APLIKASI METODE BIOPSI CORE NEEDLE PADA TESTES … · diikuti oleh injeksi yohimbin memberikan efek...
Transcript of APLIKASI METODE BIOPSI CORE NEEDLE PADA TESTES … · diikuti oleh injeksi yohimbin memberikan efek...
APLIKASI METODE BIOPSI CORE-NEEDLE PADA TESTES MUNCAK (Muntiacus muntjak muntjak)
RISSAR SIRINGO RINGO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Aplikasi Metode
Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak (Muntiacus muntjak) adalah karya saya
dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari
skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Rissar Siringo Ringo NIM B04070037
ABSTRACT
RISSAR SIRINGO RINGO. Application of Core-Needle Biopsy Method in the Testes of Muntjak (Muntiacus muntjak muntjak). Under direction of SRIHADI AGUNGPRIYONO and SRI WAHYUNI.
This study was aimed to observe objectively core-needle biopsy (CNB) method in the testicular biopsy of muntjak. Biopsy was done on one muntjak at hard antler stage. The muntjak was immobilized with combination of xylazine (1 mg/kg body weight) and ketamine (1 mg/kg body weight) which was injected intramuscularly. The testicular tissues were obtained by using the CNB with 14G needle size. The fragment of testes was fixed and processed to histological preparation and stained with hematoxylin-eosin. After biopsy procedures, muntjak was injected intravenously with yohimbine as the antagonist of the anaesthetic agent. The using of xylazine and ketamine as general anasthesia followed by injecting yohimbine provided good immobilization and recovery in this study. The testicular tissues were observed with light microscope using 10X and 40X objective lenses. The biopsied samples showed good histological features of the testes tissues with germinal cells (spermatogenia, spermatocytes, round and elongated spermatid), somatic cells (Sertoli cells), interstitial cells (Leydig cells) and clear signs of spermatogenesis. It is concluded that the CNB method is suitable for testes biopsy in the muntjak, and the procedures are recommended to be processed for a patent. Keywords: core-needle biopsy, testes, muntjak, spermatogenesis
RINGKASAN
RISSAR SIRINGO RINGO. Aplikasi Metode Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak (Muntiacus muntjak muntjak). Dibimbing oleh SRIHADI AGUNGPRIYONO dan SRI WAHYUNI.
Muntiacus muntjak muntjak atau yang dikenal juga sebagai muncak Jawa merupakan muncak yang tersebar di Jawa dan Sumatera Selatan. Saat ini muncak termasuk hewan yang populasinya di alam sudah mengalami penurunan karena sering diburu manusia dan kerusakan hutan. Perlindungan terhadap muncak sebagai salah satu mammalia yang dilindungi tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tanggal 27 Januari 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang berhubungan dengan biologi reproduksi untuk menyelamatkan muncak dari kepunahan. Studi ini bertujuan untuk mempelajari secara objektif metode core-needle biopsy (CNB) pada biopsi testes muncak.
Penggunaan muncak sebagai hewan penelitian adalah dengan seijin Menteri Kehutanan Republik Indonesia sesuai Surat Keputusan Nomor SK 23/Menhut-11/2011. Sebelum dilakukan biopsi, muncak terlebih dahulu diadaptasikan selama 3 bulan agar dapat menyesuaikan diri dengan pakan dan lingkungan kandang. Selama diadaptasikan, muncak diberi antelmentik untuk menghindari kecacingan. Pakan diberikan dua kali setiap hari (pagi dan sore) berupa wortel, rumput, dan pelet.
Biopsi dilakukan pada seekor muncak yang berada pada periode ranggah keras. Muncak diimobilisasi dengan injeksi kombinasi xylazin (1 mg/kg berat badan) dan ketamin (1 mg/kg berat badan) secara intramuskular. Jaringan testes diperoleh dengan menggunakan CNB dengan jarum berukuran 14G. Fragmen testes yang diambil direndam dalam larutan Bouin dan diproses menjadi preparat histologis, serta diwarnai dengan pewarna hematoksilin-eosin. Setelah prosedur biopsi, muncak diinjeksi dengan yohimbin sebagai antidota dari obat bius. Pada penelitian ini kombinasi xylazin dan ketamin sebagai anastetik umum dengan diikuti oleh injeksi yohimbin memberikan efek imobilisasi dan recovery yang baik. Jaringan testes diamati dengan mikroskop cahaya pada perbesaran lensa objektif 10 kali dan 40 kali.
Sampel biopsi menunjukkan gambaran histologi yang baik dari jaringan testes, dengan sel-sel germinal seperti spermatogonia, spermatosit, spermatid bulat (round spermatid), spermatid panjang (elongated spermatid), sel-sel somatik (sel-sel Sertoli) dan sel-sel interstitial (sel-sel Leydig). Spermatogenesis terlihat dengan jelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode CNB cocok diaplikasikan sebagai prosedur pada muncak. Kata kunci: biopsi core-needle, testes, muncak, spermatogenesis
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjaun suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.
APLIKASI METODE BIOPSI CORE-NEEDLE PADA TESTES MUNCAK (Muntiacus muntjak muntjak)
RISSAR SIRINGO RINGO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Skripsi : Aplikasi Metode Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak (Muntiacus muntjak)
Nama : Rissar Siringo Ringo
NIM : B04070037
Disetujui
drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K)
Ketua drh. Sri Wahyuni, M.Si
Anggota
Diketahui
drh. Agus Setiyono M.S, Ph.D, APVet Wakil Dekan
Disetujui tanggal:
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan penyertaan-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Judul skripsi ini adalah Aplikasi Metode Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak (Muntiacus muntjak). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Anatomi, FKH IPB pada bulan Juli 2010 sampai Maret 2011.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Orang tua (M. Siringo Ringo dan Ilear, S.Pd) dan kedua kakak saya (Bona
Toba Siringo Ringo dan Dorbasa Hasiana Siringo Ringo) yang senantiasa memberikan doa, dukungan, dan nasihat.
2. Bapak drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet(K) sebagai dosen pembimbing utama dan dosen pembimbing akademik atas waktu, arahan, nasihat, serta bantuan selama penelitian, penulisan skripsi, dan masa perkuliahan.
3. Ibu drh. Sri Wahyuni, M.Si. atas waktu, arahan, saran, serta bantuan yang diberikan selaku dosen pembimbing pendamping selama penelitian dan penulisan skripsi.
4. Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si atas arahan dan dukungan selama masa penulisan skripsi.
5. drh. Amrozi, Ph.D sebagai dosen penguji luar atas masukan yang telah diberikan.
6. Staf Laboratorium Riset Anatomi, Mas Rudi dan Mas Bayu yang membantu serta mempersiapkan fasilitas selama penelitian.
7. Teman-teman sepenelitian (Lidya Elizabeth M. Manik, Juliper Silalahi) dan sahabat-sahabat saya (Danang Dwi Cahyadi, Cut Dara Permata Sari, Sheila, dan Elsye Minar Sinambela).
8. Teman–teman FKH Angkatan 44 yang selalu memberikan dukungan dan semangat selama penelitian dan penulisan skripsi. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih banyak atas kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Februari 2012 Rissar Siringo Ringo
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palangkaraya pada tanggal 4 Agustus 1989 dari ayah
M. Siringo Ringo dan ibu Ilear, S.Pd. Penulis merupakan putra ketiga dari tiga
bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di TK Putra Palangkaraya pada
tahun 1995, lalu melanjutkan ke SDN Pahandut 8 Palangkaraya. Pada tahun
2003, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Palangkaraya dan
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Pahandut Palangkaraya. Pada tahun
2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima pada program studi Kedokteran Hewan.
Penulis aktif menjadi asisten di beberapa mata kuliah, antara lain Anatomi
Veteriner I, Anatomi Veteriner II, dan Penghayatan Profesi Kedokteran Hewan.
Penulis aktif di HIMPRO dan pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Kerbau pada
tahun 2009 - 2010. Penulis juga aktif di BEM dan pernah menjabat sebagai
pengurus di bagian Departemen Kebijakan Publik pada tahun 2009 – 2010. Saat
ini penulis menjabat sebagai Ketua Komisariat Tingkat dari mahasiswa FKH
angkatan 2007 pada semester 7 sampai sekarang.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xiii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………. xiv
PENDAHULUAN ………………………………………………………… 1
Latar Belakang ………………………………………………………. 1 Tujuan Penelitian .......……………………………………………...... 3 Manfaat Penelitian …………………………………………………... 3
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………... 4
Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) ……………………………… 4 Testes ………………………………………………………………... 6 Biopsi Testis ………………………………………………………… 6 Fine-Needle Aspiration (FNA) ……………………………………… 9 Large-Needle Aspiration (LNA) ……………………………………. 11 Core-Needle Biopsy (CNB) …………………………………………. 11
BAHAN DAN METODE …………………………………………………. 13
Waktu dan Tempat ………………………………………………….. 13 Hewan Penelitian ……………………………………………………. 13 Bahan dan Alat ……………………………………………………… 13 Metode ………………………………………………………………. 14 Prosedur Pembiusan ………………………………………………… 14 Prosedur Biopsi ……………………………………………………... 14 Perawatan Muncak Pascabiopsi …………………………………….. 15 Prosedur Pembuatan Preparat Histologis Jaringan Testes …………... 15 Pengambilan Data …………………………………………………… 16 Analisis Data ………………………………………………………... 16
xi
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………………. 17
Hasil …………………………………………………………………. 17 Prosedur Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak ………………… 17 Hasil Pemeriksaan Histologis Sampel Jaringan Testes ……………... 19 Pembahasan …………………………………………………………. 20 Prosedur Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak ………………… 20 Hasil Pemeriksaan Histologis Sampel Jaringan Testes …………….. 24
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….. 25
Simpulan …………………………………………………………….. 25 Saran ………………………………………………………………… 25
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 26
LAMPIRAN .................................................................................................. 30
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Indikasi dan risiko biopsi testes ……………………………………… 7
2 Keunggulan dan kekurangan metode fine-needle aspiration (FNA), core-needle biopsy (CNB), dan large-needle aspiration (LNA) …….. 8
3 Spesifikasi jarum untuk biopsi ………………………………………. 9
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) pada periode ranggah keras .…. 5
2 Jarum FNA pada berbagai ukuran jarum yang berbeda …...………….. 10
3 Prinsip kerja CNB untuk mengambil jaringan lesio atau jaringan tubuh lainnya ……………….………………………………………………... 12
4 Alat biopsi CNB (Dr.Japan®, Toray) dengan jarum berukuran 14 G …. 14
5 Alat biopsi CNB berikut bagian-bagiannya …………………………... 15
6 Penusukan jarum biopsi ke dalam skrotum muncak …………………. 17
7 Luka pascabiopsi yang telah diolesi dengan iodin …………………..... 18
8 Injeksi yohimbin secara intravena pada kaki depan muncak …………. 18
9 Ukuran fragmen jaringan testes yang diperoleh melalui prosedur biopsi 18
10 Kondisi testis dan skrotum muncak 14 hari pascabiopsi ..…………….. 19
11 Struktur histologi jaringan testes hasil biopsi ………………………… 19
12 Struktur histologi jaringan testes hasil biopsi yang memperlihatkan tubuli seminiferi dengan komposisi sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi yang berbeda-beda menandakan spermatogenesis ………... 20
13 Gambaran histologi tubuli seminiferi dan jaringan interstitial dari sampel jaringan testes yang diperoleh dengan menggunakan teknik FNA …………………………………………………………………… 24
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir pewarnaan hematoksilin eosin (HE) pada sediaan histologi testis muncak …..................................................................... 31
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Muncak atau kijang (Muntiacus muntjak) adalah salah satu potensi keaneka-
ragaman jenis fauna yang ada di Asia, yang dapat ditemukan di India, Sri Lanka,
Cina, Taiwan, Jepang, dan Indonesia. Habitat muncak adalah hutan hujan tropis,
suatu area yang vegetasinya padat, berbukit, dan dekat dengan sumber air
(Jackson 2002). Tubuh bagian atas berwarna coklat kemerahan dengan warna
lebih gelap di sepanjang garis punggungnya. Muncak bertubuh kecil dan ramping
dengan berat badan pada umumnya 20 kg dan dapat mencapai umur 16 tahun.
Muncak dan rusa termasuk ke dalam Famili Cervidae. Berbeda dengan
Famili Bovidae dan Capridae yang memiliki tanduk, Famili Cervidae memiliki
ranggah pada hewan jantannya. Struktur ranggah berbeda dengan struktur tanduk.
Ranggah terdiri atas kulit, syaraf, buluh darah, jaringan fibrosa, tulang rawan
(kartilago), dan tulang keras. Sedangkan tanduk merupakan jaringan yang
mengalami keratinisasi dan tumbuh di bawah kontrol sel-sel mesenkim pada
lapisan basal tanduk. Berbeda dengan tanduk, ranggah dapat lepas dan tumbuh
kembali. Muncak memiliki tiga periode pertumbuhan ranggah yang dimulai dari
periode ranggah velvet, ranggah keras, dan casting (ranggah lepas).
Akhir-akhir ini penelitian tentang muncak mulai sering dilakukan, mulai
dari penelitian tentang habitatnya, kebiasaannya, dan yang paling banyak
menyedot perhatian adalah penelitian pada jumlah kromosomnya
(Doris dan Kurt 1970). Saat ini muncak termasuk hewan yang populasinya di
alam sudah mengalami penurunan karena sering diburu manusia dan kerusakan
hutan. Perlindungan terhadap muncak sebagai salah satu mamalia yang dilindungi
tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tanggal 27
Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi
(PHKA 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang berhubungan
dengan biologi reproduksi untuk menyelamatkan hewan ini dari kepunahan.
Pemeriksaan fisik, ultrasonografi, evaluasi semen, dan pengujian hormon
sudah sejak lama digunakan untuk mengevaluasi performa reproduksi hewan
jantan dari berbagai spesies. Salah satu teknik terbaru yang belakangan ini mulai
2
sering digunakan untuk mengevaluasi performa reproduksi hewan jantan adalah
teknik biopsi testes. Teknik biopsi secara umum terdiri atas dua jenis, yaitu biopsi
terbuka (open biopsy) dan biopsi tertutup (close biopsy). Biopsi terbuka
merupakan teknik biopsi yang menggunakan teknik pembedahan untuk
mengambil sampel jaringan tubuh, sehingga membutuhkan waktu persembuhan
luka biopsi yang lama, berisiko menyebabkan kematian akibat pendarahan
maupun infeksi pada luka biopsi (Gouletsou et al. 2010), serta dapat
menimbulkan stres yang tinggi pada satwa liar seperti muncak. Biopsi tertutup
adalah biopsi yang tidak menggunakan teknik pembedahan, melainkan
menggunakan jarum dan dikenal dengan nama biopsi jarum (needle biopsy).
Biopsi jarum dianggap cocok digunakan pada satwa liar karena prosedurnya
relatif sederhana dan waktu persembuhan luka bekas biopsi yang singkat sehingga
risiko terjadinya infeksi pada luka biopsi lebih kecil (Santos et al. 2010) bila
dibandingkan dengan teknik biopsi terbuka.
Pada penelitian ini digunakan teknik core-needle biopsy (CNB) karena
sampel yang akan diambil berbentuk padat, berada di lapisan profundal dan akan
diperiksa secara histologis. Selain itu, teknik CNB dipilih karena memiliki
berbagai keuntungan, yaitu teknik pengambilan sampel yang mudah, dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh muncak sehingga tidak menyebabkan
gangguan fisiologis, tidak menimbulkan stres berlebihan pada muncak yang
memiliki tingkat stres yang paling tinggi jika dibandingkan dengan hewan lain
dari Famili Cervidae, serta waktu penyembuhan luka yang lebih cepat.
Lingkup pengamatan pada penelitian ini adalah (1) prosedur metode CNB
pada testes muncak, mulai dari persiapan sampai proses persembuhan luka biopsi
pasca biopsi, (2) struktur histologis jaringan testes hasil biopsi dengan metode
CNB, serta (3) perbandingan antara metode CNB metode LNA dan FNA yang
informasinya diperoleh dari pustaka.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan metode
core-needle biopsy (CNB) untuk biopsi testes pada muncak, yakni sejauh mana
3
metode ini dapat digunakan pada muncak dan sejauh mana metode ini dapat
memberikan hasil yang memadai untuk keperluan pemeriksaan jaringan testes
pada muncak.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang prosedur
core-needle biopsy (CNB) pada testes muncak dan kualitas hasil biopsinya untuk
dijadikan data dasar bagi penelitian lebih lanjut, terutama terkait dengan aspek-
aspek reproduksi.
TINJAUAN PUSTAKA
Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) Muncak India (Muntiacus muntjak spp) sama seperti spesies muncak yang lain,
yaitu berukuran kecil dengan kaki yang ramping. Tubuh bagian atas muncak
berwarna coklat kemerahan dengan warna lebih gelap di sepanjang garis
punggungnya, sedangkan tubuh bagian bawah berwarna putih dan sering bercorak
abu-abu. Panjang muncak jantan dari moncong sampai ekor mencapai 98-111 cm
(dewasa), sedangkan tinggi bahu lebih dari 50 cm, panjang pedikel 69-149 mm, dan
berat badan umumnya 20 kg. Klasifikasi muncak menurut Dansie (1970) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Subordo : Ruminantia
Family : Cervidae
Subfamily : Muntiacinae
Genus : Muntiacus
Spesies : Muntiacus muntjak
Subspesies : Muntiacus muntjak muntjak
Muncak India tersebar secara luas di benua Asia dan ditemui pula pada bagian
selatan Cina, India, Sri Lanka, Nepal, Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia (Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan). Muncak menyukai daerah yang
sepi dan lebat dengan tumbuhan sehingga dapat berlindung dari manusia dan
predator (Grubb 1993). Muncak dapat hidup hingga 10 tahun apabila berada dalam
area konservasi dan diawasi, namun usia hidup (lifespan) menjadi lebih rendah bila
di alam liar.
Muncak India adalah mamalia dengan jumlah kromosom paling rendah.
Muncak India jantan memiliki 7 kromosom diploid dan muncak betina hanya
6 kromosom diploid. Jumlah kromosom tersebut sangat kecil bila dibandingkan
dengan jumlah kromosom pada reeves muntjak (Muntiacus reevesi) yang mencapai
5
46 kromosom diploid. Keunikan ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi banyak
peneliti untuk mengetahui lebih banyak tentang spesies ini (Doris dan Kurt 1970).
Muncak, seperti yang terdapat pada Gambar 1 termasuk dalam famili Cervidae,
yaitu ruminansia yang memiliki ranggah dan selalu berganti setiap tahun. Ranggah
tumbuh dari suatu titik permulaan pada kepalanya yang disebut pedikel. Pedikel
memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan ranggah yang akan
tumbuh pada pedikel tersebut nantinya. Dalam masa pertumbuhannya, ranggah
diselubungi velvet untuk memberikan suplai oksigen dan nutrisi untuk perkembangan
ranggah. Pada tahap akhir, ranggah mencapai ukuran maksimal, vaskularisasi serta
suplai nutrisi berhenti dan ranggah menjadi keras (Duarte dan Abdo 2008).
Gambar 1 Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) pada periode ranggah keras (Wahyuni, koleksi pribadi).
Muncak diduga memiliki kemiripan dengan rusa dalam pertumbuhan dan
tanggalnya ranggah. Tumbuh dan berkembangnya ranggah pada rusa dipengaruhi
sekresi testosteron dari testes. Pada ruminansia lamanya siklus spermatogenesis
adalah 30 sampai 75 hari (Russel et al. 1990; Franca et al. 1999). Lepas dan
tumbuhnya ranggah berkaitan erat dengan ukuran testes. Testes akan memiliki
ukuran yang minimum 1-2 bulan setelah tumbuhnya ranggah dan akan memiliki
ukuran yang maksimum pada saat ranggahnya keras (Loudon dan Curlewis 1988).
6
Testes
Testes merupakan gonad pada hewan jantan. Testes berfungsi dalam
spermatogenesis dan menghasilkan hormon. Spermatogenesis merupakan proses
pembentukan spermatozoa yang berlangsung di dalam tubulus seminiferi testes.
Diantara tubulus seminiferi terdapat sel yang disebut sel-sel interstisial atau dikenal
dengan sel-sel Leydig yang berfungsi untuk menghasilkan hormon androgen
(Colville dan Bassert 2002; Frandson et al. 2009).
Testes terletak di daerah prepubis, terbungkus dalam kantong skrotum dan
digantung oleh funiculus spermaticus. Umumnya testes berbentuk oval dengan
ukuran yang bervariasi bergantung spesies (Colville dan Bassert 2002). Berat testis
muncak adalah 18.82 g (Manik 2011), lebih berat bila dibandingkan dengan berat
testes Muntiacus reevesi (8.87-9.51 g) (Chapman dan Harris 1991), yang diukur pada
tahap ranggah keras. Diameter testes muncak 2.45 cm (Manik 2011) lebih kecil bila
dibandingkan dengan diameter testes rusa timor 3.24-4.07 cm (Nalley 2006), tetapi
lebih besar bila dibandingkan dengan testes kancil 0.63-1.01 cm (Najamudin 2010).
Biopsi Testes
Biopsi berasal dari bahasa Yunani, yaitu bio yang artinya kehidupan dan opsia
yang artinya melihat. Jadi secara harfiah, biopsi dapat diartikan melihat kehidupan,
sedangkan secara umum biopsi dapat diartikan sebagai prosedur diagnostik yang
dilakukan dengan mengambil sejumlah kecil jaringan tubuh untuk selanjutnya
diperiksa secara mikroskopis. Biopsi testes pertama kali dilakukan oleh Hotchkiss
dan Engle di The New York Hospital-Cornell Medical pada akhir tahun 1930 pada
testes seorang pria yang mengalami gangguan fertilitas (Jha dan Sayami 2009).
Biopsi testes merupakan teknik yang digunakan untuk membantu mendiagnosis
lesio yang terjadi pada testes, misalnya neoplasma. Biopsi pada lesio ini penting
dilakukan untuk membantu diagnosa terhadap lesio tersebut, sehingga dapat
diketahui langkah pengobatan selanjutnya. Banyak teknik untuk melakukan biopsi
testes telah berkembang dalam 60 tahun terakhir (Threlfall dan Lopate 1992;
Blanchard dan Varner 1996). Teknik tersebut antara lain, open atau incisional
biopsy, punch biopsy, split dan Tru-Cut puncture needle, serta fine needle aspiration.
Dokter hewan masih terlihat enggan melakukan salah satu dari teknik biopsi testes
7
tersebut pada hewan domestik. Hal ini mungkin terjadi karena biopsi testes berisiko
menyebabkan hemorraghi, peradangan, infeksi, reaksi autoimun atau degenerasi dari
germinal epithelium, dan tubuli seminiferi (Lopate et al. 1989; Threlfall dan Lopate
1992) jika dilakukan dengan prosedur yang tidak tepat.
Saat ini biopsi testes sering juga digunakan sebagai salah satu teknik evaluasi,
dan perkiraan dari fungsi reproduksi hewan jantan (Sartori et al. 2002), seperti,
hipospermatogenesis, inflamasi (Lopate et al. 1989) dan infertilitas akibat immune-
mediated (Olson et al. 1992). Hal tersebut juga didukung oleh studi yang dilakukan
oleh Santos et al. (2010) pada anjing jantan. Secara umum beberapa indikasi biopsi
testes dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Indikasi dan risiko biopsi testes (Bergmann dan Kliesch 2010)
Indikasi Temuan-temuan klinis Hubungan klinis
Infertilitas Hypergonadotropic azoospermia
Penentuan dalam prosedur testicular sperm extraction (TESE) dan intracytoplasmic sperm injection (ICSI)
Non-reconstructable obstructive azoospermia
Penentuan dalam prosedur testicular sperm extraction (TESE) dan intracytoplasmic sperm injection (ICSI)
Obstructive azoospermia Pengeluaran patalogi testes
Sonographic microlithiasis
Evaluasi histologis untuk melihat adanya` testicular intraephitelial neoplasia (TIN)
Pencegahan dini dari perkembangan tumor testes
Cryptorchidism saat dewasa
Evaluasi histologis dari spermatogenesis dan melihat adanya testicular intraephitelial neoplasia (TIN)
Penentuan dalam prosedur testicular sperm extraction (TESE) dan intracytoplasmic sperm injection (ICSI) serta pencegahan dini dari perkembangan tumor testes
Kehadiran sel tumor testes
Evaluasi histologi untuk melihat adanya testicular intraephitelial neoplasia (TIN) di testes satunya
Pencegahan dini dari perkembangan tumor testes pada testes satunya
Salah satu teknik biopsi pada testes adalah metode biopsi jarum. Metode
biopsi jarum pada testes ada berbagai macam, yang dibedakan berdasarkan tujuan
penggunaannya, ukuran jarum, dan jenis jarum yang digunakan. Pada Tabel 2 dapat
8
dilihat perbedaan dari fine-needle aspiration (FNA), core-needle biopsy (CNB),
large-needle aspiration (LNA) berdasarkan tujuan penggunaan, ukuran jarum yang
digunakan, keunggulan, dan kekurangannya. Ukuran jarum untuk biopsi dapat
dilihat pada Tabel 3, yang meliputi diameter bagian luar jarum, diameter bagian
dalam jarum dan tebal dinding jarum.
Tabel 2 Keunggulan dan kekurangan metode fine-needle aspiration (FNA), core-needle biopsy (CNB), dan large-needle aspiration (LNA) (Anonim 2008)
Metode biopsi
Tujuan penggunaan
Ukuran jarum yang digunakan
Jenis dan ukuran sampel yang
diperoleh
Keunggulan Kekurangan
Fine-Needle Aspiration (FNA)
Kista, sel dari jaringan lunak atau cairan
27 G- 23 G Sangat kecil, sampel dapat berupa cair maupun padat
Cepat, mudah dilakukan, hasil dapat diperoleh dalam waktu singkat (10-30 menit)
Bila sampel yang diperiksa berbentuk padat, maka jumlah sampel yang sedikit dapat mengakibatkan salah diagnosa,
Core-Needle Biopsy (CNB)
Sampel jaringan dari massa padat
20-14 G Sampel berbentuk padat
Ukuran sampel yang lebih besar mempermudah menentukan diagnosa
Lebih invasif daripada teknik FNA
Large-Needle Aspiration (LNA)
Sampel jaringan dari massa cair dan padat
19 G – 14 G
Ukuran sampel lebih besar dari FNA
Penentuan diagnosa lebih mudah, dapat digunakan mengoleksi sampel jaringan berupa cairan
Berisiko menimbulkan komplikasi minor seperti pendarahan dan infeksi serta lebih susah untuk dilakukan
9
Tabel 3 Spesifikasi jarum untuk biopsi (Anonim 2010b)
Jarum Diameter bagian luar jarum Diameter bagian dalam jarum
Gauge inci mm Inci mm
14 0.083 2.108 0.063 1.600
16 0.065 1.651 0.047 1.194
17 0.058 1.473 0.042 1.067
18 0.050 1.270 0.033 0.838
19 0.042 1.067 0.027 0.686
20 0.03575 0.9081 0.02375 0.603
23 0.02525 0.6414 0.01325 0.337
24 0.02225 0.5652 0.01225 0.311
25 0.02025 0.5144 0.01025 0.260
26 0.01825 0.4636 - -
26s 0.01865 0.4737 0.005 0.127
27 0.01625 0.4128 0.00825 0.210
Fine-Needle Aspiration (FNA)
Fine-needle aspiration (FNA) adalah teknik biopsi yang menggunakan jarum
berukuran 23 gauge (G) dan 27G (Gherardi 2009), seperti terlihat pada Gambar 2
serta syringe. Jarum kemudian dihubungkan dengan syringe. Syringe digunakan
untuk memperoleh tekanan negatif dari dalam syringe yang berfungsi untuk menarik
sampel ke dalam jarum maupun syringe. Tekanan negatif (vakum) di dalam syringe
yang dibutuhkan biasanya berkisar antara 2-5 ml (Gherardi 2009).
Metode FNA biasanya digunakan untuk pemeriksaan sitologis karena sampel
yang diperoleh ukurannya sangat kecil dan sedikit. Pada awalnya FNA kurang
popular akibat beberapa alasan, antara lain: (1) keterbatasan pengetahuan dan
k
s
y
m
N
j
t
h
F
t
(
b
k
m
o
b
d
(
b
J
kurangnya p
seminiferi, (
yang ditimb
memberikan
Namun dem
jaringan test
tidak menim
hewan, mur
FNA pada t
teknik intra
(Bergmann d
Gambar 2
Menur
bawah pemb
kulit skrotu
mempercepa
obat bius. S
bahwa suda
deferen ke
(Jha dan Say
berbeda, y
Jha dan Say
pengalaman
(2) kekhawa
bulkan pros
n informasi
mikian banya
tes untuk ev
mbulkan luka
ah, serta han
testes juga
acytoplasmic
dan Kliesch
Jarum FNA
rut Jha dan
biusan lokal
um kemudi
at distribusi
Setelah bebe
ah tidak tera
arah poste
yami 2009; G
yaitu bagia
yami 2009).
patolog dal
atiran terjadi
edur biopsi
mengenai m
ak penelitian
valuasi sper
a trauma yan
ndal (Ghera
dapat digun
c sperm in
2010).
A pada berbag
Sayami (20
l. Hal perta
ian dilakuk
obat bius, m
erapa menit,
asa sakit. T
erior, sehin
Gouletsou et
an atas, t
Setelah se
lam analisis
inya trauma
, dan (3) p
membran ba
n yang menu
rmatogenesis
ng besar, dap
ardi 2009).
nakan ntuk m
njection (IC
gai ukuran ja
09) metode
ama yang ha
kan pembiu
maka sperma
testes dipal
Testes diposi
ngga terhind
t al. 2010).
tengah, da
elesai diaspi
sitologis da
pada testes
pemeriksaaan
asal tubular
unjukkan bah
s dengan m
pat ditoleran
Tidak hany
membantu t
CSI) untuk
arum yang b
FNA pada
arus dilakuk
usan di sp
atic cord seg
lpasi dengan
isikan denga
dar dari lu
Testes dias
an bawah
irasi, maka
ari variasi s
dengan akib
n sitologis
dan jaringa
hwa pengam
menggunakan
si dengan ba
a untuk diag
teknik repro
k penderita
berbeda (Ghe
testes dapat
kan adalah m
permatic co
gera dipijat s
n keras untuk
an epididim
uka akibat
spirasi pada t
(Craft et
hasil biopsi
1
sel-sel tubulu
bat hematom
kurang dap
an interstitia
mbilan samp
n teknik FN
aik oleh tubu
gnosis, tekn
oduksi, seper
azoosperm
erardi 2009)
t dilakukan
membersihka
ord. Untu
setelah injek
k memastika
is dan duktu
jarum biop
tiga titik yan
t al. 199
i yang berup
10
us
ma
pat
al.
pel
NA
uh
nik
rti
mia
.
di
an
uk
ksi
an
us
psi
ng
7;
pa
11
cairan dapat langsung dikeluarkan dari jarum dan syringe ke atas gelas objek lalu
diulas dengan gelas objek lainya (Leme dan Papa 2010). Sedangkan untuk sampel
jaringan yang berbentuk padat dapat langsung dikeluarkan dari jarum dan syringe
kemudian difiksasi dengan menggunakan larutan Bouin ataupun paraformaldehid 4%
untuk selanjutnya diproses menjadi cell-block preparation (Craft et al. 1997).
Large-Needle Aspiration (LNA)
Large-needle aspiration (LNA) merupakan teknik biopsi yang hampir mirip
dengan teknik fine-needle aspiration (FNA), yang membedakannya adalah ukuran
jarum yang digunakan. Teknik LNA menggunakan jarum berukuran lebih besar,
yaitu 19 G-14 G. Teknik LNA juga memerlukan tekanan negatif yang berasal dari
syringe sebagai daya untuk mengambil sampel jaringan. Teknik LNA memiliki
keunggulan dibandingkan dengan teknik FNA karena sampel spesimen yang
diperoleh dengan teknik LNA lebih besar daripada teknik FNA, sehingga
mempermudah ahli patologi dalam menganalisis hasil biopsi. Menurut
Gouletsou et al. (2010) teknik LNA dan FNA tidak akan menimbulkan efek serius
pada fungsi testes.
Core-Needle Biopsy (CNB)
Metode core-needle biopsy (CNB) merupakan teknik biopsi yang
menggunakan jarum berinti (core-needle) berukuran 14 G sampai 20 G dan gun
biopsi otomatis. Jarum yang digunakan terdiri atas inner cannula yang memiliki
sebuah tempat untuk menampung sampel hasil biopsi (biopsy reservoir), dan cutting
cannula yang dapat meluncur di sepanjang inner cannula (Gherardi 2009). Cutting
cannula memiliki pisau pemotong (cutter) di bagian proksimalnya. Sebuah
mekanisme penggerak tersedia untuk menggerakkan cutting cannula dari posisi
distal ke posisi proksimal dan sebaliknya. Pergerakan cutting cannula dari posisi
proksimal ke posisi distal menyebabkan pisau pemotong (cutter) memotong jaringan
dari jaringan sekitarnya dan juga menangkap sampel jaringan tersebut masuk ke
dalam biopsy reservoir (Gherardi 2009). Prinsip kerja jarum biopsi saat ditusukkan
ke lesio atau suatu jaringan tubuh dapat dilihat pada Gambar 3.
12
Gambar 3 Prinsip kerja CNB untuk mengambil jaringan lesio atau jaringan tubuh
lainnya (Edwards 2008).
Metode CNB biasanya digunakan untuk mengambil sampel dari jaringan padat
dan lunak, seperti jaringan payudara pada manusia, jaringan limfonodus, dan
jaringan testes. Metode CNB mudah digunakan, murah, dan tidak berbahaya karena
trauma yang diakibatkan oleh jarum masih dapat ditoleransi oleh tubuh hewan
(Gherardi 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fischerleitner dan
Sinowatz (1983) pada sapi perah dengan melakukan biopsi testes secara berulang,
teknik CNB tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada produksi
testosteron. Keunggulan lain dari metode CNB adalah ukuran sampel yang diperoleh
lebih besar bila dibandingkan dengan metode FNA dan LNA (Helbich et al. 1998;
Craft et al. 1997). Ukuran sampel yang lebih besar akan mempermudah dalam
pemeriksaan histologi untuk mengetahui proses spermatogenesis yang terjadi pada
testes.
Jarum dengan ruang untuk spesimen (biopsy reservoir)
Inner cannula didorong ke dalam jaringan
Cutting cannula meluncur di sepanjang inner cannula, sehingga jaringan terpotong dan masuk ke dalam biopsy reservoir
Jarum biopsi ditarik keluar dari jaringan bersamaan dengan sampel jaringan
JaringanJaringan
Jaringan Jaringan
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan sejak Juli 2010 sampai Januari 2011 untuk
memfasilitasi pengamatan siklus ranggah di kandang penelitian Unit Rehabilitasi
Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan
Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi, Histologi dan Embriologi,
Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
Hewan Penelitian
Hewan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah seekor muncak
jantan dewasa berumur 3-4 tahun dan berada pada periode ranggah keras.
Muncak dipelihara di kandang individual berukuran 1 × 2 m² dan kandang terbuka
berukuran 10 x 7 m2 Unit Rehabilitasi dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penggunaan muncak sebagai hewan penelitian
adalah dengan seijin Menteri Kehutanan Republik Indonesia sesuai Surat
Keputusan Nomor SK 23 /Menhut 11/2011.
Sebelum dilakukan biopsi, muncak terlebih dahulu diadaptasikan selama
2-3 bulan agar dapat menyesuaikan diri dengan pakan dan lingkungan kandang.
Selama diadaptasikan, muncak diberi antelmentik untuk menghindari kecacingan.
Pakan yang diberikan berupa wortel, rumput, dan pelet setiap dua kali sehari pada
pagi dan sore.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah xylazin hidroklorida (xylazin HCl) 2%
(Seton®), ketamin hidroklorida (ketamin HCl) 10% (Ketamil®), aquades, larutan
Bouin, iodin, yohimbin (Reverzine®), antibiotik tetrasiklin long acting, salep
Agatis, kapas, kain kasa, tisu, alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, absolut, silol,
parafin, aquades, pewarna hematoksilin dan eosin (HE), dan Entelan®.
Alat yang digunakan adalah CNB (Dr.Japan®, Toray) dengan jarum
berukuran 14 G (Gambar 4), syringe ukuran 5 ml, skalpel, pinset, tissue basket,
14
botol-botol dehidrasi, cetakan parafin, blok kayu, hot plate, water bath,
termometer, mikrotom, tisu, gelas objek, gelas penutup, kuas, inkubator,
mikroskop cahaya, dan kamera.
Gambar 4 Alat biopsi CNB (Dr.Japan®, Toray) dengan jarum berukuran 14 G. Bar. 1 cm.
Metode
Persiapan yang dilakukan sebelum melakukan biopsi adalah mempersiapkan
alat-alat yang akan digunakan, yaitu alat biopsi CNB dalam kondisi steril dan siap
digunakan, serta disiapkan syringe 5 ml. Selain itu, dipersiapkan bahan-bahan
yang akan digunakan, yaitu kapas, kain kasa, NaCl fisiologis, alkohol 70%, iodin,
ketamin HCl, xylazin HCl, yohimbin, dan antibiotika long acting.
Prosedur Pembiusan
Pembiusan yang dilakukan adalah pembiusan umum. Sebelum dibius,
muncak dipuasakan terlebih dahulu selama 10 jam. Prosedur pembiusan diawali
dengan menyiapkan obat bius, yaitu xylazin HCl dan ketamin HCl menggunakan
syringe 5 ml dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan (BB). Setelah
xylazin dan ketamin siap, muncak ditangkap di dalam kandang dengan teknik
manual handling, yaitu dengan memegang bagian pedikel muncak agar muncak
dapat di-restrain dan selanjutnya dilakukan injeksi xylazin HCl-ketamin HCl
secara intramuskular pada musculus semitendinosus dan ditunggu beberapa menit
sampai muncak tertidur.
Prosedur Biopsi
Prosedur biopsi diawali dengan pembersihan kulit skrotum menggunakan
kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol 70%. Biopsi dilakukan pada bagian
15
skrotum yang tidak berambut. Biopsi dilakukan dengan menusukkan jarum biopsi
ke dalam skrotum sampai jarum biopsi menembus masuk ke dalam testes dan
diperkirakan sudah mencapai bagian dimana sampel jaringan yang ingin
dikoleksi. Biopsi dilakukan dengan menusukkan jarum biopsi ke dalam skrotum
sampai jarum biopsi menembus masuk sekitar 2 cm ke dalam testes. Saat jarum
biopsi sudah berada di dalam testes, maka plunger dari alat biopsi ditekan dengan
menggunakan ibu jari tangan. Sesaat setelah plunger ditekan, maka dengan
segera jarum biopsi akan memotong jaringan testes, sehingga jaringan akan
terdorong masuk ke dalam biopsy reservoir (Gambar 5). Jarum biopsi ditarik
keluar dari testes melewati kulit skrotum, kemudian fragmen testes yang terdapat
di bagian biopsy reservoir dikeluarkan dengan cara mendorong plunger
menggunakan ibu jari tangan. Sampel jaringan selanjutnya dimasukkan ke dalam
larutan Bouin selama 24 jam. Sampel selanjutnya diproses hingga menjadi
preparat histologi.
Gambar 5 Alat biopsi CNB berikut bagian-bagiannya: plunger (1), cutting cannula (2), throw length (10 mm atau 20 mm) (3), biopsy reservoir (4), inner cannula (5) (Anonim 2010a).
Perawatan Muncak Pascabiopsi
Luka trauma akibat penusukan jarum biopsi diolesi dengan iodin dan salep
luka yang mengandung antibiotik. Muncak yang telah dibiopsi diberikan
yohimbin dengan dosis 0.25 mg/10 kg BB secara intravena dengan menggunakan
syringe 5 ml. Selanjutnya muncak diinjeksi dengan antibiotik long acting
sebanyak 3 ml. Kondisi muncak pasca-biopsi dipantau sehari dua kali, yaitu pada
pagi dan sore hari sampai luka biopsi sembuh.
16
Prosedur Pembuatan Preparat Histologis Jaringan Testes
Fragmen yang diperoleh dari prosedur biopsi kemudian direndam dalam
larutan Bouin untuk fiksasi jaringan selama 24 jam. Selanjutnya spesimen
dimasukkan ke dalam alkohol 70% sebagai stopping point. Prosedur dilanjutkan
dengan proses dehidrasi jaringan dalam alkohol konsentrasi bertingkat (80%,
85%, 90%, 95%, dan absolut) dan perendaman dalam larutan silol. Tahap
berikutnya adalah infiltrasi dalam parafin cair dan dilanjutkan dengan embedding,
blocking serta pemotongan jaringan dengan ketebalan 3-4 µm menggunakan
mikrotom putar. Sayatan jaringan selanjutnya diwarnai dengan pewarna
hematoksilin–eosin (HE). Setelah selesai diwarnai preparat diamati dengan
mikroskop cahaya dengan perbesaran lensa objektif 10 kali dan 40 kali.
Pengambilan Data
Data yang diambil meliputi prosedur biopsi termasuk proses perawatan
pasca-biopsi dan gambaran struktur histologis jaringan testes hasil biopsi yang
difoto dengan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan mencatat hasil
pengamatan dan membandingkannya dengan pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Prosedur Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak
Prosedur biopsi yang dilakukan pada testes muncak menimbulkan luka pada
skrotum dan testes muncak. Luka tersebut diakibatkan oleh penetrasi jarum
(Gambar 6) biopsi ke dalam testes muncak. Pemberian iodin dan salep luka pada
luka biopsi (Gambar 7) berfungsi untuk mencegah infeksi dan mempercepat
persembuhan luka biopsi. Gambar 8 menunjukkan prosedur injeksi yohimbin
secara intravena untuk menghilangkan efek obat bius, sehingga muncak dapat
segera sadar. Injeksi dengan antibiotik long acting bertujuan untuk mencegah
infeksi pada luka biopsi pada testes dan skrotum. Jenis antibiotik long acting
dipilih agar pemberian antibiotik hanya dilakukan sekali, sehingga muncak tidak
stres. Bekas luka pada skrotum sudah tidak terlihat pada hari ke-14 pascabiopsi
(Gambar 10), sedangkan luka pada testes tidak diketahui kapan waktu sembuhnya
karena tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap testes tersebut. Ukuran
fragmen jaringan testes yang diperoleh melalui prosedur biopsi pada penelitian ini
berukuran sekitar 4 mm (Gambar 9).
Gambar 6 Penusukan jarum biopsi ke dalam skrotum muncak (tanda panah).
G
Gambar
Gamba
Gambar 9 Up
7 Luka pasc
ar 8 Injeksi
Ukuran fragprosedur bio
cabiopsi yan
yohimbin se
gmen jaringaopsi. Bar. 3 m
ng telah diole
ecara intrave
an testes (tanmm
esi dengan io
ena pada kak
nda panah).y
odin (tanda p
ki depan mun
yang diperol
18
panah).
ncak.
leh melalui
H
d
d
s
S
s
s
s
t
G
Gamb
Hasil Pemer
Melalu
ditemukan s
dengan mik
secara utuh,
Struktur yan
seperti sel
seminiferi, j
sel-sel myoi
tubuli semin
Gambar 11 Smtd(5
bar 10 Kon
riksaan His
ui perhitung
sekitar 27 t
kroskop caha
, tetapi pada
ng dapat dia
Sertoli, sper
aringan inter
id peritubul
niferi yang m
Struktur histmemperlihattubuli semindarah (BD). (Sg), dan m5µm (B).
ndisi testis da
stologis Sam
gan secara m
tubuli semin
aya menunju
a beberapa t
mati antara
rmatogonia,
rstitial testes
ar. Selain
menandakan
tologi jaringtkan keutuhniferi (TS), l
(B) Gambarmembran bas
an skrotum m
mpel Jaringa
manual, pad
niferi. Has
ukkan struk
tubuli semin
lain: tubuli
spermatosi
s juga dapat
itu, ditemu
adanya pros
gan testes hhan jaringan lumen (L), jran detil tubsal (MB). P
muncak 14 h
an Testes
da preparat h
sil pengama
ktur histolog
niferi tidak t
seminiferi b
it serta sper
diamati, sep
ukan perbed
ses spermato
hasil biopsi. testis yang
aringan intebuli seminifePewarnaan H
hari pascabio
histologi yan
atan prepara
gis dari jarin
terlihat adan
berserta kom
rmatid. Se
perti sel-sel L
aan kompos
genesis.
(A) Gambag terdiri ataserstisial (JI),eri dengan seHE. Bar. 1
19
opsi.
ng diamati
at hitologis
ngan testes
nya lumen.
mponennya,
elain tubuli
Leydig dan
sisi seluler
aran umum s beberapa dan buluh el germinal 0 µm (A);
20
Gambar 12 Struktur histologi jaringan testes hasil biopsi yang memperlihatkan
tubuli seminiferi dengan komposisi sel-sel spermatogenik tubuli seminiferi yang berbeda-beda menandakan spermatogenesis: spermatogonia (Sg); spermatosit primer (Sp); sel Leydig (SL); sel Sertoli (S); membran basal (MB); sel myoid peritubular (M); lumen (L); elongated spermatid (E). Pewarnaan HE. Bar. 5µm.
Pembahasan
Prosedur Biopsi Core-Needle pada Testes Muncak
Prosedur biopsi testes sebenarnya hanya membutuhkan pembiusan secara
lokal di daerah testes jika hewan mudah untuk ditangani seperti yang dilakukan
pada testes kuda (Papa dan Leme 2010). Menurut Caulkett et al. (2000),
imobilisasi rusa liar dan yang dikandangkan biasanya menggunakan bahan kimia
atau obat-obatan. Pada awalnya penggunaan bahan kimia untuk imobilisasi rusa
menggunakan obat-obatan yang memiliki efek memblok neuromuskular
(neuromuscular blocking agent), seperti d-tubocurarine, gallamine, dan
succinylcholine, atau stimulator ganglionik seperti nikotin (Jones 1973 yang
dikutip oleh Miller et al. 2009). Namun penggunaannya menjadi terbatas karena
efek samping yang ditimbulkan dan tingginya mortalitas. Sejak tahun 1960,
praktisi mulai menggunakan kombinasi obat yang dapat menekan sistem saraf
pusat, yang dianggap aman dan lebih sesuai dengan prinsip animal welfare.
Beberapa obat-obatan, seperti ketamin HCl, xylazin HCl, tiletamine,
zolazepam, dan medetomidine, telah digunakan secara rutin untuk imobilisasi
sejumlah satwa liar (Sontakke et al. 2007). Obat-obatan pilihan yang digunakan
untuk imobilisasi rusa adalah xylazin HCl atau kombinasi xylazin HCl-ketamin
HCl, atau fentazine (campuran fentanyl, azaparone dan xylazin HCl)
21
(Caulkett et al. 2000). Ketamin HCl dan xylazin HCl adalah obat yang paling
sering digunakan dalam imobilisasi rusa (Van der Eems dan Brown 1986;
Sontakke et al. 2007).
Lebih dari 30 tahun xylazin HCl yang merupakan α2-adrenergic agonist,
telah digunakan untuk imobilisasi rusa. Ketamin HCl merupakan short-acting
dissociative anesthetic yang menyebabkan sedasi yang baik dan analgesik
menengah. Namun, jika ketamin HCl diberikan sebagai anastesi tunggal akan
menyebabkan relaksasi otot yang kurang baik dan pemulihan dari anastesi yang
violent (Miller et al. 2009).
Studi yang dilaksanakan oleh Sontakke et al. (2007) untuk menganastesi
rusa totol (Axis axis) menunjukkan bahwa kombinasi 0.5 mg/kg BB xylazin HCl
dengan 2.5 mg/kg BB ketamin HCl memberikan induksi anastesi yang paling
cepat dan efektif pada rusa jantan, sedangkan kombinasi yang baik pada rusa
betina adalah 1.5 mg/kg BB xylazin HCl dan 1.0 mg/kg BB ketamin HCl.
Berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Sontakke et al. (2007) tersebut, maka
pada penelitian ini digunakan pembiusan dengan menggunakan kombinasi yang
sama, yaitu xylazin HCl dan ketamin HCl. Dosis yang digunakan pada muncak
adalah 1 mg/kg BB untuk ketamin HCl dan 1 mg/kg BB untuk xylazin HCl.
Dosis ini dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan terkait ukuran tubuh dan
tingkat stres pada muncak.
Selain memiliki keunggulan seperti yang telah disebutkan, prosedur
pembiusan menggunakan kombinasi xylazin HCl dan ketamin HCl juga
menimbulkan efek yang kurang baik. Xylazin HCl dan kombinasi xylazin HCl
dengan obat lain dapat menyebabkan acidemia, kembung dan regurgitasi,
bradycardia, masalah pengaturan suhu, hipoksemia, glikosuria, dan anoreksia
(Sontakke et al. 2007). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, muncak perlu segera
disadarkan setelah prosedur biopsi dengan memberikan α2-adrenergic antagonist
seperti yohimbin (Van der Eems dan Brown 1986; Deresienski dan
Rupprecht 1989).
Menurut Deresienski dan Rupprecht (1989), yohimbin memulihkan secara
efektif sedasi yang diinduksi oleh sejumlah agonist seperti xylazin HCl.
Yohimbin dikenal memiliki kerja α2-adrenergic antagonist dan mengembalikan
22
secara langsung efek α2-adrenergic agonist dari xylazin HCl. Menurut
Sontakke et al. (2007), pemberian yohimbin dengan dosis 0.2-0.3 mg/kg BB
secara intravena terhadap rusa membantu menyadarkan atau memulihkan kondisi
rusa, baik bagi rusa jantan maupun betina. Pada penelitian ini pemberian
yohimbin dengan dosis 0.25 ml/10 kg BB secara intravena, terbukti efektif untuk
menghilangkan efek anastetikum dan muncak sadar dalam waktu singkat.
Biopsi testes berisiko menyebabkan hemoragi, peradangan, dan infeksi pada
testes (Lopate et al. 1989; Threlfall dan Lopate 1992) jika dilakukan dengan
prosedur yang tidak tepat. Selama proses biopsi berlangsung tidak terjadi
hemoragi seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Biopsi testes yang dilakukan
juga tidak menyebabkan infeksi pada testes karena prosedur biopsi dilakukan
prosedur yang tepat dan secara lege-artis. Selain itu, muncak juga diinjeksi
dengan antibiotik sehingga dapat semakin meminimalisasi terjadinya infeksi pada
luka biopsi. Hal ini terlihat dari tidak terjadinya infeksi pada luka biopsi sampai
luka tersebut sembuh.
Berdasarkan keadaan luka yang terjadi, jenis penyembuhan dibagi menjadi
dua macam. Luka paling sederhana adalah luka yang dapat ditangani sendiri oleh
tubuh seperti pada insisi pembedahan, yang tepi lukanya dapat saling didekatkan
untuk dimulainya proses persembuhan. Persembuhan semacam itu disebut
persembuhan primer (Price dan Wilson 1995). Pola kedua adalah penyembuhan
luka terjadi jika kulit yang mengalami luka sedemikian rupa sehingga tepinya
tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Keadaan ini disebut
sebagai atau terkadang disebut penyembuhan dengan granulasi. Luka seperti ini
biasanya menimbulkan jaringan parut dan memerlukan waktu yang lama dalam
proses persembuhannya (Price dan Wilson 1995).
Persembuhan luka sendiri adalah kembali menjadi normalnya integritas
kulit dan jaringan yang berada di bawahnya (Halper et al. 2003) dan terdiri atas
tiga fase, yaitu proses peradangan, fase proliferasi, serta remodeling atau fase
maturasi (Singer dan Clark 1999). Menurut Tawi (2008) luka dikatakan sembuh
jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu
melakukan aktivitas yang normal. Berdasarkan keadaan luka, maka luka biopsi
pada testes muncak merupakan jenis luka yang paling sederhana karena luka
23
tersebut sangat kecil dan dapat ditangani sendiri oleh tubuh muncak. Luka biopsi
sembuh pada hari ke-14 pascabiopsi, hal ini terlihat dari sudah terjadinya
kontinuitas lapisan kulit dan jaringan kulit pada luka biopsi sudah berganti dengan
jaringan kulit yang baru.
Prosedur biopsi menghasilkan fragmen testes yang terkumpul pada biopsy
reservoir. Fragmen tersebut langsung dimasukkan ke dalam larutan fiksasi
(larutan Bouin). Hal ini bertujuan agar jaringan tidak mengalami autolisis dan
dapat merusak struktur histologi jaringan. Proses fiksasi sendiri bertujuan untuk
mengawetkan jaringan, sehingga dapat mempertahankan susunan jaringan agar
mendekati kondisi awal jaringan saat masih belum dibiopsi. Selain itu, fiksasi
juga bertujuan untuk mengeraskan jaringan testes sehingga memudahkan dalam
proses pembuatan preparat histologis. Larutan fiksasi yang digunakan adalah
larutan Bouin yang terdiri atas larutan asam pikrat jenuh 75%, formaldehid 25%,
dan asam asetat glasial 5% (Kiernan 1990). Larutan Bouin memiliki daya
penetrasi yang cepat dan merata, sehingga seluruh bagian sampel jaringan testes
dapat terfiksasi dengan cepat dan merata. Selain itu, larutan Bouin juga sangat
baik dalam memvisualisasikan kromosom dan nukleus (Zulham 2009).
Setelah difiksasi, sampel jaringan testes selanjutnya dibuat menjadi preparat
histologi dan diwarnai dengan pewarnaan HE. Pewarnaan HE telah digunakan
selama kurang lebih satu abad dan sampai saat ini masih umum digunakan untuk
mengenali berbagai jenis sel (Fischer et al. 2006). Pewarnaan HE digunakan
untuk mewarnai preparat histologi dari sampel jaringan testes hasil biopsi karena
pewarnaan HE merupakan salah satu metode pilihan untuk mendeteksi
spermatozoa dan pewarnaan yang sudah sering digunakan untuk preparat hitologis
(Allery et al. 2001). Pada sediaan yang diwarnai dengan hematoksilin-eosin,
gambaran sel germinal terlihat jelas sehingga diferensisasi dari tiap sel dapat
diamati (Almeida et al. 2006). Unsur basa dalam sel akan menyerap warna eosin,
sedangkan unsur asam akan menyerap warna hematoksilin. Inti sel yang bersifat
asam akan berwarna ungu, sedangkan sitoplasma dari sel akan berwarna merah
(Kiernan 1990).
24
Hasil Pemeriksaan Histologis Sampel Jaringan Testes
Dari hasil pengamatan preparat histologi dengan mikroskop menunjukkan
hasil yang baik karena dapat menunjukkan struktur histologi dari jaringan testes
secara utuh. Namun pada beberapa tubuli seminiferi tidak ditemukan lumen. Hal
ini terjadi karena jarum biopsi kurang dalam masuk ke dalam testes atau masih
terlalu superficial saat dilakukan biopsi. Tidak ditemukannya lumen pada
beberapa tubuli seminiferi menyebabkan kesulitan dalam mengamati proses
spermatogenesis yang berlangsung. Tetapi pada beberapa tubuli seminiferi lumen
masih terlihat jelas, sehingga proses spermatogenesis masih dapat diamati.
Dari hasil pengamatan histologis juga dapat dilihat beberapa keunggulan
teknik CNB jika dibandingkan dengan teknik LNA dan FNA. Keunggulannya
adalah ukuran sampel jaringan testes yang diperoleh lebih besar (Helbich et al.
1998; Carpi et al. 1999), sehingga gambaran sel-sel tubulus jelas dan jumlah
tubuli seminiferi yang diperoleh lebih banyak sehingga memungkinkan
pengamatan terhadap tahapan-tahapan spermatogenesis. Jaringan interstitial
testes muncak juga dapat diamati, sehingga keberadaan sel Leydig dapat diamati
dengan jelas. Kondisi tersebut tidak ditemukan pada hasil biopsi dengan teknik
FNA, dimana struktur histologi jaringan interstisial tidak utuh, sehingga sulit
diamati (Gambar 13).
Gambar 13 Gambaran histologis tubuli seminiferi dan jaringan interstitial dari sampel jaringan testes yang diperoleh dengan menggunakan teknik FNA (Craft et al. 1997).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Prosedur core-needle biopsy (CNB) baik dan cocok diaplikasikan pada
testes muncak karena prosedur ini mudah dilakukan dan luka biopsi cepat
sembuh. Besaran fragmen testes yang diperoleh sangat memadai dan
menunjukkan struktur histologis jaringan testes secara utuh.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek core-needle
biopsy (CNB) pada testes muncak terhadap fungsi testes.
DAFTAR PUSTAKA
Allery JP, Telmon N, Mieusset R, Blanc A, Rougé D. 2001. Cytological detection of spermatozoa: comparison of three staining methods. J Forensic Sci 46:349-351.
Almeida FFL, Leal MC, França LR. 2006. Testis morphometry, duration of spermatogenesis, and spermatogenic efficiency in the wild boar (Sus scrofa scrofa). Biol Reprod 75:792-799.
[Anonim]. 2004. Hypodermic needle gauge chart. http://www.medtube.com/ hypo_chrt.htm [25 April 2011].
[Anonim]. 2008. Methods of breast biopsy. [terhubung berkala]. http://www. imaginis.com/breast-health-biopsy/methods-of-breast-biopsy [25 Mei 2011].
[Anonim]. 2010a. Quick Core® biopsy needles. http//www.cookmedical.com /ir/search.do. [25 April 2011].
[Anonim]. 2010b. Syringe needle gauge chart. http//www.sigmaaldrich.com /chemistry/stockroom-reagents/learning-center /technical-library/needle-gauge-chart.html. [25 Mei 2011].
Blanchard TL, Varner DD. 1996. Evaluating breeding soundness in stallions 4: hormonal assay and testicular biopsy. Vet Med 91:358–365.
Bergmann M, Kliesch S. 2010. Testicular Biopsy and Histology Di dalam Nieschlag E, Behre HM, Nieschlag S, editor. Andrology – Male Reproductive Health and Dysfunction. Berlin: Springer.
Carpi A, Nicolini A, Sagripanti A, Righi C, Menchini FF, Coscio DG. 2000. Large-Needle Aspiration Biopsy for the Preoperative Selection of Palpable Thyroid Nodules Diagnosed by Fine-Needle Aspiration as a Microfollicular Nodule or Suspected Cancer. Am J Clin Pathol 113:872-877.
Caulkett NA, Cribb PH, Haigh JC. 2000. Comparative cardiopulmonary effects of carfentanil-xylazine and medetomidinemketamine used for immobilization of mule deer and mule deer/white-tailed deer hybrids. Can J Vet Res 64:64-68.
Chapman NG, Harris S. 1991. Evidence that the seasonal antler cycle of adult Reeves’ muntjac (Muntiacus reevesi) is not associated with reproductive quiescence. J Reprod Fert 92:361-369.
Craft I, Tsirigoti M, Courtauld E, Farrer-Brown F. 1997. Testicular needle aspiration as an alternative to biopsy for the assessment of spermatogenesis. Human Reprod 12:1483-1487.
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. USA: Mosby.
27
Dansie O. 1970. Muntjac (Muntiacus sp.). British Deer Society Pub 2:3-20.
Deresienski DT, Rupprecht CE. 1989. Yohimbine reversal of ketamine-xylazine immobilization of raccoons (procyon lotor). J Wildlife Dis 25:169-174.
Doris HW, Kurt B. 1970. Indian Muntjac, Muntiacus muntjak: a deer with a low diploid chromosome number. Sci 168:1364-1366.
Duarte A, Abdo J. 2008. Velvet deer antler the 2000-year-old medicine. [terhubung berkala]. http://lifeextension.com [27 Februari 2010].
Edwards M. 2008. Trucut needle biopsy. [terhubung berkala] http://www.wikisurgery.com/index.php?title=Trucut-needle-biopsy-operationscript [24 Februari 2011].
Fischer AH, Jacobson KA, Rose J, Zeller R. 2006. Hematoxylin and eosin staining of tissue and cell sections. Cold Spring Harb Protocol. [terhubung berkala] http://cshprotocols.cshlp.org/content/2008/5/pdb.prot4986.abstract. [24 Februari 2011]. doi:10.1101/pdb.prot4986.
Fischerleitner F, Sinowatz F. 1983. Morphologische untersuchungen an rinderhoden nach wiederholter biopsie (Morphological studies of cattle testicles following repeated biopsy). Zuchthyg 18:103–104.
Frandson RD, Wilke WL, Fails AD. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed ke-7. Singapore: John Wiley.
Franca LR, Becker-Silva SC, Chiarini-Garcia H. 1999. The length of the cycle of seminiferous epithelium in goats (Capra hircus). Tissue Cell 31:274-280.
Gherardi G. 2009. Fine-Needle Biopsy of Superficial and Deep Masses. Milan: Springer.
Gouletsou PG, Galatos AD, Leontides LS, Sideri AIO. 2010. Impact of fine- or large-needle aspiration on canine testes: clinical, in vivo ultrasonographic and seminological assessment. Theriogenol 74:1604–1614.
Grubb P. 1993. Order Artiodactyla. Di dalam: Wilson DE, Reeder DM, editor. Mammal Species of the World. A Taxonomic and Geographic Reference. Baltimore, Maryland: John Hopkins Univ Pr.
Halper J, Leshin S, Lewis SJ, Li WL. 2003. Wound healing and angiogenic properties of supernatant from Lactobacillus cultures. Exp Biol Med 228: 1329-1337
Helbich HT, Rudas M, Andrea A, Kohlberger DP, Thurnher M, Gnant M, Wunderbaldinger P, Wolf G, Mostbeck GH. 1998. Evaluation of needle size for breast biopsy: comparison of I4-, I6-, and I8-Gauge biopsy needles. Am J Roentgenol 171:59-63.
28
Jackson A. 2002. Muntiacus muntjak. Animal Diversity Web. [terhubung berkala]. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/ information/ Muntiacus_muntjak.html. [24 Februari 2011].
Jha R, Sayami G. 2009. Testicular fine needle aspiration in evaluation of male infertility. J Nepal Med Assoc 48:78-84.
[PHKA]. 2004. Peraturan Perundang-undangan. Bidang Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Jakarta : Sekretariat Dirjen PHKA Departemen Kehutanan.
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. New York: Pergamon Pr.
Leme DP, Papa FO. 2010. How to perform and interpret testicular fine needle aspiration in stallions. J Equine Vet Sci 30(10):590-596.
Lopate C, Threlfall WR, Rosol TI. 1989. Histopathologic and gross effects of testicular biopsy in the dog. Theriogenol 32, 585–602.
Loudon ASI, Curlewis JD. 1988. Cycles of antler and testicular growth in an seasonal tropical deer (Axis axis). J Reprod Fert 83:729-738.
Miller BF, Osborn DA, Lance WR, Howze MB, Warren RJ, Miller KV. 2009. Butorphanol-azaperone-medetomidine for Immobilization of captive white-tailed deer. J Wildlife Dis 45:457–467.
Manik LE. 2011. Anatomi organ reproduksi muncak (Muntiacus muntjak muntjak) jantan pada tahap ranggah keras [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Najamudin. 2010. Kajian pola reproduksi pada kancil (Tragulus javanicus) dalam mendukung pelestariannya [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nalley WMM. 2006. Kajian biologi reproduksi dan penerapan teknologi inseminasi buatan pada rusa timor (Cervus timorensis) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Olson PN, Schultheiss P, Seim III HB. 1992. Clinical and laboratory findings associated with actual or suspected azoospermia in dogs: 18 cases (1979–1990). J Am Vet Med Assoc 201:478–482.
Price AS, Wilson LM. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Anugerah P, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Pathophysiology: Clinical Concept of Disease Processes.
Russel LD, Ettlin RA, Sinba Hikim AP, Clegg ED. 1990. Histological and Histopathological Evaluation of Testis. Clearwater FL: Cache River Pr.
29
Santos M, Marcos R, Caniatti M. 2010. Cytologic study of normal canine testis. Theriogenol 73:208–214.
Sartori R, Prestes CN, Canavessi OMA. Curi RP, Bergfelt RD. 2002. Testicular biopsy with Tru-Cut needle in conjunction with fibrin adhesive or nylon suture: assessment of post-biopsy testicular function in rams. Small Ruminant Res 45:25–31.
Singer AJ, Clark RAF. 1999. Cutaneus wond healing. N England J Med. 341:738-154.
Sontakke SD, Reddy AP, Umapathy G, Shivaji S. 2007. Anesthesia induced by administration of xylazine hydrochloride alone or in combination with ketamine hydrochloride and reversal by administration of yohimbine hydrochloride in captive Axis deer (Axis axis). Am J Vet Res 68 :1-8.
Tawi. 2008. Proses Penyembuhan Luka. http://syehaceh.wordpress.com [2 Februari 2012].
Threlfall WR, Lopate C. 1992. Testicular biopsy. Di dalam McKinnon AO, Voss JL, editor. Equine Reproduction. Philadelphia: Lea and Febiger.
Van der Eems K, Brown RD. 1986. Effect of caffeine sodium benzoate, ketamine hydrochloride, and yohimbine hydrochloride on xylazine hydrochloride-induced anorexia in white-tailed deer. J Wildlife Dis 22: 403-406.
Zulham 2009. Penuntun Praktikum Histoteknik. Medan: Departemen Histologi FK USU.
LAMPIRAN
31
Lampiran 1 Diagram alir pewarnaan hematoksilin eosin (HE) pada sediaan histologi testis muncak
Silol I, 5 menit
Silol II, 3 menit
Silol III, 3 menit
Alkohol absolut, @3 menit
Alkohol bertingkat (95%, 90%, 80%, 70%) @3 menit
Direndam di dalam air keran dilanjutkan dengan akuades @10 menit
Mayer’s Hematoksilin (kontrol mikroskop) (detik-menit)
Direndam di dalam air keran (detik-menit)
Eosin (5-10 detik)
Akuades
Alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, absolut) (7-10 celupan)
Silol III, II, I (clearing) @5 menit
Mounting dengan Entellan®
Deparafinisasi
Pewarnaan