ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH...
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
265 -
download
2
Transcript of ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN …elib.stikesmuhgombong.ac.id/637/1/SOFANA FAIRRO FINGIYAH...
i
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI
VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK
SOFANA FAIRRO FINGIYAH
A01401972
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
TAHUN AKADEMIK
2017
ii
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI
VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK
Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Studi Pendidikan Diploma III Keperawatan
SOFANA FAIRRO FINGIYAH
A01401972
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
TAHUN AKADEMIK
2017
iii
iv
v
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
SAMPUL DALAM................................................................................... ii
HALAMAN ORISINALITAS................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... v
DAFTAR ISI............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................viii
KATA PENGANTAR.............................................................................. ix
ABSTRAK................................................................................................. xi
ABSTRACT..............................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. TujuanPenulisan.................................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka................................................................................... 5
1. Asuhan keperawatan dalam Hambatan Komunikasi Verbal............ 5
2. Hambatan Komunikasi Verbal Pada Pasien SNH .......................16
BAB III METODE STUDI KASUS
A. Jenis Studi Kasus................................................................................. 22
B. Subyek Studi Kasus.............................................................................. 22
C. Fokus Studi Kasus................................................................................ 22
D. Definisi Operasional............................................................................. 22
E. Instrumen Studi Kasus.......................................................................... 22
F. Metode Pengumpoulan Data................................................................. 23
G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus............................................................. 24
H. Analisa dan Data Penyajian.................................................................. 24
I. Etika Penelitian Studi kasus.................................................................. 25
vii
BAB IV HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Studi kasus................................................................................... 27
B. Pembahasan ......................................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan..........................................................................................45
B. Saran ....................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Persetujuan/ Informed Consent
Lampiran 2 Lembar pengkajian
Lampiran 3 Catatan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 A I U E O
Lampiran 5 Lembar konsultasi
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Puji syukurkehadirat Allah S.W.T yang telah melimpah kan
rahmatdankarunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal karya
tulis ilmiah ini dengan judul“Asuhan Keperawatan Pasein Dengan Gangguan
Hambatan Komunikasi Verbal Pada Sistem Persyarafan Stroke Non
Hemoragik”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ilmiah.
Tujuan dari penulisan proposal karya tulis ilmiah adalah sebagai salah
satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Keperawatan.
Penyelesaian penulisan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan baik materil maupun moril dari berbagai pihak, untuk itu
penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua Bapak Suyadi Azhar dan Ibu Siti Kholifah yang selalu
memberikan dukungan, kasih sayang, semangat dan perhatian dalam setiap
waktunya.
2. Adikku Restu Maisaroh yang selalu menemani dan memberikan semangat.
3. Teman-temanku yang selalu setia menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam
mengerjakan.
4. PodoYuwono S. Kep, Ns, M.Kep. CWCS selaku pembimbing yang telah
dengan sabar membimbing dan memberikan arahan dengan sangat baik.
5. Endah Setianingsih, S.Kep, Ns. M.Kep selaku penguji proposal dan
pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan
dengan sangat baik.
6. Herniyatun, S.Kep, M.Kep Sp.Mat, selaku Ketua STIKES Muhammadiyah
Gombong.
7. Nurlaila, S.Kep.Ns, M.Kep, selakuKetua Program Studi DIII Keperawatan
STIKES MuhammadiyahGombong dan selaku penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.
x
8. Ike Mardiati A. M, Kep, Sp, Kep, J. Selaku dosen penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terima kasih atas bantuan dan dukunganya.
Penulis menyadari bahwa di dalam menyelesaikan proposal karya tulis
ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan proposal karya tulis ilmiah ini
pada waktu yang akan datang. Harapan penulis semoga proposal karya tulis
ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca pada
umumnya.
Gombong, Juli 2017
Sofana Fairro Fingiyah
xi
Program DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Juli 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono
2
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
Latar Belakang: Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara mendadak
dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan
anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir, dikarenakan gangguan fungsi otak.
Tujuan Penulis: Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
Metode: Metode yang digunakan penulis untuk studi kasus adalah metode deskriptif,
Dimana penulis melakukan pengujian secara rinci terhadap dua obyek .
Hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan didapatkan data-data pasien pelo, sulit
berbicara, bicara tidak jelas, tidak mampu orientasi 3 hal( tempat, waktu, orang). Selain
itu pasien sulit mengungkapkan kata, sulit mempertahankan komunikasi, sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal. Salah satu dari pasien hanya mampu
menganggukkan dan menggelengkan kepala. Masalah keperawatan yang muncul adalah
hambatan komunikasi verbal. Rencana asuhan keperawatan untuk meningkatkan
komunikasi verbal adalah dengan cara terapi wicara. Rencana keperawatan tersebut telah
diimplementasikan selama dalam pengelolaan. Evaluasi yang didapatkan pasien Ny. R
belum ada peningkatan komunikasi verbal sedangkan pasien Ny. S mengalami
peningkatan komunikasi verbal.
Kesimpulan: Tindakan asuhan keperawatan terapi wicara dalam meningkatkan
komunikasi dengan latihan secara intensif dapat meningkatkan neuralplasticity,
reorganisasi peta kortikel dan meningkatkan fungsi motorik.
Kata kunci: stroke non hemoragik, hambatan komunikasi verbal, terapi wicara
1. Mahasiswa
2. Dosen
xii
DIII Program of Nursing Department
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Scientific Paper, July 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono
2
ABSTRACT
THE NURSING CARE FOR PATIENTS WITH VERBAL COMMUNICATION
BARRIES OF NON-HEMORRHAGE STROKE NERVES SYSTEM
IN MUHAMMADIYAH HOSPITAL OF GOMBONG
Background: Stroke is an abnormality of the brain function arising suddenly and may
happen to anyone. This can cause disability, such as paralysis limb, speech disorder,
thinking process caused by impaired brain function.
Objective: Explaining the nursing care for patients with verbal communication barries of
non-hemorrhage stroke nerve system.
Method: method that used by writer for the case of study is using descriptive method,
where the writer is doing a detailed research of two objects.
Result: After conducting nursing care, the writer found out that the patients were oblique,
hard talking, unclear speaking, unable to orient three things (place, time and person).
Besides, it was hard for them to express words. to maintain the communication, and to
utter their thoughts verbally. One of them was just able to nod and shake her head. The
emerging nursing problem was verbal communication barriers. The nursing care plan to
improve their verbal communicatoin was done by applying speech therapy. The plan had
been implemented during the management. The evaluation showed that there was no
verbal communication improvement of the first patient (Mrs. R), but the second patient
(Mrs. S) got an increase in verbal communication.
Conclusion: The applying speech theraphy for improving verbal communication done by
practising intensively can improve neuralplasticity, reorganixation of the crotical map,
and motor function.
Keywords: Non-hemorrhage stroke, verbal communication, speech therapy
1. Student
2. Lecturer
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang
paling serius dalam kehidupan modern saat ini. Stroke masih merupakan
masalah medis yang menjadi masalah yang serius dan mengancam jiwa
nomor 2 di Eropa serta no 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita
stroke mengalami kelemahan anggota gerak yang memerlukan perawatan
(Batticaca, 2008). Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara
mendadak dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan
berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara atau afasia, proses
berfikir, dikarenakan sebagai gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).
WHO mamprediksikan bahwa angka kematian stroke akan
meningkat dengan kematian akibat penyakit jantung koroner, kanker. Kurang
lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030 (WHO, 2008)
Amerika Serikat mencatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan
setiap 4 detik terjadi kematian akibat sroke. Tahun 2010 Amerika Serikat
telah menghabiskan 73,7 juta dollar untuk membiayai tanggungan medis dan
rehabilitsi akibat stroke. Yayasan stroke Indonesia (Yastroki) menjelaskan,
angka kejadian stroke menurut data rumah sakit 63,52 per 100.000 penduduk
usia diatas 65 tahun sedangkan jumlah penderita yang meninggal dunia lebih
dari 125.000 jiwa (Ratna, 2011).
Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh stroke menduduki uratan kedua pada usia
diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usai 15-59 tahun ( Yastroki, 2012 ).
(Robino, 2015) mengatakan bahwa di Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia dengan penderita stroke cukup tinggi. Penderitanya
melebihi prevalensi stroke di daerah perkotaan secara nasional. Singkawang
merupakan kota di Kalimantan Barat dengan prevalensi stroke yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian di lima rumah sakit
2
yang ada di Kota Singkawang menunjukkan, adanya peningkatan jumlah
pasien stroke yang dirawat. Jumlah tersebut belum termasuk pasien stroke
yang dirujuk dan dirawat di rumah sakit selain di Singkawang serta pasien
yang berobat ke puskesmas. Jumlah kekambuhan stroke juga menunjukkan
angka yang tinggi. Rata-rata kasus stroke di jawa tengah mencapai 635,60
kasus (profil kesehatan provinsi Jawa Tengah, 2012, hlm, 39). Prevelensi
Stroke Non Hemoragik di Jawat Tengah tahun 2009 adalah 0,05% lebih
tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 yaitu 0,03%. Prevelensi tertinggi di
kabupaten kebumen sebesar 0,29%.
Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi,
tergantung dengan luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian
jaringan dan lokasi yang terkena (Lyna, 2007). Apabila stroke menyerang
otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan mengalami
gangguan bicara atau afasia, karena otak kiri berfungsi untuk mengnalisis,
pikiran logis, konsep, dan memahami bahasa (Sofwan, 2010). Menurut
(Mulyasih, 2008) secara umum afasia dibagi dalam tiga jenis afasia motorik,
afasia sensorik, afasia global.
Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, sangat perlu
dilakukan latihan bicara disartia maupun afasia. Speech Therapy sangat
dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi merupakan faktor yang
berpengaruh dalam interaksi sosial. Kesulitan dalam berkomunikasi akan
menimbulkan isolasi diri dan perasaan frustasi (Sunardi, 2006). Hambatan
komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan pada sistem saraf pusat
dapat diprioritaskan sebagai diagnosa dengan alasan apabila tidak diatasi
maka akan berakibat ketidakmampuan individu untuk mengekspresikan
keadaan dirinya dan dapat berakibat lanjut pada penurunan harga diri pasien
(Batticaca, 2008)
Afasia motorik merupakan kerusakan terhadap seluruh korteks pada
daerah broca. Seorang dengan afasia motorik tidak bisa mengucapkan satu
kata apapun, namun masih bisa mengutarakan pikirannya dengan jalan
menulis (Sidharta M. , 2004). Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan
3
afasia adalah memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006) Terapi wicara
merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang mengalami
gangguan komunikasi, gangguan bahasa bicara, gangguan menelan. Terapi
wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis,
diantaranya pasien pasca stroke (Sunardi, 2006).
Menurut (Wardhana, 2011) penderita stroke yang mengalami
kesulitan bicara akan diberikan terapi AIUEO yang bertujuan untuk
memperbaiki ucapan supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang
mengalami gangguan bicara atau afasia akan mengalami kegagalan dalam
berartikulasi. Artikulasi merupakan proses penyesuain ruangan supraglottal.
Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi dengan menaikkan dan
menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi udara melalui
rongga mulut dan rongga hidung melalui katup valofaringeal dan merubah
posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan
menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara ( yanti, 2008)
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis memandang
bahwa pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien stroke sangat penting.
Sehingga penulis tertarik untuk memberikan “asuhan keperawatan pada
pasien dengan masalah ganggun hambatan komunikasi verbal”
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana gambaran asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik?
C. TUJUAN STUDI KASUS
1. Tujuan umum
Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke
Non Hemoragik.
4
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada
pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem
persyarafan Stroke Non Hemoragik.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan
Stroke Non Hemoragik.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
e. Penulis mampu mengevaluasi kondisi pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
D. MANFAAT STUDI KASUS
Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi kasus
yang bersifat praktis terutama bagi:
a. Masyarakat dan keluarga mampu merawat pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Menambah keluasan ilmu dan tekhnologi terapan bidang keperawatan
dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
c. Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan
komunikasi pada pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal
pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Yogyakarta: Rinek Cipta.
Adisaputro, Gunawan. 2008. Anggaran Perusahaan. BPFE. Yogyakarta.
Asmadi (2008), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta: EGC
Batticaca, F.B. 2008 Asuhan Keperawatan Dengan Sistem Persyarafan. Jakarta :
Salemba Medika.
Carpenito, 2007, Diagnosa Keperawataan (Handbook of Nursingdiagnosis), Edisi
10, Alih Bahasa Monica Ester, Jakarta: EGC
Depkes , 2015, Stroke Pembunuh Nomor Satu di Indonesia. Jakarta: tersedia
tersedia dalam www.litbang.depkes.go.id/node/639. Diakses pada
tanggal 24/5/2017 jam 15:09
Hidayat A, Aziz Alimul (2007), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika
Komala, Lukiati. (2009), Ilmu Komunikasi Perspektif, Proses dan Konteks.
Bandung: Widya Padjajaran.
Liliweri , Alo, (2007). Dasar Komunikasi Kesehatan Yogyakarta: Pustaka. Pelajar
diakses di digilib.unimus.ac.id
Maryam, dkk, 2008, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Jakarta: Salemba
Medika.
Mubarak, Lilis Indrawati, Joko Susanto ( 2015 ), Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar, Jakarta: Salemba Medika.
Muhammad, Arni (2009). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
System Persyarafan Jakarta: Salemba ,Medika.
Mulyatsih, E & Airizal, A. (2008). Stroke Petunjuk Perawatan Pasien Pasca
Stroke di Rumah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Nanda Internasional 2015, Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2017, EGC, Jakarta.
Notoatmojo (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.
Potter & Perry. (2009). Fundamental of Nursing 7th Edition.
Ratna. 2010. Penyakit pemicu Stroke: Dilengkapi dengan Posyandu Lansia dan
Posbindu PTM, Penerbit Nurha Medika, Yogyakarta.
Ruslan, Rosady. (2008). Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Rodiyah (2012). Terapi wicara untuk meningkatkan kemampuan berbahasa anak
dengan Gangguan Cerebral Palsy di yayasan Pembinaan Anak cacat
(YPAC) malang diakses di
http.//lib.uin.malang.ac.id/?mod=th_detail&id=08410114
Setiadi (2012), Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan, Yogyakarta : Graha
Ilmu.
Sofwan, R. (2010). Anda Bertanya Dokter Menjawab: Stroke dan Rehabilitasi
Pasca-Stroke. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Sunardi dan sunaryo. (2006). Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: Jurusan PLB FIP UPI
Wardhana, W. A (2011) Strategi mengatasi dan bangkit dari Stroke. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Wiwit, (2010). Stroke dan Penangannya. Yogyakarta: Katahati.
Wirawan, 2009. Rehabilitasi Stroke Pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah
Kedokteran Indonesia.
World health organization. 2015. STEP wise approach to stroke surveillance.
Geneva.
Yanti, D. (2008). Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Tuna Wicara Pada Tuna
Rungu. Diakses di http://akrab.or.id/?p=57. Pada tanggal 24-05-2017
jam 15:09.
INFORMED CONSENT
(Persetujuan Menjadi Partisipan)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah
mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh Sofana Fairro Fingiyah dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HAMBATAN
KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PESYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK”.Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini
secara sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya menginginkan
mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu – waktu tanpa
sanksi apapun.
..................................2017
Yang memberikan persetujuan
Saksi
............................. .............................
..................................2017
Peneliti
Sofaa Fairro Fingiyah
Lembar pengkajian
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
Diagnosa Medis :
No Rekam Medis :
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Hub. dengan pasien :
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
2. Riwayat Penyakit Sekarang
3. Riwayat Penyakit Dahulu
4. Riwayat Penyakit Keluarga
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
b) Nutrisi
c) Eliminasi
d) Istirahat dan tidur
e) Aktivitas
f) Berpakaian
g) Personal Hygiene
h) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
i) Mempertahankan suhu tubuh
j) Pola berpakaian
k) Komunikasi
l) Spiritual
m)Rekreasi
n) Belajar
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran:
Suara Bicara:
TTV :
b. Kepala :
c. Telinga:
d. Mata :
e. Mulut:
f. Leher:
g. Dada
Paru – Paru:
Inspeksi:
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:
Jantung:
Inspeksi:
Palpasi:
Perkusi:
Auskultasi:
h. Abdomen
Inspeksi:
Auskultasi:
Palpasi:
Perkusi:
i. Genetalia:
j. Pemeriksaan Integumen:
k. Ekstermitas :
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan CT Scan
8. TerapiC. ANALISA DATA
No Hari /
Tanggal
Data Fokus Problem Etiologi
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
No DX Keperawatan Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
G. EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. R DENGAN
GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM
PERSYARAFAN STROKE NON HEMORAGIK
Sofana Fairro Fingiyah (A01401972 )
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG2017
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.R
Umur : 64 Tahun
Jenis Kelamin : Prempuan
Agama : Islam
Alamat : Cilacap
Pekerjaan : SR
Tanggal Masuk RS : 06 juli 2017
Tanggal Pengkajian : 07 juli 2017 Jam : 10.15 WIB
Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic
No Rekam Medis :
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. S
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Cilacap
Pekerjaan : Wiraswasta
Hub. dengan pasien : Suami
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kanan lemah
saat digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong
bersama keluarga pasien pada tanggal 6 juli 2017 jam 08.30 WIB dengan
keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, sesaknya tidak dipengaruhi
oleh aktifitas. Batuk ± 7 hari dahak berwarna putih, muntah (-), demam
kadang-kadang, tekanan darah: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 29x/m, S:
36,50 C, SPO2: 98%, GCS=11 E:4 V:1 M: 6, pupil 3/3 mm, reflek cahaya
+/+. Pasien sekarang dirawat di ruang Barokah dan mendapatkan terapi
Inj ranitidin 3x50mg, Inj Ondansentron 3x5 mg, Inj Ceftriaxone 2x1gr.
Riwayat penyakit dahulu Pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki..
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita sakit
yang sama seperti pasien, orang tua pasien meninggal pada usia lanjut
bukan karena sakit.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga pasien mengatakan pasien sejak dirawat di
rumah sakit sering mengalami masalah pada pernafasannya.
Saat saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada pernafasan
cuping hidung
b) Nutrisi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
porsi sedikit nasi, lauk dan sayur dengan mandiri setelah terkena
stroke kebutuhan makannya dibantu oleh keluarganya.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien menggunakan
selang NGT karena pasien mengalami gangguan dalam menelan
sehari pasien diberi makan oleh perawat ± 500 ml.
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
makanan dan memasukan kemulut, Keluarga pasien mengatakan
pasien ada kendala saat mengunyah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menghabiskan makanan, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu makan dalam jumlah banyak,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membuka mulut
secara lebar, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menyiapkan makanan untuk dimakan.
c) Eliminasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya BAB dibantu
pake pispot dua hari sekali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien semenjak masuk rumah sakit
tanggal 06 Juli 2017 pasien belum BAB dengan konsistensi lembek,
berwarna kuning.BAK.
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya pasien BAK 5-
8x sehari, pada malam hari bisa mencapai 4x.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan sekarang pasien menggunakan
selang kateter ukuran: 16 produksi urin: 250 cc/ 7 jam
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 4-5 jam dalam
sehari, tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari tetapi pada siang hari pasien cenderung tidur bisa 4-
7 jam.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas
sendiri tanpa bantuan keluarga dan alat bantu, semenjak stroke pasien
di tempat tidur maupun yang lain harus dibantu oleh keluarga selama
sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri
tanpa bantuan, semenjak terkena stroke semua kebutuhan
berpakain dibantu oleh keluarga.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
sepatu, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan kaos kaki, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu melepaskan atribut pakaian , Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas sepatu, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas kaos kaki, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak memperhatikan penampilannya,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien
menggunakan baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan
personal hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok
gigi setiap mandi, semenjak terkena stroke pasien mandi dengan
diseka oleh keluarganya satu hari sekali.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
ke kamar mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu mengeringkan tubuh menggunakan handuk seperti biasa,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
perlengkapan mandi secara mandiri, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengatur air mandi, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan
nyaman sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien
tidak merasa nyaman jika sendirian dirumah.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena
lumpuh di ekstermitas kanan, Keluarga pasien mengatakan pasien
belum bisa sepenuhnya menerima keadaanya.
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi
dengan baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa
jawa.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien pelo, pasien sulit
berbicara, pasien bicara tidak jelas, pasien tidak mampu orientasi
3 hal( tempat, waktu, orang), pasien sulit mengungkapkan kata,
pasien sulit mempertahankan komunikasi, pasien sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal, pasien hanya mampu
menganggukkan kepala dan menggelengkan kepala.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam,
pasien melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang
mengikuti pengajian.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak melakukan
sholat 5 waktu setelah masuk RS.
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah
berekreasi, pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala
sedang istirahat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
ditempat tidur
m) Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien mengatakan telah
mengerti tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
diatas temapt tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Composmentis GCS=11 E:4 V:1 M: 6
Suara Bicara: Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 24x/m, S:36,5 0C,
Kepala : Bentuk mecochepal, tidak terdapat nyeri tekan.
b. Rambut: kering, kotor, beruban.
c. Telinga: bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
d. Mata : Konjungtiva anemis, Sclera anikterik, Pupil isokor,
Rangsang Cahaya: (+).
e. Mulut: Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi sedikit kotor.
f. Leher: tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
g. Dada
Paru – Paru:
Inspeksi: bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi: Vokal fremitus simetris
Perkusi: sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung:
Inspeksi: tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi: tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi: redup
Auskultasi: reguler
h. Abdomen
Inspeksi: tidak ada jejas
Auskultasi: bising usus 18x/menit
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi: timpani
i. Genetalia: terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16.
j. Pemeriksaan Integumen
Kulit: Pucat, turgor kulit jelek
k. Ekstermitas: Kelumpuhan di ekstermitas kanan
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII (
Hypoglossus ) central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia berat
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra : 4 (kekuatan sedang)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : terjadi numbless (mati rasa)
Ekstermitas sinistra : normal
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra : 2+ (normal)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 06 juli 2017 jam 09.27 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.6 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 3.38 /ul 3.6-11
Eritrosit 8.9 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 28.1 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 83.6 Fl 80-100
MCH 26.5 Pg 26-34
MCHC 31.8 g/dl 32-36
Trombosit 563 150-440
Gula sewaktu 105 70-105
12. Terapi Tanggal 06 juli 2017
IVFD RL 500 cc/24 jam
Ceftriaxone 2x1 gr
Ranitidin 3x50 mg
Ondansentron 3x5 mg
C. ANALISA DATA
No Hari /
Tanggal
Data Fokus Problem Etiologi
1 Jum’at 07
juli 2017
Jam : 10.15
WIB
DS:
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
orientasi 3 hal (
tempat, waktu,
ruang)
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Pasien hanya mampu
menganggukan
ataupun
menggelengkan
Hambatan
Komunikasi
Verbal (00051)
Perubahan
Sistem Syaraf
Pusat
kepala
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak mampu
samasekali
melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra :
4 (kekuatan sedang)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
terjadi numbless
(mati rasa
Ekstermitas sinistra :
normal Reflex
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra :
2+(normal)
2. Jum’at 07
juli 2017
Jam : 10.15
DS:
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien
hanya tiduran saja di
tempat tidur,
melakukkan aktivitas
dibantu keluarga dan
perawat
DO :
- TD :110/70 mmHg, N
Hambatan Mobilitas
Fisik ( 00085)
Neuromuskular
:100x/menit S: 36,5˚C,
RR: 24x/menit.
- Pasien hanya tiduran
ditempat tidur
- Kelumpuhan di
ekstremitas kanan
3. Jum’at 07
Juli 2017
jam 10.15
WIB
DS:
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
orientasi 3 hal (
tempat, waktu,
ruang)
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Pasien hanya mampu
Risiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
otak (00201)
Faktor risikotumor otakpenyakitneurologis
menganggukan
ataupun
menggelengkan
kepala
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kanan : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak mampu
samasekali
melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra :
4 (kekuatan sedang)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
terjadi numbless
(mati rasa
Ekstermitas sinistra :
normal Reflex
Ekstermitas dekstra :
0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra :
- 2+(normal)
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak
penyakit neurologis
E. INTERVENSI
N
o
DX
Keperawatan
Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
1. Hambatan
komunikasi
verbal b.d
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x7 jam hambatan
komunikasi verbal dapat teratasi
dengan kriteria hasil:
Indikator 1 2 3 4 5
- Menggunakan
foto dan
gambar
2 5
- Menggunakan
bahasa isyarat
2 5
1. Libatkan
keluarga untuk
membantu
memahami atau
memahamkan
informasi dari
atau ke pasien
Rasionalnya
keluarga
berpartisipasi
dalam proses
penyembuhan.
2. Dengarkan setiap
ucapan pasien
dengan penuh
perhatian
rasionalnya
mengurangi
kecemasan dan
kebingungan saat
berkomunikasi.
3. Gunakan kata-
kata yang
sederhana dan
pendek dalam
komunikasi
dengan pasien.
rasionalnya
memenuhi
kebutuhan pasien
saat
berkomunikasi.
4. Dorong pasien
untuk mengulang
kata rasionalnya
memberikan
semangat pada
pasien agar
sering
melakukan
komunikasi.
Berikan arahan
atau perintah
sederhana setiap
berinteraksi
dengan pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungan saat
berkomunikasi.
5. Programkan
speech language
teraphy
rasionalnya
melatih pasien
belajar berbicara
secara mandiri
baik dan benar.
Buat kartu
dengan gambar-
gambar atau
kata-kata
ungkapan yang
bisa digunakan,
misalnya :
pindahkan kaki
saya, ambilkan
minuman saya
rasionalnya
memberikan
kemudahan buat
pasien untuk
berkomunikasi.
6. Lakukan speech
language setiap
interaksi dengan
pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungaan
pasien saat
berkomuniksi.
7. Jaga lingkungan
yang terstruktur
dan pertahankan
rutinitas pasien
(misalnya,
menjamin daftar
harian yang
konsisten,
menyediakan
pengingat
dengan sering,
dan
menyediakan
kalender serta
tanda-tanda lain
yang ada di
lingkungan).
8. Sesuaiakan gaya
komunikasi
untuk memenuhi
kebutuhan pasien
(misalnya berdiri
didepan pasien
saat
bicara,mendenga
rkan dengan
penuh perhatian,
menyampaikan
satu ide atau
pemikiran pada
satu waktu,
bicara pelan
untuk
menghindari
berteriak,
gunakan
komunikasi
tertulis, atau
bantuan keluarga
dalam memenuhi
pembicaraan
pasien).
2. Hambatan
mobilitas fisik
b.d
Neuromuskul
ar
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x7 jam, Hambatan
mobilitas fisik dapat teratasi dengan
kriteria hasil:
Indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam
aktifitas fisik
2 4
- Mengerti tujuan
dari peningkatan
mobilitas
2 5
- Memverbalisasika
n perasaan dalam
meningktankan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
2 4
- Memperagakan
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
2 4
1. Monitoring
vital sign
sebelum/
sesudah latihan
dan lihat respon
pasien saat
latihan
rasionalnya
untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien.
2. Konsultasikan
dengan terapi
fisik tentang
rencana
ambulasi sesuai
dengan
kebutuhan
Rasionalnya
memberikan
bantuan yang
mantap untuk
mengembangka
n rencana terapi
dan
mengidentifikas
i keutuhan
penyongkong
khusus.
3. Bantu pasien
untuk
menggunakan
tongkat saat
berjalan dan
cegah cedera
rasionalnya
kemudahan
pada pasien
untuk
beraktifitas.
4. Ajarkan pasien
atau tenaga
kesehatan lain
tentang tekhnik
ambulasi.
rasionalnya
melibatkan
seluruh anggota
untuk
membantu
proses
penyembuhan.
5. Kaji
kemampuan
pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
rasionalnya
membantu
merencanakan
intervensi.
6. Dampingin dan
bantu pasien
saat mobilisasi
dan bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs rasional
menumbuhkan
kemandirian
perawatan.
7. Berikan alat
bantu jika
pasien
memerlukan
rasionalnya
memebuhi
kebutuhan
ADLs pasien
Ajarkan
bagaimana
pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
rasionalnya
mengembangka
n rencana
terapi.
3. Risiko
ketidakefektif
n perfusi
jaringan otak
faktor risiko
tumor otak
(penyakit
neurologis)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama3x7 jam masalah
ketidakefektifan perfusi jaringan otak
dapat teratasi dengan Kriteria Hasil :
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala
berkurang
2 4
- Berfungsinya
saraf dengan baik
2 4
- TTV dalam batas
normal
2 5
1. Monitor tingkat
kesadaran
rasionalnya
tingkat
kesadaran
merupakan
indikator
terbaik adanya
perubahan
neurologi,
2. Monitor tanda-
tanda vital
rasionalnya
untuk
mengetahui
perubahan
keadaan pasien.
3. Hindari
kegiatan yang
bisa
meningkatkan
tekanan
intrakranial,
Pertahankan
pasien bedrest,
berikan
lingkungan
yang tenang,
batasi
pengunjung,
atur waktu
istirahat dan
aktivitas
rasionalnya
istrihatat yang
cukup dan
lingkungan
yang tenang
mencegah
perdarahan
kembali.
F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
07-07-2017 I, II,
III,
IV
- Memonitor tingkat
kesadaran
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
- Menganjurkan pada
keluarga untuk
membatasi
pengunjung
- Memposisikan pasien
posisi head up
- Melibatkan keluarga
dalam memahami
informasi dari atau ke
pasien
- Melatih pasien
berbicara secara
S:
O: Kesadaran
pasien
composmentis,
GCS= 11 E:4 V:1
M:6
S:
O: TD:163/76
mmHg, N: 85x/m,
RR:17 x/m, S: 360C.
S:
O: Keluarganya
Menyetujuinya
S:
O: Pasien posisi
head up
S:
O: Keluarga
membantu
memahami
informasi dari atau
ke pasien
S:
O: Pasien sudah
belum mampu
Sofana
fairro
fingiyah
mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U,
E, O
- Mendengarkan dengan
penuh perhatian apa
yang diucapkan pasien
- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien
(memberikan makan
lewat NGT)
- Mengajarkan ROM
pasif
diajak untuk
berlatih
S:
O: Melakukan
Komunikasi sesuai
kebutuhan pasien
S:
O: Segala
kebutuhan pasien
dibantu oleh
keluarga dan
perawat
S:
O: anggota tubuh
yang semula
sangan kaku
sedikit lebih lemas
I, II,
III,
IV
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
- Melibatkan keluarga
dalam memahami
informasi dari atau ke
pasien
S:
O: TD: 140/90
mmhg, N:78x/m,
RR: 16x/m, S:
36,50c
S:
O: keluarga
membantu dalam
proses
penyembuhan
- Melatih pasien
berbicara secara
mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U,
E, O
- Mendengarkan dengan
penuh perhatian apa
yang diucapkan pasien
- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien
(memberikan makan
lewat NGT)
- Mengajarkan ROM
pasif
S:
O: Pasien belum
mampu untuk
belajar terapi A, I,
U, E, O, pasien
hanya mampu
menganggukan dan
mengglengkan
kepala.
S:
O: melakukan
komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
S:
O: memenuhi
kebutuhan pasien
seperti makan,
mandi
S:
O: pasien belum
ada peningkatan
dalam aktifitas
fisik
- Melatih pasien
berbicara secara
mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U,
E, O
S:
O: Pasien belum
bisa mengikuti
perintah apa yang
diajarkan oleh
perawat, pasien
baru mampu
- Memberikan ROM
pasif
- Mengobservasi tanda-tanda vital
menganggukan dan
menggelengkan
kepala.
S:
O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.
S:O: TD: 140/90mmHg, N: 78 x/m,RR: 18 x/m, S:36,5 0C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 09 juli 2017 S:
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang
diajarkan oleh perawat.
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan
bahasa lisan
2 3
Menggunkan foto
dan gambar
2 3
Menggunakan
bahasa isyarat
2 4
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
Sofana
fairro
fingiyah
09 juli 2017 S:
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku
saat dibantu untuk digerakkan.
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam
aktifitas fisik
2 3
- Mengerti tujuan
dari peninggkatan
mobilitas
2 3
- Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
2 3
Sofana
fairro
fingiyah
berpindah
- Memperagakan
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
2 3
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
09 juli 2017 S:-
O: TD: 140/90 mmHg
N: 78x/m
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala
berkurang
- Berfungsinya
saraf dengan
baik
- TTV dalam
batas normal
2
2
2
3
3
4
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
Sofana
fairro
fingiyah
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK
Sofana Fairro F (A01401972 )
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG2017
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Umur : 62 Tahun
Jenis Kelamin : Prempuan
Agama : Islam
Alamat : Kebumen
Pekerjaan : Pensiunan
Tanggal Masuk RS : 08 juli 2017 Jam : 08.00
Tanggal Pengkajian : 09 juli 2017 Jam : 15.00
Diagnosa Medis : Stroke Non Hemorogic
No Rekam Medis : 162120
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn.F
Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kebumen
Pekerjaan : Wiraswasta
Hub. dengan pasien : Anak Kandung
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kiri lemah saat
digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong bersama
keluarga pasien. Keluarga pasien mengatakan bahwa 2 jam sebelum dibawa
ke rumah sakit pasien jatuh ketika mau menuju kamar mandi, setelah jatuh
tiba-tiba Ny.S sulit bicara, bicaranya tidak jelas, bahkan tidak mampu
berkomunikasi. Badan pasien mengalami kekakuan ketika digerakkan oleh
keluarga pasien, terutama bagian badan yang kiri. Wajah pasien tampak
kaku terutama bagian mulutnya mencong ke sisi kanan. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami hal yang
sama, hanya saja pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Belum ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tanpa menggunakan alat bantu pernafasan, tidak ada nafas
cuping hidung
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan normal,
tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada nafas cuping hidung
b) Nutrisi
1. Inteks Makanan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
nasi, lauk dan sayur dengan mandiri.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien makan 3x sehari dari
RS hanya menghabiskan ¼ porsi. Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu mengambil makanan dan memasukan kemulut,
Keluarga pasien mengatakan pasien ada kendala saat mengunyah,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menghabiskan
makanan, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu makan
dalam jumlah banyak, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu membuka mulut secara lebar, dan Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menyiapkan makanan untuk
dimakan.
2. Inteks Cairan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien minum 6-7 gelas per
hari air putih , kadang kopi dan teh manis.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengambil gelas, keluarga mengatakan pasien minum 2-3 gelas per
hari air putih / dengan minuman yang rendah gula.
c) Eliminasi
1. BAB
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAB 1x sehari dengan
konsistensi lembek, berwarna kuning.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien belum BAB selama di RS.
2. BAK
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAK 5-6 X sehari
semalam dengan warna kuning jernih pada malam hari bisa BAK 3-4
kali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien menggunakan selang kateter
ukuran 16 untuk BAKnya 650cc sehari dengan warna kuning jernih.
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 7-8 jam dalam sehari,
tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas sendiri
tanpa bantuan keluarga dan alat bantu
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri tanpa
bantuan
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan sepatu, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan kaos kaki, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melepaskan atribut pakaian ,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas sepatu,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas kaos kaki,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memperhatikan
penampilannya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien menggunakan
baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan personal
hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok gigi setiap mandi
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu ke kamar
mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengeringkan
tubuh menggunakan handuk seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil perlengkapan mandi secara mandiri,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengatur air mandi,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan nyaman
sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien tidak merasa
nyaman jika sendirian dirumah
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena lumpuh di
ekstermitas kiri, Keluarga pasien mengatakan saat kejadian pasien
gelisah
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi dengan
baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa jawa
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien sulit bicara, Keluarga
pasien mengatakan pasien bicara tidak jelas.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam, pasien
melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang mengikuti pengajian
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak melakukan sholat 5 waktu
setelah masuk RS
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah berekreasi,
pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala sedang istirahat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring ditempat tidur
m)Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien mengatakan telah mengerti
tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring diatas temapt
tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Sopor, GCS( E4, V2, M3 )
Suara Bicara : Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD :163/76 mmHg, N :85x/menit S: 36˚C, RR:
16x/menit
b. Kepala: Bentuk mecochepal, terdapat nyeri tekan karena ada abses.
c. Rambut : kering, kotor
d. Telinga : bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
e. Mata
Konjungtiva : anemis
Sclera : anikterik
Pupil : isokor
Rangsang Cahaya: (+)
f. Mulut : Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi
sedikit kotor
g. Leher : tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
h. Dada
Paru – Paru :
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi : Vokal fremitus simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung :
Inspeksi : tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi : tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi : redup
Auskultasi: reguler
i. Abdomen
Inspeksi : cekung, tidak ada jejas
Auskultasi : bising usus 18x/menit
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : timpani
j. Genetalia : terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16
k. Pemeriksaan Integumen
Kulit : Pucat, turgor kulit jelek
l. Ekstermitas : Kelumpuhan di ekstermitas kiri
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII ( Hypoglossus )
central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia ringan
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : normal
Ekstermitas sinistra : terjadi numbless (mati rasa)
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 2+ (normal)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak ada refleks)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 juli 2017 jam 09.20 wib
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 12, 1 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 9.37 /ul 3.6-11
Eritrosit 4.14 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 37.0 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 89.4 Fl 80-100
MCH 29.2 Pg 26-34
MCHC 32.7 g/dl 32-36
Trombosit 369 150-440
Gula sewaktu 275 70-105
12. TerapiTanggal 09 juli 2017IVFD RL 500 cc/24 jamCeftriaxone 2x1gCiticolin 2x500g
Ranitidin 2x50mg
Mecobalamin 2x250 mg
Amlodipin 1x10 mg
CPG 1X75mg
Edosterol 3x30mg
C. ANALISA DATA
No Hari /
Tanggal
Data Fokus Problem Etiologi
2 Jum’at 07
juli 2017
Jam : 10.15
WIB
DS:
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
mempertahankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak mampu
samasekali melakukan
Hambatan
Komunikasi
Verbal (00051)
Perubahan
Sistem Syaraf
Pusat
kontraksi)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
normal Reflex
Ekstermitas sinistra :
terjadi numbless (mati
rasa
Ekstermitas dekstra :
2+(normal)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak ada refleks)
3. 09 juli
2017
Jam : 15.00
DS:
- Keluarga mengatakan
pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien
hanya tiduran saja di
tempat tidur,
melakukkan aktivitas
dibantu keluarga dan
perawat
DO :
- TD :163/76 mmHg, N
:85x/menit S: 36˚C, RR:
17x/menit.
- Pasien hanya tiduran
ditempat tidur
- Kelumpuhan di
ekstremitas kiri
Hambatan Mobilitas
Fisik ( 00085)
Neuromuskular
3. Jum’at 07
Juli 2017
jam 10.15
WIB
DS:
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
sulit bicara,
- Keluarga pasien
Risiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
(00201)
Faktor risikotumor otakpenyakitneurologis
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
memperthankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak mampu
samasekali melakukan
kontraksi)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
normal Reflex
Ekstermitas sinistra :
terjadi numbless (mati
rasa
Ekstermitas dekstra :
2+(normal)
Ekstermitas sinistra :
- 0 (tidak ada refleks)
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan komunikasi verbal b.d. perubahan sistem syaraf pusat
2. Hambatan mobilitas fisik b.d Neuromuskular
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak faktor risiko tumor otak
penyakit neurologis
E. INTERVENSI
N
o
DX
Keperawatan
Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
1. Jum’at 09 Juli
2017 jam
15.00 WIB
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x7 jam hambatan komunikasi
verbal dapat teratasi dengan kriteria
hasil:
Indikator 1 2 3 4 5
- Menggunakan
bahasa yang
tertulis.
2 4
- Menggunakan
bahasa lisan
2 4
- Menggunakan
foto dan
gambar
2 5
- Menggunakan
bahasa isyarat
2 5
- Menggunakan
bahasa non
verbal
2 5
- Mengarahkan
pesan pada
2 5
1. Libatkan keluarga
untuk membantu
memahami atau
memahamkan
informasi dari
atau ke pasien
Rasionalnya
keluarga
berpartisipasi
dalam proses
penyembuhan.
2. Dengarkan setiap
ucapan pasien
dengan penuh
perhatian
rasionalnya
mengurangi
kecemasan dan
kebingungan saat
penerima
yang tepat
berkomunikasi.
3. Gunakan kata-
kata yang
sederhana dan
pendek dalam
komunikasi
dengan pasien.
rasionalnya
memenuhi
kebutuhan pasien
saat
berkomunikasi.
4. Dorong pasien
untuk mengulang
kata rasionalnya
memberikan
semangat pada
pasien agar sering
melakukan
komunikasi.
Berikan arahan
atau perintah
sederhana setiap
berinteraksi
dengan pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungan saat
berkomunikasi.
5. Programkan
speech language
teraphy
rasionalnya
melatih pasien
belajar berbicara
secara mandiri
baik dan benar.
Buat kartu
dengan gambar-
gambar atau kata-
kata ungkapan
yang bisa
digunakan,
misalnya :
pindahkan kaki
saya, ambilkan
minuman saya
rasionalnya
memberikan
kemudahan buat
pasien untuk
berkomunikasi.
6. Lakukan speech
language setiap
interaksi dengan
pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungaan
pasien saat
berkomuniksi.
7. Jaga lingkungan
yang terstruktur
dan pertahankan
rutinitas pasien
(misalnya,
menjamin daftar
harian yang
konsisten,
menyediakan
pengingat dengan
sering, dan
menyediakan
kalender serta
tanda-tanda lain
yang ada di
lingkungan).
8. Sesuaiakan gaya
komunikasi untuk
memenuhi
kebutuhan pasien
(misalnya berdiri
didepan pasien
saat
bicara,mendengar
kan dengan penuh
perhatian,
menyampaikan
satu ide atau
pemikiran pada
satu waktu, bicara
pelan untuk
menghindari
berteriak,
gunakan
komunikasi
tertulis, atau
bantuan keluarga
dalam memenuhi
pembicaraan
pasien).
2. Hambatan
mobilitas fisik
b.d
Neuromuskula
r
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x7 jam, Hambatan mobilitas fisik
dapat teratasi dengan kriteria hasil:
Indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam
aktifitas fisik
2 4
- Mengerti tujuan
dari peningkatan
mobilitas
2 5
- Memverbalisasika
n perasaan dalam
meningktankan
kekuatan dan
kemampuan
berpindah
2 4
- Memperagakan
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
2 4
1. Monitoring vital
sign sebelum/
sesudah latihan
dan lihat respon
pasien saat
latihan
rasionalnya
untuk
mengetahui
keadaan umum
pasien.
2. Konsultasikan
dengan terapi
fisik tentang
rencana
ambulasi sesuai
dengan
kebutuhan
Rasionalnya
memberikan
bantuan yang
mantap untuk
mengembangkan
rencana terapi
dan
mengidentifikasi
keutuhan
penyongkong
khusus.
3. Bantu pasien
untuk
menggunakan
tongkat saat
berjalan dan
cegah cedera
rasionalnya
kemudahan pada
pasien untuk
beraktifitas.
4. Ajarkan pasien
atau tenaga
kesehatan lain
tentang tekhnik
ambulasi.
rasionalnya
melibatkan
seluruh anggota
untuk membantu
proses
penyembuhan.
5. Kaji
kemampuan
pasien dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADLs secara
mandiri sesuai
kemampuan
rasionalnya
membantu
merencanakan
intervensi.
6. Dampingin dan
bantu pasien saat
mobilisasi dan
bantu penuhi
kebutuhan
ADLs rasional
menumbuhkan
kemandirian
perawatan.
7. Berikan alat
bantu jika pasien
memerlukan
rasionalnya
memebuhi
kebutuhan
ADLs pasien
Ajarkan
bagaimana
pasien
bagaimana
merubah posisi
dan berikan
bantuan jika
diperlukan
rasionalnya
mengembangkan
rencana terapi.
3. Risiko
ketidakefektifn
perfusi
jaringan otak
faktor risiko
tumor otak
(penyakit
neurologis)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama3x7 jam masalah ketidakefektifan
perfusi jaringan otak dapat teratasi
dengan Kriteria Hasil :
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala
berkurang
2 4
- Berfungsinya
saraf dengan baik
2 4
- TTV dalam batas
normal
2 5
1. Monitor tingkat
kesadaran
rasionalnya
tingkat
kesadaran
merupakan
indikator terbaik
adanya
perubahan
neurologi,
2. Monitor tanda-
tanda vital
rasionalnya
untuk
mengetahui
perubahan
keadaan pasien.
3. Hindari kegiatan
yang bisa
meningkatkan
tekanan
intrakranial,
Pertahankan
pasien bedrest,
berikan
lingkungan yang
tenang, batasi
pengunjung, atur
waktu istirahat
dan aktivitas
rasionalnya
istrihatat yang
cukup dan
lingkungan yang
tenang
mencegah
perdarahan
kembali.
F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
09-07-2017 I, II,
III,
IV
- Memonitor tingkat
kesadaran
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
- Menganjurkan pada
keluarga untuk
membatasi pengunjung
- Memposisikan pasien
posisi head up
S:
O: Kesadaran
pasien
composmentis,
GCS= 11 E:4 V:2
M:6
S:
O: TD:163/76
mmHg, N: 85x/m,
RR:17 x/m, S: 360C.
S:
O: Keluarganya
Menyetujuinya
S:
Sofana
fairro
fingiyah
- Melibatkan keluarga
dalam memahami
informasi dari atau ke
pasien
- Melatih pasien berbicara
secara mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U, E,
O
- Mendengarkan dengan
penuh perhatian apa
yang diucapkan pasien
- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien
(memberikan makan
lewat NGT)
- Mengajarkan ROM pasif
O: Pasien posisi
head up
S:
O: Keluarga
membantu
memahami
informasi dari atau
ke pasien
S:
O: Pasien sudah
mampu diajak
untuk berlatih
dimulai dari latihan
mengucapkan huruf
demi huruf.
S:
O: Melakukan
Komunikasi sesuai
kebutuhan pasien
S:
O: Segala
kebutuhan pasien
dibantu oleh
keluarga dan
perawat
S:
O: anggota tubuh
yang semula sangat
kaku sedikit lebih
lemas
I, II,
III,
IV
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
- Melibatkan keluarga
dalam memahami
informasi dari atau ke
pasien
- Melatih pasien berbicara
secara mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U, E,
O
- Mendengarkan dengan
penuh perhatian apa
yang diucapkan pasien
- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien
(memberikan makan
lewat NGT)
S:
O: TD: 160/90
mmhg, N:76x/m,
RR: 18x/m, S:
36,50c
S:
O: keluarga
membantu dalam
proses
penyembuhan
S:
O: Pasien sudah
mampu untuk
belajar terapi A, I,
U, E, O, pasien
sudah sampai
menyebutkan satu
kata.
S:
O: melakukan
komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
S:
O: memenuhi
kebutuhan pasien
seperti makan,
mandi
- Mengajarkan ROM pasif S:
O: pasien belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik
- Melatih pasien berbicara
secara mandiri di mulai
dengan terapi A, I, U, E,
O
- Memberikan ROM pasif
- Mengobservasi tanda-tanda vital
S:
O: Pasien sudah
bisa mengikuti
perintah apa yang
diajarkan oleh
perawat, seperti
menyebutkan kata
sesuai huruf
awalannya yang
ditunjuk oleh
perawat.
S:
O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.
S:O: TD: 165/90mmHg, N: 78 x/m,RR: 18 x/m, S: 36,50C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 11 juli 2017 S:
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang
diajarkan oleh perawat.
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan
bahasa yang
tertulis
2 3
Menggunakan
bahasa lisan
2 3
Menggunkan foto
dan gambar
2 3
Menggunakan
bahasa isyarat
2 4
Menggunakan
bahasa non verbal
2 3
Mengarahkan
pesan pada
penerima yang
tepat
2 3
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
Sofana
fairro
fingiyah
11 juli 2017 S:
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku
saat dibantu untuk digerakkan.
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam
aktifitas fisik
2 3
Sofana
fairro
fingiyah
- Mengerti tujuan
dari peninggkatan
mobilitas
2 3
- Memverbalisasikan
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
berpindah
2 3
- Memperagakan
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
2 3
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
11 juli 2017 S:-
O: Pasien memgatakan masih pusing,
kepalanya masih terasa berat
TD: 145/50 mmHg
N: 78x/m
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala
berkurang
- Berfungsinya
saraf dengan
baik
- TTV dalam
batas normal
2
2
2
3
3
4
Sofana
fairro
fingiyahs
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
JURNAL PSIKOLOGI VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 34 – 49
34
Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi Pada Pemulihan Bahasa Afasia
Musdalifah Dachrud 1
Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado
Abstract
It has been speculated that conflicting results demonstrated across poststroke or brain damage aphasia therapy studies might be related to differences in intensity of therapy provided across studies. This study provides a meta analitic review of the role intensity of aphasia therapy on aphasia recovery when the findings aggregated across studies. The aim of the study is to investigate the relationship between intensity of aphasia therapy and aphasia recovery. It was found that after sampling error correction was r=0.201. These finding indicates that intensity of therapy aphasia have roles in recovery. Changes in mean scores from each study were recorded. Intensity of therapy was recorded in terms of length of therapy and hours of therapy provided per week. This study conclusion intense therapy over a short amount of time can improve outcomes of speech and language therapy for aphasia. Keywords: cerebrovascular accident, aphasia, therapy, treatment outcome The1Agency for Health Care Policy and
Research Post‐Stroke Rehabilitation Clinical Practice Guidelines mendefinisikan afasia sebagai hilangnya kemampuan untuk berkomunikasi dengan lisan, isyarat, maupun tertulis atau ketidakmampuan untuk memahami komunikasi tersebut atau hilangnya kemampuan berbahasa (Gresham et al., 1995).
Darley (1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan suatu kerusakan atau pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa cerebral hemisphere. Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain injury, dapat pula dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak (Nadeau, Rothi, & Crosson, 2000)
1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilaku‐kan dengan menghubungi: [email protected]
Definisi lain mengungkapkan afasia dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan cognitive communication yang berhubungan dengan kerusakan otak lainnya seperti dementia dan traumatic brain injury (Orange & Kertesz, 1998). Bagaimanapun, penje‐lasan terhadap afasia bukan sederhana semata‐mata sebagai kekacauan berbahasa, melainkan sebagai suatu kesatuan klinis yang kompleks.
Secara klinis Kertezs (1979) meng‐uraikan afasia sebagai bagian dari neurology di mana gangguan terjadi pada pusat bahasa ditandai oleh paraphasias, kesu‐karan menemukan kata‐kata, pemahaman yang berbeda dan berubah lemah. Disamping itu berkaitan pula dengan gangguan membaca dan menulis yang lazim seperti dysarthria, konstruksi non‐verbal, kesulitan menyelesaikan masalah serta kelemahan dalam memberi dan
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 35
merespon melalui isyarat (impairment of gesture).
Agar para penderita afasia dapat memperoleh kembali bahasanya, maka ditempuh berbagai perlakuan (treatment), seperti rehabilitasi, training, dan terapi. Treatment dan prosedur treatment didefini‐sikan sebagai suatu hal yang perlu sebagai prasyarat jawaban bersifat percobaan. Treatment yang didasarkan pada prosedur pembiasaan, latihan dan target pencapaian waktu pada umumnya tergambar dengan baik dan menjadi hal menarik serta dapat menjadi model bagi para perancang terapi bicara dan bahasa pada afasia agar lebih efektif, efisien dan manjur (Siguroardottir & Sighvatsson, 2006). Beberapa di antara perlakuan tersebut adalah terapi melalui Speech Language Therapy (SLT), Melody Intonation Therapy (MIT), Semantic and Phonological Treatment, Word Treatment, Constraint‐Induced Aphasia Therapy (CIAT)
Treatment berupa terapi yang diberikan pada pasien penderita gangguan komuni‐kasi untuk memberikan kemampuan berkomunikasi baik secara lisan, tulisan maupun isyarat (Bakheit et al., 2007). Target pelatihan dalam terapi adalah peningkatan dalam pengungkapan dan pemahaman di mana keduanya dalam wujud percakapan atau bahasa, baik secara lisan maupun tulisan secara bersamaan untuk meningkatkan kualitas hidup sehari‐hari. Tugas‐tugas yang diberikan dalam pelatihan bicara dan bahasa bermacam‐macam (Berthier, 2005) seperti pemilihan gambar atau objek, pemberian nama pada objek, menggambarkan dan mengenali asosiasi antar materi, memudahkan meng‐ungkapkan pendapat atau perasaan dam peningkatan keterampilan yang bersifat percakapan. Pasien yang diterapi juga diarahkan untuk menggunakan isyarat atau tanda‐tanda yang lain dari komunikasi non‐verbal, termasuk di dalamnya cakupan
yang lebih luas tentang media dan alat bantu komunikasi (Bakheit et al., 2007).
Pemulihan berbahasa afasia sangat ditentukan oleh efektivitas treatment yang diterapkan. Salah satunya penilaiannya adalah pada intensitas treatment. Intensitas treatment dalam studi ini digambarkan dalam terminologi jam terapi dalam periode belajar. Sebuah penelitian yang dilakukan Greener, Enderby, & Whurr (2001) menyatakan bahwa saat ini treatment yang dilakukan pada pasien penderita afasia di rumah sakit UK terdiri dari dua sesi setiap minggu masing‐masing satu jam yang dinamai terapi standar. Sedangkan terapi intensif adalah terapi yang diberikan dalam lima jam tiap sesi per minggu, sebagaimana direkomendasikan pada penelitian‐penelitian sebelumnya dalam jangka waktu terapi (Brindley, Copeland, Demain, & Martin, 1989). Optimalisasi treatment diberikan dalam dua belas ming‐gu bersamaan dengan periode kesembuhan maksimal dari stroke (Wade, Legh‐Smith, & Hewer, 1987). Studi ini untuk meneliti tingkat efficacy pada treatment terapi bicara dan bahasa pada penderita afasia yang hasil‐hasilnya banyak yang bertentangan.
Penjelasan terhadap heterogen pene‐muan pada studi‐studi yang telah dilakukan sebelumnya dapat dilihat pada perbedaan intensitas terapi (Brindley et al., 1989; Poeck, Huber, & Williams, 1989). Telah tercatat bahwa beberapa kegagalan untuk mengidentifikasi manfaat yang konsisten dari terapi dapat terjadi berkaitan dengan intensitas terapi bahasa dan bicara yang diterapkan rendah yang dimasukkan dalam studi‐studi yang negatif, sedangkan intensitas terapi yang lebih tinggi berada dalam studi‐studi positif (Teasell, Doherty, Speechley, Foley, & Bhogal, 2002).
Robey & Schultz (1998) mengajukan model klinis dalam treatment afasia dengan uji coba yang dikontrol dengan random
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 36
untuk tujuan efektivitas intervensi. Gam‐baran prosedur dan peningkatannya dapat prediksi disesuaikan dengan pasien afasia, dilakukan dalam 3 tahap uji coba.
Beberapa kasus tunggal dan studi kelompok kecil telah dilakukan berkaitan dengan treatment fonologi dan semantik. Treatment berkaitan dengan fonologi terba‐tas dan hanya berlangsung singkat saat materi dilatihkan, sedangkan treatment semantik ditemukan peningkatan yang menyeluruh dan bersifat menetap (Howard, Patterson, Franklin, Orchard‐Lisle, & Morton, 1985).
Treatment semantik sesuai dengan pemrosesan bahasa yang berpengaruh da‐lam pemahaman berbicara dan berbahasa, baik tulisan maupun percakapan. Ukuran hasil yang meningkat adalah pencapaian kemampuan memberikan diskripsi penamaan suatu tugas.
Proses pemulihan bicara dan bahasa secara spontan pada afasia menjadi pertim‐bangan mengapa intervensi secara spesifik berpengaruh pada performance afasia. Intervensi dengan cara yang berbeda ditu‐jukan untuk efektivitas intervensi yang didasarkan pada prinsip neuropsyichological, dan ini masih sangat kurang (Byng & Black, 1995; Mitchum, 1994).
Howard et al. (1985) mengemukakan bahwa penerimaan sebuah riset yang diakui membutuhkan spesifikasi treatment yang bertujuan untuk mengembalikan kemampuan sebagaimana spesifikasi mengenai prosedur treatment. Masih sedikit penelitian dangan uji coba yang terspesifi‐kasi (Prins, Schoonen, & Vermeulen, 1989). Cochrane menyimpulkan dalam tinjauan ulang akan ketidakmampuan statistik pada hampir semua uji coba, ini berarti pertanyaan tentang efektivitas tritmen pada afasia masih terbuka. Treatment pada
dasarnya sudah efektif (Whurr, Lorch,& Nye, 1992; Robey, 1994) walaupun beberapa treatment itu hanya efektif pada pasien spesifik (Enderby, 1996).
Penelitian Wertz et al. (1986) menyim‐pulkan bahwa treatment klinis pada pasien afasia selama 12 minggu dan treatment yang tertunda hingga 24 minggu tidak menun‐jukkan perbaikan akhir pada pasien afasia.
Hartman & Landau (1987) memban‐dingkan terapi bicara konvensional dengan terapi konseling dukungan emosional yang diberikan dua kali seminggu dalam 6 bulan dan hasilnya terapi konvensional tidak lebih efektif dari terapi dukungan emosional.
Dengan demikian, terapi yang intensif menjadi hal yang penting dalam usaha pemulihkan bahasa afasia. Terapi afasia dapat meningkatkan pemulihan bicara setahun setelah munculnya afasia pada beberapa pasien (Brindley et al., 1989). Dengan terapi intensif, 78% dari pasien yang ditritmen 4 bulan setelah permulaan dan 46% pada pasien yang diberi treatment 4‐12 bulan meningkat di luar perkiraan dengan pemulihan spontan (Poeck et al., 1989).
Sasaran dari studi yang akan dila‐kukan ini adalah meneliti hubungan antara intensitas terapi afasia dengan pemulihan afasia. Studi pada treatment berupa terapi bahasa dan bicara afasia ini dilakukan untuk mengukur tingkat intensitas perla‐kuan dan untuk menentukan apakah intensitas terapi berhubungan dengan hasil‐hasilnya. Dengan menggunakan studi‐studi terapi afasia yang telah diterbit‐kan, studi ini berusaha untuk mengkuan‐tifikasikan intensitas perlakuan dan menen‐tukan apakah intensitas berhubungan dengan hasil akhir.
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 37
Metode
Seleksi dan Identifikasi Data
Penelitian ini menggunakan metode metaanalisis di mana data dikumpulkan dari sejumlah studi primer yang pernah dilakukan untuk menguji hubungan antara treatment dengan pemulihan berbahasa pada Afasia. Treatment yang dimasukkan dalam studi ini adalah terapi yang diarah‐kan untuk memulihkan kembali kemam‐puan berbahasa pada penderita afasia setelah mengalami cedera otak.
Penelusuran hasil‐hasil penelitian secara manual, baik dengan mencari jurnal di perpustakaan guna menemukan studi yang sesuai, berdasarkan data yang ditemukan di internet maupun bibliografi, dan juga penelusuran jurnal melalui media elektronik dengan fasilitas perpustakaan digital, baik melalui database atau dengan EBSCHO, Pro‐Quest, Spingerlink, J‐Stor yang diakses melalui www.lib.ugm.ac.id, ataupun dengan search engine seperti pada Google dan SAGE Publication dengan kata kunci aphasia treatment, aphasia recovery. Beberapa hasil studi yang diperoleh menunjukkan pengujian efek treatment yang meliputi berbagai macam terapi dalam pemulihan bahasa pada afasia, baik kata, kalimat, semantik, fonologi, leksikal (Prins et al., 1989; Siguroardottir & Sighvatsson, 2006)
Studi yang telah dikumpulkan diklasi‐fikasikan dalam kelompok‐kelompok, untuk kategorisasi studi yang memenuhi syarat untuk dilakukan metaanalisis. Seleksi awal mengelompokkan studi yang berisi treatment terhadap afasia sebanyak 32 studi. Selanjutnya dari 32 studi yang ada, dipilih 12 studi yang telah diseleksi yang terkait dengan terapi pemulihan berbahasa. Studi yang dimasukkan dalam analisis adalah studi yang berisi terapi dengan
perlakuan terhadap pasien afasia dalam durasi yang ditentukan. Studi tidak dibatasi pada pasien afasia sesudah stroke saja tapi juga pasien dengan cedera otak traumatik.
Setelah tiap kutipan studi diidentifikasi melalui pencarian literatur, maka selan‐jutnya dilakukan pengkajian abstrak terkait untuk menilai kesesuaian metaanalisis yang akan dilakukan. Dalam studi meta‐analisis ini, intensitas treatment merupakan variabel bebas dan pemulihan bahasa penderita afasia sebagai variabel terikat. Hasil identifikasi studi primer mengha‐silkan pengkodean yang meliputi nama peneliti, tahun, sumber sampel, jumlah sampel, tipe sampel, jenis, durasi treatment, dampak treatment, dan score treatment pada afasia.
Hasil seleksi terhadap data yang terse‐dia dapat dilihat pada Tabel 1 berupa data‐data yang memenuhi karakteristik jurnal yang akan dimetakan.
Sepuluh studi tersebut yang meneliti terapi pada afasia memenuhi kriteria setelah dikaji. Sepuluh studi ini merepre‐sentasikan 339 individu pasien. Deskripsi singkat dari masing‐masing artikel adalah sebagai berikut :
Meinzer, Djundja, Barthel, Elbert, & Rockstroh (2005) menemukan jawaban atas dugaan yang terbentuk bahwa peningkatan fungsi bahasa pada afasia kronis hanya dapat dicapai melalui perlakuan jangka panjang. Penelitian ini menguji kemanjuran perlakuan dalam jangka pendek, pelatihan intensif constraide induced pada terapi afasia. Temuan dalam program ini adalah prinsip pencegahan pada komunikasi pengganti, kumpulan praktik dan pemben‐tukan. Sebanyak 27 pasien afasia kronis dilatih selama 20 jam dalam 10 hari, 12 pasien dilatih dengan program CIAT, 15 pasien dilatih dengan modul bahasa dalam tulisan dan tambahan pelatihan komuni‐
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 38
kasi sehari‐hari, yang melibatkan anggota keluarga (CIAT Plus). Pengukuran dalam standarized neurolinguistik testing dan peni‐laian didasarkan pada kualitas dari jumlah komunikasi sehari‐hari. Hasil menunjuk‐kan fungsi bahasa meningkat dengan signifikan setelah pelatihan untuk kedua kelompok dan kestabilan tetap. Setelah hingga 6 bulan berikut analisis kasus tunggal menunjukkan peningkatan secara signifikan pada 85% pasien tersebut. Pasien yang disertai keluarga dinilai dan jumlah komunikasinya sebagai peningkatan sete‐lah terapi. Peningkatan ini lebih pada pronounce (pelafalan) pasien pada kelom‐pok CIAT Plus dalam keluarganya. Konfirmasi hasil menunjukkan bahwa studi pelatihan bahasa yang intens dalam waktu yang pendek didasarkan pada prinsip belajar dapat mendorong ke arah pening‐katan permanen dan substansial pada fungsi bahasa afasia kronis. Pada fungsi bahasa afasia kronis penggunaan teman atau keluarga dalam pelatihan menunjuk‐
kan suatu unsur tambahan yang berharga. Intensitas ini efektif dan sukses digunakan pada rehabilitasi pasien afasia kronis apalagi didesain dalam waktu yang singkat membuatnya menarik bagi pelayanan jasa.
Pulvermuller et al. (2006) meneliti pasien afasia kronis yang dibagi secara acak dalam sebuah kelompok untuk menerima terapi konvensional dan Contraid Induced (CI), sebuah teknik pengobatan baru yang menuntut kerja keras dalam praktek yang singkat pada hari yang berturut‐turut. Terapi Afasia CI direalisasikan dalam suatu lingkungan terapi komunikatif bagi pasien yang terhambat secara sistematis dalam praktik berbicara karena mengalami kesu‐litan. Kedua kelompok pasien menerima perlakuan yang sama (30‐35 jam) dalam sepuluh hari latihan praktek berbahasa, untuk kelompok CI terapi (minimal 3 jam per hari; 10 pasien) atau pada periode yang lebih panjang, 4 minggu untuk kelompok terapi konvensional (7 pasien). Terapi Afasia CI mendorong pentingnya pening‐
Tabel 1 Karakteristik Jurnal yang Akan Dimetakan No
Study Peneliti tahun N Intensitas tritmen Pemulihan Bahasa
1 Wambaugh & Ferguson 2007 1 12 sesi 3 minggu Kata kerja & kata benda
2 Breinstein et al 2004 2 5 sesi jam per hari Leksikal 3 Reymer et al 2006 2 3‐4 sesi 2 fase Kata benda & kata
kerja 4 Racette et al 2006 8 4 sesi 2 jam durasi fleksibel Kata‐kata 5 Hebert & Racette 2003 1 2 sesi 39 bulan Kata‐kata 6 Meinzer et al 2005 27 30 jam 2 minggu Kata kata dan
tulisan 7 Pulverlmuller 2001 17 3‐4 jam per hari 10 hari Kata kata 8 Bakheit et al. 1 2007 116 2 ‐ 5 jam 12 minggu Kata‐kata Bakheit et al. 2 2007 116 2 ‐5 jan 24 minggu Kata‐kata 9 Doesborgh et al 2004 35 1,5‐3 jam per minggu 2&3 sesi Semantik 10 Gaiefsky 1 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat Gaiefsky 2 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat Gaiefsky 3 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat Gaiefsky 4 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat Gaiefsky 5 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 39
katan pelafalan pada beberapa tes klinik standar, pada peningkatan diri, pening‐katan penilaian observer pada efektivitas komunikasi pasien dalam kehidupan sehari‐hari. Pasien yang menerima inter‐vensi kontrol gagal mencapai peningkatan yang dapat dibandingkan. Data menun‐jukkan bahwa keterampilan berbahasa pasien afasia kronis meningkat dalam waktu singkat dengan menggunakan teknik massed‐practice yang disesuaikan pada fokus kebutuhan komunikasi pasien.
Doesborgh et al. (2003) mengemukakan bahwa defisit semantik adalah penurunan dalam hal memahami maksud atau arti kata yang berdampak besar dalam berko‐munikasi secara lisan bagi pasien afasia. Penelitian pada efek treatment semantik dalam berkomunikasi secara lisan. Seba‐nyak 58 pasien yang mengalami defisit kombinasi berkaitan dengan fonologi dan semantik yang dirandom untuk menerima treatment semantik atau treatment yang dikontrol pada fokus bunyi kata (fonologi). Sebanyak 55 pasien menyelesaikan pre dan post‐treatment dengan pengukuran komuni‐kasi lisan (ANELT). Pada analisis treatment (n=46), efek spesifik treatment yang ber‐kaitan dengan fonologi dan semantik menjadi tolak ukur penyelidikan. Pada kedua kelompok terdapat peningkatan pada ANELT, ditemukan tidak ada perbe‐daan antar kelompok pada skor keselu‐ruhan. Setelah treatment semantik, pasien kembali mengalami peningkatan pada pengukuran semantik. Sedangkan pada treatment fonologi, pasien mengalami peningkatan berkaitan dengan fonologi. Sebagai catatan utama, penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan dalam dua treatment. Tantangan sekarang adalah temuan berkaitan dengan dugaan treatment semantik lebih efektif dibanding‐kan treatment fonologi dengan pasien defisit kombinasi semantik dan fonologi.
Keutamaan pada pengukuran yang selektif berkaitan dengan pengukuran semantik dan fonologi dinyatakan bahwa pening‐katan komunikasi lisan dicapai dengan cara yang berbeda untuk masing‐masing kelompok treatment.
Racette, Bard, & Peretz (2004) berang‐kat dari observasi klasik dalam neurologi bahwa pasien afasia melagukan kata‐kata yang tidak dapat mereka lafalkan dengan cara lain. Penilaian lebih lanjut dengan menginvestigasi produksi nyanyian dan ucapan dalam berbicara pada 8 pasien brain damage yang menderita kesulitan berbicara akibat cedera pada otak sebelah kiri. Eksperimen pertama, daya ingat pasien diuji dengan pengulangan kata‐kata dan catatan tentang materi (hal‐hal) umum yang dikenal, seperti kata‐kata dalam doa dan pepatah; tidak ditemukan pelafalan yang lebih baik dibandingkan berbicara (bukan nyanyian). Eksperimen kedua, pasien afasia mengingat dan mengulangi lirik dari lagu baru. Kembali lagi tidak menghasilkan kata‐kata yang lebih baik dalam bernyanyi dibandingkan bila berbicara. Eksperimen ketiga, ketika diper‐kenankan untuk bernyanyi atau berbicara disertai dengan sebuah model yang difokuskan pada penggunaan indera pendengar selagi mempelajari nyanyian baru, pasien afasia lebih mengingat dan mengulangi kata‐kata ketika bernyanyi dibandingkan ketika berbicara. Pengurang‐an kecepatan tidak memberikan dampak yang menguntungkan pada nyanyian yang panjang pada penyesuaian dalam berbi‐cara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bernyanyi dengan sinkronisasi model indera pendengaran – berkaitan dengan koor nyanyian – adalah lebih efektif dibandingkan dengan koor pada berbicara. Indikasi ini setidaknya terlihat pada orang‐orang Perancis, peningkatan kata yang cukup jelas sebab bernyanyi yang berkaitan
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 40
dengan koor mungkin lebih diterima atau lebih sesuai dengan satu penghubung vocal‐auditory. Dengan demikian, bernyanyi yang dikaitkan dengan koor menunjukkan makna yang efektif pada terapi bicara.
Hebert, Racette, Gagnon, & Peretz (2003) menginvestigasi produksi ucapan pada nyanyian dan bicara pada seorang pasien afasia non‐fluent, yaitu C.C. yang mengalami afasia ekspresif setelah otak kirinya mengalami stroke tetapi memori dan pengertian bahasanya masih relatif terpelihara. Eksperimen pertama, C.C. mengulang‐ulangi kutipan lagu yang umum telah dikenal dalam empat kondisi yang berbeda, berkaitan dengan lirik percakapan, lirik lagu yang asli dengan melodi, lirik lagu yang baru tetapi melodinya telah umum dikenal, dan lagu dengan melodi netral dengan satu suku kata netral “la”. Eksperimen kedua, mengulangi kutipan nyanyian baru dalam tiga kondisi yang berbeda; berkaitan dengan lirik percakapan, lirik lagu, dan lagu dengan melodi dua suku kata”to‐la”. Jumlah rata‐rata kata yang diproduksi dalam bentuk percakapan dan nyanyian pada kondisi yang berbeda tidak berbeda secara signifikan dalam eksperimen mana‐pun. Tercatat jumlah rata‐rata kata yang diproduksi tidak berbeda dalam kondisi manapun pada lagu “to‐la” dan kondisi lagu apapun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan memproduksi kata‐kata, hal ini menunjukkan adanya suatu pemisahan antara C.C. dalam produksi verbal dengan bakat musik. Penemuan ini tidak mendu‐kung pernyataan bahwa bernyanyi dapat membantu produksi kata‐kata pada pasien afasia non‐fluent. Konsisten dengan gagasan bahwa produksi verbal, apakah itu perca‐kapan atau nyanyian, adalah hasil dari mekanisme operasi yang sama.
Breitenstein, Kamping, Jansen, Scho‐mascher, & Knecht (2004) berangkat dari
asumsi bahwa anak‐anak memperoleh kata‐kata baru hingga mengeksposnya tanpa perlu untuk diberi umpan balik yang tegas dari caregivers (keluarga). Dalam terapi afasia, umpan balik kepada pasien amat penting menjadi pertimbangan walaupun data empiris pada dasarnya menunjukkan pembelajaran dengan umpan balik secara langsung masih kurang. Studi ini menguji orang dewasa sehat dengan pasien afasia kronis untuk mendapatkan perbendaharaan kata (leksikal) dari fre‐kuensi intensitas yang ditegaskan sendiri.
Penelitian ini membandingkan ting‐katan tahap belajar dengan “frekuensi ekspose diri”, (kondisi tanpa umpan balik n=19 orang dewasa sehat, 2 pasien dengan afasia Broca dan Wernicke secara beru‐rutan) di mana kondisi yang pokok dengan umpan balik langsung (n=19). Prinsip belajarnya adalah penilaian ketelitian memasangkan yang “benar” sesuai kata dan gambar lebih tinggi dibandingkan dengan yang “salah” pasang. Pada kondisi umpan balik, umpan balik secara langsung memberikan ketepatan pada masing‐masing pilihan yang disajikan. Hasil pene‐litian menunjukkan dua kelompok yang sehat sukses memperoleh kata‐kata. Umpan balik mendorong pada suatu percepatan (akselerasi) pembelajaran awal tetapi tidak meningkat secara laten untuk mencapai puncak atau ingatan jangka panjang tentang pengetahuan yang berhu‐bungan dengan leksikal. Penemuan ini menunjukkan frekuensi yang tinggi pada ekspose interaktif adalah mekanisme belajar kata yang kuat pada orang dewasa dan umpan balik yang tidak rumit. Bukti nyata lebih lanjut dari pelatihan yang sukses adalah pada dua pasien afasia kro‐nis tanpa umpan balik langsung. Kesim‐pulan dalam penemuan ini menunjukkan bahwa kata yang dipelajari kembali dan diulang‐ulang pada afasia dapat berman‐
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 41
faat dalam memaksimalkan frekuensi ekspose dan pemanfaatan prinsip terapi pada “massed practice” (kumpulan hasil praktek), yang telah sukses sebagaimana pada rehabilitasi fisik setelah stroke. Secara ringkas, pada umpan balik dapat mencegah pasien menjadi takut oleh konfrontasi yang berlanjut dengan kondisi defisit mereka.
Wambaugh & Ferguson (2007) menguji efek terhadap semantik yang menonjolkan pemerolehan kembali tindakan penyebutan pada peserta dengan afasia anomic. Treatment diberlakukan secara sekuen pada dua kesatuan tindakan dan dalam konteks berbagai desain awal berkaitan dengan perilaku. Efek treatment dievaluasi ber‐kaitan dengan penamaan dari tindakan yang dilatih dan tidak dilatih. Efek pro‐duksi percakapan juga diuji dengan mem‐perhatikan produktivitas lisan, informatif dan produksi kata kerja dan kata benda. Peningkatan penamaan diteliti pada kedua latihan tindakan penamaan, dengan peningkatan treatment pada enam minggu post treatment. Bagaimanapun, ketelitian pada respon tidak sampai pada tingkatan ukuran sebelum stabil. Ekspose yang diulangi pada item stimulus tanpa latihan menghasilkan peningkatan yang temporer dan tidak stabil pada ketelitian penamaan. Tidak ada perubahan yang diamati pada ketelitian penamaan dari yang tidak dilatih, yang terukur hanya pada internal sebelum dan sesudah treatment. Peningkatan pada informatif dan produktivitas lisan dalam menghasilkan percakapan berkaitan dengan treatment.
Menurut Raymer & Kohen (2006), word retrieval pada afasia ditemukan mempunyai pengaruh yang besar dalam penamaan gambar bagi yang dilatih kata‐kata. Untuk meningkatkan pengaruh treatment pada kata‐kata yang tidak dilatih dan konteks kalimatnya, diteliti dalam suatu treatment pembacaan kalimat secara hierarki bahwa
perpindahan kesalahan pada produksi generatif kalimat dengan mendampingkan noun dan verbs target. Pada individu afasia non‐fluent, treatment berdampak pada peningkatan berkaitan dengan penamaan gambar pada kata benda atau kata kerja dan digeneralisasikan dalam jumlah, isi, dan tata bahasa yang mengikuti terapi kata benda. Pada individu afasia fluent, ditemu‐kan peningkatan dengan baik setidaknya dalam penamaan gambar dan generatif kalimat pada keduanya, yaitu kata benda dan kata kerja. Sentences based word retrieval training ini, di mana proses semantik dan sintatik saling berhubungan, mendorong peningkatan jumlah pengulangan kata pada afasia non‐fluent. Harapan yang berlawanan, di mana perubahan ini lebih besar terjadi pada pada mereka dengan terapi kata benda dibandingkan yang mengikuti kata kerja.
Bakheit et al. (2007) menguji apakah banyaknya jumlah terapi bahasa dan bicara mempengaruhi kesembuhan pada pasien afasia sesudah stroke. Pasien stroke yang afasia dipilih secara acak kemudian dialo‐kasikan untuk menerima 5 jam (kelompok terapi intensif, n=51) atau 2 jam (kelompok terapi standar) terapi bahasa dan bicara setiap minggu selama 12 minggu yang dipraktekkan segera setelah stroke. Sebanyak 19 pasien lainnya direkrut untuk menerima terapi selama 2 jam tiap minggu dan pengukuran dilakukan oleh staf National Health Service (NHS) (kelompok NHS). Pengukuran dengan Western Aphasia Battery (WAB) dilakukan dengan pengu‐kuran awal yang disamarkan dengan acak, selanjutnya pada minggu ke‐4, 8, 12, dan 24 setelah dimulainya terapi. Rerata pening‐katan ditunjukkan pada minggu ke‐12 untuk kelompok intensif, standar dan NHS. Tidak terdapat efek perlakuan pada intensif terapi (P>0.05), tetapi ada perbedaan yang signifikan antara studi kelompok standar
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 42
dengan NHS pada minggu ke‐12 (P=0.002) dan minggu ke‐24 (P=0.01). Studi ini menyimpulkan bahawa terapi intensif bahasa dan bicara tidak meningkatkan perubahan bahasa yang signifikan diban‐dingkan dengan standar terapi. Adanya peningkatan terapi pada afasia setidaknya pada kelompok NHS.
Gaiefsky (2003) meneliti 5 pasien afasia Broca dengan rancangan treatment reha‐bilitasi untuk meningkatkan produksi bahasa yang dimulai dengan prosedur perekrutan yang benar melalui Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI). Treatment diberikan dalam empat fase, masing‐masing sepuluh sesi dengan durasi wakru empat minggu. Hasil menunjukkan bahwa tiga pasien secara signifikan menun‐jukkan aktivitas fungsional dalam area
broca. Satu pasien afasia menunjukkan penurunan aktivitas fungsional pada area broca. Sementara satu pasien secara signi‐fikan tidak menunjukkan aktivitas fung‐sional pada area berbahasa (broca).
Analisis Data
Hunter & Schmidt (1990) mengemu‐kakan bahwa dalam metaanalisis dilakukan beberapa langkah di antaranya menghitung koreksi kesalahan sampel. Data yang dite‐mukan menunjukkan hasil statistik yang beragam, baik dari perbedaan maupun korelasional yaitu F, X², t, d, dan r. Selan‐jutnya hasil statistik yang diperoleh dari studi primer dilakukan transformasi nilai F, X², t, d atau r (Hunter & Schmidt, 1990). Hasil dari transformasi tersebut dijadikan
Tabel 2 Deskripsi Karakteristik Studi Metaanalisis Mengenai Intensitas Tritmen dan Efeknya pada Pemulihan Bahasa
No Peneliti & Tahun
N Tipe sampel Intensitas Tritmen
Pemulihan bahasa
Hasilstudi
1 Wambaugh & Ferguson, 2007
1 Afasia anomic 40‐60 menit per sesi selama 3 minggu dengan 12 sesi
Kata kerja & kata benda
+
2 Breitenstein et al. 2004
2 Afasia kronis broca & wernicke
5 sesi pd 1‐5 hari per sesi dgn 1‐6 jam per hari
Leksikal +
3 Reymer et al 2006 2 Afasia fluent & non‐fluent
Tiap hari 3‐4 sesi dalam 2 fase
Kata benda & kata kerja
+
4 Racette et al 2006 8 Afasia non‐fluent 4 sesi dalam 2 jam dgn durasi fleksibel
Kata‐kata ‐
5 Hebert & Racette 2003
1 Afasia non‐fluent 2 sesi dalam 39 bulan (bulan ke 6 & 33)
Kata‐kata ‐
6 Meinzer et al. 2005
27 Afasia kronis broca, wernicke, anomic & global
30 jam selama 2 minggu & 3 jam per hari
Kata kata dan tulisan
+
7 Pulverlmuller 17 Afasia kronis 3‐4 jam per hari selama 10 hari
Kata kata +
8 Doesborgh et al. 2004
58 Afasia wernicke, broca, anomic
1,5‐3 jam per minggu 2 atau 3 sesi
Semantik dan fonologi
+
9 Bakheit et al. 2007
116 2 & 5 jam selama 12 minggu Kata‐kata +
10 Gaiefsky, 2003 5 Afasia non‐fluent 3 fase masing‐masing 10 sesi 4 minggu
Kata‐kata & kalimat
+
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 43
langkah awal untuk penghitungan koreksi kesalahan sampel. Analisis kesalahan pengukuran tidak dilakukan karena tidak ditemukan dalam studi primer.
H a s i l Transformasi Perhitungan Nilai Terkon‐versi
Langkah perhitungan kesalahan sam‐pling dimulai dengan melakukan konversi nilai atau transformasi nilai terlebih dahulu. Penelitian terdiri dari penelitian korelasional dan penelitian perbedaan, oleh sebab itu harga F, X², perlu ditransfor‐masikan terlebih dahulu ke dalam harga t, d dan r. perhitungan hasil konversi nilai studi primer sebagaimana berikut Tabel 3.
Dari hasil tranformasi nilai ke r maka selanjutnya dapat dilakukan penghitungan koreksi kesalahan sampling yang meliputi:
estimasi r populasi, varians dari koefisien r populasi terbobot, varians r populasi kesa‐lahan pengambilan sampel dan estimasi varian r populasi.
Setelah dilakukan koreksi kesalahan sampling dari 10 jurnal dengan 22 studi, hanya 6 jurnal yang dapat dimasukkan analisis karena terbentur pada penggunaan rumus transformasi nilai t ke r (Hunter & Schmidt, 1999) di mana prasyarat rumus transform r=t/√t²+N‐2 adalah subjek harus lebih dari 2, sehingga hasil akhir jurnal yang dapat dianalisis untuk koreksi kesalahan sampling sebanyak 6 jurnal dengan 17 studi. Selain itu, analisis lebih lanjut terhadap studi yang tidak lagi diikutkan karena uraian jumlah waktu terapi yang mengindikasikan intensitas terapi dihubungkan dengan pemulihan pada afasia tidak dilaporkan hingga pada jam terapi dalam tiap periode.
Tabel 3 Hasil Perhitungan Konversi Nilai F, X², ke Harga t, d dan r
No Study Peneliti N F X² t D r
1 Wambaugh & Ferguson, 2007 1 1.76 ‐ 2 Breinstein et al. 2004 2 135.68 11.6482 ‐ 3 Reymer et al 2006 2 2.94 ‐ 4 Racette et al 2006 8 1.23 1.1090 0.03 5 Hebert & Racette 2003 1 4.26 2.0639 ‐ 6 Meinzer et al. 2005 27 3.44 1.8547 0.3477 7 Pulverlmuller 17 5.0 2.3607 0.5204 8 Bakheit et al. 2007 ‐1 116 0.08944 0.0083 9 Bakheit et al. 2007 ‐2 116 0.21447 0.021 10 Doesborgh et al. 2004 ‐1 23 0.58 11 Doesborgh et al. 2004 ‐2 23 0.34 12 Doesborgh et al. 2004 ‐3 23 0.04 13 Doesborgh et al. 2004 ‐4 23 0.24 14 Doesborgh et al. 2004 ‐5 23 0.40 15 Doesborgh et al. 2004 ‐6 23 0.16 16 Doesborgh et al. 2004 ‐7 23 0.58 17 Doesborgh et al. 2004 ‐8 23 0.15 18 Gaiefsky, 2003 ‐1 5 74.79 0.98 19 Gaiefsky, 2003 ‐2 5 98.82 0.985 20 Gaiefsky , 2003 ‐3 5 0.00 0 21 Gaiefsky, 2003 ‐4 5 16.28 0.918 22 Gaiefsky , 2003 ‐5 5 304.08 0.995
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 44
Tabel 4
Studi‐studi yang Dianalisis No
Study Peneliti N R Waktu terapi
Total jam terapi
Hasil studi
1 Racette et al 2006 8 0.03 4 sesi 2 jam Fleksibel ‐ 2 Meinzer et al. 2005 27 0.3477 10 hari 30 jam + 3 Pulverlmuller 17 0.5204 10 hari 40 jam + 4 Bakheit et al. 2007‐1 116 0.0083 12 minggu 360 jam + 5 Bakheit et al. 2007‐2 116 0.021 12 minggu 360 jam + 6 Doesborgh et al. 2004‐1 23 0.58 12 minggu 600 jam + 7 Doesborgh et al. 2004‐2 23 0.34 12 minggu 600 jam + 8 Doesborgh et al. 2004‐3 23 0.04 12 minggu 600 jam + 9 Doesborgh et al. 2004‐4 23 0.24 12 minggu 600 jam + 10 Doesborgh et al. 2004‐5 23 0.40 12 minggu 600 jam + 11 Doesborgh et al. 2004‐6 23 0.16 12 minggu 600 jam + 12 Doesborgh et al. 2004‐7 23 0.58 12 minggu 600 jam + 13 Doesborgh et al. 2004‐8 23 0.15 12 minggu 600 jam + 14 Gaiefsky, 2003‐1 5 0.98 14 minggu 300 jam + 15 Gaiefsky, 2003‐2 5 0.985 14 minggu 300jam + 16 Gaiefsky, 2003‐3 5 0 ‐ ‐ ‐ 17 Gaiefsky, 2003‐4 5 0.918 14 minggu 300 jam +
Studi yang dilakukan Wambaugh &
Ferguson, Racette et al., Raymer et al., dan Hebert tidak lagi diikutkan dalam analisis karena jumlah subjeknya hanya dua orang, sementara satu dari lima studi yang dilakukan Megan tidak dianalisis karena nilai X²=0.00 sehingga tidak dapat ditrans‐formasi.
Berdasarkan pada studi meta analisis ditemukan bahwa korelasi populasi setelah dikoreksi didapatkan sebesar ř 0.201917, dengan varians korelasinya (σr²) sebesar 0.063807 dan standar deviasi sebesar 0.2526. Mengacu pada interval kepercayaan sebesar 95%, batas penerimaannya antara ‐0.029318 < ř < 0.697014; dengan demikian hasil perhitungan ř sebesar 0.201917 berada pada batas penerimaan.
Nilai varians kesalahan pengambilan sampel adalah sebesar 0.03321 dan varian korelasi populasi sebesar 0.063807. Nilai varians kesalahan pengambilan sampel dibandingkan dengan nilai varians korelasi populasi dikalikan 100% merupakan
besarnya persentasi varians yang disebab‐kan kesalahan pengambilan sampel, yaitu sebesar 5.20%. Ini menunjukkan bahwa bias kesalahan karena kekeliruan dalam pengambilan sampel besar atau berada di atas 5%. Variansi yang besar ini menun‐jukkan bahwa variansi nilai yang disebab‐kan oleh kesalahan pengambilan sampel besar. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan bias yang disebabkan oleh kesalahan pengambilan sampel termasuk besar.
Hasil metaanalisis diperoleh ř 0.201 dan berada dalam area penerimaan 95% (‐0.29318 < ř < 0.697014) bahwa intensitas treatment menentukan usaha pemulihan bahasa pada afasia. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan intensitas treatment dalam durasi waktu yang digunakan sangat berhubungan dengan hasil yang diperoleh dalam pemulihan bahasa afasia. Hasil ini juga konsisten dengan penelitian‐penelitian yang telah dilakukan sebelum‐nnya yang mengamati hubungan antara terapi intensif yang mendukung pening‐
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 45
katan hasil pada afasia, sebagaimana yang dilakukan oleh Brindley et al. (1989) yang mengemukakan bahwa hanya dengan peningkatkan alokasi waktu pada terapi bicara, kemampuan afasia kronis dapat lebih efektif. Pernyataan ini didukung oleh Poeck et al. (1989) yang mencatat bahwa peningkatan terjadi pada afasia bahkan pada fase kronis dengan terapi intensif.
Hasil meta ini menunjukkan bahwa intensitas treatment merupakan determinasi yang berperan dalam pemulihan bahasa pada afasia dan mendukung beberapa penelitian yang selama ini terpublikasi (Robey & Schultz, 1998; Lincoln et al., 1984; Shewan & Kertesz, 1984; Bhogal, Teasell, Speechley, 2003).
Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa intensitas treatment berupa terapi dapat mempengaruhi hasil terhadap pemulihan bahasa afasia. Dengan demikian disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
Diskusi
Tujuh belas dari delapan belas studi yang dikaji melaporkan secara signifikan hasil positif yang memberikan terapi de‐ngan jumlah jam terapi yang tersistematis dalam jumlah jam per hari, per minggu, per sesi dengan masing‐masing durasi, dibandingkan dengan satu studi negatif yang hanya memberikan rentang waktu yang panjang tanpa ukuran waktu yang jelas serta studi Racette et al., yang durasi waktunya ditentukan secara fleksibel semata. Analisa menunjukkan bahwa semakin intensif terapi akan memberikan hasil yang meningkat.
Setelah dilakukan transformasi nilai t ke r maka dari duapuluh dua studi yang ditemukan hanya tujuh belas studi yang dapat dianalisis. Hal ini disebabkan lima studi lainnya tidak memenuhi syarat untuk dianalisis.
Enam belas studi yang dianalisis menunjukkan konsistensi keberadaan waktu sebagai determinasi dalam treatment berupa terapi intensif dan terapi dengan waktu yang standar berpengaruh dalam usaha pemulihan pada afasia. Keenam belas studi yang dikaji ini pun melaporkan secara signifikan hasil yang positif dengan rata‐rata jam terapi di atas enam jam terapi per minggu. Sedangkan satu studi negatif yang dilakukan Racette et al. (2006) hanya memberikan kurang dari dua jam terapi per minggu dengan durasi yang juga tidak ditentukan. Analisa menunjukkan bahwa semakin intensif terapi akan memberikan peningkatan hasil pada pemulihan bahasa pada afasia.
Terapi afasia Constraint‐Induced (CI) dengan kekhususannya sebagai bentuk terapi intensif bagi pasien afasia. Penggu‐naan praktek intensitas waktu yang pendek lebih sering dipilih dari pada waktu yang panjang pada terapi CI. Dampak dari terapi intensif CI dengan menggunakan paradig‐ma CI (waktu yang singkat), ditunjukkan oleh Pulvermuller et al. (2001), di mana pasien menerima terapi CI (3 jam terapi per hari selam 2 minggu) secara signifikan menunjukkan perbaikan pada semua peng‐ukuran hasil dibandingkan dengan pasien yang menerima terapi konvensional yang tidak menunjukkan perbaikan yang signi‐fikan.
Hubungan antara intensitas terapi bicara dan bahasa dalam rangka pemulihan bahasa pada afasia masih membutuhkan studi lebih lanjut. Sebagian besar keterba‐tasan dari kajian ini berasal dari keterba‐tasan studi asli yang berkualifikasi. Penggunaan ukuran tak terstandar, ukuran subjek dalam studi‐studi yang relatif kecil dan kurangnya pengacakan dalam kelom‐pok, serta kurangnya kejelasan mengenai intensitas terapi dan tidak adanya pela‐poran rata‐rata untuk penilaian keselu‐
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 46
ruhan untuk pengukuran hasil pada beberapa studi. Selain itu, banyak studi yang dianggap tidak kuat dengan ukuran sampel yang kecil. Penelitian terbesar yang dilakukan Bakheit et al. (2007), mengacak 309 pasien namun demikian yang dianalisa lengkap untuk dilaporkan 116 dan hanya 70 pasien yang menerima tritmen dengan konsisten.
Demikian pula studi yang dilakukan Doesborgh (2004), dari 87 pasien afasia yang direferensikan hanya 58 yang dima‐sukkan dalam studi setelah dirandom. Dari 58 pasien dibagi dalam dua treatment yaitu semantik dan fonologi dengan masing‐masing subjeknya hanya 23 yang masuk dalam analisis treatment.
Adanya hubungan yang ditunjukkan antara intensitas tritmen dalam bentuk terapi dan pemulihan bahasa pada afasia, membutuhkan perhatian yang lebih besar yang diperlukan untuk menyusun penga‐turan perlakuan yang lebih tepat. Lamanya terapi yang diberikan dalam per minggu, per jam, bahkan per sesi yang memung‐kinkan pencapaian pemulihan yang maksi‐mum membutuhkan penelitian lebih lanjut. Hal yang lebih penting, kajian ini menekan‐kan pentingnya terapi bahasa dan bicara pada penderita afasia.
Studi yang berpengaruh seperti Bakheit et al. (2007) menghasilkan kera‐guan terhadap kekuatan terapi bahasa dan bicara pada pemulihan afasia. Konfirmasi terhadap keraguan tersebut bahwa terapi dengan intensitas rendah yang diberikan dalam jangka waktu yang lama tidak mem‐berikan hasil yang signifikan. Walaupun demikian, terapi yang lebih intensif sekalipun diberikan dalam jangka waktu yang pendek, dapat memberikan perbaikan hasil yang signifikan. Implikasi penelitian ini adalah bahwa terapi afasia intensif yang diberikan selama 2 – 3 bulan sangat penting untuk memaksimalkan pemulihan pada
afasia. Selain itu, adanya hubungan antara intensitas terapi dengan pemulihan pada afasia menjadi langkah yang membutuhkan perhatian lebih besar dalam penyusunan formulasi treatment yang lebih tepat. Adapun jika terjadi kegagalan, menjadi potensi yang dipersiapkan untuk dikom‐promikan pada hasil akhir individual.
Berdasarkan hasil metaanalisis diper‐oleh bahwa determinasi intensitas treatment dalam usaha pemulihan bahasa pada afasia adalah faktor yang menentukan. Diindika‐sikan bahwa terapi yang intensif sekalipun dalam waktu yang pendek dapat mening‐katkan hasil pada terapi bahasa dan bicara bagi pasien afasia.
Kepustakaan
*Bakheit, A. M. O., Shaw, S., Barret, L., Wood, J., Griffiths, S., Carrington, S., Searle, K., & Kautsi, F. (2007). A prospective, randomized, parallel group, controlled study of the effect of intensity of speech and language therapy on early recovery from poststroke aphasia. Clinical Rehabili‐tation, 21, 885‐894
Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and treatment. Drugs and Aging, 22 (2): 163 – 82
Bhogal, S. K., Teasell, R., & Speechley, M. (2003). Intensity of aphasia therapy, impact on recovery. Stroke, 34, 987‐993
*Breitenstein, C., Kamping, S., Jansen, A., Schomascher, M., & Knecht, S. (2004). Word learning can be achieved without feedback: Implication for aphasia therapy. Restorative Neurology and Neuroscience, 22, 445 – 458
Brindley, P., Copeland M., Demain C., & Martin P. (1989). A comparison of the speech of ten chronic Broca’s aphasics
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 47
following intensive and non intensive periods of therapy. Aphasiology, 3, 695‐479
Byng, S., & Black, M. (1995). What makes a therapy? Some parameters of thera‐peutic intervention in aphasia. Euro‐pean Journal of Disorders of Communi‐cation, 30, 303–316
Cicerone, K. D., Dahlberg, C., Kalmar, K., Langenbahn, D. M., Malec, J. F., Bergquist, T. F. et al. (2000). Evidence‐based cognitive rehabilitation: Recom‐mendations for clinical practice. Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, 81, 1596‐1615
Darley, F.L. (1982). Aphasia. Philadelphia, Pa: WB Saunders.
*Doesborgh, S. J. C., Sandt‐Koenderman, M. W. E., Dippel, D. W. J., Harskamp, F., Kaudstaal, P. J., & Visch‐Brink, E. G. (2003). Effects of semantic treatment on verbal communication and linguistic processing in aphasia after stroke. A rondomized controlled trial. Stroke Journal of the American Heart Association, 35, t.pp
*Doesborgh, S. J. C. (2004). Assessment and treatment of linguistic defisits in aphasic patiens, Thesis, diakses di http://pada 04 November 2008
Enderby, P. (1996). Speech and language therapy ‐does it work? British Medical Journal, 321, 1655‐1658
*Gaiefsky, M.E. (2003). Functional Magnetic Resonance Imaging of Overt Language Production in Aphasia Rehabilitation: The Contribution of The Language Nondominant Hemisphere, Thesis, University of Florida, diakses di http:// pada 17 Juli 2008.
Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). Speech and language therapy for aphasia following stroke. Cochrane Review. Oxford: The Cochrane Library.
Gresham, G. E., Duncan, P. W., Stason, W. B., Adams, H. P., Adelman, A. M., Alexander D. N., et al. (1995). Post Stroke Rehabilitaton: Clinical Practice Guidelines. Washington, DC: Agency for Health Care Policy and Research, Departement of Health and Human Services, Public Health Services.
Hartman, J., & Landau W. M. (1987). Comparison of formal language therapy with supportive counseling for aphasia due to acute vascular accident. Archives of Neurology, 44 (6), 646‐649
*Hebert, S., Racette, A., Gagnon, L., & Peretz, I. (2003). Revisiting the disso‐ciation between singing and speaking in expressive aphasia, Brain, 126, 1838 – 1850
Howard, D., Patterson, K. E., Franklin, S., Orchard‐Lisle, V., & Morton, J. (1985). The facilitation of picture naming in aphasia. Cognitive Neuropsychology, 2, 49‐80.
Hunter, J. E. & Schmidt, F. L. (1990). Methods of Meta‐Analysis, Correcting Error and Bias in Research Findings. Sage Publications, Newbury Park.
Kertesz, A. (1979). Aphasia and Associated Disorders: Taxonomy, Localization and Racovery. Naw York: Grune and Startton
Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W., Jones, A. C., & Mitchell, J. R. (1984). Effectiveness of speech therapy for aphasic stroke patients: a randomised controlled trial. Lancet, 1, 1197–1200
McNeil, M. R., Doyle, P. J., Spencer, K. A., Goda, A. J., Flores, D., & Small, S. L. (1997). A double‐blind, placebo‐controlled study of pharmacological and behavioural treatment of lexical‐semantic deficits in aphasia. Apha‐siology, 11, 385‐400
DACHRUD
JURNAL PSIKOLOGI 48
*Meinzer, M., Djundja, D., Barthel, G., Elbert, T., & Rockstroh, B. (2005). Long‐Term stability of improved language Functions in chronic aphasia after constraint‐induced aphasia therapy. Stroke Journal of the American Hearth Association, 36, 1462 – 1466
Miceli, G., Amitrano, A., Capasso, R., & Caramazza, A. (1996). The treatment of anomia resulting from output lexical damage: Analysis of two cases. Brain & Language, 52, 150‐174
Mitchum, C. C. (1994). Traditional and contemporary views of aphasia: Implication for clinical management. Topics in Stroke Rehabilitation, 1, 14–36
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. (2000). Preface. In S. Nadeau, L. J. G. Rothi, & B. Crosson (Eds.), Aphasia and language: Theory to practice. New York: Guilford Press.
Nettleton, J. & Lesser, R. (1991). Therapy for naming difficulties in aphasia: appli‐cation of a cognitive neuropsycholo‐gical model. Journal of Neurolinguistics, 6, 139‐159
Orange, J. B., & Kertesz A. (1998). Efficacy of language therapy for aphasia. In: Physical Medicine and Rehabilitation: State of the Art Reviews. Philadelphia, Pa: Hanley‐Belfus, Inc.
Prins, R. S., Schoonen, R., & Vermeulen, J. (1989). Efficacy of two different types of speech therapy for aphasic stroke patients. Applied Psycholinguistics, 10, 85‐123
Poeck, K., Huber W., & Willmes K. (1989). Outcome of intensive language treat‐ment in aphasia. Journal Speech Hear Disorder, 54, 471–479
Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., Mohr, B., Rockstroh, B., Koebbel, P., & Taub, E. Constraint‐induced therapy of chronic aphasia after stroke. (2001).
Stroke Journal of the American Heart Association, 32, 1621 – 1626*
*Racette, A., Bard, C., & Peretz, I. (2006). Making non‐fluent aphasics speak: Sing along! Brain, 129, 2571 – 2584
*Raymer, A. M., & Kohen, F. (2006). Word‐retrieval treatment in aphasia: Effects of sentences context. Journal of Rehabilitation Research & Development, 43, 3: 367 – 378
Raymer, A. M., Thompson, C. K., Jacobs, B., & le Grand, H. R. (1993). Phonological treatment of naming deficits in aphasia: model‐based generalization analysis. Aphasiology, 7, 27‐53
Robey, R. R. (1994). The efficacy of treatment for aphasic persons: a meta analysis. Brain and Language, 47, 582–608
Robey, R. R. & Schultz, M. C. (1998). A model for conducting clinical outcome research: An adaptation of the standard protocol for use in aphasiology. Aphasiology, 12, 787‐810
Shewan, C. M., & Kertesz, A. (1984). Effects of speech and language treatment on recovery from aphasia. Brain Lang, 23, 272–299
Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006). Operant conditioning and errorless learning procedures in the treatment of chronic aphasia. International Journal of Psychology, 41 (6), 527–540
Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley N., and Bhogal S.K. (2002). Evidence‐based review of stroke rehabilitation. Heart and Stroke Foundation Ontario and Ministry of Health and Long‐Term Care of Ontario.
Van Harskamp, F. & Visch‐Brink, E. G. (1998). Evaluatie van het effect van taaltherapie bij afatische patiënten.
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 49
Stem‐, Spraak‐ en Taalpathologie, 7, 213‐232
Wade, D.T., Legh‐Smith, J., & Hewer, R.A. (1987). Depressed mood after stroke: A community study of its frequency. The British Journal of Psychiatry, 151, 200‐205
Wertz, R. T., Weiss, D. G., Brookshire, R. H., Aten, J. L., Garcia‐Bunuel, L., Holland, A. L., Kurtzke, J.F., LaPointe, L. L., Milianti, F. J., Brannegan, R., Greenbaum, H., Marshall, R. C., Vogel, D., Carter, J., Barnes, N. S., & Goodman, R. (1986). Comparison of clinic, home, and deferred language
treatment for aphasia. Archives of Neurology, 43 (7), 653‐658
*Wambaugh, J. L., & Ferguson, M. (2007). Aplication of semantic feature analysis to retrieval of action names in aphasia. Journal of Rehabilitation Research & Development, 44, 3: 381 – 394
Whurr, R., Lorch, M. P., & Nye, C. (1992). A meta‐analysis of studies carried out between 1946 and 1988 concerned with the efficacy of speech and language therapy treatment for aphasic patients. European Journal of Disorders of Communication, 27, 1‐17.
Keterangan
Tanda (*) : jurnal yang digunakan untuk studi metaanalisis
Neural Substrates of Spoken Language Rehabilitationin an Aphasic Patient: An fMRI Study
A. Leger, J-F. Demonet, S. Ruff, B. Aithamon, B. Touyeras, M. Puel, K. Boulanouar, and D. CardebatINSERM U 455 and Department of Neurology, CHU Purpan, Toulouse, France
Received October 23, 2002
Little is known about the neural counterparts ofspeech therapy in aphasic patients. An fMRI experi-ment was performed before and after a specific andintensive speech output therapy in RC, a patient withlong-lasting speech output deficit following a left-sided ischemic lesion. Overt picture naming and pic-ture/word rhyming were used as activation tasks inRC and 6 control subjects. The naming task concernedthe output lexicon deficit to be rehabilitated whilerhyming referred to preserved levels of processingand was used to control for repetition effect. Thespeech therapy program improved naming perfor-mance. By comparison to the pattern observed beforetherapy, the naming task after therapy induced a pat-tern of activation close to that observed in controlsubjects, involving left-sided language areas sur-rounding the lesion. Speech therapy effect was associ-ated with activations in Broca’s area and the left su-pra-marginal gyrus, which might reflect a therapy-induced phonological compensatory strategy fornaming. © 2002 Elsevier Science (USA)
INTRODUCTION
Aphasia following stroke generally evolves sponta-neously toward some degree of recovery, despite per-sistent brain damage. Several neuroimaging studiessought to evidence neural patterns related to sponta-neous recovery from aphasia. A crucial issue regardswhether language improvement is sustained by the lefthemisphere zones spared by the lesion or by recruit-ment of homologous right hemisphere regions. Indeed,some activation studies showed that spared perile-sional regions of the left hemisphere were the mainsubstrate of recovery mechanisms (Heiss et al., 1999;Warburton et al., 1999) whereas an involvement of theright hemisphere has been interpreted as a compensa-tory shift of function to homologous right-sided terri-tories by other authors (Buckner et al., 1996; Cardebatet al., 1994; Ohyama et al., 1996; Thulborn et al., 1999;Weiller et al., 1995). Such a discrepancy across studiesis probably related to the heterogeneity of patients in
terms of lesion localization, cognitive deficits, and ac-tivation tasks.
Remediation by speech therapy can help spontane-ous recovery of language in aphasic patients (Robey,1994; Holland et al., 1996), even at the chronic stage(Elman and Bernstein-Ellis, 1999; Katz and Wertz,1997) especially when an intensive training program isused (Pulvermuller et al., 2001). Contradictory resultscame from the very few studies of therapy-inducedneurofunctional changes in aphasic patients. For in-stance left-sided activations were reported by Belin etal. (1996) and Small et al. (1998) in patients who ben-efited from Melodic Intonation Therapy or a phonolog-ical training of reading aloud, respectively. On theother hand, Musso et al. (1999) demonstrated a corre-lation between increased activity in the right temporalcortex and comprehension scores, in Wernicke-type pa-tients undergoing a brief and intensive training of com-prehension between scanning sessions. Similarly, atherapy program devoted to sentence processing wasassociated with changes in the right hemisphere dur-ing a sentence-picture matching task, in a patient de-scribed by Thompson (2000). On the whole, these fewresults suggested that remediation might elicit activa-tion in the right hemisphere whereas the left hemi-sphere would be recruited when speech output wasrequired.
Although group studies, when lesion and neuropsy-chological profile are controlled, offer a good context forevaluating the physiological changes associated withthe language improvement induced by therapy, singlecase studies should be interesting as well, as bothremediation program and activation tasks can be spe-cifically set up. In the present study, we report the caseof an aphasic patient presenting a massive speech out-put deficit in whom we conducted a specific languagetherapy devoted to output lexicon rehabilitation. AnfMRI experiment including two lexical activation taskswas performed before and after therapy. In order toassess the specificity of therapy-induced brain reorga-nization, one of these tasks concerned preserved levelsof processing while the other focused on the speech
NeuroImage 17, 174–183 (2002)doi:10.1006/nimg.2002.1238
1741053-8119/02 $35.00© 2002 Elsevier Science (USA)All rights reserved.
output deficit to be rehabilitated. fMRI data from thepatient were compared to those from 6 healthy volun-teers who performed the same functional neuroimag-ing experiment.
We hypothesized that activation in left perilesionalareas would parallel performance improvement inspeech output after intensive language therapy.
CASE HISTORY
RC, a highly educated 42-year-old right-handedman, has suffered from a left middle cerebral arteryinfarct on April 1998, after a spontaneous dissection ofthe left internal carotid. Initially, he presented a righthemiplegia, which disappeared in a few weeks, and asevere mixed aphasia that persisted 6 months later.The present study was carried out 2 years poststroke.
Structural MRI (see Fig. 1), performed in 2000, dis-closed a left hemispheric lesion in the superficial ter-ritory of the middle cerebral artery. According to theatlases from Talairach and Tournoux (1988) and Du-vernoy (1992), the lesion involved the posterior half ofthe insular cortex, and the posterior two-thirds of thesuperior temporal gyrus (T1) sparing the Heschl’s gy-rus. The lesion spread to the parietal opercule and theinferior part of the supra-marginal gyrus. Cortical at-rophy was observed in the middle part of the precentralgyrus.
A general neuropsychological assessment revealedno buccofacial apraxia, agnosic, or apraxic problems.Auditory verbal short-term memory, tested by pointingto written items because of the repetition deficit, wasseverely impaired (digit span: 3 forward and 2 back-ward). Visual and long-term memories were spared.
The language assessment evidenced the followingpattern. RC’s spontaneous speech was effortful anddisplayed severe phonemic distortions leading to un-intelligible fragments with conduites d’approche, im-poverished use of morphological and syntactic struc-tures, and some word-finding difficulties. These symp-toms were evidenced by poor performance on word andpseudo-word repetition, reading aloud, and oral-nam-ing tasks. All errors consisted in phonemic paraphasiasthat coexisted with an effortful and hesitating speechoutput. The patient seemed to seek for the correctarticulatory gestures to be combined to achieve oralproduction tasks.
By comparison to the massive deficit observed inactual speech output tasks, performance was normalon comprehension tasks involving semantic-lexicalprocessing or access to the output lexicon without vo-calization. For example, he scored 18/24 in a task inwhich he was asked to match two pictures of homony-mous items among distracters (e.g., “renne” -reindeer-and “reine” -queen-). Although he made occasional er-rors, his performance on a picture/word rhyming task
was remarkably close to the normal range. A similarpattern was found in writing tasks.
In summary, RC presented a severe expressive apha-sia reflected by his impaired spoken and written lan-guage production with a relative sparing of semantic-lexical processing and access to the phonologicallexicon. Together with impaired phonemic representa-tions, severe auditory verbal short-term memory im-pairment could contribute to RC’s disability in produc-ing the correct syllable sequence involved in a word.
The patient was proposed a customized speech ther-apy program lasting 6 weeks with 6 sessions per week,1-h per day, which focused on speech output processes.The method was based on visual memory, spared inRC, in order to teach him how to combine and producethe phonemes to be articulated during word produc-tion. The patient was trained to memorize “by heart”drawings showing the articulatory gestures associatedwith the syllables of the 30 words that constituted thematerial of the fMRI experiment. Various oral produc-tion tasks such as repetition, reading aloud, or picturenaming were used for training. It should be noted thatrhyming tasks were not worked out during therapy.
MATERIALS AND METHODS
Subjects
RC underwent two fMRI sessions, the first one beforethe beginning of therapy (Session 1: S1), and the sec-ond one at the end of the therapeutic program (Session2: S2).
Six healthy right-handed volunteers (5 men and 1woman, mean age 52.2 years), matched for educationlevel, were recruited as control subjects. Control sub-jects had no history of neurological or psychiatric ill-ness. fMRI experiment was performed only once for thecontrol subjects.
All control subjects and RC gave informed consent toparticipate in the study and the local ethics committeeapproved the study.
Stimuli, Experimental Design, and fMRI Procedure
Stimuli were (i) a set of 60 black and white linedrawings of familiar objects or animals taken from theSnodgrass and Vanderwart corpus (1980) and (ii) a setof 60 French written frequent words typed in 40-pointGeneva font. All the words were nouns that ranged inlength from 5 to 8 letters. These stimuli were includedunder two activation conditions.
The first one was an overt picture-naming task in-cluding the 60 pictures, half of them being used in thetherapy program as training material. Subjects wereinstructed to name the pictures overtly but to avoidhead movements while whispering responses.
In the second condition, the same stimuli were usedin a picture/written noun rhyming task. Subjects were
175SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT
FIG. 1. An illustration of the anatomy of RC’s cerebral infarct. In the top row, RC’s brain visualized in a three-dimensional rendering ofthe cortical surface obtained from structural MRI data. RC’s lesion is shown in red. In the lower rows, MRI axial contiguous slices(thickness � 1.2 mm) parallel to the bicommissural plane (slice 0) in RC (left hemisphere shown on right) indicate the depth of the lesion.RC’s lesion involves, in the left hemisphere, the posterior half part of the insula, the posterior two-thirds of the superior temporal gyrus, theparietal opercule, and the inferior part of the supra-marginal gyrus and spares the Heschl’s gyrus. On slice 30 and above, a limited atrophyis in the precentral gyrus.
176
asked to say, “Yes” or “No” if the written word dis-played below the picture rhymed (e.g., picture of achicken with the word “children”) or not (e.g., picture ofknife with the word “hat”) with the name of the de-picted object. Rhyming (15 items) and nonrhyming (15items) trials were presented randomly. The rhymingtask that included the same lexical items as the nam-ing task was purposefully selected as control task fortwo reasons. First it shared many cognitive compo-nents with naming insofar as subjects had to retrievethe phonological form of the object, but without plan-ning and producing the syllabic series involved in spo-ken words. Second, and most importantly, the patientperformed at normal level on the rhyming taskwhereas performance on naming was known to be poorbefore therapy.
The fMRI procedure alternated Naming or Rhymingwith rest periods in a block design with 4 runs (Namingtask, run 1 and run 3, and Rhyming task, run 2 andrun 4). The duration of each block was 30 s and 1 runconsisted in a succession of 12 blocks alternating acti-vation with rest (during which a gray screen was pre-
sented). In the activation conditions, 5 stimuli perblock were centrally delivered via special goggles (Res-onance Tech., Northridge, CA) during 4 s with an in-tersequence interval (gray screen) of 2 s.
Responses were transmitted thanks to a microphoneand recorded by the examiner.
Imaging
MRI was performed on a 1.5-T scanner (SiemensVision, Erlangen, Germany) equipped for echo-planarimaging (EPI). A 3D high-resolution T1-weighted dataset of the whole brain (3D MPRAGE; 3D magnetizationprepared rapid acquisition gradient echo) was acquiredfor each subject (128 slices, TR � 15 ms, TE � 7 ms, flipangle � 12°, FOV � 30 cm, matrix � 256 � 256, voxelsize � 1.17 � 1.17 � 1 mm3). After sagittal localizationimages, 10 contiguous, 5-mm-thick, axial anatomic im-ages were obtained parallel to the intercommissuralplane (from z � �10 mm to z � �35 mm).
For functional MR imaging studies, blood oxygenlevel-dependent (BOLD) imaging was performed using
FIG. 2. A rendering showing the regions activated for (1) the Naming task and (2) the Rhyming task of (a) the control group, (b) RC beforethe speech therapy, and (c) RC after the speech therapy. The activated areas are projected onto a template of a standard MNI brain for thecontrol group (all areas shown were significant at P � 0.05, uncorrected for multiple comparisons and k extent � 50) and for RC, onto atemplate of RC’s anatomical MRI scan (all areas shown were significant at P � 0.05, corrected for multiple comparisons and k extent � 50).
177SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT
a T2*-weighted single-shot EPI sequence (TE � 64 ms,flip angle � 90°, FOV � 22 cm, 128 � 128 matrix, TR �2.95 s, 5-mm slice thickness). Each scanning run (6min each, 6 blocks of activation, and 6 blocks of rest)thus comprises 120 image volumes (10 volumes perblock of activation and 10 volumes per block of rest,except for the first block of rest which was discarded toallow for T1 stabilization and dissipation of gradient-induced auditory cortical activation).
Functional MR Image Postprocessing
Image analysis was carried out on a SPARC work-station (Sun Microsystems, Surrey, UK) using interac-tive image display software (Analyze, Biodynamics Re-search Unit, Mayo Clinic, Rochester, MN), Matlab(Math Works Inc., Natick, MA), and SPM99 software(Wellcome Department of Cognitive Neurology, Lon-don, UK).
EPI images were normalized into Talairach’s spaceusing affine transformations (translations and zoomsin x and y axes), realigned, and smoothed using aGaussian filter (FWHM 6-6-6 mm).
The statistical analysis involved the following steps:
(i) Individual analyses were performed on each ofthe 6 control subjects and RC for both sessions, using ahemodynamic response function modeled by a bimodalcurve. “Main Contrasts” (Activation minus rest) forNaming and Rhyming tasks were calculated in thecontrol group on the one hand and in RC for eachsession on the other hand. For the control group, anal-yses were performed using a “random-effect” model(Holmes and Friston, 1998).
(ii) To explore common activations in control sub-jects and RC for the Main Contrasts, group analysesthat involved the control subjects and RC were per-formed by using one-sample t tests and the random-effect model. These analyses concerned, on the onehand, RC before therapy (S1) and RC after therapy(S2), on the other hand. The threshold was set up atP � 0.05 for peak height, uncorrected for multiplecomparisons, with spatial extent k � 50.
(iii) Similarities and differences between sessions 1and 2 in RC were studied by conjunction and interac-tion analyses using Main Contrasts (activation minusrest) for Naming and Rhyming tasks.
Areas activated by RC in Session 2 but not in Session1 were identified by compound contrasts as follows[(Activation-Rest)RCS2 � (Activation-Rest)RCS1] � 0. Aninclusive mask (with [Activation-Rest]RCS1 � 0) wasused to avoid the selection of significant voxels due todeactivations (threshold mask P � 0.5). The same pro-cedure was used to obtain the inverse contrast. Statis-tical threshold for activated clusters was set at P �0.05 (corrected for multiple comparisons) for peakheight and k � 50 for cluster extent, unless otherwise
specified. Speech-therapy effects were assessed by con-trasting Naming at the two sessions ([(ActivationNaming-Rest)RCS2 � (ActivationNaming-Rest)RCS1] � 0), with aninclusive mask (P � 0.5) corresponding to a conjunc-tion of [ActivationNaming-Rest]RCS1 � 0 and [(Activa-tionRhymingg� Rest)RCS2 � (ActivationRhyming-Rest)RCS1] � 0.This contrast was thresholded with P � 0.05 (correctedfor multiple comparisons) for peak height and k � 15for the cluster extent.
RESULTS
Behavioral Results
The mean accuracy in the 6 control subjects was94.6% for the Naming task and 94.5% for the Rhymingtask. These results suggest that the level of difficultyfor the subjects was the same in both tasks.
As expected, RC’s performance for the Rhyming taskdid not differ significantly from the normal subjects(RC’s hit rate was 91.7% at S1 and 95% at S2).
On the Naming task, at Session 1, RC scored iden-tically (6 correct/30) for trained and untrained items;however, the patient gave tentative responses to anyitem. At Session 2, a statistically significant improve-ment of performance was observed on naming for bothtrained (19/30) (�2 corrected test � 9.87, P � 0.05) anduntrained items (15/30) (�2 corrected test � 4.8, P �0.05). Correct responses at Session 2 included all thecorrect responses produced at Session 1.
Improved naming scores were also noted for itemsnot belonging to the therapy protocol, like those fromthe DO80 battery (Deloche et al., 1997). Before thetherapy and fMRI protocol, naming impairment wasnoted as stable (13 correct/80 on DO80 in March 1999and 15 correct/80 in January 2000). By contrast, afterthe therapy program, RC’s hit rate increased signifi-cantly (33 correct/80, �2 � 25.64, P � 0.05).
In sum improvement of naming performance was notobserved for the trained items only and a general pos-itive effect, even for external material, was found.fMRI contrasts combined therefore data acquired forboth trained and untrained naming stimuli.
fMRI Data
Naming Versus Rest and Rhyming Versus Rest
Control group (see Fig. 2). Activation patterns fornaming included the thalamus bilaterally. Areas acti-vated unilaterally were the left inferior frontal gyrus(BAs 44 and 46), the left insular cortex, the left junc-tion of the middle temporal gyrus, and the middleoccipital gyrus (BA 19), the left inferior temporal gyrus(BA 37), the left posterior superior temporal gyrus (BA42, 22), the left visual association areas (BA 19), andthe right inferior frontal gyrus (BA 44).
178 LEGER ET AL.
For Rhyming, activations were found bilaterally inthe frontal opercula (BA 44). Areas activated unilater-ally were the left supra-marginal gyrus (BA 40), leftinferior temporal gyrus (BA 37, 19), left hippocampus,left thalamus, the right insular cortex, and the rightvisual association areas (BA 18).
RC at Session 1 (see Fig. 2). For Naming, activa-tions were located in the left inferior frontal gyrus (BA44, 45), left cingular cortex (BA 24), the right superiortemporal gyrus (BA 22), right supra-marginal gyrus(BA 40), and left and right visual association areas (BA18, 19).
For Rhyming, activations showed a bilateral patternincluding the frontal opercula (BA 44, 45, 46), theprecentral gyri (BA 6), and the visual association cor-tices (BA 18, 19) in addition to the left inferior tempo-ral cortex (BA 37), the right angular gyrus (BA 39), andthe right insular cortex.
RC at Session 2 (see Fig. 2). For Naming, maincontrast showed activations in the insular cortex, thesuperior temporal area (BA 22), and the supra-mar-ginal gyrus (BA 40) and in the association visual cortex(BA 18) bilaterally. Activations restricted to the lefthemisphere were found in Broca’s area (BA 44) and thethalamus.
For Rhyming, activations were located in the leftfrontal operculum (BA 44), left inferior temporal gyrus(BA 37), and left supra-marginal gyrus (BA 40) and inthe right insular cortex, the right angular gyrus (BA39), and right association visual areas (BA 18).
Common Activations for Control Group and RCbefore Therapy
Naming (see Table 1). Common activations for Con-trol group and RCS1 were found in the left frontaloperculum (BA 44), the spared portion of the left supe-rior temporal gyrus (BA 42), the right insular cortex,and the thalamus bilaterally.
Rhyming (see Table 1). Common activations forControl group and RCs1 were found in left inferiorfrontal lobe (BA 44–45), left association visual area(BA 18), and right insular cortex.
Common Activations for Control Group and RCafter Therapy
Naming (see Table 1). Areas that were activated byControl subjects and RCS2 revealed significant activa-tions in the left thalamus, the left insular cortex, theleft frontal operculum (BA 44), the spared portion of
TABLE 1
Common Activations for Control Group and RC in (a) Naming and (b) Rhyming Tasks: Stereotaxic Coordinates, Z Values,and Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Significantly Activated at Session 1 (S1) and Session 2 (S2)
Regions
S1 S2
BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z
(a). Common activations for control group and RC in naming
Left inferior frontal BA 44 (528) �42 10 25 3.51 BA 44 (490) �42 12 25 3.76Left insula (290) �50 0 5 3.01Right insula (94) 32 10 10 3.30 (204) 50 6 10 3.40Left superior temporal BA 42 (105) �50 �22 10 3.50 BA 42 (111) �50 �24 10 3.41Left middle occipital BA19 BA19 (91) �46 �56 �5 3.13Left thalamus (160) �14 �20 15 4.10 (189) �14 �20 15 3.90Right thalamus (494) 28 18 10 3.40
(b). Common activations for control group and RC in Rhyming
Left inferior frontal BA 44 (512) �42 24 10 3.70 BA 44 (426) �46 14 25 3.98BA 45 (212) �42 14 25 3.38
Right inferior frontal BA 46 (206) 42 28 20 2.93Right insula (299) 40 18 15 3.05 (106) 36 10 0 2.67Left supra-marginalis BA 40 (111) �44 �42 30 2.89Left inferior parietal BA 40 (61) �54 �48 25 2.27Left middle occipital BA 19 (54) �30 �76 5 2.66Left inferior occipital BA 18 (64) �38 �72 �5 2.52 BA 18 (65) �42 �68 0 3.08Right lingual BA 18 (142) 32 �80 �5 3.71Left thalamus (98) �4 �22 10 3.12Right thalamus (60) 2 �34 5 3.69
Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxelextent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P � 0.05 for peak height(uncorrected for multiple comparisons) and k � 50 for spatial extent.
179SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT
the left superior temporal gyrus (BA 42), and the leftassociation visual cortex (BA 19) as well as the rightinsular cortex.
Rhyming (see Table 1). RCS2 and Control subjectsactivated in common bilaterally the inferior frontalgyrus (BA 44–46), the association visual areas (BA18–19), and the thalamus, in addition to the superiorpart of the left supra-marginal gyrus (BA 40), the leftinferior parietal lobule (BA 40), and the right insularcortex.
Comparison between RCS2 and RCS1
Naming (see Table 2). Common activations for RCat Sessions 2 and 1 were found in the superior tempo-ral gyrus (BA 22) bilaterally, the left inferior frontalgyrus (BA 44), the left precentral gyrus (BA 6), and theright insular cortex.
Regions activated by RC at Session 2 but not atSession 1 were found in the left inferior frontal gyrus(BA 44) and in the superior part of the left supra-marginal gyrus (BA 40).
Conversely, areas activated by RC at Session 1 butnot at Session 2 were located in the upper part of theleft precentral gyrus (BA 6), and in the right associa-tion visual areas (BA 18).
Rhyming (see Table 2). Common activations be-tween RCS1 and RCS2 were found mainly in the inferiorfrontal cortex (BA 46) and in the precentral gyrus (BA 6)bilaterally, and in the junction between the right angulargyrus and the superior occipital gyrus (BA 39/19).
No difference was found in terms of areas signifi-cantly activated by RC at S2 but not at S1. The oppo-site contrast, revealing areas activated by RC at S1 butnot at S2, showed activations in the left precentralgyrus (BA 6), and bilaterally in the association visualareas (left BA 19, right BA 18, and right BA 31).
Speech-Therapy Effect. As noted under Materialsand Methods, speech-therapy effects were assessed bycontrasting Naming at the two sessions (NamingS2 �NamingS1 � 0), with an inclusive mask (P � 0.5)corresponding to a conjunction of NamingS1 � 0 andRhymingS2 � RhymingS1 � 0 in order to prevent foreffects of deactivations in Naming and account for apossible task repetition. Analysis demonstrated speech-therapy-induced activations in the superior posteriorpart of the left supra-marginal gyrus (BA 40) (k ex-tent � 18; coordinates x � �34, y � �44, z � 35; zscore � 6.51) and in the upper part of Broca’s area (BA44) (k extent � 28; coordinates: x � �50, y � 8, z � 25;z score � 6.07)
TABLE 2
Comparison between RC after Therapy (RCS2) and RC before Therapy (RCS1): Stereotaxic Coordinates, Z scores, andCorresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Activated Significantly in (a) RC before (RCS1) and after Therapy (RCS2);(b) RCS2 but Not RCS1; (c) RCS1 but Not RCS2 in Naming and Rhyming Tasks
Regions activated
Naming Rhyming
BA (k) x y z Z BA (k) x y z Z
(a) Common activations for RCS2 and RCS1
Left inferior frontal BA 44 (84) �48 10 15 8.24 BA 46 (116) �36 24 25 7.58Right inferior frontal BA 46 (65) 38 28 20 6.10Left precentral BA 6 (124) �54 0 15 8.65 BA 6 (216) �54 �2 15 8.58Right precentral BA 6 (328) 44 �6 25 8.40Right insula BA19 (209) 52 4 5 8.35Left superior temporal BA 22 (60) �32 �40 15 6.33Right superior temporal BA 22 (409) 52 �48 15 9.17Right angular/superior BA (99) 28 �60 30 8.82Occipital 39/19
(b) RCS2 but not RCS1
Left inferior frontal BA 44 (30) �50 8 25 6.07Left supra-marginalis BA 40 (27) �36 �46 35 7.80
(c) RCS1 but not RCS1
Left precentral BA 6 (33) �52 0 30 9.38 BA 6 (32) �48 �2 30 6.74Left middle occipital BA 19 (37) �34 �80 10 6.44Right lingual BA 18 (32) 18 �68 5 5.97 BA 18 (28) 6 �70 0 7.65Right cuneus BA 31 (120) 20 �76 10 8.72
Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxelextent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P � 0.05 for peak height(corrected for multiple comparisons) and k � 50 for spatial extent for (a) and k � 15 for (b), (c), and (d).
180 LEGER ET AL.
DISCUSSION
The purpose of this study was to investigate in anaphasic patient the neurofunctional changes that ac-company behavioral modifications after a languagetherapy, specifically devoted to speech output process-ing, even 2 years after stroke onset. We hypothesizedthat speech output improvement would be associatedwith peri-infarct activity in the left hemisphere.
Aphasia Features and Speech Therapy Effects
The major speech output deficit with phonemic er-rors, the severe deficit of auditory verbal workingmemory, and the sparing of word comprehension are inagreement with conduction aphasia profile (Goodglass,1992). But, at variance with typical features of conduc-tion aphasia, RC speech output appears unstable, ef-fortful, and hesitating when attempting to repeatwords. This speech output deficit could be compatiblewith a clinical profile of apraxia of speech (Hardcastle,1987; Kent and Rosenbek, 1983). A recent study byWise et al. (2001) emphasized the role of the left pari-eto-temporal junction, deep within the lateral sulcus,in speech production, and the infarction of this regionin our patient could account for the speech productiondeficit we observed.
RC’s deficit seemed to concern mainly planning andarticulation of the syllable series that constitute spo-ken words. The speech therapy program performed inthis study focused on this deficit and was based on themethods used for remediation of apraxia of speech(Pannbacker, 1988; Wambaugh et al., 1998). This pro-gram induced a significant improvement not only fortrained items but also for nontrained stimuli, suggest-ing a general beneficial effect. Moreover, this positivetherapeutic effect remained very stable with time,since 1 year after this experiment, RC obtained thesame scores in the Naming tests.
Functional Neuroimaging Results
In control subjects the brain regions activated duringthe picture-naming task involved a large pattern in-cluding mainly left frontal, insular, and temporal/oc-cipital areas in addition to the right inferior frontalcortex and to the left and right thalami and are con-sistent with many prior studies (Sergent et al., 1992;Bookheimer et al., 1995; Kosslyn et al., 1995; Damasioet al., 1996; Martin et al., 1996; Menard et al., 1996;Moore and Price, 1999; Murtha et al., 1996; Murtha etal., 1999).
Considering the Rhyming task, there are many sim-ilarities between the regions activated by normal sub-jects in our study, and those described in other fMRIstudies using the silent Rhyming task (Kareken et al.,2000; Lurito et al., 2000). These studies have shownbilateral but predominantly left-sided peri-sylvian ac-
tivations, particularly in Broca’s area (BA 44–45) andsupra-marginal gyrus (BA 40).
Activations for rhyming in RC are readily compara-ble to those found in control subjects since the patient’sperformance was normal and stable between sessions.Two main findings emerged from these results.
Despite close to ceiling performance on both ses-sions, the activation pattern observed after therapy inRC did not remain stable as a decrease of activity wasnoted at S2 compared to S1 in frontal areas bilaterallyand right temporo-occipital areas. This finding mightcorrespond to a test-retest effect that has been shownto induce diminished activations following practice, innormal subjects and in several experimental circum-stances (e.g., Raichle et al., 1994; Carel et al., 2000). Inthe present study it is difficult to reach a definiteconclusion on this matter, as we did not assess test-retest effects in the control subjects.
Moreover, the rhyming pattern of activation in RC atS2 tended to resemble that observed in normal subjectsas the number of regions that are activated in commonby RC and control subjects increased. In particular, acommon activation was found in the (spared) superiorpart of the left supra-marginal gyrus. The role of thisregion for phonological processing in control subjectshas been emphasized in several studies (Demonet etal., 1996; Paulesu et al., 1993; Salmon, 1996; Schuma-cher, 1996). Since RC showed normal performance onthis task even at Session 1, one may speculate that theleft supra-marginal gyrus, at least its inferior part, wasnot necessary to this Rhyming task for the patient(Price et al., 1999). Nevertheless improvement of nam-ing after speech therapy might have eased the Rhym-ing task for RC who could resort to less effortful strat-egies possibly associated with close-to-normal patternof activation.
For Naming, the neuro-functional results in RC lendsupport to the already noted hypothesis of a key rolefor left peri-lesional areas in the mechanisms of recov-ery from aphasia. Indeed, after therapy the “Naming–rest” contrast revealed that, in addition to frontal andtemporal regions activated before therapy, left-sidedregions surrounding the lesion became activated,namely the anterior insular cortex, the middle portionof the superior temporal gyrus, the superior part of thesupra-marginal gyrus.
The left anterior insula has been implicated inspeech production and planning both in lesion studies(Dronkers, 1996) and in functional neuro-imagingstudies (Wise et al., 1999) and this region might play arole in our experiment as speech therapy in RC en-hanced articulatory planning in speech production.The activation found in the superior temporal gyrus, aregion adjacent to the posterior part of the damagedtissues, is congruent with previous reports on goodrecovery associated with sparing of this region (Selneset al., 1985; Naeser et al., 1987, 1990; Heiss et al.,
181SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT
1999). Nevertheless, activation in homologous righttemporal regions was also observed in RC in both ses-sions. The role of the right hemisphere in aphasic pa-tients while recovering has long been underlined anddiscussed. Its impact may vary across time (Knopmanet al., 1983) and language functions (Musso et al.,1999). In the present study, the activity in the righttemporal cortex does not seem essential for recovery ofNaming as it was present on the first session associ-ated with poor performance. However a complete right-to-left functional shift was not observed even aftertherapeutic performance improvement and this incom-plete shift in RC might correspond to an unachievedlanguage recovery (Belin et al., 1996).
Among the left-sided set of regions activated in Nam-ing after therapy, the comparison for Naming betweenthe two sessions in RC evidenced the importance of theupper parts of Broca’s area and left supra-marginalgyrus since these regions remained activated evenwhen possible repetition effects were taken into ac-count. By comparison to activation seen before therapyin Broca’s area, activation in this region after therapyspread toward the upper part of pars opercularis whichmight be associated with sublexical output processing(Paulesu et al., 1997). The left supra-marginal gyruswas found activated for Naming only in RC after ther-apy and it is noticeable that the parietal region doesnot belong to the normal neuro-functional pattern forNaming tasks as shown by the present study as well asmost of studies analyzed by Murtha et al. (1999). To-gether with Broca’s area, the left supra-marginal gyrushas long been associated with phonological processingand phonological working memory. More specifically ameta-analysis from Demonet and colleagues (1996)emphasized the role of the supra-marginal gyrus inphonological storage whereas the superior part of Bro-ca’s area was linked to verbal rehearsal for tasks re-quiring phonological awareness and involving verbalworking memory. The speech therapy program used inRC purposefully resorted to enhancement of phonolog-ical and articulatory awareness and the specific acti-vations of Broca’ s area and left supra-marginal gyrusare likely to reflect the reinforcement of phonologicalstrategies in RC while Naming.
In conclusion this study reflects changes in left-sidedcortical activity associated with language output im-provement after intensive speech therapy at a latestage. At variance with studies showing enlargementof cortical representations in the sensorimotor cortexin studies of motor recovery (Chollet, 2000), the acti-vation pattern observed during Naming after therapyin RC does not recruit the same network as that ob-served in control subjects. As already noted, a limita-tion of this study is the absence of test-retest assess-ment in control subjects. However, this effect generallyconsists of decreases of activation whereas the therapyeffect in RC is associated with alterations of activation
patterns including an increase of activity in some re-gions. Such altered patterns might correspond to theinfluence of the sublexical, phonological strategy thathas been implemented by a dedicated program ofspeech therapy.
ACKNOWLEDGMENTS
We thank Patrice Peran and Sandra Le for their helpful assis-tance. This work was supported by grants from the French Cogni-tique Program-MENRT n° 1A012F (1999), and from the CEE GrantQLK6-CT-1999-02140.
REFERENCES
Belin, P., Van Eeckhout, P., Zilbovicius, M., Remy, P., Francois, C.,Guillaume, S., et al. 1996. Recovery from nonfluent aphasia aftermelodic intonation therapy: A PET study. Neurology 47: 1504–1511.
Bookheimer, S. Y., Zeffiro, T. A., Blaxton, T., Gaillard, W., andTheodore, W. 1995. Regional cerebral blood flow during objectnaming and word reading. Hum. Brain Mapp 3: 93–106.
Buckner, R. L., Bandettini, P. A., O’Craven, K. M., Savoy, R. L.,Petersen, S. E., Raichle, M. E., et al. 1996. Detection of corticalactivation during averaged single trials of a cognitive task usingfunctional magnetic resonance imaging. Proc. Natl. Acad. Sci.USA 93: 14878–14883.
Cardebat, D., Demonet, J. F., Celsis, P., Puel, M., Viallard, G., andMarc-Vergnes, J. P. 1994. Right temporal compensatory mecha-nisms in a deep dysphasic patient: A case report with activationstudy by SPECT. Neuropsychologia 32: 97–103.
Carel, C., Loubinoux, I., Boulanuar, K., Manelfe, C., Rascol, O.,Celsis, P., and Chollet, F. 2000. Neural substrate for the effects ofpassive training on sensory motor cortical representation: A studywith functional magnetic resonance imaging in healthy subjects.J. Cereb. Blood Flow Metab. 20: 478–484.
Chollet, F. 2000. Plasticity of the adult human brain. In BrainMapping: The Systems, pp. 621–638. Academic Press, San Diego.
Damasio, H., Grabowski, T. J., Tranel, D., Hichwa, R. D., andDamasio, A. R. 1996. A neural basis for lexical retrieval. Nature380: 499–505.
De Renzi, E., and Vignolo, L. 1962. The token test: A sensitive test todetect receptive disturbances in aphasics. Brain 85: 665–678.
Deloche, G., Hannequin, D., Dordain, M., Metz-Lutz, M. N., Kremin,H., Tessier, C., et al. 1997. Diversity of patterns of improvement inconfrontation naming rehabilitation: Some tentative hypotheses.J. Commun. Disord. 30: 11–21; quiz 21–22.
Demonet, J. F., Fiez, J. A., Paulesu, E., Petersen, S. E., and Zatorre,R. J. 1996. PET Studies of phonological processing: A critical replyto Poeppel. Brain Lang. 55: 352–379.
Dronkers, N. F. 1996. A new brain region for coordinating speecharticulation. Nature 384: 159–161.
Duvernoy, H. M. 1992. Le cerveau humain. Springer-Verlag, Paris.Elman, R. J., and Bernstein-Ellis, E. 1999. The efficacy of group
communication treatment in adults with chronic aphasia. J.Speech Lang. Hear. Res. 42: 411–419.
Goodglass, H. 1992. Diagnostic of conduction aphasia. In ConductionAphasia (S. E. Kohn, Ed.), pp. 39–49. Erlbaum, Hillsdale, NJ.
Hardcastle, W. J. 1987. Electropalatographic study of articulationdisorders in verbal dyspraxia. In Phonetic Approaches to SpeechProduction in Aphasia and Related Disorders (J. H. Ryalls, Ed.),College-Hill Press, Boston.
Heiss, W. D., Kessler, J., Thiel, A., Ghaemi, M., and Karbe, H. 1999.Differential capacity of left and right hemispheric areas for com-pensation of poststroke aphasia. Ann. Neurol. 45: 430–438.
182 LEGER ET AL.
Holland, A. L., Fromm, D. S., DeRuyter, F., and Stein, M. 1996.Treatment efficacy: Aphasia. J. Speech Hear. Res. 39: S27–S36.
Holmes, A. P., and Friston, K. J. 1998. Generalisability, randomeffects and population inference. NeuroImage 7: S754.
Kareken, D. A., Lowe, M., Chen, S. H., Lurito, J., and Mathews, V.2000. Word rhyming as a probe of hemispheric language domi-nance with functional magnetic resonance imaging. Neuropsychi-atry Neuropsychol. Behav. Neurol. 13: 264–270.
Katz, R. C., and Wertz, R. T. 1997. The efficacy of computer-providedreading treatment for chronic aphasic adults. J. Speech Lang.Hear. Res. 40: 493–507.
Kent, R. D., and Rosenbek, J. C. 1983. Acoustic patterns of apraxiaof speech. J. Speech Hear. Res. 26: 231–249.
Knopman, D. S., Rubens, A. B., Selnes, O. A., Klassen, A. C., andMeyer, M. W. 1984. Mechanisms of recovery from aphasia: Evi-dence from serial xenon 133 cerebral blood flow studies. Ann.Neurol. 15: 530–535.
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., and Thompson, C. K. 1995. Identifyingobjects at different levels of hierarchy: A positron emission tomog-raphy study. Hum. Brain Mapp. 3: 107–132.
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., Thompson, W. L., Chabris, C. F.,Rauch, S. L., and Anderson, A. K. 1994. Identifying objects seenfrom different viewpoints. A PET investigation. Brain 117: 1055–1071.
Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W., Jones, A. C.,and Mitchell, J. R. 1984. Effectiveness of speech therapy for apha-sic stroke patients. A randomised controlled trial. Lancet 1: 1197–1200.
Lurito, J. T., Kareken, D. A., Lowe, M. J., Chen, S. H., and Mathews,V. P. 2000. Comparison of rhyming and word generation withFMRI. Hum. Brain Mapp. 10: 99–106.
Martin, A., Wiggs, C. L., Ungerleider, L. G., and Haxby, J. V. 1996.Neural correlates of category-specific knowledge. Nature 379:649–652.
Menard, M. T., Kosslyn, S. M., Thompson, W. L., Alpert, N. M., andRauch, S. L. 1996. Encoding words and pictures: A positron emis-sion tomography study. Neuropsychologia 34: 185–194.
Moore, C. J., and Price, C. J. 1999. Three distinct ventral occipito-temporal regions for reading and object naming. NeuroImage 10:181–192.
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., Dixon, R., and Evans, A.1996. Anticipation causes increased blood flow to the anteriorcingulate cortex. Hum. Brain Mapp. 4: 103–112.
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., and Evans, A. 1999. Theneural substrate of picture naming. J. Cogn. Neurosci. 11: 399–423.
Musso, M., Weiller, C., Kiebel, S., Muller, S. P., Bulav, P., andRijntjes, M. 1999. Training-induced brain plasticity in aphasia.Brain 122: 1781–1790.
Naeser, M. A., Gaddie, A., Palumbo, C. L., and Stiassny-Eder, D.1990. Late recovery of auditory comprehension in global aphasia.Improved recovery observed with subcortical temporal isthmuslesion vs Wernicke’s cortical area lesion. Arch. Neurol. 47: 425–432.
Naeser, M. A., Helm-Estabrooks, N., Haas, G., Auerbach, S., andSrinivasan, M. 1987. Relationship between lesion extent in ‘Wer-nicke’s area’ on computed tomographic scan and predicting recov-ery of comprehension in Wernicke’s aphasia. Arch. Neurol. 44:73–82.
Ohyama, M., Senda, M., Kitamura, S., Ishii, K., Mishina, M., andTerashi A. 1996. Role of the nondominant hemisphere and undam-aged area during word repetition in poststroke aphasics. A PETactivation study. Stroke 27: 897–903.
Pannbacker, M. 1988. Management strategies for developmentalapraxia of speech: A review of literature. J. Commun. Disord. 21:363–371.
Paulesu, E., Frith, C. D., and Frackowiak, R. S. 1993. The neuralcorrelates of the verbal component of working memory. Nature362: 342–345.
Paulesu, E., Goldacre, B., Scifo, P., Cappa, S. F., Gilardi, M. C.,Castiglioni, I., Perani, D., and Fazio, F. 1997. Functional hetero-geneity of left inferior frontal cortex as revealed by fMRI. Neuro-report 8: 2011–2017.
Price, C. J., Mummery, C. J., Moore, C. J., Frakowiak, R. S., andFriston, K. J. 1999. Delineating necessary and sufficient neuralsystems with functional imaging studies of neuropsychologicalpatients. J. Cogn. Neurosci. 11: 371–382.
Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., Mohr, B., Rockstroh, B.,Koebbel, P., et al. 2001. Constraint-induced therapy of chronicaphasia after stroke. Stroke 32: 1621–1626.
Raichle, M. E., Fiez, J., Videen, T., Macleod, A., Pardo, J., Fox, P.,and Petersen, S. 1994. Practice-related changes in human brainfunctional anatomy during nonmotor learning. Cereb. Cortex 4:8–26.
Robey, R. R. 1994. The efficacy of treatment for aphasic persons: Ameta-analysis. Brain Lang. 47: 582–608.
Salmon, E., Van der Linden, M., Gillette, F., Delfiore, G., Maquet, P.,Degueldre, C., Luxen, A., and Franck, G. 1996. Regional brainactivity during working memory tasks. Brain 119: 1617–1625.
Selnes, O. A., Knopman, D. S., Niccum, N., and Rubens, A. B. 1985.The critical role of Wernicke’s area in sentence repetition. Ann.Neurol. 17: 549–557.
Sergent, J., Ohta, S., and MacDonald, B. 1992. Functional neuro-anatomy of face and object processing. A positron emission tomog-raphy study. Brain 115: 15–36.
Small, S. L., Flores, D. K., and Noll, D. C. 1998. Different neuralcircuits subserve reading before and after therapy for acquireddyslexia. Brain Lang. 62: 298–308.
Snodgrass, J. G., and Vanderwart, M. 1980. A standardized set of260 pictures: Norms for name agreement, image agreement, famil-iarity, and visual complexity. J. Exp. Psychol. [Hum. Learn.] 6:174–215.
Talaraich, P., and Tournoux, J. 1988. A Stereotactic Coplanar Atlasof the Human Brain. Thieme, Stuttgart.
Thompson, C. K. 2000. The neurobiology of language recovery inaphasia. Brain Lang. 71: 245–248.
Thulborn, K. R., Carpenter, P. A., and Just, M. A. 1999. Plasticity oflanguage-related brain function during recovery from stroke.Stroke 30: 749–754.
Wambaugh, J. L., Kalinyak-Fliszar, M. M., West, J. E., and Doyle,P. J. 1998. Effects of treatment for sound errors in apraxia ofspeech and aphasia. J. Speech Lang. Hear. Res. 41: 725–743.
Warburton, E., Price, C. J., Swinburn, K., and Wise, R. J. 1999.Mechanisms of recovery from aphasia: Evidence from positronemission tomography studies. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 66:155–161.
Weiller, C., Isensee, C., Rijntjes, M., Huber, W., Muller, S., Bier, D.,et al. 1995. Recovery from Wernicke’s aphasia: A positron emissiontomographic study. Ann. Neurol. 37: 723–732.
Wise, R. J., Greene, J., Buchel, C., and Scott, S. K. 1999. Brainregions involved in articulation. Lancet 353: 1057–1061.
Wise, R. J. S. S., Blank, S. C., Mummery, C. J., Murphy, K., andWarburton, E. A. 2001. Separate neural subsystems within ‘Wer-nicke’s area’. Brain 124: 83–95.
183SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited withoutpermission.
Tinjauan Pustaka
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
Rehabilitasi Stroke padaPelayanan Kesehatan Primer
Rosiana Pradanasari Wirawan
SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta
Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak
kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya
yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar
mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien
mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.
Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar
tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani
melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak
kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,
diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer
sangat penting perannya.
Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut
61
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
Stroke Rehabilitation in Primary Health Care
Rosiana Pradanasari Wirawan
Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta
Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most
cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden
and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which
enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to
their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabili-
tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical
rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic
phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.
Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition
became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the
patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.
Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Pendahuluan
Baik di negara maju maupun berkembang, beban yang
ditimbulkan stroke sangat besar. Stroke merupakan penyebab
kematian kedua terbanyak di negara maju dan ketiga
terbanyak di negara berkembang. Berdasarkan data WHO
tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal karena stroke
di dunia.1 Dari data yang dikumpulkan oleh American Heart
Association tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal
akibat stroke.
Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering
meninggalkan kecacatan dibandingkan kematian. Stroke
merupakan penyebab kecacatan kedua terbanyak di seluruh
dunia pada individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang
ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain bagi pasien
dan keluarganya, juga bagi negara. Kondisi ini belum
memperhitungkan beban psikososial bagi keluarga yang
merawatnya.
Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat
penting. Upaya pencegahan antara lain berupa kontrol
terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan perilaku hidup
yang sehat (primary prevention). Bagi pasien yang telah
mendapat serangan stroke, intervensi rehabilitasi medis
sangat penting untuk mengembalikan pasien pada
kemandirian mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi keluarganya.
Perlu diupayakan agar pasien tetap aktif setelah stroke untuk
mencegah timbulnya komplikasi tirah baring dan stroke
berulang (secondary prevention). Komplikasi tirah baring
dan stroke berulang akan memperberat disabilitas dan
menimbulkan penyakit lain yang bahkan dapat membawa
kepada kematian.
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2
Tidak dapat Dapat dimodifikasi Potensial
dimodifikasi dimodifikasi
Usia Hipertensi Obesitas
Jenis kelamin Diabetes mellitus Inaktivitas fisik
Ras Hiperkolesterolemia Hiperhomosisteinemia
Hereditas Atrial fibrilasi Kondisi hiperkoagulitas
Merokok Kontrasepsi oral terapi
stenosis karotis hormonal pengganti
(asimptomatik) Proses inflamasi
Penyakit sel sabit Alkohol berlebihan
Abuse obat-obatan
Sindrom Stroke
Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu
hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)
Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada bagian
otak yang sirkulasinya terganggu. Secara umum stroke
memberikan gambaran klinis dengan pola yang khas, dengan
variasi secara individual tergantung pada ukuran pembuluh
darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran darah ke otak.
(Tabel 3 dan 4.)
62
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009
Tabel 2. Patomekanisme Stroke Akut2
Patomekanisme Persentase
Iskemik 85%
Trombotik 60%
Embolik 20%
Lain-lain 5%
Hemoragik 15%
Intraserebral 10%
Subarakhnoid 5%
Tabel 3. Sindrom Stroke Iskemik3
Sirkulasi tergganggu Sensomotorik Gejala klinis lain
Sindrom Sirkulasi anterior
A. Serebri media (total) Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect
dari tungkai) hemihipestesia kontralateral (hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuo-
spassial apraksia, disfagia
A. Serebri media (bagian atas) Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat Afasia motorik (hemisfer dominan)
dari tungkai)hemiestesia kontralateral Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-
nopsia, disfagia
A. Serebri media (bagian bawah) Tidak ada gangguan Afasia sensorik (hemisfer dominan)
Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)
Kontruksional apraksia
A. Serebri media dalam Hemiparese kontralateral Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)
Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali Visual dan sensoris neglect sementara. (hemisfer
non-dominan)
A. Serebri anterior Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia
lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan) (hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan
personalitas Inkontinensia urin dan alvi
Sindrom sirkulasi posterior
A. Basilaris (total) Kuadriplegia. Sensoris umumnya normal Gangguan kesadaran sampai ke sindrom lock-in
Gangguan saraf kranial yang menyebabkan diplopia,
disartria, disfagia, disfonia.
Ganggguan emosi
A. Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti dengan pola gerak Gangguan lapang pandang bagian sentral,
chorea pada tangan.hipestesia atau anestesia Prosopagnosia, Aleksia
terutama pada tangan
Pembuluh darah kecil
Lacunar Infark Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni
Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand
Stroke hemoragik memiliki sejumlah penyebab. Ada 4
tipe yang paling umum, yaitu perdarahan hipertensif
intrakranial, ruptur aneurisma sakular, perdarahan dari AVM
(arteriovenous malformation) dan perdarahan spontan di
daerah lobus.
Gangguan Fungsi akibat Stroke
Dalam rehaebilitasi medis, istilah fungsi merujuk pada
kemampuan/ketrampilan seseorang untuk melakukan
aktivitas sehari-hari, aktivitas hiburan atau hobi, pekerjaan,
interaksi sosial dan perilaku lain yang dibutuhkan. Aktivitas
sehari-hari seseorang tentu sangat luas, individu yang satu
berbeda dengan individu lain. Aktivitas sehari-hari yang
perlu dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan
aktivitas perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi,
berpakaian, berhias, menggunakan toilet, kontrol buang air
kecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan,
dan menggunakan tangga.
World Health Organization (WHO) pada tahun 1980
memperkenalkan The International Classification of Impair-
ments, Disabilities and Handicaps (ICIDH) sebagai model
rehabilitasi.5-8
Model ini membagi kondisi sakit dalam 4 level berbeda
yaitu:
a. Patologi (penyakit)
Patologi sinonim dengan penyakit atau diagnosis,
Tabel 4. Sindrom Hemoragik4
Area yang terkena Sensomotorik Gejala Klinis lain
Putamen
(apsula interna, basal Hemiplegia kontra- Stupor/Koma dengan
ganglia) lateral kompresi batang otak
krigiditas deserebrasi
Talamus
(talamus, kapsula Hemiplegia kontra- Afasia (hemisfer
interna) lateral dominan)
Gangguan sensoris Gangguan lapangan
berat semua modalitas pandang
Sindrom Horner
Pontin
(pons, batang otak, Kuadriparesis, kua- Sindroma lock in
midbrain) driplegia Rigiditas deserebrasi
Serebelum Hemiparesis ringan Vertigo/dizziness,
gangguan koordinasi, Nausea, vomiting
ataksia Nystagmus Disfagia,
disartria
63
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
didefinisikan sebagai kerusakan atau proses abnormal
yang terjadi di dalam organ atau sistem organ tubuh.
Contoh patologi: stroke non-hemoragik yang di-
sebabkan oleh trombosis, hipertensi, diabetes mellitus,
dan sebagainya.
1. Impairment (gangguan organ atau fungsi organ)
Impairments merupakan akibat langsung dari patologi,
didefinisikan sebagai hilang atau terganggunya struktur
atau fungsi anatomis, fisiologis, atau psikologis tubuh.
Contoh impairment adalah hemiparesis, afasia, disartria,
disfagia, depresi dan lain sebagainya.
2. Disability (ketidakmampuan)
Disability didefinisikan sebagai keterbatasan atau
hilangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas yang
umum dapat dilakukan oleh orang lain yang normal
karena impairment yang dideritanya. Contoh disabil-
ity: adalah ketidak mampuan berjalan (akibat hemipare-
sis), ketidakmampuan berkomunikasi (akibat afasia,
disatria) atau ketidakmampuan melakukan perawatan diri
sendiri seperti berpakaian (akibat hemiparesis, gangguan
kognitif, gangguan sensoris dan lain-lain)
3. Handicap (keterbatasan dalam peran)
Handicap atau kecacatan merupakan suatu konsekuensi
sosial dari penyakit, didefinisikan sebagai terganggu
atau terbatasnya kemampuan aktualisasi diri dan untuk
berperan secara sosial, budaya, ekonomi dalam keluarga
dan lingkungan bagi individual tertentu akibat impair-
ment dan disability yang dideritanya. Contoh handi-
cap adalah ketidakmampuan berperan sebagai ayah
bermain dengan anaknya (karena hemiparesis yang
menyebabkannya sulit bergerak atau berjalan), tidak
dapat bekerja (karena kesulitan berjalan ke tempat kerja,
melakukan pekerjaan sebelumnya) dan lain sebagainya.
Pada tahun 2001 WHO mempublikasikan revisi dari
ICIDH menjadi ICF (International Classification of Func-
tioning) dimana istilah disability dan handicap diganti
menjadi activity and participation.5-7 Revisi ini secara prinsip
tidak terlalu banyak berbeda dengan ICIDH, hanya di-
definisikan lebih positif, yaitu disability (ketidakmampuan)
diganti menjadi activity (kemampuan fungsional penderita),
sedangkan handicap (kecacatan) diganti menjadi partici-
pation (peran-serta penderita dalam kehidupan sesuai
dengan ketidak-mampuan, aktivitas, kondisi kesehatan dan
faktor kontekstual lainnya ). Rehabilitasi medis tidak hanya
berfokus pada apa yang pasien tidak mampu lakukan namun
juga pada apa yang pasien masih mampu lakukan.
Proses Pemulihan setelah Stroke
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas
pemulihan neurologis (fungsi saraf otak) dan pemulihan
fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional).
Health condition
(Disorder or Disease)
Activities Participation Body functions
and structure
Environmental
factors
Personal
factors
Gambar 1. Rehabilitation Model: ICF7
Pemulihan neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme
yang mendasari adalah pulihnya fungsi sel otak pada area
penumbra yang berada di sekitar area infark yang se-
sungguhnya, pulihnya diaschisis dan atau terbukanya
kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak
digunakan lagi. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan
pemulihan neurologis yang terjadi.
Setelah lesi otak menetap, pemulihan fungsional masih
dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu terutama dalam
3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal itulah yang menjadi
fokus utama rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan
kemandirian pasien mencapai kemampuan fungsional yang
optimal. Proses pemulihan fungsional terjadi berdasarkan
pada proses reorganisasi atau plastisitas otak melalui:
1. Proses Substitusi
Proses ini sangat tergantung pada stimuli eksternal yang
diberikan melalui terapi latihan menggunakan berbagai
metode terapi. Pencapaian hasilnya sangat tergantung
pada intaknya jaringan kognitif, visual dan proprioseptif,
yang membantu terbentuknya proses belajar dan
plastisitas otak.
b. Proses Kompensasi
Proses ini membantu menyeimbangkan keinginan
aktivitas fungsional pasien dan kemampuan fungsi
pasien yang masih ada. Hasil dicapai melalui latihan
berulang-ulang untuk suatu fungsi tertentu, pemberian
alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku, atau
perubahan lingkungan.
Pemilihan jenis intervensi rehabilitasi didasarkan pada
pertimbangan beratnya gejala-sisa stroke, fase stroke saat
terapi, penyakit penyerta dan atau komplikasi medis, serta
berbagai faktor terkait lainnya seperti usia pasien, motivasi,
serta dukungan dan ekonomi keluarga. Sebagai contoh pasien
usia lanjut, penderita PPOK yang mendapat stroke akibat
oklusi total a.cerebri media tentu tidak mungkin diberikan
program rehabilitasi substitusi agar ia dapat berjalan dan
64
(Disorder or Disease)
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi
kompensasi tentu lebih tepat untuknya.
Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai
sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan
stroke
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca
stroke
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
Rehabilitasi Stroke Fase Akut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,
umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat
biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan
perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit
stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi
lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya
di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9
Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut
dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan
spesialistik di rumah sakit.
Rehabilitasi Stroke Fase Subakut
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya
sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali
bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang
intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan
gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat
berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya.
Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang
bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang
optimal.
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis
mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer.
Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan
peralatan canggih.
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali
untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak
akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi
otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal-
ing sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar
mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai
oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang
lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien
mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan
yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila
anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk
mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.
Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak
kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas
yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,
presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah
gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan
tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–
bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-
ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi
saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak
begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sirkuit yang baru.
3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk
melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan
menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih
terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya
dimana pasien masih menggunakan ototnya secara
“aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikut-
sertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan
ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga”
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan
pemulihan pasien.
4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang
tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan
berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu
tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas
duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
65
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan
dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping
untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional
optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan
aktivitas sambil berjalan.
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian
tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi
dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga
menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.
Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak
sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya
sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan
sesering mungkin.
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila
ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan
semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik
dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-
pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang
harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi
pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar
untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan
untuk:
1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-
kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari
4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring
Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai
kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,
cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.
Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan membantu
secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif
“menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi
lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan
pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina
makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua
anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi
lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-
ing berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk
dari pada baik. (Tabel 5).
Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode
emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada
3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan
fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus
diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan di-
programkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara
bertahap ditingkatkan.
Gambar 2. Latihan dengan Bantuan
Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak,
dengan meniadakan gerak ikutan ataupun gerak sinergis.
66
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring10
Sistem tubuh Efek terhadap sistem tubuh
Sistem Kardiovaskuler § Denyut nadi meningkat ½ ketuk/menit
setiap hari selama 3-4 minggu
§ Ortostatik hipotensi
§ Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis
dan emboli pulmonal
§ Viskositas darah meningkat
Sistem Respirasi § Retensi sputum dan menurunnya
oksigenasi
§ Kecepatan pernafasan meningkat
§ Risiko terjadinya pneumonia
Sistem Muskuloske- § Kekuatan dan massa otot menurun
le tal § Perubahan histologi otot
§ Perubahan kelenturan sendi
(kontraktur)
§ Osteoporosis
Sistem Metabolik § Persentase lemak tubuh meningkat
dan Endokrin § Hipercalcaemia
§ Toleransi glukose menurun dalam 3 hari
tirah baring
Sistem Integumen § Decubitus ulcers
Sistem Gastrointes- § Konstipasi
t inal § Refluks Gastroesofageal
Sistem Urogenital § Awal volume urin meningkat, kemudian
menurun /stasis
§ Inkontinensia urine
Sistem Saraf Pusat § Perubahan pada afeksi
§ Penurunan kognitif dan persepsi
Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-
kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang
dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang
seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian
besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman
keluarga dan pasien sangat penting dan krusial.
1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan
memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam
waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku
pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih
besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang.
Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi
kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang
karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi
tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai
lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai
latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari
diperlukan.
2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan
Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak
khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6).
Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada
ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola
sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis
tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar
tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang
akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai
antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan
dalam seluruh aktivitas.
Tabel 6. Pola Sinergistik11
Bagian tubuh Pola sinergis fleksor Pola sinergis
ekstensor
Ekstremitas atas Retraksi bahu Protraksi bahu
Abduksi bahu Adduksi bahu
Rotasi eksternal lengan Rotasi internal lengan
Fleksi siku Ekstensi siku
Supinasi tangan Pronasi tangan
Fleksi pergelangan Ekstensi pergelangan
tangan tangan
Fleksi jari-jari tangan Fleksi jari-jari tangan
Ekstremitas Fleksi panggul Ekstensi panggul
bawah Abduksi panggul Adduksi panggul
Rotasi eksternal Rotasi internal paha
panggul
Fleksi lutut Ekstensi lutut
Dorsifleksi pergelangan Plantar fleksi pergela-
kaki ngan kaki
Eversi pergelangan kaki Inversi pergelangan kaki
Ekstensi jari-jari kaki Fleksi jari-jari kaki
Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak
yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,
cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan
diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak
sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar
menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk
serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih
posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang
menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu
merupakan posisi yang baik untuknya.
3. Mencegah timbulnya nyeri.
Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat
mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat
atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area
talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut
sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu
disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana
interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut
tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan
pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.
Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri
muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.
Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu
yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan
bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih
tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan
baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan
saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya
67
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah
pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya
tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri
miofascial, dan atau nyeri neuropatik.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan
nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya
utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi
untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi
yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau
aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu
sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya.
Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan
Aktivitas Sehari-hari
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi
stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi yang
diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan
spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode
pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi
yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien.
Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila
terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau
pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut
perlu diatasi terlebih dahulu.
2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai
melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman
Gambar 3. Membantu Berpakaian.
Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan
nyeri. Lengan harus ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).
terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan
kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan
pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan
ke dalam terapi latihan.
Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain
melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah
kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi
bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi
bicara disebut disartria.
1. Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-
formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.
Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme
bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer
dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara
spontan)
b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman
auditori)
c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan
(bahasa simbol)
d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca
(pemahamanan visual)
e. menamakan
f. meniru
68
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu
beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia
global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik,
afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia
transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting
untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat
gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa
afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu
berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam
setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi
auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar).
Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan
membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi
hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.
2. Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam
mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,
spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ
bicara dan artikulasi.
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain
respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi.
Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik.
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria,
antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan,
meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara
dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot
pernapasan.
Gangguan Fungsi Luhur
Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling
luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan
mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan
yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena
saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman,
fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa,
fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi
kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya
fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain
kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial,
kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta
pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain se-
bagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur
memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk me-
ngembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan
fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu
lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah
hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan
semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali
berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak
menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di
sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia
tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.
Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang
pandang pasien menjadi terbatas.
Gangguan Menelan
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden
gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar
antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,
sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia
merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien
pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan
malnutrisi.
Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat
dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada
keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan
agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien
untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat
mencoba menelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada
laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang
menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah
ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang
inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Moni-
tor suara yang terdengar kering atau basah/serak.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi
menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimana
suara yang terdengar.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara
menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus
dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan
lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow
study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swal-
lowing).5,11,12
Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya
adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia
urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun
69
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya
residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari
50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan
timbulnya infeksi kandung kemih.
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat
diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta
jumlah minum dan urine pada voiding diary selama minimal
3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut
dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi
miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat
membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio
urin.12
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada
umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat
bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga
bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului
oleh obstipasi lama sebelumnya.
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan
cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan
bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat
tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.
Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang
memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah
saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan
dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan
bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi
duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan
dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu
selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi
00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan
pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat
badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar
yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar
merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan
koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam
paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan
memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya
bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot ortho-
sis) atau sepatu khusus.
Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di
motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas
perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya
untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikut-
sertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat
dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien
menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan
risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu
berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.
Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri
Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-
sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat (B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-
gai terapi latihan.
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 200970
Keluarga seringkali membenarkan perilaku seperti itu,
menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan
mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk
aktivitas yang kecil sekalipun, seperti misalnya duduk
beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh
endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama.
Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga yang
diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua
kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.
Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal
aktif semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat
berkepanjangan. Pasien dianjurkan agar sering duduk, bukan
duduk di tempat tidur melainkan duduk di kursi di luar kamar
tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara
proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi
untuk selalu makan di kamar makan bersama keluarga dan
dibiarkan untuk mengambil makananan pilihannya sendiri.
Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas keluarga bahkan bagi
pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang
bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke
keranjang, bowling kecil, main catur atau halma.
Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar,
namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/
meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan
beban ringan selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan
latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan thera-
band atau karet ban dalam bekas.
Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa
cepat lelah dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan
tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta
pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan demikian
pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna
bagi orang lain.
Rehabilitasi Stroke Fase Kronis
Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak
berbeda dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini
sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk, membuat
pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil
latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya,
membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga
semakin efisien. Latihan endurans dan penguatan otot secara
bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat mencapai
aktivitas aktif yang optimal.
Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran
rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a)
Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum
sakit, (b) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan
yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri penuh namun
tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal
dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar
atau sepenuhnya dibantu orang lain.
Kesimpulan
Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan
kompleks. Rehabilitasi stroke memerlukan keterlibatan tenaga
profesional dalam bentuk tim yang membahas secara
berkesinambungan perkembangan hasil dan secara dinamis
menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Namun tidak
semua pasien mudah mendapatkan pelayanan rehabilitasi
spesialistik. Walaupun demikian banyak hal yang masih dapat
dilakukan untuk membantu pasien dan keluarganya.
Mencegah komplikasi sekunder dan mengembalikan
kemandirian pasien dapat sekaligus meringankan beban
psikososial dan ekonomi keluarga. Profesi dokter di
pelayanan kesehatan primer yang menjadi ujung tombak di
masyarakat memiliki peran yang sangat penting.
Daftar Pustaka
1. De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J. Stroke:
background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In:
Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after
Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:1-46.
2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer
CM, Spires MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabili-
tation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.
3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke
Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis,
Mosby-Year Book, Inc., 1991:13-24.
4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke.
In: Gillen G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Func-
tional-Based Approach. St. Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:1-
30.
5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life.
In: Barnes M, Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery
after Stroke. Cambridge, Cambridge University Press, 2005:135-
60.
6. O’Dell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric
History and Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physi-
cal Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
Company, 2007:1-36.
7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Mea-
sures for Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical
Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders
Company, 2007:151-64.
8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford,
Oxford University Press, 1994:3-14,26-34.
9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on
stroke outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin B
and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,
Cambridge University Press, 2005:161-88.
10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In:
Brammer CM, Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and
Rehabilitation. Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:221-
9.
11. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes.
In: Braddom RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd.
Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1175-212.
12. Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual.
Oxford, Oxford University Press, 2005.
MS
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
71