artikel ilmiah
-
Upload
m-rizki-fadlan -
Category
Documents
-
view
320 -
download
4
Transcript of artikel ilmiah
1
PERBEDAAN PROPORSI TERJADINYA GANGGUAN KOGNTIF
MENURUT USIA TERJADINYA STROKE NON HEMORAGIK
DI RUMAH SAKIT MARGONO SOEKARJO
M. Rizki Fadlan
Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu – Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
PurwokertoKorespondensi : M. Rizki Fadlan ([email protected])
ABSTRAK
Stroke Non Hemoragik (SNH) menyebabkan kecacatan bukan hanya secara fisik melainkan juga menyebabkan gangguan fungsi kognitif. Pada keadaan yang parah, kecacatan yang ditimbulkan akibat SNH akan mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya karena seringkali memerlukan perawatan yang serius dalam jangka waktu yang panjang. Gangguan fungsi kognitif akan membuat dampak yang lebih buruk bagi rehabilitasi pasien stroke diantaranya menyebabkan depresi pasca Stroke. Usia Merupakan salah satu faktor yang berpran dalam menyababkan terjadinya gangguan fungsi kognitif pasca SNH. Oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui perbedaan proporsi terjadinya penurunan fungsi kognitif antara usia terjadinya SNH lebih dari 55 tahun dan kurang dari 55 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional , pengambilan sampel menggunakan non probability sampling dengan teknik conceutive sampling. Sampel penelitian berjumlah 42 orang (21 orang berusia > 55 tahun dan 21 orang berusia < 21 tahun). Sampel penelitian adalah pasien SNH baik di Instalasi rawat inap syaraf maupun di Instalasi Rawat Jalan penyakit saraf RSMS. Hasil penelitian didaptkan pasien dengan gangguan fungsi kognitif sebanyak 19 orang (45,2%). Terdapat perbedaan proporsi yang bermakna usia penderita SNH > 55 tahun dan < 55 tahun yang mengalami gangguan fungsi kognitif pasca SNH ( p = 0,01 dan Rasio Prevalens 10,625) . Variabel luar pada penelitian ini tidak berpengaruh secara signifikan ( P>0,05). Kesimpulan pada penelitian ini usia terjadinya SNH merupakan factor risiko terjadinya gangguan fungsi kognitif pasca SNH.
Kata Kunci :
Usia, SNH, Gangguan Kognitif,
Pendahuluan
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 dan Survey Kesehatan
Masyarakat (Surkesmas) tahun 2001, penyakit utama penyebab kematian adalah penyakit
sistem sirkulasi yaitu sebanyak 24,4%. Stroke merupakan penyakit sirkulasi dengan prevalensi
terbanyak. Prevalensi stroke di Indonesia adalah 8,3 per 1.000 penduduk pada tahun 2007
2
(Riset Kesehatan Dasar, 2007). Angka kejadian stroke pada kelompok usia lebih dari 65 tahun
adalah 63,52 per 100.000 penduduk ( Yayasan Stroke Indonesia, 2004 ).
Stroke non hemoragik (SNH) merupakan jenis stroke yang paling banyak di jumpai di
banding stroke yang lain. Penelitian di Taiwan dilaporkan bahwa insidensi stroke non
hemoragik adalah 71%, stroke hemoragik intra serebral 22%, dan stroke hemoragik
subarakhnoid 1%. Sedangkan penelitian pasien stroke di Hiroshima dan Nagasakhi dilaporkan
bahwa stroke non hemoragik 75,5%, stroke hemoragik intra serebral 17,4% dan stroke
hemoragik subarakhnoid 5,3% (Tatemichi, et al, 2004). Penelitian di Jogjakarta tahun 1997
pada 5 rumah sakit didapatkan stroke non hemoragik 73,9%, stroke hemoragik intra serebral
24,5% dan stroke hemoragik subarakhnoid 1,6% (Lamsudin,1998).
Stroke menyebabkan kecacatan bukan hanya secara fisik melainkan juga gangguan
kognitif secara bermakna. Pada keadaan yang parah, kecacatan yang ditimbulkan akibat stroke
akan mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarganya karena seringkali memerlukan
perawatan yang serius dalam jangka waktu yang panjang (Martini, 2004). Gangguan kognitif
adalah suatu gangguan fungsi luhur otak berupa orientasi, perhatian, konsentrasi, daya ingat,
dan bahasa serta fungsi intelektual. Insiden gangguan kognitif pada usia lanjut meningkat
seiring dengan bertambahnya umur. Seiring proses menua, terjadi pula penurunan jumlah sel
neuron pada otak secara bertahap yang mengakibatakan terjadinya gangguan kognitif. Fungsi
kognitif yang baik sangat diperlukan agar seseorang dapat meningkatkan kualitas hidup
terutama optimalisasi status fungsional, keadaan umum, memulihkan produktivitas,
kreativitas, dan perasaan bahagianya.
Gangguan kognitif dapat berkembang menjadi demensia, suatu sindrom gangguan
kognitif irreversible yang ditandai oleh gangguan berfikir, aktifitas harian dan gangguan
fungsi sosial (Yafee et al, 2001). Penelitian di Singapura (2004) melaporkan bahwa gangguan
kognitif banyak muncul pada pasien stroke. Prevalensi pasien stroke yang menderita gangguan
kognitif mencapai 54,5 % di Singapura, prevalensi pasien stroke yang mengalami gangguan
kognitif mencapai 35 % di Jepang, dan prevalensi pasien stroke yang mengalami gangguan
kognitif di RSU dr. Soetomo mecapai 57% (Tatemichi et al, 2004, Sanjiv, 2006, Martini,
2004). Pada tahun 2009, prevalensi pasien stroke di RSUD Margono Soekarjo yang
mengalami demensia mencapai 30% ( Astarin, 2009).
3
MMSE dianjurkan oleh American Neuropsyciatric Association sebagai alat skreening
rutin untuk mengidentifikasi gangguan kognitif dalam praktek klinis dan penelitian. MMSE
adalah salah satu tes kognitif umum dengan komponen orientasi, atensi, kalkulasi, bahasa, dan
kemampuan mengulang (recall). Tes ini memiliki sensitivitas yang 81% dalam menilai
gangguan kognitif dan sering dipergunakan untuk uji tapis gangguan kognitif ringan maupun
peningkatan risiko untuk menderita demensia tahap awal (Kanaya & Elizabeth, 2004).
Penelitian di Rumah sakit Margono Soekarjo Oleh Astarin Andiani pada tahun 2009
telah dilakukan mengenai prevalensi pasien demensia pasca stroke, akan tetapi studi mengenai
usia terjadinya stroke non hemoragik terhadap gangguan kognitif belum dilakukan. Gangguan
kognitif pasca stroke merupakan prediktor terjadinya demensia vaskuler (Pohjasvaara, 2002).
Studi ini dapat menjadi uji tapis untuk mengetahui proporsi terjadinya gangguan kogntif pasca
stroke non hemoragik, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan edukasi bagi pasien
stroke non hemoragik yang mengalami gangguan kognitif agar tidak berkembang menjadi
demensia vaskuler ataupun depresi pasca stroke. Studi ini perlu dilakukan untuk mengetahui
perbedaan proporsi terjadinya gangguan kognitif antara usia terjadinya stroke non hemoragik
lebih dari 55 tahun dan kurang dari 55 tahun.
Metode
Peneitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan rancangan cross-
sectional yaitu penelitian analitik yang menyangkut besarnya rasio prevalens (Sudigdo, 2005).
Semua pasien stroke non hemoragik yang telah melewati fase akut di instalasi rawat inap dan
jalan penyakit saraf RSUD Margono soekarjo periode Desember 2010 – Januari 2011. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dengan
menggunakan consecutive sampling, semua pasien stroke baik laki laki, maupun perempuan,
telah melewati fase akut, merupakan serangan stroke non hemoragik pertama. Kriteria
eksklusi pada penelitian ini adalah Pasien SNH dengan gangguan kognitif sebelumnya, afasia,
kebutaan atau tuli, depresi berat, dan koma. Untuk mengetahui adanya gangguan kognitif
sebelumnya digunakan indeks barthel sedangkan untuk mengetahui adanya depresi
berdasarkan rekam medis pasien.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 42 orang ( 21 orang berusia < 55 tahun dan 21
orang berusia 21 tahun). Peneliti memperoleh data mengenai usia, riwayat DM, lokasi lesi
berdasarkan hasil CT Scan, riwayat hiperkolestrolemia, riwayat hipertensi, dan depresi berat di
4
bagian rekam medik RSMS. Pasien kemudian di kelompokkan sesuai dengan kriteria inklusi
guna dilakukan pengumpulan data primer. Data primer meliputi fungsi kognitif dan tingkat
pendidikan pasien.
Pasien ataupun keluarganya diminta menandatangani lembar persetujuan informed
concent sebelum dilakukan pengambilan data primer. Kemudian di lakukan wawancara
lansung dengan keluarga pasien untuk pemeriksaan index barthel terlebih dahulu, pasien
dengan hasil index barthel lebih dari 80 dan yang telah sesuai dengan kriteria inklusi lainnya
kemudian di catat identitas (Nama, umur dan pendidikan akhir) berdasarkan wawancara
langsung kemudian responden di periksa fungsi kognitif nya menggunakan Mini Mental State
Examination (MMSE).
Analisis data pada penelitian ini menggunakan program analisis statistik komputer.
Analisis univariat pada penelitian ini menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase pada
setiap variabel (usia, tingkat pendidikan, riwayat hiperkolestrolemia, riwayat diabetes mellitus,
riwayat hipertensi, lokasi lesi, dan nilai MMSE). Analisis bivariat pada penelitian ini
menggunakan analisis Chisquare.
Hasil
Selama periode penelitian (16 Desember 2010 - 15 Januari 2011) didapatkan jumlah
pasien stroke yang berobat di instalasi rawat jalan penyakit saraf Rumah Sakit Margono
Soekarjo sebanyak 163 Orang. Insidensi SNH pada pasien rawat jalan sebayak 120 orang.
Selama periode penelitian didapatkan jumlah pasien Stroke yang di rawat di instalasi rawat
inap (Ruang Mawar, Ruang Dahlia, dan Ruang Asoka) Rumah Sakit Margono Soekarjo
sebanyak 55 Orang. Insidensi pasien SNH di Instalasi Rawat Inap mencapai 40 orang.
Sampel minimal yang telah ditetapkan dalam penelitian ini sebanyak 21 orang untuk
masing masing kelompok umur sehingga total sampel menjadi 42 orang. Sampel penelitian
yang berasal dari instalasi rawat inap sebanyak 25 orang, sedangkan yang berasal dari instalasi
rawat jalan sebanyak 17 orang. Untuk mengekslusi adanya riwayat gangguan kognitif
sebelumnya pada sampel penelitian digunakan Indeks Barthel. Rerata indeks barthel pada
penelitian ini adalah 90.52 (SD=5,6). Berikut ini merupakan tabel karakteristik sampel
penelitian :
5
Tabel 4.1. Karakteristik Sampel Penelitian
Rerata
skor penilaian MMSE sampel adalah 26,5 (SD=1,94). Skor MMSE < 27 pada sampel
sebanyak 20 orang, sedangkan skor MMSE ≥ 27 pada sampel sebanyak 22 orang. Sampel
dengan peningkatkan risiko demensia (Skor MMSE < 23) sebanyak 1 orang. Berikut ini
merupakan tabel skor MMSE pada sampel peneitian :
Tabel 4.2. Nilai MMSE pada Sampel Penelitian
Variabel Penelitian Jumlah Persentase
Usia ≥55 tahun : 21
< 55 tahun : 21
21/42
21/42
Jenis Kelamin Laki Laki : 22
Perempuan : 20
22/42
20/42
Riwayat Hipertensi Memiliki Riwayat Hipertensi: 37
Tidak Memiliki Riwayat Hipertensi: 3
37/42
3/42
Riwayat Diabetes Mellitus Memiliki Riwayat Diabetes mellitus: 5
Tidak memiliki Riwayat Diabetes mellitus: 37
5/42
37/42
Riwayat Hiperkolestrolemia Memiliki Riwayat Hiper kolestrolemia : 4
Tidak memiliki riwayat hiperkolestrolemia : 38
4/42
38/42
Pedidikan terakhir Tamat SMP : 35
Tidak Tamat SMP : 7
35/42
7/42
Lokasi Lesi Kortex + Sub Kortex : 8
Non Kortex : 34
8/42
34/42
Gangguan kognitif Skor MMSE < 27 : 19
Skor MMSE ≥ 27 : 23
19/42
23/42
SKOR MMSE Usia >55 tahun Usia < 55 tahun
22.00 1 0
23.00 1 0
24.00 2 2
25.00 6 0
26.00 5 2
27.00 2 10
28.00 2 3
29.00 1 2
30.00 1 2
Total 42 100.0
6
Usia merupakan variabel yang memiliki perbedaan proporsi yang bermakna dalam
menyebabkan gangguan kognitif (p = 0,001). Hasil analisis menunjukkan bahawa proporsi
gangguan kognitif pada sampel penelitian yang terjadi pada usia ≥ 55 tahun sebesar 17/21,
sedangkan proporsi gangguan kognitif yang terjadi pada sampel penelitian dengan usia < 55
tahun sebesar 4/21. Rasio prevalens (RP) = 3,75 (95% CI = 1,4 sampai dengan 9,4) , yang
berarti pasien SNH dengan usia ≥ 55 tahun memiliki peningkatan risiko 3,75 kali untuk
menderita gangguan kognitif pasca SNH.
Variabel tingkat pendidikan yang diteliti pada penelitian ini dibagi berdasarkan 2
golongan, yaitu individu dengan tingkat pendidikan tamat SMP dan individu dengan tingkat
pendidikan tidak tamat SMP. Hasil penghitungan tidak memenuhi syarat untuk uji Chi- square
, olehkarenanya digunakan uji fisher. Hasil uji fisher didapatkan antara tingkat pendidikan
dengan gangguan kognitif tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang bermakna (p = 0,428).
Nilai RP = 1,7 (95% CI= 0,503 sampai dengan 5,75) yang berarti bahwa pasien stroke non
hemoragik (SNH) dengan tingkat pendidikan tidak tamat SMP belum tentu memiliki resiko
terjadinya gangguan kognitif pasca SNH.
Variabel riwayat Diabetes mellitus (DM) pada penelitian ini tidak menunujukkan
perbedaan proporsi yang bermakna. Hasil uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk
dilakukan, sehingga dilakukan uji fisher, hasil uji fisher antara riwayat DM pada sampel
penelitian dengan gangguan kognitif tidak didapatkan perbedaan proporsi yang bermakna (p =
1,00). RP = 0,871 (95% CI = 0,28 sampai dengan 2,92) yang berarti riwayat DM pada sampel
penelitian belum tentu merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pasca SNH.
Sampel penelitian dengan riwayat DM yang mengalami gangguan kognitif sebanyak 2/5.
Variabel riwayat hiperkolestrolemia pada penelitian ini tidak menunujukkan perbedaan
proporsi yang bermakna. Hasil uji chi-square tidak memenuhi syarat, sehingga dilakukan uji
fisher. Hasil uji fisher antara riwayat hiperolestrolemia pada sampel penelitian dengan
gangguan kognitif tidak didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,393). Nilai RP = 0,37
(95%CI=0,035 sampai dengan 3,88), hal ini berarti riwayat DM pada sampel penelitian belum
tentu merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pasca SNH.
Variabel riwayat hipertensi pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Hasil uji chi-square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan sehingga dilakukan uji
7
fisher. Hasil uji fisher antara riwayat hipertensi pada sampel penelitian dengan gangguan
kognitif tidak didapatkan perbedaan bermakna (p = 1,00). Nilai RP = 1,385 (95% CI=0,27
sampai dengan 7,1). Hal ini berarti riwayat DM pada sampel penelitian belum tentu menjadi
faktor risiko gangguan kognitif pasca SNH.
Variabel lokasi lesi yang diteliti pada penelitian ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
individu dengan lokasi lesi di korteks-subkorteks dan non-korteks. Hasil penghitungan uji Chi-
square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan sehingga dilakukan uji fisher, hasil uji fisher
antara lokasi lesi dengan gangguan kognitif tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p =
1,00). Nilai RP = 1,13 (95%CI =0,271 sampai dengan 5,933). Hal ini berarti lesi kortex dan
subkortex pada penelitian ini belum tentu merupakan faktor risiko gangguan kognitif pasca
SNH.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa insidensi SNH (73,4 %) selama periode
penelitian di RSMS lebih banyak daripada insidensi pasien Stroke Hemoragik (26,6%). Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang telah dilakukan di
Taiwan dilaporkan bahwa insidensi stroke non hemoragik adalah 71%, stroke hemoragik intra
serebral 22%, dan stroke hemoragik subarakhnoid 1%. Sedangkan penelitian pasien stroke di
Hiroshima dan Nagasakhi dilaporkan bahwa stroke non hemoragik 75,5%, stroke hemoragik
intra serebral 17,4% dan stroke hemoragik subarakhnoid 5,3% (Tatemichi, et al, et al, 2004).
Penelitian di Jogjakarta tahun 1997 pada 5 rumah sakit didapatkan stroke non hemoragik
73,9%, stroke hemoragik intra serebral 24,5% dan stroke hemoragik subarakhnoid 1,6%
(Lamsudin,1998).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa rerata usia pada pasien SNH pada penelitian ini
57,9 tahun. Rerata usia tersebut lebih rendah dibandingkan rerata penelitian di Singapura yaitu
sebesar 71,5 tahun, sedangkan rerata usia pasien stroke berdasarkan penelitian di Jepang
sebesar 75 tahun (Tatemichi et al,Sanjiv, 2006). Hasil penelitian ini mendukung pernyataan
YASTROKI (2004), yaitu di Indonesia telah terjadi pergeseran onset SNH pada usia yang
lebih muda. Peningkatan usia merupakan faktor risiko terjadinya SNH, kemunduran sistem
pembuluh darah meningkat seiring bertambahnya umur. Sehingga semakin bertambah umur,
semakin tinggi risiko menderita Stroke (Martini, 2004).
8
Hasil penelitian menunjukkan bahwa insidensi gangguan kognitif pada pasien SNH
sebanyak 19/42. Insidensi gangguan kognitif tersebut lebih kecil dibandingkan insidensi
gangguan kognitif pasca SNH yang telah di teliti di Singapura sebanyak 54,5% dan di RS. Dr.
Soetomo sebanyak 57% (Sanjiv, 2006, Martini, 2004). Akan tetapi insidensi gangguan
kognitif pada penelitian ini lebih banyak daripada penelitian yang telah dilakukan di Jepang
yaitu sebanyak 35% (Tatemichi et al, 2004).
Perbedaan proporsi terjadinya gangguan kognitif menurut usia terjadinya SNH di
RSMS
Penelitian ini meneliti apakah terdapat perbedaan proporsi terjadinya gangguan
kognitif antara usia terjadinya SNH lebih dari 55 tahun dengan usia terjadinya SNH kurang
dari 55 tahun. Hipotesis yang peneliti ajukan adalah terdapat perbedaan bermakna terjadinya
gangguan kognitif antara usia terjadinya stroke lebih dari 55 tahun dan kurang dari 55 tahun
pada pasien stroke non hemoragik. Hasil penelitian menunujukkan perbedaan proporsi hasil
hitung yang berbeda makna secara statistik (p=0,001, RP= 3,75 (95%CI=1,4-9,4) mendukung
hipotesis penelitian. Hasil penelitian ini mendukung hasil peneltian sebelumnya yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan usia terjadinya SNH dengan
gangguan kognitif pada pasien SNH (Martini, 2004, Charles, 2003, Sanjiv,2006, Allan, et al ,
1998). Akan tetapi, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Tatemichi et al, (2004)
dan Ueda et al (1992) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
usia terjadinya SNH dengan gangguan kognitif pasca SNH.
Penelitian ini mendukung teori yang menyatakan usia terjadinya SNH merupakan
faktor risiko terjadinya gangguan kognitif. Menurut Charles (2003), peningkatan usia akan
meningkatkan aktifnya gen gen pemicu apoptosis sel sel hipokampus. Gen tersebut
diantaranya Cerebral autosomal dominant arteriopathy with infarcts and leukoencephalopathy
(CADASIL). SNH dapat menyebabkan terjadinya iskemia pada sel sel otak. Ha ini akan
menyebabkan terjadinya kegagalan pompa NA+, K+ ATP ase, kegagalan pompa akan
menyebabkan peningkatan Ca2+ intra seluler yang menyebabkan peningkatan neurotransmiter
eksitatorik seperti glutamat. Peningkatan neurotransmiter eksitatorik ini terjadi lebih tinggi
pada usia yang lebih tua (Mattson, 2000). Peningkatan pelepasan glutamat menyebabkan
inisiasi apoptosis pada sel sel neuron terutama sel sel hipokampus sehingga menyebabkan
gangguan kognitif (Anand, et al, 2006).
9
Martini (2004), meyatakan bahwa usia terjadinya SNH lebih dari 55 tahun akan
meningkatkan risiko terjadinya gangguan kognitif pasca stroke. Hal ini terjadi karena
peningkatan usia akan menyebabkan berkurangnya anti radikal bebas seperti superoksida
dismutase (SOD) dan glutation hidrogen peroksidase. Iskemia jaringan serebral akan
menyebabkan penigkatan produksi Reactive Oxygen Space (ROS) intra sel. Penurunan
pembentukan enzim anti radikal bebas tersebut menyebakan peningkatan ROS yang akan
menginduksi apoptosis sel sel hipokampus. Peningkatan apoptosis pada sel sel hipokampus
akan menyebabkan terjadinya gangguan kognitif pada pasien SNH (Mattson, 2000)
Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional, metode ini memiliki keterbatasan
diantaranya sulit untuk membedakan yang terjadi lebih dahulu antara efek dan faktor risiko.
Akan tetapi, pada penelitian ini hal tersebut dapat di cegah dengan menggunakan index
barthel. Penggunaan index barthel telah digunakan pada penelitian Martini (2004) dan
Charles (2003), untuk mengetahui adanya gangguan kognitif sebelum serangan stroke.
Penggunaan index barthel dapat mengekslusi adanya gangguan kognitif sebelumnya pada
sampel penelitian sehingga bias seleksi pada sampel penelitian ini dapat dicegah. Penelitian ini
merupakan penelitian yang pertama kali di lakukan di RSMS sehingga hasil dari penelitian ini
dapat menjadi pertimbangan bagi para dokter untuk lebih memperhatikan fungsi kogntif
pasien pasca SNH terutama bagi pasien SNH dengan usia lebih dari 55 tahun.
Pada penelitian ini, tidak terdapat variabel luar yang berpengaruh secara bermakna
terhadap gangguan kognitif pasca SNH. Pada variabel tingkat pendidikan, didapatkan sebesar
28% sampel penelitian dengan tingkat pendidikan tidak tamat SMP mengalami gangguan
kognitif pasca SNH. Pada penelitian ini variabel tingkat pedidikan tamat SMP maupun tingkat
pendidikan tidak tamat SMP didapatkan hasil yang tidak bermakna dalam menyebabkan
gangguan funsgi kognitif pasca SNH (p = 0,428). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Tatemichi et al (2004) dan Supriyatno et al (2001) yang menyatakan bahwa tingkat
pendidikan yang rendah sebagai salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya gangguan
fungsi kogntif pasca SNH.
Pada hasil analisis bivariat terhadap terjadinya gangguan kognitif pasca SNH, pada
sampel penelitian dengan riwayat hipertensi didapatkan hasil yang tidak bermakna (p = 1,00).
Penelitian lain menemukan bahwa hipertensi berperan dalam munculnya gangguan kognitif
pasca SNH dilaporkan oleh Guo et al: Skoog (1996) (p = 0,02) ; Jhonson (1997) (p = 0,01)
10
dan Srikanth et al. (2003) (p = 0,01) menyatakan bahwa hipertensi mempunyai hubungan yang
bermakna dengan timbulnya gangguan kognitif pasca SNH. Akan tetapi, hasil penelitian ini
sama degan penelitian Elby et al (1994), yang melaporkan bahwa hipertensi pada SNH tidak
terbukti berperan secara bermakna (p = 0,14) dalam munculnya gangguan kognitif pasca SNH.
Setyopranoto, Lamsudin & Dahlan (2000); Ueda et al (1992) dan Pohjasvara et al
(1998) melaporkan bahwa diabetes mellitus tidak terbukti secara bermakna mempengaruhi
timbulnya gangguan fungsi kogntif pasca SNH. Pada penelitian ini didapatkan hal yang sama
dengan penelitian tersebut yaitu diabetes mellitus tidak terbukti secara bermakna (p = 1,00)
mempengaruhi timbulnya gangguan fungsi kogntif pasca SNH.
Pada hasil analisis bivariat terhadap kejadian gangguan kognitif pasca SNH, pada
sampel penelitian dengan riwayat hiperkolestrol didapatkan hasil yang tidak bermakna (p =
0,613). Penelitian ini mendukung penelitian oleh Ueda et al (1992) menyatakan bahwa
hiperkolestrol tidak mempunyai hubungan yang bermakna (p = 0,393) dengan timbulnya
gangguan kognitif pasca SNH.
Pada hasil analisis bivariat terhadap gangguan kognitif pasca SNH, pada sampel
penelitian dengan lokasi lesi kortex dan subkortex didapatkan gangguan kognitif sebanyak
50%, akan tetapi nilai P pada variabel lokasi lesi tidak bermakna (p = 1,00). Penelitian ini
berbeda dengan hasil penelitian Tatemichi (2004) yang melaporkan bahwa infark kortex
serebri merupakan faktor risiko yang terbukti berperan secara bermakna (p = 0,05) dalam
munculnya gangguan kognitif pasca SNH. Setyopranoto, Lamsudin & Dahlan (2000) dalam
hipotesisnya menyatakan bahwa pathogenesis munculnya gangguan kognitif pasca SNH dapat
terjadi akibat efek lesi spesifik yang menyebabkan terganggunya transmisi jalur
neurotransmitter terutama neurotransmiter sel hipokampus.
Keterbatasan Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan metode cross sectional, sehingga peneltian ini tidak
dapat menggambarkan perjalanan penyakit dan tidak dapat mengetahui prognosis penyakit.
Penelitian ini mendukung hipotesis bahwa pasien SNH dengan usia lebih dari 55 tahun akan
mengalami gangguan fungsi kogntif. Salah satu teori yang mendasarinya adalah terdapatnya
mutasi gen seperti CADASIL, Penelitian ini tidak memperhitugkan adanya mutasi gen pemicu
apotosis pada lebih dari 55 tahun yang mengalami SNH tersebut secara langsung karena
keterbatasan biaya dan ketersediaan sarana. Penelitian ini tidak bertujuan untuk mengetahui
11
kekuatan hubungan, studi ini hanya bertujuan mengetahui perbedaan proporsi terjadinya
gangguan kognitif pada pasien stroke dengan usia ≥ 55 tahun dibandingkan pasien stroke < 55
tahun. Variabel luar pada penelitian ini tidak dilakukan matching pada variabel luar dan tidak
dilakukan ekslusi pada variabel luar tersebut, akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh
terhadap hasil penelitian karena tidak terdapat variabel luar yang memiliki nilai yang
bermakna (p > 0,05) dalam mempengaruhi terjadinya gangguan kognitif pada pasien SNH.
Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini terdapat perbedaan bermakna terjadinya gangguan
kognitif antara usia terjadinya stroke lebih dari 55 tahun dan kurang dari 55 tahun pada pasien
stroke non hemoragik.Variabel luar pada penelitian ini seperti tingkat pendidikan, riwayat
DM, riwayat Hipertensi, riwayat hiperkolestrol, dan lokasi lesi tidak memiliki perbedaan yang
bermakna secara statistik.
Saran
Peneliti menyarankan bagi para klinisi setiap pasien stroke non hemoragik, hendaknya
dilakukan pemeriksaan sedini mungkin terutama bagi pasien SNH dengan usia lebih dari 55
tahun untuk uji tapis awal terhadap terjadinya gangguan kognitif pasca SNH. Peneliti
menyarankan perlu dilakukan penelitian untuk meneliti variabel lain selain usia yang dapat
menyebabkan terjadinya gangguan fungsi kogntif pasca SNH dengan sampel yang lebih besar
dan dengan analisis multivariat karena pada penelitian ini banyak variabel luar yang
menyatakan hasil yang berlawanan dengan penelitian ini. Penelitian ini dapat menjadi
penelitian pendahuluan untuk peneliti lainnya agar dapat meneliti terjadinya mutasi gen
pemicu apopotosis (CADASIL) sel sel hipokampus yang diduga merupakan penyebab
terjadinya gangguan kognitif pasca SNH.
Daftar Pustaka
Allan H., Martin., Charles., & Keith A. 1998. The relationship between intellectual impairment and mood disorder in the first year after stroke. Psychological Medicine. 20: 805-814.
Astarin A. 2009. Prevalensi demensia pada pasien stroke di RSMS. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Ilmu Kesehatan Jurusan Kedokteran Univeritas Jenderal Soedirman. 58 Hal. (Tidak dipublikasikan).
Charles D. 2003. Mild kognitif impairment: prevalence, prognosis, aetiology, and treatment. Lancet Neurology. 2: 15–21.
12
Dahlan P .1999. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia, Berkala Neuro Sains, 1(1):39-43.
Elby., Parhad., Hogan., Fung., Bowler., Jacova. 1994. Prevalence and types dementia in the very old. Neurology. 44 : 593-600
Kanaya AM & Elizabeth B. 2004. Changes in kognitif function by glucose tolerance status in older adults a 4 year, Prospective Study of the Rancho Bernardo study cohort, AIM. 164:1327-1333.
Kaplan, Harold., Benyamin,Js & Jack A.G. 1997. Sinoposis psikiatri. Binarupa Aksara :Grogol
Lamsudin. R. 1998. Profil stroke di Yogyakarta.Morbiditas, mortalitas dan faktor risiko stroke. Berita kedokteran masyarakat. 24:9-13
Low L.F., Brodaty H., Edwards R., Kochan N., Draper B., Trollor J., Sachdev P. 2004.The prevalence of ‘ kognitif impairment no dementia’ in community dwelling elderly : a pilot study. Australian and New Zealand Journal of Psychaitry .38 : 725-30
Martíni S. 2004. Factor risiko Gangguan Kognitif pasca stroke. Berita kesehatan masyarakat XVIII (4).
Mitchel & Elkind. 2003. Stroke in the elderly. The Mount Sinai Journal of Medicine. 70 :1Mursyid B. 2009. Primary and Comprehensive Stroke Centers. Tersedia dalam :
http://www.aan.com/globals/axon/assets/6849.pdf [diakses tanggal : 3 November 2010Pohjasvaara T., R. Vataja., A. Leppavuori., M. Kaste., & T. Erkinjuntti. 2002. Kognitif
functions and depression as predictors of poor outcome 15 months after stroke. Cerebrovascular Diseases. 14: 228-233.
Riset Kesehatan Dasar. 2007. Prevalensi Stroke di Indoesia. Tersedia dalam : www.riskesdas.litbang.depkes.go.id [diakses pada tanggal : 3 November 2010]
Sanjiv K.S. 2006. Prevalence and Correlates of Kognitif Impairment inStroke Patients in a Rehabilitation Setting. IJOPR. 10 (2) 37-47.
Setyopranoto, Ismail, Lamsudin R, Dahlan P, 2000. Peranan stroke iskemik akut terhadap timbulnya gangguan kognitif di RSUP SARDJITO YOGYAKARTA. Laporan penelitian Universitas Gajah mada.
Srikanth., Amanda G., Thrift., Michael M. Saling., Jacqueline F.I. Anderson., Helen M. Dewey.,Richard A.L. Macdonell.,Geoffrey A. Donnan.,. 2003. Increased Risk of Kognitif Impairment 3 Months After Mild to Moderate First-Ever Stroke. Stroke 34 : 1136-1143.
Sudigdo S. 2005. Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Jakarta : EGCSupriyatno., Lamsudin., Sastro.,Nuradyo., Sano., Wiyono. 2001. Hubungan Storke infark
dengan demensia vaskuler. Berita Kedokteran Masyarakat, 25 : 15-25Suwono W.J. 2003 . Demensia suatu pendeteksian dini dan terapinya, Majalah kedokteran
Atmajaya, 2(1):39-49.Tatemichi T.K., Desmond DW., Stern Y., Paik M., Sano M., Bagiella E., 2004. Cognitive
impairment after stroke: frequency, patterns, and relationship to functional abilities. JNNP. 57(2): 202-207.
13
Ueda., Kawano, Fusjisima., Nakano., Yamada., & Makoto. 1992. Prevalence and Etiology dementia in japaneshe community. Stroke . 23 (6) : 798-803
Yayasan Stroke Indonesia.2004. Penanganan stroke di Indonesia. Tersedia dalam http://www.yastroki.or.id. Diakses tanggal : 20 Juni 2010.