Artikel Fix

34
Pendahuluan Identifikasi personal merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelusuri dan mengetahui asal-usul atau identitas dari seseorang. Terdapat banyak alasan medikolegal mengenai tujuan dilakukannya identifikasi personal pada seseorang yang masih hidup maupun sudah mati. Kebutuhan untuk dilakukannya identifikasi personal meningkat terutama pada bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dll. Selain itu, bencana yang ditimbulkan oleh manusia seperti serangan teroris, ledakan bom, pembunuhan masal, dan ketika tubuh seseorang terlalu membusuk atau tercerai berai untuk dapat dikenali; juga memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi personal demi mengungkap identitas-identitas korban (Modi, 2011 dalam Kanchan dan Krishan, 2013). Selain itu, identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya (Singh, 2008). Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala- kendalanya oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis (Prawestiningtyas dan Agus, 2009). Adanya perkembangan ilmu

description

fix

Transcript of Artikel Fix

Pendahuluan

Identifikasi personal merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menelusuri dan mengetahui asal-usul atau identitas dari seseorang. Terdapat banyak alasan medikolegal mengenai tujuan dilakukannya identifikasi personal pada seseorang yang masih hidup maupun sudah mati. Kebutuhan untuk dilakukannya identifikasi personal meningkat terutama pada bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, dll. Selain itu, bencana yang ditimbulkan oleh manusia seperti serangan teroris, ledakan bom, pembunuhan masal, dan ketika tubuh seseorang terlalu membusuk atau tercerai berai untuk dapat dikenali; juga memungkinkan untuk dilakukannya identifikasi personal demi mengungkap identitas-identitas korban (Modi, 2011 dalam Kanchan dan Krishan, 2013). Selain itu, identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya (Singh, 2008).

Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh karena perubahan-perubahan yang terjadi secara biologis pada seseorang dengan bertambahnya usia selain kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis (Prawestiningtyas dan Agus, 2009). Adanya perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai identifikasi medik (Chairani dan Elza, 2008).

Proses identifikasi merupakan hal yang cukup kompleks dan untuk mendapatkan identifikasi positif dari seseorang maka harus didukung sejumlah data-data dari berbagai metode identifikasi seperti metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologi, dan secara eksklusi serta metode identifikasi DNA (Singh, 2008). Prinsip dari proses identifikasi yaitu dengan membandingkan data-data tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya. Identifikasi personal korban merupakan salah satu bagian penting pemberitaan Visum et Repertum, khususnya korban yang belum teridentifikasi. Terdapat dua kategori pengidentifikasian personal yaitu, pengidentifikasi primer dan pengidentifikasi sekunder. Pengidentifikasi primer meliputi sidik jari, sidik DNA, dan karakteristik gigi geligi. Sedangkan karakteristik anthropology, perhiasan-pakaian, dan data rekam medis korban merupakan pengidentifikasian sekunder. Jenazah dinyatakan teridentifikasi jika terdapat kecocokan minimal satu pengidentifikasi primer atau terdapat kecocokan minimal dua pengidentifikasi sekunder dengan data-data antemortem korban (Syamsun, 2014). Data gigi, sidik jari, atau DNA secara tersendiri sudah dapat digunakan sebagai faktor determinan primer, sedangkan data medis, properti dan ciri fisik harus dikombinasikan setidaknya dua jenis untuk dianggap sebagai ciri identitas yang pasti (Apuranto, H. dan Hoediyanto (eds), 2007).

Identifikasi personal pada individu yang masih hidup dilakukan apabila mereka mengalami koma, amnesia, kelainan mental atau bawaan, atau bahkan barrier bahasa yang tidak memungkinkan mereka untuk memberika informasi mengenai identitasnya. Secara alternatif, seseorang juga dapat memberikan keterangan palsu mengenai identitasnya, oleh karena itu, tindakan identifikasi personal dapat dilakukan untuk memastikan kebenaran (Payne-James, et al., 2011).

Identifikasi personal memiliki peran yang sangat penting dalam mengidentifikasi identitas dari mayat korban bencana alam maupun tindak kekejaman manusia. Ketika tubuh ditemukan sudah mengalami dekomposisi atau menjadi tulang belulang, hampir tidak mungkin didapatkan hasil identifikasi visual. Dalam beberapa kasus pembunuhan, tubuh sang korban ditemukan dalam kondisi yang sangat parah (misalnya dimutilasi) atau dikubur sampai saat post-mortem, sehingga perlu dilakukan identifikasi personal (Wyatt, et al., 2011).

Identitas tidak dapat diketahui dengan menggunakan pengukuran sederhana dari beberapa paremeter tubuh saja. Hal tersebut hanya dapat diungkap dengan menyocokkan parameter yang dapat dilihat atau diukur dari seorang individu dengan parameter yang terdapat atau ditemukan pada tubuh korban. Penemuan suatu karakteristik yang spesifik yang hanya dimiliki oleh satu individual berarti besar untuk menentukan hasil identifikasi (Payne-James, et al., 2011).

Untuk mengidentifikasi seseorang, baik dalam keadaan hidup maupun mati, tinggi badan, berat badan, dan fisik umum perlu direkam dan dibandingkan. Warna dan panjang rambut, apakah rambut tersebut di-bleaching atau diwarnai, apakah terdapat janggut atau kumis, distribusi rambut di seluruh tubuh termasuk area-area yang biasa dicukur; semua hal tersebut harus diperiksa. Pigmentasi warna kulit, penampakan karakteristik khas dari ras dan etnis yang dapat ditemukan dari individu tersebut seperti ukuran cuping hidung, dll juga harus dicatat. Warna mata dapat berguna untuk mengidentifikasi ras Kaukasia tetapi tidak dapat banyak membantu untuk ras Negroid atau Mongoloid, karena secara umum kedua ras tersebut memiliki warna iris coklat. Tetapi, untuk mengidentifikasi ras Kaukasia yang telah meninggal, diperlukan ketelitian yang lebih untuk mengidentifikasi warna iris matanya karena perubahan post-mortem dapat menggelapkan warna iris yang kebiruan atau kehijauan sehingga tampak berwarna coklat dalam beberapa hari (Payne-James, et al., 2011).

Semua pakaian, perhiasan, dan ornament lainnya dari seseorang yang akan diidentifikasi harus terekam dan difoto karena hal-hal tersebut dapat memberikan informasi yang berguna terkait jenis kelamin, ras, bahkan pekerjaan dan status sosial dari individu tersebut. Tato, luka operasi, luka lama, kelainan kongenital, sirkumsisi, tahi lalat, dan berbagai tampakan yang ditemukan di kulit harus direkam dengan baik dan apabila tampak khas atau unik, sebaiknya difoto karena kerabat orang tersebut atau dokter mungkin akan dapat langsung mengenalinya dari ciri-ciri khas itu (Payne-James, et al., 2011).

Umur dari orang yang masih hidup maupun yang sudah mati dapat ditelusuri dari penampilannya secara umum, misalnya dengan rambut abu atau putih, terdapat arcus senilis di sekitar iris mata, dan adanya kerutan di kulitnya. Pada usia lanjut, adanya penampakan seperti senile hyperkeratosis dan perubahan arthritis dapat menjadi indikator. Untuk usia muda, adanya erupsi gigi biasanya menjadi indikator yang cukup akurat. Untuk melihat pusat osifikasi pada tulang dan penyatuan epifiseal dapat melalui x-ray atau divisualisasikan di mayat. Selain itu, dapat juga digunakan MRI (Magnetic Resonance Imaging) (Payne-James, et al., 2011).

Terkadang dokter juga akan diminta untuk menyertai pemeriksaan sidik jari pada seorang individu, meskipun biasanya polisi yang bertugas untuk melakukannya. Untuk merestorasi sidik jari dari tubuh yang telah mengalami dekomposisi atau rusak, biasanya akan diperlukan seorang ahli untuk mengidentifikasinya. Sidik jari mungkin akan lebih sering ditemukan pada kulit yang telah mengalami deskuamasi atau dari epidermis bagian bawah yang diambil setelah mengangkat stratum corneum (apabila tubuh ditemukan telah lama terendam dalam air) (Payne-James, et al., 2011).

Pada awalnya, pengetahuan mengenai identifikasi berkembang karena kebutuhan dalam proses penyidikan suatu tindak pidana khususnya untuk menandai ciri pelaku tindak kriminal, namun adanya perkembangan masalah-masalah sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan maka identifikasi dimanfaatkan juga untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan kesejahteraan umat manusia (Prawestiningtyas dan Agus, 2009). Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), namun saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dapat dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan (Wyatt, 2011).

Metode Identifikasi Personal

Pemeriksaan Dokumen

Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, Paspor dan sebagainya) yang kebetulan dijumpai dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. Perlu diingat juga, misalnya pada kecelakaan masal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada didekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan (Apuranto dan Hoediyanto (eds), 2007).

Contohnya pada kasus yang terjadi merupakan tindak pidana pemalsuan surat barang bukti yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

a. Alat tulis menulis

b. Bekas-bekas kertas korban

c. Klise-klise untuk cetakan

d. Tinta-tinta, kanvas

e. Dokumen atau surat berharga

f. Contoh-contoh tanda tangan

g. Cap-cap palsu (stempel)

h. Alat-alat cetak, dsb.

Semua dokumen yang ada hubungannya dengan tindak pidana dan yang disita harus dijaga keasliannya. Jangan sampai terjadi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat kecerobohan cara mengambil, mengumpulkan dan menyimpan.

a. Lipatlah sesuai dengan lipatan aslinya.

b. Jangan mengadaka coret-coretan pada dokumen tersebut.

c. Jika hendak memberi tanda pada sampul dimana dokumen tersebut disimpan, simpan pada sampul/amplop, kemudian bungkus, diikat, label dan segel (Apuranto dan Hoediyanto (eds), 2007.

Identifikasi Visual

Metode ini dilakukan dengan memperhatikan dengan cermat atas korban, terutama wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya, maka jati diri korban akan diketahui. Walaupun metode ini sederhana, metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll) ().

Selain itu juga perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Selain itu juga perlu diingat bahwa manusia itu mudah terpengaruh oleh sugesti, khususnya sugesti dari pihak penyidik ().

Identifikasi Orang Mati/Sisa-sisa Manusia

Identifikasi pada korban mati dapat dilakukan terhadap:

Jenazah yang masih utuh dan baru

Jenazah yang sudah membusuk, utuh maupun tidah utuh

Bagian-bagian dari tubuh jenazah atau kerangka

Identifikasi jenazah/sisa-sisa manusia/potongan/kerangka adalah tugas kedokteran forensik pemeriksaan pada identifikasi jenazah yang meliputi:

A. Umum:

1. Penentuan kerangka manusia atau bukan

2. Penentuan jumlah korban

3. Penentuan jenis kelamin

4. Perkiraan tinggi badan

5. Penentuan Ras

B. Khusus:

1. Pemeriksaan sidik jari

2. Pemeriksaan golongan darah

3. Tanda-tanda pekerjaan/kebiasaan

4. Gigi-geligi

5. Warna kulit, mata, rambut

6. Benda-benda milik pribadi

7. Tatto, cacat, dan kelainan bawaan (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007)

Identifikasi Potongan Tubuh Manusia (Kasus Mutilasi)

Pada beberapa kasus pembunuhan khususnya dimana motif seksual yang menjadi dasar dalam tindakan kejahatan tersebut tidak jarang tubuh korban setelah meninggal dunia dirusak, dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Tidakan tersebut dikenal dengan sebutan mutilasi.

Bila motif seksual yang menyebabkan korban dibunuh, maka pemotongan tersebut biasanya pada daerah genitalia, buah dada, dan kepala serta pengirisan pada bagian tubuh lainnya. Mutilasi serta perusakan tubuh korban yang telah menjadi mayat dimaksudkan pula untuk menghilangkan identitas korban, dengan demikian penyidikan akan menjadi sulit, dan tindakan tersebut memang ditujan untuk menghilangkan jejak si pembunuh.

Dalam kasus mutilasi terdapat 4 masalah pokok yang harus diperoleh kejelasannya baik bagi dokter yang membuat Visum et Repertum dan khususnya bagi penyidik dalam usaha untuk mendapatkan kelengkapan barang bukti sehingga prosos penyidikan dan peradilan dapat berjalan dengan lancar. Masalah pokok tersebut adalah:

1. Apakah bagian-bagian tubuh itu memang berasal dari tubuh manusia?

2. Jika bagian-bagian tubuh tersebut memang berasal dari manusia, apakah berasal dari orang yang sama/satu individu?

3. Identitasnya?

4. Apa yang menyebabkan kematiannya?

Untuk itu perlunya pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui jawaban dari masalah-masalah pokok tersebut (Indries Abdul Munim et al, 2011).

Penentuan juga meliputi jenis kelamin, ras, umur, tinggi badan, dan keterangan lain seperti cacat tubuh, penyakit yang pernah diderita, status sosial ekonomi, kebiasaan-kebiasaan tertentu dan sebagainya serta cara pemotongan tubuh yang mengalami mutilasi. Untuk memastikan potongan tubuh berasal dari manusia dapat digunakan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan jaringan secara makroskopik, mikroskopik, dan pemeriksaan serologik berupa reaksi antigen-antibodi (reaksi presipitin). Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan pemeriksaan makroskopik dan diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopik yang bertujuan menemukan kromatin seks wanita seperti drum stick pada leukosit dan Barr body pada sel epitel (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

A.1. Menentukan Manusia atau Bukan

Bila bukti cukup banyak maka tidak menimbulkan kesukaran, namun untuk membuktikan bahwa sisa-sisa korban atau kerangka adalah manusia, diperlukan penyelidikan terhadap segala benda-benda yang dijumpai untuk kemudian di kumpulkan dan diperiksa.

Kesulitan akan timbul apabila korban tidak utuh. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan anatomi, dimana seorang ahli anatomi yang terlatih biasa dapat mengidentifikasikan sebagian dari tulang/organ. Fragmen yang tidak mungkin diidentifikasi secara anatomi dapat diidentifikasi dengan cara beberapa pemeriksaan antara lain (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007):

Pemeriksaan histologis (mikroskopis) : dilihat jumlah dan diameter kanal-kanal Havers

Tes Precipitin (serologis)

Tes ini sangat peka, diperlukan hanya sedikit jaringan untuk pemeriksaan. Tes ini berdasarkan ikatan Antigen-Antibodi yang membentuk presipitat putih (awan).

Untuk melakukan Uji Precipitin terlebih dahulu harus dibuat serum anti-manusia (human anti serum), sebagai berikut:

Darah manusia disuntikan pada kelinci, dengan demikian kelinci tersebut akan membentuk antibody yang akan bereaksi menetralisisr darah manusia. Darah kelinci keludian diambil dan serum yang mengandung antibody diisolir untuk pemeriksaan, serum tersebut adalah serum anti-manusia.

Dengan demikian Uji Precipitin adalah uji yang spesifik untuk menentukan spesies, apakah bercak yang diperiksa itu berasal dari darah manusia, anjing, kucing, dan lain-lain. Akan tetapi pembuatan serum anti-manusia tersebut cukup sulit.

Cara Pemeriksaan:

Satu gram darah kering atau 1 cm2 bercak diekstraksi dengan larutan garam fisiologis (1 ml larutan dengan pH 7).

Serum anti-manusia dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan ekstrak yang telah dibuat. Hasil positif akan diketahui dengan terbentuknya presipitasi di antara serum anti-manusia dan ekstrak, presipitat yang terbentuk tampak sebagai daerah yang keruh.

Uji precipitin ini merupakan uji yang sangat sensitif, hanya membutuhkan sedikit darah. Darah manusia yang kering dan berumur 10-15 tahun akan tetap memberikan hasil yang positif, bahkan ekstrak jaringan yang diambil dari yang berumur 4000-5000 tahun juga memberikan hasil yang positif (Indries Abdul Munim et al, 2011).

Tes Inhibisi Anti-globulin

Cara ini menggunakan metode indirect. Di dalam jaringan/bercak darah yang kering sel-selnya pecah sehingga tidak mungkin untuk memperhatikan aglutinasi. Antigen-antigennya tidak hilang tetapi disebarkan ke seluruh jaringan/bercak tersebut. Apabila antigen bereaksi dengan antibody yang berlawana dengan yang antigennya yang lebih banyak maka antibody akan diserap dan tidak ada lagi, sehingga tidak terjadi aglutinasi (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

A.2. Menentukan Jumlah Korban

Seringkali dalam kecelakaan pesawat udara atau kereta api timbul kesulitan tidak hanya dalam hal identifikasi siapa korban-korbannya, tetapi juga berapa sebenarnya jumlah korban, sebab biasanya korban banyak yang sudah hancur. Tidak boleh dilupakan untuk mengamankan semua sisa-sisa jaringan atau kerangka yang ditemukan di tempat kejadian. Beberapa parameter untuk mengidentifikasikan adnya korban lebih dari satu adalah:

1. Ada tidaknya duplikasi dari tulang sejenis

2. Perbedaan yang jelas dari ukurannya

3. Perbedaan usia tulang

4. Asimetris

5. Kontur sendi tidak sama

6. X-ray trabecular pattern yang tidak sama

7. Perlekatan otot tidak sama (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007)

A.3. Menentukan Jenis Kelamin Dari Kerangka

A.4. Menentukan Tinggi Badan Pada Pemeriksaan Kerangka

A.5. Penentuan Umur Pada Pemeriksaan Kerangka

A.6. Menentukan Ras Pada Pemeriksaan Kerangka

A.7. Menentukan Berapa Lama Kerangka Dikubur

B.Tanda-tanda Khusus/Ciri-ciri Perorangan

1. Pemeriksaan Sidik Jari

2. Pemeriksaan Golongan darah (Serologi)

Dasar dari pemeriksaan forensik dari golongan darah adalah tiap-tiap orang akan mempunyai satu dari empat golongan darah primer (phenotype): O, A, B, AB sebagai manifestasi dari apakah sel darahnya mempunyai atau tidak mempunyai aglutinogen. Kenyataan bahwa tiap-tiap orang termasuk suatu golongan darah tertentu adalah suatu sifat yang kekal, dan tidak dapat diubah baik oleh waktu maupun oleh penyakit.

Hal yang menarik lainnya adalah ditemukannya bahwa kira-kira 75% dari manusia mengeluarkan sekret water soluble group substance yang identik dengan golongan darahnya dalam saliva, keringat, semen, gastrik, dan cairan tubuh lainnya.

Pada korban yang masih segar prinsip pemeriksaan golongan darah meliputi:

1. Golongan darah bila antigenpada sel darah merah:

Tes Aglutinasi dalam garam faali

Tes Aglutinasi dalam albumin

Tes anti human globulin (comb test)

2. Golongan darah bila antigen dalam serum:

Antihuman globulin (hemm test)

Elektrophorese

Isoelektrissche Fokusierung (IEF)

3. Golongan darah bila antigen dalam enzim di dalam sel darah merah:

Elektrophorese

Isoelektrissche Fokusierung (IEF)

4. Golongan darah bila antigen dalam sel darah putih:

Lympho zytotoxizitat test

Leuko zytenagglutinations test

Pemeriksaan Darah melalui 3 fase:

a. Fase I:

Golongan darah yang etrdapat pada dinding sel darah merah:

ABO

Rh

MNSs

Kell

Duffy

P, dll

Kemudian golongan darah yang berbeda yang berada dalam serum dan enzim:

Gm (Gammaglobulin)

ADA (Adenosindesaminase)

Hp dan AEP (Haptoglobulin dan Acis Erytrisit Pospatase), dll

b. Fase II:

Golongan darah yang berbeda pada sel darah putih:

HLA (Human Leucocyte Antigen) A, B, C, D

c. Fase III:

DNA-finger printing

Kesulitan akan timbul bila bercak darah yang harus ditentukan golongan darahnya sudah kering. Untuk bercak darah seperti ini penentuan golongan darahnya dikelompokkan dalam dried blood stain methods. Ada beberapa cara dan teknik yaitu:

a. Absorption-elution teknik

b. Absorption-inhibition teknik

Telah dikembangkan pemeriksaan genotipe ABO dengan PCR (polymerase chain reaction). Sistem ini di level genomic DNA. Pada nucleotida 258 dan 700 dari cDNA dengan enzim transferase dapat digunakan untuk membedakan allela A, allela B, dan allela O. Untuk identifikasi nukleotida 258, fragmen DNA 199-200 bp diamplified (perbanyak) dengan PCR dan dengan menggunakan enzim Kpn I. Untuk nukleotida 700, fragmen DNA 128 bp yang diamplified dan dengan enzim Alu I (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

3. Tanda-tanda pekerjaan/kebiasaan

Akibat dari kebiasaan/pekerjaan maka seseorang kadang-kadang dapat ditemukan kelainan yang dapat dipakai untik identifikasi, misalnya:

Morphinis: banyak cicatriks bekas suntikan

Perokok: ujing jari kuning, gigi kehitaman

Pemikul/kuli: kulit bahu menebal/hiperkeratosis

Tukang roti: sissa tepung dibawah kuku (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007)

4. Gigi-geligi

5. Warna kulit, mata dan rambut

Bila polisi menemukan sepotong kulit, ini dapat dicocokkan dengan bentuk luka dan warna kulit tersangka. Misalnya pada susatu kasus tabrak lari dimana tersangka ditemukan potongan kulit, yang cocok dikulit korban baik ukuran maupun warnanya. Demikian juga warna iris pada mata, hanya harus diingat bahwa proses pembusukan dapat merubah warna iris menjadi coklat kehijauan. Kadang warna mata kanan dan kiri memang tidak sama, ini berguna untuk identifikasi.

Selain itu rambut juga bisa digunakan untuk identifikasi. Pada rambut dilakukan pemeriksaan yang meliputi makroskopis dan mikrokospis. Pada mikroskopis perlu dibuat sediaan sebagai berikut: rambut dibersihkan dengan air, alkohol dan eter, kemudian letakkan pada gelas objek, tetesi gliserin dan tutup dengan gelas penutup. Dengan cara ini dapat dilihat gambaran medulla rambut dengan menggunakan mikroskop. Untuk melihat pola sisik dari rambut secara mikroskopis, dibuat cetakan rambut tersebut pada sehelai film selulosa dengan meneteskan asam asetat glasial, lalu letakkan rambut yang telah dibersihkan diatasnya dan ditekan menggunakan gelas objek.

Secara umum pemeriksaan rambut atau dugaan rambut baik mikros maupun makros meliputi:

a. Apakah rambut atau bukan

b. Rambut manusia atau bukan

Diameter 50-150 mikron dengan kutikula pipih pada manusia, sedangkan rambut hewan berdiameter 300 mikron dengan kutikula kasar dan menonjol. Pigmen rambut pada manusia sedikit dan terpisah-pisah, hewan padat dan tidak terpisah.

c. Rambut dari bagian tubuh mana

Asal tumbuhnya: kepala, alis bulu mata, bulu hidung, kumis, jenggot, dan ketiak.

Rambut kepala: kasar, lemas, dan panjang penampang melintang yang berbentuk bulat.

Alis, bulu mata, bulu hidung : relatif kasar, rambut badan halus dan pendek.

Rambut kemaluan dan ketiak: lebih kasar, rambut badan halus dan pendek.

d. Warna, bentuk, penampang

e. Rambut tercabut paksa atau rontok atau terpotong

f. Panjang rambut

g. Ukuran diameter (dalam mikron)

h. Sifat cuticula, cortex, medulla dan ujung rambut

i. Rambut dicat atau tidak

Selain itu rambut dapat sebagai penentu jenis kelamin. Pada rambut dilakukan pemeriksaan terhadap sel-sel sarung akar rambut dengan larutan orcein. Pada rambut wanita dapat ditentukan adanya kromatin seks pada inti sel-sel tersebut. Dan penentuan substansi golongan darah dari rambut dapat dilakukan dengan metode absorpsi-elution. Dengan metode ini dapat ditentukan golongan darah individu yang bersangkutan(Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

6. Benda-benda milik pribadi

Yang penting antara lain: KTP, SIM, tanda pangkat, foto, cincin kawin, pakaian atau robekan kain korban (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas. Dokumen yang ada di dalam saku seorang laki-laki lebih bermakna bila dibandingkan dengan dokumen yang ada dalam tas seorang wanita, terutama pada kasus kecelakaan massal sehingga tas yang dipegang dapat terlempar dan sampai kedekat tubuh wanita lainnya (buku hitam). Sehingga perlu diingat bahwa pada kecelakaan massal, dokumen yang terdapat dalam tas atau dompet yang berada dekat jenazah belum tentu adalah milik jenazah yang bersangkutan (buku UI).

Perhiasan merupakan metode identifikasi yang baik, walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Inisial yang terdapat pada cincin dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat diketahui pula identitas korban.

Pencatatan yang baik dan teliti dari pakaian yang dikenakan korban seperti model, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu dapat merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Walaupun pakaian yang diperlihatkan kepada pihak keluarga hanya sebagian saja akan tetapi sering memberikan hasil seperti apa yang dikehendaki, terutama bila dibandingkan dengan memperlihatkan perhiasan yang lengkap, lebih-lebih bila perhiasan memiliki nilai tinggi (Indries Abdul Munim et al, 2011).

7. Tattoo, cacad, dan kelainan bawaan

Dari tattoo dapat diperiksa antara lain tulisan, gambaran, warna, lokasinya yang membantu identitas korban. Bekas patah tulang, punggung bongkok, kaki diamputasi, bibir sumbing, polydactili, nevus merupakan cacad atau kelainan bawaan yang dapat membantu identifikasi korban (Kusuma M. Soekry Erfan et al, 2007).

Identifikasi Sidik Jari/Fingerprints

Merupakan salah satu metode identifikasi yang dapat menentukan secara pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda walaupun pada kasus kembar identik. Telah dihitung bahwa kemungkinan ada sidik jari yang identik di dua orang adalah sekitar satu dalam 64 miliar. Keterbatasan dalam penggunaan metode ini adalah cepat rusak atau membusuknya tubuh. Penggunaan sidik jari untuk menentukan identitas seseorang tentunya baru dapat bila orang tersebut sebelumnya sudah diambil sidik jarinya (ada datanya) (Idries dan Tjiptomarnoto, 2011).

Akan tetapi, walaupun datanya tidak ada pengambilan sidik jari pada korban tetap bermanfaat yaitudengan membandingkan sidik jari yang mungkin tertinggal pada alat-alat yang di rumah korban (latent print); sedangkan pada kasus pembunuhan latent print yang ada pada senjata dapat membuat si pelaku kejahatan tidak dapat mungkir atau mengelak dari tuduhan bahwa ia telah melakukan pembunuhan (Idries dan Tjiptomarnoto, 2011).

Dalam buku forensik yang lain juga dijelaskan bahwa metode ini membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan sidik jari antemortem. Sampai saat ini pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yag diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantung plastik (Forensik FK Unair).

Sidik jari merupakan jejas yang ditimbulkan oleh impressi dari tonjolan papiler jari-jari. Secara teknis disebut dactyloscopy. Sidik jari digunakan sebagai identifikasi dengan sidik jari baru secara praktis dimulai tahun 1880 oleh Henry F. dan F Gulton. Dalam penelitian yang dilakukan, mereka meletakkan dua dasar dari identifikasi dengan sidik jari yaitu :

1. Susunan dari tonjolan-tonjolan papiler pada setiap jari orang adalah berbeda

2. Susunan tersebut tetap, tidak berubah sepanjang hidup seseorang

Meskipun sidik jari seseorang tidak berubah sepanjang hidupnya, tetapi dapat terganggu oleh adanya jaringan parut akibat suatu penyakit atau karena trauma. Meskipun kulit ari sudah hilang karena pembusukan, sidik jari masih bisa didapat dari garis-garis yang ada di dermis (Forensik FK Unair). Klasifikasi primer sidik jari adalah berdasarkan susunan dari garis-garis kulit. Ada empat tipe primer, yaitu :

1. Arch (Busur)

2. Loop (Sangkutan)

sangkutan ulnar (Ulnar loop)

sangkutan radial (Radial loop)

3. Whorl (lingkaran)

a. Lingkaran :

Bulat penuh

Bulat panjang

Pilin tunggal : - putaran kiri - putaran kanan

Pilin rangkap

b. Saku sisi

c. Sagkutan kembar

d. Saku dalam

e. Gambaran luar biasa (campuran)

4. Composite

Nama bagian penting dari macam-macam sidik jari :

Delta

Lengan bawah delta

Lengan atas delta

Garis papilar pusat

Apabila kulit sudah kering dan mengelupas dapat memakai vaselin yang digosokkan untuk melembutkan kulit, kemudian dicuci dan disuntikkan paraffin supaya kulit yang keriput menjadi tegang lagi. Pada korban tenggelam untuk mendapatkan sidik jari yang baik, yaitu ujung jari direndam kira-kira 15 jam dalam campuran: Formaldehyd 40% 20 cc, glycerin 60 cc, alcohol 90%, Sod.Bichromate 1% 100 cc dan H2O 600 cc (Forensik FK Unair).

Untuk membandingkan sidik jari, sebaiknya dilakukan pemotretan dan diperbesar. Ada 16-20 titik yang harus dibandingkan , minimal 12 titik sama (Forensik FK Unair).

Identifikasi Berdasarkan DNA (Deoxyribonucleic Acid)

DNA adalah salah satu bahan yang terpercaya yang dapat digunakan untuk identifikasi, karena DNA merupakan hal yang sangat signifikan yang dimilki setiap orang yang dapat memberikan informasi genetik.Tes DNA bisa dilakukan meskipun keadaan korban sudah membusuk.Pencocokan DNA adalah jalan terbaik untuk megidentifikasi bagian-bagian tubuh.Pencocokan DNA merupakan metode yang paling sahih diantara sidik jari dan gigi ().

Prinsip dari proses identifikasi adalah mudah yaitu dengan membandingkan data- data tersangka korban dengan data dari korban yang tak dikenal, semakin banyak kecocokan semakin tinggi nilainya.Untuk melakukan analisis DNA kita membutuhkan sampel dari keseluruhan tubuh ataupun dari bagian-bagian tubuh dan sampel referensi. Sampel kemudian dikirim ke laboratorium dan dianalisis sesuai standar internasional dan sampel akan dicocokkan dengan sampel referensi. Pengambilan sampel dilakukan di tkp dan atau saat autopsi untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium forensik. Bahan/sampel DNA dapat diambil dari seluruh tubuh/bagian tubuh ().

Jenis-jenis sampel:

a.sidik jari

b.cairan tubuh: darah, air liur, cairan lambung, vagina, sperma, dll

c.jaringan tubuh: kuku,rambut, dsb

d.sample bagian organ tubuh: jantung, otak, ginjal, liver, paru-paru

Khusus untuk sampel darah, dapat dilakukan pemeriksaan DNA, pemeriksaan darah, dan golongan darah. Bahan sample darah juga diperiksakan di laboratorium forensik untuk mengetahui penyebab dan jenis racun dalam kasus keracunan, juga dapat mengetahui penyebab kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengaruh minuman keras maupun narkotika.

Identifikasi Odontologi (Pemeriksaan Gigi)

Cara alternatif yang digunakan untuk melakukan identifikasi forensik adalah identifikasi melalui gigi geligi dengan melakukan pencocokan dental records. Forensik odontologi ini merupakan salah satu metode penentuan identitas individu. Pada beberapa jurnal telah dikatakan bahwa metode identifikasi melalui gigi geligi ini terbukti cepat, akurat dan tidak memakan biaya yang besar terutama pada kasus yang memakan korban banyak dan keadaan korban yang telah mengalami kerusakan parah pada tubuhnya terutama wajah dan sidik jari. Keunggulan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar (Prawestiningtyas dan Algozi, 2009).

Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah sebagai berikut :

1) Gigi geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis dan morphologis mempunyai letak yang terlindungi dari otot-otot bibir dan pipi sehingga apabila trauma mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu.

2) Gigi geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik, biarpun dikubur umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).

3) Gigi geligi di dunia ini tidak ada yang sama kerena kemungkinan sama satu banding dua milyar.

4) Gigi geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau berubah maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras mempunyai ciri yang berbeda.

5) Gigi geligi tahan panas, apabila terbakar sampai 400 derajat celcius gigi tidak akan hancur terbukti pada peristiwa Parkman yaitu seorang dokter dari Aberdeen dibunuh oleh Professor JW Webster. Pada kasus ini korban dibunuh, lalu tubuhnya dipotong-potong lalu dibakar di perapian, tetapi giginya masih utuh.

6) Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya memakai gigi palsu dengan berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau di identifikasi.

Identifikasi dengan sarana gigi dilakukan dengan cara membandingkan data gigi yang diperoleh dari pemeriksaan gigi jenazah yang tidak dikenal (data postmortem) dengan data gigi yang pernah dibuat sebelumnya dari orang yang diperkirakan (data antemortem). Identifikasi dengan cara membandingkan data ini akan dapat memberikan hasil identifikasi sampai tingkat individual, yaitu dapat menunjuk siapa orang yang diidentifikasi. Jadi data gigi berupa rekam medik gigi (dental record) yang pernah dibuat sebelumnya (data antemortem) merupakan syarat utama yang harus ada apabila identifikasi dengan cara membandingkan akan diterapkan (Murniwati, 2012).

Data gigi sangat bernilai untuk identifikasi karena kemungkinan dua orang mempunyai data gigi dan mulut yang identik sangat kecil (1 berbanding 2 milyar). Gigi merupakan bahan terkeras dari tubuh manusia yang berkomposisi bahan organik dan airnya sedikit sekali. Sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak. Data rekam medik gigi ini merupakan data minimal dari penderita yang harus dicatat oleh dokter gigi (Murniwati, 2012).

Gigi adalah bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan organik dengan air yang sangat sedikit, sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak di dalam rongga mulut yang terlindung dan basah oleh air liur. Menurut Scott gigi menjadi abu pada 10000F - 12000F (5380C - 6490C). Manusia mempunyai 32 gigi dengan bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai 5 permukaan, berarti dalam mulut ada 160 permukaan gigi dengan variasi keadaan mulai baik, rusak, penambalan, pencabutan, gigi palsu, implant, dan sebagainya. Penelitian Fernes (1972; dalam Murniwati, 2012) menyatakan bahwa kemungkinan 2 orang identik data gigi dan mulutnya 1 berbanding 2 milyar penduduk, dengan perkiraan penduduk dunia 5 milyar, hampir mustahil ada 2 orang yang identik giginya. Berbagai Informasi yang dapat diperoleh dari gigi diantaranya umur, ras, jenis kelamin, golongan darah, ciri-ciri khas, dan bentuk wajah/ raut muka korban (Murniwati, 2012).

Identifikasi Personal dengan Menelusuri Rangka atau Tulang

Untuk mengestimasikan umur pada bayi atau infant, dapat diketahui dengan memeriksa fontenelles/fonticuli, pada anak-anak dapat diperiksa melalui erupsi dan sekuens pada gigi, mengestimasi usia tulang (dari tampilan dan fusi pusat osifikasi tulang), obliterasi dari sutura kranial dan bagian-bagian tulang secara umum sering dilalukan untuk mengidentifikasi usia pada orang dewasa dan lansia (Krogman dan Iscan, 1986 dalam Kanchan dan Krishan, 2013).

Jenis kelamin juga dapat ditentukan dari hasil identifikasi berbagai tulang/tengkorak. Ketika seluruh kerangka masih dalam keadaan utuh, identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan dengan keakuratan hasil hingga 99-100%. Jika mengidentifikasi dari masing-masing tulang, tulang pelvis dapat memberikan keakuratan hasil hingga 95%, dilanjutkan dengan tulang tengkorak (skull) hingga 92%. Tulang-tulang lain juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi seperti tulang femur, ulna, sternum, dan lain-lain. Determinasi jenis kelamin dilakukan berdasarkan bentuk morfologis dan morfometriknya. Terkadang, proses pertumbuhan yang terjadi pada bayi, anak-anak, dan remaja dapat mengaburkan manifestasi dimorfik seksual dari bagian-bagian tulang. Oleh karena itu, metode identifikasi jenis kelamin dengan menggunakan tulang ini umumnya dilakukan pada orang dewasa (Krishan, 2007; Kanchan dan Krishan, 2011, dalam Kanchan dan Krishan, 2013).

Salah satu informasi yang penting yang dapat digunakan untuk melacak identitas seseorang adalah informasi tentang tinggi badan. Memang tidak mudah mendapatkan tinggi badan yang tepat dari pemeriksaan yang dilakukan sesudah mati. Jika yang diperiksa jenazah yang tidak utuh lagi, maka penentuan tinggi badan dapat dilakukan dengan mengunakan tulang-tulang panjang, tetapi hasil yang lebih akurat apabila tersedia atau diperoleh beberapa jenis dari tulang panjang (). Tinggi badan diukur pada saat berdiri secara tegak lurus dalam sikap anatomi. Kepala berada dalam posisi sejajar dengan dataran Frankfurt. Tinggi badan adalah hasil pengukuran maksimum panjang tulang tulang secara paralel yang membentuk poros tubuh (The Body Axix), yaitu diukur dari titik tertinggi di kepala (cranium) yang disebut Vertex, ke titik terendah dari tulang kalkaneus (the calcanear tuberosity) yang disebut heel. Untuk menentukan tinggi badan, tidak perlu melalui pengukuran badan secara utuh. Pengukuran dari bagian tubuh masih dapat menentukan tinggi seseorang secara kasar dengan:

a. Jarak kedua ujung jari tengah kiri dan kanan sama dengan tinggi badan.

b. Panjang lengan dikali 2, ditambah 34 cm (=2 kali panjang klavicula)ditambah lagi 4 cm (lebar sternum).

c. Panjang dari puncak kepala(vertex)sampai symphisis pubis dikali 2.

d. Panjang dari lekuk di atas sternum sampai symphisis pubis dikali 3,3.

e. Panjang ujung jari tengah sampai ujung olecranon dikali 3,7.

f. Panjang femur dikali 4.

g. Panjang humerus dikali 6.

Angka diatas harus ditambah 2-4 cm bila pengukuran dilakukan pada tulang-tulang saja.yaitu sebagai tambahan jarak sambungan sendi ().

Menentukan etnis/ras juga merupakan salah satu hal yang cukup penting dalam identifikasi personal. Jenis ras dapat ditentukan berdasarkan bentuk morfologis dari tulang-tulang manusia. Berbagai karakteristik dari tengkorak seperti lubang nasal, tulang zygomatikus, tulang maksila, dan gigi telah digunakan untuk menentukan ras dari tulang tengkorak manusia. Dalam beberapa kesempatan, ujung distal dan proksimal dari femur juga telah digunakan untuk mengidentifikasikan ras dari suatu individu. Namun dengan adanya campuran dari berbagai kelompok dalam populasi penduduk, mengidentifikasikan ras dari seseorang akan menjadi semakin sulit (Krogman dan Iscan, 1986 dalam Kanchan dan Krishan, 2013)

BAB III

PENUTUP

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan social budaya mengakibatkan tingginya angka kecelakaan, pembunuhan, dan peristiwa-peristiwa lain yang kadang-kadang mengakibatkan kesulitan untuk mengenali korban. Di lain pihak, adanya tuntutan untuk segera melakukan identifikasi secara tepat pada korban tersebut. Tak jarang, jenazah yang dibawa hanya berupa kerangka saja, sehingga identifikasi sulit dilakukan.

Proses identifikasi merupakan hal yang cukup kompleks. Identifikasi yang dapat dilakukan pada kerangka manusia atau diduga manusia adalah waktu kematian, profil biologis (umur, jenis kelamin, tinggi, ras), karakteristik individual, dan kemungkinan penyebab kematian. Waktu kematian dapat diduga dengan menganalisis fraktur, aroma, dan kondisi jaringan lunak serta ligament yang melekat pada tulang, serta perubahan yang terjadi pada tulang.

Untuk mendapatkan identifikasi positif dari seseorang maka harus didukung sejumlah data-data dari berbagai metode identifikasi seperti metode identifikasi sidik jari, visual, dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologi, dan secara eksklusi serta metode identifikasi DNA. Terdapat dua kategori identifikasi yaitu, identifikasi primer dan identifikasi sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, sidik DNA, dan karakteristik gigi geligi. Sedangkan karakteristik anthropology, perhiasan-pakaian, dan data rekam medis korban merupakan identifikasian sekunder. Jenazah dinyatakan teridentifikasi jika terdapat kecocokan minimal satu pengidentifikasi primer atau terdapat kecocokan minimal dua pengidentifikasi sekunder dengan data-data antemortem korban

Daftar Pustaka

Chairani S., Elza I. A., 2008. Pemanfaatan Ruga Palatal Untuk Identifikasi Forensik. Available at: http://www.jdentistry.ui.ac.id/index.php/JDI/article/download/35/31

Prawestiningtyas E., Agus M. A., 2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal. Available at: http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/175

Singh S., 2008. Penatalaksanaan Identifikasi Korban. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf.

Apuranto, H. dan Hoediyanto (eds), 2007. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga: Surabaya

Idries, A. M. dan Tjiptomarnoto, A. L., 2011. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan (Edisi Revisi). CV Agung Seto: Jakarta

Syamsun, A. 2014. Panduan Penulisan Visum et Repertum. Arga Puji Press: Mataram

Wyatt, J. P., et al. 2011. Oxford Handbook of Forensic Medicine. Oxford University Press: Oxford

Payne-James, J, et al. 2011. Simpsons Forensic Medicine 13th ed. Hodder-Arnold Publishers: London

Murniwati. 2012. Peran rekam medik gigi sebagai sarana identifikasi. Majalah Kedokteran Andalas, 36(2). Fakultas Kedokteran Universitas Andalas: Padang

Prawestiningtyas, Eriko dan Algozi, Mochammad. 2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan

Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal