Anestesi-Lapara

47
BAB I PENDAHULUAN Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur laparoskopi berubah menjadi laparotomi. Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas morbid. Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini. 1

description

anu...

Transcript of Anestesi-Lapara

BAB I

PENDAHULUAN

Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus

mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi

selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan

anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur

laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi

telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas

morbid.

Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan

peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan

shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap

tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas

dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.

BAB II

1

KUNJUNGAN PRA ANESTESI

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.S

Umur : 34 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Ruangan : Paviliun Pinang Masak

TB/BB : 155 cm/ 66 kg

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI

Anamnesis

A. Keluhan utama :

Nyeri di bagian perut kanan bawah yang menjalar ke seluruh perut

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien hamil 13 minggu dan pasien mengeluh nyeri di perut kanan bawah dan tidak bisa

buang air kecil. Pasien juga merasakan tubuhnya semakin lama semakin lemah

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat Hipertensi : disangkal - Riwayat operasi : disangkal

- Riwayat DM : disangkal - Riwayat Alergi Obat: disangkal

- Riwayat Asma : disangkal - Riwayat Penyakit lain: disangkal

- Riwayat Batuk Lama : disangkal

D. Riwayat Kebiasaan :

Riwayat merokok, minum alkohol disangkal

Pemeriksaan Fisik

2

1. Tanda Vital

o Kesadaran : Compos Mentis - Suhu : 36,5oC

o TD : 110/60 mmHg - RR : 22 x/menit

o Nadi : 81 x/menit

2. Kepala

a. Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,pupil isokor

b. THT : Malampati II,discharge (-),Rhinorea (-),Otorea(-)

c. Leher : Pembesaran KGB (-)

3. Thoraks

o Inspeksi : Simetris, Jejas (-), Restraksi Intercostal (-)

o Palpasi : Stem Fremitus kanan = kiri,

o Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru

o Auskultasi :

Cor : BJ I/II Normal Regular,Murmur (-),Gallop(-)

Pulmo : Vesikuler (+)/(+),Wheezing (-),Ronkhi (-)

4. Abdomen

o Inspeksi : Cembung lembut, hepar dan lien sulit teraba, perut tegang.

o Auskultasi : Bising Usus (+)

o Palpasi : Nyeri Tekan (+) regio epigastrium, umbilikus, suprapubic

Nyeri Lepas (+),Defans muscular (-)

o Perkusi : Timpani

5. Ekstremitas

o Superior : Akral Dingin,Edem -/-

o Inferior : Akral Dingin,Edem -/-

3

Pemeriksaan Penunjang

1. Darah rutin

- WBC : 11,1x103/mm3

- RBC : 4,84x106/mm3

- Hb : 9,2 g/dl

- Ht : 52,4 %

- Trombosit : 253x103/mm3

- CT : 3 menit

- BT : 2 menit

2. Kimia darah lengkap

a. Faal Hati

- Bilirubin Total : 1.0 mg/dl

- Bilirubin Direct : 0.8 mg/dl

- Bilirubin Indirect : 0,2 mg/dl

- Protein Total : 6,4 g/dl

- Albumin : 4,4 g/dl

- Globulin : 2,0 g/dl

- SGOT : 36 U/L

- SGPT : 53 U/L

b. Faal Ginjal

- Ureum : 16,7 mg/dl

- Kreatinin : 0,4 mg/dl

c. Gula Darah Sewaktu : 121 mg/dl

4

3. X-Ray

Foto Thorax : Cor dan Paru dalam batas normal

4. USG : Tidak ada Ekspertise

2.3 RENCANA TINDAKAN ANESTESI

I. DIAGNOSIS PRA BEDAH

Kehamilan Etopik Terganggu

II. STATUS FISIK ASA : ASA II

III. RENCANA TINDAKAN BEDAH

Salphingiektomi Laparaskopi

IV. JENIS/TINDAKAN ANESTESI : General Anestesi

5

BAB III

TINDAKAN ANESTESI

Tanggal : 09 Oktober 2013

Nama : Ny.S

Umur : 34 tahun

BB : 66 Kg

Ruang : Paviliun

Diagnosis : KET

Ahli Bedah : dr.Herlambang,Sp.OG

Ahli Anestesi : dr.Sulistyowati,Sp.An

3.1 Keterangan Pra Bedah

I. Keadaan Umum : Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : 15 (E4V5M6)

Tanda Vital :

- TD : 110/60 mmHg - RR : 20 x/menit

- Nadi : 96 x/menit - Suhu : 36,5o

II. Pemeriksaan Penunjang

- WBC : 11,1x103/mm3

- RBC : 4,84x106/mm3

- Hb : 9,2 g/dl

- Ht : 52,4 %

- Trombosit : 253x103/mm3

- CT : 3 menit

- BT : 2 menit

6

III. Status Fisik : ASA II

Tindakan Anestesi

1. Metode : General Anestesi

Persiapan pra Anestesi

Persiapan Alat :

S ( scope ) : stethoscope dan laryngoscope

T ( tube ) : Pipa trakea no 6, 5 : 7 : dan 7, 5

A ( airway ) : pipa mulut faring (/ orofaringeal airway )

T ( tape ) : plester

I ( Introducer ) : stylet C

C ( conector ) : penyambung antara pipa dan peralatan

S ( suction ) : Penghisap

Tensi meter dan monitor EKG

Tabung gas N2O dan O2 terisi dan terbuka

Spuit 10 ml kosong

2. Premedikasi : Ranitidine 50 mg

Ondansetron 4 mg

As.Traneksamat 1 gr

Pasien dipasang monitor : Tensi : 117/63 mmHg HR : 113 x/mnt SpO2 : 99 % dengan udara

bebas

7

3.3 Anestesi Umum

Setelah preoksigenisasi dgn O2 100%. Pasien diberikan obat anestesi dengan urutan sebagai

berikut :

Sulfas Atropine : 0.50 mg

Propofol : 120 mg

Roculax : 30 mg

Intubasi : telah dilakukan secara oral menggunakan tube no 6,5 dengan balon dan tidak

terdapat kesulitan saat intubasi

1. Induksi : Sempurna

Saat dan pasca intubasi :

Tensi : 110/72mmHg

HR : 110x/mnt

SpO2 : 99-100%

2. Medikasi :

1) Recofol 120 mg (Induksi)

2) Recoronium 30 mg (Muscle Relaxant)

3) Fentanyl 60 ug (Analgetik)

4) Ketorolac 30 mg (Analgetik Post Operatif)

5) Ondansetron 4 mg (Analgetik Post Operatif)

6) Tramadol 100 mg (Analgetik Post Operatif)

7) Ketoprofen sup 200 mg (Analgetik Post Operatif)

8

3. Pemeliharaan :

Tidal volume : 60 x 8 = 480 mL

L/menit : 480 x 14 = 6,7 L

N2O ( 2,5 liter / menit ) + O2 ( 3,5 liter / menit ) + isofluran 2 vol %

Respirasi : pada awalnya pasien belum bernapas spontan , sehingga menggunakan

ventilator dengan tidal volume ± 400 ml , RR 16 x / menit

4. Keadaan Penderita Selama Operasi

- Posisi : Terlentang

- Penyulit Anestesi : Tidak Ada

- Jumlah Cairan

Input : RL 4 Kolf 2000 ml

HES 1 kolf 500 ml

Total 2500 ml

- Transfusi Darah 1 Kolf +NaCl

- Persiapan Cairan

Maintenance (M) : 2 x 66 (KgBB) = 132 cc

Pengganti Puasa (PP) : 8 (Jam) x M = 1056 cc

Stress Operasi (O) : 4 x 66 (KgBB) = 264 cc

Cairan I Jam Pertama : ½ PP + M + O

: ½ 1056 + 132 + 264

: 924 cc (± 2 Kolf)

Cairan II Jam Pertama : ¼ PP + M + O

: ¼ 1056 +132 +264

: 660 cc (± 1 cc)

Perdarahan : ± 600 cc

Total Kebutuhan : 924 cc + 660 cc + 600 cc

: 2184 cc (± 4 Kolf)

Urine 1 Jam : 70 cc

9

- Monitoring Perioperatif

Jam Tekanan Darah(mmHg)

Nadi(x/menit)

Respiratory Rate(x/menit)

10.15 WIB 117/60 110 16

10.30 WIB 90/54 91 12

10.45 WIB 103/62 81 12

11.00 WIB 98/65 85 12

11.15 WIB

11.30 WIB

11.45 WIB

12.00 WIB

100/57

100/64

102/69

98/66

80

72

82

78

12

13

12

12

3.4 Ruang Pemulihan

a. Masuk pada pukul : 12.15 WIB

b. Keadaan umum : GCS : 15

Kesadaran : composmentis

TD : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

RR : 16 x/menit

c. Pernafasan : Baik

d. Skoring Alderete

1. Aktifitas (0-2) : 1

2. Pernafasan : 2

3. Warna Kulit : 2

4. Sirkulasi : 2

5. Kesadaran : 2

Jumlah : 8

10

e. Instruksi Anestesi

a) Observasi dan awasi keadaan umum dan vital sign tiap 15 menit selama 24 jam

pertama post operasi

b) Tidur terlentang tanpa bantal selama 1 x 24 jam pertama post operasi

c) Tidak makan sampai sadar penuh

d) Terapi sesuai dengan dr. Herlambang Sp.OG

Follow Up: 10-10-2013

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15

TTV : TD : 110/60 mmHg T : Afebris

Nadi : 82x/m RR : 22x/m

Urine : ± 500 cc

Input : Ringer Lactate : 2 Kolf (± 1000 cc)

Laboratorium:

Hb : 10.4 g/dL

WBC : 9.4 x 10³/mm³

RBC : 4.58 x106/mm3

Ht : 38,7 %

Trombosit : 320x103/mm3

EKG : Tidak ditemukan gangguan

11

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Dampak fisiologi laparoskopi berkaitan dengan kombinasi beberapa efek meliputi insuflasi

karbon dioksida (CO2) intra peritoneum yang menimbulkan pneumoperitonium, perubahan

posisi pasien, efek absorpsi sistemik CO2 dan juga pengaruh refleks peningkatan tonus vagus

yang dapat berkembang menjadi aritmia. Efek fisiologi dari laparoskopi ini meliputi:

Efek Kardiovaskular

Prinsip terjadinya respon fisiologis ini adalah peningkatan resistensi vaskular sistemik

(SVR), tekanan pengisian miokardium, bersama – sama dengan penurunan awal cardiac index

(CI), dengan perubahan yang kecil dari frekuensi denyut jantung (HR).

Karakteristik respons hemodinamik dijelaskan sebagai berikut : diawali dengan terjadinya

penurunan cardiac index setelah insuflasi gas CO2 intra peritoneum dan selanjutnya diikuti

dengan pemulihan. Joris dkk. menemukan penurunan yang signifikan dari cardiac index (30 –

40%) setelah induksi anestesi dan kebalikan posisi trendelenburg (head-up position), selanjutnya

terjadinya penurunan cardiac index sampai 50% setelah insuflasi intra peritoneum. Kembalinya

cardiac index secara bertahap setelah terjadinya penurunan SVR. Fraksi ventrikel kiri menurun

sesaat setelah insuflasi intraperitoneum dan kembali ke nilai awal setelah 30 menit

pneumoperitoneum.

Respon hemodinamik terhadap insuflasi intraperitoneum tergantung pada interaksi

beberapa faktor  :

1.  Faktor penderita 

Faktor yang berasal dari penderita yang mempengaruhi hemodinamik adalah ststus

kardiorespirasi pasien yang ada dan kondisi intravaskular sebelum dimulainya prosedur

laparoskopi.

Pada pasien penyakit jantung yang menjalani laparoskopi, pneumoperitoneum

menyebabkan perubahan hemodinamik yang lebih besar karena meningkatnya SVR sehingga

meningkatkan afterload, akhirnya akan menurunkan cardiac output yang lebih besar.

12

Pada pasien dengan penyakit paru berat terjadi gangguan ventilasi – difusi, dengan adanya

pneumoperitoneum CO2 akan menyebabkan penurunan cardiac output. Pasien ini juga

membutuhkan ventilasi semenit yang lebih besar dan peak airway pressure yang lebih tinggi

untuk mencapai normokarbia sehingga akan menyebabkan penurunan cardiac output yang lebih

besar.

Pada pasien dengan volume intravaskular yang kurang (hipovolemik) sebelum

pneumoperitoneum memiliki cardiac output yang sudah kecil dan SVR yang tinggi serta tekanan

arteri rata – rata (MAP) yang tinggi. Dengan pneumoperitoneum akan terjadi peningkatan SVR

dan penurunan cardiac output yang lebih besar.

2.  Tekanan intra abdomen (pneumoperitoneum) 

Insuflasi ruang intra peritoneum dengan dengan gas CO2 menghasilkan

pneumoperitoneum, efek sistemik dari absorbsi CO2 dan peningkatan refleks tonus vagal yang

bisa berkembang menjadi aritmia.

Peningkatan tekanan intra abdomen berhubungan dengan penekanan pembuluh darah vena

yang awalnya menyebabkan peningkatan preload sesaat diikuti secara perlahan dengan

penurunan preload. Penekanan pembuluh darah arteri meningkatkan afterload dan biasanya

secara nyata mengakibatkan peningkatan SVR. Cardiac Index biasanya menurun dan besarnya

penurunan ini sebanding dengan besarnya tekanan intraabdominal. Pada pasien sehat yang akan

menjalani laparoskopi kolesistektomi, Dexter dkk. dengan menggunakan Doppler

transesophagus menemukan bahwa cardiac output menurun maksimal yaitu 28% saat tekanan

insuflasi peritoneum 15 mmHg tetapi dapat dipelihara pada tekanan insuflasi 7 mmHg. Sebagian

besar peneliti mendapatkan terjadinya penurunan cardiac output sebesar 10 – 30% selama

insuflasi peritoneum baik pada posisi head down atau head up. Ishizaki dkk. merekomendasikan

batas tekanan intraabdomen selama insuflasi oleh CO2 dengan efek hemodinamik yang minimal

adalah ≤ 12 mmHg.

Pada tekanan insuflasi sedang biasanya frekuensi denyut jantung, tekanan vena sentral, dan

cardiac output tidak berubah atau hanya meningkat ringan. Hal ini diakibatkan oleh peningkatan

pengisian jantung, karena darah cenderung dipaksa keluar dari abdomen masuk kedalam thoraks.

13

Tekanan insuflasi yang lebih tinggi (>25 cmH2O/18 mmHg) cenderung membuat kolaps

vena besar abdomen (khususnya vena cava inferior) yang akan menurunkan aliran darah balik

vena dan menyebabkan penurunan cepat preload dan cardiac output pada beberapa pasien.

Penurunan venous return dan cardiac output dapat dikurangi dengan cara meningkatkan

volume sirkulasi sebelum dilakukan pneumoperitoneum. Peningkatan tekanan pengisian dapat

dicapai dengan pemberian cairan atau memposisikan pasien sedikit head down sebelum insuflasi

peritoneum, dengan mencegah pengumpulan darah dengan pneumatic compression device, atau

dengan pembalutan kaki dengan elastic bandages. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tidak mengalami

penurunan yang signifikan ketika tekanan intraabdomen meningkat sampai 15 mmHg.

Peningkatan SVR bisa dikoreksi dengan pemakaian obat anestesi yang menyebabkan

vasodilatasi seperti isofluran atau obat vasodilatasi langsung seperti nitrogliserin atau nikardipin.

Penggunaan agonis α2-adrenergik seperti klonidin dan deksmedetomidin dan obat

penghambat β mengurangi perubahan hemodinamik dan kebutuhan obat anestesi secara

signifikan. Pengunaan dosis tinggi remifentanil hampir secara komplit bisa mencegah perubahan

hemodinamik.

3.  Efek dari posisi pasien 

Insuflasi intra peritoneum dengan gas CO2 pada laparoskopi kolesistektomi dilakukan

dengan pasien pada posisi horizontal atau 15 - 20º trendelenburg. Posisi pasien kemudian

berubah keposisi kebalikan posisi trendelenburg (head up position) dengan ditekan kelateral kiri

untuk memfasilitasi retraksi fundus kandung empedu dan meminimalkan disfungsi diafragma.

Perubahan posisi pada pasien dengan pneumoperitonium menyebabkan perubahan hemodinamik

yang signifikan.

Pada posisi anti trendelenburg (head up position) terjadi penurunan tekanan akhir diastolic

ventrikel kiri, hal ini menunjukkan adanya penurunan aliran darah balik vena (venous return)

atau preload, cardiac output, dan tekanan arteri rata – rata. Fraksi ejeksi ventrikel kiri tetap

terpelihara pada pasien sehat. Pola perubahan cardiac output dan tekanan arteri pada pasien

dengan penyakit jantung ringan sampai berat mirip dengan pasien sehat. Namun secara

kuantitatif perubahan ini tampak lebih jelas. Peningkatan tekanan intraabdomen dan posisi head-

up mengakibatkan penurunan aliran darah vena femoralis, stasis pada vena – vena tungkai

14

bawah, diperburuk dengan posisi litotomi dengan fleksi pada lutut merupakan predisposisi

terjadinya tromboemboli.

Walaupun posisi trendelenburg meningkatkan tekanan vena sentral (preload), namun MAP

dan cardiac output tidak berubah atau menurun. Hal ini merupakan respon paradoksikal yang

dijelaskan dengan mediasi refleks karotis dan baroreseptor aortic yang menyebabkan vasodilatasi

sistemik dan bradikardia. Perubahan volume vena sentral dan perubahan tekanan yang lebih

besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (CAD), khususnya yang disertai dengan fungsi

ventrikel yang jelek menyebabkan perburukan secara potensial dan meningkatkan kebutuhan

oksigen miokardium. Posisi trendelenburg ini juga mempengaruhi sirkulasi serebral, khususnya

pada pasien dengan komplians intrakranial yang rendah dan mengakibatkan peningkatan tekanan

intraokular yang bisa menyebabkan perburukan pada pasien dengan glaucoma akut.

4.  Efek Absorbsi Sistemik gas CO2 

Hiperkapni dan asidosis yang terjadi selama laparoskopi karena absorbs CO2. Hiperkapni

menyebabkan penurunan kontraktilitas miokardium dan menurunkan nilai ambang aritmia. Efek

antisipasi langsung vaskular terhadap hiperkapni adalah terjadinya dilatasi arterioler dan

penurunan SVR, yang dimodulasi oleh respon mekanik dan neuro humoral dengan pengeluaran

katekolamin.

Hiperkarbia akan menstimulasi system syaraf simpatis yang akan menyebabkan

peningkatan tekanan darah, frekuensi denyut jantung, dan resiko aritmia. Usaha untuk

mengkompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau frekuensi nafas akan meningkatkan

tekanan intrathoraks, selanjutnya menurunkan aliran darah balik vena dan peningkatan tekanan

rata – rata arteri pulmonalis. Efek ini merupakan kendala pada pasien dengan penyakit restriktif

paru,gangguan fungsi jantung dan kurangnya volume intravaskular.

5.  Respon neurohumoral 

Mediator – mediator potensial yang dapat meningkatkan SVR selama pneumoperitoneum

adalah vassopresin dan katekolamin. Hiperkapnea dan pneumoperitoneum dapat menyebabkan

stimulasi system syaraf simpatis dan menstimulasi pengeluaran katekolamin. Beberapa penelitian

melaporkan adanya aktivasi system renin angiotensin dengan produksi vasopressin. Joris dkk.

menemukan menemukan peningkatan vassopresin plasma segera setelah insuflasi peritoneum.

15

Peningkatan 4 kali lipat pada konsentrasi rennin dan aldosteron berhubungan dengan

peningkatan MAP.

Katekolamin, system renin angiotensin dan khususnya vasopressin semua dikeluarkan

selama pneumoperitoneum dan mempunyai andil dalam meningkatkan afterload. Stimulasi

mekanik reseptor peritoneum juga mengakibatkan peningkatan pengeluaran vasopressin.

  

Efek Respirasi 

1.  Efek Mekanik

Insuflasi intraperitoneum oleh CO2 untuk membuat pneumoperitoneum pada laparoskopi,

mengakibatkan perubahan pada ventilasi dan respirasi yang dapat menyebabkan 4 komplikasi

respirasi : empisema subkutis CO2, pneumothoraks, intubasi endobronkial, dan emboli gas.

Perubahan fungsi paru selama insuflasi abdomen meliputi penurunan volume paru,

penurunan komplian paru, dan peningkatan tekanan puncak jalan nafas (peak airway pressure).

Komplian paru menurun 30 – 50% pada pasien sehat, obesitas, dan ASA III – IV. Penurunan

kapasitas residu fungsional (FRC) dan koplian paru yang berhubungan dengan posisi terlentang

dan induksi anestesi yang selanjutnya diperberat oleh insuflasi CO2 dan perpindahan ke sefalad

diafragma selama posisi trendelenberg dan perubahan distribusi ventilasi dan perfusi paru yang

disebabkan oleh peningkatan tekanan jalan nafas (airway pressure).

Hipoksemia oleh karena penurunan FRC pada pasien yang sehat sangat jarang selama

laparoskopi. Penurunan oksigenasi arteri (hipoksemia) disebabkan penurunan FRC, atelektasis,

gangguan ventilasi perfusi, dan pintasan intrapulmoner pada pasien obesitas dengan riwayat

merokok yang lama atau pasien dengan penyakit paru.

Posisi trendelenburg menyebabkan perpindahan organ visceral dan diafragma. FRC,

volume total paru, dan komplians paru akan menurun, bahkan bisa berkembang menjadi

atelektasis. Perubahan ini biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien sehat, namun pada

pasien obesitas, pasien tua, dan pasien dengan penyakit paru meningkatkan resiko hipoksemia.

Posisi trendelenburg cenderung menyebabkan pergeseran trakea ke atas, sehingga pipa

endotrakea yang terfiksasi dimulut bisa bermigrasi kedalam bronkus utama kanan. Pergeseran

trakeobronkial ini diperbesar oleh insuflasi abdomen.

16

2.  Efek Pertukaran Gas – Absorbsi CO2 

CO2 adalah pilihan gas untuk insuflasi pada bedah laparoskopi. CO2 tidak mudah

terbakarseperti N2O, sehingga dapat digunakan secara aman untuk diatermi. Dibandingkan

dengan helium, kelarutan CO2 darah lebih tinggi dan ekskresinya lewat paru menurunkan resiko

efek samping emboli gas,CO2juga mudah di eliminasi, dan dosis letal lima kali dari udara.

Insuflasi CO2 kedalam ruang peritonem meningkatkan CO2 arteri (PaCO2), yang akan

dikompensasi dengan peningkatan ventilasi semenit.

Absorbsi gas dari ruang peritoneum tergantung pada kemampuan difusinya, luas daerah

absorbsinya, dan vaskularisasi atau perfusi dinding insuflasi. Karena difusi CO2 tinggi, maka

terjadi absorbsi CO2 dalam jumlah besar kedalam darah yang ditandai dengan peningkatan

PaCO2. Absorbsi gas CO2 lebih besar pada insuflasi ekstraperitoneum (pelvis) daripada

innsuflasi intraperitoneum. Dampak dari peningkatan PaCO2 tidak dapat diprediksi, khususnya

pada pasien dengan penyakit paru berat. Wittgen dkk. meneliti terjadinya penurunan pH darah

dan peningkatan PaCO2 pada pasien ASA III selama pneumoperitoneum dan pasien ini

membutuhkan ventilasi semenit yang lebih tinggi dan airway pressure yang juga lebih tinggi.

Nilai ETCO2 tidak berkorelasi dengan konsentrasi CO2 arteri pada pasien ini. Gradient

PETCO2 masih stabil selama laparoskopi pasien ASA III. ETCO2 merupakan nilai yang tidak

dapat dipercaya untuk mengetahui PaCO2 selama insuflasi CO2 pada pasien dengan penyakit

paru berat.

Kelarutan CO2 yang tinggi meningkatkan absorbsi sistemik oleh pembuluh darah

peritoneum, ditambah dengan volume tidal yang lebih rendah karena rendahnya komplian paru

menyebabkan peningkatan kadar CO2 arteri dan penurunan pH.

Peningkatan PaCO2 yang progresif mencapai kondisi konstan 15 – 30 menit setelah

mulainya insuflasi CO2 pada pasien dengan kontrol ventilasi mekanik selama laparoskopi

ginekologi dengan posisi trendelenburg atau laparoskopi kolesistektomi pada posisi head up.

Peningkatan PaCO2 tergantung pada tekanan intra abdomen. Selama laparoskopi dengan anestesi

lokal, PaCO2 tetap tidak berubah namun ventilasi semenit meningkat. Pada anestesi umum

dengan nafas spontan kompensasi hiperventilasi tidak mencukupi untuk menghindari

hiperkapnea karena anestesi menginduksi depresi ventilasi dan peningkatan kerja pernafasan

yang disebabkan oleh penurunan komplian torakopulmonal. Oleh karena hal ini terjadi dalam

waktu 15 – 30 menit untuk mencapai PaCO2 konstan, teknik anestesi dengan menggunakan nafas

17

spontan harus dibatasi untuk prosedur operasi yang pendek pada tekanan intraabdomen yang

rendah.

Penyebab peningkatan PaCO2 saat pneumoperitoneum adalah multifaktorial yaitu :

1. Absorbsi CO2 dari ruang peritoneum. 

2. Gangguan ventilasi dan perfusi oleh faktor – faktor mekanik seperti distensi abdomen,

posisi pasien, dan kontrol ventilasi mekanik, penurunan cardiac output. 

3. Depresi ventilasi yang disebabkan oleh obat – obat premedikasi dan anestesi yang

terjadi pada pasien dengan nafas spontan. 

4. Peningkatan metabolisme (anestesi yang kurang dalam). 

5. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti emfisema CO2 subkutis atau dalam ruang

tubuh, kapnothorak, emboli CO2, intubasi bronkus.

Mekanisme utama peningkatan PaCO2 pada pasien sehat selama pneumoperitoneum

CO2lebih disebabkan oleh absorbsi CO2 daripada efek ventilasi mekanik akibat peningkatan

tekanan intraabdomen. Tetapi pada pasien dengan masalah kardiorespirasi, perubahan ventilasi

juga bertanggung jawab meningkatkan PaCO2. PaCO2 harus dipertahankan dalam rentang

fisiologis dengan menyesuaikan kontrol ventilasi mekanik, kecuali pada kondisi khusus seperti

emfisema subkutis CO2, koreksi peningkatan PaCO2 bisa dengan mudah dicapai dengan

peningkatan 10 – 25% ventilasi alveolar.

Efek Pada Sistem Lain

Sistem Gastrointestinal

Pasien-pasien yang menjalani laparoskopi biasanya dianggap beresiko tinggi untuk

terjadinya sindrom aspirasi asam lambung karena regurgitasi gaster akibat peningkatan tekanan

intragastrik karena peningkatan IAP. Namun, selama pneumoperitoneum, tonus sfinkter

esophagus inferior jauh lebih kuat daripada tekanan intragastrik dan peningkatan tekanan ini

membatasi insidensi regurgitasi.

18

Sirkulasi Mesenterik

Pembuluh darah visceral adalah yang pertama-tama mengalami kompresi pada peningkatan

IAP, sehingga mengakibatkan disfungsi organ karena kolapsnya pembuluh darah kapiler dan

vena-vena kecil. Hiperkapnia akibat simpatotonia, kompresi mekanis organ-organ abdominal,

posisi reverse Trendelenberg, dan pelepasan vasopressin adalah beberapa faktor yang turut

mengakibatkan menurunnya sirkulasi mesenterik.

Sirkulasi Hepatoportal

Peningkatan IAP (>20 mmHg) mengakibatkan peningkatan tahanan dan aliran balik pada

pembuluh darah abdominal. Pelepasan hormon (katekolamin, angiotensin, dan vasopressin)

selama pneumoperitoneum akan semakin meningkatkan tahanan vaskuler mesenteric sehingga

mengakibatkan penurunan yang berarti pada volume darah hepatic dan splanknik. IAP > 20

mmHg menyebabkan penurunan 60% pada aliran darah vena porta sehingga mengakibatkan

disfungsi hepar, yang akan menetap lebih lama pada periode postoperative. Terdapat penurunan

suplai darah secara menyeluruh ke semua organ, kecuali glandula adrenal.

Fungsi Ginjal

Peningkatan IAP mempengaruhi hemodinamik ginjal melalui perubahan pada curah

jantung dan efek langsung aliran darah ginjal. Obstruksi mekanis aliran darah vena renalis yang

disertai peningkatan aktivitas simpatis, peningkatan ADH plasma dan peningkatan aktivitas

rennin-angiotensin plasma akan meningkatkan resistensi vaskuler ginjal sehingga mengakibatkan

penurunan tekanan filtrasi dan produksi urine.

Tekanan Intrakranial dan Tekanan Intraokuler

Peningkatan IAP akan menekan vena cava inferior dan meningkatkan tekanan spinal

lumbal dengan menurunkan drainase dari pleksus lumbalis, sehingga meningkatkan tekanan

intrakranial dan intraokuler. Hiperkapnia menyebabkan refleks vasodilatasi pada sistem saraf

pusat dan hal ini juga  turut meningkatkan tekanan intrakranial.

19

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI 

Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani pembedahan laparoskopi harus

mengakomodasi kebutuhan pembedahan dan sesuai dengan perubahan fisologis yang terjadi

selama pembedahan. Peralatan pemantauan disediakan untuk deteksi dini komplikasi. Pemulihan

anestesi harus cepat dengan efek residual yang minimal, dan antisipasi kemungkinan prosedur

laparoskopi berubah menjadi laparotomi.

Evaluasi Pasien Preoperasi Dan Premedikasi 

Kontra indikasi medis pembedahan laparoskopi adalah relatif. Pembedahan laparoskopi

telah berhasil dilakukan pada pasien yang mendapat antikoagulan, wanita hamil, dan obesitas

morbid.

Pneumoperitoneum tidak dikehendaki pada pasien dengan peningkatan tekanan

intrakranial (tumor, hydrocephalus, trauma kepala), hipovolumia, ventrikuloperitoneal shunt, dan

peritoneojugular shunt. Pneumoperitoneum dapat dilakukan secara aman pada pasien dengan

shunt ini, dengan melakukan klem pada shunt sebelum insuflasi peritoneum. Efek terhadap

tekanan intraokuler secara klinis tidak signifikan pada pasien glaucoma. Laparoskopi tanpa gas

dapat menjadi alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus ini.

Oleh karena efek samping peningkatan tekanan intraabdominal pada fungsi ginjal, pasien

dengan gagal ginjal harus mendapat perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik

selama pneumoperitoneum, dan menghindari penggunaan obat – obat nefrotoksik. Pada pasien

dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan laparotomi oleh karena

disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus dipertimbangkan dengan

resiko terjadinya pneumothorak selama pneumoperitoneum dan resiko ketidakadekuatan

pertukaran gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.

Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya

status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis

selama laparoskopi kolesistektomi. Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin

memerlukan penghilangan insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi

ataukonversikan ke prosedur terbuka.

Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,

profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-

20

molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau

Clexane enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length

graduated compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten

pneumatic calf compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum

pembedahan dan diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.

Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan

cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri

pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi

dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya

tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.

Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi

perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,

khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif

yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak

daripada pasien denganpenyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini

keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam

menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

Teknik Anestesi 

Pendekatan anestesi untuk operasi laparoskopi meliputi : infiltrasi anestesi lokal dengan

sedatif intravena, anestesi epidural dan spinal, dan anestesi umum. Pemilihan teknik anestesi

tidak merupakan penentu dalam outcome pasien.

Tidak ada teknik anestesi yang secara klinis lebih superior dari pada teknik lain, anestesi

umum dengan ventilasi terkontrol tampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi

laparoskopi.

Anestesi lokal dibatasi untuk prosedur laparoskopi ginekologi singkat (sterilisasi tuba

perlaparoskopi, transfer intrafallopi) pada orang muda, sehat dan punya motivasi. Walaupun

pemulihan pasca operasi cepat, namun perasaan tidak enak/nyaman pada pasien, dan visualisasi

organ – organ intraabdomen yang tidak optimal merupakan pengecualian penggunaan teknik

anestesi lokal ini untuk laparoskopi kolesistektomi.

21

Alternatif anestesi regional untuk operasi laparoskopi adalah anestesi epidural dan spinal.

Anestesi regional ini tidak dianjurkan sebagai teknik anestesi tunggal karena pada operasi

laparoskopi membutuhkan level blok yang tinggi, perubahan posisi yang ekstrem, dan adanya

pneumoperitoneum yang bisa menyebabkan gangguan mekanik respirasi. Laparoskopi ini

membutuhkan blok pada level yang tinggi untuk mendapat relaksasi otot yang lengkap dan untuk

mencegah iritasi diafragma yang disebabkan oleh insuflasi gas dan manipulasi pembedahan.

Pada anestesi umum dengan intubasi endotrakea dan pemberian pelumpuh otot disertai

pemberian ventilasi tekanan positif lebih disukai karenan beberapa alasan : adanya resiko

regurgitasi yang disebabkan peningkatan tekanan intraabdominal saat insuflasi; perlunya

ventilasi terkontrol untuk mencegah hiperkapnea, dibutuhkan tekanan inspirsi yang tinggi

secara relatif karena pneumoperitoneum; kebutuhan relaksasi otot selama pembedahan karena

tekanan insuflasi yang rendah, menyediakan visualisasi yang lebih baik, mencegah pergerakan

pasien yang tidak diinginkan.

Pada saat induksi anestesi penting untuk menghindari inflasi lambung selama ventilasi

karena hal ini akan meningkatkan resiko trauma lambung saat insersi trokars. Pemasangan pipa

nasogastrik dan dekompresi lambung untuk meminimalkan resiko perforasi organ visceral saat

insersi trokar dan mengoptimalkan visualisasi. Intubasi memberikan keuntungan pada pasien

obesitas untuk mengurangi hipoksemia, hiperkarbia, dan aspirasi. Penggunaan teknik ventilasi

spontan tidak dianjurkan dalam perspektif adanya pneumoperitoneum intraoperasi dan posisi

pasien.

Selama pneumoperitoneum kontrol ventilasi disesuaikan untuk mempertahankan

PETCO2kira – kira 35 mmHg, untuk ini membutuhkan tak lebih dari 15 – 25% peningkatan

ventilasi semenit, kecuali bila terjadi emfisema subcutis. Peningkatan frekuensi nafas lebih dpilih

daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan PPOK dan pada pasie dengan

pneumothorak spontan atau emfisema bulosa untuk menghindari peningkatan inflasi alveolar dan

menurunkan resiko pneumothorak. Pemberian obat – obatan vasodilator seperti nikardipin,

agonis α2-adrenergik dan remifentanil mengurangi dampak hemodinamik pneumoperitoneum

dan dapat memfasilitasi manajemen anestesi pada pasien dengan penyakit jantung.

Tekanan intraabdomen harus dimonitor, dipertahankan serendah mungkin untuk

mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi, dan tidak boleh lebih dari 20 mmHg.

Peningkatan tekanan intraabdomen dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesi. Karena

22

kecenderungan terjadi refleks peningkatan tonus vagus selama laparoskopi, atropine harus

disediakan untuk injeksi jika diperlukan.

Teknik anestesi untuk prosedur laparoskopi pembedahan umum intraabdomen dan

ginekologi sering dilakukan dengan anestesi umum. Beberapa prosedur pendek seperti sterilisasi

perlaparoskopi bisa dilakukan tanpa pelumpuh otot tergantung dari ketrampilan ahli bedah dan

pasiennya tidak obesitas.

Manajemen jalan nafas

Teknik anestesi dilakukan dengan intubasi endotrakeal dan kontrol ventilasi mekanik untuk

mengurangi peningkatan PaCO2 dan menghindari gangguan ventilasi akibat pneumoperitoneum

dan posisi trendelenburg saat awal operasi. Laryngeal mask airway (LMA) telah digunakan

dalam laparoskopi pelvis secara luas. LMA, khususnya LMA pro seal berhasil digunakan untuk

insersi ETT, pada prosedur yang pendek untuk pasien one day care (ODC). Pemantauan

kontinyu terhadap pH esophagus dan kondisi klinis gagal mendeteksi refluk esophageal pada

pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi dengan menggunakan LMA. Untuk laparoskopi

abdomen atas dan laparoskopi kolesistektomi dengan dengan tekanan intraabdomen yang tinggi,

refluk esophageal tidak bisa diperkirakan dan meningkatkan resiko regurgitasi pasif isi lambung.

Penggunaan ballon pipa endotrakeal mengurangi resiko aspirasi asam lambung karena refluk isi

lambung.

Pelumpuh otot 

Pemilihan obat – obat pelumpuh otot tergantung pada lamanya operasi dan profil efek

samping obat secara individual. Reverse terhadap obat pelumpuh otot dengan neostigmin

meningkatkan terjadinya mual muntah pasca operasi (PONV) setelah laparoskopi dibandingkan

dengan pemulihan secara spontan, dan beberapa klinisi menghindari reverse ini. Namun

penelitian yang lain menemukan tidak ada efek pada insiden PONV berkaitan dengan

penggunaan neostigmin, khususnya pasien yang menjalani laparoskopi ginekologi yang

direncanakan rawat jalan, penggunaan neostigmin dan glikopirolat tidak meningkatkan insiden

atau beratnya PONV. Bahkan adanya residu pelumpuh otot yang sedikit menyebabkan gejala dan

tanda distress yang harus dihindari. Selanjutnya keuntungan tidak memakai neostigmin harus

diseimbangkan dengan resiko ketidakadekuatan reverse pelumpuh otot

23

Nitrous Oxide (N2O)

Penggunaan N2O selama prosedur laparoskopi masih kontroversi karena kemampuan N2O

untuk berdifusi kedalam lumen usus yang menyebabkan distensi, gangguan lapangan

pembedahan, dan meningkatkan mual muntah pasca operasi, namun secara klinis tidak signifikan

pada prosedur pendek dan sedang. N2O lebih mudah larut (30X) dari pada Nitrogen (N2), ruang

udara tertutup akan mengakumulasi N2O lebih cepat dari eliminasi N2. Edger dkk. mendapatkan

adanya peningkatan lebih dari 200% ukuran lumen usus setelah 4 jam pernafasan dengan N2O.

keamanan dan efikasi N2O khususnya selama laparoskopi kolesistektomi diteliti oleh tailor dkk.

mendapatkan bahwa N2O berdifusi kedalam CO2 pneumoperitoneum dan fraksi N2O lebih dari

29%, level seperti ini dapat menyebabkan luka bakar pada operasi lebih dari 2 jam.

N2O biasanya memberikan kontribusi terhadap PONV. Lomie dan Harper dalam studi

randomized prospective pada 87 pasien yang menjalani prosedur laparoskopi ginekologi,

mendapatkan penurunan mual muntah pasca operasi dari 49% menjadi 17% bila tidak

menggunakan N2O.

Obat Induksi 

Propofol merupakan obat induksi pilihan karena non emetogenik dan pemulihannya yang

baik. Propofol memberikan efek samping pasca operasi yang lebih kecil.

Obat Anestesi Inhalasi 

Halotan meningkatkan insiden aritmia pada prosedur laparoskopi, khususnya bila terjadi

hiperkarbia penggunaan halotan sudah digantikan oleh obat – obat inhalasi yang baru seperti

isofluran, desfluran, dan sevofluran yang mempunyai efek depresi miokardium lebih rendah dan

kurang aritmogenik.

Analgesia 

Opioid masih merupakan komponen penting untuk teknik balans anestesi umum untuk

prosedur laparoskopi. Opioid kerja pendek seperti fentanyl, alfentanyl dan remifentanyl bisa

digunakan intraoperatif untuk mencegah stimulus pembedahan yang hebat. Kesalahan

interpretasi hasil kolangiografi intraoperasi selama laparoskopi kolesistektomi dapat terjadi

24

karena penggunaan opioid dapat menyebabkan spasme spinkter oddi. Spasme spinkter oddi yang

disebabkan oleh opioid bisa dilawan dengan beberapa obat seperti glucagon dan nalokson.

Walaupun laparoskopi kolesistektomi merupakan prosedur invasif yang minimal, namun

tetap berhubungan dengan nyeri intraabdomen, nyeri insisional, dan nyeri bahu setelah operasi.

Obat – obat analgesia multimodal kombinasi dengan opioid, NSAID dan anestesi lokal infiltrasi

sangat efektif mengurangi dosis opioid untuk meminimalkan efek samping. Pemberian obat

anestesi lokal melalui jalur intraperitoneum sangat sederhana dan tidak melibatkan blok

neuroaksial, khususnya untuk pasien anestesi rawat jalan. Pemberian obat anestesi lokal

bupivakain 0,25% 50 – 200mg dalam volume 10 – 100 ml, signifikan mengurangi nyeri yang

terjadi. Efek samping atau tanda – tanda toksisitas anestesi lokal yang diberikan melalui jalur

intraperitoneum ini belum pernah dilaporkan. Joris dkk. mendapatkan nyeri visceral berupa rasa

tidak enak setelah laparoskopi kolesistektomi tidak berkurang dengan pemberian 80 ml

bupuvakain 0,125% intraperitoneum.

Mual dan Muntah Pasca Operasi (PONV) 

PONV merupakan salah satu keluhan utama yang umum terjadi juga merupakan gejala

yang sangat mencemaskan setelah prosedur laparoskopi (40 – 75% pasien) dan merupakan faktor

yang paling penting yang menyebabkan lamanya perawatan rumah sakit setelah anestesi.

Penggunaan opioid intraoperasi secara signifikan meningkatkan insiden PONV masih

kontroversial. Drainase isi lambung juga mengurangi insiden PONV. Pengurangan dosis opioid

dengan obat – obatan analgesia multimodal bisa menurunkan insiden PONV. Selektif reseptor

antagonis 5 HT, ondansetron dengan dosis 4 mg efektif sebagai profilaksis terhadap emesis pasca

operasi laparoskopi. Penelitian yang lain mendapatkan tidak ada perbedaan antara ondansetron 4

mg dan siklizin 50 mg sebagai antiemesis pada pasien yang menjalani laparoskopi rawat jalan.

Waktu yang tepat pemberian ondansetron ditemukan lebih signifikan sebagai antiemesis pada

akhir pembedahan dibandingkan pemberian saat preinduksi. Pendekatan multimodal untuk

mencegah PONV bisa dilakukan dengan menggunakan obat kombinasi droperidol 0,625 – 1 mg,

antagonis 5 HT3 (ondansetron 4 mg atau dolasetron 2.5 – 5 mg), dan deksamethason 4 – 8 mg,

disertai dengan hidrasi yang cukup, penggunaan dosis minimal opioid.

25

Monitoring 

 Pemantauan intraoperasi standar dianjurkan untuk semua pasien yang menjalani prosedur

dengan akses yang minimal. Monitor standar yang digunakan : pulse rate, kontnyu ECG,

Intermiten NIBP, Pulse oximetry (SpO2), Capnography (EtCO2), suhu, tekanan intraabdominal,

pulmonary airway pressure. Pemantauan hemodinamik invasif sesuai pada pasien ASA III – IV

untuk memonitor respon kardiovaskular terhadap pneumoperitoneum, perubahan posisi dan

untuk memberikan terapi. Kapnografi dan pulse oximetri merupakan monitor PaCO2 dan saturasi

oksigen arteri yang dapat dipercaya pada pasien sehat tanpa gangguan intraoperasi akut.

PaCO2 dan Δa-ETCO2 meningkat lebih besar pada pasien ASA II – III daripada pasien ASA I.

Hal ini juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) dan pada anak

dengan penyakit jantung bawaan sianotik. Pemeriksaan analisis gas arteri danjurkan bila secara

klinis diduga adanya hiperkapnea bahkan pada pasien tanpa adanya PETCO2 abnormal.

Pemantauan ETCO2 pasca operasi paling sering digunakan sebagai indikator non invasif dari

PaCO2 dalam menilai dan memberikan petunjuk keadekuatan ventilasi semenit untuk

mempertahankan normokarbia selama prosedur laparoskopi. Penurunan perfusi paru  terjadi jika

cardiac output menurun dengan cepat oleh karena tekanan inflasi yang tinggi, perubahan posisi

yang berlawanan dengan posisi trendelenburg, atau terjadi emboli gas. Selanjutnya distensi

abdomen menurunkan komplian paru. Volume tidal yang besar dihindari karena akan

meningkatkan tekanan puncak inspirasi dan menyebabkan pergerakan/perpindahan lapangan

operasi. Pilihan untuk menghindari hal ini menggunakan volume tidal yang lebih rendah dan

frekuensi nafas yang lebih cepat namun bisa menyebabkan sampel gas alveolar yang buruk dan

kesalahan pengukuran ETCO2. Nilai ETCO2 tidak bisa dipercaya khususnya pada pasien dengan

penyakit jantung dan paru yang menjalani laparoskopi. Pemasangan kateter arteri seharusnya

dilakukan dan analisa gas darah penting untuk mendeteksi hiperkarbia. Monitor PETCO2 juga

bermanfaat untuk deteksi dini emboli gas vena (VGE) pada pasien dengan penyakit

kardiopulmoner.

Terjadi peningkatan yang proporsional dari ETCO2 dan PaCO2 setelah Insuflasi CO2 pada

pasien sehat. Sebaliknya pasien dengan penyakit kardiopulmoner PaCO2 meningkat secara

bertahap selama insuflasi CO2 dan hal ini tidak mencerminkan paningkatan ETCO2.

Monitor tekanan jalan nafas adalah mutlak pada pasien yang teranestesi yang diberikan

IPPV. Alarm tingginya tekanan jalan nafas dapat membantu mendeteksi peningkatan berlebihan

26

tekanan intraabdomen, juga mencegah pergerakan pasien tiba – tiba selama pembedahan yang

dapat menyebabkan trauma organ intraabdomen oleh peralatan laparoskopi.

PEMULIHAN DAN PEMANTAUAN PASCA OPERASI 

Keuntungan pasca operasi laparoskopi meliputi berkurangnya trauma pembedahan,

ukuran luka kecil, berkurangnya nyeri, berkurangnya disfungsi paru, penyembuhan lebih cepat,

dan perawatan rumah sakit lebih pendek.

Pembedahan laparoskopi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi oleh karena tidak

adanya pola nafas restriktif yang biasanya terjadi setelah operasi abdomen bagian atas. Prosedur

laparoskopi adalah prosedur dengan trauma otot dan nyeri insisional yang kurang dibandingkan

dengan pembedahan terbuka. Disfungsi paru dan diafragma masih tetap terjadi setelah paling

tidak dalam 24 jam pasca operasi laparoskopi kolesistektomi sehingga PaO2 masih rendah

setelah laparoskopi kolesistektomi. Peningkatan kebutuhan oksigen terjadi setelah operasi

laparoskopi, untuk itu harus diberikan oksigen pasca operasi bahkan pada pasien sehat. Penyebab

disfungsi ini adalah peregangan diafragma selama pneumoperitoneum. Disfungsi diafragma oleh

karena aferen yang berasal dari kandung empedu atau aferen somatic yang berasal dari dinding

abdomen mendesak aksi inhibisi dari nervus prenikus. Pada pengukuran spirometri paru, fungsi

paru seperti FRC, FEV1 dan kapasitas vital parumenurun setelah prosedur laparoskopi sekitar 30

– 38%. Force vital capacity menurun 27% setelah pembedahan laparoskopi dan menurun 48%

setelah pembedahan terbuka.

Selama periode awal pasca operasi laparoskopi, frekuensi nafas dan PETCO2 dari pasien

yang bernafas spontan lebih tinggi dibandinkan pasca operasi terbuka.

Peningkatan tekanan intraabdomen saat pneumoperitoneum menyebabkan stasis vena yang

dapat meningkatkan potensi DVT dan emboli paru. Insiden emboli paru yang fatal setelah

laparoskopi kolesistektomi adalah 0,016% lebih rendah daripada setelah operasi terbuka yaitu

0,8%. Penggunaan graduated elastic compression stocking dalam periode perioperasi dapat

mengurangi stasis vena. Teknik laparoskopi dengan trauma jaringan yang minimal bisa

memfasilitasi ambulasi lebih awal, sehingga bisa mengurangi resiko DVT.

27

Mual dan muntah pasca operasi laparoskopi umum terjadi walaupun rutin dilakukan

pengosongan lambung dengan pemasangan pipa nasogastrik, untuk ini perlu dipertimbangkan

untuk memberikan obat profilaksis.

Trauma saluran empedu lebih sering terjadi setelah laparoskopi dibandingkan dengan

kolesistektomi terbuka dan cenderung lebih luas dan lebih tinggi. Pasca operasi sering terjadi

nyeri dan ikterus.

28

BAB V

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan laparoskopi dengan general anestesi dan teknik

GETA. Dipilihnya jenis anestesi ini dikarenakan pada laparoskopi dengan menggunakan gas

(Insuflasi CO2), jika menggunakan tehnik Regional Anestesi akan menimbulkan rasa tidak

nyaman pada pasien karena iritasi peritoneal langsung yang menimbulkan rasa sakit selama

laparoskopi, karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan peritoneum

sehingga menyebabkan rasa sakit pada pundak. Selain itu selama prosedur laparoskopi pasien

biasanya diposisikan tredelenburg atau reverse tredelenburg, jika menggunakan RA, perubahan

posisi ini akan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien.

Pada tindakan laparoskopi diperlukan relaksasi otot (agar organ abdomen tidak keluar dan

terjadi relaksasi) sehingga diperlukan muscle relaxant muscle relaxant ini bekerja pada

otot lurik terjadi kelumpuhan otot pernafasan, otot interostalis, abdominalis, dan relaksasi

otot-otot ekstremitas pasien tidak dapat bernafas spontan, karena otot pernafasan lumpuh

perlu control nafas perlu tehnik anestesi yang menjamin zat anestesi inhalasi serta N2O dan

O2 masuk ke trakhea 100% GETA.

Pada kasus di atas, saat premedikasi digunakan petidin dan midazolam. Petidin merupakan

golongan narkotika, dengan sifat analgetik kuat, tujuan diberikan petidin ini untuk mengurangi

rasa nyeri saat pembedahan. Petidin mempunyai durasi yang lebih pendek dari morfin, dan

memiliki efek minimal pada pernafasan. Midazolam merupakan obat penenang (transquilaizer)

yang memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis

midazolam yaitu 0,025-0,1 mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30 detik, efek puncak 3-

5 menit dan lama aksi 15-80 menit.

Induksi diberikan Propofol dan Roculax. Propofol merupakan suatu obat hipnotik

intravena diisopropilfenol yang menimbulkan induksi anestesi yang cepat dengan aktivitas

eksitasi minimal (contohnya mioklonus). Propofol diberikan dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB

(200mg/20cc) dengan awitan aksi 40 detik, dengan efek puncak 1 menit dan lama aksi 5-10

menit. Rocuronium adalah obat penghambat neuromuskuler nondepolarisasi dengan mula kerja

cepat sampai sedang tergantung dosisnya, dan lama kerjanya sedang. Waktu paruh distribusi

cepat adalah 1-2 menit dan waktu paruh distribusi yang lebih lambat adalah 14-18 menit. Kira-

29

kira 30 % rocuronium terikat oleh protein plasma manusia. Rocuronium terutama dieliminasi

oleh hati. Metabolit rocuronium, 17-desacetyl-rocuronium, jarang ditemukan dalam plasma atau

urin manusia pada pemberian dosis tunggal 0,5-1 mg/kg dengan atau tanpa infus rocuronium

berikutnya. Saat durante operasi dapat diberikan atracurium dan ketorolac. Atrakurium

merupakan relaksan otot skelet nondepolarisasi (long acting), diberikan sebagai obat relaksasi

otot dengan mula kerja yang cepat. Relaksasi otot ini dimaksudkan untuk :

Membuat relaksasi otot selama berlangsungnya operasi.

Menghilangkan spasme laring dan refleks jalan napas atas selama operasi.

Memudahkan pernapasan terkendali selama anestesi.

Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena. Awitan aksi <3 menit, efek puncak 3-5 menit

dan lama aksi 20-3 menit. Sehingga setelah 30 menit diberikan injeksi atracurium, sebagai

rumatan.

Ketorolac merupakan obat antiinflamasi non steroid(NSAID) memperlihatkan aktivitas

analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Ketorolac menghambat sintesis prostaglansin dan dapat

di anggap sebagai analgesik yang bekerja secara perifer. Digunakan sebagai analgesik selama

laparoskopi berlangsung.

Maintenance

a. N2O dan O2

N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan

memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C.

NH4 NO3 → 2H2O + N2O (reaksi dalam suhu 240°C)

N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar, dan

beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal 25

%.Gas ini bersifat anestesik lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang

digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan

sebaagainya.

30

Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%,

70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek analgesic digunakan dengan perbandingan 20% :

80%, untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila

digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan

timpanoplasti.

Pada kasus ini, respirasi dikontrol dengan menggunakan ventilator. Dan menggunaan

system close, ini berarti halothane + O2 + N2O yang dihirup pasien, lalu di ekspirasi menjadi

CO2 dan diikat oleh sodalime( CaCO3) menghasilkan H2O+O2+panas. Lalu bersama

halothane + O2 + N2O, O2 yang dihasilkan dari reaksi CO2 dan sodalime kembali dihirup

oleh pasien lagi.

Setelah operasi selesai, diberikan Ketorolac per drip sebagai obat analgetik untuk

menghilangkan rasa sakit pasca operasi.2

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic

Surgery in Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.

2. Ezekiel MR. Laparoscopic Surgery. Current Clinical Strategies. Handbook of

Anesthesiology 2005; 167 - 8.

3. Sood J, Kumra VP. Anaesthesia for Laparoscopy. Indian Journal Surgery 2003;65;232 –

40

4. Roculax, diunduh tanggal 18 Oktober 2013. Diunduh dari http://id.kalbe.co.id

5. Fentanyl, diunduh tanggal 18 Oktober 2013. Diunduh dari http://id.kalbe.co.id

6. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw

Hill. New York. 2006.

7. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker

Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19

32