antiinflamasi

62
Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri. Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo, 2001). Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto-PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi leukotriene. AINS sebagai antinyeri rematik Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr. Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari

description

antiinflamasi

Transcript of antiinflamasi

Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri

Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri.

Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo, 2001).

Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto-PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi leukotriene.

AINS sebagai antinyeri rematik

Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr.

Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 2

sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002).

Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2.

Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena s emua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.

Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik

AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:

1 terdistribusi ke sinovium

Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di sinovium.

Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac (Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997), ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies & Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies & Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium. Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan khasiat antinyeri rematik yang nyata.

2 mula kerja AINS yang segera (dini)

Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 3

diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya.

Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).

3 masa kerja AINS yang lama (panjang)

Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam) memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko.

Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang.

Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium (90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).

4 bahan aktif AINS bukan rasemik

Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999) dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)- dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 4

5 bahan aktif AINS bukan prodrug.

Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.

6 efek samping AINS yang minimal

Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan. AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:

gangguan saluran cerna

Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon (metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide, celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung.

Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan mukosa saluran cerna.

gangguan fungsi ginjal

Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).

gangguan sistem kardiovaskuler

Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta-analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000)

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 5

menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.

gangguan pembekuan darah

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif.

7 memberikan interaksi yang minimal

Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma. Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah jantung (Lelo, 2001).

8 mekanisme kerja multifactor

Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan PGE2 dengan cepat.

Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX-2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002) berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak

Kesimpulan

Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum peresepannya.

Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler.

Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.

e-USU Repository 2004 Universitas Sumatera Utara 6

terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.

Farmakodinamik

kalium diklofenak

Kalium diklofenak adalah suatu zat anti inflamasi non steroid dan mengandung garam kalium dari diklofenak. Pada kalium diklofenak, ion sodium dari sodium diklofenak diganti dengan ion kalium. Zat aktifnya adalah sama dengan sodium diklofenak. Obat ini mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi. Tablet kalium diklofenak memiliki mula kerja yang cepat. Penghambatan biosintesa prostaglandin, yang telah dibuktikan pada beberapa percobaan, mempunyai hubungan penting dengan mekanisme kerja kalium diklofenak. Prostaglandin mempunyai peranan penting sebagai penyebab dari inflamasi, nyeri dan demam. Pada percobaan-percobaan klinis Kalium Diklofenak juga menunjukkan efek analgesik yang nyata pada nyeri sedang dan berat. Dengan adanya inflamasi yang disebabkan oleh trauma atau setelah operasi, kalium diklofenak mengurangi nyeri spontan dan nyeri pada waktu bergerak serta bengkak dan luka dengan edema. Kalium diklofenak secara in vitro tidak menekan biosintesa proteoglikan di dalam tulang rawan pada konsentrasi setara dengan konsentrasi yang dicapai pada manusia.

AbstrakNyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang dirasakan oleh penderita, sehingga keluhan tersebut merupakan tanda dan gejala yang tidak terlalu sulit dikenali secara klinis namun penyebabnya bervariasi. Dalam hal ini, clinical review (Peninjauan ulang) hasil uji klinis dan perawatan yang pernah dilakukan mampu mengungkap lebih lanjut mekanisme biologik yang terjadi pada nyeri dan inflamasi. Dilaporkan 5 hasil uji klinis antara obat-obata NSAIDS, baik COX-1 maupun COX-2, serta 2 laporan kasus operasi impaksi gigi molar tiga mandibula dan pencabutan gigi dengan faktor penyulit, yaitu penderita gagal ginjal dan jantung.

PengantarDalam bidang kedokteran gigi akan selalu dihadapkan pada keluhan pasien yang bersumber dari gejala atau tanda-tanda yang mendorong penderita datang ke dokter gigi. Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan penderita, sehingga dikenal berbagai obat yang bersifat simtomatik dengan fungsi utama mengurangi rasa sakit (analgetik). Analgetik biasanya mempunyai efek lain, seperti anti piretik dan anti inflamasi. Obat-obat analgetik anti inflamasi, terutama yang non steroid (NSAIDS) bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX), baik COX-1 maupun COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika enzim ini terhambat akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000).

Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto, 1989).Banyaknya obat analgetik yang sudah beredar dengan spesifikasinya masing-masing, sehingga paling tidak akan cukup merepotkan kita sebagai klinisi untuk memilihnya. Oleh karena itu perlu dipikirkan analgetik apa yang harus diberikan sesuai dengan indikasi untuk kepentingan klinik di bidang kedokteran gigi.

Farmakodinamika AnalgetikAnalgetik perlu diberikan jika ada keluhan nyeri. Di antara banyaknya preparat analgetik, preparat dengan aksi yang ringan adalah dari golongan anti piretik. Aksi utama analgetik anti piretik, seperti paracetamol dan metamizol adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat (hipotalamus), tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti inflamasi (Dwiprahasto, 1989).

NSAIDS konvensional, seperti aspirin, ibuprofen, dan asam mefenamat memblok lebih banyak COX-1 daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet. Sedangkan COX-2 mensintesis prostaglandin hanya pada tempat inflamasi, sehingga jika hanya enzim COX-2 yang terhambat, maka akan mencegah pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi saja (Day, 2000). Sedang menurut Vane (1996), enzim COX merupakan produk metabolisme dari asam arachidonat dan sangat berperan dalam berbagai bentuk inflamasi baik akut maupun kronik. Enzim ini terdapat dua isoform, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang berpengaruh pada platelet, mukosa lambung dan ginjal, sedangkan COX-2 berperan pada proses peradangan yang menimbulkan rasa nyeri.

Asam arachidonat COX-1 COX-2

Prostaglandin NSAIDS COX-2 spesific Prostaglandinpada lambung konvensional inhibitors hanya pada tempatusus, ginjal, memblok COX-1 memblok COX-2 inflamasidan platelet dan COX-2

Skema penghambatan asam arachidonat (Day, 2000)

Nimesulide termasuk obat NSAID terbaru dari golongan Sulfoaniliode yang mampu menghambat selektif COX-2, sehingga bekerja lebih efektif sebagai analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik dengan efek samping yang sangat minimal. Obat ini diberikan dalam dosis 100-200 mg, 2 kali sehari (Rabasseda, 1996). Penambahan dosis obat selektif COX-2 tidak akan berpengaruh terhadap penghambatan COX-1. Hal ini terlihat pada pengukuran whole blood untuik produksi prostaglandin pada orang-orang yang mengkonsumsi obat ini (Day, 2000).

Farmakokinetika Analgetik Untuk memperoleh efek analgetik yang optimal dari suatu obat, diperlukan beberapa kriteria atau sifat-sifat farmakokinetik sebagai berikut:

1. Diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, dengan ketersediaan hayati absolut (100%).

2. Terdistribusi secara cepat dan baik ke jaringan target dengan konsentrasi yang tidak terlalu tinggi di organ-organ untuk mengurangi efek samping.

3. Eleminasinya cepat, baik melalui hepar maupun ginjal untuk mencegah terjadinya penimbunan obat, khususnya pada penderita ginjal/ hepar.

4. Tidak toksik (toksisitas minimal), sedikit memberi interkasi terhadap obat-obat lain yang kemungkinan harus diberikan bersamaan serta harus mempunyai indeks terapeutik yang sempit.

Efek SampingEfek samping yang dapat terjadi sehubungan dengan pemakainan obat analgetik dapat terjadi dalam bentuk ringan maupun yang lebih serius. Pada umumnya manifestasi obat tersebut dalam bentuk ringan berupa reaksi alergi, rash, dan sebagainya dengan angka kejadian yang relatif kecil untuk paracetamol, metamizol, dan ibuprofen, sedang pada aspirin lebih besar.Efek samping aspirin terutama pada sistem gastrointestinal, berupa dispepsi, nyeri epigastrik, mual dan muntah hingga perdarahan lambung. Hal ini dapat dijelaskan, mengingat bahwa aspirin menghambat COX-1 lebih besar daripada COX-2. COX-1 mensintesis prostaglandin di lambung, ginjal, dan platelet, sehingga jika enzim ini terhambat akan mengganggu fungsi normal lambung, ginjal, dan platelet (Day, 2000). Berbeda dengan aspirin, paracetamol juga bersifat menghambat sintesis prostaglandin tetapi tidak menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung oleh karena paracetamol hanya menghambat prostaglandin di pusat (hipotalamus), sehingga aman untuk gangguan lambung, ginjal, dan platelet.

Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan hepar, berupa peningkatan aktivitas aminotransferase plasma, sedang hepatitis salisilat umumnya terjadi jika kadar salisilat dalam plasma mencapai lebih dari 250 mcg/ ml. Mirip dengan aspirin, meskipun dari segi keamanan relatif lebih baik, paracetamol juga dapat menimbulkan efek samping berupa kerusakan pada hepar, terutama pada dosis yang tinggi sekitar 15 gram atau 250 mg/ kg. dan status gizi yang buruk atau pada penderita alkoholik. Efek samping dari asam mefenamat yang sering dijumpai adalah mual, diare, pusing, ruam kulit, leukopenia, dan anemia hemolitik (autoimun). Metamizol meskipun belum banyak data yang dikemukakan sehubungan dengan kejadian efek samping pada hepar, namun beberapa penelitian menyatakan bahwa efek samping metamizol relatif lebih ringan, seandainya ada biasanya karena diberikan bersama obat-obat yang lain.

Nimesulide mempunyai efek samping yang sangat minimal, baik pada platelet, lambung, dan ginjal karena obat ini termasuk selektif menghambat COX-2 yang berperan dalam proses peradangan serta hanya menghambat COX-1 dalam jumlah yang relatif kecil (Vane, 1996). Perbandingan antara pemakaian obat COX-2 dengan NSAID konvensional pada pasien dengan osteoarthritis selama 1 tahun membuktikan bahwa pada endoscopy terjadi penurunan nyata kejadian peptic ulcer pada pemakai obat COX-2. Demikian juga efek yang terjadi pada ginjal dan platelet, tidak menyebabkan suatu kerusakan (Day, 2000)

Laporan Hasil Uji KlinisPercobaan uji klinis antara metamizol dan paracetamol pada sakit post operasi gigi impaksi molar tiga mandibula dilakukan pada 144 pasien laki-laki dan wanita dibagi dalam 3 kelompok, yaitu yang meminum metamizol (1-2 x 500 mg tablet, 49 pasien), paracetamol (1-2 x 500 mg tablet, 46 pasien), dan placebo (49 pasien). Kemanfaatan analgetik dievaluasi secara subyektif oleh pasien dalam penurunan intensitas sakit dari jam pertama sampai jam kedelapan. Uji klinis ini mengemukakankan bahwa pada jam pertama metamizol dan paracetamol secara signifikan mengurangi sakit lebih besar dibanding placebo (p