Askep Emergency Anemia

47
ASKEP EMERGENCY & KRITIS PADA KEGAWATAN SISTEM HEMATOLOGI I. ANEMIA A. Definisi Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin kurang dari 14 g/dl dan eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan anemia. Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau akibat gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan. Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat. Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2002)

description

Askep Emergency Anemia

Transcript of Askep Emergency Anemia

Page 1: Askep Emergency Anemia

ASKEP EMERGENCY & KRITIS PADA KEGAWATAN SISTEM HEMATOLOGI

I. ANEMIA

A. Definisi

Anemia adalah penyakit kurang darah, yang ditandai dengan kadar hemoglobin (Hb)

dan sel darah merah (eritrosit) lebih rendah dibandingkan normal. Jika kadar hemoglobin

kurang dari 14 g/dl dan eritrosit kurang dari 41% pada pria, maka pria tersebut dikatakan

anemia. Demikian pula pada wanita, wanita yang memiliki kadar hemoglobin kurang dari

12 g/dl dan eritrosit kurang dari 37%, maka wanita itu dikatakan anemia. Anemia bukan

merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau

akibat gangguan fungsi tubuh.  Secara fisiologis anemia terjadi apabila terdapat

kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar Hb sampai di

bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat.  Anemia adalah gejala dari kondisi

yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang

nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan

kapasitas pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam

penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2002)

Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin

turun dibawah normal.(Wong, 2003)

B. Klasifikasi Anemia

Klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis:

1. Anemia hipoproliferatif, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan

oleh defek produksi sel darah merah, meliputi:

a. Anemia aplastik

Penyebab:

- Agen neoplastik/sitoplastik

- terapi radiasi

- antibiotic tertentu

- obat antu konvulsan, tyroid, senyawa emas, fenilbutason

Page 2: Askep Emergency Anemia

- benzene

- infeksi virus (khususnya hepatitis)

Penurunan jumlah sel eritropoitin (sel induk) di sumsum tulang

Kelainan sel induk (gangguan pembelahan, replikasi, deferensiasi)

Hambatan humoral/seluler

Gangguan sel induk di sumsum tulang

Jumlah sel darah merah yang dihasilkan tak memadai

Pansitopenia

Anemia aplastik

Gejala-gejala:

- Gejala anemia secara umum (pucat, lemah, dll)

- Defisiensi trombosit: ekimosis, petekia, epitaksis, perdarahan saluran cerna,

perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf pusat.

- Morfologis: anemia normositik normokromik

b. Anemia pada penyakit ginjal

Gejala-gejala:

- Nitrogen urea darah (BUN) lebih dari 10 mg/dl

- Hematokrit turun 20-30%

- Sel darah merah tampak normal pada apusan darah tepi

- Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun

defisiensi eritopoitin

c. Anemia pada penyakit kronis

Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis

normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang

normal).  Kelainan ini meliputi artristis rematoid, abses paru, osteomilitis,

tuberkolosis dan berbagai keganasan

Page 3: Askep Emergency Anemia

d. Anemia defisiensi besi

Penyebab:

- Asupan besi tidak adekuat, kebutuhan meningkat selama hamil, menstruasi

- Gangguan absorbsi (post gastrektomi)

- Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises

oesophagus, hemoroid, dll.)

gangguan eritropoesis

Absorbsi besi dari usus kurang

sel darah merah sedikit (jumlah kurang)

sel darah merah miskin hemoglobin

Anemia defisiensi besi

Gejala-gejalanya:

- Atropi papilla lidah

- Lidah pucat, merah, meradang

- Stomatitis angularis, sakit di sudut mulut

- Morfologi: anemia mikrositik hipokromik

e. Anemia megaloblastik

Penyebab:

- Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat

- Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor

- Infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi

cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.

Page 4: Askep Emergency Anemia

Sintesis DNA terganggu

Gangguan maturasi inti sel darah merah

Megaloblas (eritroblas yang besar)

Eritrosit immatur dan hipofungsi

2. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh

destruksi sel darah merah:

- Pengaruh obat-obatan tertentu

- Penyakit Hookin, limfosarkoma, mieloma multiple, leukemia limfositik

kronik

- Defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrigenase

- Proses autoimun

- Reaksi transfusi

- Malaria

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit

Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

Page 5: Askep Emergency Anemia

Pembagian derajat anemia menurut WHO dan NCI (National Cancer Institute)

DERAJAT WHO NCI

Derajat 0 (nilai normal)

Derajat 1 (ringan)

Derajat 2 (sedang)

Derajat 3 (berat)

Derajat 4 (mengancam jiwa)

> 11.0 g/dL

9.5 - 10.9 g/dL

8.0 - 9.4 g/dL

6.5 - 7.9 g/dL

< 6.5 g/dL

Perempuan 12.0 - 16.0 g/dL

Laki-laki 14.0 - 18.0 g/dL

10.0 g/dL - nilai normal

8.0 - 10.0 g/dL

6.5 - 7.9 g/dL

< 6.5 g/dL

C. Etiologi

1. Hemolisis (eritrosit mudah pecah)

2. Perdarahan

3. Penekanan sumsum tulang (misalnya oleh kanker)

4. Defisiensi nutrient (nutrisional anemia), meliputi  defisiensi besi, folic acid,

piridoksin, vitamin C dan copper

Menurut Badan POM (2011), Penyebab anemia yaitu:

1. Kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, vitamin B12, asam folat,

vitamin C, dan unsur-unsur yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.

2. Darah menstruasi yang berlebihan. Wanita yang sedang menstruasi rawan terkena

anemia karena kekurangan zat besi bila darah menstruasinya banyak dan dia tidak

memiliki cukup persediaan zat besi.

3. Kehamilan. Wanita yang hamil rawan terkena anemia karena janin menyerap zat besi

dan vitamin untuk pertumbuhannya.

4. Penyakit tertentu. Penyakit yang menyebabkan perdarahan terus-menerus di saluran

pencernaan seperti gastritis dan radang usus buntu dapat menyebabkan anemia.

5. Obat-obatan tertentu. Beberapa jenis obat dapat menyebabkan perdarahan lambung

(aspirin, anti infl amasi, dll). Obat lainnya dapat menyebabkan masalah dalam

penyerapan zat besi dan vitamin (antasid, pil KB, antiarthritis, dll).

6. Operasi pengambilan sebagian atau seluruh lambung (gastrektomi). Ini dapat

menyebabkan anemia karena tubuh kurang menyerap zat besi dan vitamin B12.

Page 6: Askep Emergency Anemia

7. Penyakit radang kronis seperti lupus, arthritis rematik, penyakit ginjal, masalah pada

kelenjar tiroid, beberapa jenis kanker dan penyakit lainnya dapat menyebabkan

anemia karena mempengaruhi proses pembentukan sel darah merah.

8. Pada anak-anak, anemia dapat terjadi karena infeksi cacing tambang, malaria, atau

disentri yang menyebabkan kekurangan darah yang parah.

D. Patofisiologi

Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan sumsum atau

kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum (misalnya

berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi

tumor atau penyebab lain yang belum diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui

perdarahan atau hemolisis (destruksi).

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam

system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa.  Hasil samping proses ini

adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.  Setiap kenaikan destruksi sel darah

merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi

normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).

Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan

hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia).  Apabila

konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk

hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam

glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria). 

Kesimpulan  mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh

penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi

biasanya dapat diperoleh dengan dasar:1. hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2.

derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya,

seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan

hemoglobinemia.

Page 7: Askep Emergency Anemia

Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung

Page 8: Askep Emergency Anemia

PATHWAY ANEMIA (Patrick Davey, 2002) 

Pathway Anemia

E. Tanda dan gejala

1. Lemah, letih, lesu dan lelah

2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang

3. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan menjadi

pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb, vasokontriksi

4. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah) Angina (sakit

dada)

5. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2 berkurang)

6. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan berkurangnya

oksigenasi pada SSP

7. Anemia berat gangguan GI dan CHF (anoreksia, nausea, konstipasi atau diare)

Page 9: Askep Emergency Anemia

F. Komplikasi

1. Gagal jantung,

2. Kejang

3. Perkembangan otot buruk ( jangka panjang )

4. Daya konsentrasi menurun5.      Kemampuan mengolah informasi yang didengar

menurun

G. Pemeriksaan penunjang

1. Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih, kadar Fe,

pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12, hitung trombosit, waktu

perdarahan, waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial.

2. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron-binding capacity serum

3. Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis serta

sumber kehilangan darah kronis.

H. Penatalaksaan medis

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang

hilang:

1. Anemia aplastik:

a. Transplantasi sumsum tulang

b. Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)

2. Anemia pada penyakit ginjal

a. Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam folat

b. Ketersediaan eritropoetin rekombinan

3. Anemia pada penyakit kronis

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan

untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan yang mendasarinya, besi

sumsum tulang dipergunakan untuk membuat darah, sehingga Hb meningkat.

4. Anemia pada defisiensi besi

a. Dicari penyebab defisiensi besi

b. Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan fumarat

ferosus.

5. Anemia megaloblastik

Page 10: Askep Emergency Anemia

Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12, bila difisiensi

disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya faktor intrinsik dapat diberikan

vitamin B12 dengan injeksi IM.

Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus diteruskan selama

hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa atau malabsorbsi yang tidak dapat

dikoreksi.

Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan penambahan asam

folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan gangguan absorbsi.

Page 11: Askep Emergency Anemia

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta:

EGC

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:

Upper Saddle River

Marlyn E. Doenges, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New

Jersey: Upper Saddle River

Patrick Davay, 2002, At A Glance Medicine, Jakarta, EMS

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima

Medika

Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta.

Page 12: Askep Emergency Anemia

II. LEUKIMIA

A. Definisi

Leukimia adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan

pembentuk darah (Prof. Dr. Iman, 1997).

Leukimia adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam

sumsum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, 2002).

Leukimia adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio

patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang

dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain

(Mansjoer, 2002).

Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam

sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001).

Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas maka penulis berpendapat bahwa leukimia

adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari sel-sel leukosit

yang menyebabkan terjadinya kanker pada alat pembentuk darah.

Sel darah normal, sel darah terbentuk di sumsum tulang. Tulang sumsum adalah

bahan yang lembut di tengah sebagian besar tulang. Belum menghasilkan sel darah

yang disebut sel batang dan ledakan. Sebagian besar sel darah matang di sumsum

tulang dan kemudian pindah ke pembuluh darah. Darah mengalir melalui pembuluh

darah dan jantung disebut darah perifer. Sumsum tulang membuat berbagai jenis darah

sel. Setiap jenis memiliki fungsi khusus:

1. Sel darah putih membantu melawan infeksi

2. Sel darah merah membawa oksigen ke jaringan seluruh tubuh

3. Trombosit membantu gumpalan darah terbentuk bahwa kontrol perdarahan

Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau akumulasi sel darah putih

dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi

proliferasi di llllllhati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non

hematologis, seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.

B. Jenis leukemia

1. Leukemia Mielogenus Akut (LMA)

Page 13: Askep Emergency Anemia

LMA mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel

Mieloid: monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia

dapat terkena; insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia

nonlimfositik yang paling sering terjadi.

2. Leukemia Mielogenus Kronis (LMK)

LMK juga di masukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih

banyak sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. LMK

jarang menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran

LMA tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama

bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa

membesar.

3. Leukemia Limfositik Akut (LLA)

LLA dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak,

laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah

usia 15 LLA jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam

sumsum tulang dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel

normal..

4. Leukemia Limfositik Kronis (LLC)

LLC merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun.

Manifestasi klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat

pemeriksaan fisik atau penanganan penyakit lain.

C. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi

Sel darah putih, leukosit adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah

putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi

sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna,

memiliki inti, dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding

kapiler / diapedesis. Dalam keadaan normalnya terkandung 4x109 hingga 11x109 sel

darah putih di dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat - sekitar 7000-25000

sel per tetes. Dalam setiap milimeter kubil darah terdapat 6000 sampai 10000(rata-

rata 8000) sel darah putih .Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat

Page 14: Askep Emergency Anemia

hingga 50000 sel per tetes. Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat

dengan organ atau jaringan tertentu, mereka bekerja secara independen seperti

organisme sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi dan

menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme penyusup. Selain

itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi dengan cara mereka sendiri,

melainkan mereka adalah produk dari sel punca hematopoietic pluripotent yang ada

pada sumsum tulang. Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil,

basofil, dan fagosit termasuk makrofaga, neutrofil, dan sel dendritik. Ada beberapa

jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel polimorfonuklear yaitu:

a. Basofil.

b. Eosinofill

c. Neutrofil.

dan dua jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:

a. Limfosit

b. Monosit.

2. Fisiologi

Fisiologi sel darah manusia

a. Leukosit 

Leukosit adalah sel darah  berinti. Di dalam darah manusia, jumlah normal

leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan

ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam

mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik

(granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam

sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak

mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau

bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : limfosit sel kecil,

sitoplasma sedikit, monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih

banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil

(eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna

netral basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat

dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya).

Page 15: Askep Emergency Anemia

Meski masing-masing jenis sel terdapat dalam sirkulasi darah, leukosit tidak

secara acak terlihat dalam eksudat, tetapi tampak sebagai akibat sinyal-sinyal

kemotaktik khusus yang timbul dalam berkembangnya proses peradangan.

(Effendi, 2003)

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme

terhadap zat-zat asingan. Ketika viskositas darah meningkat dan aliran lambat,

leukosit mengalami marginasi, yakni bergerak ke  arah perifer sepanjang

pembuluh darah. Kemudian melekat pada endotel dan  melakukan gerakan

amuboid. Melalui proses diapedesis, yakni kemampuan leukosit untuk

menyesuaikan dgn lubang kecil lekosit, dapat meninggalkan kapiler dengan

menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung.

Pergerakan leukosit di daerah intertisial pada jaringan meradang setelah leukosit

beremigrasi, atau disebut kemotaktik terarah oleh sinyal kimia. (Effendi, 2003).

Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-

11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai

12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel

darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15

tahun persentase khas dewasa tercapai. (Effendi, 2003).

b. Fungsi sel Darah putih

Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan badan

terhadap mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit (fago-

memakan), mereka memakan bakteria hidup yang masuk ke sistem peredaran

darah. melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak 10-20

mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu menjalankan fungsi

ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan amuboidnya ia dapat

bergerak bebas didalam dan dapat keluar pembuluh darah dan berjalan

mengitari seluruh bagian tubuh. dengan cara ini ia dapat mengepung daerah

yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan

menghancurkannya, menyingkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran,

serpihan-serpihan dan lainnya, dengan cara yang sama, dan sebagai granulosit

Page 16: Askep Emergency Anemia

memiliki enzim yang dapat memecah protein, yang memungkinkan merusak

jaringan hidup, menghancurkan dan membuangnya.

Dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan

penyembuhannya dimungkinkan. Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah

putih, peradangan dapat dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak berhasil

dengan sempurna, maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi "jenazah" dari

kawan dan lawan - fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.

demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan ditambah

lagi dengan sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan sel nanah tersebut

akan disingkirkan oleh granulosit yang sehat yang bekerja sebagai fagosit.

D. Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang

menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :

1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T

cell leukemia-lymphoma virus/HTLV)

2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya.

3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan

agen anti neoplastik.

4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol

5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot

6. Kelainan kromosom : Sindrom Bloom’s, trisomi 21 (Sindrom Down’s), Trisomi G

(Sindrom Klinefelter’s), Sindrom fanconi’s, Kromosom Philadelphia positif,

Telangiektasis ataksia

7. Gejala penyakit leukemia biasanya ditandai dengan adanya anemia. Infeksi akan

mudah atau sering terjadi karena sel darah putih tidak dapat berfungsi dengan baik,

rasa sakit atau nyeri pada tulang, serta pendarahan yang sering terjadi karena darah

sulit membeku. Jika tidak diobati, maka akan mengakibatkan leukemia akut dan

akhirnya dapat menyebabkan kematian. Penyebab yang pasti belum diketahui, akan

tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya leukemia, yaitu

Leukemia biasanya mengenai sel-sel darah putih. Penyebab dari sebagian besar

jenis leukemia tidak diketahui. Pemaparan terhadap penyinaran (radiasi) dan bahan

Page 17: Askep Emergency Anemia

kimia tertentu (misalnya benzena) dan pemakaian obat antikanker, meningkatkan

resiko terjadinya leukemia. Orang yang memiliki kelainan genetik tertentu

(misalnya sindroma Down dan sindroma Fanconi), juga lebih peka terhadap

leukemia.

E. Manisfestasi klinis

Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada penyakit leukemia adalah sebagai berikut

1. Pilek tidak sembuh-sembuh

2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi

3. Demam dan anorexia

4. Berat badan menurun

5. Ptechiae, memar tanpa sebab

6. Nyeri abdomen

7. Lumphedenopathy

8. Hepatosplenomegaly

Gejala yang tidak khas ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalahartikan

sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel

leukemia pada alat tubuh seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura, kejang pada

leukemia serebral (Iman, 1997).

F. Patofisiologi

Normalnya tulang marrow diganti dengan tumor yang malignan, imaturnya sel blast.

Adanya proliferasi sel blast, produksi eritrosit dan platelet terganggu sehingga akan

menimbulkan anemia dan trombositipenia. Sistem retikuloendotelial akan terpengaruh

dan menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh dan mudah mengalami infeksi.

Manifestasi akan tampak pada gambaran gagalnya bone marrow dan infiltrasi organ,

sistem saraf pusat. Gangguan pada nutrisi dan metabolisme. Depresi sumsum tulang

yangt akan berdampak pada penurunan lekosit, eritrosit, faktor pembekuan dan

peningkatan tekanan jaringan. Adanya infiltrasi pada ekstra medular akan berakibat

terjadinya pembesaran hati, limfe, nodus limfe, dan nyeri persendian (Iman, 1997).

G. Penatalaksanaan Medis

1. Pelaksanaan kemoterapi

2. Irradiasi cranial

Page 18: Askep Emergency Anemia

3. Terdapat tiga fase pelaksanaan keoterapi :

a. Fase induksi

Dimulasi 4-6 minggu setelah diagnosa ditegakkan. Pada fase ini diberikan terapi

kortikostreroid (prednison), vincristin dan L-asparaginase. Fase induksi

dinyatakan behasil jika tanda-tanda penyakit berkurang atau tidak ada dan

dalam sumsum tulang ditemukan jumlah sel muda kurang dari 5%.

b. Fase Profilaksis Sistem saraf pusat

Pada fase ini diberikan terapi methotrexate, cytarabine dan hydrocotison melaui

intrathecal untuk mencegah invsi sel leukemia ke otak. Terapi irradiasi kranial

dilakukan hanya pada pasien leukemia yang mengalami gangguan sistem saraf

pusat.

c. Konsolidasi

Pada fase ini kombinasi pengobatan dilakukan unutk mempertahankan remisis

dan mengurangi jumlah sel-sel leukemia yang beredar dalam tubuh. Secara

berkala, mingguan atau bulanan dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk

menilai respon sumsum tulang terhadap pengobatan. Jika terjadi supresi

sumsum tulang, maka pengobatan dihentikan sementara atau dosis obat

dikurangi.

4. Program terapi

Pengobatan terutama ditunjukkan untuk 2 hal (Netty Tejawinata, 1996) yaitu:

a. Memperbaiki keadaan umum dengan tindakan:

- Tranfusi sel darah merah padat (Pocket Red Cell-PRC) untuk mengatasi

anemi. Apabila terjadi perdarahan hebat dan jumlah trombosit kurang dari

10.000/mm³, maka diperlukan transfusi trombosit.

- Pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi.

b. Pengobatan spesifik

Terutama ditunjukkan untuk mengatasi sel-sel yang abnormal. Pelaksanaannya

tergantung pada kebijaksanaan masing-masing rumah sakit, tetapi prinsip dasar

pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

- Induksi untuk mencapai remisi: obat yang diberikan untuk mengatasi kanker

sering disebut sitostatika (kemoterapi). Obat diberikan secara kombinasi

Page 19: Askep Emergency Anemia

dengan maksud untuk mengurangi sel-sel blastosit sampai 5% baik secara

sistemik maupun intratekal sehingga dapat mengurangi gejala-gajala yang

tampak.

- Intensifikasi, yaitu pengobatan secara intensif agar sel-sel yang tersisa tidak

memperbanyak diri lagi.

- Mencegah penyebaran sel-sel abnormal ke sistem saraf pusat

- Terapi rumatan (pemeliharaan) dimaksudkan untuk mempertahankan masa

remisi

c. Pengobatan imunologik

Bertujuan untuk menghilangkan sel leukemia yang ada di dalam tubuh agar

pasien dapat sembuh sempurna. Pengobatan seluruhnya dihentikan setelah 3

tahun remisi terus menerus.

III. DIC

A. Definisi

Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu gangguan dimana terjadi

koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang

malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti

leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru. Proses penyakit tertentu yang

umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis,

gagal hepar dan anfilaksis.

Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya

dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi

pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor

pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.

B. Etiologi

Beragam penyakit dapat menyebabkan DIC, dan secara umum melalui salah satu dari

dua mekanisme berikut.

1. Respon inflamsi sitemik, menyebabkan aktivasi jaringan sitokin dan selanjutnya

mengaktivasi proses koagulasi (cth: sepsis atau trauma mayor)

Page 20: Askep Emergency Anemia

2. Pelepasan atau paparan materi prokoagulan ke dalam aliran darah ( cth: pada

kanker, injury otak atau kasus obstetrik) Pada situasi tertentu, dapat muncul kedua

manifestasi tersebut (cth: trauma mayor atau pankretitis nekrotik).

Penyebab DIC akut :

Infeksi

:

Malignansi

:

Obstetri

:

Trauma

:

Tranfusi

:

Lain-lain

:

bakteri (sepsis gram negatif, infeksi gram positif,

rickettsia)

virus (cth: HIV, CMV, varicella-zoster virus, dan

hepatitis virus)

jamur (cth: histoplasma)

parasit (cth: malaria)

Hematologi (cth: acute myelocytic leukemia)

Metastase (cth: mucin-secreting adenocarcinoma)

Abrupsio plasenta

Emboli cairan amnion

Fatty liver akut pada kehamilan

Ekslampsia

Luka bakar

Kecelakaan bermotor

Keracunan bisa ular

Reaksi hemolitik tranfusi

Penyakit liver/ gagal hati akut

Pelaralatan prosthetic

Alat bantu ventrikel

Page 21: Askep Emergency Anemia

Penyebab DIC kronis :

Malignansi

:

Obstetrik

:

Hematologi

:

Vaskular

:

Kardiovaskular

:

Inflamsi

:

DIC terlokalisir

:

Tumor padat

Leukemia

Sindrom fetus mati dalam kandungan

Penahanan produk konsepsi

Sindrom myeloprolifferative

Rheumatoid arthritis

Raynaud disease

Infark miokard

Kolitis ulseratif

Crohn disease

Sarkoidosis

Aneurisma aorta

Kassabach-merrit syndrom

Penolakan allograft ginjal akut

Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:

1. Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai

komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah.

2. Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang

menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan)

3. Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.

Page 22: Askep Emergency Anemia

Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:

1. Penderita cedera kepala yang hebat

2. Pria yang telah menjalani pembedahan prostate

3. Terkena gigitan ular berbisa

C. Patofisiologi

Meliputi 4 mekanisme yang terjadi secara simultan :

1. Pergerakan thrombin yang dimediasi oleh TF

2. Disfungi mekanisme fisiologis antikoagulan sehingga tidak effektif mengimbangi

pergerakan thrombin.

3. Kerusakan penbersihan fibrin karena depresi sistem fibronolitik.

4. Aktivasi inflamasi.

Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara

sistemik. Trombosit yang menurun terus menerus, komponen fibrin bebas yang terus

berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah curiga

DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah,

terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus

mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai

organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.

Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem

fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus,

terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat

menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis

sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan

Page 23: Askep Emergency Anemia

untuk dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan

mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam :

1. Pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah.

2. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin

dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus.

Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga

menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh

darah. Sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya

kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.

Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas

fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan.

DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah. Karena banyak sekali

kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang

akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah

tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor

pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi

pembekuan darah. Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam

setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi.

Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VIIa yang memulai

pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi

pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur

ekstrinsik.

Page 24: Askep Emergency Anemia

Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin.

Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel

endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga

dari sel-sel polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang

mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan

trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III,

terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi

dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah

substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal.

Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan

mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai

biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ. Berkaitan dengan rendahnya

kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi

alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat

sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-

α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk

protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan

darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan

bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC. Selain

antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi

menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan

tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor

pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini

Page 25: Askep Emergency Anemia

dalam plasma sangatlah keci. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke

dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal,

ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak

pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor

pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan

koagulasi di masa depan.

Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti,

karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada

keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen

Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem

fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak

berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada

beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3

(AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi

hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan

tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada

pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat

endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan

kematian.

Jalur inflamasi dan koagulasi berinteraksi dengan cara saling menguatkan. Terjadi

komunikasi silang antara dua sistem tersebut, dimana inflamasi menigkatkan aktivasi

arus clotting dan dan hasil koagulasi sehingga merangsang aktivitas inflamsi menjadi

lebih hebat. Terdapat beragam pemicu berbeda yang dapat menyebabkan

Page 26: Askep Emergency Anemia

ketidakseimbangan hemostatis yang dapat meningkatkan tingkat kemampuan koagulasi.

Banyak faktor koagulasi teraktivasi yang diproduksi oleh DIC berkontribusi dalam

memicu inflamasi dengan cara menstimulus pelepasan sel sitokin proinflamasi oleh sel

endeotel,faktor Xa, trombin, dan komplek TF-VIIa terbukti menimbulkan efek

proinflamsi.

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang

terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. Biasanya terdapat riwayat

perdarahan pada gusi dan sistem GI. Pada fase akut biasanya muncul peteki dan ekimosis

serta perdarahan pada penusukan vena dan kateter. Pada post operasi, perdarahan bisa

terjadi pada sekitar tempat pembedahan, drain dan trakeostomi. DIC kronis bisa

menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan

pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada

gejala yang tidak dapat diamati.

Gambaran utama pada pasien DIC berupa : perdarahan (64%), disfungsi ginjal (25%),

disfungsi hepar (19%), disfungsi pernafasan (16%), shock (14%), dan disfungsi sistem

syaraf pusat (2%).

Manifestasi klinis dapat berupa:

1. Sirkulasi : tanda perdarahan spontan mengancam nyawa, tanda perdarahan sub akut,

tanda trombosi difus atau terlokalisir, perdarahaan ke lubang serous.

2. Sistem syaraf pusat: perubahan kesadaran non spesifik atau stupor, defisit neurologis.

3. Kardivaskular: hipotensi, takikardi, kolaps sirkulasi

4. Respirasi: pleural friction rub, tanda ARDS.

Page 27: Askep Emergency Anemia

5. Gastrointestinal: hematomesis, hematochezia.

6. Genitourinarius: azotemia atau gagal ginjal, hematuria, oliguria, metrorrhagia,

perdarahan uterine.

7. Dermatologis: peteki, jaundice, purpura, bula hemoragik, akrosianosis, nekrosis kulit

ekstremitas bawah, infark terlokalisir atau gangren, perdarahan di tempat penusukan

atau hematom subkutandalam, trombosis.

E. Pemeriksaan Diagnostik

DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak

ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa

tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.

Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:

1. D-dimer

Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur

fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih

tinggi dibanding dengan keadaan normal.

2. Prothrimbin Time (PTT)

Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam

proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor

pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan

pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang

dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.

3. Fibrinogen

Page 28: Askep Emergency Anemia

Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah.

Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pembekuan darah.

Tingkat fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh

menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.

4. Complete Blood Count (CBC)

CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah

dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk

mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk

menegakkan diagnose.

5. Hapusan Darah

Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarna dengan pewarna

khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk

sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering

terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.

Skor Tes Pembekuan

Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH

(International Society on thrombosis and Hemostasis)

Skor atau Skala 0 1 2 3

Jumlah Platelet

(x109/L)

>100 <100 <50

PT (detik) <3 >3

but

<6

≥6

Fibrinogen(g/L) >1 <1

Page 29: Askep Emergency Anemia

Fibrin-related

markers*

(meningkat)

Tidak

meningkat

Meningkat

sedang

Peningkatan

yang tajam

TOTAL Jika ≥5, overt DIC- tes diulang setiap hari.

Jika <5, non-overt DIC – tes diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.

*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan

penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.

(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006, 6)

F. Penatalaksanaan

Penatalakasanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya

DIC. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil.

Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.

1. Antikogulan

Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses

pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski

pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun

dalam penelitian klinik pada pasien DIC, heparin tidak menunjukkan komplikasi

perdarahan yang signifikan. Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam

dalam infus kontinu.

Indikasi:

a. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat.

b. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi.

Page 30: Askep Emergency Anemia

c. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati,

sindroma gagal nafas.

Dosis:

100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis

selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol. Low molecular weight

heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.

2. Plasma dan trombosit

Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan

hanya kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan

kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di

dalam plasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien

DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.

3. Penghambat pembekuan (AT III)

Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup

mahal. Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70% .

Dosis:

Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu

selama 3 – 5 hari.

Rumus:

1 iu x BB (kg) x Δ AT III, dengan target AT III > 120%

Δ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%

4. Obat-obat antifibrinolitik

Page 31: Askep Emergency Anemia

Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien DIC

pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses

fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang

terjadi akan semakin berat. Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain

mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom

antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka

janin harus dilahirkan secepatnya. Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya

diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan

perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi

perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan

komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini

tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah

maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan

komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan. Satu-satunya terapi

medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini

tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi

fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya

bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah

reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin

drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap

empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai

dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut

pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC

Page 32: Askep Emergency Anemia

cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit

tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang

harus dihadapi.