurang. Penurunan

curah jantung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh bagian

bawah akan cenderung mengurangi darah ke otak. Pada orang normal,

tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 6075 mmHg. Pada saat berdiri,

tekanan arteri kepala akan turun mencapai 2030 mmHg. Penurunan

tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan parsial CO2 (pCO2) dan

penurunan tekanan parsial O2 (pO2) serta pH jaringan otak. Secara

reflektoris, hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat di dalam

5

Page 6: Hipotensi Ortostatik

dinding dan hampir setiap arteri besar di daerah dada dan leher, namun

dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding arteri karous interna,

sedikit di atas bifurcatio carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus

karotikus dan dinding arkus aorta. 3,4

Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan

pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan

abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut

jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa

katekolamin, pengaktifan sistem Renin Angiotensin Aldosteron, pelepasan

ADH dan neuro-hipofisis.

Perubahan patologis yang terjadi pada usia lanjut mengakibatkan

terjadinya kegagalan fungsi refleks otonom. Kegagalan fungsi refleks

otonom inilah yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi ortostatik,

selain oleh faktor penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan

kontraksi volume intravaskular baik yang relatif maupun absolut.

Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia lanjut berkaitan

dengan a) penurunan sensitivitas baroreseptor yang diakibatkan oleh

proses atherosklerosis sekitar sinus karotikus dan arkus aorta. Hal ini akan

menyebabkan tak berfungsinya refleks vasokonstriksi dan peningkatan

frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan kegagalan pemeliharaan

tekanan arteri sistemik saat berdiri, dan b) menurunnya daya elastisitas

serta kekuatan otot ekstremitas inferior.4

Secara ringkas terangkum dalam gambar 1.

6

Page 7: Hipotensi Ortostatik

Gambar 1. Patofisiologi Hipotensi Ortostatik

7

Page 8: Hipotensi Ortostatik

2.5. Diagnosis

Penilaian awal sebaiknya menyelidiki penyebab hipotensi

ortostatik yang reversibel atau dapat diobati terutama efek pengobatan,

penurunan volume intravaskuler, dan dehidrasi.

a. Anamnesis

Gejala klinis yang terjadi cukup bervariasi (Tabel 1). Pasien

mungkin mengeluh kelelahan, pingsan dan pandangan kabur ketika

ada penurunan ringan aliran darah otak. Sinkop, transient ischemic

attacks (TIA), atau kejang umum mungkin terjadi pada hipoperfusi

otak yang lebih parah. Hipoperfusi otot dapat menyebabkan sakit

leher, nyeri punggung bawah, dan klaudikasio betis. Hipoperfusi

jantung menyebabkan angina pektoris. 3,4

Pada anamnesis juga harus fokus pada riwayat penggunaan

obat-obatan, alkohol, dan kelainan sistem otonom, neurologis,

kardiovaskuler serta endokrin. Acapkali keluhan yang disodorkan

penderita lebih merupakan keluhan neuropati autonom (Tabel 2). Pada

kelainan otonom, dokter harus mencari adanya gejala penurunan

keringat, gejala yang berkaitan dengan gastroparesis, inkontinensia,

dan impotensi. 4

Pada pasien yang lebih tua dengan kegagalan otonom, gejala

hipertensi ortostatik sering timbul setelah nokturia berlebihan atau

setelah makan, dan dapat memperburuk selama latihan. Keluhan yang

muncul kadang tidak berhubungan erat dengan kualitas penyakit. Ada

kecenderungan peningkatan kualitas gejala saat pagi hari ketika

bangun tidur, makin reda bila hari telah siang atau penderita kembali

berbaring. Namun, kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala. 3,4

Pada orang lanjut usia dengan riwayat hipertensi dan tekanan

darah sistolik sebelumnya 160 mmHg, keluhan hipotensi ortostatik

akan muncul meski penurunan tekanan darah sistolik masih dalam

batas yang normal.4

8

Page 9: Hipotensi Ortostatik

Tabel 1. Gejala klinis hipotensi ortostatik

Tabel 2. Gambaran klinis neuropati otonom

b. Pemeriksaan Fisik

Teknik standar untuk mengukur tekanan darah ortostatik dan

denyut nadi adalah sebagai berikut :

1) Mengukur tekanan darah dan denyut nadi setelah 5 menit

berbaring.

2) Pasien berdiri selama 3 menit.

3) Mengukur kembali tekanan darah dan denyut nadi.

4) Bandingkan hasil pemeriksaan saat berbaring dan berdiri.3, 6

Penurunan tekanan darah sistolik ≥20 mmHg atau penurunan

tekanan darah diastolik ≥10 mmHg dengan atau tanpa peningkatan

denyut nadi dianggap sebagai respon abnormal. Respon denyut jantung

terhadap perubahan postural dapat memberikan informasi penting

tentang penyebab hipotensi ortostatik. Adanya perubahan minimal

9

Page 10: Hipotensi Ortostatik

pada denyut jantung (<10x/menit) dari posisi berbaring ke posisi

berdiri pada hipotensi ortostatik, menunjukan penurunan refleks

baroreseptor, sedangkan takikardia (peningkatan denyut jantung

>20x/menit) mengindikasikan deplesi/penurunan volume

intravaskular. 3

Adanya kecurigaan gangguan fungsi autonom memerlukan

pemeriksaan neurologis (Tabel 3).4

Tabel 3. Tes Fungsi Autonom

Prosedur Respon Normal

Manuver Valsalva

Perubahan posisi

(berbaring ke tegak)

Inhalasi Amyl Nitrit

Hiperventilasi Hipotensi

Tes pacu dingin

Tes keringat

Noradrenalin plasma

Tes Atropin Sulfat

Peningkatan tekanan darah

Takhikardia

Takhikardia

Kenaikan tekanan darah sistolik

Keringat merata

Normal saat istirahat, meningkat saat

posisi tubuh berdiri

Peningkatan frekuensi denyut jantung

c. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap : tanda-tanda perdarahan, anemia atau

infeksi.

2) Pemeriksaan kimia darah : kelainan metabolik, dislipidemia, fungsi

hati dan fungsi ginjal.

3) Pemeriksaan elektrolit dilakukan jika ada riwayat kehilangan

cairan melalui muntah atau diare dan dari pemeriksaan fisik

ditemukan tanda-tanda dehidrasi. 7

d. Electrocardiografi (EKG)

e. Echocardiografi atau ultrasound dari jantung - mengevaluasi katup-

katup jantung dan menilai fungsi dari otot jantung. Stress test dapat

dilakukan jika ada penyakit arteri koroner.

10

Page 11: Hipotensi Ortostatik

f. Heads-up tilt table test dapat dilakukan jika gejala-gejala hipotensi

ortostatik terus menerus berulang namun sulit untuk

mendokumentasikan kelainan-kelainan dalam pembacaan tekanan

darah.

Sewaktu tes, pasien diikat diatas meja yang rata, kemudian

meja secara berangsur-angsur dimiringkan ke sudut 70 atau 80 derajat,

pembacaan tekanan darah dan denyut jantung terus menerus diambil.

Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit untuk mencari

perubahan-perubahan tertunda yang terlihat pada postural orthostatic

tachycardia syndrome.8

Gambar 2. Heads- up tilt table test

2.6.

Penatalaksanaan

11

Page 12: Hipotensi Ortostatik

Prinsip penatalaksanaan hipotensi ortostatik dapat dibagi menjadi

dua yaitu; manajemen nonfarmakologi dan manajemen farmakologi.

Pendekatan dalam penatalaksanaan dapat dilihat pada gambar 3.3

12

Page 13: Hipotensi Ortostatik

Gambar 3. Pendekatan penatalaksanaan hipotensi ortostatik

13

Page 14: Hipotensi Ortostatik

a. Non-farmakologis

Pemberian obat-obatan yang dapat menyebabkan hipotensi

ortostatik hendaknya dikurangi atau dihentikan sama sekali.

Menghindari mengangkat beban yang berat dan aktivitas fisik yang

dilakukan secara teratur seperti berjalan cukup mampu mengurangi

timbulnya gejala. Tidur dengan posisi kepala terangkat ± 30 cm dan

alas tidur dapat memperbaiki hipotensi ortostatik melalui mekanisme

berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya akan merangsang

pelepasan renin dan meningkatkan volume darah. Saat bangun dari

tempat tidur jangan mendadak tapi lakukan secara perlahan-lahan.

Pada penderita yang tidak memiliki penyakit jantung,

penambahan garam dalam menu sangat berguna, jumlah yang

diberikan terbatas 200 mmol perhari. Pada penderita hipotensi

ortostatik setelah makan. dianjurkan mempersering frekuensi makan

makanan ringan, selain itu perlu pula pembatasan aktivitas fisik segera

setelah makan. Aktivitias lebih baik dilakukan sebelum makan dari

pada setelah makan dan lebih baik sore hari lebih baik dari pada pagi

hari.

Adanya pengumpulan volume darah secara berlebihan pada

ekstremitas inferior dapat dikurangi dengan pemakaian stocking

elastis, yang digunakan dari metatarsal hingga lipat paha untuk

meningkatkan venous return, hanya saja amat merepotkan, apalagi di

daerah tropis. Pada keadaan berat, pakaian antigravitasi dapat

digunakan. (medicine)

b. Farmakologis

Obat turut memegang peranan cukup penting untuk mengatasi

hipotensi ortostatik dan hendaknya diberikan setelah pengelolaan

umum tidak membuahkan hasil. Pada kasus-kasus neurologis,

pemberian obat hanya bersifat simptomatis. Jenis obat yang diberikan

adalah:

14

Page 15: Hipotensi Ortostatik

1) Fludrokortison

Merupakan preparat pilihan dalam penanganan hipotensi

ortostatik. Efek yang ditimbulkan berupa peningkatan sensitivitas

vaskular terhadap noradrenalin endogen, pertambahan volume

cairan ekstraselular akibat retensi garam, peningkatan osmolaritas

dan tahanan vaskular akibat perubahan konsentrasi elektrolit pada

dinding pembuluh darah.

Dosis yang umum diberikan adalah 0,1 mg per oral, dosis

maksimal tidak lebih dari 0,4 mg per hari.9

Efek samping yang dapat terjadi adalah hipokalemia (50%

dalam 2 minggu), hipomagnesemia, gagal jantung kongestif,

oedem perifer.9

2) Midodrine

Mekanisme kerja obat ini yatiu alpha-1-adrenoreceptor

agonist. Efek yang ditimbulkan berupa resistensi vaskular perifer.

Dosis yang umum diberikan adalaj 2,5 mg saat makan pagi

dan siang, kemudian ditingkatkan 2,5 mg perhari jika terdapat

respon terapi yang bagus. Dosis maksimal adalah 30 mg per hari.

Efek samping yang dapat terjadi adalah hipertensi, piloereksi,

paresthesia pada kulit kepala, dan pruritus.9

3) Eritropoietin

Meningkatkan volume sel darah merah dan hemoglobin serta

tekanan darah 10 mmHg. Hindari penggunaan yang sering.9

4) Preparat Vasokonstriktor

Preparat simpatomimetik seperti efedrin, amfetamin,

hidroksiamfetamin, fenilefrin, tiramin, etilefrin dan inetilphenidate

dilaporkan cukup memadai untuk mengatasi hipotensi ortostatik

yang diakibatkan gangguan fungsi otonom. Kombinasi dengan

preparat Monoamine Oksidase Inhibitor seperti tranul sipromin

atau phenelzine sangat berhasil pada beberapa kasus, tetapi disertai

risiko terjadinya hipertensi.4

15

Page 16: Hipotensi Ortostatik

5) Preparat lain

Preparat inhibitor sintesis prostaglandin seperti indomethasin

dan flurbiprofen memberikan hasil memadai. Dilaporkan

indomethasin meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer pada

penderita neuropati autonom, diduga akibat peningkatan

sensitivitas reseptor pembuluh darah terhadap noradrenalin. Kedua

preparat tersebut juga meningkatkan tonus otot halus pada kasus

neuropati autonom dengan menghambat sintesis prostaglandin

lokal.

Dihidroergotamin yang merupakan turunan ergot dilaporkan

cukup memadai untuk kasus yang disebabkan oleh kegagalan

fungsi autonom. Efek pemberian preparat ini adalah konstriksi

selektif dinding vena. Efektivitasnya rendah bila diberikan per oral

sehingga penggunaannya terbatas.

Preparat beta blocker seperti pindolol dilaporkan

memberikan efek positif pula dalam penanganan penderita

neuropati autonom kronis yang disertai hipotensi ortostatik.4

2.7. Prognosis

Penderita diabetes dengan tekanan darah tinggi serta mengalami

hipotensi ortostatik, memiliki prognosis yang buruk. Jika penyebabnya

adalah volume darah yang rendah atau obat tertentu, keadaan ini bisa

diatasi dengan segera.10

16

Page 17: Hipotensi Ortostatik

BAB III

KESIMPULAN

Hipotensi ortostatik merupakan penurunan tekanan darah sistolik ≥20

mmHg atau penurunan tekanan darah diastolik ≥10 mmHg pada posisi

berdiri selama 3 menit.

Pada pasien usia lanjut, kelainan kardiovaskuler, gangguan saraf otonom,

gangguan refleks baroreseptor, hipovolemia dan /atau hiponatremia serta

obat-obatan yang bersifat hipotensif dapat menyebabkan terjadinya

hipotensi ortostatik.

Gejala klinis hipotensi ortostatik yang timbul antara lain; kepala terasa

ringan, pusing, gangguan pengelihatan, lemah, berdebar, dan sinkop.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan tekanan darah dalam

posisi berbaring dan berdiri.

Prinsip penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu manajemen

nonfarmakologi dan manajemen farmakologi.

Penderita diabetes dengan tekanan darah tinggi serta mengalami hipotensi

ortostatik, memiliki prognosis yang buruk.

17

Page 18: Hipotensi Ortostatik

DAFTAR PUSTAKA

1. Consensus statement on the definition of orthostatic hypotension, pure

autonomic failure, and multiple system atrophy. The Consensus

Committee of the American Autonomic Society and the American

Academy of Neurology. Neurology 1996; 46(5):1470.

2. Setiati, S, et al. 2006. Proses Menua dan Implikasi Klinisnya. Dalam :

Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Sclater, A., Alagiakrishnan, K. 2004. Orthostatic hypotension: A primary

care primer for assessment and treatment. Geriatrics. Volume 59, No. 8.

4. Hartono, M. 1997. Hipotensi Ortostatik. Cermin Dunia Kedokteran

No.120.

5. Deegan, B.M.T, et al. 2007. Orthostatic hypotension: a new classification

system. The European Society of Cardiology.

6. Weiss1, A. et al. 2004. Orthostatic hypotension in the elderly: are the

diagnostic criteria adequate?. Journal of Human Hypertension.18, 301–

305.

7. Robertson, D. and Thomas L. Davis. “Recent advances in the treatment of

orthostatic hypotension.” Neurology 45(suppl5): S26-31.

http://medicine.ucsf.edu/education/resed/Chiefs_cover_sheets/orthostatic.p

df

8. Jones, J.F., et al. 2005. Orthostatic instability in a population-based study

of chronic fatigue syndrome. The American Journal of Medicine. 118.

9. Anonim. Hipotensi http://www.medicinenet.com/orthostatic_hypotension

10. Rose, K.M., et al. 2006. Orthostatic Hypotension Predicts Mortality in

Middle-Aged Adults The Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC)

Study. Journal of The American Keart Association. 114;630-636.

18