Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal...

12
ASPEK FARMAKOKINETIK KLINIK BEBERAPA OBAT BERPOTENSI HEPATOTOKSIK PADA PASIEN RAWAT INAP di BANGSAL PARU RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PERIODE OKTOBER 2011- JANUARI 2012 Oleh : Intan Julita*) Korespondensi : [email protected] Farmakokinetik klinik merupakan aplikasi konsep farmakokinetik pada dunia pengobatan dalam rangka mewujudkan terapi obat yang aman dan efektif pada seorang pasien (farmakoterapi) sehingga keberhasilan pengobatan dapat dicapai. Karena perbedaan antara pasien dalam farmakokinetik (ADME) maupun perubahan kondisi patologik pasien, maka sulit merancang aturan dosis tepat. Adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi obat dengan respon farmakologinya memungkinkan prinsip farmakokinetika dapat ditetapkan pada kondisi pasien yang sebenarnya. Obat berpotensi hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi kerusakan hati atau biasanya disebut (drug induced liver injury). Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal paru RSUP DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011-Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi masalah-masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan penggunaan obat berpotensi hepatotoksik yaitu aspek kesesuaian dosis, keefektifan terapi, efek samping yang merugikan, efek toksik dan interaksi. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini didapatkan penggunaan beberapa obat berpotensi hepatotoksik yaitu parasetamol, OAT (rifampisin, isoniazod, pirazinamid, ethambutol, rantidin, lansoprazol, tramadol, kortikosteroid (metilprednisolon, dexametason, prednison dan aminophilin. Child pugh Score lengkap didapat dari 17% pasien dan 83% tidak lengkap. Dari 17% pasien berada pada rentang score 7-9 (kerusakan hati sedang). Dari penelitian juga didapat 100% pasien mengalami gejala subjektifitas dan objektifitas kerusakan fungsi hati. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa belum adanya penerapan aspek farmakokinetik klinik pada pasien yang menggunakan obat berpotensi hepatotoksik yang dirawat di bangsal paru RSUP. DR. M. Djamil Padang. PENDAHULUAN Hati merupakan organ sensitif. Salah satu fungsinya yang penting adalah melindungi tubuh terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya yang masuk dari luar, seperti obat atau herbal tertentu. Banyak diantara obat yang bersifat larut dalam lemak dan tidak mudah diekresikan. Metabolisme tubuh akan memproses obat melalui hati. Untuk itu, organ hati memiliki sistem enzim pada mikrosomnya yang dapat melakukan biotransformasi (dari obat) sehingga terbentuk metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Banyak penyakit yang memang bisa diatasi dengan berbagai obat. Obat-obatan tetap merupakan bahan kimia yang sangat mungkin mempengaruhi fungsi organ dalam tubuh, terutama hati. Berdasarkan keterangan diatas, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk ‘dirusak’ oleh obat. Lazimnya, istilah yang digunakan untuk obat penyebab kerusakan hati disebut ‘obat penginduksi kerusakan hati’ (drug induced liver injury). Sedangkan efeknya disebut hepatotoksik atau toksik ke hepar (hati). Prevalensi kerusakan hati akibat obat sangat tinggi, mulai dari kerusakan yang tidak permanen namun dapat berlangsung lama dan fatal (Setiabudy,1979; Suasono, 1985). Hepatotoksisitas akibat obat harus selalu dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab penyakit hati. Sebuah survei dari Acute Liver Failure Study Group (ALFSG) yang dilakukan pada pasien rawat inap di 17 rumah sakit Amerika Serikat menunjukan bahwa obat yang diresepkan (termasuk asetaminofen) menyebabkan > 50% kasus gagal hati akut. Saat ini, efek hepatotoksik merupakan alasan utama terhentinya pengembangan obat lebih lanjut dan ditariknya obat yang telah disetujui oleh FDA dari pasaran (Andrade, et al, 2007). Salah satu alasan penarikan obat di pasaran adalah karena obat-obat tersebut menyebabkan peningkatan kadar enzim-enzim di hati (Dipiro, 2005). Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk bidang farmasi klinik, farmakokinetika berperan penting dalam memilih rute pemberian obat yang paling tepat, penetapan

Transcript of Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal...

Page 1: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

ASPEK FARMAKOKINETIK KLINIK BEBERAPA OBAT BERPOTENSI

HEPATOTOKSIK PADA PASIEN RAWAT INAP di BANGSAL PARU

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PERIODE OKTOBER 2011- JANUARI 2012

Oleh : Intan Julita*)

Korespondensi : [email protected]

Farmakokinetik klinik merupakan aplikasi konsep farmakokinetik pada dunia pengobatan dalam rangka

mewujudkan terapi obat yang aman dan efektif pada seorang pasien (farmakoterapi) sehingga keberhasilan

pengobatan dapat dicapai. Karena perbedaan antara pasien dalam farmakokinetik (ADME) maupun perubahan

kondisi patologik pasien, maka sulit merancang aturan dosis tepat. Adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi

obat dengan respon farmakologinya memungkinkan prinsip farmakokinetika dapat ditetapkan pada kondisi

pasien yang sebenarnya. Obat berpotensi hepatotoksik adalah obat yang dapat menginduksi kerusakan hati atau

biasanya disebut (drug induced liver injury). Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal paru

RSUP DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011-Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi

masalah-masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan penggunaan obat berpotensi

hepatotoksik yaitu aspek kesesuaian dosis, keefektifan terapi, efek samping yang merugikan, efek toksik dan

interaksi. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan

dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini didapatkan penggunaan beberapa obat berpotensi

hepatotoksik yaitu parasetamol, OAT (rifampisin, isoniazod, pirazinamid, ethambutol, rantidin, lansoprazol,

tramadol, kortikosteroid (metilprednisolon, dexametason, prednison dan aminophilin. Child pugh Score lengkap

didapat dari 17% pasien dan 83% tidak lengkap. Dari 17% pasien berada pada rentang score 7-9 (kerusakan hati

sedang). Dari penelitian juga didapat 100% pasien mengalami gejala subjektifitas dan objektifitas kerusakan

fungsi hati. Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa belum adanya penerapan aspek farmakokinetik klinik pada

pasien yang menggunakan obat berpotensi hepatotoksik yang dirawat di bangsal paru RSUP. DR. M. Djamil

Padang.

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ sensitif. Salah satu

fungsinya yang penting adalah melindungi tubuh

terhadap terjadinya penumpukan zat berbahaya

yang masuk dari luar, seperti obat atau herbal

tertentu. Banyak diantara obat yang bersifat larut

dalam lemak dan tidak mudah diekresikan.

Metabolisme tubuh akan memproses obat melalui

hati. Untuk itu, organ hati memiliki sistem enzim

pada mikrosomnya yang dapat melakukan

biotransformasi (dari obat) sehingga terbentuk

metabolit yang lebih mudah larut dalam air dan

dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu.

Banyak penyakit yang memang bisa diatasi dengan

berbagai obat. Obat-obatan tetap merupakan bahan

kimia yang sangat mungkin mempengaruhi fungsi

organ dalam tubuh, terutama hati. Berdasarkan

keterangan diatas, tidak mengherankan bila hati

mempunyai kemungkinan yang cukup besar untuk

‘dirusak’ oleh obat. Lazimnya, istilah yang

digunakan untuk obat penyebab kerusakan hati

disebut ‘obat penginduksi kerusakan hati’ (drug

induced liver injury). Sedangkan efeknya disebut

hepatotoksik atau toksik ke hepar (hati). Prevalensi

kerusakan hati akibat obat sangat tinggi, mulai dari

kerusakan yang tidak permanen namun dapat

berlangsung lama dan fatal (Setiabudy,1979;

Suasono, 1985).

Hepatotoksisitas akibat obat harus selalu

dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab

penyakit hati. Sebuah survei dari Acute Liver

Failure Study Group (ALFSG) yang dilakukan

pada pasien rawat inap di 17 rumah sakit Amerika

Serikat menunjukan bahwa obat yang diresepkan

(termasuk asetaminofen) menyebabkan > 50%

kasus gagal hati akut. Saat ini, efek hepatotoksik

merupakan alasan utama terhentinya

pengembangan obat lebih lanjut dan ditariknya obat

yang telah disetujui oleh FDA dari pasaran

(Andrade, et al, 2007). Salah satu alasan penarikan

obat di pasaran adalah karena obat-obat tersebut

menyebabkan peningkatan kadar enzim-enzim di

hati (Dipiro, 2005).

Farmakokinetika adalah ilmu yang

mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini

berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses

yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh

meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme

dan ekskresi. Untuk bidang farmasi klinik,

farmakokinetika berperan penting dalam memilih

rute pemberian obat yang paling tepat, penetapan

Page 2: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage

regimen individualization), menerangkan

mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan

obat maupun antara obat dengan makanan atau

minuman (Cahyati, 1985; Santoso, 1985).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Bangsal Paru

RSUP DR. M. Djamil Padang. Waktu penelitian

dilakukan kurang lebih selama 4 bulan dari

Oktober 2011 sampai dengan Januari 2012.

Jenis Penelitian

Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan data observasi prospektif pada

pasien rawat inap yang menggunakan obat

berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP DR.

M. Djamil Padang.

Jenis Data

1. Data Kuantitatif

Meliputi persentase penggunaan obat berpotensi

hepatotoksik dan persentase obat-obat yang

berinteraksi dengan obat berpotensi

hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP. DR. M.

Djamil Padang.

2. Data Kualitatif

Meliputi masalah-masalah aspek

farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan

penggunaan obat berpotensi hepatotoksik yaitu

aspek kesesuaian dosis, efek terapi, efek

samping yang merugikan, efek toksik dan

interaksi yang terjadi akibat pemberian fenitoin

yang bermakna klinik.

Pengumpulan Data

Data yang diambil adalah data rekam

medik pasien yang menggunakan obat

berpotensi hepatotoksik (obat- obat dengan

indeks terapi sempit, obat-obat yang

dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat

yang memiliki efek hepatotoksik) dan dan

observasi langsung kepada pasien atau keluarga

pasien yang dirawat inap di bangsal paru RSUP

Dr. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang

digunakan dicatat pada formulir yang tersedia.

Adapun data yang dibutuhkan pada rekam

medik antara lain: nama pasien, jenis kelamin,

umur, obat yang digunakan, kadar SGPT, kadar

SGOT, waktu prothrombin, kadar albumin

darah, kadar bilirubin total, asites, ensepalopati

hepatika dan data-data lain yang diperlukan.

Analisa Data

Data dianalisa menggunakan penilaian Child Pugh

Score. Pasien dikelompokan berdasarkan obat

berpotensi hepatotoksik yang digunakan lalu

dikelompokan berdasarkan nilai Child Pugh Score.

Obat-obat yang diterima dari masing-masing

kelompok dievaluasi bedasarkan faktor obat-obat

dengan indeks terapi sempit, obat-obat yang

dimetabolisme terutama di hati, serta obat-obat

yang memiliki efek hepatotoksik. Analisa dosis,

interaksi dan efek samping obat yang diterima

pasien untuk melihat peningkatan intensitas efek

samping atau munculnya efek toksik obat yang

menyebabkan penurunan fungsi hati. Data

dianalisis secara deskriptif serta dilakukan

perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam

bentuk tabulasi dan diagram.

Tabel 1. Child Pugh score

Tes/ Gejala Skor 1

poin

Skor 2

poin

Skor 3

poin

Total Bilirubin

(mu mol/dL)

<2.0 2.0-3.0 >3.0

Serum Albumin

(g/dL)

>3.5 2.8-3.5 <2.8

Prothrombin time

(seconprolong over

control)

<4 4-6 >6

Asites Tidak

ada

Slight Moderate

Hepatic

Encephalopathy

Tidak

ada

Moderate Severe

HASIL

Hasil yang diperoleh dari penggunaan obat

berpotensi hepatotoksik di Bangsal Paru RSUP.

DR. M. Djamil Padang selama bulan Oktober 2011

hingga bulan Januari 2012 adalah sebagai berikut :

1. Jumlah pasien yang dirawat inap di Bangsal

Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang selama

bulan Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012

adalah 172 orang dan yang menggunakan obat

berpotensi hepatotoksik berjumlah 81 orang

dengan persentase 47%. Dari 81 pasien

diperoleh data pasien laki-laki berjumlah 60

orang (74%), dan data pasien perempuan

berjumlah 21 orang (26%). Dari 81 pasien

diperoleh data usia <25 tahun adalah 12% (10

orang) , usia 26-35 tahun adalah 16% ( 13

orang), usia 36-45 tahun adalah 12% (10

orang), usia 46-55 tahun adalah 17% (14

orang), usia 56-65 tahun adalah 29% (23

orang), dan usia >65 tahun adalah 14% (11

orang).

2. Berdasarkan data yang ada, obat berpotensi

hepatotoksik yang digunakan di Bangsal Paru

RSUP. DR. M. Djamil Padang: Obat berpotensi

hepatotoksik adalah Parasetamol. Obat

berpotensi hepatotoksik yang dimetabolisme

terutama dihati adalah Obat OAT (rifampisin;

isoniazid, pirazynamid, ethambutol), ranitidin,

lansoprazol, tramadol, kortikosteroid (metyl

prednisolon; dexametason; prednison). Obat

Page 3: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

berpotensi hepatotoksik yang merupakan obat

indeks terapi sempit adalah Aminophilin.

3. Persentase jumlah pasien yang menggunakan

obat berpotensi hepatotoksik yang

dimetabolisme terutama di hati adalah 32%.

Persentase jumlah pasien yang menggunakan

obat berpotensi hepatotoksik adalah 11%.

Persentase jumlah pasien yang menggunakan

obat berpotensi hepatotoksik yang merupakan

obat indeks terapi sempit 0%. Persentase jumlah

pasien yang menggunakan obat berpotensi

hepatotoksik lebih dari satu kategori

(kombinasi) adalah 57%.

4. Persentase jumlah kelengkapan komponen

parameter Child-Pugh. Berdasarkan data

prospektif pasien yang dirawat selama bulan

Oktober 2011 hingga bulan Januari 2012 di

Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang

diperoleh data komponen parameter Child-Pugh

yang lengkap adalah 17% (14 orang) dan yang

tidak lengkap adalah 83% (67 orang). Dari data

tersebut diperoleh pengelompokan rentang skor

nilai Child Pugh kelas A (< 7 poin), kelas B (7-

9 poin), dan kelas C (10-15 poin) masing-

masing sebesar 0%, 100% dan 0%.

5. Berdasarkan data SGPT/ALT didapatkan 1

orang (1%) pasien mengalami hepatotoksisitas

grade IV, 1 orang (1%) pasien mengalami

hepatotoksisitas grade III, 1 orang (1%) pasien

mengalami hepatotoksisitas grade II, 14 orang

(17%) pasien mengalami hepatotoksisitas grade

I, pasien yang tidak mengalami hepatotoksisitas

ada 53 orang (66%). Sedangkan data SGPT

yang tidak tersedia adalah 14% (11 orang).

6. a. Persentase jumlah pasien yang

mengalami gejala subjektif

hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil

observasi pada pasien diperoleh 100%

(81 orang) mengalami gejala

subjektifitas hepatotoksisitas. Gejala

subjektif meliputi keadaan lemah,

penurunan berat badan, mual/muntah,

perut terasa tidak nyaman, demam,

kebingungan, penurunan nafsu makan

dan rentan terhadap pendarahan.

b. Persentase jumlah pasien yang

mengalami gejala objektif

hepatotoksisitas. Berdasarkan hasil

observasi pada pasien diperoleh 100%

(74 orang) mengalami gejala objektif

hepatotoksisitas dan 7 orang tidak

tersedia data laboratorium klinis

sehingga tidak bisa diartikan secara

klinis. Gejala objektifif meliputi

peningkatan kadar SGPT dan SGOT,

peningkatan kadar ALP, penurunan

serum albumin, penurunan serum protein

total, peningkatan kadar bilirubin dan

peningkatan watu protombin.

7. Aminophilin merupakan obat indeks terapi

sempit untuk itu, perlu dilakukan perhitungan

dosis sesuai dengan keadaan klinis pasien.

Pasien yang menggunakan aminophilin

sebanyak 24 orang pasien (3 orang oral dan

21 orang intravena.

a. Perhitungan dosis aminophilin intravena

berdasarkan loading dose. Berdasarkan

dosis yang direkomendasikan didapatkan

persentase loading dose aminophilin

terdapat 10% loading dose berlebih,

76% loading dose kurang dan 14%

loading dose tepat. Berdasarkan klirens

(Cl) dan konsentrasi steady state (Css)

didapatkan 19% loading dose berlebih,

71% loading dose kurang dan 10%

loading dose tepat.

b. Perhitungan dosis aminophilin intravena

berdasarkan dosis lanjutan (maintenance

dose). Berdasarkan dosis yang

direkomendasikan didapatkan persentase

dosis lanjutan aminophilin terdapat 33%

dosis lanjutan berlebih, 67% dosis

lanjutan kurang dan 0% dosis lanjutan

tepat. Berdasarkan klirens (Cl) dan

konsentrasi steady state (Css) didapatkan

persentase dosis lanjutan aminophilin

terdapat 10% dosis lanjutan berlebih,

71% dosis lanjutan kurang dan 19%

dosis lanjutan tepat

c. Perhitungan dosis aminophilin oral

berdasarkan dosis yang

direkomendasikan didapatkan persentase

25% dosis berlebih, 50% dosis kurang

dan 25% dosis tepat. Berdasarkan

klirens (Cl) dan konsentrasi steady state

(Css) didapatkan persentase 25% dosis

berlebih, 50% dosis kurang dan 25%

dosis tepat.

8. Persentase interaksi obat yang terjadi pada

pasien, ditemukan sebanyak 65%. Obat-

obat yang berinteraksi antara lain OAT dan

parasetamol (6 kasus), OAT dan antasida ( 2

kasus), OAT dan kortokosteroid (4 kasus),

OAT dan aminophilin ( 1 kasus), OAT dan

ondansentron ( 1 kasus), ranitidin dan

antasida (11 kasus), ranitidin dan

aminophilin (6 kasus), ranitidin dan

sefalosporin (17 kasus), ranitidin dan

diltiazem (1 kasus), kortikosteroid dan

antasida (1 kasus), kortikosteroid dan

aminophilin ( 19 kasus), aminophilin dan

azitromisin (5 kasus), zat besi dan antasida (3

kasus).

PEMBAHASAN

Penelitian Aspek Farmakokinetik Klinik

beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik pada

pasien Bangsal Paru RSUP DR. M. Djamil Padang

bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi

Page 4: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang

digunakan pada pasien yang mengakibatkan

penurunan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan agar

dapat menghindari terjadinya penurunan fungsi hati

dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Gambaran Umum Pasien

Pengambilan data penelitian secara

prospektif di Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil

rentang waktu bulan Oktober 2011 hingga bulan

Januari 2012 yaitu pasien yang menggunakan obat

berpotensi hepatotoksik. Sampel penelitian yang

diambil dengan melihat obat hepatotoksik yang

digunakan dan data laboratorium klinik pasien

yaitu serum protein total, serum albumin, total

bilirubin, alkaline phospatase (ALP), SGPT/ALT,

SGOT/AST,dan lain-lain. Pada penelitian ini

diperoleh sampel sebanyak 81 orang pasien dengan

persentase sebanyak 74% laki-laki (60 orang) dan

26% perempuan (21orang) dimana persentase

pasien laki-laki lebih tinggi dibandingkan

perempuan. Dari penelitian didapat penyakit yang

dirawat inap di Bangsal Paru RSUP. DR. M.

Djamil Padang adalah TBC,PPOK, Kanker

bronkogenik dan Asma. Dari data ini dapat

disimpulkan bahwa laki-laki lebih rentan terkena

penyakit tersebut karena beberapa faktor resiko

seperti merokok. Di Indonesia prevalensi merokok

pada laki-laki dilaporkan sekitar 50-70 %

(Sajinaniasa, Bagiada & Ngurah, 2010).

Pada penelitian ini juga diperoleh data

demografi berdasarkan usia dimana didapatkan 6

kelompok umur pasien yaitu 10 orang pasien

berumur < 25 tahun (12%), 13 orang pasien

berumur 26-35 tahun (16%), 10 orang pasien

berumur 36-45 tahun (12%), 14 orang pasien

berumur 46-55 tahun (17%), 23 orang pasien

berumur 56-65 tahun (29%), 11 orang pasien

berumur >65 tahun. Pada pasien dengan usia lanjut

diperlukan perhatian lebih lanjut dikarenakan aliran

darah ke hati pada pasien umur >60 tahun

berkurang hingga 50-60% dibandingkan pasien

usia muda sekitar 20-30 tahun (Katzung, 2004).

Kemampuan hati untuk memetabolisme obat tidak

akan sama berdasarkan perbedaan umur untuk

semua jenis obat. Salah satu contohnya dalam

penelitian ini adalah perhitungan dosis aminophilin

yang diberikan pada pasien usia lanjut karena t1/2

pada geriatri berubah menjadi 12 jam yang pada

usia dewasa hanya 8 jam.

Gambaran Penggunaan Obat Berpotensi

Hepatotoksik

Dalam penelitian ini ditemukan beberapa

macam penyakit yang menggunakan obat

berpotensi hepatotoksik antara lain tuberkolosis

paru (TBC), asma bronkial, penyakit paru obstruksi

kronis (PPOK), efusi pleura, pneumothorax, dan

kanker bronkogenik. Untuk TBC prinsip

pengobatan nya adalah farmakologi dan non

farmakologi. Non farmakologi dapat dilakukan

dengan cara perbaikan gizi pasien serta melakukan

pendidikan kesehatan. Berdasarkan standar terapi

RSUP Dr. M. Djamil Padang, terapi farmakologi

dilakukan dengan cara pemberian obat anti

tuberkolosis (OAT) lini I yaitu rifampisin,

isoniazid, etambutol, pirazinamid dan streptomisin.

Namun jika terjadi resistensi, pengobatan dapat

dilanjutkan dengan lini II yaitu kanamisin,

amikasin, kinolon, makrolid dan ko amosiklav

(masih dalam penelitian), selain itu pasien perlu

diberikan hepatoprotektor seperti Curcuma®. Dosis

OAT yang digunakan ditentukan berdasarkan berat

badan pasien (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang,

2007). Terapi farmakologi dan non farmakologi

harus berjalan seiringan demi kesembuhan pasien

karena pengobatan TBC diperlukan waktu yang

cukup lama.

Dari hasil observasi didapatkan, 24 orang

pasien menggunakan OAT. OAT yang digunakan

adalah OAT FDC (Fixed Dose Combination). OAT

FDC didesain dengan dosis tetap dengan tujuan

untuk meningkatkan kepatuhan pasien sehingga

pengobatan menjadi lebih sederhana dan

menurunkan tingkat MDR (Multi Drug Resistance)

(Soepandi, 2009; Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2002). Penentuan dosis OAT FDC ini

didesain berdasarkan rentang dosis yang telah

ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang

efektif atau masih termasuk dalam batas dosis

terapi dan non toksik (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2002). Aplikasi klinis ke pasien OAT

FDC diberikan berdasarkan berat badan. Namun,

kelemahan dalam menggunakan OAT FDC ini, jika

terjadi efek samping tidak bisa ditentukan obat

mana yang menyebabkan terjadinya efek samping

termasuk hepatotoksisitas. Selama pengamatan

dalam penelitian, terapi pada pasien TBC sudah

sesuai dengan standar terapi rumah sakit namun

tidak semua pasien penerima OAT mendapatkan

hepatoprotektor. Pasien mendapatkan OAT FDC

kat I 1x3 tab dan FDC kat II 1x3 tab. Selain terapi

OAT pasien TBC juga diberikan beberapa terapi

simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi.

Pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT)

dapat menimbulkan berbagai macam efek samping.

Salah satu efek samping yang cukup serius adalah

efek hepatotoksik. Mekanisme pasti OAT

menyebabkan hepatotoksisitas tidak diketahui

secara pasti. Isoniazid menyebabkan

hepatotoksisitas dianggap sebagai reaksi yang tidak

diketahui (idiosinkratik). Reaksi idiosinkratik

merupakan efek samping obat yang tidak

berhubungan dengan sifat farmakologi obat.

Hepatotoksisitas terjadi tergantung dosis pada

individu tertentu, tetapi hepatotoksisitas tidak

terjadi pada setiap individu. Isoniazid

menyebabkan hepatotoksisitas bukan merupakan

dari reaksi hipersensitivitas atau alergi, tetapi dari

metabolit yang beracun (Tostmann, et al, 2007).

Page 5: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

Ada beberapa ahli yang menyimpulkan bahwa

terjadi reaksi hipersensitivitas, namun ada juga

yang mengatakan terjadinya kelainan metabolisme

terhadap individu- individu yang rentan. Reaksi

hipersensitivitas biasanya muncul 1-5 minggu pada

masa terapi, sedangkan kelainan metabolisme dapat

muncul dalam masa terapi 1 minggu-setahum atau

lebih. Dari hasil pengamatan memang terbukti

bahwa hepatotoksisitas karena OAT tidak terjadi

pada semua pasien yang mengkonsumsi OAT.

Walaupun demikian, pemantauan terhadap faal

fungsi hati tetap dianjurkan.

Pada asma bronkial juga diperlukan

penanganan farmakologi dan non farmakologi.

Pada serangan akut, berdasarkan PFT RSUP Dr. M.

Djamil terapi non farmakologi dapat dilakukan

dengan cara memberikan oksigen dan terapi cairan.

Terapi farmakologi dimulai dari bronkodilator

yaitu agonis β-2 kerja singkat inhalasi (misalnya

salbutamol nebules) atau dengan agonis β-2 kerja

singkat injeksi (misalnya terbutalin injeksi) atau

kombinasi agonis β-2 kerja singkat dan

antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan

ipratropium bromida). Lalu penggunaan

kortikosteroid seperti metilprednisolon injeksi,

budesonide inhalahasi atau fluticasone propionat

inhalasi. Kemudian lakukan nilai ulang setelah

observasi satu jam (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil

Padang, 2007). Pada kasus serangan akut,

pengamatan tidak bisa dilakukan karena biasanya

terjadi di Instalasi Gawat Darurat (IGD), setelah

pasien normal baru dipindahkan keruang

perawatan. Setelah pasien dirawat terapinya adalah

bronkodilator yaitu agonis β-2 kerja singkat

inhalasi (misalnya salbutamol nebules) atau agonis

β-2 kerja singkat injeksi (misalnya terbutalin) atau

kombinasi agonis β-2 kerja singkat dan

antikolinergik inhalasi (misalnya salbutamol dan

ipratropium bromida). Kortikosteroid seperti

metilprednisolon injeksi, budesonide inhalahasi

atau fluticasone propionat inhalasi. Dari hasil

pengamatan di lapangan penanganan pada pasien

asma tidak sesuai dengan standar terapi rumah

sakit. Penanganan asma diruang rawatan selalu

dimulai dengan pemberian aminophilin drip

dilanjutkan dengan pemberian Combivent®

(

Ipatropium bromida 0,5 mg, salbutamol sulfat 2,5

mg) atau Ventolin®

(salbutamol sulfat) 4-6x unit

vial dose . Setelah drip biasanya dilanjutkan dengan

aminophilin tablet atau salbutamol tablet. Selain itu

pasien juga diberikan metilprednisolon,

dexametason atau prednison.

Aminophilin merupakan obat dengan

indeks terapi sempit untuk itu, penetapan dosis

pada pasien harus dilakukan sesuai dengan kondisi

klinis pasien. Dari hasil pengamatan didapat bahwa

penentuan dosis aminophilin pada pasien hanya

berdasarkan pengamatan dokter, tidak pernah

dilakukan perhitungan dosis sesuai dengan berat

badan dan pertimbangan kondisi lainya. Hal ini

sangat beresiko meningkatkan terjadi toksisitas

aminophilin. Aminophilin dieliminasi terutama

oleh hati (>90%). Metabolisme terutama oleh

enzim CYPIA2 dan sebagian lagi dalam jumlah

yang lebih kecil dimetabolisme oleh CYP3A dan

CYP2E. Sekitar 10% dari dosis aminophilin

ditemukan di urine sebagai obat utuh. Sebenarnya,

aminophilin mengikuti farmakokinetik non linear.

Namun, untuk menetapkan dosis pada pasien,

konsep dan persamaan farmakokinetik linear dapat

digunakan untuk menghitung dosis dan untuk

memperkirakan konsentrasi serum. Kadang-kadang

serum aminophilin meningkat lebih dari yang

diperkirakan karena alasan yang tidak diketahui,

dan farmakokinetik non linear dapat menjelaskan

hal tersebut (Bauer, 2008).

Dengan fungsi hati normal dan tanpa

penyakit t1/2 aminophilin 8 jam (range: 6-12 jam)

dan volume distribusinya 0,5 L/Kg (range: 0,4-0,6

L/Kg). Banyak penyakit yang mengubah

farmakokinetik dan dosis aminophilin yang

dibutuhkan, tetapi volume distribusi tetap stabil

~0,5 L/Kg dalam situasi ini (Bauer, 2008).

Pasien dengan sirosis hati atau akut

hepatitis dapat menurunkan klirens aminophilin

menjadi rata-rata t1/2 nya 24 jam. Namun, efek dari

penyakit hati terhadap farmakokinetik aminophilin

sangat bervariasi dan sangat sulit untuk diprediksi

secara akurat. Pasien dengan penyakit hati dapat

memiliki klearens atau t/12 aminophilin yang

normal atau sedikit tidak normal. Indeks kerusakan

hati dapat diperoleh dengan klasifikasi child pugh

pada pasien. Bila child pugh skor lebih dari 8,

inisial dosis aminophilin harus diturunkan (t1/2= 24

jam). Konsentrasi serum aminophilin dan efek

samping yang muncul harus dimonitor sesering

mungkin pada pasien dengan sirosis hati (Bauer,

2008).

Setelah dilakukan perhitungan dosis

aminophilin yang harus diterima berdasarkan dosis

yang direkomendasikan, dari 25 orang pasien (4

orang oral dan 21 orang intravena). Persentase yang

menerima dosis aminophilin secara intravena

terdapat 33% dosis lanjutan berlebih, 67% dosis

lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan tepat.

Sedangkan persentase loading dose aminophilin

terdapat 10% loading dose berlebih, 76% loading

dose kurang dan 14% loading dose tepat. Pada

penggunaan aminophilin oral didapatkan persentase

25% dosis berlebih, 50% dosis kurang dan 25%

dosis tepat.

Sedangkan perhitungan berdasarkan nilai

klirens (Cl) dan konsentrasi serum (Css) didapat

persentase yang menerima dosis aminophilin secara

intravena terdapat 33% dosis lanjutan berlebih,

67% dosis lanjutan kurang, dan 0% dosis lanjutan

tepat. Sedangkan persentase loading dose

aminophilin terdapat 10% loading dose berlebih,

71% loading dose kurang dan 19% loading dose

tepat. Pemberian aminophilin secara oral

Page 6: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

didapatkan 2 orang pasien (50%) kekurangan dosis,

1 orang pasien (25%) kelebihan dosis dan 1 orang

pasien (25%) dosis tepat. Pada penggunaan

aminophilin oral didapatkan persentase 25% dosis

berlebih, 50% dosis kurang dan 25% dosis tepat

Perhitungan dosis sudah dilakukan berdasarkan

fungsi hati pasien. Setelah dilakukan pengamatan

di Bangsal Paru pemberian loading dose dilakukan

selama 8-12 jam. Hal ini merupakan kesalahan

karena seharusnya pemberian loading dose

aminophilin dilakukan selama 20-30 menit. Setelah

itu baru diberikan dosis lanjutan sesuai dengan

berat badan pasien. Dari hasil diatas juga dapat

disimpulkan bahwa dosis aminophilin yang

diberikan lebih banyak kekurangan dosis,

seharusnya dosis dihitung dengan benar sesuai

dengan kondisi klinis pasien dan juga

mempertimbangkan interaksi obat yang terjadi.

Tabel I. Data perhitungan dosis aminophilin intravena

berdasarkan dosis yang direkomendasikan

Tabel II. Data perhitungan dosis aminophilin oral

berdasarkan dosis yang direkomendasikan

No Dosis yang

diberikan

(mg)

Dosis

seharusnya *

(mg)

Kesimpulan

1. 3x150 3x 188 Kurang 2. 3x 150 3x 200 Kurang

3. 3x150 3x 68 Lebih 4. 3x150 3x150 Tepat

Tabel III. Data perhitungan dosis aminophilin

intravena berdasarkan klirens(Cl) dan

konsentrasi steady state (Css).

Tabel IV Data perhitungan dosis aminophilin

oral berdasarkan berdasarkan

klearens (Cl) dan konsentrasi

steady state (Css).

*Hasil Perhitungan

Dalam penelitian ini kortikosteroid yang

digunakan adalah metilprednisolon, dexametason

dan prednison. Untuk penggunaan

metilprednisolon telah sesuai dengan standar

terapi rumah sakit, tapi untuk penggunaan

dexametason dan prednison tidak sesuai dengan

standar rumah sakit. Kortikosteroid digunakan

secara luas untuk mengobati berbagai jenis

penyakit. Secara umum, obat ini dianggap aman

untuk organ hati, namun, laporan terbaru

No Dosis yang diberikan Dosis

seharusnya*

Kesimpulan

Loading

dose

(mg)

Dosis

lanjutan

(mg/jam)

Loading

dose

(mg)

Dosis

lanjutan

(mg/jam)

Loading

dose

Dosis

lanjutan

1 360 45 444 60,1 Kurang Kurang

2 240 30 270 21,1 Kurang Lebih

3 192 24 324 25,4 Kurang Kurang

4 180 22,5 228 13,4 Kurang Lebih

5 240 30 240 32,9 Tepat Kurang

6 240 20 250 14,1 Kurang Lebih

7 216 27 288 20 Kurang Lebih

8 240 30 324 40 Kurang Kurang

9 168 21 200 13,4 Kurang Lebih

1. 144 18 228 31,2 Kurang Kurang

11 288 24 282 38,7 Lebih Kurang

12 192 24 210 28,8 Kurang Kurang

13 192 24 180 14,1 Lebih Lebih

14 240 30 360 49,4 Kurang Kurang

15 192 16 192 26,3 Tepat Kurang

16 192 16 312 24,4 Kurang Kurang

17 240 30 360 49,4 Kurang Kurang

18 192 24 240 32,9 Kurang Kurang

19 240 30 270 21,1 Kurang Lebih

20 300 25 300 41,1 Tepat Kurang

21 192 24 210 28,8 Kurang Kurang

No Dosis yang

diberikan

Dosis seharusnya* Kesimpulan

Loadin

g dose

(mg)

Dosis

lanjutan

(mg/jam)

Loading

dose

(mg)

Dosis

lanjutan

(mg/jam)

Loading

dose

Dosis

lanjutan

1. 360 45 435-870 60,3-120,6 Kurang Kurang

2. 240 30 264-529 43,1-86,3 Kurang Kurang

3. 192 24 317-635 44-88 Kurang Kurang

4. 180 22,5 188-376 10,8-21,6 Kurang Lebih

5. 240 30 235-470 13,5-27 Tepat Lebih

6. 240 20 235-470 13,5-27 Tepat Tepat

7. 216 27 282-564 39,1-75,5 Kurang Kurang

8. 240 30 329-658 45,6-91,3 Kurang Kurang

9. 168 21 188-376 10,8-21,7 Kurang Tepat

10 144 18 188-376 26,0-52,0 Kurang Kurang

11 288 24 276-552 38,3-76,6 Lebih Kurang

12 192 24 205-411 28,5-57 Kurang Kurang

13 192 24 176-352 24,4-48,9 Lebih Tepat

14 240 30 352-705 48,9-97,8 Kurang Kurang

15 192 16 188-376 26-52 Tepat Kurang

16 192 16 305-611 42,3-84,7 Kurang Kurang

17 240 30 352-705 48,9-97,8 Kurang Kurang

18 192 24 235-470 13,5-27 Kurang Tepat

19 240 30 264-529 36,6-73,3 Kurang Kurang

20 300 25 294-588 40,7-81,5 Tepat Kurang

21 192 24 205-411 28,5-57 Kurang Kurang

No Dosis

yang

diberikan

(mg)

Dosis

seharusnya*

(mg)

Kesimpulan

1. 3x150 3x 326-652 Kurang

2. 3x 150 3x 122-244 Tepat

3. 3x150 3x 48,9-97,8 Lebih

4. 3x150 3x 221-442 Kurang

Page 7: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

menunjukkan bahwa dosis tinggi

metilprednisolon (MP) dapat menyebabkan

kerusakan hati yang parah. Sebuah kasus

melaporkan metilprednisolon dosis tinggi

menyebabkan gangguan fungsi hati yang parah,

menyebabkan hepatitis akut (Gutkowski, Chwist

& Hartleb, 2011). Dilaporkan seorang wanita

berusia 24 tahun menerima 0,5 g/ hari

metilprednisolon selama 6 hari, total dosis 3 g.

Empat minggu kemudian, pasien dirawat kembali

dengan diagnosa hepatitis akut, pasien tidak

mengkomsumsi obat apapun selain

metilprednisolon. Dilaporkan 13 kasus dengan

kejadian yang sama (Gutkowski, Chwist &

Hartleb, 2011). Metilprednisolon dimetabolisme

oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4), dan

metabolitnya dieliminasi di ginjal (Gutkowski,

Chwist & Hartleb, 2011). Jika kortikosteroid

diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi

hati harus dilakukan monitoring fungsi hati dan

tanda- tanda terjadinya hepatitis secara ketat

sehingga pengobatan dapat dimulai dengan cepat

dan tepat. Meskipun jarang terjadi,

hepatotoksisitas yang disebabkan oleh

metilprednisolon harus dipertimbangkan pada

pasien yang mengalami peningkatan aktivitas

enzim ini saat menerima kortikosteroid (Topal, et

al, 2006). Sementara itu, penggunaan

dexametason dan prednison belum ditemukan

laporan klinis mengenai hepatotoksisitas. Dari

hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.

Djamil Padang, dosis yang digunakan untuk

metilprednisolon adalah 2x125 mg atau 2x62,5

mg setelah itu dilakukan tappering off. Dosis

yang digunakan masih relatif aman dan tidak

terlalu tinggi. Kortikosteroid terbukti

hepatotoksik bila digunakan dalam dosis tinggi

dan dalam jangka waktu lama.

Pasien dengan diagnosa PPOK menurut

standar terapi pada saat serangan akut perlu

dilakukan terapi non farmakologi meliputi terapi

oksigen, cairan, nutrisi dan rehabilitasi fisik dan

respirasi serta perlu dilakukan evaluasi progsessifiti

penyakit. Terapi farmakologi meliputi pemberian

bronkodilator seperti agonis β 2 kerja singkat dan

antikolinergik inhalasi atau golongan xantin.

Setelah itu bisa diberikan kortikosteroid

(metilprednisolon, budesonide atau fluticasone

propionat) (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang,

2007). Dari hasil pengamatan penanganan terhadap

pasien PPOK di rumah sakit telah sesuai dengan

strandart terapi. Pasien biasanya diberikan

aminophilin drip bersamaan dengan kortikosteroid.

Selain itu, pasien juga diberikan beberapa terapi

simptomatis untuk mengatasi keluhan yang terjadi.

Efusi pleura adalah terdapatnya cairan

dalam rongga pleura, biasanya terjadi akibat

tuberkolosis atau keganasan. Sedangkan

pneumothorax adalah adanya udara bebas di dalam

rongga pleura antara dinding dada dan paru. Terapi

farmakologi efusi pleura dan pneumothorax

disesuaikan dengan penyebabnya. Selain itu perlu

dilakukan pemeriksaan cairan pleura, bila cairan

cukup banyak dilakukan pemasangan selang WSD

(Water Seal Drainage). WSD merupakan suatu

tindakan invasive yang dilakukan untuk

mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari

rongga pleura, rongga thorax dan mediastinum

dengan menggunakan pipa penghubung. Lalu

diberi analgetik seperti asam mefenamat atau

tramadol atau ketoprofen suppositoria (PFT Paru

RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007). Dari hasil

pengamatan diperoleh penanganan pada pasien

dengan efusi pleura dan pneumothorax sudah

sesuai dengan standar terapi,pasien diberi obat

sesuai dengan penyebabnya misalnya terjadi karena

TBC maka pasien diberikan OAT. Selain itu juga

dilakukan pemasangan selang WSD. Untuk

mengatasi nyeri pada pasien juga diberikan

analgetik yang sesuai standar terapi yaitu asam

mefenamat 3x500mg/ hari atau tramadol 2x1 tablet/

hari.

Untuk CAP (community acqired

pneumonia) dan HAP (hospital aqired pneumonia)

menurut standar terapi rumah sakit penangananya

dilakukan secara farmakologi dan non farmakologi.

Terapi non farmakologi dilakukan dengan cara

istitrahat, O2, dan terapi cairan. Sedangkan untuk

farmakologi nya diberi terapi antibiotik, awalnya

antibiotik bersifat empirik seperti ko-amoksiklav,

ciprofloksasin, levofloksasin, azitromisin,

eritromisin atau metronidazol baik injeksi maupun

oral (PFT RSUP Dr. M. Djamil Padang, 2007).

Dari hasil pengamatan di lapangan penanganan

CAP dan HAP tidak sesuai dengan standar terapi

karena antibiotika yang digunakan sebagai empirik

adalah golongan sefalosforin seperti ceftazidin atau

ceftriakson. Setelah tujuh hari atau setelah hasil

kultur antibiotika didapatkan baru kemudian

diganti dengan antibiotika yang sesuai dengan

standar terapi atau hasil kultur.

Penatalaksanaan kanker bronkogenik,

pilihan terapinya tergantung dari jenis hispatologi,

stage klinik, performa status dan kemampuan

ekonomi (PFT Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang,

2007). Dari hasil pengamatan di rumah sakit,

penanganan lebih mengarah pada pembedahan,

radioterapi dan kemoterapi.

Dari hasil pengamatan di lapangan, ada

beberapa obat berpotensi hepatotoksik yang juga

digunakan pada pasien sebagai terapi simptomatik

seperti lansoprazol dan ranitidin untuk mengatasi

keluhan saluran pencernaan, tramadol sebagai

analgetik dan parasetamol sebagai antipiretik.

Lansoprazol merupakan golongan obat

penghambat pompa proton yang digunakan untuk

penanganan penyakit tukak duodenal, tukak

gastrik, tukak peptik, dan ulcrative. Bersihan

lansoprazol akan menurun pada pasien lanjut usia

dan pasien penyakit hati (Hussein, et al, 2008).

Page 8: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

Dari hasil penelitian diperoleh dosis yang

digunakan pada semua pasien dilapangan adalah 1x

30 mg/hari, seharusnya dosis lansoprazol diberikan

sesuai dengan fungsi hati pasien tidak

disamaratakan. Dosis lansoprazol adalah 15-30

mg/hari setelah dikurangi 25% maka didapatkan

dosis lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg sekali

pakai.

Ranitidin merupakan golongan obat

penghambat reseptor H2 yang digunakan untuk

pengobatan tukak duodenum dengan cara

menghambat pengeluaran cairan asam lambung.

Penggunaannya harus hati-hati pada lanjut usia dan

pasien gangguan fungsi hati (Ehrenpreis &

Ehrenpreis, 2001). Dosis ranitidin adalah 150 mg

dan dosis maximumnya 6 g/hari (Ehrenpreis &

Ehrenpreis, 2001). Dari hasil pengamatan di

Bangsal Paru RSUP. DR. M. Djamil Padang, dosis

ranitidin yang digunakan adalah 150 mg dua kali

sehari (oral) dan 2x 50 mg (intravena) berarti dosis

ini cukup aman bagi pasien gangguan fungsi hati.

Ada beberapa laporan kasus tentang

hepatotoksisitas dari ranitidin (Liberopoulos, et al,

2002). Sebuah kasus ditemukan bahwa antagonis-

H2 tidak memberikan efek pada pasien sirosis hati

tetapi tidak ada penjelasan atas efek tersebut

(Walker, et al, 1989).

Dalam strandart terapi rumah sakit

analgesik yang digunakan adalah asam mefenamat,

tramadol, atau ketoprofen (Pronalges®), dan untuk

kanker bronkogenik terkadang diperlukan MST®

(morphine). Menurut pengamatan pemberian

analgetik sudah sesuai dengan standar rumah sakit,

selain itu analgetik hanya digunakan jika

diperlukan. Tramadol merupakan golongan obat

analgesik opioid dengan mekanisme kerja tramadol

akan berikatan dengan reseptor opioid dan juga

menghambat aktivitas norepineprine dan serotonin

(Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Penggunaan

tramadol harus dengan peringatan bila digunakan

pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal

(Martindale, 2009). Dosis tramadol adalah 50–100

mg tiap 4–6 jam dan dosis maximum adalah 400

mg/hari. Dari hasil penelitian, tramadol yang

digunakan adalah Zaldiar® (tramadol 37,5 mg ;

parasetamol 325 mg) 3x1 tab/ hari kalau perlu,

berarti dosis ini cukup aman bagi pasien. Namun,

tetap diperlukan pengawasan terhadap fungsi hati

pasien.

Parasetamol merupakan obat golongan

analgetik dan antipiretik. Parasetamol

dimetabolisme terutama di hati. Pada dosis 10-15 g

parasetamol dapat menyebabkan kerusakan parah

pada sel hati dan nekrosis tubular ginjal. Kerusakan

fungsi hati secara umum dapat terjadi dalam waktu

72-96 jam setelah menggunakan parasetamol dosis

tinggi dengan kerusakan seperti kegagalan fungsi

hati, ensephalopati, koma, dan bahkan kematian.

Pengukuran konsentrasi serum aspartate

aminotransferase dan alanine aminotransferase juga

dapat digunakan dalam pangamatan (Whitcomb &

Block, 1994). Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi,

parasetamol harus digunakan secara hati-hati dan

aman pada pasien dengan gangguan fungsi hati

(Benson, Koof & Toolman, 2005). Dosis

parasetamol 0,5-1 g 3-4x/ hari maksimum 4g/ hari.

Hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.

Djamil Padang, dosis parasetamol yang digunakan

adalah 3x500 mg tablet kalau perlu. Dosis yang

digunakan masih relatif aman pada pasien.

Sebaiknya penggunaan parasetamol pada pasien

gangguan fungsi hati diganti dengan Sistenol®

yang

relatif lebih aman atau dipertimbangkan

penggunaan antipiretik lain.

Analisa Child Pugh Score dan Hasil

Laboratorium Klinik

Penentuan nilai Child-Pugh merupakan

indikator atas kemampuan pasien untuk

memetabolisme obat yang dieliminasi pada hati.

Dengan kata lain, nilai Child-Pugh digunakan

untuk menentukan dosis dosis awal obat yang

dieliminasi melalui hati (Dipiro, 2005). Dari hasil

penelitian, nilai Child Pugh tidak dapat dilakukan

secara sempurna, karena tidak semua komponen

ada. Pemeriksaan laboratorium klinik di Bangsal

Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang tidak selalu

dilakukan secara berkala. Jika kondisi klinik pasien

dianggap baik-baik saja, pemeriksaan tidak

dilakukan. Sedangkan jika kondisi klinik pasien

terganggu baru dilakukan pemeriksaan. Komponen

yang sering tidak diperiksa adalah protombine time.

Sehingga, penentuan nilai Child Pugh hanya

berasal dari data yang tersedia (2-5 komponen).

Dari hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR.

M. Djamil Padang didapatkan pengelompokan

rentang skor nilai Child-Pugh berdasarkan besar

pengurangan dosis pada data prospektif dengan

rentang waktu bulan Oktober tahun 2011 hingga

bulan Januari 2012 menunjukan nilai skor Child-

Pugh 7-9 (kelas B) adalah 100% (14 orang)

sedangkan sisanya data yang diperoleh tidak

lengkap. Nilai Child-Pugh dengan poin 7-9

menggambarkan penurunan yang sedang pada

dosis obat awal (~25%) untuk bahan yang

dimetabolisme pada hati (≥60%), dan pada poin 10

atau lebih mengindikasikan penurunan yang

signifikan pada pemberian dosis awal (~50%)

dibutuhkan untuk obat yang metabolisme utamanya

pada hati (Dipiro, 2005). Berdasarkan data yang

didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan

perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat

yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien.

Tabel V. Persentase kelengkapan parameter Child

Pugh Score

Parameter Child

Pugh

Jumlah Persentase

Lengkap 14 17%

Tidak lengkap 67 83%

Page 9: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

World Health Organization

mengklasifikasikan hepatotoksik menjadi 4 gradasi.

Grade I ditandai dengan peningkatan SGPT 1,25-

2,5× normal, grade II SGPT meningkat 2,6-5×

normal, grade III SGPT meningkat 5,1-10× normal

dan grade IV bila SGPT meningkat > 10× normal

(Prihatni, et al, 2005;Tostman, et al, 2008). Dari

hasil pengamatan di Bangsal Paru RSUP. DR. M.

Djamil Padang didapatkan pengelompokan pasien

berdasarkan kadar SGPT menunjukan pasien yang

mengalami hepatotoksisitas grade I adalah 17% (14

orang), grade II adalah 1% (1 orang), grade III

adalah 1% (1 orang), grade IV adalah 1 % (1

orang) dan yang tidak mengalami hepatotoksisitas

adalah 66% (53 orang) Berdasarkan data yang

didapat, terdapat beberapa kasus yang memerlukan

perhatian penting dalam menentukan terapi yang

cocok pada pasien.

Tabel VI. Persentase hepatotoksisitas berdasarkan

kadar SGPT

Selain parameter diatas penelitian ini juga

menentukan gejala subjektifitas gangguan fungsi

hati. Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala

awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala

subjektif meliputi keadaan lemah, penurunan berat

badan, mual/muntah, perut terasa tidak nyaman,

sedikit demam, kebingungan, penurunan nafsu

makan dan rentan terhadap pendarahan (Siregar. C

& Kumolosasi. E, 2005). Dari data yang didapat

100% pasien Bangsal Paru mengalami gejala

subjektif hepatotoksik dengan rincian lemah terjadi

pada 38% pasien (31 orang), penurunan berat

badan terjadi pada 88% pasien (71 orang),

mual/muntah terjadi pada 18% pasien (16 orang),

perut tidak nyaman terjadi pada 28% pasien (23

orang), demam terjadi pada 54% (44 orang),

kebingungan tidak terjadi pada pasien, penurunan

nafsu makan terjadi pada 47% pasien (38 orang)

dan rentan pendarahan terjadi pada 25% pasien (20

orang).

Gejala objektif juga terjadi pada 100%

pasien. Gejala objektif dapat dilihat dari data

laboratorium klinik yaitu peningkatan kadar SGPT

dan SGOT yang terjadi pada 24% pasien (18

orang). SGPT merupakan enzim yang terutama

ditemukan dalam sel hati yang dapat membantu

metabolisme protein, dalam kondisi normal kadar

SGPT rendah didalam darah, sedangkan SGOT

berperan dalam metabolisme alanine, jika

ditemukan dengan kadar yang tinggi dalam darah

mengindikasikan adanya kerusakan hati.

Peningkatan kadar ALP yang terjadi pada 20%

pasien (15 orang), penurunan serum albumin terjadi

pada 91% pasien (67 orang) dan penurunan serum

protein total yang terjadi pada 58% pasien (43

orang), kadar albumin dan protein total

menunjukan kemampuan hati untuk memproduksi

protein untuk memerangi infeksi dan menjaga

fungsi lainnya. Berkurangnya kadar dari nilai

normal mengindikasikan adanya kerusakan hati.

Peningkatan kadar bilirubin yang terjadi pada 18%

pasien (13 orang), dan peningkatan waktu

protombin yang terjadi pada 19% (14 orang). Dari

data ini dapat disimpulkan bahwa sangat

pentingnya pemeriksaan fungsi hati secara berkala

bila pasien mengkonsumsi obat berpotensi

hepatotoksik. Hepatotoksisitas memang tidak

terjadi pada setiap pasien, tetapi kejadian nya dapat

berlangsung parah dan bila tidak dikenali secara

dini dapat menyebabkan kematian.

Efektifitas, Efek Samping dan Interaksi Obat Efektifitas obat berpotensi hepatotoksik

dalam penelitian ini tidak bisa diukur dengan suatu

nilai yang pasti. Seperti efektifitas OAT baru dapat

diukur minimal setelah 8 minggu mengkonsumsi

OAT secara teratur. Efektifitas dapat dilihat

melalui pemeriksaan BTA sputum pasien.

Sementara itu waktu rawatan pasien tidak selama

itu. Efektifitas obat hepatotoksik yang lain seperti

ranitidin, lansoprazol, dan kortikosteroid tidak

dapat diukur. Dari hasil pengamatan umumnya

pasien tidak merasakan keluhan lagi setelah

mengkonsumsi obat seperti setelah mengkonsumsi

ranitidin dan lansoprazol, perut pasien berkurang

nyerinya. Efektifitas aminophilin dapat dilihat dari

berkurangnya sesak nafas pasien. Umumnya, sesak

nafas pasien akan berkurang setelah mengkonsumsi

aminophilin.

Pada penelitian ini didapatkan banyaknya

pasien pulang paksa. Dari hasil pengamatan yang

dilakukan, ada beberapa alasan yang menyebabkan

pasien pulang paksa termasuk didalamnya pasien

merasa tidak ada perkembangan terhadap

kondisinya selain alasan-alasan lain seperti biaya,

merasa sudah sembuh (bisa dirawat jalan) atau

pindah ke RS lain. Dalam hal ini, perlu

dipertanyakan keefektifan terapi yang diberikan,

umumnya pasien penyakit paru memerlukan waktu

yang cukup lama untuk menegakkan diagnosa

pasien contohnya pada pasien TBC, harus

dilakukan pemeriksaan BTA sebanyak 3x berturut-

turut baru diagnosa bisa ditegakkan dan baru bisa

diberikan obat sesuai dengan penyakitnya. Juga

pada pasien kanker bronkogenik, diperlukan

pemeriksaan yang menghabiskan waktu untuk

menentukan tindakan selanjutnya pada pasien.

Hepatotoksisitas Jumlah Persentase

Tidak terdapat data SGPT 11 14%

Tidak Hepatotoksisitas 53 66%

Hepatotoksisitas grade I 14 17%

Hepatotoksisitas grade II 1 1%

Hepatotoksisitas grade III 1 1%

Hepatotoksisitas grade IV 1 1%

Page 10: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

Begitu juga dengan masa pengobatan yang

berlangsung lama. Banyak diantara pasien tidak

cukup sabar untuk menjalani hal ini dan

menganggap kondisi mereka tidak ada

perkembangan. Seharusnya hal ini dapat diatasi

dengan komunikasi yang baik antara dokter atau

tenaga kepaniteraan klinik yang lain dengan pasien.

Selain itu, ada juga pasien yang menolak keputusan

dokter seperti pemasangan selang WSD atau

tindakan pembedahan.

Alasan lain yang juga menjadi alasan

utama adalah biaya, banyak pasien umum yang

tidak bisa melanjutkan pengobatan karena memang

umumnya merupakan masyarakat kelas bawah.

Ada juga pasien yang merasa sudah sembuh dan

bisa dirawat jalan, hal ini banyak terjadi pada

pasien TBC, kebanyakan mereka minta dirawat

jalan saja setelah tinggal sementara di rumah sakit.

Ada juga beberapa orang pasien yang memutuskan

pindah rumah sakit atau pindah ke kelas yang lebih

baik. Keputusan ini didasari adanya ketidakpuasan

terhadap pelayanan rumah sakit.

Dari alasan-alasan diatas, dapat

disimpulkan banyaknya pasien yang pulang paksa

bukan karena terapi yang diberikan tidak efektif

tetapi karena adanya faktor-faktor lain yang

mengganggu kenyamanan pasien selama rawatan.

Hal ini seharusnya jadi perhatian bagi pihak rumah

sakit, seharusnya dokter bisa menjalin komunikasi

yang baik sehingga pasien bisa mengerti dengan

tindakan yang dilakukan. Selain itu, juga pelayanan

keperawatan juga menjadi salah satu faktor yang

penting.

Efek samping dari beberapa obat yang

diterima pasien ini dapat ditoleransi dengan baik

dan bersifat ringan. Adanya gejala efek samping

pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan

tidak ada. Karena berdasarkan hasil wawancara

terhadap pasien, pasien tidak merasakan efek

apapun setelah memakan semua jenis obat. Efek

samping yang terlihat hanya pada penggunaan

OAT yaitu timbulnya gatal dan kemerahan (rash)

pada kulit yang muncul pada salah satu pasien

yang bisa diatasi dengan pemberian antihistamin.

Selain itu juga timbulnya rasa terbakar pada kaki

yang terjadi pada satu orang pasien dan hal ini bisa

diatasi dengan pemberian vitamib B6 (piridoksin).

Interaksi obat pada pasien rawat inap Paru

RSUP. DR. M. Djamil Padang, terjadi pada 65,43%

pasien. Komplikasi penyakit yang diderita oleh

pasien menyebabkan penggunaan polifarmasi tidak

dapat dihindari. Dari data, terlihat adanya

polifarmasi dalam artian pemakaian banyak obat

sekaligus pada pasien. Hal ini akan meningkatkan

insiden terjadi efek samping dan toksisitas yang

tidak diinginkan akibat adanya interaksi obat

(Dollery, 2006). Interaksi obat terjadi ketika agen

terapetik berubah konsentrasi (interaksi

farmakokinetik) atau adanya efek biologis dari

agen lainnya (interaksi farmakodinamik). Interaksi

farmakokinetik dapat terjadi pada tingkat absorpsi,

distribusi, atau bersihan dari senyawa obat

(Fradgley, 2004). Dari data yang ada mayoritas

interaksi yang terjadi tidak terlalu membahayakan

atau berpengaruh terhadap klinis pasien. Interaksi

yang terjadi umumnya bernilai signifikan 4 dan 5.

Namun terdapat beberapa interaksi dengan nilai

signifikan 1 yaitu : OAT (Rifampisin) dengan

Kortikosteroid dan dengan nilai signifikan 2 yaitu :

OAT (Rifampisin) dengan Aminophilin, OAT

(Rifampisin) dengan Ondansentron dan

Aminophilin dengan Azitromisin. Pada

pembahasan interaksi obat ini tidak dilakukan

terhadap semua pasien pembahasan lebih lanjut

hanya dilakukan pada pasien yang mengalami

interaksi dengan nilai signifikan 1 dan 2.

Interaksi antara rifampisin dengan

kortikosteroid bernilai signifikan 1. Interaksi ini

terjadi pada empat pasien. Rifampisin akan

meningkatkan metabolisme dari kortikosteroid di

hati sehingga menyebabkan terjadinya penurunan

efek farmakologis dari kortikosteroid. Sebaiknya

pemakaian kedua obat ini secara bersamaan

dihindari. Namun, jika pemakaian bersama tidak

dapat dihindari, pasien harus dikontrol secara ketat

dan dosis kortikosteroid harus ditingkatkan dua kali

lipat setelah penambahan rifampisin 300 mg/hari

(Tatro, 2008).

Interaksi rifampisin dengan aminophilin

bernilai signifikan 2. Rifampisin akan menginduksi

metabolisme aminophilin sehingga terjadi

penurunan level aminophilin dan perburukan

gejala-gejala penyakit paru. Pada pasien yang

menerima kombinasi obat ini harus dilakukan

monitoring yang ketat terhadap pasien ketika

pasien mulai atau berhenti menggunakan

rifampisin. Selain itu, diperlukan juga penyesuaian

dosis sesuai dengan keadaan pasien (Tatro, 2008).

Interaksi rifampisin dengan ondansentron

dengan nilai signifikan 2. Rifampisin diduga

menginduksi enzim CYP3A4 yang bertanggung

jawab terhadap metabolisme ondansentron. Hal ini

menyebabkan penurunan konsentrasi plasma

ondansentron sehingga efek antiemetik akan

menurun. Sebaiknya kombinasi ini dihindari dan

jika diduga terjadi interaksi, pertimbangkan

penggunaan antiemetik yang lain (Tatro, 2008).

Interaksi ini terjadi pada seorang pasien yang

mengalami mual dan muntah, pada pasien

diberikan ondansentron dengan dosis 2x1 ampul

lalu empat hari kemudian diganti dengan 2x1 tab.

Pada pasien ini mungkin saja terjadi interaksi ini,

ditandai dengan lamanya keluhan mual dan muntah

ini berlangsung.

Interaksi aminophilin dengan azitromisin

bernilai signifikan 2. Azitromisin akan

meningkatkan serum aminophilin dengan resiko

toksisitas. Antibiotik makrolida ini akan

menghambat metabolisme aminophilin, sedangkan

aminophilin akan menurunkan bioavabilitas dan

Page 11: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

meningkatkan klirens ginjal dari antibiotik

makrolida oral. Jika obat ini digunakan secara

bersamaan harus lakukan monitoring secara ketat

terhadap kadar serum aminophilin. Lakukan

penyesuain dosis sesuai kondisi pasien. Sebaiknya,

dipertimbangkan menggunakan antibiotik lain

(Tatro, 2008). Pada kelima pasien yang mengalami

interaksi ini, dosis aminophilin yang diterima

memang kurang, tetapi dapat mengantisipasi

interaksi dengan azitromisin yang dapat

meningkatkan kadar aminophilin dalam plasma

(signifikansi 2). Hal ini dikonfirmasi dengan tidak

terlihatnya tanda-tanda toksisitas atau

meningkatnya intensitas efek samping aminophilin

pada kelima pasien tersebut.

Tabel VII. Daftar interaksi obat yang terjadi

KESIMPULAN

1. Penggunaan obat berpotensi hepatotoksik pada

pasien rawat inap di bangsal paru RSUP DR.

M. Djamil Padang belum mempertimbangkan

aspek farmakokinetik klinik.

2. Perhitungan Child Pugh Score yang lengkap

hanya dijumpai pada 14 orang pasien (17%)

berada pada rentang nilai 7-9 (kerusakan hati

sedang), pada 67 orang pasien lainya (83%)

tidak lengkap, hanya terdiri dari 2- 4 komponen

Child Pugh Score.

3. Pada beberapa pasien yang sudah mengalami

penurunan fungsi hati masih menerima

polifarmasi sampai 19 jenis obat yang dapat

berpotensi hepatotoksik. Seharusnya

pengobatan disesuaikan dengan kondisi pasien

sehingga kualitas hidup pasien dapat

ditingkatkan.

4. Perhitungan dosis aminophilin belum dilakukan

secara benar. Seharusnya dosis aminophilin

dihitung berdasarkan kondisi klinik pasien,

bukan hanya berdasarkan berat badan.

5. Pada seluruh pasien (100%) dijumpai gejala

subjektif dan gejala objektifitas kerusakan

fungsi hati.

DAFTAR PUSTAKA

Andrade, R. J., Robles, M., Castener, A.

F., Ortega, S. L., Vega, M. C. L., Lucena, M. I.

2007. Assessment of drug-induced hepatotoxicity

in clinical practice : A challenge for

gastroenterologist. World Jornal of Gastroenterol

21: 13 (3): 329-340.

Bauer, L.A. 2008. Applied Clinical

Pharmacokinetics (2nd

ed); The McGraw-Hill

Companies.

Benson, G.D., Koff, R.S., Tolman, K.G.

2005. The therapeutic use of acetaminophen in

patients with liver disease. Am. J. Ther, 12: 133–

41.

Cahyati, Y. 1985. Pengantar

Farmakokinetika. Cermin Dunia Kedokteran 15: 1-

7.

Di Piro, J.T. 2005. Pharmacotherapy : A

Pathophysiologic Approach. (6th

ed.). US :

McGraw-Hill Companies.

Dollery, Sir colin. 2006. Therapeutic

Drugs. Volume 2. Churchill Livingstone. London.

Ehrenpreis. S, & Ehrenpreis. E. D. 2001.

Clinician’s handbook of Prescription Drugs:

McGraw-Hill Companies.

Fradgley, S. 2004. Interaksi Obat.

Dalam : Aslam M., Tan CK., Prayitno A. Farmasi

Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan

Penghargaan Pilihan Pasien. PT Elex Media

Kompusindo Kelompok Gramedia. Jakarta.,119-

134.

Gutkowski, K., Chwist, A., Hartleb, M.

2011. Liver Injury Induced by High-Dose

metylprednisolone Therapy : A Case Report and

Brief Review of the Literature. Hepat Mon. 11(8):

656-61

Hussein, Z., Granneman, G.R.,

Mukherjee, D, 2008. Age-related differences in the

pharmacokinetics and pharmacodynamics of

lansoprazole. Br. J. Clin. Pharmacol, 36: 391–8.

No Jenis obat yang berinteraksi Mekanisme

Interaksi

Tingkat

Signifikasi

Onset Jumlah

Kasus

1. OAT – Parasetamol 6

Isoniazid – Parasetamol Unknown 5 Delayed

Rifamfisin – Parasetamol Farmakodinamik 4 Delayed

2. OAT – Antasida 2

Isoniazid – Antasida Farmakodinamik 5 Rapid

Etambutol – Antasida Farmakokinetik 4 Delayed

3. OAT – Kortikosteroid 4

Isoniazid – Kortikosteroid Unknown 5 Delayed

Rifamfisin – Kortikosteroid Farmakodinamik 1 Delayed

4. OAT – Aminophilin 1

Rifamfisin – Aminophilin Farmakodinamik 2 Delayed

Isoniazid – Aminophilin Farmakodinamik 4 delayed

5. OAT – Ondansentron 1

Rifamfisin – Ondansentron Farmakodinamik 2 delayed

6. Ranitidin – Antasida Unknown 5 delayed 11

7. Ranitidin – Aminophilin Farmakodinamik 5 delayed 6

8. Ranitidin – Sefalosporin Unknown 4 rapid 17

9. Ranitidin – Diltiazem Farmakodinamik 4 rapid 1

10. Kortikosteroid – Antasida Unknown 5 delayed 1

11. Kortikosteroid –

Aminophilin

Unknown 4 rapid 19

12. Aminophilin – Azitromisin Farmakokinetik 2 delayed 5

13. Zat besi – Antasida Farmakokinetik 3 delayed 3

Page 12: Aspek Farmakokinetik Klinik Beberapa Obat Berpotensi Hepatotoksik Pada Pasien Rawat Inap Di Bangsal Paru

Katzung, B.G. 2004. Farmakologi Dasar

dan Klinik. Edisi kedelapan, Penerjemah: Agoes,

A.Salemba Medika : Jakarta.

Kenward, T dan Tan, C.K. 2004.

Penggunaan Obat Pada Gangguan Hati. Dalam:

Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan

Penghargaan Pilihan Pasien. Editor : Aslam M.,

Tan CK., Prayitno A. PT Elex Media Kompusindo

Kelompok Gramedia. Jakarta., 155-173.

Liberopoulos, E.N., Nonni, A.B.,

Tsianos, E.V., Elisaf, M.S. 2002. Possible

ranitidine-induced cholestatic jaundice. Ann.

Pharmacother, 36: 172.

Santoso, B. 1985. Farmakokinetika

Klinik. Cermin Dunia Kedokteran 37: 8-12.

Sajinadiyasa, I.G.K., Bagiada, I.M.,

Ngurah, R.I.B. 2010. Prevalensi dan Risiko

Merokok Terhadap Penyakit di Polokilinik Paru

Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.

Jurnal Penyakit Dalam 11 (2).

Setiabudy, R. 1979. Hepatitis karena

obat. Cermin Dunia Kedokteran 15: 8-12.

Suasono, B. 1985. Obat Hepatotoksik

pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran 40: 31-33.

Soepandi, P.Z. 2009. Obat Anti

Tuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap. Cermin

Dunia Kedokteran. 358-361

Panitia Farmasi dan Terapi (PFT). 2007.

Panduan Diagnosa dan Terapi Rumah Sakit RSUP

DR. M. Djamil Padang. Padang

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

2002. Tuberkulosis Pedoman dan Penatalaksanaan

di Indonesia.

Prihatni, D., et al. 2005. Efek

Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar

Aspartate Aminotransferase dan Alanine

Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis

Paru. Indonesian Journal of Clinical Pathology and

Medical Laboratory 12:1-5.

Tatro, S. David. 2008. Drug Interaction

Facts, Wolters Kluwer Healts, United State

of Anerica

Topal, F., Ersan. O., Sabiye.A., Metin.

K., Osman, Y., Emin. A. 2006.

Methylprednisolone-induced toxic hepatitis. Ann

Pharmacother 40(10): 1868-1871.

Tostman, A., Martin, J.B., Rob, E.A.,

Wiel, C.M. de Lange., Andre, J.A.M. van der Ven.,

Richard, D. 2007. Antituberculosis drug- induced

hepatotoxicity : concise up-to-date review. Journal

of Gastroenterology and Hepatology 23 : 192-202.

Walker, S., Krishna, D.R., Klotz, U.,

Bode, J.C. 1989. Frequent non-response to

histamine H –receptor antagonists in cirrhotics.

Gut, 30: 1105–9.

Whitcomb, D.C & Block, G.D. 1994.

Association of acetaminophen hepatotoxicity with

fasting and ethanol use. JAMA, 272: 1845–50.