Afasia-Sensorik dan motorik.docx

24
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, dan ekspresi. Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Pemahaman bicara dan bahasa adalah tugas yang melibatkan sebagian besar korteks serebri. Karena alasan ini, lesi di berbagai bagian korteks dapat menyebabkan gangguan pemahaman bicara dan bahasa. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien. Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay atau gangguan dalam berbahasa. Istilah language delay digunakan berdasarkan kepada perkembangan bahasa secara normal yang terhambat. Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti pola-pola normal, maka terlihat adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang sama. Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia. 1

Transcript of Afasia-Sensorik dan motorik.docx

BAB IPENDAHULUANI. Latar BelakangBahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, dan ekspresi. Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Pemahaman bicara dan bahasa adalah tugas yang melibatkan sebagian besar korteks serebri. Karena alasan ini, lesi di berbagai bagian korteks dapat menyebabkan gangguan pemahaman bicara dan bahasa. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien.Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay atau gangguan dalam berbahasa. Istilah language delay digunakan berdasarkan kepada perkembangan bahasa secara normal yang terhambat. Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti pola-pola normal, maka terlihat adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang sama. Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi

Manusia memahami suatu kata dari pengalamannya atau imajinasinya. Manusia mendapatkan kosakata dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Area cerebrum yang mengintegrasi semua stimulus ini menjadi kemampuan berbahasa adalah area Wernicke. Area wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus temporalis superior. Area wernicke berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan antara area pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya interpretasi bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area pendengaran, area wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. Oleh karena itu pemahaman bahasa juga dapat terjadi melalui membaca.

Gambar . Area Wernicke dan Area BrocaSemua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua sisi. Pada hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke pusat wernicke. Pengiriman data dari hemisferium yang tidak dominan ke pusat wernicke dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat wernicke suara dikenal sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu dikirim ke pusat pengertian bahasa. Di situ simbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian bahasa yang menggalakkan pusat pengenalan kata (wernicke), yang pada gilirannya mengirimkan pesan kepada pusat broca (yang menyelenggarakan produksi kata-kata) melalui daerah motorik primer dan melalui lobus frontalis (area motorik suplementer), yang ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas dalam bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual bilateral.

Kata yang didengarKata yang dibacaKorteks auditoriks primerKorteks visual primerKorteks auditoriks sekunder (area Wernicke)Korteks auditoriks sekunder Area 39Lobus frontalis superior anterior Korteks premotorik (Area Broca) Ganglia basalis, serebelumTalamusKorteks motorikKata yang diucapkan

Gambar 3. Mekanisme Pengucapan Kata

II. 2 Definisi AfasiaMenurut wood (1971) Afasia adalah Kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk memahami sebagaian atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang diakibatkan karena adanya gangguan pada otak. Wiig dan Semel (1984) adalah Mereka yang memiliki gangguan pada perolehan bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan bahasa. Penyakit afasia biasanya berkembang cepat sebagai akibat dari luka pada kepala atau stroke, tetapi juga dapat berkembang secara lambat karena tumor otak, infeksi, atau dementia.II. 3 Etiologi Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur.Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak akut dan sebagainya. Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis. II. 4 Afasia Sensorik Afasia Sensorikterjadi karena adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan.Disebut juga afasia wernicke atau afasia perseptif. Disebabkan oleh lesi di daerah antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali. Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya walaupun ia tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia tidak buta huruf. Penyimpanan storage berikut proses coding dari apa yang didengar dan ditulis terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses decoding tidak akan menghasilkan apa-apa. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh seorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan berbicara dan menulis suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Adakalanya bahasa baru (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai kata-kata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti. Ocehan itu dinamakan juga jargon aphasia. Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal. Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai tuli kata-kata (word-deafness), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita sama sekali tidak mengerti bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan baik. Juga afasia sensorik yang dinamakan buta kata-kata (word-blindness) pada mana bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis ataupun parietalis bahkan lobus oksipitalis. Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan aleksia reseptif. Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah broca), ekspresi melalui berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut agrafia reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih bisa mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal yang menyangkut hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang relevan bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan supramarginalis. Girus yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis superior dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii. Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara motorik terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan kekurangannya.II. 5 Gambaran klinik afasia Wernicke: 0. Keluaran afasik yang lancar 0. Panjang kalimat normal 0. Artikulasi baik 0. Prosodi baik 0. Anomia (tidak dapat menamai) 0. Parafasia fonemik dan semantik 0. Komprehensi auditif dan membaca buruk 0. Repetisi terganggu 0. Menulis lancar tapi isinya "kosong"

II. 6 Afasia MotorikAfasia motorik disebut juga dengan afasia broca atau afasia ekspresif yang ditandai dengan bicara yang tidak lancar dan disartria serta tampak melakukan upaya bila bicara. Disebabkan lesi di area Broca. Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tata bahasa yang kompleks sering terganggu dan sulit mengungkapkan isi pikiran. Gambaran klinis afasia Broca ialah bergaya afasia non-fluent. Pasien paling sering menggunakan kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata bahasa. Menamai dapat menunjukan jawaban yang parafasik. Lesi yang menyebabkan afasia broca mencakup daerah brodman 44 dan sekitarnya. Lesi yang menyebabkan afasia broca biasanya melibatkan operculum frontal area brodman 45 dan 44 dan massa alba frontal dalam tidak melibatkan korteks motoric bawah dan massa alba paraventrikular. Selain itu ada pasien dengan lesi dikorteks peri-rolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif.Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya didaerah broca dikorteks tanpa melibatkan jaringan disekitarnya maka tidak akan terjadi afasia. penderita afasia broca sering mengalami perubahan emosional seperti frustasi dan depresi.

II. 7 Gambaran Klinik Afasia Broca: Bicara tidak lancar Tampak sulit memulai bicara Kalimatnya pendek Pengulangan Kemampuan menamai buruk Kesalahan parafasia Pemahaman lumayan Gramatika bahasa kurang tidak kompleks Irama kalimat dan irama bicara terganggu

II. 8 PatofisiologiAfasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke.II. 9 PemeriksaanPemeriksaan Kelancaran BahasaKelancaran berbicara verbal merupakan refleksi efisiensi menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan atau pada dimensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi dengan tes kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata-kata tertentu yang dapat diucapkan selama jangka waktu terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu 1 menit, atau menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu misalnya huruf s atay huruf b dalam satu menit.Menyebutkan nama hewan : pasien disuruh untuk menyebutkan sebanyak-banyaknya nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Seorang yang normal umumnya menyebutkan 18-20 nama hewan selama 60 detik dengan variasi 5-7.

Pemeriksaan pemahaman bahasa lisanKemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit untuk dievaluasi. Langkah berikut dapat digunaan untuk mengevaluasi pemahaman secara klinis, yaitu dengan cara konversasi, suruhan, pilihan dan menunjuk.Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.Suruhan. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya misalnya mengambil pensil, letakkan di kotak, dan taruh kotak di atas meja (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motoric, walaupun pemahamannya baik, hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).Ya atau tidak. Kapada pasien dapat diberikan tugas bentuk pertanyaan yang dijawab dengan ya atau tidak. Mengingat kemungkinan salah 50%, jumlah pertanyaan harus banyak paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :Adakah yang bernama santoso ?Apakah AC dalam ruangan ini mati ?Apakah ruang kamar ini mati ?Apakah diluar sedang hujan ?Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah dipahami dan kemudian meningkat pada yang lebih sulit . Misalnya tunjuk bahu atau tunjuk gelas yang ada disamping televisi.Menunjuk kita mulai dengan suruhan yang mudah dipahami dan kemudian meningkat pada yang lebih susah. Misalnya tunjuk lampu kemudian tunjuk gelas yang ada disamping radio.Pemeriksaan sederhana ini yang dapat dilakukan disisi ranjang yang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali namun dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis dengan komperhensi adalah kompleks.Pemeriksaan repetisiKemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang mula-mula kata yang sederhana seperti satu patah kata, kemudian ditingkatkan menjadi satu kalimat. Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada pemeriksaan repetisi ini didapatkan afasia, salah tata bahasa, kelupaan dan penambahan. Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang namun ada juga yang menunjukan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik dari pada berbicara spontan. Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan mengulang mempunyai patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara maka daerah peri-sylvian bebas dari kelainan patologis.Umumnya daerah ekstra sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek repetisi terletak didaerah perbatasan vaskuler (area water-shed).Pemeriksaan menamai dan menemukan kataKemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini sedikit banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama dan hal ini disebut anomia.Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometric, symbol matematika atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini harus digunakan barang yang sering digunakan dan barang yang jarang ditemui. Karena pada sebagian besar kasus pasien masih bisa menamai barang yang sering dilihat namun lamban dalam mendeskripsikan kegunaan atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.Bila pasien kesulitan ia dapat dibantu dengan memberikan suku kata pertama atau dengan menggunakan kalimat penuntun. Ada pula pasien yang bisa menjelaskan kegunaan dari sebuah barang namun tidak tahu apa nama barangnya. Area bahasa diposterior adalah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke. Area bahasa pada bagian frontal berfungsi untuk memproduksi bahasa.Area brodman 44 merupakan area broca.Pemeriksaan system bahasaEvaluasi system bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan bagaimana pasien berbicara spontan, komperhensi, repetisi, dan menamai.Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa. Selain itu perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan tangan. Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia biasanya selalu agrafia dan sering aleksia.

Pemeriksaan penggunaan tangan Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat. Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan tangan. Tanyakan pada pasien apakah ia kidal atau kinan. Banyak orang kidal yang sudah diajarkan untuk menulis dengan menggunakan tangan kanan sejak kecil, oleh karena itu observasi dengan cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang kidal. Suruh pasien mempergukan tangan mana yang digunakan untuk memegang pisau.Pemeriksaan berbicara spontanLangkah pertama dalam menilai berbahasa adalah mendengarkan bagaimana pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau bercerita dan perhatikan apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun, disprosodik, afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata dan perseverasi.Parafasia adalah menggantikan kata diantaranya ada parafasia semantic/verbal yang menggantikan satu kata dengan kata lain sedang fonemik/literal menggantikan suatu bunyi dengan yang lain.Afasia motoric yang berat biasanya mudah dideteksi karena bicaranya sangat terbatas atau tidak ada. Afasia adalah kesulitan dalam memahami dan atau memproduksi bahasa yang disebabkan oleh gangguan yang melibatkan hemisfer otak.Pada semua pasien dengan afasia didapatkan gangguan juga gangguan membaca dan menulis. Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit banyak terganggu, bicara spontan, mengulang, menamai, pemahaman, bahasa, membaca dan menulis. Pada lesi frontal pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, mengalami kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam bicara. Selain itu gramatikanya sangat sedikit dan menyisipkan bunyi yang salah serta ada preservasi. Pasien sadar akan kekurangannya. Pemahaman terhadap bahasa dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu baik menulis maupun isi tulisan.Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapatkan gangguan berat dalam memformulasikan dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak memiliki arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara motoric terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak terlalu sadar akan kekurangannya.Afasia yang pertama disebutkan adalah afasia broca atau motoric atau afasia ekspresif.Afasia jenis kedua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa. Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata yang selalu diulang dengan artikulasi dan irama yang buruk dan tidak bermakna. Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa disekitar fisura sylvi.Kadang afasia ditandai dengan kesulitan menemukan nama sedangkan modalitas lainnya relative utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai suatu benda.Afasia amnestic ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih pada afasia yang tersebut dahulu namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestic mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.Pemeriksaan tambahan Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena afasia merupakan tanda klinis. Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi tumor.II. 10 TerapiPenatalaksanaan gangguan bahasa terlebih dahulu didasarkan mengatasi penyebabnya seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan sebagainya. Penanganan yang paling efektif adalah dengan rehabilitasi berupa terapi bicara.Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk mengatasi gangguan berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy merupakan penyediaan pelayanan yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan. Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke masuk rumah sakit (bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara berkelanjutan sampai 1 2 tahun post stroke. Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya. Rehabilitasi pasien dengan gangguan bahasa umumnya perlu :1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan3. melakukan repetisi secara kontinuSedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat diberikan oleh seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah mendapat petunjuk-petunjuk mengenai terapi di rumah, karena pasien membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip bina wicara ialah motivasi, stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk melatih bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan sehari-hari, juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak membiarkan pasien memakai bahasa isyarat. Pasien harus dipaksakan mengucapkan kata disamping isyarat yang dipakainya. Terapis akan membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan untuk memberikan stimulasi yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan atau repetisi perlu dilakukan secara teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai bila diperlukan. Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada:1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya. 2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit mempunyai hasil yang paling baik. 3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat). 4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien. 5. Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien memberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan ataupun taktil. Materi yang telah dikuasai pasien perlu diulang-ulang (repetisi).6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan pasien afasia yang lain.7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.II. 11 Prognosis Prognosa hidup untuk penderita afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik.Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA1. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012 4.2. AphasiaAssesment. http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resource/ page_material/resources_general_materials_pages/resources_document_pages/aphasia_assessment.pdf. 20023. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. 10.4. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009. 6.5. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 9.6. Lumbantobing, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia. Djakarta. 2012. 156-175.7. Mahar mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2008. Dian Rakyat. Jakarta 2.8. Ninds. 2006. Aphasia. Available from : http://www.ninds.nih.gov.9. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010 Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm 7.10. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis, Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995 11.11. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 5.12. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. EGC. Jakarta. 3.13. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012 12.

16