WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah...
Transcript of WordPress.com · Web viewMidun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah...
LAZUARDY
Karya : Singgih HaryosoBABAK I
Pesta rakyat mengawali cerita ini, semua bergembira, bersorak sorai satu sama lain saling
berbagi makanan dan minuman, perempuan atau pun lelaki tak membatasi peristiwa yang
hanya bisa di temukan satu tahun sekali yaitu pesta rakyat menjelang panen laut tiba,
biasanya tokoh masyarakat mengumpulkan para lelaki yang sudah beristri untuk beradu
kekuatan dengan saling memukul dengan ikan laut, istri-istri merekapun larut dalam
kegembiraan dan tawaan melihat para suaminya saling memukul, tidak ada kemarahan dan
kebencian, sehingga ketika perkelahian selesai mereka saling memberi makanan sekaligus
menyuapi lawan mainnya seperti halnya pasangan pengantin baru yang menyimbolkan kasih
sayang, itulah tujuan masyarakat dengan permainan itu.
Matahari yang terus menemani mereka kini semakin menutupi wajah indahnya dan pestapun
di tutup dengan saling berjabat tangan dan pergi meninggalkan tempat itu, semakin hilang
wajah matahari menandakan malampun segera tiba, kini tinggallah sosok lelaki terduduk lesu
memandangi laut, suara jangkrik yang tak habis-habisnya menemani suasana malam yang
dingin di tambah gemuruh suara angin pantai menambah dinginnya suasana, Sukarto yang
sehari-hari bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah pabrik tua terus memainkan
senternya, dan berkata pada malam :
Malam…
Aku mencintainya
Dan aku yakin ada keikhlasan cinta dalam dirinya.
Malam...
Aku melihat kenyataan ini.
Kenyataan kalau perempuan yang selama ini aku banggakan
Terhina, karena aku.
Dan setelah itu, mata Sukarto dikejutkan dengan kedatangan sosok pria yang selalu
membawa tungku kemenyan.
Sukarto : Mahmud….!, sudah berapa kali ku katakan padamu.. disini tak ada setan yang
datang..!
Mahmud : (Dengan mulut komat kamit, seperti membaca mantra)… Kau lihat, malam ini
asap kemenyanku mengarah pada pabrik ini, ini bertanda ada sesuatu yang akan terjadi.
Sukarto : Iya, malam ini aku akan mendapati sipemulung kurang ajar itu..
Mahmud : Mana si jaka?
Sukarto : (melihat ke arah jam), sebentar lagi dia datang..
Mahmud : Tahu betul kau, tentang sijaka..?
Sukarto : Aku lebih tahu si jaka ketimbang, setan yang tidak jelas itu.
Mahmud : (terus membaca mantra)
Sukarto : apa kau tadi bertemu Istriku?
Mahmud : (tidak menghiraukan, dan terus membaca mantra).
Sukarto : Mahmud aku kan sudah bilang padamu, kalau disini tak ada setan, dan kau perlu
tahu aku sudah 3 tahun menjaga pabrik ini, tapi nyatanya tempat ini aman-aman saja.
Mahmud : Tiga tahun kurang satu hari
Sukarto : Aku tahu tapi besok pagi aku akan meninggalkan pekerjaan yang membosankan
ini , dan pergi meninggalkan kampung ini.
Mahmud : Tolong diam sebentar (membaca mantra)
Sukarto : (sedikit kesal), mahmud! Apa kau tadi bertemu jamilah?
Mahmud : Ah.. kenapa kau ini, aku sedang konsentrasi, Karto…apa kau merasakan hal-hal
aneh di tempat ini..?
Sukarto : Iya,
Mahmud : Nah benarkan apa yang aku katakan, tempat ini rupanya mempunyai hawa aneh,
bukan?
Sukarto : Bukan..! yang aneh itu kamu..! di ajak bicara malah memikirkan hal yang bukan-
bukan.
Mahmud : Istrimu atau pekerjaannya?
Sukarto : (Diam).
Mahmud : Terus terang saja, kau kangen dengan istrimu?
Sukarto : Iya, Aku merindukan waktu yang telah memberiakan kami kebahagiaan.
Mahmud : Maksudmu, ketika kamu baru menikahinya?
Sukarto : Ketika dia menyanggupi dan mau untuk aku nikahi.
Mahmud : Bagaimana dengan bapakmu? Apa dia juga bahagia?
Sukarto : Aku hanya melihat kesedihan dimatanya.
Mahmud : Menyesal kamu?
Sukarto : Untuk apa menyesali sesuatu yang sudah terjadi.
Mahmud : Apa kau juga menyesal dengan apa yang dikerjakan jamilah sekarang?
Sukarto : Apa ada hal lain yang bisa merubah penyesalan?
Mahmud : Lantas kenapa setiap oraang membicarakan tentang hubungan kalian kau marah?
Sukarto : Bukannya aku marah, tapi..
Mahmud : Tapi apa?, apa yang ingin kau katakan?, kau ingin megatakan kalau itu semua
fitnah? Karto, sedikitpun kau tak pernah membuktikan itu semua. Bahkan kau juga tak
pernah memikirkan nasib istrimu.
Sukarto : Aku selalu memikirkanya..
Mahmud : Apa! Kau memikirkanya? Berpikir tentang apa, apa tentang cinta? Karto, cinta itu
juga harus melihat pada kenyataan, dan cintamu tak bisa menolong nasibnya. Pergilah
kepasar malam dan kau lihat sendiri, apa masih ada aroma cinta untukmu?
Sukarto : (Hanya diam dengan sedikit kesal)
Mahmud : Oh.. jadi kau lebih suka berdiam diri disini menunggu sesuatu yang tak jelas?
Sukarto : He mahmud (dengan nada kesal), bukannya aku tak ingin pergi ketempat itu dan
membuktikan kebenaranny, tapi aku tak kuasa melangkah untuk pergi.
Mahmud : Lelah aku To, sudahlah kalau nanti aku bertemu dengan istrimu aku beritahu kau,
tentunya aku juga harus pergi ke pasar malam itu bukan?
Sukarto : Benar-benar kau ingin pergi ketampat itu? Sekalian bilang padannya Aku selalu
sayang dia.
Mahmud : Kasih sayang itu butuh pengorbanan, Karto...Jagan kau diam saja disini, tak jelas
arah tujuan kamu mau kemana… kau hanya memandangi langit dan laut.
Sukarto : Maksudmu..?
Mahmud :Mungkin kasih sayang adalah modal utama dari perkawinan, tapi bagaimana untuk
menjalani kehidupan berkeluarga yang normal, kau sendiri tak punya pekerjaan yang jelas..
Sukarto : Maksudmu?
Mahmud :Apa ada kata-kata lain selain pengangguran, orang yang selama bertahun-tahun
menjaga tempat ini tanpa mendapatkan sepeserpun dari pekerjaanmu ini..
Sukarto : Mahmud, sudah berapa kali kukatakan padamu. ini amanah..!
Mahmud : Amanah, katamu..?, lalu amanah yang bagaimana kalau kau sendiri susah dengan
amanahmu itu..?, sama saja kau bunuh diri.
Sukarto : (Meneruskan kalimat mahmud) apa kau tidak kasihan dengan si jamilah? Ah…
bosan aku menjelaskannya padamu…!, mahmud bukannya aku tak suka dengan bau
kemenyanmu itu, tapi lebih baik aku tak bertemu denganmu kalau ujung-ujungnya kau selalu
mempertanyakan pekerjaanku..
Mahmud : (Sedikit kesal), sudahlah aku pergi dulu..
Sukarto : Silahkan…. Jangan harap kau bertemu denganku lagi, aku akan pergi….!!
(menundukkan kepala tak menghiraukan mahmud pergi).
Mahmud : (Memalingkan tubuh dan sebelum meninggalkannya), jadi orang harus punya
pendirian, dan harus bisa menerima kenyataan. (pergi menjauh)
Sukarto : He…! bangsat sekali lagi kau ucapkan kata-kata itu. aku tak segan-segan
menghajarmu, kenapa aku terpancing emosiku..?, padahal aku butuh bantuannya..
Sukarto berjalan tanpa arah seakan-akan ada yang dipikirkan lalu tak lama duduk di pinggir
pagar pabrik, suasana pun kembali tenang, kini Sukarto hanya di temani dinginya malam, dari
kejauhan terdengar suara senda gurau Suparman dan Darmo dengan membawa perlengkapan
pancing.
Suparman : Jadi benar pak kardi mau memberikan hadiah besar buat perayaan tahun ini.
Darmo : Katanya, karena bersamaan dengan ulang tahun negara kita dan panen rakyat, semua
warga disini khususnya kaum nelayan mendapatkan baju setelan.
Suparman : Iya, kalau kamu dapat juara satu, dua atau tiga..!
( Tertawa).
Mas Darmo : Kalau memang begitu, modal kita sebagai warga, ya.. semangat walaupun
sudah tua (tertawa)
Tarno yang sedang duduk di pinggir pagar pabrik, hanya mendengarkan kedua orang itu, dan
melemparkan batu ke tong pabrik, sehinga mengagetkan keduanya.
Mas Darmo : Kamu To?
Suparman : He, pemuda… sedikit hormatlah dengan orang tua.
Sukarto : Jadi, Bapak-bapak mengharapkan tahun ini lebih meriah dari tahun sebelumnya dan
tentunnya banyak hadiahnya, bukan begitu pa?
Darmo : Loh, kamu tahu pembicaraan kita, To?
Suparman : (memotong pembicaraan), Karto alias Sukarto tidak punya kerjaan selain duduk-
duduk disini dan mengagetkan setiap orang yang lewat jalan sini, bukan begitu To..
Sukarto : (Hanya tersenyum)
Mas Darmo : Jangan begitu (melirik pada pa parman)
Sukarto : Biarkan saja mas Mo, biarkan orang tua yang satu ini berbicara sepuasnya malam
ini. (menegaskan) ya, malam ini...
Suparman : Kamu dengar lantunan musik itu? (menyinggung) Tepat ada di pasar malam. Apa
kamu tidak pergi kena malam ini? Sekalian menjenguk istrimu?
Sukarto : (Menggenggam tangannya), He, sekali lagi kau sebut istriku, tak ada lagi batasan
umur, kau boleh tua dariku tapi otakmu kaya anak kecil…!
Suparman : Perlu kau tahu, semua orang sedang membicarakan hubungan kalian.
Sukarto : Cukup…!
Darmo : Sudah, seharusnya kau tak usah mencampuri urusan orang lain, apalagi ini masalah
rumah tangga dan dia...
Suparman : Jadi kau membela Karto!?
Sukarto : Sudahlah Mas Darmo, biar saya pukul orang tua itu, seenaknya saja menghakimi
orang dengan kata-kata picik.
Suparman : Picik, picik Katamu?, hai, anak muda dengarkan.. lebih picik mana seorang anak
yang bertahun-tahun aku besarkan, tapi… tapi apa? Apa! Yang kau berikan padaku?
Sukarto : Jadi Bapak meminta imbalan?
Suparman : Aku tak pernah berharap kau mmberikan padaku apa yang kau punya, tapi aku
hanya ingin kau tahu.
Sukarto : Tahu apa?, Aku tahu kalau bapak tidak ingin anaknya menjadi pengangguran
bukan?, setelah lulus kuliah dan menjadi Sarjana Ekonomi, aku memang berkeinginan pergi
ke kota, tapi? Apa bapak mengizinkan?, malahan bapak menyuruhku menjadi nelayan seperti
yang lainnya.
Darmo : Sudahlah, tak enak nanti di dengar orang.
Suparman : (Hanya diam, memandang anaknya setengah hati).
Sukarto : Dan satu hal, bengkrutnya bapak sebagai juragan ikan, bukan karena aku.., apalagi
Istriku..!
Sukarto memandangi Suparman dengan rasa marah bercampur sedih dan berlari
meninggalkan mereka berdua. Suparman dan darmo hanya memandangi langkah Sukarto
hingga menghilang),
Darmo : Dia memang tak mau menjadi sepertimu, menjadi nelayan.
Suparman : Aku membiayainya sampai dia lulus kuliah memang kupersiapkan untuk itu, Mo.
Darmo : Iya, aku tahu. Mungkin hidup di kota lebih enak ketimbang disini, (lesu),mungkin.
Suparman : Tapi kau lihat sendirikan? Sudah tiga tahun aku bersabar, dari dia kecil aku selalu
menuruti permintaanya, aku sekolahkan dia bahkan sampai dia kuliah di kota. Tapi, aku
hanya menyesal dia berkenalan dengan jamilah perempuan pasar malam itu. (memandang
darmo dengan sedikit geram), dan kini aku tak punya apa-apa..!
Darmo : Harta itu bisa di cari...! tapi anak? apalagi kau hanya berdua saja ya setelah kematian
istrimu itu.
Suparman : Ini semua gara-gara pelacur itu..!
Darmo : (sedikit membentak), jangan bicara seperti itu, jamilah sekarang sudah jadi
menantumu, juga anakmu..!
Suparman : (menggeram) anakku adalah anakku, menantu adalah menantu, bukan berarti dia
anakku.
Darmo : Iya, tapi masyarakat sudah tahu semuanya, selama tiga tahun ini jamilah memang
sah menjadi istri dari anakmu, dan pasti jadi anakmu juga.
Suparman : (marah), ah. Perduli apa, aku hanya ingin karto tak dianggap remeh lagi oleh
masyarakat. Dan aku harus menghilangkan satu dari salah satunya.
Darmo : (Terperanjat) Jahat kamu Man..! tidak boleh kau melakukan ini, ini perbuatan setan,
istighfar kamu Man, cabut ucapanmu itu.
Suparman : ( Menangis dan memeluk Darmo) aku tak pernah meminta apapun darinya, aku
hanya ingin dia berani menghadapi kenyataan ini, kenyataan kalau apa yang dilakukannya itu
salah..!
Darmo : Sudah, sudahlah (menghibur).
Semoga saja dia mengerti perasaanmu sebagai seorang bapak, sudah… jangan menangis lagi,
kau lupa kalau kita mau pergi ke rumah pak Kardi?
Suparman : (Malu)
Mas Darmo : Kita menuju rumah pak kardi dan berharap ikannya besar-besar.
Keduanyapun pergi dan bergegas menuju rumah pak kardi, Darmo yang terus menghibur
bernyanyi dan tertawa, lalu suara mereka menghilang. Dari aranh yang berlawanan sambil
menyapa Suparman dan Darmo, mendekati pabrik perlahan.
Jaka : To...?(mengintip disela pintu pabrik), kali ini Karto tidak ada, dan aku bebas untuk
mengambil barang bekas di pabrik ini (tertawa)
Dari samping pabrik muncul sosok Sukarto, dan berteriak memanggil jaka sipemulung
barang bekas itu.
Sukarto : Jaka..! kalau kau berani melangkah apalagi tanganmu merobek papan pintu itu, aku
hajar kamu (lari mengejar)
Jaka : Ampun, To. Ampun...
Sukarto : Kali ini, aku ampuni, tapi lain kali kepalan tanganku ini, kulandaskan di pipimu..!
Jaka : Iya, ampun To.
Sukarto : Ya, sudah. Sekarang bagaimana dengan pembicaraan kita yang kemarin?
Jaka : Aku belum mendapatkan informasinya To.
Sukarto : (Sedikit kesal).
Jaka : (Meledek), kalau mau cepat kamu sendiri saja yang ke pasar malam.
Sukarto : Itu namanya bunuh diri, sudahlah tak usah diteruskan.
Jaka : Loh, kamu bagaimana, kamu sudah janji padaku. Kalau ini selesai berarti bayarannya
penuh. Bukan begitu?
Sukarto : Nanti.
Jaka : Kapan?
Sukarto : Kalau besok aku bertemu denganmu.
Jaka : (memelas), janji?
Sukarto hanya diam tak menghiraukan pembicaraan Jaka, dan Jaka pergi meninggalkan
Sukarto untuk melanjutkan mencari barang bekas. Sukarto duduk melamun. Midun yang
sehari hari hanya mabuk dan berjudi terlihat rapih dan melintas pabrik dan bertemu Tarno
yang sedang melamun.
Midun : (Riang) Sudahlah, malam-malam tak usah melamun. Apa ini juga bagaian dari
pekerjanmu?
Sukarto : (Terperanjat) Kamu Dun? . Rapih betul kau, apa ada acara besar?
Midun : Jangan berlagak tidak tahu, kau tentunya masih ingat jalan menuju pasar malam di
ujung desa kita bukan, denagrkan musiknya(menari, meledek)?
Sukarto : Aku tidak begitu tertarik Dun?
Midun : Apa karena Istrimu?
Sukarto : Bukan (Acuh).
Midun : Bukan berarti kau juga tak tahu kalau aku akan pergi warung istrimu?
Sukarto : Sudahlah!, ini urusanku. tak usah kau ikut campur, kau sudah kalah waktu itu.
Midun : Tapi kali ini aku pasti menang, karena raja dari ratu pasar malam sedang asyik
melamun di pabrik tua ini (tertawa).
Sukarto : Menang?. Ingat, permainan apa saja yang belum aku menangi? Semuanya, dari
lempar ikan, adu jotos, lari dan...
Midun : (menyambung), dan kamu juga menang taruhan main kartu? Kau juga sudah
menerima hadiahnya, tapi tengoklah sebentar hadiah istimewamu di pasar malam itu, paling-
paling sedang asyik dengan lelaki lain.
Sukarto : Hai..!, Hati-hati kamu kalau bicara.
Midun : (Dengan nada sedikit keras), Ini kenyataan, kenyataan kalau kamu benar-benar
kalah. Ya, kamu kalah karena kamu tak bisa mempertahankan apa yang kau punya, kalah kau
juga tak pernah percaya dengan ucapan orang lain, kalah karena kau juga tak percaya pada
Bapakmu...!, (sinis),malahan kamu lebih percaya pada jamilah
Sukarto : Tapi kenapa waktu itu kau mau ku ajak taruhan?
Midun : Aku sedang mabuk, Aku sedang tidak sadar.
Sukarto : Tapi aku juga mencintainya, bahkan dari kecil, aku sudah mempunyai perasaan,
Dun. (berteriak lantang). Aku mencintainya melebihi apa yang aku punya....!
Keduanya terdiam.
Sukarto : (Mengingat).Ya. aku masih ingat ketika aku bermain pasir di tepi pantai, itu juga
ada kamu.
Midun : Iya,(menegaskan).
Sukarto : Sehabis pulang dari sekolah pasti aku selalu menunggunya di dekat pabrik ini, ya
waktu itu tepat pukul 11 siang, aku pasti melihatnya membawa jinjingan ikan bersama
ibunya.
Midun : Jadi, kenapa kau baru berterus terang?, kenapa kamu tidak ungkapkan perasaanmu
waktu itu.
Sukarto : Waktu itu akukan lansung dipindahkan oleh bapak dan aku hanya suka, belum
cinta..
Midun : Sekarang?
Sukarto : Sekarang?, entahlah. Aku hanya menunggu saja, kapan dia mau berhenti dari
pekerjaannya.
Midun : Kalau dia tidak mau berhenti juga?, apa kamu masih mencintainya?
Sukarto : (Diam).
Midun : Di tanya malah diam. (kesal).
Sukarto hanya diam, tak menghiraukan perkataan midun, tiba-tiba datanglah Darmo yang
sedikit terburu-buru, dan midun melihatnya dan bicara.
Midun : Mas darmo?
Mas darmo : Midun?, sedang apa kamu?
Midun : Ini, Aku sedang membicarakan untuk persiapan acara 17an nanti.
Darmo : Baguslah, (melihat Karto) Kamu To? Tak baik anak muda melamun malam-malam.
Sukarto : Mas mo, Aku hanya melihat bintang-bintang, mungkin hari ini hujan tak akan
datang. loh mas Mo pulang lagi?
Darmo : Ada yang ketinggalan dirumah, pancinganku kalau tidak pakai benang yang lebih
besar, takut tidak dapat apa-apa.
Sukarto : Memangnya Ikannya besar-besar?
Darmo : Wah, bukan besar lagi, malahan bapakmu langsung beli senar disana, kalau aku ya,
mendingan aku pulang kerumah, ambil yang ada.
Midun : Mas Mo?
Darmo : Apa?
Midun : Pesta nelayankan sudah berakhir, bagaimana dengan persiapan perayaan hari
kemerdekaan nanti?
Sukarto : (mengambil batu dan melemparkanya ke arah laut).
Mas darmo : Ya, inikan sudah urusan anak muda, tentunya aku serahkan pada kalian ini, saya
yang sudah tua begini hanya mendukung.
Midun : Lantas bagaimana dengan pemilihan ketua pelaksana 17 agustusan nanti?
Sukarto : (Mengejek), Tentunya aku yang akan terpilih, Dun.
Darmo : (Melihat Sukarto) Siapapun yang terpilih pastinya dia harus bertanggung jawab dan
ketua itu harus bisa mengkoordinir anggotanya, supaya acaranya sukses. Bukan begitu?
Midun : Kalau nanti saya yang terpilih, akan aku buat desa ini ramai, meriah dan orang-orang
kampung sebelah berkunjung ke desa kami, iya kan mas?
Sukarto : (Karto hanya diam melihat tingkah Midun).
Darmo : Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi. Aku mau ambil senar pancing dulu.
Midun : Aku juga akan pergi, To.
Sukarto melihat keduanya pergi dan mempertegas penglihatannya. Sukarto kembali lagi
memainkan senternya dan duduk di bangku yang dibuatnya dari potongan bambu. Dan
memandang jauh ke arah laut seraya menghirup udara malam dan Karto sedikit bersyair.
Wahai malam.... kabarkan tentang bintangmu.
Wahai malam... kabarkan tentang bulanmu.
Satu bintangmu aku torehkan dalam hati ikhlasku.
Namun aku juga tak ingin kehilangan bulanmu, malam...
Mngkin esok masih ada bulan
Tapi apakah kau berani menampakkan bintangmu
Wahai malam...
Aku hanya ingin dunia tahu, aku mencintaitainya..
Slamet : (Bertepuk tangan)
Sukarto : Kamu, Met?
Slamet : Mas Karto ini rupanya pandai bersyair juga?
Sukarto : Hanya ingin melampiaskan kesedihan saja.
(Keduanya terdiam)
Sukarto : Kadang kesedihan juga bisa menjadikan kita dewasa, kadang juga bisa menjadikan
kita mati tanpa ada harapan, mau kemana kamu?
Slamet : Saya mau pergi ke juragan kardi, tahun ini dia yang dapat jatah. Ya, orang kaya
semacam dia, tidak rugi kalau empangnya di serahkan ke masyarakat buat menyambut 17
Aagustusan, Kau mau ikut denganku?
Sukarto : (ragu)
Slamet : Memangnya kau tidak punya alat pancing, saya pinjamkan untukmu, Hadiahnya
lumayan buat beli mainan anak-anak.
Sukarto : Memangnya anak-anakmu mau di belikan mainan apa?, sampai-sampai rela
bermalam untuk hal yang membosankan.?
Slamet :Ya. selain saya mengharapkan hadiahnya,saya juga bahagia berada di tempat itu,
walaupun badan sedikit gatal-gatal.
Sukarto : Jadi kebahagian, yang kau utamakan?
Slamet : Mungkin kebahagiaanlah yang menjadikan kita merasa hidup..
Sukarto : Apa kau punya pekerjaan tetap..?
Slamet : Pekerjaan..? ya.. inilah pekerjaan (menunjukkan alat pancing).
Sukarto : Lantas istrimu?
Slamet : Ya.. saya hanya berharap sepulang dari tempat pemancingan, istriku memberikan
senyuman yang manis (tertawa).
Sukarto : ( menyalakan sebatang rokok), merokok?
Slamet : (menggeleng) Tapi, yang sudah-sudah, tak mendapatkan jatah tidur seranjang
(tertawa)
Keduanya terlarut dengan tawa riang.
Sukarto : Lantas bagaimana kalau istrimu meminta pisah, hanya gara-gara kau tidak punya
pekerjaan selain memancing dan mendapatkan kebahagiaan?
Slamet : Saya ajak istriku untuk pergi memancing bersama (tertawa)
Sukarto : Maksudmu?
Slamet : Biar tahu bagaimana mendapatkan pekerjaan, dan bagaimana cara mencari
penghasilan.
Sukarto :Iya kamu sudah mendapatkan pekerjaan, Memancing..(tersenyum), Tetapi kau
belum menemukan apa yang di cari… (tertawa)
Slamet : Memang saya tidak tahu ikan apa yang akan ku dapatkan malam ini tapi biarpun
hasilnya ikan betik itulah hasilnya.
Sukarto : (meledek) Tapi masalahnya istrimu itu lebih suka dengan ikan yang besar..
Slamet : Sudahlah, sekarang kita akan pergi memancing atau tidak?
Sukarto : Tunggu…
Slamet : Apa?
Sukarto : Saya ada makanan sedikit, sisa makanan pesta.. (menawarkan)
Slamet : (diam), Sukarto?
Sukarto : Iya, aku Sukarto yang dulu, masih seperti dulu bahkan aku masih ingat apa yang
kita lakukan di akhir pesta..
Keduanya tertawa, tak lama dari kegelapan terlihat Midun gelisah.
Slamet : Tunggu, sepertinya itu si Midun, Hai Midun mau kemana kau.? Rapih sekali kau,
apa malam ini ada Pesta pernikahan?
Sukarto : (Melihat midun dan menunjukan makanan) Mau?
Midun : (sinis), Tidak ada perubahan.
Slamet : Bergabunglah bersama kami?
Midun : Oh.. tidak, saya mau ke rumah teman lama, dia baru tiba dari kota, tak enak kalau
aku tak berkunjung…
Slamet : Kau tidak mancing, iya malam ini kami mau bertanding..
Midun : Maksudmu ada lomba?,
Slamet : Pa Kardi, tahun ini dia yang mendapatkan jatah kalau empangnya rela untuk kita
habiskan.
Sukarto : (Menyindir), Tentunya dengan memancing.
Midun : Apa ada hadiahnya?
Slamet : Ini bukan lomba, tapi rezeki namanya.
Midun : Kau juga mau ikut bersama dengan Slamet, To?
Sukarto : (acuh), memangnya siapa yang akan kau kunjungi?
Midun : Si Bakri, teman lama, dulu waktu aku berkunjung ke kota dia pernah kalah main
kartu denaganku, dan kabarnya dia tak pernah kalah-kalah bahkan sekarang dia sudah jadi
juragan tanah…
Sukarto : Jadi kau akan berlomba juga?
Midun : Ya.. tak jauhlah dengan lomba memancing.. harus sabar menunggu keajaiban…siapa
dapat dia menang…ya.. sudahlah hari sudah mulai malam nanti rezeki ku dimakan burung
hantu (pergi)
Sukarto : (sinis), hati-hati di jalan, nanti hantu beneran yang memakanmu..!
Slamet : Lantas bagaimana, kau mau ikut ?
Sukarto : (senyum), Terima kasih banyak, aku harusmenggu gedung ini sampai pagi.
Slamet : Kalau begitu saya pergi dulu.. (bernyanyi)
Ketika keduanya pergi Sukarto melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang
datang kini berjalan ke semak-semak dan mengambil sesuatu dan membukannya.
Sukarto : Ini ku persiapkan untukmu (tertawa geli), maafkan aku, aku hanya ingin semuanya
berakhir.
BABAK II
Sukarto yang bersahabat dengan dinginnya malam berjalan tanpa arah, dan bicara pada diri
sendiri.
Sukarto : Kalau ku pikir-pikir aku kuat, ototku berisi (sambil meragakan badannya dan
tersenyum)
(Merenung dan marah) ah..! kenapa setiap orang mengejekku “Karto kapan kau punya
anak..?” memangnya siapa mereka..!
Jaka : (Datang tiba-tiba, tanpa diketahui Karto), Tapi tetap saja kamu itu loyo.. ha..ha
(meledek).
Sukarto : Hai..! (setengah mengejar), dasar wong edan, mau aku pukul kepalamu, biar edan
mu bertambah.??
Jaka :Ampun, To… jaka Cuma mau ngasih ini (memakan isi plastik dan menawarkan), ini
dari Mas darmo tadi, aku bertemu dengannya di persimpangan jalan..
Sukarto : (sedikit acuh) Lantas kemana sekarang dia?
Jaka : Sebentar lagi dia juga lewat sini.
Sukarto : Jaka, memangnya kamu tidak bosan bekerja seperti, mengambil barang bekas dan
sisa limbah pabrik?
Jaka : Rasa bosan itu pasti ada To, tapi mau dikata apa, aku sudah mencoba mencari
pekerjaan lain dan akhirnya (tertawa kecil), aku tersesat di kampungmu ini.
Sukarto : Lantas dimana keluargamu?
Jaka : Keluargaku?, To, kau tanya perihal keluargaku itu sama saja kau bertanya tentang
rumahku. (tertawa)
Sukarto : Kau sudah beristri?
Jaka : Aku sudah punya anak dua.
Sukarto : Tidak kangen kau sama mereka?
Jaka : (Tersenyum). Kau sendiri bagaimana, apa yang membuatmu bertahan di pabrik ini?
Sukarto : Ini, amanah..!
Jaka : Selalu saja kau menjawab, ini amanah..!
Sukarto : Kau masih ingat, Pa Sualaiman?
Jaka : Iya, bapaknya jamilah?
Sukarto : Sebelum dia mati ditelan ombak, dia mempunyai hutang dengan juragan kardi. Dan
jamilah dipaksa untuk melunasinya, tapi,
Jaka : Iya, aku tahu, apalagi kebutuhan sehari-harinya tergantung dengan bapaknya.
Sukarto : Karena aku tak ingin juragan pak kardi terus menagih pada jamilah, da mengancam
akan mengambil rumahnya. akupun minta pada juragan kardi, kalau aku sanggup untuk
melunasi hutang bapaknya.
Jaka : Dengan ini?
Sukarto : Ya, hampir tiga tahun. Kau sendiri bagaimana?
Jaka : (Tersenyum), To. Mereka meningalkan aku, karena satu hal.
Sukarto : Apa?
Jaka : Aku tak punya pekerjaan (tertawa). (memperhatikan Karto), To, memangnya kau tidak
kangen sama istrimu..?
Sukarto : Peduli apa kamu, (mengambil makanan yang ada di tangan jaka, dan memakannya),
mau?
Jaka : (Menggeleng) aku cuma mau masuk kedalam (lari kencang)
Sukarto : Ah.. dasar pemulung edan..!, awas jangan kau ambil karung yang paling pojok itu
punyaku..!
Malam berlalu bulan kian memancarkan sinarnya, suasanapun menjadi hening, dari ujung
pabrik, berjalan midun yang dengan asyik bersiul, Sukarto yang melihat langsung menyapa
dengan nada sinis.
Sukarto : Sepertinya kau menang besar.
Midun : Peduli apa kau?
Sukarto : Midun, kalau sudah kalah tidak usah kau berpura-pura seakan akan kau menang
besar malam ini.
Midun : He, aku ini tak pernah berpura, bahkan dalam hidupku aku selalu bahagia (tertawa).
Sedangkan kau?
Sukarto : Lantas dimana jam tangan pemberian istrimu itu, yang sering kau bangga
banggakan didepanku.?
Midun : (Sedikit kesal) apa urusanmu.?
Sukarto : Urusanku adalah, bagaimana caranya agar kau jujur padaku, tentang jam tanganmu,
tentang istrimu dan yang terpenting adalah tentang istriku..!
Midun : Sukarto..! sudah berapa kali ku katakan padamu aku tak ada urusan dengan istrimu..
Sukarto : Iya aku paham..! tapi apakah kau akan diam saja dan tak mau memberi tahu perihal
istriku..?
Midun : Aku berani bersumpah aku tak tahu dengan jelas tentang apa yang dilakukannya.
Sukarto : Oke… anggap saja kita tak pernah bertemu, dan anggap saja diantara kita tak punya
masa lalu…
Midun : Maksudmu?
Sukarto : (Tertawa geli), Jangan pura-pura pikun kau Midun, aku ini sahabatmu, yang selalu
menolong ketika kau sedang kesusahan, mengemis-ngemis padaku.. dan ingat siapa yang
menjemputmu pulang ketika kau nyasar di kota
Midun : (memotong pembicaraan), iya, aku berterimakasih padamu.
Sukarto : Dan, ingat satu hal, tentang tempat ini.
Midun : Baik, aku mengakui itu, kalau aku pernah mengotori tempat ini, tapi apa pernah kau
berpikir kalu tempat ini juga menjadi saksi kalau istrimu jadi bahan taruhan..! dan sampai
detik ini istrimu yang paling kau sayangi belum tahu.. kalau dia jadi barang taruhan (tertawa).
Sukarto : Tapi tetap saja akulah jagoanya..
Midun : Jagoan katamu… apa kau telah membuktikan padaku, pada istrimu, atau pada yang
lain kalau kau ini jagoan?
Sukarto : Apa maksudmu?
Midun : Sudah berulang kali aku katakan padamu, seorang pria bisa dikatakan jagoan, kalau
bisa membuktikan….
Sukarto : Cukup..! (memetong kalimat midun), aku memang tak seperti lelaki lainnya tapi
ingat satu hal, aku mempunyai ketulusan cinta terhadap istriku, tidak seperti kau…!
Midun : Begitu, itukah ucapan seorang sahabat?
Sukarto : Bukan begitu , Aku hanya membalas ucapanmu saja..!
Keduanya diam, keadaan mulai tenang.
Midun : (Memandang sinis), Jadi kau minta pamrih..!
Sukarto : Aku tak ingin pamrih darimu.. apalagi perhatianmu untuk belas kasihan darimu
agar kau menceritakan kebenaran tentang istriku..
Midun : Lantas apa..?
Sukarto : Aku hanya ingin kau jujur..!
Midun : Tentang apa?
Sukarto diam sejenak untuk menutupi kegelisahannya
Sukarto : Tentang Apa yang dikatakan semua orang. (memandangi temannya tajam).
Somad : (Tertawa geli), Aku tak bisa yakin kau dapat menerima ini semua, Pergilah dan
temui istrimu sendiri, nanti kau akan melihat sendiri, dan tahu semuanya.
Sukarto : Midun, apa kau tidak merasa kasihan padaku?.
Somad : Benar? Kau ingin tahu semuanya? apa kau tidak menyesal kalau kau menikahi
seorang.
Sukarto : Cukup..!
Somad : Cukup katamu? Lihatlah kenyataan, lihatlah kawan, (menegaskan) kalau istrimu
seorang pelacur...!
Sukarto : Bangsat…! (mengeluarkan pisau )
Somad : He kawan, pelan sedikit kawan…
Sukarto : Aku tak peduli apa katamu, kali ini langit dan laut sudah tak dapat menampakan
lazuardinya, dan kali ini aku akan merubah semuanya.
Tiba-tiba Suparman datang dan melemparkan ember berisi ikan ke arah Sukarto, dan
kartopun terpental.
Suparman : Ini caramu?
Sukarto hanya diam dan menundukan kepalanya, Sukarto hendak berkata tentang sesuatu,
tapi berbeda dengan Midun yang sengaja mengambil kesempatan suasana itu, tiba-tiba
bicara…)
Midun : Biarkan saja Pa... biarkan anakmu jadi pembunuh, lagipula kalau dia masih saja
disini dia hanya menjadi bebanmu sajakan?
Suparman : Siapa yang ingin kau bunuh, siapa yang kau jadikan pendaratan pisau itu?
Sukarto : (Mencoba menjawab), Aku hanya ingin.
Suparman : Ingin kalau semuannya berakhir?
Sukarto : Aku hanya ingin membentaknya saja. Dan bukan dia yang akan ku jadikan sasaran.
Midun : (Acuh) Oh, jadi seorang Sukarto yang pemberani ini, yang selalu menang
dipermainan adu jotos ikan ini, ingin mengggertakku?, Untuk apa kawan?
Suparman : Aku tak penah berpikir kalau kau akan brbuat seperti ini, kau sama saja dengan
bajingan..!
Suasana hening, Sukarto hanya memandangi bapaknya dengan tatapan kosong.
Suparman : Pergi kau dari desa ini, aku tak ingin di desa ini ada seorang bajingan..!
Sukarto : Bapak..( memandangi wajah bapaknya dengan sedih).
Suparman hanya diam, dan tak berucap, mengakhiri dengan saling memandang kemudian
Sukartopun lari pergi meninggalkan mereka berdua, suasana menjadi sunyi.
Midun : Karto..!, mau kemana kamu?
Suparman : Biarkan saja, biarkan dia memilih jalannya.
Midun : Apa, Bapak tidak keterlaluan mengusirnya?
Suparman : Aku bukan mengusirnya, tapi aku hanya ingin dia melihat kenyataan.
Midun : Tapi bukannya itu juga lari dari kenyataan?
Suparman : Selagi kita masih bisa kembali pada kenyataan dan membuktikannya, itu bukan
lari dari kenyataan, tapi berani mengambil keputusan.
Suparman bergegas pergi meninggalkan Midun, tapi disitu rupanya ada si jaka yang sejak
tadi sudah hadir dan melihat kejadian itu.
Midun : (Acuh).
Jaka : Wah lumayan ikan-ikan ini, jadi aku tak bersusah payah memancing di empangnya pa
kardi.
Midun : (Masih memandangi jejak langkah pa parman), Itu bukan milikmu jaka, antarkan
ikan-ikan itu ke rumah pa parman.(dan pergi menyusul).
Jaka : (Mengumpulkan ikan), nasib-nasib, aku dari dulu jadi pemulung, tetap sekarangpun
jadi pemulung, ya begini kerjaanku ngambilin milik sesuatu yang sudah jatuh ke tanah
(senyum).
Dari arah berlawanan Darmo dan para rombongan lainnya termasuk Slamet, mendekati jaka
yang sedang mengumpulkan ikan, dan Darmo sedikit heran karena ember yang di pakai jaka
adalah ember milik pa parman.
Darmo : Bukanya itu milik pa parman, mana dia?
Jaka : (sedikit cuek), tidak tahu?
Slamet : Hai, sinting. Kalau ditanya dengan orang tua harus dijawab yang jelas.
Jaka : Memangnya kurang jelas apa aku ini?, kalian juga lihatkan aku lagi ngumpulin ikan,
jadi aku ng tahu.
Darmo : Ikan-ikan itu, bukannya?
Jaka : Iya, Kalau sesuatu sudah dibuang oleh pemiliknya, itu sudah menjadi kewajibanku
sebagai seorang pemulung untuk mengambilnya.
Slamet : Bukan berarti itu juga jadi hak milik kamu. (mencoba merampas)
Jaka : Apa-apaan ini?, aku kan sudah mengambilnya, berarti ini juga milikku.
Darmo : (masih terheran-heran), Ada apa?, apa yang terjadi?
Jaka : Tadi Pa Parman melemparkan embernya ke arah kepala anaknya.
Slamet : Maksudmu, sukarto?
Jaka : (mengangguk).
Darmo : Memangnya ada apa?, coba ceritakan.
Slamet : (menyuruh warga lainya untuk pergi), yasudah tidak ada apa-apa, kalian sana cepat
pergi ke rumah masing-masing.
Jaka : Aku juga heran, kenapa bapaknya tega melakukan ini (mengangkat ember), ke arah
Sukarto.
Mas Darmo : Mereka berdua membicarakan apa?
Jaka : Bukan, bukan berdua tapi bertiga.
Slamet : Siapa lagi?
Jaka : Midun.
Slamet : Kurang ajar si Midun, sudah aku katakan padanya, jangan ganggu mas karto.
(mengepalkan tangannya). Dan ini gara-gara Midun..!
Jaka mengambil pisau yang dipakai untuk menggertak midun dan jatuh dari tangan sukarto,
keduanya memperhatikan pisau itu.
Mas darmo : Dari dulu Pa parman tidak pernah membawa pisau seperti itu, apalagi untuk
memancing, pisau siapa itu, Ka?
Jaka : Ya, ini gara-garanya.
Semuanya diam menghening, dan terkejut
Slamet : Ada yang terluka?, Jangan-jangan...
Mas Darmo : Sudah, kamu tidak usah berpikir yang bukan-bukan, mari kita pergi ke rumah
pa parman supaya tak banyak praduga.
Semua : Mari..
Merekapun pergi meninggalkan pelataran pabrik. Suara angin laut bertambah riuh. Gerimis
turun, membuat malam semakin kosong. dengan tas dan perlengkapan yang ada sukarto
berlari dan berdiri bersandar pada dinding pabrik. Ia berteduh dari gerimis.
Malam semakin sunyi. Dari jauh terdengar suara musik dangdut tanpa syair yang
mengesankan akan berakhir pesta di pasar malam. Muncul Mahmud yang datang dari
berlawanan itu. Ia belum mengenali orang yang sedang berdiri berlindung itu. Setelah dekat
barulah ia menyapa.
Mahmud : Karto, sekirannya hujan seperti ini, mampir sajalah kerumahku. Nanti aku buatkan
segelas kopi sebagai pengganti penghangat badan.
Sukarto : (Sedikit menggigil), Terimakasih.
Mahmud : Kau sedikit gugup, mau kemana kamu pagi-pagi buta?
Sukarto : Pagi?, memangnya jam berapa?
Mahmud : Kira-kira jam Tiga pagi, To.
Sukarto : Apa? (bergegas ingin meninggalkan mahmud)
Mahmud : Tunggu dulu, memangnya kamu mau kemana?
Sukarto : Selagi masih kabut hitam masih menutupi langit, jadi ini masih ada kesempatan,
aku harus pergi.
Mahmud : Karto, walaupun kabut hitam masih menyelimuti langit, lihatlah lazuardimu sudah
berubah menjadi warna hitam ke merah-merahan, ini bertanda sudah pagi.
Sukarto : Tapi aku masih melihat harapan.
Mahmud : Harapanmu ada disini, To.
Sukarto : Disini hanya menghilagkannya.
Mahmud : Harapan tak bisa menghilang tapi bagaimana kita mengejar harapan itu.
Sukarto : Tak usahlah harapan di kejar.
Mahmud : Lantas Kau pergi, bukannya ingin mengejar harapanmukan?
Sukarto : Bukan, aku hanya ingin merubah semuanya, dan aku harus meninggalkan kampung
ini.
Mahmud : Aku tahu persoalanmu, tapi lihatlah sekelilingmu. Bapakmu, Istrimu dan juga
teman-temanmu.
Sukarto : Aku sudah yakin, apa yang aku lakukan adalah demi kehormatanku.
Mahmud : Kehormatan sebagai apa? sebagai seorang anak, kehormatan sebagai suami?
Bahkan kau sendiri tak bisa menemukan makna kehormatan.
Sukarto : Aku sudah tak tahan lagi dengan semuanya, orang-orang selalu menghinaku,
meremehkanku. To, Kenapa kamu tidak kerja, kenapa kamu kawin sama jamilah, kenapa
kamu belum punya anak. Seakan-akan aku itu tidak ada harganya disini.
Mahmud : Pantaslah, semua orang menghakimimu seperti ini, karena apa yang terjadi dan
nyata adanya membuktikan.
Sukarto : Membuktikan apa?
Mahmud : Membukikan kalau itu gara-gara kamu dan kau mengawalinya dengan tingkahmu.
To, Kasihan dengan mendiang Ibumu.
Sukarto : (Membentak), Dia mati karena penyakitnya, Bukan karena aku.
Mahmud : Apa masyarakat yang lain tahu?
Sukarto : Bangsat..!,(menundukan badannya), kenapa harus aku?
Mahmud : Masalahmu sudah jelas To, bapakmu tidak setuju dengan si jamilah yang bekerja
di pasar malam, dan kau malah menikahinya.
Sukarto : Karena aku mencintainya.
Mahmud : Apa dengan cinta, pandangan orang tentang jamilah berubah, apa dengan cinta kau
juga bisa meluluhkan bapakmu untuk menerima jamilah?
Sukarto : (Diam).
Mahmud : Aku, benar-benar salut dengan kau, anak muda yang ingin mandiri dengan
keyakinannya dan ingin merubah nasib seseorang.
Sukarto : Dan aku juga takut kehilangan dia.
Mahmud : lebih takut dari pada kehilangan orang tuamu?
Sukarto : (Setengah menjerit), Cukup, mahmud. Cukup kataku, aku tak tahan dengan semua
ini.
Mahmud : Lihat, Lihatlah karto. (menunjuk ke arah laut) Lazuardimu sudah berubah menjadi
bayangan merah, begitu juga kau, tak harus mengharapkan sesuatu yang lebih, pasti ada
batasanya. Lazuardimu hanya impian. Langit dan laut menyatu...? itu mustahil..!
Keduanya saling memandang, mahmud yang merasa kasihan dengan sukarto berjalan pergi
meninggalkan sukarto. Malam yang semakin hilang, dan senja kian menampakan wajahnya.
Gerimis yang semakin membasahi sukarto menambah dinginya badan sukarto, hanya
pandangan jauh menemani hilangnya gelap. Tiba-tiba datang jamilah dengan sedikit lari
menghindari gerimis dan sukarto terperanjat melihatnya, sukarto hanya diam tapi tidak
dengan jamilah istri yang paling dicintai sukarto.
Jamilah : Mas?
Sukarto ( Diam)
Jamilah : Lebih baik pulang kerumah
Sukarto : (Diam)
Jamilah : Disini hanya membuat basah badanmu saja, mas.
Sukarto : Biarlah, aku hanya ingin melihat laut menampakkan kesedihannya.
Jamilah : Lantas, Bagaimana dengan langitnya?
Sukarto : Langit hanya harapan.
Jamilah : dan laut?
Sukarto : Dia bukan harapan tapi kenyataan.
Jamilah : Sekarang kau bisa menerima kenyataan, begitu?
Sukarto : Karena, aku sungguh-sungguh sayang padamu dan tidak akan aku biarkan semua
orang menghinamu.
Jamilah : Itu harapan mas, harapanmu ingin merubah pandangan semua orang kalau jamilah
istri sukarto bukanlah seorang pelacur? (menangis)
Sukato : Sudahlah, ini semua salahku.
Jamilah : Aku ini pekerja di pasar malam, dan pastinya semua orang mengaggapku wanita
yang tidak baik. Mas, aku benar-benar tak ingin membahasnya disini.
Sukarto : Jamilah, lihat. Lihatlah wajahku ini, aku berdiam disini dan mendapati semua orang
menghinaku, ya mereka selalu menghinaku (memandang laut), dan juga menghinamu.
Jamilah : Aku tak peduli, apa semua orang pernah berpikir kalau apa yang mereka pikirkan
itu benar? Mereka hanya berpikir tentang perbuatanku tapi apakah mereka pernah berpikir
kenapa aku melakukan ini?
Sukarto : (Diam)
Jamilah : Ini salahku. kau menjaga pabrik ini, itu karena keluargaku. Tapi apa semua orang
tahu? Juga kau mencari pekerjaan dimana-mana tapi karena aku seorang pelacur, apa mereka
mau menerimamu jadi pegawai?.
Sukarto : Aku sudah membuang masalah itu jauh-jauh (tersenyum), aku mempercayaimu,
dan menyayangimu.
Jamilah : Mas?
Sukarto : Kau ingat, waktu itu kau selalu tersenyum padaku ketika kau mengambil ikan-ikan
dari kapal ayahmu?
Jamilah : (Tersenyum lega).
Sukarto : Tapi kau langsung berpaling ketika ibumu melihat aku melambaikan tanganku, Ya.
Disini, dari sini aku melambaikan tanganku dan disitu awal pertemuan kita.
Jamilah : (tertawa kecil)
Sukarto : Dan aku lebih senang kau melakukam seperti itu.
(Keduanya terdiam, dan kini matahari kian menampakkan wajahnya, sukarto merospon
munculnya matahari tapi berbeda dengan jamilah dia masih melihat sukarto dengan wajah
sedih).
Jamilah : Mas? (memeluk sukarto), maafkan aku.
Sukarto : Bagaimana dengan masyarakat yang lain dan juga bapakku?
Jamilah : ( Daiam).
Sukarto : Aku berencana untuk pergi ke kota, dan menghapus semua ini.
Jamilah : Lantas bagaimana dengan pabrik ini?
Sukarto : Ini sudah tiga tahun , jadi hutang Ayahmu, sudah aku lunaskan.
Jamilah : Terima kasih mas.
Kedunya memandang laut, seakan laut menyapa mereka, mereka berjalan untuk lebih dekat
dengan laut untuk menyapa kembali.
Seandainya telah catatkan
dia akan mejadi teman menapaki hidup
Titipkanlah kebahagiaan diantara kami
Agar kemesraan itu abadi
Melontar bayangan jauh ke langit
Hilang bersama senja nan merah
Agarku bisa berbahagia walaupun tanpa bersama dengannya