KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)...
Transcript of KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)...
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN
ALOKASI DANA DESA OLEH KEPALA DESA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ADITYA DWI PRAYUDI
(11140480000048)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H /2019
iv
ABSTRAK
Aditya Dwi Prayudi. NIM 11140480000048. KEWENANGAN KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERHADAP PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN ALOKASI DANA
DESA OLEH KEPALA DESA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H / 2019 M. ix + 61 halaman + 2
halaman daftar pustaka.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif-dogmatika.
Melalui pendekatan perundang – undangan (statue approach). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi. Permasalahan utama didalam skripsi ini adalah mengenai
aspek hukum kewenangan dan tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada
tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa, kewenangan dan tugas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lemah pada pemberantasan tindak
pidana korupsi Alokasi
Hasil penelitian menunjukan bahwa kewenangan dan tugas dari KPK
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa
masih tidak bisa menjangkau korupsi alokasi dana desa yang dilakukan oleh
kepala desa selaku penyelenggara negara karena kelemahan komisi
pemberantasan korupsi yang belum bisa menjangkau seluruh daerah – daerah di
Indonesia.
Kata Kunci : Kewanangan Hukum, Tindak Pidana Korupsi, Alokasi Dana
Desa, Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi, Kharlie, S.H.,M.H.,M.A.
Ali Mansur, M.A.
Daftar Pustaka : 1995 -2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pada
Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Alokasi Dana Desa Oleh Kepala Desa”.
Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu’Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan, arahan,dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharie, SH.,MA.,MH. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Terkhusus Dr. Ahmad Tholabi Kharie, SH.,M.H.,M.A. dan Ali Mansur. M.A,.
Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran serta kesabaran dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan
saran-saran yang sangat berharga kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H.,M.H. dan Drs. Noryamin Aini. M.A.
selaku dosen penguji siding skripsi yang dengan penuh perhatian dan
ketelitian senantiasa memberika banyak ide dan gagasan yang membangun
dalam penulisan skripsi ini
5. Kepala dan Staff Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vi
6. Seorang yang saya sayangi, Irma Damayanti yang telah mendukung penulis
dalam menyelesaikan penelitian ini. semoga kamu selalu diberikan kesehatan
dan kebaikan dalam hidup mu
7. Sahabat yang sudah mendukung dalam penulisan ini, Altus Arnadi, Dika
Firza, Fahreza Algazali, Mukti Gates, Achmad Yuzardhi, Iwal Kirana, Bagus
Wicaksono, Basil Abdul, Raffy Ragahanda, David Saragih, dan Azwar.
Terimas kasih telah menghibur dan menyemangati penulis. Sukses untuk kita
semua
8. Sahabat seperjuangan kampus, Nur Rahmi, Syifa Maulidyaa, Euis Nur Atikah,
Zunah Zahra, Yasmine Assegaf, Adit Muzaki, Aji Fauzi, Syanel, dan Ksatria
Imam, yang telah membantu, memberikan motivasi dan dukungan kepada
penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan
9. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang bisa penulis berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali
dengan ucapan doa dan terima kasih.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan
untuk perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian
dan Terima kasih.
Jakarta, 15 Maret 2019
Aditya Dwi Prayudi
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................... ii
LEMBAR PENYATAAN ............................................................................ iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan
Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
D. Metode Penelitian................................................................. 7
E. Sistematika Penulisan .......................................................... 9
BAB II KEWENANGAN DAN KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI
A. Landasan Teori ..................................................................... 11
B. Landasan Konseptual ........................................................... 20
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................... 27
BAB III PENYELENGGARA NEGARA DAN KEPALA DESA .......
A. Penyelenggara Negara ......................................................... 29
B. Kepala Desa ........................................................................ 36
BAB IV KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN
KORUPSI (KPK) TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI PENYALAHGUNAAN ALOKASI DANA
DESA
A. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada
penindakan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan
Alokasi Dana Desa Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
viii
(KPK) Yang Melibatkan kepala Desa Selaku
Penyelenggara Negaraa ........................................................ 45
B. Kelemahan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Terhadap
Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Alokasi Dana
Desa ...................................................................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 60
B. Rekomendasi ........................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kewenangan atau wewenangan memiliki kedudukan penting dalam hukum
tata negara dan hukum pidana. Pentingnya kewenangan ini sehingga kewenangan
pada setiap penegak hukum harus sesuai dan dimanfaatkan dengan sebaik –
baiknya. Kewenangan pada setiap lembaga harus di atur dalam undang – undang
karena setiap lembaga yang menjalankan kewenangannya harus berlandaskan
hukum yang ada.
Dalam negara hukum terdapat asas legalitas atas dasar prinsip tersebut bahwa
kewenangan pemerintahan berasan dari peraturan perundang – undangan. Dalam
hukum administrasi juga terdapat 2 cara untuk memperoleh kewenangan yaitu
atribusi dan delegasi. Pemerintahan juga harus berlandaskan pada kewenangan
yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah, seorang pejabat atau badan tata
usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.
Kewenangan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau lembaga negara
sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan - jabatan (een ambten
complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan
kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek dan kewajiban. Dengan demikian
kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan
kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kewenangan itu dapat bersumber
dari konstitusi, atau undang – undang
Dengan dikeluarkannya Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membawa kemajuan terhadap peran
pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat
tentang peradilan khusus tindak pidana korupsi dan mengamanatkan tentang
pembentukan badan pemberantasan korupsi. Dimana dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tercantum
2
dalam Pasal 43 ayat (1), yaitu Dalam waktu paling lambat 2 (Dua) tahun sejak
undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Merujuk akan hal tersebut Pemerintah pada tahun 2002 melalui Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan badan khusus
dalam menangani kasus korupsi
Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah dalam rangka
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Sebagai badan yang diharapkan bertindak luar biasa dalam memberantas korupsi,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberikan 5 tugas sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terdahap tindak pidana
korupsi terletak pada Pasal 11 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
KPK. Undang – Undang memberikan kewenangan bagi KPK untuk menindak
berdasarkan 3 (tiga) aspek pada pasal 11. Kewenangan KPK dalam penindakan
tindak pidana korupsi pun berbeda karena KPK dapat melakukan penyidikan,
penyelidikan dan penuntutan serta KPK tidak dapat mengeluarkan SP3.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum
pidana khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau
dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak
langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan
penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Kerugian negara
yang di timbulkan dari penyalahgunaan alokasi dana desa yang dapat di tindak
oleh KPK namun terdapat permasalahan karena define dari penyelenggara negara
yang tidak mencantumkan bahwa kepala desa adalah penyelenggara negara.
3
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara negara mempunyai
peran penting dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik karena
penyelenggara negara mendapatkan kewenangan dari undang – undang secara
langsung untuk menjalankan fungsi kekuasaan
Sejak ditetapkannya Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
maka Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. Penataan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 berdasarkan
hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang - undangan. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan
efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan
publik, meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa, dan meningkatkan
daya saing Desa.
Kepala Desa adalah pejabat Pemerintah Desa yang mempunyai wewenang,
tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan
melaksanakan tugas dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Secara jelas pada
Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 mengatur empat tugas
utama Kepala Desa, yaitu:
1. Menyelenggarakan Pemerintahan Desa (menglola keuangan desa)
2. Melaksanakan pembangunan Desa
3. Melaksanakan pembinaan masyarakat Desa
4. Memberdayakan masyarakat Desa.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana
korupsi di landasi dengan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pmeberantasan Korupsi. Pada pasal 11 terdapat 3 kewenangan lembaga
4
tersebut. Kewenangan tersebutlah yang menjadi landasan dari KPK dalam
menjalankan tugas. Terdapat suatu perdebatan dalam bisa atau tidak kepala desa di
tindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu Pasal 11 Ayat 1 Undang –
Undang 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Sering kali terjadi perdebatan apakah kepala desa dapat terjerat tindak pidana
korupsi alokasi dana desa terkait posisi dan kewenangannya dalam
penyelenggaran pemerintahan, Dengan demikian kepala desa sulit tersentuh
karena adanya Pasal 11 Huruf a Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi namun ada kejanggalan karena ada juga pasal 11
huruf b UU KPK yang berbunyi “mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat”. Karena selama ini KPK. Sering menerima laporan dari masyarakat
tentang korupsi penyalahgunaan dana desa, namun KPK tidak bisa menindaknya
karena adanya batasan kewenangan karena kepala desa bukan lah penyelenggara
negara dan aparat penegak hukum.
Berkenaan dengan latar belakang diatas oleh karena itu dengan adanya hal
tersebut judul dalam penelitian ini adalah “Kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Tehadap Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Alokasi Dana Desa Oleh Kepala Desa”
B. Identifikasi. Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan sebelumnya maka
identifikasi masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Apa peran dan kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam tindak pidana penyalahgunaan alokasi dana desa menurut Undang
– Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi?
b. Apa kedudukan dari kepala desa selaku penyelenggara pemerintahan
sehingga kepala desa dapat di tindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
5
sesuai Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi?
c. Apa yang menyebabkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dapat di korupsi
oleh kepala desa?
d. Apa permasalahan yang menyebabkan tidak tersentuhnya korupsi alokasi
dana desa yang dilakukan oleh kepala desa dan perangkat desa oleh
komisi pemberantasan korupsi (KPK)?
e. Bagaimana penyelesaian kasus tindak pidana korupsi penyelahgunaan
alokasi dana desa?
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas, penulis membatasi hanya pada
kewenangan dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menindak tindak
penyalahgunaan alokasi dana desa yang dilakukan oleh kepala desa yang
terjadi dari tahun 2014 sampai 2018. Berawal dari laporan masyarakat
mengenai tindak pidana penyalahgunaan alokasi dana desa kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sampai penindakan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi pada tahun 2014 sampai 2018
3. Perumusan Masalah
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi
penyalahgunaan alokasi dana desa oleh kepala desa, yang mana setiap tahun
anggaran tersebut selalu diberikan oleh pemerintah pusat. Pokok
permasalahan adalah aspek hukum dari fungsi dan tugas dari Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam penyelesaian tindak pidana korupsi
penyalahgunaan alokasi dana desa dan hambatan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangani penindakan dari korupsi alokasi dana desa
Agar penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
6
a. Apa kewenangan kasus korupsi dana desa oleh komisi pemberantasanan
korupsi (KPK) yang melibatkan kepala desa selaku penyelenggara
pemerintahan?
b. Apa kelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi
hambatan dalam penindakan tindak pidana korupsi alokasi dana desa yang
dilakukan oleh kepala desa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan, maka tujuan
penulisan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kelemahan dari kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam menangani kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan
alokasi dana desa korupsi
2. Untuk mengetahui cara penyelesaian tindak pindana korupsi alokasi dana desa
yang dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi yang melibatkan kepala
desa selaku penyelenggara pemerintahan desa dan pemegang kuasa anggaran
di pemerintahan desa
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil penelitian ini
juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk penguatan kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi. Adapun
manfaat penelitian yang ingin dihadirkan peneliti sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan selain memperluas khazanah keilmuan dalam
bidang hukum dan juga sebagai bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau
peneliti yang akan meneliti persoalan serupa.
7
2. Secara Praktis
Hasil penelitian diharapakan dapat menjadi kontribusi pemikiran kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan para kepala desa yang
menggunakan anggaran alokasi dana desa
E. Metode Peneilitian
Pada bagian ini menjelaskan secara rinci tentang hal – hal uang terkait
dengan metode penelitian, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-dogmatik,
penelitian ilmiah yang mencakup kegiatan mengiventarisasi, memaparkan,
menginterpretasi dan mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan
hukum positif (teks otoritatif) yang berlaku dalam masyarakat atau negara
tertentu dengan bersaranakan konsep – konsep (pengertian – pengertian), teori
– teori, dan metode – metode yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk
melakukan semua kegiatan itu diarahkan untuk mempersiapkan upaya
menemukan penyelesaian yuridik terhadap masalah hukum yang mungkin
terjadi di masyarakat.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-undangan
(statute approach), mengingat peneliti berusaha menganalisis beberapa
peraturan perundang-undangan sebagai fokus penelitian, Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-
Undang Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang - Undang Nomor. 16 Tahun 2014 Tentang Desa, Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
8
3. Data, Sumber Data, Metode Pengolahan Data
Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa informasi
terkait kewenangan komisi pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti hambatan yang
dimengakibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi sulit menindak tindak
pidana korupsi alokasi dana desa yang dilakukan oleh kepala desa. Aspek
hukum dari kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang berlaku,
informasi berupa aturan – aturan terhadap penindakan tindak pidana korupsi
di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan sumber penelitian yang berkaitan dengan
kewenanga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berlaku berdasarkan
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Informasi tersebut
kemudian di kelompokkan menjadi 3 (tiga) sumber sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer dari penelitian ini adalah Undang – Undang Nomor 30
Tahun 2002, Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Undang –
Undang Nomor 6 Tahun 2014
b. Sumber Sekunder
Sumber sekuder yang digunakan dalam penelitian ini yakni turunan dari
peraturan perundang – undangan yang terdapat pada sumber primer,
sumber sekuder antara lain: Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019, Peraturan Pengganti
Undang - Undang
c. Sumber sekuder yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendapat ahli
hukum mengenai teori – teori hukum yang ada dan juga mekanisme
penalaksanaan penindakan kasus korupsi
4. Metode Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif
berdasarkan studi perundang – undangan. Metode deskriptif digunakan karena
9
penelitian ini meneliti suatu permasalahan dengan tujuan untuk
menggambarkan secara tepat bagaimana permasalahan tersebut dituntaskan.
Sedangkan kasus dalam penelitian ini adalah kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi alokasi dana
desa
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi
ini berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang terdapat dalam
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017”
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini di susun yang terbagi dalam lima bab, masing – masing bab
terdiri atas beberapa sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup da cakupan
permasalahn yang dikaji dan di teliti. Adapun urutan dan tata letak masing –
masing bab serta pokok pembahasan sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupaka bagian awal dari skripsi yang memuat tentang
pendahuluan antara lain: latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, rancangan sistematika penelitia.
BAB II: Kajian Kepustakaan. Dalam bab ini, dijelaskan teori kewenangan dan
lembaga penindak tindak pidana korupsi
BAB III: Pemerintahan Desa dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam
bab ini, terdiri dari uraian mengenai pemerintahan desa serta kepala
desa selaku penyelenggara pemerintahan desa dan alokasi dana desa
BAB IV:Analisis dan Interpretasi penulis terkait fungsi dan tugas Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap tindak pidana korupsi
penyalahgunaan alokasi dana desa dan Kelemahan dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus tindak pidana
10
korupsi penylahgunaan alokasi dana desa yang melibatkan kepala desa
sebagai penyelenggara pemerintahan desa
BAB V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan – kesimpulan
yang diperoleh dari hasil penelitian dan dilengkapi juga dengan saran –
saran.
11
BAB II
KEWENANGAN DAN PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kewenangan
Kewenangan adalah kekuasaan resmi, kekuasaan yang diberikan oleh Undang
– Undang atau dari kekuasaan pemerintahan. Kata kewenangan berasal dari kata
dasar wewenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang
dimiliki untuk melakukan sesuatu. Secara hukum pengertian kewenanngan adalah
kemampuan yang diberikan oleh Undang – Undang untuk menimbulkan akibat
hukum.1
Istilah kewewenang disamakan dengan dengan authoritydalam bahasa inggris
dan bevoegdheid dalam bahasa Belanda. Authority dalam Black’s Law Dictionary
diartikan sebagai Legal Power; a right to command or to act the right and power of
publik officers to require obedience to their orders lawfully issued in scope of their
public duties. Kewenangan adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau
bertindak, hak atau kekuasaan penyelenggara negara untuk mematuhi aturan
hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban dalam pemerintahan
Dalam hukum di Indonesia, kewenangan berkaitan dengan kekuasaan.
Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan kewenangan karena kekuasaan
yang dimiliki oleh eksekutif, legislative, dan yudikatif adalah kekuasaan
pemerintahan. Kekuasaan merupakan salah satu dari sebuah unsure dari suatu
negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.2
Kewenangan merupakan hal utama dari penyelenggaraan negara agar negara
dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga negara itu dapat berjalan
untuk mensejahterakan rakyatnya. Karena itu negara harus diberi kewenangan.
1 Indrohato, Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, (Bandung: Bakti, 1994), h. 65
2 A Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 52
12
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa ata lembaga –
lembaga negara, dengan begitu kewenangan memiliki aspek hukum. Kewenangan
sebagai konsep hukum pemerintahan memiliki tiga komponen, yaitu:
1. Komponen pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku subjek hukum.
2. Komponen dasar hukum bahwa wewenang itu selalu dapat ditunjukkan dasar
hukumnya.
3. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu
standar umum (semua jenis kewenangan) dan standar khusus (untuk jenis
kewenangan tertentu).
Salah satu asas negara hukum yaitu asas legalitas (legaliteits beginselen atau
wetmatigheid van bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan Perundang- undangan. Dalam kepustakaan
hukum administrasi terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintah
yaitu,atribusi dan delegasi; kadang- kadang juga, mandat, ditempatkan sebagai cara
tersendiri untuk memperoleh kewenangan.
Perbuatan pemerintah harus berdasarkan pada kewenangan yang sah. Tanpa
adanya kewenangan yang sah, seorang pejabat atau badan tata usaha negara tidak
dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah. Kewenangan yang sah merupakan
atribut bagi setiap pejabat atau bagi setiap badan. Kewenangan yang sah bila
ditinjau dari sumber darimana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka terdapat
tiga kategori kewenangan, yaitu Atribut, Delegatif dan Mandat, yang dapat
dijelaskan sebagai berikut:3
1. Kewenangan Atribut
Kewenangan atribut biasanya berasal dari adanya pembagian kekuasaan oleh
3 Nur Basuki Winarmo, Penyalagunaan Wewenanang dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah
13
peraturan Perundang- undangan. Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini
pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera dalam
peraturan dasarnya. Terhadap kewenangan atributif mengenai tanggung jawab
dan tanggung gugat berada pada pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam
peraturan dasarnya.
2. Kewenangan Delegatif
Kewenangan Delegatif bersumber dari pelimpahan suatu lembaga
pemerintahan kepada lembaga lain dengan dasar peraturan Perundang -
undangan. Dalam hal kewenangan delegatif tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih kepada yang diberi wewenang tersebut dan beralih pada
delegataris.
3. Kewenangan Mandat
Kewenangan Mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses atau
prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat
atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat dalam hubungan
rutin atasan dan bawahan, kecuali bila dilarang secara peraturan perundang –
undangan
Konsep kewenangan dalam hukum pidana berkaitan dengan asas legalitas,
asas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai bahan dasar
dalam setiap penyelenggaraan pemerintah disetiap negara hukum terutama bagi
negara- negara hukum yang menganut system hukum eropa continental. Asas ini
dinamakan juga kekuasaan undang – undang (de heerschappij van de wet). Asas ini
dikenal juga didalam hukum pidana (nullum delictum sine previa lege peonale)
yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-undang). Dalam hukum administrasi
Negara asas legalitas ini mempunyai makna dat het bestuur aan wet is
onderworpnen, yakni bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang. Asas ini
merupakan sebuah prinsip dalam negara hukum.
14
1. Sumber Kewenangan
Dalam hukum dikenal asas legalitas yang menjadi bagian utama dan
merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan di setiap negara hukum. Kewenangan diperoleh
secara atribusi, delegasi dan mandat, kewenangan atribusi biasanya atribusi
melalaui pembagian kekuasaan negara oleh undang – undang dasar, kewenangan
delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Pada kewenangan delegasi, harus ditujukan pada pelimpahan kewenangan
kepada lembaga pemerintahan yang lain. Kewenangan mandat tidak terjadi
pelimpahan apapun dalam arti pemberian kewenagan, akan tetapi yang diberikan
mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat
yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator
(pemberi mandat)4
kewenangan pemerintahan itu atau wewenang itu selalu tunduk pada batas
yang telah ditentukan berkaitan dengan batas wilayah kewenangan dan batas
cakupan dari materi kewenangannya. Batas wilayah kewenangan berkait erat
dengan ruang lingkup kompetensi absolute dari wewenang pemerintah tersebut.
Wewenang dari seorang menteri dalam negeri jelas akan berbeda batas
wilayayah kewenangan dengan wewenang menteri kehutanan. Adapun batas
cakupan materi kewenangannya pada dasarnya sesuai dengan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemberian
kewenangan tersebut.
Supaya kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
sehingga negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten
complex) di mana jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang
4 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah Sketsa
Bayang – Bayang Konflik Dalam Prospek Masa Depan Otonomi Daerah, (Jakarta: Sinar Mulia, 2002),
h. 65
15
mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan konstruksi subyek-
kewajiban . Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek
politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum
semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber dari konstitusi, juga dapat
bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau
perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi5
B. Kewenangan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK)
Lembaga Penegakan Tindak Pidana Korupsi Dengan diberlakukannya
Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi maka penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilaksanakan
oleh 3 (tiga) instansi penegak hukum yaitu:
a. Kejaksaan Agung Republik Indonesia
b. Kepolisian Republik Indonesia
c. Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sedangkan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan oleh 2 (dua)
instansi penegak hukum yaitu Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi
Pemberantasan Korupsi yang masing - masing independen pada setiap lembaga
penegak hukum tersebut.6
1. Komisi Pemberantasan Korupsi
Kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
diamanatkan didalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai pendukung
5 Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia, 1998), h.38
6 Taufiqurrahman Ruki, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan
Indonesia, (BPHN, Dep. Hukum dan HAM RI, 2005) h. 121
16
pelaksanaan tugas – tugas sebagaimana dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) meliputi:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Penjelasan Pasal 11
huruf a Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi menyebutkan, yang dimaksud dengan
penyelenggara negara adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, termasuk Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat Maksud dari tindak
pidana korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
adalah kasus-kasus korupsi dalam skala besar atau grand corruption.
Contoh kasus grand corruption yang ditangani oleh KPK yaitu, kasus
korupsi yang dilakukan oleh mantan bendahara umum Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin. KPK menilai kasus korupsi tersebut disebut
sebagai grand corruption karena korupsi dilakukan secara terstruktur dan
sistematis secara politis dan dilakukan untuk kepentingan pribadi maupun
kelompok 7
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah). Tindak pidana korupsi yang mensyaratkan adanya kerugian
negara diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Konsep kerugian negara bukanlah kerugian dalam pengertian di dunia
7 Endarto,Kendala KPK Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Lingkar
Widyaiswara, Edisi 1 No 3, (September, 2014), h. 56
17
perusahaan/perniagaan, melainkan suatu kerugian yang terjadi karena
sebab perbuatan (perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan
wewenang) 8
Berdasarkan Pasal 6 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk berkoordinasi dan supervise dengan lembaga negara lain terkait
penindakan tindak pidana korupsi. Hal tersebut utuk menunjukan bahwa KPK
merupakan suatu lembaga yang mempunyai tugas mengkoordinir semua upaya
pemberantasan korupsi yang terjadi, termasuk upaya membentuk jaringan kerja
(networking) yang kuat dengan lembaga negara lain.9
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas koordinasi
dan supervise mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan,
penelitian, atau peninjauan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
kewenangannya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang melaksanakan kegiatan public. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam melaksanakan kewenangan tersebut berwenang juga
untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan10
Pengambil alihan penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan
wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan
dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung
sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Penyerahan tersebut dilakukan
dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala
8 A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam
Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara,(Jakarta: Airlangga, 2010) , h. 91
9 Pasal 21 Ayat 3 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi
10
Pasal 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
18
tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan mengambil alih
penyidikan dan penuntutan dengan alasan – alasan tertentu. Berdasarkan Pasal
9 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), pengambilalihan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan
oleh KPK dengan alasan:
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut – larut atau
tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan
c. Penganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya
d. Hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, legislatif, dan yudikatif
e. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilakukan secara baik dan dapat
dipertanggung jawabkan
f. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi11
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak memiliki wewenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3)
perkara korupsi. Penangnanan perkara korupsi oleh KPK harus tuntas dan jelas,
untuk itu KPK dibekali dengan kewenangan yang luas untuk mengatasi
berbagai hambatan yang ada. KPK dapat bekerja sama dengan lembaga
penegak hukum negara lain berdasarkan perjanjian internasional atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
11 Pasal 9 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
19
Penyidikan oleh KPK. Apabila penyelidik KPK menemukan bukti
permulaan yang cukup, penyelidik melaporkan kepada KPK (kurun waktu 7
hari kemudian KPK melakukan penyidikan sendiri atau melimpahkan kepada
penyidik polisi atau penyidik kejaksaan. Kepolisian atau Kejaksaan wajib
berkoordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK.
Penyidikan oleh KPK, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik
KPK dapat melakukan penyitaan terhadap alat bukti atau barang yang diduga
terkait korupsi, tanpa seijin Ketua PN Penyitaan disertai berita acara penyitaan
yang salinannya diberikan kepada tersangka atau keluarganya, kepolisian dan
kejaksaan wajib memberitahukan penyidikan perkara korupsi yang mereka
tangani kepada KPK, paling lambat 14 hari kerja sejak dimulainya penyidikan,
dan kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi dan wajib menghentikan
penyidikannnya apabila KPK melakukan penyidikan pada perkara / kasus yang
sama. Penuntutan oleh KPK setelah menerima berkas perkara dari penyidik,
dalam 14 hari kerja Penuntut Umum KPK wajib melimpahkan berkas perkara
kepada pengadilan.12
Hubungan KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan Hubungan fungsional
dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat
dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut di atas. Dalam
pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, mengenai hal ini dijelaskan
dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. 13
Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
KPK,Kepolisian, dan Kejaksaan berpedoman pada Pasal 11 Undang - Undang
12 http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/fungsi-dan-tugas
13 Endarto,Kendala KPK Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia,,, h. 71
20
KPK yang memuat batasan tentang kualifikasi tindak pidana korupsi yang
menjadi kewenangan KPK, jika tidak memenuhi kualifikasi maka kewenangan
penyidikan diserahkan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Adanya muncul
konflik mengenai tumpang tindih kewenangan penyidikan tindak pidana
korupsi, sehingga diperlukan pemahaman setiap lembaga penegak hukum
dalam menjalankan peranan sesuai dengan batasan wewenangnya masing-
masing, danpada akhirnya akan membangun kesinergian dalam menjalankan
fungsi antar lembaga penegak hukum
C. Tindak Pidana Korupsi
Korupsi secara hukum telah dijelaskan dalam Undang – Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 berdasarkan pasal – pasal
yang ada dalam undang – undang tersebut. Terkait dengan pelaku tindak pidana
korupsi yang dilakukan penyelenggara negara dan bukan penyelenggara negara hal
tersebut tidak bisa dipisahkan dari pendapat mengenai aspek hukum administrasi
keuangan. Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah
memberikan definisi yang panjang mengenai keuangan negara dan perekonomian
negara. Terkait dengan pengertian keuangan negara yang berada dalam
kewenangan penyelenggara negara, masih terdapat silang pendapat apakah
termasuk dalam cakupan keuangan negara dalam kaitannya dengan aspek hukum
keuangan negara. 14
Jenis - Jenis Korupsi terbagi kedalam tujuh jenis, yaitu:15
14 Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT Citr ditya Bakti,
2002)., h. 29
15 Nadiatus Salama, Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses
Terjadinya Korupsi), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010, h. 19-20.
21
1. Korupsi transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya
kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima, demi keuntungan kedua
belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan
kepada pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang
mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa
ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang
dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
4. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam
pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara
bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensive (defensive corruption), adalah korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption), adalah korupsi yang dilakukan oleh
seseorang seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption), adalah korupsi yang dilakukan
untuk memperkuat korupsi yang sudah ada.
Pada Pasal 2 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan, bahwa
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
Korupsi yang menimbulkan kerugian bagi keuangan negara menjadi salah satu
hal yang menjadi permasalahan karena. Anggara keuangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan daerah menjadi tidak tersalurkan dengan baik dan
22
disalahgunakan oleh orang – orang yang diberikan anggaran dari pemerintah pusat
dan daerah.16
Merugikan keuangan negara merupakan salah satu unsur untuk dapat
dikatagorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana. Perkembangan dalam penerapan pengertian merugikan Keuangan
Negara tersebut tidak terlepas dan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengertian
Keuangan Negara.
Pengertian keuangan negara dalam Undang – Undang Tipikor juga berbeda
dengan Undang – Undang Keuangan Negara dan Undang – Undang BUMN. Dalam
bagian Penjelasan Umum Undang – Undang Tipikor disebutkan, keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala kerugian keuangan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
negara baik di tingkat pusat maupun di daerah
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan
Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara17
Definisi kerugian negara diatur juga pada Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2004 tentang perbendaharaan negara, Pasal 1 Ayat 22 menjelaskan, bahwa kerugian
16 BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Pengawasan
BPKP, (Jakarta, BPKP, 1999), h. 257
17
Indonesia Corruption Watch, Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak Pidana Korupsi, 2014, h. 28
23
negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata
dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun
tidak di sengaja.
Kerugian keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi
adalah kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau
penyalahgunaan wewenang atau sarana atau kemampuan yang dimiliki pegawai atau
pejabat suatu organisasi pemerintah atau BUMN atau BUMD. Dengan demikian
penentuan apakah perbuatan perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan
kerugian keuangan Negara beserta perhitungan kerugian Negara sangat berpengaruh
terhadap proses litigasi dan persidangan atas suatu kasus tindak pidana korupsi.18
Kerugian keuangan Negara yang terjadi yang bukan disebabkan adanya unsur
melawan hukum, tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Kegagalan
dalam membuktikan adanya kerugian keuanagan Negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan kewenangan dapat
menyebabkan terbebasnya terdakwa dari dakwaan melakukan tindak pidana
korupsi.19
Pembuktian dan penghitungan kerugian keuangan Negara setidaknya meliputi
tiga aspek, yaitu aspek hukum, aspek keuangan Negara dan aspek akutansi atau
auditing. Hasil tinjauan atas ketiga sisi tersebut menunjukan kecendrungan hasil yang
sama bahwa kerugian Negara adalah berkurangnya kekayaan Negara atau
bertambahnya kewajiban Negara tanpa diimbangi prestasi, yang disebabkan oleh
suatu perbuatan melawan hukum. Meskipun dari sisi akuntasi atau auditing terdapat
perbedaan definitif, karena tidak mengemukakan bahwa penyebab dari kerugian
18 Makna keuangan Negara dan kerugian Negara dalam putusan pidana korupsi kaitannya
dengan BUMN/PERSERO, Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, h. 30
19 Ibid., 32
24
keuangan Negara tersebut adalah perbuatan melawan hukum.20
D. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Subyek hukum adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai
pelaku tindak pidana. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 menggunakan
istilah setiap orang, yang kemudian dalam pasal 1 ke 3 diatur bahwa yang
dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
Kemudian terdapat secara khusus didalam pasal-pasal tertentu bahwa subyeknya
adalah pegawai negeri, sehingga subyek hukum dalam tindak pidana
korupsi meliputi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara dan Setiap orang
adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
Dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah
dengan Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 memang diatur mengenai pihak
swasta atau non pegawai negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi.
Dalam public official bribery para pelakunya adalah penyelenggara negara, baik
sebagai penerima suap maupun pemberi suap sedangkan bukan penyelenggara
negara atau swasta (pengusaha) dapat di tindak sesuai undang – undang
pemberantasan tindak korupsi jika mereka mengelola keuangan negara atau di
berikan anggara oleh pemerintah pusat maupun daerah.21
Jadi terdapat empat jenis
subjek hukum tindak pidana korupsi yang dapat di tangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu:
1. Korporasi (orang per orangan)
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila
pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam
rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka
20 Makna keuangan Negara dan kerugian Negara dalam putusan pidana korupsi kaitannya
dengan BUMN/PERSERO, Laporan Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang
Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2010, h. 34
21 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Permasalahannya, (Jakarta: Diadit Media, 2012) h. 93
25
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus uang
melakukan tindak pidana itu. Dalam hal-hal mana pelanggaran ditentukan
pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus
atau komisaris-komisaris, maka tidak dipidana pangurus, anggota badan
pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan
melakukan pelanggaran.22
2. Penyelenggara Negara, sebagaimana yang di tercantum dalam Pasal 11
Undang – Undanga Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, penyelenggara
termasuk subjek hukum yang bisa di tindak oleh KPK.
3. Pegawai Negeri, Dari rumusan pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor
3 Tahun 1971 tidak ada satu kata pun yand membatasi subjek hukum
tindak pidana korupsi. Siapa saja dapat menjadi subjek itu asalkan dia
melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang
lain atau suatu badan yang secara langsugn atau tidak langsung merugikan
keuangan negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebagaimana dirumuskan Pasal 1 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 3
Tahun 1971. Tidak hanya terbatas pada pegawai negeri, swasta atau
korporasi pun dapat menjadi subjek hukum karena pasal 1 ayat (1) itu
telah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung (MA) (putusan No.
471K/Kr/1979).23
Mengenai Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang
Nomor 20 Tahun 2001, terdapat banyak permasalahan baik dari sisi penafsiran
maupun dalam penerapannya. Salah satunya adalah mengenai subjek atau pelaku
22
Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: GrafitiPers,
2006), h. 30
23 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (Malang; Averroes Press, 2002) h. 16
26
tindak pidana korupsi tersebut. Terdapat silang pendapat mengenai apakah
penyelenggara negara atau bukan penyelenggara negara dapat menjadi subjek dari
undang-undang ini. apakah ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 1999 dapat diterapkan bagi penyelenggara negara
sampai aparat penegak hukum dapat diterapkan terhadap undang - undang ini.24
Terdapat perbedaan pendapat mengenai perbedaan Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999, hubungan antara Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 Undang – Undang Nomor. 31 Tahun 1999 merupakan
hubungan genus delict dengan species delict. Dalam hal ini unsur melawan hukum
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999
merupakan genus delictsedangkan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam
Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan species delict 25
,
beberapa pendapat ahli tidak sependapat karena apabila hubungan kedua pasal
tersebut adalah genus delict dan species delict, maka dalam bentuk delik yang
dikualifikasi (gekwalificeerd delict) dengan delik yang diperingan (geprivilegieerd
delict) seharusnya ancaman pidana pada Pasal 2 ayat 1 lebih berat dari Pasal 3
Undang - Undang Nomor. 31 Tahun 1999.26
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 7 Tahun 2012 mengenai kriteria kerugian negara untuk membedakan
penggunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Para hakim agung sepakat bahwa kerugian negara kurang dari Rp. 100.000.000,-
maka yang dipergunakan adalah Pasal 3 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999
24 Ganjar Laksmana B, Penyidik Independen KPK, (Jakarta: Tempo edisi 8, 2014) h. 40
25
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Jakarta:
Diadit Media, 2012) h. 172
26
Shinta Agustina, Penjelasan Hukum Unsur Melawan Hukum Penafsiran Unsur Melawan
Hukum Dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Judicial
Sector Support Program, 2016), h. 72.
27
dan jika kerugian negara lebih dari nilai tersebut maka Pasal 2 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dipergunakan. Akan tetapi hal ini tidak tepat
dan tidak menyelesaikan perdebatan yang ada27
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk memperkuat referensi penelitian ini penulis menampilkan judul skripsi
terdahulu yang berkaitan dengan skripsi yang penulis tulis
1. Skripsi:
a. Sahrir,Universitas Hasanuddin Makasar, 2017, Judul Skripsi “Tinjauan
Yuridis Penyalahgunaan Dana Desa Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Putusan Nomor : 05 / Pid / 2011 / PT.Mks.). Skripsi ini mengalisis tentang
kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana desa pada putusan
pengadilan. Perbedaan dari penelitian ini adalah, skripsi ini lebih menitik
beratkan pada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi pada
penindakan tindak pidana korupsi alokasi dana desa
2. Buku:
Ni`matul Huda, SH, M.Hum., 2014, Judul buku “ Hukum Pemerintahan Desa”
buku ini membahas mengenai bagaimana sistem pemerintahan desa, dan
mekanisme pemerintahan desa, yang berbeda dari tulisan peneitian ini
adalah, peneliti lebih berfokus pada penyelewengan alokasi dana desa
dalam pemerintahan desa dan kewenangan dari Komisi Pemberantantasan
Korupsi
3. Jurnal
Yuyun Yulianah, Universitas Suryakancana, 2015, Judul Jurnal “Potensi
Penyelewengan Alokasi Dana Desa Di Kaji Menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Penggelolaan Keuangan
27 Ibid,,14
28
Desa”. Dia Mengatakan bagaimana ada potensi dari penyelewengan alokasi
dana desa pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007
Tentang Penggelolaan Keuangan Desa fdan perlu adanya pengawasan dari
pada peraturan tersebut, Jurnal ini membahas tentang potensi dari
penyelewengan alokasi dana desa. Perberbeda dari penelitian ini adalah,
penelitian ini lebih membahas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi
pada penindakan tindak pidana korupsi alokasi dana desa
29
BAB III
PENYELENGGARA NEGARA DAN KEPALA DESA
A. Penyelenggara Negara
Penyelenggara Negara diatur dalam Bab II Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999. Pasal 2 menentukan Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
7. pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas asas kewenangan sebagai
pedoman yang berakibat saling bantu membantu, saling menghormati dan
saling memberikan perlindungan dalam melaksanakan kehidupan bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat. Kedaulatan rakyat mempedomani bahwa
kekuasaan tertinggi berada pada rakyat yang tidak diganggu gugat oleh
siapapun. Kedaulatan rakyat merupakan pencerminan dari prinsip - prinsip
demokrasi dalam perwujudan kebebasan berpendapat, berbicara dan
berpartisipasi dalam pemerintahan dan sebagainya.Demokrasi agar tidak
menimbulkan sikap arogan, anarkhis dan penyalahgunaan kewenangan
diperlukan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum dalam
pelaksanaannya.1
Asas - Asas umum Penyelenggaraan Negara dalam konteks
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN diatur dalam Bab III
1 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), h.
104
30
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Pasal 3 menentukan asas-asas
penyelenggaraan negara yaitu : Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas
Proporsionalitas, Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas.2
1. Asas Kepastian Hukum
Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara” (Penjelasan
Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Asas Tertib Penyelenggaraan Negara” adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian
Penyelenggara Negara (Penjelasan Pasal 3 angka 2 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999).
3. Asas Kepentingan Umum
Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif”
(Penjelasan Pasal 3 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).
4. Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak
diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara (Penjelasan Pasal 3 angka 4 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999).
5. Asas Proporsionalitas
Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara (Penjelasan Pasal 3
angka 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).
2 Idup Suhady dan Desi Fernanda, Dasar-Dasar Good Governance, (Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara RI, 2005) h. 32
31
6. Asas Profesionalitas
Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian
berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang- undangan
yang belaku (Penjelasan Pasal 3 angka 6 Undang - Undang Nomor 28
Tahun 1999).
7. Asas Akuntabilitas
Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku (Penjelasan Pasal 3 angka 7 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999).
Hak dan Kewajiban Penyelenggara Negara
Hak dan kewajiban Penyelenggara Negara diatur dalam Bab IV
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 menentukan setiap Penyelenggara Negara berhak untuk :3
1. Menerima gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Menggunakan hak jawab terhadap setiap teguran, tindakan dari atasannya,
ancaman hukuman, dan kritik masyarakat.
3. Menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai
dengan wewenangnya.
4. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan pengertian pemerintahan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan fungsi negara, maka perlu dikemukakan pengertian
pemerintahan dalam arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas
3Astim Riyanto, Negara Kesatuan Konsep, Asas, dan Aktualisasinya, (Bandung:
Yapemdo,2006) h. 57
32
berarti seluruh fungsi negara, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif saja.
Demikian pula dengan pengertian pemerintah dalam arti luas yang berarti
seluruh aparat yang melaksanakan fungsi – fungsi negara, sedangkan
pemerintah dalam arti sempit menyangkut aparat eksekutif, yaitu kepala
pemerintahan dan kabinetnya,4
Pelaksanaan hak Penyelenggara Negara yang ditentukan dalam
Pasal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 Undang –
Undang Dasar 1945 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Penjelasan Pasal 4 Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999)
Kewajiban Penyelenggara Negara Pasal 5 Undang - Undang Nomor 28
Tahun 1999 menentukan Setiap
Penyelenggara Negara berkewajiban untuk :
1. Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum
memangku jabatannya.
2. Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat.
3. Melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat.
4. Tidak melakukan perbuatan KKN.
5. Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan
golongan.
6. Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak
melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan, kelompok. Tidak mengharapkan imbalan dalam
bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7. Bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN serta dalam perkara lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4 Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. (Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama,
1999), h. 62
33
Dalam hal penyelenggara Negara dijabat oleh anggota Tentara
Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
maka terhadap pejabat tersebut berlaku ketentuan dalam Undang-Undang
ini” (Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menentukan hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD NRI 1945 dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.5
Hubungan Antar-Penyelenggara Negara
Hubungan antar-Penyelenggara Negara diatur dalam Bab V Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999. Pasal 7 menentukan :
1) Hubungan antar-Penyelenggara Negara dilaksanakan dengan menaati
norma- norma kelembagaan, kesopanan, kesusilaan, etika yang
berlandaskan Pancasila dan UUD NRI 1945.
2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara berpegang teguh pada asas-asas
umum penyelenggaraan negara dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Peran Serta Masyarakat kepada penyelenggara negara
Peran serta masyarakat diatur dalam Bab VI Undang-Undang Nomor
Tahun 1999. Pasal 8 menentukan :
1. Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak
dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara
Negara yang bersih.
Peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari KKN,
yang dilaksanakan dengan mentaati norma hukum, moral, dan sosial
yang berlaku dalam masyarakat (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 1999).
2. Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan
5 Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 70
34
dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan negara.
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Peran serta masyarakat
diwujudkan dalam bentuk :
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggaraan Negara.
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara.
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara.
d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) Melaksanakan hak penyelenggara negara.
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3) Hak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dengan menaati norma agama dan norma
sosial lainnya.6
Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan negara pada pemerintahan daerah
propinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu
oleh perangkat daerah. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diatur pada Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014.7
Sanksi bagi penyelenggara negara
1) Sanksi bagi setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan-
6 Syaiful Ahmad Dinar, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi (Bandung; PT Refika Aditama 2008), h. 12
7 Kusumah Mw, Tegaknya Supremasi Hukum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2001), h
82
35
ketentuan administratif, pidana, dan perdata diatur dalam Bab VIII
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Pasal 20 menentukan: Setiap
Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 5 angka 1, 2, 3, 4, 5, atau 6 yang menentukan sanksi
administratif tersebut sebagai berikut, mengucapkan sumpah atau janji
sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya, bersedia
diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat,
melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah
menjabat, tidak melakukan perbuatan KKN, melaksanakan tugas tanpa
membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan, dan melaksanakan
tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi,
keluarga, kroni, maupun kelompok. Tidak mengharapkan imbalan
dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2) Setiap Penyelenggara Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan
atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.8
Pasal 5 angka 4 atau 7 yang menentukan sanksi pidana tersebut
sebagai berikut : 4. tidak melakukan perbuatan KKN; atau 7. bersedia
menjadi saksi dalam perkara KKN serta dalam perkara lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menentukan setiap
Penyelenggara Negara yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
8 Komisi Pemberantasan Korupsi RI, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta: KPK, 2006),
h. 15
36
(dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
B. Kepala Desa Sebagai Penyelenggara Negara
Kepala desa merupakan penyelenggan pemerintahan desa yang
bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan
pembagunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa. Kepala desa mempunyai tugas menyelenggarakan
pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan desa dan
mengelola keuangan desa.9
Penyelenggaraan pemerintahan desa yang di pimpin oleh kepala desa
dapat diberhentikan karena, meninggal dunia, permintaan sendiri dan
diberhentikan. Kepala desa dapat diberhentikan karena berbagai hal
seperti, masa jabatan telah berakhir, terbukti melaanggar sumpah jabatan,
tidak melaksanakan kewajiban atau melanggara larangan sebagai kepala
desa, tidak melaksanakan tugas secara berturut turut selama 6 bulan dan
tidak lagi memenuhi syarat – syarat kepala desa. Masa jabatan kepala desa
adalah 6 tahun yang dihitung sejak yang bersangkutan dilantik. Kepala
desa yang sudah menduduki jabatan kepala desa hanya boleh meduduki
jabatan kepala desa lagi untuk 2 kali masa jabatan10
Kepala desa selaku pemegang kekuasaan anggaran yang diberikan
oleh pemerintah pusat dan daerah berupa alokasi dana desa. Anggaran
yang diberikan tersebut pada setiap tahun selalu bertambah sesuai dengan
kebijakan undang – undang yang berlaku. Keuangan desa menurut UU No.
6 Tahun 2014 adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang
9 Lihat Undang – Undang Nomor Pasal 26 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa
10
Nurcholis Soekidjo, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
(Jakarta: Erlangga, 2011), h. 75
37
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
ini dapat menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan
keuangan desa. Asas pengelolaan
Keuangan desa yaitu Transparansi, Akuntabel, Partisipatif, Tertib dan
pengelolaan keuangan desa (anggara.11
Penyaluran Dana Desa pada tahun
2016 yang sudah diatur pada PMK 49/PMK.07/2016 memiliki dua tahapan
yaitu Tahap I sebesar 60% pada bulan Maret dan Tahap II sebesar 40%
pada bulan Agustus. Penyaluran Dana Desa ini disalurkan dengan
perhitungan yaitu 90% berdasarkan pemerataan (Alokasi Dasar) dan
sebesar 10% (Alokasi Formula) berdasarkan variabel jumlah penduduk
desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat kesulitan
geografis desa, dengan masing - masing variabel sebesar 25%; 35%; 10%;
dan 30%.12
Jumlah Alokasi Dana Desa
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan13
Transparansi berarti terbuka dan tidak ada yang ditutupi. Akuntabel
berarti dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi, moral dan hukum.
11
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Keuangan Desa. Jakarta.
12
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/201
13
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. (2018).
Pokok-pokok Kebijakan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018. 7 Desember 2016.
www.djpk.kemenkeu.go.id
2015 2016 2017 2018 2019
ADD Dari
Pemerintah
Pusat
20.766,2 T 47.684,7 T 81.184,3 T 103.791,1 T 111.840,2 T
Jumlah
ADD/Desa 280,3 Juta 643,6 Juta 1.095 Juta 1.400,8 Juta 1.509,5 Juta
38
Partisipatif berarti mengutamakan keterlibatan masyarakat. Kemudian tertib
dan disiplin Anggaran berarti konsisten, tepat waktu, tepat jumlah dan taat
asas14
Kedudukan Kepala Desa Kepala desa selaku penyelenggara
pemerintahan desa melakukan tugas berdasarkan peraturan – peraturan yang
ada berdasarkan undang – undang dan peraturan lainnya yang berhubungan
dengan pelaksaan pemerintahan desa. Terkait dengan penelitian ini, terjadi
permasalahan tentang kedudukan kepala desa, apakah kepala desa selaku
penyelenggara negara atau bukan. Permasalah ini mengakibatkan perdebatan
apakah kepala desa bisa ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,
merujuk pada Pasal 11 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15
Sementara, Penyelenggara
Negara itu sendiri meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
- undangan yang berlaku
14
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. (2015).
Pokok-pokok Kebijakan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016. 7 Desember 2016.
www.djpk.kemenkeu.go.id
15
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
39
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme ini tidak menyebut bahwa kepala desa merupakan
penyelenggara negara. Dilihat dari fungsi yang dijalani oleh kepala
desa,kedudukan kepala desa bukanlah pejabat negara yang menjalankan
fungi eksekutif, legislatif, atau yudikatif
Dalam Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, pada Pasal 2 Angkat 6 menjelaskan bahwa, yang dimaksud
dengan penyelenggara negara dalam ketentuan ini misalnya Kepala
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai
duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, wakil gubernur dan bupati atau
walikotamadya dan pasal 2 angkat 7 menjelaskan bahwa yang dimaksud
penyelenggara negara lain yang memiliki fungsi strategis adalah pejabat
yang tugas dan kewenangannya di dalam melakukan penyelenggaraan
negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.16
Kepala desa dan perangkat desa juga menerima gaji yang diberikan
oleh pemerintah pusat dan daerah melalui alokasi dana desa berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Besaran gaji yang diterima oleh kepala desa dan perangkat desa terdapat
pada Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 yang
menyatakan bahwa, Penghasilan tetap diberikan kepada kepala Desa,
sekretaris Desa, dan perangkat Desa 1ainnya dianggarkan dalam APBDesa
yang bersumber dari Alokasi Dana Desa. Ketentuan besaran nominal pada
16 Penjelas Pasal 2 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999
40
gaji kepala desa dan perangkat desa juga diatur pada Pasal 81 Ayat 2
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 201917
Kedudukan kepala desa ini menjadi perdebatan pada pada Pasal 1
Angka 6 dan 7 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi yang
menjelaskan penjabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitan
negara, menurut penjelas pasal 2 angkat 7 Undang – Undang Nomor 28
Tahun 1999 kepala desa memiliki kewenangan yang rawan terhadap
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme karena kepala desa mempunya
kewenangan mengelola anggaran keuangan desa yang diberikan oleh
pemerintah pusat dan daerah serta kepala desa berdasarkan Menurut Romli
Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran berpendapat bahwa
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Perubahan Undang –
Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Tahun 1971 disusun belum
terdapat suatu undang - undang payung hukum tentang administrasi
pemerintahan yang memadai. Sehingga, ketika penyusunan Undang –
Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum memiliki referensi
undang - undang khusus terkait administrasi pemerintahan.18
Akibat itu, unsur penyalahgunaan kewewenang diserahkan
penafsirannya kepada praktisi hukum dan ahli hukum administrasi negara,
yang menganggap belum berlakunya Undang - Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Praktik penafsiran unsur
penyalahgunaan wewenang sebelum berlaku Undang – Undang
Administrasi Pemerintah telah digunakan dasar keputusan presiden
tentang organisasi dan tata pelaksanaan kementrian dan lembaga dikenal
dengan tugas pokok dan kewewenang pejabat sebagai landasan penafsiran,
17 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksana Undang –
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
18
Aspek Hukum Kebijakan Penyelenggara Negara, http://koran-
sindo.com/page/news/2016-05-25/1/0/Aspek_Hukum_Kebijakan_Penyelenggara_Negara
41
ada atau tidak ada penyalahgunaan kewewenang. Asumsi dasar bahwa
penyimpangan dari tugas dan fungsi. 19
Secara keseluruhan ketentuan Undang – Undang Nomor 28 Tahun
1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah ketentuan mengenai asas - asas
umum pemerintahan yang baik (AUPB) yang seharusnya dipahami oleh
setiap sebagai Penyelenggara Negara baik di pusat maupun di daerah.
Termasuk diantaranya para kepala desa sebagai penyelenggara negara
terbawah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Terhitung sejak secara
peraturan resmi diatur ketentuan mengenai asas - asas umum pemerintahan
yang baik (AUPB), tidak ada seorang pun penyelenggara negara termasuk
gubernur atau kepala daerah yang dapat berlawanan dengan kebijakan
hukum.
Penggunaan dana APBN dan APBD, atau penyimpangan dana
dimaksud yang bertentangan dengan maksud dan tujuan penempatan dana
tersebut dalam APBN dan APBD. Terdapat kemudahan dan kesulitan
karena hakim harus memperhatikan fakta yang disampaikan atau
ditemukan dalam persidangan diperkuat oleh keterangan ahli
administrasi negara berbeda.
Perbedaan definisi antara policy , discretion , dan abuse of power
mengakibatkan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah
banyak memakan korban, yang seharusnya tidak dipidana karena tipikor,
melainkan hanya perbuatan maladministrasi, yang seharusnya dengan
tindakan atau sanksi administratif. Perluasan subjek hukum tentang setiap
orang bukan hanya orang perorangan, tetapi juga orang lain atau korporasi
yang memperoleh keuntungan penyalahgunaan kewenangan pada tindak
pidana korupsi.
Termasuk penyelenggara negara sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
19
Aspek Hukum Kebijakan Penyelenggara Negara, http://koran-
sindo.com/page/news/2016-05-25/1/0/Aspek_Hukum_Kebijakan_Penyelenggara_Negara
42
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Unsur penyalahgunaan kewewenang Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31
Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah
dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pemberantasan
Korupsi.20
Kewenangan Kepala Desa dalam penyelenggaran pemerintahan desa
mempunyai fungsi pemerintahan baik dari pusat, daerah maupun desa
adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik –
baiknya, pelayanan tersebut terdiri atas pelayanan publik, pelayanan
pembangunan, dan pelayanan perlindungan. Pemberian pelayanan tersbut
bertujuan untuk mewujutkan kesejahteraan masyarakat21
Fungsi yang harus dijalankan oleh pemerintah harus berdapak
langsung kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa desa,
misalnya pembagunan jalan dan jembatan. Terdapat pembangunan yang
tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
misalnya, pembagunan di bidang pendidikan, pembangunan ini terlihat
tidak secara langsung membawa peningkatan kesejahteraan warga desa
karena dampaknya akan terlihat setelah hasil pembangunan bidang
pendidikan meningkatkan tingkat pendidikan di masyarakat desa
Dalam penyelenggaraan pemerintah desa harus berdasarkan dengan
Pancasila, Undang – Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Penyelenggaraan pemerintah desa berpedoman pada asas umum
penyelenggaraan negara yang terdiri atas:
1. Asas kepastian hukum
2. Asas tata tertib penyelenggaraan negara
3. Asas kepentingan umum
4. Asas keterbukaan
20Aspek Hukum Kebijakan Penyelenggara Negara, http://koran-
sindo.com/page/news/2016-05-25/1/0/Aspek_Hukum_Kebijakan_Penyelenggara_Negara
21
Taliziduhu Ndraha, Dimensi – Dimensi Pemerintahan desa,,, h. 67
43
Terkait kebijakan Pejabat Negara, dasar hukum untuk menetapkan
ada atau tidak adanya masalah kebijakan bergantung pada ketentuan
mengenai diskresi, konflik kepentingan, atau penyalahgunaan
kewewenang oleh pengambil keputusan dalam jabatan publik ketentuan
Pasal 1 angka 5, 9, 14, dan Pasal 17 Pasal 18. Selain itu, juga dijelaskan
dalam Undang - Undang Administrasi Pemerintah 2014, pengertian
tentang atribusi, delegasi, dan mandat sekaligus tersirat tentang siapa
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan pejabat negara dalam
melakukan fungsi dan tugas penyelenggara Negara.
44
BAB IV
KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) PADA
TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN ALOKASI DANA DESA
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap tindak pidana
korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa oleh kepala desa di harapkan menjadi
semakin baik, karena anggara yang disalurkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
daerah terus bertambah setiap tahunnya. Komisi Pemberantasan Korupsi harus bisa
menjangkau daerah – daerah yang ada sehingga pengawas pada penyaluran anggara
ini dapat diawasi
Alokasi dana desa diharapkan dapat memajukan desa. Pemerintah berharap,
pelayanan publik di desa semakin meningkat, masyarakat desa maju dan berdaya, dan
yang paling penting desa menjadi subjek pembangunan. Selain mengukur capaian dan
dampak positif dana desa, permasalahan yang muncul dan tantangan ke depan harus
menjadi pokok pembahasan yang serius. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan
harapan dan langkah konkret pemerintah tidak digembosi oleh persoalan misalnya
saja korupsi.
Dilaksanakanya Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
menjadikan pengelolaan alokasi dana desa menjadikan kepala desa mempunyai
kewenangan untuk mengelola keuangan desa, yang di dalamnya terdapat pengelolaan
sumber daya desa. Pengelolaan dana desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa
memacu kesiapan kepala desa dalam pelaksanaannya. Berbagai alasan dan faktor
disampaikan oleh masyarakat terkait dengan kesiapan kepala desa dan aparatur desa,
infrastruktur desa serta kepemimpinan kepala desa.1
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selanjutnya tidak harus
tersentralistik berada di pusat, masyarakat menantikan Komisi Pemberantasan
1 Hayat, Mar‟atur Makhmudah, Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pemerintahan
Desa : Kajian Politik kebijakan Dan Hukum Pengelolaan Sumber Daya Alam Desa, Yustisia Edisi 95
Mei-Agustus 2016, h 74-75
45
Korupsi (KPK) dapat terlaksana di daerah – daerah, sehingga pemberantasan korupsi
dapat lebih maksimal. Dibutuhkannya lembaga pemberantas korupsi seperti KPK di
daerah adalah dalam rangka untuk membangun sinergitas yang seimbang dalam
penanganan kasus korupsi. Masalah ini penting untuk ditindaklanjuti, mengingat
otonomi daearah sudah berjalan cukup baik. Keberadaan otonomi daerah adalah harus
menjamin keterbukaan dan transparansi dari pemerintah daerah kepada masyarakat
serta pertanggungjawabannya. Begitu juga dengan pelayanan publik menjadi akses
yang paling dibutuhkan oleh masyarakat dalam menerima pelayanan. Terutama
dalam penanganan tehadap tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa.
pelaksanaan dan pengawasan dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam
mencapai tujuan tertentu. Pengelolaan Dana Desa (DD) dalam Pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 60 Tentang Dana Desa, bahwa dana desa dikelola secara tertib, taat
pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta
mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Adapun dalam Pasal 22 ayat 2
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49 Tentang Tata Cara Pengalokasian,
Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.2
A. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Pada Penindakan Tindak Pidana
Korupsi Penyalahgunaan Alokasi Dana desa Oleh kepala Desa.
Lingkup kewenangan dan fungsi yang diemban KPK, merupakan
legitimasi hukum atas nama kekuasaan negara, seperti halnya lingkup
kewenangan administrasi negara yang diberikan peranan kepada bidang
kekuasaan Eksekutif, bidang kekuasaan Yudikatif serta bidang kekuasaan
Legislatif, yang secara umum keseluruhan sumber daya penyelenggaraan
ketatanegaraan maupun administrasi struktur pemerintahan tersebut biasa disebut
sebagai aparatur negara.
2 Moh. Sofiyanto, Ronny Malavia Mardani, M. Agus Salim, Pengelolaan Dana Desa Dalam
Upaya Meningkatkan Pembangunan Di Desa Banyuates Kecamatan Banyuates Kabupaten Sampang,
e-Jurnal Riset Manajemen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Unisma. h. 30
46
Sebagai konsekuensi dari keberadaan fungsi hukum administras negara,
maka penyelenggara Negara atau aparatur Negara memiliki tanggung jawab
amanat untuk melaksanakan kewenangan serta, fungsi yang timbul, sebagaimana
yang telah diperintahkan oleh undang – undang. Kewenangan yang melahirkan
tugas serta, fungsi dari suatu institusi atau lembaga, yang dituangkan atau diatur
oleh undang – undang hal tersebut merupakan kewenangan yang sah berdasarkan
hukum.
Meningkatnya anggaran alokasi dana desa setiap tahunnya menimbulakan
besarnya pertumbuhan pada desa – desa yang menerima alokasi dana desa
tersebut. Namun dengan meningkatnya alokasi dana desa yang dilakukan oleh
pemerintah juga meningkatkan tingkat kewaspadaan dari pada pengelolaan
alokasi dana desa yang dilakukan. Penyalahgunaan yang terjadi sering kali
menyebabkan alokasi dana desa yang seharusnya diperuntungkan untuk
masyarakat desa menjadi tidak tersalurkan.3
Tidak semua dari 154 kasus korupsi di sektor desa di atas merupakan
korupsi anggaran desa. Jumlah kasus dengan objek anggaran desa mencapai 127
kasus, sementara turut terdapat 27 kasus dengan objek non-anggaran desa atau
total 18% dari jumlah kasus. Kasus dengan objek non-anggaran desa misalnya
pungutan liar yang dilakukan oleh aparat desa. Sedangkan objek korupsi
anggaran desa mencakup korupsi Alokasi Dana Desa (ADD), Dana Desa, Kas
Desa, dan lain-lain. 4
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjerat
kepala desa dalam penyalahgunaan alokasi dana desa karena, Kepala Desa selaku
penyelenggara negara yang menjadi subjek hukum bagi KPK dalam menindak
3 Kristendo Sumolang, Tanggung Jawab Kepala Desa Terhadap Keuangan Desa Ditinjau Dari
Undang Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Lex
Crimen Vol. VI/ No. 1/Jan-Feb/2017. h 36
4 Yusrianto Kadir dan Roy Marthen Moonti, Pencegahan Korupsi Dalam Pengelolaan Dana
Desa, Jurnal IUS Vol 6, No 3, Desember 2018, h. 435
47
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa, dan kepala desa selaku
pemegang kekuasaan anggara Alokasi Dana Desa yang diberikan oleh
pemerintah pusat dan daerah serta kepala desa di gaji berdasarkan anggaran
alokasi dana desa tersebut.
Kepala desa merupakan pelaku utama terjerat kasus penyalahgunaan
alokasi dana desa. Jumlah kepala desa yang terjerat sebanyak 112 orang. Angka
tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan 15 kepala desa pada 2015,
32 kepala desa pada 2016, dan 65 kepala desa pada 2017. Tidak semua pelaku
adalah Kepala Desa, pelaku lain adalah 32 perangkat desa dan 3 orang yang
merupakan keluarga kepala desa.
Salah satu kasus yang cukup menyita perhatian adalah yang menjerat
Agus Mulyadi, Kepala Desa Dassok, Kabupaten Pamekasan. Agus terlibat dalam
dugaan suap „pengamanan‟ kasus pengadaan yang menggunakan dana desa di
Desa Dassok. Yang menarik dari kasus ini adalah KPK turun tangan melakukan
OTT karena melibatkan Bupati dan seorang Jaksa.
Kemudian dari aspek kerugian negara, korupsi di desa turut menimbulkan
kerugian dalam jumlah besar. Pada tahun 2015 kerugian mencapai Rp 9,12
Milyar. Pada tahun 2016, kerugian mencapai Rp 18,33 milyar. Sementara pada
tahun 2017, kerugian melonjak menjadi Rp 30,11 milyar. Total kerugian negara
yang ditimbulkan akibat korupsi di sektor desa mencapai Rp 57,56 milyar atau
setara dengan alokasi dasar dana APBN untuk 77 desa.5
Berikut ini adalah hasil dari penindakan yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantas Korupsi pada tindak pidana alokasi dana desa yang di lakukan oleh
kepala desa:
1. Kasus Kepala Desa Wringin Puger, Jember
5 Edi Suwiknyo, Tahun Pilkada & Pemilu : ICW Minta Pengawasan Penggunaan Dana Desa
Diperketat,https://finansial.bisnis.com/read/20180205/9/734703/tahun-pilkada-pemilu-icw-mintpenga-
wasan penggunaan-dana-desa-diperketat. Diakses pada tanggl 20 September 2018.
48
Setelah selama 2 tahun menjadi DPO Polres Jember terkait kasus
korupsi, Pelarian Sucahyono Bangun, Kepala Desa Wringin Telu,
Kecamatan Puger, Jember akhirnya terungkap. Tersangka kasus dugaan
tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan
alokasi dana desa (ADD) dan TKD tahun 2013, 2014 dan 2015 di Desa
Wringintelu itu, ditangkap oleh pihak kepolisian di lokasi pelariaannya di
Dusun Krajan, Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar Kabupaten
Banyuwangi. Polisi berhasil melacak dan menangkap tersangka setelah
mendapat bantuan dari satuan tim penindakan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Dalam penanganan penyidikan perkara korupsi itu, polisi
menemukan adanya unsur pidana korupsi dalam pengelolaan dana ADD dan
TKD hingga mengakibatkan kerugian negara hingga senilai Rp.
511.259.127,00 Penangkapan Tersangka SB, menurut Erik berkat adanya
kerja sama antara Polres Jember bersama tim KPK. Tim penindakan
KPK lantas melakukan supervisi atas kasus korupsi tersebut hingga
melacak keberadaan dari tersangka.
2. Kepala Desa Dassok, Madura
Dalam kasus ini, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudi Indra
Prasetya diduga menerima suap untuk menghentikan penanganan kasus
korupsi penyelewengan dana desa. Awalnya, sejumlah lembaga swadaya
masyarakat melaporkan dugaan penyimpangan anggaran dalam proyek
infrastruktur yang menggunakan dana desa.
Anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan
Kepala Desa Dassok, Agus Mulyadi, ke Kejaksaan Negeri Pamekasan.
Laporan itu sempat ditindaklanjuti oleh Kejari Pamekasan dengan melakukan
pengumpulan data atau bukti serta keterangan para saksi dan ahli. Namun,
diduga ada komunikasibeberapa pihak di Kejaksaan Negeri dan Pemerintah
Kabupaten Pamekasan. Dalam pembicaraan antara jaksa dan pejabat di
49
Pemkab Pamekasan, disepakati bahwa penanganan kasus akan
dihentikan apabila pihak Pemkab menyerahkan uang senilai 250 juta
kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pamekasan. Setelah penyelewengan
dana desa dilaporkan, Kepala Desa merasa ketakutan dan berupaya
menghentikan proses hukum yang sedang berlangsung tersebut.
Dari aspek penegakan hukum, semua aparat penegakan hukum
diketahui telah menangani kasus korupsi yang terjadi di desa. Kasus korupsi
paling banyak ditangani oleh jajaran Kepolisian dengan total 81 kasus,
sementara Kejaksaan RI dengan 72 kasus dan 1 kasus yang melibatkan Bupati
Pamekasan ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berbagai
faktor menjadi penyebab korupsi di sektor desa, di antaranya karena
minimnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan
anggaran desa, tidak optimalnya lembaga-lembaga desa seperti Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), terbatasnya kompetensi kepala desa dan
perangkat desa, dan tingginya biaya politik pemilihan kepala desa. Potensi
anggaran yang dikelola desa menjadi ladang baru semakin besar di tahun
2018, mengingat 2018 merupakan tahun politik dimana Pilkada serentak akan
dilakukan di 171 daerah serta persiapan Pemilu serentak 2019 juga akan
dimulai. Problematika pemenangan pemilu berbiaya tinggi yang nyaris terjadi
setiap periode pemilu membuat 2018 tidak hanya menjadi tahun panas politik
tetapi juga tahun rawan korupsi politik. 6
Terdapat beberapa kasus korupsi yang menimpa pemerintah desa.
Penyalahgunaan kewenangan, anggaran, korupsi asset, dan pengadaan barang
dan jasa. Menurutnya KPK menemukan 14 potensi persoalan dana desa yang
terdiri dari 4 (empat), yaitu aspek regulasi dan kelembagaan, tata laksana,
6 https://www.suarapemredkalbar.com/index.php/berita/kubu-raya/2018/04/02/kades-aktor-
korupsi-dana-desa, diakses pada tanggal 20 September 2018. Kurniawan Bernhard, Kades Aktor
Korupsi Dana Desa,
50
pengawasan dan sumber daya manusia. Empat aspek itu yang dapat
mempengaruhi terjadinya korupsi di pemerintah desa.7
Regulasi dan Kelembagaan terdapat celah yang dapat disusupi untuk
melakukan penyalahgunaan wewenang maupun tindak pidana korupsi.
Besarnya potensi desa dan peluang pengelolaan sumber daya desa yang
melimpah, jika kontrol terhadap pengambil kebijakan lemah mempunyai
peluang yang besar untuk disalahgunakan. Partisipasi aktif masyarakat dan
orientasi untuk kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakat menjadi
peran bagi pemerintah desa8
Pasal 51 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa di
jelaskan mengenai hal – hal yang dilarang dilakukan oleh kepala desa dan
perangkat desa sebagai berikut:
a. Merugikan kepentingan umum
b. Membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, keluarga, pihak
lain, dan golongan tertentu
c. Penyalahgunaan kewenangan, tugas, hak, dan kewajiban
d. Melakukan tindak meresahkan sekelompok masyarakat tertentu
e. Melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan
jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan
yang dilakukan
f. Menjadi pengurus partai politik
g. Menjadi anggota atau pengurus organisasi terlarang
h. Menjadi pengurus partai politir
i. Merangkap jabatan sebagai ketua dan anggota badan permusyawaratan
desa, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD, dan jabatan lain
yang di tentukan dalam peraturan perundang – undangan
7 Yustisia, Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Vol 5 No 2, h. 365
8 Yustisia, Pencegahan Terhadap Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Vol 5 No 2, h. 366
51
j. Ikut serta terlibat dalam kampanye pemilihan umum
k. Melanggar sumpah jabatan
l. Meninggalkan tugas selama 60 hari kerja berturut – turut tanpa alas an
yang jelas dan tidak dapat di pertanggung jawabkan
Pelaksanaan tata pemerintahan desa juga mempunyai peluang terjadi
korupsi desa. Pengelolaan dengan pola manajemen lama berpotensi terjadinya
korpsi. Perlu dilakukan pendampingan secara berkelanjutan bagi pemerintah
desa dalam mengelola tatanan pemerintahan di tingkat desa. Tidak mudah
mengelola organisasi pemerintahan,dibutuhkan manajemen yang mumpuni,
sistem yang baik dan sumber daya yang kompeten dan berkualitas. Oleh
karena itu, investasi pendidikan bagi pemerintah desa penting dilakukan.
Perekrutan aparatur desa dengan harus memperhitungkan tingkat pendidikan.
Kualitas pelayanan publik, salah satu indikatornya adalah pendidikan.
Kualitas pendidikan dapat berimplikasi terhadap pelayanan yang diberikan
serta memberikan potensi pengembangan terhadap tata laksana pemerintahan
desa untuk menjadi lebih bak, demokrtasi dan transparan. 9
Pemerintah desa harus mengubah pola pemerintahan yang lama
dengan konsep pemerintahan yang baru, yaitu melakukan reformasi birokrasi
terhadap sistem pemerintahan dan aparatur sipil negara. Hal ini harus
didukung oleh pengawasan yang fleksibel dan kompetitif. Pengawasan yang
lemah dapat mempersubur terjadinya korupsi ditingkat desa. Pengawasan
harus dilakukan secara internal maupun eksternal. Pengawasan juga perlu
didukung oleh partisipasi dari masyarakat. Partisipasi yang tinggi dapat
9 Rahman, F. Korupsi Di Tingkat Desa. Governance, Vol.2 (no.1) 2016, 13–14
52
mengontrol kinrja aparatur desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang
baik dan transparan.10
Kasus penyalahgunaan alokasi dana desa dapat dilaporkan oleh
masyarakat jika mempunyai bukti yang kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan di muka hukum atas dugaan penyelewengan dana
desa (korupsi) dimaksud, maka masyarakat berhak melaporkan oknum
tersebut kepada pihak aparat penegak hukum atas proses tindak lanjut.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selanjutnya tidak
harus tersentralistik berada di pusat, Dibutuhkannya lembaga KPK di daerah
adalah dalam rangka untuk membangun sinergitas yang seimbang dan
berimbang dalam penanganan kasus korupsi. Hal ini penting untuk
ditindaklanjuti, mengingat otonomi daearah sudah berjalan cukup baik.
Keberadaan otonomi daerah adalah harus menjamin keterbukaan dan
transparansi dari pemerintah daerah kepada masyarakat serta
pertanggungjawabannya. Begitu juga dengan pelayanan publik menjadi akses
yang paling dibutuhkan oleh masyarakat dalam menerima pelayanan.
Selain itu, dalam kewenangan komisi pemberantasan korupsi telah di
dukung oleh ketentuan – ketentuan yang bersifat stategis antara lain:
1. Ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang
– Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberansan Tindak Pidana
Korupsi yang memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang
asas pembuktian terbalik
2. Ketentuan tentang wewenang KPK yang dapat melakukan tugas
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggaraan
10 Sahrir. (2017). Tinjauan Yuridis Penyalahgunaan Dana Desa Dalam Tindak Pidana
Korupsi (Putusan Nomor : 05/Pid/2011/PT.Mks)
53
negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku pejabat
negara.
3. Ketentuan tentang pertanggungjawaban KPK kepada publik atau
masyarakat dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat dan BPK.11
Komisi Pemberantasan Korupsi harus memanfaatkan tugas dan
kewenangannya dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi
penyalahgunaan alokasi dana desa, setiap tahun anggaran yang disalurkan
pemerintah pusat kepada setiap desa terus bertambah. Komisi Pemberantasan
Korupsi harus berkerja sama dengan Lembaga – Lembaga yang terkait dengan
alokasi dana desa sehingga tidak terjadi korupsi pada tingkat paling rendah
yaitu pemerintahan desa.
B. Kelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap penindakan tindak pidana
korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa oleh kepala desa.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani tindak pidana korupsi
pada dasarnya dilakukan berdasarkan kewenangan pada Pasal 11 Undang –
Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan
fungsi koordinasi dan supervisi dimana fungsi tersebut memungkinkan KPK
untuk berkerja sama dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan
dan kepolisian. Fungsi ini dinilai cukup membantu kapan dalam melakukan
penindakan terhadap kasus – kasus korupsi yang dilaporkan oleh masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan yang sangat
luas termasuk kewenangan melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam
kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 6 Huruf A Undang -
Undang Nomor 30 Tahun 2002 menyebutkan bahwa KPK mempunyai tugas
11 Jeane Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan DalamPenegakan Hukum Tipikor”. Jurnal
Legislasi Indonesia,Vol. 4 No.1, h. 14.
54
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Saat ini instansi/lembaga penegak hukum yang memiliki
kewenangan menangani tindak pidana korupsi adalah Kepolisian dan Kejaksaan.
Penanganan pada tahapan penegakan hukum yang harus dijalani dalam proses
penanganan tindak pidana korupsi seperti pada tahapan penyidikan maka KPK
memiliki hak untuk berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum yang sedang
menangani. Pelaksanaan koordinasi tersebut meliputi juga koordinasi dengan
Badan pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, Inspektorat pada kementrian, atau
lembaga pemerintah non kementerian.12
Peran dari kejaksaan dan kepolisian juga sangatlah membantu KPK dalam
melakukan fungsi ini, jika Kejaksaan dan Kepolisian mempunyai ego sektoran
pada penanganan kasus korupsi maka akan menjadi penghalang untuk terjadinya
kerja sama antar lembaga penegak hukum. Pentingnya fungsi ini juga menjadi
suatu contoh bagaimana hubungan antar lembaga penegak hukum
Untuk memaksimalkan pelaksanaan tugas di atas, KPK diberi sembilan
wewenang yang besar dan luas dalam Pasal 12 Undang – Undang KPK, bahwa
dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
1. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian ke luar negeri.
3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa.
4. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak
lain yang terkait.
12 Ganjar Laksmana B, Penyidik Independen KPK, (Jakarta: Tempo edisi 8, 2014) h. 40
55
5. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan
sementara tersangka dari jabatannya.
6. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi yang terkait.
7. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka·atau terdakwa yang diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana
korupsi yang sedang diperiksa.
8. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri.
9. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara
penanganan tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.13
Pasal 2 Undang - Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
terdapat beberapa unsur penting yaitu: Setiap orang yang melawan hukum
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara Setiap orang adalah perseorangan termasuk
koorporasi Pasal 1 Angka 3 Undang - Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang
- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
13 Jeane Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Tipikor”. Jurnal
Legislasi Indonesia,Vol. 4 No.1, h. 14.
56
Korupsi, setiap orang juga dapat berkenaan dengan jabatan atau pegawai
negeri.14
Alokasi Dana Desa yang bersumber dari APBN merupakan salah satu
poin penting lahirnya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 Tentang
Desa. Dana desa merupakan bentuk nyata perhatian negara terhadap keberadaan
desa karena dengan Dana desa maka pengakuan akan hak asal usul (Rekognisi)
dan kewenangan lokal berskala desa (Subsidiaritas) sudah dapat dilihat dan
dirasakan oleh masyarakat. Penyaluran dana desa oleh Pemerintah Pusat ke
Desa sudah berlangsung selama 3 tahun. Tahun 2015 jumlah dana desa Rp
20,76 Trilliun, tahun 2016 Rp 46,98 Trilliun dan tahun 2017 Rp 60 Trilliun
untuk jumlah desa 74.954, dengan prioritas penggunaan untuk kegiatan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berskala lokal secara swakelola.
Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi dalam pengelolaan dana desa.15
Kedudukan kepala desa pada sistem kelembagaan negara adalah, Secara
keseluruhan ketentuan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme adalah ketentuan mengenai asas - asas umum pemerintahan yang baik
(AUPB) yang seharusnya dipahami oleh setiap sebagai Penyelenggara Negara baik
di pusat maupun di daerah. Termasuk diantaranya para kepala desa sebagai
penyelenggara negara terbawah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Terhitung
sejak secara peraturan resmi diatur ketentuan mengenai asas - asas umum
pemerintahan yang baik (AUPB), tidak ada seorang pun penyelenggara negara
14 Ridwan, Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat,
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Np. 64, Th. XVI (Desember, 2014). Hlm 386-387
15 Sahrir, Tinjauan Yuridis Penyalahgunaan Dana Desa Dalam Tindak Pidana Korupsi
(Putusan Nomor ; 05/Pid/2011/PT.Mks) Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar
2017, h. 39
57
termasuk gubernur atau kepala daerah yang dapat berlawanan dengan kebijakan
hukum.
Kepala desa sebagai penyelenggara negara memungkinkan Komisi
Pemberantasan korupsi (KPK) menangani tindak pidana penyalahgunaan alokasi
dana desa yang dilakukan oleh kepala desa sesuai Pasal 11 Undang – Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sesuai unsur
pada Pasal 2 Undang - Undang nomor 31 Tahun 1999 jo Undang - Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berikut ini adalah kelemahan yang dihadapi oleh Komisi Pemeberantasan
Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya terhadap tindak
pidana korupsi Penyalagunaan Alokasi Dana Desa yang dilakukan Oleh Kepala
Desa
1. Defini Penyelenggara Negara
Terjadi banyak perdebatan apakah kepala desa selaku penyelenggara negara
atau tidak, namun jika merujuk pada Penjelas Pasal 2 Angka 6 dan 7, Kepala
Desa termasuk kedalam penyelenggara negara karena kepala desa rawan
terhadap tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme karena kepala desa
selaku pemegang kekuasaan keuangan desa dan juga mendapat gaji dari
Alokasi Dana Desa yang anggaran tersebut berasal dari APBN dan APBD.
2. Jumlah personel
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jauh dari kata ideal. Padahal,
kurangnya jumlah personel itu menjadi kendala KPK dalam menangani kasus-
kasus korupsi di Indonesia yang jumlahnya lumayan tinggi. Juru Bicara KPK
Johan Budi mengatakan, salah satu kendala bagi KPK dalam menangani kasus
korupsi adalah terbatasnya personel. Saat ini, menurutnya, KPK hanya
memiliki 200 orang penyidik. Jumlah itu tak seimbang dengan banyaknya
perkara yang masuk. Idealnya, jumlah penyidik KPK dua kali lipat dari
jumlah yang sekarang. Bila dikomparasi dengan KPK-nya Malaysia dengan
penduduk 24 juta jiwa, jumlah anggota KPK-nya sebanyak 3000 orang.
58
Sedangkan KPK di Indonesia dengan penduduk 240 juta jiwa atau sepuluh
kali lipat dari Malaysia, anggota KPK cuma 700 orang. Dari 700 orang itu,
hanya 30 persen yang melaksanakan fungsi penindakan kasus yang ditangani
KPK dari Sabang sampai Merauke. Jadi Sudah semestinya jumlah personel
KPK ditambah agar semua kasus korupsi dapat ditangani.16
3. Rivalitas Sesama Penegak Hukum
Hadirnya KPK tidak serta-merta disambut gembira oleh semua pihak, bahkan
oleh sesama penegak hukum sendiri seperti Polisi, Jaksa dan Hakim. Bahkan
mereka merasa wewenangnya telah diambil alih oleh KPK. Apalagi setelah
melejitnya pamor KPK, maka otomatis telah menjatuhkan nama penegak
hukum lainnya. Sehingga akhirnya kehadiran KPK ini bukannya menjadi
teman seperjuangan untuk memberantas korupsi tetapi justru menjadi saingan
atau kompetitor bagi mereka. Ini terlihat dalam kasus “Cicak Buaya” Bibit-
Chandra serta Drama penggeledahan di Korlantas Polri saat ini. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa para koruptor selama ini telah menjadi tambang emas atau
ATM bagi para mafia kasus yang ada di Kepolisian, Kejaksaan maupun para
hakim nakal. Mereka bisa mempermainkan para tersangka, kasusnya mau
diangkat atau tidak, mau divonis berat atau ringan. Yang penting mereka tahu
sama tahu dan ada transaksi yang saling menguntungkan diantara penegak
hukum dan para tersangka yang dibantu oleh para pengacaranya. Jadi ketika
kasus korupsi diambil alih oleh KPK maka lahan basah merekapun menjadi
berkurang atau bahkan hilang. Inilah mengapa akhirnya KPK seolah menjadi
musuh bersama mereka.
4. Lemahnya Pengadilan Tipikor dan Vonis Ringan Koruptor
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat, hingga 1 Agustus 2012,
sedikitnya 71 terdakwa tindak pidana korupsi telah dijatuhi vonis bebas di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Angka tersebut memang masih
16
Endarto,Kendala KPK Dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jurnal Lingkar
Widyaiswara, Edisi 1 No 3, (September, 2014), h. 8
59
lebih kecil daripada yang divonis bersalah. Namun kata anggota Badan
Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), Emerson F. Yuntho melalui
siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi di Jakarta terdapat beberapa
hal yang penting dicermati dari sejumlah vonis bersalah tersebut.
Berdasarkan Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi
dana desa yang dilakukan oleh kepala desa, dapat di tindak dan di tangani oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menangani kasus tersebut
karena kepala desa menurut Romli Atmasasmita, kepala desa menurpakan
penyelenggara negara pada tingkat paling bawah. Pasal 11 Undang – Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, memungkin
kan KPK melakukan penindakan yang meliputi penyelenggara negara, oleh
karena itu maka KPK berwenang menindak tindak pidana penyalahgunaan
alokasi dana desa yang dilakukan oleh kepala desa selaku penyelenggara
negara.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat penulis
kemukakan kesimpulan dari permasalahan yang dibahas mengenai Kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Terhadap Tindak Pidana Penyalahgunaan
Alokasi Dana Desa:
1. Hambatan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap tindak
pidana penyalahgunaan alokasi dana desa masih sangat lemat. penanganan
kasus tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa hanya sedikit,
Kelemahan dari kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdarkan
Pasal 11 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 karena kepala desa tidak
termasuk dalam penyelenggara negara menurut Undang – Undang Nomor 28
Tahun 1999.
2. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap tindak pidana
korupsi penyalahgunaan alokasi dana desa oleh kepala desa dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 2 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan menurut
Romli Atmasasmita. Berdasarkan Pasal 2 Angka 6 dan 7 Undang – Undang
Nomor 28 Tahun 1999 kepala desa termasuk penyelenggara negara dan
menurut Romli Atmasasmita kepala desa dapat di tindak oleh KPK. karena
kepala desa adalah penyelenggara negara pada tingkat paling rendah
B. Rekomendasi
1. Perlu redefinisi apa yang dimaksud dengan penyelenggara negara pada
Undang – Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, yang mengatur
tentang definisi penyelenggara negara, sehingga Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat menindak tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala
61
Desa karena kepala desa termasuk penyelenggara negara sesuai undang –
undang yang artinya menjadi kewenangan dari KPK untuk menindak tindak
pidana korupsi yang dilakukan kepala desa
2. KPK lebih memanfaatkan kewenangan dari segi penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan. Komisi Pemberantasan Korupsi diberikan kewenangan
yang lebih dalam mengawasi tindak pidana korupsi penyalahgunaan alokasi
dana desa dengan cara melakukan koordinasi dan supervise pada lembaga –
lembaga lain yang berkaitan dengan alokasi dan desa. Merevisi Undang –
Undang yang mengatur tentang kewenangan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), terutama pada Pasal 11 Undang – Undang Nomor 30 Tahun
2002 dan Undang – Undang yang mengatur tentang alokasi dana desa.
Meningkatkan fungsi penindakan dengan berkerja sama dengan lembaga –
lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan
62
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Adnan Buyung, Pentingnya Pemberantasan Komisi Pemberantas
Korupsi. Jakarta: Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Trisakti,
2002.
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi. Melalui. Hukum. Pidana. Nasional
dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada Cet ke 7, 2008
Soeria Atmadja, Arifin. P, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Syamsuddin, Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika cet III, 2014
Roestandi, Ahmad, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab , Sekertaris
Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006.
Styawati, Deni, KPK Pemburu Koruptor, Yogyakarta: Pustaka Timur cet I,
2008.
Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi
Pemberantas Korupsi), Balikpapan: Sinar Grafika, 2008.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakart: Sinar Grafika, 2007
Ibrahim,Johny, Teori &Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing, 2006
Apeldoorn, L.J.van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart:, Pradnya Paramita, 1985
BPKP, Pemberantas Korupsi Nasional. Jakarta: Pusat Pendidikan dan
Pengawasan BPKP cet I, 1999
Atmasasmita, Romli,Korupsi Good Governance & Komisi Anti Korupsi di
Indonesia Jakarta: Percetakan Negara RI, 2002
Raharjo, Sajipto ,Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010
Kartohadiprojo, Soedirman ,Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta: PT
Ghalia Pembangunan Indonesia, 1982,
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1981
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011
63
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2008
Suyatno, Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005
Nurcholis, Soekidjo, Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa,
Jakarta: Erlangga, 2011
Darise, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta: Indeks, 2009
Mardiasmo, Otonomi Daerah dan Manajamen Keuangan Daerah, Yogyakarta:
Andi Ygyakarta, 2002
Ifrani, Grey Area Tipikor Dengan Tindak Pidana Perbankan, Jurnal Konsitusi
Vol.8
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007
Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002
Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014