BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI KOMISI … II.pdf · Komisi Pemberantasan Korupsi untuk...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI KOMISI … II.pdf · Komisi Pemberantasan Korupsi untuk...
64
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG FUNGSI
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) TERKAIT
PENYITAAN, ASET, TINDAK PIDANA, KORUPSI DAN
PENCUCIAN UANG
2.1. Pengertian Fungsi, KPK, Penyitaan, Tindak Pidana Korupsi dan
Pencucian Uang
2.1.1. Pengertian Fungsi
Secara arti kata (etimologi) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
bahwa "fungsi berarti jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, menjalankan tugasnya
sebagai........".72
Dengan arti fungsi sebagai jabatan atau pekerjaan dalam menjalankan tugasnya,
jelas disini ada subyek yang menjalankan tugasnya atau suatu fungsi diemban
oleh subyek dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku jabatan
yang diberikan oleh undang-undang. KPK karena fungsinya mengemban tugas
seperti menyidik, menuntut, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana
korupsi
KPK selaku badan independen dalam mewakili negara, dan selaku
pembantu penegak hukum mengemban fungsi untuk melakukan proses hukum
dalam peradilan pidana bersama penegak hukum lainnya yang ada sesuai
komponen sub-sub unsur strukture dalam sistem peradilan pidana yang ada di
72
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hlm: 281.
64
65
Indonesia (Integrated Criminal Justice System) atau Sistem Peradilan Pidana
Terpadu.
2.1.2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi untuk selanjutnya disingkat KPK.
Pengertian KPK dapat ditemukan melalui rumusan Pasal 3 Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK seperti tersurat “KPK adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Perumusan Pasal 3 tersebut diatas lebih rinci dijelaskan pula melalui
penjelasan pasal demi pasanya seperti : “Dalam ketentuan ini yang dimaksud
dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas
dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif,
yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Maka dapat ditarik unsur-unsur selaku pembangun sebagai komponen
KPK dari pengertian atau esensi KPK adalah adanya : lembaga negara, diberi
tugas dan wewenang atas dasar Undang – Undang secara kewenangan atributif
oleh Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, bersifat independen,
berarti bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif, secara
individual maupun kelembagaan khusus dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
66
2.1.3. Penyitaan
Pengertian penyitaan dapat dipahami dan dipetik melalui rumusan Pasal 1
angka 16 KUHAP, seperti dirumuskan “Penyitaan adalah serangkaian tindakan
penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya
benda bergerak atau tidak bergerak berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Unsur – unsur yang terkandung dari pengertian penyitaan adalah seperti :
adanya serangkaian tindakan hukum oleh penyidik (dalam hal ini penyidik pada
KPK) yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 2002, untuk berada di bawah penguasaannya, terhadap
kualifikasi barang dalam berbagai jenisnya, untuk kepentingan pembuktian dalam
perkara tindak pidana korupsi.
Secara lebih jelas lagi bahwa penyidik dimaksud disini terkait dengan
tugas dan wewenangnya dalam melaksanakan penyitaan seperti tersebut dalam
Pasal 1 angka 16 KUHAP adalah penyidik sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2)
UU No. 30 Tahun 2002 yakni penyidik KPK. Bahkan sesuai ketentuan Pasal 47
ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 dirumuskan “Atas dasar dugaan yang kuat adanya
bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa ijin
Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya”.
Dapat ditekankan bahwa tugas penyidik KPK salah satunya dalam
melakukan tindakan upaya paksa adalah dapat menjalankan tugas dan
wewenangnya melakukan tindakan penyitaan.
67
2.1.4. Pengertian dan Makna Aset
Secara arti kata (etimologi) kata aset dalam istilah bahasa Inggris “asset”,
berarti “harta” yang dimiliki dan mempunyai nilai73
. Sedangkan aset menurut
menurut kamus Indonesia diartika sebagai “modal, kekayaan”74
Maka arti kata aset dapat diinterprestasikan mengandung arti sebagai
“kekayaan” seperti tersurat secara etimologi dan ketika dipersamakan dengan
perumusan pengertian yang tertuang dalam Pasal 13 Undang Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (selanjutnya disingkat TPPU), kalau dipersamakan istilah aset tersebut
dinyatakan sebagai “harta kekayaan”. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2010
tentang TPPU dinyatakan bahwa “harta kekayaan adalah semua benda bergerak
atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang
diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung”.
Secara prinsip bahwa aset merupakan wujud dari harta kekayaan yang
dapat atau sebagai obyek tindakan hukum dilakukan penyidik KPK berupa
menyita atau diambil alih untuk sementara waktu dibawah penguasaannya guna
keperluan proses peradilan pidana khususnya untuk pembuktian.
2.1.5. Arti Tindak Pidana Korupsi
Istilah tindak pidana berasal dari istilah Belanda yaitu "strafbaar feit".
Strafbaar feitterdiri atas 3 kata yaitu "straf”yang diterjemahkan dengan pidana
dan hukum. Kata "baar" diterjemahkan dengan dapat atau boleh. Sedangkan "feit"
73
Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White
Publishing, Jakarta, hlm. 15 74
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op Cit, hlm. 60
68
diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,pelanggaran, dan perbuatan. Secara
literlijk kata "straf”berarti pidana,kata "baar" artinya dapat atau boleh, dan "feit"
berarti perbuatan.75
Terhadap pengertian tindak pidana, terdapat dua aliran yang berkembang
yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Parndangan monistis melihat bahwa
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari
perbuatan. Sedangkan pandangan dualistis memisahkan antara pengertian
"perbuatan pidana" (criminal act) dengan "pertanggungjawaban pidana" (criminal
responsibility atau criminal liability).
Berikut pengertian strajbaar feit menurut pendapat para sarjana menganut
pandangan monistis antara lain :
1. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana itu
adalahperbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana76
2. Simons, merumuskan strafbaar feitadalah suatu tindakan melanggar hukum
yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat
dihukum.77
Sedangkan pengertian strafbaar feitmenurut para sarjana
yangmenganut pandangan dualistis antara lain :
75
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Cet. I, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm : 69. 76
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,
Jakarta, hlm. 50. 77
Simons, 1992, Kitab Pelajaran Hukum Pidana, terjemahan P.A.F.
Lamintang, Pioner Jaya, Bandung, hlm. 127.
69
1. Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana yang didefinisikan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.78
2. Pompe yang merumuskan strafbaar feitadalah suatu tindakan yang menurut
sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum.
3. Vos merumuskan bahwa strafbaar feitadalah suatu kelakuan tindakan manusia
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
4. R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatau
rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman79
Mengenai unsur-unsur tindak pidana, penulis akan
membandingkanpendapat dari Simons sebagai penganut aliran monistis dengan
pendapatdari Moeljatno yang menganut pandangan dualistis. Dari pendapat
Simonsmengenai pengertian strafbaar feit dapat ditarik unsur-unsur dari strajbaar
feit yang dapat digolongkan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif antara lain:
a. orang yang mampu bertanggung jawab;
78
Moeljatno, 1983, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara, Jakarta, hlm. 55. 79
Adami Chazawi, Op. Cit. hlm. 72.
70
b. adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan
"kesalahan" yang berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan
keadaan-keadaan saat mana perbuatan dilakukan.
Unsur objektif antara lain :
a. perbuatan orang;
b. akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c. mungkin aaa Keadaan tertentu yang rnenyertai perbuatan itu.
Sedangkan penganut pandangan dualistis adalah Moeljatnoyang
memisahkan antara perbuatan dengan orang yang melakukanperbuatan.
Adapun unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatnoadalah :
a. perbuatan manusia;
b. memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. bersifat melawan hukum (syarat materiil).
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa penganut monistis tidak
secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat
dipidananya pelaku. Unsur mengenai diri orangnya bagi penganut dualistis yakni
kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tindak
pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut pandangan
monistis syarat dipidannya itu juga termasuk dalam dan menjadi unsur tindak
pidana.
71
Antara kedua pandangan tersebut menurut Soedarto adalah samabenarnya
dan tidak perlu dipertentangkan.80
Pandangan tersebut dikarenakan adanya sudut
pandang yang berbeda. Pandangan dualistis barangkat dari sudut abstrak, yaitu
memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya
dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu terjadi (konkrit), baru melihat
pada orangnya. Bila orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab dan
karena perbuatannya itu dapat dipersalahkan kepadanya, dengan demikian maka
kepadanya dijatuhi pidana.
Sedangkan aliran monistis memandang dari sudut pandang konkrit, bahwa
strafbaar feittidak bisa dipisahkan dengan orangnya. Dalam strafbaar feitselalu
ada si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai
diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi
unsur tindak pidana.
Secara terminologis, korupsi berasal dari kata "corruptio" atau "corruptus"
dalam bahasa Latin yang berarti kerusakan atau kebobrokan dipakai pula untuk
menunjuk suatu keadaan atau perbuatan yang busuk.81
Disebutkan pula bahwa
corruptionberasal pula dari asal kata corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Selanjutkan dari bahasa Latin itu turun kebanyak bahasa Eropa seperti
corruption, corrupt: (Inggris), corruption(Perancis). dan Belandayaitu corruptie
80
Andi Hamzah (I), 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69. 81
Fockema Andrea, 1983, Kamus Hukum (Terjemahan), Bina Cipta, Bandung, hlm : 73
72
(korruplie). Bahasa Belanda inilah yang turun ke dalambahasa Indonesia yaitu
"korupsi"82
Istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau kecurangan
seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian, melakukan korupsi berarti
melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan negara.
Menurut Henry Campell Black, mengartikan korupsi sebagai "an act done with an
intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of
others" (terjemahan bebasnya : sesuatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajibanresmi
dan hak-hak dari pihak lain). Termasuk juga pengertain "corruption" menurut
Black adalah perbuatan seorang pejabat yang secara melanggar hukum
menggunakan jabatannya untuk mendapatkan suatukeuntungan yang berlawanan
dengan kewajibannya.83
Dalam Webster's New American Dictionary, kata "corruption" diartikan
sebagai "decay" (lapuk), "contamination" (kemasukan sesuatu yang merusak",
dan "impurity" (tidak murni). Sedangkan kata "corrupt" dijelaskan sebaga "to
became rotten or putrid" (menjadi, busuk, lapuk, dan buruk), juga "to induce
decay in something originally clean and sound" (memasukkan sesuatu yang
busuk, atau yang lapuk ke dalam sesuatu yang semula bersih dan bagus).84
82
Andi Hamzah, 2007, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional, Ed. Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 4. 83
Septa Candra, 2012, "Hukum Pidana Dalam Perspektif"(dalam : Agustinus Pohan dkk
(ed); Tindak Pidana Korupsi : Upaya Pencegahan dan P'emberantasan, Pustaka Larasan, Jakarta,
hlm. 106. 84
A. Mariam Webster, 1985, New International Dictionary, G & C Marriam Co.
Publishers Springfield Mass, USA, hlm. 79
73
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi diartikansebagai
perbuatan yang buruk seperti penggeiapan uang, penerimaansogokan, dan
sebagainya.85
Sedangkan menurut Sudarto, istilah korupsiberasal dari kata
"corruption", yang berarti kerusakan.
Brooks, sebagaimana dikutip oleh Alatas memberikan perumusan korupsi
yaitu dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui
sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan
memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.
2.1.6. Pencucian Uang
Sesuai ketentuan perumusan Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (yang disingkat dengan TPPU), menyuratkan : “Pencucian uang adalah
segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam undang – undang ini”.
Tampak unsur – unsur dari pengertian pencucian uang adalah : adanya
perbuatan, adanya tindak pidana, dan sesuai dengan ketentuan UU No. 8 Tahun
2010. Jadi definisi atau pengertian secara spesifik dari pencucian uang tersebut
tidak ada ditemukan menurut perundang-undangan, namun secara doktrin
menurut Sutan Reni Sjahdeini yang dimaksud dengan pencucian uang atau money
laundering adalah :
85
W.J.S. Poerwadarminta, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm. 128.
74
“Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh
seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal
dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal – usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang
berwenang melakukan penindakan terhadpa tindak pidana, dengan cara
antara lain dan terutama memasukan uang tersebut ke dalam sistem
keuangan (financial system), sehingga uang tersebut kemudian dapat
dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal”.86
Dalam unsur tindak pidana yang dimaksudkan menurut Pasal 1 angka 1
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut dimaksudkan adalah menunjuk
pada rumusan delik yang tersurat dalam Pasal 3 UU TPPU tersebut. Pasal 3
menyuratkan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah : “Setiap orang yang
menempatkan, mentrasfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,
menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan dipidana karena
tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (Sepuluh miliar rupiah).
Jenis tindak pidana yang dimaksud menurut rumusan delik diatur diatas
merujuk pada Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, bahwa hasil tindak pidana adalah harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi, b. Penyuapan, c.
narkotika, d. psikotropika, e. penyelundupan, tenaga kerja, f. ... dan seterusnya
sampai z.
86
Sutan Remy Sjahdeini, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme, PT. Pustaka Utama Grafitri, Jakarta, hlm. 1
75
2.2. Landasan Yuridis Pengaturan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana
Korupsi Dalam Beberapa Perundang-Undangan Pidana Indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ay at (1) KUHP merumuskan bahwa setiap
penentuan tindak pidana hanyalah berdasarkan pada suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pedoman asas legalitas untuk menentukan suatu tindak
pidana adalah hal yang mutlak. sehingga dapat menghindari penyimpangan-
permmpar.gan dalarn ha! penerapan suatu sanksi hukum. Suatu perbuatan disebut
sebagai tindak pidana karena di dalamnya berisi rumusan tentang perbuatan yang
dilarang serta adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar perbuatan
tersebut. Rumusan tentang dilarangnya suatu perbuatan dan ancaman pidana bagi
pembuatnya tunduk pada asas legalitas, sehingga keduanya mesti ditetapkan
dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Pembagian hukum pidana berdasarkan atas sumbernya dibedakan menjadi
2 yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum
adalah semua ketentuan pidana yang terdapat ataubersumber pada kodifikasi
(KUHP). Hukum pidana khusus yaitu hukumpidana yang bersumber pada
ketentuan perundang-undangan diluar KUHP. Dalam sumber hukum pidana
khusus ini dibedakan atas 2 kelompok yaitu :
1. Kelompok peraturan perundang-undangan hukum pidana (ketentuan atau isi
peraturan perundang-undangan ini hanya mengatur satu bidang hukum pidana)
contohnya seperti Undang-Undang Korupsi, Narkotika, Terorisme, dan lain-
lain.
76
2. Kelompok peraturan perundang-undangan bukan dalam bidang hukum pidana,
tetapi di dalamnya terdapat ketentuan pidana, seperti undang-undang
lingkungan hidup, pasar modal, hak cipta, dan lain-lain.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak lagi
dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah
menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sehingga dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan "dengan biasa" tetapi dituntut
dengan cara-cara yang luar biasa.87
Tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime, menurut Romli Atmasasmita
dikarenakan :
1. Korupsi di Indonesia sudah berurat akar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah
penegakan hukum secara konsisten dalam pemberantasan KKN.
2. Korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan
masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelarangan
atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.
3. Kebocoran APBN selama 4 Pelita sebesar 30% telah menimbulkan
kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat
karena sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia
peroleh sehingga melemahkan ketahanan sosial bangsa dan negara.
4. Penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan
secara diskrimintaif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar
belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa
5. Korupsi di Indonesia sudah merupakan kolaborasi antara pelaku di sektor
publik dan sektor swasta yang justru merupakan jenis korupsi yang tersulit
dibandingkan dengan korupsi yang hanya terjadi di sektor publik.88
87
Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama Komisi
Pemberantasan Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 28. 88
Ibid, hlm. 29 – 30
77
Jika ditelaah dari sudut pandang doktrina, Romli Atmasasmita
berpendapat:
"Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi baik dari
sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara
mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia
bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah
merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).
Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat
merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde
Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan
perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia".89
Ketentuan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus. Ketentuan dalam hukum pidana umumberlaku secara
umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
sedangkan ketentuan hukum pidana khusus lebih mengatur mengenai kekhususan
subjek serta perbuatan yang khusus dalam hukum pidana.
Keberadaan tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Adapun perkembangan pengaturan
tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia antara lain :
2.2.1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam perkembangannya ancaman sanksi pidana terkait tindak pidana
korupsi telah ada sejak dulu. Sebagai suatu tindak pidana yang telah ada sejak
zaman penjajahan Belanda, tindak pidana korupsi telah diatur dalam KUHP.
Dalam KUHP terdapat 13 pasal yang mengatur tentang tindak pidana umum yang
termasuk tindak pidana korupsi yaitu :
89
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Pranada Media
Group, Jakarta, hlm. 17
78
a. Kelompok tindak pidana penyuapan yang terdiri dari Pasal 209, 210,418, 419,
dan Pasal 420 KUHP.
b. Kelompok tindak pidana penggelapan yang terdiri dari Pasal 415,416,dan
Pasal 417 KUHP.
c. Kelompok tindak pidana kerakusan yang terdiri dari Pasal 423 danPasal
425 KUHP.
d. Kelompok tindak pidana yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan
rekanan yang terdiri dari Pasal 387, 388, dan Pasal 435 KUHP.90
Adapun ancaman pidana yang tercantum dalam ketentuan beberapa pasal
dalam KUHP yang tergolong dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
- Pasal 209 : ancaman pidananya paling lama adalah dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Pasal 210 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
- Pasal 387 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
- Pasal 388 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
- Pasal 415 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
- Pasal 416 : ancaman pidananya paling lama adaiah ernpai tahun.
- Pasal 417 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun enambulan.
- Pasal 418 : ancaman pidananya paling lama adalah enam bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
- Pasal 419 : ancaman pidananya paling lama adalah lima tahun.
90
Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Rajawali
Pers., Jakarta, hlm. 26 – 27
79
- Pasal 420 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan tahun
- Pasal 423 : ancaman pidananya paling lama adalah enam tahun.
- Pasal 425 : ancaman pidananya paling lama adalah tujuh tahun.
- Pasal 435 : ancaman pidananya paling lama adalah sembilan bulanatau
pidana denda paling banyak delapan belas riburupiah.
Seperti adanya pengaturan menyangkut tindak pidana korupsi dalam
KUHP sebenarnya tidak diperlukan lagi peraturan perundang-undangan mengenai
korupsi, namun seiring dengan perkembangan masyarakat, ketentuan tindak
pidana korupsi dalam KUHP dirasa tidak mampu mewadahi perilaku masyarakat
yang kian koruptif sehingga perlu dibentuk hukum pidana yang progresif dan
dinamis mewadahi secara khusus tindak pidana korupsi.
2.2.2. Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April
1957
Dalam konsideranya menyatakan bahwa maksud dan tujuan dibentuknya
Peraturar, Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957 adalah
kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki peraturan perundang-undangan
tentang pemberantasan korupsi dan pejabat serta aparat pelaksana pemerintah.
Peraturan Penguasa Militer ini merupakan awal mula peraturan perundang-
undangan pidana khusus menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Rumusan mengenai korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer
Nomor : Prt/PM-06/1957dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
80
1) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik untuk
kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau
untukkepentingan suatu badan yang langsung ataupun tidak langsung
menyebabkan kerugian negara atau perekonomian negara.
2) Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau
upah dari suatu badan yang menerima bantuan keuangan dari negara atau
daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh pejabat langsung atau tidak
langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
Peraturan penguasa militer ini ternyata dirasa kurang efektif yang
kemudian dibentuk Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM-08/1957 tanggal
22 Mei 1957 yang mengatur lebih lanjut tentang penilikan hartabenda yang
dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
negara dalam rangka pemberantasan korupsi. Dengan pcraruran ini penguasa
milker berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau
badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat
mencurigakan.91
Oleh karena itu, sebagai dasar hukum bagi penguasa militer
melakukan penyitaan terhadap harta benda yang asal mula diperoleh secara
mendadak dan mencurigakan, maka dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer
Nomor : Prt/PM-011/1957 pada tanggal 1 Juli 1957.
91
Ibid, hlm. 29
81
Kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 74 Tahun1957
tentang Keadaan Bahaya maka ketiga Peraturan Penguasa Militer tersebut diganti
dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat.
2.2.3. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt/Peperpu/013/1958, tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda
(BN Nomor 40 Tahun 1958).
Dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt/Peperpu/013/1958 tidak menjelaskan mengenai pengertian istilah korupsi serta
tindak pidana korupsi, namum membedakan antara perbuatan korupsi pidana
dengan perbuatan korupsi lainnya.
1) Perbuatan korupsi pidana, yang dimaksud dengan perbualan korupsi pidana
adalah :
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggorann dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lainatau suatu
badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau
kedudukan.
82
c. Kejahatan-kejahatantercantum dalam Pasal 41 sampai 50Peraturan
Penguasa Perang ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419 dan 420 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
2) Perbuatan korupsi lainnya, yang disebut perbuatan korupsi lainnyaadalah
:
a. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan
melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah atau badanhukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggoran dari masyarakat.
b. Perbuatan seseorang. yang dengan atau karena melakukan
suatuperbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang
lainatau suatu badan dan yang dilakukan dengan
menyalahgunakanjabatan atau kedudukan.
Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor :
Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah yang dikuasai oleh Angkatan
Darat, sedangkan daerah-daerah yang dikuasai oleh angkatan laut dibentuk
Peraturan Penguasa Perang Militer Angkatan Laut Nomor :Prt/zl/17 tanggal
17 April 1958 yang perumusannya sama denganperaturan penguasa perang
sebelumnya.92
92
Ibid, hlm. 31
83
2.2.4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp
Tahun 1960 tentng Pengusutan, Penuntutan, Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi (LN Nomor : 72Tahun 1960)
Istilah tindak pidana korupsi untuk pertama kalinya dipergunakan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia adalah dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentangPengusutan,
Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam konsideran
peraturan ini pada butir a disebutkan :
"Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan
atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank,
koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan
si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana
pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberanras
perbuatan-perbuatan yang disebut korupsi".
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun
1960 disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. Adapun hal-hal
yang baru diatur dalam undang-undang ini adalah menyangkut beberapa hal yang
sebelumnya belum diatur dalam undang-undang korupsi sebelumnya, diantaranya
adalah :
1) Delik percobaan dan delik permufakatan.
2) Delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri.
3) Kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji.
4) Pengertian pegawai negeri lebih diperluas.
84
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun
1960 terdapat beberapa perubahan pada unsur "karena rnelak.uk an perbuatan
melawan hukum" diganti dengan unsur "melakukan suatu kejahatan atau
pelanggaran" serta perubahan kata "perbuatan" menjadi "tindakan".
Dalam pelaksanaannya upaya pemberantasan korupsi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960
tidak menunjukkan efektivitas yang diharapkan. Salah satunya adalah karena
masih sulit untuk membuktikan suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai
kejahatan atau pelanggaran. Akibatnya banyak perbuatan yang merugikan
keuangan negara sulit dipidana berdasarkan undang-undang ini.
Atas dasar alasan tersebut di atas serta perkembangan nilai keadilan dalam
masyarakat, maka pemerintah memandang perlu adanya pembaharuan terhadap
hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960.
2.2.5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Konsideran undang-undang ini memaparkan bahwa latar belakang
pembentukan undang-undang ini adalah untuk menanggulangi masalah korupsi.
Perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara danmenghambat
pembangunan nasional, sementara undang-undang sebelumnya kurang memadai
untuk memberantas tindak pidana korupsi. Maka dari itu perlu adanya
pembaharuan hukum pidana terkait pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni
85
melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rumusan sebagaimana tersebut di atas, mensyaratkan bentuk kesalahan
pro parte dolus pro parte culpa, artinya bentuk kesalahan disini tidak hanya
disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup adanya kealpaanberupa patut
disangka dapat merugikan keuangan atau perekonomiannegara, sudah dapat
menjerat pelaku.93
Sebagai suatu undang-undang yang menjadi landasan dalam
penegakan hukum pidana terkait tindak pidana korupsi, tidak dapat
r dipungkiri bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi masih memiliki kelemahan serta kekurangan
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun beberapa yang
dianggap sebagai kelemahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 adalah
sebagai berikut:
1. Tidak adanya ketegasan mengenai rumusan delik tindak pidana sebagai delik
formal.
2. Tidak adanya ketentuan yang mengatur mengenai ancaman pidana yangdapat
diterapkan terhadap suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana.
3. Terkait sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (dua
puluh tahun) dan minimum umum (satu hari) sehingga menimbulkan
ketidakleluasaan bagi jaksa dalam penuntutan.94
93
Ibid, hlm. 38 94
Ibid, hlm. 396
86
Sebagai upaya untuk menyempurnakan landasan hukumdalam
pemberantasan tindak pidana korupsi diperlukan adanya pembaharuan hukum
pidana terkait tindak pidana korupsi yakni dengan membentuk undang-undang
yang lebih baik dari undang-undang sebelumnya. Kehadiran undang-undang
korupsi yang baru bukan saja sebagai landasan dalam penerapan sanksi pidana
bagi pelaku tindak pidana korupsi agar menimbulkan efek jera serta juga dapat
sebagai upaya pencegahan. Atas dasar hal tersebut, dibentukalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140.
2.2.6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sebagai dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang berlaku hingga saat ini telah banyak mengalami penyempurnaan dari
undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia. Tujuan pemerintah dari
pembuat undang-undang melakukan revisi ataumengganti produk legislatif
tersebut merupakan upaya untuk mendorong institusi yang berwenang dalam
pemberantasan korupsi, agar dapat menjangkau berbagai modus operandi tindak
pidana korupsi dan meminimalisir celah-celah hukum, yang dapat dijadikan
87
alasan bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat meit.pas>:art dinnya
dari jeratan hukum.95
Adapun beberapa hal penting yang merupakan pembaharuan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yaitu antara lain :
1. Dirumuskannya secara eksplisit tindak pidana korupsi sebagai delik formal,
sehingga dengan demikian setiap pengembalian kerugiankeuangan negara
tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadapterdakwa.
2. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materiil (materiele
wederrechtelijkheid) dalam fungsinya secara positif.
3. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum disamping
perseorangan.
4. Adanya penambahan dalam pidana tambahan terkait uang pengganti.
5. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi criminal yang
dapat diberlakukan keluar batas teretorial Indonesia.
6. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian terbatas
atau berimbang atau "balanced burden of proof " dalam Pasal 37 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999.
7. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimum khusus
disamping ancaman maksimum.
95
Chaerudin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Refika Aditama, Bandung, hlm. 5
88
8. Diintroduksinya ancaman pidana mati sebaai unsur pemberatan.
9. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan (Joint investigation teams)
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya di bawah
koordinasi jaksa agung.
10. Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas
yang diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat
dilanjutkan dengan penyitaan.
11. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai
saranakontrol sosial yang dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan
hukum terhadap saksi pelapor lebih optimal dan efektif.
12. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat undang-undang
untuk membentuk sebuah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
bersifat indipenden.
13. Adanya pengakuan yang secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai "extra
ordinary crime" yakni kejahatan yang pemberantasannya hams dilakukan
secara luar biasa.
14. Dirumuskannya gratifikasi sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.
15. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian (omkering van de
bewijslast)secara terbatas.
16. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang dapat diperoleh dariinformasi
yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secaraelektronik.
89
Tinjauan segi yuridis, pembaharuan terhadap ketentuan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah
mencerminkan adanya tindakan pemerintah dalam usaha memberantas
perkembangan tindak pidan korupsi. Selain pembaharuan terhadap dasar hukum
utama untuk memberantas tindak pidana korupsi,pemerintah juga telah
membentuk beberapa peraturan sebagai pendamping Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi yaitu :
A. TAPMPR:
1. TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negarayang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
B. Undang-Undang :
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang
- Undang Nomor 1 5 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.
90
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang
PengesahanUnited Nations Convention Against Corruption 2003
(KonvensiPerserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi-2003).
Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait
denganTindak Pidana Korupsi mencerminkan betapa seriusnya kasus korupsi
diIndonesia. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi agenda utama
pemerintah di samping kasus lainnya.
Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 1997 Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan (BPKP) dalam Lokakarya Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi di Indonesia telah merumuskan 3 strategi dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi secara nasional yaitu :
a. Strategi persuasif, merupakan upaya untuk menghilangkan penyebab korupsi,
menghilangkan melakukan korupsi dan semaksimal mungkin mencegah
terjadinya korupsi.
b. Strategi detektif, merupakan upaya untuk menampilkan suatu informasi
apabila korupsi sudah terjadi dan semaksimal mungkin dapat diidentifikasikan
dalam waktu yang sesingkat mungkin.
c. Strategi represif, merupakan upaya semaksimal mungkin memproses korupsi
yang sudah diidentifikasi menurut ketentuan hukum secara cepat, tepat, dan
tingkat kepastian hukum yang tinggi meliputi proses penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan/putusan
pengadilan.96
'
Segala upaya telah dilakukan pemerintah guna mencegah serta
memberantas tindak pidana korupsi baik dengan pembentukan serta pembaharuan
undang-undang dari segala aspek, melakukan kerjasama serta koordinasi dengan
96
Ibid, hlm. 12 – 13
91
lembaga negara lainnya untuk secara bersama-sama memberantas korupsi yang
berdampak luas bagi keamanan serta ketentraman masyarakat.
Sebagai upaya pemerintah mewujudkan keseriusannya dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi telah dikeluarkan berbagai kebijakan. Salah
satunya adalah Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan secarakhusus kepada Jaksa
Agung dan Kapolri:
1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara.
2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh jaksa (penuntut umum) anggota Polri dalam rangka
penegakan hukum.
3. Meningkatkan kerjasama antara Kejaksaan dengan Kepolisian Negara RI,
selain dengan BPKP, PPATK, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya
penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak
pidana korupsi.
Kebijakan selanjutnya diambil oleh pemerintah adalah dengan menetapkan
Rencana Aksi Nasionai Pemberamasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009,
mengingat penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan yang
sistematis, yaitu melalui langkah-langkah pencegahan dan penindakan. Langkah-
langkah pencegahan dalam RAN-PK 2004-2009 diprioritaskan pada :
92
1. Mendesain ulang pelayanan publik, terutama pada bidang-bidang yang
berhubungan langsung dengan kegiatan pelayanan kepada masyarakat sehari-
hari.
2. Memperkuat transparansi, pengawasan dan sanksi pada kegiatan-kegiatan
pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan sum her daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat pendukung dalam
pencegahan korupsi.
Berdasarkan hal tersebut, langkah penindakan yang dimaksudkan dalam
RAN-PK 2004-2009 diutamakan adalah pada percepatan penegakan dan kepastian
hukum dalam penanganan perkara korupsi yang besar dan menarik perhatian
masyarakat dan pengembalian hasil korupsi kepada negara, yang meliputi:
1. Percepatan penanganan dan eksekusi perkara tindak pidana korupsi dengan
fokus pada 5 sektor prioritas yaitu 5 besar lembaga pemerintah dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbesar.
2. Peningkatan dukungan terhadap lembaga penegak hukum.
3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum.
4. Pengembangan sistem pengawasan lembaga penegak hukum.
Untuk lebih meningkatkan lagi upaya pemberantasan korupsi,
dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tanggai 2 Mei 2005
tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk lebih
meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Badan
93
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
1. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai
denganketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/alau
indikasi tindak pidana korupsi.
2. Mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak
pidana korupsi serta menelusuri dan mengamankan seluruh asset-asetnya
dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara secara optimal.
Penegakan hukum dalam menangani tindak pidana korupsi memerlukan
kerjasama dan koordinasi diantara aparat penegak hukum guna dapat semaksimal
mungkin mencegah serta memberantas korupsi yang kian berkembang di
masyarakat. Dengan adanya payung hukum yang jelas untuk menyelesaikan kasus
korupsi adalah langkah awal yang baik dalam penegakan hukum terkait tindak
pidana korupsi.
Segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberantas korupsi
baik dalam hal pembaharuan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-
kebijakan lain adalah tindakan yang sangat tepat karena perkembangan korupsi
yang sangat pesat bahkan kini dapat dikatagorikan sebagai extra ordinary crime
yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula.
Berdasarkan beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
tersebut di atas dapat diketahui bahwa upaya pemberantasan korupsi telah menjadi
prioritas pemerintah. Selain itu, pengembalian kerugian negara akibat tindak
94
pidana korupsi adalah merupakan tujuan yang hendakdicapai pemerintah karena
kerugian negara akibat tindak pidana korupsi tersebut sangat besar.
Berorientasi dari esensi teori bekerjanya hukum menurut Robert B.
Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari 3
elemen yaitu : lembaga pembuat peraturan, lembaga pelaksana peraturan, dan
pemangku peran. Proposisi yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, yaitu
menyangkut 4 hal yang bila diimplementasikan untuk melihat bekerjanya hukum
dalam tindak pidana korupsi adalah dengan melihat apakah peraturan perundang-
undangan yang berlaku saat ini dapat menjadi sarana untuk memberantas tindak
pidana korupsi termasuk pula ancaman pidana yang tercantum di dalamnya. Oleh
karena masyarakat sebagai subyek hukum yang dinamis, maka harus ada
pembaharuan hukum yang menuju ke arah lebih baik serta meningkatkan peran
pelaksana peraturan perundang-undangan dalam menerapkan aturan hukum yang
ada
Sebagai dasar penjatuhan pidana terkait pengembalian kerugian keuangan
negara telah tercantum dalam ketentuan BAB II Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Adapun pasal yang
mengatur mengenai penjatuhan pidana terhadap terdakwa terkait tindak pidana
korupsi yakni:
Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan denda palingsedikit Rp. 200.000.000.00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
95
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat aiau ndak berbuui sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan dilentukan menjadi advokat
untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi
96
nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
50.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang:
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pern bangunan atau penyerahan
beban bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut
97
diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan
perbuatan tersebut.
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puiuh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapatdipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan
untukmeyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yangdikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftartersebut;
atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftartersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (saru) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
98
Pasal12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara palingsingkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanadenda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) danpaling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat
atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-
olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum
tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah
merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan
merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan
tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,
seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
99
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baiu yakni Pasal 12 A,
Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana dencla sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9. Pasal 10, Pasal 11
dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang
dari Rp 5.000.000,00 (limajutarupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratiflkasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) ataulebih,
pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut bukan merupakan suapdilakukan
oleh penerima gratiflkasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratiflkasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
urnum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seurnur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan
atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
100
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut
sebagai tindak pidan:; korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-
undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana
korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal
5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
Dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang tersebut di atas menyatakan
bahwa "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana". Sehingga, dengan kata lain
apabila seorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang berakibat
merugikan keuangan negara mengembalikan seluruh kerugian yang ia timbulkan,
tidak dapat menghapus pidana nya namun hanya bersifat meringankan pidana. Hal
tersebut sesuai dengan esensi teori ganjaran (dessert theory) yang memaparkan
bahwa antara perbuatan yang ditimbulkan oleh seorang pciaku haruf, dipidana
101
sesuai dengan perbuatannya, ada keseimbangan antara akibat perbuaian dengan
nilai kerugian yang timbul serta sanksi/ganjaran yang setimpal pada pelakunya.
Selain pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa, pidana
tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara melalui pembayaran
uang pengganti yang telah diatur berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 18
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidakberwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atauyang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaanmilik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitupula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknyasama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu palinglama 1
(satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan
oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
102
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 tersebut. telah mencerminkan adanya
suatu kepastian hukum terkait penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi. Bukan saja pidana penjara serta pidana denda yang dapat
dijatuhkan kepada terdakwa, namun esensi penting dalam penerapan sanksi
pidana tersebut adalah pengembalian kerugian keuangan negara sebagai akibat
tindak pidana korupsi yang dilakukan koruptor selaku terpidana. Namun, bagi
jaksa dan hakim tidak ada keharusan untuk menuntut dan/atau memutus dengan
pidana tambahan berupa pengembalian kerugian keuangan negara.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jugatelah
mengatur secara jelas konsekuensi apabila salah satu unsur lidak pidana korupsi
tidak cukup bukti namun secara nyata merugikan keuangan negara dan
konsekuensi apabila seorang terdakwa meninggal dunia saat proses peradilan
sedang berjalan. Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33 dan
Pasal 34, yang menyatakan :
Pasal 32
(1) Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih
unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara
nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikian tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada
instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
103
Pasal 33
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara
Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan
untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
2.3.Tipologi dan Modus Operandi Korupsi
2.3.1. Tipologi Korupsi Menurut Doktrin
Piers Beirne dan James Messersclimidt97
membagi korupsi atasempat
macam yahu political bribery, political kickbacks, elction fraud dan corrupt
campaign practices.
Political bribery, adalah kekuasaan di bidang legislative sebagai badan
pembentuk undang-undang yang secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berhubungan dengan aktivitas perusahaan tertentu yang bertindak sebagai
penyandang. Di mana individu pcngusaha sebagai pemilik perusahaan berharap
agar anggota parlemen yang telah diberi dukungan dana pada saat pemilihan
umum dan kini duduk sebagai anggota parlemen dapat membuat peraturan
perundang-undangan yangmenguntungkan usaha atau bisnis mereka.
97
Piers Beirne dan James Messerschmidt dalam Ermasjah Djaja, 2010, Tipologi Tindak
Pidana Korupsidi Indonesia, Get. 1, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 19-21.
104
Political kickbacks, adalah kegiatan korupsi yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan, antara pejabat pelaksana atau pejabat terkait dengan
pengusaha yang memberikan kesempatan atau peluang untuk mendapatkan
banyak uang bagi kedua belah pihak.
Election fraud, adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan
kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan umum, haik yang dilakukan
oleh calon penguasa/anggota parlemen ataupun oleh lembaga pelaksana pemilihan
umum.
Corrupt campaign practices adalah korupsi yang berkaitan dengan
kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan juga bahkan
penggunaan uang Negara oleh calon penguasa yang saat itu memegang kekuasaan
Benvenist98
membedakan korupsi atas :
1. Discretionary corruptionialah korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan. sekalipun nampak bersifat sah,
bukanlah merupakan praktek-praktek yang dapat ditcrima oleh para anggota
organisasi.
Contoh : Dalam pelayanan perizinan Tenaga Kerja Asing. Seorang pegawai
memberikan pelayanan yang lebih cepat kepada seorang calo atau orang yang
bersedia membayar lebih ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.
Alasannya adalah calo adalah orang yang bisa memberikan tambahan
pendapatan. Dalam kasus ini sulit dibuktikan tentang praktek korupsi
walaupun ada peraluran yang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalih
98
Ibid, hlm. 21 – 22
105
memberikan uang lambahan itu dibungkus dengan jargon "tanda ucapan
terima kasih" dan diserahkan setelah layanan diberikan.
2. Illegal corruptionialah suatu jenis tindakan korupsi yang bermaksud
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi
tertentu.
Contoh : Dalam peraturan lelaiig dinyalakan bahwa unluk pcngadaan barang
jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena
waktunya mendesak (turunnya anggaran terlambat), maka proses tender itu
tidak dimungkinkan. Untuk itu maka pemimpin proyek mencari dasar hukum
mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan,
sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Maka dicarilah nasal-pasal dalam
ccnuuran vang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum
guna memperkual sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal,
misalnya ditemukanlah satu pasal yang mengatur perihal " keadaan darurat"
atau "force majeur." Dalam pasal ini dikatakan bahwa "dalam keadaan
darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan dengan syarat
harus memperoleh izin dari pejabal yang berkompeten." Dari sinilah
dimulainya illegal corruption, yakni ketika pemimpin proyek
mengartikulasikan tentang keadaan darurat. Andaikata dalam pasal keadaan
darurat tersebut ditemukan kalimat yang berbunyi "termasuk ke dalam
keadaan darurat ialah suatu keadaan yang berada di luar kendali manusia",
maka dengan serta merta pemimpin proyek bisa berdalih bahwa keterbatasan
waktu adalah salah satu unsur yang berada di luar kendali manusia yang bisa
106
dipergunakan oleh pemimpin proyek sebagai dasar pembenaran pelaksanaan
proyek. Atas 'dasar penalsiranitulah pemimpin proyek meminta persetujuan
kepada pejabat yang berkompeten. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus
ini, sebcnarnya bisa dinyatakan sah atau tidak sah, bergantung pada
bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang berlaku.
3. Mercenarycorruptionialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
Contoh : Dalam suatu persaingan tender seorang panitia lelang memiliki
kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara terselubung
atau terang-terangan ia mengatakan bahwa untuk memenangkan tender,
peserta harus bersedia memberikan uang "sogok" atau "semir" dalam jumlah
tertentu. Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender,
rnaka perbuatan panitia lelang ini sudah termasuk ke dalam kategori
mercenary corruption. Bentuk "sogok" atau "semir" itu tidak mutlak berupa
uang namun bisa juga dalam bentuk lainnya.
4. Ideological corruptionialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan /kepentingan kelompok. Contoh : Kasus
skandal Watergate, di mana sejumlah individu memberikan komitmen mereka
kepada Presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum.
Penjualan asset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari
partai politik tertentu adalah contoh dari jenis korupsi ini.
107
Menurut Syed Hussein Alatas99
, secara tipologis korupsi dapat dibagi
dalam 7 (tujuh) jenis yang berlainan sebagai berikut :
1. Korupsi transaktif (Transcictive corruption) menunjukan pada . adanya
kesepakatan timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi
kcuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya
keuntungan itu oleh kedua belah pihak.
2. Korupsi yang memeras (Exlortive corruption) adalah jenis korupsi dengan
keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna menccgak kerugian yang
sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau orang lain dan hal-hal yang
dihargainya.
3. Korupsi investif (Inventive corruption) adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu selain keuntungan
yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akari datang.
4. Korupsi perkerabatan / nepotisme (Nepotistic corruption) adalah penunjukan
yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan atau lindakan yang memberikan perlakuan yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka
secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defensif (Defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi
dengan pemerasan sebagai bentuk mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (Autogenic corruption) yaitu korupsi yang tidak melibatkan
orang lain dan pelakunya hanya seorang.
99
Syed Hussein Alatas, 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, hlm. ix -
xi.
108
7. Korupsi clukungan (Suportive corruption) adalah korupsi yang lidak secara
langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalani bentuk lain.
Tindakan-tindakan yang dilakukan adalah untuk mciindungi dan memperkuat
korupsi yang sudah ada.
Muladi100
, menjelaskan ada beberapa bentuk korupsi sebagai berikut:
a. Political Corruption (Grand Corruption)yang terjadi di tingkat tinggi
(penguasa, politisi, pengambil keputusan) dimana mcrcka incmiliki sualu
kewenangan unluk mcmformulasikan. mcmbcntuk dan melaksanakan undang-
undang atas nama rakyat dcngan memanipulasi institusi politik, aturan
prosedural dan distorsi lembaga pemerintah dengan tujuan meningkatkan
kekayaan dan kekuasaan.
b. Bureaucratic Corruption (Petty Corruption)yang biasa terjadi
dalamadministrasi publik seperti di tempat-tempat pelayanan umum.
c. Electoral Corruption (Vote Buying)dengan tujuan untuk memenangkan suatu
persaingan seperti dalam pemilu, Pilkada, Keputusan Pengadilan, Jabatan
Pemerintahan dan sebagainya.
d. Private or Individual Corruption, korupsi yang bersifat terbatas, terjadi akibat
adanya kolusi atau konspirasi anlar individu atau teman dekat.
e. Collective or Aggregated Corruption, di mana korupsi dinikmati beberapa
orang dalam suatu kelompok seperti dalam suatu organisasi atau lembaga.
100
Muladi dalam Ermasjah Djaja, Op Cit, hlm. 21
109
f. Active and Passive Corruption, dalam bentuk memberi dan menerima suap
(bribery) untuk meiakukan atau tidak melakukan sesuatu atas dasar tugas dan
kewajibannya.
g. Corporate Corruptionbaik berupa corporate criminalyang di bentuk untuk
menampung hasil korupsi ataupuncorruption for corporationdimana
seseorang atau beberapa orang yang memiliki kedudukan penting dalam suatu
perusahaan melakukan korupsi untuk mencari keuntungan bagi perusahaannya
tersebut.
h. Korupsi defensif (defensive corruption) disini pemberi tidak bersalah tetapi si
penerima yang bersalah. Misalnya, seorang penguasa yang kejam
menginginkan hak milik seseorang.
i. Korupsi otogenik (autogenic corruption) suatu bentuk korupsi yang tidak
melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang diri.
j. Korupsi dukungan (supportive corruption) disini tidak langsung menyangkut
uang atau imbalan dalam bentuk lain. Tindakan-tindakan yang dilakukan
adalah untuk melindungi dan memperkuat korupsi yang sudah ada.101
2.3.2. Tipologi Korupsi Menurut UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU NO. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Sedangkan tipologi tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menurut Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dirumuskan tindak pidana korupsi ke dalam 30
101
Septa Candra, Loc. Cit
110
(tiga puluh) bentuk atau jenis tindak pidana korupsi, yang telah berkembang
menjadi 7 (tujuh) tipe atau kelompok sebagai berikut:
1. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Murni Merugikan Keuangan
Negara"
Merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, pegawai
negeri sipil, dan penyelengara negara yang secara melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Yang termasuk tindak pidana korupsi ini
diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf c, Pasal 7 ayat
(2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 1 huruf (i), Pasal 12 A, dan Pasal
17.
2. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Suap"
Tipe tindak pidana korupsi suap tidak berakibat langsung pada
kerugian keuangan Negara ataupun perekonomian negara, karena sejumlah
uang ataupun benda berharga yang diterima oleh pegawai negeri sipil atau
penyelenggara negara sebagai hasil dari perbuatan melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi bukan berasal dari uang negara
atau asset negara, melainkan dari uang atau asset orang yang melakukan
penyuapan. Dalam tindak pidana korupsi suap selalu melibatkan peran aktif
111
antara orang yang melakukan penyuapan dengan pegawai negeri sipil atau
penyelenggara negara sebagai penerima suap, yang disertai dengan
kesepakatan mengenai besaran atau nilai penyuapan dan cara penyerahannya.
Ketentuan yang mengatur tindak pidana korupsi ini adalah Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c, dan d, Pasal 12A, Pasal 17.
3. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Pemerasan"
Pada tindak pidana ini, terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil
atau penyelenggara negara yang meminta bahkan cenderung melakukan
pemerasan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanan ataupun bantuan.
Hal ini dikarenakan adanya faktor ketidakmampuan secara materiil dari
masyarakat yang memerlukan bantuan ataupelayanan tersebut. Tindak pidana
korupsi ini diatur dalam ketentuan Pasal 12 huruf e, huruf f, huruf g, Pasal
12A, Pasal 17.
4. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Penyerobotan"
Pada tindak pidana ini terdapat peran aktif dari pegawai negeri sipil
atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang ada di atasnya terdapat hak pakai, seolah-
olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang
yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan. Tindak pidana korupsi ini diancam
dengan ketentuan Pasal 12 huruf h dan Pasal 17.
112
5. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Gratifikasi"
Dalam tindak pidana korupsi "gratiflkasi" pegawai negeri sipi! atau
penyelenggara negara bersifat pasif, sedangkan yang bersifai aka! adalah
pemberi gratiflkasi. Selain itu. dalam tipe tindak pidana korupsi ini tidak ada
kesepakatan antara pemberi gratiflkasi dengan pegawai negeri ataupun
penyelenggara negara. Tindak pidana ini dijerat dengan Pasal 12B jo. Pasal 12
C, Pasal 13, dan Pasal 17.
6. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Percobaan, Pembantuan, dan
Permufakatan"
Tindak pidana korupsi percobaan, pembantuan, dan permufakatan
yang dilakukan masih atau hanya sebatas percobaan, pembantuan, dan
permufakatan untuk melakukan tindak pidanakorupsi. Pada tindak pidana ini
sanksi pidananya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya,
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dan d, Pasal 8, Pasal
10 huruf b, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17.
7. Tipe Tindak Pidana Korupsi "Lainnya"
Tipe tindak pidana ini adalah peristiwa atau perbuatan yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dengan sengaja
mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan
113
terdakwa ataupun saksi dalam perkara pidana. Tindak pidana ini dijerat
dengan ketentuan Pasai 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.102
2.3.3. Modus Operandi Korupsi
Setiap tindak pidana yang terjadi selalu disertai dengan modus operandi,
demikian juga dengan kompsi. Modus operandi korupsi semakin canggih
sehingga tidak mudah untuk diketahui sebagai tindak pidana korupsi. Rochim103
menyebutkan beberapa modus operandi yang dijumpai terjadi di Indonesia yakni
sebagai berikut:
1. Modus Operandi Korupsi Secara Umum, meliputi :
a. Pemberian suap atau sogok (bribery)
b. Pemalsuan (fraud)
c. Pemerasan (exorcion)
d. Penyalahgunaan Jabatan atau Wewenang (abuse of power)
e. Nepotisme (nepotism)
2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pemalsuan Pajak
Dalam bidang perpajak sering ditemukan faktur pajak palsu, bermasalah atau
fiktif yang volumenya semakin meluas dan variasinya semakin rumit.
3. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Mengenai pengadaan barang dan jasa telah diatur dalam Keppres Nomor 80
Tahun 2003 beserta perubahan-perubahannya, namun tetap saja ada celah bagi
102
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, hlm. 3-4. 103
Rohim dalam Javvade Hafidz Arsyad, Korupsi Dalam Perspektif HAN (Hukum
Administrasi Negara),Get. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 28-69.
114
sebagian oknum pejabat dan rekanan pengadaan barang atau jasa untuk
melakukan korupsi lewat berbagai modus operandinya. Pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa dilakukan melaiui 15 tahapan, dan dari
keseluruhan tahapan tersebut ditemukan 52 modus penyimpangan yang sering
digunakan oleh rekanan atau oknum pejabat dinas atau instansi dalam
pengadaan barang dan jasa sebagai berikut:
a. Tahapan Perencanaan Pengadaan,
Modus penyimpangannya sebagai berikut:
1) Penggelembungan anggaran
2) Rencana pengadaan yang diarahkan
3) Rekayasa pemaketan untuk KKN
b. Tahapan Pembentukan Panitia Lelang
Modus penyimpangannya sebagai berikut:
1) Panitia tidak transparan
2) Integritas panilia lelang lemah
3) Panitia lelang yang memihak
4) Panitia lelang tidak independen
c. Tahapan Prakualifikasi Perusahaan
Modus penyimpangannya sebagai berikut:
1) Dokumen administrasi yang tidak memenuhi syarat
2) Dokumen administrasi "Aspal"
3) Legalisasi dokumen tidak dilakukan
4) Evaluasi tidak sesuai kriteria
115
d. Tahapan Penyusunan Dokumen Lelang
Modus penyimpangannya :
1) Spesifikasi yang diarahkan
2) Rekayasa kriteria evaluasi
3) Dokumen lelang nonstandard
4) Dokumen lelang yang tidak lengkap
e. Tahapan Pengumuman Lelang
Modus penyimpangannya :
1) Pengumuman lelang yang semu atau fiktif
2) Pengumuman lelang tidak lengkap
3) Jangka waktu pengumuman lelang singkat
f. Tahapan Pengambilan Dokumen Lelang
Modus penyimpangannya:
1) Dokumen lelang yang diserahkan tidak sama (inkonsisten)
2) Waktu pendistribusian dokumen terbatas
3) Lokasi pengambilan dokumen sulit dicari
g. Tahapan Penyusunan Harga Perkiraan Sendiri
Modus penyimpangannya :
1) Gambaran nilai harga perkiraan sendiri ditutup-tutupi
2) Penggelembungan (mark up) untuk keperluan KKN
3) Harga dasar yang tidak slandart
4) Penentuan estimasi harga tidak sesuai aturan
116
h. Tahapan Penjelasan atauAanwijzing
Modus penyimpangannya :
1) Pree-bid meetingyang terbatas
2) Informasi dan deskripsi terbatas
3) Penjelasan yang kontroversial
i. Tahapan Penyerahan dan Pembukaan Penawaran
Modus penyimpangannya :
1) Relokasi tempat penyerahan dokumen penawaran
2) Penerimaan dokumen penawaran yang terlambat
3) Penyerahan dokumen fiktif
j. Tahapan Evaluasi Penawaran
Modus penyimpangannya:
1) Kriteria evaluasi yang cacat
2) Penggantian dokumen penawaran
3) Evaluasi tertutup dan tersembunyi
4) Peserta lelang terpola dalam rangka berkolusi
k. Tahapan Pengumuman Calon Pemenang
Modus penyimpangannya :
1) Pengumuman yang terbatas
2) Tanggal pengumuman ditunda
3) Pengumuman yang tidak sesuai dengan kaidah pengumuman
117
l. Tahapan Sanggahan Peserta Lelang
Modus penyimpangannya :
1) Tidak seluruh sanggahan ditanggapi
2) Substansi sanggahan tidak ditanggapi
3) Sunggahan proforma untuk menghindari tuduhan tender diatur
m. Tahanan Penunjukan Pemenang Lelang
Modus penyimpangannya :
1) Syarat penunjukan yang tidak lengkap
2) Surat penunjukan yang sengaja ditunda pengeluarannya
3) Surat penunjukan yang dikeluarkan dengan terburu-buru
4) Surat penunjukan yang tidak sab.
n. Tahapan Penandatanganan Kontrak
Modus penyimpangannya :
1) Penandatanganan kontrak yang ditunda-tunda
2) Penandatanganan kontrak secara tertutup
3) Penandatanganan kontrak tidak sah
o. Tahapan Penyerahan Barang atau Jasa
Modus penyimpangannya :
1) Volume pekerjaan yang tidak sama
2) Mutu atau kualitas pekerjaan yang lebih rendah dari kctentuan daiam
spesifikasi telinik
118
3) Mutu atau kualitas pekerjaan yang tidak sama dengan
spesifikasi tehnik
4) Contract Change Order(CCO)
2.4.Modus Operandi Korupsi Dalam Pencucian Uang
2.4.1. Esensi Korupsi Dalam TPPU
Pencucian uang (money loundering) merupakan suaut kejahatan yang
biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai keahlian dan oleh
karenanya tidak semua orang bisa melakukannya. Pencucian uang (money
loundering) dilakukan dengan cara yang sangat rapi, terorganisasi dengan baik
dan melibatkan tidak hanya satu orang, satu negara tetapi melibat lebih dari satu
orang dan beberapa negara.
Pencucian uang (money loundering) adalah rangkaian kejahatan yang
merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang
haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan, menyamarkan asal-usul uang haram
dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap
tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam system
keuangan (financial system) sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan darisystem
keuangan itu sebagai uang yang halal.104
Dengan demikian dalam proses kegiatan
money launderingini, uang yang semula merupakan uang haram (dirty money)
104
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi,Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm.
147.
119
diproses sehingga menghasilkan uang bersih (clean money) atau uang halal
(legitimate money)105
Mahmoeddin H.A.S. mengemukakan ada 8 (delapan) modus operandi
pencucian uang sebagai berikut:
1. Kerja sama penanaman modal
2. Kredit Bank Swiss
3. Transfer ke luar negeri
4. Usaha tersamar di dalam negeri
5. Tersamar dalam perjudian
6. Penyamaran dokumen
7. Pinjaman luar negeri
8. Rekayasa pinjaman luar negeri106
Menurut Yunus Hussein ada 10 (sepuluh) modus operandi yang dilakukan
dalam kasus pencucian uang yakni sebagai berikut:
a. Pengalihan dana dari rekening giro milik instansi pemerintah kerekening
tabungan pribadi pejabat.
b. Pembukaan rekening di bank dengan menggunakan identitas palsu untuk
melakukan penipuan.
c. Penyuapan dengan cara menggunakan rekening pejabat pemerintah beserta
anggota keluarganya untuk menampung dana-dana dari pihak lain yang
105
Munir Fuady,2004, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Citra Aditya Bakti,
Bandung,hlm. 83. 106
Mahmoeddin H.A.S. dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif
HAN (Hukum Administrasi Negara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 60-61.
120
memperoleh jasa dari si pemilik rekening atau ada keterkaitan emosional
dengan pihak tertentu. Dana yang masuk ke rekening pejabat berupa
penyetoran secara tunai, menggunakan warkat atas bawa, transfer dari bank
lain dan pemindahbukuan. Dana yang sudah masuk ke rekening pejabat
kemudian digunakan untuk pembelian surat berharga, polis asuransi, bisnis
yang dikelola anggota keluarga, pembelian property, didepositokan dan lain-
lain.
d. Penyuapan dengan menggunakan uang atau instrumen keuangan, terdapat pula
penyuapan dengan menggunakan barang seperti mobil mewah.
e. Pelaku illegal loggingmembuka beberapa rekening di bank baik menggunakan
nama pelaku sendiri maupun nama pihak lain untuk menyamarkan
identitasnya. Rekening tersebut digunakan untuk memperlancar penyelesaian
transaksi perdagangan kayu. Beberapa transaksi ada yang disetorkan ke
rekening oknum aparat keamanan dan oknum pejabat berwenang dibidang
kehutanan dan perkayuan.
f. Pembelian polis asuransi jiwa dengan premi jumlah besar yang dibayarkan
sekaligus (premi tunggal) yang pada saat penutupan kontrak asuransi. Selang
beberapa waktu atau jauh sebelum kontrak asuransi berakhir, polis asuransi
dibatalkan, uang premi yang sudah dibayarkan kemudian ditarik walaupun
dengan penalty tertentu.
g. Pembelian polis asuransi jiwa jenis unit linked dengjin jumlah premi besar
yang dibayar secara regular, di mana pemegang polls (pembayar premi) adalah
perusahaan berbadan hukum dan tertanggung adalah pimpinan perusahaan
121
tersebut. Perusahaan didirikan berdekatan dengan waktu pengajuan polls,
sehingga besar kemungkinan dana untuk membayar premi bukan dari hasil
usaha perusahaan.
h. Kembalinya dana-dana yang dulunya dari hasil perbuatan melawan hukum di
Indonesia ke dalam negeri. Pengembalian dana tersebut terindikasi dilakukan
raelalui rekening perusahaan atau rekening pejabat tertentu, kemudian dana
yang sudah masuk diserahkan kepada oknum pemilik dana dengan memberi
imbalan kepada pihak yang nama atau perusahaannya digunakan.
i. Restitusi pajak tidak wajar, terjadi dengan perusahaan yang baru berdiri
melakukan restitusi pajak dalam jumlah relative besar, namun pada rekening
giro perusahaan tersebut tidak terdapat rnutasi rekening yang mencerminkan
adanya transaksi penjualan dan pembelian yang jumlahnya mendukung bag!
diberikannya restitusi pajak tersebut.
j. Penyelewenangan penggunaan anggaran oleh bagian pengadaan pada suatu
instansi pemerintah yang diberi wewenang untuk melakukan pembelian
sejumlah barang. Dalam pelaksanaannya, instansi tersebut tidak benar
membeli barang dimaksud, tetapi hanya menyewa dengan nilai yang jauh
lebih kecil dibandingkan kalaumembeli. Selisih dana yang ada sebagian
masuk ke nekening pejabatinstansi dimaksud.107
107
Yunus Hussein dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013,Korupsi Dalam Perspektif HAN
(Hukum AdministrasiNegara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 62-63.
122
N.H.T. Siahaan108
mengemukakan ada tiga metode yang dipergunakan
untuk melakukan pencucian uang yaitu :
a. Buy and sell conversion
Pada umumnya metode ini dilakukan melalui transaksi barang dan jasa. Suatu
asset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual
lebih mahal dengan mendapat feeatau diskon. Selisih harga yang dibayar
kemudian dicuci secara transaksi bisnis barang atau jasa dapat diubah menjadi
hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu
bank
b. Offshore conversions
Dalam prakteknya uang hasil kejahatan dikonversikan ke dalam wilayah yang
merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi penghindaran pajak (tax
heaven money loundering centers) untuk kemudian didepositokan di bank
yang berada di wilayah terscbut. Negara yang termasuk atau berciri tax heaven
memang memiliki system hukum perpajakan yang tidak ketat, tetapi memiliki
system rahasia bank yang sangat ketat. Birokrasi bisnis cukup mudah untuk
memungkinkan adanya rahasia bisnis yang ketat sertapembentukan usaha trust
fund. Untuk mendukung usaha itu pelaku memakai jasa pengacara, akuntan
dan konsultan keuangan serta para pengelola dana yang handal untuk
memanfaatkan segala cela yang ada di Negara itu.
108
N.H.T. Siahaan dalam Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi Dalam Perspektif HAN
(Hukum Administrasi Negara), Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 63-64.
123
c. Legitimate business conversions
Metode ini dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara
pengalihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor tersebut kemudian
dikonversikan secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan
di rekening bank atau di transfer ke rekening bank lainnya. Biasanya pelaku
bekerja sama dengan seseorang yang rekeningnya dapat digunakan sebagai
terminal untuk menampung uang kotor.
2.4.2. Modus Operandi Korupsi Dalam Pengelolaan Hutan
Bentuk kejahatan yang sering dilakukan oleh oknum pejabat dalam bidang
pengelolaan hutan adalah pembalakan liar (illegal logging). Pembalakan
merupakan penebangan kayu secara tidak sah yang melanggar peraturan
perundang-undangan. Illegal loggingbisa berupa pencurian kayu atau pemegang
izin melakukan penebangan lebih dari jatah yang ditetapkan dalam perizinan.
Munir Fuady109
menjelaskan bahwa secara umum terdapatbeberapa
modus operandi korupsi dalam pengelolaan hulan, anlara lainsebagai berikut:
a. Adanya manipulasi dalam penghitungan potensi hasil hutan kayu suatu
wilayah pada saat stock opname, sehingga hasil manipulasi dapat dijadikan
modus untuk mengeluarkan kayu dari areal kawasan hutan yang bukan areal
tebangan yang direncanakan.
b. Adanya kebijakan pemerintah daerah yang sengaja disusun dalam rangka
mengeluarkan sebuah izin untuk penggunaan suatu kawasan hutan. Izin yang
109
Munir Fuady, Op Cit, hlm. 101 – 102
124
dikeluarkan tersebut berpotensi besar lerhodon konflik sumber daya alam
masa mendatang dan berpotensi adanya kegiatan illegal loggingdalam waktu
dekat.
c. Tidak melakukan penataan batas dan kawasan hutan lindung
d. Tidak melakukan audit oleh akuntan public
e. Tidak mengikutsertakan masyarakat setempat dan mengabaikan potensi
konflik dengan lahan masyarakat dalam penataan areal kerja di lapangan.
2.4.3. Korelasi Tindak Pidana Korupsi Dengan TPPU
Deskripsi tentang penyebab korupsi mutlak diketahui agar memudahkan
kita dalam merumuskan kebijakan dan strategi-strategi pencegahan dan
penanggulangannya sehingga upaya tersebut dapat dilaksanakan secara tepat
sasaran dan berhasil guna secara optimal.
Syed Hussein sebagaimana dikutip oleh Sudarto menjelaskan bahwa ada
dua sumber penyebab korupsi yaitu bad laws and bad man dan yang paling besar
pengaruhnya adalah bad man (manusia yang buruk perilakunya).110
Menurut Abdullah Hehamahua111
setidaknya ada delapan penyebab
korupsi di Indonesia yaitu :
1. Sistem Penyelenggaraan Negara yang Keliru
Sebagai negara yang baru merdeka atau negara yang baru berkembang
seharusnya prioritas pembangunan dibidang pendidikan. Tetapi selama
puluhan tahun mulai dari orde lama, orde baru sampai orde reformasi ini,
110
Sudarto (I), Op Cit, hlm. 152 111
Abdullah Hehamahua dalam Ermasjah Djaja, Op Cit, hlm. 49 – 51
125
pembangunan difokuskan dibidang ekonomi. Padahal setiap Negara yang baru
merdeka terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen dan tehnologi.
Konsekuensinya semua didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya
menghasilkan penyebab korupsi yang kedua.
2. Kompensasi PNS yang Rendah
Wajar saja negara yang baru merdeka tidak memiliki uang yang cukup untuk
membayar kompensasi yang tinggi kepada pegawainya. Tetapidisebabkan
prioritas pembangunan dibidang ekonomi sehingga secara fisik dan kullural
melahirkan pola konsumerisme sehingga sekilar 90% PNS melakukan KKN,
baik berupa waktu, melakukan kcgiatan pungli maupun mark upkecil-kecilan
demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi/keluarga.
3. Pejabat yang Serakah
Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti
di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant. Lahir sikap
serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan iabatarmyii
rnelakukan mark up proyek-proyek pembangunan bahkan berbisnis uengan
pengusaha baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai salah
seorang shareholder dari perusahaan tersebut.
4. Law Enforcement Tidak Berjalan
Disebabkan para pejabatnya serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang
tidak cukup maka boleh dibilang penegakan hukum tidak berjalan hampir di
seluruh lini kehidupan baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga
kemasyarakatan karena segala esuatu diukur dengan uang. Lahirlah kebiasaan
126
plesetan kata seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), Tin (Ten Persen),
Ketuhanan Yang Maha Kuasa (Keuangan Yang Maha Kuasa) dan sebagainya.
5. Hukuman yang Ringan Terhadap Koruptor
Disebabkan law enforcementtidak berjalan karena aparat penegak hukum bisa
dibayar mulai dari polisi, jaksa, hakim dan pengacara, maka hukuman yang
dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan sehinggatidak menimbulkan
efek jera bagi koruptor. Bahkan tidak menimbulkan rasa takut pada
masyarakat sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.
6. Pengawasan yang Tidak Efektif
Dalam sistem manajemen yang modern selaiu ada instrumen yang disebut
internal controlyang bersifat in build dalam seliap unit kerja sehingga sekecil
apapun penyimpangan akan terdeteksi scjak dini dan secara otomatis pula
dilakukan perbaikan. Internal control disetiap unit tidak berfungsi karena
pejabat atau pegawai terkait ber-KKN. Konon untuk mengatasinya
dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bcrtugas melakukan internal audit.
Malangnya, system besar yang disebutkan dalam butir 1 di atas, tidak
mengalami perubahan, sehingga Irjendan Bawasdapun turut bergotong royong
dalam menyuburkan KKN.
7. Tidak Ada Keteladanan Pemimpin
Ketika resesi ekonomi pada tahun 1977, keadaan perekonomian Indonesia
sedikit lebih baik dari Thailand. Namun pemimpin di Thailand memberi
contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan
perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan materil dari anggota
127
masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relative singkat, Thailand telah
mengalami recoveryekonominya. Di Indonesia tidak ada pemimpin yang
dapat dijadikan teladan, maka bukan saja perekonomian negara yang belum
recoverybahkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara makin mendekati
jurang kehancuran.
8. Budaya Masyarakat yang Kondusif KKN
Dalam negara agraris seperti Indonesia, masyarakat cenderung paternalistik.
Dengan demikian mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari -
mengurus KTP, SIM, SINK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau
universitas, melamar kerja dan lain-lain, karena meniru apa yang dilakukan
oleh pejabat, elit politik, lokoh masyarakat, pemuka agama, yang oleh
masyarakat diyakini sebagaiperbuatan yang tidak salah.
Surachmin dan Suhandi Cahaya mengemukakan bahwa faktorpenyebab
korupsi sangat beragam dan saling mengait antara penyebab yang satu dengan
penyebab yang lainnya dan merupakan lingkaran setan yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lainnya serta sulit untuk dicari penyebab mana yang memicu
terlebih dahulu. Faktor penyebab tersebut yaitu :
1. Sifat tamak dan keserakahan
2. Ketimpangan penghasilan sesama pegawai negeri / pejabat negara
3. Gaya hidup konsumtif
4. Penghasilan yang tidak memadai
5. Kurang adanya keteladanan dari pimpinan
6. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
128
7. Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
8. Kelemahan sistem pengendalian manajemen
9. Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam organisasi
10. Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat
11. Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi
adalah masyarakat sendiri
12. Moral yang lemah
13. Kebutuhan hidup yang mendesak
14. Malas atau tidak mau bekerja keras
15. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar
16. Lemahnya penegakan hukum
17. Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi
18. Kurang atau tidak ada pengendalian112
.
Masyarakat Transparansi Internasional menemukan pilarpenyebab korupsi
di Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Absennya kemauan politik pemerintah.
2. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintahan.
3. Dominannya peranan militer dalam bidang politik
4. Politisasi birokrasi
5. Tidak independennya lembaga pengawas
6. Kurang berfungsinya parlemen
112
Surachmin dan Suhandi Cahaya, 2011, Strategi & Teknik Korupsi,Penerbit Sinar
Grafika, Cet 2. Jakarta, hlm. 91-106.
129
7. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil
8. Kurang bebasnya media massa
9. Opportunismenya sektor swasta.113
Menurut Baharuddin Lopa terdapat sebelas penyebab terjadinya
TIPIKORyaitu:
1. Kerusakan moral;
2. Kelemahan sistem;
3. Kerawanari kondisi sosial ekonomi;
4. Ketidaktegasan dalam penindakan hukum;
5. Seringnya pejabat meminta sumbangan kepada pengusaha-pengusaha;
6. Pungli;
7. Kekuranganpengertiantentang IIPIKOR;
8. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang serba tertutup;
9. Masih perlunya peningkatan mekanisme kontrol oleh DPR;
10. Masih lemahnya peraturan perundang-undangan yang ada;
11. Gabungan dari sejumlah faktor penyebab.114
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan tahunan 2012 (hal.
2) menyebutkan : "Tetapi, setidaknya ada empat hal yang membuat mereka nekad
"menggarong" uang rakyat. Apa itu? " Pertama, ada semacam mitos bahwa jujur
hancur. Menjadi pejabat negara, jika jujur akan hancur. Toh, orang yang jujur
sudah bukan musim lagi. Kedua, kesempatan, selama ada kesempatan, mengapa
113
Ibid, hal. 107 114
Baharuddin Lopa, 1977, Masalah Korupsi dan Pemecahannya, Kipas Putih
Aksara,Jakarta, hlm.171-172.
130
tidak diambil, kesempatan bisa diciptakan. Ketiga aji mumpung. Jadi pejabat itu
tidak mudah, belum tentu terulang lagi. Mumpung punya kekuasaan, ya apa
salahnya sckadar membasahi paruh burung. Keempat, untuk memuaskan
dahagakehormatan: karena harta adalah kehormatan. Inilah yang membuat orang
gila kehormatan, dan celakanya sudah mahfum khalayak menganggap orang
terhormat bukan moralnya. bukan budi pekertinya, bukan perilakunya, tetapi
kekayaan".
Menurut Jack Bologne faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya korupsi adalah faktor GONE sebagai berikut :
a. Greeds(keserakahan) yang berkaitan dengan adanya perilaku serakahyang
secara potensial ada dalam diri setiap orang;
b. Opportunities(kesempatan) yang berkaitan dengan keadaan organisasi,
instansi afau masyarakat sehingga kesempatan bagi seseoranguntuk
melakukan korupsi;
c. Needs(kebutuhan) yang terkait dengan faktor kebutuhan individu
gunamenunjang hidupnya yang layak; dan
d. Exposures(pengungkapan) yaitu factor yang berkaitan dengan tindakan,
konsekuensi atau resiko yang akan dihadapi oleh pelakuapabila yang
bersangkutan terungkap melakukan korupsi115
Berdasarkan hasil penelitiannya, BPKP mengidentifikasi beberapaaspek
penyebab korupsi sebagai berikut:
1. Aspek Individu Pelaku Korupsi
Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi
dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat puladikatakan sebagai
keinginan, niat atau kesadarannya untuk melakukan korupsi. Sebab-sebab
seseorang terdorong untuk melakukan korupsi antara lain karena :
115
Dyatmiko Soemodihardjo, 2008, Mencegah dan Memberantas Korupsi Mencermati
Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hlm. 153-154.
131
a. Sifat tamak manusia;
b. Moral yang kurang kuat menghadapi godaan;
c. Penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar;
d. Kebutuhan hidup yang mendesak;
e. Gaya hidup konsumtif;
f. Malas atau tidak mau bekerja keras;
g. Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar
2. Aspek Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah Organisasi dalam artian yang luastermasuk
dalam pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasiyang menjadi
korban korupsi atau di mana korupsi terjadi biasanyamemberi andil
terjadinya korupsi karena membuka peluang ataukesempatan untuk
terjadinya korupsi. Bilamana Organisasi tersebuttidak membuka peluang
sedikitpun bagi seseorang untuk melakukankorupsi maka korupsi itu tidak
akan terjadi.
a. Kurang adanya teladan dari pemimpin;
b. Tidak adanya kultur Organisasi yang benar;
c. System akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai;
d. Kelemahan sistem pengendalian manajemen;
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organ isasinya.
3. Aspek Masyarakat Tempat Individu dan Organisasi Berada
132
a. Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya
korupsi;
b. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan olehsetiap
praktek korupsi adalah masyarakat sendiri;
c. Masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri terlibatdalam
setiap praktek korupsi;
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa tindakan preventif
danpemberantasan korupsi hanya akan berhasil kalau masyarakat ikutaktif
melakukannya;
e. Generasi muda Indonesia dihadapkan dengan praktek korupsi
sejakdilahirkan;
f. Penyalah-artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsaIndonesia.
4. Aspek Peraturan Perundang-undangan
Korupsi mudah timbul karena kelemahan di dalam perundang-
undangan. yang mencakup :
a. Adanya peraturan perundang-undangan yang monopolistik yanghanya
menguntungkan pihak tertentu;
b. Kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai;
c. Tidak efektimya Judicial Review oleh Mahkamah Agung;
d. Peraturan kurang disosialisasikan;
e. Sanksi terlalu ringan;
f. Penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu;
g. Lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.
133
Menurut Arya Maheka116
ada beberapa penyebab terjadinya korupsi
yaitii sebagai berikut :
a. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagaimake-up
politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap bergantipemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang, takut dianggap bodoh kalautidak
menggunakan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang anti korupsi system dan pedoman antikorupsi
hanya dilakukan sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pendapatan
yangdiperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan hidup
penyelenggaranegara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasidan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
e. Kemiskinan, keserakahan : Masyarakat kurang mampu melakukankorupsi
karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yangberkecukupan
melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puasdan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan keuntungan.
f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah dari pada keuntungankorupsi,
saat tertangkap bias menyuap penegak hukum sehinggadibebaskan atau
setidaknya diringankan hukumarmya. Rumusnya : Keuntungan korupsi lebih
besar dari pada kerugian bila tertangkap.
116
Arya Maheka, Mengenali & Memberantas Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi,
Jakarta, tanpa tahun, hlm. 23-24.
134
h. Budaya permisif / serba membolehkan; tidak mau tahu, menganggap biasa
bila ada korupsi karena sering terjadi. Tidak peduli dengan orang lain asal
kepentingannya sendiri terpenuhi.
i. Gagalnya pendidikan agama dan etika.
Ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal
menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama hanya
menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah
saja, sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial.
Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar
dalam konteks kehidupan social dibandingkan institusi lainnya. Sebab agama
memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika
diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki agama bias
menyadarkan umat bahwa korupsi bias membawa dampak yang sangat buruk.
Mengkritisi berbagai pendapat di atas menurut penulis, faktor penyebab
korupsi dapat dikelompok atas faktor penyebab yang bersumber dari diri pelaku,
faktor yang bersumber dari lingkungan/organisasi tempat pelaku bekerja, faktor
yang bersumber dari masyarakat dan faktor yang bersumberdari aparat penegak
hukum serta faktor yang bersumber dari peraturan perundang-undangan.