hipotensi intradialisa

21
1 HIPOTENSI INTRADIALISIS Ananda Wibawanta Ginting Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan I. PENDAHULUAN Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat. 2,3,4 Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari capacitance vessels seperti venula dan vena. 12,13 Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3 Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi, patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis. Reading Assignment Div. Nefrologi Hipertensi Presentator: dr. Ananda W. Ginting Acc Supervisor Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH

description

free

Transcript of hipotensi intradialisa

Page 1: hipotensi intradialisa

1    

   

HIPOTENSI INTRADIALISIS

Ananda Wibawanta Ginting

Divisi Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam

FK USU/RSUP H. Adam Malik/RSU. Dr Pirngadi Medan

I. PENDAHULUAN

Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari

hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan

masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki

pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering

membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat

menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami

keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialisis sering tidak adekuat.2,3,4

Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan

sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran dalam stabilitas

hemodinamik selama hemodialisis: pertama, refilling volume darah dari interstisial ke dalam

kompartemen vaskular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, konstriksi dari

resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol, dan ketiga, mempertahankan output

jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan konstriksi dari

capacitance vessels seperti venula dan vena.12,13

Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur

dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa

penggunaan pressor agents seperti midodrine. 1,2,3

Berikut ini akan dibahas mengenai hipotensi intradialisis, mengenai definisi,

patogenesis, pencegahan, dan penatalaksanaan pasien dengan hipotensi intradialisis.

Reading Assignment

Div. Nefrologi Hipertensi

Presentator: dr. Ananda W. Ginting

Acc Supervisor

Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD KGH

Page 2: hipotensi intradialisa

II. DEFINISI

Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak memiliki

standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun kebanyakan

mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai munculnya gejala spesifik.

Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based

yang merekomendasikan pengertian IDH. Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari

asimptomatik sampai dengan syok. The EBPG working group menekankan bahwa

menurunnya tekanan darah, disertai dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan

intervensi medis harus dipikirkan kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literatur

mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau

tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul

dengan beberapa gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai

penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20

mmHg diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang

sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik, yaitu

hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap dalam kisaran

90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi intradialisis

(Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau

penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejala-

gejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap

(yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan

kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung,

dan sebagai faktor predisposisi untuk penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al.,

2009) dan/atau kejadian iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan

terhalangnya dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode

hipotensi menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4

Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau

neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH jangka

panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal dan pemberian

bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang berhubungan dengan

morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.2

Page 3: hipotensi intradialisa

III. Insidensi dari IDH

Pada 10 tahun terakhir, meskipun teknologi dari dialisis mengalami peningkatan,

frekuensi dari IDH masih tetap tidak berubah, yaitu sekitar 20-25% dari semua sesi

hemodialisis. Pada beberapa literatur insidensinya mencapai 30% dari terapi dialisis

konvensional, dan 35% dari tekhnik ekstrakorporeal. Di USA, insidensi IDH pada akhir

tahun 2000 bervariasi dari 15%-50% dan sekitar 23% pada unit hemodialisis RS. Dr.

Soetomo, Surabaya, dimana 80% merupakan pasien diabetes mellitus. Daugirdas dkk,

mengemukakan bahwa IDH merupakan komplikasi yang paling sering dijumpai pada pasien

Hemodialisis, dan kejadiannya mencapai 20 sampai 33%. Pada beberapa studi cohort

insidensi IDH bervariasi dari 10%-13%. Sebagai tambahan, insidensi dari IDH akan terus

menerus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah pasien dengan usia tua yang

mengalami CKD, pasien dengan keadaan penyakit yang semakin berat, dan juga dikarenakan

peningkatan jumlah pasien diabetes dengan CKD yang progresif. Pada keadaan ini insidensi

IDH bisa smencapai 50%. 1,2,6

IV. Faktor Resiko IDH

Beberapa subgrup pasien yang mempunyai kecenderungan terjadinya IDH antara lain

pasien dengan diabetes CKD, penyakit kardiovaskular, status nutrisi yang jelek, dan

hipoalbuminemia, uremic neuropathy atau disfungsi autonomik, anemia yang berat, usia ≥ 65

tahun, dan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg. Namun demikian belum ada

penelitian epidemiologis dalam jumlah skala besar untuk mendefinisikan faktor-faktor resiko

yang berhubungan dengan kejadian IDH, walaupun IDH muncul lebih sering pada pasien

dengan diabetes dan hipotensi predialisis. Walaupun pasien dialisis memiliki tensi yang

normal (normotensi) atau hipertensi, dapat mengalami IDH. Derajat beratnya IDH pada satu

pasien mungkin bisa bervariasi dari waktu ke waktu. Insidensi IDH sangat bervariasi selama

periode 24 bulan. Selain itu, ada variasi tekanan darah pada pasien hemodialisis.1

Studi penelitian multi-centre cohort yang besar, telah dilaporkan oleh Tisler et al. Dari

penelitian kohort 958 pasien, bersumber dari 11 pusat hemodialisis, dijumpai 226 pasien

dengan IDH. Usia, jenis kelamin wanita, diabetes melitus, hiperfosfatemia, penyakit arteri

koroner, dan penyakit ginjal selain glomerulonefritis, dan penggunaan obat-obat golongan

nitrat, menyebabkan angka kejadian IDH lebih tinggi. Analisis multivariat, menyimpulkan

bahwa usia, hiperfosfatemia dan penggunaan obat-obatan nitrat merupakan faktor resiko

independen untuk terjadinya IDH. Pada studi lain, episode hipotensi muncul pada 44% pasien

dialisis dengan usia ≥ 65 tahun dan 32% pada pasien dengan usia yang lebih muda.

Page 4: hipotensi intradialisa

Nakamoto H dkk mengemukakan bahwa kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko

untuk IDH.1

Abnormalitas dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Pada studi

observasional 15 pasien dialisis, penurunan tekanan darah lebih tinggi pada pasien dengan

disfungsi sistolik, dibandingkan dengan pasien dengan fungsi sistolik yang normal. Dan juga,

disfungsi diastolik bisa meningkatkan resiko IDH. Pada suatu studi observational, pasien

dengan IDH mempunyai hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dengan tekanan darah pre-

dialisis yang lebih rendah, dan terganggunya pengisian diastolik ventrikel kiri. Walaupun

anemia dipertimbangkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya IDH, belum ada studi yang

membahas hubungan anemia terhadap terjadinya IDH.1,7

Neuropati saraf autonom juga ditemukan sebagai salah satu faktor resiko untuk IDH

pada sebagian banyak penelitian, namun tidak pada semua penelitian.1

Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus dievaluasi

dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:1,2

• Pasien dengan diabetes CKD stadium 5

• Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan atau

tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan penyakit

perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)

• Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia

• Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan penyebab

lain

• Pasien dengan anemia yang berat

• Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada pasien

dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain

• Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua

• Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg

Page 5: hipotensi intradialisa

V. Patofisiologi IDH

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial.

Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama

hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large interdialytic

weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang

berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap instabilitas

hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat

yang tinggi, konsentrasi sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari

membran dan lain-lain. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini

adalah berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,

penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan perpindahan

sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma refilling. Dari segi pandangan

fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan ketidakmampuan dari sistem

kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah secara adequat. Respon adequat

dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi sitem saraf simpatetik, termasuk

takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang merupakan respon dari cardiac

underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini dapat terganggu pada beberapa

pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai faktor resiko terjadinya IDH.

Bagaimanapun, hal-hal seperti ini sulit untuk diukur dan untuk dimodifikasi. Suatu studi

komprehensif mengenai regulasi volume darah selama HD, dapat menolong kita untuk

mengerti tentang kemungkinan IDH pada individu pasien.1,2,3,4

Regulasi Volume Darah

Konsep Plasma Refilling

Volume darah tergantung dari dua faktor utama; kapasitas plasma refilling dan laju

ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari kompartemen intravaskular.

Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari berat badan, didistribusikan di intraseluler

Page 6: hipotensi intradialisa

(40% BW) dan sebagian lagi di kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat

dibagi lagi menjadi interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya

sekitar 5-8% dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah

cairan substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus melakukan

refilling secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam lingkaran fisiologis, penurunan

volume darah akan menginisiasi peningkatan resistensi vaskular perifer, dikarenakan

vasokonstriksi, dan mempertahankan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate

dan kontraktilitas miokard dan konstriksi dari capacitance vessels. Orang sehat dapat

mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah sampai 20% sebelum munculnya hipotensi.

Namun, pada pasien dengan HD, hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume

darah dalam jumlah yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan

heart rate dan kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah

dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan disfungsi

sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan tekanan darah lebih

besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan denga fungsi sistolik normal.

Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan diastolic filling yang terganggu juga dijumpai

pada pasien IDH.1,2

Plasma refill sebagian besar diperankan oleh tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik.

Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan tekanan hidrostatik menurun

sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif. Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan

bergerak ke dalam vaskular sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi

HD berakhir (Santoro et al., 1996). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma

refilling adalah: status hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi

plasma protein, konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous compliance.

Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan diantara laju ultrafiltrasi

dan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur oleh refleks kompensasi

kardiovaskular.1,2

Cardiac underfilling terutama ventricular underfilling merupakan salah satu

mekanisme akibat terganggunya mekanisme kompensasi kardiovaskular yang dapat memicu

sympatico-inhibitory cardiodepressor Bezold-Jarish reflex. Refleks ini berupa suatu keadaan

bradikardia akibat gangguan respon simpatik yang terganggu. Beberapa penelitian telah

menunujukkan bahwa gangguan fungsi simpatik, dapat ditunjukkan dengan beberapa

manifestasi, seperti berkurangnya frekuensi heart rate. Berkurangnya resistensi dan

kapasitansi pembuluh darah selama penurunan volume darah dapat memicu IDH.

Page 7: hipotensi intradialisa

Berkurangnya konstriksi dari arteriolar dapat mengganggu respon fisiologis terhadap keadaan

hipovolemia. Berkurangnya konstriksi aktif dan pasif dari venula dan vena, yang

menyebabkan berkurangnya venous return selama hipovolemia.1,2,7,15

Telah lama diketahui sebelumnya bahwa iskemia miokardium dapat disebabkan oleh

HD. Sesi HD yang singkat saja dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hemodinamik,

dan 20-30% kejadian ini menyebabkan IDH. Pasien HD lebih rentan terhadap kejadian

iskemia miokardium. Dengan bertambah tingginya kejadian ateroma arteri koroner, pasien

diabetes dengan HD, mengalami suatu keadaan yaitu berkurangnya aliran koroner walaupun

tidak dijumpai lesi di pembuluh darah koroner. Pasien HD juga cenderung mengalami LVH,

berkurangnya compliance arteri perifer, gangguan mikrosirkulasi, dan inefektif

mikrosirkulasi, dan inefektif vasoregulasi. Seluruh faktor ini akan mempredisposisi terjadinya

iskemia jantung. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi sistemik seperti neuropati

autonom, dan perifer, makroangiopati, dan progresifitas dari aterosklerosis dan dapat

memperberat atau bahkan meningkatkan kejadian IDH. Salah satu juga yang harus

diperhitungkan bahwa uremia sendiri dapat menyebabkan disfungsi autonom.1,2,7,15

Zat-zat Vasoaktif

Beberapa penulis mengindikasikan mengenai mengenai pengaruh dari beberapa

substansi vasoaktif yang disintesis atau dilepaskan selama sesi dialisis berlangsung. Seperti

yang telah diketahui sebelumnya, disfungsi endotel mempunyai peran penting dalam

instabilitas hemodinamik selama dialisis berlangsung. Sebagai respon mekanis dan kimia, sel

endotel akan merespon dengan memproduksi substansi biologis aktif, yaitu: endothelial

derived relaxing factor, NO, endothelin-1. Sebagai contoh, zat-zat cardiodepressive dan

vasodilative adenosine atau nitric oxide (NO) yang mengalami produksi berlebihan oleh

inducible synthase. Adenosin, suatu nukleosida purin endogen, dilepaskan oleh sel endotel

dan miosit vaskular selama terjadinya iskemia jaringan. Konsentrasi adenosin yang tinggi dan

metabolitnya telah banyak dijumpai pada pasien hemodialisis. Substansi ini bekerja dengan

menstimulasi reseptor spesifik dan efek yang ditimbulkannya adalah supresi dari

kontraktilitas jantung, dan berkurangnya heart rate, relaksasi arteri, dan juga menurunnya

pelepasan katekolamin dan renin. Akumulasi dari adenosin mungkin terjadi karena dipicu

oleh IDH yang mencetuskan iskemia, dan hal ini sepertinya tidak merupakan pemeran utama

dari patogenesis terjadinya hipotensi intradialisis. NO, merupakan zat kimia yang labil,

disintesa dari asam amino L-arginine (L-arg) oleh enzim NOS (Nitric Oxide synthase), studi

invitro mengemukakan bahwa aktivitas dari NO synthase meningkat ketika darah terekspos

oleh material membran hemodialisis. Pada pasien dengan hemodialisis, aktivasi dari sitokin

Page 8: hipotensi intradialisa

selama hemodialisis meningkatkan kadar NO, dan uremic milieu telah dilaporkan

meningkatkan sintesis dari NO dengan meningkatkan aktivitas dari NO synthase (NOS).

Sebenarnya ada zat yang menghambat sintesa dari NO, zat ini disebut Asymmetric

dimethyarginine (ADMA). Inhibitor ini bersifat dialyzable. Sehingga, gangguan

keseimbangan kadar NO dan ADMA selama proses HD, dapat mencetuskan instabilitas

hemodinamik. Endothelin-1 (ET-1) dapat memodulasi respon vaskular, dan menentukan

respon hemodinamik terhadap perubahan volume intravaskular selama hemodialisis

terjadi.1,2,14

Komposisi Cairan Dialisat

Dialisat Sodium

Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam refill volume

darah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah dari interstisial ke dalam

kompartemen intravaskular akan rendah bila status hidrasi dari interstisial juga rendah.

Semakin tinggi konsentrasi sodium pada cairan dialisat, maka cairan akan bergerak dari

kompartemen intraselular, sedangkan konsentrasi sodium yang rendah, disequilibrium antara

kompartemen intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengan

kadar sodium yang rendah, pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial akan

terganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak dari interstisial kedalam

kompartemen intraselular, sementara dengan kadar sodium dalam dialisat, cairan akan

bergerak dari intraselular ke dalam kompartemen interstisial, yang pada gilirannya akan

Page 9: hipotensi intradialisa

mempengaruhi pengembalian volume darah dari interstisial kedalam kompartemen

intravaskular.1,2,3,4,8,18

Beberapa studi, menemukan adanya penurunan insidensi IDH atau insidensi

penurunan tekanan darah pada pasien yang diterapi dengan konsentrasi sodium dialisat

konvensional (138-140 mmol/L) dibandingkan dengan konsentrasi sodium dialisat yang

rendah (≤135 mmol/L). Namun tidak semua studi berpendapat sama seperti yang diatas.2,3,4

Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan dapat mencegah

terjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi dapat digunakan dalam

pencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima, karena beberapa studi

menyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang tinggi berhubungan dengan kontrol

tekanan darah yang buruk selama sesi dialisis (intradialytic), terutama pada pasien hipertensi

atau peningkatan IDWG. Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang lebih

tinggi(> 140 mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan telah

terbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik untuk hipotensi

episodik.2,3,4,5,8,10

Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama hemodialisa dengan

tujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu agresif selama ultrafiltrasi. Hal ini

dapat dilakukan dengan cara memodifikasi konsentrasi sodium selama proses hemodialisis.

Pada umumnya, konsentrasi tinggi sodium dialisat digunakan pada awal sesi HD, sehingga

akan menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah penurunan osmolalitas plasma

yang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa dialisis dengan kadar sodium tinggi,

berhubungan dengan peningkatan rasa haus, IDWG, dan peningkatan level tekanan darah

predialisis.2,3,5,18

Page 10: hipotensi intradialisa

Buffer Dialisat

Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat, mempunyai efek

vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi cross over yang kecil. Penurunan

tekanan darah yang lebih besar atau insidensi IDH yang lebih tinggi dijumpai pada

penggunaan asetat dibandingkan dengan bikarbonat. Suatu studi mengemukakan bahwa

toleransi ultrafiltrasi lebih baik dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat dibandingkan

dengan penggunaan asetat. Ada dua studi yang mencoba efek dari perubahan buffer asetat

menjadi bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut, merupakan non-randomized

cross-over trial, menyimpulkan terjadinya penurunan insidensi IDH sebesar 50%. Dan juga

selama proses hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas hemodinamik pada penggunaan

bikarbonat versus asetat sebagai buffer dialisat.1,2,3,6

Lebih jauh, diperkirakan bahwa, konsentrasi bikarbonat pada dialisat mempengaruhi

stabilitas hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial, insidensi IDH secara

signifikan lebih rendah dengan menggunakan dialisat bikarbonat. Bagaimanapun, pada

percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi kalsium pada dialisat yang rendah (1.25

mmol/l). Pada beberapa penelitian randomized cross-over, tidak ada perbedaan instabilitas

hemodinamik atau penurunan tekanan darah yang ditemukan selama penggunaan dialisat

bikarbonat dengan konsentrasi 26 atau 32 mmol/L, walaupun dengan konsentrasi kalsium

pada cairan dialisat rendah (1.25 mmol/L). Pada percobaan ini, insidensi IDH lebih rendah

ketika pasien diberikan konsentrasi bikarbonat dialisat. 32 mmol/L dan konsentrasi kalsium

dialisat 1.50 mmol/L.1,2,3,6

Konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah kemungkinan akan menyebabkan

insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping pada metabolisme tulang dan

status nutrisi pasien.2

Sebagai kesimpulan, penurunan tekanan darah dan insidensi IDH lebih tinggi pada

penggunaan asetat sebagai buffer dialisat. Konsentrasi bikarbonat standar tidak menyebabkan

instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan konsentrasi bikarbonat dialisat yang

rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.2

Page 11: hipotensi intradialisa

Dialisat kalsium

Perubahan kalsium terionisasi memainkan peranan penting dalam kontraktilitas

miokardium selama hemodialisis berlangsung. Beberapa studi menunjukkan penurunan

kontraktilitas miokardium diantara pasien yang mendapat konsentrasi kalium rendah (1.25

mmol/L) dibandingkan dengan pasien yang mendapat konsentrasi kalium yang tinggi (1.75

mmol/L). Perubahan tekanan arterial rata-rata selama hemodialisis berbanding terbalik

dengan kadar kalsium terionisasi, sedangkan pada dua studi, yang mana salah satunya

dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung disimpulkan bahwa penurunan tekanan

darah lebih sedikit pada pasien dengan konsentrasi kalsium dialisat 1.75 mmol/L

dibandingkan dengan 1.25 mmol/L. Pada studi lain, tidak ada perbedaan respon tekanan

darah dijumpai diantara konsentrasi kalsium rendah ataupun tinggi. Dengan kata lain, dialisat

tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif selama dialisis, sementara

keseimbangan kalsium cenderung negatif dengan kadar dialisat rendah kalsium. Dialisat

tinggi kalsium mungkin memiliki efek jangka pendek yang merugikan berupa kekakuan

arteri, dan relaksasi jantung, walaupun penelitan lain tidak menemukan efek peningkatan

kadar kalsium terionisasi dengan penggunaan dialisis tinggi kalsium pada fungsi diastolik

jantung. Hubungan antara konsentrasi kalsium dialisat dan kalsifikasi vaskular belum

sepenuhnya dipelajari.2

Suatu studi randomized cross-over menemukan insidensi IDH yang lebih rendah dan

penurunan tekanan darah yang lebih rendah dengan penggunaan konsentrasi kalsium 1.50

mmol/L dibandingkan dengan dialisis rendah kalsium. Pada studi ini, konsentrasi bikarbonat

dialisat adalah 26 mmol/L (dialisis rendah kalsium) dan 32 mmol/L (konsentrasi kalsium 1.50

mmol/L).2

Studi randomized cross-over menilai efek dari kalsium yang diprofil pada stabilitas

hemodinamik pada 18 pasien hemodialisis. Selama periode 9 minggu, terdapat tiga terapi

dengan konsentrasi dialisat kalsium yang berbeda diterapkan, masing-masing 1.25 mmol/L,

dan 1.50 mmol/L dan terapi diprofil dengan konsentrasi kalsium 1.25 mmol/L selama 2 jam

pertama, dan 1.75 mmol selama 2 jam selanjutnya. Dengan terapi seperti itu, kejadian IDH

dapat dikurangi dibandingkan dengan konsentrasi dialisat 1.25 mmol/L dan 1.50 mmol/L.2

Sebagai kesimpulan, hampir kebanyakan studi menunjukkan efek positif dialisat

tinggi kalsium pada stabilitas hemodinamik selama dialisis dibandingkan dengan dialisat

rendah kalsium. Namun, dialisat tinggi kalsium menyebabkan keseimbangan kalsium positif

pada jangka pendek dan jangka panjang, mempunyai potensi efek yang merugikan.1,2

Page 12: hipotensi intradialisa

Dialisat dan Temperatur tubuh

Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti meningkat

walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal. Hal ini dapat

meningkatkan resiko terjadinya IDH. Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang

mengemukakan oleh karena heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder

dari perpindahan cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate

dan berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi perifer

sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh menyebabkan

dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan respon fisiologis dari

hipovolemia. Namun hipotesis ini baru-baru ini ditentang. Agar mencegah peningkatan suhu

inti ini, sejumlah energi panas signifikan, sebesar 30% dari daily resting energy expenditure,

harus dikeluarkan oleh sirkuit ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai

percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat

lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan peningkatan reaktivitas dari

resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah, meningkatkan kontraktilitas miokardium,

mengurangi penurunan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan

temperatur dialisat 37-37.5oC. Dialisis dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan

gemetar (keringat dingin), namun tidak semua studi. Penurunan volume darah signifikan

lebih tinggi dengan menggunakan dialisis temperatur dingin, kemungkinan dikarenakan

berkurangnya refill volume darah dari interstisial dikarenakan vasokonstriksi perifer.

Walaupun pada studi dimana penurunan volume darah lebih besar dengan dialisis temperatur

dingin, stabilitas hemodinamik meningkat jika dibandingkan dengan temperatur dialisis

standar. Oleh karena dialisis temperatur dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar

(keringat dingin), the working group menyarankan untuk menurunkan suhu dialisat secara

bertahap, dari 36.5oC kebawah selama sesi dialisis yang berbeda agar mencapai hasil klinis

yang terbaik pada individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan dikarenakan

pengalaman yang terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu dialisat <

35oC, the working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35oC tidak boleh

digunakan.1,2,3,4,5,10,12,13,16

Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH tanpa

efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti shivering, maka

dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari 36.5oC sampai

didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan tambahan dengan penurunan

suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring temperatur sulit pada pasien dialisis,

Page 13: hipotensi intradialisa

dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti tubuh, dan temperatur dialisat, serta kurangnya

sensitivitas alat untuk memantau gradien suhu dialisat-darah.1,2,3,4

Pencegahan IDH

Berat Badan Kering (Dry body weight)

Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan underhydration

atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya menunjukkan jumlah signifikan

dari pasien tidak stabil yang pada awalnya normohidrasi atau underhidrasi, menjadi

underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada pasien underhydrated, volume interstisial sangat

kurang, dan terganggunya refill dari volume darah, sehingga menyebabkan penurunan

Page 14: hipotensi intradialisa

volume darah yang lebih besar. Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat

menyebabkan hipertensi dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema

paru. Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah pasien

kemungkinan underhydrated atau overhydrated. Beberapa metode non-invasif telah

dikembangkan. Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien overhydrated,

tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya IDH. Diameter vena

cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan dengan volume darah, dan

tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama proses dialisis.

Analisis Multifrequency bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi instabilitas

hemodinamik pada beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan

status cairan. Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan ANP, dapat memprediksi

perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik cGMP dan ANP dilepaskan

sebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP ditemukan dan dianggap

kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration, namun tidak dapat memprediksi

underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan sebagai respon terhadap peregangan

terhadap ventrikel kiri, dapat memprediksi overhidration, tetapi tidak underhydration.

Sebagai kesimpulan, melalui beberapa metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi

perubahan tekanan darah dan parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada

saat ini penggunaan ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan

dalam pengurangan terjadinya IDH. Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator, dan

mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan bioimpedance tidak

menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini mungkin bermanfaat untuk

mendeteksi perubahan status hidrasi.2

Tekanan darah dan frekuensi heart rate

Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama hemodialisis untuk

mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan selama hemodialisis, yaitu

bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH dikarakteristikkan dengan penurunan

tekanan darah bertahap dan peningkatan heart rate. Alternatif, episod IDH dapat muncul tiba-

tiba dan berhubungan dengan respon bradikardia (Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari

aktivasi mekanoreseptor ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe

takikardi, diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,

walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini.2

Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang sering.

Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi diastolik dari

Page 15: hipotensi intradialisa

jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Peningkatan kontraktilitas miokardium

merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume darah, dimana respon ini dapat

terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung. Diastolic filling terganggu pada pasien IDH,

dan disfungsi diastolik biasanya berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa

juga karena iskemia miokardium atau fibrosis.2,15

Intervensi Pola hidup

Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan garam harus

diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam menurunkan IDWG dan

meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua penelitian menilai efek dari batasan

asupan garam terhadap kontrol tekanan darah interdialisis dan insidensi IDH. IDWG

menurun secara signifikan dengan batasan asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8

(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5 (asupan garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH

bulanan menurun dari 22% menjadi 7% setelah membatasi asupan garam. Pada pasien

diabetes, hiperglikemia dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan

meningkatkan IDWG, sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi

IDWG, namun belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis.

Kesimpulan, mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol Na atau 6 gram NaCl) dapat

mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan dalam pencegahan IDH.2

Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan vasodilatasi splachnic, dan

dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan penurunan tekanan darah yang lebih besar

dan insidensi IDH lebih besar setelah asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah

kejadian IDH.2

Durasi Dialisis dan Frekuensi

Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus

dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu dialisis dapat

mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak agresif. Suatu studi

membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan dialisis selama 4 jam dan 5

jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada pasien yang menjalani dialisis selama 5

jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan

memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung.

Pada studi ini, penurunan tekanan darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju

ultrafiltrasi 500 dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH

lebih sedikit 30% pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan

Page 16: hipotensi intradialisa

laju ultrafiltrasi standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10

ml/kg/jam. Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3 x seminggu, insidensi

hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti quotidian

dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan masa ventrikel kiri

juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi

menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali

seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan

kebutuhan infus salin setelah konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x

seminggu. Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long

nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu) sebagai kontrol.

Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short daily dialysis. Namun

studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada perbedaan IDH diantara short daily

dialysis dan dialisis standar 3x seminggu. Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan

bahwa memperpanjang waktu dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan

laju ultrafiltrasi sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu agresif pada pasien

dengan fungsi jantung terganggu.2

Penatalaksanaan IDH

Pendekatan Lini Pertama2

. Konseling asupan makanan (restriksi garam)

. Menghindari asupan makanan selama dialisis

. Pengukuran berat badan kering

. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialisis

. Penggunaan temperatur dialisat 36.5oC

. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi

Pendekatan Lini kedua2

. Evaluasi performa jantung

. Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC

. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis

. Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l

Pendekatan Lini Ketiga2

. Pertimbangan pemberian midodrine

. Pertimbangkan suplementasi L-carnitine

Page 17: hipotensi intradialisa

Posisi Trendelenburg2,3,4

Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan IDH. Namun

efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada penatalaksanaan IDH, dengan

penerapan manuver ini, volume aliran darah berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi.

Namun, hanya sedikit studi yang menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan

volume darah hanya sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam

perubahan tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg. Sebagai

kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah sangat kecil.

Stop Ultrafiltrasi2,3,4

Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi, akan

mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill volume darah

dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan

dalam pengobatan IDH.

Pemberian Cairan2,9

Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan penghentian

ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering

diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid

telah dipelajari dalam pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,

glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut membandingkan efek dari

isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9% dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume

darah selama ultrafiltrasi, peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan

glukosa hipertonik. Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah pemberian

infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan 100 cc salin isotonik. Pada

studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian albumin dibandingkan salin

isotonik untuk penatalaksanaan IDH. Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan

albumin sama-sama efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari

salin isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada penatalaksanaan

IDH.

Intervensi farmakologis1,2,17

Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari midodrine,

desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance dan capacitance vessels.

Midrodrine mencegah IDH dengan mempertahankan volume darah sentral dan cardiac

output, dan peningkatan resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui

hemodialisis, dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. Midodrine

Page 18: hipotensi intradialisa

memiliki efek jantung yang minimal, dan efek susunan saraf pusat, dikarenakan spesifisitas

terhadap reseptor α1, dan tidak melewati BBB. Pemberian dosis tunggal midodrine (5 mg)

30 menit sebelum sesi dialisis berhubungan dengan peningkatan tekanan darah sistolik dan

diastolik dan MAP intradialisis dan pos dialisis, dibandingkan dengan sesi dialisis tanpa

penggunaan midodrine. Penelitian lain menunjukkan efikasi dari penggunaan midodrine

berketerusan (8 bulan) dan tidak ada tanda-tanda efek samping yang berkembang. Namun

beberapa literatur pernah menemukan komplikasinya berupa supine systolic hypertension.

Beberapa studi mengemukakan efek samping yang dijumpai antara lain scalp paresthesias,

heartburn, flushing, nyeri kepala, nyeri leher, dan kelemahan tungkai, urinary urgency, dan

gangguan tidur. Pasien juga harus dimonitor untuk kemungkinan bradikardia, oleh karena

midodrine dapat menstimulasi refleks parasimpatis. Midodrin harus digunakan secara hati-

hati pada pasien CHF dan obat-obat kronotropik negatif seperti beta-bloker, digoksin, dan

CCB nondihidropiridin. Penggunaan bersama-sama dengan obat α-adrenergik yang lain

seperti efedrin, pseudoefedrin, dan phenylpropanolamin harus dihindari, oleh karena akan

mencetuskan supine hypertension. Suatu studi membandingkan efektivitas dari midodrine

dan dialisis temperatur dingin. Baik dialisis temperatur dingin, dan midodrine sama-sama

efektif dalam pencegahan IDH, dan tidak ada perbedaan respon tekanan darah dan insidensi

IDH diantara kedua terapi tersebut. Efektivitas dari beberapa obat vasoaktif dalam

pencegahan IDH telah dilaporkan. Data mengenai efektivitas dan keamanan dari lisin

vasopresin, ergotamin, metilen blue, sertralin dan dobutamin sangat terbatas dan tidak bisa

dijadikan rekomendasi. Pada beberapa literatur menyimpulkan bahwa dosis awal midodrine

adalah 2.5 mg, dimakan 30 menit sebelum dialisis, dengan dosis maksimal 10 mg, efektif dan

mungkin aman dalam pencegahan IDH, walaupun data tentang keamanan dalam penggunaan

jangka panjang masih terbatas. Namun, superioritas dari midodrine dibandingkan dari

intervensi lain belum dapat dibandingkan.

L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam pencegahan

IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien hemodialisis, kadar L-carnitine

menjadi rendah oleh karena berkurangnya biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan

dialisat. Defisiensi l-carnitine dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung.

Pemberian l-carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri. Suatu penelitian

dengan pemberian infus L-carnitin 20 mg/kg pada setiap sesi dialisis mengurangi frekuensi

IDH dan kram otot (44% banding 18% dan 36% banding 13%) dibandingkan dengan plasebo.

Mengenai alasan atas keuntungan ini belum jelas, namun kemungkinan dikarenakan

peningkatan fungsi otot polos vaskular dan fungsi otot jantung. Namun, masih sedikit bukti

Page 19: hipotensi intradialisa

mengenai suplementasi l-carnitine berguna dalam pencegahan IDH.1,2,3

Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik dan

kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan kontraktilitas jantung.

Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5

menit. Efek predominan dopamin sangat tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2

µg/kg/menit) dopamin menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10

µg/kg/menit) dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan

kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit) menyebabkan efek

pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan peningkatan tekanan darah. Suatu

penelitian oleh Wen-Yuan Chiu et al, mengemukakan bahwa pemberian dopamin selama sesi

dialisis dapat diterapi dan efektif untuk grup pasien IDH simptomatik. Pada penelitiannya,

penggunaan infus dopamin pada dosis 20 µg/kg/meenit, dan tidak melebihi dosis tersebut

karena dosis tersebut tidak memberikan efek yang lebih baik untuk miokardium namun

meningkatkan resiko vasokonstriksi dan iskemia.1,2,11

KESIMPULAN

Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari

hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH masih merupakan

masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual, dan kram, memiliki

pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. Sebagai tambahan, IDH sering

membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih awal, yang kedua hal tersebut dapat

menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.            

  Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum disebabkan

sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama.            

  Banyak intervensi/cara untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis temperatur

dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium dialisat, dan beberapa

penggunaan pressor agents  

Page 20: hipotensi intradialisa

DAFTAR PUSTAKA

1. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Cardiovascular Disease in Dialysis patients: NKF KDOQI Guidelines, National Kidney Foundation Inc 2005

2. Kooman Jeroen et al, European Best Practice Guidelines (EBPG) Guideline on haemodynamic instability: Nephrology Dialysis Transpant (2007); Oxford University Press, pg ii22-ii44

3. W Sulowicz et al, Pathogenesis and treatment of dialysis hypotension: International Society of Nephrology 2006, pg s36-s39

4. Biff F. Palmer et al, Recent Advances in the Prevention and Management of Intradialytic Hypotension: J Am Soc Nephrol 19: 8–11, 2008. doi: 10.1681/ASN.2007091006

5. Sunita Dheenan et al, Preventing dialysis hypotension: A comparison of usual protective maneuvers: Kidney International, Vol. 59 (2001) , pp. 1175-1181

6. M Thaha et al, Correlation Between Intradialytic Hypotension in Patients Undergoing Routine Hemodialysis and Use of Acetate Compared to Bicarbonate Dialysate: Acta Med Indones-Indones J Intern Med, Division of Nephrology and Hypertension-Department of Internal Medicine, Dr Soetomo Hospital-School of Medicine Airlangga University, Surabaya

7. Christopher W. McIntrye, Effects of Hemodialysis on cardiac function: International Society of Nephrology 2009, pg 371-375

8. Nahid Shahgholian et al, Impact of two types of sodium and ultrafiltration profiles on dialytic hypotension in hemodialysis patients: IJNMR Autumn 2008; Vol 13, No 4

9. GrefA. Knoll et al, Randomized, Controlled Trial of Albumin versus Saline for the treatment of Intradialytic Hypotension: Journal of the American Society of Nephrology 15: 487-492, 2004

10. Salim Mujais et al, Complications during Hemodialysis: Clinical Nephrology, Dialysis and Transplantation-II-4

11. Wen-Yuan Chiu et al, Intradialytic Dopamine Therapy in Maintenance Hemodialysis Patients with Persistent Hypotension: Acta Nephrologica Vol. 21, No 1, 2007

12. Frank M. Van der Sande, Management of Hypotension in Dialysis Patients: Role of Dialysate Temperature Control, Departement of Nephrology, University Hospital Maastricht, The Netherlands: Saudi J Kidney Dis Transplant 2001;12(3):382-386

13. H. Rezki et al, Comparison of Prevention methods of intradialytic hypotension: Nephrology Department, UHC Ibn Rochd, Casablanca, Morocco: Saudi J Kidney Dis Transplant 2007; 18(3):361-364

Page 21: hipotensi intradialisa

14. Dominic S.C et al, Hemodynamic changes during hemodialysis: Role of Nitric oxide and endothelin: Kidney International, Vol 61 (2002), pp. 697-704

15. Guy Rostoker et al, Left Ventricular Diastolic Dysfunction as a risk factor for Dialytic Hypotension, Division of Nephrology and Dialysis Centre Hospitalier Privé Claude Galien, Quincy-sous-Sénart , France: Cardiology 2009;114:142–149

16. R.Ramos et al, How can symptomatic hypotension be improved in hemodialysis patients: cold dialysis vs isothermal dialysis, 1Hemodialysis Unit. Serveis d’Ajut. Hospital St. Antoni Abat. Vilanova i la Geltrú. Barcelona: NEFROLOGÍA. Volumen 27. Número 6. 2007

17. Paik Seong lim et al, Midrodrine for the treatment of intradialytic hypotension, Division of Nephrology, Department of Medicine, Kuang Tien General Hispital, Shalu Chen, Taichung, Taiwan/ROC: Nephron 1977;77:279-283

18. Biff F. Palmer, Dialysate Composition in Hemodialysis and Peritoneal Dialysis: Dialysis as Treatment of End-Stage Renal Disease, Chapter 2