Muh. Aswar Anas- Proposal - Skripsi
description
Transcript of Muh. Aswar Anas- Proposal - Skripsi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk
memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling
umum diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri (Eccleston, 2010).
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) nyeri
dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang
tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial
akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo dkk, 2009).
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai “akut” dan “kronik”. Nyeri akut
seringkali adaptif karena mengingatkan individu mengenai kehadiran dan
lokasi dari cedera pada lapisan jaringan dan mengoreksi perilaku yang dapat
menyebabkan atau berkontribusi terhadapnya. Nyeri kronik, di sisi lain
merujuk pada nyeri yang berkelanjutan lebih dari tiga bulan walaupun
treatment dan usaha-usaha untuk mengatasinya telah dilakukan individu.
Nyeri dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang dan seringkali
berasosiasi dengan masalah-masalah fungsional, psikologis, dan sosial. Lebih
lanjut lagi, nyeri kronik dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
keluarga dan rekan-rekan penderita (Rospond, 2008). Pasien-pasien dengan
nyeri kronik dan akut yang berulang seringkali merasa ditolak oleh elemen-
elemen masyarakat yang hadir untuk melayani mereka. Mereka kehilangan
keyakinan dan menjadi frustasi serta terganggu dengan sistem pelayanan
kesehatan yang mungkin pada awalnya menciptakan ekspektasi-ekspektasi
2
bagi kesembuhan tetapi mengecewakan para penderita nyeri ketika treatment
terbukti tidak adekuat (Turk, 2002). Nyeri merupakan situasi yang
menurunkan moral yang mengkonfrontasi penderita tidak hanya dengan stress
yang berasal dari nyeri tetapi jugadengan banyak kesulitan-kesulitan lain
yang menyertai yang mempengaruhi semua aspek kehidupan (Turk &
Monarch, 2002).
Nyeri itu sendiri bisa disebabkan oleh beberapa peristiwa, salah
satunya pada tindakan injeksi. Nyeri adalah komplikasi yang secara umum
terjadi ketika dilakukannya tindakan injeksi. Nyeri pada klien yang
dilakukan tindakan injeksi merupakan kategori nyeri nosiseptor mekanis
yang berespon terhadap kerusakan mekanis berupa tusukan jarum
(Sherwood, 2011). Hasil penelitiian menunjukan bahwa dari 125 laki-laki,
80% melaporkan nyeri setelah tindakan injeksi yang diberikan (Sartorius et
al, 2010).
Injeksi merupakan salah satu tindakan invasif yang biasa dilakukan
dalam pelayanan kesehatan. Rute pemberian injeksi dapat dilakukan melalui
subkutis (subkutan / SC), intramuskular (IM), intravena (IV), dan
intrathekal-intraspinal. Rute pemberian injeksi yang paling sering dilakukan
adalah melalui IM (Potter & Perry, 2005). Injeksi IM dapat dilakukan ke
dalam otot ventrogluteal, otot vastus lateralis, otot dorsogluteal, dan otot
deltoid (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
3
Injeksi IM umumnya memerlukan jarum berukuran 19 sampai 23,
bergantung pada viskositas obat. Setiap jarum memiliki 3 karakteristik
utama: kemiringan bavel, panjang batang dan ukuran atau diameter jarum.
Panjang jarum yang dipakai disesuaikan berdasarkan ukuran dan berat klien
3
serta tipe jaringan yang akan diinjeksi obat (Potter & Perry, 2005).
Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah memilih
lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah besar, saraf, dan
tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Menginjeksi obat dalam
volume dan viskositas yang terlalu besar di tempat yang dipilih dapat
menimbulkan nyeri hebat dan dapat mengakibatkan jaringan setempat rusak.
Selain itu, kenyamanan juga menentukan tingkat nyeri yang dirasakan klien.
Posisi yang nyaman dapat membantu klien untuk mengurangi ketegangan
otot dan nyeri yang ditimbulkan karena prosedur injeksi yang dilakukan
(Potter & Perry, 2005). Posisi klien saat injeksi dapat tengkurap atau lateral
(Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh
Kuhu, Wijayanti & Sukrillah (2003) menunjukan bahwa posisi lateral yang
tidak diatur saat penyuntikan menyebabkan rasa sakit 3,947 kali lebih sakit
dibandingkan dengan posisi lateral diatur saat penyuntikan. Namun,
meskipun posisi sudah diatur senyaman mungkin, rasa nyeri seringkali
masih dirasakan.
Sensasi nyeri juga bervariasi antar individu. Penelitian menunjukan
bahwa wanita dan pria berbeda dalam berespon terhadap nyeri. Wanita
menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk diinduksi nyeri (Fillingim &
Maixner, 2009).
4
Pada tindakan injeksi, khususnya IM, masuknya jarum ke jaringan
yang banyak mengandung reseptor nyeri yaitu otot akan melewati beberapa
lapisan kulit, diiantaranya adalah lapisan subkutan, dimana terdapat
beberapa jaringan lemak. Semakin tebal jaringan lemak bawah kulit maka
jaringan otot yang mengalami kerusakan cenderung lebih sedikit dibanding
4
orang dengan tebal lemak bawah kulit yang lebih rendah. Hal ini disebabkan
karena jarak antara kulit dengan otot lebih tebal dari normal. Hal tersebut
menyebabkan responden dengan obesitas cenderung mengalami tingkat
nyeri yang berbeda dibanding yang memiliki berat badan rendah ketika
dilakukan injeksi (Widyanto, 2012).
Tindakan injeksi IM sendiri paling banyak dilakukan pada klien
Keluarga Berencana (KB) atau akseptor KB Suntik. Tahun 2005 total
peserta KB baru di Kabupaten Banyumas adalah 71.893 orang dengan
rincian sebagai berikut : suntik (66,9%), pil (13,6%), kondom (8,3%),
implant (4,61%), IUD (4,46%), metode operasi wanita (1,31%), dan metode
operasi pria (0,72%) (BKKBN Kab. Banyumas, 2005). Data lain dari Dinas
Kesehatan Kab. Banyumas pada bulan Agustus 2011 menunjukan bahwa
kecamatan Kebasen memiliki jumlah peserta KB suntik terbanyak. Dari data
Puskesmas Kebasen menunjukan bahwa terdapat 8896 akseptor KB suntik
aktif pada bulan Januari sampai September 2011, 824 diantaranya berada di
Desa Kebasen.
Berdasarkan uraian di atas dan belum adanya penelitian tentang
hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit dengan tingkat nyeri yang
dirasakan klien saat tindakan injeksi, maka dipandang perlu untuk dilakukan
5
penelitian mengenai hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold)
dengan intensitas nyeri.
B. Perumusan Masalah Penelitian
Nyeri lokal merupakan komplikasi yang relatif umum saat
dilakukan tindakan injeksi IM. Injeksi IM dapat dilakukan ke dalam otot
ventrogluteal, otot vastus lateralis, otot dorsogluteal, dan otot deltoid. Tebal
5
lemak pada kulit juga dapat mempengaruhi tingkat intensitas nyeri yang
dirasakan. Pada tindakan injeksi, khususnya IM, dimana masuknya jarum
kejaringan otot akan melewati beberapa lapisan kulit, diantaranya adalah
lapisan subkutan, dimana terdapat beberapa jaringan lemak sehingga
semakin tebal jaringan lemak bawah kulit maka akan semakin sedikit
jaringan otot yang mengalami kerusakan karena tindakan injeksi yang
berakibat nyeri akan terasa lebih ringan. Berdasarkan latar belakang tersebut
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Adakah hubungan antara
tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tebal lemak
bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik
di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
6
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, berat badan, pendidikan, dan
pekerjaan) akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
b. Untuk mengetahui tebal lemak bawah kulit (skinfold) akseptor KB
suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen
Banyumas.
c. Mengetahui intensitas nyeri pada saat dilakukan tindakan injeksi IM
pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas.
6
d. Menganalisis hubungan intensitas nyeri dengan tebal lemak bawah
kulit (skinfold) akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan memiliki manfaat teoritis dan praktis
sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Menambah ilmu pengetahuan dari hasil penelitian tentang hubungan
antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) dengan tingkat
intensitas nyeri akseptor KB suntik.
7
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi informasi terkait
hubungan tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri
saat injeksi IM dalam penerapannya dalam proses pendidikan.
b. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi ilmiah
mengenai hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold)
dengan intensitas nyeri injeksi IM.
c. Bagi Praktisi
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai media promotif untuk
memeberikan informasi kepada klien mengenai hubungan tebal
lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri dan menerapkan
pengelolaan nyeri ketika dilkukan injeksi IM berhubungan dengan
tebal lemak bawah kulit klien.
7
E. Keaslian Penelitian
Sejauh penulis ketahui, berdasarkan telaah pustaka belum pernah
ada penelitian mengenai hubungan antara tebal lipatan lemak bawah kulit
(skinfold) dengan intensitas nyeri. Penelitian tentang “Hubungan antara
Tebal Lipatan Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Intensitas Nyeri”
memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara tebal lipatan lemak
bawah kulit (skinfold) dengan tingkat intensitas nyeri. Akan tetapi ada
penelitian sejenis yang memiliki kesamaan yakni :
1. Gumilar (2010) yang meneliti hubungan tebal lemak bawah kulit
(skinfold) dengan usia awal andropouse. Penelitian ini menggunakan
studi penelitian observasional analitik dengan pendekatan crossectional
dengan teknik purposive sampling. Besar sampel yang digunakan adalah
30 orang yang bekerja di Fakultas Kedokteran UNS. Berdasarkan hasil
uji korelasi non-parametrik Spearman, diperoleh nilai signifikansi p =
0,027 (p ˂ 0,05) yang menunjukan bahwa korelasi antara tebal lemak
bawah kulit dengan usia awal andropouse adalah bermakna. Hasi uji
korelasi non-parametrik spearman didapatkan nilai r = 0,405
menunjukan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah.
2. Kuhu, Wijayanti & Sukrillah (2003) yang meneliti pengaruh posisi
lateral saat penyuntikan IM terhadap berkurangnya keluhan rasa sakit
pada klien di ruang penyakit dalam RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto. Desain penelitian yang digunakan adalah pre experiment
one group pretest-posttest design dengan teknik stratified random
sampling. Jumlah sampel sebanyak 52 responden. Berdasarkan nilai
hasil uji Pearson Chi-square = 11,219 lebih besar dari nilai tabel = 3,48
8
dengan tingkat pengaruh kecil yakni a = 0,001 dan dari nilai Odd ratio =
3,947 artinya posisi lateral tidak diatur saat penyuntikan menyebabkan
rasa sakit 3,947 kali lebih sakit dibandingkan dengan posisi lateral diatur
saat penyuntikan.
3. Peristiami (2010) yang meneliti perbedaan respon nyeri anak umur 1-7
tahun pada pemasangan infus dan injeksi di RSUD Purbalingga.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini
berjumlah 60 anak dengan umur 1-7 tahun. Hasil
penelitian ini didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik antara respon nyeri anak umur 1-7 tahun pada pemasangan infus
dan injeksi di RSUD Purbalingga (nilai p ˃ 0,05).
4. Widyanto (2012) yang meneliti tentang perbedaan injeksi IM gluteal
pada posisi lateral dan tengkurap terhadap tingkat nyeri akseptor KB
suntik di bidan praktik swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen
Banyumas. Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment
dengan rancangan posttest only with control group design. Metode
pengambilan sampel pada penelitian ini adalah consecutive sampling.
Sampel merupakan akseptor KB suntik berjumlah 92 orang.
Berdasarkan hasil analisa statistik dengan independent samples test
dengan a = 0,05 didapatkan nilai t = 0,717 dan nilai p = 0,475. Artinya
tidak ada perbedaan yang signifikan antara tingkat nyeri injeksi IM
gluteal pada posisi lateral dan tengkurap di bidan praktik swasta Nastiti
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
A. Landasan Teori
1. Obesitas
Obesitas berasal dari bahasa latin yang mempunyai arti makna
berlebihan, tetapi saat ini obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan
atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh
secara berlebihan. Penderita obesitas yaitu orang yang mempunyai berat
badan sangat berlebihan, secar umum dapat didiagnosa dengan hanya
dengan melihat secar fisik. Namun perlu diwaspadai bahwa masalah
obesitas tidak hanya sekedar mempengaruhi penampilan seseorang.
Masalah obesitas biasanya juga disertai masalah kesehatan lain seperti
diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan hipertensi, kanker,
penyakit ginjal, dan penyakit hati yang dapat menyebabkan kematian
(Azwar, 2004).
Berdasarkan hukum termodinamik, obesitas disebabkan
adanya keseimbangan energi positif, sebagai akibat ketidakseimbangan
antara asupan energi dengan keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan
energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Sebagian besar
gangguan keseimbangan energi ini disebabkan oleh faktor eksogen /
nutrisional (obesitas primer) sedang faktor endogen (obesitas skunder) akibat
kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik hanya sekitar 10%
(Hidayati et al, 2010).
Kegemukan atau obesitas terjadi karena mengkonsumsi kalori
lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh. Bila kelebihan ini terjadi
dalam jangka waktu lama, dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang
cukup untuk membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi
tersebut akan diubah menjadi lemak dan ditimbun di dalam sel lemak di
10
bawah kulit. Akibatnya orang tersebut akan menjadi gemuk. Pada
awalnya ditandai dengan peningkatan berat badan, pada wanita
penumpukan jarigan lemak, biasanya berada di sekitar pinggul, paha,
lengan, punggung dan perut, baru meluas ke seluruh tubuh sampai ke
wajah. Sedangkan laki-laki, penumpukan jaringan lemak umumnya
terjadi di bagian perut (Azwar, 2004).
Menurut Wirakusumah (2001), ada dua tipe kegemukan
berdasarkan distribusinya dalam tubuh, yaitu :
a. Tipe Android (Tipe buah Apel)
Kegemukan tipe ini ditandai dengan penumpukan lemak yang
berlebihan di bagian tubuh sebelah atas yaitu sekitar dada, pundak,
leher, dan muka. Umumnya tipe ini terjadi pada pria dan wanita
yang sudah menopause. Lemak yang menumpuk pada tipe android
lebih banyak terdiri atas lemak jenuh yang mengandung sel-sel
lemak yang besar. Menurut Jean Vague (2006), obesitas dengan tipe
android berpotensi dan beresiko lebih tinggi menderita penyakit
yang berhubungan dengan metabolisme lemak dan glukosa seperti
12
diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, stroke, perdarahan otak,
tekanan darah tinggi, dan kemungkinan untuk terserang kanker
payudara 6 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mempunyai
berat badan normal.
b. Tipe Ginecoid (Tipe Buah Pear)
Pada tipe ini, lemak tertimbun di bagian tubuh sebelah bawah
yaitu sekitar perut, pinggul, paha, pantat, dan umumnya ditemui
wanita. Lemak tersebut terdiri atas lemak tidak jenuh, sel lemak
11
kecil dan lembek. Tipe ginecoid lebih aman bila dibandingkan
dengan tipe android karena lebih kecil kemungkinan mengalami
resiko terkena penyakit.
Menurut Hidayati et el (2010), ada beberapa faktor penyebab
obesitas, yaitu :
a. Faktor Genetik
Perenteral faness merupakan faktor genetik yang
berperanan besar. Obesitas dapat menurun dalam keluarga tetapi
mekanismenya sampai saat ini masih belum jelas, walaupun dalam
anggota keluarga secara genetik dapat mengalami kelebihan berat
badan. Hal ini dimungkinkan karena banyak gen yang terlibat dalam
proses pengeluaran dan pemasukan energi. Penelitian yang
dilakukan pada tahun 1994 terhadap gen obesitas pada tikus telah
membuka wawasan mengenai bidang ini. Gen obese ini merupakan
suatu protein yang dikenal dengan nama leptin dan diproduksi oleh
sel-sel lemak (adipositas) yag disekresikan ke dalam darah. Leptin ini berperan
sebagai suatu duta (messenger) dari jaringan adiposa
yang memberikan informasi ke otak mengenai ukuran massa lemak.
Salah satu efek utamanya adalah sebagai penghambat sintesa dan
pelepasan neuropeptida Y, dengan cara meningkatkan asupan
makanan, menurunkan termogenesis dan meningkatkan kadar
insulin. Leptin memberitahukan otak mengenai jumlah lemak yang
tersedia, tetapi pada orang obesitas proses ini tidak berjalan.
b. Faktor Linngkungan
1) Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari
12
energy expenditure, yaitu sekitar 20-50% dari total energy
expenditure. Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan
antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas.
Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko
peningkatan berat badan sebesar ≥ 5 jg. Penelitian di Jepang
menunjukan risiko obesitas yang rendah pada kelompok yang
mempunyai kebiasaan olahraga, sedang penelitian di Amerika
menunjukan penurunan berat badan dengan jogging, aerobik,
tetapi untuk olahraga tim dan tenis tidak menunjukan penurunan
berat badan yang signifikan.
2) Faktor Nutrisi
Penelitian di Amerika dan Finlandia menunjukan
bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko
peningkatan berat badan lebih besar dibanding kelompok dengan asupan rendah
lemak. Penelitian lain menunjukan
peningkatan konsumsi daging akan meningkatkan risiko
obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena
makanan berlemak mempunyai energy density lebih besar dan
lebih tidak mengenyangkan serta memiliki efek termogenesis
yang lebih kecil dibandingakan dengan makanan yang banyak
mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juaga
mempunyai rasa yang lebih lezat sehingga akan meningkatkan
selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan.
Selain itu kapasitas penyimpanan makronutrien juga
menentukan keseimbangan energi. Protein mempunyai kapasitas
penyimpanan sebagai protein tubuh dalam jumlah terbatas dan
13
metabolisme asam amino diregulasi dengan ketat, sehingga bila
intake protein berlebihan dapat dipastikan akan dioksidasi.
Karbohidrat mempunyai kapasitas penyimpanan dalam bentuk
glikogen hanya dalam jumlah kecil. Asupan dan oksidasi
karbohidrat diregulasi sangat ketat dan cepat, sehingga
perubahan oksidasi karbohidrat mengakibatkan perubahan
asupan karbohidrat. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan
asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak
tubuh. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan
oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan di
dalam jaringan lemak.
15
3) Faktor Sosial Ekonomi
Perubahn pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidu,
pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi
pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu
data menunjukan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adnya
perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktivitas
fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang
mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas.
2. Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold)
Antropometri merupakan ukuran dari berbagai dimensi fisik
dan komposisi tubuh manusia yang dibedakan menurut umur dan tingkat
gizi. Indeks antropometri terdiri dari berbagai macam, baik tunggal
(misalnya berat/umur), maupun kombinasi (berat/tinggi, triceps skinfold
14
dan mid-upper-arm circumference). Pengukuran antropometri antara
lain dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran indeks massa
tubuh (IMT), skinfold thickness serta rasio lingkar pinggang dan pinggul
(RLPP) (Gibson, 2005).
Keunggulan metode antropometri adalah prosedur sederhana,
aman, non-invasif, tidak butuh tenaga ahli, ekonomis, mudahh
dimengerti awam. Kelemahannya adalah pada alatnya (diatasi dengan
peneraan berkala, pemeriksa (observer error) dalam pendataan dan
pencatatan, dan butuh umur yang tepat (Sudibjo, 2001).
16
Pada orang dewasa kelebihan berat badan ditunjukan dengan
adanya penumpukan lemak tubuh. Sepertiga dan total lemak tubuh dapat
didekati dengan cara pengukuran lemak tubuh (subkutan). Lemak tubuh
dapat diukur dalam bentuk absolut (kg) sebagai berat total lemak tubuh
atau berupa persentase dari berat badan total. Ketebalan dari lemak
tubuh subkutan pada beberapa bagian tubuh dapat diestimasi dengan
menggunakan alat ukur skinfold caliper. Pada orang yang obes terjadi
kesulitan sehingga meningkatkan error, sedangkan pada orang yang
menderita oedema, umumnya terjadi overestimate (Gibson, 2005).
Untuk mengetahui jumlah presentase lemak tubuh dilakukan
dengan mengukur ketebalan lemak pada bagian tubuh tertentu. Cara
yang sering dikerjakan adalah mengukur 4 tempat, yakni : triceps, bicep,
suprailliaca, dan subscapulla menggunakan pecepit (skinfold caliper).
Pengukuran dengan skinfold caliper ini lebih praktis untuk memperoleh
hasil yang sesuai (Sudibjo, 2001).
Pengukuran lemak tubuh pada triceps, biceps, suprailiaca, dan
15
subscapula diukur dalam satuan milimeter (mm). Untuk mendapatkan
presentasi lemak tubuh, total lemak dalam presentase dikalikan dengan
berat badan probandus (kg) (Sukmaniah, 2009).
Cara pengukuran :
a. Lipatan kulit triceps diukur dari pertengahan lengan atas bagian
belakang. Subjek berdiri dengan lengan rileks dan palmar
menghadap ke bagian lateral paha, palpasi ujung dari acromion dan
olecranon. Tandai titik tepat di tengah antara kedua titik tersebut.
17
Pengukuran tebal kulit dilakukan di daerah yang ditandai pada
bagian posterior otot triceps, dengan menarik kulit pada arah vertikal
sejajar dengan axis panjang (Gibson, 2005).
b. Lipatan kulit biceps diukur dari ketebalan lipatan kulit secara
vertikal pada bagian depan pertengahan lengan atas, tepat di atas
pertengahan fossa cubiti, sejajar dengan lipatan kulit trices (Gibson,
2005).
c. Lipatan kulit subscapular diukur di bawah dan di sebelah lateral dari
sudut puncak bahu, dalam keadaan bahu dan lengan relaksasi.
Meletakan tangan probandus di belakang dapat membantu
mengidentifikasi letak daerah yang diukur. Lipatan kulit harus
bersudut 45º dari posisi horizontal, sejajar dengan perbatasan dari
scapula (Gibson, 2005).
d. Lipatan kulit suprailiaca diukur dari garis pertengahan axilaris,
sedikit lebih tinggi dari puncak iliac. Lipatan kulit diambil secara
oblicue di belakang garis pertengahan axilaris sampai garis belahan
iliaka (Gibson, 2005).
16
Setelah didapatkan jumlah total lemak tubuh, untuk
mengetahui kelompok persentase lemak tubuh, total lemak dalam
persentase dikalikan dengan berat badan probandus (kg).
18
3. Nyeri
a. Pengertian
Nyeri merupakan mekanisme protektif yang dimaksudkan
untuk menimbulkan kesadaran bahwa telah atau akan terjadi
kerusakan jaringan. Nyeri disertai oleh respon perilaku termotivasi
(penarikan atau pertahanan) serta reaksi emosi (Sherwood, 2011).
Menurut IASP, nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan
dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan
kerusakan jaringan (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata &
Setiati, 2009).
b. Patofisiologi Nyeri
Nyeri merupakan campuan reaksi fisik, emosi, dan perilaku
(Potter & Perry, 2006). Munculnya nyeri berkaitan dengan reseptor
dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah
nosiseptor yaitu ujung-ujung saraf sangat bebas yang memiliki
sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa (Hidayat, 2006).
Sherwood (2011) mengemukakan bahwa terdapat tiga kategori
reseptor nyeri yaitu nosiseptor mekanis, nosiseptor termal, dan
nosiseptor polimodal. Nosiseptor mekanis berespon terhadap
kerusakan mekanis misalnya tusukan. Nosiseptor termal berespon
terhadap suhu yang berlebihan terutama panas dan nosiseptor
17
polimodal berespon terhadap semua jenis rangsangan yang
merusakan.
19
Proses nyeri dimulai dari stimulasi nosiseptor oleh stimulus
noxious sampai terjadinya pengalaman subjektif nyeri adalah suatu
seri kejadian elektrik dan kimia. Kejadian tersebut dapat
dikelompokan menjadi 4 proses yaitu transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata &
Setiati, 2009). Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang
mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri (Price & Wilson, 2006). Kerusakan jaringan menyebabkan
terlepasnya substansi kimia endogen berupa bradikinin, substansi P,
serotonin, histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini
terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor
(Setiabudi, 2005). Substansi kimia ini pada gilirannya akan
merangsang dilepaskannya substansi P dari ujung-ujung saraf ABeta
dan serabut saraf C yang disebut sebagai nosiseptor.
Terlepasnya substansi nyeri pada daerah kerusakan jaringan selain
akan meningkatkan kualitas dan kuantitas nosiseptor, sehingga
proses transduksi semakin meningkat (Suryaniati, 2006).
Transmisi nyeri meliibatkan proses penyaluran impuls nyeri
dari tempat transduksi melalui serabut aferen primer nosispeptif dari
perifer lewat radiks posterior medulla spinalis (Price & Wilson,
2006). Kornu poosterior berfungsi sebagai jalur desendens dari otak
untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya
disalurkan ke daerah somatosensorik di orteks serebri dan
18
diterjemahkan (Setiabudi, 2005).
20
Modulasi nyeri melibatkan aktivittas saraf melalui jalurjalur
saraf desendens dari otak yang dapat mempengaruhi transmisi
nyeri setinggi medulla spinalis (Price & Wilson, 2006). Proses
modulasi dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status
emosional dan kultur dari seseorang. Proses modulasi menyebabkan
persepsi nyeri setiap orang berbeda karena ditentukan oleh makna
atau arti suatu input nyeri (Suryaniati, 2006). Sistem pengendali
modulasi berupa sisitem gerbang kendali spinal atau the gate control
theory of pain. Terdiri dari substansia gelatinosa sebagai
penghambat sel transmisi T, serabut aferen diameter besar akan
menutup gerbang, diameter kecil akan menutup gerbang. Subbstansi
yang bekerja sebagai modulator nyeri di medulla spinalis yaitu
dinorfin, enkefaliin, noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA akan
menghambat nyeri. Substasi yang meningkatkan nyeri yaitu
substansi P, ATP, asam amino eksitatori (Setiabudi, 2005).
Proses terakhir adalah persepsi nyeri yaitu pengalaman
subjektif nyeri yang dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh
saraf (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009). Sel
transmisi T di dalam sistem gerbang spinnal kendali nyeri menerima
impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi
atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat
melewati sistem gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat
supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek
transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer
19
21
serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan
berintegrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai
pengalaman nyeri (Setiabudi, 2005). Persepsi tentang reaksi terhadap
stimulus nyeri dapat menurun sesuai dengan umur (Smeltzer & Bare,
2002).
Nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu sensasi
sekaligus emosi. Walaupun merupakan pengalaman subjektif dengan
komponen sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, nyeri
melihatkan beberapa bukti objektif. Mengamati ekspresi wajah klien,
mendengarkan tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda
vital dapat memberi petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami
klien (Potter & Perry, 2006).
c. Respon Nyeri
Respon fidiologis dan perilaku akan dialami oleh seseorang
yang mengalami nyeri (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
1) Respon Fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju
ke bidang otak dan talamus, sisitem saraf otonom menjadi
terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Stimulasi pada
cabang simpatis pada sisitem saraf otonom menghasilkan respon
fisiologis (Potter & Perry, 2006). Respon fisiologis bervariasi
sesuai dengan asal dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut,
sistem saraf simpatis terstimulasi mengakibatkan peningkatan
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, pucat, diaforesis,
22
20
dan dilatasi pupil. Respon fisiologis paling mungkin tidak
tampak pada klien dengan nyeri kronis sebab sistem saraf pusat
telah beradaptasi (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
2) Respon Perilaku
Individu bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang
berbeda-beda, namun tetap memperlihatkan respon objektif yang
sama. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang
mengindikasikan nyeri meliputi menggerakan gigi, memegang
bagian tubuh yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan
ekspresi wajah yang menyeringai. Gerakan tersebut bergantung
pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang (Potter &
Perry, 2006). Respon perilaku terhadap rasa nyeri menurut
Berman, Snyder, Kozier & Erb, (2009) adalah sebagai berikut :
a) Gigi mengatup
b) Menutup mata dengan rapat
c) Menggigit bibir bawah
d) Wajah meringis
e) Merintih dan mengerang
f) Merengek
g) Menangis
h) Menjerit
i) Imobilisasi tubuh
j) Menjaga bagian tubuh
k) Gelisah, melempar benda, berbalik
23
l) Pergerakan tubuh berirama
21
m) Menggosok bagian tubuh
n) Menyangga bagian tubuh yang sakit
d. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga banyak
faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri individu (Potter &
Perry, 2006). Nyeri yang dirasakan individu saat dilakukan injeksi
dapat dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya, umur dan obesitas
(Sartorius, Fennel, Turner, Conway & Handelsman, 2010). Jenis
kelamin juga mempengaruhi nyeri nyeri individu, wanita
menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk diinduksi nyeri
daripada pria (Fillingim & Maixner, 2009). Menurut Potter & Perry
(2006) faktor lain yang mempengaruhi nyeri antara lain kebudayaan,
makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, gaya koping serta
dukungan keluarga dan sosial.
Faktor internal lain yang mempengaruhi nyeri dapat
diakibatkan karena gangguan neurologis. Individu yang mengalami
gangguan neurologis akan memberikan respon yang berbeda
terhadap rangsangan nyeri yang dibeikan. Gangguan neurologis akan
mempengaruhi kemampuan individu merasa nyeri (Smeltzer & Bare,
2002). Gangguan neurologis dapat berupa paralisis yaitu kehilangan
fungsi saraf yang lengkap atau tidak lengkap pada sebagian tubuh.
Gangguan ini bisa bersifat sensorik atau motorik atau keduannya
(Hinclliff, 1999).
24
Tingkat nyeri yang dirasakan tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor internal, namun juga faktor eksternal seperti obat, teknik dan
22
pemilihan alat injeksi. Perbedaan volume spuit dan panjang jarum
yang digunakan dapat mempengaruhi nyeri yang dirasakan (Potter &
Perry, 2005). Hal tersebut berkaitan dengan pemilihan metode atau
teknik injeksi yang mampu mempengaruhi nyeri individu (Setiadi,
Aulawi & Setyarini, 2003). Penelitian Chung, Ng & Wong (2002)
menunjukan bahwa tekanan saat melakukan injeksi memengaruhi
nyeri individu. Faktor obat seperti volume yang akan diberikan,
karakteristik dan viskositas juga dapat mempengaruhi nyeri (Potter
& Perry, 2005).
e. Penilaian Klinis Nyeri
1) Numeic Rating Scale (NRS)
NRS digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan
nyeri dan memberi kebebasan penuh klien untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry, 2006). NRS
merupakan skala nyeri yang popular dan lebih banyak digunakan
di klinik, khususnya pada kondisi akut, mengukur intensitas
nyeri sebelum dan sesudah intervensi teraupetik, mudah
digunakan dan didokumentasikan (Strong, et. al, 2002 dalam
Datak, 2008).
Gambar 2.1 Numeric rating scale (NRS)
25
2) Verbal Respon Scale (VRS)
Pengkuran nyeri dapat menanyakan respon klien
terhadap nyeri secara vebal dengan memberikan 5 pilihan yaitu
tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri berat, dan nyeri luar biasa (tidak
tertahankan). Skala pendeskripsi verbal merupakan sebuah garis
23
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diurutkan dari tidak terasa nyeri sampai nyeri
yang tidak tertahankan. Perawat menunjukan klien tentang skala
tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri
terbaru yang dirasakannya. Perawat juga menanyakan seberapa
jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri
terasa tidak menyakitkan. Alat VDS memungkinkan klien untuk
memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan rasa nyeri
(Potter & Perry, 2006).
3) Visual Analogue Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memeberi
kebebasan klien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS
dapat merupakan pengukur keparahan yang lebih sensitif karena
klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian daripada
dipaksa untuk memilih satu kata atau satu angka (Potter & Perry,
2006). Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk
26
menggambarkan tingkat nyeri. Pengukuran pada nilai di bawah 4
dikatakan sebagai nyeri ringan, nilai antara 4-7 dinyatakan
sebagai nyeri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat
(Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata & Setiati, 2009).
Gambar 2.2 Visual analogue scale (VAS)
4) Face Pain Scale (FPS)
24
Pengukuran nyeri dengan menggunakan gambar ekspresi
wajah dengan 7 macam ekspresi wajah. Nilai berkisar antara 0
sampai dengan 6. Nilai 0 mengindikasikan tidak nyeri, 6
mengindikasikan nyeri yang buruk. FPS biasa digunakan untuk
mengkaji intensitas nyeri pada anak-anak (Wong, 2011).
Gambar 2.3 Face Pain Scale (FPS)
4. Injeksi
a. Pengertian
Injeksi atau parenteral adalah sediaan farmasetis steril
berupa larutan, emulsi, susupensi atau serbuk yang harus dilarutkan
atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan. Memberikan
injeksi merupakan prosedur invasif yang harus dilakukan
menggunakan teknik steril. Efek obat yang diberikan secara
0 1 2 3 4 5 6
27
parenteral dapat berkembang dengan cepat, bergantung pada
kecepatan absorbsi obat (Potter & Perry, 2005).
b. Peralatan Injeksi
Ada berbagai spuit dan jarum yang tersedia dan masingmasing
didesain untuk menyalurkan volume obat tertentu ke tipe
jaringan tertentu. Spuit terdiri dari tabung (barrel) berbentuk silinder
dengan bagian ujung (tip) didesain tepat berpasangan dengan jarum
hipodermis dan alat penghisap (plunger) yang tepat menempati
rongga spuit. Spuit terdiri dari berbagai ukuran dari 0,5 sampai 0,6
ml. Volume yang lebih besar menimbulkan rasa tidak nyaman
(Potter & Perry, 2005).
25
Supaya individu lebih fleksibel dalam memilih jarum yang
tepat, jarum dibungkus secara individual. Jarum memiliki 3 bagian,
hub yang tepat terpasang pada ujung sebuah spuit, batang jarum
(shaft) yang terhubung dengan bagian pusat dan bavel yakni bagian
ujung yang miring. Setiap jarum memiliki 3 karakteristik utama:
kemiringan bavel, panjang batang jarum dan ukuran atau diameter
jarum. Panjang jarum yang dipakai disesuaikan berdasarkan ukuran
dan berat klien serta tipe jaringan yang akan diinjeksi obat (Potter &
Perry, 2005).
c. Pertimbangan Melakukan Injeksi
Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah
memilih lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah
besar, saraf, dan tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
28
Karakteristik jaringan mempengaruhi absorbsi obat dan awitan kerja
obat. Tenaga kesehatan harus mengetahui volume obat yang akan
diberikan, karakteristik dan viskositas obat dan lokasi struktur
anatomi tubuh yang berada di bawah tempat injeksi sebelum
menyuntikan obat (Potter & Perry, 2005).
Kontraindikasi penggunaan lokasi untuk injeksi antara lain
cedera jaringan dan adanya nodul, bengkak, abses, nyeri tekan, atau
keadaan patologis lainnya (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
Integritas otot perlu dikaji sebelum memberikan injeksi. Injeksi
berulang di otot yang sama menyebabkan timbulnya rasa tidak
nyaman yang berat (Potter & Perry, 2005).
Konsekuensi yang serius dapat terjadi, jika injeksi tidak
26
diberikan secara tepat. Kegagalan dalam memilih tempat injeksi
yang tepat, sehubungan dengan penanda anatomis tubuh, dapat
menyebabkan timbulnya kerusakan saraf atau tulang selama insersi
jarum. Menginjeksi obat dalam volume yang terlalu besar di tempat
yang dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat
mengakibatkan jaringan setempat rusak. (Potter & Perry, 2005).
d. Rute Pemberian Injeksi
Setiap pemberian injeksi unik berdasarkan tipe jaringan
yang akan diinjeksi obat. Rute pemberian injeksi dapat dilakukan
melalui SC, IM, IV, dan intrathekal-intraspinal. Setiap tipe injeksi
membutuhkan keterampilan tertentu untuk menjamin obat mencapai
lokasi yang tepat (Potter & Perry, 2005).
29
Ijeksi IM umumnya memrlukan jarum berukuran 19 sampai
23, bergantung pada viskositas obat. Rute IM memungkinkan
absorbsi obat lebih cepat daripada rute SC karena pembuluh darah
lebih banyak terdapat di otot. Injeksi IM dapat dilakukan Ke dalam
otot ventrogluteal, otot vastuslateralis, otot dorsogluteal, otot
deltoid (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
1) Otot Vastus Lateralis
Otot Vastus Lateralis yang tebal dan berkembang baik adalah
tempat yang dipilih untuk dewasa, anak-anak dan bayi. Otot
terletak di bagian lateral anterior paha dan pada orang dewasa
membentang sepanjang satu tangan di atas lutut sampai
sepanjang satu tangan di bawah trokanter femur. Sepertiga
tengah otot merupakan tempat terbaik injeksi. Lebar tempat
27
injeksi membentang dari garis tengah bagian atas paha sampai ke
garis tengah sisi luar paha (Potter & Perry, 2005).
Gambar 2.4 Otot Vastus Lateralis
30
2) Otot Ventrogluteal
Otot ventrogluteal meliputi gluteal medius dan minimus
(Potter & Perry, 2005). Lokasi ventrogluteal adalah lokasi
yang disukai untuk injeksi IM karena lokasi ini tidak
mengandung saraf atau pembuluh darah besar. Memiliki otot
gluteal yang tebal terdiri dari gluteal medius dan minimus.
Mengandung lemak yang lebih sedikit dibandingkan area bokong
secara konsisten sehingga tidak perlu untuk menentukan
kedalaman lemak subkutaneus dan diisolasi oleh tulang
(Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
Klien berbaring di atas salah satu sisi tubuh dengan menekuk
lutut, perawat kemudian mencari otot dengan menempatkan
telapak tangan di atas trokhanter mayor dan jari telunjuk pada
spina iliaka superior anterior panggul paha klien. Tangan
kanan digunakan untuk panggul kiri dan tangan kiri digunakan
untuk panggul kanan (Potter & Perry, 2005). Jari telunjuk
diletakkan pada spina iliaka anterior superior, perawat
merentangkan jari tengah ke dorsal (menuju bokong), palpasi
krista iliaka, kemudian tekan dibawahnya. Segitiga yang
terbentuk antara jari telunjuk, jari tengah, dan krista iliaka adalah
lokasi injeksi (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009).
31
28
Gambar 2.5 Otot ventrogluteal
3) Otot Dorsogluteal
Otot dorsogluteal merupakan tempat biasa digunakan untuk
injeksi IM. Namun, insersi jarum yang tidak disengaja ke
dalam saraf siatik dapat menyebabkan paralisis permanen atau
sebagian pada tungkai yang bersangkutan. Pembuluh darah
utama dan tulang juga dekat tempat injeksi. Pada klien yang
jaringannya kendur, tempat injeksi sulit ditemukan. Daerah
dorsogluteal berada di bagian atas luar kuadran atas luar bokong,
kira-kira 5 sampai 8 cm di bawah krista iliaka (Potter & Perry,
2005).
Gambar 2.6 Otot dorsogluteal
4) Otot Deltoid
Tempat injeksi otot deltoid terletak di bagian tengah segitiga
sekitar 2,5 sampai 5 cm di bawah prosesus akromion. Perawat
juga dapat menentukan lokasi injeksi dengan menempatkan
32
empat jari di atas otot deltoid, dengan jari teratas berada di
sepanjang prosesus akromion. Tempat injeksi terletak tiga jari di
bawah prosesus akromion (Potter & Perry, 2005).
Gambar 2.7 Otot deltoid
e. Cara Melakukan Injeksi
Cara melakukan injeksi IM menurut Saiffudin,
Affandi, Baharudin & Soekir (2006) adalah sebagai berikut :
1) Identifikasi klien
2) Memberitahu klien tentang penyuntikan yang akan dilakukan
29
3) Cuci tangan sebelum bertugas
4) Mengambil alat (spuit) dan bahan (alkohol dan kapas)
5) Mengeluarkan gelembung udara dalam tabung dan spuit bila
ada
6) Menyiapkan obat yang akan disuntikkan (Depo provera 3
ml/150 mg atau 1 ml/150 mg)
7) Membebaskan spuit dari udara
8) Menentukan lokasi suntik dan titik injeksi
33
9) Bersihkan kulit yang akan diinjeksi dengan kapas alkohol yang
dibasahi alkohol 60-90%
10) Biarkan kulit tersebut kering sebelum dapat diinjeksi
11) Lakukan aspirasi sebelum obat diinjeksikan
12) Injeksi secara IM dalam (90º) di daerah pantat (daerah gluteal)
5. Hubungan Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan Intensitas
Nyeri Saat Injeksi IM
Menurut The International Association for the Study of Pain
(IASP) nyeri dapat digambarkan sebagai suatu pengalaman sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan
jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan (Sudoyo
dkk, 2009).
Nyeri yang timbul dikarenakan adanya peran dari reseptor
nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat
yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor.
30
Secara anatomis, reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielin dan ada
juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya,
nosiseptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada
kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral
(Ganong, 2003).
34
Nosiseptor terletak paling banyak pada lapisan dermis yang
disebut free nerve ending yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit,
jangkauannya lebih luas dibandingkan reseptor lain karena tersebar di
seluruh permukaan kulit. Nosiseptor juga banyak terdapat pada jaringan
otot (Dewoto, 2006).
Pada orang yang mempunyai ketebalan lemak
bawah kulit yang tinggi, masuknya jarum ketika injeksi IM ke dalam
otot akan lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai
ketebalan lemak bawah kulit lebih rendah. Hal ini dikarenakan oleh
jaringan adiposa yang lebih tebal sehingga kerusakan jaringan pada otot
akan lebih sedikit sehingga nosiseptor yang dibangkitkan cenderung
lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang mempunyai tebal lemak
bawah kulit lebih rendah. Hal tersebut menyebabkan responden
cenderung mengalami tingkat nyeri yang berbeda ketika dilakukan
injeksi (Widyanto, 2012).
Gambar 2.9 Gambar injeksi
35
B. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini disusun dari berbagai sumber,
yaitu Gibson (2005), Potter & Perry (2006), Setiadi, Aulawi & Setyarini
31
(2003), Chung, Ng & Wong (2002), Sartorius, et al (2010), Fillingim &
Maixner (2009), Widyanto (2012).
Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.10 Kerangka teori penelitian
Injeksi IM
Teknik
Spuit
Obat
Nosiseptor mekanis
Transduksi
Transmisi
Modulasi
Persepsi nyeri
Tingkat nyeri, dinyatakan
dengan skor 0-10 pada
skala NRS
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Kebudayaan
4. Makna nyeri
5. Perhatian
6. Ansietas
7. Keletihan
8. Pengalaman
sebelumnya
9. Gaya koping
32
10. Dukungan keluarga
dan sosial
11. Tebal lemak bawah
kulit (skinfold)
36
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian disusun sebagai kerangka kerja dalam
melakukan penelitian. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Gambar 2.11 Kerangka konsep penelitian
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Variabel bebas
Tebal lemak
bawah kulit
(skinfold)
Tingkat intensitas
nyeri
Variabel terikat
1. Keletihan
2. Gaya koping
3. Dukungan keluarga dan
sosial
Variabel pengganggu
37
33
D. Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep tersebut, maka
peneliti menggunakan rumusan hipotesis kerja (Ha) dalam penelitian yaitu :
Ada hubungan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas
nyeri pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas.
.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat bersifat cross sectional dengan tujuan untuk
mengkorelasikan antara tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) terhadap
intensitas nyeri ketika dilakukan injeksi IM. Pada kelompok sampel akan
diukur tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold) kemudian diukur tingkat
intensitas nyeri setelah dilakuakan injeksi IM. Kemudian data akan
dianalisis untuk membuktikan hipotesis penelitiian.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2012 di Bidan Praktisi
Swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
C. Populasi dan Sampel
Menurut Saryono (2011), populasi merupakan keseluruhan sumber
data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Penentuan sumber data dalam
suatu penelitian sangat penting dan menentukan keakuratan hasil penelitian.
Populasi dalam penelitian ini adalah akseptor KB suntik di bidan praktik
swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Jumlah
34
populasi sebanyak 80 akseptor KB suntik aktif yang dijadwalkan
mendapatkan pelayanan pada bulan Desember 2012.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diambil dengan
menggunakan teknik sampling. Pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan teknik consecutive sampling. Sampel diambil dari semua
subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subjek
terpenuhi (Saryono, 2011).
Keterangan :
n : perkiraan besar sampel
N : total populasi
P : proporsi kejadian, jika belum diketahui, dianggap 50%
Q : proporsi selain kejadian yang diteliti, q = 1 – P
Za : kuadrat nilai Z, bila a = 0,05 (1.96)
d : tingkat kesalahan yang dipilih (d = 0,05)
n = 80.(1,96)².0,5.0,5
0,05².(80-1)+(1,96)².0,5.0,5
n = 76,832
1,1579
n = 66,35
n = 66
40
Jumlah sampel yang diteliti adalah 66 responden. Sampel diambil
dari semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai
jumlah subjek terpenuhi dalam kurun waktu pelaksanaan penelitian 1 bulan.
Adapun pemilihan sampel didasarkan pada kriteria inklusi dan eksklusi
sebagai berikut :
35
a. Kriteria Inklusi
1) Bersedia menjadi responden
2) Akseptor KB suntik yang mendapat pelayanan kontrasepsi
penyuntikan KB oleh satu tenaga kesehatan di bidan praktik swasta
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
3) Wanita usia subur 15-49 tahun
4) Menggunakan merk obat yang sama
5) Menggunakan merk spuit yang sama
6) KB suntik dilakukan melalui injeksi IM gluteal
b. Kriteria Eksklusi
1) Akseptor KB baru
2) Ada riwayat penyakit perdarahan seperti hemofilia
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu
kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain
(Notoadmodjo, 2010). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
41
Variabel bebas : tebal lipatan lemak bawah kulit (skinfold)
Variabel terikat : tingkat intensitas nyeri
E. Definisi Operasional
Definisi operasional dibuat untuk memudahkan pengumpulan data
dan menghindari perbedaan interpretasi serta membatasi ruang lingkup
variabel (Saryono, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
Tabel 3.1 Definisi operasional
36
No. Variabel Definisi
Variabel
Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Data
1. Variabel
terikat :
intensitas
nyeri
Pengalaman
sensoris dan
emosional
yang tidak
menyenangaka
n yang
berhubungan
dengan
kerusakan
jaringan
Diukur dengan
cara responden
melaporkan
nyeri yang
dirasakan
setelah
perlakuan
dengan
37
menunjuk
rentang skala
NRS (Numeric
Rating Scale)
Nilai nyeri
dinyatkan
dengan skor
0 – 10 pada
skala NRS
Rasio
2. Variabel
bebas :
tebal
lipatan
lemak
bawah
Gambaran
presentase
lemak tubuh
yang diukur
Diukur dengan
menggunakan
alat yang
disebut
skinfold
caliper
38
Hasil
pengukuran
dinyatakan
dalam satuan
Rasio
42
kulit
(skinfold)
dari ketebalan
lemak triceps,
bicep,
subscapula dan
suprailliaca
milimeter
(mm)
3. Umur Jumlah tahun
dihitung sejak
lahir sampai
dengan tahun
terakhir saat
pengambilan
data
Wawancara Tahun Rasio
4. Berat
badan
Berat badan
39
seseorang yang
diukur dengan
timbangan saat
pengambilan
data dilakukan
Diukur dengan
timbangan
berat badan
injak merk
mitseda
Nilai satuan
kg
Rasio
5. Pendidik
an
Pendidikan
formal terakhir
yang diikuti
responden saat
penelitian
sampai
mendapat
ijazah
Wawancara Dikelompokk
an :
1. Tidak
40
sekolah
2. Lulus SD
3. Lulus
SMP
4. Lulus
SMA
Ordin
al
43
5. Lulus
Akademi/
PT
6. Pekerjaa
n
Cara seseorang
memenuhi
kebutuhan
hidup
(biologis,
sosial, dan
psikologis)
Wawancara Dikelompokk
an :
1. Ibu rumah
tangga
2. Petani
41
3. Buruh
4. Pedagang
5. PNS
6. Pensiunan
Nomi
nal
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoadmodjo, 2010). Instrumen penelitian ini
menggunakan lembar observasi, skinfold caliper, dan NRS (Numeric Rating
Scale). Lembar obsevasi digunakan untuk mencatat data demografi
responden. Skinfold caliper digunakan untuk mengukur ketebalan lemak
bawah kulit (skinfold) responden yang dinyatakan dalam satuan milimeter
(mm). NRS dari National Institute of Health Warren Grant Magnuson
Clinical Center (2003) digunakan untuk mengukur tingkat intensitas nyeri
berupa lapor diri responden dengan menyebutkan rentang skala nyeri 0-10.
G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu
benar-benar mengukur apa yang diukur. Reliabilitas merupakan indeks yang
44
menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Bila sudah ada instrumen pengumpul data yang standar, maka
bisa digunakan oleh peneliti (Saryono, 2011). Peneliti tidak melakukan uji
validitas dan reliabilitas karena alat ukur NRS yang telah dilakukan uji
validitas dan reliabilitas sebelumnya. Hal tersebut berdasarkan penelitian
yang dilakukan Li, Liu, & Herr (2007) dengan membandingkan empat skala
42
nyeri yaitu NRS, Face Pain Scale Revised (FPS-R), VDS, dan VAS pada
klien pasca bedah menunjukan bahwa keempat skala nyeri menunjukan
validitas dan reliabilitas yang baik. Uji reliabilitas menggunakan intraclass
correlation coefficients (ICCs) dan keempat skala nyeri ini menunjukan
konsistensi penilaian pasca bedah setiap harinya (0,673-0,825) dan
mempunyai hubungan kekuatan (r = 0,71-0,99) (Datak, 2009). Hasil studi
Gloth, et al (2001) menyebutkan bahwa skala nyeri NRS menunjukan
reliabilitas lebih dari 0,95 dan juga pada uji validitasnya menunjukan r =
0,90.
H. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui yahap-tahap sebagai berikut :
1. Persiapan materi melalui studi dokumentasi dan studi pustaka yang
mendukung penelitian.
2. Pembuatan proposal penelitian yang dianjurkan dengan pengujian
proposal penelitian.
3. Pengajuan surat rekomendasi dari kampus untuk melakukan penelitian
di Bidan Praktik Swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
45
4. Koordinasi dan sosialisasi rencana penelitian dengan tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan KB suntik di Bidan Praktik Swasta wilayah
kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
5. Pengumpulan data dengan terlebih dahulu meminta persetujuan akseptor
KB suntik untuk menjadi sampel penelitian.
6. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi dan lembar skala
pengukuran NRS. Observer penelitian selain mengisi lembar observasi
juga sekaligus melakukan tindakan injeksi IM gluteal pada responden.
43
7. Apabila pasien memenuhi kriteria inklusi penelitian, data berupa nama,
umur, berat badan, pendidikan, dan pekerjaan dicatat pada lembar
observasi.
8. Responden diberikan injeksi IM setelah diukur tebal lemak bawah kulit
(skinfold) oleh satu tenaga medis (asisten) yang telah diberikan arahan
mengenai cara mengukur tebal lemak bawah kulit pada bagian yang
akan dilakukan injeksi dengan menggunakan alat skinfold caliper.
9. Lakukan injeksi IM sesuai prosedur, yaitu :
a. Identifikasi klien
b. Memberitahu klien tentang penyuntikan yang akan dilakukan
c. Cuci tangan sebelum bertugas
d. Mengambil alat (spuit) dan bahan (alkohol dan kapas)
e. Mengeluarkan gelembung udara dalam tabung dan spuit bila ada
f. Menyiapkan obat yang akan disuntikkan (Depo provera 3
ml/150 mg atau 1 ml/150 mg)
g. Membebaskan spuit dari udara
46
h. Menentukan lokasi suntik dan titik injeksi IM gluteus dengan cara :
1) Klien berbaring di atas salah satu sisi tubuh dengan menekuk
lutut, kemudian perawat mencari otot dengan menempatkan
telapak tangan di atas trokhanter mayor dan jari telunjuk pada
spina iliaka superior anterior panggul paha klien.
2) Tangan kanan digunakan untuk panggul kiri dan tangan kiri
digunakan untuk panggul kanan
3) Jari telunjuk diletakkan pada spina iliaka anterior superior,
perawat merentangkan jari tengah ke dorsal (menuju bokong),
44
palpasi krista iliaka, kemudian tekan dibawahnya. Maka jari
telunjuk dan tengah akan membentuk huruf V (segitiga), titik di
tengah-tengah huruf V yang terbentuk antara jari telunjuk, jari
tengah, dan krista iliaka adalah lokasi injeksi.
i. Bersihkan kulit yang akan diinjeksi dengan kapas alkohol yang
dibasahi alkohol 60-90%.
j. Biarkan kulit tersebut kering sebelum dapat diinjeksi dan ajak klien
komunikasi.
k. Lakukan injeksi dengan jarum dengan posisi tegak lurus (90º) dan
jarum masuk minimal 2/3 ke dalam titik injeksi.
l. Setelah jarum masuk, lakukan aspirasi spuit sebelum obat
diinjeksikan, bila tidak ada darah semprotkan obat secara perlahan
hingga habis.
47
m. Setelah selesai ambil spuit dengan menarik spuit dan tekan daerah
penyuntikan dengan kapas alkohol, kemudian spuit yang telah
digunakan diletakan di bengkok.
n. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.
10. Setelah dilakukan tindakan injeksi, tingkan nyeri responden diukur
dengan menggunakan alat ukur NRS.
11. Penelitian selesai setelah target sampel terpenuhi.
12. Semua data direkap, dihitung kemudian dilakukan analisa statistik
dengan menggunakan komputer.
13. Setelah analisa statistik selesai kemudian dibuat pembahasan dan
kesimpulan yang disusun ke dalam laporan hasil penelitian.
I. Analisa Data
45
Adapun langkah-langkah dalam memproses data adalah sebagai
berikut :
1. Editing, yaitu kegiatan penyusunan data yang telah terkumpul dan
melakukan pengecekan kelengkapan data untuk mengoreksi kesalahan.
Data yang tidak lengkap dan salah tidak dipakai dalam penelitian.
2. Coding, yaitu kegiatan memberikan kode untuk setiap variabel untuk
memudahkan dalam pengolahan data yang masuk dan memudahkan
analisis data. Kode yang digunakan berupa angka yang disesuaikan
dengan jenis variabel.
3. Entry, yaitu kegiatan memasukan data ke dalam program komputer
untuk diolah menggunakan komputer.
48
4. Tabulating, yaitu mengelompokan data sesuai variabel yang akan diteliti
untuk keperluan analisis.
5. Pengolahan data menggunakan komputer dan dianalisis dengan
menggunakan uji statistik yaitu pearson product moment.
Analisis data dilakukan menggunakan komputer yang dilakukan
secara bertahap, yaitu :
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan semua variabel yang
diteliti. Variabel yang dianalisis secara univariat adalah usia dan berat
badan yang berupa data numerik dengan menggunakan mean, median,
standar deviasi, nilai minimum dan maksimum dan 95% confidence
interval. Untuk karakteristik pendidikan, pekerjaan, gambaran tingkat
nyeri injeksi IM gluteal akseptor KB suntik berdasarkan tebal lipatan
lemak bawah kulit (skinfold) masing-masing responden dengan
46
menghitung frekuensi dan prosentase. Penyajian masing-masing variabel
menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang
diperoleh.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian
yaitu melihat hubungan antara tebal liatan lemak bawah kulit (skinfold)
dengan intensitas nyeri pada responden akseptor KB suntik. Sebelum
dilakukan analisis
bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Setelah dilakukan uji
normalitas, maka tahap selanjutnya adalah analisis bivariat variabel
49
terikat dengan variabel bebas. Skala data variabel terikat adalah rasio
dan skala data variabel bebas adalah rasio. Penelitian ini termasuk dalam
jenis hipotesis korelatif sehingga uji statistik yang digunakan adalah
pearson product moment.
Rumus :
Keterangan :
Rxy = koefisien korelasi pearson product moment
N = jumlah responden
X = skor variabel X
Y = skor variabel Y
(Arikunto, 2006).
J. Etika Penelitian
Penelitian ini memperhatikan beberapa hal yang menyangkut etika
penelitian sebagai berikut :
1. Informed consent, yaitu peneliti memberikan lembar permohonan
47
menjadi responden dan persetujuan menjadi responden pada akseptor
KB suntik yang datang di Bidan Praktik Swasta Nastiti wilayah kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas sebelum mendapatkan pelayanan KB
50
suntik. Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia
atau tidak untuk mengikuti penelitian.
2. Anonymity, yaitu merahasiakan dan tidak mencantumkan nama
responden, tetapi dengan menuliskan kode responden.
3. Confidentiality, yaitu melindungi dan menjaga kerahasiaan semua data
atau informasi yang dikumpulkan selama dilakukannya penelitian.
4. Fair treatment, yaitu memberikan perlakuan yang adil untuk semua
responden tanpa membeda-bedakan.
5. Do not harm, yaitu tidak melakukan hal yang merugikan bagi responden
dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan sebelum intervensi
diberikan.
51
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Penelitian
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
tebal lemak bawah kulit dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik
telah peneliti lakukan pada bulan Februari dan Maret 2013 di bidan
praktik swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Pada
periode tersebut, peneliti memperoleh 66 responden sesuai dengan
kriteria inklusi dan kriteria eksklusi yang telah ditentukan.
48
2. Karakteristik Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik
Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas
Tabel 4.1 Distribusi karakteristik responden di bidan praktik swasta
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas (n=66).
No. Variabel Median Min-Mak Frekuensi Persentase
(%)
1. Umur (tahun) 29,5 18-47
2. Berat Badan (kg) 51 35-77
3. Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
0 0
Lulus SD
21 31,8
Lulus SMP
21 31,8
Lulus SMA
20 30,3
Lulus Akademi/PT
4 6,1
4. Jenis Pekerjaan
Ibu rumah tangga
56 84,8
Petani
3 4,5
Buruh
0 0
49
52
a. Karakteristik Umur dan Berat Badan Responden
Responden merupakan wanita usia subur yang mendapatkan
suntik KB rutin 3 bulan sekali di bidan praktik swasta wilayah kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas. Karakteristik umur dan berat badan
responden dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui nilai tengah umur responden
29,5. Usia termuda yaitu 18 tahun dan tertua adalah 47 tahun. Berat
badan responden yang menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik
swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas berada pada
rentang 35 sampai 77 kg. Berat badan responden memiliki nilai
tengah 51 kg.
b. Karakteristik Pendidikan Responden
Karakteristik pendidikan responden yang menjadi akseptor
KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen
Banyumas dibagi menjadi 5 kategori yaitu tidak sekolah, lulus SD,
lulus SMP, lulus SMA, dan lulus akademi/PT. Karakteristik
pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui karakteristik pendidikan
responden sebagian besar adalah lulus SD dan lulus SMP 21
responden (31,8%).
Pedagang
4 6,1
PNS
3 4,5
Pensiunan
50
0 0
Total 66 100
53
c. Karakteristik Pekerjaan Responden
Karakteristik pekerjaan responden yang menjadi akseptor KB
suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja Puskesmas Kebasen
Banyumas terdiri dari 6 jenis pekerjaan yaitu ibu rumah tangga,
petani, buruh, pedagang, PNS, dan pensiunan. Karakteristik pekerjaan
responden dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui karakteristik pekerjaan
responden yang didapatkan dalam penelitian antara lain ibu rumah
tangga, petani, pedagang, dan PNS. Sebagian besar responden bekerja
sebagai ibu rumah tangga yaitu 56 responden (84,8%).
3. Hubungan Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dan Tingkat Nyeri
Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik Swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas
Tebal lemak bawah kulit responden diukur dengan
menggunakan alat skinfold caliper pada bagian yang akan diinjeksi yaitu
musculus gluteus. Tingkat nyeri responden diukur dengan menggunakan
alat ukur NRS yang memberikan kebebasan penuh pada responden untuk
mengungkapkan rentang nyeri yang dirasakan antara 0 sampai 10.
Untuk mengkorelasikan tebal lemak bawah kulit (skinfold)
dengan intensitas nyeri dilakukan dengan uji pearson product moment.
Sebelum dilakukan uji pearson product moment data terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas. Uji normalitas menggunakan kolmogorovsmirnov
didapatkan nilai p = 0,00. Hal ini berarti data berdistribusi tidak
51
normal, maka uji yang digunakan untuk uji korelasi adalah uji spearman.
54
Tabel 4.2 Hasil analisa statistik spearman
Variabel Median Min-Mak r P
Skinfold (mm) 60 11-86 -0,340 0,005
Intensitas Nyeri 2 0-8
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui nilai tengah tebal lemak bawah
kulit (skinfold) responden adalah 58,14 mm. Tebal lemak bawah kulit
terendah yaitu 11 mm dan tertinggi yaitu 86 mm. Nilai tengah intensitas
nyeri responden adalah 2. Intensitas nyeri terendah yaitu 0 dan tertinggi
8. Didapatkan nilai p sebesar 0,005 dan nilai r sebesar -0,340 yang berarti
ada hubungan yang signifikan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold)
dengan intensitas nyeri pada akseptor KB suntik di bidan praktik swasta
Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas dengan kekuatan korelasi
lemah.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Responden Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik
Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas
a. Karakteristik Umur Responden
Pada penelitian ini nilai tengah umur responden adalah 29,5
tahun. Usia termuda yaitu 18 tahun dan tertua adalah 47 tahun. Hal itu
terkait dengan umur akseptor KB suntik merupakan wanita usia subur
yang belum mengalami menopause. Berhentinya siklus haid seorang
wanita pada menopause terjadi antara umur 45 dan 55 tahun. Secara
55
tradisional dikaitkan dengan terbatasnya pasokan folikel yang ada
52
sejak lahir (Sherwood, 2011).
Pengaruh umur pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak
diketahui secara luas. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah
akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya
(Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Potter & Perry (2006) umur
menjadi variabel penting yang mempenngaruhi nyeri khususnya pada
anak-anak dan lansia. Orang dewasa tua mengalami perubahan
neurofisiologis dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensorik
stimulus serta peningkatan ambang nyeri. Pada penelitian, ditemukan
karakteristik umur responden berada pada kelompok umur dewasa
muda. Penjelasan diatas memberikan gambaran dalam penelitian ini
bahwa persepsi nyeri yang dipenngaruhi umur merupakan akibat dari
perubahan neurofisiologis dan akibat dari banyak kejadian nyeri
selama rentang hidupnya.
b. Karakteristik Berat Badan Responden
Pada penelitian ini nilai tengah berat badan responden yang
menjadi akseptor KB suntik di bidan praktik swasta wilayah kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas adalah 51 kg dan berada pada rentang
35 sampai 77 kg. Responden yang didapatkan peneliti adalah wanita
yang mendapatkan suntik KB rutin 3 bulan sekali.
Menurut Devison (2009), rata-rata tinggi badan wanita
Indonesia adalah 153,72 cm ± 6,24 cm. Jika tinggi badan responden
berada pada rentang yang sama dengan data tersebut, maka responden
56
dengan berat badan yang tidak seimbang dengan tinggi badan dapat
dikatakan mengalami obesitas. Prosentase berat badan merupakan
53
indikator untuk menentukan obesitas (Sherwood, 2011). Obesitas
umumnya adalah kelebihan berat lebih dari 20% berat normal.
Kelebihan kandungan lemak disimpan di jaringan adiposa sehingga
jarak antara kulit dengan otot menjadi lebih tebal dari normal
(Sherwood, 2011).
Injeksi merupakan tindakan invasif menembus kulit yang
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan. Pada orang
obesitas, masuknya jarum ke dalam otot akan lebih sedikit
dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Hal ini dikarenakan
orang obesitas mempunyai jaringan adiposa yang lebih tebal sehingga
kerusakan jaringan pada otot akan lebih sedikit sehingga nosiseptor
yang dibangkitkan cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan
orang yang mempunyai berat badan normal. Menurut Tantra (2002)
dalam Asri (2006), kerusakan jaringan akan menyebabkan
dilepaskannya sejumlah substansi nyeri berupa ion K, ion H,
serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin. Substansi nyeri ini pada
gilirannya akan merangsang dilepaskannya substansi P dari ujungujung
saraf A-Beta dan serabut saraf C yang disebut sebagai
nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi
umpan balik positif yang artinya makin banyak substansi nyeri yang
dilepaskan makin banyak pula nosiseptor yang dibangkitkan, diikuti
57
dengan peningkatan sensitifitas dari nosiseptor itu sendiri. Nosiseptor
sendiri terletak paling banyak di lapisan dermis dan jaringan otot.
Penjelasan diatas memberikan gambaran dalam penelitian ini
bahwa responden dengan berat badan yang melebihi batas normal
54
berisiko mengalami kerusakan jaringan otot lebih sedikit saat injeksi
dikarenakan jarak kulit dengan otot lebih tebal dari normal sehingga
nosiseptor yang dibangkitkanpun cenderung lebih sedikit dibandingkat
dengan orang yang mempunyai berat badan normal. Hal tersebut
menyebabkan responden dengan obesitas cenderung mengalami
tingkat nyeri yang lebih rendah ketika dilakukan injeksi.
c. Karakteristik Pendidikan Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini dibagi menjadi 5
kategori yaitu tidak sekolah, lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, dan
lulus akademi/PT. Karakteristik pendidikan responden sebagian besar
lulus SD dan lulus SMP yaitu masing-masing 21 responden (31,8%).
Menurut Asri (2006), tingkat pendidikan mempengaruhi
persepsi nyeri pada proses modulasi. Modulasi adalah proses dimana
terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen dengn input nyeri
yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Proses modulasi
inilah yag menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif dan
sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input nyeri.
Penelitian ini hanya melihat karakteristik pendidikan
responden tanpa melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan
tingkat nyeri responden. Namun berdasarkan penelitian yang
58
dilakukan oleh Faucett, et al. (1994) untuk melihat intensitas nyeri
pasca bedah pada 543 sampel menunjukan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara intensitas nyeri dan tingkat pendidikan.
Penelitian lain yan dilakukan Harsono (2009) pada 85 pasien bedah
seksio cesar juga menunjukan hasil yang sama yaitu tidak ada
55
hubungan yang signifikan antara intensitas nyeri dan tingkat
pendidikan.
Menurut Notoatmodjo (2002), tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor yang menentukan terjadinya perubahan perilaku.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, berarti telah mengalami
proses belajar yang lebih sering sehingga tingkat pendidikan
mencerminkann intensitas terjadinya proses belajar. Pada penelitian
ini, peneliti hanya melihat karakteristik tingkat pendidikan responden,
tanpa melihat apakah responden pernah atau tidak mengalami proses
belajar tentang pengelolaan nyeri. Menurut Le Mone & Burke (2008)
kuranngnya pemahaman terhadap sumber, hasil, dan arti nyeri dapat
berkontribusi secara negatif terhadap pengalaman nyeri.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
mendukung peningkatan pengetahuan yang berkaitan dengan daya
serap informasi. Orang yang memiliki pendidikan tinggi diasumsikan
lebih mudah menyerap informasi. Pengetahuan tentang pengelolaan
nyeri dapat diperoleh dari pengalaman klien sendiri atau dari sumber
lain. Sehingga tingkat pendidikan bukan merupakan variabel yang
dapat mempengaruhi persepsi nyeri (Harsono, 2009).
59
d. Karakteristik Pekerjaan Responden
Berdasarkan karakteristik pekerjaann (Tabel 4.3), ditemukan
bahwa karakteristik pekerjaan responden yang didapatkan dalam
penelitian adalah ibu rumah tangga, petani, pedagang dan PNS.
Sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga
yaitu 56 responden (84,8%).
56
Pekerjaan membersihkan rumah, mencuci baju,
membersihakan jendela, dan menyetrika termasuk dalam aktivitas
fisik. Pekerjaan tersebut sering dilakukan oleh ibu rumah tangga.
Aktivitas fisik memiliki manfaat untuk kekuatan otot dan penambahan
masa otot (Karim, 2002). Menurut Kisner (1996) dalam Wahyudi &
Herawati (2004) sebuah serabut otot tersusun oleh banyak myofibril
dan di dalam myofibril terdapat banyak sarcomer yang terletak
berjajar. Sarcomer adalah unit kontraktil dalam myofibril dan terdiri
atas actin dan myosin yang saling tumpanng tindih (overlapping
crossbrige). Sarcomer berperan dalam kontraksi dan relaksasi otot.
Ketika otot berkontraksi, filamen actin dan myosin saling berimpitan
dan otot memendek. Pemendekan otot dapat terjadi karena
fleksibiliitas otot berkurang. Fleksibilitas otot tersebut dapat dijaga
dengan aktivitas dan mobilitas fisik yang cukup.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar
responden bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berarti memiliki
karakteristik aktivitas fisik yang sama. Hal tersebut membuat
60
fleksibilitas yang mempengaruhi kontraksi dan relaksasi otot
cenderung memiliki kesamaan.
2. Hubungan antara Tebal Lemak Bawah Kulit (Skinfold) dengan
Intensitas Nyeri pada Akseotor KB Suntik
Hasil perhitungan dengan analisa statistik spearman (Tabel 4.2)
pada 66 responden didapatkan nilai p sebesar 0,005 dan r sebesar -0,340.
Dengan demikian nilai p lebih kecil dari nilai a (5%) atau 0,05 sehingga
Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil lain menunjukan nilai r sebesar -0,340
57
yang menunjukan adanya hubungan dengan kekuatan korelasi lemah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara statistik terdapat hubungan
yang signifikan antara tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan
intensitas nyeri akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Kebasen Banyumas.
Menurut Sherwood (2011), nyeri karena tindakan injeksi
termasuk nyeri cepat yang terjadi karena nosiseptor mekanis. Nyeri
menimbulkan sensasi tajam dan menusuk. Nyeri dengan awitan cepat
tersebut merupakan nyeri akut dengan intensitas yang bervariasi dari
ringan sampai berat (Potter & Perry, 2006). Penjelasan tersebut sesuai
dengan penelitian, dibuktikan dengan data tingkat nyeri yang dirasakan
responden saat dilakukan injeksi IM gluteal berada pada rentang nyeri 0-
8. Pertimbangan utama dalam pemberian injeksi IM adalah memilih
lokasi injeksi yang aman dan jauh dari pembuluh darah besar, saraf, dan
tulang (Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Kontraindikasi
penggunaan lokasi untuk injeksi antara lain cedera jaringan dan adanya
61
nodul, bengkak, abses, nyeri tekan, atau keadaan patologis lainnya
(Berman, Snyder, Kozier & Erb, 2009). Integritas otot perlu dikaji
sebelum memberikan injeksi . Konsekuensi yang serius dapat terjadi, jika
injeksi tidak diberikan secara tepat. Kegagalan dalam memilih tempat
injeksi yang tepat, sehubungan dengan penanda anatomis tubuh, dapat
menyebabkan timbulnya kerusakan saraf atau tulang selama insersi
jarum. Menginjeksi obat dalam volume yang terlalu besar di tempat yang
dipilih dapat menimbulkan nyeri hebat dan dapat mengakibatkan jaringan
setempat rusak. (Potter & Perry, 2005). Nyeri juga bersifat subjektif dan
58
merupakan suatu sensasi sekaligus emosi (Potter & Perry, 2006). Oleh
karena itu rentang nyeri responden dapat memiliki rentang yang cukup
jauh yaitu 0 sampai 8.
Dalam penelitian ini didapatkan nilai r sebesar -0,340 yang
berarti korelasi berkekuatan lemah. Hal ini dapat dikarenakan nyeri
merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman nyeri individu (Potter & Perry, 2006). Nyeri
yang dirasakan individu saat dilakukan injeksi dapat dipengaruhi oleh
pengalaman sebelumnya, umur dan obesitas (Sartorius, Fennel, Turner,
Conway & Handelsman, 2010). Jenis kelamin juga mempengaruhi nyeri
nyeri individu, wanita menunjukan sensitivitas yang lebih besar untuk
diinduksi nyeri daripada pria (Fillingim & Maixner, 2009). Menurut
Potter & Perry (2006) faktor lain yang mempengaruhi nyeri antara lain
kebudayaan, makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, gaya koping
serta dukungan keluarga dan sosial.
62
Injeksi merupakan tindakan invasif menembus kulit yang dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan. Menurut Tantra (2002)
dalam Asri (2006), kerusakan jarinngan akan mengundang dilepaskannya
sejumlah substansi nyeri berupa ion K, ion H, serotonin, bradikinin,
histamin, prostaglandin. Substansi nyeri ini pada gilirannya akan
merangsang dilepaskannya substansi P dari ujung-ujung saraf A-Beta dan
serabut saraf C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri
dengan nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak
substansi nyeri yang dilepaskan makin banyak pula nosiseptor yang
dibangkitkan, diikuti dengan peningkatan sensitifitas dari nosiseptor itu
59
sendiri. Terlepasnya substansi nyeri pada daerah kerusakan jaringan akan
meningkatkan proses transduksi. Meningkatnya proses transduksi
menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan
jarinngan. Hiperalgesia merupakan sensitifitas yang berlebihan terhadap
nyeri (Hinchliff, 1999).
Nosiseptor terletak paling banyak pada lapisan dermis yang
disebut free nerve ending yang berfungsi untuk mendeteksi rasa sakit,
jangkauannya lebih luas dibandingkan reseptor lain karena tersebar di
seluruh permukaan kulit. Nosiseptor juga banyak terdapat pada jaringan
otot (Dewoto, 2006). Pada orang obesitas, dengan tebal lemak bawah
kulit lebih tinggi, masuknya jarum ke dalam otot ketika injeksi akan
lebih sedikit dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas. Hal ini
dikarenakan orang obesitas mempunyai jaringan adiposa yang lebih tebal
sehingga kerusakan jaringan pada otot akan lebih sedikit sehingga
63
nosiseptor yang dibangkitkan cenderung lebih sedikit dibandingkan
dengan orang yang mempunyai berat badan normal. Oleh karena itu
orang dengan tebal lemak bawah kulit yang semakin tinggi akan
mempunyai intensitas nyeri yang lebih rendah. Begitu juga sebaliknya,
orang yang memiliki tebal lebak bawah kulit semakin rendah akan
memiliki intensitas nyeri yang semakin tinggi saat injeksi IM. Untuk
menghindari rasa nyeri yang berlebihan saat injeksi perlu diterapkannya
standar operasional nyeri. Standar operasional nyeri merupakan metode
efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien yang mengalami nyeri.
Rileks sempurna yang dapat mengurangi ketegangan otot, rasa jenuh,
kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulasi nyeri.
60
saraf
epidermis
dermis dermis
subkutan
jaringan lemak
otot
Gambar 4.1 Perbandingan tindakan injeksi pada tebal
lemak bawah kulit yang berbeda
64
C. Kelemahan dan Keterbatasan Penelitian
Beberapa kelemahan dan keterbatasan yang ditemui peneliti selama
melakukan penelitian adalah :
1. Variabel konfonding keletihan, gaya koping, dukungan keluarga dan
sosial dalam penelitian tidak dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga
masih ada faktor yang mempengaruhi intensitas nyeri responden.
2. Karakteristik responden yang diteliti hanya terbatas pada umur, berat
badan, pendidikan, dan pekerjaan, sementara banyak faktor lain yang
mempengaruhi nyeri yang perlu diteliti. Peneliti juga tidak melihat
hubungan antara karakteristik responden dengan tingkat nyeri.
3. Pengukuran tingkat nyeri menggunakan satu alat ukur yaitu NRS yang
terdiri dari rentang angka 1 sampai 10. Hal tersebut menyebabkan
variasi data menjadi sedikit. Penggunaan NRS dalam mengukur tingkat
nyeri menekankan pada pelaporan individu terhadap nyeri yang
dirasakannya sehingga tingkat nyeri memiliki tingkat subjektifitas yang
tinggi. Hal tersebut membuat kebenaran data sangat dipengaruhi oleh
kemampuan responden dalam mengungkapkan perasaan nyerinya. Untuk
61
mengurangi subjektifitas tersebut, dilakukan validasi dengan memberikan
penjelasan mengenai kriteria tingkat nyeri yang ada pada instrumen
penelitian dan mengamati respon objektif responden.
65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis hasil dan pembahasan dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan karakteristik demografi responden, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a. Rata-rata umur responden akseptor KB suntik adalah 31,08 tahun.
b. Rata-rata berat badan responden akseptor KB suntik adalah 51,89
tahun.
c. Tingkat pendidikan sebagian besar adalah lulus SD dan lulus SMP
dengan 21 responden (31,8%).
d. Jenis pekerjaan paling banyak adalah ibu rumah tangga dengan
jumlah 56 responden (84,8%).
2. Nilai tengah (median) tebal lemak bawah kulit responden adalah 60,00
mm.
3. Nilai tengah (median) intensitas nyeri responden adalah 2.
4. Ada hubungan yang bermakna antara tebal lemak bawah kulit dengan
intensitas nyeri akseptor KB suntik di bidan praktik swasta Wilayah Kerja
Puskesmas Kebasen Banyumas.
66
B. Saran
62
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diberikan
saran sebagai berikut :
1. Bagi Pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan referensi informasi terkait hubungan
tebal lemak bawah kulit (skinfold) dengan intensitas nyeri dalam
penerapannya pada proses pendidikan.
2. Bagi Praktisi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai media promotif untuk
memberikan informasi kepada klien mengenai hubungan tebal lemak
bawah kulit dengan intensitas nyeri dan menerapkan pengelolaan nyeri
ketika dilakukan injeksi IM berhubungan dengan tebal lemak bawah kulit
klien.
3. Bagi Penelitian
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor lain
yang berhubungan dengan intensitas nyeri dengan analisis multivariat
disertai pengendalian faktor konfonding sebaik mungkin saat penelitian.
67
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S., (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
Rineka Cipta.
Azwar, A. (2004). Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta : Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Berman. A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb, Glenora. (2009). Buku Ajar Praktik
Keperawatan Klinis, Ed. 5. Jakarta : EGC.
BKKBN Kab. Banyumas. (2005). Prevalensi Kontrasepsi di Kab. Banyumas.
Banyumas : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
63
Chung, J. W. Y., Ng, W. M. Y., & Wong, T. K. S. (2002). An Experimental Study
on The Use of Manual Pressure to Reduce Pain in Intramuscular
Injections. Journal of Clinical Nursing, 11(4), 457-461.
Datak, G. (2008). Perbedaan Rileksasi Benson terhadap Nyeri Pasca Bedah pada
Pasien Transurethal Resection of The Prostate di Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati. Thesis, Universitas Indonesia.
Devison, R. J. (2009). Penentuan Tinggi Badan Berdasarkan Panjang Lengan
Bawah. Thesis, Universitas Sumatra Utara.
Dewoto, H. R. (2006). Nyeri pada Sistem Muskuloskeletal. Departemen
Farmakologi & Terapeutik FKUI.
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. (2011). Cakupan Pelayanan Keluarga
Berencana. Banyumas : Dinas Kesehatan Banyumas.
Eccleston, C. (2010). Evidence Based Psychological Interventions for Chronic
Pain. In: Stannard, K. and Kalso, E., eds. Evidence-based pain
management. Oxford: Wiley-Blackwell, pp. 59-67.
Faucett, J., Gordon, N., & Levine, J. (1994). Differences in postoperative pain
severity among four ethnic groups. Journal of pain and Symptom
Management, 9(6), 383-389.
Fillingim, R. B., & Maixner, W. (2009). Gender differences in the responses to
noxious stimuli. 4(4), 209-221. Diunduh tanggal 22 Oktober 2012 dari
http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/.
Ganong W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. Jakarta: EGC.
68
Gibson RS. (2005). Principles of Nutritional Assessment Edisi ke-2. New York:
Oxford University Press.
Gloth, F., Scheve, A. A., Strober, C. V., Chow, S., Prosser, J. (2001). The
64
Functional Pain Scale: reliability, validity and responsiveness in an
elderly population. Journal of the American Medical Directors
Association, 2(3): 110-114.
Harsono. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Nyeri Pasca
Bedah Abdomen dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUD Ade
Mohammad Djoen Sintang. Thesis, Universitas Indonesia.
Hidayat, A. (2006). Keterampilan Dasar Praktik Klinik Dan Kebidanan. Jakarta :
Salemba Medika.
Hidayati.S.N.,dkk. (2010). Obesitas pada anak. Diakses pada 10 Oktober 2012
dari www.pediatrik.com/buletin/06224113652-048qwc.pdf.
Hinclliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.
Karim, F. (2002). Panduan kesehatan olahraga bagi petugas kesehatan. Jakarta :
Departemen Kesehatan Komunitas.
Kuhu, M. M., Wijayanti, R., & Sukrillah, U. A. (2003). Pengaruh Posisi Lateral
saat Penyuntikan IM Terhadap Berkurangnya Keluhan Rasa Sakit pada
Klien di Ruang Penyakit Dalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo
Purwokerto. Politeknik Kesehatan Semarang.
Li, Liu, & Herr.(2007). Post operatif pain intensity assessment: a comparison of
four scales in chinese adult. Diunduh tanggal 22 Oktober 2012 dari
http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/.
National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. (2003). Pain
Intesity Instrumen. http://painconsortium.nih.gov/pain_scales/Numeric
RatingScale.pdf. Diakses Tanggal 20 Oktober 2012.
Notoadmodjo. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Potter, P & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, E/4, Vol 1. Jakarta : EGC.
65
Potter, P & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik, E/4, Vol 2. Jakarta : EGC.
Price, S., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi-Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
Rospond, RM. (2008). Penilaian Nyeri. Penerjemah D. Lyrawati (2009).
Saiffudin, A., Affandi B., Baharuddin, M., & Soekir, S. (2006). Buku Panduan
Praktis Pelayanan KB. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sartorius, G., Fennel, C., Spasevska, S., Turner, L., Conway, A. J., &
Handelsman, D. J. (2010). Factors Influencing Time Course of Pain after
Depot Oil Intramuscular Injection of Testosterone Undecanoate. Asian
Journal of Andrology, 12: 227-233.
Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Purwokerto : UPT.
Percetakan dan Penerbitan Universitas Jenderal Soedirman.
Setiabudi. (2005). Perbandingan Ekspresi Sel T Cd4+ di Jaringan Sekitar Luka
dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi
Studi Imunohistokimia pada Tikus Wistar. Thesis, Universitas
Diponegoro.
Setiadi, S., Aulawi, K., & Setyarini, S. (2006). Perbedaan Penyuntikan
Intramuskuler Metode Z Track dengan Metode Konvensional atau
Standar terhadap Refluk Obat, Keluarnya Darah, dan Tingkat Nyeri. JIK
vol.01/No.01/Januari/2006. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Sherwood, L. (2011). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medkal-Bedah
Brunner & Suddarth. Vol 3. E/8. Jakarta : EGC.
66
Sudibjo, P. (2001). Penilaian Presentasi Lemak Badan Pada Populasi Indonesia
Dengan Metode Anthropometris. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files
/132172719/Penilaian%20Presentase%20Lemak%20badan%20Metode%
20Anthropometris.pdf. Diakses pada tanggal 12 Oktober 2012.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, & Setiati, S. (2009). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III ed V. Jakarta : Internal Publishing.
Sukmaniah. (2009). Ilmu Gizi Umum. Jakarta : Diklat PS Ilmu Gizi Klinik
Departemen Ilmu Gizi FKUI.
Suryaniati, A. (2006). Perbedaan Pengaruh Pemberian Obat Anestesi Spinal
dengan Anestesi Umum terhadap Kadar Gula Darah. Skripsi, Universitas
Diponegoro.
Turk, D.C. & Monarch, E.S. (2002). Biopsychosocial Perspective on Chronic
Pain. Dalam Turk, D.C. & Gatchel, R.J. (penyunting). Psychological
Approach to Pain Management: A Practicioner’s Handbook 2nd ed, hal 3
- 29. New York : Guilford Press.
70
Turk, D.C. 2002. A Cognitive Behavioral Perspective on Treatment of Chronic
Pain Patients. Dalam Turk, D.C. & Gatchel, R.J. (penyunting).
Psychological Approach to Pain Management: A Practicioner’s
Handbook 2nd ed, hal 138 - 158. New York : Guilford Press.
Wahyudi & Herawati, I. (2004). Latihan Peregangan untuk Meningkatkan
Fleksibilitas Punggung.
Widyanto, F. C., (2012). Perbedaan Injeksi IM Gluteal pada Posisi Lateral dan
Tengkurap Terhadap Tingkat Nyeri Akseptor KB Suntik di Bidan Praktik
Swasta Nastiti wilayah kerja Puskesmas Kebasen Banyumas. Skripsi,
Universitas Jenderal Soedirman.
67
Wirakusumah. (2001). Konsumsi Karbohidrat, Lemak, Dan Protein Pada
Mahasisiwi Gizi Lebih. Depkes : Jakarta.
Wong, D. L., Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2011). Wong’s nursing care of
infants and children (9th ed.). St. Louis, MO.: Elsevier Mosby.