Askep Cedera Servikal
-
Upload
risky-novita -
Category
Documents
-
view
1.022 -
download
130
description
Transcript of Askep Cedera Servikal
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Cedera servikal merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan
dan kelemahan setelah trauma. Tulang servikalis terdiri dari 7 tulang yaitu C1
atau atlas, C2 atau axis, C3, C4, C5, C6 dan C7. Benturan keras atau benda
tajam yang mengenai tulang servikal ini tidak hanya akan merusak struktur
tulang saja namun dapat menyebakan cedera pada medulla spinalis apabila
benturan yang disebabkan ini sampai pada bagian posterior tulang servikal.
Struktur tulang servikal yang rusak dapat menyebabkan pergerakan kepala
menjadi terganggu. Sedangkan apabila mengenai serabut saraf spinal dapat
menghambat impuls sensorik dan motorik tubuh.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit
jantung, kanker dan stroke, tercatat ±50 meningkat per 100.000 populasi tiap
tahun, 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medulla pinalis, 2%
karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki- laki 5 kali lebih besar dari
perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan
kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti
dengan C5 dan C6 terutama pada usia decade 3.
Trauma pada servikal C1 dan C2 dapat menyebakan dislokasi atlanto-
servikalis sehingga kepala tidak dapat melalakukan gerakan mengangguk dan
apabila menembus ligamentum posterior dan mencederai medulla spinalis maka
pusat ventilasi otonom akan terganggu. Cedera pada C3-C5 menyebabkan
gangguan pada otot pernapasan dan cedera pada C4-C7 mengakibatkan
kelemahan pada ekstremitas (qudriplegia).
Karena sangat pentingnya peranan tulang servikalis pada fungsional
tubuh manusia maka evaluasi dan pengobatan pada cedera servikal memerlukan
pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini, prevervasi fungsi spinal cord dan
pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan
manajemen. Penanganan rehabilitas spinal cord dan kemajuan perkembangan
multidisipliner tim trauma dan perkembangan metode modern dari fusi servikal
dan stabilitas merupakan hal penting harus dikenal masyarakat. Oleh karena itu,
perawat sebagai tenaga kesehatan harus mampu menguasai dan memmahami
pengetahuan tentang asuhan keperawatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan
pada pasien dengan cedera servikalis. Sehingga pada tatanan praktiknya,
perawat mampu mengaplikasikan teori dengan baik dan terampil.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Anatomi
Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton
dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan
sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf,
menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada
orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical,
12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal.
Gambar 1. Tulang Belakang (www.medscape.com, 2010)
Atlas (C1) adalah vertebra servikalis pertama dari tulang belakang.
Atlas bersama dengan Axis (C2) membentuk sendi yang menghubungkan
tengkorak dan tulang belakang dan khusus untuk memungkinkan berbagai gerakan
yang lebih besar. C1 dan C2 bertanggung jawab atas gerakan mengangguk dan
rotasi kepala.
Atlas tidak memiliki tubuh. Terdiri dari anterior dan posterior sebuah lengkungan
dan dua massa lateral. Tampak seperti dua cincin. Dua massa lateral pada kedua
sisi lateral menyediakan sebagian besar massa tulang atlas. Foramina melintang
terletak pada aspek lateral. Axis terdiri dari tonjolan tulang besar dan parsaticularis
memisahkan unggulan dari proses artikularis inferior. Prosesus yang mirip gigi
(ondontoid) atau sarang adalah struktur 2 sampai 3 cm corticocancellous panjang
dengan pinggang menyempit dan ujung menebal. Kortikal berasal dari arah rostral
(kearah kepala) dari tubuh vertebra.
Gambar 2. Atlas dan Axis (www.bonespine.com, 2009)
Trauma tulang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligament, discus dan faset,
tulang belakang dan medulla spinalis. Adapun beberapa ligamen yang terdapat
pada tulang servikal antara lain adalah :
1. ligamen'ta fla'va : serangkaian pita dari jaringan elastis kuning melekat dan
memperluas antara bagian ventral lamina dari dua tulang yang berdekatan,
dari sumbu ke sacrum.. Namanya Latin untuk "ligamen kuning," dan ini
terdiri dari elastis jaringan ikat membantu mempertahankan postur tubuh
ketika seseorang sedang duduk atau berdiri tegak. Terletak posterior tubuh
vertebra, tetapi anterior proses spinosus dari tulang belakang, yang
merupakan tulang Prongs memancing ke bawah dari belakang setiap tulang
belakang, yang flava ligamenta membentuk dua sejajar, bersatu garis
vertikal dalam kanalis vertebralis. Hal ini juga mencakup dari C2, vertebra
servikalis kedua, semua cara untuk S1 dari sacrum , tulang ditumpuk pada
dasar tulang belakang di panggul. Pada ujung atas, setiap flavum
ligamentum menempel pada bagian bawah lamina dari vertebra di atasnya.
lamina ini adalah proyeksi horizontal pasangan tulang yang membentuk dua
jembatan mencakup ruang antara pedikel di kedua sisi tubuh vertebral dan
proses spinosus belakangnya. Mereka memperpanjang dari pedikel, setiap
proses yang kurus menonjol ke belakang dari kedua sisi dari tubuh vertebra,
dan sudut terhadap garis tengah tulang belakang, menggabungkan di tengah.
Dalam melakukannya, mereka membentuk melebar "V" yang mengelilingi
aspek posterior kanal tulang belakang .
Gambar 3. Spinal Ligament-ligamentum Flavum (www.spineuniverse.com,
2010)
2. Ligamentum nuchae adalah, padat bilaminar septum, segitiga
intermuskularis fibroelastic garis tengah. Ia meluas dari tonjolan oksipital
eksternal ke punggung C7 dan menempel pada bagian median dari puncak
occipital eksternal, tuberkulum posterior C1 dan aspek medial duri terpecah
dua belah leher rahim, ligamen terbentuk terutama dari lampiran aponeurotic
dari otot leher rahim yang berdekatan dan yg terletak di bawah. Dari dangkal
sampai dalam, otot-otot ini adalah trapezius, genjang kecil, capitus splenius,
dan serratus posterior superior. Juga anatomi, dan mungkin penting secara
klinis, ligamen telah ditemukan memiliki lampiran berserat langsung dengan
dura tulang belakang antara tengkuk dan C1,
3. Zygapophyseal adalah sendi sinovial sendi-sendi paling dasar dalam tubuh
manusia. Gabungan sinovial ditandai dengan memiliki kapsul sendi, cairan-
cairan sinovial sendi kapsul untuk melumasi bagian dalam sendi, dan tulang
rawan pada permukaan sendi di tengah atas dan bawah permukaan yang
berdekatan dari setiap tulang belakang untuk memungkinkan tingkat gerakan
meluncur.
Gambar 4. Anterior dan posterior cervical ligament
(www.boneandspine.com,2009)
4. Atlantoaxial ligamentum posterior adalah tipis, membran luas melekat, di
atas, untuk batas bawah lengkung posterior atlas , bawah, ke tepi atas dari
lamina dari sumbu .
5. Atlantoaxial ligamentum anterior adalah membran yang kuat, untuk batas
bawah lengkung anterior dari atlas, bawah, ke depan tubuh sumbu . Hal ini
diperkuat di garis tengah dengan kabel bulat, yang menghubungkan
tuberkulum pada lengkung anterior dari atlas ke tubuh dari sumbu, dan
merupakan kelanjutan ke atas dari ligamentum longitudinal anterior .
6. Ligamentum longitudinal posterior terletak dalam kanalis vertebralis, dan
membentang sepanjang permukaan posterior tulang belakang tubuh, dari
tubuh sumbu, di mana ia terus-menerus dengan tectoria membrana, untuk
sakrum. ligamentum ini lebih sempit di badan vertebra dan lebih luas pada
ruang disk intervertebralis. Hal ini sangat penting dalam memahami kondisi
patologis tertentu tulang belakang seperti lokasi khas untuk herniasi cakram
tulang belakang.
7. Ligamentum transversal dari atlas adalah kuat, band tebal, yang
lengkungan di cincin dari atlas , dan mempertahankan proses yg mirip gigi
di kontak dengan lengkung anterior. Ligamentum transversal membagi
cincin dari atlas menjadi dua bagian yang tidak setara: ini, posterior dan
lebih besar berfungsi untuk transmisi dari medula spinalis dan membran dan
saraf aksesori.
2.2 Definisi
Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang,
sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000)
fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan
olah raga dsb ( Sjamsuhidayat, 1997).
Cedera tulang belakang servikal atas adalah fraktura atau dislokasi yang mengenai
basis oksiput hingga C2.
2.3 Klasifikasi
Tingkat cedera didefinisikan oleh ASIA menurut Penurunan Skala (dimodifikasi
dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut:
A - Lengkap: Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang dipertahankan dalam
segmen sacral S4-S5.
B - lengkap: Fungsi sensori dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan
meluas melalui segmen sakral S4-S5.
C - lengkap: Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan
sebagian besar otot kunci di bawah tingkat otot neurologis memiliki nilai kurang
dari 3.
D - lengkap: fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan
sebagian besar otot kunci di bawah level neurologis telah kelas otot lebih besar
dari atau sama dengan 3.
E - Normal: Fungsi sensorik dan motorik yang normal.
Cedera servikal dapat digolongkan menjadi :
a. Cedera fleksi
Fraktur kompresi : disebabkan karena fleksi yang tiba-tiba.
Fraktur fleksi – teardrop : melibatkan seluruh columna ruang interspinosus
melebar dan dapat menyebabkan cedera medulla spinalis.
Subluksasi anterior : kompleks ligamentum superior mengalami ruptur
sedangkan ligamentum anterior tetap utuh.
Dislokasi faset bilateral : disebabkan fleksi yang berlebihan
Fraktur karena dorongan : terjadi karena fleksi leher yang tiba-tiba selain itu
bisa juga terjadi karena fraktur langsung di prosesus spinosus, trauma
oksipital, tarikan yang sangat kuat di ligamentum supraspinosus.
b. Cedera Fleksi-rotasi
Dislokasi faset unilateral : terjadi saat fleksi bersamaan dengan rotasi
sehingga ligamentum dan kapsul teregang maksimal. Dislokasi kedepan
pada vertebra di atas dengan atau tanpa di sertai kerusakan tulang.
Dislokasi antlantoaxial : terjadi karena hiperekstensi, terjadi pergeseran
sendi antara C1 dan C2 dan biasanya fatal. Cedera ini dapat menyebabkan
rheumatoid arthritis.
c. Cedera ekstensi
Fraktur menggantung : terjadi pada C2 yang disebabkan karena
hiperekstensi dan kompresi yang tiba-tiba.
Ekstensi ‘teardrop’ : hiperekstensi mendadak dan terjadi akibat tarikan oleh
ligamentum longitudinal.
d. Cedera compresi axial
Fraktur jefferson : terjadi pada C1 dan disebabkan karena kompresi yang
sangat hebat. Kerusakan terjadi di arkus anterior dan posterior.
Fraktur remuk vertebra : penekanan corpus vertebra secara langsung dan
tulang menjadi hancur. Fragmen tulang masuk ke kanalis spinalis kemudian
menekan medulla spinalis sehingga terjadi gangguan saraf parsial
Fraktur atlas :
Tipe I dan II : fraktur stabil karena terjadi pada arkus anterior dan
posterior.
Tipe III : terjadi pada lateral C1
Tipe IV : sering disebut sebagai fraktur jefferson
Karena anatomi dan catu vaskuler kord spinal yang unik, berbagai sindroma tidak
lengkap dapat dijumpai pada cedera kord spinal servikal. Pada sindroma ini, fungsi
sensori dan motor tertentu terganggu atau hilang, namun lainnya tetap utuh.
1. Sindroma kord sentral
Paling sering dijumpai setelah suatu cedera hiperekstensi servikal.
Karena sebab tertentu seperti keadaan mekanik dan catu vaskuler dari kord, bagian
sentral dapat mengalami kontusi walau bagian lateral hanya mengalami cedera
ringan. Khas pasien mengeluh disestesi rasa terbakar yang berat pada lengan,
mungkin karena kerusakan serabut spinotalamik, mungkin saat ia menyilang
komisura anterior. Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan lengan, dengan
utuhnya kekuatan ekstremitas bawah. Sebagai tambahan, sensasi nyeri dan suhu
hilang dalam distribusi seperti tanjung. Semua lesi yang menyebabkan cedera
primer terhadap kord spinal sentral dapat menimbulkan gambaran defisit serupa,
seperti siringo- mielia, tomor kord spinal intrinsik, dan hidromielia. Sindroma ini
secara jarang dapat terjadi pada kord spinal bawah (konus medularis).
2. Sindroma arteria spinal anterior
Terjadi karena arteria ini mencatu substansi kelabu dan putih bagian
ventrolateral dan posterolateral kord spinal. Kerusakan arteria ini berakibat
sindroma klinis paralisis bi- lateral dan hilangnya sensasi nyeri serta suhu dibawah
tingkat cedera, namun sensasi posisi dan vibrasi (fungsi kolom posterior) utuh.
Lesi arteria ini bisa karena cedera tulang belakang, neoplasma yang terletak
anterior (biasanya metastasis) dan cedera aortik.
3. Sindroma Brown-Sequard
Pada bentuk yang murni, menunjukkan akibat dari hemiseksi kord spinal.
Defisit neurologis berupa hilangnya fungsi motor ipsilateral, sensasi vibrasi dan
posisi. Sebagai tambahan, sensasi nyeri serta suhu kontralateral hilang. Luka
tembus dan peluru dapat menimbulkan sindroma Brown-Sequard 'lengkap', namun
manifestasi tak lengkap sindroma ini tampak dengan berbagai ragam pada lesi lain,
termasuk trauma dan neoplasma.
4. Sindroma kolom posterior
Terjadi bila kolom posterior rusak secara selektif, berakibat hilangnya
sensasi vibrasi dan proprioseptif bilateral dibawah lesi. Temuan ini tersering
dijumpai sekunder terhadap kelainan sistemik (neurosifilis), namun secara jarang
dijumpai setelah trauma kord spinal.
2.4 Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan. Bila
tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan
menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula
atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-
berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
2.5 Manifestasi klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang
digerakkan.
i. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
2.6 Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah kecelakaan
mobil, kecelakaan motor, jatuh, cedera olah raga, dan luka akibat tembakan atau
pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera servikal di bagi atas fleksi,
fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical atas adalah fraktura atau
dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang belakang cervical bawah
termasuk fraktura dan dislokasi ruas tulang belakang C3-C7. Ruas tulang belakang
C5 adalah yang tersering mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal dan
arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya. Tulang
ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-
occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Dibawah, tulang ini
beratikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Ketika cidera terjadi fraktur tunggal atau
multiple pada cincin C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis sehingga menyebabkan
ketidakmampuan menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera
pada C1 dan C2 menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Pada C3-C5 dapat terjadi kerusakan nervus frenikus sehingga dapat terjadi
hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal yang dapat
menyebabkan komplience paru menurun.
Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula
spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteosif/material diskus
dari anterior yang bisa menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan
mediator kimia yang menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi
gangguan sensorik motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal,
parasternal, scalenus, otot2 abdominal. Intak pada diafragma, otot trapezius, dan
sebagian pectoralis mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada medulla
spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturang keras
mengenai medulla spinalis. Saat ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi.
Pada waktu cedera terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera
neural primer. Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis
progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka akan
terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf spinal
dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai O2 ke medulla
spinalis atau akan terjadi ischemik pada jaringan tersebut. Karena terjadi ischemik
pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan ada
pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi
kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan
dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah
peningkatan level Ca pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan pada
endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat menimbulakan
aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal. Peningkatan
potasium pada ekstraseluler yang mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada sel
(Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan katekolamin sehingga
terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adnya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai O2 dapat
merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit, dan pelepasan mediator inflamasi dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
2.7 Penatalaksanaan
Semua penderita koban kecelakaan yang memperlihatkan gejala adanya
kerusakan pada tulang belakang, seperti nyeri leher, nyeri punggung, kelemahan
anggota gerak atau perubahan sensitivitas harus dirawat seperti merawat pasien
kerusakan tulang belakang akibat cedera sampai dibuktikan bahwa tidak ada
kerusakan tersebut.
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera
lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan
patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya.
Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips
atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik
komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah
tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi
dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi
saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan
tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang
menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula
spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik
dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan
medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas
yang keras.
Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau
sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita yang
patut dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di
daerah tulang belakang, lebih-lebih lagi bila terdapat kelemahan pada ekstremitas
yang disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan napas dan
sirkulasi.
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak
menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan
kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut di atas dipenuhi, barulah dilakukan
pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang
seperti radiologik dapat dilakukan. Pada umumnya terjadi paralisis usus selama
dua sampai enam hari akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan
pemasangan pipa lambung. Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan
mencegah terjadi pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh
akibat syok spinal. Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau
produksi urin, serta mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap
kering.
Terapi pada cidera medula spinalis terutama ditujukanuntuk meningkatkan
dan memperhatikan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien
dengan cidera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali
normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam
72jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula
spinalis tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila
funsi sensoris dibawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan
adalah lebih dari 50%.
Metilpredinsolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan oleh national institute of
health di amerika Serikat. Namun demikian penggunaannya sebagai terapi utama
cidera medula spinalis traumatik masih dikritisi banyak pihak dan belum
digunakan sebagai standart terapi.
Dalam chochrane library menunjukkan bahwa metilpredinsolon dosis tinggi
merupakan satu satunya terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinis
tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis
traumatika. Tindakan rehabilitasi medik meruoakan kunci utama dalam
penanganan pasien cidera medula spinalis.fisioterapi, terapi okupulasi dan blader
training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi
adalah mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas,
dengan memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan central cord
syndrome/CSS biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah
yang baik sehingga dapat berjalan dengan bantuan apapun ataupun tidak.
Terapi Okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ektermitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sdehari hari/
activiting of dayli living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin.
2.8 Pemeriksaan Penunjang
CT SCAN : Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik
komponen tulang servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi
Pemeriksaan CT berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi
diskus. Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan
myelografi.
MRI : Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah
servikal . MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Namun
pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa herniasi diskus
pada sekitar 10 % subjek tanpa keluhan , sehingga hasil pemeriksaan ini tetap
harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit , keluhan maupun
pemeriksaan klinis. Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu
mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien
dengan spasme otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga
untuk menentukan level dari iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan
lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi.
Elektromiografi ( EMG) : Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah
suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot,
artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level
dari iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi .
Metode untuk foto daerah cervical
1. Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus
dan bayangan trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto
dengan mulut terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur
massa lateral dan odontoid).
2. Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak
cedera yang rendah akar terlewatkan. Hitunglah vertebra kalau perlu,
periksa ulang dengan sinar-X sementara menerapkan traksi ke bawah
pada lengan. Kurva lordotik harus diikuti dan menelusuri empat garis
sejajar yang dibentuk oleh bagian depan korpus vertebra, bagian
belakang badan vertebra. massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus
setiap ketidakteraturan menunjukkan suatu fraktur atau pergeseran.
Ruang interspinosa yang terlalu lebar menunjukkan luksasi anterior.
Trakea dapat tergeser oleh hematoma jaringan lunak.
3. Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak
boleh melebihi 4,5 mm ( anak-anak ) dan 3mm pada dewasa
4. Untuk menghindari terlewatnya adanya dislokasi tanpa fraktur
diperlukan film lateral pada posisi ekstensi dan fleksi.
5. Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra
dibawahnya dapat berarti klinis yaitu dislokasi permukaan unilateral jika
pergeseran yang kurang dari setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal
ini diperlukan foto oblik untuk memperlihatkan sisi yang terkena.
Pergeseran yang lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersbut
menunjukkan dislokasi bilateral.
6. Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkn pemeriksaan CT scan.
2.9 Komplikasi
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan
tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil
dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah
atau torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut , keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Contoh Kasus
Pasien F, laki-laki usia 40 tahun, pekerjaan pegawai swasta, masuk RS Dr
Soetomo pada tanggal 28 Januari 2011 atas rujukan RS Soedono, dengan keluhan
utama kelemahan anggota gerak sejak 5 hari yang lalu. Klien merasa kelemahan
anggota geraknya semakin memberat. Makan dan minumnya baik. Klien tampak
menggunakan colar neck.
Satu bulan sebelum masuk RS Dr Soetomo, pasien mengalami kecelakaan.
Mobil yang ditumpangi pasien masuk ke lubang, dan kepala pasien terbentur atap
mobil sampai 4x. Saat itu pasien pingsan, lamanya kira-kira 20 menit, perdarahan
THT tidak ada, muntah tidak ada dan pasien masih mengingat peristiwa sebelum
kejadian. Pasien mengalami kelemahan pada keempat anggota gerak, nyeri hebat
di area leher bagian belakang dan dipasang colar neck. Jika buang air kecil (BAK)
pasien ngompol, pasien juga tidak bisa buang air besar (BAB), klien dirawat di RS
Soedono Madiun selama 10 hari. Pasien masih menggunakan kateter sejak pulang
dari RS Soedono sampai saat ini dan untuk bisa BAB dibantu dengan klisma. Sejak
pulang dari RS Soedono, pasien menjalani fisioterapi sebanyak 9 kali yang
dilakukan oleh fisioterapist agar bisa berjalan lancar. Saat difisioterapi, kepala
pasien ditarik.
Riwayat hipertensi, DM, penyakit jantung disangkal. Riwayat pemberian
steroid di RS Soedono tidak diketahui.
Pemeriksaan Diagnostik
a. Hasil Laboratorium :
Hb 13,2 g/dl
Ht 36 %
Leukosit 16.500/uL
Trombosit 244.000/uL
LED 25 mm
Ureum 23 mg/dL
Kreatinin darah 0.6 mg/dl
GDS 126 mg/dL
Na 105 meq/l
K 4,2 meq/l
Cl 73 meq/l
b. Foto X cervical : dislokasi C1-C2
c. MRI : fraktur C1 dengan dislokasi ke posterior, stenosis berat medulla
spinalis setinggi CI-CII.
d. BGA : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
pH 7.607
pCO2 21.5 mmHg
pO2 84.7 mmHg
SO2 % 92.2
BE 0.0 mmol/L
HCO3 21.7 mmol/L
Terapi yang diberikan : O2 sungkup rebreathing 6 l/m
IVFD NaCl 0,9 % per 12 jam
Imobilisasi leher dengan collar neck
Metilprednisolon tab 4 x 8 mg
Ranitidin 2 x 1 amp injeksi
NaCl tab 3 x 500 mg
Periksa AGD ulang 6 jam kemudian
Diagnosis kerja : Tetraparesis
Diagnosis klinis : Tetraparesis, inkontinensia uri dan retensi alvi, hiponatremi,
hipoklorida, alkalosis respiratorik, leukositosis.
Diagnosis topis : servikal 1, proccesus odontoid, medulla spinalis
Diagnosis patologi : Fraktur, dislokasi
Diagnosis etiologi : Trauma
3.2 Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
1. Identitas
Nama : Tn. F
Umur : 40 tahun
Alamat : Madiun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
2. Keadaan Umum : kesadarannya compos mentis, klien memakai colar neck
3. Keluhan Utama : Pasien mengeluh mengalami kelemahan anggota gerak
5 hari yll 7 semakin memberat. Mengalami
muntah-muntah 10x dalam 2 hari.
4. Riwayat penyakit sekarang : Tn.F mengalami kelemahan keempat
anggota gerak, nyeri di area cedera, demam, sesak
napas. Muntah.
6. Riwayat Penyakit Dulu : Klien mengalami kecelakaan lalu lintas 1 bulan
yang lalu
7. Riwayat Alergi : Klien menyatakan tidak mempunyai alergi.
8. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada masalah
9. Keadaan Umum : TD = 100 / 60 mmhg,
N= 80 x/menit
RR = 29 x/menit
T = 38,50C
ROS (Review of System)
B1 (Breathing) : napas pendek, sesak
B2 ( Blood ) : berdebar-debar, hipotensi, suhu naik turun.
B3 ( Brain ) : nyeri di area cedera
B4 ( Blader ) : inkontinensia uri
B5 ( Bowel ) : tidak bisa BAB (konstipasi), distensi abdomen, peristaltik
usus menurun.
B6 ( Bone ) : kelemahan ke empat anggota gerak(Quadriplegia)
Psikososial : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri.
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS : klien mengeluh sesak
napas.
DO : klien terlihat pucat,
sianosis, adanya pernapasan
cuping hidung
RR= 29x/menit
TD = 100/60 mmHg
Cedera cervical
(C1-C2)
Kelumpuhan otot
pernapasan
(diafragma)
Ekspansi paru
menurun
Pola napas tidak
efektif
Ketidakefektifan
pola napas
2. DS : klien mengeluh nyeri hebat
& tidak bisa tidur.
DO : Klien terlihat sangat
gelisah, suhu tubuh klien naik
turun tak menentu, klien
memakai colar neck.
N=80x/mnt.
S= 38,50C
Hasil foto X-cervical
menunjukan fraktur dislokasi
Cedera cervical
Fraktur dislokasi
servikal
Pelepasan mediator
inflamasi
Prostalglandin,
bradikinin dll
respon nyeri hebat
Nyeri
C1-2.
Skala nyeri 8 (interval 1-10).
dan akut
Nyeri
3. DS : Klien megatakan sering
ngompol.
DO : Klien terpasang kateter.
Cedera cervikalis
Kompresi medulla
spinalis
Gangguan sensorik
motorik
Kelumpuhan saraf
perkemihan
Inkontinensia uri
Gangguan pola
eliminasi uri
Gangguan pola
eliminasi uri
4. DS : Klien mengeluh tidak bisa
BAB.
DO : Peristaltik usus klien
menurun, abdomen mengalami
distensi.
Cedera cervikalis
Kompresi medulla
spinalis
Kelumpuhan
persarafan usus &
Gangguan eliminasi
alvi (Kostipasi)
rektum
Gangguan eiminasi
alvi
5. DS : Klien merasa mengalami
kelemahan pada keempat
anggota geraknya.
DO : Klien membutuhkan
bantuan untuk memenuhi ADL
nya.
Cedera cervikalis
Kompresi medula
spinalis
Gangguan motorik
sensorik
Kelumpuhan
Kerusakan
mobilitas fisk
Kerusakan
mobilitas fisik.
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif b.d kelumpuhan otot pernapasan (diafragma), kompresi
medulla spinalis.
2. Gangguan rasa nyaman : Nyeri b.d adanya cedera pada cervikalis
3. Gangguan pola eliminasi uri : inkontinensia uri b.d kerusakan saraf perkemihan
4. Gangguan eliminasi alvi : Konstipasi b.d penurunan peristaltik usus akibat
kerusakan persarafan usus & rectum.
5. Kerusakan mobiltas fisik b.d kelumpuhan pada anggota gerak
1. Rencana Intervensi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil :
a. ventilasi adekuat
b. PaCo2<45
c. PaO2>80
d. RR 16-20x/ menit
e. Tanda-tanda sianosis(-) : CRT 2 detik
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan
untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret
yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan
tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus
menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai
contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat.
Rasional : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional : mencegah sekret tertahan
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan
pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang dengan skala nyeri 6 dalam
waktu 2 X 24 jam
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol
nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan
kecemasan dan meningkatkan istirahat
3. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan
syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil :
a. Produksi urine 50cc/jam
b. Keluhan eliminasi urin tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter.
Rasional membantu proses pengeluaran urine
4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi
alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.
Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.
4. Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress.
5. Berikan diet seimbang TKTP cair
Rasional : meningkatkan konsistensi feces
6. Berikan obat pencahar sesuai pesanan.
Rasional: merangsang kerja usus
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi
sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
a. Tidak ada konstraktur
b. Kekuatan otot meningkat
c. Klien mampu beraktifitas kembali secara bertahap
Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling.
Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi
kerusakan integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang
berhubungan dengan spastisitas.
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
1. Inspeksi seluruh lapisan kulit.
Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan.
Rasional : untuk mengurangi penekanan kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit.
Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering.
Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan.
Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan
tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur
dapat dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: Fraktur akibat peristiwa
trauma, fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan, fraktur patologik karena
kelemahan pada tulang.
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, edema, memar/ ekimosis, spasme
otot, penurunan sensasi, gangguan fungsi, mobilitas abnormal, krepitasi,
defirmitas, shock hipovolemik.
Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya yaitu:
hiperfleksi, fleksi-rotasi, hiperekstensi, ekstensi- rotasi, kompresi vertical.
Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan yaitu: stabil dan tidak stabil
Setelah primery survey, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
eksternal, tahap berikutnya adalah evaluasi radiografik tercakup di dalamnya,
plain foto fluoroscopy, polytomography CT-scan tanpa atau dengan
myelography dan MRI.
4.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan professional, perawat hendaknya dapat
memberikan asuhan keperawatan keperawatan pada penderita cegera servikal
untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi yang mungkin terjadi.
Sehingga dapat diharapkan dapat terwujud kesehatan pada klien cedera servikal
secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-
unipdu.web.id. Diakses tanggal 11 Maret 2011
Dawodu, Segun.2008.Spinal Cord Injury.http://www.medscape.com. Diakses
tanggal 11 Maret 2011
Devenport, Moira.2010.Cervical Spine Fracture in Emergency Medicine.
http://www.medscape.com. Diakses tanggal 11 Maret 2011
Eidelson, MD, Stewart G. 2010 .Lumbar
Spine .www.spineuniverse.com/anatomy/lumbar-spine. Diakses tanggal 23
Maret 2011
Khosama, Herlyani.Diagnosis dan Penatalaksanaan Trauma Medula Spinalis.
http://neurology.multiply.com/journal/item/27. Diakses tanggal 11 Maret
2011
Malanga, A.Gerrad.2008. Cervical Spine Sprain/Strain Injuries.
http://www.medscape.com . Diakses tanggal 11 Maret 2011
O. Bertora,Guillermo, and M. Bergmann ,Julia.2008. Whiplash Injury: Frequent
Brain Lesions studied through Brain Electric Tomography - LORETA. http://
www.vertigo-dizziness.com/english/whiplash-in. Diakses tanggal 11 Maret
2011
Pal Singh, Arun .2009 .Basic Anatomy of Upper Cervical Spine.
http://boneandspine.com/musculoskeletal-anatomy/basic-anatomy-of-upper-
cervical-spine/. Diakses tanggal 23 Maret 2011
Sika.2010.Asuhan Keperawatan dengan Pasien Fraktur Servikalis.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology.Diakses tanggal 11
Maret 2011
Strefer Tiffiny.2010.. Care of the patient with cervical spine injury.
http://Lipincot’sNursing.com.Diakses tanggal 11 Maret 2011