Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
-
Upload
diwan-eztheim -
Category
Documents
-
view
210 -
download
4
description
Transcript of Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)
________________________________________________________________________
Tri Andrisman
I. Pendahuluan
Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji
baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan
yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hokum terhadap
tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut
diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disebut KPK).
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan
tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang
untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah
di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis
dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary
crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra
ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan
merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari
tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan
kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan
bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan
kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak
sosial masyarakat Indonesia.1
Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara
akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.
Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu
melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para
pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk
mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal
salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati
dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih
dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan
dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka.
Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan:
1 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra
Aditya Bakti. Hlm. 69.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi
sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam
menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai
kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan
kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi
secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai
tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat
daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk
membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan
lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja
pemerintah.2
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari
masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan
terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti Harkrisnowo menyatakan:
Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut sama-
sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya
dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang
bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan
korupsi tersebut, “…dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya…”, Sedangkan
pelaku tindak pidana jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata
bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memilki tingkat
pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat
mata dan bukan individu, tetapi Negara, justru karena invisibility inilah maka
public kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana
yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan
tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi,
demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya
tindak pidana jalanan.3
Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan reformasi.
Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa berhasil
menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu
itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah:
a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;
b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan
pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);
d) Mewujudkan kebebasan pers; dan
2 Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan
Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116 3 Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian
putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
e) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 4
Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme
merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang kekuasaan
pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun
pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa
dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari
gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.
Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap
tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan
fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan
sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi
istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi
atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian
penegakan hukum pidana.5
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa
sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana dikatakan
olehnya sebagai berikut:
Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan
hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan
hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman” karena
“kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan “kekuasaan/kewenangan
menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah
dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau
Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan
Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan
Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).6
Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana,
seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang
terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan
faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan
pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum.
Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan
karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana terhadap
tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1)
Bagaimanakah Kedudukan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
4 Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6 5 Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157 6 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Semarang. Hlm. 20.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
dalam sistem peradilan pidana?; dan (2) Bagaimanakah penegakan hukum tindak
pidana korupsi oleh KPK dalam era reformasi?
II. Pembahasan
1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah
satu struktur hukum yang luar biasa yang dibentuk di era transisi yang sampai saat
ini masih eksis. Dalam banyak hal lembaga ini berhasil memberikan shock therapy
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sifat yang luar biasa ini terlihat dari
besarnya tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada
lembaga ini sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal di bawah ini :
Pasal 6:
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Pasal 7
Dalam melakukan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta Laporan instansi terkiat mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pada kutipan di atas tentang tugas dan kewenangan yang
diberikan oleh undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat bahwa
lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat luas di bandingkan dengan instansi
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi sering
disebut sebagai lembaga yang super body.
Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun. Yang dimaksud kekuasaan manapun adalah kekuatan
yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau
anggota Komisi secara indivudial dari pihak eksekutif, legislative, pihak-pihak lain
yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dari situasi ataupun
dengan alasan apapun. Sedangkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melihat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diuraikan di atas
terlihat bahwa lembaga ini memiliki independensi yang lebih dibanding dengan
kepolisian dan kejaksaan. Padahal lembaga ini kewenangannya mencakup
kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yaitu berwenang untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi.
Kepolisian dan Kejaksaan relative kurang independen dalam melaksanakan tugasnya
karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu
kedua lembaga ini akan mengalami suatu konflik antara fungsi dan tugas yudisial
dengan kepentingan politik, yaitu pada saat melaksanakan fungsi dan tugas
penegakan hukum berhadapan dengan adanya perintah dari pihak eksekutif yang
bertentangan dengan fungsi dan tugasnya tersebut.
Secara teoritis keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah merupakan
lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (Legislatively entrusted
power). Pembentukan Lembaga ini di era transisi pada prinsipnya akibat ketidak
percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini
terlihat dalam salah satu konsideran dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dapat
diartikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kontek penegakan hukum
tindak pidana korupsi bersifat transisi saja dan akan berfungsi sebagai trigger
mechanism bagi lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan
reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada telah berhasil melakukan
pembenahan secara internal dan mulai mendapatkan kepercayaan kembali oleh
masyarakat sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan, namun
sebaliknya apabila Lembaga konvensional tersebut tidak mampu memperbaiki
kinerjanya dalam pemberantasan korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap
dipertahankan.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi apabila dilihat dari sudut desain
kelembagaan masuk dalam kerangka “proportional model” yaitu merupakan desain
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pemencaran kekuasaan, karena sesuai
dengan salah satu konsideran di atas pertimbangan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi adalah karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum
konvensional yang ada. Pada masa rezim orde baru berkuasa mekanisme kerja
lembaga penegak hukum konvensional tersebut tidak lepas dari control eksekutif dan
pada masa transisi ini eksistensi lembaga konvensional penegak hukum tersebut
mengalami krisis legitimasi.7 Oleh karena itu keberadaan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk control
warga Negara terhadap lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Keberadaan Lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebelum adanya
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang
untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana termasuk tindak pidana korupsi, sehingga
dalam kontek sistem peradilan pidana keberadaan tiga lembaga penegak hukum
tersebut dapat di pandang sebagai suatu sistem. Dalam hal ini Muladi menyatakan:
Selanjutnya akan tampak pula, bahwa Sistem Peradilan Pidana akan melibatkan
penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantive, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Disamping itu dapat dilihat pula bentuknya
baik yang bersifat prefentif, represif maupun vkuratif. Dengan demikian akan
nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub-sistem peradilan pidana
yaitu lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.8
Peradilan Pidana adalah suatu proses yang di dalamnya ikut bekerja beberapa
lembaga penegak hukum beserta aparaturnya. Kegiatan peradilan pidana adalah
kegiatan bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan
dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan oleh lembaga pemasyarakatan. Kegiatan
berkelanjutan ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terpadu antara
kepolisian, kejaksaan, hakim dan petugas pemasyarakatan, sehingga peradilan pidana
merupakan suatu sistem.
Dihadapkan pada sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maka kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi muncul sebagai sistem tersendiri yang terpisah dari sistem peradilan pidana
dan mempunyai fungsi yang sama dengan sistem peradilan pidana yang
konvensional dalam hal penyelesaian tindak pidana korupsi. Hal ini berarti ada
dualisme sistem peradilan pidana dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi.
Pertama adalah sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan, dan yang kedua adalah sistem yang ada dalam tubuh
Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi
7 George Junus Aditjondro. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang
Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Hlm. 35. 8 Muladi. 1995. Ibid. Hlm. 16.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
terdiri dari fungsi-fungsi yang dimiliki oleh sub sistem peradilan pidana seperti
fungsi penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi mengadili. Fungsi
mengadili ada pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang
keberadaannya didasarkan pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi
Penegakan hukum pidana yang menurut Barda Nawawi Arief identik dengan
fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum
pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana
dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana
yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.9 Apabila
dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman10 tentang sistem hukum yang terdiri
dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah
merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana
korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi secara konkret.
Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana
korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari
kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di
keluarkannya Tap MPR. No. IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, dalam kurun
waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru
mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang
professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah
untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan
adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas
Negara.11
Perbedaan utama antara kedua Ketetapan MPR tadi adalah bahwa ketetapan
bulan November 1999 menyebut nama bekas presiden Republik Indonesia yang
kedua. Butir (d) ketetapan itu menyatakan bahwa “Usaha-usaha untuk
menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dilakukan melalui investigasi
terhadap semua orang yang dicurigai melakukan praktek-praktek tersebut, baik itu
bekas pejabat atau pejabat yang sekarang, keluarga dan teman-teman mereka,
termasuk bekas presiden Soeharto, atau dari sector swasta/konlomerat, dengan tetap
berpegang pada prinsip asumsi tak bersalah dan hak asasi manusia. 12
9 Barda Nawawi Arief, 1992. Op.cit. Hlm. 19. 10 Satjipto Rahardjo. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. Hlm. 56. 11 George Junus Aditjondro. 2002. Op.cit. Hlm. 1 12 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dijadikan landasan hukum pembentukan
undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam bagian
mengingat kedua undang-undang tersebut menyebutkan salah satunya adalah Tap
MPR No. IX/MPR/1998.
Produk perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan
reformasi dalam rangka pemberantasan korupsi adalah :
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. Disamping itu juga ada TIMTAS Tipikor yang dipimpin oleh JAMPIDSUS waktu
itu yaitu Hendarman Supanji yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Korupsi.
Pembentukan perundangan-undangan menunjukkan adanya respon positif
dari penyelenggara Negara baik eksekutif maupun legislatif untuk mengakomodir
semangat masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi
demikian merupakan konsekuensi logis adanya perubahan kehidupan politik yang
mengarah pada kehidupan politik yang demokratis pada era reformasi baik itu ketika
rezim Habibie, Megawati, Gus Dur maupun SBY yang sedang berkuasa.
Melihat pada penjelasan di atas tampak bahwa secara substantive telah ada
upaya positif untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun
demikian apabila dicermati substansi dari beberapa peraturan perundang-undangan
yang ada menunjukkan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya ketentuan peralihan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebelum di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan
bahwa pelaku tindak pidana yang diadili pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 masih berlaku tapi belum di sidangkan tidak dapat diadili. Kasus nyata
mengenai ketidakjelasan antara Undang-undang yang lama menuju undang-undang
yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus
penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima
suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum
berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
diterima oleh hakim karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Pasal 44
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.13
Adapun ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 sebagai berikut:
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan
tidk berlaku.
Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tidak dapat diterapkan karena dalam hukum pidana berlaku asas retro aktif yang
merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Dalam Hukum pidana asas ini merupakan
asas yang fundamental dan essensial.14 Asas ini di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
yang menentukan tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya.15Asas
Legalitas, sebagaimana karakter aslinya, mengandung tujuh aspek yang dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-
undang;
b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;
c. tidak dipidana hanya berdasar kebiasaan;
d. Tidak ada rumusan delik yang kuran jelas (syarat lex certa);
e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
f. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; dan
g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.16
Respon positif dari penyelenggara Negara baik dari eksekutif maupun
legislatif terhadap tuntutan reformasi ternyata melahirkan hukum (Undang-Undang)
yang tidak mencerminkan keadilan masyarakat dan dalam hal tertentu kebutuhan
membangun hukum dan perundang-undangan memang seringkali merupakan
“permainan politik” elit.17 Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya setengah hati
dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi, karena para koruptor yang telah
berhasil mengeruk uang rakyat yang dilakukan pada masa berlakunya undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 terlepas dari jerat hukum.
Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi menampakan adanya rivalitas
antara pihak yang mempunyai semangat memberantas korupsi dengan pihak-pihak
yang menghendaki status quo. Rivalitas ini terlihat adanya berbagai upaya untuk
13 Tri Andrisman. 2010, Hlm. 51. 14 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Hlm. 140. 15 Andi Hamzah, 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Hlm. 41. 16 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra
Aditya Bakti. Hlm. 13 17 Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi.
Nuansa. Jakarta. Hlm. 19
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
menghambat upaya pemberantasan Korupsi. Dalam kerangka pikir dalam sub bab di
atas telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam
extraordinary crime maka upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas tindak
pidana korupsi harus secara luar biasa pula. Salah satu upayanya yaitu dengan
membentuk instrument hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument),
sepanjang instrument yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau
menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal.18
Berbagai instrument hukum yang luar biasa telah di keluarkan, diantaranya
adanya amanat dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1) yang memberikan
amanat agar dalam waktu 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku,
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Struktur Hukum dalam
sistem hukum pemberantasan korupsi berupa Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan salah satu instrument hukum yang luar biasa dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dikatakan luar biasa karena lembaga ini mempunyai
kewenangan yang sangat besar dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Selain itu dalam Pasal 27 Undang-undang tersebutpun ada amanah
untuk membentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyelesaian perkara
korupsi yang harus didahulukan dibanding perkara-perkara yang lain sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 25.
Adanya prioritas dalam penyelesaian perkara korupsi dibanding dengan
perkara lainnya adalah juga instrument hukum yang luar biasa karena menurut
Harkristuti Harkrisnowo19 bahwa:
a. Kasus korupsi harus didahulukan dalam proses peradilan pidana dibanding
dengan kasus-kasus lainnya, dan;
b. Kasus korupsi harus didahulukan dari kasus ikutan yang berkenaan dengan
korupsi tersebut (misalnya, pencemaran nama baik).
Makna yang dikandung dalam ketentuan ini sudah sangat jelas, yakni bahwa:
a. Kasus korupsi merupakan kasus yang sangat merugikan Negara dan masyarakat
Indonesia, karenanya harus didahulukan;
b. Kasus korupsi harus ditempatkan dalam prioritas tertinggi dalam agenda para
penegak hukum, dan
c. Dituntut keseriusan dari para penegak hukum untuk secara sungguh-sungguh
menjalankan tugasnya itu melakukan proses peradilan terhadap korupsi. 20
18 Nyoman Serikat Jaya Putra, 2008, Op.cit, Hlm. 58. 19 Harkristuti Harkrisnowo, 2009, Op.cit, Hlm. 80. 20 Ibid. Hlm. 83.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Menyikapi amanat Pasal 27 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pemerintahan Gus Dur telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kewenangan
yang luas kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (5) yang
menentukan penyidik berwenang pula untuk meminta keterangan mengenai
keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka,
membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau
alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan,
mengusulkan pencekalan, dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk
pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya.
Perluasan kewenangan tersebut juga terlihat dalam Pasal 12 ayat (4)
Peraturan Pemerintah tersebut yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan,
dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Perintah Penghentian
Pemeriksaan Perkara (SP3). Adanya perluasan kewenangan yang diberikan oleh
Peraturan Pemerintah tersebut menunjukan bahwa ada political will dari pemerintah
untuk merespon realitas yang berkembang dalam masyarakat kaitannya dengan
tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang tergolong dalam extra ordinary crime.
Oleh karena itu apabila di lihat dari teori hukum responsive dari Nonet dan Selznik,21
maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk hukum yang bersifat responsif.
Responsifitas perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi dalam realitanya mendapatkan berbagai macam
kendala baik dalam substansinya seperti tidak diaturnya aturan peralihan dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menimbulkan berbagai macam
penafsiran. Ketidak tegasan pengaturan aturan peralihan dalam Undang-undang
tersebut di manfaatkan oleh pihak yang menghendaki status quo untuk tidak
mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 padahal apabila dicermati lebih jauh dalam ilmu hukum
khususnya ilmu hukum pidana ada suatu asas yang mengatakan lex specialis derogat
legi generale, asas ini mengatakan bahwa aturan yang bersifat khusus
menyampingkan ketentuan yang bersifat umum. Asas ini tercantum dalam Pasal 103
KUHP yang menentukan :
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I ini sampai dengan Bab VIII buku ini, juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut sebenarnya tidak diaturnya
ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak akan menimbulkan masalah, karena
apabila Undang-undang tersebut sebagai lex spesialis tidak mengatur hendaknya di
kembalikan ke KUHP sebagai lex generale-nya. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP
21 Satjipto Raharjo, tt: Op.cit. Hlm. 60
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah tindak
pidana terjadi, di pakai undang-undang yang paling menguntungkan/meringankan
terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka tidak ada alasan untuk tidak mengadili
pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 masih berlaku. Oleh karena itu upaya mempermasalahkan tidak adanya aturan
peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menunjukkan adanya tarik
ulur antara pihak yang dengan tegas berniat memberantas tindak pidana korupsi
dengan pihak yang menghendaki status quo di era transisi ini.
Konflik yang ada mengenai berbagai macam penafsiran tentang tidak
diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh pemerintah diintegrasikan ke dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam salah satu pertimbangan diundangkannya undang-undang tersebut di
katakan :
Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan
ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak
pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan peralihan sebagai suatu respon adanya permasalahan pro dan
kontra yang terjadi dalam masyarakat berkaitan tidak diaturnya ketentuan peralihan
dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah di integrasikan dalam Pasal VI
A Pasal 43 A yang menentukan:
(1) Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, di periksa
dan di putus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum
pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam Pasal 5, Pasal, 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-undang ini
dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan,
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan
mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp. 5000.000,00 (Lima Juta Rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 A ayat 2 undang-undang ini.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Di akomodasinya konflik yang terjadi dalam masyarakat berkaitan penafsiran
mengenai tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut telah menampilkan dirinya sebagai
instrumen hukum yang berfungsi mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada
dalam masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Bredemier22 yang mengatakan fungsi
hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat.
Kendala terhadap upaya pemerintah dalam merespon tuntutan reformasi,
khususnya yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
dengan adanya upaya judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Permohonan judicial review tersebut oleh Mahkamah Agung dengan keputusannya
Nomor : 03 P/HUM/2000 telah dikabulkan seluruhnya, adapun permohonan judicial
review yang dimohonkan oleh pemohon judicial review adalah:
i. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya;
ii. Menyatakan P.P. No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku secara umum;
iii. Memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 19 Tahun 2000
dengan ketentuan apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan dikirimkan
(disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum;
iv. Menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara.23
Secara filosofis keputusan tersebut melanggar rasa keadilan masyarakat
(keadilan substantive) kerena hakim tidak memperhatikan perasaan masyarakat yang
berkembang pada masa reformasi ini sebagaimana tergambar dalam tuntutan yang
menghendaki adanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme. Mahkamah
Agung lebih mengutamakan prinsip rechtsmatigheid dibanding prinsip yang lain
yaitu doelmatigheid. Pada dasarnya hukum mengandung di dalam dirinya tujuan
yang hendak dicapai, yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi
kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh
terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang
bersifat tehnis.24 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dibentuk berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 pada prinsipnya merupakan salah satu
bentuk instrumen hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument) yang
dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu keputusan
Mahkamah Agung tersebut lebih menampakan dirinya sebagai hukum yang otonom
dimana Mahkamah Agung memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga hukum
yang terspesialisasi dan relatif otonom.
22 Satjipto Rahardjo.1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 82.
23 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan Tahun 2001 24 Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP
No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kecurigaan adanya upaya menggagalkan semangat memberantas tindak
pidana korupsi dengan upaya Judicial review terhadap PP Nomor 19 Tahun 2000
terilihat dari pendapat Jimly Asshiddiqie25 yang menyatakan :
Apa sebenarnya yang menyebabkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat
berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap
PP No. 19 Tahun 2000 tersebut ? Atas dasar kepentingan apa sehingga apa
sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan?. Apakah
murni atas dasar kepentingan hukum, atas dasar kepentingan membela dan
melindungi warga Negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000
tersebut? Jika pilihannya adalah yang terakhir berarti kepentingan hukum yang
terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata –dengan
meminjam istilah dari yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam
pandangannya mengenai ‘stuffenbau-theorie’- bersifat konkret dan individual
(concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum
(general norms).
Dalam pendapatnya lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan :
Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP Nomor
19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para
pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi
tersangka tindak pidana korupsi oleh TGTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim
tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur
objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut
norma hukum yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual
norms). Yaitu sebatas kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka
melakukan tindak pidana korupsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan
materi PP No. 19 Tahun 2000.26
Berdasarkan pendapat Jimly Asshiddiqie di atas, tampak ada pihak-pihak
yang lebih mementingkan kepentingan individu dibanding kepentingan umum yang
lebih luas dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya dilakukan untuk
lepas dari jerat hukum meskipun upaya tersebut akan mengakibatkan kepentingan
umum yang lebih luas dikorbankan. Pada masa transisi kondisi demikian memang
biasa terjadi karena pada masa reformasi posisi pihak yang telah diuntungkan oleh
rezim lama (orde baru) masih eksis dalam birokrasi pemerintahan sebaliknya banyak
pula pihak yang menghendaki perubahan dan berusaha mengakomodir tuntutan
reformasi.
Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut
berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas
dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Di hapuskannya TGTPK
melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan Komisi
25 Ibid. Hlm. 47. 26 Ibid. Hlm. 49.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU
No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002.
Bersamaan itu pula berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang berada dilingkungan Peradilan Umum dan untuk sementara Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah
hukumnya meliputi wilayah Negara Republik Indonesia. KPK dan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi telah membuat suatu gebrakan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi dan berhasil membuat para pelaku tindak pidana
korupsi jera karena tidak ada kasus Korupsi yang di adili oleh pengadilan tindak
pidana korupsi lepas dari jerat hukum. Keberadaan dua lembaga tersebut pun sempat
membuat para pejabat Negara merasa takut apabila berhadapan dengan KPK.
Upaya yang luar biasa inipun mendapat suatu hambatan kembali dengan di
ajukannya upaya judicial review mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor yang
dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi. Berdasarkan permohonan judicial review
tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002
bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini
diucapkan.
Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka eksistensi
pengadilan tipikor saat ini hanya efektif sampai di bentuknya Pengadilan Tipikor
yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri yang lepas dari Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Oleh Mahkamah Konstitusi keputusan tersebut dikatakan sebagai Smooth
transition, sebab keputusan sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi keputusan Mahkamah Konstitusi yang
dijatuhkan harusnya telah inkracht van gevijsde, sehingga mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang tersebut
juga ditentukan :
Putusan Mahkamah yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan
undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut
tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Namun, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberi kesempatan
paling lambat 3 (tiga) tahun kepada eksistensi pengadilan tipikor hingga
terbentuknya pengadilan tipikor yang baru, sehingga bunyi amar keputusan yang
dijaruhkan Mahkamah Konstitusi tersebut menyimpangi ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Waktu 3 (tiga) tahun sejak dijatuhkannya keputusan Mahkamah Konstitusi
pada bulan 19 Desember 2006 berkaitan dengan eksistensi pengadilan tipikor berarti
pengadilan tipikor yang ada sekarang ini akan tidak efektif lagi pada yanggal 19
Desember tahun 2009, berarti eksistensi pengadilan tipikor tinggal 5 bulan lagi.
Sedangkan anggota DPR hasil Pemilu April 2009 akan di lantik sekitar bulan
Oktober, ini berarti hanya ada waktu 2 (dua) bulan untuk membahas RUU
Pengadilan Tipikor sebab apabila dibahas oleh anggota DPR hasil pemilu yang baru
di prediksi akan mengalami jalan buntu karena para anggota DPR yang baru tersebut
belum memahami permasalahan secara mendalam mengenai RUU Tipikor.
Kesempatan yang tinggal 2 bulan lagi ini ternyata tidak di kelola dengan baik oleh
pemerintah dan DPR karena sampai saat ini belum terlihat rencana pembahasan
RUU tipikor. Sudah barang tentu kondisi yang demikian ini akan semakin
menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi
oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai tindakan yang dapat
menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi karena keputusan demikian akan
membawa konsekuensi yuridis bahwa yang dikatakan tindak pidana korupsi haruslah
perbuatan yang sesuai dengan rumusan undang-undang saja. Perbuatan-perbuatan
lain yang tidak dirumuskan dalam undang-undang tapi dapat merugikan keuangan
Negara tidak dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.
Penghapusan sifat melawan hukum materiil bertentangan dengan arah perkembangan
hukum pidana.
Arah perkembangan hukum pidana di Indonesia mengarah kepada pengakuan
hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai
seminar Nasional, dalam kebijakan legislative maupun dalam Konsep KUHP. Oleh
karena itu penghapusan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana
korupsi akan menyulitkan penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang
melakukan perbuatan yang tidak masuk dalam rumusan tindak pidana korupsi namun
di pandang dari ukuran kepatutan perbuatan tersebut tidak patut atau tidak pantas
dilakukan.
III. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum dilihat dalam
sistem peradilan pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi menampakkan dirinya
sebagai sistem tersendiri dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
yaitu suatu sistem yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga ada dualisme
sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi bersifat transisi dan dapat difungsikan sebagai pemicu untuk perbaikan
kinerja lembaga penegak hukum konvensional seperati kepolisian, kejaksaan dan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pengadilan dan sekaligus sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberatasan tindak pidana korupsi.
2. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan
pidana menunjukkan adanya persaingan antara pihak-pihak yang ingin
mempertahankan status quo (keadaan tetap seperti semula) dan pihak-pihak yang
menghendaki adanya upaya yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terlihat
secara setengah hati. Kesimpulan demikian terlihat dari adanya berbagai upaya
penghambatan terhadap gerak laju pemberantasan tindak pidana korupsi seperti tidak
mencatumkan aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adanya upaya judicial review
terhadap lembaga-lembaga super body yang mempunyai kewenangan yang luar biasa
dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti judicial review
terhadap TGTPK dan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; keengganan
lembaga legislatif untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Tipikor; dan
dihapuskannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi
oleh Mahkamah Konstitusi.
B. Saran
1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diperkuat dan diberikan beberapa
hak yang telah dipunyai seperti hak untuk menyadap, menyidik dan menuntut tetap
dipertahankan, demikian pula dengan lembaga pengadilan tindak pidana korupsi
merupakan lembaga yang khusus terpisah dari pengadilan negeri.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diberikan kewenangan untuk merekrut
penyidik dan penuntut dari warga negara Indonesia yang mempunyai keahlian di
bidang hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam
MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan
Aksara. Yogyakarta.
Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung.
Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji
Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan
Pengadfilan.
Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi
Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial.
Hamzah, 2005. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1.
Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Semarang.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana. Citra Aditya Bakti.
Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan
Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta.
----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung.
Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta.
Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kontroversi Putusan Bebas Terhadap Koruptor
________________________________________________________________________
Gunawan Jatmiko
A. Pendahuluan
Di Indonesia beberapa waktu lalu ramai polemik mengenai di putus bebasnya
para terdakwa tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
berada di daerah. Tidak kurang 15 tersangka korupsi yang telah diputus bebas
termasuk di Provinsi Lampung yaitu tersangka korupsi Satono dan Andi Achmad.
walaupun dalam putusan Kasasi mereka akhirnya dijatuhi pidana. Hal ini
menimbulkan keprihatinan penggiat LSM bahkan Mahfud MD sampai mengusulkan
dibubarkannya pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di daerah-daerah, karena
hanya menimbulkan semrawutnya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi telah diposisikan sebagai tindak pidana yang luar biasa
(extra ordinary crime) dalam masyarakat kita. Keadaan ini bisa di pahami karena
dalam kenyataannya tindak pidana ini mempunyai daya hancur yang sangat luar biasa
dan masif terhadap sendi-sendi kehidupan negara dan bangsa. Dampak derivative
tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana
alam seperti banjir, kecelakaan di darat, di laut, maupun udara, bahkan Nyoman
Serikat Putrajaya guru besar hukum pidana Undip mengatakan bahwa dampak
negative dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa
dan merupakan perampasan terhadap hak ekonomi dan hak social masyarakat
Indonesia.
Posisi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime membawa
konsekuensi perlunya di imbangi dengan upaya yang luar biasa (extra ordinary legal
instrument) pula dalam memberantasnya. Di Era reformasi ini telah di munculkan
berbagai instrument hukum guna mendukung upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, seperti Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian dalam kurun waktu
kurang dari satu tahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru
mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang
professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah
untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan
adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas
Negara.
Kedua Tap MPR tersebut dijadikan landasan hukum pembentukan undang-
undang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Undang-
undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi dan Nepotisme, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Produk peraturan perundang-undangan lain
yang merupakan respon terhadap tuntutan reformasi dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No 46 Tahun 2009 Tentang
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 Tentang
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
B. Upaya luar biasa versus upaya melemahkan
Pemerintah telah menunjukkan iktikad baiknya dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi yang dapat dilihat dengan dikeluarkannya instrument hukum
sebagai landasan pemberatasan tindak pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaannya
ternyata banyak kendala yang dihadapi sehingga terkesan adanya upaya setengah hati
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian pula dalam perjalanan upaya
pemberantasan tidak pidana korupsipun terkesan ada upaya-upaya yang
melemahkannya Hal ini dapat dilihat dengan tidak mencantumkannya ketentuan
peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi sebelum dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001.
Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan
bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan pada saat Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 masih berlaku tapi belum disidangkan tidak dapat di adili.
Kasus nyata mengenai ketidak jelasan transisi atau adanya perubahan antara
undang-undang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah
Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut
oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-undng Nomor 3 Tahun 1971, tetapi
dakwaan itu tidak dapat diterima oleh hakim karena Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 oleh Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 Pasal 44 sudah dinyatakan tidak
berlaku, sedangkan undang-undang yang baru yaitu undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tidak dapat diterapkan dengan alasan tidak boleh berlaku surut (retro aktif).
Padahal apabila dicermati lebih jauh dalam hukum pidana dikenal asas lex specialis
derogat legi generale. Berdasarkan asas tersebut sebetulnya ketika undang-undang
yang baru tidak mengatur pasal peralihan hendaknya dikembalikan kepada ketentuan
yang bersifat umum yaitu ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam
perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, dipakai undang-undang yang
paling menguntungkan / meringankan terdakwa. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada
alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika UU
Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku.
Tindakan lain yang dipandang sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan
korupsi adalah adanya upaya yudicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2000 tentang TGTPK yang mengabulkan permohonan pemohon. Keputusan
yang mengabulkan permohonan pemohon yudicial review bertentangan dengan rasa
keadilan masyarakat. Karena Mahkamah Agung lebih mengutamakan rechtsmatigheid
(kepastian hukum) dibandingkan prinsip yang lain yaitu doelmatigheid (tujuan
hukum). Padahal hukum didalamnya mengandung tujuan yang hendak dicapai, yang
diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai, tujuan
atau manfaat tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara
dan prosedur yang bersifat tekhnis.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pembubaran TGTPK direspon dengan di bentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002. KPK merupakan
lembaga independent dalam pemberatasan tindak pidana korupsi dan memiliki
kewenangan yang luar biasa pula. KPK mempunyai kewenanngan penyidikan,
penuntutan bahkan sebelum dibentuk pengadilan tipikor di daerah-daerah, pengadilan
Tipikor yang ada di Jakarta dibentuk berdasarkan amanat Pasal 53 Undang –Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Setelah dilakukan yudicial review terhadap pengadilan tipikor
pada waktu itu yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi kemudian
diundangkanlah Undang-undang nomor 46 Tahun 2009 tentang pengadilan Tindak
Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut dibentuklah pengadilan Tindak
Pidana Korupsi di 33 provinsi di Indonesia.
Komisi Pemberantasas Korupsi maupun pengadilan Tipikor yang ada di ibu
kota baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang KPK maupun Undang-undang
No 46 Tahun 2006 telah membuat banyak gerbrakan dengan menyeret dan
menghukum para pelaku korupsi baik pejabat Negara (eksekutif , legislative) maupun
pengusaha. Namun akhir-akhir ini timbul kesan adanya upaya pelemahan kembali
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketika Komisi Pemberantasan
Korupsi dengan tegas menyeret pelaku-pelaku korupsi yang ada di lembaga legislative
ada ancaman dari lembaga legislative untuk melakukan perubahan terhadap undang-
undang Komisi Pemberantasan Korupsi.. Demikian juga dengan dibentuknya
pengadilan tipikor di daerah-daerah ternyata tidak menunjukan adanya upaya yang
serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terbukti dengan
dibebaskannya para pelaku tindak pidana korupsi oleh pengadilan-pengadilan tipikor
di daerah-daerah termasuk di Lampung.
1. Salahkah hakim memutus bebas ?
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah menjatuhkan putusan
bebas kedua terdakwa korupsi bupati Lampung Timur Satono dan mantan bupati
Lampung Tengah Andi Achmad telah menuai pro dan kontra. Para ahli hukum telah
beradu argumentasi di media masa dalam bentuk pemaparan legal opinion. Terlepas
dari etis atau tidaknya perbuatan tersebut, karena adu argumentasi tersebut dilakukan
pada saat perkara masih dalam proses peradilan yaitu proses kasasi, sisi lain yang
menarik pula untuk di kritisi tanpa masuk pada substansi putusan adalah apakah hakim
telah salah menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana korupsi ?
Stigma korupsi sebagai extra ordinary yang kemudian di ikuti dengan extra
ordinary legal instrument seharusnya tidak boleh mengurangi independensi hakim
dalam melakukan tugas mengadili. Banyaknya pihak yang mencurigai putusan bebas
terdakwa korupsi menimbulkan kesan pula bahwa setiap tersangka korupsi adalah
koruptor dan harus dipidana. Persepsi yang demikian adalah keliru dan akan
menganggu tugas hakim dalam mengadili manakala ternyata penuntut umum tidak
dapat membuktikan dakwaannya.
Putusan bebas dijatuhkan ketika dakwaan jaksa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan. Tidak terbuktinya dakwaan tersebut disebabkan karena, pertama,
tersangkanya memang benar-benar tidak melakukan suatu tindak pidana, kedua,
sebenarnya tersangka melakukan tindak pidana namun pembuktiannya lemah sehingga
tidak bisa dibuktikan, ketiga, adanya kesengajaan hakim untuk menjatuhkan putusan
bebas.dengan cara memainkan hukum. Apabila lemahnya dakwaan dilakukan dengah
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
sengaja serta putusan bebas itu terjadi karena kesengajaan hakim dengan memainkan
hukum maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi.
Dalam hal putusan bebas terjadi karena lemahnya pembuktian yang terjadi
tanpa kesengajaan, kesalahan terjadi pada tahap pemeriksaan di luar pengadilan yaitu
tahap penyidikan maupun penuntutan. Penyidik dan penuntut umum tidak dapat
mencari alat bukti yang kuat guna mendukung pembuktian sehingga ketika di uji di
depan pengadilan dakwaannya lemah. Dalam hal demikian hakim harus menjatuhkan
putusan bebas walaupun persepsi yang ada di masyarakat berbeda. Hakim bukanlah
alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Ketika penuntut umum
tidak bisa membuktikan hakim harus berani memutus bebas. Oleh karena itu dalam
kondisi yang demikian yang dikritisi/di eksaminasi jangan hanya lembaga pengadilan
saja melainkan lembaga penuntut umum dan lembaga penyidikan. Kecuali kalau
putusan bebas itu karena kesengajaan hakim dengan cara memainkan hukum.
Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di
sidang pengadilan, sedangkan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya
atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak
pidana. Pengertian di muka menunjukkan bahwa tersangkapun dapat juga dikatakan
sebagai orang yang belum tentu bersalah karena baru dugaan saja dan pada prinsipnya
terdakwa adalah tersangka sehingga terdakwapun juga orang yang belum tentu
bersalah Oleh karena itu sesuai asas presumption of innocence tersangka maupun
terdakwa wajib diperlakukan layaknya seperti orang yang belum bersalah dengan cara
menghormati hak-hak tersangka atau terdakwa yang diberikan oleh undang-undang.
Hal ini berarti kalau alat-alat bukti yang di ajukan untuk mendukung pembuktian
lemah mengakibatkan dugaan itu salah demikian juga sebaliknya.
Tugas hakim adalah memeriksa perkara, mengadili dan menjatuhkan putusan
bukan sebagai alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, sehingga
hakim tidak harus memenuhi tuntutan jaksa, karena jaksa dan terdakwaa adalah para
pihak yang diadili oleh hakim. Hakim berada di tengah-tengah para pihak.dan
memeriksa secara objektif dan professional. Seorang tersangka yang dihadapkan ke
pengadilan belum tentu bersalah, oleh karena itu KUHAP telah menyediakan tiga
bentuk putusan dalam perkara pidana, yaitu pemidanaan, putusan bebas (virjspraak),
lepas dari segala tuntutan hukum (onlsag van alle rechtsvervolging).
Seorang terdakwa dimana perbuatan yang didakwakan bisa dibuktikan oleh
jaksa penuntut umum dengan di dukung oleh alat bukti yang sah dan minimum alat
bukti yang ditentukan undang-undang telah terpenuhi serta hakim yakin harus, di
kenakan pemidanaan. Sebaliknya apabila jaksa penuntut umum tidak dapat
membuktikan kesalahan terdakwa maka harus di putus bebas (vrijspraak), sedangkan
kalau perbuatan terdakwa terbukti namun ternyata bukan tindak pidana, atau ada
alasan pemaaf maupun pembenar kepada terdakwa dapat dijatuhkan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
C. Simpulan
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime) oleh karena itu perlu upaya yang luar biasa (extra ordinary legal instrumen)
pula dalam memberantas tindak pidana korupsi.. Penggunaan upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi secara luar biasa hendaknya jangan mengurangi indepensi
hakim dalam menjalankan tugasnya, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
keputusan. Hakim tidak bisa di salahkan ketika telah melaksanakan tugasnya secara
objektif dan professional kemudian menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa
korupsi, sebaliknya kalau putusan bebas tersebut terjadi karena adanya kesengajaan
melemahkan dakwaan oleh jaksa penuntut umum maupun karena ada ketidak
profesionalan hakim maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Daftar Pustaka
Serikat putra Jaya, Nyoman. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum
Pidana, 2008, Citra Aditya Bakti;
Junus Aditjondro, George. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencuri
Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I di terbitkan oleh Yayasan
Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2002;
Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review Kajian atas putusan Permohonan Hak Uji Materiil
terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK dalam jurnal kajian putusan
pengadilan DICTUM, L e l P 1;
Soetarto, Soerjono. Hukum Acara Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;
Samosir, C. Djisman, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, 1986, Bina Cipta;
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Makelar Kasus dan Upaya Penanggulangannya Dalam Sistem Peradilan Indonesia
__________________________________________________________________ Budi Rizki Husin
I. Pendahuluan
Pada akhir-akhir ini wajah penegakan hukum sangat carut marut, gambaran
demikian ini mengilustrasikan bahwa penegakan hukum sangat sulit untuk diwujudkan
sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat. Carut marutnya penegakan hukum
menggambarkan betapa para aparat penegak hukum (law enforcement officials)
disetiap subsistem peradilan dan mereka yang berada di luar subsistem tersebut
terlibat di dalamnya dalam jual beli keadilan (hukum). Menurut hukum mereka yang
ikut dalam kegiatan jual beli dikenal dan bahkan diakui dan dilindungi keberadaanya
sesuai dengan kaidah hukum dagang yang berlaku di Indonesia yaitu sebagai makelar
atau komisioner. Tetapi mengenai perantara (makelar) yang melakukan jual beli
keadilan (hukum) yang selanjutnya dikenal sebagai markus (makelar kasus) dalam
proses penegakan hukum dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Melakukan
kegiatan jual beli hukum oleh penegak hukum termasuk perantaranya (makelar) pada
akhir-akhir ini menjadi marak diperbincangkan dan terbuka secara umum diawali
kasus “cicak versus buaya” kemudian mangkin menghangat dengan timbulnya kasus
“S j versus S D” yang mengilustrasikan betapa keterlibatan institusi dan aparat
penegak hukum dalam proses penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, dan Pengacara/advokad bahkan subjek hukum yang berada di luar sistem
peradilan pidana.
Makelar kasus (markus) pada hakikatnya mencerminkan pengertian intervensi
terhadap suatu proses administrasi peradilan, dalam hal ini proses penegakan hukum.
Berbeda dengan proses intervensi lainnya yang mungkin bertujuan positif, markus
berkonotasi negative, yaitu dengan cara “memenangkan klien dengan segala cara”
demi mencapai kepentingan dan tujuan dari orang yang diperantarainya. Perlu digaris
bawahi bahwa target markus tidak selalu harus berupa tindakan yang menyimpang
dari hukum, tetapi juga, seperti dalam dunia perdagangan, tampil sebagai makelar
yang profesional, dengan menjembatani kepentingan pihak-pihak terkait. Walau dalam
prakteknya sudah telanjur dipersepsikan jelek, markus tidak selalu membela yang
salah, tetapi juga membela yang benar (korban).
Uraian ini agar lebih fokus, maka dibatasi pada pembahasan markus dalam arti
yang negatif, yang berupaya melakukan intervensi untuk menghasilkan tindakan dari
penegak hukum dalam membuat keputusan, atau perlakuan pejabat penegak hukum
yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku (rekayasa hukum). Tindakan
penegak hukum di sini mencakup seluruh rangkaian kegiatan, dari penyidikan
termasuk penangkapan, penahanan sampai penjatuhan putusan pengadilan. Proses
tersebut melibatkan seluruh tahapan roses peradilan, dan pejabat pada lembaga-
lembaga publik yang menyelesaikan sengketa. Pemahaman atas markus juga harus
dibedakan dari sikap dan perbuatan pejabat penegak hukum yang menginisiasi
penyimpangan. Secara moral, tindakan mereka menuntut pertanggungjawaban yang
lebih berat karena mengkhianati profesi, sehingga dapat dikenakan dua bentuk
tindakan hukum, yaitu pelanggaran pidana dan kode etik.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kerja sama antara markus dan pejabat yang diintervensi dibangun dengan
menggunakan instrumen barang dan/atau jasa, baik dalam bentuk tunai (uang/materi
lain) maupun janji, seperti promosi, mutasi ke tempat/jabatan “basah”, pendidikan dan
jabatan, bahkan jabatan sambilan pada dan/atau pemberian saham perusahaan. Pelaku
markus umumnya merupakan predikat untuk mereka yang biasa atau mencari nafkah
dengan pekerjaan memakelari kasus. Peranan tersebut umumnya dimainkan oleh
pengacara-pengacara namun dapat juga tidak selamanya sebagai pengacara, tetapi
yang penting memiliki kedudukan atau akses kepada pihak-pihak yang memiliki
wewenang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Peranan markus dimainkan oleh
pengacara, pengusaha, dan orang biasa yang menjalin hubungan akrab dengan
petinggi hukum, kerja sama mereka dilakukan dengan modus-modus antara lain
mengurangi, mengatur, dan merekayasa berkas berita acara sehingga seolah-olah
dipersalahkan tetapi karena pembuktian lemah dapat dipastikan akan dibebaskan oleh
hakim, meringankan atau menghilangkan pasal yang dituduhkan, menerbitkan SP3
(surat perintah penghentian penyidikan) surat ketetapan penghentian penuntutan
SKPP), dan mem-peti-es-kan perkara. Pada tahap terakhir, target yang dituju adalah
hukuman bebas atau ringan, memenangkan perkara yang salah, penuntut umum tidak
melakukan upaya hukum, dan lain-lain. Dalam hal menyangkut imbalan (uang), kasus
yang biasanya di-“makelar”-kan adalah perkara dengan kerugian materi yang besar.
Semakin besar nilai materinya, semakin tinggi pejabat yang dilibatkan. Oleh karena itu
dalam praktik kasus yang dimarkuskan biasanya perkara yang yang memiliki “multi
dimensi”. Misalnya perkara yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan
penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) berdemensi money laundering, organized crime
ataupun corporate crime dimana pelaku dan perbuatanya digolongkan white collar
crime (WCC).
Perkara demikian ini memang sulit dan tidak mudah penegakan hukumnya
sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi (1993) disebabkan beberapa hal yaitu; low
visibility, complexity, diffusion of responsibility, diffusion of victimized. Constrain
detection and prosecution, ambigos laws, ambiguos offender. Kasus atau perkara yang
secara substansial dan formal sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga memasuki
daerah kelabu (grey area) dan akibatnya memberi kesempatan bagi markus serta aparat
penegak hukum untuk bermain atau merekayasa didalamnya.
Menyangkut perkara tertentu, tidak semua pejabat penegak hukum terlibat dalam
pergulatan markus, baik karena peluang menangani perkara tertentu (yang menjadi
obyek markus) tidak dimiliki setiap personel (tergantung distribusi oleh pimpinan)
maupun karena keengganan personel tertentu yang ingin memuliakan profesinya
(kendali moral). Hanya sebagian kecil dari mereka, tetapi biasanya terpelihara dengan
baik dalam posisinya karena berhasil menjadi kaya dan dengan kekayaannya berhasil
membangun kolusi dengan atasan/petinggi, termasuk pejabat pada manajemen
personalia. Ihwal karakter demikian, dapat dikatakan bahwa praktik markus lebih
banyak terjadi dalam kehidupan di kota daripada di pedalaman yang mencerminkan
pola hidup komunitarian.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Selain itu, orang luar yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian
dari makelar kasus. Masyarakat yang mengharapkan keadilan dan kepastian hukum
dapat terwujud dalam proses peradilan akan kecewa dan marah bahkan dapat
menimbulkan ketidak percayaan baik kepada lembaga maupun pada aparatur, karena
aparat penjaga keadilan (oknum) yang tergabung dalam lembaga negara pemegang
amanat penegakan hukum ini justru menodai rasa keadilan itu sendiri dengan
merekayasa apa itu kesalahan dan kebenaran. Siapa yang benar dan salah bisa diatur
sesuai pesanan, asalkan ada uang Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) , takaran tuntutan
bahkan putusan, bisa dibeli.
Makelar kasus yang termasuk dalam kelompok mafia peradilan ada sejak lama
di Indonesia. Kemunculannya marak di zaman orde baru. Hanya saja selama ini
keberadaannya seolah tersembunyi. Masyarakat yang sebenarnya sudah tahu rahasia
umum ini terkesan harus memendam dalam amarah dan melupakan masalah besar
penegakan hukum ini karena kesulitan untuk membuktikan fakta kejahatan luar biasa
ini dilapangan, apalagi untuk menyelesaikan. Masyarakat dibungkam dan didustai
dengan rekayasa dan percaloan keadilan oleh penguasa domain hukum. Beberapa
waktu yang lalu, melalui penyiaran rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo
Widjadja oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan Uji Materi UU KPK
masyarakat kembali ditunjukkan dengan fakta vulgar yang kembali mengingatkan
bahwa makelar kasus dalam penegakan hukum kita semakin kronis. Bahkan metode
yang dilakukan sudah sangat berkelas dan sistematis dengan melibatkan pejabat
penegak hukum pula. Kalau dibiarkan dan tidak segara diberantas, kita tidak tahu akan
apa jadinya pada negara ini.
II. Permasalahan
Bagaimanakah upaya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap makelar
kasus dalam sistem peradilan di Indonesia?
III. Pembahasan
Sebagaimana telah dikemukakan di atas pengertian makelar sendiri berarti
merupakan perantara antara pembeli dengan penjual. Makelar yang sudah mengenal
baik si pembeli dan si penjual, maka keberhasilan akan sebuah transaksi akan
semakin besar. Dengan pengertian makelar di atas, maka untuk pengertian makelar
kasus, atau markus dapat di artikan sebagai seorang perantara yang mengenal
penjahat sekaligus memiliki hubungan dengan penegak keadilan, dan biasanya
makelar kasus memberikan informasi yang ia dapat tentang pelaku, dan kemudian
makelar kasus akan memberitahukan informasi tersebut kepada para penegak hukum
atas keterdekatanya dengan penegak hukum tersebut.
Makelar kasus adalah kejahatan luar biasa yang tentunya membutuhkan upaya
penyelesaian yang luar biasa pula. Friedman (1984; 4), mengungkapkan bahwa
bagaimanapun penegakan hukum sebuah bangsa mutlak ditentukan oleh substansi
hukum, struktur hukum, dan budaya hukum negara setempat. Adapun upaya yang
seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Diperlukan upaya hukum luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa,
makelar kasus dan mafia peradilan. Penyadapan oleh KPK perlu didukung tidak
hanya untuk mengungkap kasus korupsi an sich namun juga praktek makelar
kasus dan mafia peradilan.
2. Reformasi aturan hukum yang ada, Harus disusun aturan mengenai peberantasan
mafia peradilan, khususnya mengenai pembuktian dan alat bukti yang berkenaan
dengan praktek makelar kasus dan mafia peradilan. Pembuktian terbalik dapat
digunakan sebagai alternatif pembuktian pelaku mafia kasus.
3. Bersihkan semua lembaga penegak Hukum mulai dari Kepolisian, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kejaksanaan, Pengadilan dari seluruh tingkatan,
demikian pula lembaga pofesi advokat yang mencoba bermain dalam makelar
kasus maupun mafia peradilan. Berikan sanksi pidana berat bahkan ancaman
hukuman mati bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktek makelar kasus
maupun mafia peradilan. Pembenahan Lembaga pengawasan penegakan hukum
seperti komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan agar lebih independent, efektif dan
akuntable. Hal ini sebagai upaya memberantas makelar kasus dan mafia peradilan
guna mewujudkan mimpi bangsa untuk penegakan hukum yang adil dan
berwibawa.
4. Benahi budaya hukum masyarakat melalui pendidikan hukum. Mengingat makelar
kasus terjadi tidak hanya bermula dari penegak hukum melainkan juga lemahnya
kesadaran hukum yang berakibat pada penyimpangan perilaku masyarakat ketika
berhadapan dengan kasus hukum.
5. Peran pers yang merdeka untuk memberikan pencerahan dan keterbukaan
informasi terkait dengan penegakan hukum akan sangat bermanfaat dalam rangka
pemberantasan makelar kasus dan mafia peradilan.
Tentunya langkah-langkah luar biasa diatas akan mampu memberantas makelar
kasus di Indonesia dengan catatan terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen
bangsa untuk terus berikhtiar dan tentunya harus diawali dengan semangat political
will dari pemerintah selaku pemegang amanat kedaulatan rakyat.
Akhir-akhir ini penistaan terhadap institusi peradilan, antara lain kasus hakim
TUN Medan, (Kompas 18 April 2011), karena hakim dianggap sebagai benteng
terakhir dalam mendapatkan keadilan menyebabkan dimungkinkan masyarakat
pesimis terhadap kemampuan peradilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya
dalam penegakan hukum. Penyakit ketidakadilan yang mengidap pengadilan di
Indonesia membuat masyarakat menjadi tidak percaya terhadap putusan pengadilan.
Pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu institusi ini harus diisi oleh orang –
orang yang terpercaya dan dapat menjamin tegaknya hukum.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Mengingat masih kuatnya suap yang berjaya di lingkungan peradilan kita,
seperti jual beli keputusan pengadilan yang dilakukan oleh Markus dan mengingat
perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang sering menyelewengkan hukum dan
rasa keadilan masyarakat, maka diharapkan agar dalam mengisi institusi peradilan
ini, orang-orangnya perlu diuji kompetensi dan kualitas moralnya sebagai penegak
hukum. Slogan ganyang mafia peradilan oleh Presiden SBY dengan membentuk
Satgas di bawah unit kerja Presiden untuk beraksi dalam dua tahun semoga bukan
hanya slogan. Memberantas makelar berdasi ini akan memiliki efek domino, karena
makelar adalah anak kandung dari menguatnya wacana pasar.
Merebaknya fenomena makelar adalah salah satu ciri menguatnya wacana
pasar, di mana ideologi kapitalisme menjadi panglima (Kadri Husin: 17) . Makelar
selalu mencari keuntungan materi di dalam menjual jasanya. Logika untung rugi
secara materi menjadi orientasi utama aktifitas makelar. Kalaulah Presiden ingin
mengganyang makelar itu artinya wacana negara siap berbenturan melawan wacana
pasar. Di dalam ranah wacana pasar, bagi kaum kapitalis pemupukan modal dan
penumpukan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah hal yang jamak. Proses
pencapaiannya seringkali melanggar nilai keadilan, kesopanan maupun melanggar
nilai hukum negara.
Hal itu dianggap wajar saja karena pencapaian keuntungan sebesar-besarnya
bisa dilakukan dengan semua cara. Suap, komisi, hadiah, atau setoran adalah
mekanisme yang biasa dalam wacana pasar. Dalam wacana itu, negara seringkali
diistilahkan sebagai setan jelek yang tetap dibutuhkan keberadaannya. Negara
dianggap memasung aktivitas bisnis melalui aparatur birokrasi serta peraturan dan
perundangan yang berlaku. Semakin panjang birokrasi maka semakin banyak meja
yang harus dilewati, artinya semakin banyak biaya suap, komisi, hadiah, atau setoran
yang harus dikeluarkan. Akan tetapi negara tetap dibutuhkan karena menjadi payung
pelindung kepastian hukum secara legal aktivitas bisnis. Fenomena yang kemudian
terjadi adalah merebaknya korupsi dan kolusi antara aparatur negara dan agen
kapitalis, yang menjadi pangkal persoalan terpuruknya bangsa Indonesia.
Supremasi hukum dan pemberantasan mafia hukum adalah agenda kerja
Pemerintah yang selayaknya didukung oleh segenap komponen bangsa. Itu artinya
adalah genderang perang melawan wacana global yang berorientasi pasar yang telah
meminggirkan wacana negara maupun wacana masyarakat. Negara Indonesia tidak
boleh dijadikan sebagai instrumen kapitalis untuk mengeruk keuntungan atas sumber
daya Indonesia. Indonesia tidak boleh diacak-acak oleh mafia hukum atau makelar
kasus yang hanya mencari keuntungan pribadi di atas keterpurukan bangsa. Wacana
negara dan masyarakat harus diperkuat agar Indonesia terlepas dari keterpurukan.
Satjipto Rahardjo (2008; 6), guru besar emiritus sosiologi hukum Diponegoro,
Semarang, menyebutkan, salah satu peluang terciptanya mafia peradilan adalah
banyaknya telinga di sekitar pengambil putusan dan proses pengambilan putusan.
Misalnya, saat munculnya advis, yang bisa menunjukkan arah putusan, sesudah
majelis hakim berunding tentang putusan. Para pemilik telinga, antara lain asisten,
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang
berkepentingan. Kepolisiaan Daerah (Polda) metro jaya Kombes Pol Rikwanto
(republika,senin hari 4 juni 2012) Telah meringkus dua pelaku makelar kasus yang
telah memperoleh uang hasil kejahatan hingga mencapai Rp 1,4 Milyiar, dengan
melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus yang ahirnya diketahui
melibatkan beberapa orang dalam melakukan aksinya, bahkan sampai sekarang
tersangka masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Tidak bisa dibantah kalau
praktik mafia peradilan di Tanah Air sudah merasuk hingga ke semua lini dalam
struktur aparat peradilan itu sendiri. Pengawasan internal, baik pengawasan oleh
atasan langsung maupun pengawasan fungsional, termasuk pengawasan eksternal
dari lembaga-lembaga lain, masih dirasakan lemah dan kurang efektif. Sistem
internal memiliki “perspektif” yang bisa diharapkan berperan optimal, terutama
dalam kaitan dengan solidaritas internal yang begitu kental, khususnya dalam jajaran
kepolisian. Sementara itu, pengawasan masyarakat belum mendapat tempat yang
layak dalam sistem pengawasan lembaga-lembaga penegak hukum, terutama belum
terbukanya akses publik yang memadai. Masalah anggaran merupakan faktor internal
yang paling dominan menerangkan fenomena markus. Aspek pertama dari faktor ini
menyangkut dukungan anggaran operasional, terutama yang dialokasikan pada unit-
unit lapangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Diakui bahwa telah
terjadi peningkatan yang berarti atas alokasi anggaran badan-badan penegak hukum,
tetapi cenderung diprioritaskan untuk kepentingan satuan-satuan organisasi yang
dipimpin langsung pejabat-pejabat tinggi terutama pada manajemen puncak.
Akibatnya, petugas unit-unit operasional ”terpaksa” harus ”membebani” atau
mengharap kontribusi warga guna menjamin tetap berjalannya roda organisasi dalam
melayani masyarakat.
Aspek anggaran kedua menyangkut pemenuhan kebutuhan penghasilan
personel. Faktor ini menjadi paling dominan di antara semua variabel, karena juga
memberi pengaruh melalui faktor-faktor yang disebut terdahulu. Faktor pengawasan
organisatoris dan pengendalian diri yang lemah serta faktor lingkungan sosial (daya
tarik) tidak lepas dari pengaruh penghasilan personel. Faktor ini pula bahkan yang
mendorong terjadinya penyalahgunaan anggaran operasional. Walau demikian, tidak
berarti semua personel penegak hukum mengatasi kekurangan penghasilannya
dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Dalam kondisi dunia ”abu-abu” semacam inilah, mustahil penanggulangan
markus dan semua jenis korupsi dalam tubuh penegak hukum, terutama Polri,
kejaksaan dan pengadilan dapat berjalan efektif dan membawa perubahan yang
mendasar. Apalagi sekadar melalui mekanisme Satgas, bahkan melalui pekerjaan
KPK sekalipun, sepanjang mereka hanya berperan sebagai pemadam kebakaran atau
obat ”naspro”.
IV. Kesimpulan
Mafia peradilan menjadi gambaran carut-marutnya dunia hukum di Indonesia yang
terjadi di semua tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga
rumit, melibatkan uang recehan hingga miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pemain di dalamnya, bahkan pemerasan menjadi umum dilakukan oleh aparat untuk
mengubah status tersangka menjadi saksi.
V. Saran
Markus ataupun mafia peradilan harus diberantas secara structural tidak hanya
ditekankan pada institusi/lembaga hukumnya saja tetapi juga aparaturnya dari sistem
peradilan pidana dengan mendapat pengawasan atau melibatkan masyarakat sebagai
wasmas, dan kemudian diijatuhi hukuman yang berat sehingga menimbulkan efek
penjeraan Wasmas. Serta tidak lupa untuk membentuk aparatur yang profesional
beriman dan taqwa dalam menjalankan profesinya.
Daftar Pustaka
Husin, Kadri. 2010. Diktat Materi Kuliah Tindak Pidana Ekonomi di Bidang Perbankan.
Universitas Lampung. Bandar Lampung.
L.M. Friedman. 1984. The Legal System; A Social Science Perspective. New York,
Russel Sage Foundation.
Muladi. 1993. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan White Collar
Crime. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta.
Republika, 2012 edisi 4 juni, Jakarta.
Kompas, 2012 edisi April, Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Upaya Percepatan Proses Penyidikan Dalam Rangka Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
__________________________________________________________________
Priyanto, Tisnanta dan Eko Raharjo
I. Latar Belakang
Korupsi merupakan permasalahan yang banyak menyita perhatian masyarakat
akhir-akhir ini. Seiring dengan adanya semangat pemberantasan korupsi yang
semakin digalakkan, masyarakat pun semakin antusias untuk mendalami dan
memahami makna dari korupsi itu sendiri, yang pada akhirnya memacu masyarakat
untuk selalu menganalisa setiap kasus yang berkaitan dengan korupsi. Banyak para
ahli yang mengemukakan pendapatnya terkait berbagai kasus korupsi yang terjadi.
Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap suatu kasus yang terjadi, akan tetapi dari
sekian pendapat yang ada, satu pemahaman yang tidak dapat dielakkan, yang
tertanam pada pemikiran setiap orang, bahwa bagaimanapun juga tindak pidana
korupsi merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan dapat merusak sendi-
sendi kebersamaan Negara.
Korupsi pada dasarnya masih merupakan permasalahan yang sulit untuk
ditanggulangi, bukan hanya di Indonesia, akan tetapi juga di Negara-Negara lain,
baik di Negara maju maupun di Negara yang sedang berkembang. Indonesia telah
berulangkali menduduki peringkat tertinggi dalam menuai prestasi korupsi. Hal ini
dapat terbukti dari Transparency International yang berbasis di Berlin Jerman
meletakkan Indonesia pada peringkat empat negara terkorupsi di dunia.
Pada hakekatnya korupsi menjadi penghambat utama terhadap jalannya
pemerintahan dan pembangunan. Dalam prakteknya korupsi sangat sukar bahkan
hampir tidak mungkin dapat di berantas, karena sangat sulit memberikan
pembuktian-pembuktian yang eksak. Di samping sangat sulit mendeteksinya dengan
dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya
latent yang harus di waspadai baik pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang
memakai uang sebagai standar kebenaran dan kekuasaan mutlak, sebagai akibatnya
koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk
ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka inilah yang akan
menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.
Korupsi pada dasarnya dimulai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha
pembangunan yang menyebabkan sejumlah orang ingin dengan cepat menikmati
hasil dari pembangunan dan kemakmuran yang diharapkan. Sayangnya, peningkatan
pembangunan tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik dari
pemerintah, yang menyebabkan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam
penggunaan sejumlah dana yang dipergunakan dalam rencana pembangunan tertentu.
Dengan adanya pengawasan yang tidak mumpuni tersebut, sejumlah oknum dapat
dengan mudah menggelapkan uang dengan cara tidak mematuhi prosedur pengerjaan
yang telah ditetapkan, dan yang lebih menyedihkan praktik tersebut dilakukan secara
terorganisir yang bekerja sama dengan oknum-oknum lainnya. Hal itulah yang
menyebabkan perkembangan praktik korupsi yang ada semakin meningkat dan
berkembang melalui cara-cara yang bervariasi.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap.
Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku
diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan,
rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis
multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari
kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan
nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang
tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat
khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan
diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif. Undang-
Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan
khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum
secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia,
dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum
tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang
dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang
masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur
aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana.
Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut
mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan
ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama
mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para
nara pidana.
Pada penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan
juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan
tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya.
Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal
yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi.
Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai
pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang- Undangan dan
juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana
korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku
tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak
pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi
dan punya jabatan. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal
melaporkannya. Diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksud dari lingkaran setan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui
telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang
mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang
boleh tapi tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya
kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi
tidak mau untuk melapor pada yang berwajib. Tindak pidana korupsi yang
merupakan tindak pidana khusus dalam penangananya diperlukan suatu kerja sama
dengan pihak lain, untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai
penyidik merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana
korupsi. Maka untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama
dengan pihak lain yang terkait. Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan
hubungan hukum, karena dalam melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau
hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum dengan pihak lain itu dapat berupa
perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintahan. Hubungan hukum dengan
perseorangan misalnya dengan seseorang saksi, seorang tersangka, seorang
penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan hukum misalnya dengan
Perusahaan Terorganisasi dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Sedangkan
hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama penegak
hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Instansi
lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain.
Kejaksaan dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi tidak bisa
bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama
dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana
korupsi adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua
penegak hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk
berhasilnya penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi
kelemahan dalam pemberantasan tindak pidana. Maka dari itu peran Jaksa sangat
diperlukan dalam menangani tindak pidana korupsi. Diharapkan jaksa bisa membuat
inisiatif agar korupsi tidak terjadi.
Seiring dengan kinerja kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi, hal tersebut pada praktiknya tidak dapat berjalan dengan baik. Beberapa
media massa menilai Kejaksaan masih lamban dalam menangani perkara-perkara
tindak pidana korupsi. Hal tersebut tentu saja membuat geram para aktifis
pemberantasan korupsi yang tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan
(LSM). Berbagai kritik dan kecaman terhadap kinerja Kejaksaan pun mulai
bermunculan. Seperti halnya pada penyidikan kasus dugaan korupsi proyek
pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada
pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh Kejaksaan
Tinggi Lampung sampai saat ini belum terselesaikan. Pada kasus tersebut,
masyarakat menilai bahwa Kejaksaan di nilai lamban dalam mengusut kasus tersebut
karena terlalu lama membuang waktu untuk melakukan penyidikan.
Tidak sigapnya Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi dalam
menangani kasus dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur
tersebut tentu saja menuai kontroversi dan kritikan dikalangan para aktifis dan LSM
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
yang mendukung adanya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di
Indonesia. Kontoversi ini muncul akibat adanya perbandingan penyelesaian kasus
yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Lampung, yakni antara kasus dugaan proyek
pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dengan kasus korupsi pada pengadaan
pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung. Pada dasarnya kasus tersebut hampir
serupa, akan tetapi pada kenyataannya penanganan yang dilakukan oleh Kejaksaan
Tinggi Lampung lebih cepat pada kasus korupsi pengadaan pembelian solar di
lingkungan PDAM dari pada kasus pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009. Hal
tersebut dapat dilihat dengan telah diselesaikannya berkas penyidikan dan telah
dilimpahkannya perkara korupsi pembelian solar di lingkungan PDAM ke
pengadilan pada bulan September 2012, padahal kasus tindak pidana korupsi proyek
pembangunan jalan lintas timur tersebut di mulai sejak Tahun 2009.
Perbedaan yang timpang dalam penyelesaian kedua kasus korupsi tersebut
membuat Kejaksaan seakan tidak serius dalam menangani setiap kasus korupsi yang
masuk ke tubuh instansi Kejaksaan, khususnya Kejaksaan Tinggi Lampung,
sehingga menyebabkan berlarutnya penyelesaian kasus korupsi yang ada. Hal
tersebut tentu saja menyebabkan adanya penumpukan kasus, yang pada akhirnya
berujung pada di “peti es”kannya sebagian kasus yang tidak dapat diselesaikan
secara maksimal. Seharusnya, dengan adanya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi, hal tersebut dapat di minimalisir. Pada Inpres
Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Kepala
Negara dan Kepala Pemerintahan Negara Republik Indonesia menginstruksikan
kepada jajaran dibawahnya, termasuk Instansi Kejaksaan, agar mempercepat
penanganan perkara-perkara korupsi yang terjadi di Indonesia dengan membangun
kerjasama yang terkait dengan seluruh instansi yang tergabung dalam Kabinet
Indonesia Bersatu dalam penanganan dan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi.
Selain itu Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 juga mengamanatkan bahwa penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan sidang pegadilan terhadap tindak pidana korupsi harus didahulukan dari
perkara lain guna penyelesaian secepatnya, hal ini seharusnya menjadi dasar yang
kuat bagi Kejaksaan untuk segera menangani perkara korupsi yang masuk ke
Kejaksaan. Kedua dasar hukum tersebut merupakan landasan yang kuat bagi
Kejaksaan untuk mengoptimalkan kinerjanya demi menegakkan hukum yang ada di
Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertanyaan penelitian yang akan dikaji
adalah: (1) Apa kendala dalam penyelesaian proses penyidikan pemberantasan tindak
pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak
pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-
2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; (2) Bagaimana upaya percepatan
proses penyidikan pemberantasan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan
jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian
solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
II. Pembahasan
A. Gambaran Umum Kasus Korupsi
1. Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pembelian Solar di Lingkungan PDAM Tahun
2010-2011
Kasus dugaan korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun
2010-2011 ini bermula dari temuan Kejaksaan Tinggi Lampung yang dilaporkan
pada tanggal 10 Mei 2012 oleh Ferly Sarkowi, S.H., selaku Kasi Intelijen Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung.
Atas adanya laporan tersebut, Kejaksaan Negeri Lampung mengeluarkan Surat
Perintah Penyidikan Nomor: PRINT- DIK-01/N.8.10/Fd.1/05/2012 yang
memerintahkan kepada Teguh Hariyanto, S.H, Elis Mustika, S.H., Eka Aftarini, S.H.
M.H, M. Fachrudin Syuralaga, S.H. M.H, Anton Salahudin, S.H., Taufiq Ibnugroho,
S.H., Z.M. Yeni, S.H, dan Irfansyah, S.H selaku penyidik pada Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung untuk melaksanakan penyidikan terhadap adanya dugaan Tindak
Pidana Korupsi dalam pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun
Anggaran 2010 dan 2011.
Adapun mekanisme pembelian solar berdasarkan Peraturan direksi Nomor
KU/1580/PDAM/1/VI 2007 dan Perubahan Kedua Peraturan Direksi Nomor
KU/2418/ PDAM /03/VIII/2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa di Lingkungan PDAM Way Rilau Kota
Bandar Lampung sebagai berikut:
a. Bagian yang membutuhkan (Bagian Produksi) membuat Permintaan Pembelian
(PP) ditujukan ke Bagian Umum.
b. Bagian Umum membuat Daftar Permintaan Barang (DPB) untuk selanjutnya
diserahkan kepada Direksi untuk mendapatkan persetujuan pembelian dari Direksi
selanjutnya dikembalikan lagi kebagian Kabag Pembelian
c. Bagian pembelian membuatkan order pembelian dalam blanko Order pembelian
yang ditujukan kepada ; pertama kebagian keuangan lalu pada bagian keuangan
diberikan informasi anggaran apakah dana tersebut ada atau tidak berdasarkan
pengumuman yang diperoleh dari Pertamina berapa jumlahnya, biasa nya bagian
pembelian melampirkan harga solar dari Pertamina, karena harga solar selalu
berubah-ubah maka bagian keuangan minta dilampirkan harga solar dari
pertamina.
d. Kepala Bagian umum membuat permintaan UMK (uang Muka Kerja) dengan
persetujuan Direksi Umum dan Direktur Utama dengan melampirkan:
- PP (Permintaan Pembelian).
- DPB (Daftar Permintaan Barang).
- Informasi Anggaran.
- Harga jual dari Pertamina untuk harga solar.
e. Setelah UMK (Uang Muka Kerja) ditanda tangani oleh Direksi lalu diserahkan
kebagian Pembelian selanjutnya bagian pembelian mengambil uang ke Bendahara
dan bendahara mengeluarkan cek atau uang tunai untuk pembelian solar kepada
Bagian Pembelian.
f. Selanjutnya Blanko order beserta infomasi anggaran yang telah diparaf oleh
Kabag Keuangan dibawa oleh bagian keuangan ke Direksi (direktur umum dan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
direktur Utama) lalu oleh Direktur Umum diberikan paraf di blangko Order dan
menyetujui Direktur Utama dengan ditandatangani olehnya
g. Setelah dilakukan pembelian solar bagian umum membuat pertanggungjawaban
berupa pembuatan voucher pembayaran atas solar dengan melengkapi:
- Order pembelian.
- Laporan penerimaan barang.
- Tanda terima barang dan dilengkapi dengan syarat-syarat sebelumya.
h. Setelah lengkap semua berkas dibukukan kebagian akuntansi kemudian bagian
akutansi memberikan paraf lalu berkas diserahkan kepada Kabag Keuangan dan
dengan ditandatangani Voucher tersebut sebagai mengetahui bahwa kelengkapan
voucher sudah cukup, lalu setelah ditandatangani dan disetujui oleh Direksi
kemudian berkas diberikan ke bendahara untuk pertanggungjawaban.
Bahwa tugas dan wewenang terdakwa selaku Kasubag pembelian
dilingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berdasarkan Peraturan
Walikota Bandar Lampung No.76 tahun 2008 tentang struktur organisasi PDAM
Way Rilau Kota Bandar Lampung antara lain:
1) Membantu Kepala Bagian Umum pada Bidangnya.
2) Melaksanakan pembelian kebutuhan oprasional Perusahaan sesuai permintaan
bagian di lingkungan PDAM Way Rilau.
3) Menyerahkan barang barang yang diminta kepada unit pemakai.
4) Menerima/ membuat tanda terima barang.
5) Membuat Laporan bulanan.
6) Melaksanakan tugas tugas yang diberikan oleh Kabag Umum
Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Tim Penyidik Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, ditemukan penyimpangan dalam proyek Kasus dugaan
korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM tersebut, baik pada tahun
2010 dan tahun 2011 dengan membuat pertanggungjawaban fiktif pembelian solar di
kantor PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan menggunakan harga
industri dengan data sebagai berikut:
Tabel 1. Pembelian Solar Tahun 2010 Berdasarkan Tanda Terima Voucer.
No
Urut
No.
Voucer
Pembelian
No.
Voucer
Ongkos
Angkut
Tanggal
Voucer
Jumlah
Liter
Harga Beli Ongkos
Angkut
Jumlah
Pembayaran
1 2 3 4 5 6 7 8 = 6+7
1 291 292 12/04/2010 15.000 97,277,895 1,350.000 98,627,895
2 439 440 27/05/2010 10.000 70,390.000 900.000 71.290.000
3 664 665 23/07/2010 10.000 65.030.000 900.000 65.930.000
4 800 801 30/08/2010 20.000 130.620.000 1.800.000 132.420.000
5 1161 1162 29/11/2010 15.000 102.540.000 1.350.000 103.890.000
70.000 465.857.895 6.300.000 472.157.895
Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Tabel 2. Pembelian Solar Tahun 2011 Berdasarkan Tanda Terima Voucer.
No
Urut
No.
Voucer
No. Voucer
Ongkos
Angkut
Tanggal
Voucer
Jumlah
Liter
Harga Beli Ongkos
Angkut
Jumlah
Pembayaran
1 2 3 4 5 6 7 8 = 6+7
1 69 70 1/2/2011 15.000 119.685.000 1.350.000 121.035.000
2 217 218 16/3/2011 15.000 128.385.000 1.350.000 129.735.000
3 424 425 30/05/2011 15.000 146.730.000 1.350.000 148.080.000
4 592 593 19/07/2011 10.000 89.200.000 900.000 90.100.000
5 763 764 24/08/2011 10.000 89.930.000 900.000 89.830.000
6 943 944 28/10/2011 12.000 107.232.000 1.080.000 108.312.000
7 957 958 1/11/2011 43.000 384.248.000 3.870.000 388.118.000
8 1179 1180 23/12/2011 10.000 80.600.000 900.000 81.500.000
130.000 1.145.010.000 11.700.000 1.156.710.000
Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
Total pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 yaitu Rp 472.157.895 + Rp
1.156.710.000 = Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar enam ratus dua puluh delapan juta
delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus Sembilan puluh lima rupiah). Padahal
terdakwa dalam melakukan pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 sebanyak 200.000
liter tersebut menggunakan harga subsidi sebesar Rp 1.020.000.000,00 (satu milyar dua
puluh juta rupiah) bukan dengan harga industri sebesar Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar
enam ratus dua puluh delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus
Sembilan puluh lima rupiah).
Bahwa terdakwa disamping telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan
melakukan pembelian solar yang seharusnya menggunakan harga industri tetapi
menggunakan harga subsidi, juga tidak diperbolehkan melakukan pembelian di SPBU
Lempasing sesuai Peraturan Presiden RI No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga Jual eceran bahan bakar minyak
dalam negeri, lampiran II terkait Penetapan Titik serah dan tata cara pembayaran BBM.
Titik serah (custody transfer point) bensin, premium dan minyak solar (gas oil) untuk
industri, pertambangan, pembangkit listrik dan konsumen lainnya dilakukan melalui
terminal transit/instalasi/depot. Mengingat PDAM Way RILAU Kota Bandar Lampung
termasuk kedalam Rumah tangga produksi sehingga pembelian solar harus dilakukan di
pertamina atau perusahaan yang ditunjuk bukan SPBU.
Bahwa perbuatan terdakwa yang dilakukan secara melawan hukum tersebut di atas
telah memperkaya diri terdakwa dari hasil selisih harga pembayaran solar sebesar Rp.
608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan
ratus sembilan lima rupiah) yang antara lain uang tersebut dipergunakan oleh terdakwa
untuk kepentingan pribadi.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp.
608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan
ratus sembilan lima rupiah) sesuai dengan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Keuangan Negara oleh BPKP Propinsi Lampung Nomor : SR-2591/PW08/5/2012
tanggal 24 Agustus 2012 atau sekitar jumlah tersebut.
Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tersebut, Penyidik dari Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung melakukan penyidikan dengan memeriksa saksi dan ahli sebanyak 15
orang dengan kesimpulan bahwa tersangka telah memenuhi unsur melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 jo Pasal 18
Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-
undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 64 ayat
(1) KUHP.
2. Kasus Dugaan Korupsi Proyek Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun
2009 Di Kota Bandar Lampung
Dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009 ini
bermula dari laporan hasil audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan Perwakilan (BPKP) Propinsi Lampung menemukan adanya
penyimpangan dalam pengerjaan Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009
sampai saat ini belum dapat diselesaikan.
B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Kejari Bandar Lampung Dalam Penanganan
Kasus Korupsi
Kejaksaan bukanlah sebuah lembaga yang menjalankan segala sesuatunya
tanpa hambatan dan permasalahan, seringkali pada praktiknya, permasalahan yang
dihadapi Kejaksaan dalam penanganan perkara, khususnya perkara – perkara tindak
pidana khusus terlalu komplek dan meluas, yang seringkali berdampak pada berlarut
– larutnya penangan kasus yang masuk ke tubuh Kejaksaan itu sendiri. Permasalahan
– permasalahan tersebut tidak hanya timbul dari dalam instansi Kejaksaan sendiri,
akan tetapi seringkali permasalahan – permasalahan dan hambatan – hambatan dalam
penanganan perkara juga timbul dari luar instansi Kejaksaan dalam hubungannya
dengan kerjasama antar instansi pemerintah lainnya.
Penanganan kasus dugaan korupsi Proyek pembangunan jalan lintas timur,
yang dilakukan penyidik Kejati Lampung, termasuk pada golongan kasus yang
penanganannya lambat,karena untuk menyelesaikan penyidikan kasus tersebut,
penyidik dari Kejaksaan Tinggi Lampung memerlukan waktu hingga sekitar 3 tahun,
waktu yang tidak sebentar yang berkesan berlarut-larut.
Dalam perjalanan penanganan kasus tersebut, ternyata Kejaksaan Tinggi
Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya
penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor
internal yang ada di dalam Kejaksaan itu sendiri maupun faktor eksternal:
1. Faktor Internal
a. Kemampuan penyidik yang tidak memahami bagaimana cara menangani kasus
Tindak Pidana Korupsi yang tepat dan tuntas;
b. Adanya mutasi Penyidik yang menangani perkara tersebut;
c. Kesibukan penyidik dalam menangani perkara lain, yang pada saat itu, penyidik
yang sama juga bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum dalam perkara
tindak pidana umum;
d. Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak
terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam
menyelesaikan berkas perkara.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pada dasarnya penahanan tersangka pada proses penyidikan berpengaruh besar
pada terselesaikannya penyidikan kasus yang sedang ditangani, karena dengan
adanya penahanan tersebut, penyidik terikat untuk segera melesaikan berkas
perkara sebelum masa penahanan berakhir. Jika masa penahanan sudah habis
dan berkas penyidikan belum selesai, maka jaksa penyidik tersebut akan
dikenakan sanksi administrasi seperti dipindah tugaskan ke daerah lain ataupun
sanksi administrasi lainnya, akan tetapi bukan berarti seluruh tersangka yang
sedang dilakukan penyidikan harus ditahan, karena penyidik juga dibatasi oleh
unsur objektif dan subjektif penahanan yang harus dipenuhi sesuai peraturan
perundang – undangan yang berlaku agar penyidik tidak dinilai sewenang –
wenang dalam menjalankan tugasnya.
Perbedaan penyelesaian penyidikan yang berkaitan dengan penahanan tersangka
ini akan terlihat pada perbandingan kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan
Jalan Lintas Timur ini dengan kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar.
Pada kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar ini, tersangka Haris
Munandar ditahan oleh penyidik selama 20 hari dengan perpanjangan selama 40
hari, dan penyelesaian berkas perkara pun tepat pada saat masa penahanan
tersangka tersebut selesai.
2. Faktor Eksternal:
a. Masih ketergantungan instansi lain dalam menentukan perhitungan kerugian
Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas
Pembangunan (BPKP).
b. Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik
memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui
keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap
anggota DPRRI / DPDRI dan DPRD.
Ijin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat
penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat.
C. Upaya Percepatan Proses Penyidikan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Oleh Kejari Bandar Lampung
Upaya untuk memecahkan persoalan hukum atau penyelesaian hukum yang
berkaitan dengan korupsi antara lain adalah:
1. Berdasarkan sisi struktur yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-
organ yang menyelenggarakan sehingga dapat meminimalisasikan terjadinya
korupsi.
2. Substansi yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan
dan ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam
sistem hukum tersebut.
3. Budaya hukum, yaitu merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana
masyarakat menganggap ketentuan sebagai aturan hukum, sehingga masyarakat
akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Persoalan
hukum adalah budaya hukum yang berkaitan erat dengan etika dan moral
masyarakat dan pejabat penegak hukum dalam menyikapi korupsi.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
4. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara
tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas dan
auditor Swasta.
5. Perlu dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik di setiap Kejaksaan Negeri untuk
menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi
Penanganan perkara korupsi berbeda dengan penanganan perkara pidana
biasa, hal ini dikarenakan tindak perkara korupsi memiliki dimensi perekonomian,
oleh karena itu proses perkara korupsi tidak saja ditujukan untuk menghukum
pelakunya, tetapi yang paling penting justru mengembalikan kerugian negara akibat
korupsi tersebut, walaupun pengembalian keuangan negara merupakan bentuk
penghukuman tambahan juga. Dengan demikian penindakan korupsi yang diawali
dengan penyelidikan, penyidikan harus sedini mungkin melakukan identifikasi dan
pencarian aset tersangka, guna dilakukan penyitaan dalam upaya untuk mendapat
jaminan dikembalikannya kerugian negara. Kejaksaan sebagai sentral penegakan
hukum yang diberikan kewenangan penyidikan, penuntutan atau eksekusi atas tindak
pidana korupsi, telah diperintahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004
Tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Inpres tersebut
diinstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung, untuk:
1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh Jaksa (penuntut umum) dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain
dengan BPKP, PPATK dan Institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan
hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Untuk mencapai kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan rencana
tindak (action plan) dalam memberantas korupsi, selanjutnya Inpres tersebut
ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK)
tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, khususnya dalam bidang penindakan.
Dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi
Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun tidak secara tegas bagaimana upaya
upaya mengoptimalkan tersebut, mengingat tidak ada satupun aturan sebagai payung
hukum untuk melakukan terobosan hukum guna mempercepat proses Penyidikan
maupun Penuntutan dalam mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2004
tersebut.
Meskipun Inpres No.5 tahun 2004 telah diberikan secara khusus kepada Jaksa
Agung tetapi kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan Inpres tersebut
masih sangat tinggi, mengingat masih adanya beberapa peraturan dalam tahap
Penyidikan masih terlebih dahulu harus ada ijin dari instansi lain seperti untuk
memeriksa Simpanan tersangka harus ada ijin dari Gubernur Bank Indonesia,
demikian juga untuk memeriksa anggota Dewan baik ditingkat Kabupaten/Kota,
Propinsi maupun Pusat harus memerlukan ijin terlebih dahulu. Belum halnya dalam
hal melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara harus memerlukan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
perhgitungan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan.
Untuk mengoptimalkan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan.
Dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai
dilaksanakan, namun sebaiknya dapat dilakukan secara cepat dengan mengacu
kepada Azas yang mengatur perlindungan terhadap seluruh harkat dan martabat
manusia yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana antara lain yaitu harus
dilakukan dengan Cepat, Sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur. Namun
sebaiknya didalam penyelesaian dapat mengacu kepada waktu penahanan
tersangka dalam tahap Penyidikan harus sudah dapat diselesaikan paling lambat
selama 120 (seratus dua puluh) hari sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24
KUHAPdan Pasal 29 KUHAP.
2. Tersangka Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan Penahanan.
Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara
tindak pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan, karena
dengan dilakukan penahanan terhadap tersangka maka Penyidik terikat dengan
batas waktu Penahanan seperti yang tercantum didalam pasal 24 dan 29 KUHAP
selama paling lama 120 (seratus dua puluh hari) apabila tidak maka tersangka
akan lepas demi hukum dan konsekuensinya Penyidik akan mendapat sanksi
secara administratif dan akan mempengaruhi kariernya. Apabila dalam proses
Penyidikan tersangka tidak dilakukan penahanan maka Penyidik secara moral
tidak di batasi waktu, sehingga penyelesaiannya akan berlarut-larut.
3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.
Salah satu unsur dalam perkara tindak pidana korupsi adalah “Merugikan
Keuangan Negara“ maka untuk dapat menentukan apakah perbuatan tersebut
merugikan keuangan negara atau tidak masih tergantung instansi lain yaitu dari
hasil Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pelaksanaan dari hasil audit BPK maupun
BPKP tersebut memerlukan waktu yang lama sehingga sangat mempengaruhi
penyelesaian penanganan tindak pidana koropsi dalam tahap penyidikan.
Disisi lain untuk mempercepat penanganannya Penyidik melakukan penghitungan
sendiri jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersebut, hal tersebut
dilakukan karena dianggap perkara tersebut mudah pembuktiannya dari segi
kerugian keuangan negara dan tidak perlu penghitungan dari Audit BPK maupun
BPKP, tetapi apabila ditinjau dari segi pembuktian maka dapat mengurangi satu
alat Bukti dalam pembuktian di persidangan yaitu alat bukti beryupa AHLI karena
penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh Penyidik tidak termasuk alat
bukti keterangan Ahli. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan upaya penyidikan
perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Inpres No.5 tahun 2004 tersebut
sangat diperlukan koordinasi antara penyidik dengan Auditor dalam hal ini BPK
maupun BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan atau dengan
melakukan suatu terobosan birokrasi dengan membuat satuan tugas yg merupakan
satu atap.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
4. Kesulitan pencarian alat Bukti.
Pencarian alat bukti berupa Surat maupun Petunjuk berupa Dukumen sebagai
Barang Bukti sering terdapat kendala mengingat Subyek Hukum “setiap orang“
dalam perkara tidak pidana korupsi adalah orang yang mempunyai pengaruh atau
Jabatan dan orang intelektual sehingga bagaimanapun orang yang disangka
melakukan perbuatan tersebut berusaha untuk menghilangkan barang bukti atau
menggagalkan penyidik untuk mendapatkan Barang bukti yg ada hunbungannya
dengan tindak pidana korupsi. Untuk menyikapi hal tersebut penyidik dalam
pencarian alat bukti agar bergerak lebih cepat dengan koordinasi dengan instansi
yang terkait dengan dokumen yang diperlukan.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya, penulis
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Penanganan kasus dugaan korupsi yang dilakukan penyidik Kejaksaan Negeri
Bandar Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya
penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal sebagai berikut:
a. Faktor Internal:
1) Kemampuan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang tidak
memahami bagaimana cara menangani kasus Tindak Pidana Korupsi yang tepat
dan tuntas.
2) Adanya mutasi Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang
menangani perkara tersebut.
3) Kesibukan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam menangani
perkara lain, yang pada saat itu, penyidik yang sama juga bertindak sebagai
penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum.
4) Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak
terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam
menyelesaikan berkas perkara.
b. Faktor Eksternal:
1) Masih ketergantungan terhadap instansi lain dalam menentukan perhitungan
kerugian Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas
Pembangunan (BPKP).
2) Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik
memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui
keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap
anggota DPRRI/DPDRI dan DPRD.
3) Izin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat
penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan
cepat.
2. Upaya untuk memecahkan persoalan hukum yang berkaitan dengan percepatan
penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dapat
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
a. Pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif
sebagai landasan untuk mempercepat penyidikan tindak pidana korupsi tersebut
perlu diperkuat didalam sistem hukum di Indonesia.
b. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara
tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas atau
auditor swasta.
c. Perlunya dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar
Lampung untuk menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.
d. Perlunya Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan,
karena dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai
dilaksanakan.
e. Melakukan Penahanan Terhadap Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Salah satu
langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara tindak
pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan.
Dalam pencarian alat bukti, penyidik harus bergerak lebih cepat dan berkoordinasi
dengan instansi yang terkait dengan dokumen yang diperlukan.
Daftar Pustaka
Buku
Alam, Wawan Tunggul. 2004. Memahami Profesi Hukum. Milenia Populer: Jakarta.
Anwary. 2005. Quo Vadis Pemberantasan Korupsi. Amra: Jakarta.
Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di
Indonesia. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan HAM RI: Jakarta.
----------. 2010. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama: Bandung.
Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
----------. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta.
Hartanti, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta.
Hasibuan, H. P. Malayu. 2001. Manajeman: Dasar Pengertian dan Masalah. Bumi
Aksara: Jakarta.
K, Soekarno. 1968. Dasar – Dasar Management. Miswar: Jakarta.
Krisnawati, Dani, et all. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Pena: Jakarta.
Lopa, Baharudin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Kompas: Jakarta.
Marpaung, Leden. 2004. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan.
Djambatan: Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum. Liberty: Yogyakarta
Moelyatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana edisi Revisi. Rineka cipta: Jakarta.
Moeljatno, L.1982. Kriminologi. Bina Aksara: Jakarta.
Rachman, T.A. Doktrin Kejaksaan. Buku Pedoman Pendidikan Pembentukan Jaksa.
Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Sarwoto. 1981. Dasar – Dasar Organisasi dan Manajemen. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Siagian. 1970. Filsafat Administrasi. Gunung Agung: Jakarta.
Sujamto. 1986. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen, Raja
Grafindo: Jakarta.
Makalah
Chanifuddin. “ Lemahnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Karya Tulis Diklat
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jakarta.
Hiariej, Eddy O.S. 2008. Nuansa “korupsi” Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006,
dalam buku Menyelamatkan Uang Rakyat (Kajian Akademik Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006). Pukat Korupsi FH UGM: Yogyakarta.
Internet
Adhani, Rachmat. “Survey Internasional: Indonesia Masih Paling Korup”. Global Future
Institude. www.theglobal-review.com. 18 November 2010.
Alamsyah, Holid. “Kejahatan dan Pelanggaran dalam KUHP”. Blogspot. www. Holid-
emkaen.blogspot.com. 10 Desember 2011.
Nusantaraku. “Memalukan.. Indonesia Negara Terkorup Asia Tenggara”. Nusantara
News. www. nusantaranews.wordpress.com. 18 November 2010.
Saleh, Abdul Rahman. “Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan
Nasional”. Komisi Hukum Nasional. www. Komisihukum.go.id. 14 Januari 2011.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Kabupaten/Kota
Sebagai Bentuk Penegakan Hukum Preventif oleh Pemerintah
__________________________________________________________________
Nurmayani
A. Pendahuluan
Penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten
dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk
menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan
kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan
kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan
demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada
Undang-Undang.27
Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan
dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan
pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi
tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk
membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang
dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada
Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat
membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi. Dalam
kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan
secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada
Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang
telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena
Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar
ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah
dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu
dari Pemerintah.28
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah telah mengantisipasi tidak efektifnya pengawasan perda tersebut. Berdasarkan
27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 28 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pasal 159 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat dikenai sanksi berupa
penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau
restitusi jika tidak menaati mekanisme pengawasan perda pajak daerah yang telah
diatur dalam UU No 28 Tahun 2009.
Pengawasan terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh
pemerintah daerah pada dasarnya merupakan bentuk dari penegakan hukum yang
sifatnya preventif dalam penaatan peraturan perundang-undangan dibidang pajak
daerah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, akan dibahas lebih
lanjut mengenai pengawasan dan pembatalan perda mengenai pajak daerah sebagai
bentuk penegakan hukum preventif yang dilakukan pemerintah.
B. Pengaturan Pajak Daerah Dalam Peraturan Daerah
Menurut P.J.A Adriani, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,29 sedangkan
menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan
undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal
(kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat
dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan;
terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti
halnya dengan retribusi.30
Mardiasmo memberikan definisi pajak beserta persyaratan pemungutannya.
Pajak merupakan iuran masyarakat yang sifatnya dipaksakan, maka agar dalam
pemungutannya tidak mengalami hambatan atau perlawanan dari masyarakat maka
harus memenuhi syarat sebagai berikut:31
1. Pemungutan pajak harus adil.
2. Pemungutan pajak harus bersarkan hukum.
3. Pemungutan pajak harus tidak mengganggu perekonomian.
4. Pemungutan pajak harus efisien.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pajak
terbagi menjadi pajak yang di pungut oleh pemerintah dan pajak yang dipungut oleh
29 R. Santoso Brotodihardjo, SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama, Bandung. Cet
Pertama Edisi Keempat, 2003, hlm 2. 30 Ibid, Santoso Brotodihardjo, hlm 6. 31 Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003. hlm 21.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pemerintah daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah,
pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni:
1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi.
2. Pajak Daerah yang dipungut oleh kabupaten /kota.
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang didefinisikan Pasal 1 angka
10 UU No. 28 Tahun 2002. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
Secara lebih spesifik perpajakan daerah diartikan oleh K. J. Davey, yaitu:32
1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintahan Daerah dengan pengaturan dari daerah
sendiri.
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya
dlakukan oleh Pemerintahan Daerah.
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil
pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan
tambahan (opsen) oleh Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009, dibedakan jenis pajak daerah
yang dipungut oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pembedaan itu adalah sebagai
berikut:
1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
32 Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1988, hlm 39.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan
peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah
daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
daerah.33 Pemungutan pajak daerah terhadap masyarakat wajib memiliki dasar hukum
yang kuat berupa peraturan daerah.
Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-
undangan34 yang ada di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 12 Tahun 2011
merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011,
hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia yaitu:35
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam:36
a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun
1945 yang isinya: “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan
Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”.
33 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005, hlm
10. 34 Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. 35 Ibid, Pasal 7 Ayat (1). 36 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, 2011,
hlm 12.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang
masing-masing ketentuannya sebagai berikut:
1) Pasal 25 huruf c: ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
2) Pasal 42 ayat (1) huruf a: ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang
membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk
mendapatkan persetujuan bersama”.
3) Pasal 136 ayat (1): ”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Pajak daerah wajib diatur dengan peraturan daerah agar memperoleh legitimasi
hukum dalam pemungutannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UU No. 28
Tahun 2009 yang menegaskan bahwa pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan
tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan
mengenai:
1. nama, objek, dan Subjek Pajak;
2. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
3. wilayah pemungutan;
4. masa Pajak;
5. penetapan;
6. tata cara pembayaran dan penagihan;
7. kedaluwarsa;
8. sanksi administratif; dan
9. tanggal mulai berlakunya.
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
1. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas
pokok pajak dan/atau sanksinya;
2. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
3. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan
pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan
kelaziman internasional.
C. Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Sebagai Bentuk
Penegakan Hukum Preventif Yang Dilakukan Pemerintah
Secara substantif, pembentukan perda pajak daerah dan retribusi daerah tidak
lepas dari aspek pengawasan. Pengawasan (toezicht, supervision) Perda merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan otonomi. Antara kebebasan dan
kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain, merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi
(desentralisasi). Pengawasan ini merupakan kendali terhadap desentralisasi yang
berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa pengawasan. Selain itu pengawasan adalah
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri, bukan hubungan
internal dari intitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata
menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya
dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang.
Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan
atau berdasarkan undang-undang.37
Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonom yaitu
pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief
toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu
organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang
mengesahkan (goedkeuring), sedangkan pengawasan represif adalah wewenang
pembatalan (vernietiging) atau penangguhan (schorsing).38 Konteks pengawasan
kaitannya dengan perda pajak daerah juga terbagi menjadi preventif dan represif.
Pengawasan yang sifatnya preventif berkenaan dengan pengawasan rancangan
peraturan daerah tentang pajak daerah, sedangkan pengawasan yang sifatnya represif
berkaitan dengan pengawasan peraturan daerah mengenai pajak daerah setelah
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan berlaku bagi masyarakat.
Pengawasan terhadap perda pajak yang telah berlaku oleh pemerintah
merupakan bentuk penegakan hukum yang bersifat preventif. Menurut Jimly,39
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam
pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum
(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen
budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang
tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance)
aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,
kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun
kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap,
keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam
perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang
disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak
hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang
37 Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU Otonomi Daerah,
2005, hlm 28. 38 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.
Jogjakarta. 2001. 39 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
menjadi objek kajian peneliti.40 Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan
hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu
sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan
ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya
sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 41
Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam
upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian
sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan.42
Upaya pemenuhan peraturan dan pemberian sanksi tersebut pada dasarnya merupakan
esensi dari penegakan hukum. Upaya preventif dalam rangka pemenuhan peraturan
dapat dilakukan melalui pengawasan dan pembinaan oleh pejabat administrasi negara
(aspek hukum administrasi), sedangkan upaya represif dilakukan melalui pemberian
sanksi atau jalur pengadilan. Pada pengawasan pajak daerah, pemerintah melakukan
penegakan hukum yang sifatnya preventif untuk pemenuhan peraturan, dalam hal ini
ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pajak daerah.
Pengaturan pengawasan terhadap perda pajak daerah diatur dalam UU No. 28
Tahun 2009. Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu
preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda
pajak daerah yang mekanismenya diatur dalam Pasal 157 UU No. 28 Tahun 2009
yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan
Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai
dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda.
Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam
bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mekanismenya diatur dalam
diatur dalam Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009. Baik pengawasan terhadap perda
yang sifatnya preventif maupun represif merupakan bentuk dari penegakan hukum
preventif sepanjang tidak berlanjut ke badan peradilan.
Pengawasan represif terhadap Perda pajak daerah kabupaten/kota (dapat dilihat
pada ragaan 1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:43
1. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah ditetapkan.
40 Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7.
Dalam Turiman Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah,
hlm 2. 41 Ibid, hlm 1. 42 Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila,
2011, hlm 34. 43 Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
2. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan
merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri.
3. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri
Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya Peraturan Daerah.
4. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah
dimaksud kepada Presiden.
5. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden
paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah.44
6. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah
harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD
bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.
7. Prosedur lanjutan dari ragaan di atas, jika kabupaten/kota tidak dapat menerima
keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan
Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ragaan 1. Mekanisme Pengawasan Represif Terhadap Perda Pajak Daerah
Kabupaten/Kota Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009.
44 Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan
Daerah dimaksud dinyatakan berlaku, Ibid.
Bupati/Walikota
Perda Pajak
Mendagri Menkeu
Presiden
Dibatalkan
Diterima
Perpres
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
8. Dari mekanisme pembentukan dan pengawasan represif terhadap perda pajak
daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat sanksi berupa penundaan atau
pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi
terhadap daerah,45 apabila daerah melanggar ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang
Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan
DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan, kepada gubernur dan Menteri
Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
b. Tidak menyampaikan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh
bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.
c. Tidak memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah PDRD paling lama 7
(tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan perda PDRD dikeluarkan dan
selanjutnya tidak mencabut perda dimaksud.
D. Penutup
Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu preventif
dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda pajak daerah
yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan
Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai
dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda.
Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam
bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan dan pembatalan
terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang diatur dalam UU No. 28 Tahun
2009 merupakan bentuk penegakan hukum preventif oleh pemerintah sepanjang tidak
berlanjut ke badan peradilan, karena jika pemerintah daerah menggunakan haknya
untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas peraturan presiden yang
menetapkan pembatalan perda maka hal itu masuk kedalam penegakan hukum yang
sifatnya represif.
E. Daftar Pustaka
Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis,
Penerbit Unila, 2011.
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum UII. Jogjakarta. 2001.
Brotodihardjo, R. Santoso SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama,
Bandung. Cet Pertama Edisi Keempat, 2003.
Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
1988.
Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan
Daerah, 2011.
45 Ibid, Pasal 159.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.
1977.
Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003.
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 2005.
Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan,
Makalah.
Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU
Otonomi Daerah, 2005.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Mendirikan Bangunan Gedung
Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum
__________________________________________________________________
Upik Hamidah
A. Pendahuluan
Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan
produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan
gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta
penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang
fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.46
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh
karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan
penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap
bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan
gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.47
Setiap orang mendambakan bangunan gedung sebagai tempat tinggal/tempat
usaha yang aman, tidak terganggu atau rusak oleh oleh peristiwa alam seperti banjir,
gempa bumi, bahaya kebakaran, sehat dan nyaman untuk dihuni serta memenuhi
fungsi sebagai tempat kegiatan. Demikian juga mempunyai hak
kepemilikan/penggunaan yang sah dari aspek kepastian hukumnya. Dimana bangunan
gedung merupakan bagian dari lingkungan maka diharapkan keberadaannya tidak
merusak lingkungannya, lokasinya sesuai dengan tata ruang yang ditetapkan, tertib,
teratur serta memberikan kontribusi keindahan dan harmonis terhadap lingkungannya.
Untuk mendukung pemenuhan fungsi bangunan gedung tersebut, pendirian bangunan
gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
a. persyaratan status hak atas tanah,
b. status kepemilikan bangunan gedung, dan
c. izin mendirikan bangunan.
Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi:
46 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 47 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
a. persyaratan tata bangunan, dan
b. persyaratan keandalan bangunan gedung.
Penetapan status hak atas tanah sebagai persyaratan administratif dalam
pendirian bangunan gedung merupakan sebuah upaya penegakan hukum yang bersifat
preventif dan bertujuan penting untuk mencegah timbulnya persoalan hukum
dikemudian hari setelah bangunan gedung tersebut didirikan. Status hak atas tanah
yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan
tanah merupakan bentuk kepastian hukum atas kepemilikan tanah yang akan
dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan gedung.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, akan dibahas lebih lanjut
mengenai Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung
Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum.
B. Hak Atas Tanah dan Bangunan Gedung
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan
serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau
tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum
tanah.48 Dengan adanya hak atas tanah maka pemilik hak atas tanah memiliki
wewenang yang sekaligus dibebani kewajiban dan/atau larangan dalam kepemilikan
tanah tersebut. Hak atas tanah tersebut diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960.
Konstruksi hukum tanah nasional mengenal ada bermacam-macam hak
penguasaan atas tanah yang dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hierarki
sebagai berikut:49
a. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA);
b. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA);
c. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada (Pasal 3 UUPA);
d. Hak-hak Individual;
1) Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA):
a) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan
oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 16 UUPA);
b) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh
pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak
Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41 dan 55 UUPA).
2) Wakaf (Pasal 49 UUPA);
48 Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003, hlm 24. 49 Ibid, hlm 267.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
3) Hak Jaminan Atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).
Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan
hak atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas dapat menjadi pemenuhan
syarat dalam mendirikan bangunan gedung. Penjelasan macam-macam hak
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hak Milik50
Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial.
Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak
Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan
hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Kata-
kata “terkuat dan terpenuh” mempunyai maksud untuk membedakannya
dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya yaitu
untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki,
hak miliklah yang terkuat dan terpenuh.
b. Hak Guna Usaha51
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan
pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak guna usaha diberikan untuk jangka
waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang
hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.
c. Hak Guna Bangunan52
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Hak
Guna Bangunan diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat
diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan
50 Berasal dari bahasa Belanda Eigendom recht yang berarti hak atas benda, untuk menikmati benda itu
secara bebas dan menguasainya secara mutlak. Hak milik dibatasi oleh Undang-undang dan hak
kebendaan orang lain. Algra et all, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,
Binacipta, Bandung, 1983, hlm 114. 51 Berasal dari bahasa Belanda Erfpacht yang berarti hak kebendaan untuk selama waktu yang ditentukan
atau yang tidak ditentukan menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik
orang lain dengan kewajiban akan membayar sewa tahunan, bunga hak usaha baik berupa uang maupun
berupa hasil atau pendapatan. Ibid, hlm 122. 52 Berasal dari bahasa Belanda Opstal yang berarti hak kebendaan untuk mengerjakan atau mempunyai
gedung, bangunan atau tanaman di atas pekarangan orang lain, biasanya dengan pembayaran tahunan.
Ibid, hlm 369.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan
bangunannya.
d. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur
dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
e. Hak Sewa
Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewanya.
f. Hak Gadai Tanah
Hak gadai tanah adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah
uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai
hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang
besarnya sama.
g. Hak Usaha Bagi Hasil
Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk
menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa
hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah
disetujui sebelumnya.
h. Hak Sewa Tanah Pertanian
Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang
lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian
bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu
tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.
i. Hak Menumpang
Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain.
Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada pemilik
tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya
sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika yang bersangkutan
memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya
terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.
Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan hak
atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas berfungsi sebagai persyaratan dalam
mendirikan bangunan gedung. Artinya, dalam mendirikan bangunan gedung,
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
seseorang harus dapat membuktikan kepemilikan tanah yang akan menjadi lokasi
didirikannya bangunan gedung adalah miliknya atau yang bersangkutan telah
mendapat izin pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bangunan gedung menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002 adalah
wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,
sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan/atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun
kegiatan khusus lainnya.
Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan
budaya, serta fungsi khusus. Penjelasan dari masing-masing fungsi tersebut
berdasarkan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:
a. Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal,
rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.
b. Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan
kelenteng.
c. Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran,
perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan
penyimpanan.
d. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk
pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan
umum.
e. Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir,
instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh
menteri.
Bangunan gedung harus diselenggarakan dengan berlandaskan pada asas
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan
lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan
gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta
sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang
berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan
dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan
bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan
pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di
sekitarnya, di samping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan
dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan
tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan
gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan
bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
dengan lingkungan di sekitarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Penjelasan
Umum UU No. 28 Tahun 2002.
C. Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung
Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa UU No. 28 Tahun 2002
mensyaratkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan
administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002, setiap pendirian bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: 53
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah,
b. status kepemilikan bangunan gedung, dan
c. izin mendirikan bangunan gedung, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penjelasan dari ketentuan di atas adalah sebagai berikut:54
a. Hak atas tanah adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk
sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik,
hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan, dan hak
pakai. Status kepemilikan atas tanah dapat berupa sertifikat, girik, pethuk, akte
jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Izin pemanfaatan pada prinsipnya
merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
b. Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan
bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil
kegiatan pendataan bangunan gedung. Dalam hal terdapat pengalihan hak
kepemilikan bangunan gedung, pemilik yang baru wajib memenuhi ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini.
c. Izin mendirikan bangunan (IMB) adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah
bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang
telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah
disetujui oleh Pemerintah Daerah.
Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa tanah yang dapat didirikan
bangunan gedung adalah yang dilandasi alas hak sebagai berikut:
a. hak milik,
b. hak guna bangunan (HGB),
c. hak guna usaha (HGU),
d. hak pengelolaan, dan
e. hak pakai.
53 Persyaratan ini diatur juga dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 54 Penjelasan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Hak-hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah yang berupa
sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Bangunan
gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada prinsipnya
merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang
hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan
bangunan gedung pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya penegakan
hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan hukum
dikemudian hari.55 Jimly berpendapat bahwa,56 Penegakan hukum adalah proses
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum
itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia
menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya
itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum
tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan
sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,
aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.57
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya
menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,
penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam
menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula
digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.58
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai
keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri
55 Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam upaya pemenuhan peraturan
(compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi
perbuatan melanggar peraturan. Lihat Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif
Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011, hlm 34. 56 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1. 57 Ibid. 58 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau
dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang
berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna
pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan
mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,
digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara
hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah
‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.59
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan
hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan
pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada
gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para
pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat
dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus
dijalankan itu dibuat. 60 Kaitannya dengan pendirian bangunan gedung, pembentuk
UU No. 28 Tahun 2002 menginginkan bangunan gedung dapat diselenggarakan
dengan baik sesuai dengan syarat administratif dan teknisnya agar dapat memberikan
kepastian, kenyamanan, keselamatan sesuai dengan fungsinya.
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua,
faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses
pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.
Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.61
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh
dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses.
Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, terdapat tiga unsur utama yang terlibat dalam
59 Ibid. 60 Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hlm. 24-25. Dalam Turiman
Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah, hlm 3. 61 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto,
1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm.: 4-5.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga
legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Ketiga, unsur
lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.62 Penegakan hukum
preventif berupa ketentuan persyaratan hak atas tanah dalam mendirikan bangunan
gedung juga dapat terpengaruh oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan tersebut,
apabila dalam pelaksanaanya aparat hukum (pemda) dan/atau masyarakat melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
D. Penutup
Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan
bangunan gedung sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk upaya penegakan hukum preventif yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya persoalan hukum dikemudian hari. Tidak semua alas hak atas
tanah dapat dijadikan dasar dalam mendirikan bangunan gedung, hanya tanah yang
dilandasi alas hak tertentu sebagai berikut: hak milik, hak guna bangunan, hak guna
usaha, hak pengelolaan, dan hak pakai yang dapat didirikan bangunan gedung
diatasnya. Alas hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah
yang berupa sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan
lainnya. Bangunan gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada
prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.
F. Daftar Pustaka
Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis,
Penerbit Unila, 2011.
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003.
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983.
Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan,
Makalah.
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983.
Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4247.
62 Op cit, Satjipto Rahardjo, hlm 23.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4532.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Diversi dan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penanggulangan Delinkuensi Anak
Di Indonesia
________________________________________________________________________
Nikmah Rosidah
1. Latar Belakang
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Jumlah Anak Berhadapan
Hukum (ABH) sangat banyak di Indonesia. Data Ditjen Pemasyarakatan,
Kementerian Hukum dan HAM, menyebutkan, ada 78 ribu lebih anak laki-laki dan
perempuan yang tersebar menurut kasus dan wilayah propinsi. Umumnya terjadi di
wilayah dengan jumlah penduduk padat seperti Jawa dan Sumatera. Menurut Dirjen
Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM selama 2008 terdapat 4.301
narapidana dan tahanan anak, dengan rincian narapidana anak (2.282 anak) dan
tahanan anak (2.019 anak).63
Anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan dalam konstitusi
Indonesia bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh
dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab
itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi
kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan
kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak, bahwa anak perlu mendapat
perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus
globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah
membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh
terhadap nilai dan prilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan
melanggar hukum yang dilakukun oleh anak antara lain, disebabkan oleh faktor di
luar Anak tersebut. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan
Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child).
Perkembangan masyarakat yang bermula dari kehidupan agraris menuju
kehidupan industrial disertai gejala globalisasi, tampaknya berdampak terhadap
timbulnya gejala perilaku delinkuensi anak. Penyelesaian delinkuensi merupakan hal
yang rumit, berbeda bila tindak pidana yang sama dilakukan oleh orang dewasa
karena penegakan hukumnya tidak akan menimbulkan reaksi keras dari publik,
sepanjang dilaksanakan sesuai hukum acaranya.
Kurang lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap
tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka
tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan
demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak yang melakukan tindak
pidana dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun
2000 tercatat dalam statistik kriminal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
(Ditjenpas) terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak
pidana. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak didik daritahun ke tahun cenderung
bertambah. Pada tahun 2005 anak didik yang ditangani oleh Ditjenpas berjumlah
63 http://ditjenpas.go.id/pas2/article/article.php?id=152;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1.645 anak, pada tahun 2006 berjumlah 1.814 anak, padatahun 2007 berjumlah
2.149 anak, pada tahun 2008 berjumlah 2.726 anak, pada tahun 2009 berjumlah
2.536 anak yang menjadi tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga
pemasyarakatan di seluruh Indonesia.64 Kemudian pada tahun 2008 di provinsi Jawa
Timur tercatat anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak
pidana) tersebar di seluruh Rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan untuk
orang dewasa sebanyak 2.026.65 Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak
anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di
tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan
mengalami tindak kekerasan.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan dipengadilan
khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta
pejabat khusus yang memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan,
proses mengadili dan pembinaan. Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan,
meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung
merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan
ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma
(cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief,66 bahwa hukum
perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana
(kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.
Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana dari Komite Hak Anak PBB,
angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (reconviction
rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia
pelaku. Reconviction rate yang tertinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu mencapai 50
(lima puluh) persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi pidana penjara
dari pada pidana bukan penjara, hal ini dikarenakan tingginya jumlah anak yang
dipenjara kerena kejahatan ringan, dicampurnya tahanan anak bersama orang dewasa
dan batas yang terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Anak sangatlah rendah 8
(delapan) tahun, karena itu harus dinaikkan agar lebih rasional menjadi 12 (dua
belas) tahun sesuai dengan Beijing Rules.67
Pada tanggal 30 Juli 2012 Presiden Republik Indonesia mensahkan Undang-
Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai
perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya
disingkat UU SPPA). UU SPPA tersebut memuat ketentuan mengenai diversi dan
restorative justice, dimana tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 (tujuh) tahun
bisa didiversi atau diselesaikan diluar proses peradilan pidana serta mewajibkan
pendekatan keadilan restoratif dimana melibatkan pelaku (Anak yang Berhadapan
64 http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id =34&Itemid =45>,
diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul 20.00wib; 65 http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul 10.00 wib; 66 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
CV Ananta, Semarang, 1994 hal.20; 67 Lihat Pasal 1 angka (3). Ketentuan mengenai batas usia anak tersebut telah berganti yakni anak yang telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana,
seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
dengan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku dan pihak lain yang terkait
dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian masalah secara bersama-sama
tanpa mengedepankan pembalasan. Diversi juga wajib diupayakan disetiap proses
hukum oleh penegak hukum dengan dituangkan didalam kesepakatan diversi dan
pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum.
Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip nondiskriminasi
yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan
terhadap anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena
itu diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses
penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu
pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau biasa disebut
ide diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan
permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan
terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang mendorong ide
diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu solusi yang
sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh
karenanya, penulis akan membahas ketentuan diversi dan restorative justice yang
dimuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah yakni:
Bagaimana ketentuan diversi dan keadilan restoratif sebagai upaya penanggulangan
delinkuensi anak di Indonesia ?
3. Pembahasan
a. Diversi dalam Penanganan Anak Delinkuen
Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan
perlu segera diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Terdapat dua kategori
perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni
status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak
yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang
melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut,
membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan criminal offences adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan
atau anak yang melakukan tindak pidana.
Menurut Sudarto dalam Paulus Hadi Suprapto, penanggulangan delinkuensi
anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak
operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non
penal.68 Lebih lanjut, menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau
jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan
stigma pada anak. Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan
dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian,
proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan
68 Paulus Hadisuprapto. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak
Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 4;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat
memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan
hukum. Menurut Santi Kusumaningrum, berhadapan dengan hukum dan sistem
peradilan memiliki konsekuensi merugikan bagi anak dan masyarakat, diantaranya
adalah: pengalaman kekerasan dan perlakuan salah selama proses peradilan (pelaku,
korban atau saksi), stigmatisasi dan kemungkinan mengulangi perbuatan kriminalnya
tersebut.69
Pemerintah telah memiliki beberapa instrumen hukum yang mengatur masalah
delinkuensi anak, diantaranya adalah Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diganti oleh
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan
Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
UU SPPA ini mengatur ketentuan tentang keadilan restoratif dan diversi yang
berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat
proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam
Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice, (Beijing Rule) Rule 11:
“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently
redirection to community support services, is commonly practiced on a formal
and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the
negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for
example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention
would be the best response. This diversion at the out set and without referral to
alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the
case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the
school r other informal social control institutions have already reacted, or are
likely to react, in an appropriate and constructive manner”.70
Menurut UU SPPA, pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah
anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan
anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dalam hal
tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun
dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.71
Pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penerapan ketentuan diversi
merupakan penting untuk dilaksanakan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak
dapat lebih terjamin dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”,
karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat
ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Tujuan dari diversi yaitu;
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
69 Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective
Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf 70 Paulus Hadisuprapto,2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang :
Bayumedia Publishing. Hal 208; 71 Lihat Pasal 1 angka (2) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Namun sekali lagi diversi yang dapat dilakukan dalam kerangka UU SPPA
bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan
kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa
tanggung jawab kepada Anak. Oleh karena itu basis diversi dalam UU SPPA ini
bukanlah kepentingan terbaik bagi anak namun kesepakatan antara korban dan atau
keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Dan
kesepakatan diversi hanya bisa dilakukan jika perbuatan anak yang berkonflik dengan
hukum tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana.
Beberapa alasan dasar pemikiran tentang perlunya diversi bagi pelaku anak,
antara lain sebagai berikut: 72
a. membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas
mungkin;
b. memperbaiki luka-luka karena kejadia tersebut, kepada keluarga, korban dan
masyarakat;
c. kerjasama dengan pihak orangtua, pengasuh dan diberi nasehat hidup sehari-
hari;
d. melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan untuk
bertanggungjawab;
e. berusaha untuk mengumpulkan dana untuk restitusi kepada korban;
f. memberikan tanggungjaab anak atas perbuatannya, dan memberikan pelajaran
tentang kesempatan untuk mengamati akiba-akibat dan efek kasus tersebut;
g. memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan untuk menjaga agar
tetap bersih atas cacatan kejahatan;
h. mengurangi beban pada pengadilan dan lembaga penjara;
i. pengendalian kejahaan anak/remaja.
Tidak perlunya kesepakatan dengan korban pada diversi hanya bisa dilakukan
untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana
72 1. Help juvenils lern from their mistake through early intervention; 2. Repairs the harm caused to
familes, victims and community; 3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life; 4.
Equips and encourages juveniles to make responsible decisions; 5. Creates a mechanism to collect
restitution for victims; 6. Hold youth accountable for the opportunity to keep their record clean;7. Allows
eligible offenders the opportunity to keep their record clean; 8. Reduces burden on court sistem and jails;
9. Curbs juvenile crime http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.73 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:
a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
d. pelayanan masyarakat.
b. Keadilan Restoratif bagi Anak yang Berhadapan degan Hukum
Keadilan restoratif (restoratif justice) memiliki cara pandang yang berbeda
dalam menyikapi masalah delinkuensi anak. Menurut Fruin J.A., dalam Paulus
Hadisuprapto, peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau
reaksi terhadap pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan
keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah
bahwa diperolehnya keadilan, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan
seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara
memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.74
Menurut Tony F. Marshall restorative justice adalah : “ Restorative Justice is a
process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to
deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.” Keadilan
restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di
masa yang akan datang.75
Menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA pengertian mengenai Keadilan Restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
dan bukan pembalasan.76
Penanganan dalam hal anak yang bermasalah dengan hukum, konsep
pendekatan Restorative Justice System menjadi sangat penting karena menghormati
dan tidak melanggar hak anak. Restorative Justice System setidak-tidaknya bertujuan
untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak
dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang
melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap
belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan hukum, seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak-Hak
Anak pasal 40 ayat 3 huruf (a): 6 " Bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah
73 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 yakni Kesepakatan Diversi harus mendapatkan
persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: (a) tindak pidana yang berupa pelanggaran; (b) tindak pidana ringan; (c) tindak pidana tanpa korban; atau (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
74 Paulus Hadisuprapto. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang:
Bayumedia Publishing. Hal 225; 75 Tony F. Marshall. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information &
Publications Group; 76 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan
hak-hak asasi dan kaidahkaidah hukum tetap diharmonisasi sepenuhnya.”
Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya
dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin
menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan
dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan
pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara umum, prinsip-prinsip keadilan
restoratif adalah :
1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahannya;
2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman
sebaya;
4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan
reaksi sosial yang formal. 77
Metode yang dipakai dalam restorative justice adalah musyawarah pemulihan
dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah
wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana
dengan pelaku anak tersebut terjadi.78 Dengan adanya dukungan dari lingkungan
setempat untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat
menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan
kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan
masyarakat. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini adalah
anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem peradilan anak
yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.79 Apabila dilihat dari posisi
terdakwa dan korban, maka restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi
yang bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara keperdataan.80
Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebenarnya telah lama
dipraktekkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau
dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila
terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang
dilakukan anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal
tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan
77 Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk
Polisi. Jakarta. hal 357; 78 Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 bahwa: Proses Diversi dilakukan melalui
musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan
Restoratif. 79 Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective
Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf. 80Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum, Perum
Percetakan Negara RI, Jakarta. Hal 8;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan
keinsyafan dan pemaafan.
Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice
(Keadilan Restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang
menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan
anak yang bermasalah dengan hukum, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode
penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara
perdata kita sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan
sengketa perdata lebih dari seratus tahun lalu.81 Sifat dasar dari mediasi juga sama
dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi penal diharapkan
bisa diterima kalangan professional hukum dan masyarakat umum dengan baik dan
berjalan secara efektif. Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak
yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat/kriteria Restorative Justice dapat
dilakukan mediasi penal dengan cara pendekatan Restorative Justice di ruang mediasi
yang dihadiri pihak-pihak terkait (Pelaku/Orang Tua, Korban/Orang Tua, PK BAPAS,
Pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas
Masyarakat/RT/RW/Kepala Desa/Guru/ Tokoh Agama). Adapun syarat-syarat/kriteria
Restorative Justice sebagai berikut:
1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.
2. Persetujuan dari pihak korban/keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan
pelaku.
3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara
musyawarah dan mufakat.
4. Kwalifikasi tindak pidana ringan
5. Pelaku belum pernah dihukum.
Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari
proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya
merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan
cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang
diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian
masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan
restoratif (restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi
penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan
restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan
hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu aparat penegak
hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa sosialisasi tersebut maka
penerapan restorative justice menjadi sulit diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian
masalah anak yang berhadapan dengan hukum.
5. Kesimpulan
Dicantumkannya ketentuan mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
merupakan suatu pencerahan terhadap penanggulangan delinkuensi anak. Penerapan
ketentuan diversi dan keadilan restoratif ini adalah hal yang penting untuk
dipertimbangkan, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai
81 Lihat Pasal 130 HIR dan 154 RBg;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum sehingga menghindarkan
anak dari stigma sebagai “anak nakal”. Metode diversi dan restorative justice menjadi
solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak,
karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan
terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak, perlindungan anak dan
kesejahteraan anak.
6. Saran
Berdasarkan uraian pembahasan diversi dan keadilan restoratif dapat menjadi
salah satu upaya untuk penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum,
namun dalam pelaksanaannya perlu koordinasi dengan aparat penegak hukum,
keluarga, lingkungan sekolah maupun tokoh masyarakat disamping itu perlu adanya
sosialisasi terutama Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sisten Peradilan
Pidana Anak bagi penegak hukum agar pelaksanaan diversi dan keadilan restoratif
menjadi lebih efektif.
Daftar Pustaka
Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika
Hukum, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta;
F. Marshall, Tony. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office,
Information & Publications Group;
Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif :
Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro;
----------, Paulus. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang
: Bayumedia Publishing;
Marlina, 2007, Peradilan Anak Di Indonesia, Pustaka Abadi, Bandung.
Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang;
Reksodiputro, Mardjono. 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat pada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato
Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada FH
UI, Jakarta;
Riyanto, Agus, 2006, Keadilan Untuk Anak Perlindungan Terhadap Anak yang
Berhadapan dengan Hukum Kompilasi Instrumen Internasional, UNICEF,
Jakarta.
Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual
Pelatihan untuk POLISI. Jakarta;
http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id
=34&Itemid =45>, diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul
20.00wib;
http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul
10.00 wib;
http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf.Santi Kusumaningrum. Keadilan
bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment;
http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017 ;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kriminalisasi di Luar KUHP dan
Implikasinya Terhadap
Hukum Acara Pidana
________________________________________________________________________
Maroni
I. Pendahuluan
Pengertian hukum acara pidana (HAP) adalah keseluruhan ketentuan hukum
pidana yang mengatur cara bagaimana aparat penegak hukum pidana menjalankan
fungsinya sehubungan adanya dugaan pelanggaran terhadap hukum pidana
materiil/substantif. Ketentuan tersebut mengatur mulai tahap penyelidikan dan
penyidikan, penuntutan, persidangan, sampai pelaksanaan dan pengawasan putusan
pengadilan.82 Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa betapa
pentingnya keberadaan HAP dan keterkaitannya dengan hukum pidana materiel.
Hukum pidana materiel tidak dapat ditegakkan tanpa adanya hukum pidana formil,
sebaliknya tidak ada artinya hukum pidana formil kalau tidak ada hukum pidana
materiel. Sedangkan adanya penentuan secara limitatif pelaksanaan penegakan hukum
pidana oleh penegak hukum atau pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan
hukum acara pidana tersebut, hal ini mengingat hukum acara pidana dimaksudkan
untuk kontrol para penegak hukum, bukan para pelaku tindak pidana, sebagaimana
pendapat Jerome H. Skolnick bahwa The substantive law of crimes is intended to
control the behavior of people who wilfully injure persons or property, or who engage
in behaviors eventually having such a consequence, as the use of narcotics. Criminal
procedure, by contrast is intended to control authorities, not criminals.83
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau
setidak-tidaknya mendekati kebenaran material yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta
pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa
suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwa itu dapat
dipersalahkan.84
Berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana tersebut, Van Bemmelen
mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu: (1) mencari dan menemukan
kebenaran; (2) pemberian keputusan oleh hakim; (3) pelaksanaan keputusan.85 Atas
kepentingan itulah maka hukum acara pidana mengatur secara limitatif siapa saja
aparat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana serta
82 Penyelesaian perkara pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pra-ajudikasi meliputi
penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi yakni pemeriksaan perkara di persidangan, dan tahap pasca-
ajudikasi yaitu eksekusi dan pengawasan putusan pengadilan. 83 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (ed), Law And The Behavioral Sciences, The Bobbs-
Merril Company, New York. 1966. Hlm. 903 84 Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
M.01.PW.07.03 Tahun 1982. 85 J.M. van Bemmelen, 1950. Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘s-Gravenhage:
Martinus Nijhoff. Hlm. 2. Lihat juga Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.
Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm.19.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
bagaimana tata cara pemeriksaan perkara pidana mulai tahap penyidikan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan. Ketentuan hukum acara pidana tersebut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) dan dalam berbagai undang-undang khusus seperti antara lain,
Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pada prinsipnya substansi hukum acara pidana baik yang diatur dalam KUHAP,
maupun yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan tersebut berkaitan dengan
penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi86 atau proses peradilan pidana yang
dapat dibagi dalam tiga tahapan87 yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap
ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap
ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut
adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah
terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum kepadanya.
Adanya HAP khusus yang diatur dalam berbagai undang-undang di luar
KUHAP tersebut disebabkan beberapa asas dan tata cara pemeriksaan perkara pidana
berdasarkan KUHAP dirasakan tidak mampu lagi untuk dijadikan sarana untuk
memberantas tindak pidana khusus. Sebagai contoh mengingat KUHAP menganut
asas oral debat yaitu pemeriksaan perkara harus dihadiri oleh terdakwa, maka asas ini
tidak bisa digunakan untuk memeriksa perkara yang terdakwanya tidak ditemukan
atau tidak diketahui keberadaanny pada tindak pidana ekonomi atau tindak pidana
korupsi. Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini maka baik Undang-Undang
Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maupun undang-undang tindak pidana khusus
lainnya mengatur tentang peradilan inabsensi yaitu peradilan yang digelar tanpa
dihadiri oleh terdakwanya. Namun demikian keterkaitan antara KUHAP dengan
undang-undang HAP khusus tersebut bersifat lex specialis derogate lex ganaralis
yaitu sepanjang HAP khusus tidak mengatur sendiri maka ketentuan KUHAP tetap
digunakan.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum acara
pidana adalah untuk mempertahankan hukum pidana materiel. Agar HAP dapat
86 Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas
penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap
pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Undip. Semarang. Hlm. 13. 87 Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang
dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap
ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan
oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap
terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana
hilang kemerdekaan.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
berfungsi mempertahankan hukum pidana materiel, maka HAP harus mampu
memberantas semua modus operandi suatu kejahatan yang telah dijadikan tindak
pidana umum maupun khusus dalam hukum pidana materiel. Oleh karena itu
substansi HAP harus memperhatikan karakteristik setiap tindak pidana. Permasalahan
dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi adanya kriminalisasi di luar KUHP
terhadap Hukum Acara Pidana?
II. Implikasi Kriminalisasi di Luar KUHP Terhadap HAP
Substansi hukum acara pidana pada dasarnya berkiatan dengan proses
penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi88 atau proses peradilan pidana yang
dapat dibagi dalam tiga tahapan yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap
ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap
pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka
penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga
Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang
berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan oleh lembaga Peradilan, dan
terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana
yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk
pidana hilang kemerdekaan. Tahap ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang
penting karena pada tahap tersebut adanya proses pembuktian menurut hukum oleh
hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. Keputusan
hakim harus berdasarkan fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Alasan tersebut sesuai dengan pendapat
Mardjono Reksodiputro, bahwa melalui penafsiran dari ayat (1) Pasal 191 dan Pasal
197 haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus
“dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun
putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan serta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang”. Selain itu alasan pentingnya
pemeriksaan perkara pidana oleh hakim sejalan dengan pendapat Sudarto, bahwa
hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: (1) keputusan
mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya, dan kemudian (2) keputusan mengenai hukumnya, ialah
apakah perbutan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan
apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya (3) keputusan mengenai
pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.89
Namun demikian untuk menanggulangi tindak pidana khusus (extra ordinary
crime) tahap pra-ajudikasi juga penting karena mengingat pengertian penyidikan
merupakan serangkaian kegiatan penyidik untukmencari dan mendapatkan bukti-bukti
88 Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas
penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap
formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap
pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Undip. Semarang. Hlm. 13. 89 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. Hlm. 34. Bandingkan pendapat
Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 74.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang suatu tindakpidana dan menemukan
pelakunya. Untuk membuat terang dan menemukan pelakunya pada tindak pidana
khusus, dirasakan betapa sulitnya untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti
sehubungan dengan karakteristik dan modus operandi kejahatan luar biasa tersebut,
seperti bersifat terselubung (white color crime), menggunakan teknologi,
profesionalitas pelaku, terorganisasi dan bersifat transnasional.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hukum acara pidana sebagai landasan
bekerjanya peradilan pidana telah mengalami perubahan yaitu semula berdasarkan
‘Herzien Inlandsch Reglement’ disingkat HIR atau ‘Reglemen Bumiputra (Indonesia)
Yang Dibaharui’ Staatsblad 1941 Nomor 44 yang berlakunya sampai tahun 1981.
HIR tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan alam Indonesia merdeka, maka
undang-undang tersebut lalu digantikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang KUHAP. KUHAP merupakan ketentuan umum (lex ganeralis) acara pidana
dan diorientasikan sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana (kejahatan
biasa/warungan) yang terdapat di dalam KUHP. Sedangkan terhadap tindak pidana di
luar KUHP, efektivitas KUHAP dirasakan sudah tidak mampu menanggulanginya.
Hal ini sesuai dengan alasan adanya kriminalisasi di luar KUHP yaitu: (a) sistem
KUHP tidak mampu menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan kerah putih (white
collar crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime); (b) adanya kondisi yang
mendesak untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan baru; (c) sifat kejahatan baru
tersebut harus ditanggulangi secara khusus tidak bisa mengikuti pola KUHP. Bahkan
saat ini untuk memberantas tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pun, KUHAP
dirasakan sudah tidak mampu. Oleh karena itu sudah sepatutnya Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia agar segera membahas Rancangan Undang-Undang
(RUU) KUHAP Baru yang masuk sebagai salah satu program legislasi nasional
(prolegnas) untuk disahkan menjadi undang-undang.
Untuk memberantas modus operandi dari kejahatan luar biasa (extra ordinary
crime) tersebut, membutuhkan model hukum acara pidana khusus yang dibangun
berdasarkan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Hal ini mengingat adanya
ketidakmampuan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana yang dianut KUHAP dalam memberantas modus kejahatan tersebut.
Prinsip praduga bersalah itu secara operasional seperti yang dipraktikkan oleh model
proses peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yakni Crime
Control Model (CCM). Dalam CCM kewajiban untuk bekerja seefisien mungkin
menjadi syarat utama, sehingga ditolerir adanya kesalahan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum sampai tingkat tertentu dalam menentukan apakah seseorang bersalah.
Ini disebabkan CCM memiliki asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses
peradilan pidana ada kemungkinan bersalah dan karenanya penggunaan kekuasaan
pada tangan aparat penegak hukum harus semaksimal mungkin. Oleh sebab itu pada
model ini ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien
tersebut akan mengabaikan hak asasi manusia. Penggunan model CCM ini tentunya
diikuti adanya tuntutan terhadap aparat penegak hukum untuk bekerja secara
professional dan bertanggung jawab karena beresiko dapat dipidananya bagi aparat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan pelanggaran terhadap hak asasi orang yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) juncto
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kehakiman. Hal ini mengingat menurut Muladi bahwa CCM tidak cocok diterapkan
karena model ini memandang penjahat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi
atau diasingkan, ketertiban umum berada di atas segala-galanya dan tujuan
pemidanaan adalah pengasingan. Untuk itu model sistem peradilan pidana yang cocok
bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad dader strafrecht” yang
disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu
yang memperhatikan kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,
kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.90
Walaupun model CCM dipandang kurang cocok, namun berkaca pada kurang
maksimalnya cara-cara pemberantasan kejahatan yang bersifat luar biasa maka
penggunaan model CCM tersebut dapat ditolerir sepanjang bertujuan untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi
Manusia Universal Perserikatan Bangsa Bangsa yang menegaskan bahwa pembatasan
hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hak-
hak asasi yang lebih luas asal diatur dalam bentuk undang-undang.
Namun demikian agar penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana tidak
menimbulkan dampak negatif, maka harus memperhatikan 3 (tiga) kebijakan dasar
dalam penegakan hukum pidana yaitu: (1) kebijakan tentang perbuatan-perbuatan
terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan; (2) kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku
perbuatan terlarang dan sistem penerapannya; (3) kebijakan tentang
prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum
pidana. Kebijakan pertama dan kedua masuk dalam lingkup hukum pidana materiil,
sedangkan kebijakan ketiga masuk dalam bidang hukum pidana formil.91 Oleh karena
itu adanya kebijakan kriminalisasi dalam hukum pidana materiel juga harus diikuti
adanya kebijakan dalam bidang hukum pidana formil sebagai dasar
prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum
pidana.
Berkaitan dengan alasan di atas dan berkaca dari kurang maksimalnya cara-
cara penegakan hukum pidana konvensional terutama dalam menghadapi modus
operandi tindak pidana saat ini yang bersifat sistemik dan meluas serta cenderung
merupakan extra ordinary crimes92, sekaligus untuk menjawab adanya kekhawatiran
pelanggaran terhadap HAM yang tidak terkendali, maka diperlukan adanya model
baru penegakan hukum pidana yang berbasis pada prinsip-prinsip hukum progresif
yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial
rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa.93
90 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 5. 91 Ibid. Hlm. 198 92 Sistem peradilan pidana dapat bersifat kriminogen manakala terjadi kriminalisasi yang tidak terkendali,
tujuan pidana yang tidak jelas, effektivitasnya terbatas dan adanya disparitas pidana, Muladi, Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hlm. 24-25. 93 Menurut perspektif hukum progresif bahwa hukum bertujuan membahagiakan manusia. Bandingkan
dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa konsep pemidanaan yang berorientai pada orang (“konsep
pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan
(“The treatment of offenders”) yang melahirkan pendektan humanistik, ide individualisasi pidana dan
tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat. Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Keberhasilan pendekatan tersebut tidaklah semata-mata diukur dengan keberhasilan
produk legislasi melainkan juga harus disertai langkah penegakan hukum yang
konsisten baik yang bersifat preventif moralistic maupun yang bersifat represif
proaktif.94
Dipilihnya pendekatan hukum progresif, mengingat ide penegakan hukum
progresif tidak sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan, melainkan
menangkap kehendak hukum masyarakat. Oleh sebab itu ketika suatu peraturan
dianggap membelenggu penegakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak
hukum itu sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi
kehendak masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat.95
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Mahfud MD bahwa upaya menegakkan
hukum di Indonesia memerlukan operasi caesar alias cara-cara yang tidak
konvensional, bahkan untuk tahap tertentu dan dalam waktu yang sangat sementara
mengabaikan prosedur-prosedur formal.96
Gagasan hukum progresif yang dikampanyekan oleh Prof Tjip panggilan
akrab murid-murid Satjipto Rahardjo di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)
Universitas Diponegoro Semarang, pada prinsipnya bertolak dari dua komponen
basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Hukum
progresif yang bertumpu pada peraturan, membawa konsekuensi bahwa setiap
peraturan yang akan dibuat dan diberlakukan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai,
kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pokok
permasalahan dalam tulisan ini berarti HAP yang akan dibuat selain harus sesuai
dengan nilai-nilai, kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya, juga harus
memperhatikan karakteristik kejahatan yang dijadikan dasar untuk menentukan suatu
tindak pidana.
Sedangkan hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa
konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum
selain untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga
dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan
hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui
bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang
membuat bahagia.97 menurut Satjipto Rahardjo, bahwa untuk menguji
(memverifikasi) kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman
antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat. Dengan
demikian, ketika hukum masuk dalam ranah penegakan hukum misalnya, seluruh
proses bekerjanya instrumen penegak hukum harus dapat dikembalikan pada
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.
Hlm.49. 94 .Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung. Hlm. 13. 95 Yudi Kristiana, 2009. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan
Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. Hlm 55. 96 Moh. Mahfud MD. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 146. 97 Yudi Kristiana, 2009. Op.cit. Hlm. 35.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pertanyaan apakah sudah mewujudkan keadilan?, apakah sudah mencerminkan
kesejahteraan? Apakah sudah berorientasi kepada kepentingan rakyat?.98
Selain itu mengingat undang-undang dalam pelaksanaannya harus ditafsirkan
oleh para penegak hukum, maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk
undang-undang harus mendapat perhatian khusus. Pada pertengahan abad ke 18
Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” sebagaimana dikutip oleh Sudarto
telah mengemukakan prinsip-prinsip gaya bahasa dalam pembentukan undang-
undang yaitu:
1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana: kalimat muluk-muluk hanyalah
membingungkan belaka;
2) Istilah-istilah yang digunakan, sedapat-dapatnya harus absolute dan tidak
relative, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan;
3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan
menghindarkan kiasan-kiasan dan hal-hal hipotesis;
4) Undang-undang tidak boleh jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang
daya tangkapnya biasa, ia harus bisa difahami oleh orang pada umumnya;
5) Ia tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya dengan adanya pengecualian,
pembatasan, atau perubahan, kecuali apabila hal itu memang benar-benar
diperlukan;
6) Ia tidak boleh terlalu banyak memberi alasan; adalah berbahaya untuk memberi
alasan-alasan yang panjang lebar untuk undang-undang, karena hl ini hanya
membuka pintu untuk pertentangan;
7) Yang paling penting ialah bahwa ia harus dipertimbangkan secara matang dan
mempunyai kegunaan praktis, dan ia tidak boleh menggoncangkan akal sehat
dan keadilan dan “la nature des choses” (apa yang sewajarnya); sebab undang-
undang yang lemah, tidak bermanfaat dan tidak adil akan merusak seluruh
sistem perundang-undangan dan melemahkan kewibawaan Negara.99
Dalam rangka efektivitas penanggulangan kejahatan extra ordinary crimes,
tentunya substansi hukum acara pidana khusus yang dimaksud juga harus dibangun
berdasarkan asas-asas peradilan kontemporer yang meliputi antara: (1) adanya
ketentuan tentang transparansi proses penyelenggaraan peradilan pidana; (2) adanya
akuntabilitas terhadap setiap tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum pada
proses penyelenggaraan peradilan pidana; (3) memperhatikan kondisional setiap
kasus, seperti bagi perkara yang apabila disidangkan pada pengadilan negeri yang
berwenang dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka perkara
tersebut dapat disidangkan pada pengadilan negeri lain yang ditunjuk Mahkamah
Agung; (4) adanya partisipatif masyarakat (LSM) untuk melakukan pengawasan dan
penilaian terhadap kinerja pengadilan seperti melakukan eksaminasi perkara; (5)
penggunaan sarana teknologi informatika dalam proses pemeriksaan perkara pidana;
(6) adanya kesamaan dan keseimbangan hak dan kewajiban semua pihak yang
98 Ibid. Hlm. 33. 99 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung, Hlm. 22
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
terlibat dalam suatu perkara, dan lain sebagainya. Selain itu ketentuan hukum acara
pidana khusus tersebut juga harus diorientasikan secara khusus untuk memberantas
semua modus operandi kejahatan extra ordinary crimes, seperti: (1) badan hukum
dapat diadili; (2) orang yang turut melakukan (turut serta) di luar negeri dapat diadili
di Indonesia; (3) adanya kewenangan penegak hukum untuk merampas barang
bergerak yang tidak berwujud; (4) adanya kewenangan penegak hukum untuk
merampas barang2 bukti bagi tersangka yang telah meninggal dunia; (5) dapatnya
dihukum orang yang tidak dikenal dengan peradilan in absentia; (6) dapatnya
dirampas barang2 bukan milik terdakwa, dan lain sebagainya.
Begitu juga apabila dilihat dari aspek strukturnya, maka terhadap lembaga
penegak hukum sebagai penyelenggara HAP khusus tersebut pembentukannya harus
diorientasikan sesuai dengan karakteristik kejahatan tertentu, sehingga baik status,
tugas dan wewenangnya juga disesuaikan dengan kejahatan yang kan diberantasnya.
Sebagai contoh terhadap tindak pidana korupsi idealnya sistem peradilan pidananya
bersifat khusus, sehingga penyidikan, penuntutan, dan persidangan bahkan lembaga
eksekusinya pun dibedakan dengan lembaga penegak hukum pada umumnya.
Artinya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyidikan dan penuntutannya,
sedangkan persidangannya dilakukan oleh hakim pengadilan tipikor, serta lembaga
pemasyarakatan khusus tipikor.
Selain itu HAP khusus tersebut harus juga dapat mengoptimalkan peran serta
ahli (pakar) berbagai bidang ilmu dan masyarakat pada umumnya untuk membantu
aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan tertentu. Untuk itu perlu
adanya ketentuan HAP yang mewajibkan aparat penegak hukum pada tiap tingkatan
pemeriksaan untuk meminta pendapat ahli bidang tertentu sebelum mengambil
keputusannya dan adanya ketentuan yang melindungi kepentingan hukum
masyarakat yang telah berperanserta dalam mengungkap kejahatan khusus tersebut.
Perwujudan HAP khusus untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan
yaitu untuk proses penyidikan berupa antara lain penggunaan upaya paksa harus
bersifat imperatif atau wajib, sedangkan bentuk-bentuk upaya paksanya diperbanyak
jika dibandingkan dengan bentuk upaya paksa yang ada dalam KUHAP. Apabila
dalam KUHAP bentuk upaya paksanya berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan penyitaan dan pemeriksaan surat, maka pada HAP khusus bentuk
upaya paksanya selain seperti yang terdapat di dalam KUHAP, juga ditambah seperti
penyadapan, pemblokiran rekening bank tanpa melalui prosedur birokrasi, penutupan
sementara kegiatan suatu perusahaan, dan lain sebagainya. Sedangkan
pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum dari lembaga yang dibentuk
khusus untuk kepentingan tertentu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan
asumsi aparat penegak hukum tersebut memiliki pengetahuan khusus (ahli) terhadap
jenis kejahatan yang menjadi domainnya.
Untuk kepentingan persidangan, proses pembuktiannya selain memperbanyak
jenis alat bukti seperti yang terdapat di dalam KUHAP yaitu: keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, juga menerima alat bukti
yang menggunakan sarana teknologi seperti rekaman hasil penyadapan, rekaman
CCTV, dan lain sebagainya termasuk menggunakan sistem pembuktian terbalik.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Fungsi surat dakwaan dan tuntutan jaksa hanya sebagai dasar awal untuk mengadili
terdakwa, sedangkan hakim dengan kewajibannya untuk mempelajari dan menggali
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5
UU Kekuasaan Kehakiman, bebas untuk membuktikan terdakwa bersalah walaupun
pasal-pasal sebagai dasar menyatakan kesalahan terdakwa tidak dirumuskan secara
limitatif di dalam surat dakwaan. Sedangkan lembaga pelaksananya adalah
pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan
Ekonomi dan sebagainya. Berkaitan dengan alasan di atas, maka sudah sewajarnya
adanya hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalam berbagai undang-undang
khusus saat ini, seperti antara lain pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan lain sebagainya.
III. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. KUHAP lebih ditujukan untuk menanggulangi kejahatan (tindak pidana) yang
bersifat umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP;
2. Adanya kriminalisasi di luar KUHP berimplikasi perlu adanya hukum acara
pidana khusus yang hubungannya dengan KUHAP berifat lex specialis,
sedangkan kedudukan KUHAP bersifat lex ganeralis;
3. Perlu adanya ketentuan di dalam KUHAP sebagai dasar hukum keberlakuan
KUHAP terhadap HAP Khusus di luar KUHP;
4. Tidak semua tindak pidana di luar KUHP penanggulangannya menggunakan HAP
Khusus; HAP Khusus hanya untuk tindak pidana khusus;
5. HAP khusus, tidak bersifat kodifikasi terhadap semua tindak pidana di luar
KUHP, melainkan tersebar di dalam masing-masing undang-undang yang
mengatur tindak pidana khusus;
6. HAP khusus tersebut hanya diorientasikan untuk pemberantasan tindak pidana
khusus tertentu;
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.
Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,
Mandar Maju, Bandung. 2004.
Bemmelen, J.M. van, Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘s-
Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1950.
Friedman, Lawrence M. dan Macaulay, Stewart (ed), Law And The Behavioral Sciences,
The Bobbs-Merril Company, New York. 1966.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
1985.
Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan
dan Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. 2009.
Mahfud MD, Moh.. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
2007.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. 1995.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi) UI. Jakarta. 1994.
Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung.
----------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pemikiran Integratif Sistem Penegakan Hukum Pidana Dalam Menghadapi
Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)
_______________________________________________________________________
Heni Siswanto
A. Latar Belakang
Dewasa ini kehidupan dunia modern tidak dapat dilepaskan, bahkan sangat
bergantung pada kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced
technology”) di bidang informasi dan elektronik melalui jaringan internasional
(internet).100
Dampak dari perkembangan komputer/internet sebagai basis dari
”cyberspace” (tindak pidana di ruang siber)101 dan ”cyberlaw” menjangkau hampir
semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
sebagainya.102 Berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini
(cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer related
crime) bukan melulu persoalan yuridis belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur
seperti, kultur tidak bertanggung jawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku,
”anomie of success”, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya hukum dan
pengawasan.
Cyber crime103 pada hakekatnya merupakan ”sisi negatif” dari teknologi
komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap perilaku kriminal. Cyber
crime bisa berupa tindakan sengaja merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak
milik intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan
beberapa tindak pidana lainnya.104
Di satu sisi, kemajuan teknologi canggih itu membawa dampak positif di
berbagai kehidupan, seperti adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS”
(Electronic Funds Transfer System atau “Sistem Transfer Dana Elektronik”),
“internet banking”, “cyber bank”, “on-line business” dan sebagainya. Namun di sisi
lain, juga membawa dampak negatif, yaitu dengan munculnya berbagai jenis “hitech
crime“105 dan “cyber crime”, sehingga cyber crime dinyatakan “cyber crime is the
100 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di
Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret
2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks
melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI,
di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005, hlm. 1. 101 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253 dan
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 237. 102 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor Taftazani, The
Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 201. 103 Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat
perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan
teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini,
dalam Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 1. 104 Muladi,…..op. cit., hlm. 203. 105 Australian High Tech Crime Center tahun 2003 membagi “hitech crime” secara kasar dalam dua
kategori, yaitu (a) crimes committed with or against computers or communication systems; (b) traditional
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
most recent type of crime”106 dan “cyber crime is part of the seamy side of the
Information Society” (cyber crime merupakan bagian sisi paling buruk dari
Masyarakat Informasi”)107.
Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari munculnya berbagai
istilah seperti economic cyber crime, EFT (Electronic Funds Transfer) crime, cybank
crime, internet banking crime, on-line business crime, cyber/electronic money
laundering, hitech WWC (white collar crime), internet fraud (antara lain bank fraud,
credit card fraud, on-line fraud), cyber terrorism, cyber stalking, cyber sex, cyber
pornography, cyber defamation, cyber-criminals, dan sebagainya.
Dengan semakin berkembangnya cyber crime, sangatlah wajar masalah ini
sering dibahas di berbagai forum nasional dan internasional. Kongres PBB mengenai
“The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”108 (yang diselenggarakan
tiap 5 tahun) telah pula membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres
VIII/1990 di Havana, Kongres X/2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI/2005 di
Bangkok (tanggal 18-25 April 2005). Dalam “background paper” lokakarya
“Measures to Combat Computer-related Crime” Kongres XI PBB dinyatakan, bahwa
“teknologi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan informasi memberikan
“bayangan gelap” (a dark shadow) karena memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk
eksploitasi baru, kesempatan baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentuk-
bentuk baru dari kejahatan”.109
Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat
perhatian berbagai kalangan, adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan110 yang
terjadi di ruang maya (cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah
pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan/ percabulan/perbuatan tidak
senonoh/zina. Semakin maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat
dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child
pornography), on-line pornography, cyber sex, cyber sexer, cyber lover, cyber
romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cybersex addicts, cyber sex
offender. Khususnya masalah ”cyber child pornography”, dalam Konvensi
Cybercrime Dewan Eropa 2001 di Budapest (yang juga ikut ditandatangani oleh
negara-negara di luar Eropa, antara lain: Jepang, Kanada, USA, dan Afrika Selatan)
sudah disepakati untuk dikriminalisasi.
crimes which are largely facilitated by technology, dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum
Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 126. 106 V.D. Dudeja, Cyber Crimes and Law, Volume 2, 2002, p. v, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 1. 107 Data Protection Working Party, Council of Europe, “Opinion 4/2001 On the Council of Europe’s Draft
Convention on Cyber-crime”, adopted on 22 March 2001, 5001/01/EN/Final WP 41, p. 2, dalam Barda
Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 1. 108 Dalam Kongres XI, judul kongres berubah menjadi Congress on Crime Prevention and Criminal
Justice, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 2. 109 Dokumen United Nations A/CONF.203/14, Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and
Criminal Justice, Bangkok, 18-25 April 2005, Background paper, Workshop 6: Measures to Combat
Computer-related Crime: “The worldwide multiplication of new information and communication
technologies also casts a dark shadow: it has made possible new forms of exploitation, new opportunities
for criminal activity and indeed new forms of crime”, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum
Pidana.....ibid., hlm. 2. 110 Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi .....op. cit., hlm. 11.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web (WWW)
saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan pornografi atau yang
berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan, 40 % dari berbagai situs di
WWW menyediakan bahan-bahan seperti itu.111 Bahkan dinyatakan Peter David
Goldberg,112 bahwa sex merupakan topik paling populer di internet (the most popular
topic on the internet).113 Pernyataan ini mirip dengan pendapat Mark Griffiths,114
bahwa sex merupakan topik yang paling banyak dicari di internet (“sex is the most
frequently searched-for topic on the Internet”).115 Selanjutnya, Goldberg
mengemukakan pula, bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet sudah
mencapai milyaran dollar US per tahun, sekitar 25 % pengguna internet mengunjungi
lebih dari 60.000 situs sex tiap bulan, dan sekitar 30 juta orang memasuki situs sex tiap
hari.116
Gambaran singkat di atas tentunya cukup meresahkan/ memprihatinkan,
karena tidak mustahil bisa juga terjadi di Indonesia. Beredarnya foto hubungan seksual
seorang siswi di Sampit, Jember atau kasus video mesum mirip Ariel dan Luna Maya
beberapa waktu yang lalu, yang direkam dengan kamera digital dan disebarkan
melalui MMS (multy media message) merupakan salah satu contoh penyalahgunaan
teknologi maju. Rekaman dan beredarnya perbuatan mesum ini tentunya sangat
meresahkan, karena kemajuan teknologi ternyata tidak digunakan sebagai sarana
positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana
negatif yang dapat membawa dampak negatif. Keprihatinan terhadap dampak negatif
dari teknologi maju ini, pernah diungkapkan pula oleh Arthur Bowker, seorang ahli
computer crime dari Amerika yang menyatakan antara lain, bahwa teknologi maju
telah meningkat menjadi “way of life” masyarakat kita, namun sangat disayangkan,
teknologi maju ini menjadi alat/sarana pilihan bagi para pelaku cybersex (“cybersex
offender”)117. Donna Hughes mengaitkan keprihatinannya dengan krisis hak asasi
manusia (HAM), bahwa eksploitasi sex terhadap wanita dan anak-anak merupakan
krisis hak-hak asasi/kemanusiaan global (a global human rights crisis) yang semakin
meningkat dengan penggunaan teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi
111 Lihat Gloria G. Brame, “Boot Up and Turn On”, 1996, gloria-brame.com/glory/journ7. htm, dalam
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 112 Nua Internet Surveys 2001, Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 113 Peter David Goldberg, An Exploratory Study About the Impacts that Cybersex (The Use of the Internet
for Sexual Purposes) is Having on Families and The Practices of Marriage and Family Therapists,
2004, ([email protected]), dalam Barda Nawawi Arief, ....., ibid., hlm. 12. 114 Freeman-Longo&Blanchard, 1998, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 115 Mark Griffiths, Sex on the Internet: observations and implications for Internet sex addiction, Journal
of Sex Research, Nov, 2001, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid, hlm. 12. 116 Peter David Goldberg, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 117 Art Bowker and Michael Gray, An Introduction to the Supervision of the Cybersex Offender,
www.uscourts.gov Publishing Information: Advanced Technologies are increasingly becoming a way of
life for our society. Computers are found in every home, school, and business, with more and more
individuals going "online" every day. Unfortunately, these advanced technologies (computers, scanners,
digital cameras, the Internet, etc.) are becoming the tool of choice for the "cybersex offender.", dalam
Barda Nawawi Arief,.....ibid., hlm. 14.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
telah digunakan sebagai fasilitator untuk perdagangan dan eksploitasi seksual para
wanita dan anak-anak dengan berbagai cara.118
Mengingat cyber crime sudah sangat meresahkan/memprihatinkan itu, maka
sudah seharusnya Pemerintah RI perlu segera membangun suatu sistem penegakan
hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan mayantara (cyber crime) di
Indonesia.
B. Pembahasan
Menurut Peter David Goldberg, cybersex adalah “penggunaan internet untuk
tujuan-tujuan seksual” (“the use of the Internet for sexual purposes”)119. Senada
dengan ini, David Greenfield mengemukakan, bahwa cybersex adalah “menggunakan
komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual” ("using the computer
for any form of sexual expression or gratification"). Dikemukakan juga olehnya,
bahwa cybersex dapat dipandang sebagai “kepuasan/ kegembiraan maya” ("virtual
gratification”), dan suatu “bentuk baru dari keintiman” (“a new type of intimacy")120.
Patut dicatat, bahwa hubungan intim atau keintiman (“intimacy”) itu dapat juga
mengandung arti “hubungan seksual atau perzinahan”.121 Ini berarti, cybersex
merupakan bentuk baru dari perzinahan.
Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia dinyatakan, bahwa “cybersex” atau
“computersex” adalah “pertemuan sex secara virtual/maya antara dua orang atau lebih
yang terhubung melalui jaringan internet dengan mengirimkan pesan-pesan seksual
yang menggambarkan suatu pengalaman seksual”. Cybersex/computersex merupakan
bentuk permainan-peran (role-playing) antara para partisipan yang berpura-pura atau
menganggap dirinya melakukan hubungan seksual secara nyata, dengan
menggambarkan sesuatu untuk mendorong perasaan/fantasi seksual mereka. Cybersex
ini terkadang disebut juga dengan istilah “cybering”.122 Menurut Greenfield dan
Orzack, cybering ini dimasukkan dalam penggolongan cybersex yang berupa Online
Sexual Activity (OSA) karena dengan cybering itu, salah seorang atau kedua orang
yang saling berfantasi itu dapat melakukan masturbasi (onani).123 Bahkan menurut
118 Lihat Bela Bonita Chatterjee, Human Rights and the Cyber Sex Trade, antara lain: “the sexual
exploitation of women and children is a global human rights crisis that is being escalated by the use of
new technologies…ICTs (information and communication technologies) are being used as facilitators for
the trafficking and sexual exploitation of women and children in various ways”, sumber internet, dalam
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 8. 119 Peter David Goldberg, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 8. 120 Gloria G. Brame, gloria-brame.com/glory/journ7.htm, dalam Barda Nawawi Arief, ibid., hlm. 9. 121 Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 2000, halaman 328. Dalam kamus
Hornby, 1963, halaman 517, disebut dengan istilah “illicit sexual relations”, dalam Barda Nawawi Arief,
.....ibid., hlm. 9. 122 Wikipedia, the free encyclopedia, (en.wikipedia.org/wiki/Cybersex): “Cybersex or computer sex is a
virtual sex encounter in which two or more persons connected remotely via a computer network send one
another sexually explicit messages describing a sexual experience, by describing their actions and
responding to their chat partners in a mostly written form designed to stimulate their own sexual feelings
and fantasies.…It is a form of role-playing in which the participants pretend they are having actual
sexual intercourse,….Cybersex is sometimes colloquially called "cybering", d dalam Barda Nawawi
Arief, .....ibid., hlm. 9. 123 Lihat dalam Peter D. Goldberg; Greenfield dan Orzack mendefinisikan “cybering” sebagai “direct use
by two people who share the same fantasy while one or both masturbate”, dalam Barda Nawawi Arief,
.....ibid., hlm. 9.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kenneth Allen, “An important and major element of cybersexual activity is
masturbation”124. Pengertian “Cybering" atau “sex on the Internet” dikemukakan pula
oleh Michael G. Conner, Psy.D. sebagai “diskusi seksual secara “on-line” dengan
tujuan mencapai orgasme (puncak syahwat)”125.
Meningkatnya cybersex mengundang minat orang untuk melakukan berbagai
penelitian. Penelitian yang telah dilakukan di Amerika, antara lain: (1) Cooper dkk.,
2000, meneliti tentang “ciri-ciri dan pola kebiasaan para pecandu cybersex (cybersex
addicts)”; (2) Schneider, 2000, meneliti tentang “pengaruh/ akibat penggunaan
cybersex terhadap pasangan mereka sendiri (suami/istri)”; dan (3) Peter David
Goldberg, 2004, meneliti tentang “pengalaman para terapis keluarga dan perkawinan
terhadap klien yang mengalami konflik akibat penggunaan cybersex”.
Berdasarkan penelitian tersebut, banyak dijumpai akibat-akibat negatif dari
penggunaan cybersex terhadap diri si pelaku maupun terhadap hubungan perkawinan,
terhadap keseluruhan hubungan/sistem kekeluargaan, dan terhadap anak-anak mereka.
Akibat terhadap diri pelaku, antara lain, merubah pola tidur, mengisolasi diri dari
keluarga, mengabaikan tanggung jawab, berdusta, berubahnya kepribadian, kehilangan
daya tarik terhadap partnernya (istri/suaminya), bersifat ambigius/mendua, timbul
perasaan malu dan bersalah, hilangnya rangsangan nafsu dan adanya gangguan ereksi
(erectile disfunction). Akibat terhadap partnernya (istri/suami) dan anak-anak, antara
lain: timbul perasaan dikhianati, dilukai, dikesampingkan, dihancurkan, ditelantarkan,
kesepian, malu, cemburu, kehilangan harga diri, perasaan dihina, anak-anak merasa
kehilangan perhatian orang tua, depresi (karena pertengkaran orang tua).126
Menurut hasil penelitian Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), anak-anak
mengalami gejala stres (stress symptoms) sebagai akibat penayangan pornografi di
internet. Mereka selalu gelisah, lekas/mudah marah, sulit tidur, kehilangan minat di
dalam beraktivitas, menjauhi internet, dan tidak dapat berhenti memikirkan apa yang
terjadi.127 Pengaruh pornografi melalui internet yang demikian dalam terhadap anak,
sangat bersesuaian dengan yang dikemukakan oleh Arthur Bowker dan Michael Gray
dalam tulisannya berjudul “The cybersex offender and children”, bahwa gambar-
gambar pornografi digital mempunyai pengaruh yang lebih lama (lebih kuat) daripada
materi-materi non-elektronik.128
124 Kenneth Allen, Cyber-Sex A Review and Implications of the Situation, (home.earthlink. net), dalam
Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 125 Michael G. Conner, Psy.D, Internet Addiction & Cyber Sex, (www.CrisisCounseling. org): “Cybering",
or sex on the Internet, is defined as the consensual sexual discussion on-line for the purpose of
achieving arousal or an orgasm, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 126 Lihat antara lain Peter David Goldberg disebutnya dengan istilah “feelings of betrayal, hurt, rejection,
devastation, abandonment, loneliness, shame, jealousy, loss of self-esteem, humiliation”; isolate
themselves from their partners or parents; affect the family’s sense of mutuality; dalam Barda Nawawi
Arief, .....ibid., hlm. 11. 127 Peter David Goldberg menyatakan, bahwa children reported stress symptoms as a result of exposure to
pornography on the Internet. They reported feeling jumpy, irritable, having difficulty going to sleep,
losing interest in activities, staying away from the Internet, unable to stop thinking about what
happened (Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11. 128 Arthur Bowker, Michael Gray , “The cybersex offender and children”, FBI Law Enforcement
Bulletin,The, March, 2005 : “digital pornographic images have a longer duration of harm for victims
than nonelectronic materials”, www.findarticles.com, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Adanya akibat-akibat demikian, maka sering timbul pertengkaran keluarga
yang berakibat pada perceraian. Menurut Carl Salisbury (pengacara di Hanover, New
York), gugatan perkara yang berkaitan dengan cybersex menunjukkan peningkatan di
pengadilan-pengadilan Amerika. Dikatakan pula olehnya: “Tidak dapat dihindari
bahwa kita sedang menyaksikan semakin banyaknya kasus-kasus perceraian yang
disebabkan oleh cybersex”.129 Cukup banyaknya akibat negatif dari cyber crime di
bidang kesusilaan dan berbagai bidang lainnya, tentunya memerlukan kajian serius
terhadap kebijakan pencegahan, penanggulangan dan penegakan hukum pidananya.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penegakan hukum pidana terhadap
delik-delik kesusilaan terkesan kurang mendapat prioritas dibandingkan upaya
pemberantasan tindak pidana lainnya seperti korupsi, narkoba dan terorisme. Kondisi
demikian patut dievaluasi karena tidak mustahil hal itu berdampak pada semakin
meningkat dan merebaknya kasus-kasus delik kesusilaan di bidang cyber dan semakin
bermunculan situs porno di Indonesia. Menurut informasi sudah lebih dari 1.000 situs
porno lokal di Indonesia saat ini.130
Lemahnya penegakan hukum pidana terhadap delik kesusilaan di bidang
cyber ini mungkin berkaitan erat pula dengan lemahnya kebijakan perundang-
undangan yang ada seperti dikemukakan di atas. Oleh karena itu perlu dilakukan
kajian evaluatif dan reformatif/inovatif/rekonstruktif untuk mengefektifkan penegakan
hukum pidana terhadap delik kesusilaan.131
Sarana penal pada umumnya di atur dalam KUHP dan khususnya dalam
peraturan perundang-undangan di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang Pornografi. Ketentuan-ketentuan ini masih mengandung beberapa
kelemahan, namun seyogyanya dapat diefektifkan penerapannya terhadap cybersex
dan cyberporn. Terlebih para pakar di internet menyatakan bahwa cybersex dan
cyberporn pada hakikatnya sama dengan delik kesusilaan yang sesungguhnya (zina
dan pelanggaran kesusilaan lainnya).132
Kemampuan sarana “penal” (hukum pidana) dalam menanggulangi kejahatan
sangatlah terbatas, terlebih menghadapi cyber crime yang perkembangannya sebagai
hitechcrime sangat cepat dan canggih. Dilihat dari sudut “criminal policy”, upaya
penanggulangan cyber crime tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum
pidana, tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik. Sebagai salah
satu bentuk dari “hitech crime” adalah wajar upaya penanggulangan cyber crime juga
harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan
budaya/kultural, pendekatan edukatif/ moral/religius terlebih untuk delik kesusilaan,
pendekatan regulasi administratif dan bahkan pendekatan global (kerja sama
129 Gloria G. Brame, op. cit. dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 130 Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi.....op. cit., hlm. 63. 131 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64. 132 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
internasional) karena cyber crime dapat melampaui batas-batas negara (bersifat
“transnasional/transborder).133
Menyadari bahwa penanggulangan cyber crime harus ditempuh melalui
pendekatan/kebijakan integral, maka seyogyanya penegakan hukumnya pun harus
dilakukan melalui sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam
menghadapi cyber crime. Sistem penegakan hukum (SPH) yang integral dalam
menghadapi cyber crime, yaitu adanya keterjalinan erat (keterpaduan/integralitas) atau
satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum
(legal substance), stuktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).
Sebagai suatu SPH, proses penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga
komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen
substantif/normatif), lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen
struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai
budaya hukum (komponen kultural), yaitu:134
a. Dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance), sistem penegakan
hukum pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum di
bidang hukum pidana cyber crime meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana
formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian, dilihat dari sudut
substansi hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya
merupakan “integrated legal system” atau “integrated legal substance”.
b. Dilihat dari aspek/komponen struktural (legal structure), sistem penegakan hukum
pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badan-
badan/lembaga/aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/ kewenangannya
masing-masing di bidang penegakan hukum pidana cyber crime. Dengan demikian,
dilihat secara struktural, sistem penegakan hukum pidana juga merupakan “sistem
administrasi/penyelenggaraan“ atau “sistem fungsional/operasional” dari berbagai
struktur/profesi penegak hukum. Dilihat dari sudut
struktural/administrasi/fungsional inilah, di bidang sistem penegakan hukum pidana
atau sistem peradilan pidana (SPP) cyber crime, muncul istilah “integrated criminal
justice system” atau “the administration of criminal justice”.
Dengan demikian, apabila SPP dilihat sebagai “sistem kekuasaan
menegakkan hukum pidana”, maka SPP merupakan serangkaian perwujudan dari
kekuasaan menegakkan hukum pidana cyber crime yang terdiri dari 4 (empat) sub-
sistem, yaitu: (1) kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik); (2)
kekuasaan "penuntutan" (oleh badan/lembaga penuntut umum); (3) kekuasaan
“mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana” (oleh badan pengadilan); dan (4)
kekuasaan “pelaksanaan putusan/pidana” (oleh badan/ aparat pelaksana/eksekusi).
Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum
pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah “SPP Terpadu” (“integrated
criminal justice system”).
133 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 41. 134 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel
untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009,
Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 3.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
c. Dilihat dari aspek/komponen budaya hukum (legal culture),135 sistem penegakan
hukum pada dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya
hukum” (yang dapat mencakup nilai-nilai filosofi/filsafat hukum, asas-asas hukum,
teori hukum, ilmu hukum (pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana, atau
persoalan edukasi), nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan
kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya. Dengan demikian, dilihat dari
sudut budaya hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime dapat dikatakan
merupakan “integrated legal culture” atau “integrated cultural legal system”.
Menurut sistem penegakan norma/substansi hukum di bidang hukum pidana
atau sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua
sisi/aspek, yaitu aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam
satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral dan aspek substansi
nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana
cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”pendekatan keilmuan” dan ”ide
keseimbangan” secara integral menurut keseimbangan ide dasar Pancasila sebagai
landasan sistem hukum nasional dan keseimbangan tujuan pembangunan nasional
yang berorientasi pada kebijakan pembangunan nasional (bangnas) dan pembangunan
hukum136 nasional (bangkumnas) atau sistem hukum nasional (siskumnas/SHN) ber-
Pancasila. Oleh karena itu, SPHP yang integral dalam menghadapi cyber crime
dilakukan dengan memperhatikan konteks ke-Indonesia-an, khususnya kondisi
lingkungan hukum Indonesia, yaitu sistem hukum nasional/siskumnas.
Sistem norma/substansi(al) hukum pidana merupakan salah satu aspek SPHP
yang paling strategis. Kesalahan pada aspek ini akan mempengaruhi keberhasilan
SPHP dalam menghadapi masalah cyber crime di masa yang akan datang. Sistem
norma/ substansi hukum pidana yang integral dapat dilihat dari dua sisi/aspek, yaitu:
a. Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana
Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam satu
kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, meski dapat dikatakan kondisi
substansi hukum pidana cyber crime saat ini sebenarnya sudah cukup lengkap, karena
ketiga bidang substansi hukum pidana (hukum pidana materiel, hukum pidana formal,
dan hukum pelaksanaan pidana) sudah ada, akan tetapi masih mengandung berbagai
135 Pengertian/ruang lingkup “budaya hukum” didasarkan pada Renstra (Rencana Strategik) pembangunan
hukum nasional Repelita VI (1994-1999) yang pernah merinci Pembangunan ”budaya hukum nasional”
dalam 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran
hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/ pembinaan perpustakaan, penerbitan dan
informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan
pembinaan pendidikan hukum, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Kuliah Umum pada Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei
2009, hlm. 6. 136 Pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu “kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau
merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea). ”Pembaharuan/ pembangunan hukum” pada
hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelanjutan” (sustainable
reform/sustainable development). Di dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait dengan
”perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangam yang
berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide
dasar/konsepsi intelektual”. Jadi ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable society/development”,
”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”,“sustainable intellectual
conceptions/basic ideas”, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 10.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
masalah yang harus dibenahi atau di “reform”.137 Bertolak dari pengertian
sistem yang integral, maka pengertian SPHP dilihat dari aspek/komponen substansi
hukum (legal substance) merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum pidana.
Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam menghadapi
cyber crime dilihat dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum
pidana materiel (materielle strafrecht), yaitu KUHP dan peraturan perundang-
undangan khusus lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi. Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht),
yaitu KUHAP dan substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht)
terkait cyber crime. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem
pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara
konkret hanya dengan mengandalkan salah satu subsistem itu.
b. Aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran”
Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” cyber crime dalam
satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide
keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”138 secara integral. Ide keseimbangan
disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide
dasar secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”, antara lain mencakup:
a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan
kepentingan individu/perorangan.
b. Ide keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan
“subjektif” (orang/batiniah/sikap batin). Ide daad-dader strafrecht.
c. Ide keseimbangan antara kriteria formal dan materiel.
d. Ide keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas, dan
keadilan.
e. Ide keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal.
f. Ide kesimbangan antara ”social welfare” dengan ”social defence”.
g. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku tindak
pidana/”offender” (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana (”victim”).
h. Ide penggunaan ”double track system” (antara pidana/punishment dengan
tindakan/treatment/measures).
i. Ide mengefektifkan ”non custodial measures” (alternatives to imprisonment).
j. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (elasticity/flexibility of sentencing).
137 Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 12. 138 Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami
sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran
(wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang
hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral,
dalam Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia
Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Strategi
Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008,
Semarang, hlm. 1.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
k. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (modification of sanction; the
alternation/annulment/revocation of sanction; redetermining of punishment).
l. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana.
m. Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon/judicial pardon).
n. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.
Ide dasar “keseimbangan” itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok
hukum pidana terkait cyber crime, yaitu:139
a. Tindak pidana (strafbaarfeit/criminal act/actus reus).
b. Kesalahan (schuld/guilt/mens rea).
c. Pidana (straf/punishment/poena).
Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” dalam satu kesatuan
sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide
keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”140 secara integral meliputi:141
1. Pendekatan Juridis-Ilmiah-Religius
Pendekatan yang berorientasi/berpedoman pada “ilmu” (hukum pidana) dan
“tuntunan Tuhan” dalam menegakkan hukum pidana positif sebagai prasyarat utama
dalam penegakan hukum. Dalam praktek sudah dilakukan, namun perlu dioptimalkan
karena lebih terkesan pada penguasaan “hukum positif”nya, sedangkan “ilmu”nya
terkadang “dilupakan” atau “kurang dikuasai” dengan sering bertanya pada saksi ahli,
atau menggunakan “ilmu lama/kuno”, yaitu ilmu WvS/KUHP di zaman Belanda.
Bahkan, pendekatan ilmu hukum tergeser oleh “pendekatan/orientasi lain” terkait
materi/amplop/kekuasaan dan lain-lain yang terkesan melupakan tuntunan Tuhan.
Meningkatnya kasus-kasus “mafia peradilan” atau “permainan kotor” di
seluruh tahap/proses penegakan hukum pidana merupakan indikator penegakan hukum
selama ini ada mengabaikan keterkaitan ilmu hukum dengan ilmu ketuhanan. Berarti
ada pendekatan parsial dan sekuler. Banyak aparat penegakan hukum yang sangat tahu
“tuntunan UU”, tetapi tidak tahu (atau “tidak mau tahu”) akan adanya “tuntunan
Tuhan” dalam menegakkan hukum/keadilan, padahal asas “keadilan berdasarkan
(tuntunan) Ketuhanan YME” merupakan asas juridis-religius yang tercantum secara
tegas dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48/2009 yang menyatakan: “Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti, seharusnya penegakan hukum dan
keadilan tidak hanya didasarkan pada tuntunan undang-undang, tetapi juga harus
berdasar “tuntunan Tuhan”.142
139 Sauer menyebutnya sebagai “trias hukum pidana” (berupa “sifat melawan hukum”, “kesalahan”, dan
“pidana”) dan H.L. Packer (1968: 17) menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic
problems” (berupa “offence”, “guilt”, dan “punishment”), dalam Barda Nawawi Arief, ”Optimalisasi
Kinerja Aparat……ibid., hlm. 14. 140 Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami
sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran
(wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang
hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral, dalam
Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat …..ibid., hlm. 1. 141 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel
untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009,
Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 26. 142Tuntunan Tuhan dalam menegakkan keadilan, antara lain Al-Qur’an, An-Nisaa’:58 (apabila kamu
menghukum di antara manusia, maka hukumlah dengan adil); An-Nisaa’:135 (jadilah kamu orang yang
benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
2. Pendekatan Juridis-Kontekstual
Pendekatan yang berorientasi dalam melakukan penegakan hukum pidana
berlandaskan hukum positif (KUHP/WvS dan sebagainya), tetapi dalam konteks
bangnas/bangkumnas/siskumnas. Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat dalam
kenyataan sering dipisahkan antara masalah penegakan hukum (law enforcement)
dengan masalah pembaharuan/pembangunan hukum (law reform and development).
Padahal penegakan hukum pidana merupakan bagian (sub-sistem) dari keseluruhan
sistem/kebijakan penegakan hukum nasional, yang pada dasarnya juga merupakan
bagian dari sistem/kebijakan pembangunan nasional.
Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam arti
penegakan in abstracto dan in concreto merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan
sistem (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijakan pembangunan nasional (national development policy). Ini berarti,
penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law making/law
reform) dan penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya
bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional
(bangnas)143 dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional.
Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk
pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda
dengan penegakan hukum pidana seperti di zaman Belanda karena kondisi lingkungan
atau kerangka besar hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat
dioperasionalisasikannya WvS sudah berubah. Menjalankan WvS di Belanda atau di
zaman penjajahan Belanda, tentunya berbeda dengan di zaman RI.144 Ini berarti,
penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya
harus memperhatikan juga rambu-rambu umum proses penegakan hukum dan keadilan
dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam
konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal
framework), dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat
dikatakan ”penegakan hukum di Indonesia”.
3. Pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif
Pendekatan pemikiran hukum yang berorientasi pada wawasan global/
komparatif memang pada umumnya diperlukan dalam masalah “pembaharuan hukum”
(law reform), khususnya dalam “pembuatan UU” (kebijakan legislatif/ formulasi).
Namun tidak mustahil untuk dimanfaatkan dalam masalah “penegakan hukum”
(kebijakan judikatif/judisial), mengingat :
bapakmu dan kaum kerabatmu; janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari
kebenaran/keadilan); Al-Maidah:8 (janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong
kamu berlaku tidak adil); Asy-Syuura:15 (perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati
terhadap orang yang tidak seagama), dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid.,
hlm. 22. 143Setiap kebijakan di bidang apapun (bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan
sebagainya) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, dalam
Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 23. 144Identik dengan “tidak sama menjalankan mobil di Semarang dengan di Jakarta”. Walaupun punya SIM,
bisa kena “tilang” kalau orang Semarang tidak menguasai kondisi lingkungan dan rambu-rambu di
Jakarta, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 24.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
a. Adanya asas nasional aktif dalam KUHP, yaitu Pasal 5 ayat 1 ke-2, bahwa ”aturan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di
luar Indonesia melakukan salah-satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana
dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan
menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, diancam
dengan pidana.”
b. Adanya beberapa ketentuan dalam UU di luar KUHP yang memperluas jurisdiksi
teritorial ke luar wilayah Indonesia.
c. Banyaknya UU yang berasal dari meratifikasi berbagai ketentuan/dokumen
internasional.
d. Adanya berbagai UU tentang perjanjian bilateral; dan perjanjian timbal balik
dalam masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters
(antara lain UU No. 1 Tahun 2006 dan UU No. 8 Tahun 2006);
e. Adanya perkembangan cybercrime yang merupakan “transborder/ transnational
crime”.
Kondisi perundang-undangan di atas dan perkembangan hitech
crime/cybercrime, mengisyaratkan perlunya pendekatan pemikiran hukum yang
berorientasi pada wawasan global/komparatif. Di samping itu, ada pendapat
Soedarto145 bahwa pendekatan global/komparatif juga dapat membawa sikap kritis
terhadap sistem hukum sendiri dan pendapat Soerjono Soekanto146 dapat juga untuk
pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.
C. Simpulan
1. Sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya merupakan suatu
sistem penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana cyber crime meliputi
hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.
2. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan
mayantara (cyber crime) di Indonesia, yaitu adanya keterjalinan erat
(keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen)
yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure),
dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses
penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma
hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif),
lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta
mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen
kultural).
3. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi cyber crime dilihat
dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum pidana materiel
(materielle strafrecht), yaitu (a) KUHP dan peraturan perundang-undangan khusus
lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang
Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
145 Lihat pendapat Soedarto, dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed.
2-7, 2008, hlm. 17. 146 Lihat pendapat Soerjono Soekanto, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan ....., ibid.,
hlm. 29.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; (b)
Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht), yaitu
KUHAP; dan (c) substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht).
4. Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua
sisi/aspek, yaitu (a) aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam
satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral; dan (b) aspek substansi
nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana
cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”ide keseimbangan” dan ”pendekatan
keilmuan” yang integral meliputi pendekatan juridis-ilmiah-religius, pendekatan
juridis-kontekstual dan pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif.
Daftar Pustaka
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor
Taftazani, The Habibie Center, Jakarta, 2002.
Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian
Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005.
------------, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik
Kesusilaan di Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum
Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret 2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini
juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks melalui Cyber Crime
dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI,
di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005.
------------, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
------------, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia
Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar
Nasional “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca
Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008, Semarang.
------------, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed. 2-7, 2008.
------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253
dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008.
------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel
untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”,
edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta.
------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel
untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”,
edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta.
------------, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Kuliah Umum pada
Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei 2009.
Al-Qur’an.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta
________________________________________________________________________
Wahyu Sasongko
I. Pendahuluan Harus diakui bahwa hukum kekayaan intelektual (intellectual property law)
merupakan bidang hukum yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini dapat
dimaklumi, karena karya-karya intelektual berkembang dengan pesat, searah dengan
kemampuan atau daya intelektual manusia. Karya-karya intelektual yang dihasilkan
pun semakin beragam dan berkualitas. Perkembangan daya intelektual itu, selain
disebabkan karena faktor manusia sebagai sumber daya yang semakin andal dan juga
karena faktor kemajuan teknologi.
Salah satu karya intelektual yang dirasakan semakin pesat perkembangannya
adalah karya cipta. Semakin beragam karya cipta atau ciptaan manusia, berdampak
tehadap peraturan hukum yang mengatur perlindungan hukum, yaitu Undang-Undang
Hak Cipta (UUHC) yang cepat berubah. Perubahan yang mencolok adalah
bertambahnya karya cipta atau ciptaan yang dilindungi oleh hukum, sebagaimana
diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.147
Setidaknya, meliputi 12 jenis ciptaan yang dilindungi, di antaranya ada yang tidak
diatur dalam UUHC sebelumnya, yaitu:
1. program komputer (computer program);
2. perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan;
3. kompilasi data (database).
Manusia sebagai sumber daya berkualitas cenderung kreatif untuk
menghasilkan ciptaan yang bermutu dan bernilai seni tinggi. Teknologi maju
(advance technology), seperti komputer merupakan karya intelektual manusia dan
dengan menggunakan teknologi, kemampuan manusia semakin meningkat untuk
membuat ciptaan baru yang lebih indah dan atraktif. Seperti, karya seni tradisional
berupa pertunjukan wayang kulit atau wayang orang menjadi semakin indah dan
menarik dengan menggunakan teknologi multi media.
Namun sayang, kemajuan teknologi selain berdampak positif, juga
berdampak negatif bagi perkembangan karya cipta. Bahkan, dapat mengancam hak-
hak dan kreativitas para pencipta. Teknologi komputer misalnya, berpotensi menjadi
alat atau sarana untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Penggandaan dan
pembajakan karya cipta seperti lagu, film, dan foto sangat mudah dilakukan dengan
menggunakan komputer, tanpa harus meminta izin dari penciptanya. Apalagi dengan
internet, semakin terbuka peluang untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber
crime).
Kesulitan untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual (intelletual
property rights) atau untuk menindak kejahatan di dunia maya tidak hanya dialami
oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Amerika Serikat (AS) yang notabene
merupakan negara maju dalam teknologi komputer pun mengalami kesulitan,
sebagaimana dikatakan oleh Gordon M. Snow, Assistant Director, Cyber Division,
Federal Bureau of Investigation:
147 Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
The increasing accessibility of the Internet and improvements in
manufacturing and transportation have led to the expansion of the global
market. With increasing competition, innovation, and divisions of labor, more
digital content is instantaneously distributed to the global market than ever
before. Businesses now have extraordinary opportunities to market and
distribute their goods and services all around the world. Unfortunately, the
expansion in worldwide trade has led to growth in the number of criminals
and organizations that seek to exploit and misappropriate the intellectual
property of others for profit. These criminals have developed complex and
diverse methods of committing IPR crime.148
Teknologi komputer diakui sebagai karya intelektual dan diberikan
perlindungan hukum. Komputer dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu perangkat lunak (software computer) dan perangkat keras (hardware
computer). Perlindungan hukum bagi keduanya dapat dilakukan melalui dua rezim
hak kekayaan intelektual (HKI), yaitu:
1. hak cipta untuk melindugi perangkat lunak yang berupa program komputer.
2. paten untuk melindungi perangkat keras berupa produk komputer.149
Meski kedua macam teknologi komputer itu sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun dalam praktiknya masih terjadi pelanggaran hak. Tidak
mudah melakukan penegakan hukum di bidang hak cipta, yang karyanya sangat
beragam. Misal, pelanggaran seni rupa berupa lukisan yang dipalsukan, aparat
penegakan hukum mengalami kesulitan dalam pembuktian. Apalagi, para aparat
penegak hukum itu selain tidak memahami tentang hak cipta dan juga awam dengan
seni lukis atau karya-karya cipta lainnya, sehingga semakin sulit untuk
mengungkapkan di persidangan.
II. Pengaturan Hak Cipta Pada hakikatnya, perlindungan hukum adalah perlindungan oleh hukum
(protection by law), yaitu perlindungan dengan menggunakan sarana dan pranata
hukum.150 Perlindungan hukum dapat dilakukan dengan cara tertentu. Diawali
dengan pembuatan peraturan hukum, untuk memberikan hak-hak dan menjamin
kepentingan subjek hukum. Setelah itu, peraturan hukum ditegakkan terhadap pihak
yang melakukan pelanggaran hak-hak subjek hukum,151 yaitu hak-hak pencipta
sebagaimana diatur dalam UUHC.
Peraturan hak cipta di Indonesia diawali tahun 1912, ketika Pemerintah
Hindia Belanda memberlakukan undang-undang tentang Auteurswet 1912 (Wet van
23 September 1912), S. 1912 No. 600.152 Setelah Indonesia merdeka diterbitkan
148 Gordon M. Snow, “Testimony,” <http://www.fbi.gov/news/testimony/intellectual-property-law-
enforcement-efforts>, diakses tanggal 15 November 2011. 149 Jeremy Phillips dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth Edition, London:
Butterworths LexisNexix, 2001, hlm. 344 et seq. 150 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung:
Penerbit Universitas Lampung, 2007, hlm. 31. 151 Ibid. 152 W.A. Engelbrecht dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de
Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
undang-undang nasional tentang hak cipta. Dalam kurun waktu yang relatif pendek,
Pemerintah Indonesia telah melakukan empat kali perubahan UUHC, yaitu:
1. Tahun 1982 diterbitkan UUHC Nomor 6 Tahun 1982.
2. Tahun 1987 diterbitkan UUHC Nomor 7 Tahun 1987.
3. Tahun 1997 diterbitkan UUHC Nomor 12 Tahun 1997.
4. Tahun 2002 diterbitkan UUHC Nomor 19 Tahun 2002.
Istilah hak cipta sesungguhnya tidak berasal dari terjemahan bahasa
Belanda auteursrecht yang berarti hak pengarang atau bahasa Inggris copyrights
yang berarti hak menyalin atau hak memperbanyak. Istilah hak cipta sengaja dipilih
agar tidak hanya para pengarang tetapi juga pelukis dan lain-lain.153 Dengan
demikian, istilah pencipta untuk memperluas cakupannya.
Arti pencipta menurut UUHC 2002 adalah seorang atau beberapa orang
secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Konsep ini memiliki
cakupan sangat luas, baik subjek maupun objeknya. Pencipta sebagai subjek hukum
dalam UUHC 2002 dapat bersifat individual atau kelompok, termasuk yang
membentuk suatu badan usaha. Begitu pun, objek hukum yang menurut UUHC 2002
disebut dengan ciptaan ialah hasil setiap karya dari pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Cakupan dari
ciptaan ini pun sangat luas dan beragam jenisnya.
Tidak semua karya intelektual seseorang merupakan ciptaan yang dapat
memperoleh hak cipta. Menurut UUHC ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi
agar suatu karya cipta dapat menjadi objek hak cipta, yaitu:
1. karya cipta itu bukan berupa ide atau inspirasi (idea; inspiration);
2. berbentuk nyata (fixation; real), dapat dilihat, dibaca, didengar, dan diraba;
3. bersifat khas (unique), karena berbentuk khusus atau spesial;
4. merupakan kesatuan atau padu (compact) atau berupa karya yang utuh;
5. bersifat pribadi (personal) yang melekat pada penciptanya;
6. bersifat asli (original) dari pencipta atau derivatif atau turunan dari karya yang
asli.
Karya cipta yang masih berupa ide atau gagasan yang belum dapat dilihat,
dibaca, dan didengar (idea: picture in the mind; inspiration: influence arousing
creative activity in literature, music, art) belum dapat dikategorikan sebagai ciptaan,
sehingga tidak diberikan perlindungan hukum menurut UUHC. Karya cipta semacam
itu, harus dijaga kerahasiaannya, agar pihak lain tidak menggunakannya secara
sepihak. Nanti, setelah seluruh proses penciptaan selesai, baru dipublikasikan atau
diumumkan sehingga orang lain mengetahuinya.
Hak cipta pada hakikatnya adalah seperangkat hak yang dimiliki oleh
pencipta. Menurut UUHC 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Leiden: A.W. Sijthoff’s
Uitgeversmaatshappij N.V. dan PT Gunung Agung, 1960, hlm. 2793. 153 J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982), Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982,
hlm. 5-7.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karya cipta bersifat pribadi
karena berkaitan erat dengan pribadi penciptanya. Bahkan, merupakan ekspresi diri
(self expression) atau refleksi dari penciptanya. Oleh sebab itu, karya cipta diakui
memiliki sifat eksklusif (exclusive) karena tiada duanya. Maka, dalam UUHC 2002
ditegaskan bahwa hak eksklusif hanya diperuntukkan bagi pencipta atau pemegang
hak cipta, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa
izin pemegangnya, bagaikan hak monopoli.
Pengaturan hak cipta Indonesia dipengaruhi oleh sistem Eropa kontinental
yang diwarisi dari hukum Belanda. Menurut Jill McKeough dan Andrew Stewart:
European system, which have typically protected not only the economic interests of
authors, but also their ‘moral rights’.154 Hak cipta dalam UUHC 2002 diakui
merupakan hak eksklusif yang mencakup dua macam hak, yaitu:
1. Hak ekonomi (economic rights): hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan, yang terdiri atas:
a. hak untuk memperbanyak;
b. hak untuk mengumumkan;
c. hak untuk mempertunjukkan.155
2. Hak moral (moral rights): hak pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus
tanpa alasan apa pun, meski telah dialihkan, yang terdiri atas:
a. hak-hak untuk mencantumkan nama pencipta,
b. hak untuk mencegah agar ciptaannya tidak dikurangi atau diubah.156
UUHC 2002 memuat ketentuan-ketentuan tentang sistem perlindungan hukum
terhadap kedua macam hak cipta tersebut.
III. Perlindungan Hak Cipta Setidaknya, ada tiga alasan utama mengapa karya-karya intelektual diberikan
perlindungan hukum. Pertama, didasarkan pada argumentasi moral, bahwa karya
intelektual dihasilkan dari usaha keras dan melalui proses yang rumit. Apabila
seseorang mengambil atau menggunakan karya intelektual tanpa izin adalah tindakan
yang tidak bermoral dan dianggap sama dengan pencurian. Kedua, didasarkan pada
argumentasi ekonomi, bahwa karya intelektual yang dihasilkan memiliki nilai
ekonomi (economic value) yang tinggi dan layak menjadi komoditas. Ketiga,
didasarkan pada argumentasi inovasi, bahwa karya intelektual merupakan inovasi
(innovation), yaitu ciptaan atau penemuan baru yang sangat berguna bagi masyarakat
sehingga perlu diberikan imbalan atau ganjaran (reward) sebagai perangsang
(incentive) agar semakin giat menghasilkan karya intelektual yang lebih baik.157
Perlindungan hak terhadap karya intelektual diawali sejak munculnya hak.
Dalam konteks ini, menurut Pasal 2 UUHC 2002 ditentukan bahwa muncul atau
lahirnya hak cipta secara otomatis atau tanpa memerlukan pendaftaran, setelah karya
cipta selesai dibuat, dan tentunya sudah memenuhi kriteria dalam UUHC.
Karakteristik hak cipta ini berbeda dengan hak-hak kekayaan intelektual lain seperti
154 Jill McKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition, Sydney:
Butterworths, 1997, hlm. 119. 155 Ibid., hlm. 123. 156 Paul Torremans dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition, London: Butterworths,
1998, hlm. 212. 157 McKeough dan Stewart, Intellectual, hlm. 16-19.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
hak merek dan paten yang muncul setelah didaftarkan. Menurut Pasal 5 UUHC 2002
ada dua kategori pencipta. Pertama, pencipta adalah orang yang namanya terdaftar
dalam daftar umum ciptaan pada kantor direktorat jenderal HKI. Kedua, pencipta
adalah orang yang namanya disebut dalam ciptaannya atau diumumkan.
Meski pendaftaran hak bukan merupakan syarat keberadaan hak cipta, namun
pendaftaran hak diperlukan. Melalui pendaftaran dapat memudahkan untuk
membuktikan bahwa pencipta adalah orang yang memiliki hak cipta. Apabila terjadi
sengketa, sertifikat hak cipta yang diperoleh dapat digunakan sebagai alat bukti
sehingga ada kejelasan dan kepastian tentang saat munculnya hak cipta. Sering kali,
para seniman pencipta lagu tidak mempedulikan tentang saat munculnya hak cipta
pada lagu ciptaannya. Biasanya, sengketa hak cipta baru muncul setelah lagu yang
mirip dengan ciptaannya dibawakan atau dinyanyikan oleh orang lain dalam suatu
acara.
Munculnya hak cipta merupakan momentum untuk menentukan awal atau
dimulainya masa perlindungan hukum bagi hak cipta. Masa perlindungan atau
jangka waktu perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 ditentukan berdasarkan
subjek dan objek. Ditinjau dari subjek hak cipta, dibedakan antara orang sebagai
pencipta dan badan hukum sebagai pemilik atau pemegang hak cipta. Ditinjau dari
objek hak cipta, dibedakan antara ciptaan yang bersifat asli (original) dan turunannya
atau derivatif (derivative). Berdasarkan kategori tersebut, maka jangka waktu
perlindungan hak cipta menurut UUHC 2002, yaitu:
1. Ciptaan yang asli, antara lain seperti karya sastra (literary), drama (dramatic),
musik (musical), dan karya artistik (artistic work)158 yang dimiliki oleh orang,
masa perlindungan berlangsung selama hidup dan 50 tahun setelah meninggal
dunia.
2. Ciptaan yang derivatif, antara lain seperti program komputer (computer program),
sinematografi (film), rekaman suara (sound recordings), penyiaran
(broadcasting), perwajahan (layout)159 berlaku selama 50 tahun sejak diumumkan
atau diterbitkan. Begitu pun, apabila dimiliki oleh suatu badan hukum berlaku 50
tahun sejak diumumkan.
Jangka waktu perlindungan yang terlalu lama untuk beberapa jenis karya cipta
sesungguhnya tidak efektif. Program komputer misalnya, masa perlindungan selama
50 tahun terlalu lama, karena penciptaan program-program komputer baru sangat
cepat, seperti program Windows yang dikembangkan oleh Microsoft. Alih-alih
jangka waktu 50 tahun, masa lima tahun saja usia program komputer sudah terhitung
kuno. Masyarakat pengguna program komputer cenderung menyesuaikan atau
mengikuti program yang baru tentunya.
Perlindungan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran
hak cipta yang umumnya dapat berupa:
1. perbuatan yang melanggar hak moral pencipta dengan memanfaatkan hak cipta
milik orang lain secara tanpa izin, seperti mengutip, mencontek, atau plagiarime;
158 Phillips dan Firth, Introduction, hlm. 140. 159 Catherine Colston, Principles of Intellectual Property Law, London: Cavendish Publishing Limited,
199, hlm. 185-188.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
2. perbuatan yang melanggar hak ekonomi pencipta dengan mengambil keuntungan
tanpa izin, seperti pembajakan, reproduksi, perbanyakan, atau pelipatgandaan
(multiply).
Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dapat bermacam-macam ragamnya, namun
pada hakikatnya melanggar hak moral dan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak
cipta.
Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hukum yang diuraikan di atas
bersifat pencegahan. UUHC 2002 selain mengatur tentang pencegahan juga memuat
ketentuan perlindungan hukum yang bersifat penanggulangan, yaitu berkenaan
dengan persengketaan hak cipta atau pelanggaran sanksi berupa ketentuan pidana.
Perlindungan hukum berkenaan dengan hal itu, oleh UUHC 2002 diberikan fasilitas
dan kemudahan.
Pertama, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum pengadilan niaga
atau forum penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution), seperti
mediasi dan arbitrase. Pengadilan niaga memiliki wewenang untuk memeriksa
sengketa hak cipta. Ada beberapa prosedur yang berbeda dalam memeriksa sengketa
hak cipta dalam persidangan di pengadilan niaga. Selain itu, majelis hakim yang
memeriksa pun bersifat khusus karena ahli (expert) di bidang HKI. Penyelesaian
sengketa melalui mediasi dan arbitrase merupakan pilihan yang dibolehkan dalam
UUHC.
Kedua, pencantuman sanksi dalam UUHC berupa ketentuan pidana yang dapat
ditegakkan terhadap pelanggaran hak cipta. Satu hal yang membedakan perlindungan
hak cipta dengan rezim HKI yang lain adalah pelanggaran terhadap hak cipta
dikualifikasi atau berstatus sebagai tindak pidana atau delik (delict) biasa atau bukan
tindak pidana aduan. Dengan demikian, setiap pelanggaran hak cipta tidak
diperlukan adanya pengaduan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang menjadi
korban tindak pidana. Sesungguhnya, status delik biasa sudah diterapkan sebelum
UUHC 2002, namun dipertahankan hingga saat ini. Setidaknya, ada tiga alasan
utama status delik biasa pada hak cipta tetap dipertahankan:
1. Hak cipta lahir tidak melalui pendaftaran;
2. Karya cipta rentan terhadap pelanggaran, seperti pembajakan lagu dan film
dengan menggunakan alat rekam yang berteknologi canggih.
3. Pencipta dan para pelaku di bidang hak cipta menghendaki agar dikenakan
hukuman berat.160
Padahal, efektivitas sanksi pidana dengan status delik biasa diragukan. Hal ini
dapat diamati dari penjualan karya cipta lagu dan film bajakan secara terbuka dan
terang-terangan para penjual itu mengakui bahwa VCD dan DVD yang dijualnya
berstatus barang-barang bajakan alias barang-barang ilegal. Namun, kepolisian
sebagai penegak hukum tidak melakukan tindakan perlindungan hukum. Dengan
demikian, pencantuman sanksi pidana yang berat tanpa diikuti dengan tindakan
hukum (legal action) yang tetap atau konsisten, justru dapat menimbulkan sikap
apatis.
160 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT Alumni, 2005, hlm.
135.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Apabila situasi dan kondisi semacam itu terus dibiarkan oleh aparat penegak
hukum, yang mangalami kerugian bukan hanya para pencipta atau pemegang hak
cipta tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Karena, para pencipta enggan membuat
karya cipta yang indah, bermutu dan bernilai seni tinggi. Pada akhirnya, sikap dan
perbuatan semacam itu dapat menciptakan iklim yang tidak sehat atau terjadi
degradasi moral. Karena, pembajakan dan plagiat sesungguhynya merupakan
tindakan atau perbuatan yang melanggar etika dan moral.
IV. Penutup Perkembangan daya intelektual manusia cenderung meningkat, karena faktor
manusia dan teknologi yang didorong oleh tingkat persaingan yang tinggi pula.
Karya-karya intelektual pada masa mendatang akan semakin banyak bermunculan
dengan beragam jenis atau macam. Namun sayang, perkembangan yang positif itu
terancam dengan lemahnya tindakan hukum untuk memberikan perlindungan
terhadap hak-hak cipta.
Ditinjau dari aspek pengaturan hukum untuk memberikan pedoman atau
panduan dalam memberikan perlindungan hukum, dipandang sudah memadai.
Namun, tindakan hukum yang nyata yang belum optimal atau tidak efektif. Akankah,
kita menunggu pihak asing untuk meminta atau mendesak Pemerintah Indonesia agar
melindungi karya-karya cipta mereka yang dipasarkan di Indonesia.
Daftar Pustaka Colston, Catherine. Principles of Intellectual Property Law. London: Cavendish
Publishing Limited, 1999.
Engelbrecht, A. dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen
Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab Undang-
Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar
1945 Republik Indonesia. Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatshappij N.V. dan
PT Gunung Agung, 1960.
McKeough, Jill dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition.
Sydney: Butterworths, 1997.
Phillips, Jeremy dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth
Edition. London: Butterworths LexisNexix, 2001.
Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT
Alumni, 2005
Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar
Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007.
Simorangkir, J.C.T. Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982). Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1982.
Snow, Gordon M. “Testimony,” <http://www.fbi.gov/news/testimony/intellectual-property-law-
enforcement-efforts>, diakses tanggal 15 November 2011.
Torremans, Paul dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition. London:
Butterworths, 1998.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Hubungan Negara dan Agama Berdasarkan UUD 1945
________________________________________________________________________
Budiyono
A. Latar Belakang
Konstitusi menempati posisi yang sangat penting dalam perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi muatan konstitusi selalu berkembang
seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan organisasi kenegaraan.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pedoman penyelenggaraan
pemerintahan suatu negara. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsip-
prinsip dasar yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah
(rakyat), dan hubungan antara keduanya.
Konstitusi merupakan aturan dasar ketatanegaraan yang dibuat oleh
masyarakat guna memberikan arah penyelenggaraan hubungan kehidupan berbangsa
dan bernegara, tidak terkecuali persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Konstitusi tidak
saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme hubungana antara
lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak relasional dan
kedudukan dan kewajiban warga negara161, konstutusi juga merupakan realisasi dari
demokrasi yang berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat.
begitu pentingnya kehadiran konstitusi di sebuah negara, secara teoritis dapat
disebutkan bahwa semua bangsa bernegara, menuangkan pokok-pokok pandangan,
pendirian, prinsip konseptual mengenai pengelolaan kehidupan bernegara dan
berbangsa mereka dalam sebuah konstitusi, baik konstitusi tertulis maupun tidak
tertulis.
Keberadaan konstitusi adalah kesepakatan yang bersifat umum atau perjanjian
seluruh rakyat mengenai bangunan negara yang akan diidealkan. Organisasi negara
yang dituangkan di dalam konstitusi sangat diperlukan oleh warga masyarakat agar
kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan pengunaan
mekanisme negara. Konstitusi merupakan ketentuan yang memberikan pengaturan dan
menentukan fungsi dari lembaga-lembaga negara agar tidak terjadi pelanggaran atas
HAM. oleh karena itu, kepentingan yang paling mendasar dari setiap warga negara
atau masyarakat adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Hak
Asasi Manusia (HAM) merupakan materi inti dari naskah UUD (Konstitusi tertulis)
negara modern.
Sebagai wujud perjanjian masyarakat tertinggi, konstitusi memuat cita-cita
yang akan dicapai dengan pembentukan negara dengan prinsip-prinsip dasar
pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang
merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar,
dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Undang-Undang Dasar 1945
sebelum perubahan dapat dikatakan tidak mencantumkan secara tegas mengenai
161 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2007, Hlm. 8
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
jaminan hak asasi manusia. UUD 1945 hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga
tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia162. Namun setelah
perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan
hak asasi warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan yang
sangat mendasar163. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sunguh hanya ada 1
ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas
HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu’. 164 ini berarti bahwa Setiap orang berhak
atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun
boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut
atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya.
Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/
menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan,
ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.
Pasal 29 UUD 1945 selain merupakan persoalan Hak Asasi Manusia di bidang
kebebasan beragama juga merupakan dasar hubungan agama dan negara di dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaan yang menarik terhadap
masalah hubungan agama dan negara adalah mestikah agama mengatur negara dan
negara harus mengatur agama? Bagaimana sesunguhnya jarak ideal antara agama
dengan negara/ bagaimana pula hubungan agama dengan hak asasi manusia ?
B. Hubungan Negara dan Agama
Hubungan agama dan negara sebenarnya telah lama terjadi dalam realitas
sejarah yang cukup lama. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama
senantiasaa memilki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara selalu
mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman sebagaimana
dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara
keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat
yang lain mengalami ketegangan. Hubungan antar agama dan negara tidak berdiri
sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Puncak
162 Pasal 27 Ayat (1) (2) , Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 34
UUD 1945 163 Pasal 27 Ayat (1) (2), Pasal 28, 28 A, Pasal 28 B Ayat (1) (2), Pasal 28 C Ayat (1) (2), Pasal 28D Ayat
(1) (2) (3) (4), Pasal 28 E (1) (2) (3), Pasal 28F, Pasal 28 G (1) (2), Pasal 28 H (1) (2) (3) (4), Pasal 28 I
(1) (2) (3) (4) (5), Pasal 29 Ayat (2) 164 Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal UUD 1945 bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights,
melainkan hanya ketentuan –ketentuan mengenai hak warga Negara atau citizens’rights atau biasa juga
disebut the citizens’ constitusional rigts. Hak konstitusional warga Negara hanya berlaku bagi orang-
orang yang berstatus sebagai warga Negara, sedangkan bagi warga Negara asing tidak dijamin. Satu-
satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraanya adalah Pasal
29 Ayat (2). Jimly Assddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kapaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm 584.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
hubungan antara agama dan negara terjadi ketika konsep Kedaulatan Tuhan
(theocracy) dimana pelaksaknaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaultan Tuhan dan
Kedaulatan Raja berhimpitan satu sama lain sehingga kekuasaan raja sangat absolut.
Kekuasan raja yang sangat absolut tersebut mengungkung peradaban manusia seperti
yang terjadi pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme
yang beruasaha memisahkan agama (gereja) dan negara.165
Di Indonesia ada tiga macam pemikiran yang berkembang mengenai hubungan
antara agama dan negara, pertama, pemikiran yang menghendaki pemisahan antara
agama dengan sistem ketetanegaraan166. Kedua, pemikiran yang melihat hubungan
yang saling membutuhkan antara agama dan negara167. Ketiga, pemikiran yang
menghendaki agama dan negara adalah satu dengan negara yang tidak dapat
dipisahkan168.
1. Tipologi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Sejarah mencatat, bahwa agama dan negara adalah dua institusi yang sangat
berpengaruh pada perkembangan kehidupan manusia. Hanya untuk kedua hal
tersebut manusia bersedia mengorbangkan dirinya, hanya untuk memperoleh gelar
sahid atau syuhada dalam pandangan agama, atau untuk gelar pahlawan atau patriot
dalam pandangan negara. Kedudukan agama dan negara yang sama kuat, tidak
jarang diantara keduanya, terjadi. Pertama, rivalitas di antara keduanya dalam
kurun waktu tertentu, dimana masing-masing saling meniadakan (antogonistik).
Kedua, sebaliknya terjadi ”perkoncoan” atau ”kolusi” atau ” hubungan simbiotik
antara agama dan negara, dimana antara keduanya saling memanfaatkan dan pada
saat tertentu ingin memperalat.169
Hubungan antara agama dan negara dalam kontek ke-Indoneisan dibagi
dalam empat tipologi yaitu.
1. tumbuhnnya kerajaan Perelak dan Samudera Pasai di Aceh. Di kerajaan ini
hukum negara adalah hukum agama.
2. pertarungan antara hukum adat dan hukum agama (Islam) di Sumatera Barat.
Disebabkan tidak adanya kerajaan besar yang bisa memenangkan yang adat
atau syari’ah. Perang Paderi merupakan puncak pertarungan antara hukum adat
dan hukum agama (Islam). Di sini terjadi permasalahan karena hukum Islam
akan dijadikan hukum negara tetapi masyarakat menolak, mengigat mereka
165 Menurut Budhy Munawar-Rahman, sekulerisme lahir dari otoriterisme agama (gereja) yang bersekutu
dengan penguasa (negara) sehingga memasung kebebasan beragama. Budhy Munawar-Rahman,
sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif dan perkembangan diskursusnya, Grasindo,
Jakarta, 2010, hlm, XX1. 166 Jajim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama hlm, 1 167 Ibid, hlm, 1 168 Ibid, hlm, 1 169 Model pertama terjadi pasca tumbangya Khilafah Utsmaniyah di Turki, sedangkan model kedua terjadi
pada masa kerajaan majapahit, dimana secara bergantian terjadi pemberian legitimasi antara agama dan
negara. Kerajaan Majapahit lahir lantaran agama memberikan legitimasi kepadanya, sebaliknya agama
juga dilindungi oleh negara. Silih berganti pemberian legitimasi juga terjadi pada Kerajaan Mataram,
tapatnya ketika Walisanga memegang peran dominan di kerajaan. Ibid, hlm, 45.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
sudah mempunyai hukum adat tersendiri. Akhir dari semuanya disepakati
bahwa kedua-keduanya diakui . kesepakatan ini terkenal dengan kata-kata ”
adat bersendikan syara dan syara bersendikan Kitabullah”, artinya eksistensi
hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3. pola dalam Kerajaan Goa, dimana ada kerajaan yang kuat yang menggunakan
hukum adat istiadat dan hukum serta tata cara hukum pra–Islam. Kemudian
datang hukum Islam melalui pedagang, para ulama yang memasuki keraton
secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Dari sini
timbul kerajaan-kerajaan yang di Islamkan secara berangsur-angsur dengan
tidak mematikan unsur-unsur pra–Islam yang sudah ada.
4. pola yang terjadi di Kerajaan Jawa, ketika penembahan Pasopati secara sadar
memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam dalam bentuk Hindu-Budha yang
digabung dengan sistem kepercayaan sebelum hindu datang. Dengan kata lain
ada agama bayangan disamping agama formal. Disini masyarakat tidak harus
ikut-ikutan. Mereka jadi santri dipersilahkan dan berbeda dengan raja pun
bukan persoalan170.
Sementara selain tipologi hubungan agama dan negara sebagaimana yang
dipaparkan di atas, ada juga beberapa tipologi hubungan antara agama dan negara.
Ada empat tipelogi hubungan antara agama dan negara, yaitu :
1. Tipe negara sekularistik atau ”seperasi mutlak”, yaitu tipe negara yang
menghendaki pemisahan mutlak antara agama dan negara. Disini negara tidak
mengurus agama, dan agama tidak mengurus negara, agama dipandang tidak
berbeda dari perkumpulan dan organisasi swasta lainya yang dibentuk oleh
warga masyarakat. Agama tidak ditindas, tidak didukung, dan juga tidak dikut
sertakan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan negara.
2. Tipe negara totaliter atau subordinasi agama oleh negara, dalam negara model
ini, posisi agama berada dibawah bayang-bayang negara. Disini negara hampir
menjadi mahluk raksasa, yang memiliki kewenangan, kekuatan, dan klaim yang
hampir tak terbatas. Dengan keberadaan negara yang kuat, sudah tentu agama
menjadi tidak berkembang dan terpasung eksistensinya. Negara model ini bisa
disebut negara atheis, dimana agama dipandang sebagai candu masyarakat
3. Tipe negara agama atau subordinasi negara oleh agama, yaitu negara yang
mendasarkan pada salah satu agama tertentu, atau negara yang diatur dan
diselenggarakan menurut hukum agama tertentu. Dan pula diartikan bahwa
agama-agama lain dikucilkan dari pengaruh atas penyelenggaraan agama.
4. Tipe negara sekular yang mementingkan agama atau negara dimana terjadi relasi
timbal balik antara agama dan negara. Dalam negara model ini, keberadaan
agama tidak saja dipentingkan, dipelihara, tapi juga dikembangkan. Hal ini
mengigat negara melihat berkembangnya agama pada tataran tertentu akan
semakin memperkuat kedudukan negara. Karenanya negara berkepentingan pada
negara agama. Dalam konteks Indonesia, ” negara Pancasila” merupakan bentuk
lain dari negara sekuler yang mementingkan agama171.
170 Taufik Abdulah yang dikutif oleh Ma’mun Murod Al-Brebesy , Ibid, hlm,47. 171 Ibid hlm, 47. Dalam pemikiran politik islam, ada tiga paradigma hubungan agama dan negara, pertama
paradigma bersatunya agama dan negara. Yakni pemerintahan negara diselengarakan atas kedaulatan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Menurut Dawam Rahardjo, mengenai negara sekuler di negara- negara
Barat terdapat tiga varian sekulerisme. Pertama, sekulerisme Perancis. Sekulerisme
di negeri ini pada dasarnya mencurigai agama sebagai sumber konflik yang bisa
merusak ruang publik. Karena itu sekulerisme diterapkan untuk melindungi dan
menjaga ruang publik dari ekspresi-ekspresi keagamaan, walaupun setiap warga
negara bisa memilih dan memeluk agama yang mereka percayai. Perlindungan
ruang publik itu misalnya, dilakukan dengan melarang pemakian simbol-simbol
keagamaan di ruang publik, seperti pemakaian jilbab pada perempuan muslim,
memakai tanda salib oleh seseorang atau bahkan memakai kopiah-kopiah
Yahudi.172
Sekulerisme model kedua, sekulerisme model negara Kanada yang juga
memisahkan agama dan negara walaupun menyebut monoteisme dalam
konstitusinya. Sekulerisme model Kanada diperkuat dengan pluralisme karena
masyarakat adalah bersifat multietnis dan multiagama. Sebagai negara sekulerisme,
negara tidak memfasilitasi kehidupan beragama dan membiarkan aliran-aliran besar
keagamaan untuk hidup mandiri terpisah dari negara. namun sebaliknya, negara
justru memberikan perlindungan dan bantuan kepada kelompok keagamaan
minoritas. Dengan perkataan lain negara Kanada memberikan kebebasan beragama
pada tingkat kelompok.173
Sedangkan varian ketiga, sekulerisme Amerika Serikat (AS). Titik tekan
sekulerisme AS adalah kebebasan sipil, dimana kebebasan beragama diletakan pada
tingkat individu, walaupun demokrasi di AS telah melahirkan sekte-sekte gereja
Kristen dalam jumlah yang cukup banyak sekitar 325 denominasi. AS memberikan
kebebasan kepada gereja-gereja untuk melakukan wacana publik. Sehingga
kegiatan dakwah di gedung-gedung umum atau ruang publik banyak dilakukan.
Hanya pendidikan agama tidak diperkenankan di sekolah-sekolah publik,
pendidikan agama ditempatkan di gereja-gereja.174
Dalam pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya kajian mengenai
hubungan agama dengan negara, ditemukan tiga pola pemikiran, yaitu pola
sekularis, tradisionalis, dan reformis175. Pola sekularis menyatakan, bahwa Islam
adalah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan
didalamnya tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah
Ilahi. Kedua, memandang agama dan negara berhubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agama
memerlukan negara agar dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan
bimbingan moral dan etika. Ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan
integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Peradigma sekuleristik mengajukan
pemisahan agama dan negara. Dalam konteks islam, paradigma selkuleristik menolak pendasaran
negara pada Islam atau menolak determinasi Islam dalam negara. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Glora Aksara Pratama, 2008, hlm, 80-89.
172 M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Kencana, Jakarta, 2010,
hlm, 129. 173 Ibid, hlm, 130 174 Ibid, hlm, 131 175 Musdah Mulia, Negara Islam, KataKita, Jakarta, 2010, hlm, 21-23
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
kenegaraan. Sebaliknya, pola tradisionalis bahwa Islam adalah agama yang
paripurna, yang didalanya ditemukan semua aturan, termasuk aturan yang berkaitan
dengan kenegaraan. Karena itu, umat Islam tidak perlu meniru Barat, tetapi harus
kembali kepada aturan yang digariskan Islam. Adapun pola reformis menolak
kedua pendapat yang ekstrim tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah
agama semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula
yang agama serba lengkap dalam arti ajaranya mencakup segala aturan secara rinci
termasuk aturan mengenai kenegaraan. Islam cukup memberikan prinsi-prinsip
dasar yang dapat menjadi pedoman manusia mengatur prilaku dan hubungannya
dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.176
Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan
politik (negara) tidak dapat dipisahkan177. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya
Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one.178 Jika
memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat
dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.179 Bahkan
Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi
dikarenakan memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat di
Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam
Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah
seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut
Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.180
Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika
Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja
sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam
konteks Amerika, pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan
campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan
dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam
jalannya pemerintahan bernegara.
Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan
dengan pandangan keIndonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan
mutualisme” antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama
176 M. Husein Haikal mengemukan pendapat bahwa di dalam Al-quran dan sunah tidak ditemukan aturan-
aturan yang lansung dn rinci mengenai persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai
etika yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku menusia dalam kehidupan dan
pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan hidup bernegara.
Nilai-nilai yang dimaksud adalah prinsip tauhid, sunatullah, dan prinsip persamaan.. Ibid , Musdah Mulia,
hlm, 21-23 177 Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm.
42 178 Ibid,hlm, 42. 179 Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam
membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal,
Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203. 180Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 16-
17. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan
Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat
yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi Ahmad Sukardja
(Prof, DR)
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU
Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum
agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan
produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama
mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah
(masyarakat). Dengan kata lain, agama juga berperan serta dalam pemerintahan.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali
menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan
pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama.
Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih
diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
2. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu
formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe
negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi.
Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara
Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman
dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha
Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia
sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan konstatasi tersebut maka pemikiran filosofis tentang hubungan
negara dengan agama yang tertuang dalam dasar filsafat negara Pancasila, yang sila
pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah merupakan pemikiran
inovatif para pendiri bangsa ini. Dalam hubungan ini pendiri Republik ini mampu
meletakkan konteks hubungan negara dan agama di tengah-tengah model negara
sekuler, teokrasi dan ateis, berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia sebagai
kausa materialis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat Pancasila
merupakan suatu nilai bahkan esensi nilai (core values), bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu persoalan yang cukup penting
berikutnya adalah bagaimana derivasi nilai-nilai tersebut pada tataran normatif,
aktual dan praksis serta aktualisasinya dalam era global dewasa ini yang penuh
dengan tantangan.
Bilamana dipetakan maka persoalan yang menyangkut hubungan agama
(khususnya Islam) dengan Pancasila di negara Republik Indonesia ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga tahap.
Pertama, terjadi ketika kaum ‘Nasionalis’ mengajukan Pancasila sebagai
dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Sebagaimana para pendiri negara-negara lain, para pendiri Republik ini menyadari
betapa pentingnya dasar filsafat dan ideologi dalam suatu negara. Oleh karena itu
tatkala menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari
kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar
filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia
yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada
di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang
BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada
tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1
Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut,
persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara
golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam
menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak
setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kese-pakatan dengan
ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan
Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945..
Dalam membahas hubungan antara Negara dengan Agama Islam tersebut
kiranya layak dipertimbangkan berbagai pemikiran dari kalangan intelektual Islam.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam modern mengenai
hubungan antara agama dengan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori
utama. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak
harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif
mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan
ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam
pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara
secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan
oleh antara lain Abdul A’la Maududi (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth
(1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami
maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia,
Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini.
Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama
dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah ‘al-din wa al-daulah’
(agama dan negara).181
Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini
agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak
ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak
harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini
adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk182.
Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama,
sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan
perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain,
181 Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat Pancasila,2010,hlm, 10 182 Berkes, The Development of Seculerism in Turkey, Mc. Gill University Press 1964.
sebagaimana dikutip Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat
Pancasila,2010, Ibid. hlm. 10
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga
kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat
memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua
karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara
harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam
hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada
hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama.
Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para
khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah
menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau
negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin
politik183. Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan
tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan
yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai
dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan
mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman.
Formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian
negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945,
yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa
Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone-sia) yang
diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya.
Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945,
Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini
dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur,
tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut,
kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi
“Ketuhanan yang Maha Esa”.
Kedua, Respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978
Pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh
Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.
Ketiga, ketika pada tahun 1982 Pemerintah mengajukan Pancasila sebagai
asas tunggal bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia.
Kebijaksanaan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam, bahkan terdapat
beberapa ormas yang dibekukan karena menolak asas tersebut.
Berdasarkan perkembangan respons umat Islam atas Pancasila sebagai dasar
Filsafat negara, yang diaktualisasikan oleh pemerintah saat itu, maka munculah
183 Muhamad Imarah, Al Islam wa Uslul al-Hukm Li Ali Abd al-Raziq, edisi ke 2, al-Mu’assasah al-
Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nashr, Beirut, 1998, sebagaimana dikutip, Kaelan, M.S.2010. Ibid, hlm, 10
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
berbagai sikap dan penilaian terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi
bangsa dan negara Indonesia, yang hasilnya menimbulkan kerancuan pemahaman
tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD
1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam
Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan
kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di
antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena
sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai
”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang
Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita
bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan
persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang
menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan
persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada
di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan
bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa
prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara
bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.184 Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat,
negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga
berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu
kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam
kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan
sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial;
184 Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya
Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
(4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang
adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan
sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia
(berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila
harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang
Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan),
keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus
dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan
menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu,
Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk
Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme
Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk
beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama
(atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak
membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,
melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.
Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila pertama dan
utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menjadi landasan hukum
dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa Negara
Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Negara Republik
Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan
hukum agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dalam sistem kenegaraan
Pancasila adalah makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan
merupakan Negara Islam, bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara
Hindu, bukan Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama
apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu negara
Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi negara beragama dan
negara yang harus melindungi umat yang beragama.Negara Indonesia sebagai
negara hukum, dipertegas lagi dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara
Berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa Jadi, Negara Indonesia adalah negara
hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut paham sekuler, sehingga
Negara dan pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan perikehidupan
beragama kita. Karena itu pemerintah tidak menempatkan usaha dan bagi
pembinaan dan pemgembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat
dan umat beragama semata-mata. Dilain pihak, Negara kita juga bukan Negara
Agama dalam arti didasarkan pada salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Negara tidak mengatur dan tidak inigin mencampuri urusan syari’ah dan ibadah-
ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.185
Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional maka
Pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupan
beragama. Pembangunan di bidang kehidupan beragama bertujuan agar kehidupan
beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari serta mengurangi
ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman
masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama,
terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama,
karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan
antar umat beragama.
Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa
yang dikatakan Samuel P. Huntington bahwa:
”betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik,
diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan
ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak
ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, masih bertahan
hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya
kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan”.186
Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan
“kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti
Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. John Locke
menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan
dalam konteks kekuasaan legislasi.
These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law
of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all
forms of government.187
Oleh karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar
kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau
tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara
juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-
agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip
185 Op. cit. Jajim Hamidi dan Husnu Abadi, hlm, 11 186 Lukman Hakim Saifuddin Ketua Fraksi PPP DPR RI, Makalah,Indonesia adalah Negara Agamis:
Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila
187 Ibid
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)188, untuk terus
ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.
Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus
dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling
memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam”
sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Penataan hubungan antara
agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling
mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk
hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga
negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang
mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya
kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-
praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan
norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi
negara.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang
khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di
dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara
bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada
bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa
yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan
hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara
adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Adanya ketentuan bahwa negara
berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukan bahwa negara mempunyangi
kewajiban dan tanggung jawab untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan
religius rakyat kepada meyakini, meresapi, serta menghayati adanya Tuhan Yang
Maha Esa, ini berarti negara Indonesia adalah negara beragama bukan negara yang
berdasarkan agama tertentu dan juga bukan negara sekuler, adalah negara
beragama. Negara beragama adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hatta menempatkan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral
ditempatkan di atas, sebagai Sila Pertama. Dengan demikian, Hatta mencita-citakan
negara dan pemerintahan akan mempunyai dasar yang kokoh. Dengan pola
pemerintahan yang berpegang pada nilai moral yang tetinggi, maka akan tercapai
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi menurut Hatta, dasar ke-
Tuhanan Yang Maha Esa, adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita,
yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil
dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan
dalam perbuatan dan praktek hidup dari dasar cita-cita dan amal ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Ke- Tuhanan Yang Maha Esa bukan lagi sekedar hormat-menghormati
188 Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu
(Nabi Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
agama masing-masing, melainkan nilai-nilai agama itu menjadi dasar yang
memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan, dan
lain-lain. Politik negara dengan demikian akan mendapat dasar yang sangat kuat189
Pernyataan Hatta ini dikemudian hari dikuatkan dengan pernyataan Natsir
yang menyatakan bahwa bagi Negara Indonesia, meskipun bukan negara agama,
tetapi agama telah ditempatkan dalam tempat tertinggi (Pancasila) yang berfungsi
sebagai dasar etik, moral dan spiritual agama. Dalam sejarah tercatat, pernyataan
Natsir ini disampaikannya dalam sebuah pidato di depan The Pakistan Institut of
World Affairs pada tahun 1952, dan Natsir menyatakan :
”… tidak diragukan lagi, bahwa Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena
penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan sebagai agama negara.
Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam
diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak
dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak
mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan
kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas
dari Pancasila- -Lima Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral dan
spiritual negara”190
Dari pernyataan Hatta dan Natsir di atas, dapat dipahami bahwa agama
(Ketuhanan Yang Maha Esa) membawa pengaruh kuat pada pembentukan tatanan
moral setiap orang. Tatanan moral yang tertanam dalam individu-individu yang
dibentuk atas dasar kepercayaan kepada Tuhan inilah yang kemudian membentuk
wajah dan susunan Negara Indonesia.
Seperti telah diuraikan terdahulu, sebelum PPKI mengesahkan UUD 1945,
Panitia Sembilan BPUPKI pernah mengesahkan rancangan Pembukaan UUD yang
didalamnya terdapat kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”. Menurut Abdulkadir Besar, meskipun ada perbedaan mendasar
rumusan Piagam Jakarta dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan, Pasal 29
dan Penjelasan UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang, tetapi juga tetap
mengandung pokok cita yang sama191.
Abdulkadir Besar menyatakan, bahwa berdasarkan Pembukaan, Pasal 29
dan Penjelasan UUD 1945 maka tipe hubungan negara dan agama di Indonesia
adalah “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab Lebih lanjut, menurutnya “Negara berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan warna “negara agama” dan tidak
189 Moh. Hatta. Pengertian Pancasila seperti dikutip olej Ahmad Zubaidi.Paham Idiologi Pancasila
Mengenai Hubungan Antara Negara Dan Agama. Tesis. Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. 1993,hlm, 115 190 Ibid 191 Abdulkadir Besar. Cita Negara Persatuan dan Konsep Kekuasaan Serta Konsep Kebebasan Yang
Terkandung di Dalamnya. Seperti dikutip oleh Ahmad Zubaidi. Ibid. Hlm. 118
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
menghapus sama sekali ciri negara agama yang dikemukakan oleh kalangan Islam.
Rumusan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” mencerminkan
warna negara sekuler dari aspirasi pihak kebangsaan yang dimodifikasi dalam
bentuk Pancasila192.
Lebih lanjut, Abdulkadir Besar menyatakan, ditinjau dari sudut negara
agama, Piagam Jakarta memiliki ciri dari negara agama, yaitu bahwa negara ikut
bertanggung jawab mengenai pembinanaan kehidupan beragama. Sedangkan
ditinjau dari sudut negara sekuler, Piagam Jakarta juga menunjukkan
kesekulerannya, yaitu bahwa keikutsertaan negara dalam campur tangan masalah
agama, tidak sampai berwatak campur tangan terhadap kesakralan (kesucian)
agama193.
Dengan demikian, lanjut Abdul Kadir Besar, makna sejarah dari Piagam
Jakarta yang dituangkan dalam bentuk Pembukaan UUD 1945 adalah bahwa
Piagam Jakarta itu telah menetapkan Negara Republik Indonesia sebagai “Negara
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, bukan dalam pengertian negara agama,
dan bukan negara sekuler. Dengan demikian tipe “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil da beradab” tetap
menghidupkan makna yang terkandung di dalam Piagam Jakarta,yang memadukan
tipe negara agama dan tipe negara sekuler194
Dalam hal ini Mantan Presiden Soeharto menegaskan:195
“ Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah negara
Teokrasi, negara kita bukanlah Negara Agama; bukan negara yang
berdasarkan diri pada agama tertentu”
Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara beragama, yaitu:
Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang
mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis atau mencantumkan nilai-nilai
agama, yakni:
1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.
2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut
agamanya.
3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama
di bawah Mahkamah Agung.
4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta
192 Ibid 193 Ibid 194 Ibid 195 Ibid, hlm, 11
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa.”
6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.
7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara beragama diakui melalui
pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Sejak kemerdekaan, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit
mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,
UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang
berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan
bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008
tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan
ajaran agamanya masing-masing.”
Kelima, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional Tahun 1999-2000 memberikan peran pada agama sebagai landasan dalam
pembangunan nasional:
“ Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral,
spritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta mengupayakan agar
segala perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama”
Negara beragama adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya
tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang
berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat
menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga
warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama
lain.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Agama-agama dalam negara beragama harus selalu menjunjung tinggi
prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan
agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga
berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Negara
beragama yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi,
Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel)
di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya,
meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial
dari beberapa agama.
Negara beragama merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara
sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa), maka negara beragama justru sebaliknya, menjadikan prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agama dan negara dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan paradigma negara
Indonesia terhadap agama adalah simbiosis mutualisme, keduanya saling
membutuhkan. Dalam konteks ini Peraturan perundang- undangan yang
berhubungan dengan kehidupan beragama dalam bahasa antropologi merupakan
semacam feiten for behavior (pola bagi tindakan) untuk melakukan relasi antar
umat beragama melalui peran negara dalam hal ini terutama pemerintah. Regulasi
tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara.
Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan
masyarakat (public safety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral
masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi
hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom
orders).
Dalam hubungan agama dengan negara terdapat wilayah internal dan
eksternal agama. Wilayah internal agama adalah bidangnya agama, dan domain
publik agama. berkaitan dengan nilai isi ajaran utama atau pokok agama menjadi
otoritas dari agama yang bersangkutan, dan sumber utamanya kitab suci agama dan
Wilayah ini tidak boleh diganggu oleh siapa pun kecuali oleh agama itu sendiri.
Eksternal wilayah agama merupakan pengekspresian pemeluk agama terhadap
keyakinannnya; publik agama adalah wilayah publik atau umum yang menjadi
domain negara dan pengaturannya sepenuhnya menjadi tanggungjawab Negara.
Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, Pancasila bukan lain
merupakan kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat
bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam
bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan
negara Indonesia. Artinya, aturan, norma, hukum dasar dalam UUD merupakan
manifestasi yang secara substansi memuat dan mencerminkan nilai-nilai dasar
tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD semata-mata berisi nilai-nilai sebagai
perincian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Pancasila dan UUD 1945 yang menentukan bahwa negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah diartikan bahwa negara harus dibangun atas
dasar prinsip –prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan peran
agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. negara Pancasila adalah yang
kita anut dan kita berpendapat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan
negara sekuler, tetapi negara yang memberikan tempat terhormat kepada agama-
agama yang ada di Indonesia.
Secara filosofis negara mempunyai tugas fasif terhadap masalah agama.
Negara hanya memberikan jaminan kepada seluruh penduduk untuk secara
merdeka menjalankan ajaran agamanya. Negara tidak boleh membuat berbagai
larangan dan hambatan bagi setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya.
Bahkan negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap penduduk
untuk menlaksanakan ajaran agamanya. Posisi agama dalam negara kita sangat
spesifik ditinjai dari sosiologis, filosofis,dan historis dari negara kita. Walaupun
secara fasif masalah agama adalah menjadi tugas negara, sudah banyak hal yang
memang dalam kenyataan secara kehidupan kenegaraan kita mengenai agama
diatur juga oleh negara seperti UU tentang Peradilan Agama, UU tentang
Perkawinan, UU tentang Sistim Pendidkan Nasional, UU tentang Wakaf.
Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yang utuh dan
bermuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa
Notonegoro menjelasakan:
”Pancasila secara formil sebagai norma hukum dasar positif, objektif dan
subjektif adalah mutlak tidak dapat dirubah dengan jalan hukum, demikian
pula secara materil Pancasila mutlak tidak dapat dirubah disebabkan
kehidupan, kemasyarakatan kebudayaan termasuk kefilsafatan, kesusilaan,
keagamaan merupakan sumber hukum positif, yang unsur-unsur intinya telah
ada dan hidup sepanjang masa adalah justru sekarang merupakan sila-sila dari
Pancasila, sehingga Pancasila disamping sifatnya kenegaraan juga
mempunyai sifat adat kebudayaan (kultur) dan sifat keagamaan (religius)196”.
UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dapat diartikan
secara jelas sebagai kata-kata atau kalimat-kalimat keagamaan seperti: Alinea
ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pasal 9 UUD yang
mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Pasal 24
ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah
Mahkamah Agung. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
196 Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta, 1972 hlm, 24
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 29 ayat (1)
UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 31 ayat (3)
UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia...”. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kata-kata dan
kalimat-kalimat tersebut menunjukan ciri-ciri keagamaan dari naskah UUD 1945,
sehingga dapat kita artikan bahwa negara Indonesia tidak memisahkan agama dari
negara, berbeda dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang sekuler yang
memisahkan urusan negara dengan agama. Negara USA sebagai negara liberal
yang sekuler, dalam hukum negara positifnya tidak mencantumkan agama resmi
dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dikesampingkan. diantaranya dapat
dilihat di dalam konstitusi (Tahun 1789) yang menyebutkan; “ ..... Ujian agama
tidak boleh pernah ada sebagai persyaratan untuk jabatan apapun...”, dan “
Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang berkenaan dengan suatu
pendirian agama, atau melarang ibadah yang bebas.”197
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu
dengan agama, tidak terpisah karena negara, seperti dikatakan Roeslan
Abdoelgani198 :
“Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan
mengembangkan agama”,khususnya melalui departemen agama. Tidak pula
menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama
tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu
agama. Secara lazim dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga
bukan ‘negara agama”.
Selain dalam Pancasila, Penjelasan UUD 1945 juga menegaskan salah satu Pokok
Pikiran, khususnya Pokok Pikiran Ke-4, menegaskan :
“Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan ialah
negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus
mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi perkerti kemanusiaan yang
luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.
Menurut Abdulkadir Besar, konsekuensi logis dari ketentuan UUD 1945
tersebut adalah bahwa Negara Indonesia ikut bertanggung jawab mengenai
ketakwaan setiap warga negaranya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya,
197 Pasal 6 Butir 3 Konstitusi USA 1789, Pasal I (Dalam Pasal-Pasal Tambahan) Konstitusi USA 1789,
Prajudi Atmosudirjo (ed), Galia Indonesia, 1986 198 Op. Cit, Yudi Latif. Hlm 95
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
negara bertanggung jawab mengenai adanya kesempatan dan kemudahan
(fasilitas) beribadah bagi setiap warga negara. Negara dibimbing oleh moral
agama dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan199
Pemisahan formal antara negara dengan agama atau sebaliknya penyatuan
negara dengan agama, lebih merupakan pilihan historis, yang ditentukan oleh
relasi-relasi kuasa dan kondisi masyarakat. Selain faktor kekuatan politik, faktor
kondisi masyarakat (apakah homogen atau masyarakat multikultural-multiagama)
akan menentukan apakah suatu negara bisa memilih agama negara atau tidak.200
Indonesia yang memiliki sejarah dimana peran agama sangat besar sekali dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan maka Indonesia memilih tidak
menjadi negara agama atau memisahkan agama dengan negara, Indonesia
menjadikan agama dengan negara saling mebutuhkan dimana negara berperan
dalam memberikan perlindungan serta jaminan bagi perkembangan agama-agama
yan ada di Indonesia, sementara agama berperan dalam memberikan landasan
moral dan spiritual dalam penyelenggaraan negara.
Mohammad Tahir Azhary menyatakan, bahwa Pancasila telah
memberikan bentuk pada negara hukum Indonesia yang memiliki ciri khasnya
tersendiri. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber
hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan dengan negara
hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah
adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan agama201. Tetapi,
lanjut Muhammad Tahir Azhary, kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila
selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheism atau
propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan
misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik
dalam arti positif maupun negative seperti dirumuskan oleh Sir Alfred Denning,
yang dikutip oleh Seno Adji 202
“freedom of religion means that we are free warship or not to warship, to affirm
the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or any other
religion or in none, as we choose”.
Selain itu, konsep Indonesia juga berbeda dengan konsep Uni Soviet dan
negara komunis lainnya, yang menurut Mohammad Tahir azhary diidentifikasikan
dengan adanya jaminan konstitusional untuk propaganda anti agama.203
Konsekuensinya, menurut Seno Adji, di Indonesia tiada pemisahan yang rigid dan
mutlak antara agama dan negara yang berada dalam hubungan yang harmonis204.
Untuk memperkuat pendapat ini, Padmo Wahjono menyatakan bahwa asal-usul
199 Abdulkadir Besar. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 194 5Sebagaimana dikutip oleh Agung
Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD, Tesis. Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, 2010,hlm, 67 200 Op. cit Yudi Latif, hlm, 101 201 Mohammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,Jakarta, 2004,
hlm,93 202 Ibid, hlm, 93 203 Ibid, hlm 94 204 Ibid, hlm, 94
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Negara Indonesia bukanlah terbentuk atas perjanjian bermasyarakat dari individu-
individu yang bebas atau dari status naturalis ke status civil dengan perlindungan
terhadap civil rights. Tetapi, Indonesia terbentuk karena “atas berkat rahmat Allah
Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
Negara Hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono adalah: Suatu kehidupan
berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas
dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Dengan demikian, dari
pendapat tersebut dalam negara Indonesia yang berdasarkan pancasila kerangka
jaminan kebebasan beragama itu mempunyai pengertian :
a) Kebebasan beragama di Indonesia bermakna yang positif sehingga
pengingkaran kepada Tuhan Yang Maha Esa (Atheisme) ataupun sikap yang
memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan,
b) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara, Negara Republik
Indonesia tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara baik secara
mutlak maupun nisbi yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar
1945205.
C. Kesimpulan
Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga
tidak menyatu dengan agama. Negara secara aktif dan dinamis membimbing,
menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Agama tidak pula menyatu
dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan
tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim
dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama”.
Hubungan agama dan negara adalah saling membutuhkan.
Daftar Pustaka
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana,
2007
Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Bandung, 2009
----------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, PT
Bhuana Ilmu Populer, 2008
----------, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Konstitusi, 2008
----------, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mijan, 1997,
205 Ibid, hlm, 94
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
----------, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung, Mandar
Maju, 1995
A.B. Kusuma, RM. Lahirnya Undang-Undang Dasar, Jakarta, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004,
Al Khanif, Hukum dan Kebebasan beragama di Indonesia, Yogyakarta, LaksBang
Mediatama, 2010,
Al Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Bantahan Tuntas
Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008,
Alim, Muhammad. Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian
komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, YogyakartaLkiS, 2010,
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi
Press, 2006
Azhary, M. Tahir. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta, Kencana, 2004
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, FH UII Press, 2003
Barent, J. Ilmu Politik (terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek), Jakarta, PT.
Pembangunan, 1965
Cranston, Maurice What Are Human Rights, The Bodley Head, London, 1973
Dalacaoura, Katerina. Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New
York, 2003
David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press,
New York, 1989, hlm. 26.
Dicey. AV, Introduction to the Study of the Law of the constitution (terjemahan),
Bandung, PT Nusamedia, 2007
Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, Yogyakarta,
UII Press, 2001.
Hatta, Muhammad . Demokrasi Kita, Jakarta, Pustaka Antara, 1966
Husain Haekal, Muhammad Sejarah Hidup Muhammad, Bogor dan Jakarta, Litera
AntarNusa, 2003,
Kaelan, M.S. Relasi Negara dan Agama Dalam Pespektif Filasafat Pancasila
Yogyakarta, 1 Juni 2009
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus “Agama
Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang, RaSail, 2009.
Lerner, Natan. Sifat dan Standart Minimun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan,
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seberapa Jauh?, Yogyakarta, Kanesius,
2010,
Mulia, Musdah. Negara Islam, Jakarta, KataKita, 2010,
Munawar-Rahman, Budhy. sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif
dan perkembangan diskursusnya, Jakarta, Grasindo, 2010,
Noer, Deliar. Islam dan Politik, Jakarta : Yayasan Risalah, 2003
Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta, Bina Aksara,1983,
Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta
Kencana, 2010,
Ratu Perwiranegara, Alamsyah. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta,
PT. Karya Unipress, 1982
Roem, Mohammad dan Salim, Agus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya
Pancasila, Jakarta, Bulan Bintang, 1977
Singka Subekti, Valina. Menyusun Konstitusi Transisi, Jakarta, PT Rajagarafindo
Persada, 2008.
Soemantri, Sri. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar yang berlaku dan
Pernah berlaku di Indonesia, dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung, Alumni, 1992,
Strong. C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (terjemahan), Bandung, PT
Nusamedia, 2004
Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah Dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian
Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk,
Jakarta, UI Press, 1995.
Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan-perubahannya
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat
_______________________________________________________________________
Marsudi Utoyo
1. Pendahuluan
Menelaah konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, mengingatkan
kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah seorang peletak dasar aliran dalam Filsafat
Hukum Sociological Jurisprudence.206 Pound menyatakan bahwa hukum dapat
berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat law as a tool of social engineering
tidak sekedar melestarikan status quo.
Jadi berbeda dengan Mazhab sejarah yang mengasumsikan hukum itu tumbuh
dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum
digerakkan oleh kebiasaan. Sociological Jurisprudence berpendirian sebaliknya.
Hukum justru yang menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada
sasaran yang diinginkan, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat
yang dipandang negatif.207
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa di Indonesia, konsep Pound ini
dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar, hukum (di
Indonesia) tidak cukup berperan sebagai alat, melainkan juga sebagai sarana
pembaharuan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Lily Rasjidi, diakui pula
oleh Satjipto Rahardjo, bahwa pemikiran ini oleh sejumlah pakar hukum Indonesia
disebut-sebut sebagai mazhab tersendiri dalam Filsafat Hukum, yaitu mazhab Filsafat
Hukum UNPAD.
Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar tersebut dimaksudkan
untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan
social-ekonomi. Beliau juga melihat urgensi penggunaan pendekatan sosiologis
dengan memakai Paradigma Roscoe Pound, lebih-lebih dirasakan oleh negara-negara
berkembang daripada negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum
di negara-negara berkembang belum semapan di negara-negara maju itu.
Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa perubahan-
perubahan, seharusnya hukum ikut mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan
tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak
lagi berdiri di belakang fakta, tetapi justru sebaliknya.
2. Permasalahan yang akan menjadi pembahasan adalah :
A. Bagaimana Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat ?
B. Bagaimana Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan
Internasional ?
206 Lily Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?, CV. Ramaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 49. 207 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 170 – 171.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
3. Pembahasan
A. Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat
3.1. Aliran Sociological Jurisprudence
Melalui Optic Critical Legal Study, G.W. Paton,208 melancarkan kritik
terhadap penggunaan istilah Sociological dalam aliran Sociological Jurisprudence –-
yang dipelopori oleh Roscoe Pound (Anglo Amerika) dan Eugen Ehrlich (Eropa
Kontinental)— sebagai kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih suka
menggunakan istilah “Functional School”. Dengan menggunakan istilah tersebut,
Paton ingin menghindari kerancuan antara Ilmu Hukum Sosiologis (Sociological
Jurisprudence) dan Sosiologi Hukum (Sociology of Law).
Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah Sosiologi Hukum
berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu
keseluruhan, dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara
umum) dan Ilmu Politik. Titik berat penyelidikan Sosiologi Hukum terletak pada
masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Ilmu Hukum
Sosiologis memfokuskan kajiannya pada hukum dan memandang masyarakat dalam
kaitannya dengan hukum.209
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living llaw of the
peoples). Aliran Ilmu Hukum Sosiologis ini memmisahkan secara tegas antara hukum
positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul
sebagai reaksi (dialektika antara –tesis-- Positivisme Hukum) dan –antitesis—dari
Mazhab Sejarah.
Sebagaimana diketahui, Positivisme hukum memandang tiada hokum kecuali
perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver). Sebaliknya mazhab
sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan
masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua
mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya
sama pentingnya. Printis atau peletak dasar (pionir) aliran Sociological Jurisprudence
ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
Eugen Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif bila berisikan atau selaras dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat.210 Di sini jelas bahwa Eugen Ehrlich berbeda
pendapat dengan penganut positivisme hukum.
Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya bahwa titik sentral
perkembangan hukum tidak terletak pada Undang-undang, putusan hakim, atau ilmu
hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk
hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh
208 G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951, hlm., 17 – 21. 209 Bandingkan, Purnadi Purbacaraka dan Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan ke-4, CV. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1990, hal; Lihat pula, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,
Gramedia, Jakarta, 1995, hlm., 178. 210 Lily Rasjidi., Op.cit, hlm., 55.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Friedman211, bahwa Ehrlich sendiri pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan
ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarkat modern.
Critical Legal Theory dari W. Friedman atas pendirian Ehrlich demikian itu
adalah sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional kontemporer, yang
menganggap bahwa hukum kebiasaan (custom) sebagai sumber utama hukum
(internasional) sudah digantikan oleh perjanjian internasional (convention or treaty).
Sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan kebiasaan
sebagai sumber hukum utama212 yakni : (1) Adanya pergeseran sumber hukum
internasional yang utama custom menjadi convention atau treaties; (2) Materi yang
diatur oleh hukum internasional semakin lama semakin banyak yang menyangkut
social ekonomis di samping soal politis; (3) Tendensi hukum internasional dewasa ini
lebih berorientasi ke arah mencegah konflik bersenjata daripada mengatur masalah
pertikaian bersenjata itu sendiri.
Bergesernya pengutamaan sumber hukum (internasional) dari customary
menjadi convention, treaty, agreement ataupun contract, cukup beralasan, sebab
masyarakat modern yang serba kompleks dewasa ini, di samping tetap menginginkan
lebih terjaminnya kepastian hukum karena dibuat dalam bentuk tertulis, juga melalui
perjanjian, persetujuan ataupun kontrak (tertulis) yang berfungsi sebagai213: (a)
Merumuskan/menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm or restate)
aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law);
(b) Mengubah/ menyempurnakan (modifiy) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-
kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang
akan datang (for regulating future conducts); (c) Membentuk kaidah-kaidah hukum
internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya.
Kembali kepada ajaran Roscoe Pound, sebagaimana dinyatakan oleh
Soerjono Soekanto214, bahwa Pound dapat dipandang sebagai pelopor Ilmu Hukum
Sosiologis yang memberikan dan mengembangkan konsep-konsep baru dalam
mempelajari hukum dalam masyarakat. Perihal apa yang diberikan dan konsep-konsep
baru apa yang dikembangkan, dapat ditelusuri pada tulisan Roscoe Pound dalam
bukunya “The Scope and Purpose of The Sociological Jurisprudence”. Dalam
hubungan ini, Satjipto Rahardjo215, menyebutkan :
Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah
penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat
dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai
lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut
sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada
penggunaan hukum sebagai suatu instrumen”.
211 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, terjemahan M. Arifin,
CV. Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.104. 212 Baca, Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, penerbit: PT.Binacipta, Bandung, 1992, hlm.,
35. 213 Syahmin AK., Ibid., hlm., 78. 214 Soerjono Soekanto., Op.cit., hlm., 30. 215 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 168.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Melalui analisis singkat tentang Sociological Jurisprudence dari Eugen
Ehrlich dan Roscoe Pound di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hukum Sosiologis
ini melakukan studi terhadap efektivitas hukum, dampak hukum, struktur hukum,
identifikasi hukum, serta sejarah hukum dan perbandingan hukum, dengan
menggunakan konsep hukum sebagai lembaga dan doktrin, dan terutama bagi Eugen
Ehrlich, hukum dipandang sebagai kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang.
3. 2. Realisme Amerika
Sementara Realisme Amerika (Policy Oriented), sebagaimana dikatakan oleh
Oliver Wendel Holmes Jr (1841 – 1935), bahwa asumsi-asumsi tentang apa yang akan
diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutnya dengan hukum. Pendepat O.W.
Holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan Realisme Amerika yang
pragmatis.216
Perlu diingat, bahwa pendekatan pragmatis ini tidak percaya pada bekerjanya
hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti
peristiwa-peristiwa konkret yang timbul. Oleh karena itu dalil-dalil hukum yang
universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental sifatnya.
Hukum pun tidak mungkin bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan
yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, sosiologi,
antropologi dan kriminologi. Melalui penyelidikan terhadap faktor-faktor sosial
berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki
hukum dan realita kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja
secara lebih efektif.
Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim (all the law is judge-
made-law), semua yang dimaksud hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai
penemu dan pembuat hukum daripada mengandalkan hukum-undang-undang buatan
lembaga pembuat undang-undang.
Pada pokoknya pendekatan kaum realis yang di Eropa Kontinental antara lain
dipelopori oleh Karl N. Llewellyn (1893-1962), dan di Amerika dipelopori oleh Mc
Dougal, sebagaimana dikutif oleh Satjipto Rahardjo217 antara lain dinyatakan :
1. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
2. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum
yang diciptakan oleh pengadilan.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, dan oleh karenanya selalu ada
kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problema-
problema sosial yang ada.
4. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya.
5. Guna keperluan studi, sementara harus ada pemisahan antara is dengan ought.
Pendekatan pokok aliran realis Amerika seperti telah diutarakan di atas yang
diperlukan terhadap hukum internasional menimbulkan gerakan apa yang disebut
dengan “The Policy Oriented” yang dipelopori oleh Mc Dougal. Menurut pendekatan
Policy Oriented ini, bahwa hokum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir,
216 Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta,
1988, hlm., 175. 217 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 269.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
jadi sebagai sarana untuk menggerakkan masyarakat ke arah tujuan yang telah
ditentukan. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan secara policy oriented ini lebih
menekankan pada hukum internasional yang ada (is). Ketimbang seharusnya ada
(ought).
Hal lain yang menonjol dari pendekatan policy oriented ialah penekanannya
pada proses pembentukan hukum (internasional). Dalam hukum internasional ini harus
diperhatikan seluruh proses penguasa dalam menentukan keputusan pada percaturan
dunia, dan proses di mana penguasa dan pengawas bersatu untuk penerapannya.
Dengan demikian, penekanannya tidak hanya pada peraturannya sendiri atau
penerapannya sendiri, melainkan kedua-keduanya. Demikian juga bukan pada
penguasa (authority) sendiri atau pada pengawasan (control) sendiri, tetapi baik pada
penguasa maupun pada pengawas.
Meskipun demikian, sayangnya bila kita mengkaji secara seksama mengenai
penerapan Policy Oriented ini dalam bidang hukum internasional --tentunya melalui
Optic Critical Legal Study—maka kita akan menemukan kelemahannya, yaitu pada
prinsipnya pendekatan Policy Oriented membahas terlalu jauh dan berakhir dengan
menyamakan hukum internasional dengan keseluruhan proses sosial dan politik dunia.
B. Hukum Nasional Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional
Mochtar Kusumaatmadja,218 dalam tulisannya “Pembinaan Hukum Dalam
Rangka Pembangunan Nasional”, menyatakan bahwa: “Pembangunan di sini tentunya yang dimaksudkan adalah pembangun an dalam arti luas yang meliputi segala bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun bercirikan perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan teratur. Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan
tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan itu peranan hukum adalah sebagai sarana pembangun an masyarakat”.
Pendekatan positivisme atas hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat,
dalam proses pembangunan di mana hukum sebagai sarana penting untuk memelihara
ketertiban, maka hukum harus dibina dan dikembangkan. Dalam proses pembaharuan
hukum di Indonesia lebih ditonjolkan perundang-undangan, walaupun yurisprudensi
juga memegang peranan.219 Dari kenyataan di atas jelaslah bahwa dalam pembaharuan
hukum di Indonesia, lebih ditekankan pada bentuk yang tertulis. Ini jelas merupakan
pengaruh dari aliran positivisme.
Sejalan dengan pendirian penulis seperti telah diutarakan di atas Sri
Setianingsih Suwardi220, menegaskan bahwa hukum dalam bentuknya yang tertulis ini
memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Lebih ada kepastian akan adanya stabilitas dan ketertiban;
2. Dengan tertulis maka akan lebih tegas apa yang dimaksudkan;
3. Walaupun dalam bentuk tertulis maka harus mencerminkan hukum yang sesuai
dengan nilai (rasa keadilan) dalam masyarakat.
Pembaharuan masyarakat dengan cara pembaharuan hukum terutama melalui
perundang-undangan dan dipakai sebagai pedoman penentuan prioritas adalah
perundang-undangan yang menunjang usaha pembangunan. Proses pembentukan
218 Mochtar Kusumaatmadja., Op.cit., hlm., 3. 219 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm.9. 220 Sri Setianingsih Suwardi, “Hukum Internasional sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat
Internasional” , dalam Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn xxvi, Edisi:Agustus 1996, hlm., 287.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
undang-undang harus dapat menampung semua yang erat hubungannya dengan
masalah yang diatur dalam undang-undang itu merupakan hukum yang efektif.
Jadi, jelaslah bahwa pembuat peraturan dan perundang-undangan pada
masyarakat yang sedang membangun harus mengetahui interaksi antara hukum dan
faktor-faktor lain dalam perkembangan masyarakat, misalnya faktor ekonomi dan
sosial. Dengan demikian harus diadakan analisis fungsional dari sistem hukum sebagai
keseluruhannya. Akan tetapi Mochtar Kusumaatmadja sangat menyayangkan bahwa
ada banyak kesulitan yang dihadapi dalam perkembangan hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana221 : (1) Sukarnya
menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan); (2) Sedikitnya data
empirik yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis secara deskriptif dan
prediktif; (3) Sukarnya mengadakan/mencari tolok ukur yang obyektif untuk
mengukur berhasil-tidaknya usaha pembaharuan hukum.
Dengan kesulitan-kesulitan tersebut, menyebabkan pemilihan kebijakan
perkembangan hukum dilakukan bukan atas alas an rasional. Meskipun adanya
kesukaran-kesukaran demikian itu, tetapi pembangunan harus dan –kadang-kadang—
perubahan tersebut merupakan perubahan yang mendasar, tetapi dalam gerakan yang
harus tetap terpeliharanya ketertiban. Oleh karena itu, hukum sebagai sarana yang
penting dalam memelihara ketertiban harus dibina dan dikembangkan, sehingga dapat
memberikan gerak bagi perubahan tadi.
Bagi Indonesia, konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat
haruslah merupakan landasan kebijaksanaan hukum, dan harus dirumuskan secara
resmi, dan perumusan resmi ini harus pula merupakan pengalaman masyarakat dan
bangsa Indonesia. Menurut Mochtar Kusuma- atmadja222, fungsi hukum dalam
pembangunan nasional yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau sarana
pembangunan dapat diketemukan pokok-pokok pikirannya sebagai berikut:
“… hukum merupakan sarana pembangunan masyarakat didasarkan atas
anggapan bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang
(mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai
sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan
dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaharuan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat
dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni menjamin
adanya kepastian dan ketertiban”.
Dengan demikian, perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia
berwujud perundang-undangan atau keputusan badan peradilan lebih baik daripada
perubahan yang tak teratur yang menggunakan kekerasan semata-mata. Oleh karena
itu dalam mengidentifikasi permasalahan hukum yang perlu mendapatkan prioritas
perundang-undangan adalah:
221 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 4-5. 222 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm., 13.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Masalah-masalah yang langsung menyangkut kehidupan pribadi seseorang dan
erat kaitannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat;
2. Masalah-masalah yang bertalian erat dengan masyarakat dan kemajuan pada
umumnya bersifat “netral” -–bidang-bidang netral yang dimaksudkan disini,
misalnya: hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan), dan hukum lalu lintas
(darat, air dan udara) lebih mudah ditangani— dilihat dari sudut kebudayaan.
Sehubungan dengan di atas, ternyata pengaruh Mazhab Sejarah pada
pemikiran hukum dalam pembangunan adalah bahwa hukum sebagai sarana
pembangunan haruslah tidak perlu adanya pertentangan antara maksud mengadakan
pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan penyaluran nilai-nilai atau
aspirasi yang hidup dalam masyarakat, dianut oleh pemerintah Indonesia.
Sikap demikian dapat dilihat dalam menjalankan kebijaksanaannya di bidang
hukum sebagaimana tercantum dalam GBHN. Dasar pokok hukum nasional Republik
Indonesia ialah Pancasila. Hal ini sampai sekarang dianut dan dianggap tepat, karena
merupakan pencerminan jiwa, pandangan hidup dan cara berpikir bangsa. Pancasila
merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dulu.
Pengaruh Mazhab Sejarah ini sangat besar di Indonesia, terutama dalam
mempertahankan Hukum Adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli)
Indonesia. Hukum Adat sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang
berakar pada Pancasila, karena itu ia mampu bertahan selama masa kolonial
Belanda.223
Pluralisme dalam konsep modernisasi juga mempengaruhi pola pikir dalam
kehidupan beragama, organisasi dan sosial masyarakat, kebijakan negara juga
mempengaruhi pola kehidupan beragama, hak asasi manusia, persatuan dan kesatuan,
organisasi serta kesejahteraan masyarakat.
Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum, yang membahas perubahan
hukum hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius
constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat, adapun
politik hukum sebagai teknik adalah memilih dan menentukan cara dan sarana untuk
mencapai tujuan kehidupan masyarakat yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik
sebagai etik tersebut224.
Pluralisme agama, kebudayaan dan suku mewarnai Indonesia secara
keseluruhan, hal ini juga tidak lepas dari peran Pancasila sebagai pemersatu dengan
asas Kebhineka Tunggal Ika antara masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-
hari. Pemerintah dengan produk hukumnya melalui politik hukum Dengan
pemberlakuan Inpres No. 14/ 1967 pada masa itu diskriminatif terhadap Etnis Tiong
Hoa sangat jelas, dengan membatasi kebebasan beragama, melarang bebas semua
kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Konghucu, merubah tempat ibadah
Klenteng dengan merubah ke Vihara (sebenarnya adalah tempat ibadah umat Budha).
Pembatasan kegiatan kegamaan juga diantisipasi dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Pasal 156a dan Pasal 169, serta Undang-Undang No.1 PNPS/1965
223 Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Hukum dan
Pembangunan No.4, Thn ke-ix, Edisi: Juli 1979, hlm., 358. 224 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 8-9
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Berakhirnya larangan
terhadap pembatasan ruang gerak umat Khonghucu berakhir pada tahun 2000 silam
dengan dikeluarkannya Keppres Nomor: 6 Tahun 2000 tentang pengakuan Khonghucu
sebagai agama oleh negara melalui presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Antara agamawan dan politis seharusnya membuat garis perbedaan yang
besar antara memberikan toleransi225 dan mengakui kebenaran suatu agama. Jika
seorang penguasa yakin bahwa terdapat kebolehan untuk menjalankan banyak agama
di negaranya, maka agama tersebut perlulah untuk memperkuat toleransi di antara
agama itu sendiri. Itulah prinsip toleransi kehidupan beragama. Dengan demikian
hukum perlu memberikan tuntutan dan aturan terhadap berbagai agama, bukan hanya
agar agama tidak turut campur dengan kehidupan bernegara melainkan juga hubungan
toleransi agar agama-agama itu tidak menimbulkan kekacauan dan gangguan di antara
mereka sendiri. Indonesia adalah negara yang relegius. Religiusitas bangsa Indonesia
ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara
sebagai sebuah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa.
Prinsip kebebasan yang beradab dan berperikemanusian merupakan wujud
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang
utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis226 terdiri dari berbagai etnis, suku, ras,
bahasa, profesi, kultur dan agama.
Era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses
demokratisasi akan mendapat tantangan yang sangat hebat, terutama acaman terorisme
yang menyalahgunakan kesucian agama, pengembangan demokrasi harus diperhatikan
tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara. Negara modern yang
melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi niscaya mengembangkan
prinsip konstitusionalisme, pengembangan prinsip ini adalah yang sangat efektif,
terutama dalam rangka mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui
undang-undang. Basis pokok adalah kesempatan umum atau persetujuan (consensus)
diantara mayoritas rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan
negara227.
Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk mengadakan pembaharuan hukum
dalam rangka pembangunan tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk
mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan penyaluran nilai-
nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
225 Lihat Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media, Bandung.
Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres 1977.Karena yang sering kali
terjadi adalah penzaliman atas agama-agama yang memiliki semangat besar untuk disebarkan ditempat
tertentu (karena agama yang dapat memberikan toleranasi pada agama lainnya tidak terlalu memikirkan
tentang penyebaran agamanya sendiri), maka harus ada hukum sipil yang baik, jika negara sudah cukup
puas dengan agama yang tidak menghalangi pendirian agama lainnya. Maka, inilah prinsip pokok
undang-undang politik suatu agama : jika negara memiliki kebebasan untuk menerima dan menolak
agama baru, sebaiknya agama baru tersebut di tolak. Kalaupun diterima sebaiknya diberikan toleransi.
hlm 332. 226 Liza Wahyunita dan Abd. Qadir Muslim, 2010. Memburu Akar Pluralisme Agama. Malang UIN-
MALIKI PRESS. hlm 29 227 Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit: Konstitusi
Press. hlm 25.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
C. Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan
Internasional
Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa pengertian hukum dalam
‘hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat’, termasuk di dalamnya hukum
internasional. Oleh karenanya hukum internasional berfungsi sebagai social
engineering bagi pembangunan masyarakat internasional tidak perlu diragukan lagi.
Dalam Kata Pengantar buku penulis: Hukum Internasional Publik,228
dikatakan :
1. Pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua
sudut pandangan yang berbeda, yaitu pendekatan static dan pendekatan dinamic.
Pendekatan static, melihat dari segi teoritik-doktrina serta interpretasi yang
diciptakan dari sejarah pembentukannya, dan segala perangkat yang berkaitan
dengan permasalahan tersebut. Sedangkan pendekatan dinamik, melihat
permasalahan dari segi bagaimana suatu konsep berkembang dari bentuk
asalnya menjadi bentuk masa kini, yang sesuai dengan dinamika perkembangan
dan kebutuhan masyarakat internasional kontemporer. Karenanya pendekatan
dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat internasional masa kini dalam perkembangannya menuju suatu
perangkat kaidah hukum internasional ke depan.
2. Berbagai hal tentunya erat hubungannya dengan perkembangan demikian,
terutama yang menonjol pada masa kini, baik perkembangan Iptek maupun
perkembangan aspirasi nasional, regional maupun internasional. Kesemua itu
menuju kepada suatu kaidah yang akan meliputi kepentingan masyarakat
intedrnasional ke depan.
Dalam pada itu, masalahnya adalah dapatkah hukum internasional berperan
sebagai sarana pembangunan masyarakat internasional? Menurut data yang ada pada
penulis, kini tercatat 193229 negara yang telah menjadi anggota masyarakat
interfnasional (anggota PBB). Permasalahan yang dihadapi oleh bagian terbesar
negara-negara itu dalam hubungannya dengan anggota masyarakat internasional
lainnya adalah mereka dihadapkan pada kenyataan yang sulit, bahwa hukum
internasional yang mengatur hubungan antar mereka itu adalah kalau tidak hukum
yang bersifat European Centries, tentulah hukum yang berwarnai kapitalis-Amerika.
Untuk masa kini kenyataan itu tidak mudah untuk mereka terima begitu saja.
Meskipun di lain pihak mereka tidak bermaksud untuk menolak hukum internasional
konvensional itu seluruhnya, tetapi mereka lebih cenderung menolak hukum
internasional yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai negara merdeka,
berdaulat dan sama derajat.
Perubahan-perubahan yang mendasar dan mengakibatkan terjadinya
perombakan struktur hukum internasional itu sudah amat mendesak adanya
pengaturan-pengaturan internasional yang merupakan harmonisasi pelbagai
228 Syahmin AK., Hukum Internasional Publik (Dalam Kerangka Studi Analitis), Jilid 1, Penerbit: PT.
Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1. 229 Hingga Juli 2011, telah bergabung 193 negara ke dalam lembaga internasional Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB), diakses pada tanggal 8 Desember 2012.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
kepentingan dalam masyarakat internasional. Penataan aturan-aturan internasional
demikian dapat dituangkan dalam bentuk persetujuan, kontrak atau perjanjian-
perjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral, bahkan dapat
bersifat regional dan universal melalui jalur “law making treaty”.
Terhadap perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat internasional
demikian, mendorong perumusan-perumusan hukum yang dituangkan dalam bentuk
konvensi-konvensi internasional, sehingga ter-bentuklah hukum internasional yang
mengatur masalah-masalah yang bersifat progressive development. Konsep hukum ini
adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mazhab Sejarah, yang
menitik-beratkan pada hukum yang tumbuh dan berkembang selaras dengan
perkembangan sejarah masyarakat.
Jika perkembangan dalam hukum internasional ini kita tinjau dari sudut
pandangan Roscoe Pound (social engineering), maka jelas bahwa perkembangan-
perkembangan dalam hukum internasional dengan progressive development-nya
merupakan hukum yang diperlukan oleh masyarakat internasional. Umpamanya
Deklarasi Universal tentang HAM,dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, di
mana konsep Wawasan Nusantara yang telah diperjuangkan melalui konferensi hukum
laut ke-III itu telah diterima sebagai kaidah hukum internasional. Juga termasuk
GATS, GATT ataupun WTO.
Melalui organisasi-organisasi internasional baik yang bersifat universal (seperti
PBB) maupun melalui organisasi regional (seperti ASEAN, OKI, OPEC, dll.),
negara-negara saling membicarakan permasalahannya, kepentingan-kepentingan
mereka yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan hukum internasional yang
diterima oleh mereka. Hal itu jelas merupakan suatu usaha untuk menjembatani
kepentingan anggota masyarakat internasional yang berbeda-beda dalam bidang
ekonomi, kemanusiaan dan perdagangan dunia, serta lingkungan hidup.
D. Penutup
Berangkat dari uraian-uraian dan paparan di atas, akhirnya dapat diraih
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:
Masyarakat internasional yang berfungsi sebagai landasan sosiologis hukum
internasional bukanlah merupakan masyarakat yang statis, tetapi bersifat dinamis.
Oleh karenanya perkembangan-perkembangan baru masyarakat internasional ini
membutuhkan adanya penataan baru dalam bidang hukum internasional.
Bentuk baru hukum internasional yang menggeser peranan hukum kebiasaan
internasional sebagai sumber utamanya berupa konvensi-konvensi atau perjanjian
masyarakat internasional, merupakan penuangan perkembangan-perkembangan baru
dalam masyarakat internasionl dalam wadah hukum. Hal ini kita kenal sebagai
progressive development, yang sekaligus merupakan indikasi bahwa hukum inter-
nasional sebagai the living law of the peoples, bukan merupakan black letter law.
Menyadari bahwa masing-masing negara mempunyai hukum nasional sendiri
yang sesuai dengan jiwanya, memang tidak ada hukum yang berlaku secara universal,
namun setidak-tidaknya ada titik taut yang sama dalam memenuhi kebutuhan untuk
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
saling berhubungan dengan anggota lain dalam masyarakat internasional, maka antar
mereka saling mengadakan harmonisasi hukum nasionalnya masing-masing.
Daftar Pustaka
Latif, Abdul dan Ali, Hasbi. Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
Black, Donald., The Behavior of Law, New York, Academic Press, 1976.
G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951.
Huijbers, Theo., Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Yogyakarta:
Kanisius, 1988.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit:
Konstitusi Press. 2005.
Rasjidi, Lily. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Rasjidi, Lily dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993.
Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media,
Bandung. Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres
1977.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, Bandung: PT. Binacipta, 1975.
-----------., Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Bandung: PT.
Binacipta, 1976.
Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,
Hukum dan Pembangunan No.4 Thn ke-IX, Edisi: Juli 1979.
Sri Setianingsih, Hukum Internasional dan Hukum Nasional Sebagai Sarana
Pembangunan Masyarakat Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn
ke-XXVI, Edisi: Agustus 1996.
Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, Bandung: Binacipta, 1992.
-----------., Hukum Internasional Publik, Jilid 4, Bandung: PT.Binacipta, 1997.
Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social
Theory, New York, Free Press, 1986.
W. Friedman, Teori Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Terjemahan M.
Arifin, Jakarta: CV Rajawali Press, 1990.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Ombudsman dan Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
_______________________________________________________________________
Agus Triono
A. Pendahuluan
Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang bertipe welfare state
atau Negara kesejahteraan sebagaimana terlihat dalam tujuan negara yang terdapat
dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD NRI) 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu upaya dalam rangka
mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui penyelenggaraan Negara dan
pemerintahan dengan sebaik-baiknya.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) melalui upaya
penegakan hukum dan penegakan asas-asas pemerintahan yang baik telah menjadi
cita-cita bersama. Salah satu indikator yang dapat menunjukkan bahwa pemerintahan
yang baik telah terwujud adalah manakala telah terselenggaranya pelayanan publik
kepada masyarakat dengan baik sesuai dengan prinsip good governance. Pelayanan
publik disebut telah menerapkan prinsip “good governance” bila telah menganut
prinsip pelayanan yang berkualitas sesuai dengan norma, aturan, dan undang-undang
yang berlaku. Secara umum bisa dikatakan bahwa pelayanan publik yang baik adalah
pelayanan yang menempatkan hukum sebagai penglima, yang diselenggarakan
secara terbuka, dimana setiap warga masyarakat mendapatkan perlakuan yang sama
atas jenis pelayanan yang sama, yang proses maupun hasil pelayanannya bisa
dipertanggungjawabkan.230
Pengaturan mengenai bagaimana pemerintah melaksanakan tugas dan
tanggung jawab pemerintahan dengan baik di Indonesia kemudian dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada BAB III Pasal 3 dinyatakan
ada tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara; Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas
Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.
Regulasi ini dibuat sebagai wujud komitmen pemerintah terhadap tuntutan
reformasi yang menghendaki adanya perubahan dan perbaikan dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hakikat reformasi adalah to make major
changes atau to improve, melakukan perubahan-perubahan besar dalam upaya
perbaikan. Perubahan yang dicanangkan tersebut mencakup nilai-nilai dan aplikasi
nilai dasar keadilan, kesejahteraan, ketertiban, demokrasi, transparansi, penegakan
Hak Asasi Manusia.231
Dalam rangka mengawal reformasi terutama dalam penyelenggaraan Negara
dan pemerintahan tersebut agar tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundang-
230 Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY, Yogyakarta, 2008,
hlm. 2 231 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 69
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
undangan yang ada dan menurut asas-asas penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang baik, dibentuklah lembaga pengawasan. Pembentukan lembaga
pengawasan Ombudsman pun menjadi sangat penting karena lembaga Ombudsman
merupakan lembaga pengawas eksternal dan mandiri yang mempunyai fungsi
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik agar tidak terjadi maladministrasi
dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Apalagi di era otonomi daerah
yang memberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan di daerah-nya, ditambah dengan adanya ruang gerak yang
semakin bebas melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) dengan disertai ruang
kebijakan yang longgar berupa freies ermessen232. Oleh karenanya melalui tulisan ini
akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dan peran Ombudsman dalam
penegakan asas-asas pemerintahan yang baik. Pengkajian permasalahan ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif (Dogmatic Research) dengan
pendekatan peraundang-undangan (Statue approach).
B. Pembahasan
1. Pengaturan Ombudsman di Indonesia
Pembentukan Lembaga Ombudsman dilatarbelakangi alasan bahwa fungsi
dan tugas penyelenggara negara pada hakekatnya adalah mewujudkan kesejahteraan
bagi masyarakat dan masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang
sama dan adil oleh penyelenggara negara.233 Lembaga pengawasan Ombudsman
sebagai suatu lembaga pengawas eksternal dan mandiri pada awalnya dibentuk
melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional dan kemudian baru pada tahun 2008 dikuatkan landasan hukumnya dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman.
Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai fungsi mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara negara
dan Pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan
oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum
Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.234 Selanjutnya Ombudsman diberi
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan
Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.235
Secara normatif, dasar hukum yang melandasi terbentuknya Ombudsman di
Indonesia terdapat pada beberapa ketentuan yaitu:
232 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 20 233 Antonius Sujata, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009, hlm. 9 234 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI, Pasal 6 235 Ibid, Pasal 1 angka (1)
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
a. Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas)
Pada lampiran Program pembangunan Nasional tahun 2000-2004, Pembangunan
Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang
mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman
Nasional. Pada matrik Program Nasional pembentukan peraturan perundangan
secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang tentang
Ombudsman merupakan indikator kerja Kebijakan Program Pembangunan
Hukum tahun 1999-2004.
b. Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001
Pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah
menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
yakni pada Pasal 2 ayat (6) yang berbunyi:
“Membentuk Undang-Undang beserta peraturan pelaksananya untuk pencegahan
korupsi yang muatannya meliputi:
1) Komisi Pemberantasan tindak Pidana korupasi;
2) Perlindungan Saksi dan Korban;
3) Kejahatan Terorganisasi;
4) Kebebasan mendapatkan informasi;
5) Etika Pemerintahan;
6) Kejahatan Pencucian Uang;
7) Ombudsman.”
c. Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional
Keppres No. 44 Tahun 2000 merupakan dasar hukum pertama bagi
operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Meskipun pengaturannya masih
bersifat umum dan terbatas kewenangannya, namun berlakunya Keppres ini
merupakan titik awal berdirinya pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
publik di Indonesia. Dalam Keppres No 44 Tahun 2000 BAB II Pasal 4
disebutkan:
“Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Ombudsman
Nasional mempunyai tugas :
1) Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman;
2) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah,
Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,
Organisasi Profesi dan lain-lain;
3) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai
terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan
tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum;
4) Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman
Nasional.
d. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
Pengaturan mengenai Ombudsman dan pelembagaannya di Indonesia selanjutnya
dipertegas dan diperkuat lagi dengan dasar hukum berupa undang-undang.
Ketentuan ini berimplkasi pada status kelembagaan Ombudsman sebagai
lembaga pengawasan pelayanan publik. Ketentuan ini merubah status
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
kelembagaan Ombudsman dari executive Ombudsman menjadi parliamentary
Ombudsman, sehingga terpenuhilah unsur sebagai pengawas eksternal yakni
keberadaan lembaga pengawasan di luar lembaga yang diawasi, maka
independensi lembaga Ombudsman lebih terjamin.
e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara umum
dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik diawasi oleh instansi yang
bersangkutan dan Ombudsman. Ketentuan ini jelas sekali telah memberikan
kewenangan pengawasan kepada lembaga Ombudsman
2. Peran Ombudsman Dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik
Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman memiliki beberapa
“harapan” dalam mewujudkan good governance:
Pertama; Ombudsman Daerah memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata
kelola (governance) pemerintahan daerah. Selama ini masyarakat diposisikan sebagai
objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola interaksi pemerintah dan masyarakat
nyaris tak terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak aspiratif dan sulit
dikontrol masyarakat. Ombudsman dapat menembus dinding tersebut dengan
membangun partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Disinilah akan terbangun
checks and balances antara keduanya dalam bentuk yang elegan.
Kedua; Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern yang menggunakan
masyarakat sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah
mandulnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang ada
(khususnya di daerah) saat ini. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga
pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan detik ini, seiring dengan semakin
menguatnya kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.236
Ombudsman menerima laporan dari masyarakat mengenai tindakan
maladministrasi yang dilakukan aparat pemerintah melalui proses non administrasi.
Akan tetapi laporan pengaduan dan informasi hanya dapat disampaikan kepada
Ombudsman, apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya dugaan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan;
b. laporan pengaduan hanya berlaku untuk peristiwa, tindakan atau keputusan
terlapor dalam tenggang waktu paling lama 5 ( lima) tahun sejak peristiwa,
tindakan atau keputusan terjadi atau ditetapkan;
c. pelapor harus mencantumkan identitas lengkap yang dibuktikan dengan Kartu
Tanda Penduduk atau kartu identitas lainnya yang sah;
d. menyampaikan uraian mengenai peristiwa, tindakan, atau keputusan yang
dilaporkan, diadukan atau diinformasikan.
Dalam hal Ombudsman menolak laporan, hal ini dikarenakan:
236 M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran
Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di website
http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerah-sebuah-tawaran-mewujudkan-good-
governance-di-daerah/, diakses pada tanggal 20 Desember 2012.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
a. Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun
secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan;
b. Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemerikaan pengadilan, kecuali
laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan
di pengadilan;
c. Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan
dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu
yang patut;
d. Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;
e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman;
f. Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliaasi
oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau
g. Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.
Ombudsman akan menindaklanjuti laporan masyarakat apabila laporan
tersebut merupakan kewenangannya dan terindikasi maladministrasi. Bentuk-bentuk
maladministrasi secara lebih rinci dalam buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman
Indonesia terdiri dari dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklafikasikan menjadi
enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik.
Kelompok pertama adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait
dengan ketepatan waktu daam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari
tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.
a. Penundaan Berlarut
Dalam proses pemberian pelayananumum kepada masyarkat, seorang pejabat
publik secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu tanpa alas an yang
jelas dan masuk akal sehingga proses adminstrasi yang sedang dikerjakan menjadi
tidak tepat waktu sebagaiana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan
umum yang tidak ada kepastian.
b. Tidak Menangani
Seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya
wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
c. Melalaikan Kewajiban
Dalam proses pemebrian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak
kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi kewajiban
dan tanggung jawabnya.
Kelompok Kedua adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan
keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok
ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan neotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-
nyata berpihak.
a. Persekongkolan
Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan,
kecurangan, melawan hukum sehingga masyarkat merasa tidak memperoleh
pelayann secara baik.
b. Kolusi dan Nepotisme
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat
publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/ sanak family,
teman dan kolega sendiri tanpa criteria objektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan
umum maupun untuk dapat duduk di jabatan atau posisi dalam lingkungan
pemerintahan.
c. Bertindak Tidak Adil
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan
tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.
d. Nyata-nyata Berpihak
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat
sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan
berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan peihak lainnya.
Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih
mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan
perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan
perbuatan melawan hukum.
a. Pemalsuan
Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik meniru sesuatu
secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri
sendiri, orang laindan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak
memperoleh pelayanan secara baik.
b. Pelanggaran Undang-Undang
Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik secara sengaja
melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang
berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.
c. Perbuatan Melawan Hukum
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan
perbuatan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan sehingga
merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.
Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait
dengan kewenangan/ kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas
pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari
tindakan di luar kompetensi, pejabat yang tidak berkompeten menjalankan tugas,
intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang
menyimpangi prosedur tetap.
a. Di luar Kompetensi
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan
sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak
memperoleh pelayanan secara baik.
b. Tidak Kompeten
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu
atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
c. Intervensi
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Seorang pejabat publikmelakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan
menjadi tugas dan kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat.
d. Penyimpangan Prosedur
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak
mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga
masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan
sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum
kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang,
penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak/tidak patut.
a. Bertindak Sewenang-wenang
Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaanuntuk
bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak
dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
b. Penyalahgunaan Wewenang
Seorang pejabat publik menggunkan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk
bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan
umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.
c. Bertindak Tidak Layak. Tidak Patut
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan
sesuatau yang tidak wajar, tidak patut dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak
mendapatkan pelayanan sebagamana mestinya.
Kelompok keenam adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan
tindakan korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau
permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak,
dan penggelapan barang bukti.
a. Permintaan Imbalan Uang/ Korupsi
1) Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik meminta
imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia
lakukan (secara uuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.
2) Seorang pejabat publik menggelapkan uang Negara, perusahaan, (Negara), dan
sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebakan
pelayanan umum tidak dapat diberikan secara baik kepada masyarakat yang
memerlukan.
b. Penguasaan Tanpa Hak
Seorang pejabat publik menguasai sesuatu (yang bukan milik atau kepunyaannya)
secara melawan hukum, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari
kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat.
c. Penggelapan Barang Bukti
Seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah
menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang menjadi bukti
suatu perkara. Akibatnya, ketika pihak yang berperkara meminta barang bukti
tersebut (misalnya setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak
dapat memenuhi kewajibannya.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Secara umum, penanganan laporan di Ombudsman melewati tahap
investigasi, klarifikasi dan/atau mediasi. Beberapa laporan dapat dinyatakan selesai
dalam tahap mediasi dimana kedua belah pihak (Pelapor dan Terlapor) bersepakat
untuk menyelesaikannya dalam forum mediasi. Sementara penyelesaian beberapa
laporan yang lain dapat berujung pada pendapat hukum dan/atau rekomendasi .
a. Investigasi
Apabila perkara yang dikeluhkan/dilaporkan memiliki keterkaitan yang
signifikan dengan perkara lain yang kompleks, maka Ombudsman akan melakukan
investigasi. Kegiatan investigasi merupakan upaya untuk mencari dan
mengumpulkan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran,
kesalahan atau sebuah fakta.
Kasus-kasus yang memerlukan tindakan investigasi biasanya secara garis
besar adalah sebagai berikut:
1) Menyangkut masyarakat luas dan ada indikasi kuat tentang adanya pelanggaran
asas-asas umum pemerintahan yang baik oleh pihak tertentu yang merugikan
masyarakat;
2) Berkaitan dengan penggunaan dana dalam jumlah besar;
3) Menyangkut kebijakan yang tidak adil, tidak transparan dan tidak memihak pada
kepentingan masyarakat;
4) Berkaitan dengan peristiwa politik yang menyangkut kepentingan publik;
5) Menimbulkan silang pendapat antar beberapa pihak;
6) Bukti-bukti yang diberikan masyarakat terlalu lemah/minim.
b. Klarifikasi.
Klarifikasi dilakukan Ombudsman kepada pihak pejabat publik sebagai
Terlapor, Pelapor dan pihak lain yang terkait untuk mengetahui kebenaran keluhan
dan sekaligus mengetahui tanggapan pihak yang dikeluhkan. Secara umum klarifikasi
dilakukan untuk mendapatkan penjelasan yang sebenar-benarnya atas permasalahan
yang dikeluhkan.
Permintaan klarifikasi Ombudsmandibedakan dalam dua bentuk yakni
permitaan klarifikasi secara langung dan permintaan klarifikasi secara tidak langsung.
Klarifikasi secara langsung merupakan proses penggalian data dan permintaan
penjelasan yang dilakukan secara langsung dengan bertatap muka. Kadangkala
permintaan klarifikasi yang dilakukan secara tertulis dari belakang meja masih harus
dilengkapi dengan melakukan cross check di lapangan (klarifikasi langsung),
demikian juga sebaliknya. Sedangkan klarifikasi secara tidak langsung dilakukan
melalui surat resmi.
c. Mediasi.
Dalam melakukan tindakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang di
Laporkan masyarakat, dimungkinkan Ombudsman sebagaimana fungsinya dapat
melakukan upaya mediasi yaitu dengan mempertemukan Pelapor dengan Terlapor
untuk mencari titik temu menyangkut upaya penyelesaian yang terbaik bagi kedua
belah pihak. Mediasi ini dilaksanakan sejauh menyangkut penyelesaian perkara yang
bisa ditempuh dengan kompromi.
d. Rekomendasi.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Produk final dari tindakan Ombudsman secara umum terhadap perbuatan
maldaministrasi adalah rekomendasi. Rekomendasi dikeluarkan oleh Ombudsman
bertujuan untuk menyelesaikan keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik dan juga untuk mencegah terjadinya keluhan masyarakat lebih
lanjut. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun
berdasarkan hasil investigasi Ombdusman kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan
dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan adminstrasi
pemerintahan yang baik.237
Dalam praktek, aplikasi pelaksanaan tugas/fungsi Ombudsman tersebut
dituangkan dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Ombudsman kepada instansi
terlapor, baik berupa permintaan klarifikasi, pemeriksaan atau penelaahan, disertai
saran antara lain untuk mengambil tindakan, dan atau langkah perbaikan maupun
permintaan agar menjadi bahan pertimbangan. Semuanya itu pada hakekatnya
merupakan rekomendasi. Dengan demikian, rekomendasi tidak lain adalah bagian dari
tugas operasional fungsi Ombudsman.238
Ada beberapa jenis rekomendasi yang selama ini lazim dikeluarkan
Ombudsman.239 Jenis-jenis tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok.
Pertama; rekomendasi yang disusun guna membantu penyelesaian masalah Pelapor,
Kedua; rekomendasi yang menyarankan pemberian sanksi guna pembinaan dan efek
jera, Ketiga; rekomendasi yang diperuntukkan mencegah agar tidak terjadi tindakan
maladminstrasi dan Keempat; rekomendasi untuk mengubah proses atau sistem yang
mengakibatkan buruknya kualitas pelayanan umum.
1) Membantu Penyelesaian Masalah
Rekomendasi jenis ini memang diformulasikan untuk membantu Pelapor agar
masalahnya dapat segera diselesaikan. Materi-materi rekomendasi yang dapat
disusun dengan tujuan semata-mata membantu menyelesaikan permasalahan
Terlapor adalah sebagai berikut:
a) Mempercepat pelayanan;
b) Menyampaikan permintaan maaf;
c) Mempertimbangkan keputusan;
d) Memberikan penjelasan;
e) Menjelaskan pertimbangan;
f) Memberikan keringanan;
g) Memberikan ganti rugi.
2) Rekomendasi Pemberian Sanksi
Dalam hal tindakan pejabat publik yang sewenang-wenang, koruptif dan
sebagainya, Ombudsman dapat memberikan rekomendasi agar Terlapor diberikan
sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau diajukan ke Pengadilan.
3) Mencegah Maladministrasi
Rekomendasi Ombudsman dapat juga diberikan kepada pimpinan instansi publik
tertentu sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindakan maladministrasi.
Setidaknya ada dua jenis rekomendasi preventif yang selama ini pernah disusun
237 Lihat pada Pasal 1 angka 7 UU ORI 238 Antonius Sujata dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional,
KON, Jakarta, 2002, hlm. 192 239 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 68-74
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Ombudsman yaitu rekomendasi untuk mencegah adanya confict of interest, dan
mencegah terjadinya intervensi atau tekanan dari orang-orang tertentu, termasuk
dari pejabat yang dilaporkan.
4) Mengubah proses atau sistem
Jenis-jenis rekomendasi Ombudsman yang ditujukan untuk perubahan kebijakan
atau sistem pelayanan umum antara lain berupa saran untuk mengubah prosedur,
saran untuk mengubah kebijakan, mengubah peraturan hukum, dan membuat
aturan hukum yang baru.
e. Monitoring Rekomendasi
Monitoring adalah serangkaian tindakan pengawasan dan pemantauan
terhadap dampak atau pengaruh dikeluarkannya sebuah surat rekomendasi, yang
berkaitan dengan perubahan perilaku, sistem kebijakan, maupun cara terlapor (pihak
yang direkomendasi) dalam memberikan pelayanan yang lebih baik dan etis kepada
masyarakat.240 Monitoring rekomendasi dilakukan untuk melihat seberapa jauh
rekomendasi Ombudsman dilaksanakan oleh penerima rekomendasi (Terlapor) atau
atasan Terlapor. Monitoring dilaksanakan melalui surat yang dilayangkan kepada
Terlapor untuk mengetahui seberapa jauh rekomendasi sudah dijalankan.
Dalam konteks good governance sumbangan terbesar Ombudsman melalui
kewenangannya dalam melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik,
memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi
masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel dan
partisipatif. 241
3. Efektifitas Ombudsman dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik Tidak sedikit kalangan yang pesimis terhadap efektifitas Ombudsman dalam
penegakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini dapat dimaklumi karena
produk hukum baik berupa pendapat hukum maupu rekomendasi-rekomendasi
Ombudsman bukan merupakan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum
(legal binding) sehingga tidak ada kewajiban untuk mematuhinya, akan tetapi lebih
merupakan pemberi pengaruh (magistratur of influence). Tentunya hal ini akan sangat
berpegaruh pada dijalankan atau tidaknya anjuran Ombudsman oleh aparat
penyelenggara negara, jangankan berupa anjuran moral, putusan pengadilan yang
sudah berketetapan hukum tetap pun masih sulit untuk dijalankan. Akan tetapi perlu
diingat bahwa penegakan hokum yang secara represif saat ini nampaknya juga tidak
memberi efek jera pada pelaku dan bahkan belum terbukti keampuhannya. Oleh
karenanya Ombudsman dengan model penegakan hukum melalui pendekatan
persuasif dan preventif justru merupakan tawaran yang menarik.
Cara pendekatan yang dilakukan Ombudsman adalah dengan mendesakkan
perbaikan pelayanan penyelenggara negara dengan menyentuh kesadaran individu dan
komitmen pribadi dari pejabat publik untuk mau mentaati asas yang berlaku, hukum
secara keseluruhan, serta sistem yang dibangun secara baik guna mendukung jalannya
240 Lihat dalam Laporan dua tahunan (Biannual Report) 2005-2007, LOS DIY, Yogyakarta, 2007, hlm. 48 241 Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah, disampaikan dalam Seminar dan
Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan
Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
pemerintahan itu sendiri. Keunikan sekaligus kekuatan Ombudsman lainnya dalam
penegakan asas terletak pada kepercayaan semua pihak atas pertimbangan yang
menjadi landasan dalam member anjuran yang sifatnya dapat dipertanggung jawabkan
dan tidak memihak. Independensi Ombudsman dalam menjalankan wewenangnya
tidak seharusnya diragukan karena memang Ombudsman secara filosofis merupakan
lembaga yang mandiri (independent). Independensi yang dimaksud adalah
menyangkut independensi kelembagaan, personal, maupun fungsional, sehingga
keberadaan Ombudsman jauh dari intervensi manapun.
C. Penutup
Keberadaan Ombudsman yang terlembaga baik di pusat maupun di daerah
merupakan sesuatu yang prospektif. Tujuan dari pembentukan Ombudsman tersebut
tidak lain adalah dalam rangka memberikan sentuhan baru dalam proses penegakan
hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik. Ombudsman yang memiliki fungsi
dasar sebagai lembaga pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di
pusat maupun di daerah diharapkan dapat mewujudkan cita-cita banyak pihak
terutama setelah diterapkannya otonomi daerah yang dirasa berjalan tanpa kendali.
Melalui pendekatan yang dilakukan, Ombudsman juga diharapkan mampu
memecahkam masalah buruknya birokrasi pemerintahan yang nampaknya menjadi
cikal bakal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme pada setiap level.
Daftar Pustaka
Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 2000
--------------------- dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah
Ombudsman Internasional, KON, Jakarta, 2002, hlm. 192
--------------------, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009
Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
2005
M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH
: Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di
website http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerah-
sebuah-tawaran-mewujudkan-good-governance-di-daerah/, diakses pada tanggal
20 Desember 2012.
Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press,
Yogyakarta, 2005
Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY,
Yogyakarta, 2008
Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah,
disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga
Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh
Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan
Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Pidana di
Indonesia (Suatu Kajian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak
Kekerasan Terhadap Perempuan)
Diah Gustiniati Maulani dan Maya Shafira
I. PENDAHULUAN
Meningkatnya intensitas diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di
Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class
citizen makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang
menciptakan korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara
fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun
ekonomis (di PHK). Tindak pidana yang sering menimpa pada perempuan adalah
perkosaan. Setiap kasus perkosaan tidak terjadi begitu saja, itu tidak dapat dilihat
sebagai kasus yang berdiri sendiri. Sebab perkosaan terkait erat dengan kondisi sosio-
kultural dari sebuah masyarakat. Perkosaan selalu melibatkan dua pihak yaitu pelaku
dan korban yang dalam sejarah masyarakat mana pun, pelaku lazimnya adalah laki-
laki dan korban adalah perempuan.
Berdasarkan data yang di dapat dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar
Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung
pada tahun 2008. Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan
penganiayaan. Dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus pemerkosaan, 39 kasus
pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan Damar, kasus pemerkosaan
justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan tingkat intelektual
tinggi yang pelakunya masih keluarga atau orang terdekat dari korban.
Usia korban yang rentan pemerkosaan antara 6 dan 18 tahun (63%), usia
remaja (18,33%) gambaran ini menunjukkan korban pemerkosaan pada saat keadaan
lemah, fisik sedang tumbuh, dan psikologis baru berkembang. Cara yang dilakukan
oleh pelaku perkosaan biasanya dengan mengancam akan membunuh, menipu,
mengiming – imingi korban, dengan uang dan lain-lain, biasanya bila korban
merupakan anak-anak. Perkosaan pada usia rentan ini berdampak negatif bagi korban,
yaitu trauma sepanjang hidup, merasa minder, dan menyalahkan diri sendiri.
Meskipun sudah banyak sekali kasus perkosaan terjadi, namun masih banyak faktor
yang menyebabkan sulitnya kasus perkosaan disidang.
Munculnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan korban, di mana korban adalah seseorang yang mengalami Penderitaan fisik,
mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana,
ternyata kurang maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini
terlihat dengan adany kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada
aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,
diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui
oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu
saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa
keadilan bagi korban dan masyarakat.242
Berdasarkan hal di atas, maka munculah suatu permasalahan yang akan
dibahas berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia dengan melihat kepada
kebijakan-kebijakan regulasi yang ada mampu mengatasi masalah tindak kekerasan
(pemerkosaan) terhadap perempuan serta faktor-faktor penghambat upaya
perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan.
II. Pembahasan
A. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan dalam
Perspektif Hukum Pidana di Indonesia
Korban merupakan suatu akibat yang timbul karena adanya sebab ( causa )
yang mendahuluinya. Mustahil akan terjadi suatu akibat tanpa adanya sebab yang
menjadi dasar timbulnya akibat tersebut. Sebab ( causa ) tersebut berupa peristiwa
atau kejadian yang terwujud dalam bentuk keadaan atau perbuatan. Peristiwa yang
berwujud keadaan misalnya gempa bumi, banjir, longsor, dan lain sebagainya,
sedangkan peristiwa yang berwujud perbuatan misalnya tindak pidana yang dilakukan
oleh manusia, meliputi tindak pidana yang dilarang dalam undang-undang maupun
perbuatan yang belum dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana
namun dirasakan oleh masyarakat telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.
Setiap tindak pidana dapat menimbulkan korban, korban dari kejadian yang
pertama disebut korban alami ( natural victim ) sedangkan korban dari kejadian yang
terakhir disebut korban kejahatan ( criminal victim ). Selanjutnya yang disebut korban
disini terbatas pada korban kejahatan ( criminal victim ), karena korban alami tidak
diliputi hukum pidana. Adapun yang dimaksud korban kejahatan menurut adalah
mereka yang menderita jasmani dan rohani, material dan immaterial sebagai akibat
dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi penderita.243
Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime, yaitu :
1) Korban Langsung ( Direct Victims ) yaitu korban yang langsung mengalami dan
merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai
berikut :
a) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.
b) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,
kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.
c) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum
pidana.
d) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
242 Arif Gosita, 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan hlm 45. Akademika Presindo. Jakarta. 243
Arif Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta http: VIVAnews.com,15
Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 ).
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
2) Korban Tidak Langsung ( Indirect Victims ) yaitu timbulnya korban akibat dari turut
campurnya seseorang dalam membantu korban langsung ( directvictims )
atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi
korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban
langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.
Selanjutnnya berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan secara yuridis
formal definisi perkosaan itu dapat dilihat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). yaitu :
"Barang.siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan diancam
dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun".
Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;
b. Memaksa seorang perempuan;
c. Yang bukan istrinya;
d. Untuk bersetubuh.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikemukakan pengertian korban
perkosaan adalah: Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek).
Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang
diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban
pemerkosaan itu harus memenuhi unsur di atas.
Tindak pidana pemerkosaan yang korbannya didominasi oleh kaum
perempuan selalu berada pada pihak yang lemah dan terkadang merasa dikecewakan.
Karena dengan memberikan sanksi yang berat atau setimpal terhadap pelaku dianggap
sudah memberikan keadilan yang cukup bagi korban. Padahal lebih dari itu upaya
perlindungan terhadap korban pun harus diperhatikan dan menjadi permasalahan yang
serius terhadap kajian viktimologi. Tindak pidana di bidang kesusilaan seperti
contohnya tindak pidana pemerkosaan memberikan dampak yang buruk terhadap para
korban yang biasanya didominasi oleh kaum hawa (perempuan). Oleh karenanya
diperlukan upaya yang maksimal dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
korban tindak pidana pemerkosaan.
Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dengan perempuan sebagai
korbannya, maka yang dimaksud dengan korban adalah:
“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita244
Pengertian korban di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 285
KUHP, maka pengertian korban perkosaan adalah : Korban perkosaan harus seorang
wanita, tanpa batas umur. Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan
seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285
KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur tersebut.
244 Arif Gosita. Ibid. hlm 41.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Korban tindak pidana pemerkosaan merupakan korban yang langsung (Direct
Victims) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan
adanya tindak pidana dengan karakteristik korban biasanya individu, menderita luka
fisik, luka mental, yang disebabkan adanya perbuatan yang dikualifikasikan sebagai
kejahatan dalam hukum pidana (KUHP).
Berdasarkan hal di atas sudah sepantasnya korban tindak pidana mendapatkan
perlindungan yang khusus berkaitan dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri
korban. Apabila kita melihat kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), maka dalam pelaksanaannya hanya memberikan ketentuan yang tegas
terhadap hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka/terdakwa akan tetapi belum
menyentuh sepenuhnya terhadap hak korban.245 Kepentingan korban semata-mata
diambil alih oleh pegawai Penyidik dan penuntut Umum. Sehingga kedua instansi
tersebut yang berwenang sepenuhnya terhadap kepentingan korban. Padahal belum
tentu demikian.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Kecenderungan masyarakat
hukum di Indonesia bahkan di dunia hanya tertuju pada kepentingan seseorang pelaku
tindak pidana seperti halnya di dalam KUHAP. Kepentingan korban dirasakan kurang
mendapatkan perhatian dalam KUHAP. Yang semestinya KUHAP adalah merupakan
prinsip dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan korban. Berkaitan dengan
hal tersebut maka pemerintah berupaya semaksimal mungkin dengan membuat berbagai
aturan yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana. Diantaranya dengan
mensahkan undang-undang yang berorintasi kepada perlindungan korban tindak pidana
khususnya perlindungan terhadap perempuan, diantaranya:
1. Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
6. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Peraturan perundang-undangan di atas merupakan wujud dari keseriusan
pemerintah dalam memperhatikan hak korban khususnya kaum perempuan. Perempuan
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan tanpa disadari menjadi korban ganda yang
berarti bahwa seringkali korban menceritakan kasus-kasus tersebut secara berulang-
ulang dari tingkat penyidikan sampai dengan persidangan. Hal ini membuat korban
merasa tertekan.246 Dengan selalu mengatakan kata-kata atau kalimat yang mungkin
tidak pantas untuk dikatakan secara berulang kali justru dapat membuat korban sulit
245 Loebby Loqman, 2002. HAM dalam HAP hlm. 9. Datacom. Jakarta. 246 Moerti Hadiati Soeroso, 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis –
Viktimologis hlm. 123. Sinar Grafika. Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
melupakan peristiwa yang dialami olehnya. Tetapi mau tidak mau hal ini mesti
dilakukan demi kepentingan korban dan kelancaran dalam proses peradilan pidana.
Perlindungan yang diberikan kepada perempuan selaku korban tindak pidana
secara umum dapat berupa pemberian hak dan kewajiban yang meliputi:247
1. Hak Korban
a. Korban berhak mendapat kompensasi atas penderitaan, sesuai dengan
kemampuan si pelaku;
b. Korban berhak menolak kompensasi karena tidak memerlukannya;
c. Korban berhak mendapatkan kompensasinya untuk ahli warisnya bila korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut;
d. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;
e. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya;
f. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan
dirinya;
g. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku, bila
melapor ke dan menjadi saksi;
h. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;
i. Korban berhak mempergunakan upaya hukum.
2. Kewajiban Korban
a. Korban tidak main hakim sendiri;
b. Berpatisipasi dalam masyarakat mencegah terjadinya/timbulnya korban lebih
banyak lagi;
c. Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri,
maupun oleh orang lain;
d. Korban wajib ikut serta membina sipelaku;
e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri agar tidak menjadi korban lagi;
f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan si pelaku;
g. Berkewajiban memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi
kompensasi secara bertahap atau sesuai dengan kemampuannya;
h. Berkewajiban menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada
jaminan.
Berkaitan dengan hal di atas apabila kita telaah lebih lanjut maka terhadap
upaya perlindungan korban dalam bentuk hak-hak korban tindak pidana khususnya
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, maka hak-hak tersebut dapat dikatakan
cukup sebagai langkah awal perlindungan terhadap korban. Tetapi hak-hak tersebut
dapat dikhususkan lagi terutama hak mendapatkan kompensasi yang lebih terhadap
penderitaan baik fisik maupun psikis yang sulit untuk diberikan kepada korban
pemerkosaan.
Sebagai bahan perbandingan di bawah ini diberikan contoh pemberian
kompensasi di Inggris yaitu sebagai berikut:248
247 Arif Gosita. Ibid. hlm. 53 248 Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana
hlm. 66. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Seorang wanita yang diserang dan diperkosa di sebuah gang yang gelap dan
dirawat di rumah sakit selama dua bulan mendapat kompensasi 582
poundstreling;
2. Seorang wanita yang menderita shock karena penyerangan seksual sehingga tidak
dapat bekerja lagi mendapat 2.020 pounds;
3. Seorang gadis yang mengalami pelecehan penyerangan seksual mendapat 251
pounds.
Pemberian kompensasi tersebut tentunya juga bergantung kepada
kemampuan dan kondisi masing-masing negara. Hal ini juga tentunya relevan dengan
tersangka/terdakwa yang memperoleh perlindungan dan bantuan dari negara untuk
memperoleh rehabilitasi, ganti rugi dan bantuan hukum secara cuma-Cuma walau dalam
hal-hal tertentu, maka wajar bila korban juga mendapatkan yang sama akan
perlindungan hak-haknya.Terlebih jika dilihat dari tujuan dan tanggung jawab negara
untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hak korban
akan ganti kerugian pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang
kesejahteraan/jaminan sosial (social security).249
Selanjutnya terkait dengan kewajiban pihak korban sepertinya diuraikan di
atas tidaklah tepat apabila kewajiban tersebut dilakukan oleh seorang perempuan selaku
korban tindak pidana pemerkosaan. Mungkin dalam tindak pidana lainnya dapat untuk
dilaksanakan. Mengingat bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang
menderita baik lahir maupun batin yang pemulihannya tidak semudah pemulihan
korban tidak pidana lainnya misalnya seperti korban pencurian yang hanya dilihat dari
segi materilnya saja. Sedangkam korban pemerkosaan memerlukan tindakan yang
khusus untuk dapat dipulihkan secara maksimal/total.
Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana dapat tercermin dalam ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undang-
undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM). Walaupun tidak
secara nyata mengatur tentang perlindungan korban tetapi tersirat dalam ketentuan pasal
3, 5, 17, 29, dan 30 undang-undang tersebut, yang diantaranya mengatur tentang:250
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh bantuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaannya (Pasal 5 ayat (1));
2. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan hak miliknya (Pasal 29 ayat (1));
3. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
secara khusus lebih mangatur perlindungan korban pada Bab V, Pasal 34 dan
dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam
Pasal 35 Bab VI. Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM dan Peraturan pemerintah
Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian dari kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi.
249 Ibid hlm. 67 250 Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi hlm. 64. Sinar Grafika. Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku
tindak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung
jawabnya.
2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya
oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,
pembayaran ganti kerugian, untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian
biaya untuk tindakan tertentu.
3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan atau hak-hak lainnya.
Selanjutnya upaya perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak
pidana dapat terlihat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana dalam Pasal 10 menentukan:
Korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pemerintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkatan
proses pemeriksaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Pelayanan bimbingan rohani;
Selain dari hal di atas, upaya perlindungan korban tindak pidana khususnya
KDRT tidak hanya berasal dari diri si korban saja, tetapi juga ada kewajiban warga
masyarakat untuk melindungi korban tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
UU Penghapusana KDRT:
“Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib
melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat;
d. Membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.
Upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana
juga dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dimana Pasal 5 menentukan:
(1) Seorang saksi dan korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
e. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
f. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
h. Mendapat identitas baru;
i. Mendapat tempat kediaman baru;
j. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
k. Mendapatkan penasihat hukum;
l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban
tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
Perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana juga terlihat
dalam ketentuan-ketentuan Pasal 43 sampai dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor
21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO). Dimana di dalam
undang-undang tersebut menentukan adanya hak korban dan/atau saksi, ketentuan
restitusi dan rehabilitasi.251 Undang-undang ini juga berkaitan dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Yang semuanya berorientasi kepada
perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak pidana.
Berkaitan dengan hak korban dan/atau saksi diberikan juga kepada
keluarganya dengan rincian sebagai berikut:
a. Memperoleh kerahasiaan identitas;
b. Hak di atas diberikan juga kepada keluarga korban dan/atau saksi sampai derajat
kedua;
c. Korban dan ahli warisnya berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis;
d. Mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan lain.
Selanjutnya berkaitan dengan restitusi dalam undang-undang tersebut adalah
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau kerugian materiil dan/atau immateriil
yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi diantaranya dengan memberikan
ganti kerugian atas:
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Penderitaan;
c. Biaya untuk tindakan medis dan/ atau psikologis
dan lain-lain sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 13 UU TPPO.
Selanjutnya rehabilitasi atau pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik,
psikis dan sosial diberikan agar dapat melaksanakan kembali perannya secara wajar
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir
14 serta penjelasan Pasal 51 dan Pasal 52 UU TPPO.
Berpedoman pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas
seperti undang-undang penghapudan KDRT, undang-undang perlindungan saksi dan
korban serta undang-undang tindak pidana perdangan orang yang senyatanya secara
251 Bambang Waluyo. Ibid hlm. 120.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
khusus mengatur tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana yang apabila kita
cermati perlindungan korban tersebut sepertinya lebih berorientasi kepada perempuan
sebagai korban tindak pidana. Hal ini secara khusus dapat mengakomodir ketentuan –
ketentuan tentang perlindungan perempuan sebagai korban tindak pidana khususnya
pemerkosaan yang secara khusus belum ada pengaturan yang khusus mengatur
perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan. Tetapi dengan adanya undang-
undang tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai korban tindak pidana
pemerkosaan.
B. Faktor-faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap korban
tindak pidana pemerkosaan
Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum adalah:252
1. Faktor hukumnya sendiri;
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan
hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
dan
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang dirasakan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Berkaitan dengan faktor-faktor penghambat dalam upaya pemberian
perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan
diawali dengan melihat kepada faktor hukum. Faktor hukum atau undang-undang bukan
merupakan faktor yang dominan karena walaupun ketentuan secara khusus terhadap
perlindungan korban tindak pidana perkosaan tidak spesifik tetapi hanya tersebar sacara
umum dan dalam penerapannya dapat mengakomodir dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan sebagai
korban tindak pidana yang tercantum diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Selanjutnya hambatan dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap
perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dapat dilihat dari tingkat
penyidikan. Kendala yang dihadapi biasanya dari masyarakat atau orang tua bahkan
korban takut dan malu untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib karena ini juga
berkaitan dengan aib keluarga.
Pada umumnya fenomena kasus KDRT bisa diakomodir terhadap kasus
tindak pidana pemerkosaan karena mempunyai spesifikasi sendiri, yaitu:253
252 Soerjono Soekanto, 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo
Persada. Jakarta. hlm. 5.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
1. Terjadinya tindak pidana pemerkosaan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban
saja, sehingga kurang aadanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi
ketentuan pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP;
2. Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa membuka aibnya sendiri
terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual;
3. Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus pemerkosaan akan
berpengaruh terhadap tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses
penyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti.
Hambatan dari korban atau keluarga seperti: korban takut akan ancaman dari
pelaku, keterlambatan melaporkan baik oleh korban maupun oleh keluarganya karena
menyangkut masalah aib keluarga. Hambatan dari masyarakat karena kurangnya rasa
kepedulian terhadap korban pemerkosaan sehingga menganggap bahwa ini merupakan
aib keluarga dan oleh karena itu cukup diselesaikan dengan para anggota keluarga.
Misalkan jika dihubungkan dengan Pasal 15 UU Penghapusan KDRT, maka pendapat ini
bertentangan dimana dalam pasal tersebut ditentukan bahwa “Setiap orang yang
mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk: dapat mencegah berlangsungnya tindak
pidana; dapat memberikan perlindungan kepada korban; dapat memberikan pertolongan
darurat; dan dapat membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.
Selanjutnya hambatan berupa sarana dan prasarana terutama berkaitan dengan biaya
seperti: ketentuan biaya visum et repertum harus dikeluarkan oleh pihak korban (dalam
korban KDRT), sehingga korban yang tidak mampu merupakan suatu hambatan dalam
mencari keadilan.
III. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan bahwa:
1. Upaya-upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak
pidana perkosaan walaupun tidak secara khusus diatur dalam peraturan tersendiri
namun secara umum bentuk perlindungan tersebut dapat berupa kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi terhadap korban tindak pidana sebagaimana tercermin
dan tersurat dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam undang-undang yang
berorientasi kepada perlindungan korban khususnya terhadap perempuan
sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik
Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
2. Faktor-faktor penghambat pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana
perkosaan secara intern terdapat pada diri korban sendiri bahkan keluarganya, dan
253 Moerti Hadiati Soeroso. Ibid hlm. 135.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
secara ektern dapat berasal dari masyarakat dan negara yang dalam hal ini terkait
dengan tidak adanya secara khusus peraturan/undang-undang yang mengatur
tentang perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana
pemerkosaan. Yang selama ini secara umum diatur dalam undang-undang yang
berorientasi pada perlindungan korban tindak pidana sebagaimana yang diuraikan
di atas.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: Terhadap
upaya-upaya perlindungan korban khususnya perempuan sebagai korban tidak pidana
pemerkosaan walaupun tidak secara tegas dan khusus ada peraturan atau undang-
undang yang mengaturnya, maka diharapkan para aparat penegak hukum, pemerintah,
masyarakat serta korban sendiri bisa mengaplikasikan berbagai bentuk upaya-upaya
perlindungan yang sudah tersirat dan tersurat dalam beberapa ketentuan undang-
undang yang sudah mengatur tentang perlindungan korban secara umum.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Gosita, Arif. 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan. Akademika presindo. Jakarta
----------.1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakartahttp:
VIVAnews.com,15 Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 )
Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP. Datacom. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif
Yuridis – Viktimologis. Sinar Grafika. Jakarta.
Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika.
Jakarta.
Damar, Lembaga Advokasi Perempuan Anti Kekerasan. Catatan Akhir Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum Pidana
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Erna Dewi
I. Pendahuluan
Dewasa ini, internet telah membentuk masyarakat dengan dunia baru, yaitu
masyarakat dunia yang tidak lagi dihalangi oleh batas-batas territorial antara negara
yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali.Internet membawa pada dunia tanpa
pembatasan dan menembus batas kedaulatan negara, 254 masyarakat baru dengan
kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik itu semua,
internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru diantaranya muncul kejahatan
yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime.
Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Bahkan Volodymyr
Golubev menyebutnya sebagai “the new form of anti-social behavior”255 Perbuatan
yang menyangkut cyber crime harus ditangani secara serius, karena dampak dari
perbuatan itu sangat luas dan banyak merugikan perekonomian masyarakat, sehingga
apabila tidak ditanggulangi secara dini akan berkembang dan jika tidak terkendali
dampaknya akan sangat fatal bagi kehidupan masyarakat.
Di Indonesia sampai saat ini belum ada rumusan baku tentang definisi cyber
crime, namun demikian bukan berarti sistem hukum nasional tidak mengenal cyber
crime. Fenomena cyber crime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini berbeda
dengan kejahatan pada umumnya. Karena cyber crime dapat terjadi tanpa diperlukan
interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Begitu juga halnya dengan
modus kejahatan dalam dunia maya memang agak sulit dimengerti oleh orang-orang
yang tidak menguasai pengetahuan teknologi informasi. Sebab salah satu unsur dari
cyber crime adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandinya. Sifat
inilah yang membuat cyber crime berbeda dengan tindak pidana lainnya. Namun
demikian, kejahatan yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan biasa (konvensional)
dan masih memungkinkan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam masalah
cyber crime ada beberapa rumusan pidana tradisional yang dapat digunakan, yaitu:
a. Pencurian
b. Penggelapan
c. Pembukaan Rahasia
d. Pemalsuan
e. Pengancaman
f. Pornografi
g. Penghasutan
h. Pelecehan Seksual
i. Penghinaan
j. Penyebaran kabar bohong256
Kejahatan computer/dunia maya (cyber crime) merupakan kejahatan yang
potensial di masa akan datang seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan
254 Agus Raharjo, 2003. Cyber crime di Indonesia, jurnal studi kepolisian hlm.17 255 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber
crime di Indonesia hlm. 1. 256 Harkristuti Harkrisnowo, tt. Cyber crime dalam Perspektif Hukum Pidana. Fakultas Hukum UI. Jakarta
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
manusia terhadap teknologi computer. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan
teknologi computer, termasuk didalamnya pertukaran informasi antar bank, transaksi
bank dengan klien, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.257Kehadiran computer
dan internet yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalitas perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini.
Pada kenyataannya dari hari kehari, cyber crime kian meningkat baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya, walaupun masuknya teknologi informasi di
Indonesia masih tergolong rendah, namun ternyata nama Indonesia sudah begitu
popular dalam kejahatan di dunia maya, bahkan berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh sebuah perusahaan sekuriti berbasis texas, clear commerce, tahun 2000 lalu,
menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal
carder terbesar di dunia.Menurut majalah Time edisi 23 september 2002, banyak situs
internet yang tidak mudah untuk dibobol. Namun ternyata carder Indonesia memiliki
reputasi tinggi dalam praktek pembobolan situs ini.258
Sedangkan dalam survey lain yang dilakukan oleh AC. Nioelsen tahun 2001,
mencatat Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia dan keempat di Asia
dalam cyber crime, karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, banyak alamat IP
(internet protocol) Indonesia yang sempat di blokir.259sehingga orang Indonesia yang
ingin berbelanja melalui internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs
belanja online di luar negeri.
Meningkatnya kejahatan dunia maya ini tidak diimbangi dengan perangkat
maupun sumberdaya manusia penegak hukum yang propesional dalam menangani
kasus atau kejahatan tersebut, keadaan demikian yang sekaligus merupakan salah satu
hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Adapun fokus pada tulisan ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan
cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Permasalahan dalam
tulisan ini terdiri dari: (a)Bagaimanakah perkembangan Cyber Crime saat ini: (b)
Bagaimanakah pengaruh perkembangan Cyber Crime terhadap penegakan hukum
pidana.
II. Pembahasan
A. Pengertian Cyber Crime dan Perkembangannya
Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan
masa kini yang mendapat perhatian luas dai dunia international.Volodymyr
Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior.260Beberapa
sebutan lain yang cukup terkenl diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam
berbagai tulisan, antara lain sebagai kejahatan dunia maya (cyber space/ virtual
space offence), dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnational
crime, dan dimensi baru dari white collar crime (wcc).
.Cyber crime (selanjutnya disingkat cc) merupakan salah satu sisi gelap
dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negative sangat luas bagi
257 Sutanto, Hermawan Sulistyo, dan Tjuk Sugiarso. 2005. Cyber crime motif dan penindakan dalam Arif
zahrulyani.hlm. 6. 258 Ibid hlm. 7. 259 Goegle, mengatur duniarimba raya. 2007. Dalam Arif Zahrulyani op cit. hlm. 7. 260 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber
crime di Indonesia Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 1.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
seluruh bidang kehidupan modern saat ini.261sampai saat ini belum ada definisi
yang baku mengeai cyber crime itu sendiri, akan tetapi akan dipaparkan bebrapa
pengertian cyber crime yang sering digunakan. Seperti dalam Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas dinyatakan, bahwa kejahatan dunia maya (Cyber
crime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan computer
atau jaringan computer menjadi alat, sarana atau tempat terjadinya kejahatan.
Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain, penipuan lelang secara
online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan
identitas, pornogerafi anak, dan lain-lain.262
The oxford reference online mendifinisikan cyber crime as crime
committed over the internet.263(cc adalah kejahatan yang dilakukan terhadap
internet. Kemudian the encyclopedia Britannica memberikan pengertian cyber
crime as any crime that is commited by means of special knowledge or expert use
of computer technology.264(cc adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang
memiliki pengetahuan khusus atau keahlian dalam menggunakan teknologi
computer.
Menurut Roger Leroy Miller dan Gaylord A.Jentz “ a cyber crime is a
crime that occurs in the virtual community of the internet, as opposed to the
physical world”. Selanjutnya keduanya menyatakan, bahwa “ the location of
cyber crime cyberpace – raises new issues in the investigation of crimes and the
prosecution of perpetrators.265 Dalam makalah cyber crime yang disampaikan
oleh ITAC (Information Tecnology Association of Canada) pada International
Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress di Quebec pada
tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa, Cyber crime is a real and
growing threat to economic and social development around the world.
Information technology touches every aspect of human life and so can
electronically enabled crime.266 Masalah cyber crime ini sudah dua kali
diagendakan yaitu pada onres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/2000 di
Wina.267
Menurut Muladi Cyber crime merupakan suatu istilah umum yang
pengertiannya mencakup berbagai tindak pidana yang dapat ditemukan dalam
KUHP atau perundang-undangan pidana lainnyayang menggunakan teknologi
computer sebagai suatu komponen sentral. Cyber crime ertupa tindakan sengaja
merusak property, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik atas kekayaan
intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak dan pencurian.268
Berdasarkan uraian di atas, maka Cyber crime mempunyai pengertian
yang cukup luas yaitu kejahatan komputer dengan jaringan computer sebagai
261 Ibid hlm. 2. 262 Goegle tentang kejahatan dunia maya 263 www.crimr-research.org/library/cybercriminal.html. 264 ibid 265 Roger Leroy dan Gayloid A.Jentz. Law for E-commerce, Thompsonj Learning, United States. 2002.
(dalam Arif zahrulyani).2009. hlm.99. 266 ITAC, IIIC Common View Paper on:Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress (dalam Barda NA.
opcit hlm. 2.). 267 ibid 268 Agus raharjo,ibid. Hlm. 228.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
unsur utamanya yang dapat juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional
dimana computer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau
memungkinkan kejahatan itu terjadi. Pada perkembangannya cyber crime (tindak
pidana mayantara)269 sering dibahas di berbagai forum internasional, yaitu pada
Konres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” yang telah membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres
VIII/1990 di Havana, Kongres X /2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI
/2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April). Di samping itu telah ada pula Konvensi
Cyber Crime Dewan Eropa (Council of Europe Cyber Crime Convention) yang
ditanda tangani di Budapest pada tanggal 23 November 2001 oleh berbagai
negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan.270
Kongres dan Konvensi Internasional tersebut, didahului atau diikuti
dengan berbagai pertemuan dan kajian ilmiah lainnya di berbagai negara yang
sulit untuk dihitung, dari berbagai kajian itu ada yang meresahkan perkembangan
cyber crime terutama dibidang kesusilaan dan eksploitasi seksual, antara lain
dengan diadakannya The First World Congress Against Commercial Sexual
Exploitation of Children di Stockholm, 27-31 Agustus 1996, dan International
Conference on “ Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna,
Hofburg, 29 September- 1 Oktober 1999.
Perhatian terhadap masalah cyber crime ini juga berkembang di Indonesia
terutama dengan diadakan berbagai seminar nasional, sebagaimana yang ditulis
oleh Barda NA. dalam Buku Tindak Pidana Mayantara yang merupakan
himpunan dari makalah yang disampaikan pada delapan seminar nasional yang
diadakan sejak tahun 2001 sampai tahun 2005
B. Pengertian Penegakan Hukum
Menurut G. Radbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau
konsep-konsep abstrak, yaitu ide tentang keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial termasuk dalam kelompok yang abstrak. Bertolak dari hakekat
(nilai dasar) hukum tersebut, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide yang bersifat abstarak menjadi kenyataan. Proses
perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakekat penegakan hukum.271Agar
ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi, dalam
hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga
seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Walaupun lembaga-
lembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu
menegakkan hukum dalam masyarakat. Karena tanpa lembaga-lembaga tersebut
hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagai mana
mestinya.
Sistem penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sistem
penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan
hukum administrasi negara. Masing-masing sistem penegakan hukum tersebut
didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut alat
269 Barda NA. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja
Grapindo Persada. Jakarta. 270Barda NA. ibid 271 Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru Bandung. Hlm..16.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
penegak hukum (aparatur) yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. Hal ini berarti
ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam
penegakan hukum. Biasanya yang dimaksud dengan “alat penegak hukum”
hanyalah kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi kalau penegak hukum itu diartikan
secara luas, maka penegakan hukum itu juga menjadi tugas dari pembentuk
undang-undang, Hakim dan instansi Pemerintah272, bahkan masyarakat,
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap
warganegara wajib bela negara. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum
menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain
adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan
hukum itu.273
Inti dan arti penegakan hukum dari sisi lain terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terkandung di dalam kaidah yang mantap
dan mengejawantahkan sikap dan tindakan sebagai rangkaian penyatuan nilai
tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan
memantapkan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.274 Dengan
demikian penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan hukum oleh
aparatur penegak hukum, yang mencakup usaha-usaha pencegahan hingga
tindakan penjatuhan sanksi.
Penegakan hukum pidana erat sekali hubungannya dengan hukum acara
pidana, dimana pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam bagian
sistem peradilan pidana yang merupakan jaringan kerja yang melibatkan hukum
pidana materil (substantive), hukum acara pidana (hukum pidana formal) dan
hukum pelaksanaan pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang yaitu ingin
mewujudkan kesejahteraan sosial.
Penegakan hukum (law enforcement) telah mempunyai kekuatan (force)
yang diperlukan dalam menegakan hukum. Bila perlu dapat digunakan kekerasan
untuk memaksa seseorang agar mematuhi hukum sehingga tercipta suatu
keserasian hidup antara ketertiban dan ketentraman, sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi.Sedangkan penegakan hukum pidana adalah upaya untuk
menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi
kenyataan, yaitu hukum pidana, yang menurut Van Hamel adalah keseluruhan
dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan
hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht)
dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan
tersebut.275
272 Sudarto, 1986. kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. menurut beliau penegakan hukum tidak
lain adalah proses sdiskresi (discretion process) yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan.
Hlm. 16. 273 Rahardjo. Op cit. hlm. 24. 274 Soerjona Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali hal 2. dari
faktor-faktor tersebut dapat dikaji factor-faktor penghambat penegakan hukum pada umunya dan
penegakan hukum terhadap narkoba khususnya sesuai dengan focus dari tulisan ini. 275 Sudarto, 1986. Kapita selekta hukum pidana Alumni. Bandung. hlm. 60.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya dilihat
dari bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa
yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan
mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dlam
menangani masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam
masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non-penal (tanpa
menggunakan hukum pidana). Upaya penal merupakan salah satu upaya
penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak
hukum yang lebih menitik beratkan pada pemberantasan setelah terjadinya tindak
pidana (tindakan represif) yang dilakukan dengan menggunakan hukum pidana
yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya, yang dilakukan
melalui tahapan penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pengadilan yang
merupakan bagian dari politik kriminal.276 Sedangkan upaya non penal (upaya
preventif) adalah upaya yang lebih menitik beratkan pada pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan
sarana pidana atau hukum pidana, misalnya: mengurangi atau menghilangkan
kesempatan berbuat kejahatan dengan perbaikan lingukungan, siskamling (system
keamanan lingkungan), penyuluhan hukum atau sosialisasi undang-undang.
Menurut Barda NA.277, menegakkan hukum pidana dilakukan melalui tiga
tahapan, yaitu:
1. Tahap Formulaasi (kebijakan legislatif)
Tahap menegakkan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-
undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan
situasi masa kini dan yang akan dating, kemudian merumuskannya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna.
2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)
Tahap ini merupakan tahap penegakan hukum pidana poleh aparat penegak
hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat
penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-
undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dalam
melaksanakan tugasnya aparat penegak hukum harus perpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna.
3. Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif)
Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan hukum secara konkret oleh aparat
pelaksana pidana, pada tahan ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan
peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang
melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan.
Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah diputus oleh
pengadilan yang dilaksanakan oleh aparatur pelaksana pidana harus
berpedoman pada ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang
mengatur masalah tersebut agar dapat berdaya guna. Ketiga tahap penegakan
hukum pidana tersebut dilihat sebagai suatu usaha rasional yang sengaja
276 Ibid, hlm. 113 277 Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga rampai hukum pidana, Alumni, Bandung hlm. 159.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan demikian harus
merupakan jalinan atau mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang
bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
C. Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum
Pidana
Untuk membahas pengaruh perkembangan cyber crime terhadap
penegakan hukum pidana, penulis mencoba mengkaji dari pendapat Soerjono
Soekanto tentang faktor yang mempengahruhi penegakan hukum pidana, yang
terdiri dari:
1. Faktor hukum (undang-undang);
2. Faktor penegak hukum;
3. Faktor sarana dan fasilitas;
4. Faktor masyarakat;
5. Faktor kebudayaan.278
Ad 1. Faktor hukum (undang-undang)
Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sringkali
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini terjadi
dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat
abstrak, sedangkan kepastian hukum sudah ditentukan secara normative.
Tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum atau
undang-undang nerupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan
atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karenanya
penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan
akidah-kaidah serta pada perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
Secara normative aturan yang mengatur tentang tindak pidana
mayantara (cyber crime) sampai saat ini belum ada yang khusus, walaupun
sudah ada eberapa peraturan yang mengatur tentang perbuatan yang ada
hubungannya dengan cyber crime seperti UU ITE, UU penyiaran, UU
Pornografi, tetapi maih banyak juga perbuatan yang diatur dalam KUHP
(tindak pidana konvensional) yang modus operandinya maupun obyeknya
menyangkut cyber crime oleh karenanya terhadap perbuatan yang unsur-
unsurnya terdapat dalam KUHP, maka digunakan pasal-pasal yang ada
dalam KUHP, untuk perbuatan yang tidak di atur dalam KUHP
menggunakan ketentuan lain misalnya money loundring, tindak pidana
perbankan, pornografi, tindak pidana dibidang IT dan sebagainya.
Ad.2 Faktor Penegak Hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam
kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa
penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan
kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka
penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum, keadilan dan
278 Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar penelitian Hukum UI Press. Jakarta hlm. 8.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus
diaktualisasikan.
Pada kenyataannya di Indonesia saat ini kualitas dari penegak
hukum masih diragukan terlebih dengan terungkap banyaknya penegak
hukum yang terkena kasus korupsi, penyuapan bahkan ada juga oknum
penegak hukum yang menjadi dalang dari pengedaran gelap narkoba atau
juga sebagai pengguna dari obat - obat terlarang tersebut. Hal demikian
menandakan kurangnya kejujuran, etika dan moral dari aparat penegak
hukum, khusus terhadap tindak pidana mayantara dilihat dari kuantitas
maupun kualitas penegak hukum di Indonesia belum mendukung terlebih
dari sisi profesionalisasinya, karena jumlah penegak hukum yang memiliki
keahlian di bidang tersebut masih terbatas.
Ad 3. Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang kurang mendukung, baik dari kuantitas
maupun kualitas dari sarana maupun fasilitas yang dimiliki oleh masing-
masing petugas penegak hukum belum sesuai dengan beban tugas yang
mereka jalankan. Karena untuk menangkap atau membuktikan pelaku
kejahatan sarananya harus lebih canggih dari sarana atau alat yang
digunakan oleh penjahat. Tentunya untuk peningkatan kualitas dan kuantitas
dari sarana ini akan menambah anggaran bagi negara untuk menyiapkannya.
Ad 4. Faktor masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat dipelukan terhadap pelaksanaan
penegakan hukum, karena bagian yang terpenting dalam penegakan hukum
adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum
masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang
baik dan semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan
semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.Demikian
juga halnya dengan tindak pidana mayantara (cyber crime). Tetapi yang
menjadi hambatan di kalangan masyarakat adanya rasa takut untuk
dijadikan saksi walaupun sudah ada ketentuan mengenai perlindungan saksi
dan korban.Termasuk juga karena kurangnya pengetahuan hukum dari
masyarakat.
Ad 5. Faktor kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum
adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam
penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan
perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin
mudah dalam menegakkannya. Tetapi sebaliknya, apabila peraturan
perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan
masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan
menegakkan peraturan hukum tersebut.
Untuk di Indonesia dapat dipahami bahwa hukum atau peraturan
yang ada kurang memperhatikan kearifan lokal atau kebudayaan, karena
kebanyakan peraturan di buat tanpa memperhatikan situasi dan kondisi dari
masyarakat yang akan dikenakan aturan, sehingga banyak aturan
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
perundang-undangan yang tidak efektif. Terlebih terhadap tindak pidana
mayantara (cyber crime) yang lingkup perbuatannya tidak mengenal batas
atau global, diharapkan ketentuannya juga menyesuaikan situasi atau
keadaan budaya masyarakat yang akan menghadapi globalisasi tersebut
karena dengan adanya cyber crime ini sudah barang tentu akan sangat
berpengaruh kepada kebudayaan (culture), baik budaya local, nasional
maupun masyarakat international.
III. Penutup
A. Simpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
1. Perkembangan cyber crime saat ini sangat pesat, hal ini dimulai dengan
ditemukannya komputer pada tahun 80-an hingga sekarang banyak sekali
kejahatan yang terjadi baik menggunakan computer seagai alat dalam
melakukan kejahatan maupun sebagai obyek dari kejahatan, demikian juga
kejahatannya baik yang bersifat konvensional maupun yang luar biasa
(extra ordinary crime). Masalah ini sudah beberapa kali di bahas pada
konres PBB yang dimulai pada tahun 2001 hingga sekarang, demikian juga
di Indonesia sendiri sudah paling sedikitnya delapan kali seminar nasional
yang juga membicarakan tentang masalah cyber crime terutama kaitannya
dengan upaya penanggulangannya.
2. Pengaruh perkembangan cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di
Indonesia, dapat dilihat dari berbagai faktor, yaitu faktor hukum, yaitu
dengan munculnya cyber crime tentunya dibutuhkan aturan hukum pidana
substantive yang mengatur tentang cyber crime, dari factor penegak hukum,
dalam hal ini diperlukan sumberdaya manusia penegak hukum yang
berkualitas yang memahami dan mampu mengikuti perkembangan dan
kemajuan teknologi terutama dibidang cyber crime. Faktor sarana dan
prasarana juga diperlukan biaya atau anggaran yang cukup banyak guna
memenuhi kebutuhan akan sarana yang mempu untuk mendeteksi dan
membuktikan adanya cyber crime. sedangkan faktor masyarakat perlu
ditingkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah cyber crime, dengan
harapan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan
terhadap cyber crime.kemudian dengan adanya cyber crime sudah barang
tentu akan berpengaruh kepada kebudayaan, baik budaya lokal, nasional dan
internasional.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas, penulis mencoba menyarankan:
1. Agar segera dibuat undang-undang khusus yang mengatur tentang cyber
crime; yang merupakan masalah dasar dalam penegakan hukum pidana.
2. Agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru segera di sahkan dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana segera di revisi terutama
hubungannya dengan alat bukti yang ada dalam Pasal 183 dan Pasal 184
KUHAP ditambah dengan alat-alat bukti yang menggunakan alat elektronik.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
3. Diharapkan pengetahuan sumber daya manusia penegak hukum,serta sarana
dan prasarananya agar ditingkat, sehingga mampu mengatasi permasalahan
yang berhubungan dengan cyber crime.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung
Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum
Rajawali. Jakarta.
----------, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta.,
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung.
Zahrulyani, Arif. 2009. Persfektif Penegakan Hukum terhadap Kejahatan
Komputer (Cyber Crime) dalam Hukum Pidana Indonesia
Tesis, Magister Hukum. Unila. Bandar Lampung.
Raharja, Agus. 2003. Cyer Crime di Indonesia, Jurnal Studi Kepolisian.
www.crime-research.org. library criminal.html
goegle tentang Dunia maya.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemlsuan Mata Uang
__________________________________________________________________
Donna
A.Pendahuluan
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil
dan makmur serta merata baik material maupun spiritual berdasrkan pancasila dan
UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.Dalam pelaksanaan
pembagunan nasional khususnya dibidang ekonomi diperlukan upaya-upaya anatar
lain untuk terus meningkatkan,memperluas, memantapkan dan mengamankan
perekonomian.
Motif ekonomi seringkali mendorong munculnya berbagai Kejahatan yang baru
dan inovatif. Misalnya munculnya cyber crime,money laundering,kejahatan perbankan
dan lain sebagainya. Manusia cenderung mencari celah-celah hukum dengan
kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sepanjang ada niat dari manusia untuk
memperkaya diri sendiri,sepanjang ada sarana yang dapat digunakan dan sepanjang
ada tujuan maka kesempatan untuk munculnya kejahatan jenis baru akan selalu ada.
Kejahatan pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan dibidang mata uang
yang sangat merugikan masyarakat sebagai pelaku ekonomi dan konsumen.Bentuk
kejahatan ini memiliki implikasi yang sangat luas baik bagi pelaku ekonomi secara
langsung maupun perekonomian secara nasional.Keberadaan uang palsu ditengah-
tengah masyarakat akan membawa dampak dan pengaruh yang sangat
besar.Masayarakat kita yang mayoritas adalah ekonomi menengah kebawah akan
sangat terpengaruh dengan keberadaan uang palsu ini.
Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran yang sah
untuk pembelian barang-barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Uang dalam
ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima
secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh
setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa Dalam ilmu
ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum
diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa dan
kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang279.
Kejahatan pemalsuan uang mengalami perkembangan yang cukup kompleks
karena memiliki dimensi yang luas dan saling berkaiatan, di antaranya adalah pelaku
pemalsuan uang yang melibatkan para pelaku yang lebih dari satu orang, modus
pemalsuan uang, motivasi dan faktor pendukung pemalsuan uang dan wilayah
pemalsuan dan peredaran uang palsu yang luas. Selain itu, karena objek yang
dipalsukan adalah uang sebagai alat pembayaran sah pada suatu negara maka akan
berdampak negatif pada perekonomian suatu negara
Maraknya Kejahatan pemalsuan uang didukung oleh beberapa faktor, di
antaranya adalah perkembangan teknologi komputer, alat pemindai (scanner) dan alat
pencetak (printer) yang makin canggih dan dapat diperoleh dengan mudah di toko-
toko komputer, sehingga semakin membuka peluang bagi para pelaku untuk
melaksanakan kejahatannya. Selain itu faktor motivasi seseorang atau sekelompok
279 Boediono,1990.Ekonomi Moneter.BPFE.Yogyakarta. Hlm. 14.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
orang (sindikat) untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan jalan pintas meskipun
perbuatan tersebut termasuk dalam kategori kejahatan menjadi pemicu maraknya
Kejahatan pemalsuan uang. Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan mata uang,
setiap negara mempunyai kebijakan berkaitan dengan peredaran mata uang. Tujuan
kebijakan pengedaran mata uang adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
uang dalam jumlah yang cukup, menjaga kualitas uang layak edar dan menanggulangi
pemalsuan uang. Pemalsuan uang akan terus berkembang selama uang masih masih
dipakai sebagai alat transaksi.
Adapun sanksi bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dinyatakan dalam Pasal
244 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa meniru atau memalsu mata uang
atau kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli
dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Selanjutnya Pasal 245 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja mengedarkan
mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata
uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun
barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas
yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan
sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun280.
Salah satu kasus terkait pemalsuan uang yaitu kasus setra sari, yaitu kasus
pemalsuan uang yang diperkirakan sebesar 4 miliar rupiah dalam bentuk 50.000-an
rupiah, dilakukan dengan cara-cara yang sangat canggih dan menghasilkan uang palsu
yang nyaris sempurna,dapat dijadikan betapa berbahayanya kejahatan pemalsuan
uang. Dalam kasus yang diperiksa oleh PN Jakarta Pusat, para pelakunya adalah
oknum anggota Badan Intelijen Negara, sebuah lembaga yang mempunyai otoritas
tinggi dalam mengungkap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia. Dalam kasusu
tersebut dibuktikan bahwa pelaku bukan dari kalangan ekonomi lemah atau kelas
bawah,tetapi dilakukan oleh berpendidikan. Kasus tersebut membuktikan bahwa
kejahatan pemalsuan uang terjadi secara terorganisir.
Penegakan hukum terhadap kasus pemalsuan uang juga dinilai masih belum
berjalan baik.Hal ini dibuktikan dengan rendahnya sanksi yang dijatuhkan oleh
pengadilan.Contoh dalam kasus setra sari tersebut, terdakwanyan hanya dihukum satu
tahun.Penjatuhan sanksi yang sangat rendah sesungguhnya tidak sesuai dengan
kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dalam
KUHP.Oleh karenanyan dianggap perlu upaya penggulangan untuk memberantas
kejahatan yang dianggap banyak merugikan perekonomian Negara tersebut.
Permasalahan yang akan diangkat adalah “Bagaimanakah penanggulangan Kejahatan
terhadap pemalsuan uang sebagai upaya penegakan hukum pidana?
A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan
280 F.AGYYA..2010. KUHP. Asa Mandiri. Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan
berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek
adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana,
yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana,
yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil
untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana,
yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang281.
Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang282, pelaksanaan dari politik hukum
pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:
1. Tahap Formulasi
Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-
Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih
nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang,
kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana
untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.
2. Tahap Aplikasi
Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh
aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam
tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan
Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang.
Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada
nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap
yudikatif.
3. Tahap Eksekusi
Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat
Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan
Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan
Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus
berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh
pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.
281 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 282 Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang, 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha.
Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau
proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus
merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber
dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.
Menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum
pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila
sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk
masa-masa yang akan datang283.
Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan
(politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Penal.
Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana
yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : (a) Perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana; (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan kepada pelanggar.
2. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,
namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya
kejahatan284.
B.Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan
Pengedarannya
Menurut sistem hukum pidana, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat285. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni: 1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7
bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249).
2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang
283 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum
Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 284 Arief, Barda Nawawi, 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT.
Citra Aditya Bhakti. Bandung. Hlm. 158. 285 Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung. Hlm. 21-22.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP).
Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251286.
B.Upaya Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemalsuan Uang 1. Upaya Nonpenal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran
Uang Palsu
Upaya pencegahan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan cara penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan
teknologi pengaman uang (security features) yang mutakhir dan terkini pada desain
barunya. Upaya ini dilakukan untuk membatasi potensi pemalsuan uang, karena
penggantian desain uang Rupiah secara berkala tersebut menggunakan teknologi
pengaman uang yang tinggi sehingga mempersulit para pelaku untuk memalsukan
uang tersebut.
Bank Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan dan mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang
Rupiah dari peredaran, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan uang Rupiah di
masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat
waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Dalam implementasinya, pelaksanaan
kewenangan dimaksud menghadapi berbagai tantangan, yang salah satunya adalah
terdapatnya risiko peredaran uang Rupiah palsu di masyarakat. Peredaran uang
Rupiah palsu yang tinggi, selain berpotensi mengurangi psikologis kepercayaan
masyarakat dalam menggunakan uang Rupiah juga merugikan masyarakat yang
memilikinya, mengingat tidak adanya penggantian terhadap uang palsu yang
dimiliki287.
Upaya pencegahan yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini sesuai dengan
amanat Pasal 19, 20, 22 dan 23 Undang-Undang BI mengatur mengenai kewenangan
BI untuk menetapkan macam, harga, ciri, bahan, dan tanggal mulai berlakunya;
mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik, dan memusnahkan uang; tidak
memberikan penggantian atas uang yang hilang/musnah dan memberikan penggantian
dengan nilai yang sama terhadap uang yang dicabut dari peredaran dalam batas waktu
tertentu. Selain itu upaya non penal pencegahan Kejahatan peredaran uang palsu
merupakan langkah preventif yang ditempuh Bank Indonesia dalam mengantisipasi
maraknya peredaran uang palsu. Upaya ini ditempuh dengan cara menyosialisasikan
keaslian uang kertas dengan slogan 3D (dilihat, diraba, dan diterawang), secara
intensif dengan menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun media
elektronik288.
Keaslian uang Rupiah dapat dikenali melalui ciri-ciri yang terdapat baik pada
bahan yang digunakan untuk membuat uang (kertas, plastik, atau logam), desain dan
286 Ibid. Hlm. 22-28. 287 Peraturan BI NO 6/14/PBI/2004 ttg pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta
pemusnahan uang rupiah. 288 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
warna masing-masing pecahan uang, maupun pada teknik pencetakannya. Sebagian
ciri-ciri yang terdapat pada uang Rupiah tersebut, selain berfungsi sebagai ciri untuk
membedakan antara satu pecahan dengan pecahan lainnya, dapat berfungsi juga
sebagai alat pengaman dari ancaman Kejahatan pemalsuan uang. Alat pengaman
tersebut terdiri dari alat pengaman yang kasat mata, kasat raba, dan pengaman yang
baru terlihat dengan menggunakan alat bantu berupa sinar ultra violet (UV lights),
sinar infra merah (infra red lights), kaca pembesar (loupe), dan alat plastik tertentu
untuk melihat scramble image.
a. Ciri-Ciri Pada Bahan Uang289
Bahan uang kertas dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu bahan kertas dan bahan plastik
(polymer)
1) Bahan Kertas Uang, ciri-cirinya adalah:
a) Bahan kertas uang, adalah kertas yang terbuat dari serat kapas atau campuran
dengan bahan lainnya, yang diproses secara khusus sehingga tidak memendar di
bawah sinar ultra violet (UV lights).
b) Tanda Air (Water Mark), adalah gambar berupa kepala pahlawan nasional yang
dibuat dengan cara menipiskan serat kapas sehingga terlihat jelas apabila
diterawangkan ke arah cahaya, baik dari bagian muka maupun belakang.
c) Benang Pengaman, adalah bahan dari plastik yang ditanam pada kertas uang dan
akan terlihat sebagai garis melintang dari atas ke bawah apabila diterawangkan ke
arah cahaya. Benang pengaman tersebut dapat dibuat tidak memendar (non-
fluorescent) maupun memendar (fluorescent) di bawah sinar ultra violet dengan
penempatan satu warna (single colour fluorescent) atau beberapa warna (multi
colour/rainbow fluorescent)
d) Electrotype, adalah gambar berbentuk hiasan yang dibentuk dengan cara seperti
pembuatan tanda air (water mark), namun lebih tipis sehingga akan terlihat lebih
terang dari penampakan tanda air apabila diterawangkan ke arah cahaya.
e) Serat-Serat (Vibres), adalah serat berwarna yang disebarkan secara acak di atas
kertas uang sehingga penempatannya tidak pernah sama pada setiap lembar uang.
Serat tersebut terdiri dari serat yang kasat mata dan serat yang baru terlihat apabila
disinari dengan ultra violet.
2) Bahan Plastik, ciri-ciri yang terdapat pada bahan plastik (polymer) adalah:
a) Bahan Plastik (Polymer) terbuat dari bijih plastik yang diproses secara khusus
dengan diberi lapisan (coating), sehingga tidak memendar di bawah sinar ultra
violet (UV Lights).
b) Bayangan Gambar (Translucent Shadow Image), adalah bayangan gambar yang
dapat dilihat di bawah cahaya dari sisi tertentu.
c) Jendela Transparan (Transparent Security Window), adalah jendela transparaan
yang memuat gambar hologram (Optically Variable Devices/OVD) yang terlihat
dari sisi muka dan belakang serta akan menampakkan perubahan warna bila dilihat
dari sudut berbeda.
289 Brosur uang kertas rupiah. Bank Indonesia. 2001.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
d) Jendela berwarna (Colour Security Window), adalah jendela transparan yang
berwarna dan memuat filter untuk melihat gambar (metameric print) di sisi tertentu
yang berfungsi sebagai penguji keaslian uang (self-authentication).
b. Ciri Pada Desain dan Warna Uang290
Desain dan warna dari setiap pecahan uang Rupiah telah dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan ciri-ciri tertentu, baik untuk keperluan keindahan maupun
untuk pengamanan terhadap ancaman Kejahatan pemalsuan uang, yang meliputi:
1) Gambar utama bagian muka dan bagian belakang.
2) Gambar dan ornamen pendukung lainnya.
3) Warna dominan uang.
4) Ukuran uang.
c. Ciri -Ciri pada Teknik Cetak Uang291
Teknik cetak Rupaih terdiri dari:
1) Cetak Intaglio, adalah hasil cetak timbul berbentuk relief yang terasa kasar apabila
diraba.
2) Rectoverso (See Through Register), adalah hasil cetak yang beradu tepat atau saling
mengisi antara bagian muka dan belakang sehingga penampakannya waktu
diterawangkan ke arah cahaya tidak boleh bergeser sedikitpun.
3) Nomor seri yang memendar, adalah hasil cetak berupa nomor seri yang selain kasat
mata juga akan memendar di bawah sinar ultra violet
4) Latent Image/Multilayer Latent Image, adalah hasil cetak lebih dari satu obyek
dalam satu tempat yang akan tampak jelas apabila dilihat dari sudut pandang yang
berbeda.
5) Huruf/angka mikro, adalah hasil cetak yang berupa huruf/angka dengan ukuran
yang sangat kecil sehingga baru dapat dibaca jelas apabila dilihat dengan
menggunakan kaca pembesar.
6) Hasil cetak yang tidak kasat mata Adalah hasil cetak dengan menggunakan tinta
khusus sehingga tidak kasat mata dan baru akan terlihat jelas apabila disinari
dengan ultra violet
7) Tinta berubah warna (Optical Variable Ink/OVI), adalah hasil cetak yang mengkilat
(glittering) yang warnanya akan berubah apabila dilihat dari sudut pandang yang
berbeda. Teknik cetak ini dilakukan untuk menghindari ancaman pemalsuan
dengan mesin fotocopi warna.
8) Latar (Screen), adalah hasil cetak berupa garis yang sangat halus dengan satu atau
beberapa warna yang memberikan kesan warna dominan dari suatu pecahan uang.
9) Guilloche, adalah hasil cetak berupa garis-garis sangat halus yang tidak terputus
dan membentuk alur seperti rajut
Sementara itu ciri-ciri uang palsu di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Cetak Intaglio : tidak terasa kasar bila diraba
b) Huruf Mikro : tidak jelas terbaca dengan alat kaca pembesar
c) Nomor Seri : tidak berubah warna apabila disinari ultraviolet
290 Materi penataran cirri-ciri keaslian uang rupiah. BI, 2004. 291 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
d) Ovtical Variable ink : tidak berubah warna bila dillihat dari sudut
pandang tertentu
e) Rectoverso : jika diterawang kearah cahaya tidak beradu tepat
menjadi logo Bank Indonesia
f) Bahan uang : terasa licin dan memendar dibawah sinar
ultraviolet
d. Sosialiasi keaslian mata uang rupiah tersebut bertujuan untuk lebih mengenalkan
mata uang rupiah yang asli kepada masyarakat, serta meningkatkan kewaspadaan
masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban pemalsuan uang dan peredaran
uang palsu. Bagi masyarakat, khususnya pedagang atau orang-orang yang bekerja
dengan kegaiatan transaksi uang secara langsung dapat bisa membeli alat khusus
yang bermanfaat untuk mendeteksi keaslian uang292.
Upaya preventif lain yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan tatap muka
dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara
sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu
yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Namun
demikian Bank Indonesia tetap harus bekerja sama dengan berbagai instansi untuk
pencegahan dan penanggulangan uang palsu seperti Botasupal, Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan serta masyarakat secara luas, sesuai dengan tetap
berpedoman kepada fungsi dan peran masing-masing instansi penegak hukum
tersebut.
2. Upaya Penal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang
Palsu
Upaya penal penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang
palsu yang dilakukan oleh kepolisian adalah dengan melaksanakan penyelidikan untuk
mendapatkan bukti-bukti yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan
termasuk sebagai Kejahatan atau bukan. Dalam penyelidikan ini, rangkaian tindakan
penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai Kejahatan, tidak untuk mencari/menemukan tersangka. Ketika pihak
kepolisian sudah mendapat cukup bukti bahwa suatu perbuatan termasuk dalam
Kejahatan maka dilakukan penyidikan.
Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana menurut cara yang
diatur di dalam undang-undang293. Penyelidikan dalam hukum acara pidana yang
mengatur tindakan dan cara-cara mengungkap bukti-bukti agar dari suatu peristiwa
pidana dapat diketahuhi tersangkanya dan juga bagaimana agar orang yang disangka
telah melanggar hukum pidana materil tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Setiap
melakukan penyidikan sesungguhnya penyidik membuat hipotesa yang merupakan
interpretasi dari data dan fakta yang siperoleh selanjutnya disusun dan dirangkai
hingga dapat disimpulkan pelakunya. Pada waktu melakukan penyidikan, pihak
kepolisian dituntut untuk bekerja secara obyektif dan jujur, menafsirkan temuan fakta
292 Ibid. 293 F.AGYYA..2010. KUHAP. Asa Mandiri. Jakarta.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
secara obyektif untuk kemudian disusun secara sistematis, sehingga secara obyektif
pula dapat ditentukan terbukti atau tidak.
Bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana meliputi berbagai
ketentuan tentang data penyidikan, diketahuinya terjadinya delik, pemeriksaan di
tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara,
penggeledahan, pemeriksaan atau investegasi, berita acara (penggeledahan, interogasi,
dan pemeriksaan di tempat), penyitaan dan pelimpahan perkara. Pemeriksaan
penyidikan adalah pemeriksaan dimuka pejabat penyidik dengan menghadirkan
tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan
langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. Penyidikan merupakan rangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti294. Dengan bukti yang dikumpulkan, Kejahatan
yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi
pelaku Kejahatan yang sedang disidik.
Kejahatan pemalsuan uang merupakan Kejahatan khusus, sehingga penyidik
perlu menghadirkan seorang atau lebih saksi ahli untuk turut membantu kelancaran
proses penyidikan. Oleh karena itu pihak kepolisian meminta bantuan saksi ahli dari
Kepala Bank Indonesia Cabang Lampung untuk menunjuk stafnya, guna dimintai
keterangan sebagai saksi ahli Kejahatan pemalsuan uang.
Hal ini dilaksanakan sesuai dengan tujuan pokok penyidikan yaitu untuk
menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Penyidik harus bekerja secara
obyektif, tidak sewenang-wenang dengan tetap menghormati Hak Azasi Manusia dan
asas praduga tidak bersalah. Beberapa tahapan penyidikan yang dilakukan untuk
mengungkap kasus Kejahatan pemalsuan uang, yaitu:
a) Pemeriksaan di tempat kejadian, yaitu memeriksa tempat kejadian perkara
terjadinya Kejahatan pemalsuan uang
b) Pemanggilan atau penangkapan tersangka, setelah jelas dan cukup bukti awal maka
pihak kepolisian melakukan pemanggilan atau penangkapan terhadap tersangka
pelaku Kejahatan pemalsuan uang
c) Penahanan sementara, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka maka
dilakukan penahanan terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan uang
d) Penyitaan, melakukan kegiatan penyitaan berbagai barang bukti yang akan
memperkuat pemberkasan atau berita acara .
e) Pemeriksaan, dilakukan untuk menambah atau memperkuat bukti-bukti bahwa telah
terjadi Kejahatan pemalsuan uang. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di
muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli.
Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka,
para saksi, atau ahli.
f) Pemeriksaan di muka penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat
mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai
tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh
karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan dan menduga peristiwa itu
294 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
merupakan Kejahatan, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang
diperlukan dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan
langsung tersangka dan saksi-aksi maupun saksi ahli.
g) Pembuatan Berita Acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan
pemeriksaan di tempat.
h) Pelimpahan perkara kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih
lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku295.
Setelah proses penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang selesai dilaksanakan
oleh kepolisian, yaitu dengan pelimpahan perkara oleh pihak kepolisian kepada
kejaksaan maka selanjutnya kejaksaaan akan menindak lanjuti perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum yang berlaku, yaitu dengan melaksanakan
penuntutan. Jaksa Penuntut Umum memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan
terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Kejahatan dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137
KUHAP). Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara
tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke
pangadilan (Pasal 139 KUHAP).
Jaksa Penuntut Umum menentukan surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut. Surat
dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka. Selain itu terdapat pula uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai Kejahatan yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
Kejahatan itu dilakukan.
Setelah berkas perkara Kejahatan pemalsuan uang dilimpahkan oleh penuntut
umum ke pengadilan maka, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan maka
dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku Kejahatan pemalsuan
uang. Pengadilan semaksimal mungkin menegakkan keadilan melalui proses
pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan, hakim
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Kejahatan pemalsuan uang.
Penjatuhkan pidana kepada terdakwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu Kejahatan benar-benar terjadi
dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah
yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d).
Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui
sehingga tidak perlu dibuktikan296.
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak
berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus
testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat
295 Ibid. 296 Ibid.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk
menuntut pelaku Kejahatan pemalsuan uang.
Selain itu Hakim Pengadilan dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang
pengadilan, melihat dari beberapa aspek, yaitu:
a) Kesalahan pelaku Kejahatan
Hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku
Kejahatan tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku Kejahatan harus ditentukan secara
normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat
harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif
dari kesengajaan dan niat itu adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai suatu
perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga,
seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi
pelaku Kejahatan. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku
sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku
Kejahatan dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain.
Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-Undang atau dari luar Undang-
Undang, yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya
dilakukan maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa terdapat
unsur sengaja. Misalnya di dalam KUHP ada ketentuan bahwa dalam Kejahatan
harus ada niat. Di luar Undang-Undang pun ada aturan-aturan yaitu berupa
kebiasaan atau dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh
seseorang. Dalam kasus tersebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
harus berdasarkan atas bukti pemeriksaan perkara dan keterangan saksi-saksi
bahwa pelaku melakukan Kejahatan dan sebagaimana diatur di dalam KUHP.
b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu Kejahatan
Dalam kasus Kejahatan diketahui bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan
tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
c) Cara melakukan Kejahatan
Bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih
dahulu untuk melakukan Kejahatan tersebut. Memang terapat unsur niat di
dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
d) Sikap batin pelaku Kejahatan
Bahwa sikap batin itu tidak dapat diukur dan dilihat. Tidaklah mungkin diketahui
bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya, maka haruslah
ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran
sikap batin orang pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan
pelaku tersebut. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah
dan rasa penyesalan atas perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi
perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada
keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan yang baik. Hal
tersebut juga menjadi faktor pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana.
e) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku Kejahatan juga sangat
mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,
misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari
keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang
saja (kalangan kelas bawah).
f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Kejahatan
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan dengan
tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas
juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi
pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab,
juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.
Karena akan mempermudah jalannya persidangan.
g) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku Kejahatan,
juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut,
membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan
mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan
berguna. Penjatuhan pidana terhadap pelaku dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan yang diperbuat.
h) Pandangan masyarakat terhadap Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku
Dalam kasus ini masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu
perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar
pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan
perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut
dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan
keadilan juga kepastian hukum bagi seseorang.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan
penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan secara preventif dan represif.
Upaya preventif dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan sosialisasi keaslian
uang, penggantian desain uang secara berkala dengan menggunakan teknologi
pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan tatap muka dengan berbagai
lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian
uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank
Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).
Sementara itu upaya represif penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksanaan dan
pengadilan, sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang melibatkan
berbagai institusi atau badan hukum yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-
sendiri. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan
berpengaruh pada badan yang lainnya. Sistem peradilan pidana dilaksanakan untuk
menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan
pelaku yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya atau dapat
menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang
palsu.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4
C. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu penanggulangan kejahatan pemalsuan uang
dilakukan secara nonpenal dan penal. Upaya nonpenal dilakukan oleh Bank Indonesia
dengan melakukan sosialisasi keaslian uang, penggantian desain uang secara berkala
dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan
tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam
rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang
Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).
Sementara itu upaya penal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari
kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan dalam tahapan sistem peradilan pidana di
Indoensia yang bertujuan menjatuhkan pidana terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan
uang dan mencegah serta menanggulangi masyarakat menjadi korban pemalsuan uang,
menyelesaikan kasus kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan
pemalsuan uang dan peredaran uang palsu.
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
----------. 2001. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung
Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung.
Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.
Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.
Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia Pradya
Paramitha. Jakarta.
F.Agyya..2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Asa Mandiri.Jakarta
----------. 2010. . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Asa
Mandiri.Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran,
Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah.
Sumber Lain
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. Volume 3 No. 1. April 2005 Direktorat
Pengedaran Uang. Perlunya Pengaturan Mata Uang dalam Undang-Undang
Tersendiri. Volume 3. No. 1 April 2005.
Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam
Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan
Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta.
Brosur Uang Kertas Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2001.
Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2004.
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4