BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

51
BAGIAN ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN February 2016 Referat THT BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO Oleh : Dwi Putri Mentari C111 09 133 Sari Azisya Fausi C111 09 275 Pembimbing dr. Amelia DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

description

bppv

Transcript of BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

Page 1: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN February 2016

Referat THT

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

Oleh :

Dwi Putri Mentari C111 09 133

Sari Azisya Fausi C111 09 275

Pembimbing

dr. Amelia

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU THT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

Page 2: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : 1. Dwi putri mentari

2. Sari azisya Fausi

Judul Referat : Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian THT Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Februari 2016

Mengetahui,

Pembimbing

dr Amalia

ii

Page 3: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah swt yang telah

melimpahkan ilmu, akal, pikiran dan waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

yang berjudul “ Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) “. Referat ini dibuat untuk

memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit

THT Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Amelia selaku pembimbing referat dan

semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,

dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

berbagai pihak demi kesempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi

kita semua.

Makassar, Februari 201

Penulis

iii

Page 4: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ ii

KATA PENGANTAR.................................................................................... iii

DAFTAR ISI................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... v

DAFTAR TABEL........................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang........................................................................ 1

1.2. Batasan Masalah..................................................................... 2

1.3. Tujuan Penulisan.................................................................... 2

1.4. Metode Penulisan.................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3

2.1. Definisi................................................................................... 3

2.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer............ 4

2.3. Epidemiologi........................................................................... 7

2.4. Etiologi................................................................................... 8

2.5. Perjalanan penyakit................................................................. 9

2.6. Patofisiologi............................................................................. 10

2.7. Gambaran klinis...................................................................... 15

2.8. Diagnosis................................................................................ 16

2.9. Pemeriksaan penunjang.......................................................... 20

2.10. Penatalaksanaan..................................................................... 21

BAB III PENUTUP..................................................................................... 26

3.1. Kesimpulan............................................................................. 26

3.2. Saran....................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 27

iv

Page 5: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Leftt membranous labyrinth....................................................... 4

Gambar 2. Aparatus Vestibularis.................................................................. 7

Gambar 3. Patofisiologi BPPV..................................................................... 12

Gambar 4. Skema fisiologi kanalis semisirkularis posterior telinga kiri...... 14

Gambar 5. Perasat Dix-Hallpike................................................................... 17

Gambar 6. Perasat Sidelying......................................................................... 18

Gambar 7. Epley Manuver............................................................................ 22

Gambar 8. Liberatory kanan......................................................................... 23

Gambar 9. Latihan Brandt-Daroff................................................................ 24

v

Page 6: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebab BPPV.......................................................................... 9

Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibuler dan non vestibuler........................ 15

Tabel 3. Perbedaan vertigo sentral dan vertigo perifer............................. 16

Tabel 4. Diagnosis banding BPPV........................................................... 19

Tabel 5. Obat vertigo................................................................................ 25

vi

Page 7: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan

nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepaia.

Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo, dan fenomena

kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik. BPPV dikenal

juga dengan nama vertigo postural atau kupulolitiasis, merupakan gangguan keseimbangan

perifer yang sering dijumpai (Higler, 1997).

BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik serangan

vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari

tidur, melihat ke atas, kemudian memutar kepala (IDI, 2013).

BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan seseorang.

Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan meningkat setiap tahunnya

berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60

tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada

laki-laki (IDI, 2013).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan

Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada populasi umum

prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%).1,2,5,6 Dari

kunjungan 5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing

didapatkan prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV. Dari segi onset 4 BPPV

biasanya diderita pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan

1

Page 8: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

dengan laki-laki yaitu 2,2 : 1,5. BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional

(Purnamasari, 2013)

I.2. Batasan Masalah

Pembahasan tulisan ini dibatasi pada defenisi, epidemiologi, patogenesis, diagnosis

dan penatalaksanaan benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).

I.3. Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis

khususnya mengenai benign paroxysmal positional vertigo (BPPV).

I.4. Metode Penulisan

Tulisan ini merupakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai

literatur.

2

Page 9: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Vertigo ialah adanya sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh seperti rotasi

(memutar) tanpa sensasi peputaran yang sebenarnya, dapat sekelilingnya terasa berputar atau

badan yang berputar. Keluhan yang paling sering dijumpai dalam praktek. Vertigo berasal

dari bahasa latin “vertere” yaitu memutar. Vertigo termasuk ke dalam gangguan

keseimbangan yang dinyatakan sebagai pusing, pening, sempoyongan, rasa seperti melayang

atau dunia seperti berjungkir balik. Vertigo paling sering ditemukan adalah Benign

Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Menurut penelitian pasien yang datang dengan

keluhan pusing berputar/vertigo, sebanyak 20% memiliki BPPV, walaupun penyakit ini

sering disertai penyakit lainnya (Akbar, 2013).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan

nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepaia.

Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo, dan fenomena

kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik. BPPV dikenal

juga dengan nama vertigo postural atau kupulolitiasis, merupakan gangguan keseimbangan

perifer yang sering dijumpai (Higler, 1997).

BPPV adalah gangguan klinis yang sering terjadi dengan karakteristik serangan

vertigo di perifer, berulang dan singkat, sering berkaitan dengan perubahan posisi kepala dari

tidur, melihat ke atas, kemudian memutar kepala (IDI, 2013).

3

Page 10: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

Benign Paroxysmal Positional Vertigo merupakan gangguan yang terjadi di telinga

dalam dengan gejala vertigo posisional yang terjadi secara berulang-ulang dengan tipikal

nistagmus paroksimal (Purnamasari, 2013).

II.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer

Gambar 1. Left membranous labyrinth Sumber : (Parnes Lorne, 2003).

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang paling

keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi secara

khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin tulang dan

labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin tulang dan bentuknya hampir

menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin membrane dan labirin tulang terdapat perilimf,

sedang endolimf terdapat didalam labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi

daripada cairan perilimf. Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung

dalam perilimf, yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis

semisirkularis, yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga

kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus (Sherwood, 2007).

4

Page 11: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:

1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.

2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan utrikulus.

Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus sel sensoriknya

berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada di krista ampulanya)

Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya

tergantung kepada inputbsensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan

proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP,

sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu (Higler, 1997).

Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis semisirkularis

dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis

semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut, sedangkan sel-sel

pada organ otolit peka terhadap gerak linier, khususnya percepatan inier dan terhadap

perubahan posisi kepala relatif terhadap gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan

sudut dan percepatan linier ini disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta

ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang menutupi sel rambut (Sherwood, 2007).

1. Sel rambut

Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut pada organ

otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang dijelaskan oleh posisi

dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan menyebabkan stereosilia

membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam

arah yang berlawanan sehingga stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan

terinhibisi (Sherwood, 2007).

2. Kanalis semisirkularis

5

Page 12: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada rotasi sel-

sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus satu dengan yang

lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak hampir satu bidang yang sama

dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan

tereksitasi sementara yang satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus

normal dan terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan,

maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara

serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi

kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis

posterior akan terinhibisi (Parnes Lorne, 2003).

3. Organ otolit

Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir

horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan sel rambut

kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak semuanya sama.

Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat

dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan

linier, sebagian serabut aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan

adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang

gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula (Sherwood,

2007).

Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron

ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata dan refleks

vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai suatu komponen

lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan suatu komponen cepat yang searah

dengan putaran kepala. Komponen lambat mengkompensasi gerakan kepala dan berfungsi

6

Page 13: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

menstabilkan suatu bayangan pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali

mengarahkan tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata

selama rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.

Gambar 2. Aparatus Vestiblaris. Sumber : (Sherwood, 2007)

II.3. Epidemiologi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) merupakan salah satu gangguan

Neurotologi dimana 17% pasien datang dengan keluhan pusing. Pada populasi umum

prevalensi BPPV yaitu antara 11 sampai 64 per 100.000 (prevalensi 2,4%). Dari kunjungan

5,6 miliar orang ke rumah sakit dan klinik di United State dengan keluhan pusing didapatkan

prevalensi 17% - 42% pasien didiagnosis BPPV. Dari segi onset BPPV biasanya diderita

7

Page 14: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

pada usia 50-70 tahun. Proporsi antara wanita lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu

2,2 : 1,5. BPPV merupakan bentuk dari vertigo posisional (Purnamasari, 2013).

BPPV adalah penyebab vertigo dengan prevalensi 2,4% dalam kehidupan seseorang.

Studi yang dilakukan oleh Bharton 2011, prevalensi akan meningkat setiap tahunnya

berkaitan dengan meningkatnya usia sebesar 7 kali atau seseorang yang berusia di atas 60

tahun dibandingkan dengan 18-39 tahun. BPPV lebih sering terjadi pada wanita daripada

laki-laki (IDI, 2013).

Prevalensi BPPV kausa idiopatik meningkat pada usia tua dan pada wanita onset

puncaknya antara 50-60 tahun dan rasio wanita-pria 2:1 hingga 3:1 (Ji-Soo Kim, 2014).

BPPV merupakan gangguan sistem vestibular yang paling banyak. Mizukoshi dan kolega

memperkirakan insiden BPPV 10.7-17.3 per 100000 populasi per tahun di Jepang, meskipun

data ini kurang dari estimasi karena sebagian besar kasus BPPV sembuh secara spontan

dalam beberapa bulan. Beberapa penelitian menyebutkan insiden lebih tinggi pada wanita

namun pada pasien usia muda dan pasien post trauma insiden BPPV setara antara pria dan

wanita. Onset usia paling sering pada decade 5 dan decade 7 kehidupan. Semakin tua resiko

semakin meningkat, penelitian pada populasi usia tua menemukan 9% menderita BPPV.

BPPV paling sering terjadi pada satu kanalis semisirkularis, biasanya bagian posterior tapi

mungkin terjadi pada kanalis posterior dan kanalis lateral pada telinga yang sama. BPPV

kanalis posterior mungkin menjadi BPPV lateral akibat maneuver reposisi. Trauma kepala

merupakan penyebab tersering BPPV kanal posterior bilateral (Parnes Lorne, 2003).

II.4. Etiologi

Pada sekitar 50% kasus, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa kasus

BPPV dijumpai setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau leher, infeksi telinga tengah

8

Page 15: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

atau operasi stapedektomi dan proses degenerasi pada telinga dalam juga merupakan

penyebab BPPV sehingga insiden BPPV meningkat dengan bertambahnya usia (Li, 2000).

Banyak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial berupa

deposit yang berada di kupula bejana semisirkularis posterior. Deposit ini menyebabkan

bejana menjadi sensitif terhadap perubahan gravitasi yang menyertai keadaan posisi kepala

yang berubah (Riyanto, 2004).

Primer Sekunder (30%–50%)

idiopathic (50%–70%) Head trauma (7%–17%)

Viral labyrinthitis (15%)

Ménière’s disease (5%)

Migraines (< 5%)

Inner ear surgery (< 1%)

Tabel 1. Penyebab BPPV. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).

II.5. Perjalanan penyakit

Perjalanan penyakit dari BPPV sangat bervariasi. Pada sebagian besar kasus

gangguan menghilang secara spontan dalam kurun waktu beberapa minggu, namun dapat

kambuh setelah beberapa waktu, bulan atau tahun kemudian. Ada pula penderita yang hanya

satu kali mengalaminya. Sesekali dijumpai penderita yang kepekaannya terhadap vertigo

posisional berlangsung lama (Li, 2000, Riyanto, 2004).

Serangan vertigo umumnya berlangsung singkat, kurang dari 1 menit. Namun, bila

ditanyakan kepada penderita, mereka menaksirnya lebih lama sampai beberapa menit. Bila

serangan vertigo datang bertubi-tubi, hal ini mengakibatkan penderitanya merasakan

kepalanya menjadi terasa ringan, merarsa tidak stabil, atau rasa mengambang yang menetap

selama beberapa jam atau hari (Li, 2000).

9

Page 16: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

BPPV sering dijumpai pada kelompok usia menengah yaitu pada usia 40-an dan 50-an

tahun. Wanita agak lebih sering daripada pria. BPPV jarang dijumpai pada anak atau orang

yang sangat tua. Nistagmus kadang dapat disaksikan waktu terjadinya BPPV dan biasanya

bersifat torsional (rotatoar) (Li, 2000).

II.6. Patofisiologi

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis semisirkularis

tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain. Pada pangkal setiap

kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni ampula. Di dalam ampula terdapat

kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan cairan dalam kanalis semisirkularis akibat

gerakan kepala. Sebagai contoh, bila seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka

cairan dalam kanalis semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami

defleksi ke arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak

sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis

semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah

sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal yang tidak

sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa vertigo (Parnes Lorne,

2003, Riyanto, 2004).

Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori kupulolitiasis dan

kanalolitiasis.

1. Teori Kupulolitiasis

Pada tahun 1962, Schuknecht mengajukan teori kupulolitiasis untuk menjelaskan

patofisiologi BPPV. Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang melekat pada kupula krista

ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik yang melekat pada kupula melalui

pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya partikel ini maka kanalis semisirkularis menjadi

10

Page 17: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini dapat dianalogikan sebagai adanya suatu benda

berat yang melekat pada puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang

menjadi sulit untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih

mengarah ke sisi benda yang melekat. Oleh karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi

netral. Akibatnya timbul nistagmus dan pening (dizziness) (Li, 2000, Parnes Lorne, 2003).

2. Teori Kanalitiasis

Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV

disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis

semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila kepala

dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam kanalis

semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi, terjadi perubahan

posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal

ini menyebabkan endolimfa dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi

defleksi kupula. Defleksi kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala

dikembalikan ke awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah

yang berlawanan (Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).

Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala dengan

timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat teori ini dengan

menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis poster. Saat melakukan

operasi kanalis tersebut (Li, 2000, Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).

Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras, otokonia

yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini kemudian

memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam kanalis

semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada BPPV. Hal inilah

11

Page 18: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

yang mendasari BPPV pasca trauma kepala (Parnes Lorne, 2003, Purnamasari, 2013,

Riyanto, 2004).

Gambar 3. Patofisiologi. Cupulolithiasis pada kanalis semisirkularis lateral & canalithiasis pada kanalis semisirkularis posterior. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo dapat disebabkan baik oleh kanalitiasis ataupun

kupulolitiasis dan secara teori dapat mengenai ketiga kanalis semisirkularis, walaupun terkenanya

kanal superior (anterior) sangat jarang. Bentuk yang paling sering adalah bentuk kanal posterior,

diikuti bentuk lateral. Sedangkan bentuk kanal anterior dan bentuk polikanalikular adalah bentuk

yang paling tidak umum (Purnamasari, 2013).

a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Posterior

Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang paling sering terjadi adalah tipe kanal

posterior. Ini tercatat pada 85 sampai 90% dari kasus dari BPPV, karena itu, jika tidak

diklasifikasikan, BPPV umumnya mengacu pada BPPV bentuk kanal posterior. Penyebab

paling sering terjadinya BPPV kanal posterior adalah kanalitiasis. Hal ini dikarenakan

debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh ke kanal posterior disebabkan

12

Page 19: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada pada posisi yang paling bawah saat

kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Parnes Lorne, 2003).

Mekanisme dimana kanalitiasis menyebabkan nistagmus dalam kanalis semisirkularis

posterior digambarkan oleh Epley. Partikel harus berakumulasi menjadi "massa kritis" di

bagian bawah dari kanalis semisirkularis posterior. Kanalit tersebut bergerak ke bagian

yang paling rendah pada saat orientasi dari kanalis semisirkularis berubah karena posisi dan

gravitasi. Tarikan yang dihasilkan harus dapat melampaui resistensi dari endolimfe pada

kanalis semisirkularis dan elastisitas dari barier kupula, agar bisa menyebabkan defleksi

pada kupula. Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya hal ini ditambah inersia asli dari

partikel tersebut menjelaskan periode laten yang terlihat selama manuver Dix-Hallpike

(Purnamasari, 2013).

b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Tipe Kanal Lateral

BPPV tipe kanal lateral adalah tipe BPPV yang paling banyak kedua. BPPV tipe kanal

lateral sembuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan BPPV tipe kanal posterior. Hal ini

dikarenakan kanal posterior tergantung di bagian inferior dan barier kupulanya terdapat

pada ujung yang lebih pendek dan lebih rendah. Debris yang masuk dalam kanal posterior

akan terperangkap di dalamnya. Sedangkan kanal lateral memiliki barier kupula yang

terletak di ujung atas. Karena itu, debris bebas yang terapung di kanal lateral akan

cenderung untuk mengapung kembali ke utrikulus sebagai akibat dari pergerakan kepala

(Parnes Lorne, 2003).

Dalam kanalitiasis pada kanal lateral, partikel paling sering terdapat di lengan panjang dari

kanal yang relatif jauh dari ampula. Jika pasien melakukan pergerakan kepala menuju ke

sisi telinga yang terkena, partikel akan membuat aliran endolimfe ampulopetal, yang

13

Page 20: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

bersifat stimulasi pada kanal lateral. Nistagmus geotropik (fase cepat menuju tanah) akan

terlihat. Jika pasien berpaling dari sisi yang terkena, partikel akan menciptakan arus

hambatan ampulofugal. Meskipun nistagmus akan berada pada arah yang berlawanan, itu

akan tetap menjadi nistagmus geotropik, karena pasien sekarang menghadap ke arah

berlawanan. Stimulasi kanal menciptakan respon yang lebih besar daripada respon

hambatan, sehingga arah dari gerakan kepala yang menciptakan respon terkuat (respon

stimulasi) merupakan sisi yang terkena pada geotropik nistagmus. Kupulolitiasis memiliki

peranan yang lebih besar pada BPPV tipe kanal lateral dibandingkan tipe kanal posterior.

Karena partikel melekat pada kupula, vertigo sering kali berat dan menetap saat kepala

berada dalam posisi provokatif. Ketika kepala pasien dimiringkan ke arah sisi yang terkena,

kupula akan mengalami defleksi ampulofugal (inhibitory) yang menyebabkan nistagmus

apogeotrofik. Ketika kepala dimiringkan ke arah yang berlawanan akan menimbulkan

defleksi ampulopetal (stimulatory), menghasilkan nistagmus apogeotrofik yang lebih kuat.

Karena itu, memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan menimbulkan respon 10 yang

terkuat. Apogeotrofik nistagmus terdapat pada 27% dari pasien yang memiliki BPPV tipe

kanal lateral (Edward, 2013, Purnamasari, 2013).

Gambar 4. Skema fisiologi kanalis semisirkularis posterior telinga kiri. Sumber : (Parnes Lorne, 2003).

14

Page 21: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

II.7. Gambaran Klinis

BPPV terjadi secara tiba-tiba. Kebanyakan pasien menyadari saat bangun tidur, ketika

berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan pusing berputar yang lama

kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan

timbulnya perasaan pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat

kuat pada awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya

menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan (Li, 2000,

Riyanto, 2004).

Tabel 2. Perbedaan vertigo vestibuler dan vertigo non vestibuler. Sumber : (IDI, 2013).

Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian hari.

Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat mengalami mual dan muntah.

Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala dikembalikan ke posisi semula, namun arah

nistagmus yang timbul adalah sebaliknya (Li, 2000, Riyanto, 2004).

Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan

memprovoksi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari

kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike atau

perasat Sidelying (Purnamasari, 2013).

Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut : 1)

terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan; 2) nistagmus yang khas; 3) adanya masa

laten; 4) lamanya serangan terbatas; 5) arah nistagmus berubah bila posisi kepala

15

Page 22: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

dikembalikan ke posisi awal; 6) adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus

diulang (Li, 2000, Riyanto, 2004).

Tabel 3. Perbedaan vertigo sentral dan vertigo perifer. Sumber : (IDI, 2013).

II.8. Diagnosis

1. Anamnesis

Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya, melayang, goyang, berputar, tujuh keliling,

rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi

timbulnya vertigo. Perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan dan ketegangan. Profil

waktu, apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronikm

progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang

karakteristik. Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya

menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-

obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui

ototoksik/vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemia, penyakit jantung,

hipertensi, hipotensi, penyakit paru dan kemungkinan trauma akustik (Akbar, 2013).

2. Pemeriksaan fisik dan Manuver diagnostik

Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan cara

memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo dari

kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih perasat Dix-Hallpike

atau Sidelying. Perasat Dix-hallpike lebih sering digunakan karena pada perasat tersebut

16

Page 23: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien BPPV

parasat Dix-Hallpike akan mencetuskan vertigo (perasaan pusing berputar) dan

nistagmus (Hain, 2003, Ji-Soo Kim, 2014).

Gambar 5. Perasat Dix-Hallpike. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).

1) Pemeriksaan perasat Dix-Hallpike

Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Perasat Dix-

Hallpike secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu perasat Dix-Hallpike kanan

pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan perasat Dix- Hallpike

kiri pada bidang posterior kiri. Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike kanan, pasien

duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan

cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala

pasien menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai

respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ±1 menit

atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung

dilanjutkan dengan canalith repositioning treatment (CRT). Bila tidak ditemukan

respon yang abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT, pasien

17

Page 24: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan perasat

Dix-Hallpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan 450 ke kiri, tunggu maksimal 40

detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal, dapat

dilanjutkan dengan CRT, bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila tidak

dilanjutkan dengan tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali

(Ji-Soo Kim, 2014).

Gambar 6. Perasat Sidelying. Sumber : (Purnamasari, 2013).

2) Perasat Sidelying

Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat sidelying kanan yang menempatkan

kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis posterior kanan pada bidang

tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah, dan

perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanalis anterior

kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal

posterior pada posisi paling bawah (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).

Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja,

kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.

Pasien kembali ke posisi duduk untuk untuk dilakukan perasat sidelying kiri, pasien

18

Page 25: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 450 ke kanan. Tunggu 40

detik sampai timbul respon abnormal (Ji-Soo Kim, 2014, Riyanto, 2004).

3) Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin

dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C. Volume

air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40 detik.

Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa

dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri

dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri

atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk

menghilangkan pusingnya) (Purnamasari, 2013).

Tabel 4. Diagnosis banding Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Sumber : (IDI, 2013).

RESPON ABNORMAL

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke

belakang, nmun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada

pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbul lambat, ± 40 detik,

kemudian nistagmus menghilang kurang dari 1 menit jika penyebabnya kanalitiasis,

pada kupololitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari 1 menit, biasanya serangan

vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus (Riyanto, 2004).

Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan mencatat

arah fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap lurus ke depan.

Fase cepat ke atas, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis posterior

19

Page 26: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

kanan

Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis posterior kiri

Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis anterior

kanan.

Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis anterior

kiri

Respon abnormal diprovokasi oleh perasat Dix-Hallpike/ sidelying pada

bidang yang sesuai dengan kanal yang terlibat (Riyanto, 2004).

Pemeriksaan elektronistagmografi (ENG) tidak dapat memperlihatkan

nistagmus jenis rotatoar yang dapat ditemukan pada penderita BPPV. ENG berguna

dalam deteksi adanya nistagmus dan waktu timbulnya pada nistagmus jenis lain. Tes

kalori akan menunjukkan hasil yang normal. BPPV dapat dijumpai pada telinga yang

tidak menunjukkan adanya respon terhadap tes kalori. Hal ini disebabkan tes kalori

menguji kanalis semisirkularis (KSS) horizontal. KSS Horizontal dan posterior

memiliki persarafan dan suplai pembuluh darah yang berbeda. Dengan demikian

BPPV yang timbul pada pasien yang tidak memberikan respon pada tes kalori

disebabkan oleh kanalit pada KSS posterior atau anterior (Riyanto, 2004).

II.9. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai

indikasi.

2) Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).

3) Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem

Auditory Evoked Potential (BAEP).

4) Pencitraan CT-scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI) (Akbar, 2013).

20

Page 27: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

II.10. Penatalaksanaan

1.Non Farmakologi

Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan fungsi

vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar pemilihan tata

laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami resolusi sendiri dalam waktu

mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian ahli hanya menyarankan observasi. Akan

tetapi selama waktu observasi tersebut pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien

dihadapkan pada kemungkinan terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas

(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Salomon, 2000).

Tiga macam perasat dilakukan umtuk menanggulangi BPPV adalah CRT (Canalith

repositioning Treatment ) , perasat liberatory dan latihan Brandt-Daroff. Reposisi kanalit

dikemukakan oleh Epley. Prosedur CRT merupakan prosedur sederhana dan tidak invasif.

Dengan terapi ini diharapkan BPPV dapat disembuhkan setelah pasien menjalani 1-2 sesi

terapi. CRT sebaiknya dilakukan setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon

abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi adanya kanalithiasis pada kanal anterior atau

kanal posterior dari telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk namun

kepala pasien dirotasikan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis

menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi menimbulka gejala. Bila kanalis

posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT kanan.perasat ini dimulai

pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan

pada posisi tersebut selama 1-2menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara

perlahan kekiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien

dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap kekiri dengan sudut

450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat lantai . akhirnya pasien kembali keposisi

21

Page 28: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

duduk dengan menghadap kedepan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan

leher dan disarankan untuk tidak merunduk, berbaring, membungkukkan badan selama satu

hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari

(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Salomon, 2000).

Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalithiasis pada kanal

anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior, CRT

kiri merupakan metode yang dapat di gunakan yaitu dimulai dengan kepala menggantung kiri

dan membalikan tubuh kekanan sebelum duduk (Li, 2000, Riyanto, 2004).

Gambar 7. Epley maneuver. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).

Perasat liberatory, yang dikembangkan oleh semont, juga dibuat untuk memindahkan

otolit ( debris/kotoran) dari kanal semisirkularis. Tipe perasat yang dilakukan tergantung dari

22

Page 29: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

jenis kanal mana yang terlibat. Apakah kanal anterior atau posterior (Ji-Soo Kim, 2014,

Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).

Gambar 8. Liberatory kanan. Sumber : (Ji-Soo Kim, 2014).

Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, dilakukan perasat liberatory kanan

perlu dilakukan. Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk duduk pada meja

pemeriksaan dengan kepala diputar menghadap kekiri 450. pasien yang duduk dengan kepala

menghadap kekiri secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala menggantung ke

bahu kanan. Setelah 1 menit pasien digerakkan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk

ke posisi side lying kiri dengan kepala menoleh 450 kekiri. Pertahankan penderita dalam

posisi ini selama 1 menit dan perlahan-lahan kembali keposisi duduk. Penopang leher

kemudian dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan CRT

(Ji-Soo Kim, 2014, Parnes Lorne, 2003, Riyanto, 2004).

Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama , namun kepala

diputar menghadap kekanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat, perasat liberatory kiri

harus dilakukan (pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri kemudian posisi sidelying

23

Page 30: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

kanan) dengan kepala menghadap ke kanan. Bila kanal anterior kiri yang terlibat, perasat

liberatory kiri dilakukan dengan kepala diputar menghadap ke kiri (Salomon, 2000).

Latihan Brandt Daroff merupakan latihan yang dilakukan di rumah oleh pasien sendiri

tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan posisi duduk dengan kepala

menoleh 450 , lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan. Posisi ini dipertahankan

selama 30 detik. Selanjutnya pasien kembali ke posisi duduk 30 detik. Setelah itu pasien

menolehkan kepalanya 450 ke sisi yang lain, lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan

selama 30 detik. Latihan ini dilakukan secara rutin 10-20 kali. 3 seri dalam sehari

(Ferdiansyah, 2011).

Gambar 9. Latihan Brandt-Daroff. Sumber : (Purnamasari, 2013).

2. Farmakologi

Obat-obatan penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak menghilangkan vertigo.

Istilah “vestibulosuppresant” digunakan untuk obat-obatan yang dapat mengurangi timbulnya

nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem vestibuler. Pada sebagian pasien pemberian obat-

obat ini memang mengurangi sensasi vertigo, namun tidak menyelesaian masalahnya. Obat-

obat ini hanya menutupi gejala vertigo. Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek

24

Page 31: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

samping berupa rasa mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam dan

amitriptilin. Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin adalah golongan

antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga dalam dan mempengaruhi

fungsi vestibuler melalui reseptor H3 (Riyanto, 2004, Salomon, 2000).

Tabel 5. Obat yang digunakan untuk mengatasi vertigo. Sumber : (David Greenberg, 2012).

3. Pembedahan

Tindakan bedah hanya dilakukan bila prosedur reposisi kanalit gagal dilakukan. Terapi ini

bukan terapi utama karena terdapat risiko besar terjadinya komplikasi berupa gangguan

pendengaran dan kerusakan nervus fasialis. Tindakan yang dapat dilakukan berupa oklusi

kanalis semisirkularis posterior, pemotongan nervus vestibuler dan pemberian

aminoglikosida transtimpanik (Li, 2000, Purnamasari, 2013).

25

Page 32: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

1. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan

perifer yang datang tiba-tiba akibat perubahan posisi kepala.

2. Patofisiologi dari BPPV terdiri dari dua teori yaitu teori kupulolitiasis dan

kanalitiasis.

3. Diagnosis dari BPPV ditegakkan bila ditemukan gejala berupa pusing berputar

yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala, timbul nistagmus, terdapat masa

laten sebelum nistagmus muncul, lama serangan terbatas, arah nistagmus berubah

bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal dan nistagmus melemah bila

dirangsang terus-menerus (fatigue).

4. Penatalaksanaan dari BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan

fungsi vestibuler (vestibulosuppresant), reposisi kanalit dan pembedahan.

III.2. Saran

Perlunya pembelajaran lebih lanjut mengenai benign paroxysmal positional

vertigo (BPPV).

26

Page 33: BPPV_Wahyu Ramadhan Usman

DAFTAR PUSTAKA

AKBAR, M. 2013. Diagnosis Vertigo.

DAVID GREENBERG, M. A., ROGER SIMON 2012. Clinical neurology. 8th ed.: Lange.

EDWARD, Y. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Kanalis Horizontal.

FERDIANSYAH, R. 2011. Evaluasi pasien vertigo posisi paroksismal jinak dengan terapi

reposisi kanalit dan latihan Brandt Daroff.

HAIN, T. 2003. Benign Paroxismal Positioning Vertigo [Online]. www.tchain.com.

[Accessed November 13th 2014].

HIGLER, A. B. 1997. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 ed.: EGC.

IDI 2013. Panduan Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 270.

JI-SOO KIM, D. S. Z. 2014. Benign Paroxysmal Positional Vertigo.

LI, J. 2000. Benign Paroxysmal Positional Vertigo [Online]. www.emidicine.com.

[Accessed November 13th 2014].

PARNES LORNE, S. A., JASON ATLAS 2003. Diagnosis and Management of Benign

Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV).

PURNAMASARI, P. P. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Benign Paroxysmal Positional

Vertigo.

RIYANTO, B. 2004. Aspek Neurologi. Cermin Dunia Kedokteran.

SALOMON, D. 2000. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Current Treatment Options in

Neurology, 2.

SHERWOOD, L. 2007. Fisiologi Manusia Dari Sistem Ke Sel.

27