ARG JUNI 2015 ABD A LATIF.doc

27
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN (PASCA AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945) Abd. Rachman A. Latif - Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Jl. Danau Sentani No. 99 Malang Email: [email protected] ABSTRAK Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian daripada penyelenggaraan pemerintahan negara dan merupakan hal yang penting. Karena itu pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu. Proses pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh lembaga negara secara Tripartit yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden secara penuh. Kata Kunci : Pembentukan, Peraturan Perundang-Undang-an, Pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945. A. Latar Belakang Proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang- undang. Sedangkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Pembuatan Peraturan 110 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Transcript of ARG JUNI 2015 ABD A LATIF.doc

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (PASCA AMANDEMEN UUD NRI TAHUN 1945)

Abd. Rachman A. Latif - Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

Jl. Danau Sentani No. 99 MalangEmail: [email protected]

ABSTRAK Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian daripada penyelenggaraan pemerintahan negara dan merupakan hal yang penting. Karena itu pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu. Proses pembahasan rancangan undang-undang dilakukan oleh lembaga negara secara Tripartit yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden secara penuh.Kata Kunci : Pembentukan, Peraturan Perundang-Undang-

an, Pasca Amandemen UUD NRI Tahun 1945.

A. Latar Belakang Proses atau tata cara pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dinyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan yang mencakup tahapan Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengesahan atau Penetapan dan Pengundangan.

Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 merumuskan Indonesia adalah Negara hukum. Pilar utama dalam mewujudkan prinsip negara hukum adalah pembentukan peraturan perundang-undangan dan penataan kelembagaan negara. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku,

110ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan itu maka, perubahan UUD 1945 tidak semata-mata karena otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelaku, tetapi karena adanya kelembagaan dari sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan-kelemahan tersebut menjadi penye-bab tidak demokratisnya negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945, yang menurut Moh. Mahfud MD. antara lain adalah :1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy

dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan presiden, tanpa adanya mekanisme check and balances yang memadai.

2. UUD 1945 terlalu memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.

3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir, sehingga bisa muncul banyak tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh presiden.

4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggaraan negara daripada sistemnya (Moh. Mahfud MD dan SF. Marbun, 2000: 71).

Pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengenai penyelenggaraan negara dilakukan dengan mempertegas kekuasaan dan wewenang lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem hubungan yang berdasarkan check and balances (keseimbangan antar lembaga negara), dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan setiap lembaga negara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah. UUD NRI Tahun 1945 menempatkan kedudukan DPD yang setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden sebagaimana dinyatakan

111 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 1).

Maka peraturan yang memberikan pedoman tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut selama ini selalu ditunggu dan diharapkan dapat memberikan suatu arahan dan panduan, sehingga proses pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi lebih jelas.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut di atas, maka

permasalahan pokok yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses dan tahap pembentukan peraturan

perundang-undangan?2. Bagaimana penyusunan dan pengajuan rancangan undang-

undang baik oleh Presiden, DPR RI dan DPD RI, lalu bagaimana pembahasannya?

C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode yaitu Penelitian Hukum

Normatif. Dalam konsep penelitian normatif menggunakan bahan hukum primer dan hukum sekunder. Pendekatan yang dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approch). (Amiruddin dan Jaenal Asikin, 2006: 118). Dengan pendekatan ini penulis akan melakukan pendalaman terhadap studi kepustakaan (Library Research) dari berbagai sumber perundang-undangan, buku, majalah, hasil penelitian, dan media yang berkaitan dengan topik penelitian yang dilakukan. Kemudian analisis serta eksplanasi hukum dipadukan dengan temuan dari hukum empiris tanpa mengubah karakteristik penelitian hukum normatif (Jonny Ibrahim, 2010: 300).

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Proses dan Tahap Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan a. Tahap Perencanaan

Proses perencanaan pembentukan peraturan-perundang-undangan di Indonesia, dilaksanakan sesuai dengan program

112ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

legislasi nasional (Prolegnas) yang merupakan perencanaan penyusunan undang-undang yang disusun secara terpadu antara DPR dan Pemerintah. Penyusunan Prolegnas dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang menangani legislasi (Badan Legislasi) dan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi peraturan perundang-undangan. Tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata cara penyusunan dan pengelolaan program legislasi nasional.

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi RI tanggal 27 Maret 2013 dengan Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam Berita Negara RI Nomor 26 Tahun 2013 inti putusan diantaranya bahwa, “DPD terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS)”.b. Tahap Penyusunan

Tahap ini adalah rancangan undang-undang disusun oleh pihak yang mengajukan. RUU dapat diajukan oleh DPR, Presiden maupun DPD yang disusun berdasarkan Prolegnas. Khusus untuk DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelola sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004).

Penyusunan RUU yang berada dalam Prolegnas, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Perppu, Rancangan PP, dan Rancangan Peraturan Presiden. Penyusunan RUU yang didasarkan pada Prolegnastidak memerlukan ijin prakarsa dari presiden. Sedangkan dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnassetelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Keadaan tertentu untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang yang dimaksud adalah : 1) Menetapkan Perppu menjadi Undang-Undang 2) Merativikasi Konvensi atau Perjanjian Internasional 3) Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi

113 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

4) Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, dan atau bencana alam

5) Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg DPR dan Menteri. (Maria Farida Indrati S., 2007: 17)

Penyusunan RUU pemrakarsa dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang, yang merumuskan antara lain tentang dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok, dan lingkup materi yang diatur. Penyusunan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan Kementerian yang ruang lingkupnya dalam Peraturan Perundang-Undangan dan pelaksanaanya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang memiliki keahlian untuk itu. Setelah selesai disusun, RUU diserahkan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan bersama. c. Tahap Pembahasan

Setiap tingkat pembahasan RUU yang dilakukan di DPR, baik yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun DPD dibahas dengan cara yang ditentukan dalam keputusan DPR RI Nomor 08/DPRRI/I/2005-2006 tentang peraturan tata tertib DPR RI, khususnya Pasal 136, 137 dan 138. Dalam Pasal 136 dijelaskan bahwa pembahasan RUU dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan yaitu : 1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat

gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran, dan atau rapat panitia khusus.

2) Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna sebelum dilakukan pembicaraan tingkat I dan tingkat II, diadakan rapat fraksi. Fraksi-fraksi juga dapat mengadakan rapat dengar pendapat dengan pakar-pakar atau kelompok masyarakat yang berkepentingan untuk mencari masukan dalam membawa aspirasi rakyat atau fraksinya.

Setelah pembicaraan dalam tingkat II selesai RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden maupun DPD akan dikirimkan kepada Presiden untuk dimintakan pengesahan. Sedangkan apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. d. Tahap Pengesahan atau Penetapan

114ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Pelaksanaan pengesahan atau penetapan terhadap RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR, DPD dan Presiden, diserahkan pada Presiden paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama dilakukan tanda tangan oleh Presiden paling lambat 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama. Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama tersebut, maka RUU tersebut diundangkan oleh Menteri yang tugasnya di bidang peraturan perundang-undangan agar ketentuan tersebut dapat berlaku dan mengikat untuk umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditanda tangani Presiden dalam jangka waktu 30 hari maka RUU tersebut menjadi sah dan wajib diundangkan dengan merumuskan kalimat yang berbunyi, “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945”.e. Tahap Pengundangan

Pengundangan dilakukan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi peraturan perundang-undangan. Pada dasarnya Undang-Undang mulai berlaku untuk umum dan memiliki kekuatan mengikat sejak pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang tersebut. Agar setiap orang mengetahui, peraturan perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara RI. (Pasal 81 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Dengan maksud setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut.

2. Penyusunan Rancangan Undang-Undang a. RUU dari Presiden

Sebelum RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yang dalam Undang-Undang atau PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu Perancangan.

Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan tahapan undang-undang tersebut diatur dalam Peraturan Presiden (Prepres) No. 68 Tahun 2005 tentang tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, rancangan Perppu, rancangan PP dan rancangan Peraturan Presiden. Sebelumnya proses penyusunan RUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998

115 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

tentang Tata cara mempersiapkan RUU. Namun dengan berlakunya Perpres tersebut maka Keputusan Presiden di atas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang dalam Peraturan Presiden ini terdiri atas: (1) penyusunan RUU yang meliputi penyusun RUU berdasarkan Prolegnasdan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (2)penyampaian RUU kepada DPR.1) Penyusunan RUU

Menteri atau pimpinan lembaga non Departemen melakukan penyusunan rancangan undang-undang, ini sebagai pemrakarsa untuk pengajuan usul penyusunan rancangan undang-undang. Penyusunannya dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Khusus dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnassetelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin tersebut disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi (1) urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin diwujudkan, (3) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, (4) jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati S., 2007: 18)

Bila rancangan undang-undang yang akan disusun masuk dalam Prolegnasmaka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin dari presiden. Pemrakarsa dalam penyusunan RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini kementerian yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang tersebut adalah Kementerian Hukum dan HAM. Adapun pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga yang punya keahlian.2) Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas

Proses penyusunan dimulai dengan pembentukan panitia antar kementerian oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur kementerian dan lembaga pemerintahan non kementerian yang terkait dengan substansi RUU. Panitia dipimpin oleh seorang Ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sekretaris

116ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

panitia antara kementerian dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

Setiap pantia antar kementerian diikutsertakan wakil dari KemenkumHAM untuk melakukan pengharmonisan RUU dan teknik perancangan perundang-undangan. Panitia antar kementerian menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai obyek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa. (Pasal 8 Perpres No. 68 Tahun 2005). Perancangan hasilnya disampaikan kepada panitia antar kementerian untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar kementerian, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi, atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.

Pelaksanaan penyusunan ketua panitia antar kementerian melaporkan perkembangan penyusunan dan atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan ketua panitia antar kementerian menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Kemudian dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan (Menteri Hukum dan HAM) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan tersebut dari MenkumHAM diutamakan pada harmonisasi, konsepsi dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan. Pertimbang-an tersebut diberikan paling lama 14 hari sejak RUU diterima. Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima, maka pemrakarsa bersama dengan MenKumHAM menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri

117 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

terkait. Apabila upaya penyelesaian tidak berhasil, maka MenkumHAM melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menteri Hukum dan HAM. (Pasal 16 dan 17 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005)

Bila RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan, maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan, maka presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak diterima penugasan, maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden. 3) Penyusunan RUU di luar Prolegnas

Asas proses penyusunan RUU di luar Prolegnassama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja dalam penyusunan RUU di luar Prolegnasada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menteri Hukum dan HAM.

Untuk kelancaran pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, Menteri Hukum dan HAM mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan atau organisasi lain. Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil, maka Menteri Hukum dan HAM dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan

118ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

ijin pemrakarsa penyusunan RUU. (Pasal 21, 22 dan 23 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005)

Koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konspsi RUU tersebut berhasil, maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya apabila presiden menyetujui, maka pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian. Tata cara pembentukan panitia antar kementerian dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.4) Penyampaian RUU

RUU yang telah disetujui oleh presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud.b. RUU dari DPR

Sebelum dilakukan usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU yaitu Badan Legislasi, Komisi, maupun gabungan Komisi. Kemudian ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.

Lembaga yang menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa RUU, juga bekerja sama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk 1 (satu) RUU biasanya Baleg akan meminta 3 universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian rancangan undang-

119 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

undang yang berasal dari fraksi dipersiapkan oleh partai dimana partai membentuk tim pakar yang menyusun masukan masyarakat melalui dewan pengurus pusat dan dewan pengurus daerah partai guna dijadikan bahan dalam menyiapkan RUU yang akan diusulkan. (Erni Setyowati, 2005: 27)c. RUU dari DPD

DPD sebagai lembaga legislatif baru sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Diawal masa jabatan ini DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringannya ada pada rapat paripurna DPD yang mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.

Pengusulan RUU boleh dilakukan oleh panitia perancang undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan usul pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama propinsi dan tanda tangan pengusul. Baik usul RUU maupun usul pembentukan RUU disampaikan kepada PPU (Maria Farida Indrati S., 2007: 31).

Kemudian pimpinan panitia perancang undang-undang akan menyampaikan usul RUU atau usul pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya usul RUU atau usul pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang paripurna memutuskan apakah usul RUU atau usul pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak, atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. (Maria Farida Indrati S., 2007: 33)

Apabila usul RUU atau usul pembentukan RUU diterima dengan perbaikan, maka DPD menugaskan panitia perancang undang-undang untuk membahas dan menyempurnakan usul RUU atau usul pembentukan RUU tersebut. Adapun usulan RUU

120ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

tersebut yang telah disetujui menjadi usul DPD, selanjutnya diajukan kepada pimpinan DPR.

3. Pengajuan Rancangan Undang-Undang Sebuah rancangan undang-undang bisa datang dari 3 pintu

yaitu Presiden, DPR dan DPD. Dalam mengusulkan sebuah RUU ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada program legislasi nasional. a. Pengajuan oleh Presiden

RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan Surat Presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada Pimpinan DPR disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat Presiden tersebut setidaknya memuat (1) Menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (2) Sifat penyelesaiaan RUU yang dikehendaki, dan (3) cara penangangan atau pembahasan.

Keterangan pemerintah yang menyertai Surat Presiden disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat materi : (1) urgensi dan tujuan penyusunan, (2) sasaran yang ingin diwujudkan, (3) pokok fikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur, (4) jangkauan serta arah pengaturan. (Maria Farida Indrati S., 2007: 17). Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi rancangan undang-undang. b. Pengajuan oleh DPD

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antar pusat dan daerah. Untuk pengajuan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Setelah pimpinan DPR menerima RUU usulan DPD kemudian memberitahukan kepada anggota DPR pada rapat paripurna DPR berikutnya. Kemudian DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada pimpinan DPD yang isinya mengenai tanggal diumumkannya RUU

121 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

usulan DPD kepada anggota DPR dalam rapat paripurna (Pasal 132 Tatib DPR). Selanjutnya Bamus, Komisi atau Baleg untuk membahas RUU usulan DPD tersebut. Badan yang ditunjuk (Komisi atau Baleg) akan mengundang anggota alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU yang menjadi usulan DPD tersebut. (Sirajudin dkk., 2007: 112)c. Pengajuan oleh DPR

Pengajuan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu:1) Badan Legislasi 2) Komisi 3) Gabungan Komisi 4) Sekurang-kurangnya 13 orang anggota DPR. (Maria Farida

Indrati S., 2007:24)Usul RUU yang diajukan Baleg, Komisi, Gabungan Komisi

ataupun anggota diserahkan kepada pimpinan DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.

Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa : (1) persetujuan tanpa perubahan, (2) persetujuan dengan perubahan, (3) penolakan. Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun panitia khusus untuk menyempurnakan RUU tersebut.

Apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg maupun Panitia Khusus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (RUU yang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

4. Pembahasan RUU

122ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

Perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut mengakibatkan adanya perubahan dalam pembentukan undang-undang, oleh karena dari rumusan kedua pasal tersebut presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, sedangkan kekuasaan membentuk undang-undang merupakan wewenang dari DPR.

Walaupun rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyiratkan bahwa kekuasaan membentuk UU merupakan wewenang DPR, namun ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 memudarkan wewenang tersebut. Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 suatu RUU harus dibahas dan disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, selain itu Pasal 20 ayat (4) merumuskan bahwa presiden mempunyai wewenang untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama menjadi UU (Maria Farida Indrati S., 2004: 3).

Pembahasan RUU terdiri atas 2 tingkat pembicaraan, tingkat I dalam rapat komisi, rapat baleg ataupun pansus. Sedangkan pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.

Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (1) pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU dari DPR pembicaraan tingkat I didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD. (2) Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden, (3) Pembahasan RUU oleh DPR dan Presiden berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM).

Dalam pembicaraan tingkat I dapat juga dilakukan: (1) rapat dengar pendapat umum, (2) mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain, (3) diadakan rapat intern.

Pembicaraan tingkat II adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh: (1) laporan hasil pembicaraan tingkat I, (2) pendapat akhir fraksi, (3) pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpres Nomor 68 Tahun 2005, mengatur bahwa pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU ke DPR disampaikan oleh menteri yang

123 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden (Maria Farida Indrati S., 2007: 40-41).

Selama pembahasan RUU di DPR menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila teradapat masalah yang bersifat prinsipil arah pembahasannya akan mengubah isi serta arahan RUU, maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan.

Menteri yang ditugasi membahas rancangan undang-undang di DPR segera melaporkan rancangan undang-undang yang telah disetujui dalam rapat paripurna, maka rancangan undang-undang akan dikirimkan kepada sekretaris negara untuk ditanda tangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan. Tetapi bila rancangan undang-undang tersebut tidak mendapatkan persetujuan bersama presiden dan DPR maka rancangan undang-undang tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama (Maria Farida Indrati S., 2007: 42).

5. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Sistem Legislasi antara DPR, DPD, dan Presiden

Dalam rangka mendudukkan fungsi legislasi DPD sesuai UUD NRI Tahun 1945, pada tanggal 08 Oktober 2012 DPD telah menyampaikan permohonan pengujian undang-undang atas UU tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan terhadap UUD NRI Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang diregister dalam nomor perkara: 92/PUU-X/2012. Permohonan uji materi dimaksud dilakukan untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara Presiden, DPR, dan DPD. Pada Rabu tanggal 27 Maret 2013, MK memutus dengan nomor putusan: 92/PPU-X/2012 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013.

Inti putusan MK adalah sebagai berikut : a. DPD terlibat dalam pembuatan PROLEGNASb. DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D

ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana halnya atau

124ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU pencabutan Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang.

c. DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

d. Pembahasan undang-undang dalam konteks Paaal 22D ayat (2) tersebut bersifat tiga pihak (Tripartit), yaitu DPR, DPD dan Presiden.

e. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang tentang MPR, DPD, DPR, DPRD dan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan tafsir Mahkamah Konstitusi atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, baik yang diminta maupun tidak.

6. Pembahasan RUU secara TripartitDPD sebagai lembaga negara mempunyai kewenangan yang

sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah jelas mengatur mengenai keikutsertaan DPD bersama DPR dan Presiden dalam tiap tahapan pembahasan RUU yang berkaitan dengan daerah. Frasa “ikut membahas” harus dimaknai bahwa keterlibatan DPD dalam proses pembahasan RUU adalah bersama-sama dengan DPR dan Presiden.

Dalam proses pembahasan sebuah RUU baik RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan. Sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Dengan demikian pembahasan RUU yang terkait dengan bidang tugas DPD harus melibatkan DPR, DPD, dan Presiden secara kelembagaan sejak memulai pembahasan pada tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR sampai dengan DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan tingkat II dalam rapat

125 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

paripurna DPR sebelum tahap persetujuan (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 40).

Konsekuensi dari konstruksi UUD NRI Tahun 1945 mengenai pembahasan RUU antara presiden dan DPR serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara, dalam hal ini bagi DPR seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan DIM diajukan oleh fraksi. Walaupun demikian MK dapat memahami sebagaimana dituangkan dalam putusannya bahwa mekanisme pembahasan RUU dengan membahas DIM yang diajukan oleh fraksi adalah praktek pembahasan RUU sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya pembahasan pada tingkat alat kelengkapan DPR yang sudah mengundang presiden dan atau sudah mengundang DPD, maka DPR dalam pembahasan DIM hanya diwakili oleh alat kelengkapan DPR sebagai satu kesatuan kelembagaan (Sekretaris Jendral DPD RI, 2014: 41).

E. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

sebelum diterbitkannya Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah diatur lebih dahulu oleh beberapa peraturan yang berbeda-beda. Antara lain Keputusan Presiden maupuan Peraturan Tata Tertib DPR untuk peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Sedangkan untuk peraturan perundang-undangan di tingkat daerah berlaku beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri.

Dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, maka mekanisme atau proses pembentukan peraturan perundang-undangan saat ini telah dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu serta lebih baik. Apalagi setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sistem Tripartit, proses pembahasan rancangan undang-undang oleh 3 lembaga negara yaitu DPR, DPD dan Presiden secara penuh. Khusus DPD berhak membahas RUU sepenuhnya dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

-----

126ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Jaenal Abidin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta.

Erni Setyowati dkk., 2005, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi, Pusat Studi dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Jonny Ibrahim, 2010, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang

Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Penyusunan, Kanisius, Yogyakarta.

-----------------------, 2004, Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Amandemen UUD 1945, Makalah Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM dengan Fakultas Hukum UNAIR, Surabaya 9 – 10 Juni 2004.

Moh. Mahfud MD., SF. Marbun, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Kanisius, Yogyakarta.

Sekretaris Jendral DPD RI, 2014, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Pustusan Mahkamah Konstitusi, Sekjen DPR RI, Jakarta.

Sirajudin dkk, 2007, Legislatif Drafting Pelembagaan Metode Partisipasi Dalam Pembentukan Perundang-Undangan , In-Trans Publishing, Malang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

127 ARGUMENTUM, VOL. 14 No. 2, Juni 2015