AMAL USMAN

download AMAL USMAN

of 41

Transcript of AMAL USMAN

Kamis, 03 Maret 2011PANCASILA DAN SILA KETUHANAN YANG MAHA ESAPendahuluan Pancasila merupakan pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk. Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia? Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi mutlak harus dipersatukan. Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah inti negara Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia, Pancasila dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus kita hafalkan dan mematuhi apa yang diatur di dalamnya. Ada pula sebagian pihak yang sudah hampir tidak mempedulikan lagi semua aturan-aturan yang dimiliki oleh Pancasila. Namun, di lain pihak muncul orang-orang yang tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Jika kita melihat semua kejadian di atas, kejadian-kejadian itu bersumber pada perbedaan dan ketidakcocokan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang mereka anut. Dengan kata lain mereka yang melakukan kudeta atas dasar keyakinan akan prinsip yang mereka anut adalah yang paling baik, khususnya bagi orang-orang yang berlatar belakang prinsip agama. Masalah pokok yang hendak dikemukakan di sini adalah kenyataan bahwa Pancasila tidak merupakan paham yang lengkap, juga tidak merupakan kesatuan yang bulat. Kelengkapannya bergantung pada pemikiran lain yang dijabarkan ke dalam Pancasila; dan kesatuan bulatnya juga demikian. Dalam rangka ini, paham agama bisa pula masuk. PANCASILA DAN SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA A. ARTI PENTING PANCASILA Pancasila sebagai dasar negara memang sudah final. Menggugat Pancasila hanya akan membawa ketidakpastian baru. Bukan tidak mungkin akan timbul chaos (kesalahan) yang memecah-belah eksistensi negara kesatuan. Akhirnya Indonesia akan tercecer menjadi negara-negara kecil yang berbasis agama dan suku. Untuk menghindarinya maka penerapan hukum-hukum agama (juga hukumhukum adat) dalam sistem hukum negara menjadi urgen untuk diterapkan. Sejarah Indonesia yang awalnya merupakan kumpulan Kerajaan yang berbasis agama dan suku memperkuat kebutuhan akan hal ini. Pancasila yang diperjuangkan untuk mengikat agama-agama dan suku-suku itu harus tetap mengakui jati diri dan ciri khas yang dimiliki setiap agama dan suku. B. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA Sebagai negara yang bermayoritas penduduk agama islam, Pancasila sendiri yang sebagai dasar negara Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh agama yang tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila Ketuhanan yang Maha Esa. yang pada awalnya berbunyi dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun dua ormas Islam terbesar saat itu dan masih bertahan sampai sekarang yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menentang penerapan Piagam Jakarta tersebut, karena dua ormas Islam tersebut menyadari bahwa jika penerapan syariat Islam diterapkan secara tidak langsung namun pasti akan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan secara fair hal tersebut dapat memojokkan umat beragama lain. Yang lebih buruk lagi adalah dapat memicu disintegrasi bangsa terutama bagi provinsi yang mayoritas beragama nonislam. Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah ketuhanan yang maha esa yang berarti bahwa Pancasila mengakui dan menyakralkan keberadaan Agama, tidak hanya Islam namun termasuk juga Kristen, Katolik, Budha dan Hindu sebagai agama

resmi negara pada saat itu. C. BUTIR-BUTIR PANCASILA SILA PERTAMA Atas perubahan bunyi sila pertama menjadi Ketuhanan yang Maha Esa membuat para pemeluk agama lain di luar islam merasa puas dan merasa dihargai. Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan yang Maha Esa dapat dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir Pancasila. Diantaranya: Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antra pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa setiap rakyat Indonesia wajib memeluk satu agama yang diyakini. Tidak ada pemaksaan dan saling toleransi antara agama yang satu dengan agama yang lain. BENTUK KOLABORASI PANCASILA DENGAN AGAMA IDEOLOGI PANCASILA SEBAGAI PILIHAN Keberagaman agama dan pemeluk agama di Indonesia menjadi sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Kenyataan ini menuntut adanya kesadaran dari setiap pemeluk agama untuk menjaga keharmonisan hubungan di antara mereka. Semua pemeluk agama memang harus mawas diri. Yang harus disadari adalah bahwa mereka hidup dalam sebuah masyarakat dengan keyakinan agama yang beragam. Dengan demikian, semestinya tak ada satu kelompok pemeluk agama yang mau menang sendiri. Seperti yang telah kita ketahui bahwa di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa, adat istiadat hingga berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Dengan kondisi sosiokultur yang begitu heterogen dibutuhkan sebuah ideologi yang netral namun dapat mengayomi berbagai keragaman yang ada di Indonesia. Karena itu dipilihlah Pancasila sebagai dasar negara. Namun saat ini yang menjadi permasalahan adalah bunyi dan butir pada sila pertama. Sedangkan sejauh ini tidak ada pihak manapun yang secara terang-terangan menentang bunyi dan butir pada sila kedua hingga ke lima. Namun ada ormas-ormas yang terang-terangan menolak isi dari Pancasila tersebut. Akibat maraknya parpol dan ormas Islam yang tidak mengakui keberadaan Pancasila dengan menjual nama Syariat islam dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang cinta atas keutuhan NKRI maka banyak dari mereka yang mengatasnamakan diri mereka Islam Pancasilais, atau Islam Nasionalis. Konsep negara Pancasila adalah konsep negara agama-agama. Konsep negara yang menjamin setiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara utuh, penuh dan sempurna. Negara Pancasila bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler apalagi negara atheis. Sebuah negara yang tidak tunduk pada salah satu agama, tidak pula memperkenankan pemisahan negara dari agama, apalagi sampai mengakui tidak tunduk pada agama manapun. Negara Pancasila mendorong dan memfasilitasi semua penduduk untuk tunduk pada agamanya. Penerapan hukum-hukum agama secara utuh dalam

negara Pancasila adalah dimungkinkan. Semangat pluralisme dan ketuhanan yang dikandung Pancasila telah siap mengadopsi kemungkinan itu. Tak perlu ada ketakutan ataupun kecemburuan apapun, karena hukum-hukum agama hanya berlaku pada pemeluknya. Penerapan konsep negara agama-agama akan menghapus superioritas satu agama atas agama lainnya. Tak ada lagi asumsi mayoritas minoritas. Bahkan pemeluk agama dapat hidup berdampingan secara damai dan sederajat. Adopsi hukum-hukum agama dalam negara Pancasila akan menjamin kelestarian dasar negara Pancasila, prinsip Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Pikirkan jika suatu kebenaran, kesalahan maupun etika moral ditentukan oleh sebuah definisi sebuah agama dalam hal ini agama Islam. Sedangkan ketika anda terlibat didalamnya anda adalah seseorang yang memeluk agama diluar Islam! Apakah yang anda pikirkan dan bagai mana perasaan di hati anda ketika sebuah kebenaran dan moralitas pada hati nurani anda ditentukan oleh agama lain yang bukan anda anut? Sekarang di beberapa provinsi telah terjadi, dengan alasan moral dan budaya maka diterapkanlah aturan tersebut. Sebagai contoh, kini di sebuah provinsi semua wanita harus menggunakan jilbab. Mungkin bagi sebagian kecil orang yang tinggal di Indonesia merupakan keindahan namun bagai mana dengan budaya yang selama ini telah ada? Jangankan di tanah Papua, pakaian Kebaya pun artinya dilarang dipakai olah putri daerah. Bukankah ini merupakan pengkhianatan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia yang begitu heterogen. Jika anda masih ragu, silakan lihat apa yang terjadi di Saudi Arabia dengan aliran Salafy Wahabinya. Tidak ada pemilu, tidak ada kesetaraan gender dan lihat betapa tersisihnya kaum wanita dan penganut agama minoritas di sana. Jika memang anda cinta dengan Adat, Budaya dan Toleransi umat beragama di Indonesia dukung dan jagalah kesucian Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa. KONTROVERSI PANCASILA Sebagai dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila, sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monoteisme (Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial). Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia. Selain alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme. Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME (Allahu Ahad). Pada masa pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara, kebanyakan terdiri dari Kerajaankerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, belum dikenal konsep musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu. Rakyat harus tunduk dan patuh pada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus demokrasi, karena kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada persatuan. Perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang pertumpahan darah. Sejak awal, Pancasila agaknya tidak dimaksudkan sebagai alat pemersatu, apalagi untuk mengakomodir ke-Bhinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Tetapi untuk menjegal peluang berlakunya Syariat Islam. Para nasionalis sekuler, terutama Non Muslim, hingga kini menjadikan Pancasila sebagai senjata ampuh untuk menjegal Syariat Islam, meski konsep Ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila berbeda dengan konsep bertuhan banyak yang mereka anut. Mereka lebih sibuk menyerimpung orang Islam yang mau menjalankan Syariat agamanya, ketimbang dengan gigih memperjuangkan haknya dalam menjalankan ibadah dan menerapkan ketentuan agamanya. Bagaimana toleransi bisa dibangun di atas konstruksi filsafat yang menghasilkan anarkisme ideologi seperti ini? Pancasila, sudah kian terbukti, cuma sekadar alat politisi busuk yang anti Islam, namun mengatasnamakan ke-Bhinekaan. Padahal, bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya multietnis, multi kultural, dan multi agama. Di Amerika Serikat, untuk mempertahankan ke-Bhinekaannya mereka tidak perlu Pancasila, begitu pun negara jiran Malaysia. Nyatanya, mereka justru lebih maju dari Indonesia. Kenyataan ini, betapapun pahitnya haruslah diakui secara jujur. Sayangnya, sejumlah pejabat dan

mantan pejabat di negeri ini, belum juga siuman dari mimpinya tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagaimana sila kedua Pancasila. Sedang sejarah membuktikan, apa yang dilakukan rezim penguasa selama 60 tahun Indonesia merdeka, justru penindasan terhadap kemanusiaan. Dalam memperingati hari lahir Pancasila, 4 Juni 2006, di Bandung, muncul sejumlah tokoh nasional berupaya memperalat isu Pancasila untuk kepentingan zionisme. Celakanya, mereka menggunakan cara yang tidak cerdas dan manipulatif. Dengan berlandaskan asas Bhineka Tunggal Ika, mereka memosisikan agama seolah-olah perampas hak dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Segala hal yang berkaitan dengan agama dianggap membelenggu kebebasan. Kebencian pada agama, pada gilirannya, menyebabkan parameter kebenaran porak-poranda, kemungkaran akhlak merajalela. Kesyirikan, aliran sesat, dan perilaku menyesatkan membawa epidemi kerusakan dan juga bencana. Anehnya, peristiwa bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 6000 jiwa di Jogjakata, 27 Mei 2006, malah yang disalahkan Islam dan umat Islam. Seorang paranormal mengatakan,Bencana gempa di Jogjakarta, terjadi akibat pendukung RUU APP yang kian anarkis. Lalu, pembakaran kantor Bupati Tuban, cap jempol atau silang darah di Jatim, yang dilakukan anggota PKB dan PDIP, dan menyatroni aktivis FPI, Majelis Mujahidin, dan Hizbut Tahrir. Apakah bukan tindakan anarkis? Jangan lupa, Bupati Bantul, Idham Samawi, yang daerahnya paling banyak korban gempa bumi berasal dari PDIP. Tidak itu saja. Upaya penyeragaman budaya, maupun moral atas nama agama, juga dikritik pedas. Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan awal bangsa Indonesia harus dipertahankan. Masyarakat Indonesia beraneka ragam, sehingga tindakan menyeragamkan budaya itu tidak dibenarkan, kata Megawati. Penyeragaman yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Akbar Tanjung,Keberagaman itu tidak dirusak dengan memaksakan kehendak. Pihak yang merongrong Bhineka, adalah kekuatankekuatan yang ingin menyeragamkan. Padahal, justru Bung Karno pula orang pertama yang mengkhianati Pancasila. Dengan memaksakan kehendak, ia berusaha menyeragamkan ideologi, budaya, dan seni. Ideologi NASAKOM (Nasionalisme, agama, dan komunis) dipaksakan berlaku secara despotis. Demikian pula, seni yang boleh dipertunjukkan hanya seni gaya Lekra. Sementara yang berjiwa keagamaan dinyatakan sebagai musuh revolusi. Begitu pun Soeharto, berusaha menyeragamkan ideologi melalui asas tunggal Pancasila. Hasilnya, kehancuran. PEMAHAMAN DAN PELANGGARAN TERHADAP PANCASILA SAAT INI Ideologi Pancasila merupakan dasar negara yang mengakui dan mengagungkan keberadaan agama dalam pemerintahan. Sehingga kita sebagai warga negara Indonesia tidak perlu meragukan konsistensi atas Ideologi Pancasila terhadap agama. Tidak perlu berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi berbasis agama dengan alasan bahwa ideologi Pancasila bukan ideologi beragama. Ideologi Pancasila adalah ideologi beragama. Sesama umat beragama seharusnya kita saling tolong menolong. Tidak perlu melakukan permusuhan ataupun diskriminasi terhadap umat yang berbeda agama, berbeda keyakinan maupun berbeda adat istiadat. Hanya karena merasa berasal dari agama mayoritas tidak seharusnya kita merendahkan umat yang berbeda agama ataupun membuat aturan yang secara langsung dan tidak langsung memaksakan aturan agama yang dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih moralitas. Hendaknya kita tidak menggunakan standar sebuah agama tertentu untuk dijadikan tolak ukur nilai moralitas bangsa Indonesia. Sesungguhnya tidak ada agama yang salah dan mengajarkan permusuhan. Agama yang diakui di Indonesia ada 5, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Sebuah kesalahan fatal bila menjadikan salah satu agama sebagai standar tolak ukur benar salah dan moralitas bangsa. Karena akan terjadi chaos dan timbul gesekan antar agama. kalaupun penggunaan dasar agama haruslah mengakomodir standar dari Islam, Kristen, Katolik, Budha dan Hindu bukan berdasarkan salah satu agama entah agama mayoritas ataupun minoritas.

LANDASAN PENDIDIKANfilsafat ilmu

Pendahuluan Ketika berbicara pendidikan maka kita akan berbicara mengenai definisi pendidikan. Pendidikan merupakan aktifitas rasional yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga belajar tetapi lebih ditentukan oleh instinknya. Manusia belajar dengan otaknya melalu rangkaian kegiatan menuju pendewasaan untuk mencapai kehidupan yang lebih berarti. Pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan masyarakat bangsa tertentu. Karena itu diperlukan sejumlah landasan dan asas-asas tertentu dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan. Beberapa landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, dan kultural, Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk menjemput masa depan. Filsafat sebagai Induk Ilmu Pengetahuan Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dari keduanya[1]. Dalam berfilsafat kita didorong untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Filsafat dalam pandangan tokoh-tokoh dunia diartikan sebagai berikut:

Plato (427 348 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli Aristoteles (382 322 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika Al Kindi (801 m), filsafat adalah pengetahuan tentang realisasi segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia Al Farabi (870 950 m), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam wujud bagaimana hakikat sebenarnya. Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya. Di dalam kepribadiannya itu dialami sesungguhnya.

Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat dapat diartikan sebagai berikut 1. Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan, pemikiran pengetahuan, sifat alam semesta. 2. Prinsip-prinsip umum tentang suatu bidang pengetahuan. 3. Ilmu yang berintikan logika ,estetika, metafisika, dan epistemologi 4. Falsafah

Tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin dan menerbitkan serta mengatur semua itu dalam bentuk sistematik. Dengan demikian filsafat memerlukan analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan. Semua ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam bertolak dari pengembangannya yaitu filsafat. Pada awalnya filsafat terdiri dari tiga segi yaitu (1)apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika); (2) mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika); (3)apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika). Kemudian ketiga cabang utama itu berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain mencakup: 1. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) 2. Etika (Filsafat Moral) 3. Estetika (Filsafat Seni) 4. Metafisika 5. Politik (Filsafat Pemerintahan) 6. Filsafat Agama 7. Filsafat Ilmu 8. Filsafat Pendidikan 9. Filsafat Hukum 10. Filsafat Sejarah 11. Filsafat Matematika Ilmu tersebut pada tahap selanjutnya menyatakan diri otonom, bebas dari konsep-konsep dan normanorma filsafat. Namun demikian ketika ilmu tersebut mengalami pertentangan-pertentangan maka akan kembali kepada filsafat sebagai induk dari ilmu tersebut. Pendidikan sebagai Cabang ilmu dari Filsafat Sebagaimana cabang ilmu lainnya pendidikan merupakan cabang dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni melainkan filsafat khusus atau terapan. Dalam filsafat umum yang menjadi objeknya adalah kenyataan keseluruhan segala sesuatu, sedangkan filsafat khusus mempunyai objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia. Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu (1) Filsafat Praktek Pendidikan dan (2) Filsafat Ilmu Pendidikan. Filsafat Praktek Pendidikan diartikan sebagai analisis kritis dan komprehensif tentang bagaimana seharusnya pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan. Sedangkan Filsafat Ilmu Pendidikan secara konsepsional diartikan sebagai analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melalui riset baik kuantitatif maupun kualitatif[2] . Jika dalam Filsafat Praktek Pendidikan biasanya membahas mengenai 3 (tiga) masalah pokok yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya dan (3) dengan cara apa tujuan pendidikan dapat dicapai, maka dalam Filsafat Ilmu Pendidikan membahas mengenai (1) struktur ilmu dan (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan. Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam yaitu:

1. Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi Ilmu Pendidikan 2. Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material Ilmu Pendidikan 3. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan 4. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan Kedudukan Filsafat Pendidikan sebagai Cabang Filsafat dapat dilihat pada bagan berikut:

Sumber: Abdullah (2001) Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang mendasar dan mendalam, sehingga diperlukan analisis dan pemikiran filosofis. Selain perumusan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran filosofis. Dalam perkembangan pendidikan menjadi cabang ilmu yang mandiri dipengaruhi oleh pandangan dan konsep yang dikemukan oleh para filosofi.. Plato (428-348 SM)[3]

Plato merupakan filosofi yunani yang aktif mengembangkan filsafat dengan mendirikan sekolah khusus yang disebut academia. Plato berpandangan bahwa konsep ide merupakan pandangan terdapat suatu dunia di balik alam kenyataan, sebagai hakikat dari segala yang ada. Artinya apa yang diamati sehari-hari adalah ide tersebut, sebagai sumber segala yang ada: kebaikan dan keburukan. Ide merupakan suatu hal yang objektif yang didalamnya berpusat dan dikendalikan oleh puncak ide yang digambarkan sebagai ide tentang kebaikan yang diformulasikan sebagai tuhan Aristoteles (384 348 SM)[4] Aristoteles yang merupakan bapak ilmu berpandangan bahwa ilmu pendidikan dibangun melalui riset pendidikan. Riset merupakan suatu gerak maju dan kegiatan-kegiatan observasi menuju prinsip-prinsip umum yang bersifat menerangkan dan kembali kepada observasi. Pandangan ini berkembang pada abad 13 14. Aristoteles berpandangan bahwa ilmuan hendaknya menarik kesimpulan secara induksi dan deduksi. Dalam tahapan induksi, generalisasi-generalisasi (kesimpulan-kesimpulan umum) tentang bentuk ditarik dari pengalaman pengindraan. Selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari tahapan induksi dipergunakan untuk premis-premis untuk deduksi dari pernyataan-pernyataan tentang observasi. Penyempurnaan teori aristoteles dilakukan oleh beberapa filosofi lain yaitu: Robert Grosseteste yang menyebutkan bahwa metode induktif-deduktif Aristoteles sebagai Metode perincian dan penggabungan. Tahap Induksi meruapakan sebuah perincian gejala yang menjadi unsurunsur pokok dan tahap deduksi sebagai penggabungan unsur-unsur poko yang membentuk gejala asli. Roger Bacon mengusulkan agar matematika dan eksperimen merupakan dua instrumen utama dari penyelidikan ilmiah. Dia mengemukakan ada tiga hak istimewa Ilmu Eksperimental : (1) kesimpulan yang diperoleh melalui penalaran induksi diuji lebih dulu dengan eksperimen; (2) penggunaan eksperimen dalam penyelidikan ilmiah menambah ketelitian dan keluasan pengetahuan faktual; (3) dengan kekuatannya sendiri, tanpa bantuan ilmu-ilmu lainnya, eksperimen dapat menyelidiki rahasia alam. John Duns Scotus yang menegaskan sebuah metode induksi dalam bentuk persamaan, yaitu merupakan teknis analisis sejumlah hal khusus yang mempunyai pengaruh khusus terhadap peristiwa. Ockham yang menegaskan metode induksi dalan bentuk perbedaan, bahwa ilmuwan dalam menyusun pengetahuan tentang apa yang diciptakan Tuhan dengan melalui induksi hanya terdapat kesatuan-kesatuan yang bersifat pembawaan di antara gejala-gejala. Metode Ockham membandingkan dua hal khusus dimana yang satu ada pengaruhnya dan satunya lagi tidak ada pengaruhnya. Johan Amos Comenius[5] Filsuf pertama yang memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan adalah Johan Amos Comenius seorang pendeta Protestan. ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalah peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam. Artinya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik. Hal tersebut awal dari pemikiran filsafat pendidikan naturalisme yang lahir pada abad 17 dan mengalami perkembangan pada abad 18. Dimensi mengenai pemikiran filsafat pendidikan naturalisme adalah sebagai berikut:

Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh comenius Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme. Demensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta. Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi oleh kerangka pemikiran John Locke, Ia mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra. Jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan. Selain tokoh-tokoh barat, filsafat pendidikan dalam pandangan tokoh filosofi islam sebagaimana diuraikan berikut[6] Ibnu Khaldun (1332 1406 M) Filosofi Islam yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan merupakan kemampuan manusia untuk membuat analisis dan strategis sebagai hasil dari proses berfikir. Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Abduh Ibnu Hasan Khairullah (1849 .M) Filosofi Islam dari Mesir mengemukakan bahwa pendidikan bertujuan mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. Proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang seimbang, pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif (akal) semata tapi perlu menyeleraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan). Muhammad Iqbal (1877 1938M) Filosofi Islam dari India, berpandangan bahwa pendidikan merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari peradaban manusia, bahkan pendidikan merupakan subtansi dari peradaban manusia. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu memadukan dualisme (antara aspek keduniaan dan aspek keakhiratan secara sama dan seimbang). Ahmad Dahlan (1869 1923M) Ahmad Dahlan adalah tokoh pendiri Muhammadiyah yang berpandangan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan manusia yang (1) baik budi, yaitu alim dalam agama; (2) luas pandangan, yaitu alam dalam ilmu-ilmu umum dan (3) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan agama dan pendidikan umum dipadukan secara selaras dan berpegang kepada Al-Quran dan Al-Sunnah. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

Aliran-aliran yang berkembang saat ini sangat dipengaruhi oleh pandangan dan teori-teori yang dikemukan oleh para filosofi-filosofi dunia. Aliran-aliran dalam Filsafat yang berkembang saat ini antara lain: 1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali 2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill. 3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach 4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. 5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich 6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff 7. Filsafat Pendidikan Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. 8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler. 9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.

Landasan Filsafat Pendidikan Indonesia Pendidikan Indonesia dipengaruhi beberapa peristiwa: Era Kolonia Belanda[7] Pendidikan Indonesia pada Era Kolonia Belanda mengalami 3 (tiga) fase perkembangan 1. Masa VOC (1607), pada masa VOC pendidikan yang berkembang di Indonesia yaitu pendidikan yang berlandaskan ketuhanan.dan berpusat di gereja. Tujuan pendidikan saat itu adalah menyebarkan agama protestan dan menghilangkan pengaruh katolik di Indonesia. Tugas guru saat itu adalah untuk memupuk rasa takut terhadap Tuhan, mengajarkan dasar-dasar agama Kristen, mengajar anak berdoa, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru-guru 2. Masa Liberal (1861-1819), pendidikan pada masa tersebut dipengaruhi ole ide-ide liberal. Terjadi perubahan yang radikal bahwa kepercayaan atas kekuasaan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian empiris. Pendidikan ditujukan kepada pengembangan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional, social dan usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler. 3. Politik Etis: 1900 1920, pendidikan pada masa ini ditujukan membangun kemandirian dan emansipasi pendidikan demi kesejateraan rakyat Indonesia. Ciri pendidikan pada masa ini yaitu gradualisme, dualisme, kontrol sental, keterbatasan tujuan, prinsip konkordasi dan tidak ada perencanaan pendidikan yang sistematis. Era Kemerdekaan Indonesia[8] Pancasila sebagai dasar dan landasan berbagai kehidupan bangsa lahir pada era kemerdekaan. Nilainilai yang terkandung dalam pancasila sebenarnya sudah sejak dulu telah mendasari aspek-aspek kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut tergambar dari kehidupan bernegara pada masa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada era kebangkitan bangsa nilai-nilai pancasila telah menggugah kesadaran nasionalime bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Konsep Pancasila sebagai dasar, landasan dan Falsafah dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa dicetuskan oleh tokoh-tokoh kebangsaan yaitu: Mr. Muh.Yamin, mengemukakan rancangan dasar Negara, yaitu 1. Peri kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat Mr. Soepomo mengemukakan dasar negara Indonesia Merdeka yang dicita-citakan yaitu: 1. Dasar Integralistik, negara kesatuan, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun. 2. Dasar ke-Tuhanan 3. Dasar sosialisme negara, dasar ekonomi kekeluargaan 4. Dasar musyawarah dalam kepemimpinan Ir. Soekarno, mengusulkan dasar filsafat negara Pancasila dengan susunan: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusian 3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan Yang Maha Esa Pemikiran-pemikiran tersebut yang menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila yang melandasi semua aspek kehidupan banga termasuk Landasan dan Falsafah Pendidikan Indonesia. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat[9] Pancasila sebagai sistem filsafat adalah pengungkapan dan penelaahan dunia fisik dan dunia riil secara sistemik (menyeluruh) dan sistematis (teratur, tersusun rapi). Pancasila memberi ajaran tata hidup manusia budaya secara harmonis. Pancasila adalah filsafat keselarasan. Pancasila sebagai sistem filsafat juga mempunyai ajaran-ajaran tentang metafisika dan ontologi Pancasila, aksiologi Pancasila dan logika Pancasila. Ajaran Metafisika dan Ontologi Pancasila Asas-asas metafisika dan ontologi dalam filsafat Pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut: Asas monoteisme Merupakan realisasi dari sila I Pancasila Ketuhanan yang Maha Esa, Bangsa Indonesia hanya mengakui satu tuhan saja ialah Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia menganut asas kemerdekaan untuk memilih dan menganut agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menjunjung toleransi antar pemeluk agama. Asas makrokosmos-mikrokosmos Asas makrokosmos merupakan pengakuan kepada realita yang ada, ialah alam semesta ini, dunia dengan tata suryanya. Alam semesta raya mempunyai hukum-hukum alamnya dan menjadi sumber daya kehidupan semua makhluk hidup. Manusia sering dipandang sebagai mikrokosmos sebab pada manusia terdapat sifat-sifat atau unsur-unsur seperti yang ada pada makrokosmos. Asas tata ada yang selaras, serasi, seimbang (harmoni) Bahwa yang ada di dunia merupakan hal yang serba berlawanan namun tetap dapat berlangsung secara selaras. Asas tata hidup manusia budaya (asas kultural/religius) Cipta, rasa dan karsa manusia secara integratif mampu menciptakan perlengkapan-perlengkapan hidup yang secara keseluruhannya disebut kebudayaan. Asas persatuan dan kesatuan Hidup budaya manusia membentuk kesatuan-kesatuan secara menyeluruh mulai dari tingkat terbawah yaitu keluarga sampai pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas tertib damai, kemerdekaan dan keadilan Hidup membudaya adalah hidup tertib, teratur dan damai menghindari pertengkaran dan perselisihan Asas bhineka tunggal ika Asas ini memberi makna bahwa hidup budaya manusia menunjukan variasi-variasi, seperti adanya rasras manusia, macam-macam agama dan kebudayaan daerah dan sebagainya. Asas idealisme, realistis dan pragmatis

Hidup bangsa Indonesia tidak tanpa arah, tetapi mempunyai arah yang ideal yakni hidup masyarakat yang adil dan makmur. Epistomologi Pancasila Ajaran Pancasila dengan teorinya selaras, serasi dan seimbang, mengakui kebenaran pengetahuan rasio dan pengetahuan pengalaman. Baik rasio maupun pengalaman dapat menjadi sumber pengetahuan. Pengetahuan datang dari intuisi dan juga bersumber pada kebenaran agama. Logika yang dikembangkan dalam epistomologi Pancasila adalah logika formal (deduksi), logika induksi, logika ilmiah dan logika intuisi. Aksiologi Pancasila Prinsip-prinsip ajaran nilai atau aksiologi Pancasila adalah sebagai berikut: Prinsip nilai religius Prinsip nilai religius bersumber pada Sila I Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Agama menjadi sumber-sumber nilai-nilai kebaikan dan juga kebenaran. Fungsi Pancasila terhadap agama adalah: 1. Pancasila memberi fasilitas kepada hidup subur dan berkembangnya agama 2. Pancasila memberi situasi dan kondisi kerukunan dan kedamaian hidup di antara umat beragama. Prinsip nilai alami Prinsip nilai alamia artinya alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang berisi kebaikan-kebaikan alamiah yang berupa nilai-nilai hukum alam. Prinsip nilai manusia Prinsip nilai-nilai manusia yakni bahwa manusia adalah subjek penilai. Dalam mencapai nilai-nilai dalam hidupnya, maka manusia akan melaksanakan nilai-nilai: (1) nilai-nilai kemanusian; (2) nilainilai persatuan hidup bersama; (3) nilai-nilai kerakyatan atau demokrasi; (4) nilai-nilai keadilan. Prinsip relativitas dan kemutlakan nilai Nilai-nilai hidup budaya manusia ada yang bersifat relatif, terbatas oleh kurun waktu dan tempat. Ajaran Pancasila tentang Pendidikan Wawasan kependidikan dalam Filsafat Pendidikan Pancasila adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan adalah proses pembudayaan manusia, yakni usaha sadar untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian manusia, yang dilakukan baik dalam keluarga, di sekolah maupun di masyarakat dan berlaku seumur hidup. Pendidikan adalah proses regenerasi untuk melangsungkan eksistensi manusia budaya yang lebih maju. 2. Tujuan pendidikan adalah menumbuhkan Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS). MIS yaitu manusia pembangunan yang berkembang secara integral, selaras, serasi, seimbang antara cipta, rasa, karsa dan karya serta jasmani-rohani yang sehat. 3. Kurikulum pendidikan, melaksanakan kurikulum yang komprehensif, memadukan antara teori dan praktek. Wawasan kurikulum yang dikembangkan adalah: (1) Wawasan budaya bangsa berdasar pada kondisi sosio-budaya masyarakat dan negara Indonesia, (2) Wawasan ideologi dan pandangan hidup Pancasila, (3) Wawasan kemajuan Ilmu dan Teknologi, (4) Wawasan religius dan keimanan, (5) Wawasan Pembangunan Nasional, (6) Wawasan ketahanan bangsa, (7) Proses belajar dan mengajar, mengembangkan proses komunikasi diagonal (interaksi aktif). Mengembangkan Cara Belajar Siswa Aktif.

4. Hakekat proses belajar dan mengajar, (1) dalam proses belajar mengajar terjadi interaktif antara siswa dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru, (2) proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media atau teknologi pendidikan yang tepat guna, (3) kegiatan belajar mengajar direncanakan dan diimplementasikan menjadi suatu sistem, (4) materi dan sistem penyajian bersifat dinamis selalu berkembang 5. Hakekat lembaga pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi adalah (1) lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan untuk meningkatkan kualitas manusia, (2) menyelenggarakan program-program pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kuantitatif dan kualitatif. 6. Hakekat anak didik adalah bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri selaras dengan wawasan pendidikan sepanjang hayat 7. Hakekat guru sebagai pendidik adalah agen perubahan, berfungsi sebagai pemimpin dan pendukung serta pengembang nilai-nilai hidup di masyarakat, sebagai fasilitator dan bertanggung jawab atas tujuan belajar. 8. Hakekat masyarakat adalah sebagai lingkungan pendidikan. Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidikan Nasional Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut sejalan dengan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4 menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut jelaslah bahwa pancasila adalah Landasan Filosofi Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan nasional merupakan suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya. Sedangkan Pendidikan Nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia. Sehingga Filsafat pendidikan nasional Indonesia dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa Pancasila yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.[10] Pokok-pokok fikiran Pendidikan Nasional adalah: 1. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan disebut sistem Pendidikan Pancasila 2. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan 3. Fungsi pendidikan nasional Indonesia adalah untuk mengembangkan warga negara Indonesia, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, mengembangkan bangsa Indonesia dan mengembangkan kebudayaan Indonesia 4. Unsur-unsur pokok pendidikan nasional adalah pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan watak dan kepribadian, pendidikan bahasa, pendidikan kesegaran jasmani, pendidikan kesenian, pendidikan ilmu pengetahuan, pendidikan keterampilan, pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kesadaran bersejarah.

5. Asas-asas pelaksanaan pendidikan nasional Indonesia adalah asas semesta, asas pendidikan seumur hidup, asas tanggung jawab bersama, asas pendidikan, asas keselarasan dan keterpaduan dengan ketahanan nasional dan wawasan nasional, asas Bhineka Tunggal Ika, Asas keselarasan, keseimbangan dan keserasian, asas manfaat adil dan merata. Kesimpulan Pendidikan merupakan cabang dari filsafat. Namun pendidikan bukan merupakan filsafat umum/murni melainkan filsafat khusus atau terapan. Filsafat Pendidikan dapat diartikan juga upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan Filsafat pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu : (1) Filsafat Praktek Pendidikan dan (2) Filsafat Ilmu Pendidikan. Filsafat Praktek Pendidikan biasanya membahas mengenai 3 (tiga) masalah pokok yaitu (1) apakah sebenarnya pendidikan itu; (2) apakah tujuan pendidikan itu sebenarnya dan (3) dengan cara apa tujuan pendidikan dapat dicapai Filsafat Ilmu Pendidikan membahas mengenai : (1) struktur ilmu dan (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan praktis dan pengetahuan tentang kenyataan. Objek dalam Filsafat Ilmu Pendidikan dapat dibedakan dalam 4 (empat) macam yaitu: 1. Ontologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat subtansi dan pola organisasi Ilmu Pendidikan 2. Epistomologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat objek formal dan material Ilmu Pendidikan 3. Metodologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pengetahuan 4. Aksiologi Ilmu Pendidikan, yang membahas tentang hakikat nilai kegunaan teoritis dan praktis Ilmu Pendidikan Filsafat Pancasila yang muncul pada masa kemerdekaan tahun 1945 dicetuskan oleh tokoh-tokoh perjuangan bangsa. Sebagai sebuah filsafat pendidikan, Pancasila mengandung pemahaman nilai mengenai metafisika dan ontologi, epistomologi dan aksiologi sebagai mana yang terkandung dalam filsafat pendidikan. Kedudukan Pancasila sebagai filsafat Pendidikan Indonesia diperkuat dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989. Daftar Pustaka Abdullah, Ishak. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya Bandung.

Fudyatanta, Ki. 2006. Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila. Amus Yogyakarta Hasan, M.Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Pendidikan Pancasila. PT. Raja Grafindo Persada. Nasution, Hasan Bakti. 2001 . Filsafat Umum. Gaya Media Pratama. Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bumi Aksara Heryanto, Nunu. 2002, Bahan Kuliah pad IKIP Makasar, Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Ar-ruzz Suriasumantri, Jujun S. 2003 . Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Pustaka Sinar Harapan www.education.feedfury.com didown load pada tanggal 13 September 2008 http://re-searchengines.com/0308hakiki.html didown load pada tanggal 13 September 2008 [1] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Pustaka Sinar Harapan, 2003 [2] Ishak Abdullah. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. 2001 [3] Hasan Bakti Nasution.Filsafat Umum. Gaya Media Pratama. 2001 [4] Ishak Abdullah. Filsafat Ilmu Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya Bandung. 2001 [5] http://re-searchengines.com/0308hakiki.html di down load pada tanggal 13 September 2008 [6] Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam. Ar-Ruzz. 2006 [7] Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bumi Aksara. 2008 [8] M.Iqbal Hasan. Pokok-Pokok Materi Pendidikan Pancasila. PT. Raja Grafindo Persada. 2002 [9] Fudyatanta, Ki. 2006. Filsafat Pendidikan Barat dan Filsafat Pendidikan Pancasila. Amus Yogyakarta [10] Nunu Heryanto, 2002. Materi Kuliah pada IKIP Makasar

MAKALAH PANCASILAPublished On April 16th 2010 By Muhammad Ammar Haq. Under: kampuz Q.

KATA PENGANTARPuji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Alloh Swt. Yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada kami. Sehingga kami mampu menyelesaikan Makalah Pendidikan Pancasila ini sesuai dengan waktu yang kami rencanakan. Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Pancasila. Yang meliputi nilai tugas, nilai kelompok, nilai individu, dan nilai keaktifan. Penyusunan makalah ini tidak berniat untuk mengubah materi yang sudah tersusun. Namun, hanya lebih pendekatan pada study banding atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi. Yang semoga bisa member tambahan pada hal yang terkait dengan Kepentingan Pendidikan Pancasila dalam perkembangan Negara Indonesia di Era Reformasi. Pembuatan makalah ini menggunakan metode study pustaka, yaitu mengumpulkan dan mengkaji materi Pendidikan Pancasila dari berbagai referensi. Kami gunakan metode pengumpulan data ini, agar makalah yang kami susun dapat memberikan informasi yang akurat dan bisa dibuktikan. Penyampaian pembandingan materi dari referensi yang satu dengan yang lainnya akan menyatu dalam satu makalah kami. Sehingga tidak ada perombakan total dari buku aslinya. Kami sebagai penyusun pastinya tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas segala kekurangannya. Kami ucapkan terima kasih kepada S.Rosdiani Emiyulia,S.Pd.MM sebagai pengajar mata kuliah Pancasila yang telah membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.tidak lupa pula kepada rekan rekan yang telah ikut berpartisipasi. Sehingga makalah ini selesai tepat pada waktunya. Penyusun ii

DAFTAR ISILEMBAR JUDUL i Kata Pengantar ii Daftar Isi iii Bab 1 Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1968 4 Bab 2 Tinjauan Pancasila Dari Berbagai Segi 8 2.1 Tinjauan Historis 8 Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 8 Piagam Jakarta 22 Juni 1945 9

Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) 9 Intruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 10 2.2 Tinjauan Yuridis Konstitusional 10 2.3 Tinjauan Tentang dasar Pancasila 11 Bab 3 Hakikat Nilai Nilai Pancasila 15 1.1 Arti dan Makna Sila Ketuhanan yang Maha Esa 15 1.2 Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 15 1.3 Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia 15 1.4 Arti dan Makna Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmad Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan 16 1.5 Arti dan Makna Sila Keadialn Bagi Seluruh Rakyat Indonesia 16 1.6 Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila 16 Bab 4 Pancasila Suatu Pilihan Bangsa 17 Kesimpulan Daftar Pustaka

BAB I INTRUKSI PRESIDEN RI NOMOR 12 TAHUN 1968Mempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat tentang isi Pancasila yang benar dan sesungguhnya. Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang (1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan pendekatan komprehensif. Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain merupakan philosphische grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa (Ing: way of life; Jer: weltanschauung).

Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius dalam Pancasila (Lapasila, 1986:13-14): Dengan tercantumnya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian secara inheren Pancasila mengandung watak filosofis dan aspek-aspek religius, sehingga pendekatan filosofis dan religius adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila.

TINJAUAN PANCASILA DARI BERBAGAI SEGIMempelajari Pancasila sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia. Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda, yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat dalam memberikan isi Pancasila yang benar dan sesungguhnya. Dalam rangka mempelajari Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang (1986:9-14) menyarankan dua pendekatan yang semestinya dilakukan untuk memperoleh pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai Pancasila. Pendekatan tersebut adalah pendekatan yuridis-konstitusional dan pendekatan komprehensif. Pendekatan yuridis-konstitusional diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia. Pendekatan komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan kedudukan Pancasila yang didasarkan pada nilai historis dan yuridis-konstitusional Pancasila: sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa selain merupakan philosphische grondslaag (Bld), dasar filsafat negara Republik Indonesia, Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau pandangan hidup bangsa (Ing: way of life; Jer: weltanschauung). Maka tinjauan historis dan filosofis juga dipilih untuk memperoleh pemahaman yang mengarah pada hakikat nilai-nilai budaya bangsa yang dikandung Pancasila sebagai suatu sistem filsafat. Pancasila adalah keniscayaan sejarah yang dinamis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kendati demikian, tinjauan filosofis tidak hendak mengabaikan sumbangan budi-nurani terhadap aspek-aspek religius dalam Pancasila (Lapasila, 1986:13-14): Dengan tercantumnya Ketuhanan yang mahaesa sebagai sila pertama dalam Pancasila, Pancasila sebenarnya telah membentuk dirinya sendiri sebagai suatu ruang lingkup filsafat dan religi. Karena hanya sistem filsafat dan religi yang mempunyai ruang lingkup pembahasan tentang Ketuhanan yang mahaesa. Dengan demikian secara inheren Pancasila mengandung watak filosofis dan aspekaspek religius, sehingga pendekatan filosofis dan religius adalah konsekuensi dari essensia Pancasila sendiri yang mengandung unsur filsafat dan aspek religius. Karenanya, cara pembahasan yang terbatas pada bidang ilmiah semata-mata belum relevan dengan Pancasila. 1.Tinjauan historis Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni:

1) Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); 2) Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi. Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal ini, pencabutan Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 (Ekaprasetia Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih alamiah. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel. Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh. Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima (5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila (Anjar Any, 1982:26). Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh Panitia 9 yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh Panitia 9 itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta, yaitu: 1) KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, Piagam Jakarta diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara lebih singkat menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.

Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. 2.Tinjauan yuridis-konstitusional Meskipun nama Pancasila tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila. Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo (1984) bahwa secara yuridiskonstitusional, Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengaturmenyelenggarakan pemerintahan negara. Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/ memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk-taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia tunduk kepada Pancasila sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturan-peraturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaankebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undang-undang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): tetapi sejauh mungkin juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya sedemikian rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan Pancasila. Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/ memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapt dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila. Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemkian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.

3.Tinjauan tentang sifat dasar Pancasila Secara yuridis-konstitusional, Pancasila adalah dasar negara. Namun secara multidimensional, ia memiliki berbagai sebutan (fungsi/ posisi) yang sesuai pula dengan esensi dan eksistensinya sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itu Pancasila sering disebut dan dipahami sebagai: 1 ) Jiwa Bangsa Indonesia; 2 ) Kepribadian Bangsa Indonesia; 3 ) Pandangan Hidup Bangsa Indonesia; 4 ) Dasar Negara Republik Indonesia; 5 ) Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi Negara Republik Indonesia; 6 ) Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara; 7 ) Cita-cita dan Tujuan Bangsa Indonesia; 8 ) Filsafat Hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia. Sebutan yang beraneka ragam itu mencerminkan kenyataan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang bersifat terbuka. Pancasila tidak bersifat kaku (rigid), melainkan luwes karena mengandung nilai-nilai universal yang praktis (tidak utopis) serta bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Maka keanekaragaman fungsi Pancasila tersebut merupakan konsekuensi logis dari esensinya sebagai satu kesatuan sistem filsafat (philosophical way of thinking) milik sendiri yang dipilih oleh bangsa Indonesia untuk dijadikan dasar negara (dasar filsafat negara atau philosophische gronslaag negara dan atau ideologi negara/ staatside). Meskipun demikian, dalam tugas dan kewajiban luhur melaksanakan serta mengamankan Pancasila sebagai dasar negara itu, kita perlu mewaspadai kemungkinan berjangkitnya pengertian yang sesat mengenai Pancasila yang direkayasa demi kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu yang justru dapat mengaburkan fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara. Karena itu tepatlah yang dianjurkan Darji Darmodihardjo berdasarkan pengalaman sejarah bangsa dan negara kita, yaitu bahwa dalam mencari kebenaran Pancasila sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system tidaklah perlu sampai menimbulkan pertentangan dan persengketaan apalagi perpecahan. Pancasila diharapkan tidak dimengerti melulu sebagai indoktrinasi yang bersifat imperatif karena fungsi pokoknya, tetapi yang juga perlu diintenalisasi ke dalam batin setiap dan seluruh warga negara Indonesia karena fungsi penyertanya yang justru merupakan sumber Pancasila sebagai dasar negara. Dipandang dari segi hukum, kedudukan dan fungsi dasar negara dalam pengertian yuridisketatanegaraan sebenarnya sudah sangat kuat karena pelaksanaan dan pengamalannya sudah terkandung pula di dalamnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pancasila secara multidimensional. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah kelahirannya, Pancasila digali dari sosio-budaya Indonesia, baik secara perorangan maupun kolektif, kemudian ditetapkan secara implisit sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945. Mengenai kekokohan Pancasila yang bersifat kekal-abadi (Pancasila dalam arti statis sebagai dasar negara), Ir. Soekarno mengatakan: Sudah jelas, kalau kita mau mencari suatu dasar yang statis, maka dasar yang statis itu haruslah terdiri dari elemen-elemen yang ada jiwa Indonesia. Namun Pancasila bukanlah dasar negara yang hanya bersifat statis, melainkan dinamis karena ia pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional, kepribadian bangsa, sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara, perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam praksis kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, peranan atau implementasi Pancasila secara multidimensional itu dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi dasar/ tumpuan dan tata cara penyelenggaraan negara dalam usaha mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila menghidupi dan dihidupi oleh bangsa Indonesia dalam seluruh rangkaian yang bulat dan utuh tentang segala pola pikir, karsa dan karyanya terhadap ada dan keberadaan sebagai manusia Indonesia, baik secara individual maupun sosial. Pancasila merupakan pegangan hidup yang memberikan arah sekaligus isi dan landasan yang kokoh untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

Sebagai filsafat bangsa, Pancasila merupakan hasil proses berpikir yang menyeluruh dan mendalam mengenai hakikat diri bangsa Indonesia, sehingga merupakan pilihan yang tepat dan satu-satunya untuk bertingkah laku sebagai manusia Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai budaya bangsa yang terkandung dalam Pancasila telah menjadi etika normatif, berlaku umum, azasi dan fundamental, yang senantiasa ditumbuhkembangkan dalam proses mengada dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Sebagai ideologi nasional, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antarmanusia Indonesia, namun telah menjadi cita-cita politik dalam dan luar negeri serta pedoman pencapaian tujuan nasional yang diyakini oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai kepribadian bangsa, Pancasila merupakan pilihan unik yang paling tepat bagi bangsa Indonesia, karena merupakan cermin sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri sejak adanya di bumi Nusantara. Secara integral, Pancasila adalah meterai yang khas Indonesia. Sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum, Pancasila menempati kedudukan tertinggi dalam tata perundang-undangan negara Republik Indonesia. Segala peraturan, undang-undang, hukum positif harus bersumber dan ditujukan demi terlaksananya (sekaligus pengamanan) Pancasila. Sebagai tujuan negara, Pancasila nyata perannya, karena pemenuhan nilai-nilai Pancasila itu melekat erat dengan perjuangan bangsa dan negara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga kini dan di masa depan. Pola pembangunan nasional semestinya menunjukkan tekad bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sebagai perjanjian luhur, karena Pancasila digali dari sosio-budaya bangsa Indonesia sendiri, disepakati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik yang harus diamankan dan dilestarikan. Pewarisan nilai-nilai Pancasila kepada generasi penerus adalah kewajiban moral seluruh bangsa Indonesia. Melalaikannya berarti mengingkari perjanjian luhur itu dan dengan demikian juga mengingkari hakikat dan harkat diri kita sebagai manusia.

MAKNA SILA-SILA PANCASILAArti dan Makna Sila Ketuhanan yang Maha Esa 1. 2. 3. 4. 5. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya. Tidak memaksa warga negara untuk beragama. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing. 6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama. Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.

Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia 1. 2. 3. 4. Nasionalisme. Cinta bangsa dan tanah air. Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia. Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit.

5. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan. 1. 2. 3. 4. 5. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya. Tidak memaksa warga negara untuk beragama. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing. 6. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama. Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Hakikat sila ini adalah demokrasi. Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.

Arti dan Makna Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya.

Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu , mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia. Sikap positif dalam mengamalkan nilai-nilai pancasila. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menghormati anggota keluarga Menghormati orang yang lebih tua Membiasakan hidup hemat Tidak membeda-bedakan teman Membiasakan musyawarah untuk mufakat Menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing Membantu orang lain yang kesusahan sesuai dengan kemampuan sendiri.

PANCASILA SEBAGAI PILIHAN BANGSAPancasilan telah disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI.Pada masa Orde baru Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ), disamping dasar negara juga diberi sebutan pandangan hidup, perjanjian luhur bangsa, tujuan yang hendak di capai, moral pembangunan, kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain. Setelah lahirnya repormasi di keluarkanlah ketetapan MPR RI no. XVIII/MPR/1998, berisi: a. Pengembalian fungsi pancasila sebagai dasar negara. b. Penghapusan P4. c. Penghapusan pancasila sebagai azas tungggal bagi organisasi sosial politik di indonesia. Dan pancasila mempunyai fungsi yang tetap yaitu sebagai dasar negara dan juga sebagai ideologi bangsa dan negara.

Argumentasi serta alasan-alasan pembenatanya adalah sebagai berikut:

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia nampaknya ditakdirkan memiliki karakteristik, baik dalam konteks geopolitiknya maupun struktur sosial budayanya, yang berbeda dengan bangsa lain di dunia ini. Oleh karena itu para founding fathers Republik ini memilih dan merumuskan suatu dasar filosofi, suatu kalimatun sawa yang secara objektif sesuai dengan realitas bangsa ini, yaitu suatu dasar filsafat bangsa dan negara Indonesia yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, di tengah-tengah negara ateis, sekuler serta negara teokrasi. Perumusan dasar filosofi negara ini dalam suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah. Negara Indonesia dengan dasar filosofi Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan tipe negara ateis dan negara sekuler. Oleh karena itu dalam negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan agama tidak dipisahkan sama sekali melainkan justru agama mendapatkan legitimasi filosofis, yuridis dan politis dalam negara, hal ini sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut sebagai dasar filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal hubungan negara dengan agama. Dalam peraturan perundangundangan Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh berbagai produk peraturan perundangan dalam hukum positif Islam, misalnya UU RI No. 41 tentang Wakaf, UU RI No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, ini mengatur tentang wakaf dan zakat pada domein kemasyarakatan dan kenegaraan. Secara filosofis relasi ideal antara negara dengan agama, prinsip dasar negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti setiap warga negara bebas berkeyakinan atau memeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Kebebasan dalam pengertian ini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada domain privat atau pada tingkat individu. Dapat juga dikatakan bahwa agama perupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Negara dalam hubungan ini cukup menjamin secara yuridis dan memfasilitasi agar warga negara dapat menjalakan agama dan beribadah dengan rasa aman, tenteram dan damai. Akan tetapi bagaimanapun juga manusia membentuk negara tetap harus ada regulasi negara khususnya dalam kehidupan beragama. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public savety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders). Regulasi yang dilakukan oleh negara terhadap kebebasan warga negara dalam memeluk agama, nampaknya masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Misalnya dalam KUHAP, hanya dimuat dalam beberapa pasal saja misalnya Pasal 156 yang mengatur tentang kebencian dan penghinaan pada suatu agama, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 175 merintangi dengan kekerasan upacara keagamaan, Pasal 176 tentang mengganggu pertemuan keagamaan. B. PANCASIL SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN NEGARA Pengertian Ideologi Istilah ideologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harafiah ideologi berarti ilmu tentang pengertian dasar, ide atau cita-cita. Cita-cita yang dimaksudkan adalah cita-cita yang tetap sifatnya dan harus dapat dicapai sehingga cita-cita itu sekaligus merupakan dasar, pandangan, paham. Ideologi yang semula berarti gagasan, ide, cita-cita itu berkembang menjadi suatu paham mengenai seperangkat nilai atau pemikiran yang oleh seseorang atau sekelompok orang menjadi suatu pegangan hidup. Beberapa pengertian ideologi: A.S. Hornby mengatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seorang atau sekelompok orang.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa secara umum ideologi sebagai kumpulan gagasan, ide, keyakinan, kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut bidang politik, sosial, kebudayaan, dan agama. Gunawan Setiardja merumuskan ideologi sebagai seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup. Frans Magnis Suseno mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi tertutup, merupakan suatu sistem pemikiran tertutup. Ciri-cirinya: merupakan cita-cita suatu kelompok orang untuk mengubah dan memperbarui masyarakat; atas nama ideologi dibenarkan pengorbanan-pengorbanan yang dibebankan kepada masyarakat; isinya bukan hanya nilai-nilai dan cita-cita tertentu, melainkan terdiri dari tuntutan-tuntutan konkret dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak. Ideologi terbuka, merupakan suatu pemikiran yang terbuka. Ciri-cirinya: bahwa nilainilai dan cita-citanya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari moral, budaya masyarakat itu sendiri; dasarnya bukan keyakinan ideologis sekelompok orang, melainkan hasil musyawarah dari konsensus masyarakat tersebut; nilai-nilai itu sifatnya dasar, secara garis besar saja sehingga tidak langsung operasional. Fungsi utama ideologi dalam masyarakat menurut Ramlan Surbakti (1999) ada dua, yaitu: sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh suatu masyarakat, dan sebagai pemersatu masyarakat dan karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pancasila sebagai ideologi mengandung nilai-nilai yang berakar pada pandangan hidup bangsa dan falsafat bangsa. Dengan demikian memenuhi syarat sebagai suatu ideologi terbuka. Sumber semangat yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah terdapat dalam penjelasan UUD 1945: terutama bagi negara baru dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabutnya Sifat Ideologi Ada tiga dimensi sifat ideologi, yaitu dimensi realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas. 1. 1. Dimensi Realitas: nilai yang terkandung dalam dirinya, bersumber dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, terutama pada waktu ideologi itu lahir, sehingga mereka betulbetul merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama. Pancasila mengandung sifat dimensi realitas ini dalam dirinya. 2. Dimensi idealisme: ideologi itu mengandung cita-cita yang ingin diicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila bukan saja memenuhi dimensi idealisme ini tetapi juga berkaitan dengan dimensi realitas. 3. Dimensi fleksibilitas: ideologi itu memberikan penyegaran, memelihara dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu sehingga bebrsifat dinamis, demokrastis. Pancasila memiliki dimensi fleksibilitas karena memelihara, memperkuat relevansinya dari masa ke masa. 2. Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila 1. Kenyataan dalam proses pembangunan nasional dan dinamika masyarakat yang berkembang secara cepat. 2. Kenyataan menujukkan bahwa bangkrutnya ideologi yang tertutup danbeku cendnerung meredupkan perkembangan dirinya.

3. Pengalaman sejarah politik masa lampau. 4. Tekad untuk memperkokoh kesadaran akan nilai-nilai dasar Pancasila yang bersifat abadi dan hasrat mengembangkan secara kreatif dan dinamis dalam rangka mencapai tujuan nasional. 3. Sekalipun Pancasila sebagai ideologi bersifat terbuka, namun ada batas-batas keterbukaan yang tidak boleh dilanggar, yaitu: 1. Stabilitas nasional yang dinamis 2. Larangan terhadap ideologi marxisme, leninnisme dan komunisme 3. Mencegah berkembangnya paham liberalisme 4. Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan bermasyarakat 5. Penciptaan norma-norma baru harus melalui konsensus. 4. Makna Pancasila sebagai Ideologi Bangsa 1. Makna Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila itu menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara. Dengan kata lain, visi atau arah dari penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia adalah terwujudnya kehidupan yang berKetuhanan, yang ber-Kemanusiaan, yang ber-Persatuan, yang ber-Kerakyatan, dan yang ber-Keadilan. 2. Pancasila sebagai ideologi nasional selain berfungsi sebagai cita-cita normatif penyelenggaraan bernegara, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai yang disepakati bersama, karena itu juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat yang dapat memparsatukan berbagai golongan masyarakat di Indonesia.

Pancasila Sebagai Ideologi NegaraFiled Under : Juni 2010 by admin Jun.21,2010

Ideologi secara praktis diartikan sebagai system dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan oleh Negara maka ideology diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, social, maupun dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam ideology terbuka terdapat cita-cita dan nilai-nilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh kareanya ideology tersebut tidak langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan konteks jaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki ideologi-ideologi idealitas, normative dan realities. Perbandingan antara Ideologi Liberalisme, Komunisme dan Pancasila a. Liberalisme Jika dibandingkan dengan ideologi Pancasila yang secara khusus norma-normanya terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terdapat di dalam liberalisme terdapat di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi Pancasila menolak liberalisme sebagai ideology yang bersifat absolutisasi dan determinisme. b. Ideologi Komunis Ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan determinisme, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada kolektivitas atau masyarakat, kebebasan individu, hak milik pribadi tidak diberi tempat dalam Negara komunis. Manusia dianggap sebagai sekrup dalam sebuah kolektivitas. c. Ideologi Pancasila Pancasila sebagai Ideologi memberi kedudukan yang seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Pancasila bertitik tolak dari pandangan bahwa secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam aktualisasinya. Makna Sila-Sila Pancasila 1. Arti dan Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Manusia sebagai makhluk yang ada di dunia ini seperti halnya makhluk lain diciptakan oleh penciptanya. Pencipta itu adalah kausa prima yang mempunyai hubungan dengan yang diciptakannya. Manusia sebagai makhluk yang dicipta wajib melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya. 2. Arti dan Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Manusia ditempatkan sesuai dengan harkatnya. Hal ini berarti bahwa manusia mempunyai derajat yang sama di hadapan hukum. Sejalan dengan sifat universal bahwa kemanusiaan itu dimiliki oleh semua bangsa, maka hal itupun juga kita terapkan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sesuai dengan hal itu, hak kebebasan dan kemerdekaan dijunjung tinggi.

3. Arti dan Makna Sila Persatuan Indonesia Makna persatuan hakekatnya adalah satu, yang artinya bulat, tidak terpecah. Jika persatuan Indonesia dikaitkan dengan pengertian modern sekarang ini, maka disebut nasionalisme. Oleh karena rasa satu yang sedemikian kuatnya, maka timbulah rasa cinta bangsa dan tanah air. 4. Arti dan Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan Perbedaan secara umum demokrasi di barat dan di Indonesia yaitu terletak pada permusyawarata. Permusyawaratan diusahakan agar dapat menghasilkan keputusankeputusan yang diambil secara bulat. Kebijaksaan ini merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan itu memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat banyak. 5. Arti dan Makna Sila Keadila Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Keadilan berarti adanya persamaan dan saling menghargai karya orang lain. Jadi seseorang bertindak adil apabila dia memberikan sesuatu kepada orang lain sesuai dengan haknya. Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. 6. Pentingnya Paradigma dalam Pembangunan Pembangunan yang sedang digalakkan memerlukan paradigma, suatu kerangka berpikir atau suatu model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Pembangunan dalam perspektif Pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menajdi dasar pengembangan visi dan menjadi referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan. 7. Pancasila sebagai Orientasi dan Kerangka Acuan a. Pancasila sebagai Orientasi Pembangunan Pada saat ini Pancasila lebih banyak dihadapkan pada tantangan berbagai varian kapitalisme daripada komunisme atau sosialisme. Ini disebabkan perkembangan kapitalisme yang bersifat global. Fungsi Pancasila ialah memberi orientasi untuk terbentuknya struktur kehidupan social-politik dan ekonomi yang manusiawi, demokratis dan adil bagi seluruh rakyat. b. Pancasila sebagai Kerangka Acuan Pembangunan Pancasila diharapkan dapat menjadi matriks atau kerangka referensi untuk membangun suatu model masyarakat atau unt