Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

17
ANALISIS MUATAN HUKUM ADAT DALAM PERATURAN PERUNDANGAN NASIONAL: 1. UUD’45 : (1) Pasal 18 B (2) : negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI, yang diatur dalam UU Mengenai istilah ‘masyarakat hukum adat menurut penjelasan UUD’45 dinyatakan bahwa: dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen (‘wilayah yang mengatur dirinya sendiri’ atau swatantra) dan volksgemeenschappen (‘masyarakat adat’), seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut. Kedua istilah berbahasa Belanda di atas, dapat diartikan sebagai ‘wilayah yang memiliki sistem pemerintahan mandiri’ dan ‘sistem pemerintahan oleh rakyat atau masyarakat adat’ – dengan demikian, setidaknya ada beberapa komponen penting yang termuat di sana yang dikategorikan sebagai “masyarakat hukum adat”, yakni: a) adanya sistem pemeritahan setempat yang mandiri, b) lingkup wilayahnya sendiri, c) dengan demikian memiliki struktur pemerintahan yang bersifat lokal dan sesuai dengan konteks historis masyarakatnya (karena memiliki hak-hak asal-usul 1

Transcript of Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

Page 1: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

ANALISIS MUATAN HUKUM ADAT DALAMPERATURAN PERUNDANGAN NASIONAL:

1. UUD’45 :

(1) Pasal 18 B (2) : negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI,

yang diatur dalam UU Mengenai istilah ‘masyarakat hukum adat’ menurut penjelasan UUD’45 dinyatakan bahwa: dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbesturende landschappen (‘wilayah yang mengatur dirinya sendiri’ atau swatantra) dan volksgemeenschappen (‘masyarakat adat’), seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut. Kedua istilah berbahasa Belanda di atas, dapat diartikan sebagai ‘wilayah yang memiliki sistem pemerintahan mandiri’ dan ‘sistem pemerintahan oleh rakyat atau masyarakat adat’ – dengan demikian, setidaknya ada beberapa komponen penting yang termuat di sana yang dikategorikan sebagai “masyarakat hukum adat”, yakni: a) adanya sistem pemeritahan setempat yang mandiri,

b) lingkup wilayahnya sendiri,c) dengan demikian memiliki struktur pemerintahan yang

bersifat lokal dan sesuai dengan konteks historis masyarakatnya (karena memiliki hak-hak asal-usul daerah tersebut dan ‘bersusunan asli’ dan dianggap bersifat istimewa).

Sedangkan untuk istilah ‘hak-hak tradisional’ tidaklah termuat dalam bagian penjelasan. Dalam hal ini, pengertian itu disandingkan dengan pengertian ‘masyarakat hukum adat’ tersebut, yakni masyarakat hukum adat memiliki seperangkat hak-hak tradisional yang dipertahankan secara turun-temurun, termasuk dalam mengelola SDA sekitarnya

1

Page 2: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

(2)Sementara itu, pasal di atas menggariskan adanya batasan tertentu untuk pengakuan dan penghormatan tersebut, yakni :

a) sepanjang hak-hak tradisionalnya masih hidup, b) sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan c) sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI.

Point a) terkait dengan kesinambungan hubungan masa lalu dengan masa kini, khususnya berkenaan dengan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut.

Point b) terkait dengan prospek masa depan, yakni sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Belum jelas benar, apa yang dimaksud dengan ‘perkembangan masyarakat’ – masalahnya, masyarakat Indonesia, seperti diketahui bersifat majemuk. Jadi, masyarakat yang mana yang hendak dijadikan rujukan perkembangan tersebut. Point c) berkait dengan sandaran hukum dan politik negara,

misalnya prinsip negara kesatuan, maupun Pancasila, UUD’45, dan perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3)Pasal 28 C (2) menyatakan: “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. pasal ini memang tidak secara eksplisit memuat istilah “hukum adat” atau “masyarakat hukum adat”, namun ada pengertian yang berkait dengan kedua istilah diatas, yakni “haknya secara kolektif” (namun sayangnya pengertiannya tidak dijabarkan lebih lanjut pada bagian penjelasan) hal ini sering juga disebut hak komunal, yakni hak bersama yang biasanya berkait dengan aspek kepemilikan, penguasaan atau penggunaan/pemanfaatan dan pengawasannya. Hak bersama inilah yang dijamin oleh UUD’45. Dengan demikian, (segala) hak bersama yang ada pada satuan-satuan masyarakat hukum adat-pun menjadi dijamin juga.

(4) Pasal 28 1 (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” dalam ayat ini yang digunakan adalah istilah ‘masyarakat tradisional’ dan bila mengacu kepada penjelasannya, tidak ada diuraikan.

Dalam penjelasan dinyatakan: “pasal-pasal ini mengenai kedudukan penduduk.’ Dalam penggunaan istilah yang satu ini dimaksudkan dalam cakupan yang lebih umum dibanding dengan istilah ‘masyarakat hukum adat”. Artinya, pengertian tersebut bukan hanya mencakup masyarakat (hukum) adat saja, namun juga kelompok-kelompok masyarakat lain yang sudah

2

Page 3: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

menetap di suatu tempat secara turun-temurun di suatu wilayah dan menggunakan sistem teknologi maupun organisasi sosial yang berkait dengan adat kebiasaannya. Sementara itu, penghormatan tersebut dibatasi oleh UUD’45 dengan prasyarat tertentu: a) selaras dengan perkembangan jaman, dan b) peradaban. Artinya, identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang diakui adalah yang berorientasi pada masa depan, bahkan juga yang civilized (‘ber-peradaban’). Istilah yang belakangan ini biasanya digunakan untuk nilai-nilai budaya yang mengacu kepada perkembangan masyarakat dan kebiasaannya yang mengarah pada masa depan.

2. TAP MPR No. XVII/1998 tentang Hak Asasi Manusia :

Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia yang termuat dalam TAP ini menyatakan: “Identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”

Istilah yang digunakan adalah “masyarakat tradisional” yang nampaknya digunakan dengan maksud agar cakupannya lebih luas dibanding dengan masyarakat hukum adat. Karena tidak semua masyarakat tradisional dapat digolongkan – oleh berbagai pihak – sebagai masyarakat hukum adat. Istilah penting lain juga dicantumkan dalam pasal ini, yakni “identitas budaya” – istilah ini biasanya digunakan untuk mewacanakan hal-hal tertentu yang bersifat internal (bisa nilai-nilai, sikap tindak, maupun benda-benda) yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki suatu kebudayaan. Selain itu pasal ini juga memuat istilah ‘hak atas tanah ulayat’ yang maksudnya adalah hak atas tanah komunal yang hubungannya terbentuk dan berkembang secara tradisional atau secara adat. Namun pasal ini juga memberi batasan, yakni “selaras dengan perkembangan zaman.” Artinya, hak ulayat yang sifatnya prospektif dan sesuai dengan tatanan (masa kini) yang terus berkembang-lah yang dilindungi oleh pemerintah. Namun, pengertian ‘perkembangan zaman’ memang masih perlu lebih diklarifikasi lagi.Dengan adanya penegasan ini maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati.

3. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

(a) Pada pasal 4 ayat h menyatakan : Pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan

3

Page 4: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

sesuai dengan prinsip-prinsip: (h) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

(b) Pada pasal 4 ayat j menyatakan : “Pembaruan agrarian dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: (j) mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrarian/sumber daya alam.”

Pada ayat (h) di atas menggariskan bahwa pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam) haruslah sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat. Dan, kondisi sosial-budaya setempat tentunya berkait dengan keberadaan kelompok-kelompok sosial yang hidup pada masing-masing wilayah dengan pranata sosial-budayanya sendiri. Di antara kelompok-kelompok itu biasanya terdapat masyarakat hukum adat. Dengan demikian, walaupun tidak eksplisit menyatakan bahwa pengelolaan SDA harus sesuai dengan kondisi masyarakat hukum adat di masing-masing wilayah, namun sebetulnya TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tersebut secara umum telah menggariskannya. Untuk ayat (j) secara eksplisit memang menyebut ‘masyarakat hukum adat’ yang harus diakui, dihormati, dan dilindungi haknya dalam pengelolaan SDA. TAP MPR yang ditetapkan semasa reformasi itu termasuk landasan hukum yang secara jelas-jelas mencantumkan keberadaan masyarakat hukum adat dengan cara melestarikan dan melindunginya. Pengelolaan SDA (termasuk Sumber Daya Pesisir) bila tanpa kearifan lokal, maka yang pertama-tama dirugikan adalah masyarakat adat yang ada di sekitar sumber daya tersebut. Mereka sangat tergantung pada sumber daya yang ada di sekitarnya secara turun-temurun.

4. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia.

Pasal yang menyebut tentang ‘adat’ antara lain adalah

(a) Pasal 6 ayat 1. Ayat ini menyatakan: Dalam rangka penegakan hak asasi menusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.

Penjelasannya adalah: Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam

4

Page 5: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Jadi, pasal ini menggunakan istilah ‘masyarakat hukum adat’ (yang perbedaan dan kebutuhannya dalam lingkup HAM diperhatikan dan dilindungi oleh pemerintah) yang memiliki ‘hak adat’. Bila diperhatikan dari kata ‘perbedaan’ di atas, UU ini juga menghargai kemajemukan (pluralism) pada masyarakat hukum adat. Pada bagian penjelasan UU ini memuat istilah ‘hak adat’. Hak tersebut dihormati dan dilindungi bila masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat hukum adat dengan mempertimbangkan hukum dan peraturan perundangan (negara). Jadi, hak-hak yang muncul dan berkembang secara turun-temurun tersebut tetap diakui, namun dibatasi berlakunya oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

(b) Pasal 6 ayat 2 dinyatakan : Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.

Penjelasannya menyatakan: “Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat , hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.” Ayat 2 pasal 6 ini menggunakan istilah “masyarakat hukum adat” lalu juga “identitas budaya”. Istilah identitas budaya tersebut merupakan perwujudan khas sekaligus nilai-nilai yang dimiliki, dipertahankan dan dikembangkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang membuatnya berbeda dengan satuan sosial lainnya. Dan identitas tersebut diakui keberadaannya sejauh tidak bertentangan dengan asas-asas negara hukum (biasa dikonsepkan sebagai rule of law).

(c) Pasal 9 dan pasal 15 antara lain dinyatakan: “…Dengan kata lain perlindungan, pemajuan dan penegakan hak asasi manusia di bidang budaya dan pencapaian kehidupan sejahtera masyarakat termasuk masyarakat adat menjadi kewajiban pemerintah.”

Dalam UU ini digunakan istilah “masyarakat adat” istilah masyarakat adat tentu cakupannya lebih luas dibanding dengan istilah masyarakat hukum adat. Alasannya, tidak semua lingkup kegiatan dan institusi masyarakat adat berkait dengan ‘hukum’,

5

Page 6: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

namun hampir semua hal tersebut tercakup dalam ‘adat’. Menariknya, pasal ini menggariskan bahwa perlindungan dan upaya memajukan mereka adalah menjadi tanggung-jawab pemerintah. Jadi, yang digariskan bukanlah pembatasan terhadap ‘masyarakat adat’, namun upaya mendorong (agar mereka maju) dan langgeng.

5. UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan :

(a) Pasal 6 (2) menyatakan: “Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang tidak bertentangan dengan hukum nasional.” Pasal maupun penjelasan tersebut tidak menjabarkan mengenai istilah hukum adat atau kearifan lokal, namun memberi arahan, yakni yang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Istilah hukum adat yang digunakan nampaknya sejalan dengan istilah yang lazim digunakan dalam khasanah kajian hukum adat, yakni sebagai: hukum asli masyarakat Indonesia, berakar pada adat istiadat atau merupakan pancaran nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menentukan segala pikiran dan perasaan hukum orang-orang dalam masyarakat Indonesia (Otje Salman dari Moh. Koesnoe, dikutip oleh Ronald Z.T, 2005).

(b) Pasal 52 menyatakan: “Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.”

Dalam penjelasannya tidak termuat mengenai jabaran tentang ‘kearifan tradisi/budaya lokal’ tersebut. Namun penggunaan istilah ‘budaya lokal’ ini diperkirakan cakupannya lebih luas dibanding dengan “budaya masyarakat hukum adat”.

6

Page 7: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

Masyarakat lokal, bisa saja masih sulit dikategorikan sebagai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat di suatu wilayah, namun kedatangan mereka mungkin sudah lebih dari lima atau enam generasi di sana. Mereka pun, terbuka kemungkinan sudah berinteraksi dengan pelbagai kelompok masyarakat sekitar, termasuk dengan kelompok masyarakat adat. Kearifan tradisi sendiri seringkali dibatasi sebagai bagian dari tradisi suatu masyarakat (setempat) yang dianggap berkorelasi positip dengan pelestarian dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan. Tradisi tersebut berisi pembatasan-pembatasan, arahan-arahan, maupun dorongan dan anjuran agar warga masyarakat bersangkutan menerapkannya secara turun-temurun, bersama-sama atau secara individual.

6. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air:

Pasal 6 yang menyangkut “adat”, yaitu ayat 2 dan 3.Ayat 2 berbunyi: Penguasaan sumber daya air sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

Ayat 3 menyatakan: Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.

Pada pasal 6 ayat (2) di atas dinyatakan dua istilah, yakni “hak ulayat” atau hak bersama tradisional, dan “masyarakat hukum adat”. Dalam ayat (3) penggunaan istilah itu dimunculkan kembali. Namun disebutkan hak tersebut ada bila memenuhi syarat-syarat: sepanjang kenyataannya masih ada, dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah. Dan klausul ini, di satu sisi memang bisa dianggap melindungi keberadaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, di sisi lain, bisa juga ditanggapi sebagai upaya penciptaan ketergantungan. Bila kita merujuk pada bagian penjelasan kedua ayat tersebut. Untuk ayat (2) antara lain disebutkan bahwa: yang dimaksud dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing

7

Page 8: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali;  totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di Angkola,  limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak. Untuk ayat (3) disebutkan: Pengakuan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahami bahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adat sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan.  Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu :

a. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

b. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan

c. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Namun demikian, selain adanya hak ulayat – seperti yang diuraikan di atas sebenarnya masyarakat hukum adat masih memiliki hak-hak individual yang diberikan kepada anggota-anggotanya. Kedua hak tersebut biasanya saling lengkap-melengkapi, isi-mengisi dan tidak saling bergesekan. Contoh hak individual adalah hak atas tanah keluarga tertentu yang dikuasai, ditempati dan diterimanya secara turun-temurun dari pendahulunya. Hak untuk mengambil hasil tanam yang dibudi-dayakannya juga contoh hak individual, atau bisa juga hak untuk memanen kerang hijau (atau kerang lain) yang dibudidayakan oleh keluarga tertentu di sekitar pantai.

7. UU Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintahan Daerah):

8

Page 9: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

Ada pasal-pasal tertentu yang berkait dengan keberadaan masyarakat hukum adat. Antara lain pasal 22. Pasal ini menyatakan bahwa: “Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban (m.) melestarikan nilai sosial-budaya.” Dalam bagian penjelasannya sayangnya tidak diberi keterangan lanjutan. Namun, bisa diperkirakan bahwa pengertian ‘nilai sosial-budaya’ termasuk pula perangkat nilai-nilai yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sosial yang berkebudayaan tertentu, misalnya saja kelompok masyarakat hukum adat. Masyarakat tersebut memiliki seperangkat nilai-nilai yang dikembangkan secara generasi demi generasi dan yang menjadi acuan kehidupannya sehari-hari. Pasal lain yang berkait dengan ‘adat’ adalah: pasal 1 ayat 12, dinyatakan: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dalam bagian penjelasannya dinyatakan: “Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.” Dari pasal dan penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat pun diakui keberadaannya oleh pemerintah. Pasal dan penjelasan tersebut, juga menyatakan adanya ‘batas-batas wilayah yuridiksi,’ lalu “asal-usul’ dan ‘adat-istiadat’ yang merupakan ciri-ciri penting adanya masyarakat hukum adat. Hanya saja pasal tersebut (maupun penjelasannya) tidak secara eksplisit menggunakan istilah ‘masyarakat hukum adat’. Lalu pada bagian lain dari penjelasannya, juga disebutkan hal-hal penting lainnya, yakni: diakuinya ‘keanekargaman’ (sehingga bersifat majemuk), dan ‘otonomi asli’ yakni otonomi (hak untuk mengatur dirinya sendiri) yang berasal, muncul dan berkembangnya suatu kesatuan masyarakat tertentu di suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, bila di suatu wilayah terdapat dua atau lebih masyarakat hukum

9

Page 10: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

adat, maka konsekuensinya kesemuanya diakui, dan dilindungi keberadaannya. Sementara itu, partisipasi mereka (dalam pembangunan) juga menjadi hal menonjol yang dikemukakan oleh pasal dan penjelasan tersebut di atas. Artinya, masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat yang ada (di suatu wilayah, misalnya) dibutuhkan partisipasinya oleh pemerintah (sebagai semacam kewajiban), sekaligus partisipasi tersebut telah menjadi semacam hak bagi masing-masing masyarakat. Pada sisi tertentu, aspek partisipasi ini menjadi semacam pertanda bagi keberadaan masyarakat hukum adat tersebut dalam konstalasi masyarakat Indonesia.

8. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Pasal 5 ayat 3 menyatakan: “Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.

Pada pasal 32 ayat 2 dijelaskan sebagai berikut: “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.” Namun tidak diuraikan lebih lanjut tentang pengertian “masyarakat adat” tersebut.

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 05 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

PerMen ini menyangkut aspek pertanahan, namun karena cakupan pengertian pesisir juga sebagiannya berupa ‘tanah’ (daratan), maka PerMen bisa dijadikan salah satu rujukan. Dalam pasal 1 diuraikan mengenai batasan (resmi) Masyarakat Hukum Adat, yakni: “sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.”

10

Page 11: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

Dengan demikian, ciri Masyarakat Hukum Adat adalah: a) sekelompok orang, b) ada tatanan hukum yang mengikat, dan c) sebagai suatu persekutuan hukum, d) adanya kesamaan tempat tinggal, atau e) adanya dasar keturunan (yang sama). Sedangkan hak ulayat dijabarkan sebagai: “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”Jadi ciri hak ulayat adalah: a) kewenangan menurut hukum adat, b) dimiliki oleh masyarakat hukum adat, c) atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup warganya, d) (ditujukan) bagi kelangsungan hidup masyarakatnya. Hak bersama yang diperuntukan untuk masyarakat adat tersebut adanya diatur, dilindungi, dan dilingkupi oleh hukum adatnya.

10. Kovensi ILO No 169 Tahun 1986 menyatakan: “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut.

Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.” Jadi, ada beberapa ciri masyarakat adat menurut Konvensi ILO tersebut, yaitu:a) sekelompok orang, b) memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa penjajahan,

11

Page 12: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

c) menganggap dirinya berbeda dengan komunitas lain,d) mereka bukan merupakan bagian yang dominan, dan e) bertujuan untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan

daerah leluhur dan identitas etniknya. Beberapa hal yang termuat dalam kovensi tersebut dapat dimanfaatkan dalam melengkapi batasan masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, yakni adanya jejak sejarah dengan masa prapenjajahan, dan mereka bukan bagian yang dominan (dalam masyarakat yang lebih besar).

11. Selain peraturan perundang-undangan di atas, Bank Dunia (2001)1 pernah memberi batasan tentang ‘masyarakat adat ’ yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a) keterkaitan yang kuat dengan wilayah leluhur serta sumber-

sumber daya yang ada di dalamnya; b) terdapat lembaga-lembaga politik dan sosial adat; c) sistem perekonomiannya terutama berorientasi pada

produksi subsisten; d) memiliki bahasa lokal; e) menyatakan diri atau dinyatakan oleh pihak lain sebagai suatu

kelompok adat yang berbeda.

KESIMPULAN:a) beberapa peraturan perundangan pada umumya lebih

memilih menggunakan istilah “masyarakat hukum adat” dibanding dengan ‘masyarakat adat’. Misalnya saja UUD’45 dan TAP MPR No. 9/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, lalu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Istilah ‘masyarakat hukum adat’ dicirikan sebagai: a) adanya sistem pemeritahan setempat yang mandiri, b) lingkup wilayahnya sendiri, c) dengan demikian memiliki struktur pemerintahan yang bersifat lokal dan sesuai dengan konteks historis masyarakatnya (karena memiliki hak-hak asal-usul daerah tersebut dan ‘bersusunan asli’ dan dianggap bersifat istimewa). Walau keberadaan ‘masyarakat hukum adat’ diakui, namun ada beberapa batasan yang dicanangkan, yakni: a) sepanjang hak-hak tradisionalnya masih hidup, b) sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan c) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan RI.

1 Panduan Operasi Bank Dunia, Kebijakan Operasional. Rancangan KO 4.10, 23 Maret 2001. (6 halaman).

12

Page 13: Analisis Muatan Hukum Adat Dalam Peraturan Perundangan Nasional

b) Sementara, istilah yang lain yang digunakan sebagai pendamping dari istilah ‘masyarakat hukum adat’ adalah: hukum adat. Walau tidak ada jabaran resmi yang lengkap, namun batasannya bisa ditelusuri lewat tulisan para ahli. Salah satunya adalah sebagai berikut: hukum asli masyarakat Indonesia, berakar pada adat istiadat atau merupakan pancaran nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menentukan segala pikiran dan perasaan hukum orang-orang dalam masyarakat Indonesia (Otje Salman dari Moh. Koesnoe, dikutip oleh Ronald Z.T, 2005). Oleh UUD’45 pengakuan atas hukum adat (atau disebut sebagai hak masyarakat tradisional) diberi batas sebagai berikut: a) selaras dengan perkembangan jaman, dan b) peradaban.

c) Istilah yang berkait dengan masyarakat hukum adat dan hukum adat-nya adalah: ‘hak ulayat’. Batasannya memang beragam, tapi salah satu arahannya adalah sebagai berikut: hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat, misalnya: tanah wilayah pertuanan di Ambon; panyam peto atau pewatasan di Kalimantan; wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali;  totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di Angkola,  limpo di Sulawesi Selatan, muru di Pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak. Sedangkan hak ulayat dijabarkan sebagai: “kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.”

d) Berbagai pembatasan yang diberlakukan oleh beberapa peraturan perundangan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat maupun hukum adat, bisa dilihat dalam dua sisi: (1) sebagai upaya untuk mempertegas dan mengukuhkan pengakuan mereka, (2) namun bisa juga ditanggapi sebagai upaya untuk membatasi keberadaan mereka.

13