Anas

38
2015 PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada prosedur medis yang tidak membawa resiko, sekecil apapun. Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat anestesianya sudah sangat sedikit, potensi untuk timbulnya komplikasi tetap ada. Demikian pula komplikasi yang terjadi, belum dapat mencapai titik nol. Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan anestesia dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma primer (akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan fisiologi karena tindakan anestesia, gangguan faal organ (kesalahan manajemen cairan, penggunaan obat-obat yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan manajemen pernafasan. Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi, yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan, perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi

description

ANESTESI

Transcript of Anas

Page 1: Anas

2015

PENDAHULUAN

Pada dasarnya tidak ada prosedur medis yang tidak membawa resiko, sekecil apapun.

Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat anestesianya sudah sangat sedikit, potensi untuk

timbulnya komplikasi tetap ada. Demikian pula komplikasi yang terjadi, belum

dapat

mencapai titik nol. Komplikasi yang berlangsung berhubungan dengan tindakan anestesia

dapat mengenai semua organ secara garis besar, komplikasi ini berbentuk trauma primer

(akibat tindakan anestesi), trauma sekunder sebagai akibat perubahan fisiologi

karena

tindakan anestesia, gangguan faal organ (kesalahan manajemen cairan, penggunaan obat-obat

yang toksik bagi organ tertentu), atau kegagalan manajemen pernafasan.

Secara garis besar ada empat hal yang harus diperhatikan pada pasien pasca anestesi,

yaitu: masalah pernapasan, kardiovaskuler, keseimbangan cairan, sistem persarafan,

perkemihan, dan gastrointestinal (Abrorshodiq, 2009). Harus diperhatikan bahwa komplikasi

anestesi yang tidak segera ditangani akan berdampak kematian bagi pasien.

Beberapa

komplikasi lain yang mungkin terjadi antara lain: pernapasan tidak adekuat, pneumotorakis,

atelektasis, hipotensi, gagal jantung, embolisme pulmonal, pemanjangan efek

sedatif

premedikasi, trombosis jantung, cedera kepala, sianosis, konfulsi, mual muntah, embolisme

lemak dan keracunan barbiturat (Ellis & Campbell, 1986).

Komplikasi anestesi jarang terjadi, namun dapat mengancam jiwa (Abrorshodiq,2009).

Laporan umum mencatat kejadian kematian pada waktu atau segera setelah operasi di

beberapa rumah sakit di Amerika rata-rata 0,2% - 0,6% dari operasi dan kematian yang

disebabkan oleh anestesi 0,03% - 0,1% dari seluruh anestesi yang diberikan (Admin, 2007).

Page 2: Anas

Campbell (1960) menambahkan bahwa kematian yang terjadi pada waktu operasi atau segera

setelah operasi dari laporan kejadian karena anestesi sangat bervariasi dari 5% sampai 50%

KOMPLIKASI ANESTESI

Kecelakaan anestetik dapat dikelompokkan menjadi yang dapat dicegah dan yang

tidak dapat dicegah. Berbagai contoh yang tidak dapat dicegah antara lain sindrom kematian

mendadak, reaksi obat idiosinkratik fatal, atau setiap akibat buruk yang terjadi walaupun

telah dilakukan penatalaksanaan yang sesuai. Namun demikian, penelitian pada kematian

yang terkait-anestetik atau hampir meninggal menunjukkan bahwa sebagian besar kecelakaan

tersebut dapat dicegah.

Tabel 1. Kesalahan manusia umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat

dicegah.

Putusnya sirkuit pernapasan yang tidak diketahui

Kesalahan pemberian obat

Kesalahan penatalaksanaan jalan napas

Penyalahgunaan mesin anestesia

Mesalahan penatalaksanaan cairan

Putusnya jalur intravena

Tabel 2. Malfungsi peralatan umum yang menyebabkan kecelakaan anestetik yang dapat

dicegah

Sirkuit pernapasan

Alat pemantauan

Ventilator

Mesin anestesia

Laringoskop

Tabel 3. Berbagai faktor yang berkaitan dengan kesalahan manusia dan penyalahgunaan

Page 3: Anas

peralatan.

Faktor Contoh

Persiapan yang tidak adekuat Tidak dilakukan pemeriksaan mesin atau

evaluasi praoperasi; tergesa-gesa dan tidak

hati-hati

Pengalaman dan pelatihan yang tidak

adekuat

Ketidakpahaman dengan teknik atau

peralatan anestetik

Keterbatasan lingkungan Ketidakmampuan untuk memvisualisasi

lapangan pembedahan: komunikasi yang

kurang dengan ahli bedah

Faktor fisik dan emosional Kelelahan: masalah pribadi.

Pencegahan

Berbagai strategi untuk mengurangi insidens komplikasi anestetik yang serius

meliputi pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik,

protokol dan standar praktik yang lebih menyeluruh, dan program penatalaksanaan risiko

yang aktif. Pemantauan dan teknik anestetik yang lebih baik termasuk kontak dengan pasien

yang lebih dekat, peralatan pemantauan yang lebih menyeluruh, dan mesin dan ruang kerja

anestesia yang dirancang dengan lebih baik. Fakta bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi

selama fase pemeliharaan anestesia—dari pada selama induksi atau emergensi—termasuk

kegagalan dalam kewaspadaan. Inspeksi, auskultasi, dan palpasi pada pasien memberikan

informasi yang penting. Peralatan sebaiknya memberikan tambahan namun jangan

menggantikan indera ahli anestesiologi sendiri. Untuk meminimalkan kesalahan

dalam

Page 4: Anas

pemberian obat, syring dan ampul obat di dalam wilayah kerja sebaiknya hanya diberikan

pada mereka yang membutuhkan pada kasus terbaru dan spesifik. Obat-obat ini secara

konsisten harus selalu diencerkan sampai mencapai konsentrasi yang sama untuk setiap

penggunaan dan diberikan lebel dengan jelas. Sistem komputer untuk pemindaian label obat

yang berkode-khusus telah dikembangkan untuk membantu mengurangi kesalahan medis.

Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan

anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi segera dapat timbul pada

waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.

Komplikasi Anastesia Umum

Dalam anestesia umum ada beberapa hal yang berpotensi menyebabkan morbiditas

atau mortalitas diantaranya adalah hilangnya kemampuan pasien untuk mempertahankan

sendiri kehidupannya termasuk bernafas. Komplikasi pernafan merupakan kasus morbiditas

dan mortalitas intra maupun pasca bedah yang sering dilaporkan. Komplikasi pada sistem

pernafasan menyangkut juga komplikasi jalan nafas. Sebagian besar ini akibat kegagalan

manajemen jalan nafas. Kegagalan manjemen jalan nafas bahkan dapat fatal

sebelum

tindakan bedah dilakukan. Diantaranya disebabkan false route intubation, atau

intubasi

esophageal.

Komplikasi lain adalah regurgitasi isi lambung yang menyebabkan pneumonia

aspirasi. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang tidak puasa atau yang

terganggu

pengosongan lambungnya.

Beberapa tindakan anestesi menyebabkan stimulus nyeri yang dapat berbahaya jika

tidak diantisipasi. Peningkatan tonus simpatis akibat nyeri dapat menyebabkan hipertensi

Page 5: Anas

bahkan cerebrovaskuler accident, terutama pada pasien yang sudah menderita hipertensi pra

bedah. Nyeri juga faktor penyebab yang signifikan untuk spasme koroner, krisis hipertensi

pulmonal, atau hipercyanotic spell. Aktivitas simpatis juga dapat mencetuskan

aritmia

jantung, apalagi jika sebelumnya sudah ada ketidakseimbangan elektrolit.

Ketidakcermatan dalam manjemen cairan intraoperatif juga dapat fatal, seringkali tanpa

disadari. Hipovolemia yang berat hingga menyebabkan hipotensi cukup mudah dideteksi

akan tetapi hipovolemia yang terjadi perlahan, seringkali lolos dari perhatian, apalagi jika ahli

anestesiologi hanya mengandalkan normalnya tekanan darah. Penyebab komplikasi sistem

respirasi adalah multifaktorial. Resiko ini meningkat pada pasien geriatri, pasien dengan

kebiasaan merokok, lamanya anestesia berlangsung, jenis operasi, keadaan umum yang

buruk, dan tentu saja pasi en dengan adanya penyakit paru atau kesulitan jalan nafas sebelum

operasi.

Komplikasi Jalan Nafas

Hampir semua komplikasi jalan nafas berupa trauma, ketika melakukan ventilasi

dengan sungkup atau bag, jika tidak cermat lidah pasien dapat tergigit. Oleh karena itu

sekarang dianjurkan menggunakan sungkup muka yang bewarna transparan karena selain

dapat melihat lidah yang tergigit juga dapat melihat jika pasien muntah.

Trauma jalan nafas (atas) dapat terjadi jika memasukkan alat bantu, misalnya pipa

orofaring (guedel) atau pipa nasofaringeal. Trauma jalan nafas yang paling sering terjadi

berhubungan dengan tindakan laringoskopi dan intubasi. Mulai yang ringan (gigi tanggal,

laserasi sudut mulut) hingga cedera glotis dan jaringan lunak sekitarnya. Pada tindakan

laringoskopi bahkan dapat terjadi dislokasi dan subluksasi aritenoid.

Laringoskopi semakin traumatis jika pasien memang memiliki anatomi yang sulit.

Namun demikian, pasien dengan anatomi normalpun dapat mengalami ini. Oleh karena itu,

Page 6: Anas

gindakan laringoskopi barus dilakukan sehalus mungkin, sesingkat mungkin. Harus

dipastikan juga analgesia (sistemik atau topikal) bekerja adekuat.

Intubasi dengan pipa endotracheal (endotracheal tube atau ETT) serig menyebabkan

trauma dan kerusakan struktur jalan nafas atas. Terutama jika intubasi dilakukan dalam

keadaan pasien tetap bernafas spontan, ETT dapat mencederai pita suara atau menyebabkan

laringospasme. Penggunaan balon (cuff) ETT juga dapat meninbulkan trauma terutama jika

ukuran ETT sangat ketat di trakea atau balon dikembangkan terlalu besar. Pada kasus yang

berat bahkan dapt menyebabkan kelumpuhan pita suara akibat tekanan pada saraf laringeus

reccurens. Pasca bedah, setelah ekstubasi terkadang baru disadari ada pembengkakan di jalan

nafas. Edema laring atau laringospasme pasca ekstubasi dapat menjadi masalah besar karena

dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Edema laring dapat diatasi dengan pemberian O2

yang dilembabkan, epinefrin, posisi kepala diangkat, bila perlu dilakukan intubasi ulang

dengan pipa endotracheal yang lebih kecil. Meskipun kontroversial, seringkali diberikan

steroid parenteral untuk mengurangi edema ini. Laringospasme dapat diatasi

dengan

pemberian O2 tinggi melalui tekanan positif. Pada kasus yang berat dapat

diberikan

pelumpuh otot.

Keberadaan ETT di trakea juga dapat merupakan iritan bagi pasien-pasien yang

sensitif. Pasien dengan hiperaktivitas bronkus atau asma bronkhial mudah terpicu serangan

oleh karena ETT ini. Jika ETT terlalu dalam dan masuk ke salah satu bronkus pun, serangan

asma dapat terjadi. Untuk pada kasus yang berat bahkan menyebabkan atelektasis satu paru.

Pembesaran lambung dapat mendorong diafragma ke sefalat, mengganggu ventilasi.

Pernah terjadi kasus henti jantung akibat hiperkapnia karena kebocoran sungkup laring ini.

Oleh karena itu, sangat penting menggunakan kapnografi, melakukan pemeriksaan berkala

Page 7: Anas

pada pasien dan sesekali membantu pernafasan secara mekanik, meski pasien bernafas

spontan.

CEDERA JALAN NAPAS

Pemasukan selang endotrakeal sehari-hari, jalan napas masker laring, jalan napas

oral/nasal, selang gastrik, probe ekokardiogram transesofageal (transesofageal

echocardiogram, TEE), dilator esofageal (boogie), dan jalan napas darurat

semuanya

melibatkan risiko kerusakan struktur jalan napas.

Cedera jalan napas permanen yang paling umum adalah trauma gigi. Pada

kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas adalah

yang paling sering terkena cedera.Faktor risiko utama untuk trauma gigi termasuk intubasi

trakeal, gigi geligi yang kurang baik sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berkaitan

dengan penatalaksanaan jalan napas sulit (termasuk pergerakan leher yang

terbatas,

pembedahan kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat intubasi sulit).

Secara umum, yang paling tidak serius adalah cedera sendi temporomandibular

(temporomandibular joints, TMJ), yang semuanya berkaitan selain dengan intubasi yang

tidak dipersulit dan terjadi sebagian besar pada wanita yang lebih muda dari 60 tahun.

Cedera laringeal terutama melibatkan paralisis pita suara, granuloma, dan dislokasi

aritenoid. Sebagian besar cedera trakeal berkaitan dengan trakeotomi pembedahan darurat,

namun beberapa berkaitan dengan intubasi endotrakeal. Meminimalkan risiko cedera jalan

napas dumulai pada penilaian praoperasiDokumentasi gigi geligi terakhir (termasuk kerja

gigi) harus dimasukkan

Komplikasi Sistem Pernafasan

Komplikasi yang dapat fatal dalam waktu singkat adalah hipoksemia berat.

Page 8: Anas

Hipoksemia berat dapat diakibatkan kegagalan menagemen jalan nafas, baik karena anatomi

sulit, false route, obstruksi, atau kesalahan pengaturan ventilasi atau oksigen. Hipoksemia

juga dapat terjadi karena hal-hal yang sepele seperti diskoneksi ETT dengan sumber gas,

bocornya sirkuit nafas, fraksi O2 yang rendah atau pengaturan ventilasi semenit yang kurang

dari seharusnya.

Obstruksi jalan nafas dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya adalah

tertekuknya pipa endotrakeal atau tersumbatnya pipa endotrakeal oleh mukus, darah, benda

asing atau pelumas. Pipa endokrakeal non kinkin dapat mencegah terjadinya pipa yang

tertekuk, oleh karena itu penggunaannya dianjurkan pada pasien yang lama, operasi mulut,

atau operasi yang memerlukan posisi khusus. Balon pipa endotracheal yang dikembangkan

secara berlebihan juga dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Balon ini dapat menekan

ujung pipa pada dinding trakea, yang kemudian akan menyumbatnya.

Komplikasi Sistem Kardiovaskular

Berbagai komplikasi kardiovaskular sangat mudah terjadi selama anastesi umum.

selain peningkatan aktivitas simpatis, aktivitas parasimpatispun dapat terjadi.

umumnya

peningkatan tonus para simpatis ini berbentuk refleks vagal. Bradikardi adalah efek dari

tonus vagal yang meningkat, biasanya di picu oleh stimulus nyeri pada anastesia yang kurang

dalam.

Perubahan irama jantung juga dapat terjadi, salah satunya adalah aritmia intraoperatif,

sebagian disebabkan karena peningkatan aktivitas simpatis, kemungkinan lain karena adanya

ketidakseimbangan elektrolit, semua abnormalitas kadar elektrolit berpotensi menyebabkan

aritmia.

Sebagian besar obat anestetik bersifat vasodilator dengan gradasi berbeda-beda, yang

dapat menyebabkan hipotensi. Semakin dalam anestesia, semakin rendah pula tekanan darah.

Page 9: Anas

Jika pasien dalam kondisi hipovolemia tentu hipotensi lebih mudah terjadi dan dapat berat.

Dalam operasi emergensi (misalnya untuk bleeding source control) dan menghadapi pasien

yang dalam kondisi syok hipovolemia, selain harus diusahakan resusitasi cairan secepatnya

juga harus dipilih obat anestesi yang tidak terlalu mendepresi sistem kardiovaskular. Pada

pasien dengan penyakit jantung coroner (coronary artery disease, CAD), kondisi syok

hipovolemia sangat mudah menyebabkan infark miokard akut yang fatal. keadaan hipotensi -

hipovolemi (menurunkan suplai oksigen ke miokard) dan takikardi sebagai kompensasi

hipovolemia (meningkatkan oksigen demand miokard) adalah kombinasi terburuk CAD.

Iskemia dan infark miokardakut juga dapat terjadi setelah hipoksia berulang akibat intubasi

yang sulit, obstruksi jalan nafas, atau manajemen ventilasi-oksigen yang adekuat.

Satu komplikasi kardiovaskular yang mungkin kurang mendapat perhatian adalah

hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal adalah kelainan pada tekanan darah di sirkulasi

pulmonal. Dalam kondisi istirahat (termasuk dalam anestesia) tekanan arteri pulmonalis

normal adalah 25 mmHg atau kira-kira seperemlat tekanan darah sistemik. Tekanan ini dapat

tiba-tiba melonjak melampaui batas normal, biasanya vatal dalam hitungan menit. Tekanan

arteri pulmonalis akan diteruskan dan menjadi beban jantung kanan, sedangkan jantung

kanan tidak di kondisikan untuk melawan tekanan yang tinggi, akibatnya dapat menjadi

sudden death.

Komplikasi Neurologi

Trauma pada medula spnalis atau saraf yang keluar dari medula spinalis dapat terjadi.

cedera vetebra servikalis akibat usaha laringoskopi dan intubasi yang sulit

merupakan

penyebab tersering.

Komplikasi lain adalah cerebrovaskuler accident akibat hipertensi yang tidak

terkendali yang dipacu stimulus nyeri karena ini adalah akibat naiknya tonus simpatis, maka

Page 10: Anas

secara teoritis semua hal yang meningkatkan tonus simpatis juga dapat memicu komplikasi

ini. Oleh karena itu, menjaga oksigenasi dan ventilasi tetap direntang normal serta menjaga

kecukupan cairan ekstravaskuler tidak kalah penting dengan menjamin analgesia

yang

adekuat.

Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnar. Yang menarik, gejala-

gejala awal sebagian besar seringkali terlihat lebih dari 24 jam setelah prosedur pembedahan

dan mungkin telah terjadi saat pasien yang berada pada bangsal rumah sakit sedang tertidur

Berbagai faktor risiko meliputi jenis kelamin laki-laki, lama inap di rumah sakit lebih dari 14

hari, dan habitus tubuh yang sangat kurus atau obesitas.

Cedera saraf perifer lainnya tampaknya lebih berhubungan dekat dengan pengaturan

posisi atau prosedur pembedahan. Cedera ini mencakup saraf peroneus, pleksus brakialis,

atau saraf femoralis dan skiatika. Penekanan eksternal pada saraf dapat membahayakan

perfusinya, merusak integritas selularnya, dan pada akhirnya menimbulkan edema, iskemia,

dan nekrosis.

Komplikasi yang Berkaitan dengan Posisi

Perubahan posisi tubuh memiliki konsekuensi fisiologi yang dapat diperberat dengan

adanya penyakit. Anestesia umum dan regional dapat membatasi respons kardiovaskular

terhadap perubahan tersebut. Bahkan posisi yang aman untuk periode singkat ternyata dapat

menyebabkan komplikasi pada orang yang tidak mampu bergerak untuk merespons terhadap

nyeri. Sebagai contoh, pasien alkoholik yang pingsan pada lantai yang keras dapat terbangun

dengan cedera pleksus brakialis. Begitu juga, anestesia regional dan umum menghilangkan

refleks-refleks protektif dan mempredisposisikan pasien pada cedera.

Hipotensi postural, suatu konsekuensi fisiologis yang paling umum dari posisi, dapat

diminimalkan dengan menghindari perubahan posisi yang tiba-tiba (misal, duduk dengan

Page 11: Anas

cepat), mengembalikan posisi jika terdapat perubahan tanda vital, menjaga pasien sehidrasi

mungin, dan memberikan obat-obat untuk melawan reaksi yang diantisipasi

Tabel 4. Berbagai efek fisiologis dari posisi umum pasien.

Posisi Sistem Organ Efek

Supine

Horizontal

1

Jantung Ekualisasi tekanan di seluruh sistem arterial; meningkatnya

pengisian sisi kanan dan curah jantung; menurunnya denyut

jantung dan resistansi vaskular perifer.

Pernapasan Gravitasi meningkatkan perfusi pada segmen paru yang

tertekan (posterior); visera abdomen menggeser diafragma

ke arah sefalad. Ventilasi spontan lebih terjadi pada segmen

paru yang tertekan, sementara ventilasi terkontrol lebih

Page 12: Anas
Page 13: Anas

terjadi pada segmen yang bebas (anterior). Kapasitas residual

fungsional menurun dan dapat turun di bawah volume

penutupan pada pasien yang lebih tua.

Trendelenburg Jantung Aktivasi beroreseptor, secara umum menyebabkan

penurunan curah jantung, resistansi vaskular perifer, denyut

jantung, dan tekanan darah.

Pernapasan Penurunan yang nyata pada kapsitas paru akibat pergeseran

visera abdomen; meningkatnya ketidaksesuaian

ventilasi/perfusi dan ateletaksis; meningkatnya

kecenderungan regurgitasi.

Lainnya Peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah

serebral akibat kongesti vena serebral; meningkatnya tekanan

intraokular pada pasien dengan glaukoma.

Trendelenburg

terbalik

Jantung Preload, curah jantung, dan tekanan arterial menurun.

Barorefleks meningkatkan tonus simpatis, denyut jantung,

dan resistansi vaskular perifer.

Pernapasan Pernapasan spontan membutuhkan kerja yang lebih sedikit;

kapasitas residual fungsional meningkat.

Lainnya Tekanan perfusi serebral dan aliran darah mungkin menurun.

Litotomi

Jantung Autotransfusi dari pembuluh darah kaki meningkatkan

volume darah yang bersirkulasi dan preload; menurunkan

Page 14: Anas

kaki memiliki efek yang sebaliknya. Efek pada tekanan

darah dan curah jantung bergantung pada status volume.

Pernapasan Penurunan kapasitas vital; peningkatan kecenderungan

aspirasi.

Prone

Jantung Pengumpulan darah pada ekstremitas dan kompresi pada

otot-otot abdomen dapat menurunkan preload, curah jantung,

dan tekanan darah.

2

Pernapasan Kompresi pada abdomen dan toraks menurunkan kompliansi

paru total dan meningkatkan kerja pernapasan

Page 15: Anas
Page 16: Anas
Page 17: Anas

alopesia Supine, litotomi,

Trendelenburg

Normotensi, pemakaian alas, dan pemutaran kepala

yang jarang.

Sakit punggung Semua Penunjang lumbar, pemakaian alas, dan sedikit

fleksi pinggul.

Sindrom

kompartemen

Khususnya litotomi Mempertahankan tekanan perfusi dan menghindari

kompresi eksternal.

Abrasi korneal Khususnya prone Menutup dan/atau melubrikasikan mata

Amputasi jari Semua Periksa jari yang menonjol sebelum mengubah

konfigurasi meja.

Kelumpuhan saraf

Pleksus brakialis

Peroneal

komunis

Radialis

Ulnaris

Iskemia retinal

Nekrosis kulit

Semua

Litotomi, dekubitus

lateral

Page 18: Anas

Semua

Semua

Prone, duduk

Semua

Hindari penarikan atau kompresi langsung pada

leher atau aksila

Alas pada aspek lateral dari fibula atas.

Hindari kompresi pada humerus lateral.

Pemakaian alas pada siku, supinasi lengan atas.

Hindari penekanan pada bola mata.

Pemakaian alas pada penonjolan tulang

Komplikasi Organ Sistem Lain

Anestesia umum juga dapat mengganggu fungsi beberapa organ vital seperti hati dan

ginjal. Hal ini terutama jika digunakan obat-obatan yang bersifat hepato/nefrotoksik atau

terjadi gangguan perfusi selama anestesia. Salah satu obat anestesia yang terkenal dengan

sifat hepatotoksiknya adalah gas volatil halotan.

Page 19: Anas

Manajemen cairan intraoperatif yang tidak tepat juga dapat menyebabkan masal.

Selain hipovolemi, hipervolemi dapat membawa komplikasi edema interstisial, terutama jika

digunakan terlalu banyak cairan kristaloid. Pada pasien dengan keterbatasan fungsi pompa

jantung, hipervolemia mudah mengakibatkan gagal jantung kongestif. Edema pulmonum

intraoperatif hanya salah satu gejalanya.

Komplikasi terbanyak pasca-anetesia, terutama jika menggunakan anastetika inhalasi

adalah mual muntah pasca bedah (post operative nausea and vomitus, PONV).

Selain itu, komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:

Awareness

Saat intraoperatif secara tidak diinginkan pasien menjadi sadar, pasien dapat

menunjukkan gejala mulai dari kecemasan ringan sampai gangguan stres pasca trauma

(misalnya, gangguan tidur, mimpi buruk, dan kesulitan bersosialisasi).

Kembalinya kesadaran secara tiba-tiba bisa disebabkan karena berkurangnya

Page 20: Anas

kedalaman anestesi karena pasien dapat mentoleransinya, anestesi inhalasi yang inadekuat,

dan medication errors. Untuk mencegah hal tersebut pasien dapat diberikan volatile anestesi

dengan level yang konsisten sehingga menyebabkan efek amnesia atau berikan

benzodiazepine.

Eye Injury

Dapat terjadi mulai dari simple cornea abrasion sampai dengan kebutaan. Namun,

yang paling sering terjadi adalah simple cornea abrasion. Penyebabnya masih sulit

diidentifikasi, tapi jarang bersifat permanen. Untuk mencegah hal ini terjadi pada saat pasien

tidak sadar tutup kelopak matanya dengan tape (terutama pada pasien yang diintubasi), serta

mencegah adanya kontak langsung antara oxygen mask dengan mata.

Akhir-akhir ini, cedera mata yang membahayakan disebut neuropati optik iskemik

(ischemic optic neuropathy, ION) telah diketahui. Sindrom ini berasal dari infark saraf optik

akibat menurunnya penyaluran oksigen melalui satu atau lebih arteriol kecil yang memasok

kepala saraf. Banyak dari laporan, kasus ini melibatkan hipertensi yang telah

ada

sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner, dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan

vaskular praoperasi mungkin memiliki peran.

Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi (1) meningkatkan aliran keluar vena

dengan memposisikan pasien dengan kepala di atas dan meminialkan konstriksi abdomen,

(2) memantau tekanan darah secara hati-hati dengan jalur arterial, (3) membatasi derajat dan

durasi hipotensi selama hipotensi terkontrol (disengaja), (4) memberikan transfusi pada

pasien anemik yang tampaknya memiliki risiko ION dengan cukup dini untuk menghindari

anemia berat, dan (5) mendiskusikan dengan ahli bedah mengenai kemungkinan operasi

bertahap pada pasien risiko tinggi untuk membatasi prosedur yang terlalu lama.

Reaksi Alergi

Page 21: Anas

Reaksi hipersensitivitas (alergi) merupakan respons imunologis yang berlebihan

terhadap stimulasi antigenik pada orang yang telah tersensitisasi sebelumnya. Pasien dapat

terpapar terhadap antigen melalui hidung, paru, mata, kulit, dan saluran gastrointestinal, dan

juga secara parenteral (intravena atau intramuskular) dan secara transperitoneal. Kelas-kelas

tertentu dari monosit/makrofag memproses antigen dan memaparkannya pada

protein

permukaan membran sel mereka terhadap limfosit T helper CD4

+

. Hal ini dapat menginduksi

suatu hipersensitivitas TH1 yang tertunda, hipersensitivitas segera TH2, atau respons anergik

(tidak ada) TH0.

Bergantung pada antigen dan komponen sistem imun yang terlibat, reaksi

hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi empat tipe (Tabel 6). Reaksi tipe I melibatkan

antigen yang mengikat antibodi imunoglobulin (Ig) E yang memicu pelepasan mediator

inflamasi dari sel-sel mast. Pada reaksi tipe I, antibodi IgG terikat komplemen (ikatan C1)

berikatan dengan antigen pada permukaan sel, mengaktifkan jalur komplemen klasik dan

melisiskan sel. Contoh-contoh reaksi tipe II meliputi reaksi transfusi hemolitik

dan

trombositopenia yang diinduksi-heparin. Reaksi tipe III terjadi ketika kompleks

imun

antigen-antibodi (IgG atau IgM) tersimpan di dalam jaringan, mengaktivasi komplemen dan

membangun faktor-faktor kemotaktik yang menangkap neutrofil ke area tersebut. Neutrofil

yang teraktivasi menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan enzim liposomal dan

produk-produk toksik. Reaksi tipe III melibatkan reaksi kesakitan serum (serum sickness) dan

pneumonitis hipersensitivitas akut. Reaksi tipe IV, sering disebut sebagai hipersensitivitas

yang tertunda, dimediasi oleh limfosit T CD4

Page 22: Anas

+

yang telah tersensitisasi terhadap antigen

spesifik oleh paparan sebelumnya. Respons TH1 sebelumnya menyebabkan ekspresi protein

reseptor sel T yang spesifik untuk antigen. Paparan ulang terhadap antigen menyebabkan

Pneumonitis hipersensitivitas kronik

Reaksi Anafilaksis merupakan respons berlebihan terhadap alergen (misal,

antibiotik) yang dimediasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Sindrom ini tampak dalam

beberapa menit setelah paparan terhadap antigen tertentu pada orang yang telah tersensitisasi

dan secara khas timbul sebagai distres pernapasan akut, syok sirkulasi, atau keduanya.

Kematian biasanya terjadi akibat asfiksia atau syok sirkulasi yang ireversibel. Insidens reaksi

anafilaksis selama anestesia diperkirakan sebesar 1:5000 sampai 1:25.000 anestetik.

Antibiotik merupakan penyebab reaksi anafilaktik yang paling umum, namun lateks juga

menjadi penyebab yang semakin penting.

Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien, BK-A, dan

faktor pengaktivasi platelet. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular dan

mengontraksi otot polos. Aktivasi reseptor-H1 mengontraksi otot polos bronkial, sementara

aktivasi reseptor H

2

menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan sekresi mukus, takikardia, dan

meningkatkan kontraktilitas miokardial. BK-A memecah bradikinin dari kininogen;

bradikinin meningkatkan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi dan mengontraksi

otot

polos. Aktivasi faktor Hageman dapat menginisiasi koagulasi intravaskular pada beberapa

pasien. ECF-A, NCF, dan leukotrien B

Page 23: Anas

4

menangkap sel-sel inflamasi yang memediasi cedera

jaringan tambahan. Angioedema pada faring, laring, dan trakea, menghasilkan obstruksi jalan

napas bagian bawah. Histamin lebih cenderung mengonstriksi jalan napas yang lebih besar,

sementara leukotrien terutama mempengaruhi jalan napas perifer yang lebih kecil. Transudasi

cairan ke dalam kulit (angioedema) dan visera menghasilkan hipovolemia dan

syok,

sementara vasodilatasi arteriolar menurunkan resistansi vaskular sistemik.

Hipoperfusi

koroner dan hipoksemia mencetuskan aritmia dan iskemia miokardial. Mediator leukotrien

dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme koroner. Syor sirkulasi

yang

memanjang menghasilkan asidosis laktat dan kerusakan iskemik terhadap organ vital lainnya.

Tabel 7 merangkum manifestasi yang penting dari reaksi anafilaktik. Penting untuk mencatat

bahwa manifestasi kardiovaskular dan kutaneus merupakan gambaran yang lebih umum dari

anafilaksis dibandingkan bronkospasme selama anestesia.

Page 24: Anas

Reaksi anafilaktoid menyerupai anafilaksis namun tidak bergantung pada interaksi

antibodi IgE dengan antigen. Suatu obat dapat secara langsung melepaskan histamin dari sel

mast (misal, urtikaria setelah dosis tinggi morfin sulfat) atau mengaktivasi komplemen.

Walaupun mekanismenya berbeda, reaksi anafilaktik dan anafilaktoid secara klinis tidak

dapar dibedakan dan sma-sama mengancam nyawa. Tabel 8 menyebutkan penyebab umum

dari reaksi anafilaktik dan anafilaktoid. Insidens reaksi anafilaksis dan anafilaktoid di bawah

anestesia diperkirakan antara 1 dalam 3500 sampai 1 dalam 13.000.

Berbagai faktor yang dapat mempredisposisikan pasien terhadap reaksi-reaksi ini

adalah usia muda, kehamilan, atopi yang telah diketahui, dan paparan obat sebelumnya.

Tabel 7. Manifestasi klinis dari anafilaksis.

Sistem organ Tanda dan Gejala

Kardiovaskular Hipotensi,

1

takikardia, aritmia

Pulmonar Bronkospasme,

1

batuk, dispnea, edema

pulmonar, edema laringeal, hipoksia

dermatologis Urtikaria,

1

edema wajah, pruritus

1

Tanda-tanda kunci selama anestesia umum.

Reaksi Alergi terhadap Obat Anestetik

Anafilaksis akibat obat anestetik sebenarnya jarang terjadi; reaksi anafilaktoid jauh

lebih umum. Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan hipersensitivitas

terhadap

Page 25: Anas

anestetik meliputi jenis kelamin wanita, riwayat atopik, alergi yang telah ada sebelumnya,

dan paparan anestetik sebelumnya. Relaksan otot merupakan penyebab anafilaksis yang

paling umum selama anestesia dengan perkiraan insidens 1 dalam 6500 pasien. Relaksan otot

merupakan hampir 70% reaksi anafilaktik selama periode perioperasi.

Walaupun lebih jarang, obat-obat hipnotik juga dapat bertanggung jawab untuk

beberapa reaksi alergi. Insidens anafilaksis untuk tiopental dan propofol berturut-turut adalah

1 dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap ketomidat, ketamin,

dan

benzodiazepin sangatlah jarang. Reaksi anafilaktik sebenarnya akibat opioid jauh lebih jarang

dibandingkan pelepasan histamin nonimun. Begitu juga, reaksi anafilaktik terhadap anestetik

lokal jauh lebih jarang dibandingkan reaksi vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari

epinefrin. Tidak terdapat laporan mengenai anafilaksis terhadap anestetik volatil.

DAFTAR PUSTAKA

Ratna F. Soenarto dan Susilo Chandra. Komplikasi Anestesiologi dalam Buku Ajar

Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI. 2012:

207-218.

John F. Butterworth, dkk. Anesthetic Complication In Morghan and Mikhail’s

Clinical Anesthesiology 5

th

Edition. United States: McGra-Hill Education. 2013:

1219-1228