ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia...

87
ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS INDONESIA DALAM MENGHADAPI PASAR ASEAN ISVENTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Transcript of ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia...

Page 1: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PASAR ASEAN

ISVENTINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

Page 2: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian
Page 3: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing

Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015

Isventina

NIM. H151137334

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait

Page 4: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

RINGKASAN

ISVENTINA. Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan M. PARULIAN HUTAGAOL.

Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global sehingga hubungan suatu negara dengan negara lainnya menjadi semakin terbuka. Indonesia terlibat aktif dalam perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World

Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation

(APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ASEAN lainnya juga sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA). Pembentukan AFTA mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara anggota ASEAN dan sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia. Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor industri prioritas yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN, antara lain industri Makanan dan Minuman, industri Tekstil, industri Pakaian Jadi, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Logam Dasar, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia dalam menghadapi pasar ASEAN sebagai dasar menentukan strategi-strategi yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Metode yang digunakan meliputi Revealed Comparative Advantage (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian adalah pada tahun 2001-2013 dan variabel-variabel yang digunakan, antara lain harga ekspor, produktivitas tenaga kerja, penambahan modal tetap dan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

Berdasarkan perhitungan tingkat daya saing dengan menggunakan RCA, menunjukkan bahwa sektor industri prioritas Indonesia berdaya saing (RCA>1) di pasar ASEAN, kecuali industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Hal tersebut mengartikan bahwa Indonesia mempunyai keunggulan komparatif pada sebagian besar sektor industri prioritasnya, sehingga dapat digunakan untuk mendukung strategi pemerintah guna memperluas pasar industri nasional ke kawasan ASEAN. Sedangkan dari hasil analisis regresi data panel, menunjukkan bahwa harga ekspor merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Dalam hal ini, harga ekspor merupakan refleksi dari biaya produksi, dimana biaya produksi merupakan harga pembelian input oleh perusahaan eksportir untuk menghasilkan outputnya. Dengan demikian, tingginya biaya produksi menandakan bahwa harga pembelian input oleh perusahaan eksportir juga tinggi, sehingga harga ekspornya pun tinggi. Karena esensi daya

Page 5: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

saing adalah biaya yang relatif rendah, maka tingginya harga ekspor menunjukkan daya saingnya yang semakin menurun. Faktor yang berpengaruh lainnya adalah nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dan produktivitas tenaga kerja. Depresiasi Rupiah dapat mendorong pertumbuhan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing. Sementara itu, adanya pengembangan SDM menjadikan kebijakan industri yang awalnya berbasis buruh murah dan sumber daya alam dapat dikembangkan menjadi industri berbasis produktivitas yang didukung oleh SDM berkualitas serta ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi. Di sisi lain, variabel penambahan modal tetap tidak berpengaruh terhadap daya saing sektor industri prioritas. Hal ini disebabkan karena dampak terhadap peningkatan daya saing dari adanya penambahan modal tetap pada tahun tertentu tidak langsung dirasakan pada tahun tersebut, melainkan akan dirasakan pada beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, berdasarkan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode RCA dan regresi data panel, upaya peningkatan daya saing sektor industri prioritas Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah mengembangkan industri hulu dan industri antara berbasis sumber daya alam serta mengendalikan ekspor bahan mentah, mengembangkan SDM pelaku industri pada sektor industri prioritas Indonesia dengan pelatihan dan kegiatan inovasi, mengembangkan industri hilir serta peningkatan nilai tambah produk pada industri prioritas melalui kegiatan diversifikasi produk serta meningkatkan pola kerjasama dengan produsen negara lain di kawasan ASEAN melalui promosi sehingga dapat mendukung kegiatan diversifikasi pasar tujuan ekspor untuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia ke arah yang lebih prospektif. Kata kunci: Integrasi ASEAN, Industri Manufaktur, Daya Saing, Analisis Data

Panel

Page 6: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

SUMMARY

ISVENTINA. Competitiveness of Indonesian Priority Industrial Sector in Facing the ASEAN Market. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and M. PARULIAN HUTAGAOL.

Economic globalization is a process whereby the countries directly involved in global economic activities so that relations with other countries to become more open. Indonesia participated in the current free trade agreement to sign the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) which produces the formation of the World Trade Organization (WTO) and the declaration of the Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Not less important, Indonesia with other ASEAN countries also agreed to establish the ASEAN free trade asean, namely ASEAN Free Trade Area (AFTA). The formation of AFTA inaugurated the establishment of an ASEAN single market which the object is to create the integrated between ASEAN members and the target is to increase ASEAN economic competitiveness as the product based to face the global market competition. A number of steps to increase the competitiveness conducted by the Indonesia government towards the priority industrial sectors that is considered strategic liberalized toward an ASEAN single market, among the textile industry and textile products, leather and leather goods (footwear), furniture industry, the food and beverage industry, chemical industry and goods from chemicals, industrial machinery and equipment, as well as the basic metal industry. Base on that, so this study aimedto analyze the factorsthat influence competitiveness of Indonesia’s priority industrial sectors in facing the ASEAN market by using Revealed Comparative Advantage (RCA) and panel data as a background to formulated several strategies are expected to boost the competitiveness of Indonesia’s priority industrial sectors. This research used data available between 2001 and 2013. It also used several variables including the export price, labor productivity, fixed capital and riil exchange rate.

Based on the calculation of the level of competitiveness by using RCA, showed that the Indonesia's priority industrial sectors have strong competitive (RCA>1) in the ASEAN market, except for the chemical industry and machinery and equipment industry. That is, Indonesia has a comparative advantage in most of the priority industrial sectors, so that it can be used to support the government's strategy to expand the national industrial market to the ASEAN region. While the results of the panel data analysis showed that the export price is the most influential factor for the competitiveness of priority industrial sectors in Indonesia. In this case, the export price is a reflection of the production cost, where production cost is the purchase price of inputs by exporting companies to produce output. Thus, the high of production cost indicates that the purchase price of inputs by exporting companies is also high, so that the export price was high. Because the essence of competitiveness is relatively low cost, the high export prices showed a decreasing competitiveness. Other factors that affect are the real exchange rate and labor productivity. Rupiah depreciation can encourage the growth of exports, which in turn can improve competitiveness. Meanwhile, the development of human resources that make industrial policy was originally based on cheap labor and natural resources can be developed into a productivity-based

Page 7: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

industries are supported by qualified human resources as well as science and high technology. On the other hand, the addition of variable fixed capital does not affect the competitiveness of priority industrial sectors. This is because the impact of the increased competitiveness of the addition of fixed capital in a given year is not directly felt in the year, but will be felt in the next few years. Thus, based on descriptive qualitative and quantitative using RCA and panel data, the strategy can be formulated to improve the competitiveness of the priority industrial sectors, including developing the upstream industry and among industry based on natural resources and the control of exports of raw materials, develop human resources industry players in the Indonesia’s priority industrial sectors with training and innovation activities, developing downstream industries as well as the increase in value-added products in the priority industrial sectors through product diversification and improve the pattern of cooperation with the manufacturers of other countries in the ASEAN region through the promotion so as to support the diversification of export markets for products produced by the Indonesian priority industrial sectors towards a more prospective. Keywords: ASEAN Integration, Manufacturing Industry, Competitiveness, Panel

Data Analysis

Page 8: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 9: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PASAR ASEAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

ISVENTINA

Page 10: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Tanti Novianti, SP, M.Si

Page 11: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian
Page 12: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian
Page 13: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan karunia-

Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian dengan tema perdagangan internasional yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini berjudul “Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu demi terselesaikannya penelitian ini. Apresiasi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan salama proses penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami, orang tua dan kakak-kakak tercinta yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah, baik kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2, maupun kelas regular yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2015

Isventina

Page 14: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian
Page 15: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN viii 1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 9 Konsep dan Teori Perdagangan 9 Konsep Perdagangan Indonesia serta Hubungannya dengan Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Saing 9 Konsep Perdagangan Internasional 10 Integrasi Ekonomi 12 Konsep Daya Saing 15 Pengukuran Daya Saing 18 Penelitian Terdahulu 19 Kerangka Pemikiran 21 Hipotesis Penelitian 23

3 METODE PENELITIAN 25 Jenis dan Sumber Data 25 Metode Analisis 25 Revealed Comparative Advantage (RCA) 25 Model Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia 26 Metode Data Panel 28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 Daya Saing Industri Prioritas Indonesia di Pasar ASEAN Berdasarkan Metode RCA 33

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Sektor Industri Prioritas 38 Analisis Kebijakan Peningkatan Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia 50

5 SIMPULAN DAN SARAN 55 Simpulan 55 Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 61

RIWAYAT HIDUP 71

Page 16: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

DAFTAR TABEL

1 Presentase penyerapan tenaga kerja setiap lapangan usaha (persen) 3 2 Peringkat daya saing industri manufaktur negara-negara ASEAN tahun

2002-2012 4 3 Nilai RCA rata-rata sektor industri prioritas negara-negara ASEAN

tahun 2001-2013 33 4 Matriks korelasi antar variabel bebas pada Fixed Effect Model 41 5 Hasil etimasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor

industri prioritas Indonesia 42 6 Nilai intercept pada masing-masing sektor industri prioritas Indonesia 50

DAFTAR GAMBAR

1 Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 2010-2014 2

2 Jumlah produksi optimum 11 3 Trade creation dan trade diversion pada integrasi ekonomi 14 4 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro 15 5 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat mikro 16 6 Kerangka pemikiran konseptual 22 7 Kriteria pengujian autokorelasi dengan Durbin Watson 29 8 Deteksi normalitas pada Fixed Effect Model 40 9 Plot residual pada Fixed Effect Model 40

10 Ekspor sektor industri prioritas Indonesia ke kawasan ASEAN tahun 2005-2013 43

11 Rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor industri prioritas Indonesia tahun 2001-2013 45

12 Persentase rata-rata impor bahan baku pada sektor industri prioritas Indonesia tahun 2001-2013 53

DAFTAR LAMPIRAN

1 Industri-industri pada sektor manufaktur berdasarkan kategori KBLI digit 2 61

2 Ekspor dan impor industri prioritas Indonesia ke negara-negara ASEAN tahun 2005–2013 62

3 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Indonesia dan Kamboja 63 4 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Philipina dan Malaysia 64 5 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Singapura, Thailand dan

Vietnam 65 6 Uji chow dan uji hausman 66 7 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square tanpa

pembobotan 67 8 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square

dengan pembobotan 68 9 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Fixed Effect 69

10 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Random Effect 70

Page 17: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi global sehingga, hubungan suatu negara dengan negara lainnya menjadi semakin terbuka (Tambunan 2004). Hal ini telah meningkatkan hubungan saling ketergantungan ekonomi sekaligus persaingan antar negara. Liberalisasi perdagangan dunia ditandai dengan semakin cepatnya aliran barang dan jasa antar negara serta semakin berkembangnya sistem inovasi teknologi informasi, perdagangan, reformasi politik, transnasionalisasi sistem keuangan dan investasi. Indonesia mengikuti arus perdagangan bebas internasional dengan menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menghasilkan pembentukan World Trade Organization (WTO) dan deklarasi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) tentang sistem perdagangan bebas dan investasi yang berlaku penuh pada tahun 2010 untuk negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang.

Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama-sama negara-negara di kawasan ASEAN lainnya juga sepakat membentuk perdagangan bebas ASEAN, yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA secara resmi diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2003 pada negara ASEAN-6 (Indonesia, Philipina, Thailand, Singapura, Brunei dan Malaysia) dan negara ASEAN-4 (Vietnam mulai diberlakukan pada tahun 2006, Laos dan Myanmar pada tahun 2008, Kamboja pada tahun 2010). Dengan diberlakukannya AFTA ini, maka negara-negara anggota harus menurunkan pengenaan tarif impor intra ASEAN menjadi 5-0 persen bagi barang-barang yang dimasukkan ke dalam Daftar Inklusi (Inclusive

List) dan telah memenuhi ketentuan tentang kandungan produk ASEAN. Pada akhirnya, keseluruhan tarif ini dihapuskan sama sekali (menjadi 0 persen) untuk negara ASEAN-6 pada tahun 2010 dan bagi negara ASEAN-4 pada tahun 2015, sehingga akan tercipta kawasan perdagangan regional AsiaTenggara yang benar-benar bebas bagi para anggota ASEAN.

Pembentukan AFTA mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara anggota ASEAN dan sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia, sehingga kegiatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing negara anggota. Dengan menghilangkan hambatan tarif inter-regional di kawasan ASEAN, daya saing negara-negara ASEAN diharapkan lebih kompetitif sehingga rasio volume perdagangan ASEAN maupun dunia semakin meningkat (Istifadah 2012).

Saat ini AFTA telah bertransformasi menuju sebuah kawasan yang lebih terintegrasi berupa Masyarakat Ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic

Community (MEA/AEC). Adanya AEC diharapkan akan menciptakan suatu kawasan ASEAN yang stabil, makmur dan berdaya saing tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang berimbang serta berkurangnya kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Selain itu, diharapkan dapat terbentuk integrasi ekonomi yang menjanjikan, peningkatan kesejahteraan melalui pembukaan akses

Page 18: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

2

pasar yang lebih besar, dorongan mencapai efisiensi dan daya saing ekonomi yang lebih tinggi, serta terbukanya peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih luas.

Perwujudan AEC tersebut menempatkan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia. Hal ini dapat mendorong pembukaan dan pembentukan pasar yang lebih besar, peningkatan efisensi dan daya saing, serta pembukaan peluang penyerapan tenaga kerja di kawasan ASEAN. Namun, apakah liberalisasi ASEAN selama ini telah meningkatkan daya saing dan keterkaitan industri antara Indonesia dengan negara ASEAN lainnya masih harus diteliti lebih lanjut.

Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN dan berbasis produksi. Salah satunya adalah sektor industri manufaktur1 . Seiring dengan terjadinya proses industrialisasi, peranan sektor industri manufaktur terhadap perekonomian semakin besar. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2015

Gambar 1 Kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia tahun 2010-2014

Meningkatnya peranan sektor industri manufaktur terhadap perekonomian

Indonesia juga dapat dilihat dari nilai ekspornya yang cenderung meningkat beberapa tahun ini, khususnya yang ke kawasan ASEAN, yaitu dari 23,992 miliar USD di tahun 2010 menjadi 28,968 miliar USD di tahun 2011 dan 28,444 miliar USD di tahun 2012. Namun, sempat mengalami penurunan di tahun 2013 menjadi 27,992 miliar USD2. Penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga BBM ditengarai menjadi penyebab penurunan ekspor manufaktur Indonesia ke ASEAN pada tahun 20133.

Selain kontribusinya terhadap PDB dan peningkatan ekspor nasional, industri manufaktur juga merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data BPS (2015), jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur pada tahun 2014 adalah sebesar 15.25 juta orang.

1Kementerian Perdagangan RI. Menuju ASEAN Economic Community 2015 2World Integrated Trade Solution (WITS) Data, 2015

3 Kemenperin. http://www.kemenperin.go.id/artikel/7356/Pemerintah-Tingkatkan-Kinerja-Ekspor-Industri-Manufaktur (diakses 9 Januari 2015)

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

2010 2011 2012 2013 2014

Mili

ar R

up

iah

Page 19: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

3

Jumlah ini meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 14.96 juta orang di tahun 2013 dan 14.39 juta orang di tahun 2012. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur sejak tahun 2009 hingga 2013 mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 0.40 persen per tahun. Namun, penyerapan tenaga kerja di sektor ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja di sektor lainnya, seperti sektor pertanian dan sektor jasa (Tabel 1). Meskipun demikian, perkembangan sektor industri manufaktur merupakan yang tercepat dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Alasannya adalah karena sektor industri memerlukan input dari sektor lain dan outputnya banyak digunakan oleh sektor lain (Utama 2010).

Tabel 1 Persentase penyerapan tenaga kerja setiap lapangan usaha (persen)

Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan 40.66 39.46 36.19 35.33 34.78 Pertambangan dan Penggalian 1.12 1.17 1.35 1.42 1.27 Industri Pengolahan 11.69 12.30 13.44 13.82 13.27 Listri, Gas dan Air 0.23 0.22 0.22 0.22 0.27 Konstruksi 5.08 5.01 5.85 6.08 5.63 Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi 20.64 20.46 20.87 20.88 21.38 Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 5.76 5.01 4.70 4.48 4.52 Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan 1.34 1.52 2.39 2.38 2.57 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 13.49 14.87 14.99 15.38 16.36

Sumber: BPS 2015

Perumusan Masalah

Menjelang AEC-2015 persaingan di antara negara-negara ASEAN akan semakin ketat dalam memperebutkan peluang dalam pasar ASEAN. Jika tidak mampu bersaing, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta jiwa berpotensi dibanjiri produk-produk dari negara ASEAN lainnya. Sebaliknya, bila industri nasional mampu bersaing dalam pasar ASEAN, maka akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam memanfaatkan pasar tunggal ASEAN adalah daya saing Indonesia yang masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Hal ini dapat ditunjukkan dari data International Institute for Management Development/IMD (2014) yang menunjukkan bahwa peringkat daya saing industri Indonesia cenderung menempati peringkat paling bawah di antara beberapa negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Philipina. Bahkan Indonesia sempat menduduki posisi daya saing industri terendah di ASEAN, yaitu pada tahun 2007 dengan peringkat ke-54. Sementara untuk negara Malaysia, Thailand dan Philipina memiliki daya saing industri yang relatif stabil (Tabel 2).

Page 20: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

4

Tabel 2 Peringkat daya saing industri manufaktur negara-negara ASEAN tahun 2002-2012

No. Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 1 Singapura 8 4 2 3 3 2 2 3 1 3 4 2 Malaysia 24 21 16 25 22 23 19 18 10 16 14 3 Thailand 31 28 26 25 29 33 27 26 26 27 30 4 Indonesia 47 49 49 50 52 54 51 42 35 37 37 5 Philipina 40 41 43 40 42 45 40 43 39 41 43

Sumber: IMD World Competitiveness 2014

Menurut catatan IMD, rendahnya kondisi daya saing industri Indonesia, disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional dalam 4 (empat) hal pokok, yaitu: pertama, buruknya kinerja perekonomian nasional yang tercermin dalam kinerja di perdagangan internasional, investasi, ketenagakerjaan, dan stabilitas harga. Kedua, rendahnya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam mengembangkan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan kebijakan fiskal, pengembangan berbagai peraturan dan perundangan untuk iklim usaha kondusif. Ketiga, lemahnya efisiensi usaha dalam mendorong peningkatan produksi dan inovasi secara bertanggung jawab yang tercermin dari tingkat produktivitasnya yang rendah, pasar tenaga kerja yang belum optimal, akses ke sumber daya keuangan yang masih rendah, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif belum profesional. Keempat, keterbatasan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, maupun infrastruktur dasar yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.

Dalam rangka menghadapi MEA yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015, pemerintah menyiapkan berbagai cara agar potensi pasar Indonesia tidak direbut negara-negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) RI telah menyiapkan beberapa industri yang akan digenjot untuk siap menghadapi gempuran industri-industri asing, khususnya yang berasal dari kawasan ASEAN. Untuk menguasai pasar ASEAN, pemerintah menyiapkan strategi ofensif melalui fokus pengembangan sembilan sektor industri prioritas, antara lain industri berbasis agro (CPO, kakao, dan karet), industri ikan dan produk olahannya, industri tekstil dan produk tekstil, industri kulit, industri furnitur, industri makanan dan minuman, industri kimia, industri mesin dan peralatannya serta industri logam dasar4. Dari kesembilan sektor industri prioritas tersebut, yang termasuk ke dalam sub sektor industri manufaktur berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) digit 2, meliputi industri Tekstil dan Produk Tekstil, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Furnitur, industri Makanan dan Minuman, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Logam Dasar. Industri-industri tersebutlah yang akan dibahas lebih dalam pada penelitian ini. Adapun daftar dari 22 sub sektor industri manufaktur berdasarkan KBLI digit 2 beserta kode industrinya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Untuk industri Makanan dan Minuman, menurut data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), peringkat daya

4http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/15/126237/hadapi-mea-ini-9-sektor-industri-yang-jadi-fokus-kemenperin (diakses 22 Mei 2015)

Page 21: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

5

saing industri Makanan dan Minuman Indonesia berada di peringkat 50, masih jauh di bawah negara kompetitor utamanya di kawasan ASEAN, yaitu Malaysia di peringkat 25, Brunei di peringkat 28 dan Thailand di peringkat 38 (Kemenperin 2013). Di sisi lain, meskipun industri Makanan dan Minuman merupakan salah satu kontributor terbesar dalam pertumbuhan, masih banyak faktor termasuk kebijakan pemerintah yang masih belum sepenuhnya mendukung perkembangan industri Makanan dan Minuman itu sendiri. Sementara ancaman dari produk Makanan dan Minuman impor terus bertambah sejalan dengan integrasi perekonomian Indonesia dengan perekonomian regional dan global. Kendala lainnya yang dihadapi industri ini adalah dalam mendapatkan bahan baku produksinya, baik karena adanya bea masuk bahan baku yang tinggi, maupun kebijakan pemerintah yang terus membatasi impor bahan baku seperti impor gula rafinasi (Permenkeu No.241/PMK.011/2010)5.

Ketergantungan impor yang tinggi juga terjadi pada industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia serta industri Logam Dasar. Kandungan impor yang tinggi di kedua industri ini meningkat dari 62 persen menjadi 68 persen dari total produk manufaktur di tahun 2014. Hal ini menyebabkan ketika Rupiah terdepresiasi, pertumbuhan ekspor di kedua industri ini melambat dan tidak dapat tumbuh optimal karena terdapat tekanan dari sisi biaya produksi akibat besarnya kenaikan harga bahan baku dan barang modal. Padahal, depresiasi Rupiah seharusnya justru meningkatkan ekspor yang pada gilirannya dapat mendorong peningkatan daya saing (Bank Mandiri 2014).

Pada industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang meliputi industri Tekstil dan industri Pakaian Jadi, industri ini masih harus menghadapi beberapa kendala. Selain dikarenakan membanjirnya produk impor di pasar domestik, mahalnya bahan baku produksi yang menyebabkan biaya produksi meningkat juga menjadi masalah dalam industri ini. Mesin-mesin yang digunakan di industri ini juga berumur sangat tua, dimana sekitar 80 persen dari keseluruhan mesin di industri TPT yang ada saat ini telah berusia di atas 20 tahun, sehingga menyebabkan produktivitasnya menurun hingga 50 persen. Selain itu, produktivitas pekerja di industri TPT Indonesia masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan produsen lainnya di kawasan ASEAN. Peringkat produktivitas pekerja TPT Indonesia berada pada tingkat 59. Posisi tersebut cukup rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, seperti Thailand yang menempati posisi 27, Malaysia di posisi 28 dan Philipina yang berada pada posisi 49 (Efendi 2013).

Sementara pada industri Furnitur, kendalanya adalah kurangnya permodalan, sumber daya manusia yang kurang kreatif serta rendahnya teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Keterbatasan teknologi menghambat perusahaan dalam memenuhi permintaan dengan kualitas yang diharapkan. Hal ini menjadi salah satu masalah dalam pengembangan produk-produk furnitur dalam negeri. Selain itu, kenaikan harga bahan baku juga menjadi permasalahan utama bagi industri furnitur Indonesia yang menyebabkan meningkatnya biaya produksi. Banyak strategi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, namun dalam implementasinya kurang berjalan dengan baik. Misalnya, adanya rantai kebijakan yang cenderung mengarah pada ekonomi biaya tinggi, adanya inefisiensi promosi,

5 GAPMMI-Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia: http://www.gapmmi.or.id (diakses 22 Mei 2015)

Page 22: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

6

adanya bantuan teknis yang tidak tepat sasaran dan belum adanya kebijakan pemerintah terkait dengan merk dagang ekspor. Kondisi inilah yang dirasakan oleh para pengusaha pada industri furnitur, yang membutuhkan perhatian dari pemerintah guna merebut pasar furnitur ASEAN6.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya terkait dengan kondisi sektor industri prioritas Indonesia, dengan kualitas industri yang ada saat ini sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi produk dari sektor industri prioritas Indonesia untuk dapat bersaing di pasar ASEAN. Penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah sebagai sektor industri yang diunggulkan untuk merebut pasar ASEAN dirasa perlu dianalisa kembali mengingat masih adanya beberapa kendala yang dihadapi oleh industri-industri prioritas tersebut yang dapat menghambat daya saingnya di pasar ASEAN. Kinerja sektor industri prioritas yang masih kurang baik membuat banyak kalangan pesimis akan kemampuan Indonesia untuk unggul, atau bahkan dapat bertahan di pasar ASEAN. Rasa pesimis ini diperkuat dengan hasil simulasi dari beberapa penelitian sebelumnya, antara lain Oktaviani et al. (2008) yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah pihak yang dirugikan, atau paling tidak bukan ekonomi yang paling diuntungkan dari era perdagangan bebas tanpa hambatan. Juga penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Pambudi dan Chandra (2006) serta Hutabarat et al. (2007) mengenai keuntungan yang Indonesia bisa dapatkan dari kesepakatan perdagangan bebas di kawasan ASEAN dengan tidak memberikan alasan yang kuat untuk optimis. Selain itu, penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah juga tidak disertai oleh indikator-indikator yang menentukan bahwa sektor industri prioritas tersebut memang memiliki daya saing. Kemampuan bersaing produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia perlu dipahami dengan melakukan komparasi terhadap produk sejenis yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas di negara-negara ASEAN lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang relevan untuk dirumuskan pada penelitian ini, antara lain: 1. Apakah sektor industri prioritas Indonesia yang telah ditetapkan oleh

pemerintah memiliki daya saing di pasar ASEAN? 2. Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan daya

saing sektor industri prioritas Indonesia tersebut di pasar ASEAN?

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini berdasarkan permasalahan di atas adalah: 1. Menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. 2. Menganalisis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya saing sektor

industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya.

Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, antara lain:

6Satria AN. 2010. http://www.ugm.ac.id/en/berita/2895- strategi pemerintah tingkatkan daya saing industri furnitur (diakses 22 Mei 2015)

Page 23: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

7

1. Bagi pembaca, memperluas pengetahuan mengenai integrasi ekonomi ASEAN serta dampak yang ditimbulkan dari keikutsertaan Indonesia dalam kawasan integrasi ASEAN terhadap sektor industri manufaktur, khususnya terhadap sektor industri prioritas.

2. Sebagai referensi bagi para pembuat kebijakan dalam rangka optimalisasi kebijakan yang terkait dengan perdagangan industri manufaktur guna meningkatkan daya saing industri manufaktur Indonesia di kawasan ASEAN.

3. Bagi penulis, merupakan media untuk menerapkan mata kuliah yang telah dipelajari selama masa perkuliahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saingnya sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. Sektor industri prioritas yang dimaksud disini adalah 8 (delapan) sub sektor industri manufaktur yang telah dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), meliputi industri Makanan dan Minuman, industri Pakaian Jadi, industri Tekstil, industri Kulit dan Barang dari Kulit, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Logam Dasar, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur. Adapun periode yang digunakan adalah tahun 2001-2013. Periode tersebut merupakan periode terkini terkait dengan ketersediaan data.

Sementara itu, metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Daya saing sektor industri prioritas secara komparatif dianalisis dengan menggunakan metode Revealed Comparative

Advantage (RCA), sedangkan untuk menganalisis determinan daya saingnya digunakan regresi data panel. Hasil analisa RCA dan regresi panel tersebut pada akhirnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN.

Page 24: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

8

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 25: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Teori Perdagangan

Konsep Perdagangan Indonesia serta Hubungannya dengan Produktivitas

Tenaga Kerja dan Daya Saing

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan pada tahun 2007/2008 telah menetapkan produk atau komoditi untuk tujuan ekspor dengan fokus pada komoditi utama, produk prioritas untuk peningkatan dan pengembangan ekspor non migas (yang kemudian dikenal dengan istilah 10-10-3) yang meliputi: a. Sepuluh produk utama, yaitu: Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Elektronik,

Karet dan produknya, Sawit, Produk hasil hutan, Alas kaki, Otomotif, Udang, Kakao dan Kopi.

b. Sepuluh produk potensial, yaitu: Produk kulit, Peralatan medis, Tanaman obat, Makanan olahan, Minyak atsiri, Ikan dan Produk perikanan, Kerajinan, Perhiasan, Rempah-rempah dan Peralatan kantor.

c. Jasa perdagangan, yaitu: Konstruksi, Teknologi informasi dan Tenaga kerja.

Konsep ekspor komoditi ini terus bergulir setiap saat dan berubah menyesuaikan dengan kondisi perdagangan dunia dan ASEAN serta perhatian dari kementerian terkait, yaitu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Penekanan untuk jenis-jenis ekspor komoditi prioritas ini pada dasarnya melihat bagaimana peluang komoditi Indonesia terhadap jenis komoditi yang sama di kawasan ASEAN maupun secara global, sehingga penetapan komoditi prioritas akan berbeda sesuai dengan sikap yang diambil dari suatu Kabinet Pemerintahan dalam menilai indikator kekuatan pasar komoditi Indonesia saat itu. Dengan melihat adanya peluang bagi industri nasional untuk dapat bersaing di pasar ASEAN, maka pada tahun 2013, pemerintah menetapkan sektor industri prioritas yang diunggulkan untuk dapat merebut pasar ASEAN.

Bagi sektor industri prioritas, ekspor merupakan faktor yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peningkatan permintaan ekspor terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas dapat menyebabkan peningkatan produksi dalam negeri yang kemudian dapat juga mendorong kebutuhan akan investasi dan tenaga kerja. Peningkatan investasi dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi dan peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang pada akhirnya dapat mendorong petumbuhan konsumsi masyarakat (Bank Indonesia 2013).

Selain dapat meningkatkan permintaan, aktivitas ekspor pada sektor industri prioritas juga berpengaruh pada tingkat produktivitas industri itu sendiri. Partisipasi sektor industri prioritas Indonesia pada pasar ekspor, khususnya di kawasan ASEAN dapat meningkatkan produktivitasnya. Industri yang berorientasi ekspor memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan industri yang hanya menjual produknya di pasar domestik saja.

Kemungkinan bagi sektor industri prioritas Indonesia untuk mendapatkan keuntungan dari menjual produknya ke luar negeri (ASEAN) lebih besar daripada hanya menjual outputnya di dalam negeri saja. Perbedaan nilai mata uang merupakan salah satu alasan mengapa kegiatan ekspor memiliki kemungkinan

Page 26: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

10

untuk lebih menguntungkan. Selain itu, untuk dapat mengekspor produknya, suatu industri memerlukan penyesuaian biaya. Oleh karena itu, industri akan terdorong untuk meningkatkan produktivitasnya agar aktivitas ekspor tersebut berpotensi untuk menghasilkan keuntungan yang lebih besar dan beban biaya yang muncul akibat mengekspor dapat dikurangi. Industri yang kesulitan dalam menyesuaikan produktivitasnya akan tertarik keluar dari pasar ekspor, karena mengekspor tidak lagi menguntungkan untuk industri tersebut.

Pada saat menjual outputnya ke pasar ASEAN, sektor industri prioritas Indonesia harus berkompetisi dengan industri-industri sejenis yang berasal dari negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini produktivitas merupakan kunci penting dalam berkompetisi. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas pada sektor industri prioritas perlu dilakukan agar industri ini dapat berkompetisi dengan industri sejenis yang berasal dari negara ASEAN lainnya.

Dalam peningkatan produktivitas, sumber daya manusia memegang peranan utama yang menguntungkan bagi industri, karena teknologi dan produksi merupakan hasil karya manusia sehingga peningkatan produksi dapat terjadi berdasarkan perbandingan yang sesuai antara jumlah sumber daya manusia, dalam hal ini tenaga kerja yang digunakan dengan jumlah barang yang diproduksi. Produktivitas tenaga kerja dapat menjadi ukuran efisiensi penggunaan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi. Produktivitas tenaga kerja pada dasarnya juga menandakan perubahan pada teknologi, efisiensi teknik dan alokasi serta utilitas kapasitas produksi. Kenaikan produktivitas tenaga kerja, berarti tenaga kerja yang digunakan dapat menghasilkan lebih banyak barang pada jangka waktu yang sama, atau suatu tingkat produksi tertentu dapat dihasilkan pada waktu yang lebih singkat. Pada industri-industri yang bersifat padat karya, seperti pada sektor industri prioritas, produktivitas tenaga kerja merupakan faktor yang penting bagi proses produksi karena semakin rendah produktivitas tenaga kerja pada suatu industri, berarti semakin rendah pula efisiensi pada industri tersebut dan begitu pula sebaliknya, semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, berarti semakin tinggi efisiensi pada industri tersebut (Soekartawi 1994).

Liberalisasi perdagangan diduga memberikan pengaruh terhadap produktivitas tenaga kerja. Semakin terbukanya perdagangan Indonesia, khususnya ke kawasan ASEAN, menandakan semakin tingginya persaingan produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya. Hal ini menyebabkan produsen di sektor industri prioritas Indonesia harus berusaha mendorong peningkatan produktivitasnya agar dapat bertahan di tengah persaingan dengan produk asing. Beberapa penelitian, antara lain yang dilakukan oleh Bloch dan McDonald (2000) di Australia serta Sjoholm (1997) di Indonesia, menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara liberalisasi perdagangan dengan produktivitas tenaga kerja. Konsep Perdagangan Internasional

Perdagangan yang dilakukan oleh suatu negara ke negara lain melalui ekspor pada dasarnya merupakan upaya dan proses yang dilakukan suatu negara untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi didalam negeri melalui perdagangan intrnasional. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat mensejahterakan

Page 27: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

11

masyarakat ini dapat dilakukan dengan program industrialisasi yang ditempuh melalui dua strategi, yaitu:

1. Substitusi Impor, yaitu industrialisasi dengan memusatkan pengerahan segenap sumber daya yang ada pada produksi komoditi-komoditi manufaktur yang semula diimpor.

2. Orientasi Ekspor, yaitu peningkatan produksi dan ekspor komoditi primer (bahan pangan, bahan mentah, dan bahan tambang) yang sejak beberapa lama telah menjadi sumber andalan perolehan devisa suatu negara. Menurut Krugman dan Obstfeld (2004), transaksi antar negara atau

perdagangan internasional terjadi karena adanya dua motif, yaitu perbedaan sumber daya dan teknologi tiap negara serta untuk mencapai skala ekonomis yang mengarah pada tujuan untuk mendapatkan manfaat perdagangan. Sementara Heckhser-Ohlin menyatakan bahwa perdagangan internasional terutama digerakkan oleh perbedaan sumber daya yang melimpah di dalam suatu negara. Konsep H-O ini menekankan pada saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara (factor proportion) dan perbedaan proporsi penggunaannya dalam memproduksi barang (factor endowment).

Teori H-O menggunakan dua kurva, meliputi kurva isocost, yaitu kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama dan kurva isoquant, yaitu kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama. Kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada satu titik optimal. Jadi, dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa suatu perusahaan dikatakan menghasilkan produksi yang optimum apabila perusahaan tersebut dengan jumlah anggaran tertentu dapat menghasilkan junlah produksi yang tertinggi. Pada saat itu, perusahaan menghasilkan output dengan kombinasi faktor produksi yang paling rendah biayanya/least cost combination (Salvatore 1996). Kondisi tersebut dapat disajikan dalam grafis pada Gambar 2.

Sumber: Salvatore 1996

Gambar 2 Jumlah produksi optimum

Page 28: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

12

Perusahaan akan menggunakan faktor produksi L sebanyak L1 dan faktor produksi K sebanyak K1, pada persinggungan antara kurva isoquant 1 (I1) dengan kurva isocost E/PK : E/PL pada titik A. Pada saat itu perusahaan menghasilkan produksi tertinggi dengan jumlah anggaran tertentu sebesar E dan harga faktor produksi tenaga kerja (PL) dan harga faktor produksi kapital (PK). Kondisi produksi pada titik B walaupun lebih tinggi, tetapi tidak dapat dipilih karena di luar garis anggaran perusahaan (isocost). Anggaran perusahaan tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah B.

Menurut teori H-O, negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.

Integrasi Ekonomi

Batasan definisi yang baku tentang integrasi ekonomi di antara para ekonom belum juga ditemukan saat ini. Para ekonom mengembangkan definisi integrasi ekonomi dari berbagai sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Balassa (1961) mengemukakan definisi integrasi sebagai bentuk penghapusan diskriminasi serta kebebasan bertransaksi, atau dapat dikatakan juga sebagai penyatuan beberapa kawasan atau negara menjadi satu sehingga memiliki satu pasar yang ditandai dengan kesamaan harga barang dan faktor produksi di antara kawasan-kawasan tersebut. Balassa juga membagi integrasi ekonomi menjadi beberapa tahap, antara lain: 1. Preferential Trading Arrangements (PTA), yang merupakan blok perdagangan

yang memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara tertentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak menghilangkannya sama sekali.

2. Free Trade Area (FTA), adalah suatu kawasan dimana tarif dan kuota antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap mempertahankan tarif mereka terhadap negara-negara bukan anggota.

3. Customs Union (CU), merupakan FTA yang meniadakan hambatan pergerakan komoditi antar negara anggota dan menerapkan tarif yang sama terhadap negara-negara bukan anggota. Efek kesejahteraan statis dari sebuah persekutuan pabean diukur melalui penciptaan perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion). Penciptaan perdagangan terjadi ketika produksi domestik digantikan oleh impor dari produsen dengan biaya yang lebih rendah dan lebih efisien di dalam persekutuan pabean. Hal ini meningkatkan kesejahteraan. Pengalihan perdagangan terjadi ketika impor berasal dari pemasok di luar persekutuan pabean digantikan dengan pemasok dari dalam persekutuan pabean dengan biaya yang lebih tinggi. Hal ini mengurangi kesejahteraan. Efek kesejahteraan dinamis lebih penting dan terjadi ketika persaingan dan skala ekonomis yang meningkat dan tingkat investasi yang lebih tinggi menjadi mungkin dalam integrasi ekonomi.

4. Common Market (CM), merupakan suatu CU yang juga meniadakan hambatan pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien.

Page 29: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

13

5. Economic Union (EU), merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan struktural).

6. Total Economic Integration, adalah bentuk penyatuan kebijakan moneter, fiskal dan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.

Terbentuknya AEC di akhir tahun 2015 ini, menunjukkan bahwa ASEAN

akan memasuki tahap akhir dari integrasi ekonomi. Seperti diketahui bahwa ASEAN telah menerapkan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) sejak tahun 1991 yang bertujuan untuk menghilangkan hambatan perdagangan berupa tarif antar sesama anggota ASEAN, dan menerapkan ASEAN Single Window (ASW) pada tahun 2013 yang bertujuan untuk mengintegrasikan sistem Bea dan Cukai di seluruh kawasan ASEAN (Almonte 2013). Dengan penerapan AEC pada tahun 2015, maka pada dasarnya ASEAN akan menerapkan common market dan economic union pada saat yang bersamaan.

Negara-negara yang membentuk sebuah integrasi dalam bentuk persekutuan kawasan dalam perdagangan bebas berkesempatan untuk mengambil keuntungan dari situasi yang ada, sehingga dampak persekutuan ini akan memberikan dampak statis dan dinamis. Dampak ini akan menciptakan trade

creation dan trade diversion (Suarez 2001).

- Trade Creation/penciptaan perdagangan, yaitu bagaimana sebagian produksi domestik di salah satu atau beberapa negara anggota yang kurang efisien dapat digantikan dengan impor yang harganya lebih murah (produksinya lebih efisien) dari sesama anggota. Hal ini akan meningkatkan spesialisasi produksi dan kesejahteraan di lingkungan persekutuan pabean tersebut.

- Trade Diversion, yaitu impor yang murah dari negara luar non-anggota

tergusur oleh impor yang sesungguhnya lebih mahal (produksinya kurang efisien) dari salah satu negara anggota. Produk yang kurang efisien tersebut dapat masuk karena tertolong dengan dihapuskannya tarif di antara sesama negara anggota persekutuan pabean. Trade diversion cenderung menurunkan kesejahteraan di lingkungan negara-negara anggota persekutuan pabean itu sendiri karena akan menjauhkan produksi dari pola keuntungan komparatif.

Menurut Viner (1950), perjanjian perdagangan regional (melalui skema

Free Trade Agreement antar beberapa negara) akan menguntungkan jika besarnya penciptaan perdagangan (trade creation) lebih besar daripada pengalihan perdagangan (trade diversion). Sebaliknya, perjanjian FTA akan merugikan jika besarnya penciptaan perdagangan lebih kecil daripada pengalihan perdagangan. Karena itu, penting untuk memfokuskan pada perubahan dalam produksi domestik dan perdagangan intra maupun ekstra regional.

Page 30: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

14

Sumber: Suarez 2001

Gambar 3 Trade creation dan trade diversion pada integrasi ekonomi

Pada kurva di atas, dapat dilihat bahwa sebelum terbentuknya integrasi ekonomi, harga yang berlaku pada suatu negara adalah harga dunia ditambah dengan tarif yang diberlakukan (pw + t). Setelah dibentuk integrasi ekonomi, maka harga turun karena dibebaskan dari semua bentuk tarif sehingga terjadi harga dalam kawasan integrasi sebesat pi. Dengan terbentuknya integrasi ekonomi akan terjadi penurunan harga akibat efisiensi biaya produksi yang mendekati harga dunia, sehingga surplus konsumen meningkat yaitu pada areal a dan b, walaupun penerimaan pemerintah hilang sebesar a dan c. Selisih besarnya b dan c akan menentukan apakah integrasi ekonomi menimbulkan trade creation atau trade diversion. Apabila b > c, maka integrasi ekonomi menimbulkan trade

creation dan apabila b < c, maka integrasi ekonomi memberikan trade diversion. Penciptaan perdagangan terjadi ketika perdagangan di antara negara-negara

anggota meningkat sebagai akibat dari keanggotaan mereka dalam perjanjian perdagangan bebas. Penghapusan hambatan perdagangan, khususnya tarif, mendorong negara-negara untuk mengimpor komoditas dari negara anggota FTA yang berbiaya lebih rendah daripada membeli dari industri domestik yang berbiaya tinggi. Dengan cara ini, perekonomian di wilayah perdagangan bebas menghasilkan output lebih banyak dengan berkonsentrasi pada komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Karena itu, trade creation/penciptaan perdagangan meningkatkan spesialisasi di negara-negara anggota, dan skala ekonomi meningkatkan efisiensi produktif di negara tersebut.

Menurut Bretschger dan Steger (2004), integrasi ekonomi di suatu kawasan ASEAN akan menghasilkan beberapa manfaat dan kerugian bagi negara yang melakukan integrasi. Manfaat integrasi ekonomi meliputi: 1. Mendorong berkembangnya industri lokal. 2. Peningkatan manfaat perdagangan melalui perbaikan terms of tade. 3. Mendorong efisiensi ekonomi di suatu kawasan ekonomi.

Sedangkan kerugian dari integrasi ekonomi meliputi: 1. Dapat membatasi kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan

fiskal dan moneter dalam mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri negara tersebut.

Page 31: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

15

2. Adanya kemungkinan hilangnya potensi untuk menjadi pasar bagi negara yang tidak mampu bersaing.

Konsep Daya Saing

Daya saing (competitiveness) telah menjadi satu kunci, baik bagi masyarakat suatu perekonomian maupun individu dalam suatu tatanan ekonomi lintas negara. Bukan hanya perusahaan yang melakukan restrukturisasi untuk dapat bersaing, tetapi juga pemerintah untuk meningkatkan kinerja perekonomian dan menarik investasi ke dalam. Dengan demikian, yang harus bersaing bukan hanya perusahaan, tetapi juga pemerintah suatu negarapun harus melakukannya. Karena itu pula, daya saing tersebut dapat dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor, yang menurut sifatnya (endogen/bisa dikontrol dan eksogen/tidak bisa dikontrol) bisa dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan faktor-faktor di sisi penawaran yang kemudian disebut sebagai faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro (Tambunan dan Sitepu 2012). Faktor-faktor di sisi permintaan bersifat eksogen bagi Indonesia, termasuk perubahan harga di pasar internasional untuk semua produk yang Indonesia ekspor. Dalam hal ini, di perdagangan dunia, Indonesia bukan penentu harga, melainkan price taker. Pemerintah Indonesia hanya bisa mempengaruhi harga dalam mata uang asing dari produk-produk ekspor Indonesia melalui perubahan nilai tukar Rupiah (devaluasi atau revaluasi). Sementara itu, faktor-faktor yang bersifat endogen bagi Indonesia adalah dari sisi penawaran yang meliputi sumber daya manusia (SDM), ketersediaan/penguasaan teknologi, ketersediaan bahan baku bukan hanya dalam arti jumlah, tetapi juga kualitas dan harga, infrastruktur dan logistik dalam kuantitas dan kualitas, industri-industri pendukung, barang-barang modal dan perantara, energi, ketersediaan informasi, dan kebijakan khusus ekspor. Sisi Penawaran Sisi Permintaan

Sumber: Tambunan dan Sitepu 2012

Gambar 4 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat makro

SDM: kualitas dan upah

Teknologi dan kemampuan inovasi

Pendanaan

Bahan baku/SDA

Infrastruktur dan logistik

Industri pendukung

Energi

Informasi

Kebijakan ekspor-impor

Kebijakan sektoral

Ekspor

Kebijakan/kesepakatan internasional/regional/bilateral

Permintaan Luar Negeri (LN)

Jumlah penduduk LN

Pendapatan LN

Kebijakan pemerintah

Harga LN

Kurs Rupiah

Page 32: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

16

Yang membuat faktor-faktor di sisi penawaran semakin kompleks dari sudut pandang kebijakan pemerintah adalah bahwa masing-masing dari faktor-faktor tersebut mewakili sektor masing-masing, dan ini berarti berbagai kebijakan sektoral secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap tingkat daya saing. Misalnya dalam hal SDM, kebijakan dari Kementerian Pendidikan turut serta mempengaruhi ketersediaan pekerja-pekerja terampil siap pakai bagi perusahaan-perusahaan eksportir. Demikian juga kebijakan moneter, misalnya nilai tukar Rupiah yang terlalu tinggi juga membuat daya saing harga dari ekspor Indonesia menurun relatif dibandingkan harga dari produk yang sama buatan negara lain. Dengan harga yang lebih murah tersebut menyebabkan permintaan terhadap produk-produk ekspor Indonesia meningkat yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya saing.

Selain dibedakan menurut sifatnya seperti yang diuraikan di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat daya saing juga dapat dibedakan menurut tingkatnya, yakni pada tingkat makro dan tingkat mikro (Tambunan dan Sitepu 2012). Di tingkat makro adalah yang telah dibahas di atas, yakni faktor-faktor di sisi permintaan dan sisi penawaran yang mempengaruhi daya saing nasional secara keseluruhan. Sedangkan di tingkat mikro adalah mengenai daya saing ekspor dari sebuah perusahaan secara individu. Tingkat daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari tingkat daya saing dari produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dalam gilirannya, daya saing dari perusahaan tersebut ditentukan oleh banyak faktor, tujuh diantaranya yang sangat penting adalah: keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik, ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi dan bahan baku.

Sumber: Tambunan dan Sitepu 2012

Gambar 5 Faktor-faktor penentu daya saing di tingkat mikro

Sementara itu, menurut Sugiyanto (2004), dalam perspektif mikro, indikator daya saing suatu industri juga dapat dilihat dari tingkat harga relatif. Tingkat harga relatif yang semakin rendah, menunjukkan tingkat daya saing industri yang

Keahlian pengusaha

Keahlian pekerja

Organisasi dan manajemen yang baik

Ketersediaan teknologi

Ketersediaan input lainnya

Ketersediaan modal

Ketersediaan informasi

Faktor-faktor Penentu Daya Saing Perusahaan

Daya Saing Perusahaan

Daya Saing Produk

Page 33: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

17

semakin tinggi. Pengertian relatif di sini diartikan dalam kaitannya dengan berbagai atribut yang membentuk suatu macam produk, baik itu kualitas, desain, harga dan atribut-atribut lainnya. Jadi, harga relatif dapat juga dikatakan sebagai biaya yang dikeluarkan produsen selama proses produksi. Dalam hal ini biaya produksi berpengaruh terhadap harga ekspor karena harga yang dikeluarkan oleh produsen merupakan harga pembelian input perusahaan eksportir untuk menghasilkan produk-produk yang diekspor, sehingga juga menentukan harga ekspornya. Harga ekspor yang rendah karena rendahnya harga input akan mendorong peningkatan daya saing karena pada dasarnya esensi dari daya saing itu sendiri adalah biaya yang relatif rendah. Dengan kata lain, esensi peningkatan daya saing adalah penurunan biaya.

Dalam konteks ekonomi Indonesia, perhatian terhadap daya saing sangat relevan, setidaknya jika daya saing tersebut dikaitkan dengan dua hal berikut. Pertama, berkaitan dengan arus liberalisasi perdagangan dunia. Keikutsertaan Indonesia di dalam AFTA mempunyai konsekuensi bahwa Indonesia harus taat terhadap aturan-aturan di dalamnya. Implikasi dari perjanjian tersebut adalah bahwa semua negara yang terlibat sebagai anggota harus secara bertahap melakukan pengikisan terhadap proteksi-proteksi perdagangan antar negara. Kedua, kondisi internal industri Indonesia secara umum masih belum efisien. Akibatnya, jika harus memasuki tatanan perdagangan bebas, sangat mungkin perusahaan-perusahaan Indonesia akan kalah bersaing di pasar internasional.

Untuk mencapai keberhasilan dalam bersaing, suatu negara diharapkan tidak hanya memiliki keunggulan komparatif, tetapi juga memiliki keunggulan kompetitif. Menurut Porter (1990), dalam persaingan global saat ini, suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu dan dua faktor pendukung. Empat faktor utama yang menentukan daya saing suatu produk adalah kondisi faktor (sumber daya alam/SDA, sumber daya manusia/SDM, modal, IPTEK dan infrastruktur), kondisi permintaan, industri terkait dan industri pendukung yang kompetitif, serta kondisi struktur, persaingan dan strategi industri. Dua faktor lainnya yang mempengaruhi interaksi antara keempat faktor tersebut, yaitu faktor peluang atau kesempatan dan peran pemerintah.

Kondisi faktor merupakan keadaan ketersediaan faktor produksi, seperti SDA, keadaan tenaga kerja, pengetahuan dan teknologi, modal serta infrastruktur. Struktur industri dari faktor produksi tersebut akan menentukan daya tawar pemasok faktor produksi dan daya saing industri suatu negara.

Pada kondisi permintaan, semakin maju suatu masyarakat dan semakin demanding konsumen, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, maka industri akan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas produk atau melakukan inovasi guna memenuhi permintaan konsumen. Kondisi permintaan tidak hanya berasal dari lokal, tetapi juga dari luar negeri karena adanya globalisasi yang digambarkan melalui harga ekspor dan volume ekspor suatu produk. Dalam hal ini, harga ekspor pada dasarnya dihasilkan dari permintaan dan penawaran produk yang dihasilkan oleh suatu industri, sedangkan volume ekspor merupakan jumlah produk yang diminta oleh pasar luar negeri.

Dalam rangka menghasilkan output guna memenuhi permintaan konsumen, keberadaan industri terkait dan industri pendukung diperlukan untuk memasok input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah, mutu yang lebih baik,

Page 34: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

18

pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan industri. Adapun manfaat industri pendukung dan terkait, yaitu dapat meningkatkan efisiensi dan sinergi dalam clusters yang dapat dimanfaatkan oleh industri lainnya. Selain itu, dengan adanya industri pendukung dan terkait, maka akan meningkatkan produktivitas dan daya saing.

Adanya tingkat persaingan mendorong perusahaan untuk mengembangkan produk baru, memperbaiki produk yang telah ada, menurunkan harga dan biaya, mengembangkan teknologi baru dan memperbaiki mutu serta pelayanan. Dalam hal ini, strategi perusahaan dibutuhkan untuk memotivasi perusahaan atau industri untuk selalu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan dan selalu mencari inovasi baru. Pada akhirnya, persaingan yang kuat akan mendorong industri untuk memperluas pasarnya.

Strategi-strategi yang disusun dalam upaya meningkatkan daya saing suatu industri tidak lepas dari adanya peran pemerintah dan faktor peluang atau kesempatan. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator agar industri semakin meningkatkan daya saingnya. Pemerintah dapat mempengaruhi daya saing global melalui regulasi-regulasi dan kebijakan yang memperlemah atau memperkuat faktor penentu daya saing. Di sisi lain, peran kesempatan berada di luar kendali perusahaan maupun pemerintah untuk mempengaruhi daya saing. Peran kesempatan ini dapat berupa penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang konstan akibat perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang, peningkatan permintaan produk industri yang lebih besar dari pasokannya, kondisi politik yang menguntungkan daya saing dan lain sebagainya.

Pengukuran Daya Saing

Analisis daya saing dilakukan dengan menggunakan pendekatan matematis terhadap ukuran daya saing suatu produk di pasar internasional. Ada beberapa ukuran daya saing yang dapat digunakan, antara lain Revealed

Comparative Advantage (RCA), Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), Export

Product Dynamics (EPD) dan Constant Market Share Analysis (CMSA). Pengukuran daya saing dengan menggunakan metode RCA digagas oleh Balassa pada tahun 1965. RCA merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif produk suatu negara di pasar internasional. Metode ini membuat rasio ekspor yang kemudian dikenal sebagai salah satu ukuran dalam menentukan kinerja perdagangan. Pendekatan ISP merupakan ukuran yang digunakan untuk menganalisis posisi atau tahapan perkembangan suatu produk sehingga dapat dilihat kecenderungan suatu negara sebagai eksportir atau importir. ISP mengidentifikasi tingkat pertumbuhan suatu produk dalam perdagangan ke dalam lima tahap, yaitu tahap pengenalan, tahap substitusi impor, tahap pertumbuhan, tahap kematangan dan tahap kembali mengimpor (Hasibuan et al. 2012).

Pendekatan EPD digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan kompetitif suatu produk dan mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Pendekatan ini juga untuk mengetahui apakah suatu produk merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak. EPD dianalisis ke dalam 4 kategori, yaitu rising star, falling star, lost opportunity dan retreat (Yanti dan Widyastutik 2012). Terakhir adalah metode CMSA sebagai model analisis

Page 35: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

19

daya saing yang digunakan utntuk mengetahui keunggulan kompetitif atau daya saing ekspor di pasar internasional dari suatu negara produsen relatif terhadap negara pesaing (Kemendag 2011).

Pengukuran daya saing dengan menggunakan metode RCA merupakan pengukuran yang paling sering digunakan. RCA mampu mengukur keunggulan komparatif industri di setiap negara, dan berdasarkan distribusi keunggulan komparatif tersebut dapat diperkirakan dampaknya terhadap kondisi industri di masing-masing negara. Apabila distribusi RCA untuk industri tertentu tidak merata antar negara, maka kondisi tersebut memungkinkan untuk terjadinya saling melengkapi antar negara. Kondisi ini mengarah kepada terciptanya perdagangan (trade creation). Dengan menggunakan RCA juga, maka dapat diukur seberapa besar kekuatan sebuah grup negara-negara terhadap dunia.

Analisis daya saing yang digunakan dalam penelitian ini adalah RCA. Alasannya adalah karena keunggulan komparatif masih relevan hingga saat ini dalam menjelaskan pola perdagangan internasional, dan RCA merupakan salah satu alat sederhana yang dapat digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif tersebut. Bila dilihat dari keunggulan dan kelemahannya, keunggulan RCA adalah dapat mengukur secara spesifik pangsa pasar produk dari sektor industri prioritas dalam suatu negara di kawasan ASEAN terhadap total ekspornya secara relatif terhadap pangsa pasar produk dari sektor industri prioritas tersebut kepada perdagangan ASEAN. Sedangkan kelemahannya, ada kemungkinan nilai RCA tidak mencerminkan comparative advantage dari negara yang sebenarnya. Hal ini bisa disebabkan akibat kebijakan ataupun intervensi negara yang terlalu besar yang dapat mendistorsi aliran perdagangan. RCA mengeluarkan faktor country

effect. Akibatnya, ada kemungkinan peningkatan pangsa pasar sektor industri prioritas pada satu negara ASEAN bukan disebabkan oleh kemampuan yang lebih kuat sektor tersebut memasuki pasar ASEAN, tapi lebih mencerminkan kemampuan perusahaan pada sektor industri prioritas memilih pasar yang tepat. Hal ini dapat dikoreksi dengan menggunakan pendekatan CMSA.

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang akan dilakukan ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Berikut penelitian-penelitian yang mendasari dilakukannya penelitian mengenai analisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia dalam menghadapi pasar ASEAN.

Penelitian yang dilakukan oleh Nalurita et al. (2014) yang berjudul Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kopi Indonesia dengan menggunakan RCA dan Porter’s Diamond Theory sebagai metode analisisnya. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa berdasarkan analisis daya saing dengan menggunakan RCA secara komparatif kopi Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional. Berdasarkan analisis Berlian Porter, kopi Indonesia juga memiliki keunggulan kompetitif yang didukung dengan kondisi faktor (sumber daya alam, modal, tenaga kerja, IPTEK), industri terkait dan pendukung, peran pemerintah dan kesempatan.

Penelitian yang berjudul Daya Saing dan Strategi Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia oleh Nayatakaningtyas dan Daryanto (2012). Metode analisis yang digunakan adalah RCA, Porter’s Diamond Theory dan analisis SWOT.

Page 36: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

20

Hasilnya menyatakan bahwa strategi rutin yang harus dilakukan setiap tahunnya antara lain pengembangan sumber daya manusia pelaku industri minyak sawit dengan pelatihan dan kegiatan inovasi, memperhatikan isu nasional dan internasional dengan memperbaiki kebijakan pemerintah, pengembangan industri hilir serta peningkatan nilai tambah minyak sawit, dan meningkatkan pola kerja sama dengan produsen negara lain melalui promosi.

Arianti dan Lubis (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing dan Kesiapan Indonesia Dalam Rangka Integrasi ASEAN: Studi Kasus Automotives, Rubber Based dan Agro Based Products, dengan menggunakan metode RCA dan Intra Industry Trade (IIT) menyimpulkan bahwa: (1) berdasarkan hasil IIT, untuk sektor otomotif, liberalisasi meningkatkan keterkaitan industri otomotif Indonesia dengan Thailand, Singapura dan pasar dunia. Sedangkan pada hasil RCA menunjukkan bahwa liberalisasi meningkatkan daya saing industri otomotif Indonesia dengan negara ASEAN; (2) untuk industri berbahan baku karet, pasar industri berbasis karet Indonesia memiliki tingkat integrasi yang relatif tinggi diseluruh negara kawasan ASEAN, artinya liberalisasi dapat meningkatkan keterkaitan industri karet Indonesia keseluruh negara ASEAN. Sedangkan pada hasil RCA, menunjukkan bahwa liberalisasi meningkatkan daya saing industri karet Indonesia dengan negara ASEAN, terutama dengan Malaysia dan Singapura; (3) untuk sektor industri agro based, liberalisasi tidak meningkatkan keterkaitan industri berbasis produk pertanian Indonesia baik ke dunia maupun keseluruh negara ASEAN. Sedangkan berdasarkan RCA menunjukkan bahwa liberalisasi yang terjadi dapat meningkatkan daya saing industri berbasis pertanian Indonesia dengan negara ASEAN; (4) berdasarkan hasil analisis model ekonometrika, FDI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IIT pada model yang menjelaskan determinan IIT untuk sektor industri berbasis karet dan pertanian, namun hal itu tidak terjadi untuk sektor industri otomotif. Di sisi lain, FDI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap RCA pada model yang menjelaskan determinan IIT untuk sektor industri otomotif, sektor industri berbasis karet dan berbasis pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Anwar et al. (2012) yang berjudul Analisis Daya Saing Industri Furnitur Rotan Kabupaten Sukoharjo. Dengan menggunakan metode Porter’s Diamond Theory, RCA dan OLS (Ordinary Least Square), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan konsep Porter’s Diamond dan konsep RCA, industri furnitur rotan Kabupaten Sukoharjo telah memiliki kondisi yang cukup baik untuk pengembangan industri furniture rotan dan digolongkan memiliki daya saing yang kuat. Sedangkan berdasarkan metode OLS, hasil uji F menunjukkan bahwa semua variabel yang diteliti secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap daya saing industri furnitur rotan Sukoharjo pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hasil uji t menunjukkan bahwa variabel harga ekspor furnitur rotan Sukoharjo (X1), nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah (X3) dan kebijakan pemerintah (D) secara individu berpengaruh nyata terhadap daya saing industri furnitur rotan Sukoharjo. Berdasarkan nilai standar koefisien regresi, variabel nilai tukar Dollar AS terhadap Rupiah (X3) memberikan pengaruh terbesar.

Rakhmawan (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Daya Saing Komoditi Udang Indonesia di Pasar Internasional. Dengan menggunakan metode analisis RCA, Ordinary Least Square (OLS) dan Teori Berlian Porter (Porter’s

Page 37: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

21

Diamond Theory), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia berdaya saing kuat atau Indonesia mempunyai keunggulan komparatif atas komoditi udang Indonesia karena terlihat dari nilai RCA yang mencapai angka puluhan. Sedangkan pada hasil analisis Porter’s Diamond Theory

ditunjukkan bahwa komoditi udang Indonesia mempunyai potensi dalam faktor input, yaitu sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia, modal serta infrastruktur yang unggul. Tetapi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi komoditi udang Indonesia masih lemah karena kurangnya penerapan teknologi intensif (modern) pada sektor budidaya udang serta teknologi ekspor yang kurang memadai dibandingkan negara pesaingnya seperti Thailand. Selain itu, komoditi udang Indonesia juga mempunyai potensi pada permintaan domestik dan ekspor yang tinggi, persaingan yang ketat antar negara eksportir udang serta adanya peran pemerintah untuk pengembangan komoditi udang Indonesia dan faktor kesempatan yang bagus di dunia internasional. Sedangkan pada industri terkait dan pendukung serta struktur dan strategi ekspor komoditi udang Indonesia masih rendah karena belum banyaknya tempat-tempat penelitian benih udang dan kurang berperannya industri pakan udang serta belum adanya strategi-strategi khusus dalam ekspor udang Indonesia.

Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya cukup relevan untuk dilakukan mengingat menjelang MEA di akhir tahun 2015 ini persaingan di antara negara-negara ASEAN akan semakin ketat dalam memperebutkan peluang dalam pasar ASEAN. Jika tidak mampu bersaing, dikhawatirkan Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara ASEAN lainnya dan dibanjiri oleh produk-produk asing. Sebaliknya, bila industri nasional mampu bersaing di pasar ASEAN, maka integrasi ekonomi ini akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia. Dengan kinerja industri nasional seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat kondisi daya saing industri nasional di pasar ASEAN yang difokuskan kepada sektor industri prioritas sebagai industri-industri yang diunggulkan oleh pemerintah Indonesia karena dianggap memiliki daya saing. Pemilihan sektor industri inilah yang membedakan dengan penelitian sebelumnya, dimana pada penelitian terdahulu belum ada yang meneliti mengenai sektor industri prioritas. Di samping itu, pada penelitian ini selain mengukur tingkat daya saingnya, juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing tersebut.

Kerangka Pemikiran

Implementasi dari pembentukan AFTA sebagai bentuk integrasi ekonomi ASEAN salah satunya adalah adanya pengurangan atau penghapusan hambatan tarif inter-regional di kawasan ASEAN. Selain itu, pembentukan AFTA juga mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN yang tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang terintegrasi antar negara ASEAN, dimana sasarannya adalah meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN sebagai product based dalam menghadapi persaingan di pasar dunia. Oleh karena itulah daya saing negara-negara ASEAN diharapkan dapat lebih kompetitif, karena dalam pasar tunggal

Page 38: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

22

ASEAN kegiatan produksi dilakukan dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing negara anggota.

Sejumlah langkah peningkatan daya saing dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap sektor-sektor yang dianggap strategis untuk diliberalisasikan menuju pasar tunggal ASEAN. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan sektor industri prioritas sebagai industri-industri yang akan digenjot untuk siap menghadapi gempuran industri-industri sejenis yang berasal dari kawasan ASEAN. Kemampuan bersaing produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia perlu dipahami dengan melakukan komparasi terhadap produk sejenis yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas di negara-negara ASEAN lainnya. Dalam mengukur daya saing komparatif digunakan metode RCA karena metode ini mampu mengukur keunggulan komparatif industri di setiap negara, dan berdasarkan distribusi keunggulan komparatif tersebut dapat diperkirakan dampaknya terhadap kondisi industri di masing-masing negara.

Gambar 6 Kerangka pemikiran konseptual

Integrasi Ekonomi ASEAN

1. Terbentuknya pasar tunggal ASEAN 2. Penurunan atau penghapusan hambatan tarif inter-regional di

kawasan ASEAN

Daya saing Indonesia diharapkan lebih kompetitif terhadap negara ASEAN lainnya

Penetapan sektor industri prioritas oleh pemerintah karena diunggulkan untuk dapat bersaing di pasar ASEAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas: 1. Harga Ekspor 2. Produktivitas Tenaga

Kerja 3. Penambahan Modal Tetap 4. Nilai Tukar Riil

Analisis daya saing sektor industri prioritas Indonesia

di pasar ASEAN

Regresi Data Panel RCA

Strategi atau kebijakan peningkatan daya saing sektor industri prioritas

Page 39: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

23

Analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas dengan menggunakan regresi data panel juga perlu dilakukan sebagai dasar dalam menentukan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya. Dalam hal ini, daya saing dapat dipengaruhi secara bersamaan oleh banyak faktor yang menurut tingkatannya dibedakan menjadi tingkat makro dan tingkat mikro. Beberapa diantaranya yaitu harga ekspor, produktivitas tenaga kerja, penambahan modal tetap dan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat.

Kerangka pemikiran konseptual yang dikembangkan dalam penelitian ini tentunya tidak terlepas dari tujuan penelitian. Secara ilustratif, kerangka pemikiran konseptual yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara dari masalah yang dibahas, dimana kebenarannya masih harus diuji. Dari hasil penelitian ini diharapkan sektor industri prioritas yang ditetapkan sebagai sektor unggulan oleh pemerintah memiliki peningkatan daya saing di pasar ASEAN dan pemerintah dapat melakukan strategi-strategi tertentu guna mempertahankan bahkan meningkatkan daya saing dari sektor industri prioritas tersebut, baik di pasar domestik maupun di pasar ASEAN. Adapun hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Sektor industri prioritas Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah terbukti

merupakan industri unggulan untuk bersaing di pasar ASEAN berdasarkan indeks daya saing.

2. Variabel harga ekspor berpengaruh negatif terhadap daya saing sektor industri prioritas. Tingkat harga yang semakin rendah, menunjukkan tingkat daya saing yang semakin tinggi.

3. Variabel produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas karena semakin banyak output yang dihasilkan dengan tenaga kerja yang produktif, maka dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas.

4. Variabel penambahan modal tetap berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas, semakin banyak modal yang tersedia dalam proses produksi, akan mendorong peningkatan output yang dihasilkan dan itu berarti akan meningkatkan daya saing sektor industri prioritas.

5. Variabel nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap daya saing sektor industri prioritas karena semakin terdepresiasi Rupiah akan mendorong peningkatan ekspor dan berdampak pada peningkatan daya saing.

Page 40: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

24

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 41: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

25

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari berbagai sumber, antara lain Kementerian Perdagangan (Kemendag), Badan Pusat Statistik (BPS), World Integrated Trade Solution (WITS), ASEAN Secretariat, Trademap serta Jurnal dan literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan tersebut merupakan data panel dengan time series tahunan yang dimulai dari tahun 2001 sampai dengan 2013 dan cross section berupa 8 (delapan) sub sektor industri manufaktur berdasarkan KBLI digit 2 yang merupakan bagian dari sektor industri prioritas Indonesia.

Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Daya saing industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN secara komparatif dianalisis dengan menggunakan RCA. Nilai RCA ini kemudian digunakan sebagai variabel terikat dalam persamaan model panel guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Pada akhirnya, akan dirumuskan strategi atau kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. Revealed Comparative Advantage (RCA)

Konsep ini pertama kali digunakan oleh Bela Balassa pada tahun 1965, dimana Balassa mencoba memisahkan batas demarkasi antara negara berdasarkan revealed comparative advantage pada sektor tertentu dengan negara yang tidak memilikinya. Pada penelitian ini, variabel yang diukur adalah kinerja ekspor produk dari sektor industri prioritas suatu negara di kawasan ASEAN terhadap total ekspor negara tersebut yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dari sektor industri prioritas dalam perdagangan di kawasan ASEAN. Jika pangsa ekspor produk dari sektor industri prioritas di dalam total ekspor produk dari suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor produk di dalam total ekspor komoditi ASEAN, diharapkan negara tersebut memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor produk dari sektor industri prioritas. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Xij / Xi Xij / Xwj RCA = = (3.1) Xwj / Xw Xi / Xw dimana: X = menyatakan ekspor, i = negara tertentu; j = komoditi/produk pada sektor industri prioritas;

w = ASEAN.

Page 42: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

26

Nilai daya saing suatu produk dari sektor industri prioritas memiliki dua kemungkinan, yaitu: RCA>1, berarti suatu negara di kawasan ASEAN memiliki keunggulan

komparatif di atas rata-rata ASEAN sehingga produk dari sektor industri prioritasnya dikatakan berdaya saing.

RCA<1, berarti suatu negara di kawasan ASEAN memiliki keunggulan komparatif di bawah rata-rata ASEAN sehingga produk dari sektor industri prioritasnya dikatakan tidak berdaya saing.

Model Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia

Penelitian ini menggunakan model regresi panel guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Regresi panel merupakan metode regresi yang menggabungkan data cross section dan data time series sehingga yang diamati adalah unit-unit individu yang sama dalam kurun waktu tertentu. Secara umum, data panel dicirikan oleh T periode waktu (t=1,2,…,T) yang kecil dan N jumlah individu (i=1,2,…,N) yang besar. Namun, tidak menutup kemungkinan sebaliknya, yakni data panel terdiri dari periode waktu yang besar dengan jumlah individu yang kecil. Berikut adalah model umum yang digunakan dalam analisis regresi data panel:

Yit = β0 + β1X1it + β2X2it + ... + βkXkit + uit (3.2)

atau: Yit = β0 + Xitβ + uit (3.3)

Metode data panel dapat menangkap perilaku sejumlah individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam suatu rentang waktu yang terdiri atas unit-unit waktu yang juga berbeda. Heterogenitas antar individu maupun antar waktu ditunjukkan dalam model dengan intercept dan koefisien slope yang berbeda-beda. Menurut Baltagi (2005), keunggulan analisis regresi dengan menggunakan metode data panel, antara lain: 1. Data panel lebih baik dalam mendeteksi dan mengukur efek yang secara

sederhana tidak dapat diperoleh dengan data time series murni atau data cross

section murni. 2. Mampu memberikan informasi yang lebih lengkap karena menggabungkan

data time series dan data cross section, sehingga model regresi yang diperoleh memiliki derajat bebas (degree of freedom) yang lebih besar dan estimasi yang dihasilkan akan lebih baik.

3. Dapat mengatasi masalah yang terjadi ketika ada masalah penghilangan variabel karena menggabungkan informasi dari data time series dan data cross

section. 4. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu dan mengurangi

kolinearitas antar variabel. 5. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu,

karena unit data yang diobservasi lebih banyak. 6. Data panel memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam memodelkan

perbedaan perilaku di antara individu-individu yang diobservasi.

Dalam penelitian ini, untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia dilihat dari beberapa variabel, yaitu

Page 43: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

27

harga ekspor produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas, produktivitas tenaga kerja pada sektor industri prioritas, penambahan modal tetap pada sektor industri prioritas dan nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Penggunaan variabel-variabel bebas tersebut selain disesuaikan dengan tujuan penelitian, juga disesuaikan dengan faktor-faktor penentu daya saing berdasarkan teori yang disampaikan oleh Porter (1990), Sugiyanto (2004) serta Tambunan dan Sitepu (2012). Dalam hal ini, karena adanya keterbatasan data, maka tidak semua variabel-variabel penentu daya saing yang terdapat pada ketiga teori tersebut digunakan sebagai variabel bebas dalam menentukan daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Secara matematis, faktor-faktor yang diduga dapat mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia dapat ditulis sebagai berikut:

DSit = f (PXit, LABPRODit, FIXCAPit, RERit) (3.4)

DSit = α - β1PXit + β2LABPRODit + β3FIXCAPit + β4RERit+ εit (3.5)

Untuk model logaritma naturalnya dituliskan sebagai berikut:

(DS)it = α - β1 (PX)it + β2 Ln(LABPROD)it + β3 Ln(FIXCAP)it + β4 (RER)it + εit (3.6)

dimana: α = Konstanta; βt = Parameter yang diduga, dengan t =1,2,…..4; DS = Daya saing sektor industri prioritas Indonesia (nilai RCA); PX = Harga ekspor sektor industri prioritas Indonesia ke ASEAN

(000 USD/Kg); LABPROD = Produktivitas tenaga kerja pada sektor industri prioritas (Juta Rp); FIXCAP = Penambahan modal tetap (Miliar Rp); RER = Nilai tukar riil (Rp/USD); εt = Error term; i = Sektor Industri Prioritas; t = Periode waktu.

Berikut ini merupakan definisi operasional dari masing-masing variabel

yang digunakan dalam penelitian: 1. Daya Saing

Daya saing sektor industri prioritas Indonesia yang menjadi variabel terikat dalam model di atas merupakan hasil olahan dari nilai ekspor sektor industri prioritas Indonesia terhadap total ekspor Indonesia yang selanjutnya dibandingkan dengan nilai ekspor sektor industri prioritas ASEAN terhadap total nilai ekspor ASEAN.

2. Harga Ekspor Sektor Industri Prioritas Indonesia Harga ekspor sektor industri prioritas Indonesia diperoleh dari hasil pembagian antara nilai ekspor sektor industri prioritas tersebut ke ASEAN secara keseluruhan dengan volume ekspor sektor industri prioritas tersebut ke ASEAN pada periode yang sama. Variabel ini menggambarkan harga produk dari sektor industri prioritas Indonesia yang diterima oleh konsumen pada harga dunia di tingkat tertentu. Harga ekspor juga merefleksikan biaya

Page 44: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

28

produksi yang dikeluarkan oleh produsen karena harga yang dikeluarkan oleh produsen merupakan harga pembelian input perusahaan eksportir terhadap produk-produk yang diekspor, sehingga juga menentukan harga ekspornya.

3. Produktivitas Tenaga Kerja Produktivitas tenaga kerja adalah kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan barang produksi, yang dihitung berdasarkan rasio output dengan jumlah tenaga kerja yang dibayar.

4. Penambahan Modal Tetap Penambahan modal tetap merupakan nilai penambahan modal tetap (fix

capital) yang mencakup pembelian/penambahan, pembuatan dan perbaikan besar barang modal tetap (barang modal yang dapat digunakan dalam jangka panjang, lebih dari satu tahun yang digunakan dalam proses produksi atau kegiatan usaha, seperti tanah, gedung, mesin, kendaraan, dan sebagainya).

5. Nilai Tukar Riil (Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat) Nilai yang digunakan saat menukar barang dari suatu negara dengan barang dari negara lain.

Metode Data Panel

1. Pemilihan metode estimasi dalam data panel

Ditinjau dari metode estimasi parameternya, model analisis data panel dapat

dikelompokkan menjadi model tanpa efek individu (common effect) dan model dengan efek individu (fixed effect dan random effect). Model common effect

merupakan model yang paling sederhana, yaitu hanya mengkombinasikan data time series dan data cross section dalam bentuk pooled. Sedangkan pada model fixed effect diasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi melalui perbedaan intercept-nya. Intercept pada setiap individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Model fixed effect disusun berdasarkan fakta bahwa perbedaan tidak hanya berasal dari variasi antar individu, tetapi juga berasal dari variasi antar waktu. Adapun pada model random effect, pemilihan estimasi data panel dilakukan dengan residual yang mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Dalam model random effect, perbedaan karakteristik individu diakomodasi oleh error dalam model. Dengan demikian, model ini mengasumsikan bahwa setiap individu mempunyai perbedaan intercept yang merupakan variabel random atau stokastik.

1.1. Pemilihan antara model tanpa efek individu (pooled least square) atau

model dengan efek individu (fixed effect model)

Pemilihannya dapat dilakukan menggunakan Uji Chow dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: Pooled Least Square (PLS) H1: Fixed Effect Model (FEM)

Jika hasil Uji Chow menunjukkan nilai probabilitas kurang dari taraf nyata (α), maka keputusannya H0 ditolak sehingga model terbaik yang digunakan adalah fixed effect model.

Page 45: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

29

1.2. Pemilihan model antara Fixed effect dan Random effect

Uji Hausman dilakukan untuk menentukan model terbaik antara Fixed

Effect dan Random Effect. Pengujian dilakukan terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dan efek individu. Hipotesis yang digunakan pada Uji Hausman adalah sebagai berikut:

H0: Random Effect Model (REM) H1: Fixed Effect Model (FEM)

Jika nilai statistik Hausman hasil pengujian lebih besar dari Chi-Square tabel, maka cukup bukti untuk memutuskan tolak H0 sehingga model terbaik yang digunakan adalah fixed effect model. 2. Melakukan deteksi normalitas residual dan uji asumsi klasik

2.1. Deteksi normalitas residual

Uji normalitas ditujukan untuk menguji apakah residual terdistribusi secara normal atau tidak. Hasil regresi yang baik memerlukan residual yang normal dalam penarikan kesimpulan hasil estimasi. 2.2. Uji heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana varians dari setiap gangguan tidak konstan. Dampak adanya hal tersebut adalah tidak efisiennya proses estimasi, sementara hasil estimasinya sendiri tetap konsisten dan tidak bias serta akan mengakibatkan hasil uji t dan uji F dapat menjadi tidak berguna (misleading).

2.3. Uji autokorelasi

Korelasi serial terjadi jika galat-galat dari observasi yang berbeda berkorelasi, dengan kata lain terjadi korelasi galat antar waktu. Jika galat-galat dari periode-periode waktu yang berbeda (biasanya berdekatan) berkorelasi, dikatakan bahwa galat itu berkorelasi serial. Korelasi serial biasanya terjadi pada data time series. Korelasi serial tidak mempengaruhi ketidakbiasan atau konsistensi penduga-penduga kuadrat terkecil biasa, tetapi mempengaruhi efisiensinya. Ketidakefisienan ini menyebabkan nilai t-hitung cenderung kecil dan hasil pengujian cenderung menerima hipotesis nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi dapat digunakan uji Durbin Watson (DW).

Sumber: Gujarati 2009

Gambar 7 Kriteria pengujian autokorelasi dengan Durbin Watson

Page 46: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

30

Uji DW meliputi perhitungan uji statistik yang didasarkan pada residual-residual dari prosedur regresi kuadrat terkecil biasa. Dengan membandingkan nilai DW dengan du dan dl nya, dapat diketahui apakah ada autokorelasi atau tidak pada model yang dihasilkan. 2.4. Uji Multikolinearitas

Kolinearitas jamak muncul jika di antara variabel independen memiliki korelasi yang tinggi dan membuat kita sulit memisahkan efek satu variabel independen terhadap variabel dependen dari efek variabel independen yang lain, sehingga: Kesulitan dalam menafsirkan nilai penduga koefisien-koefisien regresi. Hal

ini disebabkan perubahan suatu variabel akan menyebabkan perubahan juga pada variabel pasangannya karena korelasinya tinggi.

Distribusi parameter regresi menjadi sangat sensitif terhadap korelasi yang terjadi antar variabel bebas dan galat baku regresi. Kondisi ini muncul dalam bentuk varians dan galat baku parameter yang tinggi dan berdampak pada nilai t statistik menjadi lebih kecil sehingga variabel bebas tersebut menjadi tidak signifikan pengaruhnya. Pengaruh lebih lanjut adalah koefisien regresi yang dihasilkan tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya dimana sebagian koefisien cenderung over-estimate dan yang lainnya under-estimate.

Untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas, dapat digunakan matriks koefisien korelasi antara masing-masing variabel independen. Rule of tumb yang digunakan untuk melihat ada atau tidaknya multikolinieritas adalah jika besarnya nilai korelasi dalam matriks tersebut lebih dari 0.8, maka kemungkinan terdapat korelasi berganda. Selain itu, ciri lain yang menandakan adanya masalah multikolinieritas adalah terdapat nilai R2 (R-square) yang tinggi, namun banyak variabel independen yang tidak signifikan. Untuk mengatasi masalah multikolinieritas tersebut, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain: 1. Tambahkan datanya bila memungkinkan, karena masalah multikolinieritas

biasanya muncul karena jumlah observasinya sedikit. 2. Hilangkan salah satu variabel bebas yang memiliki hubungan linier yang

kuat dengan variabel bebas lainnya. 3. Transformasikan salah satu (atau beberapa) variabel, termasuk misalnya

dengan melakukan diferensi. 3. Melakukan uji signifikansi parameter meliputi uji simultan dan parsial

Setelah mendapatkan model analisis panel data yang terbaik, selanjutnya adalah dengan melakukan uji signifikansi terhadap variabel-variabel bebas.

3.1. Uji simultan

Uji simultan atau uji F dilakukan untuk melihat apakah semua variabel bebas mempengaruhi variabel terikat secara bersama-sama. H0 ditolak jika nilai Fhitung > Ftabel (k-1; n-k, α). Atau dengan membandingkan nilai Prob (F-statistik) dengan tingkat siginifikansi (α) tertentu, jika Prob (F-statistik) < α , maka H0

ditolak dan artinya secara bersama-sama semua variabel bebas yang terdapat dalam model secara signifikan mempengaruhi variabel terikat. Nilai Fhitung (F-statistik) dan Prob (F-statistik) juga dapat diperoleh dari estimation output Eviews.

Page 47: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

31

3.2. Uji parsial

Uji parsial atau uji t adalah uji statistik untuk melihat signifikansi dari pengaruh variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat, dengan asumsi variabel bebas yang lain konstan. Tanda plus (+) dan minus (-) menunjukkan arah hubungan yang terjadi, apakah perubahan variabel terikat searah (positif) dengan perubahan variabel bebas atau berlawanan arah (negatif).

Kriteria bagi uji secara parsial adalah jika │ti│>t(α/2%), dengan α adalah tingkat siginifikansi, maka H0 ditolak. Atau dengan membandingkan nllai Prob(t-statistik) dengan tingkat siginifikansi (α) tertentu, jika Prob (t-statistik) < α, maka H0 ditolak dan artinya variabel bebas tersebut secara signifikan mempengaruhi variabel terikat. Nilai t-statistik dan Prob t-statistik juga dapat diperoleh dari estimation output nya dengan Eviews. 4. Mengukur Goodness of fit (R-Squared)

Uji R-Squared (R2) dilakukan untuk mengukur besarnya keragaman variabel terikat yang mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang terdapat di dalam model. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Nilai R2 yang semakin mendekati 1 menunjukkan semakin baik keragaman variabel terikat yang mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas tersebut.

Page 48: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

32

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 49: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

33

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia di Pasar ASEAN

Berdasarkan Metode RCA

RCA dalam penelitian ini didefinisikan bahwa jika pangsa ekspor sektor industri prioritas Indonesia di dalam total ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor sektor industri prioritas negara-negara ASEAN di dalam total ekspor negara-negara ASEAN ke kawasan ASEAN, diharapkan Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam produksi dan ekspor produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dalam periode tahun 2001-2013, terlihat bahwa lima dari delapan industri yang tergolong ke dalam sektor industri prioritas Indonesia yang meliputi industri Makanan dan Minuman, industri Tekstil, industri Pakaian Jadi, industri Kulit dan Barang dari Kulit serta industri Logam Dasar memiliki nilai RCA rata-rata di atas satu (RCA>1). Hal ini memiliki arti bahwa produk-produk dari kelima sektor industri prioritas tersebut memiliki keunggulan komparatif di pasar ASEAN dibandingkan dengan daya saing untuk jenis produk dari sektor industri yang sama di negara-negara ASEAN lainnya.

Sementara itu, untuk industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur memiliki nilai RCA rata-rata kurang dari satu (RCA<1) yang artinya produk-produk dari ketiga industri tersebut tidak memiliki daya saing secara komparatif di pasar ASEAN. Hal ini dikarenakan ekspor produk-produk dari industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur dari negara ASEAN lainnya ke pasar ASEAN memiliki nilai yang jauh lebih besar. Dengan kata lain, produk-produk yang dihasilkan oleh industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur Indonesia kurang memilki kontribusi yang besar terhadap total ekspor ASEAN untuk komoditi yang sama, walaupun produk tersebut merupakan produk unggulan ekspor Indonesia.

Tabel 3 Nilai RCA rata-rata sektor industri prioritas negara-negara ASEAN tahun

2001-2013

Makanan dan

Minuman Tekstil Pakaian

Jadi

Kulit dan

Barang dari

Kulit

Kimia dan Barang-

barang dari Bahan Kimia

Logam Dasar

Mesin dan Perlengkapannya Furnitur

Indonesia 1.48 1.79 1.80 1.34 0.87 2.48 0.57 0.98

Malaysia 1.06 0.71 0.48 0.54 0.96 0.93 0.71 1.67

Singapura 0.35 0.56 1.01 0.77 1.10 0.76 1.40 0.90

Philipina 0.82 0.29 0.72 0.75 0.36 0.87 0.37 0.34

Thailand 1.91 1.76 0.82 1.58 1.24 0.74 1.00 0.64

Kamboja 0.73 1.91 5.00 0.86 0.11 2.03 0.65 0.51

Vietnam 3.10 2.55 2.11 3.30 0.42 1.16 0.30 0.83

Page 50: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

34

Industri Makanan dan Minuman

Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa dari hasil nilai RCA, tercatat rata-rata tahunan (2001-2013) nilai RCA Indonesia terhadap ASEAN untuk industri Makanan dan Minuman adalah sebesar 1.48. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki daya saing terhadap industri Makanan dan Minuman ASEAN. Nilai RCA rata-rata yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa industri Makanan dan Minuman Indonesia masih memiliki daya saing terhadap negara pesaingnya.

Bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, daya saing Indonesia di pasar ASEAN untuk industri Makanan dan Minuman ini masih relatif unggul bila dibandingkan pesaing utamanya Malaysia dan beberapa negara lainnya, seperti Kamboja, Philipina dan Singapura. Sementara itu, daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia masih di bawah Thailand sebesar 1.91 dan Vietnam sebesar 3.10 yang merupakan negara di ASEAN dengan daya saing paling unggul (RCA tertinggi). Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) menunjukkan bahwa peringkat daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia berada di peringkat 50, masih jauh di bawah negara kompetitor utamanya di kawasan ASEAN, yaitu Malaysia di peringkat 25 dan Thailand di peringkat 38. Meskipun demikian, pemerintah yakin prospek industri Makanan dan Minuman cerah karena diprediksi pada tahun 2030 nilai pasar makanan dan minuman di Indonesia bakal mencapai 1.8 triliun USD, jauh di atas Thailand dan Malaysia7.

Dengan kekuatan daya saing yang dimilikinya, meskipun ekspor industri Makanan dan Minuman menunjukkan kecenderungan yang menurun dalam beberapa tahun terakhir, diberlakukannya MEA tentu menjadi peluang yang potensial bagi Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan ekspor industri Makanan dan Minuman lebih lanjut dengan melakukan diversifikasi pasar maupun diversifikasi produk. Selain itu, diperlukan juga upaya untuk mendorong peningkatan produksi makanan dan minuman di dalam negeri guna mengimbangi kemungkinan peningkatan konsumsi di dalam negeri. Upaya ini pada gilirannya juga dapat mendorong peningkatan daya saing industri Makanan dan Minuman Indonesia. Industri Tekstil

Dalam kelompok industri ini, Indonesia memiliki daya saing di pasar ASEAN dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) yang lebih besar dari satu (RCA>1). Meskipun telah masuk dalam jajaran sepuluh besar dunia, tetapi peringkat Indonesia untuk industri Tekstil masih berada di bawah Thailand dan juga Vietnam yang menjadi negara dengan industri tekstil terbesar di kawasan ASEAN (Kemenperin 2013) sekaligus sebagai negara di ASEAN dengan daya saing paling unggul (RCA tertinggi). Meskipun demikian, daya saing Indonesia masih unggul bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya, yaitu Philipina, Malaysia dan Singapura.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia/API (2011) menyatakan bahwa di kawasan ASEAN hanya dua negara yang yang struktur industrinya lengkap dari hulu ke hilir, yakni Indonesia dan Thailand. Kapasitas produksi yang paling besar masih

7 Kemenperin. http://www.kemenperin.go.id/artikel/4664/Peringkat-Industri-Makanan-Rendah (diakses 7 Juli 2015)

Page 51: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

35

dimiliki oleh Indonesia, baru kemudian Thailand dengan kapasitas 30 persen dari kapasitas Indonesia. Adapun Vietnam dan Kamboja lebih banyak industri Pakaian Jadi.

Dalam hal ekspor ke kawasan ASEAN, Vietnam sebagai negara dengan RCA tertinggi, memiliki nilai ekspor terbesar dengan nilai sebesar 14.5 miliar USD pada tahun 2014, sedangkan Indonesia hanya mencapai 13 miliar USD. Meskipun demikian, pasar dalam negeri Indonesia hampir empat kali lipat lebih besar dibandingkan Vietnam dengan nilai mendekati Rp 90 triliun8. Industri Pakaian Jadi

Industri Pakaian Jadi merupakan salah satu sektor industri prioritas yang menjadi salah satu penyumbang devisa ekspor tertinggi ke kawasan ASEAN, dimana nilai ekspornya dalam kurun waktu lima tahun terakhir mencapai 4.5 milyar USD. Sementara itu, pada tahun 2013 nilai ekspor industri Pakaian Jadi ke ASEAN mencapai 7.30 milyar USD atau 60 persen dari total ekspor TPT nasional.

Terkait dengan daya saing, untuk industri Pakaian Jadi, Kamboja menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi). Sedangkan untuk daya saing Indonesia, meskipun mengalami penurunan dari sekitar 1.78 pada tahun 2009 menjadi 1.28 pada tahun 2013, tetapi industri Pakaian Jadi Indonesia masih dapat dikatakan berdaya saing di pasar ASEAN karena memiliki RCA>1 bila dilihat dari nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013), yaitu sebesar 1.80. Penurunan daya saing tersebut disebabkan oleh makin menurunnya share ekspor pakaian jadi terhadap total ekspor Indonesia ke kawasan ASEAN, yaitu dari 0.53 persen di tahun 2009 menjadi 0.41 persen di tahun 2013.

Selain dengan Kamboja, daya saing industri Pakaian Jadi Indonesia juga masih kalah dengan Vietnam. Salah satu penyebabnya adalah pertumbuhan ekspornya yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor industri Pakaian Jadi Vietnam, dimana di Indonesia rata-rata pertumbuhannya hanya 10 persen per tahun antara 2009-2013, jauh lebih lambat dibandingkan Vietnam yang per tahunnya tumbuh lebih dari 30 persen pada periode yang sama. Tak heran jika saat ini Vietnam melampaui Indonesia dari segi ekspor pakaian jadi (Harian Rakyat Merdeka 2014). Industri Kulit dan Barang dari Kulit

Pada industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia, pelaku industri kulit mengeluhkan minimnya pembinaan pemerintah sehingga menyebabkan daya saing industri lokal tertinggal dari negara ASEAN. Menurut data dari Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia/APKI (2015), di tahun 2015 kinerja industri Kulit dan Barang dari Kulit nasional merosot, mulai dari 50 sampai 70 persen. Masalah pasokan bahan baku, inovasi desain hingga ketersediaan pasar menjadi penyebab utamanya. Dengan adanya pembatasan impor bahan baku, daya saing Indonesia tertandingi dari Thailand dan Vietnam yang bebas mengimpor bahan baku dari seluruh negara, sehingga pasokan bahan bakunya menunjang peningkatan kinerja industri. Sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3, nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) untuk industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia, menunjukkan

8 http://edisicetak.joglosemar.co/berita/industri-tpt-indonesia-mampu-bersaing-di-kawasan-asean-59648.html (diakses 18 Oktober 2015)

Page 52: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

36

bahwa daya saing Indonesia dengan nilai RCA sebesar 1.34 memang lebih rendah dibandingkan nilai RCA Thailand sebesar 1.58 dan Vietnam yang merupakan negara dengan daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi) dengan nilai RCA sebesar 3.30.

Industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia mengalami kelangkaan bahan baku sejak tahun 1998 akibat dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 46/1997 pada 1 November 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit. Hambatan industri Kulit dan Barang dari Kulit Indonesia dalam mengimpor bahan baku kulit mentah dikarenakan mahalnya harga kulit mentah dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku.Permasalahan tidak hanya berada pada bahan baku, inovasi desain produk kulit juga menjadi kendala daya saing. Padahal, kualitas kulit yang dihasilkan di Indonesia dapat bersaing dengan produk kulit dari negara lain (Harian Info Publik 2015). Industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia

Industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia tidak berdaya saing di pasar ASEAN. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) yang lebih kecil dari satu. Meskipun ekspornya ke kawasan ASEAN untuk industri ini mengalami peningkatan, namun nilai ekspornya masih rendah bila dibandingkan dengan Singapura dan Thailand yang memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Misalnya saja di tahun 2009 dan 2013, nilai ekspor produk kimia Indonesia ke kawasan ASEAN meningkat dari 1.75 miliar USD menjadi 3.70 miliar USD. Namun, nilai ini masih lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (8.67 miliar USD di tahun 2009 menjadi 14.37 miliar USD pada tahun 2013) dan Thailand sebesar 3.67 miliar USD di tahun 2009 menjadi 7.27 miliar USD pada tahun 2013 (WITS 2015). Hal ini merupakan salah satu penyebab industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia menjadi tidak berdaya saing di pasar ASEAN. Negara lainnya yang industri kimianya juga tidak berdaya saing (RCA<1) adalah Malaysia, Philipina, Kamboja dan Vietnam.

Terkait dengan kondisi industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia dalam negeri yang belum berdaya saing di pasar ASEAN, Direktur Industri Kimia Dasar Kemenperin dalam penjelasannya di Tabloid Kontan (2014) mengungkapkan bahwa industri Kimia Indonesia masih ketinggalan dari Thailand yang sudah selangkah lebih maju. Berbeda dengan Thailand yang cepat melakukan recovery pasca krisis ekonomi tahun 1998 silam, Indonesia malah sebaliknya. Pertumbuhan industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia baru tumbuh kembali mulai tahun 2012 lalu. Dengan begitu, ada jeda waktu yang cukup lama pasca krisis ekonomi tahun 1998 silam. Padahal, sebelum krisis industri kimia Indonesia terbilang ekspansif. Setelah sukses di sektor pertanian, kini Thailand semakin maju di industri kimianya, dengan kapasitas produksi tiga sampai empat kali lipat dari Indonesia.

Persoalan utama yang dihadapi industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia Indonesia adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Kebutuhan dasar industri kimia ini harus didatangkan dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Iran. Alhasil, produk industri kimia masih kalah jauh, dimana porsi impor bahan baku mencapai 60-70 persen dari kebutuhan produksi. Di sisi lain, produk industri kimia dari Singapura dan Thailand terus merambah ke pasar Indonesia. Hal ini disebabkan karena kapasitas produksi kimia Singapura dan

Page 53: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

37

Thailand lebih besar dibandingkan Indonesia, sedangkan kebutuhan dalam negeri mereka masih kecil. Jika masalah bahan baku ini tidak segera diatasi, dikhawatirkan pasar dalam negeri akan dibanjiri oleh produk kimia dari kedua negara tetangga itu (Tabloid Kontan 2014).

Ketergantungan pada bahan baku impor ini juga menyebabkan struktur industri kimia nasional rapuh. Pada saat nilai tukar Rupiah melemah terhadap Dollar Amerika Serikat, dampaknya sangat signifikan. Agar tidak merugi, terpaksa perusahaan kimia meningkatkan harga jual produk mereka yang berakibat ke penurunan daya saing. Industri Logam Dasar

Industri ini diandalkan untuk memperluas pasar Indonesia di ASEAN. Hal ini dikarenakan kualitas produk dari industri Logam Dasar Indonesia, seperti baja, besi dan logam lainnya lebih baik dari negara ASEAN lainnya (Tabloid Kontan 2014). Selain itu juga disebabkan karena industri Logam Dasar ini berdaya saing di pasar ASEAN (RCA>1) bila dilihat dari nilai RCA rata-rata tahunannya pada periode 2001-2013 dan sekaligus menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi). Pesaing utama Indonesia untuk industri Logam Dasar adalah Kamboja dan Vietnam yang juga memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Sedangkan untuk Malaysia, Singapura, Philipina dan Thailand, industri Logam Dasarnya dikatakan tidak berdaya saing (RCA<1).

Pemerintah terus meningkatkan daya saing industri Logam Dasar Indonesia melalui program hilirisasi industri mineral. Dengan program hilirisasi tersebut, diharapkan investasi di bidang pengolahan berbasis mineral dan logam di Indonesia dapat mempercepat peningkatan daya saing industri logam nasional (Kemenperin 2013).

Industri Logam Dasar nasional memiliki peluang yang besar untuk berkembang, baik dari sisi pasar maupun bahan baku. Prospek pembangunan properti serta konstruksi yang terus berkembang perlu dimanfaatkan industri Logam Dasar nasional sebagai peluang pasar. Selain itu, potensi bahan baku dalam negeri yang melimpah dan belum dimanfaatkan optimal juga merupakan peluang yang baik bagi industri Logam Dasar Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk, khususnya ke pasar ASEAN.

Industri Mesin dan Perlengkapannya

Pada industri ini hanya Singapura dan Thailand yang memiliki daya saing di pasar ASEAN dengan nilai RCA rata-rata tahunannya yang lebih besar dari satu. Sedangkan untuk Indonesia, salah satu penyebab tidak berdaya saingnya industri Mesin dan Perlengkapannya di pasar ASEAN adalah rendahnya nilai ekspor bila dibandingkan dengan Singapura dan Thailand. Pada tahun 2013, nilai ekspor produk mesin Indonesia ke ASEAN adalah sebesar 1.77 miliar USD, jauh di bawah nilai ekspor produk mesin Singapura ke ASEAN sebesar 12.79 miliar USD dan nilai ekspor produk mesin Thailand ke ASEAN sebesar 5.17 miliar USD (WITS 2015). Pada industri ini, Singapura menjadi negara yang memiliki daya saing paling unggul di kawasan ASEAN (RCA tertinggi) dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) sebesar 1.40.

Page 54: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

38

Meskipun industri mesin Indonesia belum berdaya saing di pasar ASEAN, namun industri ini merupakan hal yang penting dalam struktur perindustrian di Indonesia karena menjadi salah satu sektor fundamental untuk memasok mesin-mesin dan dan peralatannya bagi sektor manufaktur, konstruksi, pertambangan, energi, pertanian, transportasi dan sektor lainnya. Industri Furnitur

Share nilai ekspor industri ini terhadap total ekspor Indonesia ke ASEAN masih relatif kecil, yaitu sekitar 0.7 persen. Di pasar ASEAN, industri ini dikatakan tidak berdaya saing karena sejak tahun 2007 sampai dengan 2013 nilai RCAnya di bawah satu (RCA<1), padahal beberapa tahun sebelumnya industri ini memiliki daya saing di pasar ASEAN (RCA>1). Daya saing ekspor Indonesia untuk industri ini juga terus mengalami penurunan, yaitu dari sekitar 0.96 di tahun 2009 menjadi 0.64 di tahun 2013. Hal ini disebabkan karena negara-negara tujuan ekspor utama industri furnitur Indonesia bukan ke kawasan ASEAN melainkan ke Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Australia, Belgia, Korea Selatan dan Taiwan (Kemenperin 2015). Mereka menyukai produk furnitur Indonesia karena memiliki ciri khas yang sangat menonjol, yaitu terdapat perpaduan antara bahan ramah lingkungan, keanekaragaman budaya, ketrampilan yang mumpuni, serta inovasi desain yang relatif maju sehingga tercipta produk Indonesia yang unik, inovatif, berkualitas dan standar internasional. Hal tersebut yang membuat produk Indonesia selalu menjadi produk berbeda dari produk negara-negara kompetitor lain. Negara yang memiliki daya saing paling unggul dalam ekspor industri Furnitur ke pasar ASEAN adalah Malaysia (RCA tertinggi) dengan nilai RCA rata-rata tahunan (2001-2013) sebesar 1.67.

Meskipun saat ini industri Furnitur Indonesia belum berdaya saing di pasar ASEAN, namun para pengusaha furnitur Indonesia optimis bahwa industri ini akan terus mengalami pertumbuhan di tahun mendatang. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Sekertaris Jenderal Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) bahwa jika potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh sektor ini dapat dikelola dengan baik, Indonesia dapat menjadi leader untuk industri Furnitur di Kawasan Regional ASEAN. Dengan ketersediaan bahan baku hasil hutan yang melimpah, sumber daya manusia yang terampil dalam jumlah besar dan semakin kondusifnya iklim investasi di negeri ini, maka dengan dasar pertimbangan tersebut Indonesia diharapkan dapat meningkatkan target pertumbuhan ekspor produk furniturnya ke ASEAN mencapai 5 miliar USD dalam lima tahun ke depan (Harian Ekonomi Neraca 2015). Namun, pada kenyataannya adalah ketersediaan bahan baku hasil hutan yang melimpah tersebut terancam semakin berkurang jumlahnya akibat dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal trade. Akibatnya, harga bahan baku menjadi mahal dan hal ini menjadi hambatan bagi industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Sektor Industri Prioritas

Pada penelitian ini digunakan metode regresi data panel guna menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing pada sektor industri prioritas

Page 55: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

39

Indonesia. Dalam regresi panel ini, nilai RCA akan digunakan sebagai variabel terikat dalam model persamaaan. Pemilihan Model Regresi Data Panel

Model yang digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia yaitu model regresi data panel. Penggunaan data panel dalam regresi akan menghasilkan intercept dan slope yang berbeda pada setiap individu dan setiap periode waktu. Model regresi data panel yang akan diestimasi membutuhkan asumsi terhadap intercept, slope dan variabel gangguannya, sehingga memunculkan beberapa kemungkinan atas adanya asumsi terhadap intercept, slope dan variabel gangguannya. Berdasarkan kemungkinan tersebut, beberapa literatur menyebutkan bahwa untuk mengestimasi data panel terdapat tiga teknik (model) yang biasa digunakan, yaitu model common effect, fixed effect, dan random effect. Pada dasarnya, ketiga teknik (model) estimasi data panel dapat dipilih sesuai dengan keadaan penelitian, dilihat dari jumlah individu dan variabel penelitiannya.

Berdasarkan Uji Chow dan Uji Hausman yang dapat dilihat pada Lampiran 4, model terbaik yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM). Selain olah data dengan menggunakan FEM menghasilkan banyak variabel yang signifikan, koefisien dugaan yang dihasilkan dengan meggunakan model ini juga telah sesuai dengan teori. Pendekatan ini menggunakan gabungan seluruh data, sehingga terdapat N x T observasi, di mana N menunjukkan jumlah unit cross section, yaitu 8 (delapan) sub sektor industri manufaktur yang dikategorikan sebagai industri proritas dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yaitu tahun 2001-2013.

Model Fixed Effecf merupakan rnetode estimasi yang memperhitungkan adanya perbedaan antara setiap individu, yang dalam hal ini adalah 8 (delapan) industri prioritas. Pada model fixed effect ini diasumsikan bahwa slope adalah sama untuk semua industri, dengan kata lain pengaruh variabel bebas terhadap daya saing sebagai variabel terikat adalah sama untuk semua industri, sehingga tidak dapat dilihat pengaruh dari variabel-variabel bebas terhadap daya saing di masing-masing industri prioritas. Hal ini merupakan salah satu keterbatasan dari pendekatan fixed effect. Satu hal yang membedakan hanyalah pada nilai intercept-nya, dimana nilai intercept yang berbeda-beda ini diasumsikan berasal dari variabel yang tidak ikut masuk sebagai variabel bebas dalam persamaan regresi yang dikenal sebagai omitted variable.

Pada pengolahan data ini sengaja dilakukan pembobotan untuk mengantisipasi pelanggaran asumsi yang terjadi. Pembobotan yang dilakukan adalah dengan menggunakan General Least Square (GLS). Selain itu, pembobotan Seemingly Unrelated Regression (SUR) juga dilakukan guna mengantisipasi adanya masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi antara individu dalam data panel. Deteksi Normalitas dan Uji Asumsi

Deteksi normalitas pada model bertujuan untuk menguji apakah residual terdistribusi secara normal atau tidak. Hasil regresi yang baik memerlukan residual yang normal dalam penarikan kesimpulan hasil estimasi. Adapun hipotesis pada deteksi normalitas adalah sebagai berikut:

Page 56: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

40

H0: Residual menyebar normal H1: Residual tidak menyebar normal

Gambar 8 Deteksi normalitas pada Fixed Effect Model

Berdasarkan Gambar 8, nilai probability (0.480327) > 0.05 (taraf nyata 5

persen), maka keputusannya adalah terima Hipotesis Nol (H0) yang artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi.

Selain deteksi normalitas, juga dilakukan uji asumsi pada model. Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi data panel adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate), maka ragam error harus konstan atau semua error mempunyai varians yang sama. Kondisi ini disebut homoskedastisitas. Adapun jika ragam error tidak konstan atau berubah-ubah, maka disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dilakukan dengan cara membandingkan sum square residual pada weighted statistics dengan sum square residual pada unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih kecil daripada sum square

residual pada unweighted statistics, maka terdeteksi adanya heteroskedastisitas. Selain itu, untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas juga dapat dilakukan dengan melihat plot residual pada model fixed effect.

Gambar 9 Plot residual pada Fixed Effect Model

0

2

4

6

8

10

12

-3 -2 -1 0 1 2

Series: Standardized Residuals

Sample 2001 2013

Observations 104

Mean -1.52e-16

Median -0.000826

Maximum 2.243582

Minimum -2.817736

Std. Dev. 0.979201

Skewness -0.014727

Kurtosis 2.418989

Jarque-Bera 1.466578

Probability 0.480327

-3

-2

-1

0

1

2

3

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Standardized Residuals

Page 57: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

41

Berdasarkan hasil pengamatan nilai sum square residual, tidak ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model karena nilai sum square residual pada weighted statistics (98.75999) lebih besar daripada nilai sum square residual pada unweighted statistics (32.56928). Berdasarkan plot residual pada Gambar 9 juga dapat dilihat bahwa sebaran residual menyebar konstan. Dengan demikian, dapat disimpulkan sudah homoskedastisitas atau tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.

Pendeteksian adanya autokorelasi juga dilakukan pada model ini. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi dilakukan dengan membandingkan Durbin

Watson (DW) statistiknya dengan DW-Tabel. Berdasarkan hasil pengujian pada model menunjukkan bahwa nilai DW-Statistiknya adalah sebesar 1.693559. Dengan nilai dL sebesar 1.5597 dan nilai dU sebesar 1.7493, maka nilai DW-Stat ini terletak di “daerah keragu-raguan” yang artinya kemungkinan tidak terdapat permasalahan autokorelasi pada model.

Asumsi lainnya yang harus dipenuhi adalah model terbebas dari masalah multikolinearitas, yaitu tidak adanya korelasi antar variabel bebas. Uji ini dilakukan dengan melihat matriks korelasi antara variabel-variabel bebas, dimana rule of tumb yang digunakan adalah 0.8. Jika nilai korelasi lebih besar dari 0.8 maka dapat dikatakan terdapat masalah multikolinearitas pada persamaan regresi. Berdasarkan matriks korelasi antara variabel-variabel bebas yang dapat dilihat pada Tabel 4, diketahui tidak terdapat korelasi yang kuat antara variabel bebasnya. Hal ini menandakan bahwa tidak terdapat permasalahan multikolinearitas pada model.

Tabel 4 Matriks korelasi antar variabel bebas pada Fixed Effect Model

PX LABPROD FIXCAP RER PX 1 -0.412 0.042 -0.219 LABPROD -0.412 1 0.042 -0.221 FIXCAP 0.042 0.042 1 -0.302 RER -0.219 -0.221 -0.302 1

Hasil Estimasi Regresi Data Panel

Metode yang paling sesuai untuk mengestimasi persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia adalah Fixed

Effect Model. Berdasarkan uji kriteria statistik, hasil estimasi pada Tabel 5 menunjukkan probabilitas F-statistik pada persamaan regresi memiliki nilai 0.0000 yang lebih kecil dari taraf nyata (α) 5 persen (0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa setidaknya ada satu variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap daya saing sektor industri prioritas. Selanjutnya, untuk mengetahui variabel bebas yang berpengaruh signifikan terhadap daya saing sektor industri prioritas dilakukan uji-t.

Page 58: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

42

Tabel 5 Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas Indonesia

Variabel Koefisien Probabilitas PX (Harga Ekspor) LABPROD (Produktivitas TK) FIXCAP (Modal) RER (Nilai Tukar Riil) C (Konstanta)

-5.261890 0.026079

-0.023866 0.556836

-4.824985

0.0000** 0.0403* 0.2213 0.0000** 0.0000**

R-squared Adjusted R-squared Prob(F-statistic)

0.943883 0.937173 0.000000

Keterangan: * Signifikan pada taraf nyata (α) 5 persen ** Signifikan pada taraf nyata (α) 1 persen

Hasil uji-t menunjukkan bahwa variabel bebas yang signifikan

mempengaruhi daya saing sektor industri prioritas adalah harga ekspor (PX), produktivitas tenaga kerja (LABPROD) dan nilai tukar riil (RER). Hasil ini dibuktikan dengan nilai probabilitas pada masing-masing variabel bebas tersebut lebih kecil daripada taraf nyata 5 dan 1 persen. Hasil estimasi juga menunjukkan nilai Adjusted R-squared yang diperoleh yaitu sebesar 0.937173. Nilai Adjusted R-

squared ini digunakan sebagai ukuran kesesuaian model (goodness of fit). Nilai Adjusted R-squared ini menunjukkan bahwa 94 persen keragaman variabel terikat (daya saing) mampu dijelaskan oleh variabel-variabel bebas yang ada di dalam model, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Selanjutnya, akan dijelaskan lebih detail mengenai hubungan antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat (daya saing).

Harga Ekspor (PX)

Harga ekspor pada dasarnya dihasilkan dari permintaan dan penawaran produk dari sektor industri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. Pada periode tahun 2005 hingga 2013, kinerja ekspor sektor industri prioritas Indonesia ke negara-negara ASEAN menunjukkan tren yang berfluktuatif karena pengaruh globalisasi dan dampak perekonomian yang terjadi pada perdagangan internasional maupun regional seperti terlihat pada Gambar 10.

Pengaruh resesi ekonomi yang terjadi di Uni Eropa dan bergerak ke Amerika pada tahun 2007-2008 tidak dirasakan para produsen/pengusaha di Indonesia, khususnya pada sektor industri prioritas. Hal itu terlihat dari tren naik dari industri prioritas pada tahun tersebut yang menyumbang besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, krisis ekonomi di akhir tahun 2008 dirasakan dampaknya pada iklim usaha Indonesia pada tahun 2009 dengan turunnya pertumbuhan laju ekspor produk-produk pada sektor industri prioritas Indonesia seiring dengan menurunya permintaan terhadap produk dari industri prioritas Indonesia. Serangkaian kebijakan dan regulasi telah dibuat untuk menghadapi pengaruh krisis ekonomi global ini dan berdampak positif untuk iklim usaha sehingga mampu membuat jumlah nilai ekspor Indonesia rebound dan bahkan melebihi dari tahun sebelum terkena dampak resesi.

Page 59: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

43

Sumber: WITS 2015 (diolah)

Gambar 10 Ekspor sektor industri prioritas Indonesia ke kawasan ASEAN tahun 2005-2013

Di sisi lain, terjadinya impor atas kelompok industri yang sama dari negara

anggota ASEAN adalah konsekuensi logis dari keputusan Indonesia untuk memasuki AFTA pada tahun 2002 dalam perdagangan kawasan regional ASEAN. Komitmen penghapusan hambatan perdagangan, khususnya tarif, mendorong negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia untuk mengimpor komoditas atau produk dari negara anggota FTA yang berbiaya lebih rendah daripada membeli dari industri domestik yang berbiaya tinggi. Sebagai hasilnya, terjadi impor atas produk yang berspesifikasi teknis yang sama tetapi relatif lebih murah, atau terjadi impor karena dekatnya daerah yang membutuhkan produk tersebut ke sumber produksi (metode kedekatan geografi dari teori gravitasi). Adapun produk-produk pada beberapa industri prioritas yang menghasilkan net ekspor, antara lain Tekstil dan Pakaian Jadi (dari Thailand), Kulit dan Barang-barang dari Kulit (dengan Thailand dan Vietnam), Mesin dan Perlengkapannya (dengan Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapura dan Thailand) dan Furnitur (dengan Philipina dan Thailand). Dengan demikian, secara total dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2013, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan Thailand (Lampiran 2). Ini semua menunjukkan bahwa Free Trade Agreement di kawasan ASEAN menciptakan trade creation karena membuka kesempatan kepada pelaku ekonomi di masing-masing negara anggota untuk medapatkan produk atau komoditi yang lebih murah, baik dari segi biaya produksi atau karena dihapuskannya biaya tarif ekspor.

Rendahnya harga ekspor mencerminkan bahwa produk-produk pada industri prioritas berdaya saing. Dalam hal ini salah satu komponen yang mempengaruhi harga ekspor adalah harga domestik di tingkat produsen, yaitu biaya produksi

0

1,000,000,000

2,000,000,000

3,000,000,000

4,000,000,000

5,000,000,000

6,000,000,000

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

Dal

am R

ibu

USD

Makanan dan Minuman

Tekstil

Pakaian Jadi

Kulit dan Barang dari Kulit

Kimia dan barang-barangdari bahan kimia

Logam dasar

Mesin danperlengkapannya

Furniture

Page 60: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

44

yang dikeluarkan oleh industri untuk membentuk suatu macam produk, baik itu kualitas, desain, harga dan lain sebagainya. Rendahnya biaya produksi menandakan bahwa harga pembelian input oleh perusahaan eksportir juga rendah, sehingga harga ekspornya pun rendah. Karena esensi daya saing adalah biaya yang relatif rendah, maka rendahnya harga ekspor produk-produk pada industri prioritas menunjukkan daya saingnya yang semakin meningkat. Begitu pula sebaliknya, tingginya harga ekspor produk-produk pada industri prioritas menunjukkan daya saingnya yang semakin menurun.

Hasil regresi berdasarkan pendekatan fixed effect menunjukkan bahwa variabel harga ekspor (PX) secara statistik signifikan dalam menentukan daya saing (DS) sektor industri prioritas dan memiliki hubungan yang negatif. Hasil ini sesuai dengan hipotesis penelitian dan penjelasan di atas, dimana jika harga ekspor meningkat, tingkat daya saing justru mengalami penurunan. Nilai koefisien variabelnya sebesar -5.26 berarti bahwa apabila harga ekspor produk dari sektor industri prioritas naik sebesar 1 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap (cateris paribus), maka daya saing sektor industri prioritas akan turun sebesar 5.26 persen. Produktivitas Tenaga Kerja (LABPROD)

Tenaga kerja dapat dikategorikan sebagai input dalam proses produksi. Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja akan dapat mempengaruhi proses produksi output. Dengan tenaga kerja yang produktif, suatu perusahaan akan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Terkait dengan kondisi bahwa sebagian besar industri di Indonesia bersifat resource bases dan padat karya, maka produktivitas tenaga kerja berperan penting dalam menentukan output yang dihasilkan yang pada akhirnya juga menentukan tingkat daya saing.

Pada sektor industri prioritas Indonesia, peningkatan produktivitas tenaga kerja dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dengan meningkatkan upah tenaga kerja, seperti pada industri Makanan dan Minuman, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Logam Dasar serta industri Mesin dan Perlengkapannya. Selain itu, dapat juga dilakukan melalui pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan para tenaga kerja berupa pelatihan teknis bagi SDM industri dan pendampingan tenaga ahli, seperti yang diberlakukan pada industri Tekstil, Pakaian Jadi, Kulit dan Barang dari Kulit serta industri Furnitur (Kemenperin 2013).

Upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui beberapa cara tersebut dilakukan mengingat bila dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, produktivitas tenaga kerja di industri manufaktur Indonesia masih tergolong rendah. Menurut data Asian Productivity Organization/APO (2013), produktivitas tenaga kerja Indonesia di sektor industri manufaktur adalah sebesar 9,500 USD. Jika diasumsikan 1 USD sama dengan Rp 11,000, maka produktivitas tenaga kerja Indonesia setara dengan Rp 104.5 juta per pekerja per tahun. Angka produktivitas tenaga kerja Indonesia ini di bawah Singapura yang mencapai 92,000 USD atau Rp 1.012 miliar, Malaysia 33,300 USD atau Rp 363,3 juta, dan Thailand 15,400 USD atau Rp 169.4 juta. Bahkan, produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah rata-rata ASEAN yang sebesar 10,700 USD atau Rp 117.7 juta. Selain itu, data dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga menunjukkan bahwa

Page 61: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

45

tingkat produktivitas tenaga kerja industri manufaktur di Indonesia berada jauh di bawah beberapa negara ASEAN lainnya, yaitu di peringkat ke-59 dibandingkan Thailand di peringkat ke-27 dan Malaysia di peringkat ke-18.

Rendanya produktivitas tenaga kerja ini dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan tingkat upah pekerjanya. Data Kemenperin (2014) menunjukkan bahwa pekerja di sektor industri manufaktur mayoritas berpendidikan maksimal Sekolah Menengah Pertama (SMP), yakni sebanyak 9.8 juta orang atau 62.26 persen dari total tenaga kerja industri manufaktur tahun 2013. Adapun tenaga professional dan kepemimpinan di sektor industri manufaktur hanya sekitar 3.5 persen. Di sisi lain, hanya 5 persen angkatan kerja yang memperoleh pelatihan dan hanya sekitar 1.6 persen yang mempunyai sertifikat kompetensi. Jika dilihat dari tingkat upahnya yang dinilai oleh International Labor Organization (ILO), Indonesia memiliki tingkat upah minimum terendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tenaga kerja Indonesia masih berada pada level terendah jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Ikut sertanya Indonesia ke dalam integrasi ekonomi ASEAN menyebabkan semakin besarnya ukuran pasar dan persaingan yang dihadapi sektor industri prioritas Indonesia. Oleh karena itu, industri-industri yang tergolong ke dalam sektor prioritas akan terdorong untuk meningkatkan efisiensinya melalui peningkatan produktivitas tenaga kerjanya agar dapat bersaing dengan industri sejenis dari negara ASEAN lainnya.

Sumber: BPS 2015

Gambar 11 Rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor industri prioritas Indonesia tahun 2001-2013

Data BPS (2015) menunjukkan bahwa industri prioritas yang tingkat

produktivitas tenaga kerjanya paling tinggi adalah industri Logam Dasar. Hal ini berarti bahwa peningkatan upah tenaga kerja sebagai strategi peningkatan

441

172 81 112

840

1,241

324

94

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

Juta

Rup

iah

Page 62: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

46

produktivitas tenaga kerja yang dilakukan oleh industri ini sangat dirasakan pengaruhnya. Seperti diketahui bahwa suatu perusahaan akan menghasilkan output yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Pada akhirnya, peningkatan produktivitas tenaga kerja ini akan berimbas pada peningkatan daya saingnya. Hal ini dapat dibuktikan dari nilai RCA industri Logam Dasar yang menunjukkan bahwa industri ini memiliki daya saing tertinggi bila dibandingkan dengan industri prioritas lainnya.

Sementara itu, industri prioritas yang tingkat produktivitas tenaga kerjanya paling rendah adalah industri Pakaian Jadi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang belum sesuai dengan kebutuhan industri menjadi salah satu penyebabnya (Kemenperin 2015). Meskipun industri ini berdaya saing di pasar ASEAN, namun jika produktivitas tenaga kerjanya tidak ditingkatkan, maka sangat memungkinkan hal tersebut dapat berimbas pada penurunan daya saingnya.

Hasil regresi panel dengan pendekatan fixed effect menunjukkan bahwa variabel produktivitas tenaga kerja (LABPROD) berpengaruh signifikan terhadap variabel daya saing (DS) sektor industri prioritas. Nilai koefisien variabel LABPROD sebesar 0.03 berarti peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor industri prioritas sebesar 1 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap (cateris

paribus) akan meningkatkan daya saing di sektor industri prioritas sebesar 0.03 persen. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya, antara lain yang dilakukan oleh Bloch dan McDonald (2000) di Australia serta Sjoholm (1997) di Indonesia yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan positif antara liberalisasi perdagangan dengan produktivitas tenaga kerja. Dalam hal ini, semakin terbukanya perdagangan Indonesia ke kawasan ASEAN, menandakan semakin tingginya persaingan produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya. Hal ini menyebabkan produsen di sektor industri prioritas Indonesia harus berusaha mendorong peningkatan produktivitasnya agar dapat bertahan di tengah persaingan dengan produk asing. Penambahan Kapital Tetap (FIXCAP)

Modal juga merupakan salah satu input yang penting untuk digunakan dalam proses produksi. Karena modal diperlukan untuk menghasilkan output, maka semakin banyak modal yang tersedia, diharapkan output yang dihasilkan pun akan semakin besar. Dengan demikian, dapat mendorong peningkatan daya saing di sektor industri prioritas.

Sumber daya modal dalam hal ini berupa mesin-mesin atau peralatan dan bahan baku yang digunakan sebagai input dalam proses produksi. Menurut data Kemenperin (2013), total nilai penanaman modal di sektor manufaktur secara umum mencapai Rp 160 triliun pada 2012, jauh di atas target awal tahun 2012 yaitu sebesar Rp 120 triliun. Sedangkan investasi di sektor manufaktur tahun 2013 mencapai Rp 223.648 triliun.

Bagi industri Makanan dan Minuman, dari sisi investasi, sepanjang Januari-September 2013 tercatat penanaman modal dalam negeri (PMDN) di industri Makanan dan Minuman mencapai Rp 7.71 triliun dengan 176 proyek. Sementara, penanaman modal asing (PMA) tercatat sebesar 1.14 miliar USD dengan 334

Page 63: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

47

proyek pada periode Januari-September 2013. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) memperkirakan investasi di sektor Makanan dan Minuman nasional bisa mencapai Rp 25 triliun. Sekitar 60 persen diantaranya merupakan investasi di industri minuman ringan. Nilai omzet industri Makanan dan Minuman tahun 2014 tumbuh 8 persen menjadi sekitar Rp 760 triliun. Sub sektor minuman mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu naik sebesar 15 persen, sedangkan untuk sub sektor makanan hanya tumbuh sebesar 8 persen (Kemenperin 2015).

Pada industri Tekstil dan Pakaian Jadi, kebutuhan bahan baku berupa kain diperkirakan mencapai 2.1 juta ton per tahun, sementara kapasitas produksi industri kain mencapai 2.5 juta ton per tahun. Dengan jumlah kapasitas produksi tersebut, seharusnya kebutuhan produk kain dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri, namun pada kenyataannya impor kain mencapai 615 ribu ton yang diperkirakan setara dengan 1.53 miliar meter atau sebesar 29 persen dari kebutuhan kain domestik di tahun 2014. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya program restrukturisasi mesin dan peralatan industri yang telah berlangsung selama delapan tahun belakangan ini, industri Tekstil dan Pakaian Jadi nasional memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya saingnya. Pada tahun 2015 ini, anggaran restrukturisasi mesin tekstil yang disediakan pemerintah sekitar Rp 100 miliar, dan program tersebut masih akan dibutuhkan setidaknya hingga lima tahun ke depan. Dengan peremajaan mesin tekstil, maka proses produksi bisa berjalan lebih efisien, sehingga daya saing produk tekstil bisa dijaga dan ditingkatkan (Kemenperin 2015).

Untuk industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, salah satu produsen petrokomia terbesar di Indonesia, yaitu PT. Asahimas Chemical telah menginvestasikan dananya sebesar 300 – 400 juta USD (sekitar Rp 3.8 triliun) pada akhir tahun 2014. Dana tersebut dialokasikan untuk ekspansi pabrik pengolahan soda kaustik dan polyvinyl chloride (PVC) yang berlokasi di Cilegon, Banten. Ekspansi dimaksud telah mulai dilakukan pada akhir tahun 2014 dan akan mulai beroperasi pada akhir 2015. Perluasan pabrik yang akan menyerap 300 tenaga kerja baru ini dipicu oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 6 sampai 7 persen per tahun dan kebutuhan industri yang semakin meningkat. Ekspansi tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri, terutama untuk sektor-sektor industri seperti sabun, makanan dan pakaian. Ekspansi itu akan menambah kapasitas produksi soda kaustik dari sebesar 500 ribu ton per tahun menjadi 700 ribu ton per tahun dan PVC dari 250 ribu ton menjadi 600 ribu ton per tahun. Ekspansi ini juga akan memperbesar porsi ekspor produk soda kaustik dan PVC. Terkait bahan baku, kebutuhan PT. Asahimas Chemical saat ini dipasok dari dalam negeri dan diimpor dari Timur Tengah. Saat ini, 80 persen produksi dari industri kimia Indonesia digunakan untuk kebutuhan dalam negeri dan 20 persen sisanya diekspor. Ekspansi PT. Asahimas akan memperkuat sektor industri kimia nasional khususnya bagi produk PVC dan soda kaustik. Sektor swasta lainnya yang juga berinvestasi di industri kimia Indonesia adalah PT. Honam Pertrochemical Corporation yang berasal dari Korea Selatan. Menurut Kemenperin, investasi Honam cukup besar dan bisa membantu Indonesia keluar dari ketergantungan impor bahan kimia. Selain sektor swasta, peranan dari pemerintah juga dibutuhkan. Guna menunjang peningkatan daya saing industri kimia, pemerintah melalui Pertamina mengerjakan proyek investasi di sektor hulu.

Page 64: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

48

Diharapkan dengan investasi di sektor hulu yang tersedia saat ini, yaitu sebesar 5 miliar USD dapat memenuhi kebutuhan domestik dalam lima tahun ke depan (Kemenperin 2013).

Pada industri Logam Dasar, menurut data Kemenperin (2013), ada sembilan perusahaan yang melakukan investasi maupun ekspansi di sektor industri Logam Dasar. Kesembilan perusahaan tersebut, antara lain adalah PT. KS Posco dengan nilai investasi sebesar 3 miliar USD, Nippon dan KS senilai 300 juta USD, perusahaan Jepang sebesar 300 juta USD, ekspansi oleh KS sebesar 140 juta USD, PT Delta Prima sebesar 40 juta USD, Indoferro 140 juta USD, Weda Bay Nikel senilai 5 miliar USD dan Feni Haltim sebesar 1.6 miliar USD. Data Kemenperin (2013) juga menunjukkan bahwa kebutuhan pasar domestik akan produk logam dasar diperkirakan akan terus mengalami peningkatan sekitar 8-9 persen per tahun. Konsumsi logam dasar perkapita yang banyak digunakan sebagai material utama pembangunan infrastruktur, gedung, bangunan hingga jalanan dan jembatan juga diperkirakan akan bertambah menjadi 57 kilogram (kg) pada tahun 2015 ini dari tahun 2010 yang sebesar 48 kg. Dengan adanya investasi dari kesembilan perusahaan tersebut diharapkan mampu mensubstitusi kebutuhan pasar domestik sebesar 6.8 juta ton per tahun dari impor saat ini yang mencapai 9 juta ton per tahun (Kemenperin 2013).

Pada industri Mesin dan Perlengkapannya, di tahun 2015 ini mengalami peningkatan produksi sebesar 8.60 persen. Peningkatan ini terutama ditopang oleh tumbuhnya investasi penanaman modal asing yang naik sebesar 101.9 persen dan investasi penanaman modal dalam negeri yang juga tumbuh sebesar 52.5 persen. Dari tingkat pertumbuhan modal tersebut terlihat bahwa pada industri Mesin dan Perlengkapannya masih mengalami ketergantungan terhadap persediaan modal asing (BPS 2015).

Di sisi lain, industri Furnitur yang dianggap telah mampu berdaya saing di pasar ASEAN, tidak lain karena didukung dengan sumber bahan baku yang memiliki keragaman corak desain yang inovatif dan menarik. Ketergantungan industri Furnitur Indonesia yang tinggi terhadap bahan baku yang berasal dari dalam negeri tidak ditunjang dari ketersediaannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roadmap Industri Furnitur (2009), industri Furnitur Indonesia menghadapi kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan bahan baku (Kayu dan Rotan) yang semakin melebar. Kesenjangan ini akibat dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal trade. Di samping itu, masih belum optimalnya dukungan pasokan bahan baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat (HR). Bersamaan dengan sulitnya mendapatkan bahan baku kayu untuk industri, juga masih belum banyak industri yang memanfaatkan bahan baku alternatif non hutan alam sebagaimana kayu kelapa, kayu kelapa sawit dan kayu karet (tua). Ketidaktersediaan bahan baku lokal dan mahalnya harga bahan baku lokal dianggap menjadi hambatan bagi industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk sejenis dari negara ASEAN lainnya (Kemendag 2011).

Hasil regresi berdasarkan pendekatan fixed effect menunjukkan bahwa variabel penambahan modal tetap (FIXCAP) tidak signifikan terhadap variabel daya saing (DS) di sektor industri prioritas. Hal ini disebabkan karena dampak terhadap peningkatan daya saing dari adanya penambahan modal tetap pada tahun tertentu tidak langsung dirasakan pada tahun tersebut, melainkan akan dirasakan

Page 65: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

49

pada beberapa tahun ke depan. Seperti halnya telah dijelaskan di atas bahwa adanya penanaman investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, adanya program restrukturisasi mesin dan peralatan industri, adanya perluasan pabrik dan lain sebagainya merupakan upaya peningkatan daya saing industri di masa depan yang dilakukan pada saat sekarang. Nilai Tukar Riil (RER)

Besarnya nilai daya saing sektor industri prioritas Indonesia cukup dipengaruhi oleh nilai ekspor dan total ekspornya, dimana keduanya sangat bergantung pada perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat. Hal tersebut dapat terjadi karena nilai RCA yang ada dipengaruhi oleh nilai ekspor yang dihitung dalam Dollar Amerika Serikat, sehingga menguat atau melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sangatlah penting pengaruhnya terhadap daya saing sektor industri prioritas Indonesia.

Hasil regresi panel dengan pendekatan fixed effect menunjukkan bahwa variabel nilai tukar riil (RER) secara statistik berpengaruh signifikan terhadap daya saing (DS) sektor industri prioritas. Nilai koefisiennya sebesar 0.56 berarti bahwa jika nilai tukar riil meningkat sebesar 1 persen dengan asumsi variabel lainnya tetap (cateris paribus), maka daya saing di sektor industri prioritas akan meningkat sebesar 0.56 persen.

Di sisi lain, pada industri manufaktur, khususnya sektor industri prioritas yang sebagian besar inputnya merupakan komponen impor, kenaikan nilai tukar dapat menyebabkan peningkatan beban ongkos atau biaya produksi. Ketergantungan impor yang tinggi membuat industri prioritas sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah. Industri prioritas yang paling sensitif terhadap depresiasi Rupiah adalah industri Mesin dan Perlengkapanya, baik dalam hal penurunan output maupun tekanan di sisi biaya. Ekspor pada industri tersebut tidak dapat tumbuh optimal saat Rupiah terdepresiasi karena terdapat tekanan dari sisi biaya produksi akibat besarnya kenaikan harga bahan baku dan barang modal yang berasal dari impor, sehingga terjadi lonjakan impor yang melebihi pertumbuhan ekspornya yang pada akhirnya menyebabkan terjadi defisit neraca perdagangan (Lampiran 2). Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena ketika Rupiah terdepresiasi, pertumbuhan ekspor manufaktur justru melambat. Padahal, depresiasi Rupiah seharusnya mendorong pertumbuhan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing.

Dari regresi dengan menggunakan pendekatan fixed effect, juga diperoleh

hasil intercept untuk masing-masing industri yang dijadikan sebagai variabel cross section atau dapat disebut sebagai individual effect (Tabel 6). Berdasarkan nilai intercept untuk setiap industri prioritas, dapat diketahui perbedaan tingkat daya saing antara satu industri dengan industri lainnya sehingga dapat dilihat tingkat daya saing masing-masing industri secara terpisah. Adapun urutan sektor industri prioritas mulai dari yang memiliki nilai daya saing tinggi sampai dengan yang nilai daya saingnya rendah berdasarkan nilai intercept-nya adalah sebagai berikut: (1) industri Logam Dasar, (2) industri Pakaian Jadi, (3) industri Tekstil, (4) industri Kulit dan Barang dari Kulit, (5) industri Makanan dan Minuman, (6) industri Furnitur, (7) industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia dan (8) industri Mesin dan Perlengkapannya. Penetapan peringkat daya saing sektor

Page 66: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

50

industri prioritas berdasarkan nilai intercept tersebut adalah in line atau sesuai dengan hasil analisis daya saing dengan menggunakan RCA. Industri yang memiliki tingkat daya saing tertinggi berdasarkan hasil RCA dan nilai intercept adalah industri Logam Dasar. Sementara itu, ketiga industri prioritas dengan urutan terbawah berdasarkan nilai intercept, yaitu industri Furnitur, industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia serta industri Mesin dan Perlengkapannya merupakan industri yang tidak berdaya saing berdasarkan hasil analisis RCA. Tabel 6 Nilai intercept pada masing-masing sektor industri prioritas Indonesia

Sektor Industri Nilai Intercept Makanan dan Minuman -4.72 Tekstil -4.56 Pakaian Jadi -4.36 Kulit dan Barang dari Kulit -4.66 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia -5.29 Logam Dasar -4.27 Mesin dan Perlengkapannya -5.62 Furnitur -5.12

Analisis Kebijakan Peningkatan Daya Saing Sektor Industri Prioritas

Indonesia

Merujuk pada analisa deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode RCA dan data panel, maka dapat dianalisis beberapa kebijakan dalam rangka meningkatkan daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Pertama, terkait dengan harga ekspor, kebijakan pengembangan industri hulu dan industri antara berbasis sumber daya alam serta pengendalian ekspor bahan mentah dirasa perlu dilakukan mengingat Indonesia kaya akan hasil alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Pengurangan ekspor hasil alam berupa bahan mentah yang kemudian dialokasikan untuk bahan baku industri domestik, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Dengan demikian, biaya produksi dapat lebih murah dan pada akhirnya dapat berdampak pada rendahnya harga ekspor. Kebijakan yang terkait dengan penurunan harga ekspor ini dapat diterapkan pada seluruh industri prioritas, namun ada baiknya lebih ditekankan pada industri yang memiliki harga ekspor tinggi. Berdasarkan data BPS (2015), dari kedelapan industri prioritas, industri Kulit dan Barang dari Kulit adalah industri yang harga ekspor rata-ratanya paling tinggi, yaitu mencapai 39,380 USD/Ton. Tingginya harga ekspor tersebut disebabkan karena ketergantungan akan bahan baku impornya yang juga tinggi, yaitu sebesar 44.78 persen (rata-rata dari tahun 2001-2013). Industri ini mengalami kelangkaan bahan baku domestik sejak tahun 1998 akibat dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 46/1997 pada 1 November 1997 tentang Karantina Bahan Baku Kulit .

Harga ekspor pada dasarnya dihasilkan dari adanya permintaan dan penawaran produk dari sektor indusri prioritas Indonesia di pasar ASEAN. Berdasarkan hal tersebut, kabijakan kedua yang dapat diterapkan terkait dengan pengembangan ekspor sektor industri prioritas ke kawasan ASEAN adalah

Page 67: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

51

melalui peningkatan nilai tambah produk pada industri prioritas melalui kegiatan diversifikasi produk, dan meningkatkan pola kerjasama dengan produsen negara lain di kawasan ASEAN melalui promosi, sehingga dapat mendukung kegiatan diversifikasi pasar tujuan ekspor untuk produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia ke arah yang lebih prospektif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mendukung strategi tersebut adalah dengan aktif ikut serta dalam pameran internasional. Selain dapat menjadi ajang promosi untuk memperluas akses pasar, diharapkan juga dapat terjalin kerjasama antara stakeholder industri prioritas sehingga mampu meningkatkan nilai perdagangan yang dapat memberikan manfaat besar bagi sektor industri prioritas Indonesia sekaligus mendorong pengembangan industri nasional secara umum.

Ketiga, kebijakan yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja berupa peningkatan kualitas SDM pelaku industri pada sektor industri prioritas Indonesia dengan pelatihan atau kegiatan inovasi, pendampingan tenaga ahli serta peningkatan upah tenaga kerja. Jika berbicara tentang SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja, secara langsung tenaga kerja ini berpengaruh terhadap hasil produksi dari sektor industri prioritas. Apabila sedikit tenaga kerja yang digunakan, sedikit pula hasil produksi yang dicapai. Begitu pula sebaliknya, makin banyak tenaga kerja yang digunakan, makin banyak pula produk yang dihasilkan sampai batas tertentu. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tenaga kerja merupakan motor penggerak dalam kegiatan produksi. Manusia berperan sebagai perencana, pengelola dan pemberi hasil dalam kegiatan produksi. Hal tersebut menuntut setiap industri dalam sektor industri prioritas perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.

Investasi dalam pembinaan SDM dapat meningkatkan kualitas modal manusia, sehingga pada akhirnya akan membawa dampak positif yang sama terhadap angka produksi, bahkan akan lebih besar lagi mengingat terus bertambahnya jumlah manusia. Pengembangan SDM pelaku industri pada sektor industri prioritas Indonesia dengan pelatihan atau kegiatan inovasi dan pendampingan tenaga ahli akan mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada tenaga kerja yang bersangkutan. Pada akhirnya, pekerja yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Pengembangan SDM yang dalam hal ini adalah tenaga kerja merupakan faktor penting dalam mempengaruhi pertumbuhan produksi di sektor industri prioritas yang pada akhirnya berimbas pada peningkatan daya saing sektor industri prioritas Indonesia di kawasan ASEAN.

Meskipun terdapat hubungan positif antara produktivitas tenaga kerja dan daya saing, tetapi jika dilihat dari tingkat produktivitas tenaga kerja di masing-masing sektor industri prioritas, sebagaimana yang telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, yaitu pada sub bab “Produktivitas Tenaga Kerja (LABPROD)”, maka dapat dilihat perbedaan antar sektornya. Dalam hal ini, industri Pakaian Jadi dan industri Furnitur adalah industri dengan tingkat produktivitas tenaga kerja terendah. Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan kebijakan peningkatan produktivitas tenaga kerja untuk kedua

Page 68: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

52

industri tersebut baik dalam bentuk pelatihan teknis bagi SDM industri dan pendampingan tenaga ahli ataupun melalui peningkatan upah tenaga kerja. Dengan diberikannya pelatihan dan pendampingan tenaga ahli diharapkan peningkatan kualitas tenaga kerja dapat sesuai dengan kebutuhan industri. Di sisi lain, dengan adanya peningkatan upah diharapkan kesejahteraan tenaga kerja akan menjadi lebih baik sehingga mereka termotivasi untuk lebih meningkatkan produktivitasnya.

Upaya peningkatan daya saing yang keempat dapat dilakukan melalui kebijakan yang berhubungan dengan nilai tukar yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu dari sisi penjualan dan dari sisi pembelian. Dari sisi penjualan, kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat atau yang sering disebut dengan depresiasi Rupiah menyebabkan permintaan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh sektor industri prioritas Indonesia dari kawasan ASEAN meningkat dikarenakan harga dari produk-produk tersebut menjadi lebih murah akibat Rupiah terdepresiasi. Kondisi ini membawa pengaruh baik bagi daya saing sektor industri prioritas Indonesia karena meningkatnya ekspor produk-produk yang dihasilkan oleh industri prioritas akan berdampak pada peningkatan daya saingnya. Dengan demikian, pada saat Rupiah terdepresiasi, strategi promosi ekspor, misalnya melalui kegiatan pameran internasional dirasa tepat untuk dilakukan guna memperluas akses pasar yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya saing. Mengingat industri Kimia dan Barang-barang dari bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur masih belum berdaya saing di pasar ASEAN berdasarkan analisis RCA, maka pada saat Rupiah terdepresiasi, penting untuk dipertimbangkan kebijakan peningkatan daya saing yang lebih diprioritaskan untuk ketiga industri tersebut, baik dengan menggunakan strategi promosi ekspor ataupun meningkatkan kerjasama dengan produsen negara lain di kawasan ASEAN.

Sementara itu, dari sisi pembelian, kenaikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dapat menyebabkan peningkatan biaya produksi. Pada saat Rupiah terdepresiasi, secara otomatis harga bahan baku impor menjadi lebih mahal sehingga mendorong meningkatnya biaya produksi dan harga ekspor. Ketergantungan terhadap bahan baku impor yang tinggi membuat industri prioritas menjadi sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah. Industri prioritas yang paling sensitif terhadap depresiasi Rupiah adalah industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia serta industri Mesin dan Perlengkapannya. Ekspor pada kedua industri tersebut tidak dapat tumbuh optimal saat Rupiah terdepresiasi karena terdapat tekanan dari sisi biaya produksi akibat kenaikan harga bahan baku yang berasal dari impor. Seperti dapat dilihat pada Gambar 12, persentase impor bahan baku untuk industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia serta industri Mesin dan Perlengkapannya hampir mencapai 50 persen. Kondisi ini akan sangat mengkhawatirkan karena ketika Rupiah terdepresiasi, pertumbuhan ekspor pada kedua industri tersebut justru melambat yang pada akhirnya menjadikan industri-industri ini menjadi tidak berdaya saing. Padahal depresiasi Rupiah seharusnya mendorong pertumbuhan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing. Oleh karena itu, strategi pembatasan impor bahan baku guna menjaga lonjakan impor yang melebihi pertumbuhan ekspor perlu dilakukan, terutama untuk industri Kimia dan Barang-barang dari

Page 69: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

53

Bahan Kimia serta industri Mesin dan Perlengkapannya, sehingga dapat mencegah terjadinya defisit neraca perdagangan.

Sumber: BPS 2015

Gambar 12 Persentase rata-rata impor bahan baku pada sektor industri prioritas Indonesia tahun 2001-2013

Lain halnya yang terjadi pada industri Kulit dan Barang dari Kulit.

Meskipun persentase impor bahan bakunya juga cukup tinggi, yaitu sekitar 45 persen, namun industri Kulit dan Barang dari Kulit masih dapat berdaya saing. Dengan kata lain, industri ini dapat menurunkan tekanan pada defisit neraca perdagangannya. Untuk industri semacam ini perlu diberikan perhatian ekstra, yaitu melalui implementasi strategi promosi ekspor dan substitusi impor secara efektif. Selain itu, kebijakan hilirisasi industri yang berbasis sumber daya alam juga dapat terus dikembangkan karena dapat mengurangi risiko saat terjadi fluktuasi harga komoditas dan nilai tukar.

Namun demikian, jika dilihat dari sektor industri prioritas secara agregat, adanya hubungan positif antara nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dengan daya saing, menunjukkan bahwa meskipun masih adanya ketergantungan terhadap bahan baku impor pada sektor industri prioritas Indonesia, namun hal tersebut masih dapat diimbangi dengan meningkatnya laju ekspor dari sektor industri prioritas Indonesia ke kawasan ASEAN. Hal ini terbukti dari lebih banyaknya industri prioritas yang berdaya saing dibandingakan dengan industri prioritas yang tidak berdaya saing.

26.06 29.50

34.36

44.78 48.45

38.16

47.72

30.30

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

%

Page 70: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

54

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 71: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

55

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini, antara lain: 1. Indonesia memiliki kinerja atau daya saing (komparatif) di sektor industri

prioritasnya. Alasannya adalah karena sebagian besar industri prioritasnya yang menjadi andalan Indonesia untuk diunggulkan di pasar ASEAN memiliki performa yang baik. Hal ini terlihat dari hasil analisis RCA, dimana nilai RCA rata-rata tahunannya (2001-2013) yang lebih besar dari satu (RCA>1). Industri-industri prioritas yang berdaya saing tersebut, antara lain industri Makanan dan Minuman, industri Tekstil, industri Pakaian Jadi, industri Kulit dan Barang dari Kulit serta industri Logam Dasar. Sedangkan industri-industri prioritas yang tidak berdaya saing di pasar ASEAN meliputi industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur yang memiliki RCA<1. Di antara beberapa industri prioritas yang berdaya saing di pasar ASEAN, industri Logam Dasar merupakan industri yang daya saingnya paling tinggi. Industri ini juga menduduki daya saing tertinggi bila dibandingkan industri sejenis di negara ASEAN lainnya, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Kamboja dan Vietnam. Industri Logam Dasar Indonesia memiliki peluang untuk berkembang, baik dari sisi pasar maupun bahan baku. Prospek pembangunan properti serta konstruksi yang terus berkembang perlu dimanfaatkan industri Logam Dasar nasional sebagai peluang pasar. Selain itu, potensi bahan baku dalam negeri yang melimpah dan belum dimanfaatkan optimal juga merupakan peluang yang baik bagi industri Logam Dasar Indonesia untuk meningkatkan daya saing produk, khususnya ke pasar ASEAN.

2. Sementara itu, terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing

sektor industri prioritas Indonesia, dapat disimpulkan bahwa harga ekspor merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap daya saing sektor industri prioritas Indonesia. Dalam hal ini, harga ekspor merupakan refleksi dari biaya produksi, dimana biaya produksi merupakan harga pembelian input oleh perusahaan eksportir untuk menghasilkan outputnya. Dengan demikian, tingginya biaya produksi menandakan bahwa harga pembelian input oleh perusahaan eksportir juga tinggi, sehingga harga ekspornya pun tinggi. Karena esensi daya saing adalah biaya yang relatif rendah, maka tingginya harga ekspor menunjukkan daya saingnya yang semakin menurun. Faktor yang berpengaruh lainnya adalah nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dan produktivitas tenaga kerja. Depresiasi Rupiah dapat mendorong pertumbuhan ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing. Di sisi lain, adanya pengembangan SDM menjadikan kebijakan industri yang awalnya berbasis buruh murah dan sumber daya alam dapat dikembangkan menjadi industri berbasis produktivitas yang didukung oleh SDM berkualitas serta ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi.

Page 72: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

56

3. Merujuk pada hasil analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif dengan metode RCA dan data panel, terdapat beberapa strategi atau kebijakan yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan daya saing sektor industri prioritas Indonesia, antara lain: (1) Mengendalikan ekspor bahan mentah. Pengurangan ekspor bahan mentah yang kemudian dialokasikan untuk bahan baku industri domestik, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor. Dengan demikian, biaya produksi dapat lebih murah dan pada akhirnya dapat berdampak pada rendahnya harga ekspor. (2) Peningkatan nilai tambah produk melalui kegiatan diversifikasi produk dan meningkatkan kerjasama dengan produsen negara lain di kawasan ASEAN melalui promosi ekspor, sehingga dapat mendukung kegiatan diversifikasi pasar tujuan ekspor ke arah yang lebih prospektif. (3) Meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui pengembangan SDM pelaku industri dengan pelatihan dan pendampingan tenaga ahli serta melalui peningkatan upah tenaga kerja. (4) Memberikan perhatian khusus kepada industri yang dapat menurunkan tekanan pada defisit neraca perdagangan, yaitu industri yang kandungan impornya tinggi, namun masih tetap berdaya saing melalui strategi promosi ekspor dan substitusi impor secara efektif. (5) Kebijakan hilirisasi industri yang berbasis sumber daya alam karena dapat mengurangi risiko saat terjadi fluktuasi harga komoditas dan nilai tukar.

Saran

Lebih lanjut, terdapat beberapa saran yang dapat diajukan, antara lain: 1. Terkait dengan sektor industri prioritas yang belum berdaya saing di pasar

ASEAN, yaitu industri Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia, industri Mesin dan Perlengkapannya serta industri Furnitur, diperlukan dukungan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi promosi tetap, peningkatan kemampuan negoisasi dan usaha membangun kepercayaan internasional. Hal-hal tersebut diperlukan karena ketika tarif dihapuskan, maka yang berperan dalam menentukan performa ekspor Indonesia adalah daya saing. Khusus untuk industri Furnitur, karena pasar tujuan ekspor utamanya adalah ke negara-negara di luar kawasan ASEAN, maka upaya peningkatan daya saing dengan cara meningkatkan kerjasama dengan produsen negara-negara ASEAN dapat dilakukan sehingga mendukung kegiatan diversifikasi pasar ke kawasan ASEAN untuk produk-produk yang dihasilkan oleh industri Furnitur Indonesia. Upaya ini tentunya dapat terealisasi sepanjang dalam pelaksanaannya, dilakukan secara sinergi dan terintegrasi dengan pengembangan sektor ekonomi lainnya.

2. Indonesia harus terlibat secara aktif dalam perdagangan global, maka alternatif terbaik adalah menyesuaikan arah atau orientasi perdagangan internasional, yakni lebih mengutamakan kerjasama atau hubungan dagang dengan sesama negara ASEAN. Bagi Indonesia, akan sangat baik seandainya memperkuat upaya integrasi ekonomi di antara sesama negara anggota demi menggalang kekuatan, memaksimalkan skala ekonomis, dan juga memperbesar pasar dengan cara mencari pasar-pasar internasional yang potensial.

Page 73: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

57

DAFTAR PUSTAKA

Almonte L. 2013. ASEAN Single Window Takes Regional Grouping Closer to Integration. [Internet]. [Diakses 25 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://www. portcalls.com/asean-single-window-takes-regional-grouping-closer-to-integration.

Anwar MF, Darsono, Agustono. 2012. Analisis Daya Saing Industri Furnitur Rotan Kabupaten Sukoharjo. [Tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.

Arafat Y. 2014 November 8. Industri TPT Indonesia Mampu Bersaing di Kawasan ASEAN. Harian Joglosemar. [Internet]. [Diakses 18 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://edisicetak.joglosemar.co/berita/industri-tpt-indonesia-mampu-bersaing-di-kawasan-asean-59648.html.

Arianti RK, Lubis AD. 2011. Analisis Daya Saing dan Kesiapan Indonesia dalam Rangka Integrasi ASEAN: Studi Kasus Automotives, Rubber Based dan Agro Based Products. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 5(1): 1-21. Jakarta (ID): Kementerian Perdagangan.

Aysegul S, Hobijn B. 2006. On Flexibity and Productivity. Meeting Papers 737, Society for Economic Dynamics.

Badan Pusat Statistik. Statistik Industri Besar dan Sedang. [Internet]. [Diunduh Januari 2015]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id.

Balassa B. 1961. The Theory of Economic Integration. Homewood: Richard D. Irwin, Inc.

Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. London: John Wiley & Sons LTD.

Bank Indonesia. 2013. Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2013. Jakarta (ID): Bank Indonesia.

Bank Mandiri. 2014. Industry Update Volume 11. Jakarta (ID): Bank Mandiri. Bloch H, McDonal JT. 2000. Import Compatition and Labour Productivity.

Melbourne Working Paper, No. 9, Tahun 2000. Melbourne (AUS): University of Melbourne.

Bretschger L, Steger. 2004. The Dynamics of Economic Integration: Theory and Policy. Institute of Economic Research Working Paper.

Wali A. 2014. Daya Saing Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. [Internet]. [Diakses 2 April 2014]. Tersedia pada: http://adriwali.blogspot.com/2014/04/daya-saing-indonesia-dalam menghadapi asean economic community.html.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009. Roadmap Industri Furnitur. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.

Efendi. 2013. Analysis of Indonesia Textile Industry Competitiveness in Regulation Theory Perspective.

Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonomatrika untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID): IPB Press.

Page 74: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

58

[GAPMMI] Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia. [Internet]. [Diakses 19 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://www.gapmmi.or.id Versi Online: http://www.gapmmi.or.id/?pilih=lihat&id=96.

Goenawan RM, Mustakim R. 2015 April 28. Industri Kulit Butuh Pembinaan. Info Publik. [Internet]. [Diakses 19 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://infopublik.id/read/112800/industri-kulit-butuh-pembinaan.html.

Gujarati. 2009. Basic Econometrics (5th edition). New York: McGraw-Hill. Harian Ekonomi Neraca. 2015. AMKRI Sebut RI Berpotensi Pimpin Industri

Furnitur ASEAN. [Internet]. [Diakses 19 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://www.neraca.co.id/article/59476/amkri-sebut-ri-berpotensi-pimpin industri-furnitur-asean.

Harian Rakyat Merdeka. 2014. Daya Saing Industri TPT Turun, Indonesia Kalah dengan Vietnam. [Internet]. [Diakses 19 Oktober 2015]. Tersedia pada: http://ekbis.rmol.co/read/2014/05/02/153553/Daya-Saing-Industri-TPT-Turun-Indonesia-Kalah-Sama-Vietnam.

Hasibuan AM, Nurmalina R, Wahyudi A. 2012. Analisis Kinerja dan Daya Saing Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar Internasional. Buletin RISTRI, 3(1): 57-70. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hutabarat, Budiman, Sawit MH, Saktyanu KD, Purba HJ, Wahida, Nuryanti S. 2007. Analisis Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia-China dan Kerjasama AFTA serta Dampaknya Terhadap Perdagangan Komoditas Pertanian Indonesia. Laporan Akhir dari Penelitian TA 2007. Bogor (ID): Pusat Analisa Kebijakan Pertanian dan Ekonomi-Sosial dan Lembaga Penelitian, Departemen Pertanian.

Idris F. 2007. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasional, Jakarta (ID): Departemen Perindustrian.

IMD World Competitiveness. 2014. Peringkat Daya Saing Industri Manufaktur Negara-negara ASEAN. [Internet]. [Diunduh 22 Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.imd.org/news/2014-World-Competitiveness.cfm.

Isftifadah N. 2012. Peluang dan Tantangan Integrasi Ekonomi ASEAN bagi Perekonomian Indonesia. [Tesis]. Surabaya (ID): Universitas Airlangga.

Karakaya E, Ozgen. 2002. Economic Feasibility of Turkey’s Economic Integration with the EU: Perspectives from Trade Creation and Trade Diversion.

Kementerian Perdagangan. 2011. Kajian Dampak Kesepakatan Perdagangan

Bebas terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Jakarta (ID): Kementerian Perdagangan.

Kementerian Perindustrian. 2013. Pertumbuhan Industri Manufaktur Ditarget 7,14%. Media Industri No. 01. 2013. Jakarta (ID): Kementerian Perindustrian.

_____________________. 2013. Mengukur Kesiapan Industri Nasional Jelang AEC 2015. Media Industri No. 02. 2013. Jakarta (ID): Kementerian Perindustrian.

_____________________. 2015. Meningkatkan Daya Saing Melalui Hilirisasi Industri. Media Industri No. 01. 2015. Jakarta (ID): Kementerian Perindustrian.

Page 75: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

59

_____________________. 2015. Pemerintah Tingkatkan Kinerja Ekspor Industri Manufaktur. [Internet]. [Diakses 9 Januari 2015]. Tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/artikel/7356/Pemerintah-Tingkatkan-Kinerja-Ekspor-Industri-Manufaktur.

_____________________. 2015. Peringkat Industri Makanan Rendah. [Internet]. [Diakses 7 Juli 2015]. Tersedia pada: http://www.kemenperin.go.id/artikel/4664/Peringkat-Industri-Makanan-Rendah.

Krugman PR, Obstfeld M, Melitz. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan

Kebijakan, Edisi 5. Terjemahan. Jakarta (ID): PT. Indeks Kelompok Gramedia.

Lawton, Thomas C. 1999. Evaluating European Competitiveness: Measurements and Model for a Successful Business Environment. European Business

Journal: 195-205. Miftahudin H. 2015 Mei 15. Hadapi MEA, ini 9 Sektor Industri yang Jadi Fokus

Kemenperin. Metro News. [Internet]. [Diakses 22 Mei 2015]. Tersedia pada: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/05/15/126237/hadapi-mea-ini-9-sektor-industri-yang-jadi-fokus-kemenperin.

Nalurita S, Asmarantaka RW, Jahroh S. 2014. Analisis Daya Saing dan Strategi Pengembangan Agribisnis Kopi Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia, 2(1): 63-74.

Nayantakaningtyas JS, Daryanto HK. 2012. Daya Saing dan Strategi Pengembangan Minyak Sawit di Indonesia. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 9(3): 194-201.

Oktaviani R, Puspitawati, Haryadi. 2008. Impacts of ASEAN Agricultural Trade Liberalization on ASEAN-6 Economies and Income Distribution in Indonesia. Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series, No. 51, Januari, Bangkok: UN-ESCAP.

Pambudi, Alexander C. 2006. Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral ASEAN-China terhadap Perekonomian Indonesia. Jakarta (ID): Institute for Global Justice.

Porter ME. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press, New York. Rakhmawan H. 2009. Analisis Daya Saing Komoditi Udang Indonesia di Pasar

Internasional. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Salvatore D. 1996. Ekonomi Internasional Edisi 5. Haris Munandar [penerjemah].

Jakarta (ID): Erlangga. Satria AN. 2010. Strategi Pemerintah Tingkatkan Daya Saing Industri Furnitur

Belum Optimal. [Internet]. [Diakses 22 Mei 2015]. Tersedia pada: http://www.ugm.ac.id/en/berita/2895- strategi pemerintah tingkatkan daya saing industri furnitur.

Sholeh. 2013. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi AEC (ASEAN Economic Community) 2015. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 1(2): 509-522. Samarinda (ID): Universitas Mulawarman.

Siggel E. 2006. International Competitiveness and Comparative Advantage: A survey and a proposal for measurement. Journal of Industry, Competition

and Trade, 6(1): 137-159.

Page 76: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

60

Sjoholm F. 1997. Exports, Imports and Productivity: Result from Indonesian Establishment Data. Working Paper Series in Economic and Financial, No. 183.

Soekartawi. 1994. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta (ID): Raja Grafindo Persada. Suarez MDLC. 2001. Trade Creation and Trade Diversion for Mercosur.

Disertation. Boston University. Subhan, Sumarwan U, Daryanto A, Kirbrandoko. 2014. Strategy of

Competitiveness of Urea Industry in the International Market and its Implication Toward the Development of Urea Industry in Indonesia. International Journal of Business and Management Reveiew, 2(5): 14-30. United Kingdom (UK): Europan Centre for Research Training and Development.

Sudaryanto T, Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu Catatan Kerangka Agribisnis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

Sugiyanto. 2004. Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis, 1(1): 14-27.

Sulistiani. 2014. Analisis Komparatif Daya Saing Industri Manufaktur di ASEAN. [Tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.

Tabloid Kontan. 2014. Industri Kimia Dalam Negeri Belum Siap Menghadapi Persaingan Pasar Bebas ASEAN. Tabloid Kontan edisi 15-21 September 2014.

Tambunan T, Sitepu R. 2012. Ekspor dan Daya Saing. Policy Paper No. 2, Maret 2012. Tim ACTIVE, Kadin Indonesia dan European Union. Jakarta (ID): Kadin Indonesia.

Tambunan T. 2004. Globalisasi dan Perdagangan Internasional. Bogor (ID): Ghalia Indonesia.

Utama YP, Pujiyono A. 2010. Analisis Produktivitas Industri Pengolahan di Jawa Tengah (Pendekatan Total Factor Productivity).

Viner J. 1950. The Custom Union Issue. New York: Carnegie Endowment for International Peace.

Wahyuningsih D. 2012. Analisis Perdagangan Intra Industri Sektor Manufaktur Indonesia dengan ASEAN-4: Berdasarkan Hipotesis Industry Specific dan Policy Based. Media Trend, 7(2): 118-140. Madura (ID): Universitas Trunojoyo.

Widodo T. 2005. Industrial Organization: A Case Study of Indonesian Manufacture. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 20(4): 351-367.

Widodo T. 2008. The Structure of Protection in Indonesian Manufacturing Sector. ASEAN Economic Bulletin 2008, 25(2): 161-78.

[WITS] World Integrated Trade Solution. [Internet]. [Diunduh April 2015]. Tersedia pada: http://wits.worldbank.org/WITS/WITS/AdvanceQuery/RawTradeData/QueryDefinitionSelection.aspx?Page=RawTradeData&querytoken=450968&selection=Existing.

Yanti L, Widyastutik. 2012. Daya Saing Produk Turunan Susu Indonesia di Pasar Dunia. Jurnal Manajemen dan Agribisnis, 9(3): 183-193. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Page 77: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

61

LAMPIRAN

Lampiran 1 Industri-industri pada sektor manufaktur berdasarkan kategori KBLI digit 2

Kode

Industri Deskripsi

15 Makanan dan Minuman 16 Tembakau 17 Tekstil 18 Pakaian jadi 19 Kulit dan barang dari kulit 20 Kayu, barang dari kayu, dan anyaman 21 Kertas dan barang dari kertas 22 Penerbitan, percetakan, dan reproduksi 23 Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir 24 Kimia dan barang-barang dari bahan kimia 25 Karet dan barang-barang dari plastik 26 Barang galian selain logam 27 Logam dasar 28 Barang-barang dari logam dan peralatannya 29 Mesin dan perlengkapannya 30 Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data 31 Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya 32 Radio, televisi, dan peralatan komunikasi 33 Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam 34 Kendaraan bermotor 35 Alat angkutan lainnya 36 Furnitur

Page 78: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Lampiran 2 Ekspor dan impor industri prioritas Indonesia ke negara-negara ASEAN tahun 2005-2013 BRUNEI KAMBOJA LAOS MYANMAR MALAYSIA SINGAPURA PHILIPINA THAILAND VIETNAM TOTAL

Ekspor

Makanan dan Minuman 100,557 19,465 2,800 1,172,622 12,390,371 6,006,967 2,352,595 1,812,351 2,447,009 26,304,737

Tekstil dan Pakaian Jadi 29,769,953 141,074,960 17,768,158 81,709,065 2,090,652,718 1,167,732,332 662,908,372 1,307,960,216 1,006,337,436 6,505,913,210

Kulit dan Barang dari Kulit 2,768,048 6,920,862 2,076 1,085,884 239,256,062 541,640,420 65,386,322 167,053,242 146,071,213 1,170,184,129

Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 59,608 67,509 15,690 298,520 6,016,877 4,790,666 2,500,986 4,918,731 2,407,210 21,075,796

Logan Dasar 27,942,802 4,704,521 266,191 258,300,456 6,799,793,571 13,256,515,836 1,196,352,914 4,106,522,354 1,074,215,452 26,724,614,097

Mesin dan Perlengkapannya 19,633,471 18,872,787 10,212,791 74,954,245 1,288,993,494 4,485,835,194 493,727,222 2,102,305,047 534,033,812 9,028,568,063

Furnitur 4,930,794 1,624,504 92,261 388,476 332,736,462 245,550,813 18,892,037 30,738,463 28,693,290 663,647,100

85,205,232 173,284,607 28,359,968 417,909,268 10,769,839,555 19,708,072,228 2,442,120,448 7,721,310,404 2,794,205,422 44,140,307,132

Impor

Makanan dan Minuman 14 1,502 19 26,237 2,680,207 1,921,144 646,539 8,023,203 2,529,815 15,828,682

Tekstil dan Pakaian Jadi 198,409 23,915,989.87 1,320,963 486,861 917,718,976 733,803,482 32,412,544 1,784,032,040 777,078,891 4,270,968,156

Kulit dan Barang dari Kulit 9,474 3,794,041.00 - - 64,373,193 41,255,878 1,449,330 212,795,768 451,467,624 775,145,308

Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 18,294 150 267 251 9,557,547 18,089,216 630,175 10,753,761 674,203 39,723,863

Logan Dasar 632,610 1,135.00 0.002 28,063,889 1,773,505,374 3,530,321,055 140,047,014 1,253,384,017 137,562,524 6,863,517,618

Mesin dan Perlengkapannya 2,177,881 556,485.00 90,831 142,237,017 3,646,545,758 8,764,270,322 583,315,481 7,018,280,333 353,072,156 20,510,546,264

Furnitur 9,523 - - 67,411 78,128,872 87,882,592 43,348,525 211,206,841 7,452,710 428,096,474

3,046,205 28,269,304 1,412,080 170,881,666 6,492,509,926 13,177,543,689 801,849,608 10,498,475,963 1,729,837,923 32,903,826,364

Net Ekpor

Makanan dan Minuman 100,543 17,962 2,781 1,146,384 9,710,164 4,085,823 1,706,056 -6,210,852 -82,806 10,476,055

Tekstil dan Pakaian Jadi 29,571,544 117,158,971 16,447,195 81,222,204 1,172,933,741 433,928,850 630,495,828 -476,071,824 229,258,545 2,234,945,054

Kulit dan Barang dari Kulit 2,758,574 3,126,821 2,076 1,085,884 174,882,869 500,384,542 63,936,992 -45,742,526 -305,396,411 395,038,821

Kimia dan Barang dari Bahan Kimia 41,314 67,358 15,423 298,269 -3,540,670 -13,298,550 1,870,811 -5,835,030 1,733,007 -18,648,066

Logan Dasar 27,310,192 4,703,386 266,191 230,236,568 5,026,288,197 9,726,194,781 1,056,305,900 2,853,138,337 936,652,928 19,861,096,480

Mesin dan Perlengkapannya 17,455,590 18,316,302 10,121,960 -67,282,772 -2,357,552,264 -4,278,435,128 -89,588,258 -4,915,975,286 180,961,656 -11,481,978,200

Furnitur 4,921,271 1,624,504 92,261 321,065 254,607,590 157,668,221 -24,456,488 -180,468,378 21,240,580 235,550,626

82,159,028 145,015,304 26,947,888 247,027,602 4,277,329,627 6,530,528,538 1,640,270,842 -2,777,165,559 1,064,367,499 11,236,480,770

62

Page 79: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Lampiran 3 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Indonesia dan Kamboja

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Indonesia

Makanan dan Minuman 0.88 1.21 1.33 1.63 1.41 1.62 1.68 1.67 1.50 1.67 1.62 1.62 1.35 Tekstil 2.31 2.34 2.39 2.33 2.33 2.01 1.81 1.53 1.28 1.25 1.19 1.28 1.21 Pakaian Jadi 2.31 2.33 2.35 2.35 2.03 1.81 1.78 1.51 1.78 1.42 1.31 1.10 1.28 Kulit dan Barang dari Kulit 1.74 1.41 1.62 1.64 1.78 2.07 1.57 1.11 0.91 0.88 0.81 0.87 1.01 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 1.12 1.04 0.98 0.91 0.84 0.86 1.06 0.78 0.72 0.69 0.64 0.75 0.87

Logam Dasar 2.73 2.30 2.45 2.83 2.92 2.87 2.54 2.60 2.48 2.06 2.25 2.07 2.09 Mesin dan Perlengkapannya 0.57 0.68 0.53 0.59 0.71 0.70 0.44 0.49 0.47 0.52 0.54 0.57 0.57 Furnitur 1.65 1.37 1.14 1.00 0.94 1.16 0.91 0.85 0.96 0.90 0.66 0.61 0.64

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Kamboja

Makanan dan Minuman 2.26 0.96 0.46 0.94 0.80 0.61 0.47 0.24 0.30 0.20 0.39 0.62 1.19 Tekstil 2.50 2.53 1.79 3.20 2.79 2.26 1.49 1.15 0.48 0.69 0.84 2.06 3.00 Pakaian Jadi 3.20 2.94 5.31 4.16 4.26 7.77 11.08 3.87 2.30 2.19 3.04 6.11 8.78 Kulit dan Barang dari Kulit 0.80 0.35 0.29 0.20 0.15 1.46 0.53 0.40 0.43 1.07 2.05 1.80 1.62 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 0.71 0.18 0.13 0.16 0.08 0.04 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00

Logam Dasar 5.84 6.01 6.44 0.05 2.30 1.26 1.06 0.55 2.21 0.07 0.00 0.60 0.01 Mesin dan Perlengkapannya 0.62 1.93 1.42 0.67 0.11 0.69 0.08 0.10 0.15 2.37 0.05 0.05 0.19 Furnitur 0.26 0.97 1.08 0.51 0.37 0.27 1.81 0.30 0.15 0.26 0.25 0.27 0.15

63

62

Page 80: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Lampiran 4 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Philipina dan Malaysia

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Philipina

Makanan dan Minuman 0.85 0.64 0.77 0.82 0.85 0.77 0.81 0.95 0.75 0.99 0.91 0.67 0.83 Tekstil 0.31 0.32 0.27 0.31 0.49 0.30 0.19 0.21 0.18 0.29 0.32 0.31 0.23 Pakaian Jadi 0.94 0.83 1.02 0.63 0.76 0.48 0.69 0.72 0.56 0.53 0.85 0.65 0.67 Kulit dan Barang dari Kulit 0.09 0.05 0.08 0.05 0.04 0.12 2.58 2.69 2.06 1.77 0.11 0.05 0.11 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 0.22 0.26 0.27 0.25 0.23 0.21 0.23 0.26 0.44 0.60 0.62 0.46 0.63

Logam Dasar 0.43 0.44 0.19 0.35 0.39 1.53 1.02 1.01 0.94 2.00 1.91 0.81 0.32 Mesin dan Perlengkapannya 0.36 0.30 0.23 0.21 0.26 0.22 0.29 0.28 0.26 0.35 0.25 1.04 0.77 Furnitur 0.22 0.22 0.20 0.22 0.27 0.25 0.26 0.39 0.30 0.60 0.50 0.51 0.53

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Malaysia

Makanan dan Minuman 0.99 0.96 1.06 1.06 1.01 1.04 1.03 1.12 1.01 1.06 1.18 1.14 1.13 Tekstil 0.66 0.57 0.57 0.59 0.62 0.72 0.75 0.95 0.80 0.78 0.79 0.71 0.67 Pakaian Jadi 0.64 0.46 0.43 0.37 0.33 0.38 0.41 0.56 0.50 0.51 0.56 0.45 0.59 Kulit dan Barang dari Kulit 0.78 0.71 0.76 0.60 0.56 0.54 0.44 0.47 0.46 0.44 0.41 0.45 0.40 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 0.80 0.85 0.90 0.89 0.91 0.91 0.94 1.00 1.07 1.08 1.14 1.08 0.97

Logam Dasar 0.81 0.87 0.92 0.98 0.89 0.91 0.91 0.96 0.96 0.95 1.05 0.99 0.83 Mesin dan Perlengkapannya 0.80 0.75 0.67 0.72 0.68 0.74 0.50 0.65 0.65 0.72 0.80 0.78 0.75 Furnitur 1.65 1.60 1.50 1.56 1.56 1.35 1.79 1.61 1.63 1.90 2.03 1.82 1.68

64

Page 81: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

Lampiran 5 Nilai RCA sektor industri prioritas di negara Singapura, Thailand dan Vietnam

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Singapura

Makanan dan Minuman 0.33 0.33 0.36 0.39 0.39 0.39 0.34 0.31 0.36 0.32 0.29 0.34 0.44 Tekstil 0.68 0.66 0.74 0.69 0.63 0.61 0.59 0.53 0.49 0.40 0.41 0.43 0.42 Pakaian Jadi 0.53 0.49 0.81 0.92 1.09 1.14 1.17 1.21 1.10 1.12 1.08 1.34 1.16 Kulit dan Barang dari Kulit 0.58 0.67 0.69 0.71 0.71 0.73 0.71 0.74 0.84 0.88 0.91 0.96 0.89 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 1.11 1.13 1.12 1.13 1.12 1.13 1.11 1.06 1.10 1.11 1.05 1.07 1.09

Logam Dasar 0.80 0.90 0.88 0.77 0.75 0.72 0.73 0.70 0.74 0.84 0.61 0.73 0.65 Mesin dan Perlengkapannya 1.39 1.42 1.48 1.41 1.40 1.38 1.50 1.39 1.50 1.37 1.30 1.30 1.33 Furnitur 0.66 0.74 0.98 0.96 0.94 0.97 0.86 0.94 0.95 0.85 0.90 1.01 0.98

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Thailand

Makanan dan Minuman 2.55 2.38 2.34 2.06 2.02 1.90 1.84 1.69 1.62 1.60 1.55 1.61 1.64 Tekstil 1.64 1.62 1.65 1.61 1.78 1.80 1.69 1.68 1.89 1.97 1.86 1.88 1.87 Pakaian Jadi 1.10 0.90 0.81 0.94 0.98 0.77 0.70 0.60 0.80 0.91 0.85 0.68 0.69 Kulit dan Barang dari Kulit 1.93 2.17 2.09 2.14 1.95 1.54 1.31 1.30 1.21 1.24 1.24 1.21 1.22 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 1.42 1.41 1.24 1.27 1.30 1.32 1.09 1.27 1.15 1.13 1.18 1.18 1.18

Logam Dasar 0.80 0.81 0.94 0.83 0.84 0.69 0.90 0.59 0.60 0.50 0.57 0.58 1.00 Mesin dan Perlengkapannya 1.05 1.11 0.82 0.86 0.90 0.94 1.04 1.00 0.91 1.07 1.10 1.10 1.15 Furnitur 0.65 0.65 0.56 0.60 0.69 0.76 0.64 0.63 0.59 0.58 0.56 0.62 0.75

Negara Sub Sektor Industri 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Vietnam

Makanan dan Minuman 3.12 3.58 3.80 2.94 3.44 3.62 3.33 3.30 3.27 3.22 2.79 2.17 1.71 Tekstil 1.28 1.89 1.76 1.97 1.64 2.42 2.85 2.66 3.03 3.80 3.57 3.08 3.23 Pakaian Jadi 4.77 4.57 3.01 2.26 1.63 1.94 1.27 1.03 1.17 1.44 1.65 1.21 1.46 Kulit dan Barang dari Kulit 2.84 3.01 2.57 2.49 2.55 3.53 3.08 3.42 3.81 4.30 4.25 3.41 3.61 Kimia dan Barang-barang dari Bahan Kimia 0.24 0.36 0.33 0.28 0.27 0.33 0.34 0.46 0.42 0.51 0.62 0.67 0.56

Logam Dasar 0.55 0.72 0.69 0.90 0.81 0.73 0.79 1.60 0.87 1.50 1.92 2.04 2.03 Mesin dan Perlengkapannya 0.27 0.25 0.17 0.18 0.17 0.17 0.13 0.40 0.45 0.50 0.49 0.35 0.34 Furnitur 0.75 1.10 0.84 0.83 0.66 0.93 0.74 1.22 0.69 0.84 0.76 0.65 0.81

65

Page 82: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

66

Lampiran 6 Uji chow dan uji hausman pada Fixed Effect Model

Uji Chow:

Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 160.745488 (7,92) 0.0000

Uji Hausman:

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 0.000000 4 1.0000

* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.

Page 83: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

67

Lampiran 7 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square

tanpa pembobotan Dependent Variable: LOG(DS) Method: Panel Least Squares Date: 10/12/15 Time: 16:05 Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 104

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -2.226476 3.739799 -0.595346 0.5530

LOG(LABPROD) 0.030679 0.060859 0.504095 0.6153 LOG(FIXCAP) -0.028264 0.038232 -0.739264 0.4615

LOG(RER) 0.595591 0.322750 1.845367 0.0680 C -5.216987 3.311886 -1.575231 0.1184

R-squared 0.087896 Mean dependent var 0.228308

Adjusted R-squared 0.051044 S.D. dependent var 0.498775 S.E. of regression 0.485879 Akaike info criterion 1.441169 Sum squared resid 23.37177 Schwarz criterion 1.568303 Log likelihood -69.94077 Hannan-Quinn criter. 1.492675 F-statistic 2.385071 Durbin-Watson stat 0.111895 Prob(F-statistic) 0.056314

Page 84: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

68

Lampiran 8 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Pooled Least Square dengan pembobotan

Dependent Variable: LOG(DS) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 10/12/15 Time: 16:08 Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 104 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -2.278343 0.572464 -3.979890 0.0001

LOG(LABPROD) 0.031265 0.011543 2.708624 0.0080 LOG(FIXCAP) -0.016719 0.009253 -1.806838 0.0738

LOG(RER) 0.641185 0.042823 14.97293 0.0000 C -5.736965 0.460467 -12.45902 0.0000

Weighted Statistics R-squared 0.799232 Mean dependent var 3.015798

Adjusted R-squared 0.791120 S.D. dependent var 3.911553 S.E. of regression 1.010164 Sum squared resid 101.0227 F-statistic 98.52668 Durbin-Watson stat 1.429327 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics R-squared 0.086885 Mean dependent var 0.228308

Sum squared resid 23.39769 Durbin-Watson stat 0.108309

Page 85: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

69

Lampiran 9 Hasil regresi persamaan dengan pendekatan Fixed Effect

Dependent Variable: LOG(DS) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 10/12/15 Time: 16:16 Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 104 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -5.261890 1.118679 -4.703663 0.0000

LOG(LABPROD) 0.026079 0.021177 1.231493 0.0403 LOG(FIXCAP) -0.023866 0.011474 -2.080041 0.2213

LOG(RER) 0.556836 0.064308 8.658878 0.0000 C -4.824985 0.717292 -6.726663 0.0000

Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.943883 Mean dependent var 2.752431

Adjusted R-squared 0.937173 S.D. dependent var 4.511400 S.E. of regression 1.036088 Sum squared resid 98.75999 F-statistic 140.6756 Durbin-Watson stat 1.693559 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics R-squared 0.872896 Mean dependent var 0.228308

Sum squared resid 32.56928 Durbin-Watson stat 0.809833

Page 86: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

70

Lampiran 10 Hasil Regresi persamaan dengan pendekatan Random Effect

Dependent Variable: LOG(DS) Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/15/15 Time: 10:16 Sample: 2001 2013 Periods included: 13 Cross-sections included: 8 Total panel (balanced) observations: 104 Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PX -4.831652 2.195397 -2.200810 0.0301

LOG(LABPROD) 0.013720 0.052472 0.261472 0.0259 LOG(FIXCAP) -0.043411 0.019197 -2.261349 0.7943

LOG(RER) 0.462911 0.188217 2.459453 0.0156 C -3.721490 2.080309 -1.788912 0.0767

Effects Specification S.D. Rho Cross-section random 0.618064 0.9160

Idiosyncratic random 0.187223 0.0840 Weighted Statistics R-squared 0.393076 Mean dependent var 0.019114

Adjusted R-squared 0.368553 S.D. dependent var 0.232083 S.E. of regression 0.184421 Sum squared resid 3.367114 F-statistic 16.02938 Durbin-Watson stat 0.833861 Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics R-squared 0.081948 Mean dependent var 0.228308

Sum squared resid 23.52419 Durbin-Watson stat 0.119354

Page 87: ANALISIS DAYA SAING SEKTOR INDUSTRI PRIORITAS … · (APEC). Tidak kalah pentingnya, Indonesia bersama negara-negara di kawasan ... (RCA) dan analisis data panel. Periode penelitian

71

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Isventina, dilahirkan di Bogor pada tanggal 19 April 1984. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Paidjo Pudjosumarto dan Sri Sugiwangsih.

Penulis memulai pendidikan di TK Bhayangkari, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1989, lalu melanjutkan ke SD Negeri Tempelan 1 Blora, Jawa Tengah pada tahun 1990 dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 2 Kota Depok, Jawa Barat dan lulus pada tahun 1999. Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Kota Depok, Jawa Barat merupakan tempat penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Lulus tahun 2002 dari SMUN 1 Kota Depok, Jawa Barat, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dan lulus pada tahun 2006.

Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Direktorat Kerjasama Pengembangan Ekspor, Ditjen Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan RI. Penulis memperoleh beasiswa dari Kementerian Perdagangan RI untuk melanjutkan studinya pada Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Ekonomi.