Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

184
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4 Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ________________________________________________________________________ Tri Andrisman I. Pendahuluan Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hokum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK). Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia. 1 Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan: 1 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 69.

description

Hukum Pidana

Transcript of Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Page 1: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK)

________________________________________________________________________

Tri Andrisman

I. Pendahuluan

Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji

baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan

yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hokum terhadap

tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut

diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (selanjutnya disebut KPK).

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan

tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang

untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah

di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis

dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary

crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra

ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan

merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari

tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan

kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan

bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan

kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak

sosial masyarakat Indonesia.1

Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak

pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara

akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum.

Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu

melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para

pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk

mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal

salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati

dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih

dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan

dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka.

Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan:

1 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra

Aditya Bakti. Hlm. 69.

Page 2: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi

sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam

menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai

kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan

kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi

secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai

tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat

daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk

membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan

lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja

pemerintah.2

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari

masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan

terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti Harkrisnowo menyatakan:

Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut sama-

sama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya

dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang

bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan

korupsi tersebut, “…dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan-

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya…”, Sedangkan

pelaku tindak pidana jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata

bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memilki tingkat

pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat

mata dan bukan individu, tetapi Negara, justru karena invisibility inilah maka

public kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana

yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan

tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi,

demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya

tindak pidana jalanan.3

Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak

pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan reformasi.

Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa berhasil

menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu

itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah:

a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI;

b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan

pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);

c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi);

d) Mewujudkan kebebasan pers; dan

2 Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan

Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116 3 Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian

putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.

Page 3: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

e) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 4

Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme

merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang kekuasaan

pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun

pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa

dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari

gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain.

Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap

tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan

fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan

sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi

istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi

atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian

penegakan hukum pidana.5

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa

sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana dikatakan

olehnya sebagai berikut:

Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan

hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan

hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman” karena

“kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan “kekuasaan/kewenangan

menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah

dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau

Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan

Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan

Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).6

Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana,

seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang

terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan

faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan

pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan

budaya hukum.

Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK

(Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan

karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana terhadap

tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1)

Bagaimanakah Kedudukan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi

4 Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6 5 Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157 6 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Semarang. Hlm. 20.

Page 4: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

dalam sistem peradilan pidana?; dan (2) Bagaimanakah penegakan hukum tindak

pidana korupsi oleh KPK dalam era reformasi?

II. Pembahasan

1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana

Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah

satu struktur hukum yang luar biasa yang dibentuk di era transisi yang sampai saat

ini masih eksis. Dalam banyak hal lembaga ini berhasil memberikan shock therapy

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sifat yang luar biasa ini terlihat dari

besarnya tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada

lembaga ini sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal di bawah ini :

Pasal 6:

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;

d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.

Pasal 7

Dalam melakukan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi;

c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada

instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan

e. Meminta Laporan instansi terkiat mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pada kutipan di atas tentang tugas dan kewenangan yang

diberikan oleh undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat bahwa

lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat luas di bandingkan dengan instansi

Page 5: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi sering

disebut sebagai lembaga yang super body.

Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun. Yang dimaksud kekuasaan manapun adalah kekuatan

yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau

anggota Komisi secara indivudial dari pihak eksekutif, legislative, pihak-pihak lain

yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dari situasi ataupun

dengan alasan apapun. Sedangkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan

Korupsi adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Melihat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diuraikan di atas

terlihat bahwa lembaga ini memiliki independensi yang lebih dibanding dengan

kepolisian dan kejaksaan. Padahal lembaga ini kewenangannya mencakup

kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yaitu berwenang untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi.

Kepolisian dan Kejaksaan relative kurang independen dalam melaksanakan tugasnya

karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu

kedua lembaga ini akan mengalami suatu konflik antara fungsi dan tugas yudisial

dengan kepentingan politik, yaitu pada saat melaksanakan fungsi dan tugas

penegakan hukum berhadapan dengan adanya perintah dari pihak eksekutif yang

bertentangan dengan fungsi dan tugasnya tersebut.

Secara teoritis keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah merupakan

lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (Legislatively entrusted

power). Pembentukan Lembaga ini di era transisi pada prinsipnya akibat ketidak

percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini

terlihat dalam salah satu konsideran dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga

pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara

efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dapat

diartikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kontek penegakan hukum

tindak pidana korupsi bersifat transisi saja dan akan berfungsi sebagai trigger

mechanism bagi lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan

reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada telah berhasil melakukan

pembenahan secara internal dan mulai mendapatkan kepercayaan kembali oleh

masyarakat sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan, namun

sebaliknya apabila Lembaga konvensional tersebut tidak mampu memperbaiki

kinerjanya dalam pemberantasan korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap

dipertahankan.

Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi apabila dilihat dari sudut desain

kelembagaan masuk dalam kerangka “proportional model” yaitu merupakan desain

Page 6: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pemencaran kekuasaan, karena sesuai

dengan salah satu konsideran di atas pertimbangan dibentuknya Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum

konvensional yang ada. Pada masa rezim orde baru berkuasa mekanisme kerja

lembaga penegak hukum konvensional tersebut tidak lepas dari control eksekutif dan

pada masa transisi ini eksistensi lembaga konvensional penegak hukum tersebut

mengalami krisis legitimasi.7 Oleh karena itu keberadaan Komisi Pemberantasan

Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk control

warga Negara terhadap lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Keberadaan Lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebelum adanya

Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang

untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana termasuk tindak pidana korupsi, sehingga

dalam kontek sistem peradilan pidana keberadaan tiga lembaga penegak hukum

tersebut dapat di pandang sebagai suatu sistem. Dalam hal ini Muladi menyatakan:

Selanjutnya akan tampak pula, bahwa Sistem Peradilan Pidana akan melibatkan

penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantive, hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana. Disamping itu dapat dilihat pula bentuknya

baik yang bersifat prefentif, represif maupun vkuratif. Dengan demikian akan

nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub-sistem peradilan pidana

yaitu lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.

Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.8

Peradilan Pidana adalah suatu proses yang di dalamnya ikut bekerja beberapa

lembaga penegak hukum beserta aparaturnya. Kegiatan peradilan pidana adalah

kegiatan bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan

dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan oleh lembaga pemasyarakatan. Kegiatan

berkelanjutan ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terpadu antara

kepolisian, kejaksaan, hakim dan petugas pemasyarakatan, sehingga peradilan pidana

merupakan suatu sistem.

Dihadapkan pada sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maka kedudukan Komisi Pemberantasan

Korupsi muncul sebagai sistem tersendiri yang terpisah dari sistem peradilan pidana

dan mempunyai fungsi yang sama dengan sistem peradilan pidana yang

konvensional dalam hal penyelesaian tindak pidana korupsi. Hal ini berarti ada

dualisme sistem peradilan pidana dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi.

Pertama adalah sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian,

Kejaksaan dan Pengadilan, dan yang kedua adalah sistem yang ada dalam tubuh

Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat

dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi

7 George Junus Aditjondro. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang

Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Hlm. 35. 8 Muladi. 1995. Ibid. Hlm. 16.

Page 7: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

terdiri dari fungsi-fungsi yang dimiliki oleh sub sistem peradilan pidana seperti

fungsi penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi mengadili. Fungsi

mengadili ada pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang

keberadaannya didasarkan pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

B. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi

Penegakan hukum pidana yang menurut Barda Nawawi Arief identik dengan

fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum

pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana

dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana

yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.9 Apabila

dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman10 tentang sistem hukum yang terdiri

dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah

merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya

hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana

korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang

berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi

hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan

tindak pidana korupsi secara konkret.

Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana

korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari

kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di

keluarkannya Tap MPR. No. IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, dalam kurun

waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru

mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang

professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah

untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan

adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas

Negara.11

Perbedaan utama antara kedua Ketetapan MPR tadi adalah bahwa ketetapan

bulan November 1999 menyebut nama bekas presiden Republik Indonesia yang

kedua. Butir (d) ketetapan itu menyatakan bahwa “Usaha-usaha untuk

menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dilakukan melalui investigasi

terhadap semua orang yang dicurigai melakukan praktek-praktek tersebut, baik itu

bekas pejabat atau pejabat yang sekarang, keluarga dan teman-teman mereka,

termasuk bekas presiden Soeharto, atau dari sector swasta/konlomerat, dengan tetap

berpegang pada prinsip asumsi tak bersalah dan hak asasi manusia. 12

9 Barda Nawawi Arief, 1992. Op.cit. Hlm. 19. 10 Satjipto Rahardjo. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. Hlm. 56. 11 George Junus Aditjondro. 2002. Op.cit. Hlm. 1 12 Ibid.

Page 8: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dijadikan landasan hukum pembentukan

undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu dalam Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan

Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam bagian

mengingat kedua undang-undang tersebut menyebutkan salah satunya adalah Tap

MPR No. IX/MPR/1998.

Produk perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan

reformasi dalam rangka pemberantasan korupsi adalah :

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;

d. Disamping itu juga ada TIMTAS Tipikor yang dipimpin oleh JAMPIDSUS waktu

itu yaitu Hendarman Supanji yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi

Pemberantasan Korupsi.

Pembentukan perundangan-undangan menunjukkan adanya respon positif

dari penyelenggara Negara baik eksekutif maupun legislatif untuk mengakomodir

semangat masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi

demikian merupakan konsekuensi logis adanya perubahan kehidupan politik yang

mengarah pada kehidupan politik yang demokratis pada era reformasi baik itu ketika

rezim Habibie, Megawati, Gus Dur maupun SBY yang sedang berkuasa.

Melihat pada penjelasan di atas tampak bahwa secara substantive telah ada

upaya positif untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun

demikian apabila dicermati substansi dari beberapa peraturan perundang-undangan

yang ada menunjukkan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak

pidana korupsi. Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya ketentuan peralihan dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebelum di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan

bahwa pelaku tindak pidana yang diadili pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 masih berlaku tapi belum di sidangkan tidak dapat diadili. Kasus nyata

mengenai ketidakjelasan antara Undang-undang yang lama menuju undang-undang

yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus

penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima

suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum

berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat

Page 9: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

diterima oleh hakim karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Pasal 44

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.13

Adapun ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 sebagai berikut:

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang Nomor 3

Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara

tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan

tidk berlaku.

Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tidak dapat diterapkan karena dalam hukum pidana berlaku asas retro aktif yang

merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Dalam Hukum pidana asas ini merupakan

asas yang fundamental dan essensial.14 Asas ini di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP

yang menentukan tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan

kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya.15Asas

Legalitas, sebagaimana karakter aslinya, mengandung tujuh aspek yang dapat

dibedakan sebagai berikut:

a. Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-

undang;

b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi;

c. tidak dipidana hanya berdasar kebiasaan;

d. Tidak ada rumusan delik yang kuran jelas (syarat lex certa);

e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;

f. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; dan

g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.16

Respon positif dari penyelenggara Negara baik dari eksekutif maupun

legislatif terhadap tuntutan reformasi ternyata melahirkan hukum (Undang-Undang)

yang tidak mencerminkan keadilan masyarakat dan dalam hal tertentu kebutuhan

membangun hukum dan perundang-undangan memang seringkali merupakan

“permainan politik” elit.17 Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya setengah hati

dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi, karena para koruptor yang telah

berhasil mengeruk uang rakyat yang dilakukan pada masa berlakunya undang-

undang Nomor 3 Tahun 1971 terlepas dari jerat hukum.

Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi menampakan adanya rivalitas

antara pihak yang mempunyai semangat memberantas korupsi dengan pihak-pihak

yang menghendaki status quo. Rivalitas ini terlihat adanya berbagai upaya untuk

13 Tri Andrisman. 2010, Hlm. 51. 14 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Hlm. 140. 15 Andi Hamzah, 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Hlm. 41. 16 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra

Aditya Bakti. Hlm. 13 17 Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi.

Nuansa. Jakarta. Hlm. 19

Page 10: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

menghambat upaya pemberantasan Korupsi. Dalam kerangka pikir dalam sub bab di

atas telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam

extraordinary crime maka upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas tindak

pidana korupsi harus secara luar biasa pula. Salah satu upayanya yaitu dengan

membentuk instrument hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument),

sepanjang instrument yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau

menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal.18

Berbagai instrument hukum yang luar biasa telah di keluarkan, diantaranya

adanya amanat dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1) yang memberikan

amanat agar dalam waktu 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku,

dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Struktur Hukum dalam

sistem hukum pemberantasan korupsi berupa Komisi Pemberantasan Korupsi

merupakan salah satu instrument hukum yang luar biasa dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi. Dikatakan luar biasa karena lembaga ini mempunyai

kewenangan yang sangat besar dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi. Selain itu dalam Pasal 27 Undang-undang tersebutpun ada amanah

untuk membentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam hal

ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyelesaian perkara

korupsi yang harus didahulukan dibanding perkara-perkara yang lain sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 25.

Adanya prioritas dalam penyelesaian perkara korupsi dibanding dengan

perkara lainnya adalah juga instrument hukum yang luar biasa karena menurut

Harkristuti Harkrisnowo19 bahwa:

a. Kasus korupsi harus didahulukan dalam proses peradilan pidana dibanding

dengan kasus-kasus lainnya, dan;

b. Kasus korupsi harus didahulukan dari kasus ikutan yang berkenaan dengan

korupsi tersebut (misalnya, pencemaran nama baik).

Makna yang dikandung dalam ketentuan ini sudah sangat jelas, yakni bahwa:

a. Kasus korupsi merupakan kasus yang sangat merugikan Negara dan masyarakat

Indonesia, karenanya harus didahulukan;

b. Kasus korupsi harus ditempatkan dalam prioritas tertinggi dalam agenda para

penegak hukum, dan

c. Dituntut keseriusan dari para penegak hukum untuk secara sungguh-sungguh

menjalankan tugasnya itu melakukan proses peradilan terhadap korupsi. 20

18 Nyoman Serikat Jaya Putra, 2008, Op.cit, Hlm. 58. 19 Harkristuti Harkrisnowo, 2009, Op.cit, Hlm. 80. 20 Ibid. Hlm. 83.

Page 11: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Menyikapi amanat Pasal 27 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pemerintahan Gus Dur telah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kewenangan

yang luas kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (5) yang

menentukan penyidik berwenang pula untuk meminta keterangan mengenai

keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka,

membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau

alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan,

mengusulkan pencekalan, dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk

pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya.

Perluasan kewenangan tersebut juga terlihat dalam Pasal 12 ayat (4)

Peraturan Pemerintah tersebut yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan,

dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Perintah Penghentian

Pemeriksaan Perkara (SP3). Adanya perluasan kewenangan yang diberikan oleh

Peraturan Pemerintah tersebut menunjukan bahwa ada political will dari pemerintah

untuk merespon realitas yang berkembang dalam masyarakat kaitannya dengan

tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang tergolong dalam extra ordinary crime.

Oleh karena itu apabila di lihat dari teori hukum responsive dari Nonet dan Selznik,21

maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk hukum yang bersifat responsif.

Responsifitas perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi dalam realitanya mendapatkan berbagai macam

kendala baik dalam substansinya seperti tidak diaturnya aturan peralihan dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menimbulkan berbagai macam

penafsiran. Ketidak tegasan pengaturan aturan peralihan dalam Undang-undang

tersebut di manfaatkan oleh pihak yang menghendaki status quo untuk tidak

mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1971 padahal apabila dicermati lebih jauh dalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum pidana ada suatu asas yang mengatakan lex specialis derogat

legi generale, asas ini mengatakan bahwa aturan yang bersifat khusus

menyampingkan ketentuan yang bersifat umum. Asas ini tercantum dalam Pasal 103

KUHP yang menentukan :

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I ini sampai dengan Bab VIII buku ini, juga

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan

lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut sebenarnya tidak diaturnya

ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak akan menimbulkan masalah, karena

apabila Undang-undang tersebut sebagai lex spesialis tidak mengatur hendaknya di

kembalikan ke KUHP sebagai lex generale-nya. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP

21 Satjipto Raharjo, tt: Op.cit. Hlm. 60

Page 12: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah tindak

pidana terjadi, di pakai undang-undang yang paling menguntungkan/meringankan

terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka tidak ada alasan untuk tidak mengadili

pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1971 masih berlaku. Oleh karena itu upaya mempermasalahkan tidak adanya aturan

peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menunjukkan adanya tarik

ulur antara pihak yang dengan tegas berniat memberantas tindak pidana korupsi

dengan pihak yang menghendaki status quo di era transisi ini.

Konflik yang ada mengenai berbagai macam penafsiran tentang tidak

diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh pemerintah diintegrasikan ke dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Dalam salah satu pertimbangan diundangkannya undang-undang tersebut di

katakan :

Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman

penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan

ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak

pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketentuan peralihan sebagai suatu respon adanya permasalahan pro dan

kontra yang terjadi dalam masyarakat berkaitan tidak diaturnya ketentuan peralihan

dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah di integrasikan dalam Pasal VI

A Pasal 43 A yang menentukan:

(1) Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, di periksa

dan di putus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum

pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan

dalam Pasal 5, Pasal, 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-undang ini

dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,

Pasal 9, Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi

tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan,

diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan

mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya

kurang dari Rp. 5000.000,00 (Lima Juta Rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 A ayat 2 undang-undang ini.

Page 13: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Di akomodasinya konflik yang terjadi dalam masyarakat berkaitan penafsiran

mengenai tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut telah menampilkan dirinya sebagai

instrumen hukum yang berfungsi mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada

dalam masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Bredemier22 yang mengatakan fungsi

hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat.

Kendala terhadap upaya pemerintah dalam merespon tuntutan reformasi,

khususnya yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah

dengan adanya upaya judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Permohonan judicial review tersebut oleh Mahkamah Agung dengan keputusannya

Nomor : 03 P/HUM/2000 telah dikabulkan seluruhnya, adapun permohonan judicial

review yang dimohonkan oleh pemohon judicial review adalah:

i. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya;

ii. Menyatakan P.P. No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku secara umum;

iii. Memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 19 Tahun 2000

dengan ketentuan apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan dikirimkan

(disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang

bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum;

iv. Menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara.23

Secara filosofis keputusan tersebut melanggar rasa keadilan masyarakat

(keadilan substantive) kerena hakim tidak memperhatikan perasaan masyarakat yang

berkembang pada masa reformasi ini sebagaimana tergambar dalam tuntutan yang

menghendaki adanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme. Mahkamah

Agung lebih mengutamakan prinsip rechtsmatigheid dibanding prinsip yang lain

yaitu doelmatigheid. Pada dasarnya hukum mengandung di dalam dirinya tujuan

yang hendak dicapai, yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi

kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh

terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang

bersifat tehnis.24 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

dibentuk berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 pada prinsipnya merupakan salah satu

bentuk instrumen hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument) yang

dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu keputusan

Mahkamah Agung tersebut lebih menampakan dirinya sebagai hukum yang otonom

dimana Mahkamah Agung memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga hukum

yang terspesialisasi dan relatif otonom.

22 Satjipto Rahardjo.1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 82.

23 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan Tahun 2001 24 Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP

No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan.

Page 14: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kecurigaan adanya upaya menggagalkan semangat memberantas tindak

pidana korupsi dengan upaya Judicial review terhadap PP Nomor 19 Tahun 2000

terilihat dari pendapat Jimly Asshiddiqie25 yang menyatakan :

Apa sebenarnya yang menyebabkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat

berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap

PP No. 19 Tahun 2000 tersebut ? Atas dasar kepentingan apa sehingga apa

sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan?. Apakah

murni atas dasar kepentingan hukum, atas dasar kepentingan membela dan

melindungi warga Negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000

tersebut? Jika pilihannya adalah yang terakhir berarti kepentingan hukum yang

terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata –dengan

meminjam istilah dari yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam

pandangannya mengenai ‘stuffenbau-theorie’- bersifat konkret dan individual

(concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum

(general norms).

Dalam pendapatnya lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan :

Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP Nomor

19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para

pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi

tersangka tindak pidana korupsi oleh TGTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim

tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur

objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut

norma hukum yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual

norms). Yaitu sebatas kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka

melakukan tindak pidana korupsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan

materi PP No. 19 Tahun 2000.26

Berdasarkan pendapat Jimly Asshiddiqie di atas, tampak ada pihak-pihak

yang lebih mementingkan kepentingan individu dibanding kepentingan umum yang

lebih luas dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya dilakukan untuk

lepas dari jerat hukum meskipun upaya tersebut akan mengakibatkan kepentingan

umum yang lebih luas dikorbankan. Pada masa transisi kondisi demikian memang

biasa terjadi karena pada masa reformasi posisi pihak yang telah diuntungkan oleh

rezim lama (orde baru) masih eksis dalam birokrasi pemerintahan sebaliknya banyak

pula pihak yang menghendaki perubahan dan berusaha mengakomodir tuntutan

reformasi.

Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut

berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas

dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Di hapuskannya TGTPK

melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan Komisi

25 Ibid. Hlm. 47. 26 Ibid. Hlm. 49.

Page 15: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU

No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang

diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002.

Bersamaan itu pula berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi yang berada dilingkungan Peradilan Umum dan untuk sementara Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah

hukumnya meliputi wilayah Negara Republik Indonesia. KPK dan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi telah membuat suatu gebrakan dalam penegakan hukum

terhadap tindak pidana korupsi dan berhasil membuat para pelaku tindak pidana

korupsi jera karena tidak ada kasus Korupsi yang di adili oleh pengadilan tindak

pidana korupsi lepas dari jerat hukum. Keberadaan dua lembaga tersebut pun sempat

membuat para pejabat Negara merasa takut apabila berhadapan dengan KPK.

Upaya yang luar biasa inipun mendapat suatu hambatan kembali dengan di

ajukannya upaya judicial review mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor yang

dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi. Berdasarkan permohonan judicial review

tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002

bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat

sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini

diucapkan.

Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka eksistensi

pengadilan tipikor saat ini hanya efektif sampai di bentuknya Pengadilan Tipikor

yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri yang lepas dari Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Oleh Mahkamah Konstitusi keputusan tersebut dikatakan sebagai Smooth

transition, sebab keputusan sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi keputusan Mahkamah Konstitusi yang

dijatuhkan harusnya telah inkracht van gevijsde, sehingga mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang tersebut

juga ditentukan :

Putusan Mahkamah yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan

undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut

tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Namun, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberi kesempatan

paling lambat 3 (tiga) tahun kepada eksistensi pengadilan tipikor hingga

terbentuknya pengadilan tipikor yang baru, sehingga bunyi amar keputusan yang

dijaruhkan Mahkamah Konstitusi tersebut menyimpangi ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi.

Page 16: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Waktu 3 (tiga) tahun sejak dijatuhkannya keputusan Mahkamah Konstitusi

pada bulan 19 Desember 2006 berkaitan dengan eksistensi pengadilan tipikor berarti

pengadilan tipikor yang ada sekarang ini akan tidak efektif lagi pada yanggal 19

Desember tahun 2009, berarti eksistensi pengadilan tipikor tinggal 5 bulan lagi.

Sedangkan anggota DPR hasil Pemilu April 2009 akan di lantik sekitar bulan

Oktober, ini berarti hanya ada waktu 2 (dua) bulan untuk membahas RUU

Pengadilan Tipikor sebab apabila dibahas oleh anggota DPR hasil pemilu yang baru

di prediksi akan mengalami jalan buntu karena para anggota DPR yang baru tersebut

belum memahami permasalahan secara mendalam mengenai RUU Tipikor.

Kesempatan yang tinggal 2 bulan lagi ini ternyata tidak di kelola dengan baik oleh

pemerintah dan DPR karena sampai saat ini belum terlihat rencana pembahasan

RUU tipikor. Sudah barang tentu kondisi yang demikian ini akan semakin

menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi

oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai tindakan yang dapat

menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi karena keputusan demikian akan

membawa konsekuensi yuridis bahwa yang dikatakan tindak pidana korupsi haruslah

perbuatan yang sesuai dengan rumusan undang-undang saja. Perbuatan-perbuatan

lain yang tidak dirumuskan dalam undang-undang tapi dapat merugikan keuangan

Negara tidak dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.

Penghapusan sifat melawan hukum materiil bertentangan dengan arah perkembangan

hukum pidana.

Arah perkembangan hukum pidana di Indonesia mengarah kepada pengakuan

hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai

seminar Nasional, dalam kebijakan legislative maupun dalam Konsep KUHP. Oleh

karena itu penghapusan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana

korupsi akan menyulitkan penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang

melakukan perbuatan yang tidak masuk dalam rumusan tindak pidana korupsi namun

di pandang dari ukuran kepatutan perbuatan tersebut tidak patut atau tidak pantas

dilakukan.

III. Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum dilihat dalam

sistem peradilan pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi menampakkan dirinya

sebagai sistem tersendiri dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi

yaitu suatu sistem yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga ada dualisme

sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum tindak pidana

korupsi bersifat transisi dan dapat difungsikan sebagai pemicu untuk perbaikan

kinerja lembaga penegak hukum konvensional seperati kepolisian, kejaksaan dan

Page 17: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pengadilan dan sekaligus sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberatasan tindak pidana korupsi.

2. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan

pidana menunjukkan adanya persaingan antara pihak-pihak yang ingin

mempertahankan status quo (keadaan tetap seperti semula) dan pihak-pihak yang

menghendaki adanya upaya yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terlihat

secara setengah hati. Kesimpulan demikian terlihat dari adanya berbagai upaya

penghambatan terhadap gerak laju pemberantasan tindak pidana korupsi seperti tidak

mencatumkan aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adanya upaya judicial review

terhadap lembaga-lembaga super body yang mempunyai kewenangan yang luar biasa

dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti judicial review

terhadap TGTPK dan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; keengganan

lembaga legislatif untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Tipikor; dan

dihapuskannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi

oleh Mahkamah Konstitusi.

B. Saran

1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diperkuat dan diberikan beberapa

hak yang telah dipunyai seperti hak untuk menyadap, menyidik dan menuntut tetap

dipertahankan, demikian pula dengan lembaga pengadilan tindak pidana korupsi

merupakan lembaga yang khusus terpisah dari pengadilan negeri.

2. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diberikan kewenangan untuk merekrut

penyidik dan penuntut dari warga negara Indonesia yang mempunyai keahlian di

bidang hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro, George Junus. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam

MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan

Aksara. Yogyakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung.

Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji

Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan

Pengadfilan.

Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi

Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial.

Hamzah, 2005. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam

jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1.

Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro. Semarang.

Page 18: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum

Pidana. Citra Aditya Bakti.

Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan

Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta.

----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung.

Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta.

Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Page 19: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kontroversi Putusan Bebas Terhadap Koruptor

________________________________________________________________________

Gunawan Jatmiko

A. Pendahuluan

Di Indonesia beberapa waktu lalu ramai polemik mengenai di putus bebasnya

para terdakwa tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang

berada di daerah. Tidak kurang 15 tersangka korupsi yang telah diputus bebas

termasuk di Provinsi Lampung yaitu tersangka korupsi Satono dan Andi Achmad.

walaupun dalam putusan Kasasi mereka akhirnya dijatuhi pidana. Hal ini

menimbulkan keprihatinan penggiat LSM bahkan Mahfud MD sampai mengusulkan

dibubarkannya pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di daerah-daerah, karena

hanya menimbulkan semrawutnya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi telah diposisikan sebagai tindak pidana yang luar biasa

(extra ordinary crime) dalam masyarakat kita. Keadaan ini bisa di pahami karena

dalam kenyataannya tindak pidana ini mempunyai daya hancur yang sangat luar biasa

dan masif terhadap sendi-sendi kehidupan negara dan bangsa. Dampak derivative

tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana

alam seperti banjir, kecelakaan di darat, di laut, maupun udara, bahkan Nyoman

Serikat Putrajaya guru besar hukum pidana Undip mengatakan bahwa dampak

negative dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa

dan merupakan perampasan terhadap hak ekonomi dan hak social masyarakat

Indonesia.

Posisi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime membawa

konsekuensi perlunya di imbangi dengan upaya yang luar biasa (extra ordinary legal

instrument) pula dalam memberantasnya. Di Era reformasi ini telah di munculkan

berbagai instrument hukum guna mendukung upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi, seperti Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian dalam kurun waktu

kurang dari satu tahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru

mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang

professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah

untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan

adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas

Negara.

Kedua Tap MPR tersebut dijadikan landasan hukum pembentukan undang-

undang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Undang-

undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi dan Nepotisme, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Produk peraturan perundang-undangan lain

yang merupakan respon terhadap tuntutan reformasi dalam rangka pemberantasan

tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No 46 Tahun 2009 Tentang

Page 20: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 Tentang

Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

B. Upaya luar biasa versus upaya melemahkan

Pemerintah telah menunjukkan iktikad baiknya dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi yang dapat dilihat dengan dikeluarkannya instrument hukum

sebagai landasan pemberatasan tindak pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaannya

ternyata banyak kendala yang dihadapi sehingga terkesan adanya upaya setengah hati

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian pula dalam perjalanan upaya

pemberantasan tidak pidana korupsipun terkesan ada upaya-upaya yang

melemahkannya Hal ini dapat dilihat dengan tidak mencantumkannya ketentuan

peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi sebelum dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001.

Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan

bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan pada saat Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1971 masih berlaku tapi belum disidangkan tidak dapat di adili.

Kasus nyata mengenai ketidak jelasan transisi atau adanya perubahan antara

undang-undang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah

Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut

oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-undng Nomor 3 Tahun 1971, tetapi

dakwaan itu tidak dapat diterima oleh hakim karena Undang-Undang No. 3 Tahun

1971 oleh Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 Pasal 44 sudah dinyatakan tidak

berlaku, sedangkan undang-undang yang baru yaitu undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 tidak dapat diterapkan dengan alasan tidak boleh berlaku surut (retro aktif).

Padahal apabila dicermati lebih jauh dalam hukum pidana dikenal asas lex specialis

derogat legi generale. Berdasarkan asas tersebut sebetulnya ketika undang-undang

yang baru tidak mengatur pasal peralihan hendaknya dikembalikan kepada ketentuan

yang bersifat umum yaitu ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP).

Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam

perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, dipakai undang-undang yang

paling menguntungkan / meringankan terdakwa. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada

alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika UU

Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku.

Tindakan lain yang dipandang sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan

korupsi adalah adanya upaya yudicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor

19 Tahun 2000 tentang TGTPK yang mengabulkan permohonan pemohon. Keputusan

yang mengabulkan permohonan pemohon yudicial review bertentangan dengan rasa

keadilan masyarakat. Karena Mahkamah Agung lebih mengutamakan rechtsmatigheid

(kepastian hukum) dibandingkan prinsip yang lain yaitu doelmatigheid (tujuan

hukum). Padahal hukum didalamnya mengandung tujuan yang hendak dicapai, yang

diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai, tujuan

atau manfaat tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara

dan prosedur yang bersifat tekhnis.

Page 21: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pembubaran TGTPK direspon dengan di bentuknya Komisi Pemberantasan

Korupsi berdasarkan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002. KPK merupakan

lembaga independent dalam pemberatasan tindak pidana korupsi dan memiliki

kewenangan yang luar biasa pula. KPK mempunyai kewenanngan penyidikan,

penuntutan bahkan sebelum dibentuk pengadilan tipikor di daerah-daerah, pengadilan

Tipikor yang ada di Jakarta dibentuk berdasarkan amanat Pasal 53 Undang –Undang

Nomor 30 Tahun 2002. Setelah dilakukan yudicial review terhadap pengadilan tipikor

pada waktu itu yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi kemudian

diundangkanlah Undang-undang nomor 46 Tahun 2009 tentang pengadilan Tindak

Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut dibentuklah pengadilan Tindak

Pidana Korupsi di 33 provinsi di Indonesia.

Komisi Pemberantasas Korupsi maupun pengadilan Tipikor yang ada di ibu

kota baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang KPK maupun Undang-undang

No 46 Tahun 2006 telah membuat banyak gerbrakan dengan menyeret dan

menghukum para pelaku korupsi baik pejabat Negara (eksekutif , legislative) maupun

pengusaha. Namun akhir-akhir ini timbul kesan adanya upaya pelemahan kembali

terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketika Komisi Pemberantasan

Korupsi dengan tegas menyeret pelaku-pelaku korupsi yang ada di lembaga legislative

ada ancaman dari lembaga legislative untuk melakukan perubahan terhadap undang-

undang Komisi Pemberantasan Korupsi.. Demikian juga dengan dibentuknya

pengadilan tipikor di daerah-daerah ternyata tidak menunjukan adanya upaya yang

serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terbukti dengan

dibebaskannya para pelaku tindak pidana korupsi oleh pengadilan-pengadilan tipikor

di daerah-daerah termasuk di Lampung.

1. Salahkah hakim memutus bebas ?

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah menjatuhkan putusan

bebas kedua terdakwa korupsi bupati Lampung Timur Satono dan mantan bupati

Lampung Tengah Andi Achmad telah menuai pro dan kontra. Para ahli hukum telah

beradu argumentasi di media masa dalam bentuk pemaparan legal opinion. Terlepas

dari etis atau tidaknya perbuatan tersebut, karena adu argumentasi tersebut dilakukan

pada saat perkara masih dalam proses peradilan yaitu proses kasasi, sisi lain yang

menarik pula untuk di kritisi tanpa masuk pada substansi putusan adalah apakah hakim

telah salah menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana korupsi ?

Stigma korupsi sebagai extra ordinary yang kemudian di ikuti dengan extra

ordinary legal instrument seharusnya tidak boleh mengurangi independensi hakim

dalam melakukan tugas mengadili. Banyaknya pihak yang mencurigai putusan bebas

terdakwa korupsi menimbulkan kesan pula bahwa setiap tersangka korupsi adalah

koruptor dan harus dipidana. Persepsi yang demikian adalah keliru dan akan

menganggu tugas hakim dalam mengadili manakala ternyata penuntut umum tidak

dapat membuktikan dakwaannya.

Putusan bebas dijatuhkan ketika dakwaan jaksa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan. Tidak terbuktinya dakwaan tersebut disebabkan karena, pertama,

tersangkanya memang benar-benar tidak melakukan suatu tindak pidana, kedua,

sebenarnya tersangka melakukan tindak pidana namun pembuktiannya lemah sehingga

tidak bisa dibuktikan, ketiga, adanya kesengajaan hakim untuk menjatuhkan putusan

bebas.dengan cara memainkan hukum. Apabila lemahnya dakwaan dilakukan dengah

Page 22: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

sengaja serta putusan bebas itu terjadi karena kesengajaan hakim dengan memainkan

hukum maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi.

Dalam hal putusan bebas terjadi karena lemahnya pembuktian yang terjadi

tanpa kesengajaan, kesalahan terjadi pada tahap pemeriksaan di luar pengadilan yaitu

tahap penyidikan maupun penuntutan. Penyidik dan penuntut umum tidak dapat

mencari alat bukti yang kuat guna mendukung pembuktian sehingga ketika di uji di

depan pengadilan dakwaannya lemah. Dalam hal demikian hakim harus menjatuhkan

putusan bebas walaupun persepsi yang ada di masyarakat berbeda. Hakim bukanlah

alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Ketika penuntut umum

tidak bisa membuktikan hakim harus berani memutus bebas. Oleh karena itu dalam

kondisi yang demikian yang dikritisi/di eksaminasi jangan hanya lembaga pengadilan

saja melainkan lembaga penuntut umum dan lembaga penyidikan. Kecuali kalau

putusan bebas itu karena kesengajaan hakim dengan cara memainkan hukum.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di

sidang pengadilan, sedangkan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya

atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak

pidana. Pengertian di muka menunjukkan bahwa tersangkapun dapat juga dikatakan

sebagai orang yang belum tentu bersalah karena baru dugaan saja dan pada prinsipnya

terdakwa adalah tersangka sehingga terdakwapun juga orang yang belum tentu

bersalah Oleh karena itu sesuai asas presumption of innocence tersangka maupun

terdakwa wajib diperlakukan layaknya seperti orang yang belum bersalah dengan cara

menghormati hak-hak tersangka atau terdakwa yang diberikan oleh undang-undang.

Hal ini berarti kalau alat-alat bukti yang di ajukan untuk mendukung pembuktian

lemah mengakibatkan dugaan itu salah demikian juga sebaliknya.

Tugas hakim adalah memeriksa perkara, mengadili dan menjatuhkan putusan

bukan sebagai alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, sehingga

hakim tidak harus memenuhi tuntutan jaksa, karena jaksa dan terdakwaa adalah para

pihak yang diadili oleh hakim. Hakim berada di tengah-tengah para pihak.dan

memeriksa secara objektif dan professional. Seorang tersangka yang dihadapkan ke

pengadilan belum tentu bersalah, oleh karena itu KUHAP telah menyediakan tiga

bentuk putusan dalam perkara pidana, yaitu pemidanaan, putusan bebas (virjspraak),

lepas dari segala tuntutan hukum (onlsag van alle rechtsvervolging).

Seorang terdakwa dimana perbuatan yang didakwakan bisa dibuktikan oleh

jaksa penuntut umum dengan di dukung oleh alat bukti yang sah dan minimum alat

bukti yang ditentukan undang-undang telah terpenuhi serta hakim yakin harus, di

kenakan pemidanaan. Sebaliknya apabila jaksa penuntut umum tidak dapat

membuktikan kesalahan terdakwa maka harus di putus bebas (vrijspraak), sedangkan

kalau perbuatan terdakwa terbukti namun ternyata bukan tindak pidana, atau ada

alasan pemaaf maupun pembenar kepada terdakwa dapat dijatuhkan putusan lepas dari

segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).

C. Simpulan

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary

crime) oleh karena itu perlu upaya yang luar biasa (extra ordinary legal instrumen)

pula dalam memberantas tindak pidana korupsi.. Penggunaan upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi secara luar biasa hendaknya jangan mengurangi indepensi

hakim dalam menjalankan tugasnya, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan

Page 23: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

keputusan. Hakim tidak bisa di salahkan ketika telah melaksanakan tugasnya secara

objektif dan professional kemudian menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa

korupsi, sebaliknya kalau putusan bebas tersebut terjadi karena adanya kesengajaan

melemahkan dakwaan oleh jaksa penuntut umum maupun karena ada ketidak

profesionalan hakim maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Daftar Pustaka

Serikat putra Jaya, Nyoman. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum

Pidana, 2008, Citra Aditya Bakti;

Junus Aditjondro, George. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencuri

Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I di terbitkan oleh Yayasan

Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2002;

Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review Kajian atas putusan Permohonan Hak Uji Materiil

terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK dalam jurnal kajian putusan

pengadilan DICTUM, L e l P 1;

Soetarto, Soerjono. Hukum Acara Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro;

Samosir, C. Djisman, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, 1986, Bina Cipta;

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Page 24: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Makelar Kasus dan Upaya Penanggulangannya Dalam Sistem Peradilan Indonesia

__________________________________________________________________ Budi Rizki Husin

I. Pendahuluan

Pada akhir-akhir ini wajah penegakan hukum sangat carut marut, gambaran

demikian ini mengilustrasikan bahwa penegakan hukum sangat sulit untuk diwujudkan

sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat. Carut marutnya penegakan hukum

menggambarkan betapa para aparat penegak hukum (law enforcement officials)

disetiap subsistem peradilan dan mereka yang berada di luar subsistem tersebut

terlibat di dalamnya dalam jual beli keadilan (hukum). Menurut hukum mereka yang

ikut dalam kegiatan jual beli dikenal dan bahkan diakui dan dilindungi keberadaanya

sesuai dengan kaidah hukum dagang yang berlaku di Indonesia yaitu sebagai makelar

atau komisioner. Tetapi mengenai perantara (makelar) yang melakukan jual beli

keadilan (hukum) yang selanjutnya dikenal sebagai markus (makelar kasus) dalam

proses penegakan hukum dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Melakukan

kegiatan jual beli hukum oleh penegak hukum termasuk perantaranya (makelar) pada

akhir-akhir ini menjadi marak diperbincangkan dan terbuka secara umum diawali

kasus “cicak versus buaya” kemudian mangkin menghangat dengan timbulnya kasus

“S j versus S D” yang mengilustrasikan betapa keterlibatan institusi dan aparat

penegak hukum dalam proses penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan, dan Pengacara/advokad bahkan subjek hukum yang berada di luar sistem

peradilan pidana.

Makelar kasus (markus) pada hakikatnya mencerminkan pengertian intervensi

terhadap suatu proses administrasi peradilan, dalam hal ini proses penegakan hukum.

Berbeda dengan proses intervensi lainnya yang mungkin bertujuan positif, markus

berkonotasi negative, yaitu dengan cara “memenangkan klien dengan segala cara”

demi mencapai kepentingan dan tujuan dari orang yang diperantarainya. Perlu digaris

bawahi bahwa target markus tidak selalu harus berupa tindakan yang menyimpang

dari hukum, tetapi juga, seperti dalam dunia perdagangan, tampil sebagai makelar

yang profesional, dengan menjembatani kepentingan pihak-pihak terkait. Walau dalam

prakteknya sudah telanjur dipersepsikan jelek, markus tidak selalu membela yang

salah, tetapi juga membela yang benar (korban).

Uraian ini agar lebih fokus, maka dibatasi pada pembahasan markus dalam arti

yang negatif, yang berupaya melakukan intervensi untuk menghasilkan tindakan dari

penegak hukum dalam membuat keputusan, atau perlakuan pejabat penegak hukum

yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku (rekayasa hukum). Tindakan

penegak hukum di sini mencakup seluruh rangkaian kegiatan, dari penyidikan

termasuk penangkapan, penahanan sampai penjatuhan putusan pengadilan. Proses

tersebut melibatkan seluruh tahapan roses peradilan, dan pejabat pada lembaga-

lembaga publik yang menyelesaikan sengketa. Pemahaman atas markus juga harus

dibedakan dari sikap dan perbuatan pejabat penegak hukum yang menginisiasi

penyimpangan. Secara moral, tindakan mereka menuntut pertanggungjawaban yang

lebih berat karena mengkhianati profesi, sehingga dapat dikenakan dua bentuk

tindakan hukum, yaitu pelanggaran pidana dan kode etik.

Page 25: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kerja sama antara markus dan pejabat yang diintervensi dibangun dengan

menggunakan instrumen barang dan/atau jasa, baik dalam bentuk tunai (uang/materi

lain) maupun janji, seperti promosi, mutasi ke tempat/jabatan “basah”, pendidikan dan

jabatan, bahkan jabatan sambilan pada dan/atau pemberian saham perusahaan. Pelaku

markus umumnya merupakan predikat untuk mereka yang biasa atau mencari nafkah

dengan pekerjaan memakelari kasus. Peranan tersebut umumnya dimainkan oleh

pengacara-pengacara namun dapat juga tidak selamanya sebagai pengacara, tetapi

yang penting memiliki kedudukan atau akses kepada pihak-pihak yang memiliki

wewenang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Peranan markus dimainkan oleh

pengacara, pengusaha, dan orang biasa yang menjalin hubungan akrab dengan

petinggi hukum, kerja sama mereka dilakukan dengan modus-modus antara lain

mengurangi, mengatur, dan merekayasa berkas berita acara sehingga seolah-olah

dipersalahkan tetapi karena pembuktian lemah dapat dipastikan akan dibebaskan oleh

hakim, meringankan atau menghilangkan pasal yang dituduhkan, menerbitkan SP3

(surat perintah penghentian penyidikan) surat ketetapan penghentian penuntutan

SKPP), dan mem-peti-es-kan perkara. Pada tahap terakhir, target yang dituju adalah

hukuman bebas atau ringan, memenangkan perkara yang salah, penuntut umum tidak

melakukan upaya hukum, dan lain-lain. Dalam hal menyangkut imbalan (uang), kasus

yang biasanya di-“makelar”-kan adalah perkara dengan kerugian materi yang besar.

Semakin besar nilai materinya, semakin tinggi pejabat yang dilibatkan. Oleh karena itu

dalam praktik kasus yang dimarkuskan biasanya perkara yang yang memiliki “multi

dimensi”. Misalnya perkara yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan

penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) berdemensi money laundering, organized crime

ataupun corporate crime dimana pelaku dan perbuatanya digolongkan white collar

crime (WCC).

Perkara demikian ini memang sulit dan tidak mudah penegakan hukumnya

sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi (1993) disebabkan beberapa hal yaitu; low

visibility, complexity, diffusion of responsibility, diffusion of victimized. Constrain

detection and prosecution, ambigos laws, ambiguos offender. Kasus atau perkara yang

secara substansial dan formal sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga memasuki

daerah kelabu (grey area) dan akibatnya memberi kesempatan bagi markus serta aparat

penegak hukum untuk bermain atau merekayasa didalamnya.

Menyangkut perkara tertentu, tidak semua pejabat penegak hukum terlibat dalam

pergulatan markus, baik karena peluang menangani perkara tertentu (yang menjadi

obyek markus) tidak dimiliki setiap personel (tergantung distribusi oleh pimpinan)

maupun karena keengganan personel tertentu yang ingin memuliakan profesinya

(kendali moral). Hanya sebagian kecil dari mereka, tetapi biasanya terpelihara dengan

baik dalam posisinya karena berhasil menjadi kaya dan dengan kekayaannya berhasil

membangun kolusi dengan atasan/petinggi, termasuk pejabat pada manajemen

personalia. Ihwal karakter demikian, dapat dikatakan bahwa praktik markus lebih

banyak terjadi dalam kehidupan di kota daripada di pedalaman yang mencerminkan

pola hidup komunitarian.

Page 26: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Selain itu, orang luar yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian

dari makelar kasus. Masyarakat yang mengharapkan keadilan dan kepastian hukum

dapat terwujud dalam proses peradilan akan kecewa dan marah bahkan dapat

menimbulkan ketidak percayaan baik kepada lembaga maupun pada aparatur, karena

aparat penjaga keadilan (oknum) yang tergabung dalam lembaga negara pemegang

amanat penegakan hukum ini justru menodai rasa keadilan itu sendiri dengan

merekayasa apa itu kesalahan dan kebenaran. Siapa yang benar dan salah bisa diatur

sesuai pesanan, asalkan ada uang Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) , takaran tuntutan

bahkan putusan, bisa dibeli.

Makelar kasus yang termasuk dalam kelompok mafia peradilan ada sejak lama

di Indonesia. Kemunculannya marak di zaman orde baru. Hanya saja selama ini

keberadaannya seolah tersembunyi. Masyarakat yang sebenarnya sudah tahu rahasia

umum ini terkesan harus memendam dalam amarah dan melupakan masalah besar

penegakan hukum ini karena kesulitan untuk membuktikan fakta kejahatan luar biasa

ini dilapangan, apalagi untuk menyelesaikan. Masyarakat dibungkam dan didustai

dengan rekayasa dan percaloan keadilan oleh penguasa domain hukum. Beberapa

waktu yang lalu, melalui penyiaran rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo

Widjadja oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan Uji Materi UU KPK

masyarakat kembali ditunjukkan dengan fakta vulgar yang kembali mengingatkan

bahwa makelar kasus dalam penegakan hukum kita semakin kronis. Bahkan metode

yang dilakukan sudah sangat berkelas dan sistematis dengan melibatkan pejabat

penegak hukum pula. Kalau dibiarkan dan tidak segara diberantas, kita tidak tahu akan

apa jadinya pada negara ini.

II. Permasalahan

Bagaimanakah upaya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap makelar

kasus dalam sistem peradilan di Indonesia?

III. Pembahasan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas pengertian makelar sendiri berarti

merupakan perantara antara pembeli dengan penjual. Makelar yang sudah mengenal

baik si pembeli dan si penjual, maka keberhasilan akan sebuah transaksi akan

semakin besar. Dengan pengertian makelar di atas, maka untuk pengertian makelar

kasus, atau markus dapat di artikan sebagai seorang perantara yang mengenal

penjahat sekaligus memiliki hubungan dengan penegak keadilan, dan biasanya

makelar kasus memberikan informasi yang ia dapat tentang pelaku, dan kemudian

makelar kasus akan memberitahukan informasi tersebut kepada para penegak hukum

atas keterdekatanya dengan penegak hukum tersebut.

Makelar kasus adalah kejahatan luar biasa yang tentunya membutuhkan upaya

penyelesaian yang luar biasa pula. Friedman (1984; 4), mengungkapkan bahwa

bagaimanapun penegakan hukum sebuah bangsa mutlak ditentukan oleh substansi

hukum, struktur hukum, dan budaya hukum negara setempat. Adapun upaya yang

seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut.

Page 27: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Diperlukan upaya hukum luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa,

makelar kasus dan mafia peradilan. Penyadapan oleh KPK perlu didukung tidak

hanya untuk mengungkap kasus korupsi an sich namun juga praktek makelar

kasus dan mafia peradilan.

2. Reformasi aturan hukum yang ada, Harus disusun aturan mengenai peberantasan

mafia peradilan, khususnya mengenai pembuktian dan alat bukti yang berkenaan

dengan praktek makelar kasus dan mafia peradilan. Pembuktian terbalik dapat

digunakan sebagai alternatif pembuktian pelaku mafia kasus.

3. Bersihkan semua lembaga penegak Hukum mulai dari Kepolisian, Komisi

Pemberantasan Korupsi, Kejaksanaan, Pengadilan dari seluruh tingkatan,

demikian pula lembaga pofesi advokat yang mencoba bermain dalam makelar

kasus maupun mafia peradilan. Berikan sanksi pidana berat bahkan ancaman

hukuman mati bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktek makelar kasus

maupun mafia peradilan. Pembenahan Lembaga pengawasan penegakan hukum

seperti komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan agar lebih independent, efektif dan

akuntable. Hal ini sebagai upaya memberantas makelar kasus dan mafia peradilan

guna mewujudkan mimpi bangsa untuk penegakan hukum yang adil dan

berwibawa.

4. Benahi budaya hukum masyarakat melalui pendidikan hukum. Mengingat makelar

kasus terjadi tidak hanya bermula dari penegak hukum melainkan juga lemahnya

kesadaran hukum yang berakibat pada penyimpangan perilaku masyarakat ketika

berhadapan dengan kasus hukum.

5. Peran pers yang merdeka untuk memberikan pencerahan dan keterbukaan

informasi terkait dengan penegakan hukum akan sangat bermanfaat dalam rangka

pemberantasan makelar kasus dan mafia peradilan.

Tentunya langkah-langkah luar biasa diatas akan mampu memberantas makelar

kasus di Indonesia dengan catatan terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen

bangsa untuk terus berikhtiar dan tentunya harus diawali dengan semangat political

will dari pemerintah selaku pemegang amanat kedaulatan rakyat.

Akhir-akhir ini penistaan terhadap institusi peradilan, antara lain kasus hakim

TUN Medan, (Kompas 18 April 2011), karena hakim dianggap sebagai benteng

terakhir dalam mendapatkan keadilan menyebabkan dimungkinkan masyarakat

pesimis terhadap kemampuan peradilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya

dalam penegakan hukum. Penyakit ketidakadilan yang mengidap pengadilan di

Indonesia membuat masyarakat menjadi tidak percaya terhadap putusan pengadilan.

Pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses

penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu institusi ini harus diisi oleh orang –

orang yang terpercaya dan dapat menjamin tegaknya hukum.

Page 28: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Mengingat masih kuatnya suap yang berjaya di lingkungan peradilan kita,

seperti jual beli keputusan pengadilan yang dilakukan oleh Markus dan mengingat

perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang sering menyelewengkan hukum dan

rasa keadilan masyarakat, maka diharapkan agar dalam mengisi institusi peradilan

ini, orang-orangnya perlu diuji kompetensi dan kualitas moralnya sebagai penegak

hukum. Slogan ganyang mafia peradilan oleh Presiden SBY dengan membentuk

Satgas di bawah unit kerja Presiden untuk beraksi dalam dua tahun semoga bukan

hanya slogan. Memberantas makelar berdasi ini akan memiliki efek domino, karena

makelar adalah anak kandung dari menguatnya wacana pasar.

Merebaknya fenomena makelar adalah salah satu ciri menguatnya wacana

pasar, di mana ideologi kapitalisme menjadi panglima (Kadri Husin: 17) . Makelar

selalu mencari keuntungan materi di dalam menjual jasanya. Logika untung rugi

secara materi menjadi orientasi utama aktifitas makelar. Kalaulah Presiden ingin

mengganyang makelar itu artinya wacana negara siap berbenturan melawan wacana

pasar. Di dalam ranah wacana pasar, bagi kaum kapitalis pemupukan modal dan

penumpukan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah hal yang jamak. Proses

pencapaiannya seringkali melanggar nilai keadilan, kesopanan maupun melanggar

nilai hukum negara.

Hal itu dianggap wajar saja karena pencapaian keuntungan sebesar-besarnya

bisa dilakukan dengan semua cara. Suap, komisi, hadiah, atau setoran adalah

mekanisme yang biasa dalam wacana pasar. Dalam wacana itu, negara seringkali

diistilahkan sebagai setan jelek yang tetap dibutuhkan keberadaannya. Negara

dianggap memasung aktivitas bisnis melalui aparatur birokrasi serta peraturan dan

perundangan yang berlaku. Semakin panjang birokrasi maka semakin banyak meja

yang harus dilewati, artinya semakin banyak biaya suap, komisi, hadiah, atau setoran

yang harus dikeluarkan. Akan tetapi negara tetap dibutuhkan karena menjadi payung

pelindung kepastian hukum secara legal aktivitas bisnis. Fenomena yang kemudian

terjadi adalah merebaknya korupsi dan kolusi antara aparatur negara dan agen

kapitalis, yang menjadi pangkal persoalan terpuruknya bangsa Indonesia.

Supremasi hukum dan pemberantasan mafia hukum adalah agenda kerja

Pemerintah yang selayaknya didukung oleh segenap komponen bangsa. Itu artinya

adalah genderang perang melawan wacana global yang berorientasi pasar yang telah

meminggirkan wacana negara maupun wacana masyarakat. Negara Indonesia tidak

boleh dijadikan sebagai instrumen kapitalis untuk mengeruk keuntungan atas sumber

daya Indonesia. Indonesia tidak boleh diacak-acak oleh mafia hukum atau makelar

kasus yang hanya mencari keuntungan pribadi di atas keterpurukan bangsa. Wacana

negara dan masyarakat harus diperkuat agar Indonesia terlepas dari keterpurukan.

Satjipto Rahardjo (2008; 6), guru besar emiritus sosiologi hukum Diponegoro,

Semarang, menyebutkan, salah satu peluang terciptanya mafia peradilan adalah

banyaknya telinga di sekitar pengambil putusan dan proses pengambilan putusan.

Misalnya, saat munculnya advis, yang bisa menunjukkan arah putusan, sesudah

majelis hakim berunding tentang putusan. Para pemilik telinga, antara lain asisten,

Page 29: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang

berkepentingan. Kepolisiaan Daerah (Polda) metro jaya Kombes Pol Rikwanto

(republika,senin hari 4 juni 2012) Telah meringkus dua pelaku makelar kasus yang

telah memperoleh uang hasil kejahatan hingga mencapai Rp 1,4 Milyiar, dengan

melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus yang ahirnya diketahui

melibatkan beberapa orang dalam melakukan aksinya, bahkan sampai sekarang

tersangka masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Tidak bisa dibantah kalau

praktik mafia peradilan di Tanah Air sudah merasuk hingga ke semua lini dalam

struktur aparat peradilan itu sendiri. Pengawasan internal, baik pengawasan oleh

atasan langsung maupun pengawasan fungsional, termasuk pengawasan eksternal

dari lembaga-lembaga lain, masih dirasakan lemah dan kurang efektif. Sistem

internal memiliki “perspektif” yang bisa diharapkan berperan optimal, terutama

dalam kaitan dengan solidaritas internal yang begitu kental, khususnya dalam jajaran

kepolisian. Sementara itu, pengawasan masyarakat belum mendapat tempat yang

layak dalam sistem pengawasan lembaga-lembaga penegak hukum, terutama belum

terbukanya akses publik yang memadai. Masalah anggaran merupakan faktor internal

yang paling dominan menerangkan fenomena markus. Aspek pertama dari faktor ini

menyangkut dukungan anggaran operasional, terutama yang dialokasikan pada unit-

unit lapangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Diakui bahwa telah

terjadi peningkatan yang berarti atas alokasi anggaran badan-badan penegak hukum,

tetapi cenderung diprioritaskan untuk kepentingan satuan-satuan organisasi yang

dipimpin langsung pejabat-pejabat tinggi terutama pada manajemen puncak.

Akibatnya, petugas unit-unit operasional ”terpaksa” harus ”membebani” atau

mengharap kontribusi warga guna menjamin tetap berjalannya roda organisasi dalam

melayani masyarakat.

Aspek anggaran kedua menyangkut pemenuhan kebutuhan penghasilan

personel. Faktor ini menjadi paling dominan di antara semua variabel, karena juga

memberi pengaruh melalui faktor-faktor yang disebut terdahulu. Faktor pengawasan

organisatoris dan pengendalian diri yang lemah serta faktor lingkungan sosial (daya

tarik) tidak lepas dari pengaruh penghasilan personel. Faktor ini pula bahkan yang

mendorong terjadinya penyalahgunaan anggaran operasional. Walau demikian, tidak

berarti semua personel penegak hukum mengatasi kekurangan penghasilannya

dengan menyalahgunakan kekuasaan.

Dalam kondisi dunia ”abu-abu” semacam inilah, mustahil penanggulangan

markus dan semua jenis korupsi dalam tubuh penegak hukum, terutama Polri,

kejaksaan dan pengadilan dapat berjalan efektif dan membawa perubahan yang

mendasar. Apalagi sekadar melalui mekanisme Satgas, bahkan melalui pekerjaan

KPK sekalipun, sepanjang mereka hanya berperan sebagai pemadam kebakaran atau

obat ”naspro”.

IV. Kesimpulan

Mafia peradilan menjadi gambaran carut-marutnya dunia hukum di Indonesia yang

terjadi di semua tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga

rumit, melibatkan uang recehan hingga miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi

Page 30: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pemain di dalamnya, bahkan pemerasan menjadi umum dilakukan oleh aparat untuk

mengubah status tersangka menjadi saksi.

V. Saran

Markus ataupun mafia peradilan harus diberantas secara structural tidak hanya

ditekankan pada institusi/lembaga hukumnya saja tetapi juga aparaturnya dari sistem

peradilan pidana dengan mendapat pengawasan atau melibatkan masyarakat sebagai

wasmas, dan kemudian diijatuhi hukuman yang berat sehingga menimbulkan efek

penjeraan Wasmas. Serta tidak lupa untuk membentuk aparatur yang profesional

beriman dan taqwa dalam menjalankan profesinya.

Daftar Pustaka

Husin, Kadri. 2010. Diktat Materi Kuliah Tindak Pidana Ekonomi di Bidang Perbankan.

Universitas Lampung. Bandar Lampung.

L.M. Friedman. 1984. The Legal System; A Social Science Perspective. New York,

Russel Sage Foundation.

Muladi. 1993. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan White Collar

Crime. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta.

Republika, 2012 edisi 4 juni, Jakarta.

Kompas, 2012 edisi April, Jakarta.

Page 31: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Upaya Percepatan Proses Penyidikan Dalam Rangka Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

__________________________________________________________________

Priyanto, Tisnanta dan Eko Raharjo

I. Latar Belakang

Korupsi merupakan permasalahan yang banyak menyita perhatian masyarakat

akhir-akhir ini. Seiring dengan adanya semangat pemberantasan korupsi yang

semakin digalakkan, masyarakat pun semakin antusias untuk mendalami dan

memahami makna dari korupsi itu sendiri, yang pada akhirnya memacu masyarakat

untuk selalu menganalisa setiap kasus yang berkaitan dengan korupsi. Banyak para

ahli yang mengemukakan pendapatnya terkait berbagai kasus korupsi yang terjadi.

Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap suatu kasus yang terjadi, akan tetapi dari

sekian pendapat yang ada, satu pemahaman yang tidak dapat dielakkan, yang

tertanam pada pemikiran setiap orang, bahwa bagaimanapun juga tindak pidana

korupsi merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan dapat merusak sendi-

sendi kebersamaan Negara.

Korupsi pada dasarnya masih merupakan permasalahan yang sulit untuk

ditanggulangi, bukan hanya di Indonesia, akan tetapi juga di Negara-Negara lain,

baik di Negara maju maupun di Negara yang sedang berkembang. Indonesia telah

berulangkali menduduki peringkat tertinggi dalam menuai prestasi korupsi. Hal ini

dapat terbukti dari Transparency International yang berbasis di Berlin Jerman

meletakkan Indonesia pada peringkat empat negara terkorupsi di dunia.

Pada hakekatnya korupsi menjadi penghambat utama terhadap jalannya

pemerintahan dan pembangunan. Dalam prakteknya korupsi sangat sukar bahkan

hampir tidak mungkin dapat di berantas, karena sangat sulit memberikan

pembuktian-pembuktian yang eksak. Di samping sangat sulit mendeteksinya dengan

dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya

latent yang harus di waspadai baik pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri.

Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang

memakai uang sebagai standar kebenaran dan kekuasaan mutlak, sebagai akibatnya

koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk

ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka inilah yang akan

menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat.

Korupsi pada dasarnya dimulai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha

pembangunan yang menyebabkan sejumlah orang ingin dengan cepat menikmati

hasil dari pembangunan dan kemakmuran yang diharapkan. Sayangnya, peningkatan

pembangunan tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik dari

pemerintah, yang menyebabkan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam

penggunaan sejumlah dana yang dipergunakan dalam rencana pembangunan tertentu.

Dengan adanya pengawasan yang tidak mumpuni tersebut, sejumlah oknum dapat

dengan mudah menggelapkan uang dengan cara tidak mematuhi prosedur pengerjaan

yang telah ditetapkan, dan yang lebih menyedihkan praktik tersebut dilakukan secara

terorganisir yang bekerja sama dengan oknum-oknum lainnya. Hal itulah yang

menyebabkan perkembangan praktik korupsi yang ada semakin meningkat dan

berkembang melalui cara-cara yang bervariasi.

Page 32: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap.

Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku

diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan,

rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain.

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis

multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari

kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan

nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang

tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat

khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan

diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif. Undang-

Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan

khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum

secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia,

dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum

tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang

dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang

masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur

aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana.

Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut

mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan

ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama

mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para

nara pidana.

Pada penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan

juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan

tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya.

Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal

yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi.

Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai

pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang- Undangan dan

juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana

korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku

tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak

pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi

dan punya jabatan. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal

melaporkannya. Diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksud dari lingkaran setan

Page 33: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui

telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang

mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang

boleh tapi tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya

kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi

tidak mau untuk melapor pada yang berwajib. Tindak pidana korupsi yang

merupakan tindak pidana khusus dalam penangananya diperlukan suatu kerja sama

dengan pihak lain, untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai

penyidik merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana

korupsi. Maka untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama

dengan pihak lain yang terkait. Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan

hubungan hukum, karena dalam melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau

hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum dengan pihak lain itu dapat berupa

perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintahan. Hubungan hukum dengan

perseorangan misalnya dengan seseorang saksi, seorang tersangka, seorang

penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan hukum misalnya dengan

Perusahaan Terorganisasi dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Sedangkan

hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama penegak

hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Instansi

lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan

Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain.

Kejaksaan dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi tidak bisa

bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama

dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana

korupsi adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua

penegak hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk

berhasilnya penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi

kelemahan dalam pemberantasan tindak pidana. Maka dari itu peran Jaksa sangat

diperlukan dalam menangani tindak pidana korupsi. Diharapkan jaksa bisa membuat

inisiatif agar korupsi tidak terjadi.

Seiring dengan kinerja kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi, hal tersebut pada praktiknya tidak dapat berjalan dengan baik. Beberapa

media massa menilai Kejaksaan masih lamban dalam menangani perkara-perkara

tindak pidana korupsi. Hal tersebut tentu saja membuat geram para aktifis

pemberantasan korupsi yang tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan

(LSM). Berbagai kritik dan kecaman terhadap kinerja Kejaksaan pun mulai

bermunculan. Seperti halnya pada penyidikan kasus dugaan korupsi proyek

pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada

pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh Kejaksaan

Tinggi Lampung sampai saat ini belum terselesaikan. Pada kasus tersebut,

masyarakat menilai bahwa Kejaksaan di nilai lamban dalam mengusut kasus tersebut

karena terlalu lama membuang waktu untuk melakukan penyidikan.

Tidak sigapnya Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi dalam

menangani kasus dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur

tersebut tentu saja menuai kontroversi dan kritikan dikalangan para aktifis dan LSM

Page 34: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

yang mendukung adanya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di

Indonesia. Kontoversi ini muncul akibat adanya perbandingan penyelesaian kasus

yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Lampung, yakni antara kasus dugaan proyek

pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dengan kasus korupsi pada pengadaan

pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung. Pada dasarnya kasus tersebut hampir

serupa, akan tetapi pada kenyataannya penanganan yang dilakukan oleh Kejaksaan

Tinggi Lampung lebih cepat pada kasus korupsi pengadaan pembelian solar di

lingkungan PDAM dari pada kasus pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009. Hal

tersebut dapat dilihat dengan telah diselesaikannya berkas penyidikan dan telah

dilimpahkannya perkara korupsi pembelian solar di lingkungan PDAM ke

pengadilan pada bulan September 2012, padahal kasus tindak pidana korupsi proyek

pembangunan jalan lintas timur tersebut di mulai sejak Tahun 2009.

Perbedaan yang timpang dalam penyelesaian kedua kasus korupsi tersebut

membuat Kejaksaan seakan tidak serius dalam menangani setiap kasus korupsi yang

masuk ke tubuh instansi Kejaksaan, khususnya Kejaksaan Tinggi Lampung,

sehingga menyebabkan berlarutnya penyelesaian kasus korupsi yang ada. Hal

tersebut tentu saja menyebabkan adanya penumpukan kasus, yang pada akhirnya

berujung pada di “peti es”kannya sebagian kasus yang tidak dapat diselesaikan

secara maksimal. Seharusnya, dengan adanya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Percepatan Pemberantasan Korupsi, hal tersebut dapat di minimalisir. Pada Inpres

Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Kepala

Negara dan Kepala Pemerintahan Negara Republik Indonesia menginstruksikan

kepada jajaran dibawahnya, termasuk Instansi Kejaksaan, agar mempercepat

penanganan perkara-perkara korupsi yang terjadi di Indonesia dengan membangun

kerjasama yang terkait dengan seluruh instansi yang tergabung dalam Kabinet

Indonesia Bersatu dalam penanganan dan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi.

Selain itu Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2001 juga mengamanatkan bahwa penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan sidang pegadilan terhadap tindak pidana korupsi harus didahulukan dari

perkara lain guna penyelesaian secepatnya, hal ini seharusnya menjadi dasar yang

kuat bagi Kejaksaan untuk segera menangani perkara korupsi yang masuk ke

Kejaksaan. Kedua dasar hukum tersebut merupakan landasan yang kuat bagi

Kejaksaan untuk mengoptimalkan kinerjanya demi menegakkan hukum yang ada di

Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertanyaan penelitian yang akan dikaji

adalah: (1) Apa kendala dalam penyelesaian proses penyidikan pemberantasan tindak

pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak

pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-

2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; (2) Bagaimana upaya percepatan

proses penyidikan pemberantasan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan

jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian

solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar

Lampung.

Page 35: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

II. Pembahasan

A. Gambaran Umum Kasus Korupsi

1. Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pembelian Solar di Lingkungan PDAM Tahun

2010-2011

Kasus dugaan korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun

2010-2011 ini bermula dari temuan Kejaksaan Tinggi Lampung yang dilaporkan

pada tanggal 10 Mei 2012 oleh Ferly Sarkowi, S.H., selaku Kasi Intelijen Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung.

Atas adanya laporan tersebut, Kejaksaan Negeri Lampung mengeluarkan Surat

Perintah Penyidikan Nomor: PRINT- DIK-01/N.8.10/Fd.1/05/2012 yang

memerintahkan kepada Teguh Hariyanto, S.H, Elis Mustika, S.H., Eka Aftarini, S.H.

M.H, M. Fachrudin Syuralaga, S.H. M.H, Anton Salahudin, S.H., Taufiq Ibnugroho,

S.H., Z.M. Yeni, S.H, dan Irfansyah, S.H selaku penyidik pada Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung untuk melaksanakan penyidikan terhadap adanya dugaan Tindak

Pidana Korupsi dalam pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun

Anggaran 2010 dan 2011.

Adapun mekanisme pembelian solar berdasarkan Peraturan direksi Nomor

KU/1580/PDAM/1/VI 2007 dan Perubahan Kedua Peraturan Direksi Nomor

KU/2418/ PDAM /03/VIII/2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Pedoman

Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa di Lingkungan PDAM Way Rilau Kota

Bandar Lampung sebagai berikut:

a. Bagian yang membutuhkan (Bagian Produksi) membuat Permintaan Pembelian

(PP) ditujukan ke Bagian Umum.

b. Bagian Umum membuat Daftar Permintaan Barang (DPB) untuk selanjutnya

diserahkan kepada Direksi untuk mendapatkan persetujuan pembelian dari Direksi

selanjutnya dikembalikan lagi kebagian Kabag Pembelian

c. Bagian pembelian membuatkan order pembelian dalam blanko Order pembelian

yang ditujukan kepada ; pertama kebagian keuangan lalu pada bagian keuangan

diberikan informasi anggaran apakah dana tersebut ada atau tidak berdasarkan

pengumuman yang diperoleh dari Pertamina berapa jumlahnya, biasa nya bagian

pembelian melampirkan harga solar dari Pertamina, karena harga solar selalu

berubah-ubah maka bagian keuangan minta dilampirkan harga solar dari

pertamina.

d. Kepala Bagian umum membuat permintaan UMK (uang Muka Kerja) dengan

persetujuan Direksi Umum dan Direktur Utama dengan melampirkan:

- PP (Permintaan Pembelian).

- DPB (Daftar Permintaan Barang).

- Informasi Anggaran.

- Harga jual dari Pertamina untuk harga solar.

e. Setelah UMK (Uang Muka Kerja) ditanda tangani oleh Direksi lalu diserahkan

kebagian Pembelian selanjutnya bagian pembelian mengambil uang ke Bendahara

dan bendahara mengeluarkan cek atau uang tunai untuk pembelian solar kepada

Bagian Pembelian.

f. Selanjutnya Blanko order beserta infomasi anggaran yang telah diparaf oleh

Kabag Keuangan dibawa oleh bagian keuangan ke Direksi (direktur umum dan

Page 36: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

direktur Utama) lalu oleh Direktur Umum diberikan paraf di blangko Order dan

menyetujui Direktur Utama dengan ditandatangani olehnya

g. Setelah dilakukan pembelian solar bagian umum membuat pertanggungjawaban

berupa pembuatan voucher pembayaran atas solar dengan melengkapi:

- Order pembelian.

- Laporan penerimaan barang.

- Tanda terima barang dan dilengkapi dengan syarat-syarat sebelumya.

h. Setelah lengkap semua berkas dibukukan kebagian akuntansi kemudian bagian

akutansi memberikan paraf lalu berkas diserahkan kepada Kabag Keuangan dan

dengan ditandatangani Voucher tersebut sebagai mengetahui bahwa kelengkapan

voucher sudah cukup, lalu setelah ditandatangani dan disetujui oleh Direksi

kemudian berkas diberikan ke bendahara untuk pertanggungjawaban.

Bahwa tugas dan wewenang terdakwa selaku Kasubag pembelian

dilingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berdasarkan Peraturan

Walikota Bandar Lampung No.76 tahun 2008 tentang struktur organisasi PDAM

Way Rilau Kota Bandar Lampung antara lain:

1) Membantu Kepala Bagian Umum pada Bidangnya.

2) Melaksanakan pembelian kebutuhan oprasional Perusahaan sesuai permintaan

bagian di lingkungan PDAM Way Rilau.

3) Menyerahkan barang barang yang diminta kepada unit pemakai.

4) Menerima/ membuat tanda terima barang.

5) Membuat Laporan bulanan.

6) Melaksanakan tugas tugas yang diberikan oleh Kabag Umum

Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Tim Penyidik Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung, ditemukan penyimpangan dalam proyek Kasus dugaan

korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM tersebut, baik pada tahun

2010 dan tahun 2011 dengan membuat pertanggungjawaban fiktif pembelian solar di

kantor PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan menggunakan harga

industri dengan data sebagai berikut:

Tabel 1. Pembelian Solar Tahun 2010 Berdasarkan Tanda Terima Voucer.

No

Urut

No.

Voucer

Pembelian

No.

Voucer

Ongkos

Angkut

Tanggal

Voucer

Jumlah

Liter

Harga Beli Ongkos

Angkut

Jumlah

Pembayaran

1 2 3 4 5 6 7 8 = 6+7

1 291 292 12/04/2010 15.000 97,277,895 1,350.000 98,627,895

2 439 440 27/05/2010 10.000 70,390.000 900.000 71.290.000

3 664 665 23/07/2010 10.000 65.030.000 900.000 65.930.000

4 800 801 30/08/2010 20.000 130.620.000 1.800.000 132.420.000

5 1161 1162 29/11/2010 15.000 102.540.000 1.350.000 103.890.000

70.000 465.857.895 6.300.000 472.157.895

Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Page 37: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Tabel 2. Pembelian Solar Tahun 2011 Berdasarkan Tanda Terima Voucer.

No

Urut

No.

Voucer

No. Voucer

Ongkos

Angkut

Tanggal

Voucer

Jumlah

Liter

Harga Beli Ongkos

Angkut

Jumlah

Pembayaran

1 2 3 4 5 6 7 8 = 6+7

1 69 70 1/2/2011 15.000 119.685.000 1.350.000 121.035.000

2 217 218 16/3/2011 15.000 128.385.000 1.350.000 129.735.000

3 424 425 30/05/2011 15.000 146.730.000 1.350.000 148.080.000

4 592 593 19/07/2011 10.000 89.200.000 900.000 90.100.000

5 763 764 24/08/2011 10.000 89.930.000 900.000 89.830.000

6 943 944 28/10/2011 12.000 107.232.000 1.080.000 108.312.000

7 957 958 1/11/2011 43.000 384.248.000 3.870.000 388.118.000

8 1179 1180 23/12/2011 10.000 80.600.000 900.000 81.500.000

130.000 1.145.010.000 11.700.000 1.156.710.000

Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Total pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 yaitu Rp 472.157.895 + Rp

1.156.710.000 = Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar enam ratus dua puluh delapan juta

delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus Sembilan puluh lima rupiah). Padahal

terdakwa dalam melakukan pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 sebanyak 200.000

liter tersebut menggunakan harga subsidi sebesar Rp 1.020.000.000,00 (satu milyar dua

puluh juta rupiah) bukan dengan harga industri sebesar Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar

enam ratus dua puluh delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus

Sembilan puluh lima rupiah).

Bahwa terdakwa disamping telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan

melakukan pembelian solar yang seharusnya menggunakan harga industri tetapi

menggunakan harga subsidi, juga tidak diperbolehkan melakukan pembelian di SPBU

Lempasing sesuai Peraturan Presiden RI No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga Jual eceran bahan bakar minyak

dalam negeri, lampiran II terkait Penetapan Titik serah dan tata cara pembayaran BBM.

Titik serah (custody transfer point) bensin, premium dan minyak solar (gas oil) untuk

industri, pertambangan, pembangkit listrik dan konsumen lainnya dilakukan melalui

terminal transit/instalasi/depot. Mengingat PDAM Way RILAU Kota Bandar Lampung

termasuk kedalam Rumah tangga produksi sehingga pembelian solar harus dilakukan di

pertamina atau perusahaan yang ditunjuk bukan SPBU.

Bahwa perbuatan terdakwa yang dilakukan secara melawan hukum tersebut di atas

telah memperkaya diri terdakwa dari hasil selisih harga pembayaran solar sebesar Rp.

608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan

ratus sembilan lima rupiah) yang antara lain uang tersebut dipergunakan oleh terdakwa

untuk kepentingan pribadi.

Akibat perbuatan terdakwa tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp.

608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan

ratus sembilan lima rupiah) sesuai dengan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian

Page 38: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Keuangan Negara oleh BPKP Propinsi Lampung Nomor : SR-2591/PW08/5/2012

tanggal 24 Agustus 2012 atau sekitar jumlah tersebut.

Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tersebut, Penyidik dari Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung melakukan penyidikan dengan memeriksa saksi dan ahli sebanyak 15

orang dengan kesimpulan bahwa tersangka telah memenuhi unsur melakukan tindak

pidana korupsi sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 jo Pasal 18

Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undang-

undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 64 ayat

(1) KUHP.

2. Kasus Dugaan Korupsi Proyek Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun

2009 Di Kota Bandar Lampung

Dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009 ini

bermula dari laporan hasil audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan

Pembangunan Perwakilan (BPKP) Propinsi Lampung menemukan adanya

penyimpangan dalam pengerjaan Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009

sampai saat ini belum dapat diselesaikan.

B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Kejari Bandar Lampung Dalam Penanganan

Kasus Korupsi

Kejaksaan bukanlah sebuah lembaga yang menjalankan segala sesuatunya

tanpa hambatan dan permasalahan, seringkali pada praktiknya, permasalahan yang

dihadapi Kejaksaan dalam penanganan perkara, khususnya perkara – perkara tindak

pidana khusus terlalu komplek dan meluas, yang seringkali berdampak pada berlarut

– larutnya penangan kasus yang masuk ke tubuh Kejaksaan itu sendiri. Permasalahan

– permasalahan tersebut tidak hanya timbul dari dalam instansi Kejaksaan sendiri,

akan tetapi seringkali permasalahan – permasalahan dan hambatan – hambatan dalam

penanganan perkara juga timbul dari luar instansi Kejaksaan dalam hubungannya

dengan kerjasama antar instansi pemerintah lainnya.

Penanganan kasus dugaan korupsi Proyek pembangunan jalan lintas timur,

yang dilakukan penyidik Kejati Lampung, termasuk pada golongan kasus yang

penanganannya lambat,karena untuk menyelesaikan penyidikan kasus tersebut,

penyidik dari Kejaksaan Tinggi Lampung memerlukan waktu hingga sekitar 3 tahun,

waktu yang tidak sebentar yang berkesan berlarut-larut.

Dalam perjalanan penanganan kasus tersebut, ternyata Kejaksaan Tinggi

Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya

penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor

internal yang ada di dalam Kejaksaan itu sendiri maupun faktor eksternal:

1. Faktor Internal

a. Kemampuan penyidik yang tidak memahami bagaimana cara menangani kasus

Tindak Pidana Korupsi yang tepat dan tuntas;

b. Adanya mutasi Penyidik yang menangani perkara tersebut;

c. Kesibukan penyidik dalam menangani perkara lain, yang pada saat itu, penyidik

yang sama juga bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum dalam perkara

tindak pidana umum;

d. Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak

terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam

menyelesaikan berkas perkara.

Page 39: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pada dasarnya penahanan tersangka pada proses penyidikan berpengaruh besar

pada terselesaikannya penyidikan kasus yang sedang ditangani, karena dengan

adanya penahanan tersebut, penyidik terikat untuk segera melesaikan berkas

perkara sebelum masa penahanan berakhir. Jika masa penahanan sudah habis

dan berkas penyidikan belum selesai, maka jaksa penyidik tersebut akan

dikenakan sanksi administrasi seperti dipindah tugaskan ke daerah lain ataupun

sanksi administrasi lainnya, akan tetapi bukan berarti seluruh tersangka yang

sedang dilakukan penyidikan harus ditahan, karena penyidik juga dibatasi oleh

unsur objektif dan subjektif penahanan yang harus dipenuhi sesuai peraturan

perundang – undangan yang berlaku agar penyidik tidak dinilai sewenang –

wenang dalam menjalankan tugasnya.

Perbedaan penyelesaian penyidikan yang berkaitan dengan penahanan tersangka

ini akan terlihat pada perbandingan kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan

Jalan Lintas Timur ini dengan kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar.

Pada kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar ini, tersangka Haris

Munandar ditahan oleh penyidik selama 20 hari dengan perpanjangan selama 40

hari, dan penyelesaian berkas perkara pun tepat pada saat masa penahanan

tersangka tersebut selesai.

2. Faktor Eksternal:

a. Masih ketergantungan instansi lain dalam menentukan perhitungan kerugian

Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas

Pembangunan (BPKP).

b. Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik

memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui

keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap

anggota DPRRI / DPDRI dan DPRD.

Ijin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat

penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat.

C. Upaya Percepatan Proses Penyidikan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Oleh Kejari Bandar Lampung

Upaya untuk memecahkan persoalan hukum atau penyelesaian hukum yang

berkaitan dengan korupsi antara lain adalah:

1. Berdasarkan sisi struktur yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-

organ yang menyelenggarakan sehingga dapat meminimalisasikan terjadinya

korupsi.

2. Substansi yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan

dan ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam

sistem hukum tersebut.

3. Budaya hukum, yaitu merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana

masyarakat menganggap ketentuan sebagai aturan hukum, sehingga masyarakat

akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Persoalan

hukum adalah budaya hukum yang berkaitan erat dengan etika dan moral

masyarakat dan pejabat penegak hukum dalam menyikapi korupsi.

Page 40: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

4. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara

tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas dan

auditor Swasta.

5. Perlu dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik di setiap Kejaksaan Negeri untuk

menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi

Penanganan perkara korupsi berbeda dengan penanganan perkara pidana

biasa, hal ini dikarenakan tindak perkara korupsi memiliki dimensi perekonomian,

oleh karena itu proses perkara korupsi tidak saja ditujukan untuk menghukum

pelakunya, tetapi yang paling penting justru mengembalikan kerugian negara akibat

korupsi tersebut, walaupun pengembalian keuangan negara merupakan bentuk

penghukuman tambahan juga. Dengan demikian penindakan korupsi yang diawali

dengan penyelidikan, penyidikan harus sedini mungkin melakukan identifikasi dan

pencarian aset tersangka, guna dilakukan penyitaan dalam upaya untuk mendapat

jaminan dikembalikannya kerugian negara. Kejaksaan sebagai sentral penegakan

hukum yang diberikan kewenangan penyidikan, penuntutan atau eksekusi atas tindak

pidana korupsi, telah diperintahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004

Tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Inpres tersebut

diinstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung, untuk:

1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.

2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang

yang dilakukan oleh Jaksa (penuntut umum) dalam rangka penegakan hukum.

3. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain

dengan BPKP, PPATK dan Institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan

hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Untuk mencapai kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan rencana

tindak (action plan) dalam memberantas korupsi, selanjutnya Inpres tersebut

ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK)

tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, khususnya dalam bidang penindakan.

Dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi

Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun tidak secara tegas bagaimana upaya

upaya mengoptimalkan tersebut, mengingat tidak ada satupun aturan sebagai payung

hukum untuk melakukan terobosan hukum guna mempercepat proses Penyidikan

maupun Penuntutan dalam mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana

korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2004

tersebut.

Meskipun Inpres No.5 tahun 2004 telah diberikan secara khusus kepada Jaksa

Agung tetapi kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan Inpres tersebut

masih sangat tinggi, mengingat masih adanya beberapa peraturan dalam tahap

Penyidikan masih terlebih dahulu harus ada ijin dari instansi lain seperti untuk

memeriksa Simpanan tersangka harus ada ijin dari Gubernur Bank Indonesia,

demikian juga untuk memeriksa anggota Dewan baik ditingkat Kabupaten/Kota,

Propinsi maupun Pusat harus memerlukan ijin terlebih dahulu. Belum halnya dalam

hal melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara harus memerlukan

Page 41: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

perhgitungan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa

Keuangan dan Pembangunan.

Untuk mengoptimalkan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi

dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan.

Dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak diatur

dalam suatu peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai

dilaksanakan, namun sebaiknya dapat dilakukan secara cepat dengan mengacu

kepada Azas yang mengatur perlindungan terhadap seluruh harkat dan martabat

manusia yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana antara lain yaitu harus

dilakukan dengan Cepat, Sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur. Namun

sebaiknya didalam penyelesaian dapat mengacu kepada waktu penahanan

tersangka dalam tahap Penyidikan harus sudah dapat diselesaikan paling lambat

selama 120 (seratus dua puluh) hari sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24

KUHAPdan Pasal 29 KUHAP.

2. Tersangka Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan Penahanan.

Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara

tindak pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan, karena

dengan dilakukan penahanan terhadap tersangka maka Penyidik terikat dengan

batas waktu Penahanan seperti yang tercantum didalam pasal 24 dan 29 KUHAP

selama paling lama 120 (seratus dua puluh hari) apabila tidak maka tersangka

akan lepas demi hukum dan konsekuensinya Penyidik akan mendapat sanksi

secara administratif dan akan mempengaruhi kariernya. Apabila dalam proses

Penyidikan tersangka tidak dilakukan penahanan maka Penyidik secara moral

tidak di batasi waktu, sehingga penyelesaiannya akan berlarut-larut.

3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara.

Salah satu unsur dalam perkara tindak pidana korupsi adalah “Merugikan

Keuangan Negara“ maka untuk dapat menentukan apakah perbuatan tersebut

merugikan keuangan negara atau tidak masih tergantung instansi lain yaitu dari

hasil Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pelaksanaan dari hasil audit BPK maupun

BPKP tersebut memerlukan waktu yang lama sehingga sangat mempengaruhi

penyelesaian penanganan tindak pidana koropsi dalam tahap penyidikan.

Disisi lain untuk mempercepat penanganannya Penyidik melakukan penghitungan

sendiri jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersebut, hal tersebut

dilakukan karena dianggap perkara tersebut mudah pembuktiannya dari segi

kerugian keuangan negara dan tidak perlu penghitungan dari Audit BPK maupun

BPKP, tetapi apabila ditinjau dari segi pembuktian maka dapat mengurangi satu

alat Bukti dalam pembuktian di persidangan yaitu alat bukti beryupa AHLI karena

penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh Penyidik tidak termasuk alat

bukti keterangan Ahli. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan upaya penyidikan

perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Inpres No.5 tahun 2004 tersebut

sangat diperlukan koordinasi antara penyidik dengan Auditor dalam hal ini BPK

maupun BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan atau dengan

melakukan suatu terobosan birokrasi dengan membuat satuan tugas yg merupakan

satu atap.

Page 42: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

4. Kesulitan pencarian alat Bukti.

Pencarian alat bukti berupa Surat maupun Petunjuk berupa Dukumen sebagai

Barang Bukti sering terdapat kendala mengingat Subyek Hukum “setiap orang“

dalam perkara tidak pidana korupsi adalah orang yang mempunyai pengaruh atau

Jabatan dan orang intelektual sehingga bagaimanapun orang yang disangka

melakukan perbuatan tersebut berusaha untuk menghilangkan barang bukti atau

menggagalkan penyidik untuk mendapatkan Barang bukti yg ada hunbungannya

dengan tindak pidana korupsi. Untuk menyikapi hal tersebut penyidik dalam

pencarian alat bukti agar bergerak lebih cepat dengan koordinasi dengan instansi

yang terkait dengan dokumen yang diperlukan.

III. Simpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya, penulis

mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Penanganan kasus dugaan korupsi yang dilakukan penyidik Kejaksaan Negeri

Bandar Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya

penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor

internal maupun faktor eksternal sebagai berikut:

a. Faktor Internal:

1) Kemampuan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang tidak

memahami bagaimana cara menangani kasus Tindak Pidana Korupsi yang tepat

dan tuntas.

2) Adanya mutasi Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang

menangani perkara tersebut.

3) Kesibukan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam menangani

perkara lain, yang pada saat itu, penyidik yang sama juga bertindak sebagai

penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum.

4) Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak

terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam

menyelesaikan berkas perkara.

b. Faktor Eksternal:

1) Masih ketergantungan terhadap instansi lain dalam menentukan perhitungan

kerugian Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas

Pembangunan (BPKP).

2) Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik

memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui

keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap

anggota DPRRI/DPDRI dan DPRD.

3) Izin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat

penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan

cepat.

2. Upaya untuk memecahkan persoalan hukum yang berkaitan dengan percepatan

penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dapat

dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Page 43: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif

sebagai landasan untuk mempercepat penyidikan tindak pidana korupsi tersebut

perlu diperkuat didalam sistem hukum di Indonesia.

b. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara

tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas atau

auditor swasta.

c. Perlunya dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar

Lampung untuk menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi.

d. Perlunya Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan,

karena dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak

diatur dalam peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai

dilaksanakan.

e. Melakukan Penahanan Terhadap Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Salah satu

langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara tindak

pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan.

Dalam pencarian alat bukti, penyidik harus bergerak lebih cepat dan berkoordinasi

dengan instansi yang terkait dengan dokumen yang diperlukan.

Daftar Pustaka

Buku

Alam, Wawan Tunggul. 2004. Memahami Profesi Hukum. Milenia Populer: Jakarta.

Anwary. 2005. Quo Vadis Pemberantasan Korupsi. Amra: Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di

Indonesia. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

dan HAM RI: Jakarta.

----------. 2010. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama: Bandung.

Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

----------. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta.

Hartanti, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta.

Hasibuan, H. P. Malayu. 2001. Manajeman: Dasar Pengertian dan Masalah. Bumi

Aksara: Jakarta.

K, Soekarno. 1968. Dasar – Dasar Management. Miswar: Jakarta.

Krisnawati, Dani, et all. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Pena: Jakarta.

Lopa, Baharudin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Kompas: Jakarta.

Marpaung, Leden. 2004. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan.

Djambatan: Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum. Liberty: Yogyakarta

Moelyatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana edisi Revisi. Rineka cipta: Jakarta.

Moeljatno, L.1982. Kriminologi. Bina Aksara: Jakarta.

Rachman, T.A. Doktrin Kejaksaan. Buku Pedoman Pendidikan Pembentukan Jaksa.

Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Sarwoto. 1981. Dasar – Dasar Organisasi dan Manajemen. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Siagian. 1970. Filsafat Administrasi. Gunung Agung: Jakarta.

Sujamto. 1986. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Page 44: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen, Raja

Grafindo: Jakarta.

Makalah

Chanifuddin. “ Lemahnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Karya Tulis Diklat

Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jakarta.

Hiariej, Eddy O.S. 2008. Nuansa “korupsi” Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006,

dalam buku Menyelamatkan Uang Rakyat (Kajian Akademik Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006). Pukat Korupsi FH UGM: Yogyakarta.

Internet

Adhani, Rachmat. “Survey Internasional: Indonesia Masih Paling Korup”. Global Future

Institude. www.theglobal-review.com. 18 November 2010.

Alamsyah, Holid. “Kejahatan dan Pelanggaran dalam KUHP”. Blogspot. www. Holid-

emkaen.blogspot.com. 10 Desember 2011.

Nusantaraku. “Memalukan.. Indonesia Negara Terkorup Asia Tenggara”. Nusantara

News. www. nusantaranews.wordpress.com. 18 November 2010.

Saleh, Abdul Rahman. “Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan

Nasional”. Komisi Hukum Nasional. www. Komisihukum.go.id. 14 Januari 2011.

Page 45: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Kabupaten/Kota

Sebagai Bentuk Penegakan Hukum Preventif oleh Pemerintah

__________________________________________________________________

Nurmayani

A. Pendahuluan

Penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi

atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten

dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk

menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan

kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan

kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan

pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan

demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada

Undang-Undang.27

Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan

yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan

dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan

pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi

tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk

membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang

dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam

jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada

Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat

membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi. Dalam

kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan

secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada

Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang

telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena

Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar

ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah

dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu

dari Pemerintah.28

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah telah mengantisipasi tidak efektifnya pengawasan perda tersebut. Berdasarkan

27 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 28 Ibid.

Page 46: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pasal 159 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat dikenai sanksi berupa

penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau

restitusi jika tidak menaati mekanisme pengawasan perda pajak daerah yang telah

diatur dalam UU No 28 Tahun 2009.

Pengawasan terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh

pemerintah daerah pada dasarnya merupakan bentuk dari penegakan hukum yang

sifatnya preventif dalam penaatan peraturan perundang-undangan dibidang pajak

daerah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, akan dibahas lebih

lanjut mengenai pengawasan dan pembatalan perda mengenai pajak daerah sebagai

bentuk penegakan hukum preventif yang dilakukan pemerintah.

B. Pengaturan Pajak Daerah Dalam Peraturan Daerah

Menurut P.J.A Adriani, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk,

dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum

berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,29 sedangkan

menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan

undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal

(kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat

dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan

menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan;

terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti

halnya dengan retribusi.30

Mardiasmo memberikan definisi pajak beserta persyaratan pemungutannya.

Pajak merupakan iuran masyarakat yang sifatnya dipaksakan, maka agar dalam

pemungutannya tidak mengalami hambatan atau perlawanan dari masyarakat maka

harus memenuhi syarat sebagai berikut:31

1. Pemungutan pajak harus adil.

2. Pemungutan pajak harus bersarkan hukum.

3. Pemungutan pajak harus tidak mengganggu perekonomian.

4. Pemungutan pajak harus efisien.

5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pajak

terbagi menjadi pajak yang di pungut oleh pemerintah dan pajak yang dipungut oleh

29 R. Santoso Brotodihardjo, SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama, Bandung. Cet

Pertama Edisi Keempat, 2003, hlm 2. 30 Ibid, Santoso Brotodihardjo, hlm 6. 31 Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003. hlm 21.

Page 47: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pemerintah daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah,

pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni:

1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi.

2. Pajak Daerah yang dipungut oleh kabupaten /kota.

Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang didefinisikan Pasal 1 angka

10 UU No. 28 Tahun 2002. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh

orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang

dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan

daerah.

Secara lebih spesifik perpajakan daerah diartikan oleh K. J. Davey, yaitu:32

1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintahan Daerah dengan pengaturan dari daerah

sendiri.

2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya

dlakukan oleh Pemerintahan Daerah.

3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.

4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil

pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan

tambahan (opsen) oleh Pemerintahan Daerah.

Berdasarkan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009, dibedakan jenis pajak daerah

yang dipungut oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pembedaan itu adalah sebagai

berikut:

1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan; dan

e. Pajak Rokok.

2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

32 Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1988, hlm 39.

Page 48: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan

k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan

peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh

pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah

daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di

daerah.33 Pemungutan pajak daerah terhadap masyarakat wajib memiliki dasar hukum

yang kuat berupa peraturan daerah.

Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan34 yang ada di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 12 Tahun 2011

merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011,

hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia yaitu:35

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala

Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam:36

a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun

1945 yang isinya: “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan

Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan”.

33 Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005, hlm

10. 34 Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. 35 Ibid, Pasal 7 Ayat (1). 36 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, 2011,

hlm 12.

Page 49: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang

masing-masing ketentuannya sebagai berikut:

1) Pasal 25 huruf c: ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang

menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

2) Pasal 42 ayat (1) huruf a: ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang

membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk

mendapatkan persetujuan bersama”.

3) Pasal 136 ayat (1): ”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Pajak daerah wajib diatur dengan peraturan daerah agar memperoleh legitimasi

hukum dalam pemungutannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UU No. 28

Tahun 2009 yang menegaskan bahwa pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan

tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan

mengenai:

1. nama, objek, dan Subjek Pajak;

2. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

3. wilayah pemungutan;

4. masa Pajak;

5. penetapan;

6. tata cara pembayaran dan penagihan;

7. kedaluwarsa;

8. sanksi administratif; dan

9. tanggal mulai berlakunya.

Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:

1. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas

pokok pajak dan/atau sanksinya;

2. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

3. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan

pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan

kelaziman internasional.

C. Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Sebagai Bentuk

Penegakan Hukum Preventif Yang Dilakukan Pemerintah

Secara substantif, pembentukan perda pajak daerah dan retribusi daerah tidak

lepas dari aspek pengawasan. Pengawasan (toezicht, supervision) Perda merupakan

unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan otonomi. Antara kebebasan dan

kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain, merupakan dua

hal yang tidak dapat dipisahkan dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi

(desentralisasi). Pengawasan ini merupakan kendali terhadap desentralisasi yang

berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa pengawasan. Selain itu pengawasan adalah

Page 50: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri, bukan hubungan

internal dari intitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata

menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya

dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang.

Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan

atau berdasarkan undang-undang.37

Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonom yaitu

pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief

toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu

organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang

mengesahkan (goedkeuring), sedangkan pengawasan represif adalah wewenang

pembatalan (vernietiging) atau penangguhan (schorsing).38 Konteks pengawasan

kaitannya dengan perda pajak daerah juga terbagi menjadi preventif dan represif.

Pengawasan yang sifatnya preventif berkenaan dengan pengawasan rancangan

peraturan daerah tentang pajak daerah, sedangkan pengawasan yang sifatnya represif

berkaitan dengan pengawasan peraturan daerah mengenai pajak daerah setelah

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan berlaku bagi masyarakat.

Pengawasan terhadap perda pajak yang telah berlaku oleh pemerintah

merupakan bentuk penegakan hukum yang bersifat preventif. Menurut Jimly,39

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu

menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam

pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum

(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen

budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang

tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance)

aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga,

kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun

kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap,

keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam

perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang

disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak

hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang

37 Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU Otonomi Daerah,

2005, hlm 28. 38 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII.

Jogjakarta. 2001. 39 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1.

Page 51: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

menjadi objek kajian peneliti.40 Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan

hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu

sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan

ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya

sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 41

Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam

upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian

sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan.42

Upaya pemenuhan peraturan dan pemberian sanksi tersebut pada dasarnya merupakan

esensi dari penegakan hukum. Upaya preventif dalam rangka pemenuhan peraturan

dapat dilakukan melalui pengawasan dan pembinaan oleh pejabat administrasi negara

(aspek hukum administrasi), sedangkan upaya represif dilakukan melalui pemberian

sanksi atau jalur pengadilan. Pada pengawasan pajak daerah, pemerintah melakukan

penegakan hukum yang sifatnya preventif untuk pemenuhan peraturan, dalam hal ini

ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pajak daerah.

Pengaturan pengawasan terhadap perda pajak daerah diatur dalam UU No. 28

Tahun 2009. Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu

preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda

pajak daerah yang mekanismenya diatur dalam Pasal 157 UU No. 28 Tahun 2009

yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan

Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai

dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda.

Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam

bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mekanismenya diatur dalam

diatur dalam Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009. Baik pengawasan terhadap perda

yang sifatnya preventif maupun represif merupakan bentuk dari penegakan hukum

preventif sepanjang tidak berlanjut ke badan peradilan.

Pengawasan represif terhadap Perda pajak daerah kabupaten/kota (dapat dilihat

pada ragaan 1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:43

1. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada

Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja

setelah ditetapkan.

40 Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7.

Dalam Turiman Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah,

hlm 2. 41 Ibid, hlm 1. 42 Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila,

2011, hlm 34. 43 Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Page 52: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

2. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan

merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden

melalui Menteri Dalam Negeri.

3. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri

Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal

diterimanya Peraturan Daerah.

4. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan,

Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah

dimaksud kepada Presiden.

5. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden

paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah.44

6. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah

harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD

bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud.

7. Prosedur lanjutan dari ragaan di atas, jika kabupaten/kota tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat

mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan

Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Ragaan 1. Mekanisme Pengawasan Represif Terhadap Perda Pajak Daerah

Kabupaten/Kota Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009.

44 Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan

Daerah dimaksud dinyatakan berlaku, Ibid.

Bupati/Walikota

Perda Pajak

Mendagri Menkeu

Presiden

Dibatalkan

Diterima

Perpres

Page 53: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

8. Dari mekanisme pembentukan dan pengawasan represif terhadap perda pajak

daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat sanksi berupa penundaan atau

pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi

terhadap daerah,45 apabila daerah melanggar ketentuan sebagai berikut:

a. Tidak menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang

Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan

DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan, kepada gubernur dan Menteri

Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.

b. Tidak menyampaikan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh

bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri

Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan.

c. Tidak memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah PDRD paling lama 7

(tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan perda PDRD dikeluarkan dan

selanjutnya tidak mencabut perda dimaksud.

D. Penutup

Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu preventif

dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda pajak daerah

yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan

Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai

dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan

perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda.

Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam

bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan dan pembatalan

terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang diatur dalam UU No. 28 Tahun

2009 merupakan bentuk penegakan hukum preventif oleh pemerintah sepanjang tidak

berlanjut ke badan peradilan, karena jika pemerintah daerah menggunakan haknya

untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas peraturan presiden yang

menetapkan pembatalan perda maka hal itu masuk kedalam penegakan hukum yang

sifatnya represif.

E. Daftar Pustaka

Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis,

Penerbit Unila, 2011.

Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas

Hukum UII. Jogjakarta. 2001.

Brotodihardjo, R. Santoso SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama,

Bandung. Cet Pertama Edisi Keempat, 2003.

Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

1988.

Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan

Daerah, 2011.

45 Ibid, Pasal 159.

Page 54: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.

1977.

Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003.

Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta. 2005.

Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan,

Makalah.

Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU

Otonomi Daerah, 2005.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Page 55: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Mendirikan Bangunan Gedung

Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum

__________________________________________________________________

Upik Hamidah

A. Pendahuluan

Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya,

mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan

produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan

gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta

penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang

fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan

lingkungannya.46

Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh

karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan

penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin

kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap

bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan

gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.47

Setiap orang mendambakan bangunan gedung sebagai tempat tinggal/tempat

usaha yang aman, tidak terganggu atau rusak oleh oleh peristiwa alam seperti banjir,

gempa bumi, bahaya kebakaran, sehat dan nyaman untuk dihuni serta memenuhi

fungsi sebagai tempat kegiatan. Demikian juga mempunyai hak

kepemilikan/penggunaan yang sah dari aspek kepastian hukumnya. Dimana bangunan

gedung merupakan bagian dari lingkungan maka diharapkan keberadaannya tidak

merusak lingkungannya, lokasinya sesuai dengan tata ruang yang ditetapkan, tertib,

teratur serta memberikan kontribusi keindahan dan harmonis terhadap lingkungannya.

Untuk mendukung pemenuhan fungsi bangunan gedung tersebut, pendirian bangunan

gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:

a. persyaratan status hak atas tanah,

b. status kepemilikan bangunan gedung, dan

c. izin mendirikan bangunan.

Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi:

46 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 47 Ibid.

Page 56: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

a. persyaratan tata bangunan, dan

b. persyaratan keandalan bangunan gedung.

Penetapan status hak atas tanah sebagai persyaratan administratif dalam

pendirian bangunan gedung merupakan sebuah upaya penegakan hukum yang bersifat

preventif dan bertujuan penting untuk mencegah timbulnya persoalan hukum

dikemudian hari setelah bangunan gedung tersebut didirikan. Status hak atas tanah

yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan

tanah merupakan bentuk kepastian hukum atas kepemilikan tanah yang akan

dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan gedung.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, akan dibahas lebih lanjut

mengenai Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung

Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum.

B. Hak Atas Tanah dan Bangunan Gedung

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan

serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk

berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang

untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau

tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum

tanah.48 Dengan adanya hak atas tanah maka pemilik hak atas tanah memiliki

wewenang yang sekaligus dibebani kewajiban dan/atau larangan dalam kepemilikan

tanah tersebut. Hak atas tanah tersebut diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960.

Konstruksi hukum tanah nasional mengenal ada bermacam-macam hak

penguasaan atas tanah yang dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hierarki

sebagai berikut:49

a. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA);

b. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA);

c. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya

masih ada (Pasal 3 UUPA);

d. Hak-hak Individual;

1) Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA):

a) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan

oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 16 UUPA);

b) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh

pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak

Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41 dan 55 UUPA).

2) Wakaf (Pasal 49 UUPA);

48 Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003, hlm 24. 49 Ibid, hlm 267.

Page 57: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

3) Hak Jaminan Atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).

Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan

hak atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas dapat menjadi pemenuhan

syarat dalam mendirikan bangunan gedung. Penjelasan macam-macam hak

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Hak Milik50

Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial.

Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak

Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan

hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Kata-

kata “terkuat dan terpenuh” mempunyai maksud untuk membedakannya

dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya yaitu

untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki,

hak miliklah yang terkuat dan terpenuh.

b. Hak Guna Usaha51

Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan

pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak guna usaha diberikan untuk jangka

waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang

hak dengan mengingat keadaan perusahaannya.

c. Hak Guna Bangunan52

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan

atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Hak

Guna Bangunan diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat

diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan

50 Berasal dari bahasa Belanda Eigendom recht yang berarti hak atas benda, untuk menikmati benda itu

secara bebas dan menguasainya secara mutlak. Hak milik dibatasi oleh Undang-undang dan hak

kebendaan orang lain. Algra et all, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia,

Binacipta, Bandung, 1983, hlm 114. 51 Berasal dari bahasa Belanda Erfpacht yang berarti hak kebendaan untuk selama waktu yang ditentukan

atau yang tidak ditentukan menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik

orang lain dengan kewajiban akan membayar sewa tahunan, bunga hak usaha baik berupa uang maupun

berupa hasil atau pendapatan. Ibid, hlm 122. 52 Berasal dari bahasa Belanda Opstal yang berarti hak kebendaan untuk mengerjakan atau mempunyai

gedung, bangunan atau tanaman di atas pekarangan orang lain, biasanya dengan pembayaran tahunan.

Ibid, hlm 369.

Page 58: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan

bangunannya.

d. Hak Pakai

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari

tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang

memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian

sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur

dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.

e. Hak Sewa

Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah

milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai

sewanya.

f. Hak Gadai Tanah

Hak gadai tanah adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah

uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai

hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang

besarnya sama.

g. Hak Usaha Bagi Hasil

Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk

menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa

hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah

disetujui sebelumnya.

h. Hak Sewa Tanah Pertanian

Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang

lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian

bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu

tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya.

i. Hak Menumpang

Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain.

Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada pemilik

tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya

sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika yang bersangkutan

memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya

terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian.

Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan hak

atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas berfungsi sebagai persyaratan dalam

mendirikan bangunan gedung. Artinya, dalam mendirikan bangunan gedung,

Page 59: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

seseorang harus dapat membuktikan kepemilikan tanah yang akan menjadi lokasi

didirikannya bangunan gedung adalah miliknya atau yang bersangkutan telah

mendapat izin pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah yang sah berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Bangunan gedung menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002 adalah

wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,

sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan/atau air, yang

berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau

tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun

kegiatan khusus lainnya.

Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan

budaya, serta fungsi khusus. Penjelasan dari masing-masing fungsi tersebut

berdasarkan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:

a. Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal,

rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara.

b. Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan

kelenteng.

c. Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran,

perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan

penyimpanan.

d. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk

pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan

umum.

e. Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir,

instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh

menteri.

Bangunan gedung harus diselenggarakan dengan berlandaskan pada asas

kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan

lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan

gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta

sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang

berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan

dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan

bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan

pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di

sekitarnya, di samping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan

dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan

tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan

gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan

bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung

Page 60: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan lingkungan di sekitarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Penjelasan

Umum UU No. 28 Tahun 2002.

C. Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung

Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa UU No. 28 Tahun 2002

mensyaratkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan

administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung.

Berdasarkan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002, setiap pendirian bangunan gedung harus

memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: 53

a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah,

b. status kepemilikan bangunan gedung, dan

c. izin mendirikan bangunan gedung, sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Penjelasan dari ketentuan di atas adalah sebagai berikut:54

a. Hak atas tanah adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk

sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik,

hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan, dan hak

pakai. Status kepemilikan atas tanah dapat berupa sertifikat, girik, pethuk, akte

jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Izin pemanfaatan pada prinsipnya

merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara

pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.

b. Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan

bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil

kegiatan pendataan bangunan gedung. Dalam hal terdapat pengalihan hak

kepemilikan bangunan gedung, pemilik yang baru wajib memenuhi ketentuan

yang diatur dalam undang-undang ini.

c. Izin mendirikan bangunan (IMB) adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah

bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang

telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah

disetujui oleh Pemerintah Daerah.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa tanah yang dapat didirikan

bangunan gedung adalah yang dilandasi alas hak sebagai berikut:

a. hak milik,

b. hak guna bangunan (HGB),

c. hak guna usaha (HGU),

d. hak pengelolaan, dan

e. hak pakai.

53 Persyaratan ini diatur juga dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 54 Penjelasan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002.

Page 61: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Hak-hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah yang berupa

sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Bangunan

gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada prinsipnya

merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang

hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.

Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan

bangunan gedung pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya penegakan

hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan hukum

dikemudian hari.55 Jimly berpendapat bahwa,56 Penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara

nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh

subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh

subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum

itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang

menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya

itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum

tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan

sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan,

aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.57

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu

dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas

dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan

yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya

menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,

penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam

menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula

digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.58

Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai

keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri

55 Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam upaya pemenuhan peraturan

(compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi

perbuatan melanggar peraturan. Lihat Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif

Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011, hlm 34. 56 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1. 57 Ibid. 58 Ibid.

Page 62: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau

dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang

berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna

pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan

mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu,

digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’

dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara

hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah

‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang

menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.59

Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk

mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan

hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan

pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.

Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut

menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada

gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para

pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat

dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus

dijalankan itu dibuat. 60 Kaitannya dengan pendirian bangunan gedung, pembentuk

UU No. 28 Tahun 2002 menginginkan bangunan gedung dapat diselenggarakan

dengan baik sesuai dengan syarat administratif dan teknisnya agar dapat memberikan

kepastian, kenyamanan, keselamatan sesuai dengan fungsinya.

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi

oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua,

faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses

pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.

Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.

Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang

merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,

cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.61

Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh

dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses.

Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, terdapat tiga unsur utama yang terlibat dalam

59 Ibid. 60 Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hlm. 24-25. Dalam Turiman

Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah, hlm 3. 61 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto,

1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm.: 4-5.

Page 63: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga

legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Ketiga, unsur

lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.62 Penegakan hukum

preventif berupa ketentuan persyaratan hak atas tanah dalam mendirikan bangunan

gedung juga dapat terpengaruh oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan tersebut,

apabila dalam pelaksanaanya aparat hukum (pemda) dan/atau masyarakat melakukan

pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.

D. Penutup

Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan

bangunan gedung sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 pada dasarnya

merupakan salah satu bentuk upaya penegakan hukum preventif yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya persoalan hukum dikemudian hari. Tidak semua alas hak atas

tanah dapat dijadikan dasar dalam mendirikan bangunan gedung, hanya tanah yang

dilandasi alas hak tertentu sebagai berikut: hak milik, hak guna bangunan, hak guna

usaha, hak pengelolaan, dan hak pakai yang dapat didirikan bangunan gedung

diatasnya. Alas hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah

yang berupa sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan

lainnya. Bangunan gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada

prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara

pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung.

F. Daftar Pustaka

Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis,

Penerbit Unila, 2011.

Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003.

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983.

Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan,

Makalah.

Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4247.

62 Op cit, Satjipto Rahardjo, hlm 23.

Page 64: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4532.

Page 65: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Diversi dan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penanggulangan Delinkuensi Anak

Di Indonesia

________________________________________________________________________

Nikmah Rosidah

1. Latar Belakang

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Jumlah Anak Berhadapan

Hukum (ABH) sangat banyak di Indonesia. Data Ditjen Pemasyarakatan,

Kementerian Hukum dan HAM, menyebutkan, ada 78 ribu lebih anak laki-laki dan

perempuan yang tersebar menurut kasus dan wilayah propinsi. Umumnya terjadi di

wilayah dengan jumlah penduduk padat seperti Jawa dan Sumatera. Menurut Dirjen

Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM selama 2008 terdapat 4.301

narapidana dan tahanan anak, dengan rincian narapidana anak (2.282 anak) dan

tahanan anak (2.019 anak).63

Anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan dalam konstitusi

Indonesia bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh

dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab

itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi

kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan

kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak, bahwa anak perlu mendapat

perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus

globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah

membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh

terhadap nilai dan prilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan

melanggar hukum yang dilakukun oleh anak antara lain, disebabkan oleh faktor di

luar Anak tersebut. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan

Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child).

Perkembangan masyarakat yang bermula dari kehidupan agraris menuju

kehidupan industrial disertai gejala globalisasi, tampaknya berdampak terhadap

timbulnya gejala perilaku delinkuensi anak. Penyelesaian delinkuensi merupakan hal

yang rumit, berbeda bila tindak pidana yang sama dilakukan oleh orang dewasa

karena penegakan hukumnya tidak akan menimbulkan reaksi keras dari publik,

sepanjang dilaksanakan sesuai hukum acaranya.

Kurang lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap

tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka

tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan

demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak yang melakukan tindak

pidana dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun

2000 tercatat dalam statistik kriminal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

(Ditjenpas) terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak

pidana. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak didik daritahun ke tahun cenderung

bertambah. Pada tahun 2005 anak didik yang ditangani oleh Ditjenpas berjumlah

63 http://ditjenpas.go.id/pas2/article/article.php?id=152;

Page 66: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1.645 anak, pada tahun 2006 berjumlah 1.814 anak, padatahun 2007 berjumlah

2.149 anak, pada tahun 2008 berjumlah 2.726 anak, pada tahun 2009 berjumlah

2.536 anak yang menjadi tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga

pemasyarakatan di seluruh Indonesia.64 Kemudian pada tahun 2008 di provinsi Jawa

Timur tercatat anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak

pidana) tersebar di seluruh Rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan untuk

orang dewasa sebanyak 2.026.65 Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak

anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di

tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan

mengalami tindak kekerasan.

Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan dipengadilan

khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta

pejabat khusus yang memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan,

proses mengadili dan pembinaan. Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan,

meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung

merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan

ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma

(cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief,66 bahwa hukum

perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana

(kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.

Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana dari Komite Hak Anak PBB,

angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (reconviction

rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia

pelaku. Reconviction rate yang tertinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu mencapai 50

(lima puluh) persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi pidana penjara

dari pada pidana bukan penjara, hal ini dikarenakan tingginya jumlah anak yang

dipenjara kerena kejahatan ringan, dicampurnya tahanan anak bersama orang dewasa

dan batas yang terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Anak sangatlah rendah 8

(delapan) tahun, karena itu harus dinaikkan agar lebih rasional menjadi 12 (dua

belas) tahun sesuai dengan Beijing Rules.67

Pada tanggal 30 Juli 2012 Presiden Republik Indonesia mensahkan Undang-

Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai

perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya

disingkat UU SPPA). UU SPPA tersebut memuat ketentuan mengenai diversi dan

restorative justice, dimana tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 (tujuh) tahun

bisa didiversi atau diselesaikan diluar proses peradilan pidana serta mewajibkan

pendekatan keadilan restoratif dimana melibatkan pelaku (Anak yang Berhadapan

64 http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id =34&Itemid =45>,

diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul 20.00wib; 65 http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul 10.00 wib; 66 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,

CV Ananta, Semarang, 1994 hal.20; 67 Lihat Pasal 1 angka (3). Ketentuan mengenai batas usia anak tersebut telah berganti yakni anak yang telah

mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana,

seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Page 67: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku dan pihak lain yang terkait

dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian masalah secara bersama-sama

tanpa mengedepankan pembalasan. Diversi juga wajib diupayakan disetiap proses

hukum oleh penegak hukum dengan dituangkan didalam kesepakatan diversi dan

pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum.

Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip nondiskriminasi

yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup,

kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan

terhadap anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena

itu diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses

penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu

pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau biasa disebut

ide diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan

permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan

terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang mendorong ide

diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu solusi yang

sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh

karenanya, penulis akan membahas ketentuan diversi dan restorative justice yang

dimuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah yakni:

Bagaimana ketentuan diversi dan keadilan restoratif sebagai upaya penanggulangan

delinkuensi anak di Indonesia ?

3. Pembahasan

a. Diversi dalam Penanganan Anak Delinkuen

Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan

perlu segera diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Terdapat dua kategori

perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni

status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak

yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang

melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut,

membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan criminal offences adalah perilaku

kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan

atau anak yang melakukan tindak pidana.

Menurut Sudarto dalam Paulus Hadi Suprapto, penanggulangan delinkuensi

anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal

sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak

operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non

penal.68 Lebih lanjut, menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau

jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan

stigma pada anak. Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan

dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian,

proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan

68 Paulus Hadisuprapto. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak

Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 4;

Page 68: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat

memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan

hukum. Menurut Santi Kusumaningrum, berhadapan dengan hukum dan sistem

peradilan memiliki konsekuensi merugikan bagi anak dan masyarakat, diantaranya

adalah: pengalaman kekerasan dan perlakuan salah selama proses peradilan (pelaku,

korban atau saksi), stigmatisasi dan kemungkinan mengulangi perbuatan kriminalnya

tersebut.69

Pemerintah telah memiliki beberapa instrumen hukum yang mengatur masalah

delinkuensi anak, diantaranya adalah Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diganti oleh

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan

Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

UU SPPA ini mengatur ketentuan tentang keadilan restoratif dan diversi yang

berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat

proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam

Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice, (Beijing Rule) Rule 11:

“Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently

redirection to community support services, is commonly practiced on a formal

and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the

negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for

example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention

would be the best response. This diversion at the out set and without referral to

alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the

case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the

school r other informal social control institutions have already reacted, or are

likely to react, in an appropriate and constructive manner”.70

Menurut UU SPPA, pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah

anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan

anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dalam hal

tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun

dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.71

Pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penerapan ketentuan diversi

merupakan penting untuk dilaksanakan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak

dapat lebih terjamin dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”,

karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat

ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Tujuan dari diversi yaitu;

a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

69 Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective

Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf 70 Paulus Hadisuprapto,2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang :

Bayumedia Publishing. Hal 208; 71 Lihat Pasal 1 angka (2) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012;

Page 69: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Namun sekali lagi diversi yang dapat dilakukan dalam kerangka UU SPPA

bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan

perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan

kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa

tanggung jawab kepada Anak. Oleh karena itu basis diversi dalam UU SPPA ini

bukanlah kepentingan terbaik bagi anak namun kesepakatan antara korban dan atau

keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Dan

kesepakatan diversi hanya bisa dilakukan jika perbuatan anak yang berkonflik dengan

hukum tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana.

Beberapa alasan dasar pemikiran tentang perlunya diversi bagi pelaku anak,

antara lain sebagai berikut: 72

a. membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas

mungkin;

b. memperbaiki luka-luka karena kejadia tersebut, kepada keluarga, korban dan

masyarakat;

c. kerjasama dengan pihak orangtua, pengasuh dan diberi nasehat hidup sehari-

hari;

d. melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan untuk

bertanggungjawab;

e. berusaha untuk mengumpulkan dana untuk restitusi kepada korban;

f. memberikan tanggungjaab anak atas perbuatannya, dan memberikan pelajaran

tentang kesempatan untuk mengamati akiba-akibat dan efek kasus tersebut;

g. memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan untuk menjaga agar

tetap bersih atas cacatan kejahatan;

h. mengurangi beban pada pengadilan dan lembaga penjara;

i. pengendalian kejahaan anak/remaja.

Tidak perlunya kesepakatan dengan korban pada diversi hanya bisa dilakukan

untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana

72 1. Help juvenils lern from their mistake through early intervention; 2. Repairs the harm caused to

familes, victims and community; 3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life; 4.

Equips and encourages juveniles to make responsible decisions; 5. Creates a mechanism to collect

restitution for victims; 6. Hold youth accountable for the opportunity to keep their record clean;7. Allows

eligible offenders the opportunity to keep their record clean; 8. Reduces burden on court sistem and jails;

9. Curbs juvenile crime http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017

Page 70: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat.73 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain:

a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

d. pelayanan masyarakat.

b. Keadilan Restoratif bagi Anak yang Berhadapan degan Hukum

Keadilan restoratif (restoratif justice) memiliki cara pandang yang berbeda

dalam menyikapi masalah delinkuensi anak. Menurut Fruin J.A., dalam Paulus

Hadisuprapto, peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau

reaksi terhadap pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan

keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah

bahwa diperolehnya keadilan, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan

seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara

memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.74

Menurut Tony F. Marshall restorative justice adalah : “ Restorative Justice is a

process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to

deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.” Keadilan

restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak

pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di

masa yang akan datang.75

Menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA pengertian mengenai Keadilan Restoratif

adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,

dan bukan pembalasan.76

Penanganan dalam hal anak yang bermasalah dengan hukum, konsep

pendekatan Restorative Justice System menjadi sangat penting karena menghormati

dan tidak melanggar hak anak. Restorative Justice System setidak-tidaknya bertujuan

untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak

dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang

melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap

belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan

perbuatannya di depan hukum, seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak-Hak

Anak pasal 40 ayat 3 huruf (a): 6 " Bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah

73 Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 yakni Kesepakatan Diversi harus mendapatkan

persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: (a) tindak pidana yang berupa pelanggaran; (b) tindak pidana ringan; (c) tindak pidana tanpa korban; atau (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

74 Paulus Hadisuprapto. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang:

Bayumedia Publishing. Hal 225; 75 Tony F. Marshall. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information &

Publications Group; 76 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

Page 71: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan

hak-hak asasi dan kaidahkaidah hukum tetap diharmonisasi sepenuhnya.”

Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya

dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin

menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan

dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan

pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara umum, prinsip-prinsip keadilan

restoratif adalah :

1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang

ditimbulkan oleh kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas

dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;

3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman

sebaya;

4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan

reaksi sosial yang formal. 77

Metode yang dipakai dalam restorative justice adalah musyawarah pemulihan

dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah

wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana

dengan pelaku anak tersebut terjadi.78 Dengan adanya dukungan dari lingkungan

setempat untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat

menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan

kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan

masyarakat. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini adalah

anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem peradilan anak

yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat.79 Apabila dilihat dari posisi

terdakwa dan korban, maka restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi

yang bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara keperdataan.80

Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebenarnya telah lama

dipraktekkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau

dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila

terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang

dilakukan anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal

tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan

77 Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk

Polisi. Jakarta. hal 357; 78 Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 bahwa: Proses Diversi dilakukan melalui

musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan

Restoratif. 79 Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective

Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf. 80Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum, Perum

Percetakan Negara RI, Jakarta. Hal 8;

Page 72: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan

keinsyafan dan pemaafan.

Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice

(Keadilan Restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang

menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan

anak yang bermasalah dengan hukum, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode

penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara

perdata kita sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan

sengketa perdata lebih dari seratus tahun lalu.81 Sifat dasar dari mediasi juga sama

dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi penal diharapkan

bisa diterima kalangan professional hukum dan masyarakat umum dengan baik dan

berjalan secara efektif. Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak

yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat/kriteria Restorative Justice dapat

dilakukan mediasi penal dengan cara pendekatan Restorative Justice di ruang mediasi

yang dihadiri pihak-pihak terkait (Pelaku/Orang Tua, Korban/Orang Tua, PK BAPAS,

Pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas

Masyarakat/RT/RW/Kepala Desa/Guru/ Tokoh Agama). Adapun syarat-syarat/kriteria

Restorative Justice sebagai berikut:

1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.

2. Persetujuan dari pihak korban/keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan

pelaku.

3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara

musyawarah dan mufakat.

4. Kwalifikasi tindak pidana ringan

5. Pelaku belum pernah dihukum.

Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari

proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya

merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan

cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang

diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian

masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan

restoratif (restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi

penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan

restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan

hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu aparat penegak

hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa sosialisasi tersebut maka

penerapan restorative justice menjadi sulit diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian

masalah anak yang berhadapan dengan hukum.

5. Kesimpulan

Dicantumkannya ketentuan mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

merupakan suatu pencerahan terhadap penanggulangan delinkuensi anak. Penerapan

ketentuan diversi dan keadilan restoratif ini adalah hal yang penting untuk

dipertimbangkan, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai

81 Lihat Pasal 130 HIR dan 154 RBg;

Page 73: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum sehingga menghindarkan

anak dari stigma sebagai “anak nakal”. Metode diversi dan restorative justice menjadi

solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak,

karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan

terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak, perlindungan anak dan

kesejahteraan anak.

6. Saran

Berdasarkan uraian pembahasan diversi dan keadilan restoratif dapat menjadi

salah satu upaya untuk penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum,

namun dalam pelaksanaannya perlu koordinasi dengan aparat penegak hukum,

keluarga, lingkungan sekolah maupun tokoh masyarakat disamping itu perlu adanya

sosialisasi terutama Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sisten Peradilan

Pidana Anak bagi penegak hukum agar pelaksanaan diversi dan keadilan restoratif

menjadi lebih efektif.

Daftar Pustaka

Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika

Hukum, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta;

F. Marshall, Tony. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office,

Information & Publications Group;

Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif :

Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponegoro;

----------, Paulus. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang

: Bayumedia Publishing;

Marlina, 2007, Peradilan Anak Di Indonesia, Pustaka Abadi, Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan

dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang;

Reksodiputro, Mardjono. 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat pada

Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato

Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada FH

UI, Jakarta;

Riyanto, Agus, 2006, Keadilan Untuk Anak Perlindungan Terhadap Anak yang

Berhadapan dengan Hukum Kompilasi Instrumen Internasional, UNICEF,

Jakarta.

Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual

Pelatihan untuk POLISI. Jakarta;

http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id

=34&Itemid =45>, diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul

20.00wib;

http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul

10.00 wib;

http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf.Santi Kusumaningrum. Keadilan

bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment;

http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017 ;

Page 74: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Page 75: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kriminalisasi di Luar KUHP dan

Implikasinya Terhadap

Hukum Acara Pidana

________________________________________________________________________

Maroni

I. Pendahuluan

Pengertian hukum acara pidana (HAP) adalah keseluruhan ketentuan hukum

pidana yang mengatur cara bagaimana aparat penegak hukum pidana menjalankan

fungsinya sehubungan adanya dugaan pelanggaran terhadap hukum pidana

materiil/substantif. Ketentuan tersebut mengatur mulai tahap penyelidikan dan

penyidikan, penuntutan, persidangan, sampai pelaksanaan dan pengawasan putusan

pengadilan.82 Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa betapa

pentingnya keberadaan HAP dan keterkaitannya dengan hukum pidana materiel.

Hukum pidana materiel tidak dapat ditegakkan tanpa adanya hukum pidana formil,

sebaliknya tidak ada artinya hukum pidana formil kalau tidak ada hukum pidana

materiel. Sedangkan adanya penentuan secara limitatif pelaksanaan penegakan hukum

pidana oleh penegak hukum atau pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan

hukum acara pidana tersebut, hal ini mengingat hukum acara pidana dimaksudkan

untuk kontrol para penegak hukum, bukan para pelaku tindak pidana, sebagaimana

pendapat Jerome H. Skolnick bahwa The substantive law of crimes is intended to

control the behavior of people who wilfully injure persons or property, or who engage

in behaviors eventually having such a consequence, as the use of narcotics. Criminal

procedure, by contrast is intended to control authorities, not criminals.83

Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau

setidak-tidaknya mendekati kebenaran material yaitu kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa

suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwa itu dapat

dipersalahkan.84

Berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana tersebut, Van Bemmelen

mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu: (1) mencari dan menemukan

kebenaran; (2) pemberian keputusan oleh hakim; (3) pelaksanaan keputusan.85 Atas

kepentingan itulah maka hukum acara pidana mengatur secara limitatif siapa saja

aparat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana serta

82 Penyelesaian perkara pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pra-ajudikasi meliputi

penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi yakni pemeriksaan perkara di persidangan, dan tahap pasca-

ajudikasi yaitu eksekusi dan pengawasan putusan pengadilan. 83 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (ed), Law And The Behavioral Sciences, The Bobbs-

Merril Company, New York. 1966. Hlm. 903 84 Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.01.PW.07.03 Tahun 1982. 85 J.M. van Bemmelen, 1950. Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘s-Gravenhage:

Martinus Nijhoff. Hlm. 2. Lihat juga Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia.

Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm.19.

Page 76: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

bagaimana tata cara pemeriksaan perkara pidana mulai tahap penyidikan sampai

pelaksanaan putusan pengadilan. Ketentuan hukum acara pidana tersebut diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) dan dalam berbagai undang-undang khusus seperti antara lain,

Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pada prinsipnya substansi hukum acara pidana baik yang diatur dalam KUHAP,

maupun yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan tersebut berkaitan dengan

penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi86 atau proses peradilan pidana yang

dapat dibagi dalam tiga tahapan87 yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap

ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap

ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut

adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah

terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum kepadanya.

Adanya HAP khusus yang diatur dalam berbagai undang-undang di luar

KUHAP tersebut disebabkan beberapa asas dan tata cara pemeriksaan perkara pidana

berdasarkan KUHAP dirasakan tidak mampu lagi untuk dijadikan sarana untuk

memberantas tindak pidana khusus. Sebagai contoh mengingat KUHAP menganut

asas oral debat yaitu pemeriksaan perkara harus dihadiri oleh terdakwa, maka asas ini

tidak bisa digunakan untuk memeriksa perkara yang terdakwanya tidak ditemukan

atau tidak diketahui keberadaanny pada tindak pidana ekonomi atau tindak pidana

korupsi. Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini maka baik Undang-Undang

Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi,

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maupun undang-undang tindak pidana khusus

lainnya mengatur tentang peradilan inabsensi yaitu peradilan yang digelar tanpa

dihadiri oleh terdakwanya. Namun demikian keterkaitan antara KUHAP dengan

undang-undang HAP khusus tersebut bersifat lex specialis derogate lex ganaralis

yaitu sepanjang HAP khusus tidak mengatur sendiri maka ketentuan KUHAP tetap

digunakan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum acara

pidana adalah untuk mempertahankan hukum pidana materiel. Agar HAP dapat

86 Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas

penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap

formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap

pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Undip. Semarang. Hlm. 13. 87 Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang

dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap

ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan

oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap

terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana

hilang kemerdekaan.

Page 77: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

berfungsi mempertahankan hukum pidana materiel, maka HAP harus mampu

memberantas semua modus operandi suatu kejahatan yang telah dijadikan tindak

pidana umum maupun khusus dalam hukum pidana materiel. Oleh karena itu

substansi HAP harus memperhatikan karakteristik setiap tindak pidana. Permasalahan

dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi adanya kriminalisasi di luar KUHP

terhadap Hukum Acara Pidana?

II. Implikasi Kriminalisasi di Luar KUHP Terhadap HAP

Substansi hukum acara pidana pada dasarnya berkiatan dengan proses

penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi88 atau proses peradilan pidana yang

dapat dibagi dalam tiga tahapan yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap

ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap

pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka

penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga

Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang

berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan oleh lembaga Peradilan, dan

terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana

yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk

pidana hilang kemerdekaan. Tahap ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang

penting karena pada tahap tersebut adanya proses pembuktian menurut hukum oleh

hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan

atas perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. Keputusan

hakim harus berdasarkan fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari

hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Alasan tersebut sesuai dengan pendapat

Mardjono Reksodiputro, bahwa melalui penafsiran dari ayat (1) Pasal 191 dan Pasal

197 haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus

“dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun

putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan serta alat

pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang”. Selain itu alasan pentingnya

pemeriksaan perkara pidana oleh hakim sejalan dengan pendapat Sudarto, bahwa

hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: (1) keputusan

mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang

dituduhkan kepadanya, dan kemudian (2) keputusan mengenai hukumnya, ialah

apakah perbutan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan

apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya (3) keputusan mengenai

pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.89

Namun demikian untuk menanggulangi tindak pidana khusus (extra ordinary

crime) tahap pra-ajudikasi juga penting karena mengingat pengertian penyidikan

merupakan serangkaian kegiatan penyidik untukmencari dan mendapatkan bukti-bukti

88 Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas

penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap

formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap

pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Undip. Semarang. Hlm. 13. 89 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. Hlm. 34. Bandingkan pendapat

Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 74.

Page 78: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang suatu tindakpidana dan menemukan

pelakunya. Untuk membuat terang dan menemukan pelakunya pada tindak pidana

khusus, dirasakan betapa sulitnya untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti

sehubungan dengan karakteristik dan modus operandi kejahatan luar biasa tersebut,

seperti bersifat terselubung (white color crime), menggunakan teknologi,

profesionalitas pelaku, terorganisasi dan bersifat transnasional.

Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hukum acara pidana sebagai landasan

bekerjanya peradilan pidana telah mengalami perubahan yaitu semula berdasarkan

‘Herzien Inlandsch Reglement’ disingkat HIR atau ‘Reglemen Bumiputra (Indonesia)

Yang Dibaharui’ Staatsblad 1941 Nomor 44 yang berlakunya sampai tahun 1981.

HIR tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan alam Indonesia merdeka, maka

undang-undang tersebut lalu digantikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang KUHAP. KUHAP merupakan ketentuan umum (lex ganeralis) acara pidana

dan diorientasikan sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana (kejahatan

biasa/warungan) yang terdapat di dalam KUHP. Sedangkan terhadap tindak pidana di

luar KUHP, efektivitas KUHAP dirasakan sudah tidak mampu menanggulanginya.

Hal ini sesuai dengan alasan adanya kriminalisasi di luar KUHP yaitu: (a) sistem

KUHP tidak mampu menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan kerah putih (white

collar crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime); (b) adanya kondisi yang

mendesak untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan baru; (c) sifat kejahatan baru

tersebut harus ditanggulangi secara khusus tidak bisa mengikuti pola KUHP. Bahkan

saat ini untuk memberantas tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pun, KUHAP

dirasakan sudah tidak mampu. Oleh karena itu sudah sepatutnya Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia agar segera membahas Rancangan Undang-Undang

(RUU) KUHAP Baru yang masuk sebagai salah satu program legislasi nasional

(prolegnas) untuk disahkan menjadi undang-undang.

Untuk memberantas modus operandi dari kejahatan luar biasa (extra ordinary

crime) tersebut, membutuhkan model hukum acara pidana khusus yang dibangun

berdasarkan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Hal ini mengingat adanya

ketidakmampuan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

sebagaimana yang dianut KUHAP dalam memberantas modus kejahatan tersebut.

Prinsip praduga bersalah itu secara operasional seperti yang dipraktikkan oleh model

proses peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yakni Crime

Control Model (CCM). Dalam CCM kewajiban untuk bekerja seefisien mungkin

menjadi syarat utama, sehingga ditolerir adanya kesalahan yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum sampai tingkat tertentu dalam menentukan apakah seseorang bersalah.

Ini disebabkan CCM memiliki asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses

peradilan pidana ada kemungkinan bersalah dan karenanya penggunaan kekuasaan

pada tangan aparat penegak hukum harus semaksimal mungkin. Oleh sebab itu pada

model ini ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien

tersebut akan mengabaikan hak asasi manusia. Penggunan model CCM ini tentunya

diikuti adanya tuntutan terhadap aparat penegak hukum untuk bekerja secara

professional dan bertanggung jawab karena beresiko dapat dipidananya bagi aparat

yang dengan sengaja melakukan perbuatan pelanggaran terhadap hak asasi orang yang

diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) juncto

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Page 79: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kehakiman. Hal ini mengingat menurut Muladi bahwa CCM tidak cocok diterapkan

karena model ini memandang penjahat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi

atau diasingkan, ketertiban umum berada di atas segala-galanya dan tujuan

pemidanaan adalah pengasingan. Untuk itu model sistem peradilan pidana yang cocok

bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad dader strafrecht” yang

disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu

yang memperhatikan kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu,

kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.90

Walaupun model CCM dipandang kurang cocok, namun berkaca pada kurang

maksimalnya cara-cara pemberantasan kejahatan yang bersifat luar biasa maka

penggunaan model CCM tersebut dapat ditolerir sepanjang bertujuan untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi

Manusia Universal Perserikatan Bangsa Bangsa yang menegaskan bahwa pembatasan

hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hak-

hak asasi yang lebih luas asal diatur dalam bentuk undang-undang.

Namun demikian agar penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana tidak

menimbulkan dampak negatif, maka harus memperhatikan 3 (tiga) kebijakan dasar

dalam penegakan hukum pidana yaitu: (1) kebijakan tentang perbuatan-perbuatan

terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau

merugikan; (2) kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku

perbuatan terlarang dan sistem penerapannya; (3) kebijakan tentang

prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum

pidana. Kebijakan pertama dan kedua masuk dalam lingkup hukum pidana materiil,

sedangkan kebijakan ketiga masuk dalam bidang hukum pidana formil.91 Oleh karena

itu adanya kebijakan kriminalisasi dalam hukum pidana materiel juga harus diikuti

adanya kebijakan dalam bidang hukum pidana formil sebagai dasar

prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum

pidana.

Berkaitan dengan alasan di atas dan berkaca dari kurang maksimalnya cara-

cara penegakan hukum pidana konvensional terutama dalam menghadapi modus

operandi tindak pidana saat ini yang bersifat sistemik dan meluas serta cenderung

merupakan extra ordinary crimes92, sekaligus untuk menjawab adanya kekhawatiran

pelanggaran terhadap HAM yang tidak terkendali, maka diperlukan adanya model

baru penegakan hukum pidana yang berbasis pada prinsip-prinsip hukum progresif

yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial

rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa.93

90 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 5. 91 Ibid. Hlm. 198 92 Sistem peradilan pidana dapat bersifat kriminogen manakala terjadi kriminalisasi yang tidak terkendali,

tujuan pidana yang tidak jelas, effektivitasnya terbatas dan adanya disparitas pidana, Muladi, Kapita

Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hlm. 24-25. 93 Menurut perspektif hukum progresif bahwa hukum bertujuan membahagiakan manusia. Bandingkan

dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa konsep pemidanaan yang berorientai pada orang (“konsep

pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan

(“The treatment of offenders”) yang melahirkan pendektan humanistik, ide individualisasi pidana dan

tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat. Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek

Page 80: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Keberhasilan pendekatan tersebut tidaklah semata-mata diukur dengan keberhasilan

produk legislasi melainkan juga harus disertai langkah penegakan hukum yang

konsisten baik yang bersifat preventif moralistic maupun yang bersifat represif

proaktif.94

Dipilihnya pendekatan hukum progresif, mengingat ide penegakan hukum

progresif tidak sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan, melainkan

menangkap kehendak hukum masyarakat. Oleh sebab itu ketika suatu peraturan

dianggap membelenggu penegakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak

hukum itu sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi

kehendak masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat.95

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Mahfud MD bahwa upaya menegakkan

hukum di Indonesia memerlukan operasi caesar alias cara-cara yang tidak

konvensional, bahkan untuk tahap tertentu dan dalam waktu yang sangat sementara

mengabaikan prosedur-prosedur formal.96

Gagasan hukum progresif yang dikampanyekan oleh Prof Tjip panggilan

akrab murid-murid Satjipto Rahardjo di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH)

Universitas Diponegoro Semarang, pada prinsipnya bertolak dari dua komponen

basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Hukum

progresif yang bertumpu pada peraturan, membawa konsekuensi bahwa setiap

peraturan yang akan dibuat dan diberlakukan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai,

kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pokok

permasalahan dalam tulisan ini berarti HAP yang akan dibuat selain harus sesuai

dengan nilai-nilai, kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya, juga harus

memperhatikan karakteristik kejahatan yang dijadikan dasar untuk menentukan suatu

tindak pidana.

Sedangkan hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa

konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum

selain untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga

dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan

hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui

bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang

membuat bahagia.97 menurut Satjipto Rahardjo, bahwa untuk menguji

(memverifikasi) kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman

antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat. Dengan

demikian, ketika hukum masuk dalam ranah penegakan hukum misalnya, seluruh

proses bekerjanya instrumen penegak hukum harus dapat dikembalikan pada

Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.

Hlm.49. 94 .Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,

Mandar Maju, Bandung. Hlm. 13. 95 Yudi Kristiana, 2009. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan

Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. Hlm 55. 96 Moh. Mahfud MD. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 146. 97 Yudi Kristiana, 2009. Op.cit. Hlm. 35.

Page 81: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pertanyaan apakah sudah mewujudkan keadilan?, apakah sudah mencerminkan

kesejahteraan? Apakah sudah berorientasi kepada kepentingan rakyat?.98

Selain itu mengingat undang-undang dalam pelaksanaannya harus ditafsirkan

oleh para penegak hukum, maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk

undang-undang harus mendapat perhatian khusus. Pada pertengahan abad ke 18

Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” sebagaimana dikutip oleh Sudarto

telah mengemukakan prinsip-prinsip gaya bahasa dalam pembentukan undang-

undang yaitu:

1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana: kalimat muluk-muluk hanyalah

membingungkan belaka;

2) Istilah-istilah yang digunakan, sedapat-dapatnya harus absolute dan tidak

relative, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan;

3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan

menghindarkan kiasan-kiasan dan hal-hal hipotesis;

4) Undang-undang tidak boleh jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang

daya tangkapnya biasa, ia harus bisa difahami oleh orang pada umumnya;

5) Ia tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya dengan adanya pengecualian,

pembatasan, atau perubahan, kecuali apabila hal itu memang benar-benar

diperlukan;

6) Ia tidak boleh terlalu banyak memberi alasan; adalah berbahaya untuk memberi

alasan-alasan yang panjang lebar untuk undang-undang, karena hl ini hanya

membuka pintu untuk pertentangan;

7) Yang paling penting ialah bahwa ia harus dipertimbangkan secara matang dan

mempunyai kegunaan praktis, dan ia tidak boleh menggoncangkan akal sehat

dan keadilan dan “la nature des choses” (apa yang sewajarnya); sebab undang-

undang yang lemah, tidak bermanfaat dan tidak adil akan merusak seluruh

sistem perundang-undangan dan melemahkan kewibawaan Negara.99

Dalam rangka efektivitas penanggulangan kejahatan extra ordinary crimes,

tentunya substansi hukum acara pidana khusus yang dimaksud juga harus dibangun

berdasarkan asas-asas peradilan kontemporer yang meliputi antara: (1) adanya

ketentuan tentang transparansi proses penyelenggaraan peradilan pidana; (2) adanya

akuntabilitas terhadap setiap tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum pada

proses penyelenggaraan peradilan pidana; (3) memperhatikan kondisional setiap

kasus, seperti bagi perkara yang apabila disidangkan pada pengadilan negeri yang

berwenang dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka perkara

tersebut dapat disidangkan pada pengadilan negeri lain yang ditunjuk Mahkamah

Agung; (4) adanya partisipatif masyarakat (LSM) untuk melakukan pengawasan dan

penilaian terhadap kinerja pengadilan seperti melakukan eksaminasi perkara; (5)

penggunaan sarana teknologi informatika dalam proses pemeriksaan perkara pidana;

(6) adanya kesamaan dan keseimbangan hak dan kewajiban semua pihak yang

98 Ibid. Hlm. 33. 99 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum

Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung, Hlm. 22

Page 82: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

terlibat dalam suatu perkara, dan lain sebagainya. Selain itu ketentuan hukum acara

pidana khusus tersebut juga harus diorientasikan secara khusus untuk memberantas

semua modus operandi kejahatan extra ordinary crimes, seperti: (1) badan hukum

dapat diadili; (2) orang yang turut melakukan (turut serta) di luar negeri dapat diadili

di Indonesia; (3) adanya kewenangan penegak hukum untuk merampas barang

bergerak yang tidak berwujud; (4) adanya kewenangan penegak hukum untuk

merampas barang2 bukti bagi tersangka yang telah meninggal dunia; (5) dapatnya

dihukum orang yang tidak dikenal dengan peradilan in absentia; (6) dapatnya

dirampas barang2 bukan milik terdakwa, dan lain sebagainya.

Begitu juga apabila dilihat dari aspek strukturnya, maka terhadap lembaga

penegak hukum sebagai penyelenggara HAP khusus tersebut pembentukannya harus

diorientasikan sesuai dengan karakteristik kejahatan tertentu, sehingga baik status,

tugas dan wewenangnya juga disesuaikan dengan kejahatan yang kan diberantasnya.

Sebagai contoh terhadap tindak pidana korupsi idealnya sistem peradilan pidananya

bersifat khusus, sehingga penyidikan, penuntutan, dan persidangan bahkan lembaga

eksekusinya pun dibedakan dengan lembaga penegak hukum pada umumnya.

Artinya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyidikan dan penuntutannya,

sedangkan persidangannya dilakukan oleh hakim pengadilan tipikor, serta lembaga

pemasyarakatan khusus tipikor.

Selain itu HAP khusus tersebut harus juga dapat mengoptimalkan peran serta

ahli (pakar) berbagai bidang ilmu dan masyarakat pada umumnya untuk membantu

aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan tertentu. Untuk itu perlu

adanya ketentuan HAP yang mewajibkan aparat penegak hukum pada tiap tingkatan

pemeriksaan untuk meminta pendapat ahli bidang tertentu sebelum mengambil

keputusannya dan adanya ketentuan yang melindungi kepentingan hukum

masyarakat yang telah berperanserta dalam mengungkap kejahatan khusus tersebut.

Perwujudan HAP khusus untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan

yaitu untuk proses penyidikan berupa antara lain penggunaan upaya paksa harus

bersifat imperatif atau wajib, sedangkan bentuk-bentuk upaya paksanya diperbanyak

jika dibandingkan dengan bentuk upaya paksa yang ada dalam KUHAP. Apabila

dalam KUHAP bentuk upaya paksanya berupa penangkapan, penahanan,

penggeledahan penyitaan dan pemeriksaan surat, maka pada HAP khusus bentuk

upaya paksanya selain seperti yang terdapat di dalam KUHAP, juga ditambah seperti

penyadapan, pemblokiran rekening bank tanpa melalui prosedur birokrasi, penutupan

sementara kegiatan suatu perusahaan, dan lain sebagainya. Sedangkan

pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum dari lembaga yang dibentuk

khusus untuk kepentingan tertentu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan

asumsi aparat penegak hukum tersebut memiliki pengetahuan khusus (ahli) terhadap

jenis kejahatan yang menjadi domainnya.

Untuk kepentingan persidangan, proses pembuktiannya selain memperbanyak

jenis alat bukti seperti yang terdapat di dalam KUHAP yaitu: keterangan saksi,

keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, juga menerima alat bukti

yang menggunakan sarana teknologi seperti rekaman hasil penyadapan, rekaman

CCTV, dan lain sebagainya termasuk menggunakan sistem pembuktian terbalik.

Page 83: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Fungsi surat dakwaan dan tuntutan jaksa hanya sebagai dasar awal untuk mengadili

terdakwa, sedangkan hakim dengan kewajibannya untuk mempelajari dan menggali

nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5

UU Kekuasaan Kehakiman, bebas untuk membuktikan terdakwa bersalah walaupun

pasal-pasal sebagai dasar menyatakan kesalahan terdakwa tidak dirumuskan secara

limitatif di dalam surat dakwaan. Sedangkan lembaga pelaksananya adalah

pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan

Ekonomi dan sebagainya. Berkaitan dengan alasan di atas, maka sudah sewajarnya

adanya hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalam berbagai undang-undang

khusus saat ini, seperti antara lain pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955

tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan lain sebagainya.

III. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:

1. KUHAP lebih ditujukan untuk menanggulangi kejahatan (tindak pidana) yang

bersifat umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP;

2. Adanya kriminalisasi di luar KUHP berimplikasi perlu adanya hukum acara

pidana khusus yang hubungannya dengan KUHAP berifat lex specialis,

sedangkan kedudukan KUHAP bersifat lex ganeralis;

3. Perlu adanya ketentuan di dalam KUHAP sebagai dasar hukum keberlakuan

KUHAP terhadap HAP Khusus di luar KUHP;

4. Tidak semua tindak pidana di luar KUHP penanggulangannya menggunakan HAP

Khusus; HAP Khusus hanya untuk tindak pidana khusus;

5. HAP khusus, tidak bersifat kodifikasi terhadap semua tindak pidana di luar

KUHP, melainkan tersebar di dalam masing-masing undang-undang yang

mengatur tindak pidana khusus;

6. HAP khusus tersebut hanya diorientasikan untuk pemberantasan tindak pidana

khusus tertentu;

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.

Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional,

Mandar Maju, Bandung. 2004.

Bemmelen, J.M. van, Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘s-

Gravenhage: Martinus Nijhoff. 1950.

Friedman, Lawrence M. dan Macaulay, Stewart (ed), Law And The Behavioral Sciences,

The Bobbs-Merril Company, New York. 1966.

Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

1985.

Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan

dan Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. 2009.

Mahfud MD, Moh.. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

2007.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. 1995.

Page 84: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga

Kriminologi) UI. Jakarta. 1994.

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung.

----------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung.

Page 85: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pemikiran Integratif Sistem Penegakan Hukum Pidana Dalam Menghadapi

Kejahatan Mayantara (Cyber Crime)

_______________________________________________________________________

Heni Siswanto

A. Latar Belakang

Dewasa ini kehidupan dunia modern tidak dapat dilepaskan, bahkan sangat

bergantung pada kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced

technology”) di bidang informasi dan elektronik melalui jaringan internasional

(internet).100

Dampak dari perkembangan komputer/internet sebagai basis dari

”cyberspace” (tindak pidana di ruang siber)101 dan ”cyberlaw” menjangkau hampir

semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan

sebagainya.102 Berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini

(cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer related

crime) bukan melulu persoalan yuridis belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur

seperti, kultur tidak bertanggung jawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku,

”anomie of success”, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya hukum dan

pengawasan.

Cyber crime103 pada hakekatnya merupakan ”sisi negatif” dari teknologi

komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap perilaku kriminal. Cyber

crime bisa berupa tindakan sengaja merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak

milik intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan

beberapa tindak pidana lainnya.104

Di satu sisi, kemajuan teknologi canggih itu membawa dampak positif di

berbagai kehidupan, seperti adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS”

(Electronic Funds Transfer System atau “Sistem Transfer Dana Elektronik”),

“internet banking”, “cyber bank”, “on-line business” dan sebagainya. Namun di sisi

lain, juga membawa dampak negatif, yaitu dengan munculnya berbagai jenis “hitech

crime“105 dan “cyber crime”, sehingga cyber crime dinyatakan “cyber crime is the

100 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di

Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret

2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks

melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI,

di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005, hlm. 1. 101 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253 dan

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan

Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 237. 102 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor Taftazani, The

Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 201. 103 Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat

perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan

teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini,

dalam Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di

Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 1. 104 Muladi,…..op. cit., hlm. 203. 105 Australian High Tech Crime Center tahun 2003 membagi “hitech crime” secara kasar dalam dua

kategori, yaitu (a) crimes committed with or against computers or communication systems; (b) traditional

Page 86: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

most recent type of crime”106 dan “cyber crime is part of the seamy side of the

Information Society” (cyber crime merupakan bagian sisi paling buruk dari

Masyarakat Informasi”)107.

Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari munculnya berbagai

istilah seperti economic cyber crime, EFT (Electronic Funds Transfer) crime, cybank

crime, internet banking crime, on-line business crime, cyber/electronic money

laundering, hitech WWC (white collar crime), internet fraud (antara lain bank fraud,

credit card fraud, on-line fraud), cyber terrorism, cyber stalking, cyber sex, cyber

pornography, cyber defamation, cyber-criminals, dan sebagainya.

Dengan semakin berkembangnya cyber crime, sangatlah wajar masalah ini

sering dibahas di berbagai forum nasional dan internasional. Kongres PBB mengenai

“The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”108 (yang diselenggarakan

tiap 5 tahun) telah pula membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres

VIII/1990 di Havana, Kongres X/2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI/2005 di

Bangkok (tanggal 18-25 April 2005). Dalam “background paper” lokakarya

“Measures to Combat Computer-related Crime” Kongres XI PBB dinyatakan, bahwa

“teknologi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan informasi memberikan

“bayangan gelap” (a dark shadow) karena memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk

eksploitasi baru, kesempatan baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentuk-

bentuk baru dari kejahatan”.109

Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat

perhatian berbagai kalangan, adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan110 yang

terjadi di ruang maya (cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah

pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan/ percabulan/perbuatan tidak

senonoh/zina. Semakin maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat

dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child

pornography), on-line pornography, cyber sex, cyber sexer, cyber lover, cyber

romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cybersex addicts, cyber sex

offender. Khususnya masalah ”cyber child pornography”, dalam Konvensi

Cybercrime Dewan Eropa 2001 di Budapest (yang juga ikut ditandatangani oleh

negara-negara di luar Eropa, antara lain: Jepang, Kanada, USA, dan Afrika Selatan)

sudah disepakati untuk dikriminalisasi.

crimes which are largely facilitated by technology, dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum

Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 126. 106 V.D. Dudeja, Cyber Crimes and Law, Volume 2, 2002, p. v, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan

Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 1. 107 Data Protection Working Party, Council of Europe, “Opinion 4/2001 On the Council of Europe’s Draft

Convention on Cyber-crime”, adopted on 22 March 2001, 5001/01/EN/Final WP 41, p. 2, dalam Barda

Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 1. 108 Dalam Kongres XI, judul kongres berubah menjadi Congress on Crime Prevention and Criminal

Justice, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 2. 109 Dokumen United Nations A/CONF.203/14, Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and

Criminal Justice, Bangkok, 18-25 April 2005, Background paper, Workshop 6: Measures to Combat

Computer-related Crime: “The worldwide multiplication of new information and communication

technologies also casts a dark shadow: it has made possible new forms of exploitation, new opportunities

for criminal activity and indeed new forms of crime”, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum

Pidana.....ibid., hlm. 2. 110 Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi .....op. cit., hlm. 11.

Page 87: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web (WWW)

saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan pornografi atau yang

berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan, 40 % dari berbagai situs di

WWW menyediakan bahan-bahan seperti itu.111 Bahkan dinyatakan Peter David

Goldberg,112 bahwa sex merupakan topik paling populer di internet (the most popular

topic on the internet).113 Pernyataan ini mirip dengan pendapat Mark Griffiths,114

bahwa sex merupakan topik yang paling banyak dicari di internet (“sex is the most

frequently searched-for topic on the Internet”).115 Selanjutnya, Goldberg

mengemukakan pula, bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet sudah

mencapai milyaran dollar US per tahun, sekitar 25 % pengguna internet mengunjungi

lebih dari 60.000 situs sex tiap bulan, dan sekitar 30 juta orang memasuki situs sex tiap

hari.116

Gambaran singkat di atas tentunya cukup meresahkan/ memprihatinkan,

karena tidak mustahil bisa juga terjadi di Indonesia. Beredarnya foto hubungan seksual

seorang siswi di Sampit, Jember atau kasus video mesum mirip Ariel dan Luna Maya

beberapa waktu yang lalu, yang direkam dengan kamera digital dan disebarkan

melalui MMS (multy media message) merupakan salah satu contoh penyalahgunaan

teknologi maju. Rekaman dan beredarnya perbuatan mesum ini tentunya sangat

meresahkan, karena kemajuan teknologi ternyata tidak digunakan sebagai sarana

positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana

negatif yang dapat membawa dampak negatif. Keprihatinan terhadap dampak negatif

dari teknologi maju ini, pernah diungkapkan pula oleh Arthur Bowker, seorang ahli

computer crime dari Amerika yang menyatakan antara lain, bahwa teknologi maju

telah meningkat menjadi “way of life” masyarakat kita, namun sangat disayangkan,

teknologi maju ini menjadi alat/sarana pilihan bagi para pelaku cybersex (“cybersex

offender”)117. Donna Hughes mengaitkan keprihatinannya dengan krisis hak asasi

manusia (HAM), bahwa eksploitasi sex terhadap wanita dan anak-anak merupakan

krisis hak-hak asasi/kemanusiaan global (a global human rights crisis) yang semakin

meningkat dengan penggunaan teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi

111 Lihat Gloria G. Brame, “Boot Up and Turn On”, 1996, gloria-brame.com/glory/journ7. htm, dalam

Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 112 Nua Internet Surveys 2001, Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 113 Peter David Goldberg, An Exploratory Study About the Impacts that Cybersex (The Use of the Internet

for Sexual Purposes) is Having on Families and The Practices of Marriage and Family Therapists,

2004, ([email protected]), dalam Barda Nawawi Arief, ....., ibid., hlm. 12. 114 Freeman-Longo&Blanchard, 1998, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 115 Mark Griffiths, Sex on the Internet: observations and implications for Internet sex addiction, Journal

of Sex Research, Nov, 2001, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid, hlm. 12. 116 Peter David Goldberg, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 117 Art Bowker and Michael Gray, An Introduction to the Supervision of the Cybersex Offender,

www.uscourts.gov Publishing Information: Advanced Technologies are increasingly becoming a way of

life for our society. Computers are found in every home, school, and business, with more and more

individuals going "online" every day. Unfortunately, these advanced technologies (computers, scanners,

digital cameras, the Internet, etc.) are becoming the tool of choice for the "cybersex offender.", dalam

Barda Nawawi Arief,.....ibid., hlm. 14.

Page 88: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

telah digunakan sebagai fasilitator untuk perdagangan dan eksploitasi seksual para

wanita dan anak-anak dengan berbagai cara.118

Mengingat cyber crime sudah sangat meresahkan/memprihatinkan itu, maka

sudah seharusnya Pemerintah RI perlu segera membangun suatu sistem penegakan

hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan mayantara (cyber crime) di

Indonesia.

B. Pembahasan

Menurut Peter David Goldberg, cybersex adalah “penggunaan internet untuk

tujuan-tujuan seksual” (“the use of the Internet for sexual purposes”)119. Senada

dengan ini, David Greenfield mengemukakan, bahwa cybersex adalah “menggunakan

komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual” ("using the computer

for any form of sexual expression or gratification"). Dikemukakan juga olehnya,

bahwa cybersex dapat dipandang sebagai “kepuasan/ kegembiraan maya” ("virtual

gratification”), dan suatu “bentuk baru dari keintiman” (“a new type of intimacy")120.

Patut dicatat, bahwa hubungan intim atau keintiman (“intimacy”) itu dapat juga

mengandung arti “hubungan seksual atau perzinahan”.121 Ini berarti, cybersex

merupakan bentuk baru dari perzinahan.

Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia dinyatakan, bahwa “cybersex” atau

“computersex” adalah “pertemuan sex secara virtual/maya antara dua orang atau lebih

yang terhubung melalui jaringan internet dengan mengirimkan pesan-pesan seksual

yang menggambarkan suatu pengalaman seksual”. Cybersex/computersex merupakan

bentuk permainan-peran (role-playing) antara para partisipan yang berpura-pura atau

menganggap dirinya melakukan hubungan seksual secara nyata, dengan

menggambarkan sesuatu untuk mendorong perasaan/fantasi seksual mereka. Cybersex

ini terkadang disebut juga dengan istilah “cybering”.122 Menurut Greenfield dan

Orzack, cybering ini dimasukkan dalam penggolongan cybersex yang berupa Online

Sexual Activity (OSA) karena dengan cybering itu, salah seorang atau kedua orang

yang saling berfantasi itu dapat melakukan masturbasi (onani).123 Bahkan menurut

118 Lihat Bela Bonita Chatterjee, Human Rights and the Cyber Sex Trade, antara lain: “the sexual

exploitation of women and children is a global human rights crisis that is being escalated by the use of

new technologies…ICTs (information and communication technologies) are being used as facilitators for

the trafficking and sexual exploitation of women and children in various ways”, sumber internet, dalam

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 8. 119 Peter David Goldberg, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 8. 120 Gloria G. Brame, gloria-brame.com/glory/journ7.htm, dalam Barda Nawawi Arief, ibid., hlm. 9. 121 Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 2000, halaman 328. Dalam kamus

Hornby, 1963, halaman 517, disebut dengan istilah “illicit sexual relations”, dalam Barda Nawawi Arief,

.....ibid., hlm. 9. 122 Wikipedia, the free encyclopedia, (en.wikipedia.org/wiki/Cybersex): “Cybersex or computer sex is a

virtual sex encounter in which two or more persons connected remotely via a computer network send one

another sexually explicit messages describing a sexual experience, by describing their actions and

responding to their chat partners in a mostly written form designed to stimulate their own sexual feelings

and fantasies.…It is a form of role-playing in which the participants pretend they are having actual

sexual intercourse,….Cybersex is sometimes colloquially called "cybering", d dalam Barda Nawawi

Arief, .....ibid., hlm. 9. 123 Lihat dalam Peter D. Goldberg; Greenfield dan Orzack mendefinisikan “cybering” sebagai “direct use

by two people who share the same fantasy while one or both masturbate”, dalam Barda Nawawi Arief,

.....ibid., hlm. 9.

Page 89: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kenneth Allen, “An important and major element of cybersexual activity is

masturbation”124. Pengertian “Cybering" atau “sex on the Internet” dikemukakan pula

oleh Michael G. Conner, Psy.D. sebagai “diskusi seksual secara “on-line” dengan

tujuan mencapai orgasme (puncak syahwat)”125.

Meningkatnya cybersex mengundang minat orang untuk melakukan berbagai

penelitian. Penelitian yang telah dilakukan di Amerika, antara lain: (1) Cooper dkk.,

2000, meneliti tentang “ciri-ciri dan pola kebiasaan para pecandu cybersex (cybersex

addicts)”; (2) Schneider, 2000, meneliti tentang “pengaruh/ akibat penggunaan

cybersex terhadap pasangan mereka sendiri (suami/istri)”; dan (3) Peter David

Goldberg, 2004, meneliti tentang “pengalaman para terapis keluarga dan perkawinan

terhadap klien yang mengalami konflik akibat penggunaan cybersex”.

Berdasarkan penelitian tersebut, banyak dijumpai akibat-akibat negatif dari

penggunaan cybersex terhadap diri si pelaku maupun terhadap hubungan perkawinan,

terhadap keseluruhan hubungan/sistem kekeluargaan, dan terhadap anak-anak mereka.

Akibat terhadap diri pelaku, antara lain, merubah pola tidur, mengisolasi diri dari

keluarga, mengabaikan tanggung jawab, berdusta, berubahnya kepribadian, kehilangan

daya tarik terhadap partnernya (istri/suaminya), bersifat ambigius/mendua, timbul

perasaan malu dan bersalah, hilangnya rangsangan nafsu dan adanya gangguan ereksi

(erectile disfunction). Akibat terhadap partnernya (istri/suami) dan anak-anak, antara

lain: timbul perasaan dikhianati, dilukai, dikesampingkan, dihancurkan, ditelantarkan,

kesepian, malu, cemburu, kehilangan harga diri, perasaan dihina, anak-anak merasa

kehilangan perhatian orang tua, depresi (karena pertengkaran orang tua).126

Menurut hasil penelitian Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), anak-anak

mengalami gejala stres (stress symptoms) sebagai akibat penayangan pornografi di

internet. Mereka selalu gelisah, lekas/mudah marah, sulit tidur, kehilangan minat di

dalam beraktivitas, menjauhi internet, dan tidak dapat berhenti memikirkan apa yang

terjadi.127 Pengaruh pornografi melalui internet yang demikian dalam terhadap anak,

sangat bersesuaian dengan yang dikemukakan oleh Arthur Bowker dan Michael Gray

dalam tulisannya berjudul “The cybersex offender and children”, bahwa gambar-

gambar pornografi digital mempunyai pengaruh yang lebih lama (lebih kuat) daripada

materi-materi non-elektronik.128

124 Kenneth Allen, Cyber-Sex A Review and Implications of the Situation, (home.earthlink. net), dalam

Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 125 Michael G. Conner, Psy.D, Internet Addiction & Cyber Sex, (www.CrisisCounseling. org): “Cybering",

or sex on the Internet, is defined as the consensual sexual discussion on-line for the purpose of

achieving arousal or an orgasm, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 126 Lihat antara lain Peter David Goldberg disebutnya dengan istilah “feelings of betrayal, hurt, rejection,

devastation, abandonment, loneliness, shame, jealousy, loss of self-esteem, humiliation”; isolate

themselves from their partners or parents; affect the family’s sense of mutuality; dalam Barda Nawawi

Arief, .....ibid., hlm. 11. 127 Peter David Goldberg menyatakan, bahwa children reported stress symptoms as a result of exposure to

pornography on the Internet. They reported feeling jumpy, irritable, having difficulty going to sleep,

losing interest in activities, staying away from the Internet, unable to stop thinking about what

happened (Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11. 128 Arthur Bowker, Michael Gray , “The cybersex offender and children”, FBI Law Enforcement

Bulletin,The, March, 2005 : “digital pornographic images have a longer duration of harm for victims

than nonelectronic materials”, www.findarticles.com, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11.

Page 90: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Adanya akibat-akibat demikian, maka sering timbul pertengkaran keluarga

yang berakibat pada perceraian. Menurut Carl Salisbury (pengacara di Hanover, New

York), gugatan perkara yang berkaitan dengan cybersex menunjukkan peningkatan di

pengadilan-pengadilan Amerika. Dikatakan pula olehnya: “Tidak dapat dihindari

bahwa kita sedang menyaksikan semakin banyaknya kasus-kasus perceraian yang

disebabkan oleh cybersex”.129 Cukup banyaknya akibat negatif dari cyber crime di

bidang kesusilaan dan berbagai bidang lainnya, tentunya memerlukan kajian serius

terhadap kebijakan pencegahan, penanggulangan dan penegakan hukum pidananya.

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penegakan hukum pidana terhadap

delik-delik kesusilaan terkesan kurang mendapat prioritas dibandingkan upaya

pemberantasan tindak pidana lainnya seperti korupsi, narkoba dan terorisme. Kondisi

demikian patut dievaluasi karena tidak mustahil hal itu berdampak pada semakin

meningkat dan merebaknya kasus-kasus delik kesusilaan di bidang cyber dan semakin

bermunculan situs porno di Indonesia. Menurut informasi sudah lebih dari 1.000 situs

porno lokal di Indonesia saat ini.130

Lemahnya penegakan hukum pidana terhadap delik kesusilaan di bidang

cyber ini mungkin berkaitan erat pula dengan lemahnya kebijakan perundang-

undangan yang ada seperti dikemukakan di atas. Oleh karena itu perlu dilakukan

kajian evaluatif dan reformatif/inovatif/rekonstruktif untuk mengefektifkan penegakan

hukum pidana terhadap delik kesusilaan.131

Sarana penal pada umumnya di atur dalam KUHP dan khususnya dalam

peraturan perundang-undangan di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 36

Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang

Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2008 tentang Pornografi. Ketentuan-ketentuan ini masih mengandung beberapa

kelemahan, namun seyogyanya dapat diefektifkan penerapannya terhadap cybersex

dan cyberporn. Terlebih para pakar di internet menyatakan bahwa cybersex dan

cyberporn pada hakikatnya sama dengan delik kesusilaan yang sesungguhnya (zina

dan pelanggaran kesusilaan lainnya).132

Kemampuan sarana “penal” (hukum pidana) dalam menanggulangi kejahatan

sangatlah terbatas, terlebih menghadapi cyber crime yang perkembangannya sebagai

hitechcrime sangat cepat dan canggih. Dilihat dari sudut “criminal policy”, upaya

penanggulangan cyber crime tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum

pidana, tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik. Sebagai salah

satu bentuk dari “hitech crime” adalah wajar upaya penanggulangan cyber crime juga

harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan

budaya/kultural, pendekatan edukatif/ moral/religius terlebih untuk delik kesusilaan,

pendekatan regulasi administratif dan bahkan pendekatan global (kerja sama

129 Gloria G. Brame, op. cit. dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 130 Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi.....op. cit., hlm. 63. 131 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64. 132 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64.

Page 91: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

internasional) karena cyber crime dapat melampaui batas-batas negara (bersifat

“transnasional/transborder).133

Menyadari bahwa penanggulangan cyber crime harus ditempuh melalui

pendekatan/kebijakan integral, maka seyogyanya penegakan hukumnya pun harus

dilakukan melalui sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam

menghadapi cyber crime. Sistem penegakan hukum (SPH) yang integral dalam

menghadapi cyber crime, yaitu adanya keterjalinan erat (keterpaduan/integralitas) atau

satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum

(legal substance), stuktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Sebagai suatu SPH, proses penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga

komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen

substantif/normatif), lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen

struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai

budaya hukum (komponen kultural), yaitu:134

a. Dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance), sistem penegakan

hukum pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum di

bidang hukum pidana cyber crime meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana

formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian, dilihat dari sudut

substansi hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya

merupakan “integrated legal system” atau “integrated legal substance”.

b. Dilihat dari aspek/komponen struktural (legal structure), sistem penegakan hukum

pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badan-

badan/lembaga/aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/ kewenangannya

masing-masing di bidang penegakan hukum pidana cyber crime. Dengan demikian,

dilihat secara struktural, sistem penegakan hukum pidana juga merupakan “sistem

administrasi/penyelenggaraan“ atau “sistem fungsional/operasional” dari berbagai

struktur/profesi penegak hukum. Dilihat dari sudut

struktural/administrasi/fungsional inilah, di bidang sistem penegakan hukum pidana

atau sistem peradilan pidana (SPP) cyber crime, muncul istilah “integrated criminal

justice system” atau “the administration of criminal justice”.

Dengan demikian, apabila SPP dilihat sebagai “sistem kekuasaan

menegakkan hukum pidana”, maka SPP merupakan serangkaian perwujudan dari

kekuasaan menegakkan hukum pidana cyber crime yang terdiri dari 4 (empat) sub-

sistem, yaitu: (1) kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik); (2)

kekuasaan "penuntutan" (oleh badan/lembaga penuntut umum); (3) kekuasaan

“mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana” (oleh badan pengadilan); dan (4)

kekuasaan “pelaksanaan putusan/pidana” (oleh badan/ aparat pelaksana/eksekusi).

Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum

pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah “SPP Terpadu” (“integrated

criminal justice system”).

133 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 41. 134 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel

untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009,

Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 3.

Page 92: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

c. Dilihat dari aspek/komponen budaya hukum (legal culture),135 sistem penegakan

hukum pada dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya

hukum” (yang dapat mencakup nilai-nilai filosofi/filsafat hukum, asas-asas hukum,

teori hukum, ilmu hukum (pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana, atau

persoalan edukasi), nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan

kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya. Dengan demikian, dilihat dari

sudut budaya hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime dapat dikatakan

merupakan “integrated legal culture” atau “integrated cultural legal system”.

Menurut sistem penegakan norma/substansi hukum di bidang hukum pidana

atau sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua

sisi/aspek, yaitu aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam

satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral dan aspek substansi

nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana

cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”pendekatan keilmuan” dan ”ide

keseimbangan” secara integral menurut keseimbangan ide dasar Pancasila sebagai

landasan sistem hukum nasional dan keseimbangan tujuan pembangunan nasional

yang berorientasi pada kebijakan pembangunan nasional (bangnas) dan pembangunan

hukum136 nasional (bangkumnas) atau sistem hukum nasional (siskumnas/SHN) ber-

Pancasila. Oleh karena itu, SPHP yang integral dalam menghadapi cyber crime

dilakukan dengan memperhatikan konteks ke-Indonesia-an, khususnya kondisi

lingkungan hukum Indonesia, yaitu sistem hukum nasional/siskumnas.

Sistem norma/substansi(al) hukum pidana merupakan salah satu aspek SPHP

yang paling strategis. Kesalahan pada aspek ini akan mempengaruhi keberhasilan

SPHP dalam menghadapi masalah cyber crime di masa yang akan datang. Sistem

norma/ substansi hukum pidana yang integral dapat dilihat dari dua sisi/aspek, yaitu:

a. Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana

Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam satu

kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, meski dapat dikatakan kondisi

substansi hukum pidana cyber crime saat ini sebenarnya sudah cukup lengkap, karena

ketiga bidang substansi hukum pidana (hukum pidana materiel, hukum pidana formal,

dan hukum pelaksanaan pidana) sudah ada, akan tetapi masih mengandung berbagai

135 Pengertian/ruang lingkup “budaya hukum” didasarkan pada Renstra (Rencana Strategik) pembangunan

hukum nasional Repelita VI (1994-1999) yang pernah merinci Pembangunan ”budaya hukum nasional”

dalam 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran

hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/ pembinaan perpustakaan, penerbitan dan

informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan

pembinaan pendidikan hukum, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional

Indonesia, Kuliah Umum pada Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei

2009, hlm. 6. 136 Pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu “kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau

merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea). ”Pembaharuan/ pembangunan hukum” pada

hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelanjutan” (sustainable

reform/sustainable development). Di dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait dengan

”perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangam yang

berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide

dasar/konsepsi intelektual”. Jadi ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable society/development”,

”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”,“sustainable intellectual

conceptions/basic ideas”, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 10.

Page 93: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

masalah yang harus dibenahi atau di “reform”.137 Bertolak dari pengertian

sistem yang integral, maka pengertian SPHP dilihat dari aspek/komponen substansi

hukum (legal substance) merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum pidana.

Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam menghadapi

cyber crime dilihat dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum

pidana materiel (materielle strafrecht), yaitu KUHP dan peraturan perundang-

undangan khusus lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang

Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Pornografi. Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht),

yaitu KUHAP dan substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht)

terkait cyber crime. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem

pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara

konkret hanya dengan mengandalkan salah satu subsistem itu.

b. Aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran”

Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” cyber crime dalam

satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide

keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”138 secara integral. Ide keseimbangan

disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide

dasar secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”, antara lain mencakup:

a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan

kepentingan individu/perorangan.

b. Ide keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan

“subjektif” (orang/batiniah/sikap batin). Ide daad-dader strafrecht.

c. Ide keseimbangan antara kriteria formal dan materiel.

d. Ide keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas, dan

keadilan.

e. Ide keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal.

f. Ide kesimbangan antara ”social welfare” dengan ”social defence”.

g. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku tindak

pidana/”offender” (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana (”victim”).

h. Ide penggunaan ”double track system” (antara pidana/punishment dengan

tindakan/treatment/measures).

i. Ide mengefektifkan ”non custodial measures” (alternatives to imprisonment).

j. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (elasticity/flexibility of sentencing).

137 Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 12. 138 Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami

sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran

(wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang

hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral,

dalam Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia

Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Strategi

Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008,

Semarang, hlm. 1.

Page 94: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

k. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (modification of sanction; the

alternation/annulment/revocation of sanction; redetermining of punishment).

l. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana.

m. Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon/judicial pardon).

n. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.

Ide dasar “keseimbangan” itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok

hukum pidana terkait cyber crime, yaitu:139

a. Tindak pidana (strafbaarfeit/criminal act/actus reus).

b. Kesalahan (schuld/guilt/mens rea).

c. Pidana (straf/punishment/poena).

Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” dalam satu kesatuan

sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide

keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”140 secara integral meliputi:141

1. Pendekatan Juridis-Ilmiah-Religius

Pendekatan yang berorientasi/berpedoman pada “ilmu” (hukum pidana) dan

“tuntunan Tuhan” dalam menegakkan hukum pidana positif sebagai prasyarat utama

dalam penegakan hukum. Dalam praktek sudah dilakukan, namun perlu dioptimalkan

karena lebih terkesan pada penguasaan “hukum positif”nya, sedangkan “ilmu”nya

terkadang “dilupakan” atau “kurang dikuasai” dengan sering bertanya pada saksi ahli,

atau menggunakan “ilmu lama/kuno”, yaitu ilmu WvS/KUHP di zaman Belanda.

Bahkan, pendekatan ilmu hukum tergeser oleh “pendekatan/orientasi lain” terkait

materi/amplop/kekuasaan dan lain-lain yang terkesan melupakan tuntunan Tuhan.

Meningkatnya kasus-kasus “mafia peradilan” atau “permainan kotor” di

seluruh tahap/proses penegakan hukum pidana merupakan indikator penegakan hukum

selama ini ada mengabaikan keterkaitan ilmu hukum dengan ilmu ketuhanan. Berarti

ada pendekatan parsial dan sekuler. Banyak aparat penegakan hukum yang sangat tahu

“tuntunan UU”, tetapi tidak tahu (atau “tidak mau tahu”) akan adanya “tuntunan

Tuhan” dalam menegakkan hukum/keadilan, padahal asas “keadilan berdasarkan

(tuntunan) Ketuhanan YME” merupakan asas juridis-religius yang tercantum secara

tegas dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48/2009 yang menyatakan: “Demi keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti, seharusnya penegakan hukum dan

keadilan tidak hanya didasarkan pada tuntunan undang-undang, tetapi juga harus

berdasar “tuntunan Tuhan”.142

139 Sauer menyebutnya sebagai “trias hukum pidana” (berupa “sifat melawan hukum”, “kesalahan”, dan

“pidana”) dan H.L. Packer (1968: 17) menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic

problems” (berupa “offence”, “guilt”, dan “punishment”), dalam Barda Nawawi Arief, ”Optimalisasi

Kinerja Aparat……ibid., hlm. 14. 140 Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami

sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran

(wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang

hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral, dalam

Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat …..ibid., hlm. 1. 141 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel

untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009,

Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 26. 142Tuntunan Tuhan dalam menegakkan keadilan, antara lain Al-Qur’an, An-Nisaa’:58 (apabila kamu

menghukum di antara manusia, maka hukumlah dengan adil); An-Nisaa’:135 (jadilah kamu orang yang

benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu

Page 95: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

2. Pendekatan Juridis-Kontekstual

Pendekatan yang berorientasi dalam melakukan penegakan hukum pidana

berlandaskan hukum positif (KUHP/WvS dan sebagainya), tetapi dalam konteks

bangnas/bangkumnas/siskumnas. Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat dalam

kenyataan sering dipisahkan antara masalah penegakan hukum (law enforcement)

dengan masalah pembaharuan/pembangunan hukum (law reform and development).

Padahal penegakan hukum pidana merupakan bagian (sub-sistem) dari keseluruhan

sistem/kebijakan penegakan hukum nasional, yang pada dasarnya juga merupakan

bagian dari sistem/kebijakan pembangunan nasional.

Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam arti

penegakan in abstracto dan in concreto merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan

sistem (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang

kebijakan pembangunan nasional (national development policy). Ini berarti,

penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law making/law

reform) dan penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya

bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional

(bangnas)143 dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional.

Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk

pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda

dengan penegakan hukum pidana seperti di zaman Belanda karena kondisi lingkungan

atau kerangka besar hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat

dioperasionalisasikannya WvS sudah berubah. Menjalankan WvS di Belanda atau di

zaman penjajahan Belanda, tentunya berbeda dengan di zaman RI.144 Ini berarti,

penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya

harus memperhatikan juga rambu-rambu umum proses penegakan hukum dan keadilan

dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam

konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal

framework), dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat

dikatakan ”penegakan hukum di Indonesia”.

3. Pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif

Pendekatan pemikiran hukum yang berorientasi pada wawasan global/

komparatif memang pada umumnya diperlukan dalam masalah “pembaharuan hukum”

(law reform), khususnya dalam “pembuatan UU” (kebijakan legislatif/ formulasi).

Namun tidak mustahil untuk dimanfaatkan dalam masalah “penegakan hukum”

(kebijakan judikatif/judisial), mengingat :

bapakmu dan kaum kerabatmu; janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari

kebenaran/keadilan); Al-Maidah:8 (janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong

kamu berlaku tidak adil); Asy-Syuura:15 (perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati

terhadap orang yang tidak seagama), dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid.,

hlm. 22. 143Setiap kebijakan di bidang apapun (bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan

sebagainya) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, dalam

Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 23. 144Identik dengan “tidak sama menjalankan mobil di Semarang dengan di Jakarta”. Walaupun punya SIM,

bisa kena “tilang” kalau orang Semarang tidak menguasai kondisi lingkungan dan rambu-rambu di

Jakarta, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 24.

Page 96: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Adanya asas nasional aktif dalam KUHP, yaitu Pasal 5 ayat 1 ke-2, bahwa ”aturan

pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di

luar Indonesia melakukan salah-satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana

dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan

menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, diancam

dengan pidana.”

b. Adanya beberapa ketentuan dalam UU di luar KUHP yang memperluas jurisdiksi

teritorial ke luar wilayah Indonesia.

c. Banyaknya UU yang berasal dari meratifikasi berbagai ketentuan/dokumen

internasional.

d. Adanya berbagai UU tentang perjanjian bilateral; dan perjanjian timbal balik

dalam masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters

(antara lain UU No. 1 Tahun 2006 dan UU No. 8 Tahun 2006);

e. Adanya perkembangan cybercrime yang merupakan “transborder/ transnational

crime”.

Kondisi perundang-undangan di atas dan perkembangan hitech

crime/cybercrime, mengisyaratkan perlunya pendekatan pemikiran hukum yang

berorientasi pada wawasan global/komparatif. Di samping itu, ada pendapat

Soedarto145 bahwa pendekatan global/komparatif juga dapat membawa sikap kritis

terhadap sistem hukum sendiri dan pendapat Soerjono Soekanto146 dapat juga untuk

pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat.

C. Simpulan

1. Sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya merupakan suatu

sistem penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana cyber crime meliputi

hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana.

2. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan

mayantara (cyber crime) di Indonesia, yaitu adanya keterjalinan erat

(keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen)

yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure),

dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses

penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma

hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif),

lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta

mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen

kultural).

3. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi cyber crime dilihat

dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum pidana materiel

(materielle strafrecht), yaitu (a) KUHP dan peraturan perundang-undangan khusus

lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang

Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

145 Lihat pendapat Soedarto, dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed.

2-7, 2008, hlm. 17. 146 Lihat pendapat Soerjono Soekanto, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan ....., ibid.,

hlm. 29.

Page 97: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; (b)

Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht), yaitu

KUHAP; dan (c) substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht).

4. Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua

sisi/aspek, yaitu (a) aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam

satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral; dan (b) aspek substansi

nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana

cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”ide keseimbangan” dan ”pendekatan

keilmuan” yang integral meliputi pendekatan juridis-ilmiah-religius, pendekatan

juridis-kontekstual dan pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif.

Daftar Pustaka

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor

Taftazani, The Habibie Center, Jakarta, 2002.

Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005.

------------, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik

Kesusilaan di Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum

Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret 2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini

juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks melalui Cyber Crime

dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI,

di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005.

------------, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

------------, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia

Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar

Nasional “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca

Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008, Semarang.

------------, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed. 2-7, 2008.

------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253

dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum

Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008.

------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel

untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”,

edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta.

------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel

untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”,

edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta.

------------, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Kuliah Umum pada

Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei 2009.

Al-Qur’an.

Page 98: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta

________________________________________________________________________

Wahyu Sasongko

I. Pendahuluan Harus diakui bahwa hukum kekayaan intelektual (intellectual property law)

merupakan bidang hukum yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini dapat

dimaklumi, karena karya-karya intelektual berkembang dengan pesat, searah dengan

kemampuan atau daya intelektual manusia. Karya-karya intelektual yang dihasilkan

pun semakin beragam dan berkualitas. Perkembangan daya intelektual itu, selain

disebabkan karena faktor manusia sebagai sumber daya yang semakin andal dan juga

karena faktor kemajuan teknologi.

Salah satu karya intelektual yang dirasakan semakin pesat perkembangannya

adalah karya cipta. Semakin beragam karya cipta atau ciptaan manusia, berdampak

tehadap peraturan hukum yang mengatur perlindungan hukum, yaitu Undang-Undang

Hak Cipta (UUHC) yang cepat berubah. Perubahan yang mencolok adalah

bertambahnya karya cipta atau ciptaan yang dilindungi oleh hukum, sebagaimana

diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.147

Setidaknya, meliputi 12 jenis ciptaan yang dilindungi, di antaranya ada yang tidak

diatur dalam UUHC sebelumnya, yaitu:

1. program komputer (computer program);

2. perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan;

3. kompilasi data (database).

Manusia sebagai sumber daya berkualitas cenderung kreatif untuk

menghasilkan ciptaan yang bermutu dan bernilai seni tinggi. Teknologi maju

(advance technology), seperti komputer merupakan karya intelektual manusia dan

dengan menggunakan teknologi, kemampuan manusia semakin meningkat untuk

membuat ciptaan baru yang lebih indah dan atraktif. Seperti, karya seni tradisional

berupa pertunjukan wayang kulit atau wayang orang menjadi semakin indah dan

menarik dengan menggunakan teknologi multi media.

Namun sayang, kemajuan teknologi selain berdampak positif, juga

berdampak negatif bagi perkembangan karya cipta. Bahkan, dapat mengancam hak-

hak dan kreativitas para pencipta. Teknologi komputer misalnya, berpotensi menjadi

alat atau sarana untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Penggandaan dan

pembajakan karya cipta seperti lagu, film, dan foto sangat mudah dilakukan dengan

menggunakan komputer, tanpa harus meminta izin dari penciptanya. Apalagi dengan

internet, semakin terbuka peluang untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber

crime).

Kesulitan untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual (intelletual

property rights) atau untuk menindak kejahatan di dunia maya tidak hanya dialami

oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Amerika Serikat (AS) yang notabene

merupakan negara maju dalam teknologi komputer pun mengalami kesulitan,

sebagaimana dikatakan oleh Gordon M. Snow, Assistant Director, Cyber Division,

Federal Bureau of Investigation:

147 Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85.

Page 99: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

The increasing accessibility of the Internet and improvements in

manufacturing and transportation have led to the expansion of the global

market. With increasing competition, innovation, and divisions of labor, more

digital content is instantaneously distributed to the global market than ever

before. Businesses now have extraordinary opportunities to market and

distribute their goods and services all around the world. Unfortunately, the

expansion in worldwide trade has led to growth in the number of criminals

and organizations that seek to exploit and misappropriate the intellectual

property of others for profit. These criminals have developed complex and

diverse methods of committing IPR crime.148

Teknologi komputer diakui sebagai karya intelektual dan diberikan

perlindungan hukum. Komputer dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua macam,

yaitu perangkat lunak (software computer) dan perangkat keras (hardware

computer). Perlindungan hukum bagi keduanya dapat dilakukan melalui dua rezim

hak kekayaan intelektual (HKI), yaitu:

1. hak cipta untuk melindugi perangkat lunak yang berupa program komputer.

2. paten untuk melindungi perangkat keras berupa produk komputer.149

Meski kedua macam teknologi komputer itu sudah diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun dalam praktiknya masih terjadi pelanggaran hak. Tidak

mudah melakukan penegakan hukum di bidang hak cipta, yang karyanya sangat

beragam. Misal, pelanggaran seni rupa berupa lukisan yang dipalsukan, aparat

penegakan hukum mengalami kesulitan dalam pembuktian. Apalagi, para aparat

penegak hukum itu selain tidak memahami tentang hak cipta dan juga awam dengan

seni lukis atau karya-karya cipta lainnya, sehingga semakin sulit untuk

mengungkapkan di persidangan.

II. Pengaturan Hak Cipta Pada hakikatnya, perlindungan hukum adalah perlindungan oleh hukum

(protection by law), yaitu perlindungan dengan menggunakan sarana dan pranata

hukum.150 Perlindungan hukum dapat dilakukan dengan cara tertentu. Diawali

dengan pembuatan peraturan hukum, untuk memberikan hak-hak dan menjamin

kepentingan subjek hukum. Setelah itu, peraturan hukum ditegakkan terhadap pihak

yang melakukan pelanggaran hak-hak subjek hukum,151 yaitu hak-hak pencipta

sebagaimana diatur dalam UUHC.

Peraturan hak cipta di Indonesia diawali tahun 1912, ketika Pemerintah

Hindia Belanda memberlakukan undang-undang tentang Auteurswet 1912 (Wet van

23 September 1912), S. 1912 No. 600.152 Setelah Indonesia merdeka diterbitkan

148 Gordon M. Snow, “Testimony,” <http://www.fbi.gov/news/testimony/intellectual-property-law-

enforcement-efforts>, diakses tanggal 15 November 2011. 149 Jeremy Phillips dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth Edition, London:

Butterworths LexisNexix, 2001, hlm. 344 et seq. 150 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung:

Penerbit Universitas Lampung, 2007, hlm. 31. 151 Ibid. 152 W.A. Engelbrecht dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de

Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan

Page 100: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

undang-undang nasional tentang hak cipta. Dalam kurun waktu yang relatif pendek,

Pemerintah Indonesia telah melakukan empat kali perubahan UUHC, yaitu:

1. Tahun 1982 diterbitkan UUHC Nomor 6 Tahun 1982.

2. Tahun 1987 diterbitkan UUHC Nomor 7 Tahun 1987.

3. Tahun 1997 diterbitkan UUHC Nomor 12 Tahun 1997.

4. Tahun 2002 diterbitkan UUHC Nomor 19 Tahun 2002.

Istilah hak cipta sesungguhnya tidak berasal dari terjemahan bahasa

Belanda auteursrecht yang berarti hak pengarang atau bahasa Inggris copyrights

yang berarti hak menyalin atau hak memperbanyak. Istilah hak cipta sengaja dipilih

agar tidak hanya para pengarang tetapi juga pelukis dan lain-lain.153 Dengan

demikian, istilah pencipta untuk memperluas cakupannya.

Arti pencipta menurut UUHC 2002 adalah seorang atau beberapa orang

secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan

kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang

dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Konsep ini memiliki

cakupan sangat luas, baik subjek maupun objeknya. Pencipta sebagai subjek hukum

dalam UUHC 2002 dapat bersifat individual atau kelompok, termasuk yang

membentuk suatu badan usaha. Begitu pun, objek hukum yang menurut UUHC 2002

disebut dengan ciptaan ialah hasil setiap karya dari pencipta yang menunjukkan

keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Cakupan dari

ciptaan ini pun sangat luas dan beragam jenisnya.

Tidak semua karya intelektual seseorang merupakan ciptaan yang dapat

memperoleh hak cipta. Menurut UUHC ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi

agar suatu karya cipta dapat menjadi objek hak cipta, yaitu:

1. karya cipta itu bukan berupa ide atau inspirasi (idea; inspiration);

2. berbentuk nyata (fixation; real), dapat dilihat, dibaca, didengar, dan diraba;

3. bersifat khas (unique), karena berbentuk khusus atau spesial;

4. merupakan kesatuan atau padu (compact) atau berupa karya yang utuh;

5. bersifat pribadi (personal) yang melekat pada penciptanya;

6. bersifat asli (original) dari pencipta atau derivatif atau turunan dari karya yang

asli.

Karya cipta yang masih berupa ide atau gagasan yang belum dapat dilihat,

dibaca, dan didengar (idea: picture in the mind; inspiration: influence arousing

creative activity in literature, music, art) belum dapat dikategorikan sebagai ciptaan,

sehingga tidak diberikan perlindungan hukum menurut UUHC. Karya cipta semacam

itu, harus dijaga kerahasiaannya, agar pihak lain tidak menggunakannya secara

sepihak. Nanti, setelah seluruh proses penciptaan selesai, baru dipublikasikan atau

diumumkan sehingga orang lain mengetahuinya.

Hak cipta pada hakikatnya adalah seperangkat hak yang dimiliki oleh

pencipta. Menurut UUHC 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau

penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau

memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan

Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Leiden: A.W. Sijthoff’s

Uitgeversmaatshappij N.V. dan PT Gunung Agung, 1960, hlm. 2793. 153 J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982), Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982,

hlm. 5-7.

Page 101: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karya cipta bersifat pribadi

karena berkaitan erat dengan pribadi penciptanya. Bahkan, merupakan ekspresi diri

(self expression) atau refleksi dari penciptanya. Oleh sebab itu, karya cipta diakui

memiliki sifat eksklusif (exclusive) karena tiada duanya. Maka, dalam UUHC 2002

ditegaskan bahwa hak eksklusif hanya diperuntukkan bagi pencipta atau pemegang

hak cipta, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa

izin pemegangnya, bagaikan hak monopoli.

Pengaturan hak cipta Indonesia dipengaruhi oleh sistem Eropa kontinental

yang diwarisi dari hukum Belanda. Menurut Jill McKeough dan Andrew Stewart:

European system, which have typically protected not only the economic interests of

authors, but also their ‘moral rights’.154 Hak cipta dalam UUHC 2002 diakui

merupakan hak eksklusif yang mencakup dua macam hak, yaitu:

1. Hak ekonomi (economic rights): hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas

ciptaan, yang terdiri atas:

a. hak untuk memperbanyak;

b. hak untuk mengumumkan;

c. hak untuk mempertunjukkan.155

2. Hak moral (moral rights): hak pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus

tanpa alasan apa pun, meski telah dialihkan, yang terdiri atas:

a. hak-hak untuk mencantumkan nama pencipta,

b. hak untuk mencegah agar ciptaannya tidak dikurangi atau diubah.156

UUHC 2002 memuat ketentuan-ketentuan tentang sistem perlindungan hukum

terhadap kedua macam hak cipta tersebut.

III. Perlindungan Hak Cipta Setidaknya, ada tiga alasan utama mengapa karya-karya intelektual diberikan

perlindungan hukum. Pertama, didasarkan pada argumentasi moral, bahwa karya

intelektual dihasilkan dari usaha keras dan melalui proses yang rumit. Apabila

seseorang mengambil atau menggunakan karya intelektual tanpa izin adalah tindakan

yang tidak bermoral dan dianggap sama dengan pencurian. Kedua, didasarkan pada

argumentasi ekonomi, bahwa karya intelektual yang dihasilkan memiliki nilai

ekonomi (economic value) yang tinggi dan layak menjadi komoditas. Ketiga,

didasarkan pada argumentasi inovasi, bahwa karya intelektual merupakan inovasi

(innovation), yaitu ciptaan atau penemuan baru yang sangat berguna bagi masyarakat

sehingga perlu diberikan imbalan atau ganjaran (reward) sebagai perangsang

(incentive) agar semakin giat menghasilkan karya intelektual yang lebih baik.157

Perlindungan hak terhadap karya intelektual diawali sejak munculnya hak.

Dalam konteks ini, menurut Pasal 2 UUHC 2002 ditentukan bahwa muncul atau

lahirnya hak cipta secara otomatis atau tanpa memerlukan pendaftaran, setelah karya

cipta selesai dibuat, dan tentunya sudah memenuhi kriteria dalam UUHC.

Karakteristik hak cipta ini berbeda dengan hak-hak kekayaan intelektual lain seperti

154 Jill McKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition, Sydney:

Butterworths, 1997, hlm. 119. 155 Ibid., hlm. 123. 156 Paul Torremans dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition, London: Butterworths,

1998, hlm. 212. 157 McKeough dan Stewart, Intellectual, hlm. 16-19.

Page 102: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

hak merek dan paten yang muncul setelah didaftarkan. Menurut Pasal 5 UUHC 2002

ada dua kategori pencipta. Pertama, pencipta adalah orang yang namanya terdaftar

dalam daftar umum ciptaan pada kantor direktorat jenderal HKI. Kedua, pencipta

adalah orang yang namanya disebut dalam ciptaannya atau diumumkan.

Meski pendaftaran hak bukan merupakan syarat keberadaan hak cipta, namun

pendaftaran hak diperlukan. Melalui pendaftaran dapat memudahkan untuk

membuktikan bahwa pencipta adalah orang yang memiliki hak cipta. Apabila terjadi

sengketa, sertifikat hak cipta yang diperoleh dapat digunakan sebagai alat bukti

sehingga ada kejelasan dan kepastian tentang saat munculnya hak cipta. Sering kali,

para seniman pencipta lagu tidak mempedulikan tentang saat munculnya hak cipta

pada lagu ciptaannya. Biasanya, sengketa hak cipta baru muncul setelah lagu yang

mirip dengan ciptaannya dibawakan atau dinyanyikan oleh orang lain dalam suatu

acara.

Munculnya hak cipta merupakan momentum untuk menentukan awal atau

dimulainya masa perlindungan hukum bagi hak cipta. Masa perlindungan atau

jangka waktu perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 ditentukan berdasarkan

subjek dan objek. Ditinjau dari subjek hak cipta, dibedakan antara orang sebagai

pencipta dan badan hukum sebagai pemilik atau pemegang hak cipta. Ditinjau dari

objek hak cipta, dibedakan antara ciptaan yang bersifat asli (original) dan turunannya

atau derivatif (derivative). Berdasarkan kategori tersebut, maka jangka waktu

perlindungan hak cipta menurut UUHC 2002, yaitu:

1. Ciptaan yang asli, antara lain seperti karya sastra (literary), drama (dramatic),

musik (musical), dan karya artistik (artistic work)158 yang dimiliki oleh orang,

masa perlindungan berlangsung selama hidup dan 50 tahun setelah meninggal

dunia.

2. Ciptaan yang derivatif, antara lain seperti program komputer (computer program),

sinematografi (film), rekaman suara (sound recordings), penyiaran

(broadcasting), perwajahan (layout)159 berlaku selama 50 tahun sejak diumumkan

atau diterbitkan. Begitu pun, apabila dimiliki oleh suatu badan hukum berlaku 50

tahun sejak diumumkan.

Jangka waktu perlindungan yang terlalu lama untuk beberapa jenis karya cipta

sesungguhnya tidak efektif. Program komputer misalnya, masa perlindungan selama

50 tahun terlalu lama, karena penciptaan program-program komputer baru sangat

cepat, seperti program Windows yang dikembangkan oleh Microsoft. Alih-alih

jangka waktu 50 tahun, masa lima tahun saja usia program komputer sudah terhitung

kuno. Masyarakat pengguna program komputer cenderung menyesuaikan atau

mengikuti program yang baru tentunya.

Perlindungan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran

hak cipta yang umumnya dapat berupa:

1. perbuatan yang melanggar hak moral pencipta dengan memanfaatkan hak cipta

milik orang lain secara tanpa izin, seperti mengutip, mencontek, atau plagiarime;

158 Phillips dan Firth, Introduction, hlm. 140. 159 Catherine Colston, Principles of Intellectual Property Law, London: Cavendish Publishing Limited,

199, hlm. 185-188.

Page 103: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

2. perbuatan yang melanggar hak ekonomi pencipta dengan mengambil keuntungan

tanpa izin, seperti pembajakan, reproduksi, perbanyakan, atau pelipatgandaan

(multiply).

Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dapat bermacam-macam ragamnya, namun

pada hakikatnya melanggar hak moral dan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak

cipta.

Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hukum yang diuraikan di atas

bersifat pencegahan. UUHC 2002 selain mengatur tentang pencegahan juga memuat

ketentuan perlindungan hukum yang bersifat penanggulangan, yaitu berkenaan

dengan persengketaan hak cipta atau pelanggaran sanksi berupa ketentuan pidana.

Perlindungan hukum berkenaan dengan hal itu, oleh UUHC 2002 diberikan fasilitas

dan kemudahan.

Pertama, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum pengadilan niaga

atau forum penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution), seperti

mediasi dan arbitrase. Pengadilan niaga memiliki wewenang untuk memeriksa

sengketa hak cipta. Ada beberapa prosedur yang berbeda dalam memeriksa sengketa

hak cipta dalam persidangan di pengadilan niaga. Selain itu, majelis hakim yang

memeriksa pun bersifat khusus karena ahli (expert) di bidang HKI. Penyelesaian

sengketa melalui mediasi dan arbitrase merupakan pilihan yang dibolehkan dalam

UUHC.

Kedua, pencantuman sanksi dalam UUHC berupa ketentuan pidana yang dapat

ditegakkan terhadap pelanggaran hak cipta. Satu hal yang membedakan perlindungan

hak cipta dengan rezim HKI yang lain adalah pelanggaran terhadap hak cipta

dikualifikasi atau berstatus sebagai tindak pidana atau delik (delict) biasa atau bukan

tindak pidana aduan. Dengan demikian, setiap pelanggaran hak cipta tidak

diperlukan adanya pengaduan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang menjadi

korban tindak pidana. Sesungguhnya, status delik biasa sudah diterapkan sebelum

UUHC 2002, namun dipertahankan hingga saat ini. Setidaknya, ada tiga alasan

utama status delik biasa pada hak cipta tetap dipertahankan:

1. Hak cipta lahir tidak melalui pendaftaran;

2. Karya cipta rentan terhadap pelanggaran, seperti pembajakan lagu dan film

dengan menggunakan alat rekam yang berteknologi canggih.

3. Pencipta dan para pelaku di bidang hak cipta menghendaki agar dikenakan

hukuman berat.160

Padahal, efektivitas sanksi pidana dengan status delik biasa diragukan. Hal ini

dapat diamati dari penjualan karya cipta lagu dan film bajakan secara terbuka dan

terang-terangan para penjual itu mengakui bahwa VCD dan DVD yang dijualnya

berstatus barang-barang bajakan alias barang-barang ilegal. Namun, kepolisian

sebagai penegak hukum tidak melakukan tindakan perlindungan hukum. Dengan

demikian, pencantuman sanksi pidana yang berat tanpa diikuti dengan tindakan

hukum (legal action) yang tetap atau konsisten, justru dapat menimbulkan sikap

apatis.

160 Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT Alumni, 2005, hlm.

135.

Page 104: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Apabila situasi dan kondisi semacam itu terus dibiarkan oleh aparat penegak

hukum, yang mangalami kerugian bukan hanya para pencipta atau pemegang hak

cipta tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Karena, para pencipta enggan membuat

karya cipta yang indah, bermutu dan bernilai seni tinggi. Pada akhirnya, sikap dan

perbuatan semacam itu dapat menciptakan iklim yang tidak sehat atau terjadi

degradasi moral. Karena, pembajakan dan plagiat sesungguhynya merupakan

tindakan atau perbuatan yang melanggar etika dan moral.

IV. Penutup Perkembangan daya intelektual manusia cenderung meningkat, karena faktor

manusia dan teknologi yang didorong oleh tingkat persaingan yang tinggi pula.

Karya-karya intelektual pada masa mendatang akan semakin banyak bermunculan

dengan beragam jenis atau macam. Namun sayang, perkembangan yang positif itu

terancam dengan lemahnya tindakan hukum untuk memberikan perlindungan

terhadap hak-hak cipta.

Ditinjau dari aspek pengaturan hukum untuk memberikan pedoman atau

panduan dalam memberikan perlindungan hukum, dipandang sudah memadai.

Namun, tindakan hukum yang nyata yang belum optimal atau tidak efektif. Akankah,

kita menunggu pihak asing untuk meminta atau mendesak Pemerintah Indonesia agar

melindungi karya-karya cipta mereka yang dipasarkan di Indonesia.

Daftar Pustaka Colston, Catherine. Principles of Intellectual Property Law. London: Cavendish

Publishing Limited, 1999.

Engelbrecht, A. dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen

Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab Undang-

Undang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar

1945 Republik Indonesia. Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatshappij N.V. dan

PT Gunung Agung, 1960.

McKeough, Jill dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition.

Sydney: Butterworths, 1997.

Phillips, Jeremy dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth

Edition. London: Butterworths LexisNexix, 2001.

Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT

Alumni, 2005

Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar

Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007.

Simorangkir, J.C.T. Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982). Jakarta: Penerbit

Djambatan, 1982.

Snow, Gordon M. “Testimony,” <http://www.fbi.gov/news/testimony/intellectual-property-law-

enforcement-efforts>, diakses tanggal 15 November 2011.

Torremans, Paul dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition. London:

Butterworths, 1998.

Page 105: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Hubungan Negara dan Agama Berdasarkan UUD 1945

________________________________________________________________________

Budiyono

A. Latar Belakang

Konstitusi menempati posisi yang sangat penting dalam perkembangan

kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi muatan konstitusi selalu berkembang

seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan organisasi kenegaraan.

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pedoman penyelenggaraan

pemerintahan suatu negara. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsip-

prinsip dasar yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah

(rakyat), dan hubungan antara keduanya.

Konstitusi merupakan aturan dasar ketatanegaraan yang dibuat oleh

masyarakat guna memberikan arah penyelenggaraan hubungan kehidupan berbangsa

dan bernegara, tidak terkecuali persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Konstitusi tidak

saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme hubungana antara

lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak relasional dan

kedudukan dan kewajiban warga negara161, konstutusi juga merupakan realisasi dari

demokrasi yang berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat.

begitu pentingnya kehadiran konstitusi di sebuah negara, secara teoritis dapat

disebutkan bahwa semua bangsa bernegara, menuangkan pokok-pokok pandangan,

pendirian, prinsip konseptual mengenai pengelolaan kehidupan bernegara dan

berbangsa mereka dalam sebuah konstitusi, baik konstitusi tertulis maupun tidak

tertulis.

Keberadaan konstitusi adalah kesepakatan yang bersifat umum atau perjanjian

seluruh rakyat mengenai bangunan negara yang akan diidealkan. Organisasi negara

yang dituangkan di dalam konstitusi sangat diperlukan oleh warga masyarakat agar

kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan pengunaan

mekanisme negara. Konstitusi merupakan ketentuan yang memberikan pengaturan dan

menentukan fungsi dari lembaga-lembaga negara agar tidak terjadi pelanggaran atas

HAM. oleh karena itu, kepentingan yang paling mendasar dari setiap warga negara

atau masyarakat adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Hak

Asasi Manusia (HAM) merupakan materi inti dari naskah UUD (Konstitusi tertulis)

negara modern.

Sebagai wujud perjanjian masyarakat tertinggi, konstitusi memuat cita-cita

yang akan dicapai dengan pembentukan negara dengan prinsip-prinsip dasar

pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang

merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar,

dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Undang-Undang Dasar 1945

sebelum perubahan dapat dikatakan tidak mencantumkan secara tegas mengenai

161 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media

Group, 2007, Hlm. 8

Page 106: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

jaminan hak asasi manusia. UUD 1945 hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga

tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia162. Namun setelah

perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan

hak asasi warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan yang

sangat mendasar163. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sunguh hanya ada 1

ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas

HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan

tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaanya itu’. 164 ini berarti bahwa Setiap orang berhak

atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun

boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut

atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya.

Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/

menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati,

melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan,

ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum.

Pasal 29 UUD 1945 selain merupakan persoalan Hak Asasi Manusia di bidang

kebebasan beragama juga merupakan dasar hubungan agama dan negara di dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaan yang menarik terhadap

masalah hubungan agama dan negara adalah mestikah agama mengatur negara dan

negara harus mengatur agama? Bagaimana sesunguhnya jarak ideal antara agama

dengan negara/ bagaimana pula hubungan agama dengan hak asasi manusia ?

B. Hubungan Negara dan Agama

Hubungan agama dan negara sebenarnya telah lama terjadi dalam realitas

sejarah yang cukup lama. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama

senantiasaa memilki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara selalu

mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman sebagaimana

dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara

keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat

yang lain mengalami ketegangan. Hubungan antar agama dan negara tidak berdiri

sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Puncak

162 Pasal 27 Ayat (1) (2) , Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 34

UUD 1945 163 Pasal 27 Ayat (1) (2), Pasal 28, 28 A, Pasal 28 B Ayat (1) (2), Pasal 28 C Ayat (1) (2), Pasal 28D Ayat

(1) (2) (3) (4), Pasal 28 E (1) (2) (3), Pasal 28F, Pasal 28 G (1) (2), Pasal 28 H (1) (2) (3) (4), Pasal 28 I

(1) (2) (3) (4) (5), Pasal 29 Ayat (2) 164 Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal UUD 1945 bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights,

melainkan hanya ketentuan –ketentuan mengenai hak warga Negara atau citizens’rights atau biasa juga

disebut the citizens’ constitusional rigts. Hak konstitusional warga Negara hanya berlaku bagi orang-

orang yang berstatus sebagai warga Negara, sedangkan bagi warga Negara asing tidak dijamin. Satu-

satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraanya adalah Pasal

29 Ayat (2). Jimly Assddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan

Kapaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm 584.

Page 107: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

hubungan antara agama dan negara terjadi ketika konsep Kedaulatan Tuhan

(theocracy) dimana pelaksaknaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaultan Tuhan dan

Kedaulatan Raja berhimpitan satu sama lain sehingga kekuasaan raja sangat absolut.

Kekuasan raja yang sangat absolut tersebut mengungkung peradaban manusia seperti

yang terjadi pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme

yang beruasaha memisahkan agama (gereja) dan negara.165

Di Indonesia ada tiga macam pemikiran yang berkembang mengenai hubungan

antara agama dan negara, pertama, pemikiran yang menghendaki pemisahan antara

agama dengan sistem ketetanegaraan166. Kedua, pemikiran yang melihat hubungan

yang saling membutuhkan antara agama dan negara167. Ketiga, pemikiran yang

menghendaki agama dan negara adalah satu dengan negara yang tidak dapat

dipisahkan168.

1. Tipologi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Sejarah mencatat, bahwa agama dan negara adalah dua institusi yang sangat

berpengaruh pada perkembangan kehidupan manusia. Hanya untuk kedua hal

tersebut manusia bersedia mengorbangkan dirinya, hanya untuk memperoleh gelar

sahid atau syuhada dalam pandangan agama, atau untuk gelar pahlawan atau patriot

dalam pandangan negara. Kedudukan agama dan negara yang sama kuat, tidak

jarang diantara keduanya, terjadi. Pertama, rivalitas di antara keduanya dalam

kurun waktu tertentu, dimana masing-masing saling meniadakan (antogonistik).

Kedua, sebaliknya terjadi ”perkoncoan” atau ”kolusi” atau ” hubungan simbiotik

antara agama dan negara, dimana antara keduanya saling memanfaatkan dan pada

saat tertentu ingin memperalat.169

Hubungan antara agama dan negara dalam kontek ke-Indoneisan dibagi

dalam empat tipologi yaitu.

1. tumbuhnnya kerajaan Perelak dan Samudera Pasai di Aceh. Di kerajaan ini

hukum negara adalah hukum agama.

2. pertarungan antara hukum adat dan hukum agama (Islam) di Sumatera Barat.

Disebabkan tidak adanya kerajaan besar yang bisa memenangkan yang adat

atau syari’ah. Perang Paderi merupakan puncak pertarungan antara hukum adat

dan hukum agama (Islam). Di sini terjadi permasalahan karena hukum Islam

akan dijadikan hukum negara tetapi masyarakat menolak, mengigat mereka

165 Menurut Budhy Munawar-Rahman, sekulerisme lahir dari otoriterisme agama (gereja) yang bersekutu

dengan penguasa (negara) sehingga memasung kebebasan beragama. Budhy Munawar-Rahman,

sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif dan perkembangan diskursusnya, Grasindo,

Jakarta, 2010, hlm, XX1. 166 Jajim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama hlm, 1 167 Ibid, hlm, 1 168 Ibid, hlm, 1 169 Model pertama terjadi pasca tumbangya Khilafah Utsmaniyah di Turki, sedangkan model kedua terjadi

pada masa kerajaan majapahit, dimana secara bergantian terjadi pemberian legitimasi antara agama dan

negara. Kerajaan Majapahit lahir lantaran agama memberikan legitimasi kepadanya, sebaliknya agama

juga dilindungi oleh negara. Silih berganti pemberian legitimasi juga terjadi pada Kerajaan Mataram,

tapatnya ketika Walisanga memegang peran dominan di kerajaan. Ibid, hlm, 45.

Page 108: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

sudah mempunyai hukum adat tersendiri. Akhir dari semuanya disepakati

bahwa kedua-keduanya diakui . kesepakatan ini terkenal dengan kata-kata ”

adat bersendikan syara dan syara bersendikan Kitabullah”, artinya eksistensi

hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan hukum Islam.

3. pola dalam Kerajaan Goa, dimana ada kerajaan yang kuat yang menggunakan

hukum adat istiadat dan hukum serta tata cara hukum pra–Islam. Kemudian

datang hukum Islam melalui pedagang, para ulama yang memasuki keraton

secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Dari sini

timbul kerajaan-kerajaan yang di Islamkan secara berangsur-angsur dengan

tidak mematikan unsur-unsur pra–Islam yang sudah ada.

4. pola yang terjadi di Kerajaan Jawa, ketika penembahan Pasopati secara sadar

memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam dalam bentuk Hindu-Budha yang

digabung dengan sistem kepercayaan sebelum hindu datang. Dengan kata lain

ada agama bayangan disamping agama formal. Disini masyarakat tidak harus

ikut-ikutan. Mereka jadi santri dipersilahkan dan berbeda dengan raja pun

bukan persoalan170.

Sementara selain tipologi hubungan agama dan negara sebagaimana yang

dipaparkan di atas, ada juga beberapa tipologi hubungan antara agama dan negara.

Ada empat tipelogi hubungan antara agama dan negara, yaitu :

1. Tipe negara sekularistik atau ”seperasi mutlak”, yaitu tipe negara yang

menghendaki pemisahan mutlak antara agama dan negara. Disini negara tidak

mengurus agama, dan agama tidak mengurus negara, agama dipandang tidak

berbeda dari perkumpulan dan organisasi swasta lainya yang dibentuk oleh

warga masyarakat. Agama tidak ditindas, tidak didukung, dan juga tidak dikut

sertakan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan negara.

2. Tipe negara totaliter atau subordinasi agama oleh negara, dalam negara model

ini, posisi agama berada dibawah bayang-bayang negara. Disini negara hampir

menjadi mahluk raksasa, yang memiliki kewenangan, kekuatan, dan klaim yang

hampir tak terbatas. Dengan keberadaan negara yang kuat, sudah tentu agama

menjadi tidak berkembang dan terpasung eksistensinya. Negara model ini bisa

disebut negara atheis, dimana agama dipandang sebagai candu masyarakat

3. Tipe negara agama atau subordinasi negara oleh agama, yaitu negara yang

mendasarkan pada salah satu agama tertentu, atau negara yang diatur dan

diselenggarakan menurut hukum agama tertentu. Dan pula diartikan bahwa

agama-agama lain dikucilkan dari pengaruh atas penyelenggaraan agama.

4. Tipe negara sekular yang mementingkan agama atau negara dimana terjadi relasi

timbal balik antara agama dan negara. Dalam negara model ini, keberadaan

agama tidak saja dipentingkan, dipelihara, tapi juga dikembangkan. Hal ini

mengigat negara melihat berkembangnya agama pada tataran tertentu akan

semakin memperkuat kedudukan negara. Karenanya negara berkepentingan pada

negara agama. Dalam konteks Indonesia, ” negara Pancasila” merupakan bentuk

lain dari negara sekuler yang mementingkan agama171.

170 Taufik Abdulah yang dikutif oleh Ma’mun Murod Al-Brebesy , Ibid, hlm,47. 171 Ibid hlm, 47. Dalam pemikiran politik islam, ada tiga paradigma hubungan agama dan negara, pertama

paradigma bersatunya agama dan negara. Yakni pemerintahan negara diselengarakan atas kedaulatan

Page 109: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Menurut Dawam Rahardjo, mengenai negara sekuler di negara- negara

Barat terdapat tiga varian sekulerisme. Pertama, sekulerisme Perancis. Sekulerisme

di negeri ini pada dasarnya mencurigai agama sebagai sumber konflik yang bisa

merusak ruang publik. Karena itu sekulerisme diterapkan untuk melindungi dan

menjaga ruang publik dari ekspresi-ekspresi keagamaan, walaupun setiap warga

negara bisa memilih dan memeluk agama yang mereka percayai. Perlindungan

ruang publik itu misalnya, dilakukan dengan melarang pemakian simbol-simbol

keagamaan di ruang publik, seperti pemakaian jilbab pada perempuan muslim,

memakai tanda salib oleh seseorang atau bahkan memakai kopiah-kopiah

Yahudi.172

Sekulerisme model kedua, sekulerisme model negara Kanada yang juga

memisahkan agama dan negara walaupun menyebut monoteisme dalam

konstitusinya. Sekulerisme model Kanada diperkuat dengan pluralisme karena

masyarakat adalah bersifat multietnis dan multiagama. Sebagai negara sekulerisme,

negara tidak memfasilitasi kehidupan beragama dan membiarkan aliran-aliran besar

keagamaan untuk hidup mandiri terpisah dari negara. namun sebaliknya, negara

justru memberikan perlindungan dan bantuan kepada kelompok keagamaan

minoritas. Dengan perkataan lain negara Kanada memberikan kebebasan beragama

pada tingkat kelompok.173

Sedangkan varian ketiga, sekulerisme Amerika Serikat (AS). Titik tekan

sekulerisme AS adalah kebebasan sipil, dimana kebebasan beragama diletakan pada

tingkat individu, walaupun demokrasi di AS telah melahirkan sekte-sekte gereja

Kristen dalam jumlah yang cukup banyak sekitar 325 denominasi. AS memberikan

kebebasan kepada gereja-gereja untuk melakukan wacana publik. Sehingga

kegiatan dakwah di gedung-gedung umum atau ruang publik banyak dilakukan.

Hanya pendidikan agama tidak diperkenankan di sekolah-sekolah publik,

pendidikan agama ditempatkan di gereja-gereja.174

Dalam pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya kajian mengenai

hubungan agama dengan negara, ditemukan tiga pola pemikiran, yaitu pola

sekularis, tradisionalis, dan reformis175. Pola sekularis menyatakan, bahwa Islam

adalah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan

didalamnya tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah

Ilahi. Kedua, memandang agama dan negara berhubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agama

memerlukan negara agar dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan

bimbingan moral dan etika. Ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan

integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Peradigma sekuleristik mengajukan

pemisahan agama dan negara. Dalam konteks islam, paradigma selkuleristik menolak pendasaran

negara pada Islam atau menolak determinasi Islam dalam negara. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami

Zada, Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Glora Aksara Pratama, 2008, hlm, 80-89.

172 M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Kencana, Jakarta, 2010,

hlm, 129. 173 Ibid, hlm, 130 174 Ibid, hlm, 131 175 Musdah Mulia, Negara Islam, KataKita, Jakarta, 2010, hlm, 21-23

Page 110: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

kenegaraan. Sebaliknya, pola tradisionalis bahwa Islam adalah agama yang

paripurna, yang didalanya ditemukan semua aturan, termasuk aturan yang berkaitan

dengan kenegaraan. Karena itu, umat Islam tidak perlu meniru Barat, tetapi harus

kembali kepada aturan yang digariskan Islam. Adapun pola reformis menolak

kedua pendapat yang ekstrim tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah

agama semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula

yang agama serba lengkap dalam arti ajaranya mencakup segala aturan secara rinci

termasuk aturan mengenai kenegaraan. Islam cukup memberikan prinsi-prinsip

dasar yang dapat menjadi pedoman manusia mengatur prilaku dan hubungannya

dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.176

Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan

politik (negara) tidak dapat dipisahkan177. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya

Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one.178 Jika

memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat

dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.179 Bahkan

Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi

dikarenakan memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat di

Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam

Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah

seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut

Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.180

Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika

Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja

sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam

konteks Amerika, pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan

campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan

dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam

jalannya pemerintahan bernegara.

Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan

dengan pandangan keIndonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan

mutualisme” antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama

176 M. Husein Haikal mengemukan pendapat bahwa di dalam Al-quran dan sunah tidak ditemukan aturan-

aturan yang lansung dn rinci mengenai persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai

etika yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku menusia dalam kehidupan dan

pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan hidup bernegara.

Nilai-nilai yang dimaksud adalah prinsip tauhid, sunatullah, dan prinsip persamaan.. Ibid , Musdah Mulia,

hlm, 21-23 177 Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm.

42 178 Ibid,hlm, 42. 179 Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam

membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal,

Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203. 180Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 16-

17. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan

Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat

yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi Ahmad Sukardja

(Prof, DR)

Page 111: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU

Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum

agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan

produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama

mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah

(masyarakat). Dengan kata lain, agama juga berperan serta dalam pemerintahan.

Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali

menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan

pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama.

Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih

diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.

2. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu

formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe

negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi.

Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara

Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman

dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha

Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia

sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan konstatasi tersebut maka pemikiran filosofis tentang hubungan

negara dengan agama yang tertuang dalam dasar filsafat negara Pancasila, yang sila

pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah merupakan pemikiran

inovatif para pendiri bangsa ini. Dalam hubungan ini pendiri Republik ini mampu

meletakkan konteks hubungan negara dan agama di tengah-tengah model negara

sekuler, teokrasi dan ateis, berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia sebagai

kausa materialis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat Pancasila

merupakan suatu nilai bahkan esensi nilai (core values), bagi kehidupan

kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu persoalan yang cukup penting

berikutnya adalah bagaimana derivasi nilai-nilai tersebut pada tataran normatif,

aktual dan praksis serta aktualisasinya dalam era global dewasa ini yang penuh

dengan tantangan.

Bilamana dipetakan maka persoalan yang menyangkut hubungan agama

(khususnya Islam) dengan Pancasila di negara Republik Indonesia ini dapat

dikelompokkan menjadi tiga tahap.

Pertama, terjadi ketika kaum ‘Nasionalis’ mengajukan Pancasila sebagai

dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Sebagaimana para pendiri negara-negara lain, para pendiri Republik ini menyadari

betapa pentingnya dasar filsafat dan ideologi dalam suatu negara. Oleh karena itu

tatkala menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari

kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar

filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding

Page 112: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia

yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada

di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang

BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada

tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1

Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut,

persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara

golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam

menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak

setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kese-pakatan dengan

ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan

Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945..

Dalam membahas hubungan antara Negara dengan Agama Islam tersebut

kiranya layak dipertimbangkan berbagai pemikiran dari kalangan intelektual Islam.

Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam modern mengenai

hubungan antara agama dengan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori

utama. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak

harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif

mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan

ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam

pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara

secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan

oleh antara lain Abdul A’la Maududi (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth

(1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami

maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia,

Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini.

Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama

dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah ‘al-din wa al-daulah’

(agama dan negara).181

Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini

agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak

ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak

harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini

adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk182.

Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama,

sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan

perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain,

181 Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat Pancasila,2010,hlm, 10 182 Berkes, The Development of Seculerism in Turkey, Mc. Gill University Press 1964.

sebagaimana dikutip Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat

Pancasila,2010, Ibid. hlm. 10

Page 113: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga

kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat

memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua

karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara

harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam

hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada

hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama.

Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para

khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah

menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau

negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin

politik183. Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan

tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan

yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai

dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan

mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman.

Formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian

negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiran-

pemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945,

yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa

Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone-sia) yang

diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya.

Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945,

Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini

dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur,

tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan

syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut,

kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi

“Ketuhanan yang Maha Esa”.

Kedua, Respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978

Pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila) untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh

Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya.

Ketiga, ketika pada tahun 1982 Pemerintah mengajukan Pancasila sebagai

asas tunggal bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia.

Kebijaksanaan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam, bahkan terdapat

beberapa ormas yang dibekukan karena menolak asas tersebut.

Berdasarkan perkembangan respons umat Islam atas Pancasila sebagai dasar

Filsafat negara, yang diaktualisasikan oleh pemerintah saat itu, maka munculah

183 Muhamad Imarah, Al Islam wa Uslul al-Hukm Li Ali Abd al-Raziq, edisi ke 2, al-Mu’assasah al-

Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nashr, Beirut, 1998, sebagaimana dikutip, Kaelan, M.S.2010. Ibid, hlm, 10

Page 114: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

berbagai sikap dan penilaian terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi

bangsa dan negara Indonesia, yang hasilnya menimbulkan kerancuan pemahaman

tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia.

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD

1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam

Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:

Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan

kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di

antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha

Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena

sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai

”Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang

Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita

bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan

persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang

menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan

persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada

di atas kepentingan primordial lainnya.

Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan

bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa

prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara

bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.184 Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa”

harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat,

negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.

Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga

berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu

kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam

kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang

Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan

Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2)

Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang

berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan

sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,

yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial;

184 Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya

Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi

Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.

Page 115: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

(4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang

adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan

sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang

berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia

(berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila

harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang

Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan),

keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.

Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus

dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan

menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu,

Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk

Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme

Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk

beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama

(atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak

membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal,

melainkan juga didakwahkan kepada orang lain.

Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila pertama dan

utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menjadi landasan hukum

dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa Negara

Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Negara Republik

Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan

hukum agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dalam sistem kenegaraan

Pancasila adalah makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan

merupakan Negara Islam, bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara

Hindu, bukan Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama

apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu negara

Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi negara beragama dan

negara yang harus melindungi umat yang beragama.Negara Indonesia sebagai

negara hukum, dipertegas lagi dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara

Berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa Jadi, Negara Indonesia adalah negara

hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa.

Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut paham sekuler, sehingga

Negara dan pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan perikehidupan

beragama kita. Karena itu pemerintah tidak menempatkan usaha dan bagi

pembinaan dan pemgembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat

dan umat beragama semata-mata. Dilain pihak, Negara kita juga bukan Negara

Agama dalam arti didasarkan pada salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka

Page 116: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Negara tidak mengatur dan tidak inigin mencampuri urusan syari’ah dan ibadah-

ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.185

Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional maka

Pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupan

beragama. Pembangunan di bidang kehidupan beragama bertujuan agar kehidupan

beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari serta mengurangi

ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman

masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama,

terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama,

karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan

antar umat beragama.

Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”

maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa

yang dikatakan Samuel P. Huntington bahwa:

”betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik,

diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan

ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak

ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, masih bertahan

hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya

kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan”.186

Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan

“kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti

Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. John Locke

menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan

dalam konteks kekuasaan legislasi.

These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law

of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all

forms of government.187

Oleh karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar

kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau

tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara

juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agama-

agama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip

185 Op. cit. Jajim Hamidi dan Husnu Abadi, hlm, 11 186 Lukman Hakim Saifuddin Ketua Fraksi PPP DPR RI, Makalah,Indonesia adalah Negara Agamis:

Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila

187 Ibid

Page 117: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)188, untuk terus

ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia.

Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus

dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling

memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam”

sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Penataan hubungan antara

agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling

mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk

hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga

negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang

mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya

kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktek-

praktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan

norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi

negara.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang

khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di

dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara

bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada

bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa

yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan

hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara

adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Adanya ketentuan bahwa negara

berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukan bahwa negara mempunyangi

kewajiban dan tanggung jawab untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan

religius rakyat kepada meyakini, meresapi, serta menghayati adanya Tuhan Yang

Maha Esa, ini berarti negara Indonesia adalah negara beragama bukan negara yang

berdasarkan agama tertentu dan juga bukan negara sekuler, adalah negara

beragama. Negara beragama adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang

Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hatta menempatkan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral

ditempatkan di atas, sebagai Sila Pertama. Dengan demikian, Hatta mencita-citakan

negara dan pemerintahan akan mempunyai dasar yang kokoh. Dengan pola

pemerintahan yang berpegang pada nilai moral yang tetinggi, maka akan tercapai

suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi menurut Hatta, dasar ke-

Tuhanan Yang Maha Esa, adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita,

yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil

dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan

dalam perbuatan dan praktek hidup dari dasar cita-cita dan amal ke-Tuhanan Yang

Maha Esa. Ke- Tuhanan Yang Maha Esa bukan lagi sekedar hormat-menghormati

188 Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu

(Nabi Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Page 118: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

agama masing-masing, melainkan nilai-nilai agama itu menjadi dasar yang

memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan, dan

lain-lain. Politik negara dengan demikian akan mendapat dasar yang sangat kuat189

Pernyataan Hatta ini dikemudian hari dikuatkan dengan pernyataan Natsir

yang menyatakan bahwa bagi Negara Indonesia, meskipun bukan negara agama,

tetapi agama telah ditempatkan dalam tempat tertinggi (Pancasila) yang berfungsi

sebagai dasar etik, moral dan spiritual agama. Dalam sejarah tercatat, pernyataan

Natsir ini disampaikannya dalam sebuah pidato di depan The Pakistan Institut of

World Affairs pada tahun 1952, dan Natsir menyatakan :

”… tidak diragukan lagi, bahwa Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena

penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan sebagai agama negara.

Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam

diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak

dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak

mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan

kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas

dari Pancasila- -Lima Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral dan

spiritual negara”190

Dari pernyataan Hatta dan Natsir di atas, dapat dipahami bahwa agama

(Ketuhanan Yang Maha Esa) membawa pengaruh kuat pada pembentukan tatanan

moral setiap orang. Tatanan moral yang tertanam dalam individu-individu yang

dibentuk atas dasar kepercayaan kepada Tuhan inilah yang kemudian membentuk

wajah dan susunan Negara Indonesia.

Seperti telah diuraikan terdahulu, sebelum PPKI mengesahkan UUD 1945,

Panitia Sembilan BPUPKI pernah mengesahkan rancangan Pembukaan UUD yang

didalamnya terdapat kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluknya”. Menurut Abdulkadir Besar, meskipun ada perbedaan mendasar

rumusan Piagam Jakarta dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan, Pasal 29

dan Penjelasan UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang, tetapi juga tetap

mengandung pokok cita yang sama191.

Abdulkadir Besar menyatakan, bahwa berdasarkan Pembukaan, Pasal 29

dan Penjelasan UUD 1945 maka tipe hubungan negara dan agama di Indonesia

adalah “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab Lebih lanjut, menurutnya “Negara berdasarkan

ke-Tuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan warna “negara agama” dan tidak

189 Moh. Hatta. Pengertian Pancasila seperti dikutip olej Ahmad Zubaidi.Paham Idiologi Pancasila

Mengenai Hubungan Antara Negara Dan Agama. Tesis. Program Studi Pengkajian Ketahanan

Nasional, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. 1993,hlm, 115 190 Ibid 191 Abdulkadir Besar. Cita Negara Persatuan dan Konsep Kekuasaan Serta Konsep Kebebasan Yang

Terkandung di Dalamnya. Seperti dikutip oleh Ahmad Zubaidi. Ibid. Hlm. 118

Page 119: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

menghapus sama sekali ciri negara agama yang dikemukakan oleh kalangan Islam.

Rumusan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” mencerminkan

warna negara sekuler dari aspirasi pihak kebangsaan yang dimodifikasi dalam

bentuk Pancasila192.

Lebih lanjut, Abdulkadir Besar menyatakan, ditinjau dari sudut negara

agama, Piagam Jakarta memiliki ciri dari negara agama, yaitu bahwa negara ikut

bertanggung jawab mengenai pembinanaan kehidupan beragama. Sedangkan

ditinjau dari sudut negara sekuler, Piagam Jakarta juga menunjukkan

kesekulerannya, yaitu bahwa keikutsertaan negara dalam campur tangan masalah

agama, tidak sampai berwatak campur tangan terhadap kesakralan (kesucian)

agama193.

Dengan demikian, lanjut Abdul Kadir Besar, makna sejarah dari Piagam

Jakarta yang dituangkan dalam bentuk Pembukaan UUD 1945 adalah bahwa

Piagam Jakarta itu telah menetapkan Negara Republik Indonesia sebagai “Negara

berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, bukan dalam pengertian negara agama,

dan bukan negara sekuler. Dengan demikian tipe “Negara berdasar atas Ketuhanan

Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil da beradab” tetap

menghidupkan makna yang terkandung di dalam Piagam Jakarta,yang memadukan

tipe negara agama dan tipe negara sekuler194

Dalam hal ini Mantan Presiden Soeharto menegaskan:195

“ Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah negara

Teokrasi, negara kita bukanlah Negara Agama; bukan negara yang

berdasarkan diri pada agama tertentu”

Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara beragama, yaitu:

Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang

mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis atau mencantumkan nilai-nilai

agama, yakni:

1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang

Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia.

2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut

agamanya.

3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama

di bawah Mahkamah Agung.

4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang

ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta

192 Ibid 193 Ibid 194 Ibid 195 Ibid, hlm, 11

Page 120: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat yang demokratis.

5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha

Esa.”

6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”.

7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan

teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa

untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara beragama diakui melalui

pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”.

Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,

Sejak kemerdekaan, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit

mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama,

UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga

Syariah Negara (SBSN) Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang

berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan

bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008

tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah

Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan

Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan

ajaran agamanya masing-masing.”

Kelima, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan

Nasional Tahun 1999-2000 memberikan peran pada agama sebagai landasan dalam

pembangunan nasional:

“ Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral,

spritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta mengupayakan agar

segala perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama”

Negara beragama adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat

Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya

tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa

ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang

berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat

menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga

warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama

lain.

Page 121: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Agama-agama dalam negara beragama harus selalu menjunjung tinggi

prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan

agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga

berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Negara

beragama yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi,

Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel)

di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya,

meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial

dari beberapa agama.

Negara beragama merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara

sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan

Yang Maha Esa), maka negara beragama justru sebaliknya, menjadikan prinsip

Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agama dan negara dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan paradigma negara

Indonesia terhadap agama adalah simbiosis mutualisme, keduanya saling

membutuhkan. Dalam konteks ini Peraturan perundang- undangan yang

berhubungan dengan kehidupan beragama dalam bahasa antropologi merupakan

semacam feiten for behavior (pola bagi tindakan) untuk melakukan relasi antar

umat beragama melalui peran negara dalam hal ini terutama pemerintah. Regulasi

tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara.

Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan

masyarakat (public safety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral

masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi

hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom

orders).

Dalam hubungan agama dengan negara terdapat wilayah internal dan

eksternal agama. Wilayah internal agama adalah bidangnya agama, dan domain

publik agama. berkaitan dengan nilai isi ajaran utama atau pokok agama menjadi

otoritas dari agama yang bersangkutan, dan sumber utamanya kitab suci agama dan

Wilayah ini tidak boleh diganggu oleh siapa pun kecuali oleh agama itu sendiri.

Eksternal wilayah agama merupakan pengekspresian pemeluk agama terhadap

keyakinannnya; publik agama adalah wilayah publik atau umum yang menjadi

domain negara dan pengaturannya sepenuhnya menjadi tanggungjawab Negara.

Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, Pancasila bukan lain

merupakan kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat

bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam alinea IV

Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam

bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan

negara Indonesia. Artinya, aturan, norma, hukum dasar dalam UUD merupakan

manifestasi yang secara substansi memuat dan mencerminkan nilai-nilai dasar

tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD semata-mata berisi nilai-nilai sebagai

perincian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.

Page 122: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Pancasila dan UUD 1945 yang menentukan bahwa negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah diartikan bahwa negara harus dibangun atas

dasar prinsip –prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan peran

agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. negara Pancasila adalah yang

kita anut dan kita berpendapat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan

negara sekuler, tetapi negara yang memberikan tempat terhormat kepada agama-

agama yang ada di Indonesia.

Secara filosofis negara mempunyai tugas fasif terhadap masalah agama.

Negara hanya memberikan jaminan kepada seluruh penduduk untuk secara

merdeka menjalankan ajaran agamanya. Negara tidak boleh membuat berbagai

larangan dan hambatan bagi setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya.

Bahkan negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap penduduk

untuk menlaksanakan ajaran agamanya. Posisi agama dalam negara kita sangat

spesifik ditinjai dari sosiologis, filosofis,dan historis dari negara kita. Walaupun

secara fasif masalah agama adalah menjadi tugas negara, sudah banyak hal yang

memang dalam kenyataan secara kehidupan kenegaraan kita mengenai agama

diatur juga oleh negara seperti UU tentang Peradilan Agama, UU tentang

Perkawinan, UU tentang Sistim Pendidkan Nasional, UU tentang Wakaf.

Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yang utuh dan

bermuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa

Notonegoro menjelasakan:

”Pancasila secara formil sebagai norma hukum dasar positif, objektif dan

subjektif adalah mutlak tidak dapat dirubah dengan jalan hukum, demikian

pula secara materil Pancasila mutlak tidak dapat dirubah disebabkan

kehidupan, kemasyarakatan kebudayaan termasuk kefilsafatan, kesusilaan,

keagamaan merupakan sumber hukum positif, yang unsur-unsur intinya telah

ada dan hidup sepanjang masa adalah justru sekarang merupakan sila-sila dari

Pancasila, sehingga Pancasila disamping sifatnya kenegaraan juga

mempunyai sifat adat kebudayaan (kultur) dan sifat keagamaan (religius)196”.

UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dapat diartikan

secara jelas sebagai kata-kata atau kalimat-kalimat keagamaan seperti: Alinea

ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha

Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pasal 9 UUD yang

mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Pasal 24

ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah

Mahkamah Agung. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk

pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin

pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan

yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan

196 Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta, 1972 hlm, 24

Page 123: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 29 ayat (1)

UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 31 ayat (3)

UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak

mulia...”. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan

dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa

untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kata-kata dan

kalimat-kalimat tersebut menunjukan ciri-ciri keagamaan dari naskah UUD 1945,

sehingga dapat kita artikan bahwa negara Indonesia tidak memisahkan agama dari

negara, berbeda dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang sekuler yang

memisahkan urusan negara dengan agama. Negara USA sebagai negara liberal

yang sekuler, dalam hukum negara positifnya tidak mencantumkan agama resmi

dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dikesampingkan. diantaranya dapat

dilihat di dalam konstitusi (Tahun 1789) yang menyebutkan; “ ..... Ujian agama

tidak boleh pernah ada sebagai persyaratan untuk jabatan apapun...”, dan “

Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang berkenaan dengan suatu

pendirian agama, atau melarang ibadah yang bebas.”197

Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila Ketuhanan Yang

Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu

dengan agama, tidak terpisah karena negara, seperti dikatakan Roeslan

Abdoelgani198 :

“Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan

mengembangkan agama”,khususnya melalui departemen agama. Tidak pula

menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama

tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu

agama. Secara lazim dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga

bukan ‘negara agama”.

Selain dalam Pancasila, Penjelasan UUD 1945 juga menegaskan salah satu Pokok

Pikiran, khususnya Pokok Pikiran Ke-4, menegaskan :

“Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan ialah

negara

berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang

adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus

mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain

penyelenggara negara untuk memelihara budi perkerti kemanusiaan yang

luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”.

Menurut Abdulkadir Besar, konsekuensi logis dari ketentuan UUD 1945

tersebut adalah bahwa Negara Indonesia ikut bertanggung jawab mengenai

ketakwaan setiap warga negaranya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya,

197 Pasal 6 Butir 3 Konstitusi USA 1789, Pasal I (Dalam Pasal-Pasal Tambahan) Konstitusi USA 1789,

Prajudi Atmosudirjo (ed), Galia Indonesia, 1986 198 Op. Cit, Yudi Latif. Hlm 95

Page 124: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

negara bertanggung jawab mengenai adanya kesempatan dan kemudahan

(fasilitas) beribadah bagi setiap warga negara. Negara dibimbing oleh moral

agama dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan199

Pemisahan formal antara negara dengan agama atau sebaliknya penyatuan

negara dengan agama, lebih merupakan pilihan historis, yang ditentukan oleh

relasi-relasi kuasa dan kondisi masyarakat. Selain faktor kekuatan politik, faktor

kondisi masyarakat (apakah homogen atau masyarakat multikultural-multiagama)

akan menentukan apakah suatu negara bisa memilih agama negara atau tidak.200

Indonesia yang memiliki sejarah dimana peran agama sangat besar sekali dalam

merebut dan mempertahankan kemerdekaan maka Indonesia memilih tidak

menjadi negara agama atau memisahkan agama dengan negara, Indonesia

menjadikan agama dengan negara saling mebutuhkan dimana negara berperan

dalam memberikan perlindungan serta jaminan bagi perkembangan agama-agama

yan ada di Indonesia, sementara agama berperan dalam memberikan landasan

moral dan spiritual dalam penyelenggaraan negara.

Mohammad Tahir Azhary menyatakan, bahwa Pancasila telah

memberikan bentuk pada negara hukum Indonesia yang memiliki ciri khasnya

tersendiri. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber

hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan dengan negara

hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah

adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan agama201. Tetapi,

lanjut Muhammad Tahir Azhary, kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila

selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheism atau

propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan

misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik

dalam arti positif maupun negative seperti dirumuskan oleh Sir Alfred Denning,

yang dikutip oleh Seno Adji 202

“freedom of religion means that we are free warship or not to warship, to affirm

the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or any other

religion or in none, as we choose”.

Selain itu, konsep Indonesia juga berbeda dengan konsep Uni Soviet dan

negara komunis lainnya, yang menurut Mohammad Tahir azhary diidentifikasikan

dengan adanya jaminan konstitusional untuk propaganda anti agama.203

Konsekuensinya, menurut Seno Adji, di Indonesia tiada pemisahan yang rigid dan

mutlak antara agama dan negara yang berada dalam hubungan yang harmonis204.

Untuk memperkuat pendapat ini, Padmo Wahjono menyatakan bahwa asal-usul

199 Abdulkadir Besar. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 194 5Sebagaimana dikutip oleh Agung

Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD, Tesis. Program Pasca Sarjana

Universitas Indonesia, 2010,hlm, 67 200 Op. cit Yudi Latif, hlm, 101 201 Mohammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi

Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,Jakarta, 2004,

hlm,93 202 Ibid, hlm, 93 203 Ibid, hlm 94 204 Ibid, hlm, 94

Page 125: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Negara Indonesia bukanlah terbentuk atas perjanjian bermasyarakat dari individu-

individu yang bebas atau dari status naturalis ke status civil dengan perlindungan

terhadap civil rights. Tetapi, Indonesia terbentuk karena “atas berkat rahmat Allah

Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya

berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan

Negara Hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono adalah: Suatu kehidupan

berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan

didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas

dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Dengan demikian, dari

pendapat tersebut dalam negara Indonesia yang berdasarkan pancasila kerangka

jaminan kebebasan beragama itu mempunyai pengertian :

a) Kebebasan beragama di Indonesia bermakna yang positif sehingga

pengingkaran kepada Tuhan Yang Maha Esa (Atheisme) ataupun sikap yang

memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan,

b) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara, Negara Republik

Indonesia tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara baik secara

mutlak maupun nisbi yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar

1945205.

C. Kesimpulan

Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana sila

Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga

tidak menyatu dengan agama. Negara secara aktif dan dinamis membimbing,

menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Agama tidak pula menyatu

dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan

tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim

dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama”.

Hubungan agama dan negara adalah saling membutuhkan.

Daftar Pustaka

El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana,

2007

Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,

Bandung, 2009

----------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, PT

Bhuana Ilmu Populer, 2008

----------, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta, Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Konstitusi, 2008

----------, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mijan, 1997,

205 Ibid, hlm, 94

Page 126: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

----------, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung, Mandar

Maju, 1995

A.B. Kusuma, RM. Lahirnya Undang-Undang Dasar, Jakarta, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2004,

Al Khanif, Hukum dan Kebebasan beragama di Indonesia, Yogyakarta, LaksBang

Mediatama, 2010,

Al Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Bantahan Tuntas

Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008,

Alim, Muhammad. Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian

komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, YogyakartaLkiS, 2010,

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi

Press, 2006

Azhary, M. Tahir. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini,

Jakarta, Kencana, 2004

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, FH UII Press, 2003

Barent, J. Ilmu Politik (terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek), Jakarta, PT.

Pembangunan, 1965

Cranston, Maurice What Are Human Rights, The Bodley Head, London, 1973

Dalacaoura, Katerina. Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New

York, 2003

David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press,

New York, 1989, hlm. 26.

Dicey. AV, Introduction to the Study of the Law of the constitution (terjemahan),

Bandung, PT Nusamedia, 2007

Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, Yogyakarta,

UII Press, 2001.

Hatta, Muhammad . Demokrasi Kita, Jakarta, Pustaka Antara, 1966

Husain Haekal, Muhammad Sejarah Hidup Muhammad, Bogor dan Jakarta, Litera

AntarNusa, 2003,

Kaelan, M.S. Relasi Negara dan Agama Dalam Pespektif Filasafat Pancasila

Yogyakarta, 1 Juni 2009

Page 127: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus “Agama

Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang, RaSail, 2009.

Lerner, Natan. Sifat dan Standart Minimun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan,

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seberapa Jauh?, Yogyakarta, Kanesius,

2010,

Mulia, Musdah. Negara Islam, Jakarta, KataKita, 2010,

Munawar-Rahman, Budhy. sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif

dan perkembangan diskursusnya, Jakarta, Grasindo, 2010,

Noer, Deliar. Islam dan Politik, Jakarta : Yayasan Risalah, 2003

Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta, Bina Aksara,1983,

Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta

Kencana, 2010,

Ratu Perwiranegara, Alamsyah. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta,

PT. Karya Unipress, 1982

Roem, Mohammad dan Salim, Agus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya

Pancasila, Jakarta, Bulan Bintang, 1977

Singka Subekti, Valina. Menyusun Konstitusi Transisi, Jakarta, PT Rajagarafindo

Persada, 2008.

Soemantri, Sri. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar yang berlaku dan

Pernah berlaku di Indonesia, dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara

Indonesia, Bandung, Alumni, 1992,

Strong. C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (terjemahan), Bandung, PT

Nusamedia, 2004

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah Dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian

Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk,

Jakarta, UI Press, 1995.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan-perubahannya

Page 128: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat

_______________________________________________________________________

Marsudi Utoyo

1. Pendahuluan

Menelaah konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, mengingatkan

kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah seorang peletak dasar aliran dalam Filsafat

Hukum Sociological Jurisprudence.206 Pound menyatakan bahwa hukum dapat

berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat law as a tool of social engineering

tidak sekedar melestarikan status quo.

Jadi berbeda dengan Mazhab sejarah yang mengasumsikan hukum itu tumbuh

dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum

digerakkan oleh kebiasaan. Sociological Jurisprudence berpendirian sebaliknya.

Hukum justru yang menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada

sasaran yang diinginkan, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat

yang dipandang negatif.207

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa di Indonesia, konsep Pound ini

dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar, hukum (di

Indonesia) tidak cukup berperan sebagai alat, melainkan juga sebagai sarana

pembaharuan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Lily Rasjidi, diakui pula

oleh Satjipto Rahardjo, bahwa pemikiran ini oleh sejumlah pakar hukum Indonesia

disebut-sebut sebagai mazhab tersendiri dalam Filsafat Hukum, yaitu mazhab Filsafat

Hukum UNPAD.

Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar tersebut dimaksudkan

untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan

social-ekonomi. Beliau juga melihat urgensi penggunaan pendekatan sosiologis

dengan memakai Paradigma Roscoe Pound, lebih-lebih dirasakan oleh negara-negara

berkembang daripada negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum

di negara-negara berkembang belum semapan di negara-negara maju itu.

Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa perubahan-

perubahan, seharusnya hukum ikut mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan

tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak

lagi berdiri di belakang fakta, tetapi justru sebaliknya.

2. Permasalahan yang akan menjadi pembahasan adalah :

A. Bagaimana Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat ?

B. Bagaimana Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan

Internasional ?

206 Lily Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?, CV. Ramaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 49. 207 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 170 – 171.

Page 129: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

3. Pembahasan

A. Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat

3.1. Aliran Sociological Jurisprudence

Melalui Optic Critical Legal Study, G.W. Paton,208 melancarkan kritik

terhadap penggunaan istilah Sociological dalam aliran Sociological Jurisprudence –-

yang dipelopori oleh Roscoe Pound (Anglo Amerika) dan Eugen Ehrlich (Eropa

Kontinental)— sebagai kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih suka

menggunakan istilah “Functional School”. Dengan menggunakan istilah tersebut,

Paton ingin menghindari kerancuan antara Ilmu Hukum Sosiologis (Sociological

Jurisprudence) dan Sosiologi Hukum (Sociology of Law).

Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah Sosiologi Hukum

berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu

keseluruhan, dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara

umum) dan Ilmu Politik. Titik berat penyelidikan Sosiologi Hukum terletak pada

masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Ilmu Hukum

Sosiologis memfokuskan kajiannya pada hukum dan memandang masyarakat dalam

kaitannya dengan hukum.209

Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah

hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living llaw of the

peoples). Aliran Ilmu Hukum Sosiologis ini memmisahkan secara tegas antara hukum

positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul

sebagai reaksi (dialektika antara –tesis-- Positivisme Hukum) dan –antitesis—dari

Mazhab Sejarah.

Sebagaimana diketahui, Positivisme hukum memandang tiada hokum kecuali

perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver). Sebaliknya mazhab

sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan

masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua

mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya

sama pentingnya. Printis atau peletak dasar (pionir) aliran Sociological Jurisprudence

ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.

Eugen Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif

baru akan memiliki daya berlaku yang efektif bila berisikan atau selaras dengan

hukum yang hidup dalam masyarakat.210 Di sini jelas bahwa Eugen Ehrlich berbeda

pendapat dengan penganut positivisme hukum.

Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya bahwa titik sentral

perkembangan hukum tidak terletak pada Undang-undang, putusan hakim, atau ilmu

hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk

hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh

208 G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951, hlm., 17 – 21. 209 Bandingkan, Purnadi Purbacaraka dan Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan ke-4, CV. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1990, hal; Lihat pula, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum,

Gramedia, Jakarta, 1995, hlm., 178. 210 Lily Rasjidi., Op.cit, hlm., 55.

Page 130: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Friedman211, bahwa Ehrlich sendiri pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan

ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarkat modern.

Critical Legal Theory dari W. Friedman atas pendirian Ehrlich demikian itu

adalah sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional kontemporer, yang

menganggap bahwa hukum kebiasaan (custom) sebagai sumber utama hukum

(internasional) sudah digantikan oleh perjanjian internasional (convention or treaty).

Sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan kebiasaan

sebagai sumber hukum utama212 yakni : (1) Adanya pergeseran sumber hukum

internasional yang utama custom menjadi convention atau treaties; (2) Materi yang

diatur oleh hukum internasional semakin lama semakin banyak yang menyangkut

social ekonomis di samping soal politis; (3) Tendensi hukum internasional dewasa ini

lebih berorientasi ke arah mencegah konflik bersenjata daripada mengatur masalah

pertikaian bersenjata itu sendiri.

Bergesernya pengutamaan sumber hukum (internasional) dari customary

menjadi convention, treaty, agreement ataupun contract, cukup beralasan, sebab

masyarakat modern yang serba kompleks dewasa ini, di samping tetap menginginkan

lebih terjaminnya kepastian hukum karena dibuat dalam bentuk tertulis, juga melalui

perjanjian, persetujuan ataupun kontrak (tertulis) yang berfungsi sebagai213: (a)

Merumuskan/menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm or restate)

aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law);

(b) Mengubah/ menyempurnakan (modifiy) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-

kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang

akan datang (for regulating future conducts); (c) Membentuk kaidah-kaidah hukum

internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya.

Kembali kepada ajaran Roscoe Pound, sebagaimana dinyatakan oleh

Soerjono Soekanto214, bahwa Pound dapat dipandang sebagai pelopor Ilmu Hukum

Sosiologis yang memberikan dan mengembangkan konsep-konsep baru dalam

mempelajari hukum dalam masyarakat. Perihal apa yang diberikan dan konsep-konsep

baru apa yang dikembangkan, dapat ditelusuri pada tulisan Roscoe Pound dalam

bukunya “The Scope and Purpose of The Sociological Jurisprudence”. Dalam

hubungan ini, Satjipto Rahardjo215, menyebutkan :

Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah

penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya

dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat

dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan

yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai

lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut

sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada

penggunaan hukum sebagai suatu instrumen”.

211 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, terjemahan M. Arifin,

CV. Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.104. 212 Baca, Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, penerbit: PT.Binacipta, Bandung, 1992, hlm.,

35. 213 Syahmin AK., Ibid., hlm., 78. 214 Soerjono Soekanto., Op.cit., hlm., 30. 215 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 168.

Page 131: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Melalui analisis singkat tentang Sociological Jurisprudence dari Eugen

Ehrlich dan Roscoe Pound di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hukum Sosiologis

ini melakukan studi terhadap efektivitas hukum, dampak hukum, struktur hukum,

identifikasi hukum, serta sejarah hukum dan perbandingan hukum, dengan

menggunakan konsep hukum sebagai lembaga dan doktrin, dan terutama bagi Eugen

Ehrlich, hukum dipandang sebagai kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang.

3. 2. Realisme Amerika

Sementara Realisme Amerika (Policy Oriented), sebagaimana dikatakan oleh

Oliver Wendel Holmes Jr (1841 – 1935), bahwa asumsi-asumsi tentang apa yang akan

diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutnya dengan hukum. Pendepat O.W.

Holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan Realisme Amerika yang

pragmatis.216

Perlu diingat, bahwa pendekatan pragmatis ini tidak percaya pada bekerjanya

hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti

peristiwa-peristiwa konkret yang timbul. Oleh karena itu dalil-dalil hukum yang

universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental sifatnya.

Hukum pun tidak mungkin bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan

yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, sosiologi,

antropologi dan kriminologi. Melalui penyelidikan terhadap faktor-faktor sosial

berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki

hukum dan realita kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja

secara lebih efektif.

Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim (all the law is judge-

made-law), semua yang dimaksud hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai

penemu dan pembuat hukum daripada mengandalkan hukum-undang-undang buatan

lembaga pembuat undang-undang.

Pada pokoknya pendekatan kaum realis yang di Eropa Kontinental antara lain

dipelopori oleh Karl N. Llewellyn (1893-1962), dan di Amerika dipelopori oleh Mc

Dougal, sebagaimana dikutif oleh Satjipto Rahardjo217 antara lain dinyatakan :

1. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.

2. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum

yang diciptakan oleh pengadilan.

3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, dan oleh karenanya selalu ada

kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problema-

problema sosial yang ada.

4. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya.

5. Guna keperluan studi, sementara harus ada pemisahan antara is dengan ought.

Pendekatan pokok aliran realis Amerika seperti telah diutarakan di atas yang

diperlukan terhadap hukum internasional menimbulkan gerakan apa yang disebut

dengan “The Policy Oriented” yang dipelopori oleh Mc Dougal. Menurut pendekatan

Policy Oriented ini, bahwa hokum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir,

216 Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta,

1988, hlm., 175. 217 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 269.

Page 132: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

jadi sebagai sarana untuk menggerakkan masyarakat ke arah tujuan yang telah

ditentukan. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan secara policy oriented ini lebih

menekankan pada hukum internasional yang ada (is). Ketimbang seharusnya ada

(ought).

Hal lain yang menonjol dari pendekatan policy oriented ialah penekanannya

pada proses pembentukan hukum (internasional). Dalam hukum internasional ini harus

diperhatikan seluruh proses penguasa dalam menentukan keputusan pada percaturan

dunia, dan proses di mana penguasa dan pengawas bersatu untuk penerapannya.

Dengan demikian, penekanannya tidak hanya pada peraturannya sendiri atau

penerapannya sendiri, melainkan kedua-keduanya. Demikian juga bukan pada

penguasa (authority) sendiri atau pada pengawasan (control) sendiri, tetapi baik pada

penguasa maupun pada pengawas.

Meskipun demikian, sayangnya bila kita mengkaji secara seksama mengenai

penerapan Policy Oriented ini dalam bidang hukum internasional --tentunya melalui

Optic Critical Legal Study—maka kita akan menemukan kelemahannya, yaitu pada

prinsipnya pendekatan Policy Oriented membahas terlalu jauh dan berakhir dengan

menyamakan hukum internasional dengan keseluruhan proses sosial dan politik dunia.

B. Hukum Nasional Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional

Mochtar Kusumaatmadja,218 dalam tulisannya “Pembinaan Hukum Dalam

Rangka Pembangunan Nasional”, menyatakan bahwa: “Pembangunan di sini tentunya yang dimaksudkan adalah pembangun an dalam arti luas yang meliputi segala bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun bercirikan perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk

menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan teratur. Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan

tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan itu peranan hukum adalah sebagai sarana pembangun an masyarakat”.

Pendekatan positivisme atas hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat,

dalam proses pembangunan di mana hukum sebagai sarana penting untuk memelihara

ketertiban, maka hukum harus dibina dan dikembangkan. Dalam proses pembaharuan

hukum di Indonesia lebih ditonjolkan perundang-undangan, walaupun yurisprudensi

juga memegang peranan.219 Dari kenyataan di atas jelaslah bahwa dalam pembaharuan

hukum di Indonesia, lebih ditekankan pada bentuk yang tertulis. Ini jelas merupakan

pengaruh dari aliran positivisme.

Sejalan dengan pendirian penulis seperti telah diutarakan di atas Sri

Setianingsih Suwardi220, menegaskan bahwa hukum dalam bentuknya yang tertulis ini

memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut:

1. Lebih ada kepastian akan adanya stabilitas dan ketertiban;

2. Dengan tertulis maka akan lebih tegas apa yang dimaksudkan;

3. Walaupun dalam bentuk tertulis maka harus mencerminkan hukum yang sesuai

dengan nilai (rasa keadilan) dalam masyarakat.

Pembaharuan masyarakat dengan cara pembaharuan hukum terutama melalui

perundang-undangan dan dipakai sebagai pedoman penentuan prioritas adalah

perundang-undangan yang menunjang usaha pembangunan. Proses pembentukan

218 Mochtar Kusumaatmadja., Op.cit., hlm., 3. 219 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm.9. 220 Sri Setianingsih Suwardi, “Hukum Internasional sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat

Internasional” , dalam Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn xxvi, Edisi:Agustus 1996, hlm., 287.

Page 133: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

undang-undang harus dapat menampung semua yang erat hubungannya dengan

masalah yang diatur dalam undang-undang itu merupakan hukum yang efektif.

Jadi, jelaslah bahwa pembuat peraturan dan perundang-undangan pada

masyarakat yang sedang membangun harus mengetahui interaksi antara hukum dan

faktor-faktor lain dalam perkembangan masyarakat, misalnya faktor ekonomi dan

sosial. Dengan demikian harus diadakan analisis fungsional dari sistem hukum sebagai

keseluruhannya. Akan tetapi Mochtar Kusumaatmadja sangat menyayangkan bahwa

ada banyak kesulitan yang dihadapi dalam perkembangan hukum sebagai sarana

pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana221 : (1) Sukarnya

menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan); (2) Sedikitnya data

empirik yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis secara deskriptif dan

prediktif; (3) Sukarnya mengadakan/mencari tolok ukur yang obyektif untuk

mengukur berhasil-tidaknya usaha pembaharuan hukum.

Dengan kesulitan-kesulitan tersebut, menyebabkan pemilihan kebijakan

perkembangan hukum dilakukan bukan atas alas an rasional. Meskipun adanya

kesukaran-kesukaran demikian itu, tetapi pembangunan harus dan –kadang-kadang—

perubahan tersebut merupakan perubahan yang mendasar, tetapi dalam gerakan yang

harus tetap terpeliharanya ketertiban. Oleh karena itu, hukum sebagai sarana yang

penting dalam memelihara ketertiban harus dibina dan dikembangkan, sehingga dapat

memberikan gerak bagi perubahan tadi.

Bagi Indonesia, konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat

haruslah merupakan landasan kebijaksanaan hukum, dan harus dirumuskan secara

resmi, dan perumusan resmi ini harus pula merupakan pengalaman masyarakat dan

bangsa Indonesia. Menurut Mochtar Kusuma- atmadja222, fungsi hukum dalam

pembangunan nasional yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau sarana

pembangunan dapat diketemukan pokok-pokok pikirannya sebagai berikut:

“… hukum merupakan sarana pembangunan masyarakat didasarkan atas

anggapan bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau

pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang

(mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai

sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan

hukum memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan

dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh

pembangunan atau pembaharuan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat

dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni menjamin

adanya kepastian dan ketertiban”.

Dengan demikian, perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia

berwujud perundang-undangan atau keputusan badan peradilan lebih baik daripada

perubahan yang tak teratur yang menggunakan kekerasan semata-mata. Oleh karena

itu dalam mengidentifikasi permasalahan hukum yang perlu mendapatkan prioritas

perundang-undangan adalah:

221 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 4-5. 222 Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm., 13.

Page 134: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Masalah-masalah yang langsung menyangkut kehidupan pribadi seseorang dan

erat kaitannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat;

2. Masalah-masalah yang bertalian erat dengan masyarakat dan kemajuan pada

umumnya bersifat “netral” -–bidang-bidang netral yang dimaksudkan disini,

misalnya: hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan), dan hukum lalu lintas

(darat, air dan udara) lebih mudah ditangani— dilihat dari sudut kebudayaan.

Sehubungan dengan di atas, ternyata pengaruh Mazhab Sejarah pada

pemikiran hukum dalam pembangunan adalah bahwa hukum sebagai sarana

pembangunan haruslah tidak perlu adanya pertentangan antara maksud mengadakan

pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan penyaluran nilai-nilai atau

aspirasi yang hidup dalam masyarakat, dianut oleh pemerintah Indonesia.

Sikap demikian dapat dilihat dalam menjalankan kebijaksanaannya di bidang

hukum sebagaimana tercantum dalam GBHN. Dasar pokok hukum nasional Republik

Indonesia ialah Pancasila. Hal ini sampai sekarang dianut dan dianggap tepat, karena

merupakan pencerminan jiwa, pandangan hidup dan cara berpikir bangsa. Pancasila

merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dulu.

Pengaruh Mazhab Sejarah ini sangat besar di Indonesia, terutama dalam

mempertahankan Hukum Adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli)

Indonesia. Hukum Adat sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang

berakar pada Pancasila, karena itu ia mampu bertahan selama masa kolonial

Belanda.223

Pluralisme dalam konsep modernisasi juga mempengaruhi pola pikir dalam

kehidupan beragama, organisasi dan sosial masyarakat, kebijakan negara juga

mempengaruhi pola kehidupan beragama, hak asasi manusia, persatuan dan kesatuan,

organisasi serta kesejahteraan masyarakat.

Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum, yang membahas perubahan

hukum hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius

constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat, adapun

politik hukum sebagai teknik adalah memilih dan menentukan cara dan sarana untuk

mencapai tujuan kehidupan masyarakat yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik

sebagai etik tersebut224.

Pluralisme agama, kebudayaan dan suku mewarnai Indonesia secara

keseluruhan, hal ini juga tidak lepas dari peran Pancasila sebagai pemersatu dengan

asas Kebhineka Tunggal Ika antara masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-

hari. Pemerintah dengan produk hukumnya melalui politik hukum Dengan

pemberlakuan Inpres No. 14/ 1967 pada masa itu diskriminatif terhadap Etnis Tiong

Hoa sangat jelas, dengan membatasi kebebasan beragama, melarang bebas semua

kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Konghucu, merubah tempat ibadah

Klenteng dengan merubah ke Vihara (sebenarnya adalah tempat ibadah umat Budha).

Pembatasan kegiatan kegamaan juga diantisipasi dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Pasal 156a dan Pasal 169, serta Undang-Undang No.1 PNPS/1965

223 Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Hukum dan

Pembangunan No.4, Thn ke-ix, Edisi: Juli 1979, hlm., 358. 224 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 8-9

Page 135: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Berakhirnya larangan

terhadap pembatasan ruang gerak umat Khonghucu berakhir pada tahun 2000 silam

dengan dikeluarkannya Keppres Nomor: 6 Tahun 2000 tentang pengakuan Khonghucu

sebagai agama oleh negara melalui presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Antara agamawan dan politis seharusnya membuat garis perbedaan yang

besar antara memberikan toleransi225 dan mengakui kebenaran suatu agama. Jika

seorang penguasa yakin bahwa terdapat kebolehan untuk menjalankan banyak agama

di negaranya, maka agama tersebut perlulah untuk memperkuat toleransi di antara

agama itu sendiri. Itulah prinsip toleransi kehidupan beragama. Dengan demikian

hukum perlu memberikan tuntutan dan aturan terhadap berbagai agama, bukan hanya

agar agama tidak turut campur dengan kehidupan bernegara melainkan juga hubungan

toleransi agar agama-agama itu tidak menimbulkan kekacauan dan gangguan di antara

mereka sendiri. Indonesia adalah negara yang relegius. Religiusitas bangsa Indonesia

ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara

sebagai sebuah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa.

Prinsip kebebasan yang beradab dan berperikemanusian merupakan wujud

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang

utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis226 terdiri dari berbagai etnis, suku, ras,

bahasa, profesi, kultur dan agama.

Era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses

demokratisasi akan mendapat tantangan yang sangat hebat, terutama acaman terorisme

yang menyalahgunakan kesucian agama, pengembangan demokrasi harus diperhatikan

tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara. Negara modern yang

melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi niscaya mengembangkan

prinsip konstitusionalisme, pengembangan prinsip ini adalah yang sangat efektif,

terutama dalam rangka mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui

undang-undang. Basis pokok adalah kesempatan umum atau persetujuan (consensus)

diantara mayoritas rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan

negara227.

Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk mengadakan pembaharuan hukum

dalam rangka pembangunan tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk

mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan penyaluran nilai-

nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

225 Lihat Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media, Bandung.

Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres 1977.Karena yang sering kali

terjadi adalah penzaliman atas agama-agama yang memiliki semangat besar untuk disebarkan ditempat

tertentu (karena agama yang dapat memberikan toleranasi pada agama lainnya tidak terlalu memikirkan

tentang penyebaran agamanya sendiri), maka harus ada hukum sipil yang baik, jika negara sudah cukup

puas dengan agama yang tidak menghalangi pendirian agama lainnya. Maka, inilah prinsip pokok

undang-undang politik suatu agama : jika negara memiliki kebebasan untuk menerima dan menolak

agama baru, sebaiknya agama baru tersebut di tolak. Kalaupun diterima sebaiknya diberikan toleransi.

hlm 332. 226 Liza Wahyunita dan Abd. Qadir Muslim, 2010. Memburu Akar Pluralisme Agama. Malang UIN-

MALIKI PRESS. hlm 29 227 Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit: Konstitusi

Press. hlm 25.

Page 136: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

C. Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan

Internasional

Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa pengertian hukum dalam

‘hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat’, termasuk di dalamnya hukum

internasional. Oleh karenanya hukum internasional berfungsi sebagai social

engineering bagi pembangunan masyarakat internasional tidak perlu diragukan lagi.

Dalam Kata Pengantar buku penulis: Hukum Internasional Publik,228

dikatakan :

1. Pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua

sudut pandangan yang berbeda, yaitu pendekatan static dan pendekatan dinamic.

Pendekatan static, melihat dari segi teoritik-doktrina serta interpretasi yang

diciptakan dari sejarah pembentukannya, dan segala perangkat yang berkaitan

dengan permasalahan tersebut. Sedangkan pendekatan dinamik, melihat

permasalahan dari segi bagaimana suatu konsep berkembang dari bentuk

asalnya menjadi bentuk masa kini, yang sesuai dengan dinamika perkembangan

dan kebutuhan masyarakat internasional kontemporer. Karenanya pendekatan

dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan

masyarakat internasional masa kini dalam perkembangannya menuju suatu

perangkat kaidah hukum internasional ke depan.

2. Berbagai hal tentunya erat hubungannya dengan perkembangan demikian,

terutama yang menonjol pada masa kini, baik perkembangan Iptek maupun

perkembangan aspirasi nasional, regional maupun internasional. Kesemua itu

menuju kepada suatu kaidah yang akan meliputi kepentingan masyarakat

intedrnasional ke depan.

Dalam pada itu, masalahnya adalah dapatkah hukum internasional berperan

sebagai sarana pembangunan masyarakat internasional? Menurut data yang ada pada

penulis, kini tercatat 193229 negara yang telah menjadi anggota masyarakat

interfnasional (anggota PBB). Permasalahan yang dihadapi oleh bagian terbesar

negara-negara itu dalam hubungannya dengan anggota masyarakat internasional

lainnya adalah mereka dihadapkan pada kenyataan yang sulit, bahwa hukum

internasional yang mengatur hubungan antar mereka itu adalah kalau tidak hukum

yang bersifat European Centries, tentulah hukum yang berwarnai kapitalis-Amerika.

Untuk masa kini kenyataan itu tidak mudah untuk mereka terima begitu saja.

Meskipun di lain pihak mereka tidak bermaksud untuk menolak hukum internasional

konvensional itu seluruhnya, tetapi mereka lebih cenderung menolak hukum

internasional yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai negara merdeka,

berdaulat dan sama derajat.

Perubahan-perubahan yang mendasar dan mengakibatkan terjadinya

perombakan struktur hukum internasional itu sudah amat mendesak adanya

pengaturan-pengaturan internasional yang merupakan harmonisasi pelbagai

228 Syahmin AK., Hukum Internasional Publik (Dalam Kerangka Studi Analitis), Jilid 1, Penerbit: PT.

Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1. 229 Hingga Juli 2011, telah bergabung 193 negara ke dalam lembaga internasional Perserikatan Bangsa-

bangsa (PBB), diakses pada tanggal 8 Desember 2012.

Page 137: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

kepentingan dalam masyarakat internasional. Penataan aturan-aturan internasional

demikian dapat dituangkan dalam bentuk persetujuan, kontrak atau perjanjian-

perjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral, bahkan dapat

bersifat regional dan universal melalui jalur “law making treaty”.

Terhadap perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat internasional

demikian, mendorong perumusan-perumusan hukum yang dituangkan dalam bentuk

konvensi-konvensi internasional, sehingga ter-bentuklah hukum internasional yang

mengatur masalah-masalah yang bersifat progressive development. Konsep hukum ini

adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mazhab Sejarah, yang

menitik-beratkan pada hukum yang tumbuh dan berkembang selaras dengan

perkembangan sejarah masyarakat.

Jika perkembangan dalam hukum internasional ini kita tinjau dari sudut

pandangan Roscoe Pound (social engineering), maka jelas bahwa perkembangan-

perkembangan dalam hukum internasional dengan progressive development-nya

merupakan hukum yang diperlukan oleh masyarakat internasional. Umpamanya

Deklarasi Universal tentang HAM,dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, di

mana konsep Wawasan Nusantara yang telah diperjuangkan melalui konferensi hukum

laut ke-III itu telah diterima sebagai kaidah hukum internasional. Juga termasuk

GATS, GATT ataupun WTO.

Melalui organisasi-organisasi internasional baik yang bersifat universal (seperti

PBB) maupun melalui organisasi regional (seperti ASEAN, OKI, OPEC, dll.),

negara-negara saling membicarakan permasalahannya, kepentingan-kepentingan

mereka yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan hukum internasional yang

diterima oleh mereka. Hal itu jelas merupakan suatu usaha untuk menjembatani

kepentingan anggota masyarakat internasional yang berbeda-beda dalam bidang

ekonomi, kemanusiaan dan perdagangan dunia, serta lingkungan hidup.

D. Penutup

Berangkat dari uraian-uraian dan paparan di atas, akhirnya dapat diraih

kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut:

Masyarakat internasional yang berfungsi sebagai landasan sosiologis hukum

internasional bukanlah merupakan masyarakat yang statis, tetapi bersifat dinamis.

Oleh karenanya perkembangan-perkembangan baru masyarakat internasional ini

membutuhkan adanya penataan baru dalam bidang hukum internasional.

Bentuk baru hukum internasional yang menggeser peranan hukum kebiasaan

internasional sebagai sumber utamanya berupa konvensi-konvensi atau perjanjian

masyarakat internasional, merupakan penuangan perkembangan-perkembangan baru

dalam masyarakat internasionl dalam wadah hukum. Hal ini kita kenal sebagai

progressive development, yang sekaligus merupakan indikasi bahwa hukum inter-

nasional sebagai the living law of the peoples, bukan merupakan black letter law.

Menyadari bahwa masing-masing negara mempunyai hukum nasional sendiri

yang sesuai dengan jiwanya, memang tidak ada hukum yang berlaku secara universal,

namun setidak-tidaknya ada titik taut yang sama dalam memenuhi kebutuhan untuk

Page 138: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

saling berhubungan dengan anggota lain dalam masyarakat internasional, maka antar

mereka saling mengadakan harmonisasi hukum nasionalnya masing-masing.

Daftar Pustaka

Latif, Abdul dan Ali, Hasbi. Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Black, Donald., The Behavior of Law, New York, Academic Press, 1976.

G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951.

Huijbers, Theo., Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Yogyakarta:

Kanisius, 1988.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit:

Konstitusi Press. 2005.

Rasjidi, Lily. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.

Rasjidi, Lily dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993.

Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media,

Bandung. Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres

1977.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan

Nasional, Bandung: PT. Binacipta, 1975.

-----------., Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Bandung: PT.

Binacipta, 1976.

Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang,

Hukum dan Pembangunan No.4 Thn ke-IX, Edisi: Juli 1979.

Sri Setianingsih, Hukum Internasional dan Hukum Nasional Sebagai Sarana

Pembangunan Masyarakat Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn

ke-XXVI, Edisi: Agustus 1996.

Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, Bandung: Binacipta, 1992.

-----------., Hukum Internasional Publik, Jilid 4, Bandung: PT.Binacipta, 1997.

Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social

Theory, New York, Free Press, 1986.

W. Friedman, Teori Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Terjemahan M.

Arifin, Jakarta: CV Rajawali Press, 1990.

Page 139: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Ombudsman dan Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

_______________________________________________________________________

Agus Triono

A. Pendahuluan

Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang bertipe welfare state

atau Negara kesejahteraan sebagaimana terlihat dalam tujuan negara yang terdapat

dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia (UUD NRI) 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu upaya dalam rangka

mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui penyelenggaraan Negara dan

pemerintahan dengan sebaik-baiknya.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) melalui upaya

penegakan hukum dan penegakan asas-asas pemerintahan yang baik telah menjadi

cita-cita bersama. Salah satu indikator yang dapat menunjukkan bahwa pemerintahan

yang baik telah terwujud adalah manakala telah terselenggaranya pelayanan publik

kepada masyarakat dengan baik sesuai dengan prinsip good governance. Pelayanan

publik disebut telah menerapkan prinsip “good governance” bila telah menganut

prinsip pelayanan yang berkualitas sesuai dengan norma, aturan, dan undang-undang

yang berlaku. Secara umum bisa dikatakan bahwa pelayanan publik yang baik adalah

pelayanan yang menempatkan hukum sebagai penglima, yang diselenggarakan

secara terbuka, dimana setiap warga masyarakat mendapatkan perlakuan yang sama

atas jenis pelayanan yang sama, yang proses maupun hasil pelayanannya bisa

dipertanggungjawabkan.230

Pengaturan mengenai bagaimana pemerintah melaksanakan tugas dan

tanggung jawab pemerintahan dengan baik di Indonesia kemudian dituangkan dalam

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih

dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada BAB III Pasal 3 dinyatakan

ada tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Tertib

Penyelenggaraan Negara; Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas

Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.

Regulasi ini dibuat sebagai wujud komitmen pemerintah terhadap tuntutan

reformasi yang menghendaki adanya perubahan dan perbaikan dalam

penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hakikat reformasi adalah to make major

changes atau to improve, melakukan perubahan-perubahan besar dalam upaya

perbaikan. Perubahan yang dicanangkan tersebut mencakup nilai-nilai dan aplikasi

nilai dasar keadilan, kesejahteraan, ketertiban, demokrasi, transparansi, penegakan

Hak Asasi Manusia.231

Dalam rangka mengawal reformasi terutama dalam penyelenggaraan Negara

dan pemerintahan tersebut agar tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundang-

230 Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY, Yogyakarta, 2008,

hlm. 2 231 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 69

Page 140: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

undangan yang ada dan menurut asas-asas penyelenggaraan negara dan

pemerintahan yang baik, dibentuklah lembaga pengawasan. Pembentukan lembaga

pengawasan Ombudsman pun menjadi sangat penting karena lembaga Ombudsman

merupakan lembaga pengawas eksternal dan mandiri yang mempunyai fungsi

mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik agar tidak terjadi maladministrasi

dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Apalagi di era otonomi daerah

yang memberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan di daerah-nya, ditambah dengan adanya ruang gerak yang

semakin bebas melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) dengan disertai ruang

kebijakan yang longgar berupa freies ermessen232. Oleh karenanya melalui tulisan ini

akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dan peran Ombudsman dalam

penegakan asas-asas pemerintahan yang baik. Pengkajian permasalahan ini

menggunakan metode penelitian hukum normatif (Dogmatic Research) dengan

pendekatan peraundang-undangan (Statue approach).

B. Pembahasan

1. Pengaturan Ombudsman di Indonesia

Pembentukan Lembaga Ombudsman dilatarbelakangi alasan bahwa fungsi

dan tugas penyelenggara negara pada hakekatnya adalah mewujudkan kesejahteraan

bagi masyarakat dan masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang

sama dan adil oleh penyelenggara negara.233 Lembaga pengawasan Ombudsman

sebagai suatu lembaga pengawas eksternal dan mandiri pada awalnya dibentuk

melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman

Nasional dan kemudian baru pada tahun 2008 dikuatkan landasan hukumnya dengan

diundangkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman

Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman.

Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai fungsi mengawasi

penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara negara

dan Pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan

oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum

Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.234 Selanjutnya Ombudsman diberi

kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang

diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang

diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan

Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas

menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran

pendapatan dan belanja daerah.235

Secara normatif, dasar hukum yang melandasi terbentuknya Ombudsman di

Indonesia terdapat pada beberapa ketentuan yaitu:

232 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 20 233 Antonius Sujata, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009, hlm. 9 234 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI, Pasal 6 235 Ibid, Pasal 1 angka (1)

Page 141: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propenas)

Pada lampiran Program pembangunan Nasional tahun 2000-2004, Pembangunan

Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang

mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman

Nasional. Pada matrik Program Nasional pembentukan peraturan perundangan

secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang tentang

Ombudsman merupakan indikator kerja Kebijakan Program Pembangunan

Hukum tahun 1999-2004.

b. Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001

Pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah

menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah

Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

yakni pada Pasal 2 ayat (6) yang berbunyi:

“Membentuk Undang-Undang beserta peraturan pelaksananya untuk pencegahan

korupsi yang muatannya meliputi:

1) Komisi Pemberantasan tindak Pidana korupasi;

2) Perlindungan Saksi dan Korban;

3) Kejahatan Terorganisasi;

4) Kebebasan mendapatkan informasi;

5) Etika Pemerintahan;

6) Kejahatan Pencucian Uang;

7) Ombudsman.”

c. Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

Keppres No. 44 Tahun 2000 merupakan dasar hukum pertama bagi

operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Meskipun pengaturannya masih

bersifat umum dan terbatas kewenangannya, namun berlakunya Keppres ini

merupakan titik awal berdirinya pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan

publik di Indonesia. Dalam Keppres No 44 Tahun 2000 BAB II Pasal 4

disebutkan:

“Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Ombudsman

Nasional mempunyai tugas :

1) Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman;

2) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah,

Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi,

Organisasi Profesi dan lain-lain;

3) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai

terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan

tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum;

4) Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman

Nasional.

d. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia

Pengaturan mengenai Ombudsman dan pelembagaannya di Indonesia selanjutnya

dipertegas dan diperkuat lagi dengan dasar hukum berupa undang-undang.

Ketentuan ini berimplkasi pada status kelembagaan Ombudsman sebagai

lembaga pengawasan pelayanan publik. Ketentuan ini merubah status

Page 142: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

kelembagaan Ombudsman dari executive Ombudsman menjadi parliamentary

Ombudsman, sehingga terpenuhilah unsur sebagai pengawas eksternal yakni

keberadaan lembaga pengawasan di luar lembaga yang diawasi, maka

independensi lembaga Ombudsman lebih terjamin.

e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara umum

dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik diawasi oleh instansi yang

bersangkutan dan Ombudsman. Ketentuan ini jelas sekali telah memberikan

kewenangan pengawasan kepada lembaga Ombudsman

2. Peran Ombudsman Dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik

Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman memiliki beberapa

“harapan” dalam mewujudkan good governance:

Pertama; Ombudsman Daerah memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata

kelola (governance) pemerintahan daerah. Selama ini masyarakat diposisikan sebagai

objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola interaksi pemerintah dan masyarakat

nyaris tak terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak aspiratif dan sulit

dikontrol masyarakat. Ombudsman dapat menembus dinding tersebut dengan

membangun partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Disinilah akan terbangun

checks and balances antara keduanya dalam bentuk yang elegan.

Kedua; Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern yang menggunakan

masyarakat sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah

mandulnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang ada

(khususnya di daerah) saat ini. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga

pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan detik ini, seiring dengan semakin

menguatnya kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.236

Ombudsman menerima laporan dari masyarakat mengenai tindakan

maladministrasi yang dilakukan aparat pemerintah melalui proses non administrasi.

Akan tetapi laporan pengaduan dan informasi hanya dapat disampaikan kepada

Ombudsman, apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

a. adanya dugaan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan;

b. laporan pengaduan hanya berlaku untuk peristiwa, tindakan atau keputusan

terlapor dalam tenggang waktu paling lama 5 ( lima) tahun sejak peristiwa,

tindakan atau keputusan terjadi atau ditetapkan;

c. pelapor harus mencantumkan identitas lengkap yang dibuktikan dengan Kartu

Tanda Penduduk atau kartu identitas lainnya yang sah;

d. menyampaikan uraian mengenai peristiwa, tindakan, atau keputusan yang

dilaporkan, diadukan atau diinformasikan.

Dalam hal Ombudsman menolak laporan, hal ini dikarenakan:

236 M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran

Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di website

http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerah-sebuah-tawaran-mewujudkan-good-

governance-di-daerah/, diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

Page 143: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun

secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan;

b. Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemerikaan pengadilan, kecuali

laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan

di pengadilan;

c. Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan

dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu

yang patut;

d. Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan;

e. Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman;

f. Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliaasi

oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau

g. Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.

Ombudsman akan menindaklanjuti laporan masyarakat apabila laporan

tersebut merupakan kewenangannya dan terindikasi maladministrasi. Bentuk-bentuk

maladministrasi secara lebih rinci dalam buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman

Indonesia terdiri dari dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklafikasikan menjadi

enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik.

Kelompok pertama adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait

dengan ketepatan waktu daam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari

tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban.

a. Penundaan Berlarut

Dalam proses pemberian pelayananumum kepada masyarkat, seorang pejabat

publik secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu tanpa alas an yang

jelas dan masuk akal sehingga proses adminstrasi yang sedang dikerjakan menjadi

tidak tepat waktu sebagaiana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan

umum yang tidak ada kepastian.

b. Tidak Menangani

Seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya

wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.

c. Melalaikan Kewajiban

Dalam proses pemebrian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak

kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi kewajiban

dan tanggung jawabnya.

Kelompok Kedua adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan

keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok

ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan neotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-

nyata berpihak.

a. Persekongkolan

Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan,

kecurangan, melawan hukum sehingga masyarkat merasa tidak memperoleh

pelayann secara baik.

b. Kolusi dan Nepotisme

Page 144: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat

publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/ sanak family,

teman dan kolega sendiri tanpa criteria objektif dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan

umum maupun untuk dapat duduk di jabatan atau posisi dalam lingkungan

pemerintahan.

c. Bertindak Tidak Adil

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan

tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga

masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya.

d. Nyata-nyata Berpihak

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat

sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan

berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan peihak lainnya.

Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih

mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan

perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan

perbuatan melawan hukum.

a. Pemalsuan

Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik meniru sesuatu

secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri

sendiri, orang laindan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak

memperoleh pelayanan secara baik.

b. Pelanggaran Undang-Undang

Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik secara sengaja

melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang

berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik.

c. Perbuatan Melawan Hukum

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan

perbuatan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan sehingga

merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum.

Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait

dengan kewenangan/ kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas

pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari

tindakan di luar kompetensi, pejabat yang tidak berkompeten menjalankan tugas,

intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang

menyimpangi prosedur tetap.

a. Di luar Kompetensi

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan

sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak

memperoleh pelayanan secara baik.

b. Tidak Kompeten

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu

atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan

kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).

c. Intervensi

Page 145: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Seorang pejabat publikmelakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan

menjadi tugas dan kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian

pelayanan umum kepada masyarakat.

d. Penyimpangan Prosedur

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak

mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga

masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.

Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan

sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum

kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang,

penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak/tidak patut.

a. Bertindak Sewenang-wenang

Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaanuntuk

bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud

bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak

dapat diterima secara baik oleh masyarakat.

b. Penyalahgunaan Wewenang

Seorang pejabat publik menggunkan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk

bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan

umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.

c. Bertindak Tidak Layak. Tidak Patut

Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan

sesuatau yang tidak wajar, tidak patut dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak

mendapatkan pelayanan sebagamana mestinya.

Kelompok keenam adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan

tindakan korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau

permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak,

dan penggelapan barang bukti.

a. Permintaan Imbalan Uang/ Korupsi

1) Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik meminta

imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia

lakukan (secara uuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya.

2) Seorang pejabat publik menggelapkan uang Negara, perusahaan, (Negara), dan

sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebakan

pelayanan umum tidak dapat diberikan secara baik kepada masyarakat yang

memerlukan.

b. Penguasaan Tanpa Hak

Seorang pejabat publik menguasai sesuatu (yang bukan milik atau kepunyaannya)

secara melawan hukum, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari

kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat.

c. Penggelapan Barang Bukti

Seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah

menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang menjadi bukti

suatu perkara. Akibatnya, ketika pihak yang berperkara meminta barang bukti

tersebut (misalnya setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak

dapat memenuhi kewajibannya.

Page 146: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Secara umum, penanganan laporan di Ombudsman melewati tahap

investigasi, klarifikasi dan/atau mediasi. Beberapa laporan dapat dinyatakan selesai

dalam tahap mediasi dimana kedua belah pihak (Pelapor dan Terlapor) bersepakat

untuk menyelesaikannya dalam forum mediasi. Sementara penyelesaian beberapa

laporan yang lain dapat berujung pada pendapat hukum dan/atau rekomendasi .

a. Investigasi

Apabila perkara yang dikeluhkan/dilaporkan memiliki keterkaitan yang

signifikan dengan perkara lain yang kompleks, maka Ombudsman akan melakukan

investigasi. Kegiatan investigasi merupakan upaya untuk mencari dan

mengumpulkan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran,

kesalahan atau sebuah fakta.

Kasus-kasus yang memerlukan tindakan investigasi biasanya secara garis

besar adalah sebagai berikut:

1) Menyangkut masyarakat luas dan ada indikasi kuat tentang adanya pelanggaran

asas-asas umum pemerintahan yang baik oleh pihak tertentu yang merugikan

masyarakat;

2) Berkaitan dengan penggunaan dana dalam jumlah besar;

3) Menyangkut kebijakan yang tidak adil, tidak transparan dan tidak memihak pada

kepentingan masyarakat;

4) Berkaitan dengan peristiwa politik yang menyangkut kepentingan publik;

5) Menimbulkan silang pendapat antar beberapa pihak;

6) Bukti-bukti yang diberikan masyarakat terlalu lemah/minim.

b. Klarifikasi.

Klarifikasi dilakukan Ombudsman kepada pihak pejabat publik sebagai

Terlapor, Pelapor dan pihak lain yang terkait untuk mengetahui kebenaran keluhan

dan sekaligus mengetahui tanggapan pihak yang dikeluhkan. Secara umum klarifikasi

dilakukan untuk mendapatkan penjelasan yang sebenar-benarnya atas permasalahan

yang dikeluhkan.

Permintaan klarifikasi Ombudsmandibedakan dalam dua bentuk yakni

permitaan klarifikasi secara langung dan permintaan klarifikasi secara tidak langsung.

Klarifikasi secara langsung merupakan proses penggalian data dan permintaan

penjelasan yang dilakukan secara langsung dengan bertatap muka. Kadangkala

permintaan klarifikasi yang dilakukan secara tertulis dari belakang meja masih harus

dilengkapi dengan melakukan cross check di lapangan (klarifikasi langsung),

demikian juga sebaliknya. Sedangkan klarifikasi secara tidak langsung dilakukan

melalui surat resmi.

c. Mediasi.

Dalam melakukan tindakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang di

Laporkan masyarakat, dimungkinkan Ombudsman sebagaimana fungsinya dapat

melakukan upaya mediasi yaitu dengan mempertemukan Pelapor dengan Terlapor

untuk mencari titik temu menyangkut upaya penyelesaian yang terbaik bagi kedua

belah pihak. Mediasi ini dilaksanakan sejauh menyangkut penyelesaian perkara yang

bisa ditempuh dengan kompromi.

d. Rekomendasi.

Page 147: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Produk final dari tindakan Ombudsman secara umum terhadap perbuatan

maldaministrasi adalah rekomendasi. Rekomendasi dikeluarkan oleh Ombudsman

bertujuan untuk menyelesaikan keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan

pelayanan publik dan juga untuk mencegah terjadinya keluhan masyarakat lebih

lanjut. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun

berdasarkan hasil investigasi Ombdusman kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan

dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan adminstrasi

pemerintahan yang baik.237

Dalam praktek, aplikasi pelaksanaan tugas/fungsi Ombudsman tersebut

dituangkan dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Ombudsman kepada instansi

terlapor, baik berupa permintaan klarifikasi, pemeriksaan atau penelaahan, disertai

saran antara lain untuk mengambil tindakan, dan atau langkah perbaikan maupun

permintaan agar menjadi bahan pertimbangan. Semuanya itu pada hakekatnya

merupakan rekomendasi. Dengan demikian, rekomendasi tidak lain adalah bagian dari

tugas operasional fungsi Ombudsman.238

Ada beberapa jenis rekomendasi yang selama ini lazim dikeluarkan

Ombudsman.239 Jenis-jenis tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok.

Pertama; rekomendasi yang disusun guna membantu penyelesaian masalah Pelapor,

Kedua; rekomendasi yang menyarankan pemberian sanksi guna pembinaan dan efek

jera, Ketiga; rekomendasi yang diperuntukkan mencegah agar tidak terjadi tindakan

maladminstrasi dan Keempat; rekomendasi untuk mengubah proses atau sistem yang

mengakibatkan buruknya kualitas pelayanan umum.

1) Membantu Penyelesaian Masalah

Rekomendasi jenis ini memang diformulasikan untuk membantu Pelapor agar

masalahnya dapat segera diselesaikan. Materi-materi rekomendasi yang dapat

disusun dengan tujuan semata-mata membantu menyelesaikan permasalahan

Terlapor adalah sebagai berikut:

a) Mempercepat pelayanan;

b) Menyampaikan permintaan maaf;

c) Mempertimbangkan keputusan;

d) Memberikan penjelasan;

e) Menjelaskan pertimbangan;

f) Memberikan keringanan;

g) Memberikan ganti rugi.

2) Rekomendasi Pemberian Sanksi

Dalam hal tindakan pejabat publik yang sewenang-wenang, koruptif dan

sebagainya, Ombudsman dapat memberikan rekomendasi agar Terlapor diberikan

sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau diajukan ke Pengadilan.

3) Mencegah Maladministrasi

Rekomendasi Ombudsman dapat juga diberikan kepada pimpinan instansi publik

tertentu sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindakan maladministrasi.

Setidaknya ada dua jenis rekomendasi preventif yang selama ini pernah disusun

237 Lihat pada Pasal 1 angka 7 UU ORI 238 Antonius Sujata dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional,

KON, Jakarta, 2002, hlm. 192 239 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 68-74

Page 148: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Ombudsman yaitu rekomendasi untuk mencegah adanya confict of interest, dan

mencegah terjadinya intervensi atau tekanan dari orang-orang tertentu, termasuk

dari pejabat yang dilaporkan.

4) Mengubah proses atau sistem

Jenis-jenis rekomendasi Ombudsman yang ditujukan untuk perubahan kebijakan

atau sistem pelayanan umum antara lain berupa saran untuk mengubah prosedur,

saran untuk mengubah kebijakan, mengubah peraturan hukum, dan membuat

aturan hukum yang baru.

e. Monitoring Rekomendasi

Monitoring adalah serangkaian tindakan pengawasan dan pemantauan

terhadap dampak atau pengaruh dikeluarkannya sebuah surat rekomendasi, yang

berkaitan dengan perubahan perilaku, sistem kebijakan, maupun cara terlapor (pihak

yang direkomendasi) dalam memberikan pelayanan yang lebih baik dan etis kepada

masyarakat.240 Monitoring rekomendasi dilakukan untuk melihat seberapa jauh

rekomendasi Ombudsman dilaksanakan oleh penerima rekomendasi (Terlapor) atau

atasan Terlapor. Monitoring dilaksanakan melalui surat yang dilayangkan kepada

Terlapor untuk mengetahui seberapa jauh rekomendasi sudah dijalankan.

Dalam konteks good governance sumbangan terbesar Ombudsman melalui

kewenangannya dalam melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik,

memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi

masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel dan

partisipatif. 241

3. Efektifitas Ombudsman dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik Tidak sedikit kalangan yang pesimis terhadap efektifitas Ombudsman dalam

penegakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini dapat dimaklumi karena

produk hukum baik berupa pendapat hukum maupu rekomendasi-rekomendasi

Ombudsman bukan merupakan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum

(legal binding) sehingga tidak ada kewajiban untuk mematuhinya, akan tetapi lebih

merupakan pemberi pengaruh (magistratur of influence). Tentunya hal ini akan sangat

berpegaruh pada dijalankan atau tidaknya anjuran Ombudsman oleh aparat

penyelenggara negara, jangankan berupa anjuran moral, putusan pengadilan yang

sudah berketetapan hukum tetap pun masih sulit untuk dijalankan. Akan tetapi perlu

diingat bahwa penegakan hokum yang secara represif saat ini nampaknya juga tidak

memberi efek jera pada pelaku dan bahkan belum terbukti keampuhannya. Oleh

karenanya Ombudsman dengan model penegakan hukum melalui pendekatan

persuasif dan preventif justru merupakan tawaran yang menarik.

Cara pendekatan yang dilakukan Ombudsman adalah dengan mendesakkan

perbaikan pelayanan penyelenggara negara dengan menyentuh kesadaran individu dan

komitmen pribadi dari pejabat publik untuk mau mentaati asas yang berlaku, hukum

secara keseluruhan, serta sistem yang dibangun secara baik guna mendukung jalannya

240 Lihat dalam Laporan dua tahunan (Biannual Report) 2005-2007, LOS DIY, Yogyakarta, 2007, hlm. 48 241 Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah, disampaikan dalam Seminar dan

Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang

diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan

Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003.

Page 149: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

pemerintahan itu sendiri. Keunikan sekaligus kekuatan Ombudsman lainnya dalam

penegakan asas terletak pada kepercayaan semua pihak atas pertimbangan yang

menjadi landasan dalam member anjuran yang sifatnya dapat dipertanggung jawabkan

dan tidak memihak. Independensi Ombudsman dalam menjalankan wewenangnya

tidak seharusnya diragukan karena memang Ombudsman secara filosofis merupakan

lembaga yang mandiri (independent). Independensi yang dimaksud adalah

menyangkut independensi kelembagaan, personal, maupun fungsional, sehingga

keberadaan Ombudsman jauh dari intervensi manapun.

C. Penutup

Keberadaan Ombudsman yang terlembaga baik di pusat maupun di daerah

merupakan sesuatu yang prospektif. Tujuan dari pembentukan Ombudsman tersebut

tidak lain adalah dalam rangka memberikan sentuhan baru dalam proses penegakan

hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik. Ombudsman yang memiliki fungsi

dasar sebagai lembaga pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di

pusat maupun di daerah diharapkan dapat mewujudkan cita-cita banyak pihak

terutama setelah diterapkannya otonomi daerah yang dirasa berjalan tanpa kendali.

Melalui pendekatan yang dilakukan, Ombudsman juga diharapkan mampu

memecahkam masalah buruknya birokrasi pemerintahan yang nampaknya menjadi

cikal bakal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme pada setiap level.

Daftar Pustaka

Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan,

Jakarta, 2000

--------------------- dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah

Ombudsman Internasional, KON, Jakarta, 2002, hlm. 192

--------------------, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009

Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,

2005

M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH

: Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di

website http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerah-

sebuah-tawaran-mewujudkan-good-governance-di-daerah/, diakses pada tanggal

20 Desember 2012.

Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press,

Yogyakarta, 2005

Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY,

Yogyakarta, 2008

Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah,

disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga

Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh

Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan

Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Page 150: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Pidana di

Indonesia (Suatu Kajian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak

Kekerasan Terhadap Perempuan)

Diah Gustiniati Maulani dan Maya Shafira

I. PENDAHULUAN

Meningkatnya intensitas diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di

Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class

citizen makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang

menciptakan korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara

fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun

ekonomis (di PHK). Tindak pidana yang sering menimpa pada perempuan adalah

perkosaan. Setiap kasus perkosaan tidak terjadi begitu saja, itu tidak dapat dilihat

sebagai kasus yang berdiri sendiri. Sebab perkosaan terkait erat dengan kondisi sosio-

kultural dari sebuah masyarakat. Perkosaan selalu melibatkan dua pihak yaitu pelaku

dan korban yang dalam sejarah masyarakat mana pun, pelaku lazimnya adalah laki-

laki dan korban adalah perempuan.

Berdasarkan data yang di dapat dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar

Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung

pada tahun 2008. Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan

penganiayaan. Dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus pemerkosaan, 39 kasus

pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan Damar, kasus pemerkosaan

justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan tingkat intelektual

tinggi yang pelakunya masih keluarga atau orang terdekat dari korban.

Usia korban yang rentan pemerkosaan antara 6 dan 18 tahun (63%), usia

remaja (18,33%) gambaran ini menunjukkan korban pemerkosaan pada saat keadaan

lemah, fisik sedang tumbuh, dan psikologis baru berkembang. Cara yang dilakukan

oleh pelaku perkosaan biasanya dengan mengancam akan membunuh, menipu,

mengiming – imingi korban, dengan uang dan lain-lain, biasanya bila korban

merupakan anak-anak. Perkosaan pada usia rentan ini berdampak negatif bagi korban,

yaitu trauma sepanjang hidup, merasa minder, dan menyalahkan diri sendiri.

Meskipun sudah banyak sekali kasus perkosaan terjadi, namun masih banyak faktor

yang menyebabkan sulitnya kasus perkosaan disidang.

Munculnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan korban, di mana korban adalah seseorang yang mengalami Penderitaan fisik,

mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana,

ternyata kurang maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini

terlihat dengan adany kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada

aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor,

diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui

oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa

dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu

saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga

Page 151: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa

keadilan bagi korban dan masyarakat.242

Berdasarkan hal di atas, maka munculah suatu permasalahan yang akan

dibahas berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana

pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia dengan melihat kepada

kebijakan-kebijakan regulasi yang ada mampu mengatasi masalah tindak kekerasan

(pemerkosaan) terhadap perempuan serta faktor-faktor penghambat upaya

perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan.

II. Pembahasan

A. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan dalam

Perspektif Hukum Pidana di Indonesia

Korban merupakan suatu akibat yang timbul karena adanya sebab ( causa )

yang mendahuluinya. Mustahil akan terjadi suatu akibat tanpa adanya sebab yang

menjadi dasar timbulnya akibat tersebut. Sebab ( causa ) tersebut berupa peristiwa

atau kejadian yang terwujud dalam bentuk keadaan atau perbuatan. Peristiwa yang

berwujud keadaan misalnya gempa bumi, banjir, longsor, dan lain sebagainya,

sedangkan peristiwa yang berwujud perbuatan misalnya tindak pidana yang dilakukan

oleh manusia, meliputi tindak pidana yang dilarang dalam undang-undang maupun

perbuatan yang belum dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana

namun dirasakan oleh masyarakat telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.

Setiap tindak pidana dapat menimbulkan korban, korban dari kejadian yang

pertama disebut korban alami ( natural victim ) sedangkan korban dari kejadian yang

terakhir disebut korban kejahatan ( criminal victim ). Selanjutnya yang disebut korban

disini terbatas pada korban kejahatan ( criminal victim ), karena korban alami tidak

diliputi hukum pidana. Adapun yang dimaksud korban kejahatan menurut adalah

mereka yang menderita jasmani dan rohani, material dan immaterial sebagai akibat

dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi penderita.243

Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic

Principles of Justice for Victims of Crime, yaitu :

1) Korban Langsung ( Direct Victims ) yaitu korban yang langsung mengalami dan

merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai

berikut :

a) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif.

b) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional,

kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia.

c) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum

pidana.

d) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

242 Arif Gosita, 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan hlm 45. Akademika Presindo. Jakarta. 243

Arif Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta http: VIVAnews.com,15

Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 ).

Page 152: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

2) Korban Tidak Langsung ( Indirect Victims ) yaitu timbulnya korban akibat dari turut

campurnya seseorang dalam membantu korban langsung ( directvictims )

atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi

korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban

langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat.

Selanjutnnya berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan secara yuridis

formal definisi perkosaan itu dapat dilihat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). yaitu :

"Barang.siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan diancam

dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun".

Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut :

a. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;

b. Memaksa seorang perempuan;

c. Yang bukan istrinya;

d. Untuk bersetubuh.

Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikemukakan pengertian korban

perkosaan adalah: Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek).

Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang

diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban

pemerkosaan itu harus memenuhi unsur di atas.

Tindak pidana pemerkosaan yang korbannya didominasi oleh kaum

perempuan selalu berada pada pihak yang lemah dan terkadang merasa dikecewakan.

Karena dengan memberikan sanksi yang berat atau setimpal terhadap pelaku dianggap

sudah memberikan keadilan yang cukup bagi korban. Padahal lebih dari itu upaya

perlindungan terhadap korban pun harus diperhatikan dan menjadi permasalahan yang

serius terhadap kajian viktimologi. Tindak pidana di bidang kesusilaan seperti

contohnya tindak pidana pemerkosaan memberikan dampak yang buruk terhadap para

korban yang biasanya didominasi oleh kaum hawa (perempuan). Oleh karenanya

diperlukan upaya yang maksimal dalam rangka memberikan perlindungan terhadap

korban tindak pidana pemerkosaan.

Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dengan perempuan sebagai

korbannya, maka yang dimaksud dengan korban adalah:

“mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain

yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita244

Pengertian korban di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 285

KUHP, maka pengertian korban perkosaan adalah : Korban perkosaan harus seorang

wanita, tanpa batas umur. Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan

seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285

KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur tersebut.

244 Arif Gosita. Ibid. hlm 41.

Page 153: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Korban tindak pidana pemerkosaan merupakan korban yang langsung (Direct

Victims) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan

adanya tindak pidana dengan karakteristik korban biasanya individu, menderita luka

fisik, luka mental, yang disebabkan adanya perbuatan yang dikualifikasikan sebagai

kejahatan dalam hukum pidana (KUHP).

Berdasarkan hal di atas sudah sepantasnya korban tindak pidana mendapatkan

perlindungan yang khusus berkaitan dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri

korban. Apabila kita melihat kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), maka dalam pelaksanaannya hanya memberikan ketentuan yang tegas

terhadap hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka/terdakwa akan tetapi belum

menyentuh sepenuhnya terhadap hak korban.245 Kepentingan korban semata-mata

diambil alih oleh pegawai Penyidik dan penuntut Umum. Sehingga kedua instansi

tersebut yang berwenang sepenuhnya terhadap kepentingan korban. Padahal belum

tentu demikian.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Kecenderungan masyarakat

hukum di Indonesia bahkan di dunia hanya tertuju pada kepentingan seseorang pelaku

tindak pidana seperti halnya di dalam KUHAP. Kepentingan korban dirasakan kurang

mendapatkan perhatian dalam KUHAP. Yang semestinya KUHAP adalah merupakan

prinsip dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan korban. Berkaitan dengan

hal tersebut maka pemerintah berupaya semaksimal mungkin dengan membuat berbagai

aturan yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana. Diantaranya dengan

mensahkan undang-undang yang berorintasi kepada perlindungan korban tindak pidana

khususnya perlindungan terhadap perempuan, diantaranya:

1. Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

6. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Peraturan perundang-undangan di atas merupakan wujud dari keseriusan

pemerintah dalam memperhatikan hak korban khususnya kaum perempuan. Perempuan

sebagai korban tindak pidana pemerkosaan tanpa disadari menjadi korban ganda yang

berarti bahwa seringkali korban menceritakan kasus-kasus tersebut secara berulang-

ulang dari tingkat penyidikan sampai dengan persidangan. Hal ini membuat korban

merasa tertekan.246 Dengan selalu mengatakan kata-kata atau kalimat yang mungkin

tidak pantas untuk dikatakan secara berulang kali justru dapat membuat korban sulit

245 Loebby Loqman, 2002. HAM dalam HAP hlm. 9. Datacom. Jakarta. 246 Moerti Hadiati Soeroso, 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis –

Viktimologis hlm. 123. Sinar Grafika. Jakarta.

Page 154: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

melupakan peristiwa yang dialami olehnya. Tetapi mau tidak mau hal ini mesti

dilakukan demi kepentingan korban dan kelancaran dalam proses peradilan pidana.

Perlindungan yang diberikan kepada perempuan selaku korban tindak pidana

secara umum dapat berupa pemberian hak dan kewajiban yang meliputi:247

1. Hak Korban

a. Korban berhak mendapat kompensasi atas penderitaan, sesuai dengan

kemampuan si pelaku;

b. Korban berhak menolak kompensasi karena tidak memerlukannya;

c. Korban berhak mendapatkan kompensasinya untuk ahli warisnya bila korban

meninggal dunia karena tindakan tersebut;

d. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;

e. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya;

f. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan

dirinya;

g. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku, bila

melapor ke dan menjadi saksi;

h. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum;

i. Korban berhak mempergunakan upaya hukum.

2. Kewajiban Korban

a. Korban tidak main hakim sendiri;

b. Berpatisipasi dalam masyarakat mencegah terjadinya/timbulnya korban lebih

banyak lagi;

c. Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri,

maupun oleh orang lain;

d. Korban wajib ikut serta membina sipelaku;

e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri agar tidak menjadi korban lagi;

f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan si pelaku;

g. Berkewajiban memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi

kompensasi secara bertahap atau sesuai dengan kemampuannya;

h. Berkewajiban menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada

jaminan.

Berkaitan dengan hal di atas apabila kita telaah lebih lanjut maka terhadap

upaya perlindungan korban dalam bentuk hak-hak korban tindak pidana khususnya

sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, maka hak-hak tersebut dapat dikatakan

cukup sebagai langkah awal perlindungan terhadap korban. Tetapi hak-hak tersebut

dapat dikhususkan lagi terutama hak mendapatkan kompensasi yang lebih terhadap

penderitaan baik fisik maupun psikis yang sulit untuk diberikan kepada korban

pemerkosaan.

Sebagai bahan perbandingan di bawah ini diberikan contoh pemberian

kompensasi di Inggris yaitu sebagai berikut:248

247 Arif Gosita. Ibid. hlm. 53 248 Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana

hlm. 66. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Page 155: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Seorang wanita yang diserang dan diperkosa di sebuah gang yang gelap dan

dirawat di rumah sakit selama dua bulan mendapat kompensasi 582

poundstreling;

2. Seorang wanita yang menderita shock karena penyerangan seksual sehingga tidak

dapat bekerja lagi mendapat 2.020 pounds;

3. Seorang gadis yang mengalami pelecehan penyerangan seksual mendapat 251

pounds.

Pemberian kompensasi tersebut tentunya juga bergantung kepada

kemampuan dan kondisi masing-masing negara. Hal ini juga tentunya relevan dengan

tersangka/terdakwa yang memperoleh perlindungan dan bantuan dari negara untuk

memperoleh rehabilitasi, ganti rugi dan bantuan hukum secara cuma-Cuma walau dalam

hal-hal tertentu, maka wajar bila korban juga mendapatkan yang sama akan

perlindungan hak-haknya.Terlebih jika dilihat dari tujuan dan tanggung jawab negara

untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hak korban

akan ganti kerugian pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang

kesejahteraan/jaminan sosial (social security).249

Selanjutnya terkait dengan kewajiban pihak korban sepertinya diuraikan di

atas tidaklah tepat apabila kewajiban tersebut dilakukan oleh seorang perempuan selaku

korban tindak pidana pemerkosaan. Mungkin dalam tindak pidana lainnya dapat untuk

dilaksanakan. Mengingat bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang

menderita baik lahir maupun batin yang pemulihannya tidak semudah pemulihan

korban tidak pidana lainnya misalnya seperti korban pencurian yang hanya dilihat dari

segi materilnya saja. Sedangkam korban pemerkosaan memerlukan tindakan yang

khusus untuk dapat dipulihkan secara maksimal/total.

Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban

tindak pidana dapat tercermin dalam ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undang-

undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM). Walaupun tidak

secara nyata mengatur tentang perlindungan korban tetapi tersirat dalam ketentuan pasal

3, 5, 17, 29, dan 30 undang-undang tersebut, yang diantaranya mengatur tentang:250

1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan

memperoleh bantuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaannya (Pasal 5 ayat (1));

2. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat dan hak miliknya (Pasal 29 ayat (1));

3. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30).

Selanjutnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

secara khusus lebih mangatur perlindungan korban pada Bab V, Pasal 34 dan

dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam

Pasal 35 Bab VI. Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM dan Peraturan pemerintah

Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian dari kompensasi, restitusi dan

rehabilitasi.

249 Ibid hlm. 67 250 Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi hlm. 64. Sinar Grafika. Jakarta.

Page 156: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku

tindak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung

jawabnya.

2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya

oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik,

pembayaran ganti kerugian, untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian

biaya untuk tindakan tertentu.

3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula misalnya kehormatan,

nama baik, jabatan atau hak-hak lainnya.

Selanjutnya upaya perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak

pidana dapat terlihat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana dalam Pasal 10 menentukan:

Korban berhak mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,

lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan

pemerintah perlindungan dari pengadilan;

b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis;

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkatan

proses pemeriksaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

e. Pelayanan bimbingan rohani;

Selain dari hal di atas, upaya perlindungan korban tindak pidana khususnya

KDRT tidak hanya berasal dari diri si korban saja, tetapi juga ada kewajiban warga

masyarakat untuk melindungi korban tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15

UU Penghapusana KDRT:

“Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib

melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b. Memberikan perlindungan kepada korban;

c. Memberikan pertolongan darurat;

d. Membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.

Upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana

juga dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dimana Pasal 5 menentukan:

(1) Seorang saksi dan korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta

bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang

akan, sedang atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

e. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

f. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

Page 157: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

h. Mendapat identitas baru;

i. Mendapat tempat kediaman baru;

j. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

k. Mendapatkan penasihat hukum;

l. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban

tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK

(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana juga terlihat

dalam ketentuan-ketentuan Pasal 43 sampai dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor

21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO). Dimana di dalam

undang-undang tersebut menentukan adanya hak korban dan/atau saksi, ketentuan

restitusi dan rehabilitasi.251 Undang-undang ini juga berkaitan dengan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Yang semuanya berorientasi kepada

perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak pidana.

Berkaitan dengan hak korban dan/atau saksi diberikan juga kepada

keluarganya dengan rincian sebagai berikut:

a. Memperoleh kerahasiaan identitas;

b. Hak di atas diberikan juga kepada keluarga korban dan/atau saksi sampai derajat

kedua;

c. Korban dan ahli warisnya berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi

sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang

bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis;

d. Mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundang-

undangan lain.

Selanjutnya berkaitan dengan restitusi dalam undang-undang tersebut adalah

pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau kerugian materiil dan/atau immateriil

yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi diantaranya dengan memberikan

ganti kerugian atas:

a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. Penderitaan;

c. Biaya untuk tindakan medis dan/ atau psikologis

dan lain-lain sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 13 UU TPPO.

Selanjutnya rehabilitasi atau pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik,

psikis dan sosial diberikan agar dapat melaksanakan kembali perannya secara wajar

baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir

14 serta penjelasan Pasal 51 dan Pasal 52 UU TPPO.

Berpedoman pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas

seperti undang-undang penghapudan KDRT, undang-undang perlindungan saksi dan

korban serta undang-undang tindak pidana perdangan orang yang senyatanya secara

251 Bambang Waluyo. Ibid hlm. 120.

Page 158: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

khusus mengatur tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana yang apabila kita

cermati perlindungan korban tersebut sepertinya lebih berorientasi kepada perempuan

sebagai korban tindak pidana. Hal ini secara khusus dapat mengakomodir ketentuan –

ketentuan tentang perlindungan perempuan sebagai korban tindak pidana khususnya

pemerkosaan yang secara khusus belum ada pengaturan yang khusus mengatur

perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan. Tetapi dengan adanya undang-

undang tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam rangka

memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai korban tindak pidana

pemerkosaan.

B. Faktor-faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap korban

tindak pidana pemerkosaan

Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

hukum adalah:252

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan

hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

dan

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang dirasakan pada

karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Berkaitan dengan faktor-faktor penghambat dalam upaya pemberian

perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan

diawali dengan melihat kepada faktor hukum. Faktor hukum atau undang-undang bukan

merupakan faktor yang dominan karena walaupun ketentuan secara khusus terhadap

perlindungan korban tindak pidana perkosaan tidak spesifik tetapi hanya tersebar sacara

umum dan dalam penerapannya dapat mengakomodir dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan sebagai

korban tindak pidana yang tercantum diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Selanjutnya hambatan dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap

perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dapat dilihat dari tingkat

penyidikan. Kendala yang dihadapi biasanya dari masyarakat atau orang tua bahkan

korban takut dan malu untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib karena ini juga

berkaitan dengan aib keluarga.

Pada umumnya fenomena kasus KDRT bisa diakomodir terhadap kasus

tindak pidana pemerkosaan karena mempunyai spesifikasi sendiri, yaitu:253

252 Soerjono Soekanto, 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo

Persada. Jakarta. hlm. 5.

Page 159: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Terjadinya tindak pidana pemerkosaan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban

saja, sehingga kurang aadanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi

ketentuan pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP;

2. Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa membuka aibnya sendiri

terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual;

3. Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus pemerkosaan akan

berpengaruh terhadap tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses

penyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti.

Hambatan dari korban atau keluarga seperti: korban takut akan ancaman dari

pelaku, keterlambatan melaporkan baik oleh korban maupun oleh keluarganya karena

menyangkut masalah aib keluarga. Hambatan dari masyarakat karena kurangnya rasa

kepedulian terhadap korban pemerkosaan sehingga menganggap bahwa ini merupakan

aib keluarga dan oleh karena itu cukup diselesaikan dengan para anggota keluarga.

Misalkan jika dihubungkan dengan Pasal 15 UU Penghapusan KDRT, maka pendapat ini

bertentangan dimana dalam pasal tersebut ditentukan bahwa “Setiap orang yang

mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya

sesuai dengan batas kemampuannya untuk: dapat mencegah berlangsungnya tindak

pidana; dapat memberikan perlindungan kepada korban; dapat memberikan pertolongan

darurat; dan dapat membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan.

Selanjutnya hambatan berupa sarana dan prasarana terutama berkaitan dengan biaya

seperti: ketentuan biaya visum et repertum harus dikeluarkan oleh pihak korban (dalam

korban KDRT), sehingga korban yang tidak mampu merupakan suatu hambatan dalam

mencari keadilan.

III. Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan bahwa:

1. Upaya-upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak

pidana perkosaan walaupun tidak secara khusus diatur dalam peraturan tersendiri

namun secara umum bentuk perlindungan tersebut dapat berupa kompensasi,

restitusi dan rehabilitasi terhadap korban tindak pidana sebagaimana tercermin

dan tersurat dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam undang-undang yang

berorientasi kepada perlindungan korban khususnya terhadap perempuan

sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik

Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang.

2. Faktor-faktor penghambat pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana

perkosaan secara intern terdapat pada diri korban sendiri bahkan keluarganya, dan

253 Moerti Hadiati Soeroso. Ibid hlm. 135.

Page 160: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

secara ektern dapat berasal dari masyarakat dan negara yang dalam hal ini terkait

dengan tidak adanya secara khusus peraturan/undang-undang yang mengatur

tentang perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana

pemerkosaan. Yang selama ini secara umum diatur dalam undang-undang yang

berorientasi pada perlindungan korban tindak pidana sebagaimana yang diuraikan

di atas.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: Terhadap

upaya-upaya perlindungan korban khususnya perempuan sebagai korban tidak pidana

pemerkosaan walaupun tidak secara tegas dan khusus ada peraturan atau undang-

undang yang mengaturnya, maka diharapkan para aparat penegak hukum, pemerintah,

masyarakat serta korban sendiri bisa mengaplikasikan berbagai bentuk upaya-upaya

perlindungan yang sudah tersirat dan tersurat dalam beberapa ketentuan undang-

undang yang sudah mengatur tentang perlindungan korban secara umum.

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Gosita, Arif. 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan. Akademika presindo. Jakarta

----------.1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakartahttp:

VIVAnews.com,15 Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 )

Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP. Datacom. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja

Grafindo Persada. Jakarta.

Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Yuridis – Viktimologis. Sinar Grafika. Jakarta.

Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika.

Jakarta.

Damar, Lembaga Advokasi Perempuan Anti Kekerasan. Catatan Akhir Tahun 2008.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum Pidana

Page 161: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Erna Dewi

I. Pendahuluan

Dewasa ini, internet telah membentuk masyarakat dengan dunia baru, yaitu

masyarakat dunia yang tidak lagi dihalangi oleh batas-batas territorial antara negara

yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali.Internet membawa pada dunia tanpa

pembatasan dan menembus batas kedaulatan negara, 254 masyarakat baru dengan

kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik itu semua,

internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru diantaranya muncul kejahatan

yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime.

Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan

masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Bahkan Volodymyr

Golubev menyebutnya sebagai “the new form of anti-social behavior”255 Perbuatan

yang menyangkut cyber crime harus ditangani secara serius, karena dampak dari

perbuatan itu sangat luas dan banyak merugikan perekonomian masyarakat, sehingga

apabila tidak ditanggulangi secara dini akan berkembang dan jika tidak terkendali

dampaknya akan sangat fatal bagi kehidupan masyarakat.

Di Indonesia sampai saat ini belum ada rumusan baku tentang definisi cyber

crime, namun demikian bukan berarti sistem hukum nasional tidak mengenal cyber

crime. Fenomena cyber crime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini berbeda

dengan kejahatan pada umumnya. Karena cyber crime dapat terjadi tanpa diperlukan

interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Begitu juga halnya dengan

modus kejahatan dalam dunia maya memang agak sulit dimengerti oleh orang-orang

yang tidak menguasai pengetahuan teknologi informasi. Sebab salah satu unsur dari

cyber crime adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandinya. Sifat

inilah yang membuat cyber crime berbeda dengan tindak pidana lainnya. Namun

demikian, kejahatan yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan biasa (konvensional)

dan masih memungkinkan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam masalah

cyber crime ada beberapa rumusan pidana tradisional yang dapat digunakan, yaitu:

a. Pencurian

b. Penggelapan

c. Pembukaan Rahasia

d. Pemalsuan

e. Pengancaman

f. Pornografi

g. Penghasutan

h. Pelecehan Seksual

i. Penghinaan

j. Penyebaran kabar bohong256

Kejahatan computer/dunia maya (cyber crime) merupakan kejahatan yang

potensial di masa akan datang seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan

254 Agus Raharjo, 2003. Cyber crime di Indonesia, jurnal studi kepolisian hlm.17 255 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber

crime di Indonesia hlm. 1. 256 Harkristuti Harkrisnowo, tt. Cyber crime dalam Perspektif Hukum Pidana. Fakultas Hukum UI. Jakarta

Page 162: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

manusia terhadap teknologi computer. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan

teknologi computer, termasuk didalamnya pertukaran informasi antar bank, transaksi

bank dengan klien, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.257Kehadiran computer

dan internet yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalitas perbuatan dan

akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini.

Pada kenyataannya dari hari kehari, cyber crime kian meningkat baik dari

segi kuantitas maupun kualitasnya, walaupun masuknya teknologi informasi di

Indonesia masih tergolong rendah, namun ternyata nama Indonesia sudah begitu

popular dalam kejahatan di dunia maya, bahkan berdasarkan data yang dikeluarkan

oleh sebuah perusahaan sekuriti berbasis texas, clear commerce, tahun 2000 lalu,

menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal

carder terbesar di dunia.Menurut majalah Time edisi 23 september 2002, banyak situs

internet yang tidak mudah untuk dibobol. Namun ternyata carder Indonesia memiliki

reputasi tinggi dalam praktek pembobolan situs ini.258

Sedangkan dalam survey lain yang dilakukan oleh AC. Nioelsen tahun 2001,

mencatat Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia dan keempat di Asia

dalam cyber crime, karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, banyak alamat IP

(internet protocol) Indonesia yang sempat di blokir.259sehingga orang Indonesia yang

ingin berbelanja melalui internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs

belanja online di luar negeri.

Meningkatnya kejahatan dunia maya ini tidak diimbangi dengan perangkat

maupun sumberdaya manusia penegak hukum yang propesional dalam menangani

kasus atau kejahatan tersebut, keadaan demikian yang sekaligus merupakan salah satu

hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia.

Adapun fokus pada tulisan ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan

cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Permasalahan dalam

tulisan ini terdiri dari: (a)Bagaimanakah perkembangan Cyber Crime saat ini: (b)

Bagaimanakah pengaruh perkembangan Cyber Crime terhadap penegakan hukum

pidana.

II. Pembahasan

A. Pengertian Cyber Crime dan Perkembangannya

Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan

masa kini yang mendapat perhatian luas dai dunia international.Volodymyr

Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior.260Beberapa

sebutan lain yang cukup terkenl diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam

berbagai tulisan, antara lain sebagai kejahatan dunia maya (cyber space/ virtual

space offence), dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnational

crime, dan dimensi baru dari white collar crime (wcc).

.Cyber crime (selanjutnya disingkat cc) merupakan salah satu sisi gelap

dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negative sangat luas bagi

257 Sutanto, Hermawan Sulistyo, dan Tjuk Sugiarso. 2005. Cyber crime motif dan penindakan dalam Arif

zahrulyani.hlm. 6. 258 Ibid hlm. 7. 259 Goegle, mengatur duniarimba raya. 2007. Dalam Arif Zahrulyani op cit. hlm. 7. 260 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber

crime di Indonesia Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 1.

Page 163: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

seluruh bidang kehidupan modern saat ini.261sampai saat ini belum ada definisi

yang baku mengeai cyber crime itu sendiri, akan tetapi akan dipaparkan bebrapa

pengertian cyber crime yang sering digunakan. Seperti dalam Wikipedia bahasa

Indonesia, ensiklopedia bebas dinyatakan, bahwa kejahatan dunia maya (Cyber

crime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan computer

atau jaringan computer menjadi alat, sarana atau tempat terjadinya kejahatan.

Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain, penipuan lelang secara

online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan

identitas, pornogerafi anak, dan lain-lain.262

The oxford reference online mendifinisikan cyber crime as crime

committed over the internet.263(cc adalah kejahatan yang dilakukan terhadap

internet. Kemudian the encyclopedia Britannica memberikan pengertian cyber

crime as any crime that is commited by means of special knowledge or expert use

of computer technology.264(cc adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang

memiliki pengetahuan khusus atau keahlian dalam menggunakan teknologi

computer.

Menurut Roger Leroy Miller dan Gaylord A.Jentz “ a cyber crime is a

crime that occurs in the virtual community of the internet, as opposed to the

physical world”. Selanjutnya keduanya menyatakan, bahwa “ the location of

cyber crime cyberpace – raises new issues in the investigation of crimes and the

prosecution of perpetrators.265 Dalam makalah cyber crime yang disampaikan

oleh ITAC (Information Tecnology Association of Canada) pada International

Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress di Quebec pada

tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa, Cyber crime is a real and

growing threat to economic and social development around the world.

Information technology touches every aspect of human life and so can

electronically enabled crime.266 Masalah cyber crime ini sudah dua kali

diagendakan yaitu pada onres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/2000 di

Wina.267

Menurut Muladi Cyber crime merupakan suatu istilah umum yang

pengertiannya mencakup berbagai tindak pidana yang dapat ditemukan dalam

KUHP atau perundang-undangan pidana lainnyayang menggunakan teknologi

computer sebagai suatu komponen sentral. Cyber crime ertupa tindakan sengaja

merusak property, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik atas kekayaan

intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak dan pencurian.268

Berdasarkan uraian di atas, maka Cyber crime mempunyai pengertian

yang cukup luas yaitu kejahatan komputer dengan jaringan computer sebagai

261 Ibid hlm. 2. 262 Goegle tentang kejahatan dunia maya 263 www.crimr-research.org/library/cybercriminal.html. 264 ibid 265 Roger Leroy dan Gayloid A.Jentz. Law for E-commerce, Thompsonj Learning, United States. 2002.

(dalam Arif zahrulyani).2009. hlm.99. 266 ITAC, IIIC Common View Paper on:Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress (dalam Barda NA.

opcit hlm. 2.). 267 ibid 268 Agus raharjo,ibid. Hlm. 228.

Page 164: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

unsur utamanya yang dapat juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional

dimana computer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau

memungkinkan kejahatan itu terjadi. Pada perkembangannya cyber crime (tindak

pidana mayantara)269 sering dibahas di berbagai forum internasional, yaitu pada

Konres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders” yang telah membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres

VIII/1990 di Havana, Kongres X /2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI

/2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April). Di samping itu telah ada pula Konvensi

Cyber Crime Dewan Eropa (Council of Europe Cyber Crime Convention) yang

ditanda tangani di Budapest pada tanggal 23 November 2001 oleh berbagai

negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan.270

Kongres dan Konvensi Internasional tersebut, didahului atau diikuti

dengan berbagai pertemuan dan kajian ilmiah lainnya di berbagai negara yang

sulit untuk dihitung, dari berbagai kajian itu ada yang meresahkan perkembangan

cyber crime terutama dibidang kesusilaan dan eksploitasi seksual, antara lain

dengan diadakannya The First World Congress Against Commercial Sexual

Exploitation of Children di Stockholm, 27-31 Agustus 1996, dan International

Conference on “ Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna,

Hofburg, 29 September- 1 Oktober 1999.

Perhatian terhadap masalah cyber crime ini juga berkembang di Indonesia

terutama dengan diadakan berbagai seminar nasional, sebagaimana yang ditulis

oleh Barda NA. dalam Buku Tindak Pidana Mayantara yang merupakan

himpunan dari makalah yang disampaikan pada delapan seminar nasional yang

diadakan sejak tahun 2001 sampai tahun 2005

B. Pengertian Penegakan Hukum

Menurut G. Radbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau

konsep-konsep abstrak, yaitu ide tentang keadilan, kepastian hukum dan

kemanfaatan sosial termasuk dalam kelompok yang abstrak. Bertolak dari hakekat

(nilai dasar) hukum tersebut, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide yang bersifat abstarak menjadi kenyataan. Proses

perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakekat penegakan hukum.271Agar

ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi, dalam

hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga

seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Walaupun lembaga-

lembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu

menegakkan hukum dalam masyarakat. Karena tanpa lembaga-lembaga tersebut

hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagai mana

mestinya.

Sistem penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sistem

penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan

hukum administrasi negara. Masing-masing sistem penegakan hukum tersebut

didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut alat

269 Barda NA. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja

Grapindo Persada. Jakarta. 270Barda NA. ibid 271 Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru Bandung. Hlm..16.

Page 165: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

penegak hukum (aparatur) yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. Hal ini berarti

ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam

penegakan hukum. Biasanya yang dimaksud dengan “alat penegak hukum”

hanyalah kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi kalau penegak hukum itu diartikan

secara luas, maka penegakan hukum itu juga menjadi tugas dari pembentuk

undang-undang, Hakim dan instansi Pemerintah272, bahkan masyarakat,

sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap

warganegara wajib bela negara. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan

hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum

menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain

adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan

hukum itu.273

Inti dan arti penegakan hukum dari sisi lain terletak pada kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terkandung di dalam kaidah yang mantap

dan mengejawantahkan sikap dan tindakan sebagai rangkaian penyatuan nilai

tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan

memantapkan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.274 Dengan

demikian penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan hukum oleh

aparatur penegak hukum, yang mencakup usaha-usaha pencegahan hingga

tindakan penjatuhan sanksi.

Penegakan hukum pidana erat sekali hubungannya dengan hukum acara

pidana, dimana pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam bagian

sistem peradilan pidana yang merupakan jaringan kerja yang melibatkan hukum

pidana materil (substantive), hukum acara pidana (hukum pidana formal) dan

hukum pelaksanaan pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan, baik tujuan

jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang yaitu ingin

mewujudkan kesejahteraan sosial.

Penegakan hukum (law enforcement) telah mempunyai kekuatan (force)

yang diperlukan dalam menegakan hukum. Bila perlu dapat digunakan kekerasan

untuk memaksa seseorang agar mematuhi hukum sehingga tercipta suatu

keserasian hidup antara ketertiban dan ketentraman, sesuai dengan situasi dan

kondisi yang dihadapi.Sedangkan penegakan hukum pidana adalah upaya untuk

menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi

kenyataan, yaitu hukum pidana, yang menurut Van Hamel adalah keseluruhan

dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan

hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht)

dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan

tersebut.275

272 Sudarto, 1986. kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. menurut beliau penegakan hukum tidak

lain adalah proses sdiskresi (discretion process) yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan.

Hlm. 16. 273 Rahardjo. Op cit. hlm. 24. 274 Soerjona Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali hal 2. dari

faktor-faktor tersebut dapat dikaji factor-faktor penghambat penegakan hukum pada umunya dan

penegakan hukum terhadap narkoba khususnya sesuai dengan focus dari tulisan ini. 275 Sudarto, 1986. Kapita selekta hukum pidana Alumni. Bandung. hlm. 60.

Page 166: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya dilihat

dari bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa

yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan

mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dlam

menangani masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam

masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non-penal (tanpa

menggunakan hukum pidana). Upaya penal merupakan salah satu upaya

penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak

hukum yang lebih menitik beratkan pada pemberantasan setelah terjadinya tindak

pidana (tindakan represif) yang dilakukan dengan menggunakan hukum pidana

yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya, yang dilakukan

melalui tahapan penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pengadilan yang

merupakan bagian dari politik kriminal.276 Sedangkan upaya non penal (upaya

preventif) adalah upaya yang lebih menitik beratkan pada pencegahan sebelum

terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan

sarana pidana atau hukum pidana, misalnya: mengurangi atau menghilangkan

kesempatan berbuat kejahatan dengan perbaikan lingukungan, siskamling (system

keamanan lingkungan), penyuluhan hukum atau sosialisasi undang-undang.

Menurut Barda NA.277, menegakkan hukum pidana dilakukan melalui tiga

tahapan, yaitu:

1. Tahap Formulaasi (kebijakan legislatif)

Tahap menegakkan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-

undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan

situasi masa kini dan yang akan dating, kemudian merumuskannya dalam

bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna.

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif)

Tahap ini merupakan tahap penegakan hukum pidana poleh aparat penegak

hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat

penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundang-

undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dalam

melaksanakan tugasnya aparat penegak hukum harus perpegang teguh pada

nilai-nilai keadilan dan daya guna.

3. Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif)

Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan hukum secara konkret oleh aparat

pelaksana pidana, pada tahan ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan

peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang

melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan.

Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah diputus oleh

pengadilan yang dilaksanakan oleh aparatur pelaksana pidana harus

berpedoman pada ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang

mengatur masalah tersebut agar dapat berdaya guna. Ketiga tahap penegakan

hukum pidana tersebut dilihat sebagai suatu usaha rasional yang sengaja

276 Ibid, hlm. 113 277 Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga rampai hukum pidana, Alumni, Bandung hlm. 159.

Page 167: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan demikian harus

merupakan jalinan atau mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang

bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

C. Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum

Pidana

Untuk membahas pengaruh perkembangan cyber crime terhadap

penegakan hukum pidana, penulis mencoba mengkaji dari pendapat Soerjono

Soekanto tentang faktor yang mempengahruhi penegakan hukum pidana, yang

terdiri dari:

1. Faktor hukum (undang-undang);

2. Faktor penegak hukum;

3. Faktor sarana dan fasilitas;

4. Faktor masyarakat;

5. Faktor kebudayaan.278

Ad 1. Faktor hukum (undang-undang)

Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sringkali

terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini terjadi

dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat

abstrak, sedangkan kepastian hukum sudah ditentukan secara normative.

Tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum atau

undang-undang nerupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan

atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karenanya

penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan

akidah-kaidah serta pada perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

kedamaian.

Secara normative aturan yang mengatur tentang tindak pidana

mayantara (cyber crime) sampai saat ini belum ada yang khusus, walaupun

sudah ada eberapa peraturan yang mengatur tentang perbuatan yang ada

hubungannya dengan cyber crime seperti UU ITE, UU penyiaran, UU

Pornografi, tetapi maih banyak juga perbuatan yang diatur dalam KUHP

(tindak pidana konvensional) yang modus operandinya maupun obyeknya

menyangkut cyber crime oleh karenanya terhadap perbuatan yang unsur-

unsurnya terdapat dalam KUHP, maka digunakan pasal-pasal yang ada

dalam KUHP, untuk perbuatan yang tidak di atur dalam KUHP

menggunakan ketentuan lain misalnya money loundring, tindak pidana

perbankan, pornografi, tindak pidana dibidang IT dan sebagainya.

Ad.2 Faktor Penegak Hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah

mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam

kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa

penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan

kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka

penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum, keadilan dan

278 Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar penelitian Hukum UI Press. Jakarta hlm. 8.

Page 168: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus

diaktualisasikan.

Pada kenyataannya di Indonesia saat ini kualitas dari penegak

hukum masih diragukan terlebih dengan terungkap banyaknya penegak

hukum yang terkena kasus korupsi, penyuapan bahkan ada juga oknum

penegak hukum yang menjadi dalang dari pengedaran gelap narkoba atau

juga sebagai pengguna dari obat - obat terlarang tersebut. Hal demikian

menandakan kurangnya kejujuran, etika dan moral dari aparat penegak

hukum, khusus terhadap tindak pidana mayantara dilihat dari kuantitas

maupun kualitas penegak hukum di Indonesia belum mendukung terlebih

dari sisi profesionalisasinya, karena jumlah penegak hukum yang memiliki

keahlian di bidang tersebut masih terbatas.

Ad 3. Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang kurang mendukung, baik dari kuantitas

maupun kualitas dari sarana maupun fasilitas yang dimiliki oleh masing-

masing petugas penegak hukum belum sesuai dengan beban tugas yang

mereka jalankan. Karena untuk menangkap atau membuktikan pelaku

kejahatan sarananya harus lebih canggih dari sarana atau alat yang

digunakan oleh penjahat. Tentunya untuk peningkatan kualitas dan kuantitas

dari sarana ini akan menambah anggaran bagi negara untuk menyiapkannya.

Ad 4. Faktor masyarakat

Partisipasi masyarakat sangat dipelukan terhadap pelaksanaan

penegakan hukum, karena bagian yang terpenting dalam penegakan hukum

adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum

masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang

baik dan semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan

semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.Demikian

juga halnya dengan tindak pidana mayantara (cyber crime). Tetapi yang

menjadi hambatan di kalangan masyarakat adanya rasa takut untuk

dijadikan saksi walaupun sudah ada ketentuan mengenai perlindungan saksi

dan korban.Termasuk juga karena kurangnya pengetahuan hukum dari

masyarakat.

Ad 5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum

adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus

mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam

penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan

perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin

mudah dalam menegakkannya. Tetapi sebaliknya, apabila peraturan

perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan

masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan

menegakkan peraturan hukum tersebut.

Untuk di Indonesia dapat dipahami bahwa hukum atau peraturan

yang ada kurang memperhatikan kearifan lokal atau kebudayaan, karena

kebanyakan peraturan di buat tanpa memperhatikan situasi dan kondisi dari

masyarakat yang akan dikenakan aturan, sehingga banyak aturan

Page 169: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

perundang-undangan yang tidak efektif. Terlebih terhadap tindak pidana

mayantara (cyber crime) yang lingkup perbuatannya tidak mengenal batas

atau global, diharapkan ketentuannya juga menyesuaikan situasi atau

keadaan budaya masyarakat yang akan menghadapi globalisasi tersebut

karena dengan adanya cyber crime ini sudah barang tentu akan sangat

berpengaruh kepada kebudayaan (culture), baik budaya local, nasional

maupun masyarakat international.

III. Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa:

1. Perkembangan cyber crime saat ini sangat pesat, hal ini dimulai dengan

ditemukannya komputer pada tahun 80-an hingga sekarang banyak sekali

kejahatan yang terjadi baik menggunakan computer seagai alat dalam

melakukan kejahatan maupun sebagai obyek dari kejahatan, demikian juga

kejahatannya baik yang bersifat konvensional maupun yang luar biasa

(extra ordinary crime). Masalah ini sudah beberapa kali di bahas pada

konres PBB yang dimulai pada tahun 2001 hingga sekarang, demikian juga

di Indonesia sendiri sudah paling sedikitnya delapan kali seminar nasional

yang juga membicarakan tentang masalah cyber crime terutama kaitannya

dengan upaya penanggulangannya.

2. Pengaruh perkembangan cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di

Indonesia, dapat dilihat dari berbagai faktor, yaitu faktor hukum, yaitu

dengan munculnya cyber crime tentunya dibutuhkan aturan hukum pidana

substantive yang mengatur tentang cyber crime, dari factor penegak hukum,

dalam hal ini diperlukan sumberdaya manusia penegak hukum yang

berkualitas yang memahami dan mampu mengikuti perkembangan dan

kemajuan teknologi terutama dibidang cyber crime. Faktor sarana dan

prasarana juga diperlukan biaya atau anggaran yang cukup banyak guna

memenuhi kebutuhan akan sarana yang mempu untuk mendeteksi dan

membuktikan adanya cyber crime. sedangkan faktor masyarakat perlu

ditingkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah cyber crime, dengan

harapan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan

terhadap cyber crime.kemudian dengan adanya cyber crime sudah barang

tentu akan berpengaruh kepada kebudayaan, baik budaya lokal, nasional dan

internasional.

B. Saran

Dari kesimpulan di atas, penulis mencoba menyarankan:

1. Agar segera dibuat undang-undang khusus yang mengatur tentang cyber

crime; yang merupakan masalah dasar dalam penegakan hukum pidana.

2. Agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru segera di sahkan dan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana segera di revisi terutama

hubungannya dengan alat bukti yang ada dalam Pasal 183 dan Pasal 184

KUHAP ditambah dengan alat-alat bukti yang menggunakan alat elektronik.

Page 170: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

3. Diharapkan pengetahuan sumber daya manusia penegak hukum,serta sarana

dan prasarananya agar ditingkat, sehingga mampu mengatasi permasalahan

yang berhubungan dengan cyber crime.

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian

Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada.

Jakarta.

Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung

Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Rajawali. Jakarta.

----------, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta.,

Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung.

Zahrulyani, Arif. 2009. Persfektif Penegakan Hukum terhadap Kejahatan

Komputer (Cyber Crime) dalam Hukum Pidana Indonesia

Tesis, Magister Hukum. Unila. Bandar Lampung.

Raharja, Agus. 2003. Cyer Crime di Indonesia, Jurnal Studi Kepolisian.

www.crime-research.org. library criminal.html

goegle tentang Dunia maya.

Page 171: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemlsuan Mata Uang

__________________________________________________________________

Donna

A.Pendahuluan

Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil

dan makmur serta merata baik material maupun spiritual berdasrkan pancasila dan

UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.Dalam pelaksanaan

pembagunan nasional khususnya dibidang ekonomi diperlukan upaya-upaya anatar

lain untuk terus meningkatkan,memperluas, memantapkan dan mengamankan

perekonomian.

Motif ekonomi seringkali mendorong munculnya berbagai Kejahatan yang baru

dan inovatif. Misalnya munculnya cyber crime,money laundering,kejahatan perbankan

dan lain sebagainya. Manusia cenderung mencari celah-celah hukum dengan

kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sepanjang ada niat dari manusia untuk

memperkaya diri sendiri,sepanjang ada sarana yang dapat digunakan dan sepanjang

ada tujuan maka kesempatan untuk munculnya kejahatan jenis baru akan selalu ada.

Kejahatan pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan dibidang mata uang

yang sangat merugikan masyarakat sebagai pelaku ekonomi dan konsumen.Bentuk

kejahatan ini memiliki implikasi yang sangat luas baik bagi pelaku ekonomi secara

langsung maupun perekonomian secara nasional.Keberadaan uang palsu ditengah-

tengah masyarakat akan membawa dampak dan pengaruh yang sangat

besar.Masayarakat kita yang mayoritas adalah ekonomi menengah kebawah akan

sangat terpengaruh dengan keberadaan uang palsu ini.

Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran yang sah

untuk pembelian barang-barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Uang dalam

ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima

secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh

setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa Dalam ilmu

ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum

diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa dan

kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang279.

Kejahatan pemalsuan uang mengalami perkembangan yang cukup kompleks

karena memiliki dimensi yang luas dan saling berkaiatan, di antaranya adalah pelaku

pemalsuan uang yang melibatkan para pelaku yang lebih dari satu orang, modus

pemalsuan uang, motivasi dan faktor pendukung pemalsuan uang dan wilayah

pemalsuan dan peredaran uang palsu yang luas. Selain itu, karena objek yang

dipalsukan adalah uang sebagai alat pembayaran sah pada suatu negara maka akan

berdampak negatif pada perekonomian suatu negara

Maraknya Kejahatan pemalsuan uang didukung oleh beberapa faktor, di

antaranya adalah perkembangan teknologi komputer, alat pemindai (scanner) dan alat

pencetak (printer) yang makin canggih dan dapat diperoleh dengan mudah di toko-

toko komputer, sehingga semakin membuka peluang bagi para pelaku untuk

melaksanakan kejahatannya. Selain itu faktor motivasi seseorang atau sekelompok

279 Boediono,1990.Ekonomi Moneter.BPFE.Yogyakarta. Hlm. 14.

Page 172: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

orang (sindikat) untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan jalan pintas meskipun

perbuatan tersebut termasuk dalam kategori kejahatan menjadi pemicu maraknya

Kejahatan pemalsuan uang. Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan mata uang,

setiap negara mempunyai kebijakan berkaitan dengan peredaran mata uang. Tujuan

kebijakan pengedaran mata uang adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan

uang dalam jumlah yang cukup, menjaga kualitas uang layak edar dan menanggulangi

pemalsuan uang. Pemalsuan uang akan terus berkembang selama uang masih masih

dipakai sebagai alat transaksi.

Adapun sanksi bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dinyatakan dalam Pasal

244 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa meniru atau memalsu mata uang

atau kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk

mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli

dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Selanjutnya Pasal 245 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja mengedarkan

mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata

uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya

sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun

barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas

yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan

sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun280.

Salah satu kasus terkait pemalsuan uang yaitu kasus setra sari, yaitu kasus

pemalsuan uang yang diperkirakan sebesar 4 miliar rupiah dalam bentuk 50.000-an

rupiah, dilakukan dengan cara-cara yang sangat canggih dan menghasilkan uang palsu

yang nyaris sempurna,dapat dijadikan betapa berbahayanya kejahatan pemalsuan

uang. Dalam kasus yang diperiksa oleh PN Jakarta Pusat, para pelakunya adalah

oknum anggota Badan Intelijen Negara, sebuah lembaga yang mempunyai otoritas

tinggi dalam mengungkap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia. Dalam kasusu

tersebut dibuktikan bahwa pelaku bukan dari kalangan ekonomi lemah atau kelas

bawah,tetapi dilakukan oleh berpendidikan. Kasus tersebut membuktikan bahwa

kejahatan pemalsuan uang terjadi secara terorganisir.

Penegakan hukum terhadap kasus pemalsuan uang juga dinilai masih belum

berjalan baik.Hal ini dibuktikan dengan rendahnya sanksi yang dijatuhkan oleh

pengadilan.Contoh dalam kasus setra sari tersebut, terdakwanyan hanya dihukum satu

tahun.Penjatuhan sanksi yang sangat rendah sesungguhnya tidak sesuai dengan

kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dalam

KUHP.Oleh karenanyan dianggap perlu upaya penggulangan untuk memberantas

kejahatan yang dianggap banyak merugikan perekonomian Negara tersebut.

Permasalahan yang akan diangkat adalah “Bagaimanakah penanggulangan Kejahatan

terhadap pemalsuan uang sebagai upaya penegakan hukum pidana?

A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

280 F.AGYYA..2010. KUHP. Asa Mandiri. Jakarta.

Page 173: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan

berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek

adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana,

yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka

menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana,

yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil

untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana,

yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan

datang281.

Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang282, pelaksanaan dari politik hukum

pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu:

1. Tahap Formulasi

Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat Undang-

Undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih

nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang,

kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana

untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi

syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

2. Tahap Aplikasi

Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh

aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam

tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan

Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang.

Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada

nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap

yudikatif.

3. Tahap Eksekusi

Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat

pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas

menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat

Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan

Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan

Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus

berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh

pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

281 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum

Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 282 Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang, 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha.

Jakarta.

Page 174: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau

proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus

merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber

dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan.

Menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat

diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum

pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila

sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk

masa-masa yang akan datang283.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan

(politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu:

1. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Penal.

Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana

yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : (a) Perbuatan apa yang

seharusnya dijadikan tindak pidana; (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau

dikenakan kepada pelanggar.

2. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi

penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu,

namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya

kejahatan284.

B.Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan

Pengedarannya

Menurut sistem hukum pidana, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat285. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni: 1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7

bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249).

2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang

283 Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum

Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 284 Arief, Barda Nawawi, 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT.

Citra Aditya Bhakti. Bandung. Hlm. 158. 285 Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung. Hlm. 21-22.

Page 175: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP).

Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251286.

B.Upaya Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemalsuan Uang 1. Upaya Nonpenal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran

Uang Palsu

Upaya pencegahan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan oleh Bank Indonesia

dengan cara penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan

teknologi pengaman uang (security features) yang mutakhir dan terkini pada desain

barunya. Upaya ini dilakukan untuk membatasi potensi pemalsuan uang, karena

penggantian desain uang Rupiah secara berkala tersebut menggunakan teknologi

pengaman uang yang tinggi sehingga mempersulit para pelaku untuk memalsukan

uang tersebut.

Bank Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk

mengeluarkan dan mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang

Rupiah dari peredaran, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan uang Rupiah di

masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat

waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Dalam implementasinya, pelaksanaan

kewenangan dimaksud menghadapi berbagai tantangan, yang salah satunya adalah

terdapatnya risiko peredaran uang Rupiah palsu di masyarakat. Peredaran uang

Rupiah palsu yang tinggi, selain berpotensi mengurangi psikologis kepercayaan

masyarakat dalam menggunakan uang Rupiah juga merugikan masyarakat yang

memilikinya, mengingat tidak adanya penggantian terhadap uang palsu yang

dimiliki287.

Upaya pencegahan yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini sesuai dengan

amanat Pasal 19, 20, 22 dan 23 Undang-Undang BI mengatur mengenai kewenangan

BI untuk menetapkan macam, harga, ciri, bahan, dan tanggal mulai berlakunya;

mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik, dan memusnahkan uang; tidak

memberikan penggantian atas uang yang hilang/musnah dan memberikan penggantian

dengan nilai yang sama terhadap uang yang dicabut dari peredaran dalam batas waktu

tertentu. Selain itu upaya non penal pencegahan Kejahatan peredaran uang palsu

merupakan langkah preventif yang ditempuh Bank Indonesia dalam mengantisipasi

maraknya peredaran uang palsu. Upaya ini ditempuh dengan cara menyosialisasikan

keaslian uang kertas dengan slogan 3D (dilihat, diraba, dan diterawang), secara

intensif dengan menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun media

elektronik288.

Keaslian uang Rupiah dapat dikenali melalui ciri-ciri yang terdapat baik pada

bahan yang digunakan untuk membuat uang (kertas, plastik, atau logam), desain dan

286 Ibid. Hlm. 22-28. 287 Peraturan BI NO 6/14/PBI/2004 ttg pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta

pemusnahan uang rupiah. 288 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.

Page 176: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

warna masing-masing pecahan uang, maupun pada teknik pencetakannya. Sebagian

ciri-ciri yang terdapat pada uang Rupiah tersebut, selain berfungsi sebagai ciri untuk

membedakan antara satu pecahan dengan pecahan lainnya, dapat berfungsi juga

sebagai alat pengaman dari ancaman Kejahatan pemalsuan uang. Alat pengaman

tersebut terdiri dari alat pengaman yang kasat mata, kasat raba, dan pengaman yang

baru terlihat dengan menggunakan alat bantu berupa sinar ultra violet (UV lights),

sinar infra merah (infra red lights), kaca pembesar (loupe), dan alat plastik tertentu

untuk melihat scramble image.

a. Ciri-Ciri Pada Bahan Uang289

Bahan uang kertas dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu bahan kertas dan bahan plastik

(polymer)

1) Bahan Kertas Uang, ciri-cirinya adalah:

a) Bahan kertas uang, adalah kertas yang terbuat dari serat kapas atau campuran

dengan bahan lainnya, yang diproses secara khusus sehingga tidak memendar di

bawah sinar ultra violet (UV lights).

b) Tanda Air (Water Mark), adalah gambar berupa kepala pahlawan nasional yang

dibuat dengan cara menipiskan serat kapas sehingga terlihat jelas apabila

diterawangkan ke arah cahaya, baik dari bagian muka maupun belakang.

c) Benang Pengaman, adalah bahan dari plastik yang ditanam pada kertas uang dan

akan terlihat sebagai garis melintang dari atas ke bawah apabila diterawangkan ke

arah cahaya. Benang pengaman tersebut dapat dibuat tidak memendar (non-

fluorescent) maupun memendar (fluorescent) di bawah sinar ultra violet dengan

penempatan satu warna (single colour fluorescent) atau beberapa warna (multi

colour/rainbow fluorescent)

d) Electrotype, adalah gambar berbentuk hiasan yang dibentuk dengan cara seperti

pembuatan tanda air (water mark), namun lebih tipis sehingga akan terlihat lebih

terang dari penampakan tanda air apabila diterawangkan ke arah cahaya.

e) Serat-Serat (Vibres), adalah serat berwarna yang disebarkan secara acak di atas

kertas uang sehingga penempatannya tidak pernah sama pada setiap lembar uang.

Serat tersebut terdiri dari serat yang kasat mata dan serat yang baru terlihat apabila

disinari dengan ultra violet.

2) Bahan Plastik, ciri-ciri yang terdapat pada bahan plastik (polymer) adalah:

a) Bahan Plastik (Polymer) terbuat dari bijih plastik yang diproses secara khusus

dengan diberi lapisan (coating), sehingga tidak memendar di bawah sinar ultra

violet (UV Lights).

b) Bayangan Gambar (Translucent Shadow Image), adalah bayangan gambar yang

dapat dilihat di bawah cahaya dari sisi tertentu.

c) Jendela Transparan (Transparent Security Window), adalah jendela transparaan

yang memuat gambar hologram (Optically Variable Devices/OVD) yang terlihat

dari sisi muka dan belakang serta akan menampakkan perubahan warna bila dilihat

dari sudut berbeda.

289 Brosur uang kertas rupiah. Bank Indonesia. 2001.

Page 177: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

d) Jendela berwarna (Colour Security Window), adalah jendela transparan yang

berwarna dan memuat filter untuk melihat gambar (metameric print) di sisi tertentu

yang berfungsi sebagai penguji keaslian uang (self-authentication).

b. Ciri Pada Desain dan Warna Uang290

Desain dan warna dari setiap pecahan uang Rupiah telah dibuat sedemikian rupa

sehingga dapat memberikan ciri-ciri tertentu, baik untuk keperluan keindahan maupun

untuk pengamanan terhadap ancaman Kejahatan pemalsuan uang, yang meliputi:

1) Gambar utama bagian muka dan bagian belakang.

2) Gambar dan ornamen pendukung lainnya.

3) Warna dominan uang.

4) Ukuran uang.

c. Ciri -Ciri pada Teknik Cetak Uang291

Teknik cetak Rupaih terdiri dari:

1) Cetak Intaglio, adalah hasil cetak timbul berbentuk relief yang terasa kasar apabila

diraba.

2) Rectoverso (See Through Register), adalah hasil cetak yang beradu tepat atau saling

mengisi antara bagian muka dan belakang sehingga penampakannya waktu

diterawangkan ke arah cahaya tidak boleh bergeser sedikitpun.

3) Nomor seri yang memendar, adalah hasil cetak berupa nomor seri yang selain kasat

mata juga akan memendar di bawah sinar ultra violet

4) Latent Image/Multilayer Latent Image, adalah hasil cetak lebih dari satu obyek

dalam satu tempat yang akan tampak jelas apabila dilihat dari sudut pandang yang

berbeda.

5) Huruf/angka mikro, adalah hasil cetak yang berupa huruf/angka dengan ukuran

yang sangat kecil sehingga baru dapat dibaca jelas apabila dilihat dengan

menggunakan kaca pembesar.

6) Hasil cetak yang tidak kasat mata Adalah hasil cetak dengan menggunakan tinta

khusus sehingga tidak kasat mata dan baru akan terlihat jelas apabila disinari

dengan ultra violet

7) Tinta berubah warna (Optical Variable Ink/OVI), adalah hasil cetak yang mengkilat

(glittering) yang warnanya akan berubah apabila dilihat dari sudut pandang yang

berbeda. Teknik cetak ini dilakukan untuk menghindari ancaman pemalsuan

dengan mesin fotocopi warna.

8) Latar (Screen), adalah hasil cetak berupa garis yang sangat halus dengan satu atau

beberapa warna yang memberikan kesan warna dominan dari suatu pecahan uang.

9) Guilloche, adalah hasil cetak berupa garis-garis sangat halus yang tidak terputus

dan membentuk alur seperti rajut

Sementara itu ciri-ciri uang palsu di antaranya adalah sebagai berikut:

a) Cetak Intaglio : tidak terasa kasar bila diraba

b) Huruf Mikro : tidak jelas terbaca dengan alat kaca pembesar

c) Nomor Seri : tidak berubah warna apabila disinari ultraviolet

290 Materi penataran cirri-ciri keaslian uang rupiah. BI, 2004. 291 Ibid.

Page 178: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

d) Ovtical Variable ink : tidak berubah warna bila dillihat dari sudut

pandang tertentu

e) Rectoverso : jika diterawang kearah cahaya tidak beradu tepat

menjadi logo Bank Indonesia

f) Bahan uang : terasa licin dan memendar dibawah sinar

ultraviolet

d. Sosialiasi keaslian mata uang rupiah tersebut bertujuan untuk lebih mengenalkan

mata uang rupiah yang asli kepada masyarakat, serta meningkatkan kewaspadaan

masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban pemalsuan uang dan peredaran

uang palsu. Bagi masyarakat, khususnya pedagang atau orang-orang yang bekerja

dengan kegaiatan transaksi uang secara langsung dapat bisa membeli alat khusus

yang bermanfaat untuk mendeteksi keaslian uang292.

Upaya preventif lain yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan tatap muka

dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara

sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu

yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Namun

demikian Bank Indonesia tetap harus bekerja sama dengan berbagai instansi untuk

pencegahan dan penanggulangan uang palsu seperti Botasupal, Kepolisian,

Kejaksaan dan Pengadilan serta masyarakat secara luas, sesuai dengan tetap

berpedoman kepada fungsi dan peran masing-masing instansi penegak hukum

tersebut.

2. Upaya Penal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang

Palsu

Upaya penal penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang

palsu yang dilakukan oleh kepolisian adalah dengan melaksanakan penyelidikan untuk

mendapatkan bukti-bukti yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan

termasuk sebagai Kejahatan atau bukan. Dalam penyelidikan ini, rangkaian tindakan

penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga

sebagai Kejahatan, tidak untuk mencari/menemukan tersangka. Ketika pihak

kepolisian sudah mendapat cukup bukti bahwa suatu perbuatan termasuk dalam

Kejahatan maka dilakukan penyidikan.

Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana menurut cara yang

diatur di dalam undang-undang293. Penyelidikan dalam hukum acara pidana yang

mengatur tindakan dan cara-cara mengungkap bukti-bukti agar dari suatu peristiwa

pidana dapat diketahuhi tersangkanya dan juga bagaimana agar orang yang disangka

telah melanggar hukum pidana materil tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Setiap

melakukan penyidikan sesungguhnya penyidik membuat hipotesa yang merupakan

interpretasi dari data dan fakta yang siperoleh selanjutnya disusun dan dirangkai

hingga dapat disimpulkan pelakunya. Pada waktu melakukan penyidikan, pihak

kepolisian dituntut untuk bekerja secara obyektif dan jujur, menafsirkan temuan fakta

292 Ibid. 293 F.AGYYA..2010. KUHAP. Asa Mandiri. Jakarta.

Page 179: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

secara obyektif untuk kemudian disusun secara sistematis, sehingga secara obyektif

pula dapat ditentukan terbukti atau tidak.

Bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana meliputi berbagai

ketentuan tentang data penyidikan, diketahuinya terjadinya delik, pemeriksaan di

tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara,

penggeledahan, pemeriksaan atau investegasi, berita acara (penggeledahan, interogasi,

dan pemeriksaan di tempat), penyitaan dan pelimpahan perkara. Pemeriksaan

penyidikan adalah pemeriksaan dimuka pejabat penyidik dengan menghadirkan

tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan

langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. Penyidikan merupakan rangkaian

tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti294. Dengan bukti yang dikumpulkan, Kejahatan

yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi

pelaku Kejahatan yang sedang disidik.

Kejahatan pemalsuan uang merupakan Kejahatan khusus, sehingga penyidik

perlu menghadirkan seorang atau lebih saksi ahli untuk turut membantu kelancaran

proses penyidikan. Oleh karena itu pihak kepolisian meminta bantuan saksi ahli dari

Kepala Bank Indonesia Cabang Lampung untuk menunjuk stafnya, guna dimintai

keterangan sebagai saksi ahli Kejahatan pemalsuan uang.

Hal ini dilaksanakan sesuai dengan tujuan pokok penyidikan yaitu untuk

menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Penyidik harus bekerja secara

obyektif, tidak sewenang-wenang dengan tetap menghormati Hak Azasi Manusia dan

asas praduga tidak bersalah. Beberapa tahapan penyidikan yang dilakukan untuk

mengungkap kasus Kejahatan pemalsuan uang, yaitu:

a) Pemeriksaan di tempat kejadian, yaitu memeriksa tempat kejadian perkara

terjadinya Kejahatan pemalsuan uang

b) Pemanggilan atau penangkapan tersangka, setelah jelas dan cukup bukti awal maka

pihak kepolisian melakukan pemanggilan atau penangkapan terhadap tersangka

pelaku Kejahatan pemalsuan uang

c) Penahanan sementara, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka maka

dilakukan penahanan terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan uang

d) Penyitaan, melakukan kegiatan penyitaan berbagai barang bukti yang akan

memperkuat pemberkasan atau berita acara .

e) Pemeriksaan, dilakukan untuk menambah atau memperkuat bukti-bukti bahwa telah

terjadi Kejahatan pemalsuan uang. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di

muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli.

Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka,

para saksi, atau ahli.

f) Pemeriksaan di muka penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat

mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai

tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh

karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan dan menduga peristiwa itu

294 Ibid.

Page 180: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

merupakan Kejahatan, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang

diperlukan dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan

langsung tersangka dan saksi-aksi maupun saksi ahli.

g) Pembuatan Berita Acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan

pemeriksaan di tempat.

h) Pelimpahan perkara kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih

lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku295.

Setelah proses penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang selesai dilaksanakan

oleh kepolisian, yaitu dengan pelimpahan perkara oleh pihak kepolisian kepada

kejaksaan maka selanjutnya kejaksaaan akan menindak lanjuti perkara tersebut sesuai

dengan ketentuan dan tata cara hukum yang berlaku, yaitu dengan melaksanakan

penuntutan. Jaksa Penuntut Umum memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan

terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Kejahatan dalam daerah hukumnya

dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137

KUHAP). Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan

yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara

tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke

pangadilan (Pasal 139 KUHAP).

Jaksa Penuntut Umum menentukan surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke

pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut. Surat

dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir,

umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan

pekerjaan tersangka. Selain itu terdapat pula uraian secara cermat, jelas dan lengkap

mengenai Kejahatan yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat

Kejahatan itu dilakukan.

Setelah berkas perkara Kejahatan pemalsuan uang dilimpahkan oleh penuntut

umum ke pengadilan maka, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan maka

dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku Kejahatan pemalsuan

uang. Pengadilan semaksimal mungkin menegakkan keadilan melalui proses

pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan, hakim

menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Kejahatan pemalsuan uang.

Penjatuhkan pidana kepada terdakwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,

sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu Kejahatan benar-benar terjadi

dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah

yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d).

Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui

sehingga tidak perlu dibuktikan296.

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja

tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang

didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak

berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus

testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat

295 Ibid. 296 Ibid.

Page 181: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk

menuntut pelaku Kejahatan pemalsuan uang.

Selain itu Hakim Pengadilan dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang

pengadilan, melihat dari beberapa aspek, yaitu:

a) Kesalahan pelaku Kejahatan

Hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.

Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku

Kejahatan tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku Kejahatan harus ditentukan secara

normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat

harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif

dari kesengajaan dan niat itu adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai suatu

perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga,

seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi

pelaku Kejahatan. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku

sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku

Kejahatan dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain.

Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-Undang atau dari luar Undang-

Undang, yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya

dilakukan maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa terdapat

unsur sengaja. Misalnya di dalam KUHP ada ketentuan bahwa dalam Kejahatan

harus ada niat. Di luar Undang-Undang pun ada aturan-aturan yaitu berupa

kebiasaan atau dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh

seseorang. Dalam kasus tersebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

harus berdasarkan atas bukti pemeriksaan perkara dan keterangan saksi-saksi

bahwa pelaku melakukan Kejahatan dan sebagaimana diatur di dalam KUHP.

b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu Kejahatan

Dalam kasus Kejahatan diketahui bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan

tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum

c) Cara melakukan Kejahatan

Bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih

dahulu untuk melakukan Kejahatan tersebut. Memang terapat unsur niat di

dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

d) Sikap batin pelaku Kejahatan

Bahwa sikap batin itu tidak dapat diukur dan dilihat. Tidaklah mungkin diketahui

bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya, maka haruslah

ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran

sikap batin orang pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan

pelaku tersebut. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah

dan rasa penyesalan atas perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi

perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada

keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan yang baik. Hal

tersebut juga menjadi faktor pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana.

e) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Page 182: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku Kejahatan juga sangat

mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku,

misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari

keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang

saja (kalangan kelas bawah).

f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Kejahatan

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan dengan

tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas

juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi

pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab,

juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.

Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

g) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku Kejahatan,

juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut,

membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan

mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan

berguna. Penjatuhan pidana terhadap pelaku dilakukan untuk memperbaiki

kesalahan yang diperbuat.

h) Pandangan masyarakat terhadap Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku

Dalam kasus ini masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu

perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar

pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan

perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut

dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan

keadilan juga kepastian hukum bagi seseorang.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan

penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan secara preventif dan represif.

Upaya preventif dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan sosialisasi keaslian

uang, penggantian desain uang secara berkala dengan menggunakan teknologi

pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan tatap muka dengan berbagai

lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian

uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank

Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).

Sementara itu upaya represif penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang

dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksanaan dan

pengadilan, sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang melibatkan

berbagai institusi atau badan hukum yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-

sendiri. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan

berpengaruh pada badan yang lainnya. Sistem peradilan pidana dilaksanakan untuk

menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan

pelaku yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya atau dapat

menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang

palsu.

Page 183: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4

C. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu penanggulangan kejahatan pemalsuan uang

dilakukan secara nonpenal dan penal. Upaya nonpenal dilakukan oleh Bank Indonesia

dengan melakukan sosialisasi keaslian uang, penggantian desain uang secara berkala

dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan

tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam

rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang

Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC).

Sementara itu upaya penal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari

kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan dalam tahapan sistem peradilan pidana di

Indoensia yang bertujuan menjatuhkan pidana terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan

uang dan mencegah serta menanggulangi masyarakat menjadi korban pemalsuan uang,

menyelesaikan kasus kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan

pemalsuan uang dan peredaran uang palsu.

Daftar Pustaka

Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

----------. 2001. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung

Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung.

Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta.

Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung.

Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia Pradya

Paramitha. Jakarta.

F.Agyya..2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Asa Mandiri.Jakarta

----------. 2010. . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Asa

Mandiri.Jakarta

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran,

Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah.

Sumber Lain

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. Volume 3 No. 1. April 2005 Direktorat

Pengedaran Uang. Perlunya Pengaturan Mata Uang dalam Undang-Undang

Tersendiri. Volume 3. No. 1 April 2005.

Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam

Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan

Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta.

Brosur Uang Kertas Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2001.

Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2004.

Page 184: Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4