Farmakoterapi II Usman
-
Upload
arrahman-jazurah -
Category
Documents
-
view
30 -
download
0
description
Transcript of Farmakoterapi II Usman
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
rahmat dan kuasa-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca mendapatkan informasi
mengenai arthritis reumatoid sehingga pembaca dapat mengetahui definisi, etiologi,
dan beberapa hal yang terkait dengan arthritis rheumatoid.
Penyusun berharap makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
pembaca mengenai masalah-masalah kesehatan khususnya tentang arthritis reumatoid.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari pembaca sekalian untuk penyempurnaan makalah ini.
Makassar, Juli 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reumatoid artritis (RA) atau penyakit rematik adalah radang sendi yang
menyebabkan rasa sakit, pembengkakan, kekakuan dan kehilangan fungsi pada sendi
Anda. RA dapat memengaruhi setiap sendi tetapi terutama di pergelangan tangan dan
jari. RA adalah penyakit autoimun, yang berarti sistem kekebalan tubuh Anda secara
keliru menyerang jaringan tubuh sendiri.
Penderita RA lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, yang seringkali
dimulai pada usia antara 25 s.d. 55 tahun. Gejala penyakit bisa timbul hanya untuk
waktu yang singkat atau mungkin datang dan pergi. Bentuk RA yang parah dapat
bertahan seumur hidup.
Reumatoid artritis berbeda dari osteoartritis, artritis yang biasanya datang pada usia
tua. RA dapat memengaruhi bagian tubuh selain sendi, seperti mata, mulut dan paru-
paru.
Tidak ada yang tahu apa yang menyebabkan reumatoid artritis. Gen,
lingkungan dan hormon mungkin ikut berperan. Perawatan RA termasuk perubahan
gaya hidup, pengobatan dan pembedahan untuk memperlambat atau menghentikan
kerusakan sendi dan mengurangi rasa sakit dan pembengkakan.
Sekitar 1% dari populasi dunia menderita rheumatoid arthritis, wanita tiga kali
lebih sering dibandingkan pria. Penyakit ini paling sering antara usia 40 dan 50, tetapi
orang-orang dari segala usia bisa terkena.
Reumatik dapat terjadi pada semua umur dari kanak – kanak sampai usia lanjut,
atau sebagai kelanjutan sebelum usia lanjut. Dan gangguan reumatik akan meningkat
dengan meningkatnya umur. (Felson, 1993, Soenarto dan Wardoyo, 1994).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Rheumatoid Arthritis
2.1.1. Definisi
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang
berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,
arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah
suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan
kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi
(Gordon, 2002). Menurut Daud (2003) dan Engram (1998), artritis
reumatoid (RA) merupakan penyakit inflamasi kronik, sistemik, dengan
etiologi yang tidak diketahui, yang terutama menyerang sendi. Inflamasi
sendi dapat mengalami remisi, tetapi bila berlangsung terus akan terjadi
destruksi sendi yang progresif (deformitas), dan berakibat
ketidakmampuan dalam berbagai tingkat. Berbeda dengan osteoartritis,
dimana kelainan utamanya dimulai dan proses degenerasi pada rawan
sendi, maka pada artritis reumatoid dimulai dengan radang pada sinovia
(sinovitis) disusul oleh proses kerusakan sendi.
2.1.2. Insidensi
Artritis reumatoid ± 2 ½ kali lebih sering menyerang wanita daripada
pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya usia terutama pada
wanita. Insidensi puncak adalah antara usia 40 – 60 tahun (Daud, 2010).
2.1.3. Etiologi
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-
antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun et al., 2008),
endokrin, faktor nutrisi, geografi, pekerjaan, faktor psikososial, infeksi
bakteri, spirokaeta, virus dan imunologik (Daud, 2010).
2.1.4. Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun terutama terjadi dalam
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam
sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus.
Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi
tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan
mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot
akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas
otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer dan Bare, 2002). Lamanya
rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya
masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi.
Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai
dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang
difus (Long, 1996).
Gambar 1.1Gambar Sendi lutut normal dan reumatoid artritis
Gambar 1.2Gambar sendi lutut Normal (kanan), Rheumatoid arthritis (kiri)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit
ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif.
Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada
minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala
penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika
penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves et al.,
2001).
Menurut American College of Rheumatology (2010), artritis rheumatoid
(RA) memiliki 7 kriteria gejala yaitu:
a) Kekakuan pagi hari di dalam dan sekitar sendi minimal satu jam.
b) Pembengkakan atau cairan di sekitar tiga atau lebih sendi secara
bersamaan yang telah berlangsung paling sedikit selama 6 minggu.
c) Setidaknya satu bengkak di daerah pergelangan tangan,
metakarpofalangeal (MCP) atau proksimal interfalang (PIP) selama
6 minggu atau lebih.
d) Arthritis melibatkan sendi yang sama di kedua sisi tubuh (arthritis
simetris).
e) Rheumatoid nodul, benjolan pada kulit penderita rheumatoid
arthritis. Nodul ini biasanya di titik-titik tekanan dari tubuh, paling
sering siku.
f) Faktor reumatoid positif dengan menggunakan metode
pemeriksaan yang pada orang normal hasil positifnya tidak lebih
dari 5%.
g) X-ray tampak perubahan di tangan dan pergelangan tangan khas dari
rheumatoid arthritis, harus disertai erosi dan dekalsifikasi tulang
yang tidak rata pada sendi yang terlibat.
Manifestasi sistemik artritis rheumatoid menurut Long (1996) yaitu
kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, takikardi, berat
badan menurun, anemia, demam subfebris, nyeri otot dan sendi dan
kekakuan. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis
sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya
penyakit (Smeltzer dan Bare, 2002). Jika ditinjau dari stadium penyakit,
terdapat tiga stadium yaitu :
a) Stadium sinovitis
Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang
ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak
maupun istirahat, bengkak dan kekakuan.
b) Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial
terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi
tendon.
c) Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang
kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap. Keterbatasan
fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini
sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi
inflamasi yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang
teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien
cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan
imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan
kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas
dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika
sebuah tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga
sendi (Smeltzer & Bare, 2002).
Manifestasi ekstraartikuler artritis rheumatoid (Daud, 2010) sebagai
berikut :
a) Kulit : nodul subkutan, vaskulitis
b) Jantung : fibrosis penikard, nodus reumatoid di miokand dan katup
jantung
c) Paru : nodul reumatoid di pleura, efusi pleura, pneumonitis fibrosis
interstitiel difusi
d) Neurologik : mononeuritis, sindrom carpal-tunnel, kompresi
medula spinalis
e) Mata : sindrom Sjogren
f) Sindrom Felty: splenomegali, limfadenopati, anemia,
trombositopenia, dan neutropenia
2.1.6. Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe dari
7 gejala berdasarkan American College of Rheumatology (2010), yaitu:
a) Rheumatoid arthritis klasik, pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
b) Rheumatoid arthritis defisit, pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
c) Probable rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 6 minggu.
d) Possible rheumatoid arthritis, pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria
tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling
sedikit dalam waktu 3 bulan.
2.1.7. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan darah tepi berupa amenia nomokrom normisitik
b) Laju endap darah meningkat, sesuai dengan aktifitas penyakit,
makin aktif penyakit makin tinggi LED
c) Faktor reumatoid (RF) penting, tetapi bukan penentu diagnosis.
Walaupun RF negatif, diagnosis RA tetap dapat ditegakkan secara
klinik dan radiologik. Penderita dengan titer RF yang tinggi
cenderung menunjukkan gejala sistemik, artritis erosif dan destruktif
d) Anti Nuclear Antibody (ANA) dan antigen lainnya dapat ditemukan
pada sebagian kecil penderita ,umumnya dengan titer yang rendah
e) HLA-DR4 positif pada sebagian pasien. Pemeriksaan ini tidak dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis
f) Cairan sinovia : Jumlah sel antara 5.000-20.000 mm3, titer
komplemen rendah, RF positif dan bekuan mucin jelek
g) Pemeriksaan radiologik yang terbaik ialah melihat pada sendi
pengelangan dan jari-jari tangan. Pada awal penyakit menunjukkan
gambaran pembengkakan jaringan lunak dan osteoporosis
juxtaartikuler. Pada stadium lebih lanjut ditemukan gambaran
permukaan sendi yang tidak rata akibat erosi sendi, penyempitan
celah sendi, subluksasi dan akhinrnya ankilosis sendi (Daud, 2010)
2.1.8. Kriteria Diagnostik
Diagnosis artritis reumatoid ditegakkan bila ditemukan 4 kriteria atau
lebih, berdasarkan 7 kriteria gejala oleh American College of
Rheumatology (2010). Sedangkan kriteria remisi klinik pada artritis
reumatoid yaitu bila ditemukan 5 gejala di bawah atau lebih selama 2
bulan berturut-turut :
a) Lama kaku pagi tidak lebih dari 15 menit
b) Tidak ada rasa lemah
c) Tidak ada nyeri sendi (dari riwayat penyakit)
d) Tidak ada nyeri gerakan atau bengkak sendi
e) Tidak ada pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi atau sekitar
sarung tendon
f) Laju endap darah kurang dan 30 mm/jam pada wanita dan 20
mm/jam pada pria (cara Westengren)
Kriteria progresivitas dari rheumatoid artritis menurut Michael (1995)
adalah :
a) Derajat I, Awal
Pada pemeriksaan radiologik tidak ditemukan perubahan
destruktif
Pada pemeriksaan radiologik dapat ditemukan gambaran
osteoporosis
b) Derajat II, Sedang
Pada pemeriksaan radiologik ditemui gambaran
osteoporosis, dengan atau tanpa destruksi ringan tulang
subkondral dapat ditemukan destruksi ringan rawan sendi.
Tidak ditemukan deformitas, walaupun dapat ditemukan
keterbatasan gerak sendi.
Atrofi otot disekitarnya.
Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuler, seperti
nodul atau tenosivitis.
c) Derajat III, Berat
Pada pemeriksaan radiologik selain osteoporosis dapat
ditemukan destruksi rawan sendi dan tulang.
Deformitas sendi, seperti subluksasi, deviasi ulnar,
hiperekstensi tanpa disertai fibrosis atau ankilosis sendi.
Atrofi otot yang nyata.
Dapat ditemukan lesi jaringan lunak ekstraartikuter, seperti
nodul atau tenosivitis.
d) Derajat IV, Terminal
Fibrosis atau ankilosis sendi
Kriteria dari derajat III
2.1.9. Penatalaksanaan
a) Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya
dan penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin
hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau
tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan
sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat
dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).
b) Obat antinflamasi non steroid (OAINS). Sudah menjadi perjanjian
bahwa pada setiap pasien artritis reumatoid baru, pengobatannya
harus dimulai dengan OAINS, kecuali ada kontra indikasi tertentu.
OAINS ini merupakan obat tahap pertama (first line) dan dikenal
berbagai jenis yang mempunyai efek analgesik dan antiflamasi yang
baik. Obat golongan ini tidak dapat menghentikan/mempengaruhi
perjalanan penyakit artritis reumatoid (Smeltzer & Bare, 2002).
Terdapat 6 golongan obat yaitu :
Golongan salisilat
Golongan indol: indometasin
Golongan turunan asam propionat: ibuprofen, naproksen,
ketoprofen, diklofenak
Golongan asam antranilik: natrium meklofenamat
Golongan oksikam: piroksikam, tenoksikam, meloxikam
Golongan pirazole: fenil dan oksifenbutazon
c) Slow-acting/disease-modifying antirheumatic drugs. Obat golongan
ini dapat menekan perjalanan penyakit artritis reumatoid, karena itu
disebut sebagai obat remitif atau disease-modifying antirheumatic
drugs/DMRD. Karena efek kerjanya lambat maka disebut sebagai
slowacting-antirheumatic drugs/SAARD. Obat golongan ini baru
memberikan efek setelah pemakaian selama minimal 6 bulan dan
tidak mempunyai efek langsung menekan rasa nyeri dan inflamasi,
oleh karena itu sambil menunggu efek obat ini terbentuk, maka
biasanya pada awal pengobatan diberikan bersama-sama dengan
OAINS untuk mengurangi penderitaan pasien. Bila efek obat
SAARD telah terbentuk maka OAINS dapat dikurangi, bahkan
dihentikan bila pasien sudah mencapai stadium remisi. Dengan
demikian SAARD disebut pula sebagai obat tahap kedua (second-
line drug). Indikasi pemberian SAARD terutama ditujukan pada
penderita RA yang progresif, yang ditandai dengan bukti radiologik
adanya erosi sendi dan destruksi sendi. Karena obat golongan ini
sangat toksik dan mempunyai efek samping yang besar, sehingga
memerlukan pengawasan yang ketat, maka sebaiknya pemberian
obat ini dilakukan oleh seorang dokter spesialis. Obat yang
termasuk golongan ini ialah:
Obat antimalaria : kiorokuin dan hidroksiklorokuin
Garam emas
Penisilamin
Sulfasalasin
Obat imunosupresif
d) Oleh karena RA merupakan penyakit kronik, sering menyebabkan
gangguan psikis dan keputusasaan penderita. Hal ini perlu
diantisipasi dokter agar penderita tetap mematuhi pengobatan yang
diberikan, baik obat-obatan maupun terapi fisik. Aspek sosial perlu
pula diperhatikan, karena penderita harus menyesuaikan pekerjaan
dan kehidupan sehari-harinya dengan penyakit yang dideritanya,
mungkin sekali penderita perlu mengganti jenis pekerjaannya atau
merubah kebiasaan hidupnya (Michael, 1995).
e) Pembedahan dapat bersifat preventif atau reparatif. Pembedahan
preventif antara lain dengan melakukan sinovektomi untuk
mencegah bertambah rusaknya sendi yang terserang. Pembedahan
reparatif terutama untuk mengoreksi deformitas yang terjadi antara
lain dengan melakukan artroplasti.
f) Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas
sehari-hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi
hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih mudah
bergerak.
g) Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini,
seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat
badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai
dengan kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut.
Mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang
mengandung Omega 3. Di dalam omega 3 terdapat zat yang sangat
efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur.
2.2. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis
Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas yang
dilakukan sehari-hari dapat terganggu. Hal ini disebabkan adanya gerakan sendi
yang terbatas. Rheumatoid arthritis mengurangi kemampuan seseorang untuk
menggerakkan sendi mereka dalam jangkauan gerakan yang penuh. Sumber
utama dari perubahan aktivitas ini adalah rasa tidak nyaman pada fisik penderita
rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku dan sakit. Saat pasien mengeluh
rasa lemah dan lelah pada dokter mereka, mereka disarankan untuk mengurangi
jumlah kegiatan mereka, dan bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi
untuk istirahat yang banyak. Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang
berlebihan dapat merusak kesehatan (Gordon, 2002). Pengaruh negatif dari
sistem otot dan tulang yang tidak bergerak, mencakup: terhentinya pertumbuhan
otot, tendon, ligament dan tulang. Melemahnya otot otot, tendon, ligament dan
tulang. Merosotnya kondisi tulang rawan sendi, bertambahnya risiko tulang
yang patah karena hilangnya massa tulang, suatu kondisi yang disebut dengan
osteoporosis.
Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang tergaggu diterjemahkan dalam
kapasitas fungsional yang semakin rendah atau kemampuan melakukan aktivitas
semakin berkurang. Kemampuan yang menurun seperti membungkuk untuk
memungut sesuatu, membersihkan kebun, menyisir rambut, bangun dari tempat
tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri (Gordon, 2002). Selain itu juga pasien
dengan rheumatoid arthritis mengalami kesulitan melakukan kegiatan normal
sehari-hari dalam hal berpakaian, berdandan, mencuci, menggunakan toilet,
menyiapkan makanan, dan melakukan pekerjaan rumah. Gejala-gejala
rheumatoid arthritis dapat juga menganggu kerja bagi orang banyak. Setengah
dari pasien-pasien rheumatoid tidak lagi mampu bekerja 10-20 tahun setelah
kondisi mereka didiagnosis.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Rheumatoid Arthritis merupakan penyakit autoimun yaitu kegagalan
suatu organisme untuk mengenali bagian dari dirinya sendiri, yang membuat
respon kekebalan melawan sel dan jaringan miliknya sendiri. Atau dengan kata
lain sel itu akan menyerang dirinya sendiri. Selain auto imun Rheumatoid
Arthritis juga disebabkan oleh faktor reumatoid (rheumatoid factor, RF)
yaitu immunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG. Karena
penderita juga mengandung IgG dalam serum, maka RF termasuk
autoantibodi. Faktor penyebab timbulnya RF ini belum diketahui pasti,
walaupun aktivasi komplemen akibat adanya interaksi RF dengan IgG
memegang peranan yang penting pada rematik artritis (rheumatoid
arthritis, RA) dan penyakit-penyakit lain dengan RF positif. Sebagian
besar RF adalah IgM, tetapi dapat juga berupa IgG atau IgA.
T U G A S
MATA KULIAH FARMAKOTERAPI II
‘’ RHEUMATOID ARTHRITIS ‘’
OLEH
NAMA : USMAN BUGIS NIM : 11 01 016
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASIMAKASSAR
2014