AKURASI METODE REAL PCR UNTUK ANALISA EKSPRESI...

166
1 Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017 AKURASI METODE REAL PCR UNTUK ANALISA EKSPRESI GEN PmVRP15 Oleh : Rahayu Rahardianti dan Evy Maftuti Nur ABSTRAK Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode paling sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA hingga sekarang. Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi berdasarkan keberadaan Reporter Fluorescens. Sinyal Fluorescens akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR (amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi. Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15 melalui real time PCR. Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR (qPCR) dengan metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus matematis untuk menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target. Analisis melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang digunakan dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga menunjukkan single peak dengan kisaran Tm 83-84 o C yang mengindikasikan bahwa amplifikasi target telah spesifik. Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu qPCR dapat digunakan untuk penentuan ekspresi gen Kata Kunci : PmVRP15, ekspresi gen, real time PCR PENDAHULUAN Organisme memiliki gen yang diekspresikan secara konstitutif pada seluruh/beberapa jenis sel dan gen yang diekspresikan berbeda-beda bergantung pada kondisi yang dihadapi organisme. Ekspresi gen tersebut secara molekuler dapat dideteksi pada tahap transkripsi (mRNA) maupun translasi (protein) (Storey, 2004). Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode paling sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA (O’Connel, 2002). Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan menguantifikasi reporter fluoresen. Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR (amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi (Arya et al., 2005). Terdapat dua jenis reporter fluoresen yang umumnya digunakan dalam qPCR, yaitu Taqman dan SYBR Green. SYBR Green akan berfluoresensi ketika berikatan dengan seluruh double-stranded DNA (dsDNA). Sinyal fluoresens SYBR Green saat berikatan dengan dsDNA direkam setiap siklus sehingga menunjukkan banyak

Transcript of AKURASI METODE REAL PCR UNTUK ANALISA EKSPRESI...

1

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AKURASI METODE REAL PCR

UNTUK ANALISA EKSPRESI GEN PmVRP15

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Evy Maftuti Nur

ABSTRAK Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode paling sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA hingga sekarang. Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi berdasarkan keberadaan Reporter Fluorescens. Sinyal Fluorescens akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR (amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon yang signifikan pada fase eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi. Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15 melalui real time PCR. Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR (qPCR) dengan metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus matematis untuk menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target. Analisis melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang digunakan dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga menunjukkan single peak dengan kisaran Tm 83-84 oC yang mengindikasikan bahwa amplifikasi target telah spesifik. Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu qPCR dapat digunakan untuk penentuan ekspresi gen Kata Kunci : PmVRP15, ekspresi gen, real time PCR

PENDAHULUAN

Organisme memiliki gen yang diekspresikan secara konstitutif pada

seluruh/beberapa jenis sel dan gen yang diekspresikan berbeda-beda bergantung

pada kondisi yang dihadapi organisme. Ekspresi gen tersebut secara molekuler dapat

dideteksi pada tahap transkripsi (mRNA) maupun translasi (protein) (Storey, 2004).

Real-time PCR atau quantitative PCR (qPCR) merupakan salah satu metode

paling sensitif untuk mendeteksi dan mengukur kuantitas mRNA (O’Connel, 2002).

Prinsip kerja qPCR adalah mendeteksi dan menguantifikasi reporter fluoresen.

Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk PCR

(amplikon) dalam reaksi. Peningkatan jumlah amplikon yang signifikan pada fase

eksponensial berhubungan dengan jumlah inisiasi gen target. Makin tinggi tingkat

ekspresi gen target maka deteksi emisi fluoresen makin cepat terjadi (Arya et al.,

2005).

Terdapat dua jenis reporter fluoresen yang umumnya digunakan dalam qPCR,

yaitu Taqman dan SYBR Green. SYBR Green akan berfluoresensi ketika berikatan

dengan seluruh double-stranded DNA (dsDNA). Sinyal fluoresens SYBR Green

saat berikatan dengan dsDNA direkam setiap siklus sehingga menunjukkan banyak

2

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

produk yang teramplifikasi selama reaksi berlangsung (Bustin, 2000). Semakin

banyak template pada awal reaksi, maka semakin sedikit siklus amplifikasi yang

dibutuhkan untuk mencapai titik saat sinyal fluoresens SYBR Green terdeteksi lebih

tinggi dari ambang batas (threshold) fluoresens yang ditentukan (Bustin, 2000; Nolan

et al., 2006; Wong & Medrano, 2005). Siklus saat sinyal fluoresens pertama kali

meningkat melebihi threshold ini disebut threshold cycle atau disingkat CT (Nolan

et al., 2008; Schmittgen & Livak, 2008). Karena interkalasinya dengan seluruh

dsDNA, amplifikasi target dengan menggunakan SYBR Green harus diiringi dengan

tahap melt curve agar spesifitas produk dapat dianalisis. DNA akan terdenaturasi

pada suhu tertentu yang disebut melting temperature (Tm). Nilai Tm bergantung

pada ukuran dan komposisi nukleotida. Sinyal fluoresens akan dilepaskan ketika

dsDNA terdenaturasi menjadi single-stranded DNA (ssDNA), sehingga data Tm

dari setiap produk yang teramplifikasi dapat diketahui (Nolan et al., 2006). Apabila

amplifikasi produk telah spesifik, tahap melt curve akan menghasilkan single peak

dengan Tm yang identik.

Kuantifikasi qPCR secara secara relatif tidak dibutuhkan kurva kalibrasi

karena ekspresi gen target dibandingkan dengan gen housekeeping (reference atau

control gene) untuk normalisasi sampel (Pfaffl, 2004). Gen housekeeping ini dapat

diamplifikasi dalam tube yang sama dengan gen target pada multiplex assay atau

pada tube terpisah pada singleplex assay (Applied Biosystems, 2010). Perhitungan

ekspresi gen PmVRP15 pada kuantifikasi relatif dapat dilakukan dengan berbagai

metode, salah satunya adalah melalui comparative threshold cycle (CT) (Joyce,

2002; Pfaffl, 2004). Pada metode ini, nilai CT dijadikan dasar untuk

mengkuantifikasi ekspresi gen PmVRP15 secara relatif terhadap gen lain yang

berfungsi sebagai kontrol internal. Gen kontrol atau standar internal yang digunakan

dalam qPCR adalah gen housekeeping yang terekspresi secara konstitutif,

misalnya β-aktin atau GAPDH. Gen housekeeping yang digunakan dalam qPCR

harus terekspresi dalam tingkat yang cukup tinggi agar mudah terdeteksi. β-aktin

dilaporkan sebagai gen housekeeping yang memproduksi protein sitoskeleton yang

tingkat ekspresinya tidak terpengaruh karena infeksi Virus dan tidak ikut

teramplifikasi dengan pseudogen, sehingga memberikan hasil kuantifikasi yang lebih

akurat (Bustin, 2000; Raff, 1997; Vatanavicharn et al., 2014).

Tujuan dari kegiatan ini untuk menetukan ekspresi gen PmVRP15 dengan

metode Real Time PCR.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi : antikoagulan sodium sitrat 10%, Trizol

Reagent (Invitrogen, USA), isopropanol, ethanol 75%, kloroform, nuclease free-

water (Invitrogen, USA), AMV RT-ase 10U/μl (Promega, USA), AMV 5x RT

buffer (Promega, USA), RNase inhibitor 40U/μl (Promega, USA), MgCl225 mM

3

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(Promega, USA), dan dNTP mix 10mM (Promega, USA), DNase I recombinant

RNase-free 1U/μl (Invitrogen, USA), KAPA SYBR FAST qPCR Kit Master Mix

(2X) ABI Prism (KAPA Biosystems, USA), primer PmVRP15-RTF/R (amplikon

231 bp), dan primer β-aktin F/R (amplikon 124 bp)

Alat yang digunakan meliputi : dissecting set, pellet pestle, mikrotube,

mikropipet dan tips, refrigerated centrifuge (Eppendorf), heating block, ice-block,

mikrosentrifus (Sansio), vortexer (Thermolyne), PCR tubes, thermal cycler (Applied

Biosystems), 96-well-plate (Applied Biosystems), optical strips, microwave, tangki

elektroforesis, UV transiluminator, power supply, syringe 1 ml 27G x 13 mm

(Terumo), spektrofotometer NanoDrop 2000 (Thermoscientific), 7500 Fast Real-

time PCR System (Applied Biosystems)

Tata Kerja

Pengambilan Hemolimfe

Pada kegiatan ini sampel berupa hemolimfe (200 µL) yang akan diambil

dari bagian sinus ventral pada segmen abdomen kedua pada P. monodon dengan

menggunakan syringe 1 ml yang berisi 0,2 ml larutan antikoagulan sodium sitrat

10%. Pengambilan hemolimfe dilakukan per individu kemudian disimpan dalam

mikrotube dalam ice-box.

Isolasi RNA total

Hemolimfe yang telah diambil dimasukkan ke dalam mikrotube dan

dicampurkan dengan larutan Trizol 500 μl, kemudian dihomogenkan dengan

pellet pestle. Homogenat diinkubasikan pada suhu kamar selama 5 menit dan

ditambahkan dengan 100 μl kloroform ditambahkan. Larutan ini disentrifugasi

pada 12.000 x g selama 15 menit pada suhu 40C. Fase yang bening (supernatan)

sebanyak 250 μl dipindahkan ke mikrotube baru dan ditambahkan 250 μl

isopropanol. Larutan ini divorteks selama 5-10 detik dan diinkubasi lagi dalam suhu

kamar selama 10 menit. Langkah selanjutnya adalah melakukan sentrifugasi kembali

pada 12.000 x g selama 10 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang kemudian

ditambahkan 500 μl etanol 75%. Larutan disentrifugasi kembali pada 7.500 x g

selama 5 menit. Etanol dibuang sehingga pellet RNA dapat dikeringanginkan. Ke

dalam pellet RNA ditambahkan dengan nuclease free-water sebanyak 20 μl

(modifikasi Life Technologies, 1999). Isolat ini divorteks dengan DNase I 0,01U/μl

(inkubasi 37 oC selama 30 menit, dilanjutkan inaktivasi 5 menit pada suhu 95 oC)

untuk menghilangkan kontaminasi gDNA, kemudian disimpan dalam freezer -80 oC

sebelum dilanjutkan ke proses sintesis cDNA. Konsentrasi dan tingkat kemurnian

RNA diukur dengan spektrofotometer NanoDrop 2000 (260/280 nm) dengan

volume 1 μl/sampel.

4

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sintesis cDNA

Proses transkripsi balik dilakukan dengan pembuatan reverse transcription

mix dengan komposisi pada Tabel 1:

Tabel 1. Reverse transcription mix (modifikasi Schmittgen & Livak, 2008; Farell,

2005)

Sebanyak 10 µL aliquot dari primer mix dicampurkan dengan 2 µL RNA

template kemudian diinkubasi pada thermal cycler selama 5 menit pada suhu 70 oC.

Primer mix ini segera diinkubasi dalam es selama 5 menit. Sebanyak 15 µL aliquot

dari reverse transcription mix dimasukkan ke dalam tube PCR yang telah berisi

primer mix. Setelah vortexing dan spin-down, tube PCR kembali dimasukkan pada

thermal cycler selama 15 menit pada suhu 60 oC untuk tahap annealing. Untuk

melanjutkan ke tahap qPCR, RTase diinaktivasi dengan cara pemanasan selama 5

menit pada suhu 85 ºC. Sampel cDNA yang dihasilkan segera dianalisis dengan

qPCR atau disimpan pada suhu -20 oC (modifikasi Nolan et al., 2006; Schmittgen &

Livak, 2008).

Real-time PCR (qPCR)

Sebelum melakukan qPCR, perlu dilakukan pembuatan master mix qPCR

berdasarkan komposisi pada Tabel 2. Sampel cDNA diencerkan 10x untuk

diamplifikasi dengan menggunakan primer β-actin (untuk normalisasi) dan gen

target.

5

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Komponen master mix untuk qPCR (modifikasi KAPA Biosystems, 2013)

Sebanyak 15 µL aliquot master mix qPCR dari masing-masing primer

dimasukkan ke dalam well plate diikuti sampel cDNA sebanyak 5 µL. Well-plate

ditutup dengan optical strips dan disentrifugasi selama 5 menit pada 3.000 rpm.

Running di dalam mesin qPCR diprogram sesuai dengan Tabel 3.

Tabel 3. Siklus qPCR (modifikasi Vatanavicharn et al., 2014)

Analisis data

Nilai CT dipindahkan dari software ABI 7500 ke Microsoft Excel untuk

menghitung tingkat ekspresi relatif dengan menggunakan rumus R (Schmittgen &

Livak, 2008; Pfaffl, 2004; Wong & Medrano, 2005). Nilai R adalah rasio dan CT

adalah siklus saat terjadi perpotongan antara garis threshold dan baseline:

6

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Data CT diubah ke dalam bentuk linear (2- CT) kemudian dianalisis secara

statistik melalui Minitab 16 dengan two-samples t-test dengan nilai P<0,05 dengan

rata-rata ± standar deviasi untuk menentukan apakah nilai CT berbeda signifikan.

Hubungan antar resistensi populasi dan tingkat ekspresi gen target dianalisis secara

deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Tingkat Ekspresi Gen Melalui qPCR

Kuantifikasi ekspresi gen dilakukan melalui real time PCR (qPCR) dengan

metode comparative CT, yaitu dengan menggunakan rumus matematis untuk

menghitung perbedaan tingkat ekspresi pada gen target (Schmittgen & Livak, 2008).

Analisis melt curve pada amplifikasi gen target dan β-aktin dari data yang

digunakan dalam perhitungan ekspresi gen melalui comparative CT juga

menunjukkan single peak dengan kisaran Tm 83-84 oC yang mengindikasikan

bahwa amplifikasi target telah spesifik (Gambar 1).

Dalam kuantifikasi gen secara relatif, perubahan tingkat ekspresi relatif

(fold change) > 1 menunjukkan adanya peningkatan ekspresi; sebaliknya jika

perubahan perubahan tingkat ekspresi < 1, maka dinilai terjadi penurunan ekspresi.

Nilai angka 1 merupakan kuantitas yang disepakati untuk penetuan gen target

(Agilent Technologies, 2012).. (Perbaiki keterangan gambar sesuai dengan gambar

masing-masing)

KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa kuantitatif PCR atu qPCR dapat

digunakan untuk penentuan ekspresi gen dalam hal ini gen PmVRP15.

Gambar 1. Kurva melt curve pada saat amplifikasi gen PmVRP15 (kiri) dan reference

gene β-aktin (kanan) menunjukkan single peak sebagai penanda spesifitas produk

7

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku

Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna

Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan

teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan

makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Agilent Technologies. 2012. Introduction to Quantitative PCR: Methods and Applications Guide. IN 70200 D

Andrade, A. J. 2011. Shrimp immunological reactions against WSSV: role of haemocytes on WSSV fate. Faculty of Bioscience Engineering: Universiteit Gent

Antony, S. P., Singh, I., Sudheer, N.S., Vrinda, S., Prijaya, P., & Philip, R. 2011. Molecular characterization of a crustin-like antimicrobial peptide in the giant tiger shrimp, Penaeus monodon, and its expression profile in response to various immunostimulants and challenge with WSSV. Immunobiology 216 (2011): 184-194

Applied Biosystems. 2004. Guide to Performing Relative Quantitation of Gene Expression Using Real-Time Quantitative PCR. P/N 4371095 RevA

Arya, M., Shergill, I., Williamson, M., Gommersall, L., Arya, N., & Patel, H. 2005. Basic principles of the real time quantitative PCR. Expert Rev. <ol. Diagn. 5 (2): 1-11

Escobedo-Bonilla, C.M., Audoorn, L., Wille, M., Alday-Sanz, V., Sorgeloos, P., Pensaert, M.B., & Nauwynck, H.J. 2006. Standardized White spot syndrome virus (WSSV) inoculation

Goni, R., Garcia, P., & Foissac, S. 2009. The qPCR data statistical analysis. Spain: Integromics SL.Gopikrishna, G., Gopal, C., Shekhar, M. Kumar, K.V., Kannappan, S., &

Greber-Platzer, S., Schatzmann-Turhani. D., Cairns, N., Baclz, B., & Lubec, G. 1999. Expression of the transcription factor ETS2 in brain of patients with Down syndrome-evidence against the overexpression-gene dosage hypothesis. J. Neural Transm Suppl 57: 268-281

Gudkovs, N. 2009. ACIAR Project: Application of PCR for Improved Management of Shrimp Disease in Asia Region. Jakarta: ACIAR

Joyce, C. 2002. Quantitative PCR: A Review of Current Methodologies. From Methods in Molecular Biology vol. 193: RT-PCR Protocols. Edited by: J. O’Connel. Totowa: Humana Press Inc.

KAPA Biosystems. 2013. KAPA SYBR FAST qPCR kit Master Mix (2x) ABI Prism Technical Data Sheet. Boston: KAPA BIO

8

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PRODUKSI PROBIOTIK TEPUNG

PADA BERBAGAI JENIS FILLER

Oleh : Zariah dan Budi Santosa

ABSTRAK

Melimpahnya keberadaan marine yeast (khamir laut) dapat dijadikan sebagai agen probiotik melalui kombinasi dengan indigenous bakteri probiotik lainnya, sehingga diharapkan mampu menunjang keberhasilan budidaya. Probiotik dalam bentuk cair terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik dengan cara yang sederhana. Tujuan dari kegiatan ini adalah menghasilkan produk probiotik indigenous (asli) padat dengan teknik produksi yang sederhana serta dapat diaplikasikan dalam kegiatan budidaya. Pembuatan probiotik kering dilakukan dengan menggunakan berbagai macam filler yang dihomogenkan dengan biakan cair bakteri probiotik kemudian dilakukan pengeringan pada suhu 50 °C. Berdasarkan pengujian penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa bakteri dapat dilihat bahwa penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan zeolit memiliki waktu pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C. Sedangkan penggunaan filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu pengeringan 10 jam.

Kata Kunci: probiotik, marine yeast, khamir laut, filler dan viabilitas

PENDAHULUAN

Penggunaan bakteri probiotik baik sebagai pengurai bahan organik maupun

sebagai feed additive memberikan kontribusi dalam memperbaiki kualitas

lingkungan budidaya dan mampu meningkatkan kesehatan udang sehingga tidak

mudah stress dan tahan terhadap serangan penyakit (Muliani, et al., 2010).

Keragaman diversitas mikroba yang terdapat secara alami dalam

usus (indigeneous) maupun mikroba eksogenous (diperoleh melalui

makanan/suplemen obat), baik yang bersifat menguntungkan dan sebagai probiotik

ataupun bersifat pathogen akan saling berkompetisi untuk mempertahankan jumlah

koloninya (Soccol et al. 2010). Karena itu mengkonsumsi kultur probiotik yang

sudah diperkaya jumlah koloninya pada dasarnya merupakan upaya untuk

mempertahankan dominasi mikroflora probiotik dalam saluran pencernaan.

Khamir tersebar luas di beberapa lingkungan alam seperti tanah, air tawar dan

air laut. Tersebarnya berbagai jenis yeast tergantung pada kandungan dan jenis bahan

organik yang tersedia, untuk lingkungan dekat pantai biasanya terdapat 10 – 1.000

9

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sel ragi/L air sedangkan pada tempat yang kandungan bahan organik rendah seperti

wilayah samudera laut dalam mengandung < 10 sel/ L air (Navarrete, et al. 2014).

Selain bakteri sebagai kandidat probiotik, khamir laut juga banyak diteliti sebagai

immunostimulan namun masih sedikit yang menggunakan khamir laut ini sebagai

imunostimulan melalui aplikasi pakan atau sebagai agen yang mampu menekan

pertumbuhan bakteri vibrio di lingkungan budidaya. Melimpahnya keberadaan

khamir laut tersebut dapat dijadikan sebagai agen probiotik baik aplikasi pakan atau

air melalui kombinasi dengan bakteri probiotik indigenous lain, sehingga diharapkan

mampu menunjang keberhasilan budidaya.

Menurut Sukoso (2009) marine yeast merupakan khamir laut atau lebih

dikenal dengan ragi laut merupakan mikroorganisme yang diisolasi dari laut lalu

dikembangkan untuk menghasilkan massa sel. Dimana proses kultur khamir laut ini

dapat dimulai dengan mengisolasi mikroorganisme tersebut dari laut untuk kemudian

ditumbuhkan dalam media. Manfaat lain yang saat ini tengah dikembangkan adalah

sebagai immunostimulan, yaitu sebagai zat imunostimulator yang meningkatkan

daya resisten terhadap infeksi penyakit yaitu dengan meningkatkan respon imun non-

spesifik baik melalui mekanisme pertahanan hormonal maupun selular. Dengan

kandungan bheta-glucan yang dimiliki maka khamir laut sebagai immunostimulan

mampu meningkatkan aktivitas leukosit dan menjadi mediator imun. Saat ini khamir

laut juga telah dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan seperti bioremediasi

dalam bidang teknologi lingkungan; obat, vaksin, hormon dan probiotik dalam

industri kesehatan; penghasil enzim, penyedap rasa, pigmen dan pereduksi kimia

dalam industri makanan berbahan kimia. Selain itu, marine yeast ternyata memiliki

kelebihan mudah tumbuh dan berkembang dalam media fermentasi dengan

kepadatan > 108 sel/mL dalam waktu yang cepat serta sangat mudah dilakukan kultur

secara masal karena sifatnya yang mudah membentuk flokulan dan ukuran selnya

yang lebih besar daripada bakteri sehingga mudah untuk dibuat konsentrat dari kultur

cair (Chi et al; 2006).

Proses produksi perbanyakan strain mikroba probiotik ada yang

menggunakan teknik fermentasi cair pada fermentor dan pengeringan Broth

fermentasi serta teknik pengeringan dengan udara panas. Adapun sediaan probiotik

komersial yang ada di pasar saat ini tersedia dalam bentuk: probiotik kering dikemas

dalam bentuk bubuk, kapsul atau tablet dan probiotik cair. Namun probiotik cair

terkendala pada efisiensi dan pengangkutan sedangkan probiotik kering terkendala

pada harga yang masih relatif tinggi mengingat masih menggunakan teknologi tinggi

sehingga sangat diperlukan teknik produksi probiotik yang efisien dengan cara yang

sederhana.

Tujuan

Menghasilkan produk probiotik indigenous dalam bentuk tepung dengan

teknik produksi yang sederhana.

10

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan yang digunakan antara lain : nutrien agar, MgSO4, NaCl, KCl, MRS

agar, nutrien broth, filler dari zeolite bubuk, tepung kanji, tepung terigu, susu skim,

limbah tepung rumput laut, CaCO3, isolat probiotik Lactobacillus plantarum,

Bacillus subtilis, B. licheniformis, Nitrobacter, khamir laut dan incubator shaker.

Alat

Alat yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi; lemari pengering, mixer,

pemanas, bunsen, tabung reaksi, cawan petri dan sealer.

Gambar 1. Lemari Pengering

Tata Kerja

Kandidat probiotik diperbanyak pada media Nutrien Broth diinkubasi selama

24 jam pada suhu 35 °C, kemudian dilakukan penambahan berbagai jenis filler

berupa limbah tepung rumput laut, susu skim, tepung terigu, tepung kanji dan zeolit.

Campuran bahan selanjutnya dihomogenkan kemudian dilakukan pengeringan pada

suhu 50 °C selama 5-7 jam di dalam lemari pengering. Setelah kering selanjutnya

dilakukan pengemasan dan penyimpanan. Probiotik tepung selanjutnya disimpan

selama10 bulan, tiap bulan masing-masing jenis filler dilakukan penghitungan total

bakteri.

(a) (b)

11

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(c) (d)

Gambar 2. Proses pembuatan probiotik tepung. (a) Menuangkan adonan probiotik ke dalam Loyang, (b) Memasukkan loyang ke dalam lemari pengering, (c) Pengaturan temperatur pengering (d) Produk probiotik tepung dalam kemasan.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil pengujian berbagai jenis filler terhadap kemampuan mempertahankan

kadar bakteri probiotik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Uji berbagai jenis filler terhadap kemampuan mempertahankan kadar

bakteri probiotik

No Jenis Filler

Komposisi Bakteri:

Filler (mL:g)

Lama Waktu Pengeringan suhu 50 °C.

(jam)

Keterangan

1 Limbah tepung rumput laut

100 : 200 5 Bahan seperti semula (sebelum dikeringkan) dan mudah dipacking

2 Susu skim 150 : 100 10 Hasil kering keras, bahan harus dihaluskan sebelum dipacking

3 Tepung terigu

200 : 100 10 Hasil kering keras, bahan harus dihaluskan sebelum dipacking

4 Tepung kanji

100 : 100 5 Bahan kering,mudah dihancurkan

5 Zeolit 100 : 200 5 Bahan kering,mudah dihancurkan

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa faktor yang perlu diperhatikan dalam

pembuatan probiotik kering adalah jenis filler (pembawa) yang dipergunakan.

12

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pemilihan filler didasarkan pada kemudahan mendapatkan bahan, harga dan

kemampuan mempertahankan komposisi mikrobia di dalamnya. Berdasarkan hasil

pembuatan probiotik kering dengan filler limbah tepung rumput laut masih

terkontaminasi dengan bakteri lain walaupun sudah dilakukan sterilisasi terhadap

bahan yang digunakan. Sedangkan untuk filler dengan susu skim dan tepung terigu

hasil setelah pengeringan mengeras seperti batu dan susah dihaluskan sehingga tidak

dilakukan uji kepadatan lanjutan.

KESIMPULAN

Berdasarkan pengujian penggunaaan berbagi macam filler sebagai pembawa bakteri dapat dilihat bahwa penggunaan filler tepung rumput laut, tepung kanji dan zeolit memiliki waktu pengeringan lebih singkat yaitu 5 jam dengan suhu 50 °C. Sedangkan penggunaan filler susu skim dan tepung terigu membutuhkan waktu pengeringan 10 jam.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bpk Sugeng Raharjo selaku Kepala Balai , dan teman – teman Laboratorium Manejemen Kesehatan Hewan Akuatik yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Chi,Z., Liu, Z., Gao L., Gong,F., Ma, C., Wang,X., Li,H., 2006. Marine yeast and their applications in mariculture. Joournal of Ocean University of China. Vol 5. No3, pp.251-256.

Gama, L., F. Ascencio, and B. Ho, 2001. Probable application of marine yeasts as probiotic supplements. Http:// www. np. edu. sg/.

Harmayani, E., Ngatirah., Rahayu, E.S., Utami, T. 2001. Ketahanan dan Viabilitas Probiotik Bakteri Asam Laktat Selama Proses Pembuatan Kultur Kering Dengan Metode Freeze dan Spray Drying. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol.XII, No. 2.

Muliani; Nurbaya; Muharijadi,A.2010. Penggunaan Probiotik Pada Pemeliharaan udang Windu (Penaeus monodon ) Dengan Dosis Pakan Yang Berbeda. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. hal 249-250.

Navarrete, P., and Tovar, R.,2014.Use of yeast as probiotics in fish aquaculture. Intech. 5: 135-156.

Soccol, C.R., de Souza Vandenberghe, L.P., Spier, M.R., Medeiros, A.B.P., Yamaguishi, C.T., De Dea Lindner, L., Pandey, A., and Thomaz-Soccol, V. The Potential of Probiotics: A Review. Food Technol. Biotechnol. 48 (4) 413–434 (2010).

Sukoso, 2009. Khamir Laut sebagai Pengganti Kedelai dalam Industri Pangan. https://prasetya.ub.ac.id/. Tanggal akses 5 Maret 2016.

13

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

ANALISIS SEKUENSING GEN CYTOCHROME OXIDASE 1

DAN 16SrDNA PADA BEBERAPA KOMODITAS UDANG

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Evy Maftuti Nur

ABSTRAK

Sekuensing merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi suatu gen. Identitas suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan membandingkan dengan data sekuen yang terdapat pada Genbank. Salah satu metode yang dapat digunakan dengan menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah profil DNA gen Cytocrome oxidase 1 dan 16S-rDNA. Penggunaan primer tersebut telah digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengidentifikasi gen cytochrome oxidase 1 dan 16S-rDNA melalui proses sequensing pada beberapa komoditas udang. Proses Sequensing dilakukan dengan mengamplifikasi gen cytochrome oxidase1 dan 16S rDNA dengan metode PCR menggunakan primer universal 63f forward primer dan reverse primer 1387r, LCO dan HCO. hasil amplifikasi dielektroforesis dengan agarose 1,5% dan selanjutnya dilakukan sekuensing terhadap gen cytochrome oxidase1dan 16SrRNA. Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa analisis sequensing mampu mengidentifikasi isolat dari beberapa komoditas udang secara genetik dari sekuens gen 16S-rDNA dan Cytochrome Oxidase I dengan hasil yang lebih akurat dan waktu lebih singkat. Selain itu dari isolat yang dianalisis menunjukkan urutan nukleotida gen 16S rDNA dan Cytochrome Oxidase I mempunyai kesamaan 100% dengan Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA gene, voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene, Penaeus monodon cytochrome oxidase subunit I gene, Macrobrachium rosenbergii haplotype Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene Macrobrachium rosenbergii haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene. Kata Kunci : Gen 16S rDNA, Cytochrome Oxidase I, PCR, Sekuensing.

PENDAHULUAN

Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah suatu proses atau teknik

penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut dikenal

sebagai sekuen DNA, yang merupakan informasi paling mendasar suatu gen atau

genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk pembentukan tubuh

makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan untuk menentukan identitas

14

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya dengan cara membandingkan

sekuennya dengan sekuen DNA lain yang sudah diketahui.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk analisis deteksi bakteri dengan

menggunakan teknik PCR. Teknik ini digunakan untuk menelaah profil DNA gen

Cytochrome oxidase1 (COI) dan 16S-rDNA. Penggunaan 16S-rDNA telah

digunakan sebagai parameter sistematik molekuler universal, representatif, dan

praktis untuk mengkonstruksi kekerabatan filogenetik pada tingkat spesies. Salah

satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas deteksi molekuler berbasis PCR

ialah pemilihan primer yang tepat (Rychlic 1995). Primer PCR merupakan

oligonukleotida yang berperan sebagai inisiasi amplifikasi molekul DNA.

Keberadaan primer PCR tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang

reaksi PCR berlangsung. Analisis PCR dengan primer spesifik merupakan langkah

terbaik untuk kepentingan deteksi bakteri patogen karena dapat menghasilkan

penentuan secara cepat keberadaan gen target, cukup sensitif dan mudah digunakan

dalam kegiatan rutin.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi gen cytochrome oxidase

1 dan 16S-rDNA melalui proses sequensing.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi : aquades, alkohol, primer set (cytochrome

oxidase 1 dan 16S-rDNA), bahan analisa PCR untuk amplifikasi DNA, Polymer POP

7, conditioning reagent, cathode buffer, anode buffer, ethidium bromide, gel

agarosa, 0,5x TBE buffer, loading dye, ethidium bromide, alkohol 70%.

Alat yang digunakan meliputi : mikropipet, thermocycler (mesin PCR), 3500

Genetic Analyzer, gunting bedah, elektroforesis, rak tabung, ruang asam dan ruang

steril, peralatan PCR, lampu bunsen, UV Transiluminator, sentrifus, digibox kamera,

vortex mixer, pellet pestle, tabung ependorf, sarung tangan.

Tata Kerja

Isolasi DNA Genomik

Isolasi DNA Genomik dari sampel udang dilakukan dengan metode Wizard

DNA Purification Kit. DNA genom disimpan pada suhu -20°C untuk selanjutnya

digunakan pada tahap amplifikasi gen Cytochrome oxidase1 (COI) dan 16SrDNA.

Amplifikasi gen Cytochrome oxidase 1 dan 16S-rDNA dengan PCR

Primer yang digunakan adalah primer universal untuk domain bakteri berupa

forward primer 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-3’) dan reverse

primer 1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al. 1998) serta

15

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

primer LCO (5’-GGT CAA CAA ATC ATA AAG ATA TTG G-3’) dan HCO (5’-

TAA ACT TCA GGG TGA CCA AAA AAT CA-3’). Semua komponen reaksi

dicampur ke dalam microtube dan dimasukkan ke dalam mesin PCR. Tahapan PCR

terdiri dari pre-denaturasi 94oC, 2 menit; tahap denaturasi 92oC, 30 detik; tahap

annealing 55oC, 30 detik, tahap elongasi 72oC selama 1 menit. Proses PCR terdiri

dari 30 siklus. Selanjutnya post PCR pada suhu 75oC selama 20 menit dan tahap stop

PCR pada suhu 4oC. Hasil PCR disimpan pada suhu -20oC atau langsung

dielektroforesis.

Elektroforesis dan Visualisasi

Gel elektroforesis disiapkan dengan 1,5 % agarose dalam 0,5x buffer TBE,

dipanaskan dan setelah larut didinginkan sampai 50 oC kemudian dituang pada

cetakan gel. Wadah yang sudah berisi gel diberi buffer 0,5x buffer TBE secukupnya

kemudian memasukkan sampel hasil digesti pada sumur-sumur gel. Pada waktu

elektroforesis diberikan suatu marker atau penanda molekul DNA. Elektroforesis

dilakukan pada kondisi 30-40 Volt dan 28 –29 mA dan diakhiri setelah bromofenol

sampai tepi bawah gel.

Purifikasi Produk PCR

Setelah dilakukan Elektroforesis selanjutnya dilakukan purifikasi produk

PCR untuk menjamin kemurnian hasil PCR sehingga tidak akan berpengaruh

terhadap hasil sequensing.

Sekuensing dan Analisis Sekuen DNA

Sekuensing dilakukan dengan piranti Automated DNA Sequencer Applied

Biosystem 3500 Genetic Analyzer. Cycle sequencing DNA template dilakukan

menggunakan kit BigDye® Ready Reaction Mix (Perkin Elmer Biosystem, USA).

Campuran cycle sequencing terdiri atas 1 µL (300-500 ng) DNA template, 3,2 pmol

primer, 1 µL DMSO, 6 µL BigDye® Ready Reaction Mix, dan nuclease free water

untuk menggenapkan volume menjadi 20 µL. Proses cycle sequencing dilakukan

pada mesin sequencer dengan kondisi sebagai berikut: pre-PCR pada suhu 94 oC

selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94 oC selama 30 detik, annealing atau

pelekatan primer (50 oC, 30 detik), elongasi atau pemanjangan primer (72 oC, 2

menit), dan post-PCR (72 oC, 7 menit) dengan jumlah siklus sebanyak 25 kali. Hasil

cycle sequencing tersebut selanjutnya dimurnikan dengan metode BigDye® X-

Terminator Kit. Pada metode pemurnian ini campuran hasil cycle sequencing

dimasukkan dalam tabung Eppendorf yang berisi 90 µL SAM Solution dan 20 µL

BigDye® X-Terminator Kit lalu divorteks selama 30 menit pada kecepatan yang

memungkinkan semua cairan tercampur merata. Setelah itu cairan disentrifus dengan

kecepatan 1000 g selama 2 menit dan siap running CE (Capilarry Elektroforesis).

16

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi Gen Cytochrome oxidase 1 dan 16SrDNA

DNA genomik yang telah diisolasi dan diekstraksi dari 10 isolat kemudian

dianalisis dengan metode PCR untuk mengamplifikasi gen 16S rDNA. Hasil

amplifikasi gen 16SrDNA ditunjukkan dengan pita dikisaran 1500 bp. Hasil

amplifikasi gen 16SrDNA ditunjukkan pada gambar 1.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Gambar 1 : Hasil elektroforesis gel amplifikasi gen 16S-rDNA, M : marker, 1-10 :

Sampel, 11: kontrol negatif

Untuk melihat spesies, maka hasil amplifikasi dilakukan proses sekuensing.

Urutan nukleotida hasil sekuensing ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Sekuens gen Cytochrome oxidase 1 dan 16SrDNA

Isolat Sekuens gen

A

Primer 16S rDNA-F dan 16S rDNA-R

16-F-18dan 16-R-18 (554 bp)

GCCTGTTTAACAAAAACATGTCTATATGATTGTTATATAAAGTCTA

GCCTGCCCACTG

ATTTAGTTTAAAGGGCCGCGGTATATTGACCGTGCGAAGGTAGCAT

AATCATTAGTCTTT

TAATTGAAGGCTTGTATGAATGGTTGGACAAAAAGTAAGCTGTCTC

AATTATAATAATTG

AACTTAACTTTTAAGTGAAAAGGCTTAAATAAATTAAGGGGACGAT

AAGACCCTATAAAG

CTTGACAATAATTTAATTATACTATCAATTGTTAGTGTAACTTGGTT

TTAATTAAAATTT

GTTGCGTTGGGGCGACGAGAATATAATAGGTAACTGTTCTTAAATA

TTTAATAACAAATA

TAATTGAAAATTAGTGTGATCCTCTATTAGCGATTAAAAGATTAAG

TTACTTTAGGGATA

ACAGCGTAATCTTCTTTGAGAGTCCATATCGACAAGAAGGTTTGCG

ACCTCGATGTTGAA

17

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TTAAGGTATCCTTATGATGCAGCAGTTATAAAGGAAGGTCTGTTCG

ACCTTTAAATCCTT

ACATGATCTGAGTTCA

B

16-F-20 dan 16-R-20 (548 bp)

CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT

AGCCTGCCCACTG

ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA

GTCAGTAGTCTTTT

AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC

TTAGCGGCGTTTGA

ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA

AGACCCTATAAAAC

TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT

TGTCTGGTTTATAT

TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT

TATAGCATTGACTA

GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG

ATAACAGCGTGATT

TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT

GAATTAAAATTTCA

GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT

TTTACATGATCTGA

GTTCAGAC

C

16-F-21 dan 16-R-21 (545bp)

CGCCTGTTTAACAAAAACATGTCTGTGTGAATTAGTTATAAAGTCT

AGCCTGCCCACTG

ATTTATTTAAAGGGCCGCGGTAATTTGACCGTGCGAAGGTAGCATA

GTCAGTAGTCTTTT

AATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATAAACTGTCTCC

TTAGCGGCGTTTGA

ATTTAACTTTTGAGTGAAAAGGCTCAAATTGTTTAGGGGGACGATA

AGACCCTATAAAAC

TTGATATAATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTT

TGTCTGGTTTATAT

TTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATAAAATTT

TATAGCATTGACTA

GAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAGGAGAATAAGTTACTTTAGGG

ATAACAGCGTGATT

TTCTTTGAGAGTTCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTT

GAATTAAAATTTCA

GCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCTTTAAAAT

TTTACATGATCTG

18

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AGTTCA

D

16-F-22 (444bp)

GTAGTCTTTTAATTGGAGGCTTGAATGAATGGTTGGACGAGGGATA

AACTGTCTCCTTAGCGGCGTTTGAATTTAACTTTTGAGTGAAAAGG

CTCAAATTGTTTAGGGGGACGATAAGACCCTATAAAACTTGATATA

ATTTAGGCTTAACTTGCGATGTGGGTGAAAAGTAGTTTTGTCTGGT

TTATATTTCGTTGGGGAGATGAAGATATAATGAGTAACTGTCTATA

AAATTTTATAGCATTGACTAGAATTTGATCCTTCCTTGGGGATTAG

GAGAATAAGTTACTTTAGGGATAACAGCGTGATTTTCTTTGAGAGT

TCTTATCGACAAGAGTAGTTGCGACCTCGATGTTGAATTAAAATTT

CAGCTAGGTGTAGCCGTTTAGCTGGTGGGTCTGTTCGACCCTTTAA

AAATTTTACATGATCTGAGTTCAGACCGGA

E

Primer LCO dan HCO

J1 (Primer: HCO) (619 bp)

ATGTATTTAAATTACGATCTGTTAACAGTATAGTAATAGCTCCTGCT

AGGACTGGTAAAGATAGTAATAGAAGTAGGGCTGTAATAAACACT

GCTCAAACAAAAAGTGGTATTCGGTCTATAGTTATTCCTGTCGATC

GTATATTGATAACGGTCGTTATAAAGTTTACAGCACCTAAGATTGA

TGAAACCCCTGCTAAGTGCAATGAAAAAATACCTAGGTCAACTGA

AGCACCTGCATGAGCAATTCTGGCTGACAAAGGAGGATATACTGTT

CATCCAGTTCCAACTCCTCTTTCAACTATACCTCTAGACAAAAGTA

AAGTCAATGAAGGTGGTAAAAGTCAGAAACTTATATTATTTATTCG

GGGAAATGCTATATCTGGGGCGCCTAATATTAAAGGGACAAGTCA

ATTTCCAAAACCTCCAATCATAATAGGTATAACTATAAAAAAAATT

ATAACGAAAGCGTGAGCTGTAACCACTACATTGTAAATTTGATCAT

CTCCAATAAGGCTTCCTGGTTGACCTAATTCAGCACGAATAATAAG

ACTAAGAGCTGTACCTACTATTCCTGCTCAAGCTCCGAAAATAAAG

TATAAAGTTCCAATATCTTTATGA

J1 (Primer: LCO)(641 bp)

TAAACTTCAGGGTGACCAAAAAATCAAAATAAATGTTGATATAAA

ACAGGGTCACCACCTCCTGCTGGGTCAAAGAA

TGATGTATTTAAATTACGATCTGTTAACAGTATAGTAATAGCTCCT

GCTAGGACTGGTAAAGATAGTAATAGAAGTAGGG

CTGTAATAAACACTGCTCAAACAAAAAGTGGTATTCGGTCTATAGT

TATTCCTGTCGATCGTATATTGATAACGGTCGTT

ATAAAGTTTACAGCACCTAAGATTGATGAAACCCCTGCTAAGTGCA

ATGAAAAAATACCTAGGTCAACTGAAGCACCTGC

ATGAGCAATTCTGGCTGACAAAGGAGGATATACTGTTCATCCAGTT

CCAACTCCTCTTTCAACTATACCTCTAGACAAAA

GTAAAGTCAATGAAGGTGGTAAAAGTCAGAAACTTATATTATTTAT

TCGGGGAAATGCTATATCTGGGGCGCCTAATATT

19

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

AAAGGGACAAGTCAATTTCCAAAACCTCCAATCATAATAGGTATA

ACTATAAAAAAAATTATAACGAAAGCGTGAGCTGT

AACCACTACATTGTAAATTTGATCATCTCCAATAAGGCTTCCTGGTT

GACCTAATTCAGCACGAATAATAAGACTAAGAG

CTGT

F

M1 (Primer: HCO) (617 bp)

GATGTATTTAGGTTTCGATCAGTTAAGAGCATGGTAATGGCTCCGG

CTAAAACTGGTAGTGAGAGAAGAAGCAGGATGGCTGTTAGAAATA

CGGCCCATACGAATAGGGGCAGTCGATCTATAGTTATTCCTGGGGC

TCGTATGTTAATCACTGTGGTAATAAAGTTGACAGCTCCTAGGATT

GAAGAGACTCCTGCTAGGTGGAGGGAAAAGATACCTAGATCTACC

GATGCTCCGGCGTGGGCGGTACCAGCTGCTAGTGGTGGGTAAACA

GTTCATCCTGTGCCAACCCCTCTTTCTACTATTCCTCTGGATAGAAG

AAGTGTTAGAGATGGGGGTAGGAGTCAGAATCTTATGTTGTTTATG

CGTGGGAATGCTATGTCTGGGGCCCCTAATATTAGGGGTACTAGTC

AATTACCGAAACCACCAATTATGATCGGTATAACTATGAAAAAAAT

TATTACGAATGCGTGGGCAGTGACAATTACGTTGTAGATTTGGTCA

TTTCCGATCAGTCTGCCTGGCTGCCCTAATTCTGCTCGAATTAAGAG

TCTTAGTGACGTACCTACCATGCCTGCTCACGCTCCGAAGATAAAA

TATAGTGTTCCAATATCTTTM1 (primer: LCO) (496 bp)

GAATTAGGGCAGCCAGGCAGACTGATCGGAAATGACCAAATCTAC

AACGTAATTGTCACTGCCCACGCATTCGTAATAATTTTTTTCATAGT

TATACCGATCATAATTGGTGGTTTCGGTAATTGACTAGTACCCCTA

ATATTAGGGGCCCCAGACATAGCATTCCCACGCATAAACAACATA

AGATTCTGACTCCTACCCCCATCTCTAACACTTCTTCTATCCAGAGG

AATAGTAGAAAGAGGGGTTGGCACAGGATGAACTGTTTACCCACC

ACTAGCAGCTGGTACCGCCCACGCCGGAGCATCGGTAGATCTAGGT

ATCTTTTCCCTCCACCTAGCAGGAGTCTCTTCAATCCTAGGAGCTGT

CAACTTTATTACCACAGTGATTAACATACGAGCCCCAGGAATAACT

ATAGATCGACTGCCCCTATTCGTATGGGCCGTATTTCTAACAGCCA

TCCTGCTTCTTCTCTCACTACCAGTTTTAGCCGGAG

Hasil sekuensing ini menghasilkan urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA.

Terhadap urutan nukleotida gen COI dan 16SrDNA diBlast secara online melalui :

http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Hasil blast menunjukkan kesamaan urutan

nukleotida gen COI dan 16S rDNA isolat yang diperoleh dengan urutan nukleotida

gen 16S rDNA yang ada pada GenBank. Hasil blast ditunjukkan pada tabel 1.

Selanjutnya untuk melihat hubungan kekerabatan tiap-tiap isolat yang mempunyai

kesamaan gen COI dan 16S rDNA, maka dilakukan pensejajaran secara on line

melalui http://expasy.org/tools/

20

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Hasil Blast Gen Cytochrome Oxidase 1 dan 16SrDNA

No Isolat Deskripsi spesies Max identity % Coverage

1 Udang vaname

Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion

99,64% 100

2 Udang windu Macrobrachium rosenbergii mitochondrion

98,91% 100

3 Udang windu Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA gene

98,87%

100

4 Udang windu voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene

100 % 100

5 Udang windu Penaeus monodon cytochrome oxidase subunit I gene

99 % 100

6 Udang windu

Macrobrachium rosenbergii haplotype Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene

99,84 % 100

7 Udang windu

Macrobrachium rosenbergii haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene

100 % 100

KESIMPULAN

Dari hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa analisis sequensing mampu

mengidentifikasi isolat dari beberapa komoditas udang secara genetik dari sekuens

gen 16S-rDNA dan Cytochrome Oxidase I dengan hasil yang lebih akurat dan waktu

lebih singkat. Selain itu dari isolat yang dianalisis menunjukkan urutan nukleotida

gen 16S rDNA dan Cytochrome Oxidase I mempunyai kesamaan 100% dengan

Fenneropenaeus merguiensis mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii

mitochondrion, Macrobrachium rosenbergii voucher SIF-MR 14 16S ribosomal RNA

gene, voucher CIFE-MUM-PM3 cytochrome oxidase subunit I COI) gene, Penaeus

monodon cytochrome oxidase subunit I gene, Macrobrachium rosenbergii haplotype

Hap36 cytochrome oxidase subunit I (CO1) gene Macrobrachium rosenbergii

haplotype 37 cytochrome oxidase subunit I (COI) gene.

21

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku

Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna

Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan

teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan

makalah ini

DAFTAR PUSTAKA

Suwanto A. 1994. Pulsed-field gel electrophoresis: A revolution in microbial genetic.

Aspac. J. Mol. Biotechnol. 2:78-85 Dieffenbach dan Dveksler 1995). Rychlic W. 1995. Selection of primer for polymerase chain reaction. Mol biotechnol

3:129-134. Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG.

1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl Environ. Microbiol 64:795-9.

Suwanto A. 2002. Complication of Practical Manual. Biotrop Training Course in Microbial Biodiversity.

Rybicki EP, Purves M. 1996. Enzyme-assisted immunoelectroblotting (IEB or western blotting). Di dalam: Coyne VE, James MD, Reid SJ, Rybicki EP (ed) Molecular Biology Techniques Manual. Ed ke-3. Cape Town: Departemen of Microbiology University of Cape Town.

Sambrook, J., E.F. Fritsch and T. Maniatis. 1989. Molecular cloning. A laboratory manual 2nd edition. Cold spring harbor lab press. USA

22

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

STATUS INFEKSI IHHNV PADA BENIH UDANG WINDU

MUSIM HUJAN DAN MUSIM KEMARAU

DI PEMBENIHAN BBPBAP JEPARA

Oleh : Rahayu Rahardianti dan Juni Setyowati

ABSTRAK Virus IHHNV dikenal sebagai virus penyebab penyakit kerdil udang windu Virus ini umumnya menginfeksi benih udang windu secara tunggal. Deteksi virus pada satu individu udang dapat dilakukan menggunakan metode PCR. Metode PCR sangat efisien karena dapat mendeteksi secara dini dan cepat. Kegiatan ini bertujuan untuk mendeteksi tingkat infeksi virus IHHNV selama musim hujan dan kemarau pada pembenihan udang windu di BBPBAP Jepara. Ekstraksi DNA menggunakan Lysis Buffer. DNA virus diamplifikasi menggunakan 1 pasang primer spesifik yang ditandai oleh jumlah pita yang muncul. Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa tingkat infeksi positif IHHNV benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi (43,33%) dibandingkan pada musin kemarau (16,00%). Kata Kunci : IHHNV, Musim hujan, musim kemarau, infeksi, benih udang windu

PENDAHULUAN

Penyakit kerdil (IHHNV) pada udang windu sebenarnya telah banyak

menyebabkan kerugian petani tambak karena ukuran udang yang tidak bisa mencapai

ukuran standar sesuai umur udang tersebut, namun laporan tentang kerugian ekonomi

yang dialami usaha budidaya di belum pernah dilaporkan. Sriwulan (2012)

melaporkan adanya fenomena udang windu kerdil di tambak di Sulawesi Selatan

yaitu udang windu berukuran sekitar 4.12– 16.86 g setelah 4 bulan pemeliharaan.

Kasus Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis vrius (IHHNV)

pada udang windu telah dilaporkan di beberapa negara. Multiplikasi virus IHHNV

pada L. vannamei yang dipelihara pada air hangat (32.8 oC dan 31.1 oC)

memperlihatkan tingkat replikasi yang lebih rendah dibanding dengan yang

dipelihara pada suhu dingin (24.4 - 26.3 oC) (Montgomery-Brock et al., 2007). Hal

ini memperlihatkan bahwa dinamika perkembangan virus sangat dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan. Oleh sebab itu, kegiatan ini akan melihat perbedaan musim yang

mempengaruhi parameter kualitas air media budidaya terhadap keberadaan virus-

virus penyebab udang kerdil. Di Indonesia penelitian tentang penyakit udang kerdil

belum banyak dipublikasi baik pada pembenihan maupun pada tambak di dua musim

yang berbeda yaitu musim hujan dan kemarau khususnya mengenai model/tipe

infeksi virus penyakit kerdil terhadap udang windu.

23

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tujuan dari kegiatan ini untuk mengetahui tingkat infeksi IHHNV pada

musim hujan dan musim kemarau pada benih udang windu di Pembenihan BBPBAP

Jepara.

BAHAN DAN METODE

Sampel

Sampel berupa benih udang windu berukuran pasca larva PL 8-12 sebanyak

30 sampel dari pembenihan di BBPBAP Jepara.

Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah mikrotube, mikropipet,

vortex mixer, sentrifus, thermal cycler, elektroforesis, uv transilluminator, digibox,

waterbath, inkubator, dan laminar flow. Sedangkan bahan yang digunakan dalam

kegiatan ini adalah primer 389F (5’-CGGAACACAACCCGACTTTA-3’) dan 389R

(5’-GGCCAAGACCAAAATACGAA- 3’), lysis buffer, ethanol absolut, double

distilled water (DDW)/akuabides, Master Mix, agarose LE, ethidium bromide,

loading buffer, buffer TBE, 100 bp DNA ladder.

Tata Kerja

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA menggunakan metode lysis buffer. Untuk mendapatkan

ekstrak DNA virus dari benih, organ yang dipakai adalah seluruh tubuh udang.

Prosedur ekstraksi DNA sebagai berikut :

a. Menghancurkan jaringan sampel (insang, otot, karapas) sampai rata atau

menghomogenkannya dengan gunting dan pinset.

b. Memasukkan jaringan 0,2 gram ke dalam microtube kemudian menumbuk

dengan pellet pestel.

c. Menambahkan 500 μL lysis buffer kemudian menghomogenkannya dengan

pellet pestel.

d. Diinkubasi pada suhu 95 0C selama 10 menit.

e. Mendinginkan sampel pada suhu ruang ± 5 menit.

f. Kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 g selama 10 menit.

g. Memindahkan 200 µL supernatan ke dalam microtube baru kemudian

menambahkan 400 µL etanol absolute.

h. Disentrifugasi pada kecepatan 12.000 g selama 5 menit.

i. Supernatan dibuang dan dikeringkan selama 10 menit.

24

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Amplifikasi PCR

a. Reaksi PCR untuk deteksi IHHNV

1) Komposisi larutan PCR untuk deteksi IHHNV (25μL/reaksi) dibuat dengan

mencampurkan bahan-bahan sebagai berikut :

DDW 10,5 µL

MM 12,5 µL

Primer 389F 0,5 µL

Primer 389R 0,5 µL

Sampel DNA 1 µL

Total volume 25 µL

2) Banyaknya bahan yang dipersiapkan adalah 1,1 x jumlah sampel

3) Setelah semua bahan dicampur, kecuali sampel DNA bagikan ke

dalam mikrotube 0,2 mL dengan volume masing-masing 24 L

4) Tambahkan sampel DNA, termasuk kontrol negatif dan kontrol

positif

5) Pengaturan suhu pada thermal cycler sebagai berikut :

Thermal cycler diatur dengan hot start 95 °C selama 5 menit, suhu

denaturasi 95 °C selama 30 detik, suhu annealing 55 °C selama 30

detik, suhu extention 72 °C selama 1 menit. Proses PCR dilakukan

sebanyak 35 siklus. Kemudian dilanjutkan dengan extra extention 72

°C selama 7 menit. Setelah proses selesai sampel disimpan pada suhu

4 °C.

Infeksi IHHNV

Prevalensi tipe infeksi adalah persentase jumlah benih udang windu yang

terinfeksi setiap tipe infeksi dalam setiap populasi udang pada musim kemarau dan

hujan. Prevalensi virus. Pengukuran prevalensi WSSV menggunakan rumus menurut

Fernando et .al (1972) diacu dalam Pratama (2011), adalah sebagai berikut :

Tingkat infeksi= Jumlah sampel udang terinfeksi x 100%

Jumlah sampel udang yang diamati

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel benih udang windu di pembenihan

BBPBAP Jepara pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2016 diperoleh hasil

seperti pada Gambar 1 dan Tabel 1.

25

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

1 2 3 4 5 6 7 8 M

Gambar 1. Hasil PCR benih udang windu, M adalah marker 100bp, lane 1 kontrol

positif (389 bp), lane 2 kontrol negatif, lane 3,4,5,6,7,8 positif IHHNV

Tabel 1. Hasil Analisa PCR virus IHHNV

No Tanggal Kode

Sampel Jenis Sampel

Hasil Analisa

Keterangan

1 4 Januari 2016 A.16.03 Benih udang windu (+) IHHNV

Hujan

2 19 Januari 2016

A.16.05 A.16.06 A.16.07

Benih udang windu (+) IHHNV (-) IHHNV (+) IHHNV

Hujan

3 09 Februari 2016

A.16.34 A.16.35 A.16.36 A.16.37 A.16.38

Benih udang windu

(+) IHHNV (+) IHHNV (+) IHHNV (-) IHHNV (-) IHHNV

Hujan

4 15 Februari 2016

A.16.49 A.16.50

Benih udang windu (+) IHHNV (-) IHHNV

Hujan

5 01 Maret 2016 A.16.70 Benih udang windu (+) IHHNV Hujan 6 01 Maret 2016 A.16.71 Benih udang windu (+) IHHNV Hujan 7 02 Maret 2016 A.16.75

A.16.76 Benih udang windu

(+) IHHNV (+) IHHNV

Hujan

8 23 Maret 2016 A.16.99 A.16.100

Benih udang windu (+) IHHNV (+) IHHNV

Hujan

9 25 April 2016 A.16.114 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau 10 27 April 2016 A.16.121 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau 11 03 Mei 2016 A.16.123 Benih udang windu (-) IHHNV Kemarau 12 11 Mei 2016 A.16.136

A.16.137 A.16.138

Benih udang windu (-) IHHNV (-) IHHNV (-) IHHNV

Kemarau

13 06 Juni 2016 A.16.162 A.16.163 A.16.164

Benih udang windu (-) IHHNV (-) IHHNV (-) IHHNV

Kemarau

14 14 Juni 2016 A.16.166 A.16.167

Benih udang windu (-) IHHNV (-) IHHNV

Kemarau

Dari sampel yang dianalisa dapat dilihat tingkat infeksi IHHNV sebagaimana

pada Tabel 2.

389 bp

26

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Tingkat infeksi IHHNV pada musim hujan dan musim kemarau

No Uraian Tingkat Infeksi IHHNV

Musim Hujan Musim Kemarau 1 Positif IHHNV 13 (43,33 %) 5 (16,00 %) 2 Negatif IHHNV 6 (20,00 %) 11 (36,67 %)

Jumlah Hasil kegiatan menunjukkan bahwa tingkat infeksi IHHNV pada musim

hujan lebih tinggi dari pada tingkat infeksi pada musim Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh perubahan kualitas media seperti suhu, salinitas dan pH yang pada

musim hujan relatif tidak stabil (fluktuatif) sehingga menyebabkan larva mudah

terinfeksi virus.

KESIMPULAN

Hasil kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa tingkat infeksi positif IHHNV

benih udang windu pada musim hujan lebih tinggi (43,33%) dibandingkan pada

musin kemarau (16,00%).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku

Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna

Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium MKHA; dan

teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan

makalah ini

DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2011. Manual of diagnostic test for aquatic animal. Office International

Des Epizooties. Fourth edition. France. p.78-95 Flegel, T. W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for

aquaculture. Science Asia, 32: 215 – 221. Lightner, D.V., Redman, R.M. and Bell, T.A. 1983. Infectious hypodermal and

hematopoietic necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr. Pathol. 42, 62– 80.

Poulpanich, N., and Withyachumnarnkul, B. 2009. Fine structure of a septate gregarine trophozoite in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat Org, 86: 57–63

Sriwulan, Tahir, A., Rantetondok, A., dan Baharuddin. 2012. Pengembangan Multipleks PCR (MPCR) untuk mendeteksi virus penyakit kerdil udang windu di tambak pada musim berbeda. e-jurnal Pascasarjana UNHAS. 14 hal.

Sriwulan dan Anshary, H. 2011. Deteksi virus penyebab penyakit kerdil pada benih udang windu (Penaeus monodon) dengan multipleks PCR. J. Fish. Sci. XIII (1): 1-7.

27

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TINGKAT INFEKSI WSSV, IMNV DAN EHP

PADA SAMPEL UDANG ASAL BANYUWANGI

Oleh : Evy Maftuti Nur dan Rahayu Rahardianti

ABSTRAK Udang masih menjadi komoditas usaha perikanan budidaya yang sangat menarik bagi pengusaha bidang akuakultur. Kelemahan dalam budidaya udang adalah adanya serangan penyakit yang mengakibatkan turunnya produksi yang sangat drastis. Kejadian WSSV (White spot syndrome virus) maupun IMNV (Infectious myonecrosis virus) hampir setiap musim tanam terjadi di area pertambakan udang, baik intensif maupun tradisional. Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon hepatopenaeai) pertama kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei intensif di beberapa wilayah budidaya, antara lain Banyuwangi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui tingkat infeksi WSSV, IMNV dan EHP pada sampel udang asal Banyuwangi. Metode yang digunakan untuk analisis sampel adalah Real-time qPCR. Sampel pertama diekstraksi DNA/RNAnya menggunakan metode silika extraction kit. Kontrol standar, komposisi master mix dan protokol amplifikasi mengacu pada Applied Biosystem. Hasil yang didapatkan dari kegiatan ini bahwa tingkat infeksi IMNV dan WSSV mengalami penurunan pada bulan Desember sedangkan tingkat infeksi EHP mengalami pkenaikan pada bulan Desember. Kata Kunci : Tingkat infeksi, IMNV, WSSV, EHP

PENDAHULUAN

Budidaya udang masih menjadi kegiatan bisnis perikanan yang sangat

menarik bagi pengusaha bidang akuakultur. Keunggulan komoditas udang

dibandingkan dengan komoditas perikanan lainnya adalah memiliki harga yang stabil

bahkan cenderung terus naik, pasar terbuka secara internasional karena konsumen

dari segala lapisan bangsa di dunia. Kelemahan dalam budidaya udang adalah adanya

serangan penyakit yang mengakibatkan turunnya produksi yang sangat drastis.

Penyakit terkait dengan kematian masal pada budidaya udang hingga saat ini

masih didominasi oleh WSSV (White spot syndrome virus) dan IMNV (Infectious

myonecrosis virus), yang mengakibatkan kerugian hingga lebih dari tiga trilyun

rupiah. Kejadian WSSV maupun IMNV hampir setiap musim tanam terjadi di area

pertambakan udang, baik intensif maupun tradisional, sehingga mengakibatkan

trauma bagi sebagian pembudidaya untuk membudidayakan udang, dan memilih

berbudidaya ikan baik bandeng atau nila, dan rumput laut yang tidak memiliki risiko.

White spot syndrome virus atau virus penyebab penyakit bercak putih

merupakan virus paling ganas dibandingkan dengan virus lain yang menyerang

udang windu yang bisa mengakibatkan kematian mencapai 100 % dalam waktu yang

sangat singkat. Penyakit bercak putih pertama kali diidentifikasi pada tahun 1993 di

28

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Jepang (Chou et al., 1995 dalam Flegel,2006). Wabah WSSV ini pada tahun 1996

diketahui sudah menyebar di beberapa negara kawasan Asia Tenggara (Flegel,

2006). Serangan WSSV sangat merugikan pembudidaya di kawasan yang terserang,

dengan kerugian mencapai milyaran rupiah.

Kasus penyakit berak putih (EHP : Enterocytozoon hepatopenaeai) pertama

kali dilaporkan oleh para pembudidaya udang vannamei intensif di beberapa wilayah

budidaya, antara lain Banyuwangi (Pitoyo, Kom. Pri, 2014). Seiring perkembangan

waktu, penyakit berak putih telah secara sporadis menyerang udang di tambak di

wilayah Purworejo, dan Rembang. Pada saat ini penyakit berak putih telah menyebar

hampir di seluruh area pertambakan di pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali,

Lombok dan Sumbawa. Hal ini menunjukkan bahwa baik faktor lingkungan, kondisi

tanah dan iklim sangat bervariasi terhadap terjadinya penyakit berak putih. Tujuan

dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui prevalensi IMNV, WSSV dan EHP pada

sampel udang asal Banyuwangi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi : bahan ekstraksi

DNA/RNA menggunakan metode silica extraction kit dari IQ Real, bahan

amplifikasi PCR menggunakan reagen Real-time PCR dari Applied Biosystem kit.

Alat yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi : ruang asam, thermoblok,

mikropipet, sentrifuse dan mesin Real-time PCR beserta kelengkapannya.

Tata Kerja

1. Ekstraksi DNA/RNA menggunakan metode silica extraction kit dari IQ Real

Taiwan

2. Menyiapkan kontrol standar DNA/RNA yang mengacu protokol dari Applied

Biosystem dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Larutan standar untuk mendukung kuantifikasi Real-time PCR

Standar Konsentrasi

yang diinginkan

Jumlah yang

diambil

Jumlah Rt-PCR grade water yang

ditambahkan Total

Konsentrasi Akhir

Standar 1

12.500 copies/µL (1)

3 µL (dari stok)

27 µL 30 µL 100.000

copies/µL Standar

2 1.250

copies/µL (2) 3 µL (dari

1) 27 µL 30 µL

10.000 copies/µL

Standar 3

125 copies/µL (3)

3 µL (dari 2)

27 µL 30 µL 1.000

copies/µL Standar

4 12,5 copies/µL

(4) 3 µL (dari

3) 27 µL 30 µL

100 copies/µL

Standar 5

1,25 copies/µL (5)

3 µL (dari 4)

27 µL 30 µL 10

copies/µL

29

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

3. Membuat Master Mix qPCR untuk deteksi virus dan protocol amplifikasi

PCR yang mengacu pada kit dari Applied Biosystem dapat dilihat pada

Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Komposisi Master Mix qPCR untuk deteksi virus IMNV, WSSV dan EHP

WSSV/EHP IMNV No Komponen Volume No Komponen Volume 1 RT-PCR Grade

Water 3,5 μL 1 RT-PCR Grade Water 1

μL 2 2x qPCR Master

Mix 12,5 μL 2 2x Multiplex RT-PCR

Buffer 12,5 μL

3 25x Primer Probe Mix

1 μL 3 10x Multiplex RT-PCR Enzym Mix

2,5 μL

Total volume 17 μL 4 25x IMNV Probe Mix 1 μL

Total volume 17 μL

- Vortex tube master mixtube diatas selama 5 detik lalu spin selama 5 detik

- Pipet 17 μL master mix ke dalam tiap well

- Tambahkan 8 μL sampel DNA/RNA untuk sampel target

- Tambahkan 8 μL untuk setiap konsentrasi standar (minimal duplo)

- Tambahkan 8 μL nuclease free water untuk non template control (NTC)

- Sehingga total volume 25 μL

Tabel 3. Protokol amplifikasi PCR untuk deteksi IMNV, WSSV dan EHP

WSSV/EHP IMNV 95oC selama 10 menit

Amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 40 siklus

48oC selama 19 menit

Reverse transcriptase

95oC selama 15 detik

95oC selama 10 menit

Amplifikasi PCR dilakukan sebanyak 40 siklus

95oC selama 15 detik

60oC selama 45 detik

60oC selama 45 detik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP pada udang sampel dari tambak

Banyuwangi dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil analisis IMNV, WSSV dan EHP sampel asal Banyuwangi.

No Bulan Jumlah Sampel

% Positif IMNV WSSV EHP

1 Juni 96 23 (23,9%) 7 (7,3%) 32 (33,3%) 2 Desember 111 8 (7,2%) 0% 44 (39,6%)

Total Sampel 207

30

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pembahasan

Sampel udang yang berasal dari Banyuwangi berjumlah 207 sampel dan

dianalisis menggunakan metode Real Time PCR (qPCR). Sebanyak 96 sampel yang

diambil dan dianalisis pada bulan Juni menunjukkan hasil positif IMNV sebanyak

23 sampel atau sebesar 23,94%, terdeteksi positif WSSV sebanyak 7 sampel atau

sebesar 7,29% dan terdeteksi positif EHP sebanyak 32 sampel atau sebesar 33,3%.

Sampel pada bulan Desember yang dianalisis sebanyak 111 sampel, terdeteksi positif

IMNV sebanyak 8 sampel atau sebesar 7,2%, terdeteksi positif EHP sebanyak 44

sampel atau sebesar 39,64%, sedangkan untuk WSSV tidak terdeteksi positif atau

0%.

Berdasarkan data diatas dapat dinyatakan bahwa kasus infeksi IMNV pada

bulan Desember mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 16,74%

dibandingkan kasus bulan Juni. Kasus infeksi WSSV pada bulan Desember juga

mengalami penurunan menjadi 0%. Berbeda dengan kasus IMNV dan WSSV, EHP

pada bulan Desember justru mengalami kenaikan sebesar 6 %. Meningkatnya kasus

EHP ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya kasus WFS yang meningkat

terutama di musim hujan, dan juga perlu dikaji lebih lanjut hubungan antara wabah

WFS dengan infeksi EHP pada udang.

KESIMPULAN

Hasil dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi EHP pada bulan

Desember mengalami peningkatan dibandingkan bulan Juni, sedangkan prevalensi

IMNV dan WSSV mengalami penurunan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Ibu drh. Ch. Retna

Handayani, M.Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan dan Penyelia laboratorium

Biologi Molekuler beserta teman-teman laboratorium MKHA atas kerjasamanya.

31

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

BBPBL. 2009. Laporan Hasil Active Surveillance Penyakit Virus : TSV, WSSV, PvNv Dan IMNV Pada Budidaya Udang Vanamei Di Kabupaten Pesawaran Dan Kabupaten Lampung Selatan. Laporan Balai Besar Pengembagan Budidaya Laut Lampung.

Desiliyarni, T. 2013. Training manual Applied Biosystem 7500 Fast Real-Time PCR. 24 hal

Flegel, T.W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for aquaculture. Sci. Asia 32, 215–231.

Lightner. 2005. Review of white spot disease of shrimp and other decapod crustaceans.

Nunes AJP, Martins PCC, Gesteira TCV (2004) Produtores sofrem com as mortalidades decorrentes do virus da mionecrose infeccisa (IMNV). Panorama da AQUICULTURA, Maio/Junho, p 37–51

32

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

MONITORING TOTAL BAKTERI Vibrio sp. DAN VIRUS DI

SALURAN TAMBAK BBPBAP JEPARA TAHUN 2016

Oleh: Budi Santosa dan Zariah

ABSTRAK Berdasarkan pada pengalaman terjadinya serangan WSSV pada kegiatan budidaya pada hampir semua blok tambak BBPBAP pada tahun 2014, oleh karena itu semua sumber air masuk dan keluar dari kegiatan budidaya dilakukan pengecekan WSSV dan menunjukkan bahwa perairan baik pada saluran I, II dan tandon utama terdeteksi adanya WSSV. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai fluktuasi kelimpahan total Vibrio sp serta dominasinya diperairan dan keberadaan WSSV karena berkaitan dengan sumber air yang digunakan dalam aktivitas budidaya udang dilingkungan BBPBAP Jepara selama tahun 2016. Monitoring kelimpahan total bakteri, total vibrio, dominasi vibrio serta deteksi WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara pada tiga titik yaitu Saluran I, saluran II dan tandon utama selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri berkisar antara 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/ml, sedangkan kelimpahan total Vibrio sp. berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/ml dengan tingkat dominasi Vibrio sp. sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya virus bintik putih (WSSV) hanya pada tandon utama yang terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016. Kata Kunci: Total bakteri, dominasi vibrio, WSSV dan vibrio sp.

PENDAHULUAN

Perkembangan budidaya udang vaname terus meningkat baik jumlah, luas

kawasan tambak maupun penerapan teknologi budidaya untuk meningkatkan

produktivitas. Penerapan teknologi yang kurang tepat seperti penambahan padat

tebar yang tidak didukung dengan sarana penunjang yang memadai untuk

menciptakan lingkungan budidaya akan mempunyai resiko kegagalan yang tinggi

(Supito,et al.2015). Salah satu permasalahan yang sering terjadi pada sebagian

kawasan budidaya udang vaname adalah serangan penyakit kotoran putih (berak

putih) yang diduga berkaitan dengan kelimpahan bakteri Vibrio Sp. (Limsuwan,

2010). Selain itu, dari beberapa jenis virus yang menyerang udang, white spot

syndrome virus (WSSV) atau virus bintik putih diketahui sebagai agen utama yang

paling sering menimbulkan serangan penyakit yang mematikan pada hampir seluruh

lokasi budidaya udang di Amerika Utara, Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk

di Indonesia (Tahir, 2014).

33

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Penyebaran/penularan penyakit ini terutama melalui saluran makanan dan aliran

air tambak dan sekitarnya (penyebaran secara horisontal) dan penyebaran secara

vertikal yaitu penyakit yang berasal dari induk udang. Bahkan di beberapa wilayah

Asia WSSV ini dijumpai juga menyerang udang yang hidup di perairan bebas/alami

khususnya di perairan pantai yang berdekatan dengan lokasi tambak, walaupun

kematian massal udang di perairan tersebut yang disebabkan oleh virus ini belum

teramati. Oleh karena itu, diperlukan monitoring kelimpahan bakteri Vibrio Sp. serta

dominasinya yang diduga berasosiasi dengan penyakit berak putih serta keberadaan

WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara yang baik secara langsung maupun

tidak langsung berhubungan dengan air sumber/baku selama kegiatan budidaya

udang di tambak.

Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai fluktuasi

kelimpahan total Vibrio Sp. serta dominasinya diperairan dan keberadaan WSSV

karena berkaitan dengan sumber air yang digunakan dalam aktivitas budidaya udang

dilingkungan BBPBAP Jepara.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan alat yang digunakan dalam kegiatan ini adalah media Nutrient

Agar, TCBSA, NaCl, KCl, MgSO4, Alkohol 96%, Alkohol 70%, Aquades.

Sedangkan alat yang digunakan adalah tabung reaksi, ember, kertas label, pensil,

plastik, cawan petri, mikro pipet, spatula, vortek, incubator, autoclave dan magnetik

stirrer.

Tata Kerja

1. Posisi pengambilan sampel air dilakukan pada 3 titik yaitu saluran I, saluran

II dan Tandon utama .

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel air

34

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

2. Pengambilan sampel air setiap seminggu sekali untuk analisa total bakteri

dan total vibrio setiap 1 minggu sekali, serta analisa PCR WSSV yang

dilakukan setiap 2 minggu sekali selama satu tahun. Sampel air diambil pada

jam 07.30-08.30.

3. Sampling air pada lingkungan terbuka adalah sebagai berikut: air diambil

menggunakan ember volume 2 liter pada masing-masing titik pengambilan

sampel yaitu saluran I, saluran II dan tandon utama, ember dicelupkan pada

permukaan air kemudian diangkat. Botol sampel steril yang telah diberi

label/kode lokasi dipegang bagian bawah dan dicelupkan ke dalam ember

yang berisi air sampel tersebut. Botol dibuka didalam air secara perlahan,

sampai air masuk tanpa ada gelembung udara dengan volume air ± 8 ml.

Kemudian botol ditutup didalam air, diangkat dan siap dibawa ke

laboratorium untuk dianalisa lebih lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan, dominansi vibrio pada 3 titik yaitu saluran I,saluran II dan

tandon utama serta keberadaan WSSV pada perairan tersebut dapat dilihat pada

gambar dibawah ini.

a. KelimpahanTotal Bakteri selama kurun bulan Januari-Desember Tahun

2016

Berdasarkan data kemelimpahan total bakteri pada 3 titik pengambilan sampel

yaitu saluran I, II dan tandon utama selama 1 tahun menunjukkan nilai kepadatan

total bakteri tertinggi pada bulan April dan Desember dengan kisaran tertinggi pada

kepadatan 4,27 x 105 CFU/mL.

35

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

b. KelimpahanTotal Vibrio Sp. selama kurun bulan Januari-Desember

Tahun 2016

Sedangkan untuk kelimpahan total Vibrio Sp. selama tahun 2016 pada

saluran I,II dan tandon utama menunjukkan nilai tertinggi pada Maret, Agustus dan

Desember dengan nilai kepadatan tertinggi 7,72 x 103 CFU/mL. Menurut Prastowo

(2007) menyebutkan bahwa batas ambang kelimpahan total bakteri Vibrio pada

tambak budidaya tidak boleh melebihi 104 CFU/mL sehingga berdasarkan

pemaparan data diatas dapat disimpulkan bahwa kepadatan total bakteri vibrio pada

sumber air untuk kegiatan budidaya kurang dari 104 CFU/mL.

c. Dominasi Bakteri Vibrio selama kurun waktu Januari-Desember 2016

Lokasi Dominasi Bakteri Vibrio Sp. (%)

Jan. Feb. Mar. Apr Mei Jun Jul Ags Sep

. Okt. Nov. Des.

Saluran I

4,75 10,9

2 2,83 2,82

10,82

4,34 5,4 7,85 34,0

5 7,7 1,56

14,38

Saluran II

4,28 2,55 0,88 2,27 17,7

7 3,51 3,66 6,78

34,33

4,42 5,41 8,4

Tandon Utama

7,27 9,33 2,24 7,48 8,04 9,57 36,2

9 3,19

11,94

16,14

4,48 12,0

1

36

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dominasi bakteri vibrio terhadap total bakteri pada ketiga titik pengambilan

sampel menunjukkan dominasi tertinggi pada bulan Juli dan September dengan nilai

dominasi 36,29%. Pada tambak budidaya, dominasi Vibrio yang tinggi (> 20-50%)

tidak menyebabkan terjadinya serangan penyakit bintik putih (WSSV) apabila terjadi

kestabilan pada kelimpahan vibrio sebesar 102-103 CFU/mL dengan fluktuasi sebesar

101 CFU/mL (Prastowo, 2008).

d. Keberadaan WSSV dalam perairan selama kurun waktu Januari-

Desember 2016

Lokasi

Bulan Jan. Febr. Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep. Okt. Nov. Des.

Saluran I - - - - - - - - - - - - Saluran II - - - - - - - - - - - - Tandon utama - - - + - + - - + - - -

Keterangan: - = Negatif (tidak terdeteksi WSSV)

+ = Positif (terdeteksi WSSV)

Mengingat pernah terjadinya serangan WSSV pada kegiatan budidaya pada

hampir semua blok tambak budidaya BBPBAP pada tahun 2014, yang mana semua

sumber masuk dan keluar air kegiatan budidaya dilakukan pengecekan WSSV dan

menunjukkan bahwa perairan baik pada saluran I,II dan tandon utama terdeteksi

adanya WSSV. Maka mendorong kami untuk melakukan monitoring pada sumber air

yang digunakan untuk aktivitas budidaya, dan berdasarkan data Tabel 2. diatas

menunjukkan bahwa pada tandon utama terdeteksi adanya WSSV pada bulan April,

Juni dan September 2016.

37

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN

Monitoring kelimpahan total bakteri dan total Vibrio, kelimpahan total Vibrio

serta deteksi WSSV pada perairan sekitar BBPBAP Jepara yang mana merupakan

aspek penting dalam kegiatan budidaya mengingat ketiga titik yaitu Saluran I,

saluran II dan tandon utama berkaitan langsung dengan sumber air utama kegiatan

budidaya maka data selama 1 tahun menunjukkan bahwa kelimpahan total bakteri

berkisar 3,0 x 103 CFU/ml – 4,27 x 105 CFU/mL, sedangkan kelimpahan total Vibrio

berkisar 0,3 x 102 CFU/ml - 7,72 x 103 CFU/mL dengan tingkat dominasi Vibrio

sebesar 0,88 % - 36,29% serta deteksi adanya WSSV hanya pada tandon utama yang

terjadi pada bulan April, Juni dan September 2016.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan Kepada Bapak Sugeng Raharjo selaku

Kepala BBPBAP Jepara, dan teman Lab MKHA yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Limsuwan,C.2010. White feces disease in Thailand. Boletin Kasertsart University.

Thailand. www.nicovita.com.pe . diunduh 12 maret 2017. Supito, Arif G., Ita R. 2015. Teknik pencegahan penyakit kotoran putih (White Feces

Syndrome) pada budidaya udang vaname. Makalah disampaikan pada pertemuan Asian Pasific Aquaculture Surabaya tanggal 26-29 April 2016.

Tahir,A. 2014. Strategi pengelolaan untuk pengendalian penyakit dalam budidaya udang windu. FPIK Universitas Hasanuddin Makassar.

Trobos. 2016. Budidaya Udang Tenang dengan Biosekuriti. Diakses tanggal 5 Maret 2017

Prastowo, B.W., S.M. Astuti dan A. Taslihan. 2007. Fluktuasi dan kemelimpahan bakteri vibrio di tambak sebagai indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di tambak udang Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Ulasan Ilmiah disampaikan pada Pertemuan Hasil Pemantauan Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Jakarta, 11 – 14 Nopember 2007.

------------------., S.M. Astuti dan A. Taslihan. 2008. Dominansi bakteri vibrio di tambak sebagai indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di tambak udang Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Makalah disampaikan Indonesian Aquaculture 2008 Symposium. Yogyakarta, 17-20 Nopember 2008.

38

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENYIAPAN SERBUK DAUN JAMBU BIJI

(Psidium guajava L.) UNTUK PENGKAYAAN PAKAN UDANG

Oleh : Juni Setyowati dan Mursid

ABSTRAK Penanggulangan terhadap serangan penyakit dapat dilakukan melalui tindakan pencegahan maupun pengobatan. Upaya pencegahan dapat dilakukan diantaranya dengan cara mengontrol kulitas air agar sesuai, pemberian pakan yang sesuai baik kualitas maupun kuantitasnya, sedangkan pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia atau antibiotik.Uji dilakukan dengan hewan uji tokolan udang vaname di akuarium (40 liter) dengan kepadatan 20 ekor/akuarium dengan 3 perlakuan, P1 (10 g/kg pakan), P2 (20 g/kg pakan), P3 (40 g/kg pakan) dan kontrol. Metode pengkayaan adalah dengan menyiapkan serbuk daun jambu biji dan pakan udang. Serbuk daun jambu ditimbang sesuai dengan dosis yang akan digunakan, selanjutnya setiap perlakuan diberikan perekat progol 2-3g/kg pakan dicampur air, kemudian di kering anginkan dan siap diberikan ke udang. Hasil aplikasi bahan melalui uji tantang pada udang dengan cara direndam di air yang sudah diinfeksi Virus WSSV (10.000 copy ) dosis 0,5 ml /liter selama 30 menit, tidak menunjukkan perbedaan baik sebelum maupun sesudah dilakukan uji tantang virus dengan metode real time PCR . Kata Kunci: serbuk daun jambu biji, herbal

PENDAHULUAN

Upaya penanggulangan terhadap serangan penyakit dapat dilakukan melalui

tindakan pencegahan maupun pengobatan. Upaya pencegahan dapat dilakukan

diantaranya dengan cara mengontrol kulitas air agar sesuai, pemberian pakan yang

sesuai baik kualitas maupun kuantitasnya, sedangkan pengobatan dapat dilakukan

dengan menggunakan bahan kimia atau antibiotik. Beberapa bahan kimia yang

digunakan bersifat presistensi, artinya bahan kimia tersebut tidak mudah terurai

secara alami, sehingga dikategorikan tidak ramah lingkungan. Penggunaan

antibiotik cukup efektif untuk pengobatan penyakit ini, namun akan meningkatkan

frekuensi isolat bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Dampak negatif lain dari

penggunaan antibiotik adalah terjadinya akumulasi antibiotik tersebut dalam

jaringan terutama tulang, sehingga dapat membahayakan manusia yang

mengkonsumsinya (Prapanza dan Marianto 2003).

Salah satu upaya untuk mengatasi dampak negatif dari penggunaan bahan

kimia dan antibiotik adalah menggunakan bahan obat alternatif yang lebih aman,

ramah lingkungan, mudah didapat dan diaplikasikan serta mudah terurai secara alami

39

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

di perairan. Bahan obat alternatife yang dapat digunakan untuk menanggulangi

penyakit adalah bagian daun dari tumbuhan jambu biji (Psidium guajava L.). Hasil

skrining fitokimia, daun jambu biji mengandung metabolit sekunder, terdiri dari

tanin, polifenolat, flavonoid, monoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon dan

saponin (Kurniawati, 2006). Komponen utama dari daun jambu biji adalah tanin

yang besarnya mencapai 9-12% (Depkes, 1989).

Tujuan dari kegiatan ini adalah melalukan preparasi bahan nabati untuk

mengendalikan penyakit pada budidaya udang.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam pembuatan serbuk daun jambu biji untuk

pengkayaan pakan udang yaitu: daun jambu biji, progol untuk perekat pakan udang.

Peralatan yang digunakan adalah: gunting, nampan plastik, blender, saringan,

sendok, beker glass, gelas ukur dan timbangan.

Tata Kerja

• Pembuatan Serbuk Daun Jambu Biji

Daun jambu biji segar 2 kg, dicuci dengan air tawar, kemudian digunting

kecil ukuran 0,5 cm, diletakkan pada nampan plastik untuk dikering anginkan dalam

ruangan ber AC selama tiga hari. Daun yang telah kering dihaluskan dengan

menggunakan blender, kemudian disaring dengan ukuran saringan 0,5 mm, dan

disimpan di dalam botol HDPE yang dilengkapi dengan penutup.

• Aplikasi pengkayaan pada pakan

Siapkan serbuk daun jambu biji sesuai dosis, 2-3 g bahan perekat, dilarutkan

dalam 200 mL air menggunakan beaker glass, diaduk sampai homogen. Cairan

tersebut selanjutnya dilapiskan secara merata setiap1 kg pakan udang. Pakan yang

telah diperkaya selanjutnya diletakkan pada nampan plastik untuk dikeringkan pada

suhu ruangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Proses pembuatan serbuk di lakukan dengan blender sampai halus selama 5-

10 menit. Proses pembuatan disajikan seperti Gambar 1.

40

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(a) (b) (c)

Gambar 1. Pembuatan serbuk daun biji. (a) potongan daun jambu biji kering, (b) pembuatan serbuk menggunakan blender, (c) serbuk daun jambu biji yang siap diaplikasikan.

Tahap akhir dari proses pembuatan serbuk bahan nabati adalah dengan

melakukan penyimpanan di tempat tertutup dan kedap udara serta suhu kamar antara

25- 30 oC. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang dengan

menggunakan bahan perekat didapatkan hasil seperti Gambar 2.

Gambar 2. Proses pengkayaan serbuk daun jambu biji pada pakan udang

KESIMPULAN

Dari kegiatan ini didapatkan teknik pembuatan serbuk daun jambu biji dan

pengkayaannya pada pakan udang vanamei untuk keperluan pengobatan .

SARAN

Perlu diuji bahan perekat dan teknik pembuatan serbuk agar didapatkan

serbuk yang lebih halus.

41

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Perikanan

Budidaya Air Payau Jepara serta seluruh staf Laboratorium Manajemen Kesehatan

Hewan Akuatik, Divisi Pembesaran Udang atas semua dukungan, sampel hewan uji

sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan.1989. Vademakum Bahan Obat Alami. Dirjen POM. Jassim SAA & Naji MA. 2003. Novel antiviral agents:a medicinal plant perspective.

J. Appl. Microbiol.95(3): 412–427. Prapanza, I dan L.A. Marianto. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit

Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Jakarta. 60 Hlm.

42

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT KEPITING DAN RAJUNGAN

Oleh: Mursid dan Purwanah

ABSTRAK Kitosan me miliki sifat polielektrolitik yang dapat digunakan dalam pengolahan limbah cair industri karena dapat menyerap logam berat dan menjernihkan limbah cair industry. Gugus amina dan hidroksil dalam senyawa kitosan yang dapat berfungsi sebagai koagulan untuk mengikat logam berat dari limbah industri menjadi bentuk flok-flok yang sangat mudah dipisahkan dari media asalnya. Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Senyawa kitin sebagai bahan baku pembuatan kiosan banyak diemukan dalam cangkang kepiting dan rajungan merupakan limbah. Dari 25 Kg tepung kulit kepiting dan rajungan yang diolah diperoleh sebanyak 5 Kg kitosan. Dengan kata lain produksi kitosan dari tepung kulit kepiting dan rajungan yang dilakukan memiliki nilai rendmen sebesar 20%. Kata Kunci : kitosan, kepiting, rajungan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kitosan adalah suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari monomer

N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN). Bentukan derivatif

deasetilasi dari polimer ini adalah kitin. Kitin adalah jenis polisakarida terbanyak ke

dua di bumi setelah selulosa dan dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata dan

beberapa fungi pada dinding selnya. Kitosan memiliki bentuk yang unik dan

memiliki manfaat yang banyak bagi pangan, agrikultur, dan medis.

Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi,

demineralisasi, dan deasetilasi. Proses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar

protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses

demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan

menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan chitin, sedangkan proses

deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil dari chitin melalui pemanasan

dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi (Yunizal, dkk., 2001). Proses

deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan

terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul chitin. Gugus amida pada chitin

akan berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk

gugus amina bebas –NH2. (Mekawati, 2000).Gugus ini chitosan dapat mengadsorpsi

ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat). Tahap dekolorisasi dapat

ditambahkan agar kitosan yang dihasilkan mempunyai warna yang lebih putih.

43

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Senyawa kitin sebagai bahan baku pembuatan kiosan banyak diemukan

dalam cangkang hewan invertebrata seperti udang, kepiting, rajungan, lobster, dan

hewan sejenis lainnya. Cangkang udang dan kepiting merupakan limbah dari industri

pengolahan produk perikanan tersebut, melalui pengolahan secara fisik dan kimiawi

limbah tersebut dapat ditransformasi menjadi senyawa kitosan yang bernilai guna. Di

pasaran, satu kilogram tepung kitosan memiliki harga kisaran Rp.400.000,-.

Sifat polielektrolitik yang dimiliki kitosan ternyata telah banyak digunakan

dibeberapa negara dalam pengolahan limbah cair industri karena dapat menyerap

logam berat dan menjernihkan limbah cair industri (Widodo, 2005). Kemudahan lain

dari pemanfaatan kitosan dalam pengendalian penurunan kualitas perairan adalah

karena gugus amina dan hidroksilnya yang dapat berfungsi sebagai koagulan untuk

mengikat logam berat dari limbah industri menjadi bentuk flok-flok yang sangat

mudah dipisahkan dari media asalnya.

Tujuan

Kegiatan ini bertujuan untuk memproduksi kitosan yang siap diaplikasikan

oleh pembudidaya.

MATERI DAN METODOLOGI Metode pembuatan kitosan terdiri dari tiga langkah utama, yaitu deproteinasi,

demineralisasi, dan deasetilasi. Berikut ringkasan proses-proses tersebut.

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Kitosan

Kulit Kepiting dan Rajungan

Tepung Kepiting/ Rajungan

Penepungan/

Kitin

Deproteinasi Dalam ember Masukkan 10L NaOH 0,1 M Timbang secukupnya Tepung Kulit Kepiting/

Rajungan masukkan ke ember Rendam selama 2 jam, (sambil diaduk) Dinginkan, Cuci hingga pH netral Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

Demineralisasi Dalam ember Masukkan 10 L HCl 0,1 M Masukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan

hasil deproteinasi Rendam selama 2 jam, (sambil diaduk) Dinginkan, Cuci hingga pH netral Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

Kitin

Deaselatisasi Dalam ember Masukkan 10 L NaOH 50% Msukkan Tepung Kulit Kepiting/ Rajungan

hasil deproteinasi dan demineralisasi Rendam selama 4 jam, (sambil diaduk) Dinginkan, Cuci hingga pH netral Keringkan pada oven 80oC selama 48 jam

44

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pengeringan serta Homogenasi (Penepungan) Cangkang dan Kepala

Udang.

Sebagai bahan dasar kitosan digunakan cangkang kulit kepiting dan rajungan

yang diperoleh dari unit pengolahan kepiting/ rajungan di daerah Bandengan Jepara,

Jawa Tengah. Kulit kepiting/ Rajungan yang diperoleh sudah dalam keadaan kering

sehingga proses dilanjutkan dengan penggilingan (homogenasi).

Gambar 2. Bahan baku dan proses homogenasi

Proses Deproteinasi

Proses deproteinasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/

cangkang udang setelah proses demineralisasi dalam larutan NaOH 0,1 M selama 2

Jam. Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven

pada 80oC selama 48 jam. Untuk pembuatan larutan NaOH 0,1 M adalah dengan cara

melarutkan 40.82 gr NaOH Teknis dalam 10L Air.

Proses Demineralisasi

Proses demineralisasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/

cangkang kepiting dalam larutan HCl 0,1 M pada suhu ruang selama dua Jam.

Setelah itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada

80oC selama 48 jam. Untul pembuatan larutan HCl 0,1 M adalah dengan cara

melarutkan 98,4 mL HCl teknis dalam 10L Air.

45

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Proses Deasetilasi

Proses deasetilasi dilakukan dengan cara perendaman tepung kulit/ cangkang

kepiting setelah proses deproteinasi dalam larutan NaOH 50% selama 4 Jam. Setelah

itu dicuci hingga netral dan kemudian dikeringkan menggunakan oven pada 80oC

selama 48 jam.

Gambar 3. Proses perendaman (kiri) dan pengeringan (kanan)

Massa awal tepung kepiting 25 Kg Produk kitosan 5 Kg

Dari 25 Kg tepung kulit kepiting dan rajungan yang diolah diperoleh

sebanyak 5 Kg kitosan. Dengan kata lain produksi kitosan dari tepung kulit kepiting

dan rajungan yang dilakukan memiliki nilai rendmen sebesar 20%.

KESIMPULAN

Dari kegiatan yang dilakukan telah behasil diperoleh kitosan dari kulit

kepiting/ rajungan dengan rendemen sebesar 20%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak

Ir.M.Syahrul Latief M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Lingkungan dan

teman teman yang terkait.

46

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Mekawati, E. Fachriyah dan D. Sumardjo.2000, “Aplikasi Chitosan Hasil

tranformasi Chitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion

Logam Timbal”. Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang,

Vol. 8 (2), hal. 51-54

Purwanti, Ani. 2014. Evaluasi Proses Pengolahan Limbah Kulit Udang untuk

Meningkatkan Mutu Kitosan yang Dihasilkan. Jurnal Teknologi, Volume 7

Nomor 1. 83-90

Yunizal dkk, (2001), “Ekstraksi Chitosan dari Kepala Udang Putih (Penaeus

merguensis)”. J. Agric. Vol. 21 (3), hal 113-117

47

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK AKTIVASI DAN UJI EFISIENSI KOLOM REDUKSI

PADA PENGUJIAN NITRAT DALAM AIR LAUT SECARA

SPEKTROFOTOMETRI

Oleh ; Suparno dan Meynawati

ABSTRAK Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit oleh butiran Kadmium yang dilapisin dengan tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan Kolom Reduksi Nitrat. Hasil reduksi sangat tergantung pada aktivitas permukaan logan Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat. Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis dapat terjadi, salah satunya disebabkan oleh efisiensi kolom reduksi yang tidak optimal. Aktivasi kolom reduksi dilakukan melalui 2-3 kali pencucian butir Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm dengan larutan HCl 2 N, Kemudian dibilas beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5, dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan 2% CuSO4.5H2O sampai seluruh bitiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang ditandai dengan terbentuknya endapan koloid berwarna coklat. Uji efisiensi kolom dilakukan dengan cara membandingkan absorbansi antara larutan standar nitrit dan standar nitrat yang telah direduksi melewati kolom reduksi tentunya dengan konsentrasi yang sama. Kata Kunci: uji efisiensi, kolom nitrat

PENDAHULUAN

Upaya untuk meberikan jaminan mutu hasil analisis selalu dilakukan dengan

menjalankan Prosedur pengujian yang sesuai dengan standard Laboratorium Uji,

mengunakan bahan yang berkualitas (pa), menggunakan bahan acuan CRM,

mengunakan peralatan gelas yang bebas kontaminasi, menggunakan peralatan ukur

yang terkalibrasi dan hal hal lain yang disyaratkan dalam SNI. Selain itu hal penting

yang harus dilakukan adalah kontrol presisi dan akurasi dan mengeliminir hal-hal

yang menyebabkan terjadinya kesalahan hasil analisis.

Penentuan kadar nitrat dalam air dengan metode reduksi asam askorbat

spektrofotometrik didasarkan pada reduksi nitrat menjadi nitrit. Senyawa nitrat (NO3-

) direduksi menjadi nitrit (NO2-) oleh butiran Kadmium yang dilapisin dengan

tembaga dalam suatu kolom yang disebut dengan Kolom Reduksi Nitrat (kolom Cd-

Cu). Hasil reduksi sangat tergantung pada pH larutan dan aktivitas permukaan logan

Cd/Cu dalam kolom reduksi nitrat.

Dalam analisis nitrat, kesalahan analisis dapat terjadi disebabkan banyak hal

antara lain pada saat pengambilan dan pengawetan contoh air (Alat pengambil

contoh, wadah contoh, dan gangguan mikro organism), pembuatan larutan blanko

48

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

dan efisiensi kolom reduksi. Dalam makalah ini akan kita bahas masalah efisiensi

kolom reduksi, mulai dari aktivasi Kadmium-Tembaga(Cd-Cu), mengisi kolom

sampai uji efisiensi kolom.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk merawat dan mengaktipkan kolom reduksi

nitrat (kolom Cd-Cu) supaya tetap dalam kondisi optimal, Segingga didapatkan

kinerja kolom reduksi nitrat (kolom Cd-Cu) dengan tingkat efisiensi > 95%,

sehingga presisi dan akurasi hasil analisis NO3-N dapat dipertanggung jawabkan.

BAHAN DAN METODA

Bahan yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah Butir Kadmium (0.5 –

2.0mm), Glass wool, larutan HCl 2N, larutan CuSO4 2%, larutan NH4Cl-EDTA,

larutan sulfanilamide, larutan n-(naftil)-ethylendiamin dihidroklorida (NED

dihidroklorida) dan air suling bebes nitrat.

Peralatan yang digunakan adalah : kolom reduksi nitrat, beaker glass 500 mL,

batang pengaduk, timbangan analitik, spatula,spektrofotometer, kuvet disposibble,

erlenmeyer, gelas ukur, pipet, labu ukur

Tata Kerja :

Aktivasi serbuk Kadmium-Tembaga (Cd-Cu) :

Masukkan sebanyak 100 gram butir Kadmium yang berukuran 0.5-2.0 mm ke

dalam Erlenmeyer 500 mL yang telah berisi 300 mL HCl 2N, aduk dengan batang

pengaduk ± 2 menit, kemudian HCl dibuang. Proses diulangi hingga 2-3 kali dengan

pemberian HCl yang baru. Bilas beberapa kali dengan akuades hingga pH > 5.

Masukkan butir Kadmium tersebut ke dalam beaker plastic yang berisi larutan 2%

CuSO4.5H2O sampai seluruh butiran Kadmium terendam. Aduk sampai merata

hingga warna biru hilang dan meresap pada butir Kadmium. buang larutan 2%

CuSO4.5H2O, ulangi 2-3 kali lagi dengan larutan 2% CuSO4.5H2O yang baru sampai

seluruh butiran Kadmium terlapisi oleh Cu yang ditandai dengan terbentuknya

endapan koloid berwarna coklat. Bilas butir Kadmium tersebut paling sedikit 10 kali

dengan akuades. Rendam butir Kadmium dalam larutan NH4Cl-EDTA encer,

selanjtnya butir Cd-CuSO4 siap digunakan.

Pembuatan Kolom Reduksi

Siapkan kolom reduksi, tutup dasar kolom dengan glass wool. Isi kolom

dengan akuades bebas nitrit. Kemudian sedikit demi sedikit masukkan butir-butir

Kadmium ke dalam kolom tersebut sampai seluruh kolom terisi butir Kadmium ±20

cm jaga agar permukaan akuades selalu lebih tinggi dari pada butir Cd-Cu. Cuci

kolom dengan 200 mL larutan NH4Cl-EDTA encer. Agar reduksi berjalan dengan

baik, maka kecepatan tetesan untuk 100 mL air berkisar antara 8-12 menit. Aktifkan

kolom dengan melewatkan sedikitnya 100 mL larutan yang terdiri dari 25% standard

NO3-N dan 75% NH4Cl-EDTA.

49

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sebelum digunakan, efisiensi kolom reduksi diuji dengan larutan standar. Efisiensi

kolom reduksi harus melebihi 95%.

Uji efisiensi kolom reduksi nitrat :

Buat larutan standard nitrat dan standard nitrit secara terpisah dengan konsentrasi

yang sama yaitu : 0,05; 0.1; 0,2; 0,5; 0,1 mg/L, lewatkan 100 mL larutan standard

nitrat melalui kolom reduksi nitrat, buang 25 mL tampungan pertama, ambil 50 mL

tampungan berikutnya. Masukkan masing masing 50 mL larutan standard nitrat

yang sudah direduksi dan 50 mL larutan standard nitrit kedalam Erlenmeyer yang

berbeda, lalu tambahkan masing-masing 1 mL larutan Sulfanilamide, kocok dan

biarkan bereaksi 2-8 menit, kemudian tambahkan masing-masing 1 mL larutan NED

dihidroklorida, kocok hati-hati dan biarkan bereksi, reaksi sempurna ± 10 menit dan

stabil sampai 50 menit. Ukur absorbansi masing-masing dengan menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 543 nm.

Perhitungan :

% efisiensi = Absorbansi NO3 X 100%

Absorbansi NO2

HASIL DAN BAHASAN

Tampilan hasil dari pembuatan kolom reduksi nitrat seperti terlihat pada

gambar 1 dibawah ini.

50

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Hasi uji efisiensi yang telah dilakukan didapatkan data sebagai berikut:

Ulangan Absorbansi Standard Nitrat Absorbansi Standard

Nitrit

1 2,481 2,532

2 2,478 2,532

3 2,482 2,531

4 2,483 2,532

5 2,482 2,531

Rerata 2,481 2,532

Dengan rumus perhitungan : % efisiensi = Absorbansi NO3 X 100%

Absorbansi NO2

Maka didapatkan % Efisiensi hasil uji :

Ulangan Absorbansi Standard Absorbansi Standard % Efisiensi

Nitrat Nitrit

1 2,481 2,532 97,99

2 2,478 2,532 97,87

3 2,482 2,531 98,06

4 2,483 2,532 98,06

5 2,482 2,531 98,06

Rerata 2,481 2,532 98,01

Efisiensi kolom reduksi sangat tergantung pada kebersihan dan kepadatan

logam Cd-Cu, serta kecepatan tetesan pada saat proses reduksi. Jika kecepatan

tetesan kolom pada saat reduksi lebih dari 100 mL/12 menit, maka kepadatan butir

Kadmium atau glass wool pada dasar kolom perlu ditingkatkan, tetapi jika kecepatan

tetesan kurang dari 100 mL/8 menit, maka kolom yang berisi butir Kadmium harus

dibongkar, pengisian diulang kembali. Sebelum digunakan kolom diaktifkan dengan

melewatkan sedikitnya 100 mL larutan yang terdiri dari 25% standard NO3-N dan

75% NH4Cl-EDTA, efisiensi kolom reduksi diuji dengan larutan standar. Hasil uji

fisiensi kolom reduksi harus melebihi 95%. Bila kurang dari 95%, maka proses

aktivasi Cd-Cu harus diulang kembali.

Pemakaian kolom yang berulang ulang akan menyebabkan Cd-Cu jenuh,

sehinggana kemampuan untuk mereduksi nitrat semakin kecil. Hal ini akan

menyebabkan data hasil analisis menjadi tidak akurat. Untuk mengatasi kesalahan ini

adalah dengan melakukan aktivasi secara berkala atau jika terjadi hal-hal berikut :

- Warna serbuk Cd-Cu sudah berubah dari hitam kecoklatan menjadi abu-

abu

- Terlihat serbuk warna keputihan

- Reaksi warna standard negatif.

51

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN

Dari kegiatan aktivasi dan uji efisiensi yang telah dilakukan dengan lima kali

ulangan didapatkan hasil perhitungan % efisiensi kolom reduksi nitrat rata-rata

sebesar 98.01 %, persyaratan efisiensi kolom raduksi nitrat minimum 95 %

terlampaui.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Syahrul

Latief, M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan laboratorium Fisika Kimia

Lingkungan dan Residu

DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung, HorasP., Dkk(Editor) 1997, Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan

Biota, Buku 2, Jakarta : P30-LIPI.

SNI 19-6964.7-2003, Kualitas air laut Bagian 7 : Cara uji nitrat(NO3-N) dengan

reduksi Kadmium secara spektrofotometri, BSNi.

52

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

VALIDASI METODA PENETAPAN NITROGEN PADA

PENENTUAN KADAR PROTEIN DENGAN TEKNIK DUMAS

Oleh : Meynawati, Suparno

ABSTRAK

Dalam rangka menjamin mutu hasil analisis kadar protein dari contoh uji, diperlukan suatu metoda pengujian yang akurat. Untuk mendapat metoda yang akurat perlu dilakukan suatu validasi metoda.Parameter dalam validasi metoda adalah uji akurasi, linearitas, presisi. Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat penimbangan 10.5 mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Pengujian repitabilitas mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.459 dengan KV Horwitz sebesar 3.426 dan reprodusibilitas, dihasilkan data yang mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.780 dengan KV Horwitz sebesar 3.431. Pengujian recovery dan akurasi menunjukkan hasil yang memenuhi persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan pada validasi ini. Pada persen perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat nilai berkisar antara 99.3% - 101.5%.

Kata Kunci: validasi, dumas, protein

PENDAHULUAN

Keistimewaan dari protein adalah strukturnya yang mengandung N, di

samping C, H, O (seperti juga karbohidrat dan lemak), S dan kadang-kadang P, Fe

dan Cu (sebagai senyawa kompleks dengan protein). Dengan demikian maka salah

satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara

kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam contoh uji apabila

unsur N ini dilepaskan dengan cara combustion (pembakaran). Prinsip analisis dari

dumas adalah sampel padat atau cair yang dibakar dengan oxygene murni pada suhu

tinggi di hadapan katalis dalam oksida. Dengan bantuan tembaga, nitrogen oksida

yang dihasilkan (NOx) direduksi menjadi nitrogen unsur sedangkan produk

sampingan air dan karbon dioksida dipisahkan sepenuhnya. Nitrogen yang tersisa

dianalisis menggunakan detektor konduktivitas termal.

Jumlah protein dapat diperhitungkan atas dasar kandungan rata-rata unsur N

dalam protein. Cara penentuan jumlah protein melalui penentuan jumlah N total

hasilnya disebut jumlah protein kasar atau crude protein.

53

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang

objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud khusus dipenuhi ( ISO/IEC-

17025-2000 Klausul 5.4.5.1)

Dalam rangka menjamin mutu hasil analisis kadar protein dari contoh uji,

diperlukan suatu metoda pengujian yang akurat. Untuk mendapat metoda yang akurat

perlu dilakukan suatu validasi metoda. Validasi metoda dilakukan untuk penetapan

nitrogen dalam menentukan Kadar protein pada contoh uji dengan menggunakan

metoda Dumas

BAHAN DAN METODA

Bahan yang digunakan adalah: pakan, Hellium UHP, Oksigen UHP,

Nitrogen UHP, EDTA CRM Sedangkan Alat yang digunakan adalah : Timbangan

analitik, Dumatherm unit, Dumatherm tray Contoh, Ash insert, Tin foil,

Tata Kerja

PARAMETER VALIDASI

1. Akurasi

Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukan derajat kedekatan

hasil analisa dengan kadar analit yang sebenarnya. Terkadang masalah dalam

menentukan akurasi adalah ketidaktahuan terhadap nilai yang sebenarnya. Dalam

beberapa tipe sampel kita dapat menggunakan sampel yang telah diketahui nilainya

dan mengecek metode pengukuran kita gunakan untuk menganalisis sampel itu

sehingga kita mengetahui akurasi dari prosedur yang diujikan, metode ini disebut

dengan CRM (Certified Reference Method). Pendekatan lain adalah dengan

membandingkan hasilnya dengan hasil yang dilakukan oleh laboratorium lain atau

dengan menggunakan metode referen. Akurasi juga dapat diketahui dengan

melakukan uji perolehan kembali (recovery). Hasil uji ini akurasi dapat dinyatakan

sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan pada

sampel. Rentang nilai penerimaan kecermatan suatu metode akan bervariasi sesuai

kebutuhannya. Adapun AOAC menetapkannya seperti dalam Tabel 1.

54

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 1 Persentase recovery yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit

(%) analit Mass fraksi (C) Unit Rata-rata recovery (%)

100

10

1

0.1

0.01

0.001

0.0001

0.00001

0.000001

0.0000001

1

10-1

10-2

10-3

10-4

10-5

10-6

10-7

10-8

10-9

100 %

10 %

1 %

0.10 %

100 ppm

10 ppm

1 ppm

100 ppb

10 ppb

1 ppb

98-102

95-102

97-103

95-105

90-107

80-110

80-110

80-110

60-115

40-120

(sumber: AOAC 2016)

Persen recovery dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

% R = [C] sampel+spike - [C]sampel x 100

[C] spike

2. Liniaritas

Liniaritas metode analisis menunjukkan kemampuan suatu metode untuk

memperoleh hasil uji, yang baik langsung maupun dengan definisi transformasi

matematis yang baik, proporsional dengan konsentrasi analat dalam sampel pada

range tertentu (Leyva, 2008). Liniaritas dapat diuji secara informal dengan membuat

plot residual yang dihasilkan oleh regresi linier pada respon konsentrasi dalam satu

seri kalibrasi (Thompson, 2002).

Liniaritas harus dievaluasi dengan pemeriksaan visual terhadap plot

absorbansi yang merupakan fungsi dari konsentrasi analat. Jika hubungannya linier,

hasil uji dievaluasi lebih lanjut secara statistik dengan perhitungan garis regresi.

Dalam penentuan linieritas, sebaiknya menggunakan minimum lima konsentrasi.

Rentang penerimaan linieritas tergantung dari tujuan pengujian. Pada kondisi yang

umum, nilai koefisien regresi (r2) ≥ 0,99 (EMA, 1995).

Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r

pada analisis regresi linier Y= aX+b. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai

a=0 dan r=+1 atau -1 bergantung pada arah garis. Koefisien b menunjukan kepekaan

analisis terutama instrumen yang digunakan. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi

persyaratan adalah sebesar ≥ 0,99970 (ICH, 1995), ≥ 97 (SNI) atau ≥

0,9980(AOAC).

3. Presisi

Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji

individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur

diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang

55

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

homogen (Harmita, 2004). Presisi dapat dibagi dalam dua kategori yaitu

keterulangan atau repitabilitas (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility).

Repitabilitas adalah nilai presisi yang diperoleh jika seluruh pengukuran

dihasilkan oleh satu orang analis dalam satu periode tertentu, menggunakan pereaksi

dan peralatan yang sama dalam laboratorium yang sama. Ketertiruan adalah nilai

presisi yang dihasilkan pada kondisi yang berbeda, termasuk analis yang berbeda,

atau periode dan laboratorium yang berbeda dengan analis yang sama. Karena

ketertiruan dapat memperbanyak sumber variasi, ketertiruan dari analisis tidak akan

lebih baik hasilnya dari nilai keterulangan.

Presisi dalam hal repitabilitas diukur dengan menghitung relative standard

deviation atau simpangan baku relatif (RSD) dari beberapa ulangan dan dari nilai

simpangan baku tersebut dapat dihitung nilai koefisien varian (KV). Dari nilai KV

yang diperoleh dibandingkan dengan KV Horwitz yaitu suatu kurva berbentuk

terompet yang menghubungkan reproducibilitas (presisi yang dinyatakan sebagai

%KV) dengan konsentrasi analit. Presisi metode analisis diekspresikan sebagai

fungsi dari konsentrasi melalui persamaan : KV Horwits = 2 1-0,5 log C.

Adapun AOAC menetapkan presisi dan konsentrasi analit seperti dalam

Tabel 2.

Tabel 2 Persentase presisi yang dapat diterima sesuai dengan konsentrasi analit

Analit, % Mass fraksi (C) Unit RSD, % 100 1 100% 1.3 10 10-1 10% 1.9 1 10-2 1% 2.7 0.1 10-3 0.1% 3.7 0.01 10-4 100 ppm(mg/kg) 5.3 0.001 10-5 10 ppm(mg/kg) 7.3 0.0001 10-6 1 ppm(mg/kg) 11 0.00001 10-7 100 ppb (µg/kg) 15 0.000001 10-8 10 ppb (µg/kg) 21 0.0000001 10-9 1 ppb (µg/kg) 30 (sumber: AOAC 2016)

A. Tata Kerja

Sampel ditimbang sebanyak 10.5-153.9 mg, selanjutnya dibungkus

menggunakan Tin foil, dan masukkan kedalam autosampler

B. Validasi

I. Uji Liniearitas

Ditimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,

50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg dibungkus menggunakan

Tin foil

56

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

II. Uji Presisi

Sampel ditimbang sebanyak 50 mg. Untuk repitabilitas

dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali setiap penimbangan,

sedangkan untuk reprodusibilitas dilakukan penggulangan sebanyak

10 kali setiap penimbangan

III. Uji Akurasi dan recovery

Sampel ditimbang sebanyak 50 mg dan EDTA CRM sebanyak

20mg pengulangan sebanyak 10 kali setiap penimbangan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. LINEARITAS

Menimbang EDTA CRM 10.5mg, 20.5mg, 30.6mg, 40.2mg,

50.1mg, 60.1mg, 81mg, 125.6mg, 153.9mg bungkus menggunakan Tin foil

Hasil linearitas penetapan nitrogen dapat dilihat pada tabel 1 dan 2

Tabel. 1. Data hasil pengujian Linearitas

Nitrogen (mg) Area (mV*s) 0.000 1.7321 1.0049 3936.4 1.9619 7680.6 2.9284 11521 3.8471 15135 4.7946 18936 5.7516 22846 7.7517 30750 12.0199 46575 14.7282 56369

Tabel. 2. Grafik pengujian Linearitas

57

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Nilai koefisien korelasi (r) standar nitrogen dengan berat penimbangan 10.5

mg sampai dengan 153.9 mg adalah sebesar 0.9996. Hal ini menunjukkan

bahwa analisis nitrogen pada kisaran tersebut bersifat linear.

2. PRESISI

Pengukuran presisi menggunakan sampel pakan. Untuk pengujian

repitabilitas dan reprodusibilitas dilakukan dilakukan sepuluh kali ulangan.

Hasil repitabilitas dan reprodusibilitas dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.

Tabel.3.Data hasil pengujian repitabilitas

Jenis sampel ulangan sampel (mg) N (mg) N terkoreksi Protein

(%) PKN 1

2 3 4 5 6 7 8 9 10

50.010 50.090 50.070 50.060 50.090 50.070 50.070 50.000 50.040 50.100

2.80 2.79 2.79 2.80 2.81 2.79 2.81 2.79 2.80 2.83

5.69 5.68 5.67 5.69 5.70 5.67 5.71 5.67 5.70 5.74

35.55 35.49 35.41 35.53 35.65 35.44 35.71 35.44 35.62 35.88

Rata2 50.060 2.801 5.692 35.573 SD 0.01 0.14 KV/RSD 0.459 0.406 KV Horwitz 3.426 2.337

Tabel. 4. Data hasil pengujian reprodusibilitas

Jenis sampel ulangan sampel (mg) N (mg) N terkoreksi Protein

(%) PKN 1

2 3 4 5 6 7 8 9 10

50.000 50.000 50.050 50.040 50.070 50.000 50.090 50.030 50.100 50.050

2.73 2.78 2.76 2.79 2.76 2.77 2.81 2.76 2.78 2.76

5.55 5.66 5.61 5.68 5.61 5.63 5.70 5.61 5.64 5.60

34.70 35.37 35.04 35.51 35.09 35019 35.65 35.06 35.26 35.03

Rata2 50.043 2.770 5.630 35.190 SD 0.02 0.27 KV/RSD 0.780 0.776 KV Horwitz 3.431 2.340

Pengujian repitabilitas mempunyai nilai KV/RSD sebesar 0.459 dengan KV

Horwitz sebesar 3.426 dan reprodusibilitas, dihasilkan data yang mempunyai nilai

KV/RSD sebesar 0.780 dengan KV Horwitz sebesar 3.431 , artinya nilai pengujian

diatas telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan yakni nilai KV/RSD lebih

58

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

kecil dari nilai KV Horwitz dan lebih kecil dari AOAC 2016 yang menetapkan RSD

sebesar 1.3. Hal ini menunjukkan bahwa teknik dumas menggunakan Dumatherm

unit untuk penentuan nitrogen pada analisis protein dapat dilakukan secara berulang

kali karena metode tersebut dapat memberikan hasil yang sama pada contoh yang

sama atau dengan metode tersebut memiliki ketelitian yang valid.

3. AKURASI DAN RECOVERY

Pengujian akurasi dilakukan sebanyak 10 kali penimbangan EDTA CRM

dan 10 kali penimbangan pada sampel dengan penambahan EDTA CRM. Hasil

pengujian dapat dilihat pada tabel 5dan 6.

Tabel. 5. Data hasil pengujian EDTA CRM

Jenis sampel Ulangan EDTA (mg) N % N EDTA (mg) EDTA CRM 1

2 3 4 5 6 7 8 9 10

20.010 20.030 20.080 20.080 20.050 20.050 20.100 20.010 20.030 20.000

9.4360 9.3900 9.4090 9.4040 9.4260 9.6020 9.3740 9.3930 9.4150 9.3940

1.89 1.88 1.89 1.89 1.89 1.93 1.88 1.88 1.89 1.88

Rata-rata 9.424 1.890 SD 0.065 0.015 KV/RSD (%) 0.690 0.789 KV Horwitz (%) 2.854 3.635

Tabel. 6. Data hasil pengujian sampel pakan + spike

Jenis sampel

Ulangan Sampel

(mg) Spike (mg)

Sampel+spike(mg) N % N

(mg) PKN + spike

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

50.0300 50.0000 50.0900 50.0900 50.0200 50.1000 50.0500 50.0100 50.0200 50.0000

20.10 20.10 20.09 20.03 20.01 20.02 20.04 20.01 20.03 20.02

70.1300 70.1000 70.1800 70.1200 70.0300 70.1200 70.0900 70.0200 70.0500 70.0200

6.816 6.765 6.802 6.810 6.818 6.798 6.825 6.810 6.804 6.814

4.78 4.74 4.77 4.77 4.77 4.77 4.78 4.77 4.77 4.77

Rata-rata 6.945 4.769 SD 0.02 0.01 KV/RSD (%) 0.238 0.231 KV Horwitz (%)

2.988 3.162

59

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel. 7. Data hasil pengujian Recovery

Massa penimban

gan EDTA (mg)

Kemurnian EDTA

CRM

Massa terkoreksi

N EDTA CRM

Massa N

N PKN+spike

(mg)

N koreksi

N hitung

Recovery (%)

20.10 20.10 20.09 20.03 20.01 20.02 20.04 20.01 20.03 20.02

99 % 99 % 99 % 99 % 99 % 99 % 99 % 99 % 99 % 99 %

19.899 19.899

19.8891 19.8297 19.8099 19.8198 19.8396 19.8099 19.8297 19.8198

9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59% 9.59%

1.91 1.91 1.91 1.90 1.90 1.90 1.90 1.90 1.90 1.90

4.78 4.74 4.77 4.77 4.77 4.77 4.78 4.77 4.77 4.77

2.85 2.85 2.85 2.85 2.85 2.85 2.85 2.85 2.85 2.85

1.93 1.89 1.92 1.92 1.92 1.92 1.93 1.92 1.92 1.92

101.3 99.3

100.6 100.9 101.2 100.9 101.5 101.3 101.1 101.2

Data hasil pengujian recovery dan akurasi penetapan nitrogen dalam sampel

pakan dengan penambanhan spike EDTA menunjukkan hasil yang memenuhi

persyaratan untuk tiap sampel yang disyaratkan pada validasi ini. Pada persen

perolehan kembali (% recovery) pada sampel didapat nilai berkisar antara 99.3% -

101.5%. Hal ini telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan berdasarkan AOAC

2016.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat dihasilkan dari pengujian validasi metode penetapan

kadar nitrogen dalam penentuan protein kasar adalah sebagai berikut :

Semua parameter yang diujikan untuk validasi metode penetapan kadar

protein dengan teknik dumas menggunakan dumatherm gerhard Unit.

Penetapan protein melalui perhitungan nitrogen dengan menggunakan

metode Dumas dan alat dumatherm Gerhard dapat digunakan pada

Laboratorium Fisika-Kimia Lingkungan Residu di Balai Besar Perikanan

Budidaya Air Payau Jepara

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara. Bapak Syahrul

Latief, M Si selaku Penanggung Jawab Kegiatan Laboratorium Fisika Kimia

Lingkungan dan Residu

60

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA AH Simonne, EH Simonne, RR Eitenmiller, HA Mills and CP Cresman (1996).

Could the Dumas Method Replace the Kjedhal Digestion for Nitrogen and Crude protein Determinations in Foods

AOAC (2016). Appendix F : Guidelines for Standart Method Performance Requirements

Vladimir Kocourek, Prague (2012). Method Validation and Quality Control Procedures

Carlos Rivera, Rosario Rodriguez. Horwitz Equation as Quality Benchmark in ISO/IEC 17025 Testing Laboratory

61

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

OPTIMASI OKSIGEN UNTUK MENDUKUNG PERTUMBUHAN

DAN KELANGSUNGAN HIDUP PADA BUDIDAYA

UDANG VANAME

Oleh : Hadi Prayitno dan Jumana

ABSTRAK

Produktifitas tambak tidak terlepas dari tingkat teknologi. Semakin tinggi padat tebar (intensif) maka kebutuhan oksigen menjadi salah satu faktor pembatas produksi. Hal ini berkaitan dengan semakin banyaknya limbah dari hasil feces/ekskresi udang, sisa pakan dan kematian plankton, yang pada akhirnya membuat semakin memburuknya kondisi lingkungan tanah dan air yang berimbas pada defisit oksigen didalam tambak pemeliharaan. Kegiatan perekayasaan untuk mengetahui nilai optimasi oksigen > 3,5 ppm yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang serta efek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname intensif dengan padat tebar sekitar 96 ekor/m2 telah dilakukan di tambak selama 4 bulan pemeliharaan sebanyak 2 petak pemeliharaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah dapat mengetahui nilai optimasi oksigen yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada budidaya udang vaname dan efek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah dan air media budidaya. Hasil kajian menunjukkan bahwa optimasi oksigen dapat dilakukan dengan penambahan jumlah kincir seiring dengan umur pemeliharaan dan biomassa udang. Produksi akhir dari kegiatan ini adalah Petak A-5 sebanyak 1.680 kg dengan SR 73,12% dan petak A-6 sebanyak 1.732 kg dengan SR 75%. Target produksi dari kegiatan ini belum tercapai target karena pertumbuhan udang tidak maksimal sehubungan udang terserang penyakit IHHNV yang menyababkan pertumbuhan udang kerdil meskipun telah dipacu dengan pemberian pakan yang berlebih. Kata Kunci : produksi, udang vaname, optimasi, oksigen, faktor pembatas.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan produksi Perikanan di Indonesia terus digalakkan dengan

mengintroduksi jenis udang vaname yang dibudidayakan tambak, hal ini sebagai

upaya untuk mengejar target produksi udang Nasional. Beberapa karakteristik yang

membuat pembudidaya tertarik pada udang vaname adalah kemampuan

recovery/pemulihan terhadap serangan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis udang windu dan dapat dilakukan dengan kepadatan tinggi (>100

ekor/m2) serta mempunyai pangsa pasar yang terbuka luas baik dalam maupun luar

negeri dengan variasi size yang lebar, yaitu antara 50 – 150 ekor/kg).

62

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tingkat produktivitas tambak tidak terlepas dari tingkat teknologi yang

diterapkan dan kondisi sarana/fasilitas yang digunakan. Salah satu faktor pembatas

untuk memperoleh produksi optimal dalam budidaya udang adalah kandungan

terlarut oksigen dalam tambak. Pada tingkat kepadatan udang di atas 10 ekor/m2,

kebutuhan oksigen bagi udang peliharaan secara nyata tidak dapat terpenuhi hanya

dari hasil fotosintesa fitoplankton, melainkan harus melalui tambahan peralatan

pensuplai oksigen yang berupa kincir air/peadle wheel ataupun super charger. Hal

ini terkait selain dengan semakin padatnya organisme peliharaan, juga hasil ekskresi

udang yamg berupa limbah/kotoran, plankton mati serta sisa pakan yang tidak

termakan oleh udang merupakan sebagian faktor penyebab devisitnya oksigen dalam

budidaya udang di tambak.

Kelarutan oksigen dalam air media pemeliharaan merupakan parameter kunci

dalam setiap kehidupan organisme air (Boyd, 1989). Oksigen dalam tambak telah

secara nyata berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.

Konsentrasi maksimum oksigen air media sangat tergantung pada tekanan atmosfir,

konsentrasi garam dan temperatur. Konsentrasi oksigen yang rendah yaitu dibawah

1,5 mg/l (ppm) bersifat lethal bagi ikan maupun udang. Sedangkan kondisi ideal bagi

pertumbuhan ikan dan udang adalah pada konsentrasi diatas 3.5 mg/l hingga

konsentrasi saturasi (Anonim, 1991).

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka, BBPBAP Jepara memandang

perlu untuk melakukan kajian “peningkatan produksi budidaya udang vaname

melalui optimasi oksigen“ guna mengetahui tingkat kebutuhan oksigen bagi udang

vaname yang mampu mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup serta

effisiensinya.

Tujuan

Tujuan yang diharapkan pada kegiatan ini adalah :

- Mengetahui nilai optimasi oksigen yang mampu mendukung

pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada budidaya udang vaname.

- Mengetahui effek optimasi oksigen terhadap peningkatan kualitas tanah

dan air media budidaya.

- Mampu menghasilkan berat udang size 60 (16,6 gram) dan tingkat

kelangsungan hidup (SR) sebesar 70%, dengan Rasio pakan (FCR) 1,487

: 1 selama masa peliharaan 120 hari.

Sasaran.

Sasaran yang hendak dicapai pada kegiatan ini adalah :

- Diperoleh Nilai oksigen ideal > 3,5 ppm, pada pagi hari sebelum matahari

terbit (05.30 WIB),

- Diperoleh Nilai kelayakan parameter kualitas tanah dan air selama masa

pemeliharaan,

63

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN ALAT

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan optimasi oksigen pada

pembesaran udang vaname tercantum pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan

No. Uraian Bahan Volume 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Benih Udang Vaname Pakan udang vaname Kaporit CaCO3 Urea TSP NPK Multivitamin Binder Probiotik Inokulan plankton Disinfektan ( kaporit ) Ikan nila 3 – 5 cm Glondong Bandeng Rumput Laut

770.000 ekor 12.100 kg 4 – 6 galon 2.000 kg 80 kg 80 kg 60 kg 1 kg 1 kg 18 liter 4 ton 29 galon 1.000 ekor 1.500 ekor 300 kg

Tabel 2. Alat dan sarana yang digunakan

No. Uraian Alat dan Sarana Volume

1 2 3 4 5 6 7 8

Tambak peliharaan Tandon biofilter dan Reservoir Pompa submersible 8 inchi Kincir air Peralatan lapangan Peralatan sampling Peralatan pengamatan parameter kualitas lingkungan Gudang penyimpan bahan-bahan

2 petak (luasan : @ 5.000 m2) 2 petak (luasan : @ 7.000 m2) 4 unit 6 – 10 unit 1 paket 1 paket

1 paket 1 unit

METODE

Persiapan Lahan

a) Perbaikan pematang petak pemeliharaan dengan bahan pengkedapan

berupa waring/kasa halus untuk mengatasi bocoran/rembesan,

b) Perbaikan petak tandon biofilter dengan cara pendalaman dan peninggian

pematang menggunakan alat berat berupa exchavator dan penataannya

dengan tenaga manual,

64

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

c) Pengolahan tanah dasar tambak dilakukan dengan cara :

- Pengeringan dan penjemuran, masa waktu 30 hari

- Pengangkatan tanah caren dan penimbunannya, masa waktu 6 hari

- Pengupasan tanah dasar, masa waktu 15 hari,

- Pembalikan tanah dasar, masa waktu 10 hari,

- Pemberantasan hama ikan, masa waktu 1 hari

- Pengapuran Tanah dasar (CaCO3), masa waktu 1 hari.

d) Pengamatan parameter kualitas tanah (sesuai SPO)

Penyiapan Air Media

a) Pengisian air ke petak tandon secara grafitasi dan pompanisasi dengan

melakukan penyaringan double screen,

b) Sterilisasi Air petak tandon sebelum dilakukan penebaran bibit

glondongan bandeng, nila dan rumput laut,

c) Pengisian air di petakan pemeliharaan berasal dari petak tandon air baku

dengan pompanisasi 8 inch, double screen disalurkan melalui saluran air

tertier, disaring lagi dengan bok saringan sebelum air masuk ke petakan

tambak peliharaan,

d) Pengisian air I (Pertama) setinggi 40 cm, diaplikasikan probiotik murni

2,5 ppm + Molase 2,5 ppm, diaerasi maksimal selama 3 hari untuk

merombak Bahan organik tanah dan menekan gas beracun NH3. Probiotik

yang digunakan yang memiliki kandungan bakteri Bacillus spp,

Sacharomyces (ragi) dan Lactobacillus dengan kandungan bakteri > 109

CFU/mL,

e) Peninggian air petak peliharaan hingga 120 cm dan dibiarkan selama 3

hari untuk mengontrol adanya kemungkinan bocoran/penyusutan air

tambak,

f) Sterilisasi air petakan peliharaan dengan bahan disinfektan (kaporit dosis

20 – 30 ppm), aplikasi sore hari/malam hari, diaduk kincir selama 5 menit

agar bahan disinfektan merata, kemudian kincir dimatikan dan dibiarkan

selama 3 hari agar terjadi penetralan bahan disinfektan,

g) Penumbuhan plankton dilakukan dengan aplikasi inokulan plankton jenis

Chlorella sp. sebanyak 2 ton/petak dan dipupuk dengan urea 40 kg, TSP

20 kg dan NPK 10 kg per petak ditunggu masa penumbuhan plankton

hingga 5 – 7 hari,

h) Pengamatan parameter kualitas air (sesuai SPO).

Pemilihan, Pemilahan dan Penebaran Benih Udang

a) Teknik pemilihan dan pemilahan benih vaname (sesuai SNI),

b) Penebaran pada intensitas suhu rendah dan dilakukan adaptasi terhadap

suhu dan salinitas di tambak,

65

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

c) Jumlah tebar benih vaname adalah 350.000 ekor/petak atau padat tebar

sekitar 75 ekor/m2. Dilakukukan pada 2 petak pemelihraan .

Pemeliharaan

a) Rancangan penerapan dan perlakuan optimasi oksigen dengan pengaturan

jumlah kincir:

Perlakuan Petak I

- Umur 1 – 30 hari sebanyak 6 unit kincir

- Umur 31 – 60 sebanyak 8 unit kincir

- Umur 61 – 120 sebanyak10 unit kincir

Perlakuan Petak II

- Umur 1 – 60 hari sebanyak 8 unit kincir

- Umur 60 – 120 hari sebanyak 10 unit kincir

Catatan : Perlakuan ini tergantung hasil pengukuran oksigen minimal pagi

hari > 3,5 ppm

b) Pengelolaan pakan (blind feeding programme dan Sampling mingguan),

c) Pembuangan limbah tambak 5 menit pd pagi dan sore hari selama

budidaya,

d) Penerapan sistim ganti air “Less Water Exchanges” :

- Umur 1 – 30 hari, sebanyak 0% tambahan air

- Umur 31–60 hari, sebanyak 2 – 3% tambah air/minggu

- Umur 61–90 hari, sebanyak 3 – 5% tambah air /minggu

- Umur > 91 hari, sebanyak 5% tambah air/minggu.

e) Pengamatan dan pengedalian penyakit (kesehatan udang) -- 7 hari sekali,

dengan aplikasi feed additive, multivitamin, bawang putih, dll.

Monitoring

Kegiatan ini dilakukan berdasarkan kebutuhan pengamatan selama masa

pemeliharaan dengan data yang diamati sebagai berikut :

a) Kualitas air -- pengukuran kualitas air harian (pagi dan sore) yakni

parameter fisik : suhu, salinitas, DO, pH sedangkan parameter kimia

seminggu sekali meliputi ammonia, nitrit, C/N ratio, bahan organik,

vibrio dan total bakteri serta kelimpahan dan jenis plankton.

b) Kualitas tanah -- pengukuran parameter tanah seminggu sekali meliputi

redoks potensial, C/N ratio, bahan organik, vibrio dan total bakteri

(termasuk jumlah Bacillus sp).

c) Kesehatan Udang -- pengelolaan kesehatan udang dilakukan dengan

pemberian feed additive. Sampling dilakukan 7 hari sekali untuk

mengetahui populasi, berat udang dan biomasa udang, setelah umur

pemeliharaan 30 hari.

66

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Panen

Apabila umur pemeliharaan udang vaname telah mencapai 120 hari, maka

dilakukan pemanenan secara total dan atau dilakukan pada kondisi

emergensi/darurat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan Sintasan Udang Vaname

Pertumbuhan

Pertumbuhan udang peliharaan sangat dipengaruhi parameter kualitas tanah

dan air serta kualitas dan kuantitas pakan yang dibutuhkan oleh udang untuk tumbuh

dan berkembang. Laju pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan dihitung

dengan formula kenaikan bobot harian rata-rata (ADG --- average daily growth).

Pada kajian ini laju pertumbuhan harian (LPH) udang sangat lambat sejak awal

pemeliharaan. Hingga umur 35 hari pemeliharaan LPH yang dihasikan hanya

berkisar 0,04 s/d 0,07 gram/hari. Kenaikan laju pertumbuhan harian berkisar antara

0,07 s/d 0,185 gram/hari dibawah laju pertumbuhan harian standart yaitu 0,28 s/d

0,35 gram/hari. Lambatnya laju pertumbuhan harian udang pada kegiatan ini

kemungkinan besar dikarenakan udang telah terinfeksi penyakit IHHNV yang

menyebabkan pertumbuhan udang menjadi kerdil/kuntet meskipun dipacu dengan

pemberian pakan yang berlebih, Peningkatan oksigen hingga 4,5 ppm dipagi hari.

Dampak dari serangan penyakit IHHNV pada udang menunjukkan bahwa

Pencapaian berat udang hingga umur 112 hari pemeliharaan hanya mencapai berat

9,5 – 9,6 gram/ekor jauh dibawah standart, yaitu berkisar antara 16,5 – 18,5 gram

(Anonim, 2004). Sebagai akibat pemberian pakan yang berlebihan guna memacu

pertumbuhan udang serta pergantian air di atas 10%/hari telah memberikan dampak

buruk terhadap parameter kualitas tanah dasar dan memberi peluang berkembangnya

populasi bakteri dan vibrio yang pada akhirnya udang menjadi stress, nafsu makan

menurun drastis dan penyakit WSSV menginfeksi udang peliharaan dan

menyebabkan kematian.

Kematian udang vaname akibat serangan penyakit WSSV berlangsung cepat

dan diawali pada udang yang berukuran besar (> 7 gram), sehingga pada akhir panen

didapatkan udang dengan berat rata rata berkisar 6 gram/ekor atau size 166,7,

dengan penyusutan kelangsungan hidup berkisar antara 9 – 10% dari estimasi

kelangsungan hidup (SR) antara 82,3 – 84,8%.

Keterkaitan dengan aplikasi jumlah kincir guna meningkatkan produksi

udang vaname intensif, dalam hal ini belum terlihat signifikan yang artinya meskipun

hasil kandungan oksigen cukup tinggi > 3,5 ppm, namun dengan adanya benih yang

telah terinfeksi penyakit IHHNV sejak umur 35 hari ternyata belum mampu sebagai

upaya/langkah di dalam mendukung pertumbuhan udang. Hanya saja dalam

effisiensi penggunaan kincir dan biaya produksi dapat ditekan.

67

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Kelangsungan Hidup (SR)

Tingkat kelangsungan hidup/ Sintasan/SR udang merupakan suatu hal yang

tidak mudah dilakukan. Karena udang merupakan organisme yang hidup di dalam

air. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kesalahan di dalam pendugaan

kelangsungan hidup udang sintasan antara lain keahlian tenaga sampling, ketinggian

air, jumlah/frekuensi sampling, alat sampling dan waktu sampling.

Frekuensi sampling untuk udang vaname hanya dilakukan 1 – 2 kali

penjalaan. Hal ini dikarenakan udang putih termasuk vaname sangat mudah stress

atau lemah akibat perlakukan sampling. Sutanto (2002) menyatakan bahwa effek

negatif dari frekuensi penjalaan udang dapat membawa dampak terhadap kesehatan

udang, yaitu udang mudah mengalami stress, daya tahan tubuh semakin menurun dan

dipicu oleh fluktuasi kualitas air akan dapat menyababkan udang rentan terhadap

serangan penyakit. Dari hasil sampling mingguan pada kegiatan ini dilakukan sejak

umur 35 diperoleh gambaran bahwa tingkat kengsungan hidup udang cenderung

diatas standart kelangsungan .

Keyakinan terhadap tingkat kelangsungan hidup udang peliharaan lebih

diyakini setelah udang mencapai berat rerata 5 gram, dimana udang sudah pasti

terjerat oleh mata jala (tidak lolos). Anonim (2004) menyatakan bahwa sintasan (SR)

pada budidaya udang vaname pola intensif dapat mencapai > 85% dengan kondisi

pertumbuhan normal dan parameter kualitas lingkungan yang optimal. Hasil akhir

kelangsungan hidup yang dicapai pada kegiatan ini berkisar antara 80,0 – 82,5%

setelah terjadi kematian akibat serangan penyakit WSSV.

Kualitas Lingkungan

Salinitas

Parameter air yang penting bagi udang diantaranya adalah salinitas. Hal ini,

berkaitan dengan proses osmoregulasi dalam tubuh udang. Meskipun udang windu

maupun udang vaname mempunyai toleransi yang tinggi terhadap salinitas yaitu

antara 0 – 50 ppt (Anonim, 1985), namun untuk tumbuh dan berkembangnya udang

memerlukan salinitas yang optimal, yaitu antara 15 – 25 ppt (Anonim, 2004 dan

Anonim, 2007).

Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa, selama pemeliharaan (interval waktu 1

bulan) terjadi kenaikan salinitas antara 30 – 31 ppt pada udang vaname. Hal ini

diduga sebagai salah satu rendahnya laju pertumbuhan udang, karena salinitas di atas

salinitas optimal. Meskipun udang merupakan biota euryhaline namun untuk

pertumbuhannya akan terlambat apabila dipelihara pada salinitas lebih rendah atau

lebih tinggi dari kadar optimal dalam waktu yang lama (Anonim, 1985).

68

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 3. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname

No Parameter Bulan ke I Bulan ke II Bulan ke

III

Bulan ke

IV

1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 29 26 – 27

2 Suhu (o C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30

3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 5,12 – 5,30 4,95- 5,92 4,88 – 5,8

4 pH Air 7,8 – 8,11 8,0 – 8,0 7,7 – 8,2 7.89 – 8.0

5 BO Air (mg/L) 90 - 120 128,74 –

133,83

102 - 140 100 - 110

6 BO Tanah (%) 8,0 – 8,4 8,0 – 9,22 5,86 – 8,63 8,1 – 9,3

7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094

8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005-0,102 0,19-0,35 0,027-0,087

9 Tot.Vibrio

(CFU/mL)

1,2.101-

3,4.102

7.101-3,5.102 1,0.101-

5,5.102

1,0.102-

8,6.105

10 Tot. Bakteri

(CFU/mL)

5,3.102 1,9.102-

,1.103

1,0.103-

5,6.104

9.102-9.103

11 Plankton

(sel/cc)

7.564-9.684 8.968-

10.236

9.568-

11.224

10.468-

12.424

12 Redoks

Potensial (m.V)

- 85s/d-102 -147s/d-234 -132s/d -

282

-150s/d -

275

Tabel 4. Kisaran parameter kualitas tanah dan air pada budidaya udang vaname

No Parameter Bulan ke I Bulan ke

II

Bulan ke

III

Bulan ke

IV

1 Salinitas (ppt) 30 – 31 27 – 30 27 – 30 25 – 27

2 Suhu (o C) 29,6 – 30,5 29,4 – 30,3 29 – 30,5 28,5 – 30

3 Oksigen (ppm) 3,5 – 4,1 3,51 – 4,11 3,4 – 4,3 4,2 – 5,65

4 pH Air 7,68 – 8,21 8,1 – 8,1 7,7 – 8,2 7.86 – 8,0

5 BO Air (mg/l) 90–120 128,74–

133,83

105,99–

146,83

100 –

112,22

6 BO Tanah (%) 7,9 – 8,3 6,19 – 9,30 8,0 – 8,34 8,0 – 9,2

7 NH 3 (ppm) tt tt-0,029 0,006-0,028 tt-0,094

8 NO 2 (ppm) 0,072 0,005-

0,102

0,19-0,35 0,027-0,087

9 Tot.Vibrio

(CFU/mL)

5,7.102 8.101-

3,9.102

4.101-

5,6.102

2,3.102-

3.104

10 Tot. Bakteri

(CFU/mL)

5,8.105 1,9.105-

2,1.10

3.103-

3,3.104

2,3.102-

2,4.102

11 Plankton

(sel/cc)

7.664-9.784 9.428-

10.834

9.488-

11.326

10.762-

12.524

12 Redoks

Potensial (m.V)

- 80 s/d 95 -109s/d-

151

-141 s/d -

233

-150 s/d -

214

69

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam kehidupan

udang di tambak. Suhu air berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya reaksi

kimiawi air. Peran yang ditimbulkan diantaranya adalah dalam hal proses

metabolisme udang dan nafsu makan. Pada suhu rendah, maka metabolisme udang

juga rendah dan nafsu makan menurun. Suhu optimum bagi udang adalah berkisar

antara 26 – 32oC (Boyd, 1989). Fluktuasi suhu harian yang cukup tajam selama masa

pemeliharaan akan berpengaruh pula terhadap daya konsumsi pakan yang tinggi,

akan tetapi tidak memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan udang (Anonim,

2004 dan Anonim, 2007). Salah satunya cara untuk menjaga kestabilan suhu adalah

dengan menjaga ketinggian air yang optimal dan kemelimpahan plankton (kecerahan

air) yang standar (Adiwidjaya et al, 2003).

Dari Table 3 dan 4 terlihat bahwa temperatur air berkisar antara 29 – 30oC

(vaname). Suhu hingga 28,5oC dicapai pada akhir bulan menjelang musim

penghujan. Dalam kegiatan ini dapat dikatakan suhu masih dalam kisaran yang layak

untuk mendukung pertumbuhan maupun kelangsungan hidup udang.

Oksigen Terlarut

Parameter utama kualitas air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan kelangsungan hidup udang adalah oksigen. Pasokan oksigen dalam budidaya

udang vaname intensif didapat salah satunya dari penggunaan kincir sebagai alat

pensuplai oksigen. Pengaruh langsung oksigen adalah efektivitas penggunaan pakan

serta proses-proses metabolisme udang dan secara tidak langsung berpengaruh

terhadap kondisi kualitas air. Konsentrasi maksimum oksigen air media sangat

tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam dan temperatur. Konsentrasi

oksigen yang rendah yaitu dibawah 1,5 mg/L (ppm) bersifat lethal bagi ikan maupun

udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada

konsentrasi di atas 3,5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Ahmad, 1991).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hingga udang berumur 119 hari

kondisi oksigen masih di atas normal (4,2 – 5,8 ppm) untuk mendukung

pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Kandungan oksigen semakin meningkat

seiring dengan penambahan jumlah kincir hingga 6 buah/petak/0,5 ha dapat menjaga

optimasi oksigen.

pH

Nilai pH air menunjukkan derajad keasaman air. Dinamika pH air

berpengaruh nyata terhadap nafsu makan udang dan pelarutan unsur-unsur hara. pH

air yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari pH optimum akan mempersulit

pelarutan beberapa unsur hara penting untuk phytoplankton (Anonim, 1992).

Beberapa dampak pH air pada pemeliharaan organisme air adalah sebagai berikut : a)

pH 4 menyebabkan kematian udang dan ikan (disebut death point); b) pH 4 – 6

memperlambat pertumbuhan udang; c) pH 6 – 9 adalah nilai pH optimal bagi udang;

70

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

d) pH 9 – 11 memperlambat pertumbuhan udang dan e) pH di atas 11 mematikan

udang (alkaline death point).

Menurut Ahmad (1991) dan Boyd (1989) bahwa untuk dapat hidup dan

tumbuh dengan baik organisme air (ikan dan udang) memerlukan medium dengan

kisaran pH antara 6,8 – 8,5. Pada pH dibawah 4,5 atau diatas 9,0 ikan dan udang

akan mudah sakit dan lemah, nafsu makan menurun dan bahkan udang cenderung

keropos dan berlumut. Fluktuasi pH harian tidak melebihi dari 0,5 poin. Fluktuasi

yang terjadi di atas ambang batas toleransi akan memicu udang terjadi abnormalitas.

Hasil pengamatan terhadap nilai pH air (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa

pH masih layak untuk kehidupan udang, yaitu berkisar antara pH 7,68 – 8,2, namun

fluktuasi harian akan cukup berarti terhadap kondisi udang. Antisipasi yang

dilakukan adalah dengan melakukan pengapuran untuk menstabilkan daya sangga

(buffer) nilai pH dan aplikasi molase untuk menahan lonjakan pH.

Ammonia (NH3)

Ammonia merupakan salah satu senyawa hasil sampingan dari proses

perombakan bahan organik di dalam air dan bersifat racun bagi udang dan ikan.

Tingkat keracunan ammonia semakin meningkat apabila pH > 9. Kehadiran senyawa

ini berkaitan erat dengan tingkat oksidasi air. Semakin tinggi kadar oksigen air, maka

semakin rendah kadar ammonianya karena teroksidasi menjadi ammonium (NH4)

yang tidak beracun dan dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk proses

fotosintesis.

Hasil pengukuran ammonia (NH3) hingga umur 4 bulan masih dapat

dikatakan normal yaitu pada nilai tertinggi < 0,1 ppm (Tabel 3 dan 4). Hal ini

dimungkinkan karena dengan penambahan alat pensuplai oksigen berupa kincir air

hingga 6 buah/petak mampu menghasilkan oksigen untuk mencukupi kebutuhan

oksigen bagi pertumbuhan dan kel;angsungan hidup udang serta kebutuhan oksigen

bagi bakteri perombak senyawa beracun.

Nitrit (NO2)

Nitrit merupakan senyawa hasil sampingan dari proses perombakan bahan

organik. Dalam kondisi normal, konsentrasi nitrit sangat jarang mencapai konsentrasi

mematikan udang. Bila kadar oksigen dalam air tinggi, senyawa ini akan teroksidasi

menjadi nitrat (NO3) yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai nutrien.

Senyawa ini diukur sebagai salah satu indikator kesuburan tambak.

Hasil pengamatan terhadap nitrit selama pemelihraan terlihat bahwa nilai

nitrit pada kisaran 0,004 – 0,19 ppm, ini menunjukan kerja dari bakteri heterotropik

di dalam merombak bahan organik oleh kerja bakteri nitrifikasi cukup efektif.

Plankton

Jenis plankton beberapa diantaranya ada;ah dari jenis diatom,

Chlorophyceaea sp, crustacea kecil dan zoobenthos merupakan makanan (alami)

71

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

yang baik bagi udang (Anonim, 1985). Namun demikian, banyak jenis

Cyanophyceae Sp, Dinophyceae Sp. serta protozoa tidak baik bahkan merugikan bagi

udang. Kondisi kemelimpahan plankton yang optimal berkisar antara 8.000 – 15.000

sel/cc (Anonim, 1992).

Dari hasil pengamatan rutin yang dilakukan setiap minggu menunjukkan hasil

yang cukup baik, yaitu berkisara antara 7.564 s/d 12.500 sel/mL.

Redoks Potensial

Redoks potensial pada sedimen dasar tambak menggambarkan intensitas

oksidasi reduksi yang terjadi pada lapisan tanah dasar tambak. Limbah organik yang

mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan proses

oksidasi dan reduksi. Bahan organik di dasar tambak dapat dioksidasi melalui

pengeringan yang cukup selama persiapan tambak, sedangkan oksidasi bahan

organik selama masa pemelihraan dapat dilakukan antra lain dengan pemanfaatan

kerja bakteri pengurai limbah, diantaranya adalah bakteri Bacillus Spp. Potensial

redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari – 150 m.V (Boyd,

1998), sementara yang masih dapat ditoleransi maksimal – 250 m.V (Anonim, 2007).

Dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa kandungan redok potensial tertinggi terjadi

pada petak A-5 yaitu hingga mencapai – 285 m.V yang sudah diatas batas ambang

toleransi bagi udang dan dapat menyebabkan stress. Sedangkan pada petak A-6

tertinggi dicapai hingga – 233 mV pada saat udang berumur kurang lebih 3 bulan.

Dengan data redoks potensial selama pemeliharaan berlangsung pada kegiatan ini

terjadi fluktuatif, namun secara mendasar tidak langsung mematikan udang.

Bahan Organik Tanah

Persiapan tanah dasar tambak yang baik hingga dicapai bahan organik < 12%,

ini dapat dicapai dengan melakukan persiapan tanah dasar/sedimen yang baik. Bahan

organik yang ideal adalah berkisar antara 6 – 9% (Anonim, 1985 dan Boyd, 1998).

Kandungan bahan organik tanah adalah merupakan bahan sumber polutan di

lingkungan perairan, khususnya lingkungan tambak yang dapat bersifat racun bagi

organisme peliharaan.

Dari data pengamatan pada (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa pada awal

pemeliharaan kandungan bahan organik tanah yang tersisa layak untuk dilakukan

kegiatan budidaya (< 12%). Seiring dengan bertambahnya umur udang, menunjukan

bahwa semakin tinggi pula beban bahan organik pada tanah dasar. Penekanan bahan

organik tanah agar tidak melampaui ambang batas kelayakan dapat dilakukan dengan

aplikasi probiotik dan dengan peningkatan oksigen yang dipasok dengan

penambahan kincir air.

Total Vibrio dan Total Bakteri

Salah satu indikator penting terhadap keberhasilan budidaya udang di tambak

adalah adanya kemelimpahan bakteri vibrio air media peliharaan Bukan saja untuk

72

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mendeteksi dini serangan penyakit, tetapi juga sekaligus dapat menunjukkan adanya

penurunan kualitas lingkungan tambak (Prastowo, 2007). Lebih lanjut dikatakan

bahwa kemelimpahan vibrio 102 – 103 CFU/mL merupakan level aman, 103 – 104

CFU/ml merupakan level stress dan > 104 CFU/mL merupakan level kritis, dengan

dominasi vibrio bakteri adalah < 5% level aman, 6 – 10% adalah level stress dan >

10 % adalah level kritis.

Hasil pengamatan kemelimpahan total vibrio dalam air selama pemeliharaan

90 hari berkisar antara 1,0.102 - 5,5.102 (petak A-5) dan 4.101 – 5,6.102 (petak A-6).

Peningkatan total vibrio terjadi menjelang umur 117 hari hingga 104 – 105 telah

secara nyata mampu menyebabkan virus WSSV menginfeksi udang vaname dan

pada akhirnya menyebabkan kematian. Prastowo, 2007 menyatakan bahwa akan

terjadinya serangan penyakit lebih ditekankan pada fluktuasi bakteri vibrio dalam

tambak. Lebih lanjut dari Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa fluktuasi kemelimpahan

bakteri Vibrio terjadi pada akhir pemeliharaan, yaitu terdeteksi pada kisaran level

stress dan level kritis yang menyababkan udang terjangkit penyakit sehingga

menyebabkan kematian cukup banyak.

Produksi

Hasil akhir kegiatan “Peningkatan produksi udang vaname melalui optimasi

oksigen pada teknologi intensif” tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi udang vaname (petak I) dan (petak II)

No. Keterangan Petak I Petak II 1 Jenis udang Vaname Vaname 3 Jumlah tebar 350.000 ekor 350.000 ekor 4 Sintasan ( SR ) 80,0% 82,5 % 5 Udang layak jual 1.657 kg 1.715 kg 6 Under size terjual 23 kg 17 kg 7 BS (tidak layak jual) 102 kg 25 kg

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari hasil kajian pada kegiatan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

- Diketahui nilai optimasi oksigen untuk mendukung kelangsungan hidup

udang vaname di atas 3,5 ppm,

- Diketahui effek optimasi oksigen terhadap peningkatan beberapa

parameter kualitas air dan tanah,

- Belum mampu menghasilkan berat udang size 60 (16,6 gram), namun

target kelangsungan hidup (SR) sebesar > 75% dalam masa pemeliharaan

120 hari, yaitu dapat dicapai dengan kisaran SR sebesar 80,0% s/d 82,5%.

Saran

Adapun saran yang perlu disampaikan dari hasil kegiatan ini adalah sebagai

berikut :

73

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

- Perlu kajian lanjutan untuk mengetahui pengaruh optimasi oksigen yang

mampu mendukung pertumbuhan dan SR dengan hewan uji yang tidak

terserang penyakit IHHNV.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi.

selaku Kepala BBPBAP Jepara, Bapak Ir. Abidin Nur, M.Sc. selaku Penanggung

Jawab Kegiatan NSBC Bapak Bayu Romadhona, S.Pi, M.Si dan teman teman yang

terkait.

DAFTAR PUSTAKA Adiwidjaya D., Erik, Sutikno. dan Dwi Sulistinarto. 2003. Produktifitas Pada

Budidaya Udang Windu Sistim Tertutup: Peluang Usaha Untuk Mencari Nilai Tambah Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Pertemuan Pra Lintas UPT Budidaya Air Payau dan Laut, Ditjen. Perikanan Budidaya, Jepara September 2003. 39 halaman.

Adiwidjaya, D., Triyono, Herman, Aris Supramono, dan Hadi Prayitno, 2004. Makalah. Peningkatan produktivitas tambak melalui penerapan probiotik secara terkendali pada budidaya udang sistim tertutup. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 26 hal.

Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang Intensif. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros.

Anonim, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Perikanan. Jakarta. Balai Budidaya Air Payau. Jepara. 225 hal.

Anonim, 1992. Plankton Management and Shrimp Culture. Pub. By The Asian Shrimp Culture Council. Asian Shrimp News. No. 9.

Anonim, 2004. Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 39 hal.

Anonim, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP pada Budidaya Udang Windu (P. monodon Fab.) Intensif. Juknis. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara 68 hal.

Byod, C. E., 1989. Water Quality Management for Fish Science. Vol. 9. Elselver Scientify. Pub. Comp. 318 p.

Latif, M.S. 2007. Manjemen fisika kimia lingkungan budidaya. Makalah pelatihan Tenaga pendamping Teknis. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 18 hal.

Prastowo, BW. 2007. Fluktuasi dan kemelimpahan bakteri vibrio di tambak sebagai indikator serangan penyakit bintik putih (white spot) di tambak udang Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.

Sutanto Iwan., 2002. Aplikasi sistim heterotrof sebagai upaya dalam pengendalian penyakit pada budidaya udang windu dan Vaname. Makalah pada Seminar nasional crystacea ke 2. IPB-Bogor. 16 hal.

74

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PENGELOLAAN LUMPUR SEDIMEN PADA PEMELIHARAAN

CALON INDUK UDANG WINDU G9

Oleh : Jumana dan Subiyanto

ABSTRAK Usaha udang windu mengalami perkembangan yang sangat pesat, sejalan dengan perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya udang vaname ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan eksternal. Sebagai contoh dampak intenal adalah kandungan bahan organik tanah melebihi batas ambang yang berasal dari limbah kotoran udang (feces) dan sisa pakan udang serta akibat organisme perairan lainnya yang mati. Salah satu metoda untuk menjaga dan mengeliminir kandungan bahan organik adalah dengan teknik penyiponan lumpur dasar (sedimen organik) dengan sistem pompa hisap jenis portable. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produktivitas tambak pada pemeliharaan calon induk udang windu G9 dan untuk mencari teknik penyiponan yang efektif pada lumpur organik sedimen dasar tambak. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara petak yang disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol). Tingkat produktivitas pada petak yang disipon mempunyai nilai tambah yang cukup signifikan dibandingkan dengan petak yang tidak disipon. Kata Kunci : penyiponan, sedimen, calon induk udang windu G9, bahan organik

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komoditas udang merupakan salah satu pangsa pasar yang menjanjikan untuk

terus ditingkatkan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas produksinya. Namun

sejalan dengan perkembangan kondisi lingkungan yang semakin menurun dari segi

beberapa parameter lingkunagn media pemeliharaan, seperti bahan organik air dan

tanah yang tinggi serta parameter kualitas lingkungan lainnya yang kurang optimal.

Sealin itu, dominansi dan fluktuasi bakteri Vibrio Sp. sangat dipengaruhi oleh

kosentrasi bahan organik air dan sedimen (Gunarto at al, 2006). Penurunan kualitas

lingkungan, kualitas perairan yang buruk, juga berpengaruh terhadap tingkat

intensitas serangan penyakit tersebut (Holm, 1999). Dengan kondisi mulai terjadinya

degradasi parameter kualitas lingkungan budidaya, maka tidak sedikit pembudidaya

banyak yang mengalami gagal panen secara maksimal.

Kasus menurunnya kualitas lingkungan dan serangan penyakit pada

budidaya udang windu (Penaeus monodon) hingga saat ini belum sepenuhnya dapat

75

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

diatasi. Oleh karena itu, ada kecenderungan udang introduksi, seperti L. vannamei

menjadi komoditas alternatif pada budidaya udang di tambak. Hal ini dapat

dimengerti karena sejak dirilisnya udang vaname yang berasal dari Amerika Latin

(Meksiko) pada tahun 2001 perkembangannya di Indonesia cukup pesat. Demikian

pula dengan teknologi dan tingkat produktivitas di tambak sangat signifikan

menggantikan posisi usaha budidaya udang windu yang sering mengalami kegagalan

panen yang optimal. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh udang vaname, antara

lain responsif terhadap pakan yang diberikan atau nafsu makan yang tinggi, cukup

tahan terhadap serangan penyakit dan adaptif terhadap kondisi lingkungan yang

kurang baik. Selain itu udang vaname juga memiliki pangsa pasaran yang pesat

ditingkat internasional dan dapat diproduksi dengan padat tebar tinggi. Udang

vaname juga mempunyai kebiasaan (life style) yang agak berbeda dengan jenis udang

windu, yaitu mempunyai gerakan yang sangat lincah dan hampir menempati seluruh

kolom air media pemeliharaan (sekitar 70%). Sehingga tingkat kepadatan tebar yang

akan dilaknakan hampir identik dengan seberapa jumlah volume air pada tambak

tersebut.

Usaha udang windu mengalami perjalanan yang lesut, sejalan dengan

perkembangan dan tingkat produktivitas udang windu yang tinggi di masyarakat,

maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang sama pada usaha budidaya

udang windu, karena dengan tingkat kepadatan tebar yang tinggi pada budidaya

udang windu ini sudah terlihat dampak terhadap tambak secara internal dan

eksternal. Salah satu parameter kualitas lingkungan yang sudah melebihi batas

ambang adalah bahan organik tanah yang berasal dari limbah kotoran udang (feces)

dan sisa pakan udang dan parameter kualitas lingkungan media lainnya.

Dengan melihat kenyataan di lapangan dan banyak kasus budidaya udang

windu yang mengalami kegagalan panen yang maksimal akibat beberapa atau salah

satu faktor parameter kualitas lingkungan media pemeliharaan yang kurang dan atau

tidak optimal, maka BBPBAP–Jepara berkewajiban untuk ikut memberikan solusi

penanggulangannya. Salah satunya adalah dengan adanya rekayasa teknik

pengelolaan lumpur dasar pada budidaya udang windu

Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah :

Untuk meningkatkan produktivitas tambak pada pemliharaan calon induk

udang windu.

Untuk mencari teknik penyiponan yang efektif pada lumpur organik

sedimen dasar tambak.

Sasaran

Sasaran yang hendak dicapai dari teknik pengelolaan lumpur dasar ini adalah

sebagai berikut :

76

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Perbaikan parameter kualitas media pemeliharaan calon induk udang

(bahan organik air dan tanah, ammonia, nitrit dan redoks potensial),

Untuk menigkatkan produkstivitas tambak dalam pemeliharaan calon

induk udang windu

BAHAN DAN ALAT

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan teknik pengelolaan lumpur

dasar pada padapemeliharaan calon induk udang windu. Tabel 1 dan 2 sebagai

berikut.

Tabel 1. Sarana dan peralatan yang digunakan pada kegiatan ujicoba

No. Komponen Alat/Sarana Volume Satuan 1 Wadah ujicoba 2 Petak 2 Pompa submersible 6 dan 8 inchi 2 Unit 3 Kincir air 1 PK 2 Unit 5 Peralatan lapangan 1 Paket 6 Sarana dan alat penyiponan 1 Unit 7 Alat pengamatan kualitas air, tanah dan plankton 1 Paket 8 Sarana pendukung lainnya (Lab. analisa) 1 Paket

Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan

No. Komponen Bahan Volume Satuan 1 Calon induk udang windu G 9 2.000 Ekor 2 Pakan udang 4.750 Kg 4 Desinfektan 300 Kg 7 Kapur (Dolomit) 1.000 Kg 9 Molase/Tetes Tebu 300 Liter

10 Pupuk anorganik (Urea, TSP/SP-36, NPK) 200 Kg 11 Probiotik 40 Liter 12 Feed additive 1 Paket 13 Biofilter 1 Paket

Tata Kerja Persiapan Tambak

Kegiatan persiapan tambak yang dilakukan adalah pengeringan,

pemberantasan hama, pengolahan dasar dan perbaikan pH tanah dasar. Pengeringan

dilakukan hingga tanah retak-retak untuk untuk mempercepat proses penguraian

bahan organik. Pembalikan tanah dasar tambak tidak dilakukan karena hingga pada

kedalaman 10 – 15 cm kualitas tanah masih menunjukan nilai yang layak dengan

nilai parameter diantaranya : bahan organik < 12%; redoks potensial > -50 m.V dan

pH tanah > 6,5.

77

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Penyiapan Air Media

Penyiapan air media pada petak pemeliharaan berasal petak tandon biofilter.

Pemasukan air dari petak tandon ke petak pemeliharaan calon induk udang windu

dengan menggunakan pompa. Untuk mencegah masuknya crustecea liar dan ikan

lainya, maka dilakukan penyaringan air dengan saringan kassa mesh size 1 mm atau

plankton net ukuran T-45 dengan mesh size 300-400 μm. Pengisian air tahap awal

mencapai di atas 100 cm.

Sebelum pemupukan dan penumbuhan plankton air diseterilkan dengan

kaporit 60% dosis 20 ppm. Setelah netral sekitar 2 hari maka dilanjutkan dengan

penumbuhan plankton dengan aplikasi pupuk anorganik (Urea : 5 – 10 ppm, TSP/SP-

36 : 3 – 5 ppm) dan pupuk mikro seperti lodan dengan dosis 0,5 ppm. Untuk

mempercepat kemelimpahan plankton ditambah bibit plankton Chlorella sp sebagai

starter. Plankton akan tumbuh setelah 4 – 7 hari. Bila plankton belum tumbuh, maka

dilakukan pemupukan susulan dengan dosis pupuk yang sama sampai plankton

tumbuh dengan indikator diukur dengan kescerahan air mencapai minimal 50 cm.

Penebaran probiotik komersial jenis Bacillus Sp. dilakukan dengan dosis 10 liter/Ha

sebagai starter dalam petak pembesaran.

Pemilihan dan Penebaran calon induk udang windu G9

Calon induk udang windu yang digunakan adalah calon induk udang windu

G9 dengan berat 60 gr/ induk – 70 gr/induk. calon induk udang windu diangkut

untuk ditebar dan diadaptasikan pada parameter : salinitas, suhu dan pH air tambak

untuk mengurangi stres pada saat penebaran.

Pengelolaan Pakan

Pengelolaan pakan meliputi dosis, ukuran, jumlah, waktu dan frekuensi

pemberian disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Pemberian pakan tambahan

mulai diberikan sejak awal penebaran hingga ukuran yangb ditentukan dengan

ukuran dan jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran udang. Pengamatan nafsu

makan dilakukan setiap pemberian pakan melalui kontrol pada anco (feeding tray).

Jumlah pakan pada masing-masing anco adalah 0,8 – 1% dari jumlah setiap

pemberian. Jumlah anco minimal 2 buah per petak. Pemberian pakan segar juga

dilakukan bila nafsu makan menurun dan diimbangi dengan pengelolaan air yang

baik.

Pengelolaan air

Pengelolaan air yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pergantian air;

pengukuran kualitas air serta aplikasi pupuk anroganik (Urea, TSP dan pupuk

lainnya). Pengamatan kualitas air harian meliputi : salinitas, pH, suhu, kecerahan.

Pengamatan kualitas air secara periodik (mingguan) meliputi : bahan organik, nitrit,

ammonia dan alkalinitas. Sedangkan pengamatan kualitas tanah secara periodik (2

minggu sekali) meliputi : redoks potensial, pH dan bahan organik. Untuk menjaga

78

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

pH agar stabil diaplikasikan dolomit dengan dosis 5 – 15 ppm dan untuk menyerap

gasp-gas beracun digunakan zeolit dosis 5 – 10 ppm.

Pengamatan kondisi kesehatan udang dilakukan setiap hari yang meliputi

gerakan, warna, kondisi usus dan nafsu makan melalui mengamati pada anco

(feeding tray). Pengamatan dan pengukuran laju pertumbuhan udang dan perhitungan

pakan dilakukan setiap 7 hari sekali. Pengambilan contoh sampel udang

menggunakan jala tebar dengan teknik diambil beberapa titik sample yang dianggap

mewakili.

Pengelolaan Lumpur Dasar

Rancangan teknik pengelolaan sedimen dasar tambak dimulai pada saat

tahapan persiapan tambak dengan parameter tanah dasar tambak yang siap tebar.

Sementara selama pemeliharaan akan dilakukan pada petak perlakuan (yang disipon)

dengan teknik penyiponan berdasarkan hasil pengamatan pada parameter bahan

organik, pH, dan redoks potensial, sedangkan petak kontrol (tidak disipon) selama

pemeliharaan tidak dilakukan teknik penyiponan. Alat yang digunakan adalah berupa

pompa sedot model alkon ukuran diameter 2,5 inchi. Teknik penyiponan dilakukan

secara bertahap dan perlahan-lahan agar kondisi dasar tambak tidak teraduk-aduk

dan udang tidak stres. Limbah lumpur organik dibuang ke kanal pembuangan.

Rancangan perlakuan dengan teknik penyiponan lumpur pada sedimen dasar tambak

terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rancangan teknik penyiponan sedimen dasar pada ”petak perlakuan”

selama pemeliharaan calon induk udang windu

No. Umur

(Bulan ke)

Frekuensi

(kali)

Indikator Parameter Lumpur Sedimen

Tambak yang Optimal (Anonim, 2007)

1 I 1 1. Bahan organik : < 12%

2. pH : 6,5 – 8,0

3. Redoks Potensial : positif s/d – 150 m.V

2 II 2

3 III 3

Panen

Pemanenan hasil dapat dilakukan apabila target umur pemeliharaan sudah

cukup dan ukuran udang sudah mencapai yang ditentukan yaitu setelah mencapai

ukuran berat rata-rata individu minimal >80 gram

Data yang diamati :

Parameter kualitas tanah dasar (BO, pH, redoks potensial)

Produktivitas tambak (pertumbuhan )

Parameter kualitas air media lainnya

79

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Kualitas Dasar Tambak (Sedimen)

Parameter kualitas media dasar tambak pada pemeliharaan calon induk udan

windu merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat keberhasilan dan

produkstivitas tambak itu sendiri. Hampir semua jenis udang menempati dan hidup

dibagian dasar (bottom) kolam/tambak, bagian dasar tambak berpengaruh langsung

dan berinteraksi terhadap hampir semua parameter kualitas lingkungan media

pemeliharaan udang. Untuk itu, dalam proses pemeliharaan calon induk udang windu

di tambak diperlukan pengendalian dan pengelolaan sedimen dasar tambak secara

optimal agar udang dapat tumbuh dan tingkat kelangsungan hidup yang optimal.

Beberapa partameter kualitas dasar tambak yang perlu diperhatikan pada

pemeliharaan calon induk udang windu, diantaranya : bahan organik, pH, dan redoks

potensial. Adapun hasil dari rekayasa teknik pengelolaan sedimen dasar tambak

selama pemeliharaan calon induk udang windu G9 di tambak NSBC BBPBAP –

Jepara, adalah sebagai berikut :

Bahan Organik

Kandungan bahan oganik tanah adalah merupakan sumber pollutan di

lingkungan perairan, khususnya lingkungan tambak. Limbah kotoran udang dan sisa

pakan serta organisme yang mati akan mengalami akumulasi di dasar tambak,

sehingga dalam proses dekomposisinya akan menghasilkan senyawa-senyawa yang

bersifat gas-gas beracun yang berdampak negatif seperti H2S, NH3 dan gas lainnya.

Gas-gas beracun yang ditimbulkan akibat proses dekomposisi bahan organik pada

sedimen dasar tambak dapat menyebabkan udang/ikan keracunan dan menjadi stres

bahkan kematian (Ahmad,, 1991 dan Boyd, 1992). Secara umum bahan organik

tanah dapat dikendalikan dengan cara mengoptimal pada saat proses persiapan awal.

Untuk mengeliminir bahan organik tanah dapat dilakukan beberapa cara, yaitu

lakukan proses pengeringan, pembuangan sisa kotoran (pengupasan), pencucian,

pembalikan/pengolahan dan pengupasan tanah dasar, serta pengapuran secukupnya

(Adiwidjaya, et al, 2002).

Hasil pengamatan sejak bulan pertama pada petak yang disipon sedimen

dasar tambaknya terukur kandungan bahan organiknya antara 9,6 – 12,4%. Hal ini

dapat dikatakan kondisi kandungan bahan organik pada petak perlakuan lebih baik

bila dibandingkan dengan petak tanpa perlakuan penyiponan (Tabel 5). Tetapi pada

awal bulan kandungan bahan organik hampir relatif sama, ini disebabkan dasar

tambak pada bulan pertama masih dalam kondisi baik akibat pengaruh pada tahap

persiapan dan bahan organik dari kotoran calon induk udang windu masih sedikit.

Dengan kisaran bahan organik pada petak perlakuan (yang disipon) hampir

mendekati kondisi optimal, yakni masih berada dalam kondisi yang layak bagi

kehidupan udang (Anonim, 2007). Bahan organik sedimen dasar tambak

80

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(penumpukan lumpur) secara tidak langsung dapat mempengaruhi pula kandungan

bahan organik air yang tersuspensi (TOM – total organic matter) (Boyd, 1992).

pH

Derajat kesaman (pH) tanah banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor

pembentuknya, antara lain bahan organik dan berbagai jenis organisme air yang

mengalami pembusukan, logam berat (besi, timah dan bouksit, dll). Biasanya pH

tanah dasar tambak yang rendah diikuti tingginya kandungan bahan organik tanah

yang terakumulasi dan tidak terjadi oksidasi yang sempurna (Anonim, 1985).

Sedangkan pH tanah yang rendah cenderung dipengaruhi oleh kandungan logam

berat seperti besi, timah dan logam lainnya. pH tanah yang optimal untuk kegiatan

budidaya udang dan ikan berkisar antara 6,5 – 8,0 (Boyd, 1992).

Hasil pengukuran nilai pH pada pemeliharaan calon induk udang windu baik

yang dilakukan pada petak yang disipon maupun pada petak tidak disipon masih

dalam kondisi yang cukup optimal. Namun pada bulan ketiga pada petak tidak

disipon nilai pH tanahnya cenderung menurun, hal ini terkait erat dengan kandungan

bahan organik yang cenderung meningkat (Tabel 4).

Tabel 4. Kisaran parameter kualitas sedimen dasar selama pemeliharaan calon induk

udang windu

No.

Bulan ke

Petak Perlakuan Penyiponan Petak Tanpa Penyiponan BO (%)

pH Redoks (m.V)

BO (%)

pH Redoks (m.V)

1 I 9,6 - 11,1 6,7 - 7,5

-14s/d -71

9,5 - 11,7

6,6 - 7,4

-18 s/d -68

2 II 10,0 - 11,6

6,8 - 7,6

-68s/d -98

11,3 - 12,2

6,5 - 7,4

-85s/d -102

3 III 10,8 - 11,9

7,0 - 7,7

-75s/d -115

13,8 - 14,3

6,6 - 7,1

-112s/d -171

Redoks Potensial

Potensial redoks pada sedimen dasar tambak adalah menggambarkan

intensitas oksidasi dan reduksi yang terjadi (Boyd, 1992). Suatu substansi

terakumulasi dan tidak teroksidasi oleh oksigen karena keterbatasan cadangan

oksigen. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan substansi tersebut melepaskan

elektron yang selanjutnya mengakibatkan senyawa lain tereduksi. Limbah organik

yang mengalami transformasi secara biokimiawi oleh bakteri selalu melibatkan

proses oksidasi dan reduksi. Bahan organik yang ada di dasar harus dioksidasi

melalui proses pengeringan yang cukup (bila perlu dengan pembalikan tanah dasar).

Cukup tidaknya proses oksidasi dapat dilihat dari nilai pengukuran Potensial redoks

(Reduksi-Oksidasi). Bila bahan-bahan tereduksi sudah teroksidasi (termasuk bahan

organik) maka nilai Potensial Redoks (ORP = Oxydation-Reduction Potential)

positif. Potensial redoks tanah dasar tambak untuk budidaya udang tidak lebih dari

minus 150 m.V (Boyd, 1992). Redoks potensial dapat dijadikan parameter kualitas

81

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sedimen, mengingat potensi redoks menggambarkan sejumlah senyawa yang

potensial teroksidasi atau tereduksi.

Potensial redoks pada petak yang disipon terlihat cukup optimal selama masa

pemeliharaan, sedangkan pada petak tidak disipon mulai bulan ketiga hingga

keempat terlihat meningkat melebihi batas ambang (Tabel 4). Meningkatnya kondisi

potensial redoks pada petak tidak disipon karena tidak terjadi proses oksidasi dan

reduksi pada akumulasi bahan organik sedimen lumpur dasar tambak. Proses

oksidasi dan reduksi pada sedimen dasar tambak dipengaruhi oleh adanya bakteri

pengurai dan adanya oksigenasi yang cukup pada tanah dasar tambak. Dengan

kondisi redoks potensial pada petak yang disipon cukup optimal ini dikarenakan

adanya penyedotan bahan organik (lumpur dasar) tambak secara periodik dengan

frekuensi sesuai umur pemeliharaan.

Produktivitas Tambak ( Pertumbuhan )

Dalam kegiatan pemeliharaan calon induk udang windu G9 ini diperlukan

beberapa faktor untuk mencapai target produksi yang optimal, diantaranya

pertambahan berat rata-rata individu harian. Dengan adanya data pertumbuhan dan

tingkat kelangsungan yang optimal pada pemeliharaan calon induk udang windu,

maka akan terlihat produktivitas tambak secara optimal pula (Anonim, 2007).

Dari hasil pengamatan dan pengambilan contoh sample calon induk udang

windu yang dilakukan secara berkala pada kegiatan ini, bahwa pertumbuhan

meningkat. Membaiknya pertumbuhan pada petak yang disipon dimungkinkan

karena dengan kondisi parameter kualitas media dasar juga relatif lebih baik.

Sehingga petak yang disipon dapat menunjukkan hasil yang optimal dari segi

produktivitas tambak .

Kurang optimalnya pertumbuhan calon induk udang windu dipengaruhi pula

oleh beberapa parameter kualitas air media pemeliharaan (Anonim, 2004).

Parameter Kualitas Air Media

Dari hasil pengamatan dan analisa baik langsung di lapangan maupun di

laboratorium pada kegiatan pemeliharaan calon induk udang windu G9 ini diperoleh

beberapa data parameter kualitas air yang penting selama masa pemeliharaan calon

induk udang windu G9 (Tabel 5 dan 6), data-data tersebut adalah sebagai berikut :

Salinitas

Salinitas air media pemeliharaan pada umumnya cukup berpengaruh tehadap

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup udang (Anonim, 1985). Dari hasil

pengamatan pada kedua petak pemeliharaan terukur mulai bulan pertama hongga

bulan tiga terjadi peningkatan hingga mencapai salinitas 32 ppt. Dengan kondisi

salinitas seperti ini masih cukup mendukung untuk kegiatan budidaya udang secara

umum, karena udang dapat tumbuh dan berkembangan pada kisaran salinatas antara

5 – 30 ppt (Anonim, 1985 dan Ahmad, 1991), karena jenis udang vaname

82

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mempunyai toleransi cukup luas yaitu antara 0 – 50 ppt. Namun apabila salinitas di

bawah 5 ppt dan di atas 30 ppt biasanya pertumbuhan calon induk udang windu G9

relatif lambat, hal ini terkait dengan proses osmoregulasi dimana akan mengalami

gangguan, terutama pada saat udang sedang ganti kulit dan proses metabolisme

(Anonim, 2007).

Temperatur

Temperatur air merupakan salah satu faktor pembatas yang nyata dalam

kehidupan udang ditambak. Seringkali didapatkan udang mengalami stres dan

bahkan mati disebabkan oleh perubahan suhu yang fluktuatif (Ahmad, 1991).

Keadaan seperti ini sering terjadi pada tambak dengan kedalaman kurang dari satu

meter atau kondisi cuaca yang tidak menentu. Sebagai contoh musim kemarau

(musim bediding) dan perbedaan suhu yang sangat mencolok antara siang dan malam

hari (Adiwidjaya et al. 2005). Berdasarkan hasil penelitian para ahli, terbukti

bahwa pada suhu rendah metabolisme udang menjadi rendah dan secara nyata

berpengaruh terhadap nafsu makan udang menurun (Byod, 1989).

Sementara dari hasil pengamatan pada kedua petak yaitu sejak bulan pertama

hingga bulan tiga terukur antara 24,5 – 31,00C. Rendahnya suhu pada pagi hari dan

terjadinya fluktuasi yang tajam pada sore hari dikarenakan pada musim kemarau

sering terjadi pengaruh angin selatan (bediding). Rendahnya suhu air pada pagi

hingga siang hari dapat menyebabkan nafsu makan udang rendah dan proses

metabolisme tidak optimal, sehingga dapat menghambat petumbuhan bahkan dapat

menyebabkan kematian. Sedangkan nilai temperatur optimal bagi pertumbuhan dan

perkembangan udang berkisar antara 28,0 – 31,5 0C (Anonim, 1985 dan Anonim,

2007).

pH (Derajat Keasaman) Air

Untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik bagi organisme air (ikan dan

udang) memerlukan medium dengan kisaran pH antara 6.8 – 8.5 (Ahmad, 1991 dan

Boyd, 1991). Pada pH dibawah 4,5 atau diatas 9,0 ikan atau udang akan mudah

sakit dan lemah, dan nafsu makan menurun bahkan udang cenderung keropos dan

berlumut. Apabila nila pH yang lebih besar dari 10 akan bersifat lethal bagi ikan

maupun udang.

Dari data pengamatan pada kedua petak ujicoba ini diperoleh kondisi pH air

yang relatif optimal, namun dari segi fluktuasi antara pagi dan sore hari cukup tajam

yaitu pada poin > 0,5. Pengendalian nilai pH yang optimal diperlukan aplikasi kapur

pada saat masa pemeliharaan udang di tambak (Adwidjaya, et al 2002).

DO (Oksigen Terlarut)

Kelarutan oksigen dalam air media pemeliharaan merupakan parameter kunci

dalam setiap kehidupan organisme air (Boyd, 1989). Konsentrasi maksimum oksigen

di air sangat tergantung pada tekanan atmosfir, konsentrasi garam, dan temperatur.

83

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Konsentrasi oksigen yang rendah, dibawah 1,5 mg/l bersifat lethal bagi ikan maupun

udang. Sedangkan kondisi ideal bagi pertumbuhan ikan dan udang adalah pada

konsentrasi diatas 3.5 mg/l hingga konsentrasi saturasi (Anonim, 1991).

Hasil pengamatan pada kedua petak ada perbedaan nilai konsentrasi oksigen

terlarut yang cukup mencolok. Petak perlakuan (yang disipon) secara keseluruhan

hampir dikatakan dalam kondisi optimal (3,4 – 5,5 ppm) dan petak kontrol (tidak

disipon) terjadi penurunan mulai bulan ketiga hingga keempat, yaitu antara 2,7 – 4,8

ppm. Secara tidak langsung dampak dari teknik penyiponan pada sedimen dasar

tambak dapat menstabilkan dan meningkatkan nilai konsentrasi oksigen terlarut dan

sebaliknya pada petak kontrol terjadi defisit oksigen mulai bulan kedua akibat

penyerapan oksigen oleh akumulasi bahan organik. Sedimen dasar tambak

(akumulasi lumpur/bahan organik) dapat menyerap oksigen sebesar hamir 20%

(Boyd, 1992).

Alkalinitas

Alkalinitas adalah kumpulan seluruh anion di dalam badan air. Alkalinitas

menggambarkan kapasitas buffer air yang dinyatakan dalam mg/l dari CaCO3.

Semakin sadah air, semakin baik bagi usaha budidaya ikan/udang dengan nilai

optimalnya 120 mg/l dan nilai maksimumnya 200 mg/l. Kesadahan total

merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi ion magnesium

dan kalsium (Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991). Parameter ini diukur untuk

menyediakan tambak udang dengan kondisi yang identik dengan lingkungan

alaminya. Perairan dengan alkalinitas rendah mempunyai daya penyangga (buffer

capacity) yang rendah terhadap perubahan pH. Alkalinitas air sangat erat kaitannya

dengan tersediannya karbondioksida (CO2) untuk proses fotosintesis tumbuhan air

terutama fitoplankton.

Kondisi alkalinitas yang didapat dari hasil pengamatan pada kedua petak baik

perlakuan maupun kontrol tidak jauh berbeda kandungannya. Namun pada awal

pemeliharaan kandungan alkalinitas masih dibawah optimal, yaitu antara 79,4 – 98,9

ppm, sedangkan mulai bulan kedua terjadi peningkatan kearah yang optimal (Tabel 7

dan 8). Dengan data dari akhir bulan pertama hingga akhir pemeliharaan, bahwa

untuk kegiatan budidaya ikan maupun udang cukup optimal, sementara alkalinitas

yang optimal untuk kegiatan budidaya udang berkisar antara 90 – 150 ppm

(Anonim., 1985 dan Ahmad., 1991).

Bahan Organik

Keberadaan kandungan bahan organik pada air media, baik pada perairan

umum maupun petakan tambak pada jumlah yang tinggi merupakan hambatan bagi

kehidupan organisme yang dipelihara. Hal ini akan mengalami pengendapan dan

terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun bagi udang dan organisme

lainnya, seperti halnya ammonia (NH3), dan Nitrit (NO2). Kisaran optimal

kandungan bahan organik air untuk pemeliharaan udang adalah antara < 90 ppm

84

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

(Anonim, 2002 dan Anonim, 2007). Bahan organik yang diukur ini merupakan

akumulasi dari berbagai macam sumber bahan yaitu bahan organik yang berasal dari

limbah biota air yang mati maupun tanaman berupa fitoplankton dan tanaman lain,

atau sisa pakan serta organisme yang masih hidup lainnya.

Data kandungan bahan organik air pada petak perlakuan terlihat jauh lebih

baik dan mendekati kepada kondisi yang optimal (68,4 – 88,5 ppm) dibandingkan

dengan petak kontrol (95,3 – 165,9 ppm). Meningkatnya kandungan bahan organik

air pada kedua petak tambak disebabkan oleh semakin bertambahnya biomass udang

dan semakin banyaknya jumlah pakan yang diberikan, sehingga sisa kotoran dan

pakan yang tidak terserap semakin besar.

Tabel 5. Kisaran parameter kualitas air pada petak yang disipon

No Bulan

ke

Parameter Kualitas Air

Salinitas (ppt)

Temperatur (oC)

pH Oksigen (ppm)

Alkalinitas (ppm)

BO (ppm

)

NH3

(ppm)

1 I 26 – 30 27,5-30,0

7,7 – 8,0

3,4 – 5,4 79,4–97,6 68,4-73,8

0,02-0,04

2 II 31 – 34 27,0-30,5

7,5 – 7,9

3,4 – 5,3 98,4–102,5 71,2-88,2

0,03-0,05

3 II 35 – 38 25,5-30,5

7,6 – 8,3

3,5 – 5,5 105,2–115,5 74,8-87,6

0,05-0,08

Tabel 6. Kisaran parameter kualitas air pada petak tidak disipon

No Bulan

ke

Parameter Kualitas Air

Salinitas (ppt)

Temperatur (oC)

pH Oksige

n (ppm)

Alkalinitas (ppm)

BO (ppm)

NH3 (ppm)

1 I 26 – 30 27,0-30,0

7,6 – 8,0

3,1 – 5,5

86,5–98,9

95,3-101,2

0,02-0,03

2 II 31 – 34 26,5-31,0

7,4 – 7,8

3,2 – 4,9

99,1–101,9

96,5-108,8

0,04-0,06

3 III 35 – 38 24,5-30,0

7,5 – 8,2

2,9 – 4,5

103,4–107,8

98,7-134,6

0,09-0,16

Ammonia (NH3-N)

Kandungan ammonia dalam air merupakan hasil perombakan dari senyawa-

senyawa nitrogen organik oleh bakteri pengurai secara alami dan atau dampak dari

penambahan pupuk. Senyawa ini sangat beracun bagi organisme perairan walaupun

dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi amonia pada air media yang mampu

ditolerir untuk kehidupan udang dewasa < 0,3 ppm (Ahmad, 1991 dan Boyd, 1989),

dan ukuran benih < 0,1 ppm.

Secara umum keberadaan kandungan ammonia dari kedua petak

pemeliharaan udang vaname ini hanya mempunyai perbedaan yang tipis. Kisaran

kandungan ammonia ini masih dalam batas yang aman bagi kehidupan udang (Tabel

85

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

8 dan 9), ini terbukti dari sintasan kedua petak tidak terlalu signifikan dan secara

umum kandungan ammonia air ini termasuk kedalam kategori yang optimal, yaitu

masih < 0,3 ppm. Namun pada petak kontrol (tidak disipon) ada sedkit kenaikan

mulai bulan ketiga dan keempat (0,09 – 0,21 ppm), hal ini dapat dipahami karena

pada petak ini tidak dilakukan penyedotan/penyiponan sedimen lumpur dasar secara

rutin.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil kegiatan ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai beitut :

Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini adalah terlihat nyata antara

petak yang disipon (perlakuan) dan petak tidak disipon (kontrol),

Tingkat produktivitas pada petak perlakuan mempunyai nilai tambah

yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan petak kontrol

Secara teknis aplikasi penyiponan pada petak tambak pemeliharaan

calon induk udang windu G9 yang terkendali dapat diterapkan dan

mudah diprogram sesuai dengan kondisi lapangan.

Saran

Namun dari hasil kegiatan ini tetap masih diperlukan beberapa saran,

diantaranya :

Pertumbuhan masih dapat ditingkatkan melalui aplikasi teknik

penyiponan yang lebih efektif dan efeisien,

Tambak perlu menerapkan teknik penyiponan pada lahan/petak yang

terkendali dan tingkat kepadatan yang tinggi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir. Abidin

Nur, M.Sc. selaku Penanggung Jawab Kegiatan NSBC Bapak Bayu Romadhona,

S.Pi, M.Si dan teman yang terkait.

86

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya D dan M. Murdjani, 2005. Strategi Musim Tanam Komoditas Budidaya di Tambak Yang Berkelnjutan. Materi Pelatihan Budidaya Udang Sistem Tertutup Bagi Petambak dan Teknisi, 27 Juni s/d 4 Juli 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 10 p.

Adiwidjaya D., I Kade A., Dwi S., Warih H., Erik S., Puspito DCL, Herman, dan Triyono. 2004. Lieflet. Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Udang Ramah Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara.

Adiwidjaya, D. Dkk, 2002. Budidaya Udang Berwawasan Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau. Jepara. 33 p.

Adiwidjaya D., Erik, S. dan DWI, S. 2003. Produktivitas Pada Budidaya Udang Windu Sistem Tertutup: Peluang Usaha Untuk Memperoleh Nilai Tambah Bagi Petambak. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. Pertemuan Pra Lintas UPT

87

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMIJAHAN INDUK IKAN BANDENG DI BAK INDOOR

SISTEM AIR DANGKAL

Oleh : Sahlan dan Abdul Rohman

ABSTRAK Kebutuhan induk bandeng dalam produksi telur diperoleh dari hasil pembesaran atau budidaya , bangunan bak dilubangi untuk aliran telur ke wadah fibreglass yang keluar dari dalam bak lewat aliran air yang mengalir selama 24 jam per harinya. Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara hormonal. Penurunan keragaman genetic akibat hilangnya alel-alel ikan dari hasil perbenihan dapat mengakibatkan terhambatnya laju pertumbuhan dan rendahnya ketahanan ikan terhadap serangan penyakit serta perubahan lingkungan Untuk memperbaiki mutu induk bandeng akibat dari menurunnya keanekaragaman genetik, dilakukan kegiatan pemuliaaan induk bandeng dengan cara seleksi individu. Kebutuhan oksigen dipenuhi dari sistim aerasi optimal yang letaknya dapat diatur sesuai kebutuhan. Aerasi diatur dengan gelembung halus untuk mengurangi faktor stress dari induk ikan. Air mengalir masuk ke bak induk dari tandon air secara grafitasi atau dengan pompa melalui pipa diameter 2 inchi yang letaknya berseberangan dengan pipa pengeluaran air. Pakan diperkaya : 1 butir telur bebek/kg pakan, 1 ml madu/10 kg pakan, 16 kapsul vit. E/30 kg pakan, 0,5 g vit. C/kg pakan . Mulai produksi telur pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan, produksi hingga bulan Oktober Kata Kunci : Induk bandeng, wadah pemijahan, pakan pelet

PENDAHULUAN

Kebutuhan benih untuk benih bandeng di tambak sangat besar dan tidak bisa

lagi hanya menggantung supplay dari benih alam dikarenakan jumlahnya terbatas,

Untuk memenuhi kebutuhan benih yang semakin meningkat tidak lain harus

diperoleh dari kegiatan pembenihan. Produksi nener ini membutuhkan telur yang

berkualitas dalam jumlah yang cukup. Produksi telur yang berkualitas haruslah

diperoleh dari induk yang diketahui kualitasnya yang lebih diutamakan dari hasil

pemuliaan.

Selama ini kegiatan pemijahan induk bandeng lebih banyak dilakukan dalam

wadah bentuk bulat, volume besar, kedalaman tiga meter dan di ruangan terbuka.

Memperhatikan fasilitas pemijahan konvensional tersebut dianggap kurang efektif

dan efisien. Pada dasarnya induk udang memijah membutuhkan suasana yang

nyaman dan intensitas cahaya rendah. Untuk mencapai kondisi ini salah satu cara

88

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

adalah menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan antara lain wadah pemijahan sistem

indoor.

Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik.

Perbaikan mutu induk dapat diperoleh dari program pemuliaan induk bandeng.

Selain itu peningkatan mutu induk dapat pula diperoleh dengan pemberian pakan

yang diperkaya. Penurunan keragaman genetik dapat menghambat laju pertumbuhan

dan rendahnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit dan perubahan

lingkungan (Leary et al, 1985 dalam Moria et al., 2005). Penyediaan induk bermutu

melalui program breeding, dengan domestikasi nener alam dari berbagai sumber dan

dipelihara hingga menjadi induk.

Tujuan

Kegiatan ini bertujuan : melakukan pemijahan induk bandeng di bak sistim

indoor dengan air dangkal hingga menghasilkan telur.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Adapun bahan dan alat yang digunakan pada kegiatan pemijahan induk ikan

bandeng dibak indoor dengan sistem air dangkal ini meliputi :

Bahan

• Induk ikan bandeng asal Gondol (G-2), 54 ekor dengan berat 4-6 kg

• Pakan pellet komersial yang diperkaya dengan campuran telur, madu dan

vitamin

Alat

Bak pemeliharaan induk berbentuk persegi dengan atap lengkung , ukuran

12x6x1,5 m sebanyak 2 buah .

Wadah pemijahan berupa bak concrete, sistem indoor,

Waring penutup , sarana aerasi dan peralatan lapangan ( ember dan gayung )

Tata Kerja

Bak pemijahan induk berbentuk segi empat di bagian tengah bak dipisahkan

oleh dingding. Bak dilengkapi dengan sistem aerasi dan sumber air masuk melalui

pipa pvc diameter dua inci dan dilengkapai dengan kran pengatur debit air. Sumber

aerasi diperoleh dari blwower sentral dengan sebanyak 40 titik. Aerasi diatur dengan

gelembung halus untuk mengurangi faktor stress dari induk ikan. Air diisi hingga

ketinggian 0,75 m dan mengalir selama 24 jam. Pipa pemasukan air dimasukkan ke

kolom air sehingga terjadi perputaran arus air. Rasio induk yang ditebar adalah 1

jantan : 2 betina. Pengeluaran kotoran di dasar bak dilakukan secara periodik.

89

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dosis pakan induk : 3% dari biomas dan frekwensi pemberian pakan 2

kali/hari (pagi-sore) , kualitas air yang diukur pagi dan sore Do 4,22 – 4,41 , Ph 7,6 –

8,5 , salinitas 25 – 30 ppt , suhu 24,4 - 30,08 CO .

HASIL DAN BAHASAN

Kegiatan pemijahan induk ikan bandeng dibak indoor sistem air dangkal

dengan menggunakan wadah pemijahan berupa bak concrete, sistem indoor, ukuran

12x6x1,5 m sebanyak 2 buah , hasilnya adalah : Induk ikan bandeng mulai memijah

pada tahun 2016, dalam 1 tahun bertelur dalam 6 bulan, produksi hingga bulan

Oktober sebanyak 3.237x1000 butir dengan 14 kali pemijahan dengan diameter telur

1-2 mm , adapun data produksi telur bandeng dalam kegiatan pemijahan induk

bandeng dengan sistem air dangkal dapat dilihat dalam tabel dibawah ini .

Tabel. 1. Produksi telur bandeng di bak dangkal (x 1.000 butir)

Bulan

Frek Bertelur

(kali)

Terbuahi (butir)

Tidak Terbuahi

(butir)

Total (butir)

Rerata HCR (%)

Keterangan

Pebr. 5 1.345 70 1.415 95,4 Musim hujan Mei 2 550 550 > 95 Musim Kemarau Juni 1 87 87 87 100 Musim Kemarau Sept 3 355 355 > 95 Musim Kemarau Okt 4 900 900 > 96 Musim Kemarau Total 14 3.237 157

Tabel.2 .Kualitas air selama kegiatan pemijahan iduk bandeng

Parameter Kisaran nilai

Oksigen (ppm) 4,22 – 4,41

pH 7,6 – 8,5

Suhu ( oC ) 24,4 - 30,08

Salinitas (ppt) 25 – 30

Alkalinitas (ppm) 92,0 – 125,0

Ammonia (ppm) tt – 0,14

Pada kegiatan ini berhasil memijahkan induk ikan bandeng selama satu

dengan pematangan gonad dan rangsang pemijahan dengan penggunaan pakan pelet

yang dicampur dengan telur bebek dan madu sehingga mpeningkatan nutrisi pada

pakan pellet yang di berikan. Induk dalam satu tahun bisa mijah / bertelur sebanyak

14 kali dengan jumlah telur mencapai 3.237 juta butir.

Bila dibandingkan dengan induk bandeng yang dipelahara dengan

menggunakan bak out door tidah jauh berbeda ini dikarenakan induk bandeng yang

dipelihara didalam bak out door induk sudah produktif sedangkan induk indu

bandeng yang dipelihara dibak indoor merumakan induk baru yang berasal dari

90

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gondol Bali sehingga jika dibandingkan produksi telur atau tingkat pemijahan masih

bagus induk yang dipelihara diout door. Data pemijahan dan produksi telur dari

induk bandeng yang dipelihara di out door adalah selama satu tahun 18 kali

pemijahan dengan jumlah telur 4176.000 butir

KESIMPULAN

Perbaikan mutu induk dapat diperoleh dari program pemuliaan induk

bandeng. Selain itu peningkatan mutu induk dapat pula diperoleh dengan pemberian

pakan yang berprotien.

Dalam proses pembenihan bandeng, diperlukan induk yang bermutu baik.

Oleh karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya

melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara

hormonal. Pemijahan induk bandeng strain Gondol yang dipelihara dibak indoor

tidak tergantung pada perputaran bulan baik gelap maupun terang karena pada bak

indoor dikondisikan selalu gelap .

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Beni

Supriyanto,S.St.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Ikan Bandeng dan teman

teman yang terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R.,Subandiyono dan Arini,E. 2013. Pengaruh Penggunaan Papain terhadap

tingkat Pemanfaatan Protein Pakan dan Pertumbuhan Lele Dumbo Clarias gariepinus. Journal of Aquaculture Management and Technology Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 136-143

Anonim. 1995. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Balai Buddaya Air Payau Jepara. 15 hal.

Boyd, C. E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond aquaculture. Chapman & Hall. Effendie, M.I., 1997. Metode Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor.

112 hal. Emata,A.C.,C.L.Marte dan L.Ma.B.Garcia. 1992. Management of Milkfish

Broodstock. Aquaculture Extension Manual No.20 Desember 1992. Aquaculture Departemen. Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan,Iloilo,Philippines. 32 hal.

Hasan, O.D.S. 2000. Pengaruh Pemberian Enzim Papain dalam Pakan Buatan terhadap Pemanfaatan Protein dan Pertumbuhan Benih Ikan Gurame (Osphronemus gouramy Lac.). Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 57 hlm.

91

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI GELONDONGAN BANDENG DI TAMBAK

MELALUI PENGGUNAAN FERMENTASI PUPUK ORGANIK

Oleh : Puspito Dwi Cipto Leksono dan Poniran

ABSTRAK Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna

lahan tambak pasca serangan penyakit serta menurunnya daya dukung lahan adalah memfungsikan lahan tersebut melalui budidaya berbagai macam komoditas. Salah satunya adalah ikan bandeng. Komponen penentu keberhasilan budidaya bandeng adalah benih sampai ukuran gelondongan. Permasalahan pembudidaya yang dihadapi saat ini adalah rendahnya hasil penggelondongan bandeng. Berdasarkan permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara pada Tahun Anggaran 2016 memfokuskan produksi gelondongan bandeng di tambak dengan manajemen penumbuhan pakan alami (klekap) menggunakan fermentasi pupuk organik. Kegiatan dilaksanakan pada tambak dasar tanah berukuran 2000 m2. Hasil kegiatan didapatkan pertumbuhan gelondongan bandeng sampai umur 60 hari, menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik yaitu dengan sintasan > 80%, panjang 3 – 9 cm dan berat 10 - 12.5 gr. Kata Kunci : Glondongan Bandeng, Fermentasi, Pupuk Organik, Pakan Alami

(Klekap)

PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk meningkatkan kembali daya guna dan nilai guna

lahan tambak adalah dengan memfungsikan tambak melalui budidaya berbagai

macam komoditas. Ikan bandeng adalah salah satu sumber protein hewani yang

harganya lumayan dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Selain di konsumsi

dalam bentuk ikan segar, juga dalam bentuk olahan diantaranya pindang dan

bandeng presto (Tristian, 2011). Kelebihan lain selain sumber protein adalah tahan

terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, kecerahan air, mudah beradaptasi

dan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kisaran kadar garam, tahan terhadap

penyakit serta tidak mempunyai sifat kanibal sehingga ikan ini mempunyai

kecenderungan untuk dibudidayakan dengan kepadatan tinggi terutama

penggelondongan. Dalam usaha budidaya, benih sampai ukuran gelondongan

merupakan komponen penentu menuju keberhasilan budidaya. Permasalahan yang

dihadapi saat ini adalah rendahnya teknologi penggelondongan yang dimiliki

pembudidaya tambak, baik itu padat tebar, pemberian pakan tambahan dan

manajemen air, sehingga tingkat pertumbuhan dan kelulusan hidup yang didapatkan

dalam penggelondongan bandeng masih rendah. Untuk itu diperlukan adanya

informasi yang akurat menyangkut teknologi penggelondongan bandeng sebagai

acuan yang dapat dimanfaatkan oleh pembudidaya tambak. Berdasarkan

permasalahan tersebut, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara

92

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

pada Tahun Anggaran 2016 memfokuskan produksi gelondongan bandeng di tambak

pada manajemen pakan alami (klekap) menggunakan fermentasi pupuk organik.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produksi gelondongan bandeng di

tambak dengan menggunakan fermentasi pupuk organik.

BAHAN DAN TATA KERJA

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi gelondongan bandeng

antara lain adalah nener, pakan komersial, pupuk organik, kascing (bekas kotoran

cacing), saponin, bambu, waring hitam, waring hijau, timbangan digital.

Tata Kerja

Persiapan Tambak

Tambak yang digunakan untuk kegiatan ini berukuran 2.000 m2. Persiapan

tambak meliputi pengolahan tanah dasar dengan cara pengeringan, pemupukan

dengan pupuk organik dan kascing, untuk penumbuhan klekap sebagai pakan

gelondongan.

Pemberantasan Hama

Untuk menjamin tambak penggelondongan bandeng terbebas dari hama

tambak seperti trisipan dan ikan-ikan liar, maka diaplikasi saponin dengan dosis 10

ppm.

Pemupukan dan Pengisian Air

Pemupukan dasar bertujuan untuk menumbuhkan klekap sebagai makanan

utama ikan bandeng. Pupuk yang diaplikasikan adalah pupuk organik yang telah di

fermentasi, dosis 4 kg/m2. Pupuk organik yang telah di fermentasi ditebar secara

merata pada pelataran tambak yang telah di isi air macak-macak. Proses fermentasi

pupuk organik dengan cara kotoran sapi (50 kg) dan probiotik (1 ltr) dimasukkan

kedalam wadah yang kedap udara, kemudian diisi air macak-macak dan ditutup rapat

selama 15 hari. Pengisian air selanjutnya dilakukan setelah klekap tumbuh subur

(ketebalan ± 3 cm) dan dilakukan secara perlahan-lahan hingga mencapai kedalaman

± 50 cm. Pemupukan susulan dilakukan setelah populasi kelekap menipis. Hal ini

tergantung dari nilai kesuburan tambak penebaran benih. Pupuk susulan yang

digunakan dengan dosis 50% dari pemupukan awal.

Penebaran Benih

Nener yang ditebar berumur 25 hari (D-25) berasal dari pembenihan

BBPBAP Jepara sejumlah 100.000 ekor. Penebaran nener dilakukan pagi hari dan

diaklimatisasi terlebih dahulu terhadap kondisi lingkungan media yaitu suhu dan

salinitas.

93

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengelolaan Air

Selama proses penggelondongan, salinitas air tambak dijaga agar stabil dan

ketinggian air dipertahankan ± 50 cm. Laju penguapan dan curah hujan yang tinggi

dapat menyebabkan salinitas berubah dan kondisi seperti ini memungkinkan dapat

menghambat pertumbuhan alga dasar dan sebaliknya dapat menyuburkan

pertumbuhan jenis plankton lain yang tidak diinginkan. Warna air tambak

dipertahankan agar tetap jernih agar klekap dapat tumbuh dengan subur. Apabila

warna air tambak berubah menjadi kuning atau coklat, artinya jenis plankton yang

tumbuh subur adalah jenis protozoa, flagellata, fitoflagellata dan rotifera yang

semuanya merupakan kompetitor oksigen. Perlu adanya penambahan/penggantian air

baru (25%) apabila terjadi perubahan kualitas yang drastis. Penggantian air dilakukan

secara gravitasi dari petakan pengendapan yang berisi kekerangan (kerang hijau) dan

rumput laut Gracillaria sp.

Pemeliharaan

Penggelondongan benih bandeng biasanya sudah mencapai standar ukuran 5-

7 cm setelah masa pemeliharaan 60 hari. Selama pemeliharaan, meskipun pakan

alami (klekap) tumbuh subur tetap diberikan pakan komersial. Jumlah pemberian

pakan sudah terprogram dan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Program pakan produksi glondongan bandeng di tambak

Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%)

1 - 10 0.2 - 5.0 100 5.0 11 - 20 2.5 - 5.0 95 4.0 21 - 30 5.0 - 7.5 90 3.0 31 - 40 7.5 - 10 85 2.0 51 - 60 10 - 12.5 80 2.0

Panen

Pemanenan dapat dilakukan pada pagi, sore atau malam hari (suhu rendah

untuk mengurangi tingkat stress). Pemanenan pada waktu air pasang dapat dilakukan

dengan cara memasukkan air baru ke dalam tambak. Hal ini menyebabkan

gelondongan bandeng bergerak menuju arah masuknya air dan berkumpul di dekat

pintu air. Dengan menggunakan jaring (krikit) glondongan bandeng digiring menuju

pintu air, kemudian secara perlahanlahan lingkaran jaring (krikit) diperkecil

sehinggga gelondongan bandeng terkurung di dekat pintu. Penangkapan pada waktu

air surut dilakukan terlebih dahulu dengan mengurangi air tambak sehingga air

tersisa di dalam caren sekitar 20 cm. Gelondongan bandeng digiring perlahan-lahan

dan lingkaran diperkecil sehingga gelondongan bandeng dapat berkumpul dekat

pintu. Gelondongan bandeng yang sudah di panen diberokan menggunakan hapa

(waring) dalam petakan tambak terpisah selama 1-2 hari sebelum dipanen untuk

dipindahkan. Penangkapan gelondongan bandeng harus dilakukan sangat hati-hati

94

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

untuk mencegah kemungkinan luka pada tubuh gelondongan bandeng dan

kehilangan sisik akibat gesekan.

Pengamatan

Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) setiap 15 hari

sekali. Parameter kualitas air sebagai data pendukungnya yang diamati adalah

kualitas air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik) yang juga diamati setiap 15

hari sekali.

HASIL DAN BAHASAN

Pertumbuhan

Salah satu faktor pendukung pertumbuhan adalah lingkungan, disamping

nutrisi dan genetik. Hasil pengamatan pertumbuhan gelondongan bandeng

didapatkan bahwa, pada umur 45 hari ADG yang dihasilkan terlihat menurun. Mulai

berkurangnya pakan alami (klekap) serta menurunnya oksigen terlarut serta

meningkatnya kandungan bahan organik air adalah faktor utama menurunnya ADG

gelondongan bandeng yang dihasilkan. Pada umur pemeliharaan 60 hari, terlihat

ADG gelondongan bandeng kembali meningkat setelah dilakukan pemupukan

susulan.

Kualitas Air

Salah satu indikator keberhasilan dalam budidaya baik ikan maupun udang

adalah keberhasilan dalam menjaga kualitas air. Begitu juga dengan produksi

glondongan bandeng. Dari Tabel 2 terlihat bahwa semua parameter air yang diamati

berada pada kisaran optimum untuk pertumbuhan glondongan bandeng. Meskipun

bahan organik yang diamati semakin meningkat, namun parameter kunci

keberhasilan budidaya yaitu oksigen masih di atas 3 ppm. Oksigen yang tinggi akan

merombak bahan organik “N” melalui proses amonifikasi dan nitrifikasi menjadi

amoniak, nitrit dan nitrat. Hasil perombakan nyata yang terlihat akibat kandungan

oksigen yang tinggi adalah semakin meningkatnya nitrat yang merupakan nutrient

bagi phytoplankton.

Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas air selama kegiatan produksi gelondongan

bandeng

Umur (hari)

Temperatur (oC)

pH

Salinitas (ppt)

Oksigen (ppm)

Bahan Organik (ppm)

1 27.2 7.6 16 3.4 12.75 15 27.4 7.6 16 3.4 30 27.6 7.6 16 3.3 12.95 45 28,2 7.7 18 3.3 60 28,2 7.7 18 3.3 13.15

95

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Produksi

Salah satu penyebab rerata ADG glondongan bandeng yang dihasilkan < 0.3

g/hari adalah padat tebar yang tinggi yaitu di atas > 100 ekor/m2 atau 130-135

ekor/m2. Meskipun demikian, dengan keberhasilan menjaga kualitas air dan pakan

alami (klekap) tingkat kelangsungan hidup (SR, %) yang dihasilkan 80%, berat 10 –

12,5 gr, panjang 3 – 9 cm.

KESIMPULAN

Keberhasilan budidaya gelondongan bandeng sangat ditentukan dengan

keberhasilan menumbuhkan klekap dan menjaga kualitas air.

Tingkat kelangsungan hidup (SR) gelondongan bandeng yang dihasilkan dengan

menggunakan fermentasi pupuk organik adalah > 80%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir.Kade

Ariawan. selaku Penanggung Jawab Kegiatan ikan bandeng dan teman teman yang

terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., E. Ratnawati dan M.J.R. Yakob, 1998. Budidaya Bandeng Secara Intensif. Penebar Swadaya. Anggoro, S., 1984. Pengaruh Salinitas Terhadap Kuantitas dan Kualitas Makanan Alami Serta Produksi Biomassa Nener Bandeng. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonim, 2010. Budidaya Bandeng. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Jakarta. Effendi, I., 1978. Biologi Perikanan (Bag. I Study Natural History). Fakultas

Perikanan IPB. Bogor. Hariyanti dan Djayadireja, R., 1983. Pemeliharaan Nener Bandeng (Chanos chanos, Forskal) dalam Bak dalam Sistem Resirkulasi Air. Buletin Penelitian Perikanan Darat Bogor. Nontji, A, 1988. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng. Pusat Penyuluhan. Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta.

96

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA RAJUNGAN

(Portunus pelagicus) DI BALAI BESAR PERIKANAN

BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA

Oleh : Jasmo dan Subiyarto

ABSTRAK Produksi rajungan masih mengandalkan tangkapan alam, maka perlu adanya proses pembenihan rajungan untuk kegiatan budidaya. Salah satu kegiatan pada pembenihan rajungan adalah pemeliharaan larva rajungan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui proses/tahapan pengelolaan larva rajungan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara. Pelaksanaan teknik pemeliharaan larva rajungan di hatchery pada dasarnya disesuaikan dengan kondisi/habitat aslinya. Pemeliharaan larva dilakukan dari stadia zoea sampai dengan stadia megalopa dengan menggunakan kriteria kualitas air dan penggunaan pakan yang relevan. Tahapan dalam teknik pemeliharaan larva rajungan meliputi persiapan, pemeliharaan larva stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa, pengelolaan pakan larva, pengelolaan kualitas air. Kata kunci : larva rajungan, kualitas air, pengelolaan pakan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) termasuk dalam klas Crustacea, family

Portunidae, penyebarannya meliputi perairan Indo-Pasifik. Rajungan banyak

ditemukan pada daerah dengan kondisi perairan yang sama seperti Rajungan Bakau

(Scylla serrata). Rajungan dikenal dengan nama blue swimming crab atau Rajungan

Pasir dan merupakan hasil samping dari tambak tradisional pasang surut di Asia

(Cowan, 1992 dalam Susanto dkk., 2003).

Rajungan merupakan komoditas perikanan yang banyak diminati, memiliki

nilai ekonomis tinggi dan mulai dikembangkan pembudidayanya. Rajungan telah

banyak diekspor diberbagai negara dalam bentuk rajungan segar maupun olahan,

dimana rajungan segar banyak diminta oleh negara Singapura dan dalam bentuk beku

ke negara Jepang dan Amerika. Komoditas rajungan merupakan komoditas ekspor

urutan ketiga dalam arti jumlah, setelah udang dan ikan. Sampai saat ini seluruh

kebutuhan ekspor rajungan masih mengandalkan hasil tangkapan dari laut, sehingga

akan mempengaruhi populasi di alam.

Selain rajungan ukuran konsumsi sebagai komoditas ekspor unggulan.

Dewasa ini rajungan ukuran kecil (berat ± 1,8 gram/ekor) telah menjadi jenis

makanan baru yang banyak diminati oleh orang Jepang sebagai camilan ketika

97

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

minum sake. Hal ini menjadi peluang baru dalam usaha budidaya rajungan. Namun

peluang ini, belum missal. Salah satu kendala dalam pengembangan teknologi untuk

memproduksi baby crab rajungan tersebut dalam skala massal. Salah satu kendala

dalam pengembangan teknologi pemeliharaan baby crab rajungan adalah rendahnya

tingkat kelangsungan hidup.

Sampai saat ini rajungan (Portunus pelagicus) masih merupakan komoditas

laut yang mempunyai nilai ekonomis yang penting. Penangkapan rajungan yang

semakin intensif dapat mengakibatkan populasi alami rajungan

mengalami penurunan. Akibat penangkapan di alam yang kurang terkendali, maka

terjadi kelangkaan populasi rajungan di perairan Indonesia (Juwana, 1997). Oleh

karena perlu adanya sistem pembenihan rajungan yang salah satunya adalah kegiatan

pemeliharaan larva

Tujuan

Adapun tujuannya adalah mengetahui proses pemeliharaan larva rajungan di

BBPBAP Jepara

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Rajungan

Menurut Moosa (1980) dan Juwana (1996) dalam Susanto dkk., (2005),

sistematika rajungan adalah sebagai berikut

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustaceae

Klas : Malacostraca

Subklas : Eumalacostraca

Ordo : Decapoda

Subordo : Reptantia

Family : Portunidae

Subfamily : Portuninae

Genus : Portunus

Spesies : Pelagicus

Teknik Pemeliharaan Larva Rajungan

Pemeliharaan Larva

Teknik Pemeliharaan

Setelah telur rajungan menetas menjadi larva, semua larva dipindahkan ke bak-

bak pemeliharaan larva pada kepadatan 100 ekor/liter. Larva rajungan berkembang

melalui empat fase dan satu fase megalopa. Zoea 1 akan berkembang ke zoea 2

dalam waktu 2 – 3 hari. Sedangkan zoea 2, zoea 3, dan zoea 4 berturut-turut

berkembang dalam selang waktu 2 hari. Pada saat semua zoea telah mencapai

98

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

megalopa, maka dalam bak-bak pemeliharaan digantungkan untaian serabut

plastik yang berfungsi untuk memperluas tempat permukaan tempat berlindung

megalopa yang bersifat kanibal. Larva yang menetas diseleksi dimana larva yang

kurang baik dengan tanda-tanda antara lain gerakannya lemah dan berenang di dasar

bak, kurang tertarik pada cahaya, serta ukuran panjang karapas larva kecil (< 0,50

mm), dalam keadaan seperti ini sebaiknya dibuang. Induk rajungan setelah

menetaskan telurnya dapat digunakan lagi untuk penetasan berikutnya, dengan

pemberian pakan yang berkualitas dan pemeliharaan yang optimal. Induk masih

dapat menghasilkan telur sampai 2-3 kali, tetapi telur yang dihasilkan pada

pemijahan kedua dan seterusnya umumnya memiliki jumlah larva yang lebih rendah

(Susanto dkk., 2005).

Langkah awal yang dilakukan dalam pemeliharaan larva rajungan yaitu

menyiapkan bak dengan melengkapi system aerasi, dan mengisi air laut sebanyak

tiga perempat dari volume bak.

Pengelolaan pakan

Benih rajungan selama masa pemeliharaan diberikan pakan alami

berupa phytoplankton dan zooplankton, pakan tambahan dan udang halus. Pemberian

pakan tambahan dan udang halus untuk memenuhi nutrisi yang tidak terdapat pada

pakan alami. makanan yang komposisinya dilengkapi dengan makanan tambahan

dapat lebih sempurna dalam penyediaan vitamin dan mineral, selain efisiensi dalam

penggunaan makanan. Makanan alami yang digunakan adalah Rotifer,

Chlorella dan Artemia, sedangkan pakan buatan yang diberikan adalah pakan buatan

merek Frippak dan udang yang dihaluskan dengan waktu pemberian dan jenis

pakan.. Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula

pakan buatan. Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk melengkapi nutrisi yang

tidak terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu

pakan buatan mudah diperoleh.

Pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua

kegiatan pembenihan. Pakan alami termasuk fitoplankton, zooplankton ukuran kecil

dan larva hewan invertebrata yang telah diketahui sebagai makanan dalam

pemeliharaan larva. Jenis pakan yang diberikan bervariasi sesuai bukaan mulut larva.

Frekuensi pemberian pakan diberikan dua kali sehari yaitu pada pagi hari dan

sore hari. Penyiponan dan pergantian air media pemeliharaan larva dilakukan

sebanyak 30-50% setiap hari pada waktu pagi sebelum pemberian pakan, untuk

menghindari penumpukan sisa pakan dan kotoran larva rajungan di dasar wadah

pemeliharaan. Selama pemeliharaan berlangsung.

99

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

METODE

Waktu dan Tempat

Lokasi pemeliharaan larva rajungan dilakukan pada bulan Februari s/d

Maret 2017 di BBPBAP Jepara

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data diperoleh langsung dari pengamatan yang dilakukan

di lapangan dengan cara mengikuti dan mencatat seluruh rangkaian kegiatan yang

dilaksanakan di lokasi, meliputi persiapan pemeliharaan induk, pengamatan

kematangn telur, penetasan telur, pemanenan larva, pemeliharaan larva, pengelolaan

pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, hingga pemanenan

krablet.

Selain pengamatan langsung dilapangan, data juga diperoleh dari dokumen

terkait dengan kegiatan pembenihan rajungan di hatchery, serta studi

pustaka/literatur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknik Produksi

Persiapan Media Pemeliharaan

Penyediaan Air laut

Persiapan media pembenihan merupakan faktor yang sangat penting sebagai

tempat hidup bagi rajungan selama pemeliharaan dan merupakan indikasi

menentukan kesehatan rajungan. Oleh karena itu, air yang digunakan harus

berkualitas dan bebas pathogen. Berdasarkan pengamatan asil praktek air laut yang

digunakan untuk pemeliharaan induk diambil dari laut di belakang lokasi

pembenihan rajungan. Jarak antara air laut yang dipompa dengan lokasi pembenihan

yaitu 10 m. Air laut dipompa dengan menggunakan pompa air laut dialirkan dengan

menggunakan pipa PVC.

Air yang tersaring kemudian ditampung dalam tandon air laut. Air laut yang

telah tersaring dalam kondisi jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak

membawa endapan. Air laut ini diendapkan di tandon kemudian dialirkan ke tower

air laut. Tower ini didirikan lebih tinggi dari bak penyaringan dan tandon dengan

tujuan untuk mempermudah pendistribusian air laut dengan sistem gravitasi.

Air laut dari tower air laut dialirkan ke bak – bak pemeliharaan

secara gravitasi melalui pipa hisap dengan menggunakan filter bag sebelum dialiri ke

bak pembenihan.

Pelaksanaan Pemeliharaan Larva

Pelaksanaan teknik pemeliharaan larva rajungan di hatchery pada dasarnya

disesuaikan dengan kondisi/habitat aslinya. Pemeliharaan larva dilakukan dari stadia

100

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

zoea sampai dengan stadia megalopa dengan menggunakan kriteria kualitas air dan

penggunaan pakan yang relevan. Proses kegiatan tersebut dapat dijabarkan sebagai

berikut :

Pengelolaan Larva Rajungan

Persiapan wadah

Bak yang digunakan dalam pemeliharaan benih rajungan adalah bak fiber.

Bak fiber berbentuk bulat dengan volume 500 liter dan kedalaman 1 m, bak fiber

dipilih untuk pemeliharaan larva karena memiliki keuntungan terutama untuk

memudahkan pengamatan secara visual. Bak ditempatkan diruangan hatchery dengan

atap transparan agar mendapatkan cahaya yang cukup. Bak pemeliharaan benih

dilengkapi dengan sistem aerasi.

Bak yang digunakan harus melalui proses sterilisasi dalam waktu 2 hari

sebelum digunakan, dengan menyiramkan air pada dinding bak kemudian dicuci

dengan menggunakan sikat/spon dengan tujuan agar bak bersih dan bebas dari bibit

penyakit. Bak kemudian dibilas kembali dengan air tawar. Bak pemeliharaan

dikeringkan selama 1 hari dan siap untuk digunakan.

Instalasi aerasi seperti selang, serta batu aerasi dan pemberat direndam

dengan larutan chlorin dan dicuci lalu dikeringkan. Selang aerasi dipasang dengan

cara digantung.

Persiapan Air Media

Air yang digunakan dalam pemeliharaan larva yaitu air laut dengan

menggunakan filter bag. Satu hari sebelum penebaran zoea bak diisi dengan air laut.

Air yang digunakan pada bak pemeliharaan larva adalah air laut yang telah melalui

proses filtrasi.

Penebaran zoea

Benih baru yang telah menetas (zoea 1), dipindahkan ke dalam bak

pemeliharaan benih yang telah disiapkan dengan hati-hati agar tidak mudah stres.

Pengambilan benih rajungan dari bak penetasan dilakukan dengan cara

memanfaatkan sifat benih yang tertarik pada sinar. Benih akan berkumpul ditempat

yang terkena sinar, kemudian diambil dengan saringan selanjutnya dilakukan

penghitungan larva secara manual. Larva yang telah dihitung kemudian langsung

dimasukan ke dalam bak pemeliharaan larva secara perlahan agar larva tidak stres.

Pengamatan perkembangan larva

Benih rajungan hidup dengan menempel dan tidak melayang-layang di dalam air

bak fiber pada saat stadia megalopa dipindahkan ke dalam bak beton yang

sebelumnya diberi shelter. Pemasangan shelter berupa waring hitam dan biru ini

berfungsi untuk memperluas permukaan sehingga dapat mengurangi kanibalisme.

Pemasangan shelter ini di urai pada dasar bak.

101

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan perkembangan larva dilakuan secara visual dan mikroskopis, yaitu

dengan cara mengambil sampel dengan menggunakan beaker glass, kemudian

diambil dengan menggunakan pipet tetes, selanjutnya diletakkan di objek glass untuk

diamati dengan menggunakan mikroskop.

a. Zoea

Secara visual stadia zoea terlihat transparan dengan gerakan renang yang

tersendat-sendat. Zoea bergerak naik dan turun pada badan air, bila berenang sudah

sampai pada permukaan, zoea akan turun perlahan-lahan dan sebelum mencapai

dasar berenang kembali seperti semula. Zoea terdiri atas 4 substadia yang dalam

perkembangannya membutuhkan waktu selama 12 hari, sedangkan dari stadia zoea-1

ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu sekitar 2-3 hari.

b. Megalopa

Secara visual stadia megalopa sudah aktif berenang dan mulai menempel pada

substrat. Hal ini ditunjang dengan pleopod yang sudah cukup panjang, dan pleopod

mulai ada. Megalopa telah mampu memangsa pakan dan mampu memangsa pakan.

Bentuk megalopa sudah mirip rajungan dewasa kecuali abdomennya yang masih

berbentuk seperti ekor yang relatif panjang.

Pongelolaan Pakan Larva

1. Pakan Alami

a. Rotifer

Pakan alami yang diberikan berupa rotifer dan artemia. Pada awal menetas

sampai dengan larva masuk pada stadia megalopa, larva diberi pakan alami berupa

rotifer. Rotifera dipilih pada tahap awal karena ukurannya relatif kecil dan sangat

cocok dengan bukaan mulut larva, serta kandungan nutrisinya sangat dibutuhkan

oleh larva. Hal ini sependapat dengan Susanto (2003), bahwa rotifer dipilih menjadi

pakan benih rajungan karena organisme ini memliki beberapa sifat yang mendukung

diantaranya, (1) ukuran relatif kecil, (2) gerakan tidak terlalu cepat, sehingga mudah

ditangkap oleh benih rajungan

b. Artemia

Artemia mulai diberikan pada stadia megalopa sampai dengan panen. Wadah

penetasan kista artemia adalah corong artemia. Air yang sudah steril dari tandon

dimasukkan ke dalam corong artemia kemudian memasukkan kista artemia yang

sudah di timbang dan diberi aerasi. Penetasan kista dilakukan selama 18 jam

kemudian dipanen dan diberikan pada larva rajungan.

Pemanenan naupli artemia dilakukan dengan cara mengangkat selang aerasi dan

didiamkan selama 5 menit agar kista yang tidak menetas naik ke permukaan.

Selanjutnya naupli artemia disipon menggunakan selang plastik dan ditampung

dalam ember berlubang pinggirnya. Ember dilapisi dengan saringan 100 mikron.

Naupli artemia yang sudah disaring kemudian dicuci menggunakan air laut, lalu

102

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

kemudian ditempatkan di dalam ember baru yang berisi air laut dan diaerasi hingga

siap intuk diberikan pada larva rajungan

2. Pakan buatan

Pemeliharaan benih rajungan selain diberikan pakan alami, diberikan pula pakan

buatan. Pemberian pakan buatan dimasukkan untuk melengkapi nutrisi yang tidak

terdapat dalam pakan alami baik fitoplankton maupun zooplankton. Selain itu pakan

buatan mudah diperoleh. Juwana (1997) menyatakan bahwa makanan buatan sangat

penting untuk disediakan agar dapat tersedia dalam jumlah yang cukup, tepat waktu,

berkesinambungan, memenuhi syarat gizi.

Pakan buatan yang diberikan pada larva stadia zoea berupa fripak. Pakan buatan

berupa flake sebaiknya diberikan ketika larva memasuki stadia megalopa hingga

crablet. Meskipun ada beberapa hasil penelitian yang merekomendasikan bahwa

pemberian pakan buatan dapat dilakukan mulai stadia zoea-1.

Pengelolaan Kualitas Air Pada Larva

Pengamatan kualitas air harian dan berkala meliputi pengukuran suhu,

salinitas dan pH (derajat keasaman).

a. Temperatur

Pengamatan temperetur dilakukan setiap hari secara rutin dengan

menggunakan termometer yang sudah tergantung pada bak pemeliharaan larva. Suhu

sangat berperan dalam mempercepat metabolisme dan aktifitas organisme. Suhu

tinggi akan menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut karena terjadi

peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akibat meningkatnya metabolisme.

Pada pemeliharaan stadia megalopa digunakan terpal agar suhu dalam bak

pemeliharaan larva tetap terjaga.

b. Salinitas

Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan

menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak

terlalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva

cenderung stabil pada 30 ppt, kecuali pada akhir pemeliharaan salinitas diturunkan

sesuai dengan permintaan konsumen.

KESIMPULAN Teknik pemeliharaan larva rajungan di BBPBAP Jepara meliputi tahapan

persiapan, pemeliharaan larva stadia zoea, pemeliharaan larva stadia megalopa,

pengelolaan pakan larva, pengelolaan kualitas air larva.

103

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

selesainya makalah yang berjudul " Teknik Pemeliharaan Larva Rajungan (portunus

pelagicus) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara ". Atas dukungan

moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis

mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi, selaku kepala Balai Besar Perikanan

Budidaya Air Payau Jepara, yang memberikan arahan dan kesempatan

untuk menggunakan fasilitas di Unit Pembenihan Kepiting dan

Rajungan.

2. Bapak Eddy Nurcahyono, S.Pi, selaku Koordinator Pembenihan

Kepiting dan Rajungan, yang memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Seluruh rekan kerja, yang banyak memberikan materi pendukung,

masukan, kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,

saran dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk

penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya Rajungan

(Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI

Kanna, I. 2002. Pembenihan dan Pembesaran Rajungan. Kanisius. Yogyakarta

Liviawaty, E. dan Afrianto. 1992. Pemeliharaan Rajungan. Kanisius. Yogyakarta.

Soim, A. 1994. Pembenihan Rajungan di Hatchery. Penebar Swadaya. Jakarta.

Susanto, B., dkk. 2005. Pedoman Teknis Teknologi Perbenihan Rajungan (Portunus

pelagicus).Pusat Riset Perikanan Budidaya. Jakarta.

Susanto, I. Syahidah, D Setiadi., 2003. Percobaan Pemeliharaan Megalopa

Rajungan, Portunus pelagicus Sampai Menjadi Rajungan Muda (Crablet 1)

Dengan Kisaran Salinitas Berbeda. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya

Gondol

104

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI BANDENG DENGAN SISTEM POLIKULTUR

Oleh : Martijo dan Puspito Dwi cipto.L

ABSTRAK Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu Polikultur adalah salah satu sistem budidaya yang menghasilkan lebih dari satu produk dalam satu lahan. Kegiatan polikultur udang windu (Penaeus monodon, Fabricius) dan ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) secara terpadu dapat diintegrasikan dengan rumput laut (Gracilaria sp.). Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat-sifat yang dapat bersinergi, sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah terhadap lingkungannya. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur dengan ukuran150-200 g dan udang windu 15-20 g. Hasil kegiatan diperoleh sintasan bandeng sebesar 65% dengan berat rerata 150 g. Sintasan udang windu yang dihasilkan adalah 23 % dengan berat rerata 15 g. Kata kunci : polikultur, udang windu, gelondongan bandeng, rumput laut, pengendali kualitas lingkungan

PENDAHULUAN

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal

Perikanan Budidaya (DJPB) menetapkan beberapa komoditas utama untuk

mendukung kebijakan industrialisasi perikanan, diantaranya adalah udang, rumput

laut dan bandeng. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan produktivitas perikanan

budidaya meningkat, nilai tambah dan daya saing juga meningkat, sekaligus

membangun sistem produksi yang modern dan terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.

Polikultur adalah cara budidaya dengan menebar lebih dari satu komoditas dalam

satu media pemeliharaan. Sistem polikultur saat ini banyak diterapkan untuk

peningkatan produktifitas lahan. Umumnya budidaya ini dilakukan secara tradisional

dengan mengandalkan pasang surut dan pakan alami (tanpa pemberian pakan

tambahan). Kegiatan polikultur menggunakan tiga jenis komoditas yaitu udang

windu (Penaeus monodon, Fabricius), ikan bandeng (Chanos-chanos, Forskal) dan

rumput laut (Gracilaria Sp.) Ketiga komoditas tersebut memiliki sifat-sifat yang

dapat bersinergi, sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan

karena merupakan salah satu bentuk budidaya polikultur yang ramah lingkungan.

Rumput laut dapat mensuplai oksigen melalui proses fotosintesis di siang hari dan

memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi dan cemaran yang bersifat

toksik di dalam perairan. Ikan bandeng sebagai herbivor pemakan plankton

merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton dalam perairan. Feses udang dan

105

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

bandeng serta bahan organik lainnya merupakan sumber hara yang dapat

dimanfaatkan oleh rumput laut dan fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hubungan

yang seperti ini dapat menyeimbangkan ekosistem perairan. Sehingga merupakan

model pengelolaan budidaya system polikultur udang windu, ikan bandeng dan

rumput laut. Ketiga komoditas tersebut memiliki sifat eurythermal yaitu tahan

terhadap suhu yang tinggi, rentan terhadap pH dan salinitas. Hubungan antara udang

windu, bandeng dan rumput laut adalah simbiosis mutualisme (hubungan yang saling

menguntungkan satu sama lainnya). Bagian thalus atau batang semua rumput laut

yang mati dan mengakibatkan timbulnya klekap. Pemanfaatan material klekap oleh

ikan bandeng dan udang menjadikan pakan alami yang sangat baik. Begitu besarnya

manfaat rumput laut sebagai pengendali lingkungan budidaya polykultur, maka Balai

Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara pada Tahun Anggaran 2016

mengupayakan dan memaksimalkan manfaat rumput laut tersebut sebagai pengendali

lingkungan dalam produksi bandeng sistim polikultur. Tujuan kegiatan ini adalah

untuk meningkatkan produksi bandeng dengan teknologi polikultur.

BAHAN DAN TATA KERJA

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk memproduksi bandeng sistim

polikultur di tambak antara lain adalah gelondongan bandeng (3-5 cm), pakan, benih

udang, bibit rumput laut Gracillaria, kascing, saponin, desinfektan, bambu, pompa

air, pipa PVC 8”, elbow PVC 8”, tali tambang, benang nylon, gayung, ember, tali

ijuk.

Tata Kerja

Persiapan Tambak

Tahap awal dalam persiapan tambak adalah perbaikan konstruksi seperti

penataan caren tengah, kemiringan tambak serta pemadatan pematang. Tujuan dari

perbaikan konstruksi adalah supaya tambak memenuhi kriteria untuk budidaya

diantaranya dapat mempertahankan ketinggian air, kemudahan penumbuhan pakan

alami dan kemudahan dalam melakukan pemanenan.

Pemberantasan Hama

Untuk menjamin tambak terbebas dari hama diaplikasikan saponin. Dosis

saponin dengan target ikan-ikan liar adalah 10 ppm.

.Persiapan Air Media

Pengisian air petak tandon dilakukan melalui saluran utama menggunakan

pompa submersible 6” sampai ketinggian air maksimal. Selanjutnya

dilakukan pemupukan yang digantung di sepanjang pematang sampai tumbuh

plankton.

106

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengisian air tahap pertama sampai ketinggian 5-10 cm dengan tujuan untuk

menumbuhkan pakan alami (klekap). Pengisian air selanjutnya sampai

kedalamam 50-60 cm dilakukan secara bertahap. Ketinggian air media

pemeliharaan dipertahankan sekitar 70-80 cm.

Pemupukan bertujuan untuk membantu menjaga kestabilan keberadaan

plankton agar seimbang sesuai persyaratan kebutuhan kehidupan udang

windu dan ikan bandeng. Pupuk yang diaplikasi dalam pemupukan adalah

kascing. Kascing diaplikasikan sesaat sebelum pengisian air tahap pertama

(ketinggian air 5-10 cm) dengan dosis 200 kg/Ha.

Penebaran

Penebaran dilakukan apabila air media sudah siap dan layak tebar. Untuk

mengurangi gejala stress, penebaran dilakukan pada kondisi suhu rendah, yaitu pada

pagi hari dan dilakukan secara perlahan-lahan dengan cara aklimatisasi terhadap

suhu dan salinitas. Penebaran untuk masing komoditas (polikultur) dilakukan secara

bertahap, yaitu :

Penebaran gelondongan bandeng dilakukan 14 hari setelah pemupukan awal

atau pakan alami (klekap) tumbuh. Padat tebar 10.000 ekor/ha (ukuran 3-5

cm)

Penebaran rumput laut sebagai pengendali lingkungan dilakukan 70 hari

setelah penebaran gelondongan bandeng (ketinggian air 40 cm). Selanjutnya

air dinaikkan sampai ketinggian 60 cm. Padat tebar rumput laut Gracillaria

sp.1.000 kg/ha.

Penebaran tokolan udang windu dilakukan setelah panen rumput laut pertama

(40 hari) atau 110 hari sejak penebaran gelondongan bandeng. Padat tebar

tokolan udang windu adalah 1 ekor/m2 (ukuran ± 1,5 cm).

Pemeliharan rutin setelah penebaran gelondongan bandeng selain pemberian pakan

(Tabel 1) juga pemupukan susulan untuk mempertahankan kualitas air sehingga

tersedianya organisme pakan yang cukup di dalam tambak. Selama pemeliharaan,

ketinggian air media dipertahankan 70-80 cm.

Tabel 1. Program pakan produksi bandeng sistim polikultur

Umur (hari) Berat (gr) SR (%) Dosis pakan (%) 1-10 2-5 100 3.0 11-20 10-20 98 3.0 21-30 20-30 97 2.5 31-40 30-40 96 2.5 41-50 40-50 95 2.0 51-60 50-60 94 2.0 61-70 60-80 93 1.5 71-80 80-100 92 1.5 81-90 100-120 91 1.5 91-100 120-140 90 1.0 101-110 140-180 90 1.0 111-120 180-220 90 1.0

107

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan

Data utama yang diamati adalah pertumbuhan (panjang, berat) bandeng dan

udang windu yang diamati setiap 10 hari sekali. Data pendukungnya adalah kualitas

air (suhu, salinitas, pH, oksigen, bahan organik, fitoplankton) yang diamati setiap 10

hari sekali.

HASIL DAN BAHASAN

Pengamatan Kualitas Air

Kualitas air yang optimum bagi budidaya ikan bandeng antara lain salinitas 15

– 30 ppt, suhu 27oC – 31oC, pH 7 – 8,5 (Ismail 1992), oksigen terlarut 3 – 7 ppm,

alkalinitas 150 ppm, kecerahan 20 - 40 cm. Sedangkan kegiatan produksi bandeng

polikultur di tambak berlangsung pada masa pemeliharaan ikan bandeng bulan ke III

dan bulan ke IV terjadi peningkatan kadar garam/salinitas yaitu mencapai 50 – 53

ppt, sehingga berdampak pada kondisi ikan bandeng mengalami penurunan nafsu

makan dan pertumbuhan ikan bandeng tidak merata atau terjadi variasi ukuran.

Hasil pengamatan kualitas air didapatkan suhu dan oksigen terlarut selama

pemeliharaan berlangsung masih dalam kondisi normal. Suhu berkisar antara 28 oC -

32 oC. Menurut Zakaria (2010) suhu yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan

ikan bandeng berkiasar antara 24-31 oC. Kordi dan Tancung (2005) juga menyatakan

bahwa suhu optimal untuk pemeliharaan ikan bandeng berkisar antara 23-32°C.

Sedangkan untuk kelarutan oksigen (DO) nilai kisaran mencapai 3,5 ppm – 4,9 ppm.

Menurut Zakaria (2010), kandungan oksigen yang sesuai untuk pemeliharaan ikan

bandeng tidak kurang dari 3 ppm

Pengamatan Pertumbuhan Ikan

Pertumbuhan untuk pembesaran bandeng Polikultur menunjukan rerata berat

150 gr/ekor. Untuk pertumbuhan berat bandeng pada hari ke 30, 40, hingga hari ke

90, kondisi salinitas terlalu tinggi hingga mencapai 52 – 53 ppt. Untuk pertumbuhan

panjang bandeng pada pembesaran menunjukan bahwa, pertumbuhan panjang

bandeng pada hari ke 40 mencapai 14,30 cm. Hal ini menunjukan bahwa bandeng

pada umur 40 hari relatif tidak telalu tampak.

Panen

Hasil dari kegiatan ini diperoleh ikan bandeng sebanyak 750 kg, udang windu

325 kg dan rumput laut 100 kg.

KESIMPULAN

Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa ikan bandeng dapat

dibudidayakan secara campuran atau sistem polikultur dengan pencapaian berat 150

gr/ekor dan angka kelulusan hidup 65 %.

108

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Ir.Kade

Ariawan. selaku Penanggung Jawab Kegiatan ikan bandeng dan teman teman yang

terlibat di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. T, Ratnawati. E dan Yakob M.J.R, 1998. Budidaya Bandeng Secara

Intensif. Penebar Swadaya.Anonimous, 1985. Pedoman Budidaya Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara.

Bagarinao T.U, 1991. Biology of Milkfish (Chanos chanos. Forsskall). SEAFDEC Aquaculture Department, Tigbauan, Iloilo, Philippines.

Ismail, A., A.Poernomo, P.Sunyoto Wedjatmiko, Dharmadi dan R.A.I. Budiman. 1994. Pedoman Teknis Pembesaran Ikan Bandeng di Indonesia. Seri Pengembangan Hasil Perikanan No. PHP/KAN/26/1994. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. 73 hal.

Supito, Kokarkin, C., Haryanto, T,. (2001). Pemanfaatan Air Buangan Tambak Udang Untuk Pembesaran Bandeng (Chanos chanos Forsk.) Intensif. Departemen Kelautan dan Prikanan, Dirtjend. Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara

Supito dan Daryono. (2001). Pembesaran Bandeng Komsumsi dengan Pakan Buatan, Laporan Tahunan, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara.

Ismail A dan A. Sudrajat, 1992. Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-chanos P) Sistem Penggelondongan dan Pembesaran di Tambak.

109

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU TELUR

IKAN BANDENG

Oleh: Agus Haryono dan Poniran

ABSTRAK

Hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi ikan bandeng diantaranya adalah penyediaan benih berkualitas. Induk dengan berat antara 3,5-5 kg/ ekor dipelihara dengan kepadatan satu ekor per 4m3 pada bak berbentuk silinder dengan kedalaman air 2,5 m dengan sistem sentral drain. Pergantian air dilakukan > 200% per hari sistem air mengalir. Pakan induk yang diberikan perkaya dengan silase cumi-cumi sebanyak 5% dari tiap kg pakan, multivitamin, vitamin C , vitamin E dan telur bebek sebagai perekat. Perbaikan kualitas air dilakukan dengan cara penyaringan air dengan menggunakan filter pasir bertekanan. Pakan diberikan sebanyak 3% dari total berat induk dengan frekuensi 2 kali sehari. Hasil dari kegiatan peningkatan nutrisi pakan induk diperoleh produksi telur dan frekuensi pemijahan induk meningkat, induk rata-rata memijah 6-9 kali dalam satu bulan, dan derajat pembuahan telur meningkat berkisar 60,0%-98,5%, diameter telur dari 1,100 mm menjadi 1,250mm, dan daya tetas telur dari 60,0% menjadi 98,5%.

Kata Kunci : Nutrisi, Mutu benih, Ikan bandeng

PENDAHULUAN

Pembenihan menjadi salah satu faktor yang penting di dalam budidaya ikan.

Agar produksi benih yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik maka perlu

perbaikan kualitas pakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi induk. Dengan

memperbaiki nutrisi pakan diharapkan akan dihasilkan telur yang berkualitas baik.

Pengujian dilakukan dengan pemberian protein dan asam lemak tak jenuh.

Penambahan vitamin E dan silase cumi-cumi misalnya, diduga berpengaruh positif

terhadap percepatan pematangan gonad dan peningkatan kualitas telur yang

dihasilkan.

Tujuan kegiatan ini untuk meningkatkan nutrisi (protein dan asam lemak)

pakan induk ikan bandeng sehingga menghasilkan telur bandeng yang berkulitas.

Sasaran meningkatkan produksi dan kualitas telur induk bandeng ,dan benih

bandeng yang berkualitas.

110

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

BAHAN DAN TATA CARA

Bahan dan Alat.

Bahan yang diperlukan : Induk bandeng, telur ikan bandeng , pelet induk ikan

bandeng, minyak cumi-cumi, silase cumi-cumi, harmon pemtangan gonad, iodin,

pakan larva, vitamin E, multivitamin, bahan pengkaya Rotifera

Peralatan yang digunakan : Bak pemeliharaan induk kapasitas 200m3 , hapa

penampung telur dengan mes size 500µm, aquarium volume 60 liter, ember, gayung

bak pemeliharaan larva, bak kultur masal Rotifera, blender, hapa panen , seser halus,

baskom, mangkok putih, dan bak kultur masal Chlorella dan peralatan aerasi.

Tata Kerja

Peningkatan Nutrisi Pakan Induk Bandeng

Induk dengan berat antara 3,5-5 kg/ ekor dipelihara dengan kepadatan satu

ekor per 4m3 pada bak berbentuk silinder dengan kedalaman air 2,5 dengan sistem

sentral drain. Pergantian air > 200% per hari dengan sisitem air mengalir . Sisa

kotoran dan pakan yang tersedimentasi didasar bak dibersihkan setiap bulan dengan

cara di dorong ke arah saluran buang. Rangsangan pemijahan dilakukan dengan

teknik pengaturan ketinggian air, dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air ,

dan kedalaman air di dalam bak pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm

sampai siang hari samapi jam 14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu

air. Ketinggian air dinaikan kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian

air semula dengan teknik ini akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada

media pemeliharaan induk.

Pemberian pakan diberikan 3 % dari berat biomas perhari diberikan 2 kali per

hari yaitu pagi dan sore. Pakan induk di perkaya dengan mengunakan silase cumi-

cumi sebanyak 5% tiap kilogram pakan , multivitamin, vitamin C , vitamin E dan

telur bebek sebagai binder. Semua bahan pengkaya tersebut di blender sampai

homogen. Pengkayaan pelet dengan campuran bahan pengkaya dilakukan dengan

menggunakan mesin sangrai pelet sehingga dapat tercampur secara merata.

Perawatan Induk Bandeng.

Faktor penurunan kualitas benih dapat terjadi karena kualitas induk yang

digunakan kurang baik, terjadinya proses inbreeding .Penyediaan induk dengan

sifat-sifat genetik yang baik dan unggul menjadi kebutuhan yang mendesak untuk

menjamin ketersediaan benih yang berkualitas. Pematangan gonad Induk asal Aceh

dilakukan dengan meningkatkan kandungan nutrisi terutama protein dan asam lemak

tak jenuh pakan induk .

Penambahan vitamin E dan minyak cumi-cumi (Silase cumi-cumi) misalnya,

diduga berpengaruh positip terhadap percepatan pematangan gonad dan peningkatan

kualitas telur yang dihasilkan. Pematangan gonad Induk bandeng dilakukan pada bak

berbentuk bulat dengan kedalaman air 2,5 meter dan diameter bak 8 meter (volume

111

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

200 m3). Selama pemeliharaan dilakukan pergantian air > 300 % dengan cara

pergantian air mengalir selama 24 jam. Perbaikan kualitas air dilakukan dengan cara

penyaringan air dengan menggunakan send presur filter. Pakan diberikan sebanyak 3

% dari total berat induk dengan frekuensi 2 kali sehari. Pada pakan yang akan

digunakan sebelumnya di tambahkan minyak cumi-cumi/ (silase cumi-cumi) 10

ml/kg pakan dan Penambahan vitamin E dan Vitamin C. Untuk memacu pematangan

gonad dilakukan dengan rangsangan hormonal dengan menggunakan hormon

LHRH-a dengan frekuensi 2 kali setahun.

Rangsangan pemijahan dilakukan dengan teknik pengaturan ketinggian air,

dimana pada pagi hari dilakukan pembuangan air , dan kedalaman air di dalam bak

pemeliharaan induk di pertahankan 30-50 cm sampai siang hari samapi jam

14.00.dengan tujuan agar terjadi peningkatan suhu air. Ketinggian air dinaikan

kembali setelah jam 14.00 hingga mencapai ketinggian air semula dengan teknik ini

akan terjadi peningkatan suhu dan tekanan air pada media pemeliharaan induk.

HASIL DAN BAHASAN

Perawatan Induk Bandeng

Penimbangan berat induk dilakukan dua kali dengan tujuan untuk

mengurangi setres pada induk. Penimbangan berat dilakukan pada bulan Januari

2016 dan Juni 2015 (Tabel 1).

Tabel 1. Berat rata-rata dan biomas induk bandeng

Bulan Jumlah ekor Rerata berat(kg)

Biomas (kg) Kisaran berat (kg)

Januari 2016 60 3,5-5 275 4-5 Juli 2016 60 4,5-6,0 325 5-6

Dari hasil sampling terjadi penambahan biomas induk dari bulan Januari

hingga Juli 2016. Penambahan biomas memberikan pengaruh terhadap jumlah pakan

yang diberikan setiap harinya.

Pengkayaan pakan induk dengan silase cumi-cum, Vitamin C,telur bebek

dan Vitamin E mampu meningkatkan kandungan nutrisi pakan , terutama protein

pakan , lemak pakan dan asam lemak . Pemberian pakan pelet yang diberikan secara

terus menerus secara teratur dapat meningkatkan kulitas dan produksi telur ikan

bandeng. Dari hasil analisa proksimat dan analisa kandungan asam lemak dengan

metode Gas Cromatografi di Laberatorium Lingkungan BBPBAP jepara terhadap

pelet induk bandeng yang diperkaya campuran silase cumi-cumi, Vitamin C, Vitamin

E, dan telur bebek msecara nyata meningkatkan kandungan protein, lemak dan asam

lemak DHA dan EPA (Tabel 2)

Tabel 2. Hasil analisa proksimat dan asam lemak pelet induk ikan bandeng

No Perlakuan EPA DHA Protein Lemak 1 Tanpa pengkayaan 0 0 30 3 2 Dengan pengkaya 75,79 180,75 35 6

112

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Selain kebutuhan protein, asam lemak berperan sebagai sumber energi dan

suber asam lemak esensiel bagi pembetukan gonad dan kulaitas telur bagi ikan. Telah

dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA) terutama

kelompok n-3 HUFA (EPA;20 5n3 dan DHA: 22-6n30 ) merupakan nutrien esensial

bagi larva ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembngan telur

dan larva (Watanabe, 1993; Rainuzo et al, 1995 dalam Gapasin et al.,1998).

Produksi Telur, Telur fertil, Telur non Fertil, dan Derajat Penetasan Telur

Hasil pengamatan terhadap produksi telur, telur fertil, dan derajat

pembuahan setiap bulanya menunjukan hasil yang meningkat pada semua parameter

kualitas telur. Prosentase telur fertil meningkat secara signifikan dari 50%-95%,

demikian halnya pada derajat penetasan telur juga menunjukan hasil yang

meningkat/bagus yaitu antara 60%-97,5%. Peningkatan kualitas telur sangat

signifikan dengan bertambahnya waktu pengujian. Pembuahan telur (jumlah telur

fertil) dan derajat penetasan telur meningkat mulai pada bulan April atau tiga bulan

setelah pengujian. Hasil yang didapatkan menjukan tren yang meningkat, pada

beberapa laporan ( Lam,T.C., 1985; lee,C.S et.al., 1986; Priyono et al 1990., )

melaporkan derajat pembuahan telur ikan bandeng antara 50%-90%.

Tabel 3 Produksi telur , kualitas telur dan daya tetas telur induk ikan bandeng

No Bulan Produksi telur (btr)

Telur fertile (%)

Telur non fertile (%)

Ukuran telur(mm)

Derajat penetasan(%)

1 Januari 0 0 0 0 0 2 Pebruai 1.500.000 50 50 1,1 60 3 Maret 2.500.000 60 40 1,1 70 4 April 3.000.000 70 30 1,2 80 5 Mei 3.200.000 85 15 1,2 90 6 Juni 3.250.000 90 10 1,2 90 7 Juli 1.500.000 90 10 1,25 90 8 Agustus 1.700.000 95 5 1,25 90 9 September 2.750.000 95 5 1,2 97,5 10 Aktober 3.000.000 90 10 1,25 97,5 11 Nopember 3.000.000 90 10 1,25 97 12 Desember 1.500.000 85 15 1,25 90

Pada beberapa penelitian tentang penggunaan vitamin C untuk reproduksi

ikan telah dicoba terutama pada ikan trout (Sandnes et al.,1984). Hasilnya

memperlihatkan bahwa ikan yang mendapatkan pakan dengan penambahan vitamin

C sebanyak 1 gr/kg pakan dapat memproduksi telur lebih banyak di bandingkan

tanpa penambahan vitamin C. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pentingnya

vitamin C dalam pakan terutama untuk meningkatkan ketahanan terhadap setres

karena secara alami hewan terutama ikan tidak mampu mensintesa vitamin C di

dalam tubuhnya. Sehingga kebutuhan vitamin C mutlak diperlukan sehubungan

113

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

dengan sistem metabolisme ikan (Subiyakto dkk., 2001). Peningkatan kualitas telur

juga ditandai dengan meningkatnya diameter telur. Diameter telur meningkat dari 1,1

mm pada awal pengujian menjadi 1,2mm-1,25 mm setelah pengujian berjalan tiga

bulan. Diameter telur ada hubunganya dengan fekunditas dan umur induk, makin

banyak telur yang dipijahkan (fekunditas), maka ukuran diameter telurnya semakin

kecil (Tang dan Afandi, 2001).Semakin besar ukuran diameter telur akan semakin

baik, karena dalam telur tersebut tersedia makanan cadangan sehingga larva ikan

akan dapat bertahan lebih lama.

Gambar 1. Telur ikan bandeng yang dibuahi tampak jelas bakal embrio yang

berkembang.

Ukuran diameter telur dapat menentukan kulitas yang berhubungan dengan

kandungan kuning telur dimana telur yang berukuran besar juga menghasilkan larva

yang berukuran besar. Efendi (1997) menyatakan bahwa semakin berkembang

gonad, maka ukuran diameter telur yang ada didalamnya semakin besar sebagai hasil

pengendapan kuning telur , hidrasi, dan pembentukan oil globule.

KESIMPULAN

Dalam kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa Pengkayaan pakan induk

dengan silase cumi-cumi dapat meningkatkan produksi dan kualitas telur induk

bandeng, terbukti dengan pengkayaan jumlah telur fertil dan daya tetas telur terus

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu pengujian.

114

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Sugeng Rahajo A.Pi Kepala

BBPBAP Jepara, Beni Suprianto, S.Pi POKJA pembenihan ikan bandeng,Siswanto

pembenihan ikan bandeng, Sardi, Bambang Untiyo, Sahlan, Abang Prastiyo dan

rekan-rekan di pembenihan ikan bandeng yang telah membantu terlaksananya

kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., 1991. Pengelolaan Peubah Mutu Air yang Penting dalam Tambak Udang

Intensif. Balai Penelitian Budidaya Pantai Maros. Anonim. 1995. Petunjuk Teknis Pembenihan Ikan Bandeng . Balai Budidaya Air

Payau Jepara.15 hal. Boyd,C.E., 1995. Botom Soil, Sediment, and Pond Aquaculture . Chapman & hall. Effendie,M.I.,1997. Metode Biologi Perikanan . Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor

.112 hal. Emata,A.C.C.,L.Marte dan L.Ma.B.Garcia.1992. Management of Milkfish

Broodstock Aquaculture Extension Manual No.20 Desember 1992. Aquaculture Departement Southeast Asian Fisheries Development Center. Tigbauan, Iloilo, Philippines.32 hal.

Priyono,A.G.Sumiarsa.,Azwar,Z.I.1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17α Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Baneng ( Chanos chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1):20-30.

115

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PENGGUNAAN PAKAN KOMERSIAL INDUK

IKAN NILA SALIN YANG DIPERKAYA DENGAN MENGKUDU

DAN UBI UNGU

Oleh : Poniran dan Dwi Joko Sulistiyono

ABSTRAK

Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.Kebutuhan benih ikan nila salin untuk kegiatan budidaya semakin meningkat sedangkan hasil tangkapan benih dari alam jumlahnya terbatas sehingga dibutuhkan suatu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk meningkatkan jumlah dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan pemberian nutrisi yang lebih lengkap. Mengkudu mengandung zascopoletin yang berguna dalam peningkatan kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan tempat dimana serotonin diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan hormon melatonin. Ubi jalar merupakan jenis tanaman merambat yang menyimpan makanan pada akarnya. Wadah yang digunakan adalah bak semen dengan ukuran bak 5 x 8 m yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar bak dan terbuka tanpa atap. Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk jantan maupun betina. Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu selama 15 hari atau 2 minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti setiap selang 2 hari sekali sebanyak 30-50 %. Ubi ungu di formulakan pada pakan yang diberikan pada induk ikan nila dengan komposisi 30 %. Pemijahan dilakukan dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1 % perhari disesuaikan dengan nafsu makan. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan. Pada hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan betinannya. Lama pemeliharaan dari proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai adalah 45 hari. Hasil terbaik pemeliharaan induk ikan nila ternyata diperoleh dengan menggunakan mengkudu yang dicampur atau sebagai pengkaya pakan induk, sedangkan produksi terendah diperoleh pada pemeliharaan induk dengan menggunakan pakan standar atau pakan tan pa pengkayaan. Kata Kunci : kualitas telur, induk nila salin, mengkudu dan ubi ungu

PENDAHULUAN

Perkembangan budidaya ikan Nila salin baik di tambak maupun keramba

jaring apung membutuhkan benih dalam jumlah yang terus meningkat. Selain

jumlahnya terbatas kontinyuitas ketersediaanya juga tidak menentu. Karenanya

upaya produksi benih dari pembenihan ikan merupakan solusi yang sangat mendesak

116

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

sekali. Ikan Nila salin merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai prospek

yang cerah dan layak dikembangkan sebagai ikan budidaya karena mempunyai nilai

ekonomi yang tinggi. Selain itu ikan nila salin mempunyai pertumbuhan yang relatif

cepat, mudah dipelihara, mempunyai toleransi salinitas yang baik terhadap

perubahan lingkungan.

Masalah terbesar dalam produksi benih nila salin masih berkisar seputar

proses pemeliharaan larva. Mortalitas yang relatif tinggi selama stadia larva

merupakan kendala yang sering dijumpai dalam produksi massal benih. Ada 3 faktor

yang berperan dalam pemeliharaan larva, yakni jumlah dan mutu telur, ketersediaan

pakan alami dan kondisi lingkungan. Untuk memperoleh keberhasilan dalam

produksi benih, ketiga faktor tersebut harus dikondisikan secara ideal.

Mengkudu mengandung zat scopoletin yang berguna dalam peningkatan

kegiatan kelenjar peneal di dalam otak, yang merupakan tempat dimana serotonin

diproduksi dan kemudian digunakan untuk menghasilkan hormon yang berperan di

dalam sistem reproduksi.

Ubi ungu merupakan jenis ubi yang memiliki rasa manis dan enak rasanya,

disamping memiliki manfaat bagi kesehatan. Ubi ungu juga mempunyai kandungan

vitamin A lebih kurang 7.700 mg/100 g ubi lebih tinggi dari buah bit atau tomat.

Vitamin C dan antioksidan.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan terutama untuk meningkatkan jumlah

dan mutu telur yang dihasilkan dari induk nila adalah dengan pemberian nutrisi yang

lebih lengkap. Selama ini berbagai jenis vitamin telah diberikan untuk memacu

proses peneluran, namun begitu ketersediaan telur masih tergantung pada kondisi

alam. Perbaikan kualitas telur yakni dengan menggunakan mengkudu dan ubi jalar

ungu diharapkan dapat memeberikan nilai tambah dalam hal frekuensi memijah dan

kualitas telur yang dihasilkan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan

produksi telur dan larva ikan nila salin.

BAHAN DAN TATA KERJA

Waktu dan Tempat

Kegiatan Produksi dan kerekayasaan benih ikan nila salin dilaksanakan mulai

bulan Januari s/d Desember 2016 di unit pembenihan ikan nila salin BBPBAP

Jepara, Jawa Tengah.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk pengujian adalah induk ikan nila, pakan

induk (pakan komersial 30 %), mengkudu, ubi ungu , bak pematangan gonad, bak

pemeliharaan larva , bak perkawinan /pemijahan , pompa air, blender rumah tangga,

peralatan kerja lain.

117

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tata Kerja

Penyiapan Wadah

Wadah yang digunakan adalah bak semen 5x8 m sebanyak tiga buah dengan

ketinggian air 60-80 cm yang dilengkapi dengan sarana aerasi yang dipasang di dasar

bak dan terbuka tanpa atap. Sebelum bak digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari

kotoran yang menempel dan disterilkan dengan kaporit dosis 50 ppm. Bak dibiarkan

kering selama 1-2 hari. Bak yang sudah kering dibilas sampai bersih dengan air

bersih dan dibiarkan kering,kemudian dilanjutkan dengan pengisian air payau

salinitas 5 ppt sedalam 0,7-1 meter aerasi dihidupkan dibiarkan selama 1-2 hari agar

air tercampur merata salinitasnya.

Stok induk dilakukan dengan kepadatan 1kg per m2 dan dengan

perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 3. Sebelum induk dipijahkan terlebih

dahulu dilakukan proses pematangan gonad baik pada induk betina maupun jantan.

Pematangan gonad dilakukan dengan cara memisahkan induk jantan maupun betina.

Pematangan gonad atau matang telur memerlukan waktu selama 15 hari atau 2

minggu. Air yang digunakan adalh air stagnan yang diganti setiap selang 2 hari

sekali sebanyak 30-50%. Ubi ungu di formulakan pada pakan yang diberikan pada

induk ikan nila dengan komposisi 30%. Didiberikan setiap hari sebanyak 3% per

hari dari berat biomass Pakan formula berbentuk pelet dengan kadar protein 30%

diberikan dua kali sehari pada pagi maksimal jam 08.30 dan sore hari pada jam

16.00. dengan dosis 3% per hari.

Induk yang telah dimatangkan gonadnya kemudian dilakukan pemijahan

dilakukan dengan cara memilih induk betina yang matang telur dan jantan yang

matang sperma yang berasal dari proses pematangan gonad. Pemijahan dilakukan

dalam bak dengan cara mencampur jantan dan betina. Selama masa pemijahan

pakan tetap diberikan dan jumlah pakan dikurangi hingga 1% perhari disesuaikan

dengan nafsu makan. Waktu pemijahan selama 15 sampai 30 hari. Wadah

pemijahan dipersiapkan seperti pada persiapan wadah pada proses pematangan

gonad. Pengamatan terhadap induk yang memijah mulai hari ke 4 dan seterusnya

hingga selesai selma 30 hari. Hasil produksi benih atau larva diliput dengan cara

mengumpulkan larva atau benih yang terkumpul selama proses pemijahan.

Pengelompokan benih diatur setiap 5 hari sekali menjadi satu kelompok, hal ini

dilakukan untuk menghindari ketidak seragaman dan kanibalisme pada benih. Pada

hari ke30 semua induk dipindah tempat yang baru dan dipisah lagi antara jantan dan

betinannya sedangkan larva atau telur yang tersisa dalam bak pemijahan

dikumpulkan dan disortir, hasil sortir dicampurkan dengan benih yang terdahulu

pada ukuran yang sama.

Menejemen air dilakukan dengan cara mengganti air pemeliharaan induk

setiap selang 2 hari sekali sebanyak 50% dari volume air media selama proses

pengujian. Pengukuran kualitas air meliputi , suhu, pH , DO setiap hari dan amoniak

setiap 3 hari sekali.

118

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan produksi larva dengan cara mengumpulkan atau dikelompokkan larva

berdasar umur 1-5 hari menjadi satu kelompok atau kelompok per 5 hari. Lama

pemeliharaan dari proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai adalah

45 hari.

Penyiapan mengkudu

Buah mengkudu matang diblender dicampur air secukupnya dengan

perbandingan 1 : 1. Hasil blender mengkudu di adukkan ke pakan komersil lalu

diangin-anginkan sampai kering.

Penyiapan ubi ungu

Ubi ungu mentah dikupas,dicincang,dirajang diblender dicampur air dengan

perbandingan 1 : 1. Hasil blender ubi ungu di adukkan ke pakan komersil lalu

diangin-anginkan sampai kering.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil kegiatan yang dilakukan disajikan pada tabel 1.

Tabel 1.Produksi larva ikan nila menggunakan mengkudu dan ubi ungu pada

pemeliharaan induk.

Reproduksi ke

Hari ke

Jumlah Larva (ekor) Mengkudu Ubi Ungu Pakan Komersial

1 15 2.955 2.674 987 2 30 10.588 3.080 1.507 3 45 4.588 4.693 1.256 Hasil yang dicapai dengan pakan yang diperkaya menggunakan mengkudu

dan ubi ungu untuk produksi larva ikan nila lebih tinggi dibanding dengan pakan

komersial tanpa bahan pengkaya.

Sedangkan data kualitas air media pemeliharaan selama kegiatan berlangsung

dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.Data Kualitas air media pemeliharaan

No Parameter Pengkayaan Pakan

Mengkudu Ubi ungu Pakan Komersial

1 DO (ppm) 3.1 - 4,8 4.0 - 5.6 3.3 - 4-5

2 pH 7,7 - 8,2 8.5 - 8.7 7,5 - 8,3

3 NH3 (ppm) 0,25 - 027 - 0,24 - 0,27

4 NO2 (ppm) 0,004 - 0,007 - 0,001

5 Salinitas (ppt) 5,0 5,0 5.0

6 Temperatur (oC) 27,8-28,2 26,7-28,2 27,5 - 28,2

Data kualitas air selama kegiatan berlangsung sesuai dengan kebutuhan untuk

kehidupan larva ikan nila

119

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN.

Pengkayaan pakan komersial untuk ikan nila dengan menggunakan

mengkudu menghasilkan larva sebanyak 18.131 ekor selama tiga kali reproduksi,

pengkayaan dengan ubi ungu menghasilkan 10.447 ekor dibandingkan pakan

komersial menghasilkan 3.750 ekor

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Ibu Lisa

Ruliaty.S.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Pakan Alami dan teman teman

yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA

Azim M.E., Little D.C., 2008 The biofloctechnology(BFT) in indoor tanks: water quality, biofloc composition, and growth and welfare of Nile tilapia (O.niloticus).Aquaculture 283:29-35.

Azim M.E., Little D.C., Bron J.E., 2008 Microbial protein production in activated suspension tanks manipulating C:N ratio in feed and the implications for fish culture. Bioresource Technology 99:3590-3599

Han X.Choo, Christopher Marlowe A. Caipang 2015. Biofloc technology (BFT) and its application towards improved production in freshwater tilapia culture . AACL Bioflux, 2015, Vol. 8, Issue 3. http://www.bioflux.com.ro/aacl

James E. Rakocy, Jason J. Danaher, Donald S. Bailey and R. Charlie Shultz . 2006 Development of a Biofloc System for the Production of Tilapia [email protected]

Rode, R. 2014. Marine Shrimp Biofloc Systems: Basic Management Practice Aquaculture Research Lab Manager, Department of Forestry and Natural Resources, Purdue University.

Revandi, Reva, D. 2004. Pemeliharaan Induk dan Larva Ikan Nila BerbasisTeknologi URL unpad.ac.id/archives/131175/#) URL Honson2008.en.alibaba.com

SNI : 01-6141-1999 Produksi benih ikan nila hitam kelas benih sebar Cecillia J. Jaspe, and Christopher M.Acaipang 2011. Smal scale hatchery and larval

rearing techniques for local strains of saline toleranttilapia Oreochromis niloticus spp

120

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

POMPA RAKITAN SEBAGAI ALTERNATIF PENGHEMAT DI

DALAM OPERASIONAL PENYIPONAN

DI DASAR TAMBAK UDANG

Oleh : Budi Santoso dan Heru Kurniawan

ABSTRAK

Lithopenaeus vannamei adalah jenis udang introduksi dari Amerika Selatan yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak akhir dekade 90-an untuk menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang sudah sulit dibudidayakan karena serangan virus White spot. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam budidaya udang dikatagorikan menjadi dua yaitu faktor internal berupa kualitas bibit, dan faktor eksternal berupa pengelolaan dan lingkungan. Faktor internal merupakan persoalan di tingkat pembibitan, dimana petambak hanya bisa menentukan dengan cara memilih kualitas bibit yang baik. Pengelolaan pakan merupakan faktor yang sangat penting, karena menentukan pertumbuhan udang. Berdasarkan faktor inilah maka, perlu dilakukan pengendalian lingkungan, salah satunya dengan cara melakukan proses penyiponan pada dasar petakan. Teknik penyiponan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik yang ada di dasar perairan sebagai akumulasi dari sisa kotoran dan pakan. Penyiponan dapat dilakukan dengan beberapa cara, bisa dengan memanfaatkan gravitasi ( untuk tambak dengan konstruksi ideal), maupun dengan pompa air. Pompa air yang banyak digunakan oleh pembudidaya adalah jenis pompa air tenaga bensin untuk operasionalnya. Penggunaan pompa air ini akan menambah biaya operasional produksi udang. Untuk itu perlu dilakukan inovasi alat penyedot kotoran yang lebih hemat sehingga akan mengurangi biaya produksi. Dari kegiatan ini dapat dilihat bahwa penggunaan pompa rakitan terbukti lebih menghemat biaya produksi untuk penggunaan energi hanya sebesar 12,5% dibandingkan dengan menggunakan pompa alkon. Penggunaan pompa rakitan lebih efektif dalam pemakaian dan lebih fleksibel dalam pemanfaatanya.

Kata Kunci : Litopenaeus vanamei, pakan, penyiponan, pompa air rakitan

PENDAHULUAN

Lithopenaeus vannamei adalah jenis udang introduksi dari Amerika Selatan

yang mulai dibudidayakan di Indonesia sejak akhir dekade 90-an untuk

menggantikan udang windu (Penaeus monodon) yang sudah sulit dibudidayakan

karena serangan virus White spot. Bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya,

udang vaname memiliki keunggulan yaitu :

• responsif terhadap pakan dengan kadar protein 25 - 30% (lebih rendah dari

udang windu)

• kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan suhu rendah,

• adaptasi terhadap perubahan salinitas (khususnya pada salinitas tinggi)

121

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

• laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan I dan II

• angka kehidupan (survival rate/SR) hidup tinggi.

• dapat ditebar dengan kepadatan tinggi karena hidupnya mengisi kolom air

bukan di dasar saja.

• serapan pasar luas, mulai dari ukuran 10 hingga 25 gram per ekor.

Dengan keunggulan yang dimiliki tersebut, sangat potensi dan prospektif

pengembangannya. Udang vanamei saat ini banyak dibudidayakan di Sumater

Utara, Lampung, Bengkulu, Banten, Pantai Utara Jawa Barat, Pantai utara dan

selatan Jawa Timur, Pantai Utara dan selatan Jawa Tengah, DIY, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur. Jenis tambak yang digunakan juga

bervariasi, ada yang masih berupa tanah, kolam semen dan kolam bak dan tambak

ditutup dengan mulsa.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam budidaya udang dikatagorikan menjadi

dua yaitu faktor internal berupa kualitas bibit, dan faktor eksternal berupa

pengelolaan dan lingkungan. Faktor internal merupakan persoalan di tingkat

pembibitan, dimana petambak hanya bisa menentukan dengan cara memilih kualitas

bibit yang baik. Namun dalam kenyataannya, petambak belum bisa menentukan

sehingga sifatnya hanya berdasarkan rekam jejak (track record) suatu pembibitan

bukan kualitas dari tiap benur yang dihasilkan. Oleh karena itu, petambak hendaknya

memperhatikan faktor yang memang bisa dikendalikan, yaitu faktor pengelolaan,

baik pengelolaan pakan, pengelolaan tambak.

Pengelolaan pakan merupakan faktor yang sangat penting, karena

menentukan pertumbuhan udang. Dua hal yang termasuk dalam faktor pakan, yaitu

jumlah dan kualitas pakan. Jumlah pakan secara teknis adalah 3% dari berat biomass

udang di tambak pada saat itu, namun dalam prakteknya ditentukan oleh kuat

tidaknya kondumsi udang yang diukur dengan cek ancho. Kualitas pakan ditentukan

oleh kandungan nutrisi yang ada di pakan. Untuk kehidupannya, udang memerlukan

kandungan nutrisi tertentu dalam pakannya, khususnya dalam hal kandungan

Proteinnya. Kualitas pakan ini ditentukan oleh bahan baku, proses produksi dan

kualitas fisik pakan. Pengelolaan lingkungan juga menentukan pertumbuhan udang,

dengan kondisi dasar tambak dan air yang selalu bagus, udang akan hidup sehat

dengan nafsu makan yang tinggi.

Berdasarkan faktor inilah maka, perlu dilakukan pengendalian lingkungan,

salah satunya dengan cara melakukan proses penyiponan pada dasar petakan. Teknik

penyiponan ini bertujuan untuk mengurangi kandungan bahan organik yang ada di

dasar perairan sebagai akumulasi dari sisa kotoran dan pakan. Penyiponan dapat

dilakukan dengan beberapa cara, bisa dengan memanfaatkan gravitasi ( untuk tambak

dengan konstruksi ideal), maupun dengan pompa air.

Pompa air yang banyak digunakan oleh pembudidaya adalah jenis pompa air

tenaga bensin untuk operasionalnya. Penggunaan pompa air ini akan menambah

biaya operasional produksi udang. Untuk itu perlu dilakukan inovasi alat penyedot

kotoran yang lebih hemat sehingga akan mengurangi biaya produksi.

122

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui efektifitas dari penggunaan

pompa air rakitan dalam proses produksi udang vannamei di Tambak

Tata Kerja

Alat dan bahan

Alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan ini adalah pompa air rakitan,

pompa alkon, selang spiral, bensin, kabel, listrik, saklar.

Pengamatan dan pengambilan sampel dilakukan di kawasan tambak Blok H

BBPBAP Jepara dengan jumlah 4 petak. Waktu pelaksanaan mulai Maret - Agustus

2016 . Pengamatan efektifitas pompa dilakukan dengan membandingkan konsumsi

bahan bakar untuk pompa alkon dibandingkan dengan konsumsi listrik pada pompa

rakitan.

Untuk perlakuan pemeliharaan udang dilakukan sesuai standar operasional yang

ada di BBPBAP Jepara meliputi perbaikan kualitas air dengan menjaga kestabilan

kualitas air selama pemeliharaan sebagai berikut:

a. Pengelolaan air.

Pengelolaan air pada tambak udang dilakukan untuk menjaga kesetabilan

plankaton. Kelimpahan plankton selama pemeliharaan diarahkan pada dominasi

plankton jenis Chloropiceae Sp. sehingga warna air cenderung kehijauan.

Pemupukan susulan secara rutin dengan pupuk ZA, probiotik, molase (tetes tebu)

dengan dosis pupuk 1-2 ppm, probiotik 100 – 200 gr, molase (tetes tebu) 4 liter.

Aplikasi susulan dilakukan setiap seminggu 2 kali. Aplikasi dihentikan bila air

berwarna hijau kecoklatan dengan kecerahan kurang dari 30 (Supito et.al., 2014)

Pengaturan jumlah dan arah kincir dilakukan dengan prinsip seluruh kolom

air bisa bergerak dan dapat melokalisir kotoran (sisa pakan, kotoran udang dan

plankton/bakteri yang mati) pada bagian yang mudah dibuang. Penyiponan kotoran

yang terkumpul di bagian tengah tambak di lakukan untuk mengurangi kotoran

(Total bahan organik).

Pergantian air sebanyak 5-10% perhari dari petak tandon yang telah disiapkan

diperlukan untuk pengenceran air tambak yang sudah pekat bila kecerahan kurang

dari 20 cm serta warna air cenderung mengarah ke hijau gelap atau hijau kebiruan.

.

b. Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin).

Aplikasi probiotik dan bawang putih (alycin) dilakukan melalui pakan yang

diberikan tiap hari yaitu pagi dan sore hari. Sedangkan aplikasi probiotik pada media

pemeliharaan dengan tujuan untuk mempercepat penguraian bahan organik sehingga

tidak terbentuk senyawa beracun seperti amonia dan nitrit. Aplikasi bakteri probiotik

juga untuk mendesak dominasi bakteri vibrio Sp. yang cenderung bersifat patogen.

Perlakuan aplikasi probiotik mulai dilakukan 3 hari, setelah sterilisasi, selanjutnya

aplikasi secara rutin dilakukan 2 kali tiap minggu.

123

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Banyak sumber karbon organik yang dapat digunakan. Salah satu jenis

sumber karbon yang termasuk karbohidrat sederhana adalah tetes tebu (molase),

reaksinya cepat sehingga cocok untuk digunakan di awal pembentukan. Jumlah atau

dosis sumber karbon dalam aplikasi di lapangan disesuaikan dengan kondisi air

sebagai indikator adalah nilia pH air.

Teknik aplikasi probiotik pada media pemeliharaan dengan menebar langsung

probiotik dengan cara persiapan wadah aktivasi berupa ember (volume 20 L) dan

diisi air tambak yang akan di tebar probiotik. Masukan probiotik 200 gr dan di

tambahkan sumber karbon (molase) sekitar 4 liter dan diaduk merata. Tambahkan

pupuk ZA sebanyak 4 Kg dan aduk merata. Biarkan spora bakteri berkembang

selama 0,5 - 1 jam dan kemudian ditebar pada tambak (Supito et.al, 2014)

Aplikasi probiotik pada pakan bertujuan untuk mendesak dominasi bakteri

vibrio pada usus. Cara pengkayaan pada pakan adalah dengan mencapur 20 g

probiotik; 3 g ekstrak bawang putih, 2,5 mL multivitmin per kg pakan dan molase

secukupnya. Bahan-bahan tersebut di campur dan diencerkan dengan air secukupnya.

Campuran bahan tersebut selanjutnya di campurkan pada pakan pellet dan

dikeringkan dengan cara diangin angikan. Pencampuran ini bisasanya dilakukan 1

jam sebelum pemberian.

c. Manajemen pemberian pakan

Udang memiliki cara makan dengan dikerikiti sedikit demi sedikit yang

berbeda dengan cara makan ikan yang langsung di telan setiap butiran pakan.

Pengkayaan pakan pelet dengan beberapa bahan tambahan (feed additive) diduga

akan banyak yang lepas dan larut dalam air bila butiran pakan tersebut terendam

dalam air. Kondisi ini terutama pada bahan tambahan yang mudah larut dalam air

seperti vitamin C. Oleh karena itu diperlukan teknik pemberian pakan pada udang

yang tepat dengan memperhatikan tingkah laku kebiasaan pakan udang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya udang, baik udang windu maupun vaname khususnya yang

berskala semi intensif dan intensif memerlukan penggunaan faktor produksi yang

lengkap, termasuk di dalamnya adalah pemberian pakan yang cukup. Dalam

prakteknya, karena harus menggunakan pakan tenggelam, seringkali kita tidak bisa

tepat memberikan pakan sesuai kebutuhan aktual udang. Baik kekurangan atau

kelebihan pakan. Jika terjadi kelebihan, Pakan yang tidak bisa termakan udang, ini

merupakan salah satu sumber masukan bahan organik di tambak.

Sumber-sumber lain adalah dari kotoran udang, udang yang mati, plankton

yang mati dan mahluk hidup lain yang mati di tambak. Bahan organik tersebut akan

menimbulkan sampah organik dalam bentuk lumpur organik yang ditambah dengan

lumpur an-organik (lumpur dari tanah) akan menjadi bahan kotoran di tambak.

Lumpur tersebut harus dikeluarkan dari tambak karena bisa menjadi bahan beracun

124

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

yang membahayakan kehidupan udang. Pengeluaran yang paling efektif adalah

dengan teknik Siphon, yaitu mengeluarkan lumpur dengan cara disedot melalui

selang dan saluran pembuangan di bawah tanah dasar tambak menggunakan energi

gravitasi dan tekanan air. Oleh karena itu tambak semi dan intensif harus mempunyai

kontstruksi saluran tersebut baik yang berawal dari tengah tambak (central drain)

atau pinggir tambak (side draine). Contoh konstruksi tersebut seperti gambar 1. di

bawah ini :

Gambar 1. kontstruksi saluran tengah tambak (central drain) atau pinggir tambak

(side draine)

Tepat dibagian tengah adalah buis beton yang dipasang vertikal, sebagai

tempat pemasangan paralon di semua penjuru. Pada paralon tersebut dilubangi kecil-

kecil yang tidak muat dimasuki udang yang sudah berukuran menengah. Selain itu

juga terpasang selang yang bisa menjangkau lumpur lebih luas lagi.

Cara kerjanya adalah diluar tambak terpasang saluran pembuangan dari

central drine itu, jika penutupnya dibuka, maka air yang membawa lumpur akan

mengalir keluar tambak. Oleh karena itu, penempatan kincir dan arahnya harus bisa

menempatkan lumpur mengumpul di sekitar central drine ini, sehingga pengeluaran

bisa lebih efektif. Jika lumpur tidak semua terjangkau paralon, maka bisa dikeluarkan

dengan selang yang bisa fleksibel digunakan untuk menjangkau lumpur. Kegiatan

siphon ini waktunya fleksibel, yang penting tambak harus bersih selama proses

budidaya berlangsung. Perlakuan Siphon akan meningkatkan peluang

keberhasilan budidaya udang.

125

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 1. Perbandingan pompa alkon dan pompa rakitan

Hasil pengukuran suhu terhadap peubah kualitas air yang di peroleh selama

pemeliharaan rata-rata 29 – 31 oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap komsumsi

oksigen, pertumbuhan, sintasan udang dalam lingkungan budidaya perairan (Pan-Lu-

Qing et al., 2007). Keberhasilan dalam budidaya udang suhu berkisar antara 20 - 30

°C.

Spesifikasi Pompa alkon (bensin) Pompa rakitan 1 Hp Penggunaan energi 1,5 L/ jam

= 1,5 x Rp 7000 = Rp. 10.000/ jam

Rp. 1.250 / jam

Perhitungan nilai energi Memerlukan biaya yang lebih besar untuk nilai energi bila digunakan secara rutin dan dalam waktu yang lama untuk fungsi yang sama

Biaya tidak terlalu besar karena putaran mesin tetap

Kelebihan dan kelemahan Kelebihannya, untuk menentukan besar kecil debit dapat dilakukan seting tenaga (gas). Kelemahannya, Untuk memperbesar debit diperlukan tenaga (gas) yang lebih besar maka akan semakin tinggi konsumsi bahan bakar

Kelebihannya, karena putaran mesin tetap maka konsumsi biaya tidak terlalu besar. Kelemahannya, debit tidak dapat diperbesar.

Gambar 2. Pompa alkon (bensin)

Gambar 3. Pompa rakitan

126

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Hasil pengamatan pH selama pemeliharaan 6,9 – 7,7. Hasil pengukurann ini

menunjukkan bahwa pH air ditambak dalam budidaya udang vaname tersebut cukup

optimal. Untuk standar budidaya udang vaname berkisar 7,5-8,5 (Anonim, 2003).

Untuk menaikkan nilai pH di tambak biasanya deberikan kapur dolomit pada bagian

dalam pematang tambak.

Oksigen merupakan parameter kualitas air yang berperang langsung dalam

proses metabolisme biota air khususnya udang. Ketersediaan oksigen terlarut dalam

badan air sebagai faktor dalam mendukung pertumbuhan, perkembanagan dan

kehidupan udang. Hasil pengukuran kandungan oksigen terlarut pada budidaya

udang vaname selama penelitian 4 – 5,8 mg/L.

Tabel 3. Parameter Kimia Budidaya Udang Vannamei

Sumber utama amonia dalam tambak merupakan timbunan bahan organik

dari sisa pakan dan plankton yang mati. Kadar protein pada pakan sangat mendukung

akumulasi organik-N di tambak dan selanjutnya menjadi amonia setelah mengalami

proses amonifikasi. Selama masa pemeliharaan didapati kandungan amonia yang

tertinggi yaitu 89,19 mg/L dan mengalami penurunan sampai akhir kajian.

Kandungan amonia yang terendah pada hari ke 75. Amonia merupakan anorganik-N

terpenting yang harus diketahui kadarnya di lingkungan perairan. Sumber utama

amonia dalam tambak adalah ekskresi dari udang atau ikan maupun timbunan bahan

organik dari sisa pakan dan plankton yang mati. Udang yang menggunakan protein

sebagai sumber energi menghasilkan amonia dalam metabolisme. Kadar protein pada

pakan sangat mendukung akumulasi organik-N di tambak dan selanjutnya menjadi

amonia setelah mengalami proses amonifikasi.

Kandungan nitrit selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel

tersebut kandungan nitrit sebelum dilakukan penyiponan penelitian berkisar 0,672 -

Parameter Petakan Tambak

H.3 H.4 H.5 H.6

pH 6,9 – 7,7 6,9 - 7 6,9 -7,4 6,9 - 7,3

T 29 – 31 29 - 31 29 - 31 30– 31

Salinitas 29 -30 30 -31 30- 31 29-30

Parameter

Petakan Tambak

H.3 H.4 H.5 H.6

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Nittrit (NO2) 0,633 0,415 0,672 0,479 0,684 0,628 0,119 0,038

Nitrat (NO3) 1,035 0,365 1,011 0,658 1,189 1,012 0,303 0,12

TOM 105,16 80,01 116,09 84,87 149.26 83,95 96,65 34,79

NH3 87,10 0,175 89,19 0 85,49 0,199 80,24 0,015

127

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

0,119 mg/L. Setelah dilakukan penyiponan kandungan nitrit turun berkisar 0,038 -

0,628 mg/L.

Kandungan nitrat disajikan pada Tabel 3. Pada tebel tersebut terlihat

kandungan nitrat selama pemeliharaan 0,303 – 1,189 mg/L dan menurun setelah

dilakukan penyiponan pada kisaran 0,12 – 1,012 mg/L. Hasil pengamatan kandungan

nitrat dalam petak tambak cenderung meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan.

Menurut Effendi (2003) nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan. Konsentrasi

nitrat yang tinggi dalam perairan akan menstimulasikan pertumbuhan serta

perkembangan organisme di perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien

(Alaerst & Sartika, 1987).

KESIMPULAN

1. Penggunaan pompa rakitan terbukti lebih menghemat biaya produksi

untuk penggunaan energi hanya sebesar 12,5% dibandingkan dengan

menggunakan pompa alkon.

2. Penggunaan pompa rakitan lebih efektif dalam pemakaian dan lebih

fleksibel dalam pemanfaatanya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Supito, S.Pi,

M.Si. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Pembesaran dan teman teman yang

terkait.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternative budidaya udang saat ini.

PT. Central Proteinaprima (Charoen Pokphand Group) Surabaya. 16 hal.

Andrianto, T. T. 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Nila. Absolut. Yogyakarta Alaerst G dan Sartika S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya Effendi, H., 2003. Telahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan

Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Periran.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. . 259 hal

Pan-Lu-Qing,Fang bo,Jiang Ling-Xu, and Liu-Jing. 2007.The effect of temperature on selected immuneparameters of white shrimp,Litopenaeus vannamei. Journal of the World Aquaculture Saciety. 38 (2),326-332

Soemardjati W, Suriawan A. 2007. Petunjuk teknis budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) ditambak. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 30 hal.

128

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI RUMPUT LAUT Gracilaria sp

Oleh : R. Haryanto dan Martijo

ABSTRAK Budidaya rumput laut Gracillaria Sp. sangat potensial untuk dikembangkan diperairan payau, khususnya pada tambak-tambak yang berada di wilayah pasang-surut dengan kadar garam > 5 ppt. Hal tersebut akan tumbuh dan berkembang gracilaria Sp. secara baik. Dengan substart tanah lumpur berpasir, maka akan lebih memberikan tingkat produksi yang optimal. Di Indonesia umumnya yang dibudidayakan di tambak adalah jenis Gracilaria. Jenis ini berkembang di perairan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai, Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros); Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan); Lombok Barat. Gracilaria sp selain dipanen dari hasil budidaya juga dipanen dari alam. Gracilaria sp dapat tumbuh di berbagai kedalaman, namun pada umumnya pertumbuhan jenis ini lebih baik di tempat dangkal dari pada di tempat yang dalam. Sebagiam besar Gracilariasp lebih menyukai intensitas cahaya dan temperatur yang tinggi. Temperatur merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan Gracilariasp, sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan Gracilaria sp berkisarantara 20 - 28 °C. Gracilariaspjuga tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis. Dengan berkembangnya budidaya Gracilaria sp, maka BBPBAP melaksanakan kegiatan tahun 2015 dengan demfarm budidaya Gracilaria Sp. di tambak Mlonggo, Jepara. Hasil produksi Demfarm budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. yaitu sebagai berikut : Bibit awal 2.500 kg; Metoda penanaman sebar dasar; jumlah panen total adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah). Kata Kunci : Iklim tropis, Rumput laut gracilaria sp

PENDAHULUAN Latar Belakang

Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar ( macroalgae ) yang

meupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk dalam divisi thallophyta. Gambaran

umum rumput laut adalah macrobenthic (besar dan melekat), organisme autotrof,

membutuhkan cahaya untuk keberlangsungan hidupnya sehingga rumput laut tidak

dapat hidup pada kedalaman laut yang tidak ada penetrasi cahaya. Ukuran, bentuk

dan warna rumput laut bervariasi

Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan

antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi

yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Proses metabolisme alga memerlukan

kesesuaian faktor - faktor fisika dan kimia seperti perairan, gerakan air, temperatur,

kadar garam, nutrisi atau zat hara seperti nitrat dan fosfat, dan pencahayaan sinar

matahari.

129

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gracillaria Sp. merupakan salah satu jenis rumput laut yang mempunyai

batang daun semu sehingga dimasukkan dalam golongan Thallophyta. Tallus dari

Gracillaria Sp.. tersusun oleh jaringan yang kuat, warna merah ungu kehijau -

hijauan, bercabang - cabang mencapai tinggi 1-3 dm dengan garis tengah cabang

antara 0,5 - 2,0 mm. Percabangan “alternate”, hampir dikotom dengan perulangan

lateral. Bentuk cabang silindris dan meruncing di ujung cabang

Gracilaria Sp.. merupakan makroalga yang tumbuh melekat pada subtrat.

Bentuk thallus menyerupai silinder, licin, berwarna coklat atau kuning hijau,

percabangan tidak beraturan, memusat di bagian pangkal, cabang - cabang lateral

memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar 15 - 30 cm

(Ditjenkanbud, 2005). Warna talus bervariasi merah, ungu, coklat, dan hijau

Ciri - ciri khusus dari Gracilaria Sp.. adalah thallus berbentuk silindris dan

permukaannya licin. Thallus tersusun oleh jaringan yang kuat, bercabang - cabang

dengan sepanjang kurang lebih 250 mm, garis tengah cabang antara 0,5 - 2,0 mm.

Percabangan alternate yaitu posisi tegak percabangan berbeda tingginya,

bersebelahan atau pada jarak tertentu berbeda satu dengan yang lain, kadang -

kadang hampir dichotomous dengan pertulangan lateral yang memanjang

menyerupai rumput.

Dalam produksi rumput laut Gracilaria Sp.. dilakukan dengan vegetatif

melalui pemotongan thallus yang nantinya digunakan sebagai bibit untuk

dikembangbiakan secara produktif. Rumpunan thallus alga dipotong dengan ukuran

30 - 150 gr, untuk dijadikan bibit.

Budidaya rumput laut di Indonesia mempunyai potensi yang sangat tinggi

karena didukung oleh perairan laut yang sesuai untuk budidaya. Hal tersebut

diharapkan dapat menunjang hasil produksi rumput laut sebagai salah satu komoditas

usaha perikanan. Pada umumnya rumput laut dijumpai tumbuh di daerah perairan

yang dangkal dengan kondisi dasar perairan berpasir, sedikit lumpur, atau campuran

keduanya.

Rumput laut termasuk dalam kategori tanaman tingkat rendah, umumnya

tumbuh melekat pada substrat tertentu, tidak mempunyai akar, batang maupun daun

sejati tetapi hanya meyerupai batang thallus. Di alam, rumput laut tumbuh dan

melekat pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Selain benda mati,

rumput laut dapat melekat pula pada tumbuhan lain secara epifitik.

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan diatas, maka BBPBAP Jepara

melakukan produksi budidaya rumput laut (Gracilaria Sp.) di tambak dengan

perbaikan kualitas dan peningkatan produksi.

Tujuan

Tujuan kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah :

Peningkatan produksi rumput laut Gracilaria Sp.. di tambak Teknik budidaya rumput

laut Gracilaria Sp. di tambak.

130

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Sasaran

Sasaran kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak, adalah:

1. Penyediaan bibit rumput laut Gracilaria Sp. secara kontinyu

2. Bahan penyusunan standar budidaya rumput laut Gracilaria Sp. di

tambak

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan untuk proses budidaya rumput laut Gracilaria Sp.

yaitu :

1. Gunting

2. Ember

3. Baskom

4. Lux meter

5. Refraktometer

6. Thermometer

7. pH meter

Bahan-bahan yang digunakan yaitu :

1. Bibit Gracilaria Sp.

2. Pupuk organik

3. Pupuk anorganik

4. Kapur pertanian / kaptan

5. Saponin

6. Desinfektan bentan

Tata Kerja

Metoda awal dilakukan dengan penentuan lokasi untuk budidaya rumput laut

yang memenuhi kriteria kelayakan teknis berdasarkan kualitas air maupun

aksesibilitas, dan akses ke kawasan budidaya, yaitu :

Dasar tambak pasir berlumpur.

Lokasi budidaya dekat dengan sumber air tawar untuk memudahkan

menurunkan salinitas sesuai dengan kebutuhan.

Lokasi budidaya bebas dari limbah pencemaran

Perairan cukup jernih. Tingkat kecerahan 40-60 cm

Kadar garam (salinitas) antara 1-40 ppt dan optimal pada salinitas 5 - 43 ppt,

Temperatur air berkisar antara 20-32 oC

pH berkisar antara 6–9

Persiapan Tambak

Setiap petakan tambak budidaya sebaiknya memiliki pintu pemasukan dan

pengeluaran air yang berfungsi untuk sirkulasi air secara gravitasi sehingga akan

131

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

menjaga kualitas air dalam tambak.Apabila tidak dapat dilakukan pergantian air

dengan mengandalkan pasang surut, maka pergantian air dapat dibantu dengan

pompa air.

Pematang tambak harus kuat, tidak bocor dan rapi. Bangunan pematang

tambak sebaiknya dapat digunakan sebagai jalan sehingga memudahkan pengelolaan

tambak serta bisa difungsikan sebagai tempat penjemuran hasil panen Gracilaria Sp.

Ketinggian pematang tambak dibuat dengan posisi lebih tinggi dari pasang tertinggi

air laut dan tidak tenggelam jika terjadi hujan deras ataupun tidak tenggelam ketika

terjadi banjir di sekitar lokasi tambak.

Persiapan Tambak

Pastikan lahan (konstruksi sarana budidaya) sudah siap untuk dilakukan

penanaman.Tambak dikeringkan dan diangkat bahan organik/lumpurnya minimal 10

cm.Tambak selanjutnya dibiarkan kering matahari selama 3 - 5 hari sampai tanah

retak – retak. Tambahkan kapur pada dasar tambak untuk mendapatkan derajat

keasaman (pH) tambak berkisar antara 6 -9 atau sekitar 6- 8 untuk pertumbuhan

optimal Gracilaria Sp. Apabila tanah tambak memiliki pH 5, maka jumlah kapur

pertanian yang ditambahkan adalah sebanyak 500 kg/ha.Masukkan air ke dalam

tambak melalui saringan yang dipasang pada pintu pemasukan air. Kedalaman air

tambak yang optimal untuk budidaya Gracilaria Sp. adalah 50 cm, namun jika

dipolikulturkan dengan ikan bandeng atau udang, kedalaman tambak dapat

mencapai 100 cm. Jika masih terdapat hama pada tambak maka gunakan saponin

sebanyak 20 ppm

Pengaturan Kedalaman Tambak

Kedalaman tambak berpengaruh terhadap intensitas matahari yang diperlukan

oleh Gracilaria Sp. untuk pertumbuhan dan pembentukan agar-agar. Pada masa

pertumbuhan vegetatif yang terjadi pada minggu I-III diperlukan cahaya yang cukup

untuk perkembangan sehingga thallus kedalaman 0,5 m sangat optimal sedangkan

pada proses pembentukan agar-agar bisa ditambahkan air tambak sampai mencapai

1,0 m untuk mengurangi intensitas cahaya matahari sehingga Gracilaria Sp. dapat

membentuk agar secara optimal pada minggu ke IV - VI.

Pada saat panen, air atau kedalaman tambak bisa dikurangi sampai mencapai

0,5 m untuk memudahkan panen. Namun perlu ditekankan agar tidak terlalu dangkal

karena akan terjadi peningkatan suhu air tambak yang akan mengakibatkan

Gracilaria Sp. berwarna pucat bahkan sampai putih karena intensitas cahaya

matahari terlalu kuat.

132

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Bibit Rumput Laut

Karakteristik

Bibit rumput laut yang bagus antara lain memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

a. thallus elastis,

b. mempunyai banyak cabang

c. pangkalnya lebih besar dari bagian ujung cabangnya,

d. ujung thallus berbentuk lurus,

e. warna cerah dan berbau segar,

f. bersih dari hama, tanaman pengganggu (epifit) dan kotoran

g. bila bagian tengah thallus dipotong, terasa getas thallus

h. tidak terdapat bercak

i. bentuk bibit seragam

Kebun Bibit

Pembuatan kebun bibit sebaiknya dilakukan untuk menjamin ketersediaan bibit

di setiap daerah. Pembuatan kebun bibit rumput laut diawali dengan melakukan

seleksi varietas. Seleksi varietas dapat dilakukan dengan menggunakan metode

penanaman long line.

Pembuatan Kebun Bibit dan Seleksi Varietas

Pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas sangat penting dalam menjamin

ketersediaan dan kualitas bibit Gracilaria Sp. Tahapan yang dilakukan dalam

pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas adalah sebagai berikut ini.

Persiapan dan Penanaman Bibit

Perawatan dan Seleksi Bibit

Tancapkan balok kayu atau bambu diameter 3 - 5 cm sepanjang 2,0 m pada

setiap sudut sebagai patok untuk membentangkan tali bentang bibit Gracilaria.

Ukuran luas petak untuk pembibitan rumput laut sangat bergantung kepada

kemampuan penanganan dan ketersediaan luasan tambak. Petak tali bentang

berukuran luas 50 m x 30 m yang dapat memuat 50 tali bentangan. Jarak antar tali

rumpun yang dipasang pada tali bentang antara 15 - 25 cm, dengan panjang tali

bentang sekitar 30 - 50 m. Setiap tali bentangan memuat 200 - 330 titik rumpun bibit

untuk diseleksi.

Jarak antar tali rumpun harus sama sehingga rumpun bibit memiliki

ketersediaan ruang yang sama untuk pertumbuhan, termasuk kesempatan dalam

memperoleh nutrisi dari perairan. Ikat bibit rumput laut pada simpul-simpul tali

kemudian dibentangkan di bawah permukaan air tambak pada kedalaman 10 - 20

cm.Jarak antar rumpun bibit 10 - 20 cm dengan bobot awal 10 - 25 g/rumpun.Bibit

yang sudah terikat pada tali dibentangkan memanjang dari satu sisi tambak dengan

mengikatkan pada patok-patok kayu/bambu.

133

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Lakukan pembersihan kotoran dan amati pertumbuhan Gracilaria Sp. setiap

minggu.Ganti air 75% setiap minggu untuk mendapatkan kondisi optimum tambak

dan jaga kedalaman air tambak minimal 80 cm.Tandai 10% rumpun Gracilaria sp.

dalam satu tali panjang (bentangan) yang paling bagus pertumbuhannya yang secara

kuantitatif paling besar atau berat hasil timbangan rumpun setiap minggunya .

Ambil rumpun yang telah ditandai tersebut pada akhir minggu ke III – IV.

Hasilnya dijumpai penambahan berat rumpun hingga 4 - 5 kali lipat dari berat

rumpun Gracilaria Sp. ketika awal penanaman.

Pengangkutan dan Penanganan Bibit

Usahakan menggunakan bibit dari budidaya sendiri atau bibit yang berasal dari

lokasi terdekat karena bibit sudah cocok dengan lokasi tersebut dan waktu

dibutuhkan untuk pengangkutan tidak lama (kurang dari 4 jam).Pada saat

mengangkut bibit, hindarkan bibit dari panas (sinar matahari langsung) dan usahakan

bibit selalu dalam keadaan basah. Gunakan penutup jika sinar matahari terik. Buatlah

lubang pada penutup sehingga terjadi sirkulasi udara.

Bibit tidak boleh terkena air tawar. Hindari mengangkut bibit pada saat hujan

atau gunakan terpal untuk melindungi rumput laut dari hujan.Jika mengangkut bibit

dari tambak tetangga, maka pengangkutan dapat dilakukan dengan memasukkan

bibit ke dalam karung atau ditaruh di atas sampan dan dibawa ke tambak melalui

saluran air/kanal. Usahakan rumput laut dalam karung selalu dalam kondisi

lembab/basah dan terdapat sirkulasi udara dengan membuat lubang pada karung.

Jangan menekan rumput laut di dalam karung.

Perawatan dan Pemeliharaan

Kebersihan Tambak

Jaga kebersihan tambak dari hama dan tanaman pengganggu serta kotoran

sehingga Gracilaria Sp. tumbuh optimal. Kebersihan pada saluran dan pintu air juga

perlu dijaga untuk memudahkan pergantian air.

Resirkulasi Air

Lakukan pergantian air minimal setiap tiga hari sekali pada saat pasang.Pada

saat musim kemarau, perlu dilakukan pergantian air yang lebih sering untuk

menghindari salinitas air tinggi akibat penguapan air tambak sedangkan pada musim

penghujan salinitas air tambak dijaga agar tidak terlalu rendah. Salah satu caranya

dengan menggunakan metode resirkulasi.

Parameter Lingkungan

Lakukan pemantauan salinitas, pH, temperatur dan kekeruhan tambak secara

teratur setiap tiga hari sekali untuk memastikan kualitas air terjaga untuk

pertumbuhan Gracilaria Sp. yang optimal.

134

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pastikan kedalaman air tambak pada saat pemeliharaan dengan

mempertahankan kedalaman air antara 30-50 cm selama 4 minggu pertama

pemeliharaan agar pertumbuhan cabang lebih cepat. Pada minggu kelima sampai

ketujuh pemeliharaan, atur ketinggian air pada kedalaman 50 – 80 cm untuk

memperlambat pertumbuhan cabang dan meningkatkan pembentukan kandungan

agar yang lebih tinggi.

Pertumbuhan

Amati perkembangan Gracilaria Sp. dengan melihat laju pertumbuhan harian.

Jika laju pertumbuhan harian dibawah 3% atau hasil panen basah sekitar 3,8 kali

berat bibit awal yang ditanam maka pada penanaman kedua dapat ditambahkan bibit

menjadi 2 ton/ha. Namun jika pertumbuhan harian lebih besar dari 4% atau hasil

panen basah sekitar 6 kali berat bibit awal yang ditanam maka penanaman berikutnya

dapat ditebar 3-4 ton/ha.

Jika terjadi penumpukan Gracilaria Sp. maka dilakukan perataan rumpun

rumput laut agar tidak terjadi pembusukan atau pembentukan gas H2S di tambak.

Pemupukan diperlukan pada kondisi tertentu seperti yang tercantum di bawah.

Pengujian kadar phosphat dan nitrogen dalam tambak juga diperlukan sebelum

dilakukan pemupukan.

Pada saat umur pemeliharaan 1-30 hari, apabila air terlalu jernih sampai pada

dasar perairan, gunakan pupuk NPK sebanyak 15 kg/ha atau pupuk phosphat

(misalnya SP36) untuk menumbuhkan plankton sehingga mengurangi penetrasi

cahaya.Penggunaan pupuk phospat harus memperhatikan pH tanah. Pada kondisi pH

rendah (<5) maka penggunaan phosphat kurang efektif.

Lakukan pemupukan jika pertumbuhan harian Gracilaria Sp. kurang dari 3%

dengan menambahkan pupuk yang mempunyai kandungan nitrogen tinggi pada

minggu pertama sampai keempat dan pupuk yang banyak mengandung phospat pada

minggu kelima sampai ketujuh. Dosis pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan,

misalnya 10 kg/ha untuk pupuk yang mengadung nitrogen dan 5 kg/ha untuk pupuk

yang mengandung phosphat.

Pemupukan dilakukan dengan cara melarutkan pupuk terlebih dahulu, dan

kemudian menyebarkannya secara merata di tambak.Selain pupuk anorganik, pupuk

organik seperti kompos dan kotoran ternak juga dapat digunakan.

Pengelolaan Kualitas Air

Pengelolaan kualitas air tambak dapat dilakukan dengan memperhatikan

pasang surut air laut dan membuat konstruksi tambak dan saluran yang lancar untuk

proses keluar masuknya air laut ke tambak Gracilaria Sp. Kualitas air tambak yang

optimal untuk pertumbuhan Gracilaria Sp. dikelola dengan tahapan berikut ini:

- Salinitas air terjaga pada kisaran 5-43 ppt dengan melakukan pergantian air

seminggu sekali.

135

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

- Perawatan saluran serta pintu masuk dan keluar air tambak sehingga terjadi

pergantian air dengan baik.

- pH air tambak pada kisaran 6,2-8,2 dan pH optimal untuk pertumbuhan

Gracilaria Sp. antara 6-9

- Temperatur suhu tambak pada kisaran 18-30oC dan suhu optimal untuk

pertumbuhan Gracilaria Sp. antara 20-32oC,

- Tingkat kekeruhan tambak dibawah air turbidity / TOM (50 ppm) sehingga

Gracilaria Sp. yang berada di dasar tambak masih bisa mendapatkan sinar

matahari untuk fotosintesis dan pertumbuhan yang optimal.

Hama dan Penyakit

Hama Gejala/Akibat Penanggulangan

Ikan: baronang, kiper, mujahir

Rumput laut patah

- Gunakan saringan pada air masuk dan pastikan tidak ada lubang kebocoran pada saringan - Gunakansaponin pada saat persiapan tambak

Lumut: Lumut sutra (Chaetomorpha)

Lumut menempel pada rumput laut dan berkompetisi dalam menyerap nutrisi

- Penebaran ikan bandeng - Menambah kedalaman air - Pergantian/sirkulasi air

Kerang atau teritip (Limnea glabra) dansiput atau gastropoda

Menempel pada thallus dan kemudian rumput laut menjadi putih. Biasanya . disebabkan karena sirkulasi air tidak lancar.

- Lakukan pengambilan secara manual pada saat persiapan tambak - Gunakan saringan pada air masuk dan pastikan tidak ada lubang kebocoran pada saringan - Menjaga kualitas air dan mengatur keluarmasuknya air ke dalam tambak secara berkala

Ice-ice

Rumput laut memutih dan patah-patah disebabkan karena perubahan lingkungan yang ekstrim

- Pergantian/sirkulasi air

Panen dan Pasca Panen

Panen dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 45 - 60 hari untuk

mendapatkan kadar agar dan kekuatan gel yang optimal.

2) Pemanenan dilakukan dengan mengangkat rumput laut dari dasar

tambak kemudian rumput laut dicuci dengan air tambak sebelum

dimasukkan ke perahu untuk selanjutnya diangkut ke darat.

3) Panen rumput laut sebaiknya dilakukan pada pagi hari agar

penjemuran langsung bisa dilakukan.

136

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

4) Hindari panen pada saat hujan karena akan menurunkan kualitas

rumput laut.

HASIL dan PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh Budidaya Rumput Laut Gracilaria Sp. adalah sebagai

berikut :

Kegiatan ini dilakukan dengan perolehan seleksi dan pemilihan bibit adalah

dengan sistem bibit berkala yaitu bibit pertama diperoleh dari rumpun rumput laut

Gracilaria Sp. di tambak, selanjutnya bibit diseleksi dengan teknik pemanenan

rumput laut secara bertahap baik mingguan bahkan harian.

Untuk pemilihan bibit yang baik untuk budidaya rumput laut sendiri memiliki

ciri-ciri dan syarat di antaranya ciri-ciri bibit yang baik adalah diambil dari tanaman

yang relatif masih muda (usia 3-4 minggu) dan sehat, yang didapat dengan

memotong/memetik dari rumpun tanaman yang sehat pula dengan panjang sekitar 5-

10 cm sehingga perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Thallus yang dipilih masih segar dan cukup elastis

2. Thallus memiliki banyak cabang dan pangkalnya relatif lebih besar dari

cabangnya.

3. Ujung thallus warnanya lebih cerah.

4. Bila thallus digigit/dipotong terasa britel (getas)

5. Akan lebih baik apabila bibit rumput laut didapatkan dari pembudidayaan dengan

kadar garam 5 ‰.

Penyediaan dan pemilihan bibit merupakan faktor penting yang dapat

menentukan keberhasilan dari suatu budidaya rumput laut. Kualitas dan kuantitas

produk budidaya rumput laut ditentukan oleh bibit rumput laut, maka kegiatan

penyediaan bibit harus direncanakan dengan memperhatikan sumber perolehan bibit,

cara pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan sehingga diperoleh bibit dalam

jumlah yang cukup dengan mutu yang dapat memberikan pertumbuhan optimal.

Hasil produksi budiadaya rumput laut Gracilaria Sp. di tambak BBPBAP

Jepara yaitu sebagai berikut :

- Bibit awal 2.500 kg

- Metoda penanaman sebar dasar

- Panen 5 x,

- jumlah panen total adalah 7.000 kg (dalam bentuk basah)

Produksi Gracilaria Sp. yang dihasilkan dari budidaya di tambak

menunjukkan bahwa ukuran thallus yang lebih besar. Hal ini karena adanya

penyerapan unsur Nitrogen yang siap (dalam bentuk nitrat) untuk pertumbuhan.

Adapun rata -rata laju pertumbuhan harian mampu di capai ± 2-3 % pada minggu

pertama dan 5-6% pada minggu kedua.

Hasil pengamatan parameter lingkungan selama 1 periode budidaya adalah

sebagai berikut :

137

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pengamatan Parameter Kualitas Air

WaktuPengamatan Cuaca

Temperatur (0C) Salinitas (0/00) pH pagi sore pagi sore pagi Sore

Harike - 1 27.0 30,1 32 31 7.9 8.0 Cerah Harike - 10 27.1 30.0 33 32 8,1 8.3 Cerah Harike - 20 28.4 32.2 33 33 8.1 8.4 Cerah Harike - 30 26.0 30.2 32 31 8.2 8.3 Cerah Harike - 40 28.2 31.8 33 32 7.8 8.1 Cerah

Berdasarkan data di atas, tampak bahwa temperatur tambak terendah baik

saat pagi maupun sore hari dijumpai pada hari pertama sedangkan temperatur

tertinggi baik saat pagi maupun sore hari dijumpai pada hari ke-20. Hal ini

menunjukkan bahwa faktor suhu berbanding lurus dengan peningkatan kerapatan

rumpun rumput laut di tambak.Kisaran suhu berdasarkan data di atas yaitu antara

26.6 –32.20C. Kisaran suhu ini merupakan kisaran suhu yang optimal untuk

pertumbuhan rumput laut.

Kadar garam / salinitas terendah baik saat pagi maupun sore hari dijumpai pada

hari pertama sedangkan salinitas tertinggi baik saat pagi maupun sore hari dijumpai

pada hari ke-40. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan salinitas berbanding lurus

dengan kerapatan rumpun rumput laut sedangkan salah satu faktor yang

mempengaruhi peningkatan rumpun rumput laut yaitu kepadatan plankton di tambak

tersebut. Plankton dibutuhkan oleh rumpun rumput laut sebagai naungan. Jadi jelas

bahwa semakin tinggi kepadatan plankton di tambak, semakin tinggi salinitasnya dan

semakin bagus untuk meningkatkan kerapatan rumpun rumput laut. Berdasarkan data

di atas, salinitas untuk 1 periode budidaya yaitu berkisar antara 31 – 32 0/00. Kisaran

salinitas ini merupakan kisaran salinitas yang optimal untuk pertumbuhan rumput

laut.

Pertumbuhan ( Total Berat T Akhir dari Berat d Awal bibit)

(kali)

Laju Pertumbuhan Harian (%)

2,1 2 2,7 2,4 3,5 3 6,4 4 6,8 4,5 8 5,2 10 5,5 14 5,8 18 6,2 20 6,5

138

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Derajat keasaman / pH terendah saat pagi hari dijumpai pada hari ke-40 dan pH

tertinggi saat pagi hari dijumpai pada hari ke-30 sedangkan pH terendah saat sore

hari dijumpai pada hari ke 1 dan pH tertinggi saat sore hari dijumpai pada hari ke-30.

Hal ini kemungkinan terjadi karena fluktuasi kandungan bahan organik maupun

bahan anorganik yang terbawa oleh sumber air laut. Kisaran pH berdasarkan data di

atas yaitu antara 7.9 – 8.4. Kisaran pH ini merupakan kisaran pH yang optimal untuk

pertumbuhan rumput laut.

KESIMPULAN 1. Tahapan teknik budidaya rumput laut di tambak yaitu : penentuan lokasi untuk

budidaya rumput laut, persiapan tambak (termasuk pengaturan kedalaman

tambak), seleksi bibit, pembuatan kebun bibit dan seleksi varietas,

pengangkutan bibit, persiapan dan penanaman bibit, pemeliharaan dan

pemantauan budidaya (termasuk pengelolaan kualitas air, hama dan penyakit

serta panen dan pasca panen.

2. Hasil Demfarm budidaya rumput laut Gracilaria Sp. menunjukkan ukuran

thallus berkisar antara 0,1-0,2 mm dan laju pertumbuhan harian sampai

dengan 2.% pada minggu pertama dan 6.5% pada minggu kedua.

3. Hasil Produksi Demfarm dengan panen 5 x adalah 7.000 kg. Hal ini

menunjukan bahwa budidaya rumput laut Gracilaria Sp. yang dilakukan

dapat tersenggara dengan baik.

SARAN 1. Diperlukan teknik budidaya rumput laut yang lebih mudah dan dalam waktu

lebih singkat.

2. Pengamatan berat dan laju pertumbuhan sebaiknya dilakukan pada saat yang

bersamaan dengan waktu pengambilan data parameter lingkungan sehingga

dapat diketahui pengaruh faktor lingkungan terhadap laju pertumbuhan

rumput laut yang dihasilkan.

3. Perlu dipastikan kalibrasi alat secara periodik untuk memastikan keakuratan

data yang diperoleh.

4. Perlu peningkatan pengelolaan kualitas air di tambak.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi.

selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Ibu Endah

Soesanti, A.Pi,S.Pi. selaku Penanggung Jawab Kegiatan Rumput Laut dan teman

yang terkait.

139

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA Alam, A.A. 2011. Kualitas Karaginan Rumput Laut Jenis Eucheuma Spinosum Di

Perairan Desa Punaga Kabupaten Takalar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar

Alifuddin, M. 1993. Penyakit Protozoa pada Ikan. Lab Kesehatan Ikan Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan-Institut Pertanian Bogor. Bogor

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 342 hal

Arini, Endang. 2011. Pemberian Kapur (Caco3) Untuk Perbaikan Kualitas Tanah Tambak Dan Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang. Jurnal Saintek Perikanan.6(2) : 23 – 30

Armita, D. 2011.Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan PerikananFakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar

Aslan, M.I. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius Yogyakarta. 95 hal Black, J.A, dan D.J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. PT.

Refika Aditama : Bandung Cambridge University Press, United States of America, 366 pp Direktorat pembinaan sekolah menengah kejuruan. 2013. Teknik penanaman rumput

laut. Kementerian pendidikan dan kebudayaan Jana, T. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta Kabata. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. Taylor and

Francis. London page 109-114 Khasanah, U. 2013. Analisis Kesesuaian Perairan untuk Lokasi Budidaya Rumput

Laut euchemas cottoni di Perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar

Komarawidjaja, W dan D, A.Kurniawan. 2008. Tingkat Filtrasi Rumput Laut (Gracillaria Sp.) terhadap Kandungan Orthofosfat (P3O5). Jurnal Teknik Lingkungan. Vol. 9, No.2, Hal: 180-183. Mei 2008. ISSN 1441-318X. Penerbit Penelitian Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT

Kordi, K dan Andi T. 2010. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta : Rineka Cipta

Kordi, M., G., 2011. Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut & Tambak. Penerbit Andi. Yogyakarta. 134 hlm

KSEP. 2002. Kelompok Studi Ekologi Perairan. Senat Mahasiswa Fakultas Biologi. Universitas Nasional. Jakarta

Lanuru, Mahatma dan Suwarni. 2011. Pengantar Oseanografi. Program Studi Ilmu KelautanJurusan Ilmu KelautanFakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makasar

Lobban, C. S., dan P. J. Harrison. 1997. Seaweed Ecology and Physiology Mamang, Nurfadly. 2008. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma Cattonii

Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit Di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau,

140

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DINAMIKA KEPADATAN SEL Thalassiosira sp pada SKALA

LABORATORIUM DAN SKALA SEMI MASSAL

Oleh : Nur Cholifah, Ery Sutanti, Poniran dan Dwi Joko Sulistyono

ABSTRAK

Pakan alami yang bisa digunakan sebagai sumber makanan tergantung pada beberapa karakteristik seperti ukuran sel dan komposisi biokimia (Becker, 2004). Salah satu fitoplankton yang dapat dikultur guna penyedia pakan bagi larva udang adalah Thalassiosira Sp. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan skala semi massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor serta sistem pencahayaannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan berasal dari lampu yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada skala massal sistem pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengamati pertumbuhan Thalassiosira Sp. pada kultur skala laboratorium dan skala semi massal. Hasil kegiatan ini didapatkan pertumbuhan Thalassiosira Sp. pada skala laboratorium lebih cepat dibandingkan pada sistem outdoor, dimana puncak pertumbuhannya terjadi pada hari ke tiga dengan jumlah populasi 913.000 sel/ml. Kata Kunci : Thalassiosira sp, skala laboratorium, skala semi massal

PENDAHULUAN

Tersedianya pakan hidup merupakan salah satu faktor pendukung dalam

keberhasilan usaha budidaya ikan. Pemberian pakan dengan kualitas yang baik serta

dalam jumlah yang cukup akan meningkatkan kelulushidupan larva ikan. Pakan

alami dapat dijadikan sebagai alternatif guna memenuhi kebutuhan pakan ikan. Hal

tersebut disebabkan karena pakan hidup mudah didapat dalam jumlah yang banyak

sehingga dapat menunjang kelulushidupan larva ikan. Disamping itu karena pakan

hidup memiliki kandungan nutrisi tinggi dan memiliki ukuran yang sesuai bagi

bukaan mulut larva. Pakan hidup yang bisa digunakan sebagai sumber makanan

tergantung pada beberapa karakteristik, seperti ukuran sel dan komposisi biokimia

(Becker, 2004). Salah satu jenis fitoplankton yang dapat dikultur sebagai pakan bagi

larva udang adalah Thalassiosira Sp. Thalassiosira sp. mempunyai bentuk seperti

rantai dari sel. Thalassiosira sp termasuk dalam fitoplankton berwarna coklat, sel

membentuk untaian rantai, sel berbentuk silinder/tong, tidak bergerak, berukuran 4

μm, salinitas 26 hinga 32 ppt, dan untuk suhu optimum berkisar sekitar 22-29 C.

Untuk mendapatkan jumlah Thalassiosira sp. dengan kualitas dan

kuantitas yang baik, maka kultur Thalassiosira sp. di mulai dari kegiatan

pemurnian, kultur skala laboratorium dan skala semi massal dan dilanjutkan pada

skala massal. Perbedaan yang terjadi antara skala laboratorium dan skala semi

141

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

massal adalah pada lokasi kultur, yaitu pada sistem indoor dan outdoor dan sistem

pencahayannya. Pada skala laboratorium sistem pencahayaan berasal dari lampu

yang dinyalakan selama 24 jam (kontinyu), sedangkan pada skala massal sistem

pencahayaannya berasal dari sinar matahari. Tujuan dari kegiatan ini adalah

mengamati pertumbuhan Thalassiosira sp. pada kultur skala laboratorium dan

skala semi massal.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada kegiatan ini : Urea, Tsp/Sp-36, ZA, FeCl3, EDTA,

Vit.B12, Formaldehyde, Ethanol, Sodium thiosulfat,

Alat yang digunakan meliputi : refraktometer, mikroskop, haemacytometer,

timbangan digital dan peralatan lapangan.

Tata Kerja

Langkah-langkah untuk mengetahui dinamika pertumbuhan Thalassiosira

sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal adalah sebagai berikut:

Dinamika pertumbuhan Thalassiosira sp pada skala laboratorium

Kegiatan kultur Thalassiosira sp. skala laboratorium adalah untuk

meningkatkan jumlah sel dan untuk menjaga kemurnian dari fitoplankton tersebut.

Kegiatan tahap ini dilakukan penumbuhan sel pada media agar. Setelah didapatkan

inokulan Thalassiosira sp. murni kemudian dilakukan pemindahan sel dari media

agar ke media cair, dilakukan dengan cara koloni yang tumbuh dan berkembang pada

media agar dipindahkan dengan menggunakan jarum ose ke dalam tabung reaksi

yang berisi air laut steril dan telah diberi pupuk. Tabung-tabung reaksi yang telah

berisi inokulum fitoplankton ditempatkan dalam rak tabung reaksi dan diletakkan

pada rak kultur yang dilengkapi dengan lampu neon 40 watt. Tahap selanjutnya

adalah kultur menggunakan tempat media berupa Erlenmeyer dengan volume 2.000

mL. Inkubasi dilakukan pada temperatur 23 – 25 oC dengan lampu TL 40 watt. Air

laut yang digunakan adalah bersalinitas 25 ppt dan telah melalui sterilisasi dengan

membran filter 0,02 µm. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Walne dengan

tingkatan “Pro Analyse”.

Tahapan yang dilakukan dalam kultur Erlenmeyer 2.000 mL adalah sebagai berikut;

1. Pengisian air media yang sudah steril ke dalam wadah kultur.

2. Penghitungan kepadatan Thalassiosira sp. yang sudah disiapkan sebagai bibit.

3. Pemberian pupuk pada media selanjutnya diinokulasi bibit fitoplankton.

4. Wadah di tutup dengan kassa dan kapas untuk menjaga agar tidak

terkontaminasi, dan diberi label.

5. Pengamatan kepadatan sel fitoplankton secara periodik.

142

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Dinamika pertumbuhan Thalassiosira sp pada skala semi massal dengan

metode seperti di bawah ini;

Kultur skala semi massal merupakan kultur lanjutan dari kegiatan laboratorium

bertujuan meningkatkan jumlah sel. Skala ini merupakan tahap proses adaptasi

perkembangan Thalassiosira sp. baik secara kimia maupun secara fisika. Tahapan

yang dilakukan dalam kultur Thalassiosira sp. pada skala semi massal memanfaatkan

sinar matahari langsung adalah sebagai berikut:

1. Wadah yang digunakan adalah Aquarium volume 100 liter yang telah dicuci

bersih. Sarana aerasi didesinfeksi kemudian air tawar. Selanjutnya aquarium

diisi air laut bersalinitas 25 ppt melalui filterbag ukuran 5 mikron. Kemudian air

media chlorin 60 ppm dan dialiri aerasi keras agar chlorin tersebar merata,

selanjutnya dibiarkan selama kurang lebih 24 jam, dan di netralkan dengan Na-

Thiosulfat dengan dosis 30 ppm.

2. Thalassiosira sp. sebagai bibit kultur disiapkan dengan kepadatan yang telah

ditentukan.

3. Selanjutnya media dalam wadah kultur diberikan pupuk pada wadah

pengamatan.

4. Stok bibit plankton.

5. Pengamatan kepadatan sel .

Kultur mikroalga skala laboratorium (indoor) memerlukan kondisi lingkungan

yang stabil, sehingga perlu dilengkapi dengan AC agar suhu ruangan selalu

terkendali dan ruangan terisolasi dengan lingkungan luar, selain itu ada beberapa

jenis mikroalga tumbuh lebih baik pada suhu yang relatif rendah. Sumber aerasi

(pengudaraan) digunakan Hi-blower tersendiri dan dilengkapi dengan saringan untuk

memperkecil terjadinya kontaminasi. Pupuk yang digunakan pada skala laboratorium

terbuat dari bahan kimia PA (pro analyse) dengan dosis pemakaian 1 ml pupuk untuk

1 liter volume kultur. Jenis dan formula pupuk adalah yang sudah distandarkan dan

umum digunakan yaitu Walne, Conwy, Guilard, dan Rhyter modifikasi F. Hal ini

dimaksudkan agar pertumbuhan mikroalga optimal sehingga didapatkan bibit

(starter) yang bermutu tinggi untuk skala kultur selanjutnya. Dalam kultur skala

laboratorium ada beberapa kegiatan yang umum dilakukan antara lain: sterilisasi alat;

bahan dan air media; isolasi mikroalga; kultur di media agar; kultur di media cair;

pembuatan pupuk; penghitungan mikroalga dan penyimpanan. Kultur skala semi

massal dimulai dari volume 30 liter hingga 100 liter dalam wadah aquarium. Air laut

salinitas 25 ppt dimasukkan ke dalam akuarium, selanjutnya dimasukkan inokulan

sekitar 1/10 bagian dari total volume budidaya. Inokulan berasal dari kultur skala

laboratorium. Pupuk yang digunakan sama dengan pupuk yang digunakan pada

kultur skala laboratorium dan diberikan sesuai dosis yang dibutuhan. Pencahayaan

hanya mengandalkan cahaya matahari pada siang hari. Pada keadaan tertentu di

143

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mana cahaya matahari kurang memadai, dapat menggunakan lampu TL atau sumber

cahaya lain yang sesuai.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan dinamika pertumbuhan halassiosira sp. pada skala laboratorium

dapat terlihat dari peningkatan jumlah sel menggunakan mikroskop. Fase lag

Thalassiosira sp. diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam. Keadaan ini dapat

dilihat dari bentuk grafik yang menunjukan bahwa Thalassiosira sp. memiliki daya

adaptasi yang tinggi sehingga waktu yang dibutuhkan untuk beradaptasi terhadap

lingkungan terlihat singkat yaitu kurang dari 24 jam. Pada observasi ini

Thalassiosira sp. melewati fase lagnya hanya sebentar, bahkan cenderung menuju

fase eksponensial atau fase logaritmik yaitu fase dimana Thalassiosira sp.memiliki

laju pertumbuhan tetap. Sel bereproduksi dengan cepat sehingga pertumbuhan

populasi mencapai maksimal yaitu pada hari ketiga mencapai kepadatan sel 9.17 x

105 sel/ml dari populasi awal 4.93 x 105 sel/mL pertumbuhan Thalassiosira sp. ini

dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Dinamika populasi Thalassiosira sp. pada skala laboratorium

Pada hari keempat hingga hari keenam terjadi fase kematian, dilanjutkan

dengan fase stationer pada hari kelima. Keberhasilan kultur ditandai dengan

pertumbuhan yang semakin meningkat dari kepadatan sel Thalassiosira sp. Hal

tersebut merupakan waktu generasi pertumbuhan Thalassiosira sp.

Berdasarkan pengamatan pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala semi

missal didapatkan fase pertumbuhan Thalassiosira sp. melewati fase adaptasi kurang

dari 1 hari, keadaan ini dapat dilihat dari jumlah kemelimpahan awal (hari ke-0) yang

meningkat pada hari ke-1 namun jumlah kemelimpahan pada hari ke-1 tidak

144

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

mencapai dua kali lipat pertumbuhan awalnya. Fase eksponensial dimulai pada hari

ke 2 sampai dengan hari ke delapan dengan puncak pertumbuhan sebesar 183.000

sel/mL ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan sel secara eksponensial. Fase

stasioner dan fase kematian tidak teramati karena dipindah ke skala massal. Grafik

pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala laboratorium dan skala semi massal dapat

dilihat pada gambar 2 dibawah ini

0

200

400

600

800

1000

1 2 3 4 5 6 7 8

Hari Ke-

L

Kep

adat

an s

el (

x10

3

Gambar 2. Fase pertumbuhan Thalassiosira sp. skala laboratorium dan skala semi

massal.

KESIMPULAN

Pertumbuhan Thalassiosira sp. pada skala semi massal menunjukkan hasil

yang cukup bagus, namun agak lambat dalam melewati proses eksponensialnya

apabila dibedakan dengan kondisi skala laboratorium.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Sugeng Raharjo,

A.Pi. selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini,

kepada Koordinator Laboratorium pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi , Ibu Siska

Aprilliyanti, S.Pi, Bapak. Sugiono, dan Arif yang telah memberikan saran baik

dalam proses penelitian maupun dalam proses penyusunan laporan .

145

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Becker F, et al. (2004) A three-hybrid approach to scanning the proteome for targets of small molecule kinase inhibitors. Chemical Biology 11(2):211-23.

Cahyaningsih, S. 2009. Standar Nasional Indonesia Pembenian Perikanan (PakanAlami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang, 16-20 Juni 2009,Situbondo. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Situbondo

Costard,G.S., R. R. Machado., E. Barbarino., R. C. Martino., and S. O. Lourenço. 2012. Chemical composition of five marine microalgae that occur on the Brazilian Coast.International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 4(9), pp. 191-201

Isnansetyo, A. & Kurniastuty. (1995). Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta

Kiatmetha P., W. Siangdang, B. Bunnag, S. Senapin, and B. Withachumnarnkul. 2011. Enhancement of survival and metamorphosis of Penaeus monodon larvae by feeding with the diatom Thalassiosira weissflogii. Aquaculture International, Vol.19, Issue 4, pp 599-609.

Khojasteh, Z., R. Davoodi., R.G. Vaghei., H. Nooryazdan. 2017. Survival, development and growth of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei zoea fed with microalgae (Chaetoceros and Tetracelmis) diets. World Journal of Fish and Marine Sciences 5(5):553-555.

Lopez-Elias, G.A., F.Enriquez-Ocana., M.N. Pablos-Mitre., N. Huerta-Aldaz., S. Leal., A. Miranda-Baeza., M. Nieves-Soto., and I. Vasquez-Salgado. 2008. Growth and biomass production of Chaetoceros muelleri in mass outdoor cultures: Effect of the hour of the inoculation, size of the inoculum and culture medium. Rev.Invest.Mar.29(2):171-177.

Rodriguez, E.O., J.A. Lopez-Elias., E.A. Hinojosa., M.D.C. Garza-Aguirre., F. C. Franco., A.K-Baeza and M. Nieves-Soto, 2012. Evaluation of the nutritional quality of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown outdoors for the larval development of Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Arch. Biol.Sci., Belgrade, 64(3), 963-970.

Setyaningsih, Iriani, Desniar, dan Purnamasari , Evi. 2012. Antimikroba dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dengan penyinaran berbeda . Jurnal Akuatika Volume III. No.2 IPB. Bogor.

Sorgeloos. P., Dhert P. & Candreva P. (2001). Use of Brine Shrimp, Artemia spp. in Marine Fish Larviculture. Aquaculture.147-15

.

146

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

TEKNIK PENGUMPULAN INOKULAN Thalassiosira sp.

DENGAN METODE PENGENDAPAN

Oleh: Ery Sutanti, Nur Cholifah, Dwi Joko Sulistyono

ABSTRAK Thalassiosira sp sekarang ini menjadi pakan alami yang banyak dipergunakan pada pembenihan udang putih vaname. Banyak keunggulan dari Thalassiosira sp bila dibandingkan dengan pakan alami sebelumnya. Namun, ada kendala di dalam pengangkutan bibit Thalassiosira sp pada skala masal. Karena pengangkutan dilakukan dengan air media kulturnya. Hal ini yang kemudian mendorong untuk dilakukan ujicoba pengumpulan sel untuk dapat mengifisienkan pengangkutan Thalassiosira sp. Sel Thalassiosira sp dikumpulkan dengan cara mematikan aerasi. Sel akan mengendap sempurna di bagian dasar bak kultur selama 24 jam mematikan aerasinya bila dibandingkan bila aerasi dimatikan selama 12 jam. Sel yang mengendap kemudiannya di panen dengan cara membuang air media kultur di bagian atas. Sel yang terkumpul selanjutnya dilakukan packing untuk pengangkutan. Kedalam packing sel Thalassiosira sp tersebut kemudiannya ada yang di beri pupuk dan tanpa diberi pupuk. Selanjutnya dilakukan pengangkutan selama 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Sel dengan jam pengangkutan berbeda tersebut, dikultur ulang di skala lab dengan volume 2 liter dan dipupuk dengan pupuk komposisi Walne. Pertumbuhan sel dilakukan pengamatan secara harian hingga pada fase kematian. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pengumpulan sel Thalassiosira sp dengan cara mematikan aerasinya selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terkumpul lebih banyak. Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dapat dilakukan pengangkutan selama 6 – 12 jam dengan penambahan pupuk pada sel yang terkumpul dapat dikultur kembali dengan pertumbuhan sel hingga puncak pertumbuhan pada hari ke-4. Kata Kunci : Pengangkutan, Thalassiosira sp. pertumbuhan sel, benih vaname.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketersediaan pakan alami berupa fitoplankton dan zooplankton pada

berbagai stadia larva sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap kualitas benih

yang dihasilkan(Khojasteh, et al., 2013). Rodriguez et al., (2012) membuktikan

bahwa laju pertumbuhan dan komposisi proximat dari benih tergantung pada

komposisi biokimia dari pakan alami yang diberikan. Jenis pakan alami yang

digunakan disesuaikan dengan ukuran, kandungan nutrisi serta penyediaan kultur

massal. Hasil studi Preston et al., (1992) dengan mengamati hubungan

keberadaan larva dan kemelimpahan plankton di teluk Carpentaria, Australia

diketahui bahwa kemelipahan benih seiring dengan ketersediaan diatom di

147

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

perairan tersebut. Tiga jenis pakan alami dari kelompok diatom telah diujikan

pada larva merguiensis yaitu : Skeletonema, Chaetoceros dan Thalassiosira.

Skeletonema dan Chaetoceros sudah umum digunakan pada pemeliharaan

larva udang windu. Pada udang putih pakan alami uniceluler seperti Chaetoceros

umum digunakan (Hoang et al.,2002). Chaetoceros banyak digunakan oleh

karena laju pertumbuhan cepat dan dapat dikultur pada kondisi outdoor dengan

interval suhu dan cahaya yang lebar (Lopez-Elias et al., 2008). Dari segi nutrisi,

pakan alami Thalassiosira memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti jumlah

asam lemak tak jenuh (PUFA) hampir dua kali lipat dibandingkan dengan

Chaetoceros pada fase exponensial (Costard et al., 2012). Kiatmetha et al.,

(2011) melakukan kajian penggunaan pakan alami Chaetoceros dan Thalassiosira

pada pemeliharaan larva udang windu. Hasil kajian menunjukkan bahwa

penggunaan Thalassiosira atau kombinasi keduanya dihasilkan sintasan yang

singnifikan lebih baik dibandingkan dengan hanya menggunakan Chaetoceros.

Penggunaan pakan alami, terutama Thalassiosira pada pemeliharaan larva

udang di berikan sekaligus dengan air media kulturnya sehingga dapat mengganggu

kestabilan lingkungan pemeliharaan larva. Demikian juga dengan pengangkutan

bibit Thalassiosira sp. dilakukan dengan air media kulturnya. Sehingga perlu

dilakukan kegiatan untuk dapat melakukan efisiensi di dalam pengangkutan

Thalassiosira sp.

Tujuan

Mendapatkan teknik pengangkutan Thalassiosira sp yang lebih efisien dengan

melakukan pengumpulan selnya.

METODE

Alat dan Bahan

Bahan yang dipergunakan antara lain : KNO3, Na2H2PO4, NaSiO3, FeCl3,

EDTA, Vitamin B-12, Bibit Thalassiosira sp, Chlorin, Air Laut.

Peralatan yang dipergunakan : Aquarium volume 80 liter, Bak fiber 1 m3,

sarana aerasi, kantong plastik panen, mikroskop, Sedgwick rafter cell, hand

refraktometer.

Tata Kerja

Disiapkan air media di dalam wadah 1 m3 dengan cara air laut disterilkan dengan

chlorine konsentrasi 60 ppm dan diaerasi selama 24 jam. Selanjutnya dinetralisir

dengan natrium thiosulfat konsentrasi 30 ppm. Pemupukan dilakukan dengan

penambahan : KNO3 50 ppm, Na2H2PO4 15 ppm, NaSiO3 10 ppm, FeCl3 1 ppm,

EDTA 5 ppm dan Vitamin B-12.

148

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Ke dalam media ditambahkan bibit Thalassiosira sp murni volume 80 liter,

dengan tingkat kepadatan sel 4x105 s/d 5x105 sel /mL yang diambil dari

laboratorium skala semi masal.

Kondisi perlakuan adalah menggunakan air bersalinitas 25 ppt dan intensitas

cahaya matahari yang masuk berkisar 3.000 lux (12 jam terang:12 jam gelap).

Pengadukan terhadap kultur dilakukan dengan memberi aerasi.

Setelah kultur Thalassiora sp. mencapai pertumbuhan puncak (4 hari), dilakukan

pengumpulan sel dengan cara mematikan aerasi selama 12 dan 24 jam.

Sel yang mengendap di dasar bak kultur kemudian dipisahkan dari air dengan cara

membuang air bagian atas, selanjutnya bagian endapan dikeluarkan melalui pipa

pembuangan dan ditampung di dalam ember volume 5 liter. Yang selanjutnya

disebut sebagai sel bibit.

Perlakuan pengangkutan dilakukan dengan tiga kantong masing-masing berisi 1,5

liter bibit, untuk pengujian selama 6 jam, 12 jam dan 24 jam.

Setelah pengangkutan sesuai waktu tersebut selesai, sel Thalassiosira sp. di kultur

kembali pada skala laboratorium menggunakan wadah volume 2 liter, dengan

pupuk Walne dan pencahayaan 24 jam serta suhu ruangan 25o C. Kultur kembali

sel Thalassiosira sp. pada durasi pengangkutan berbeda dilakukan pada 2 ulangan.

Selama kultur dilakukan pengamatan terhadap kepadatan sel Thalassiosira sp.

yang dilakukan setiap hari hingga pada fase kematian. Penghitungan sel dilakukan

untuk mendapatkan data pertumbuhan sel pada saat puncak kepadatan sel dan

durasi kultur yang dapat dicapai oleh Thalassiosira sp. dengan pengumpulan sel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan sel

Pengumpulan sel Thalassiosira sp. pada kultur volume 1 m3 dengan mematikan

aerasi selama 24 jam memberikan jumlah sel yang terpanen lebih banyak bila

dibandingkan pada 12 jam. Dimana dengan mematikan aerasi selama 24 jam sel

Thalassiosira sp. akan terkumpul secara sempurna di dasar bak, tanpa ada sel yang

masih melayang di media air kultur.

Pengangkutan

Pada pengangkutan selama 6 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira dengan

teknik pengumpulan sel mampu bertumbuh selnya hingga puncak kepadatan dihari ke

3 pupuk. Kepadatan sel puncak dengan diberi pupuk adalah 655.000 ± 95.459

sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa dipupuk puncak di hari ke-3 sebesar 725.000

sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 6 jam pengangkutan memberikan

pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk dengan durasi

yang berbeda.

149

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Pada pengangkutan selama 12 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira sp

dengan teknik pengumpulan sel mampu bertumbuh selnya hingga puncak kepadatan

dihari ke 3. Baik pengangkutan sel Thalassiosira sp dengan pemberian pupuk dan

tanpa pemberian pupuk. Dengan kepadatan sel puncak dengan pemberian pupuk

sebesar 665.000 sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa pemberian pupuk sebesar

607.500 sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 12 jam pengangkutan

memberikan pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk

dengan durasi pertumbuhan yang sama.

Pada pengangkutan selama 24 jam di dapatkan bahwa sel Thalassiosira sp

dengan teknik pengumpulan sel hanya mampu bertumbuh selnya hingga puncak

kepadatan dihari ke 2 dengan pengangkutan dengan diberi pupuk dan tanpa diberi

pupuk hanya bertumbuh baik satu hari. Kepadatan sel puncak dengan diberi pupuk

sebesar 572.500 sel/ml dan kepadatan sel puncak tanpa diberi pupuk sebesar 547.500

sel/ml. Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada 24 jam pengangkutan

memberikan pola yang hampir sama baik yang dipupuk maupun yang tidak dipupuk

dengan durasi pertumbuhan yang sama.

0

100

200

300

400

500

600

700

1 2 3 4 5 6 7

6 Jam

12 Jam

24 Jam

Hari Ke-

Ke

pad

atan

se

l Thalassiosira

sp (

x 10

3 ) se

l/m

l

Grafik . Pola pertumbuhan sel Thalassiosira sp pada pengangkutan 6 jam,12

jam dan 24 jam.

KESIMPULAN Sel Thalassiosira sp. yang terkumpul dengan cara mematikan aerasi selama

24 jam adalah yang terbaik karena jumlah pengendapan yang sempurna. Sel

Thalassiosira sp. yang terkumpul dan dilakukan pengangkutan selama 6 hingga

24 jam masih dapat ditumbuhkan dengan hasil pertumbuhan yang baik dan dapat

bertahan antara 3-4 hari.

150

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

SARAN

Pengangkutan bibit Thalassiosira sp dengan teknik pengumpulan sel dapat

dilakukan untuk lebih mengefisienkan pengangkutannya tanpa media kultur.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih diberikan kepada Bapak Sugeng Raharjo,A.Pi. selaku Kepala

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas kesempatan yang diberikan

kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini, kepada Koordinator Laboratorium

pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi telah membantu didalam penyusunan makalah ini.

Juga kepada teman-teman perekayasa Siska Apriliyani yang telah membantu di dalam

kegiatan yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Costard,G.S., R. R. Machado., E. Barbarino., R. C. Martino., and S. O. Lourenço.

2012. Chemical composition of five marine microalgae that occur on the Brazilian coast.International Journal of Fisheries and Aquaculture Vol. 4(9), pp. 191-201

Hoang, T., S.Y. Lee., C.P. Keenan., G.E. Marsden. 2002. Ovarian maturation of the banana prawn, Penaeus merguiensis de Man under different light intensity. Aquaculture 208, 159-168]

Lopez-Elias, G.A., F.Enriquez-Ocana., M.N. Pablos-Mitre., N. Huerta-Aldaz., S. Leal., A. Miranda-Baeza., M. Nieves-Soto., and I. Vasquez-Salgado. 2008. Growth and biomass production of Chaetoceros muelleri in mass outdoor cultures: Effect of the hour of the inoculation, size of the inoculum and culture medium. Rev.Invest.Mar.29(2):171-177.

Kiatmetha P., W. Siangdang, B. Bunnag, S. Senapin, and B. Withachumnarnkul. 2011. Enhancement of survival and metamorphosis of Penaeus monodon larvae by feeding with the diatom Thalassiosira weissflogii. Aquaculture International, Vol.19, Issue 4, pp 599-609.

Khojasteh, Z., R. Davoodi., R.G. Vaghei., H. Nooryazdan. 2013. Survival, development and growth of whiteleg shrimp, Litopenaeus vannamei zoea fed with microalgae (Chaetoceros and Tetracelmis) diets. World Journal of Fish and Marine Sciences 5(5):553-555.

Preston, N.P., M.A. Burford., F.E. Coman and P.C. Rothlisberg. 1992. Natural diet of larval Penaeus merguiensis (Decapode: Penaidae) and its effect on survival. Marine Biology 113,181-191.

Rodriguez, E.O., J.A. Lopez-Elias., E.A. Hinojosa., M.D.C. Garza-Aguirre., F. C. Franco., A.K-Baeza and M. Nieves-Soto, 2012. Evaluation of the nutritional quality of Chaetoceros muelleri and Isochrysis sp grown outdoors for the larval development of Litopenaeus vannamei (Boone, 1931). Arch. Biol.Sci., Belgrade, 64(3), 963-970.

151

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PEMELIHARAAN C. vulgaris SKALA MASAL DENGAN

PENAMBAHAN LAMPU HALOGEN

Oleh : Dwi Joko Sulistiyono, Nur cholifah dan Ery Sutanti

ABSTRAK

Kebutuhan Chlorella sp. sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Salah satu pakan alami yang digunakan dalam kegiatan pembenihan ikan adalah C. Vulgaris. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan bila berada dalam kondisi ketersediaan cahaya yang rendah. Penambahan lampu pada kultur masal C. vulgaris diharapkan dapat meningkatkan kepadatan selnya. Metode kultur ini ditambahkan 2 unit lampu halogen masing-masing 150 watt selama 24 jam yang ditempatkan 50 cm di atas permukaan air pada bak berukuran 2x8x1 m3. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan 2 kali sehari pada jam 11,00 dan 19.00 selama pemeliharaan dengan menggunakan lux meter. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu selama 24 jam.Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama. Penambahan lampu. kepadatan sel mencapai 5,63 x 106 sel/mL, sedangkan tanpa penambahan lampu kepadatan selnya mencapai 3,09 x 106 sel/ml. Kata Kunci : C. vulgaris, kultur masal, penambahan lampu

PENDAHULUAN

Kebutuhan Chlorella sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan ikan

dibutuhkan dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan

kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Selain untuk mendapatkan

kemelimpahan sel yang tinggi, maka dalam kultur masal diharapkan pula

memperoleh kandungan nutrisi yang maksimal. Chlorella merupakan mikroalga yang

termasuk dalam kelas alga hijau atau Chlorophycea. Ukuran diameter selnya berkisar

antara 4 – 9 mikron.

Pertumbuhan suatu jenis fitoplanton atau mikroalga sangat erat kaitannya

dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga

terutama adalah cahaya dan kandungan CO2 bebas. Parameter lain yang juga

berperan adalah temperatur, pH, dan salinitas (Sylvester et al., 2002).

Edy (2003) menyatakan bahwa kemelimpahan fitoplankton dipengaruhi oleh

intensitas cahaya. Cahaya digunakan fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. laju

152

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

fotosintesis akan meningkat bila intensitas cahaya meningkat dan menurun bila

intensitas cahaya berkurang, sehingga cahaya berperan sebagai faktor pembatas

utama dalam fotosintesis atau produktvitas primer (Facta, M dkk., 2003). Kepadatan

sel yang di capai dalam kultur masal C. vulgaris hanya mampu berkisar 6 x 104

sel/ml pada intensitas cahaya 33.000 lux selama kurang lebih 12 jam. Sedangkan

pada skala laboratorium C. vulgaris kepadatan selnya mencapai 200 x 106 sel/ml

dengan intensitas cahaya 4.000 lux selam 24 jam. Tujuan dari kegiatan ini adalah

untuk meningkatkan kepadatan populasi C.vulgaris dengan penambahan lampu

halogen selama 24 jam.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Langkah-langkah untuk kultur masal C.vulgaris dengan penambahan lampu

adalah sebagai berikut;

Persiapan Media Kultur

Wadah yang digunakan bak beton yang berukuran 8 x 2 x 1 meter diisi air

sebanyak 10 m3 . Pembersihan bak kultur di mulai dengan membasahi seluruh

permukaan bak (dasar dan dinding) menggunakan air tawar, kemudian menyikat bak

kultur, pipa aerasi dan pipa outlet hingga bersih. Pada saat menyikat bak kultur,

dengan air yang mengalir dari inlet agar kotoran langsung keluar.

Setelah bak selesai dicuci selanjutnya dilakukan strelisasi dengan cara melarutkan

500 mL chlorin (NaOCl2) dengan air tawar sebanyak 10 L. Larutan tersebut

disiramkan ke seluruh permukaan bak kultur, pipa aerasi, pemberat pipa aerasi serta

pipa outlet dan dibiarkan selama 24 jam hingga bak siap digunakan.

Bak yang sudah siap diisi air laut bersalinitas 35 ppt hingga ketinggian 0,65

meter, kemudian dilakukan treatment menggunakan chlorin 50 ppm dan di aerasi

selama 24 jam, dinetralkan menggunakan Natrium thiosulfat 10 ppm.

Persiapan lampu

Lampu yang digunakan adalah lampu halogen 150 watt sebanyak dua buah

yang diletakkan diatas bak dengan jarak 50 cm dari permukaan air. lampu

dinyalakan selama 24 jam.

Pemupukan

Jenis dan komposisi pupuk yang digunakan sesuai dengan Tabel 1. Pupuk

selain FeCl3 dilarutkan menggunakan air media kultur, kemudian dimasukkan ke

dalam bak kultur tepat diatas aerasi dengan cara disaring, selanjutnya FeCl3

disebarkan di media kultur.

153

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 1. Komposisi pupuk untuk kultur C. vulgaris setiap 1.000 L

No Jenis pupuk Jumlah (g)

1 Urea 70

2 ZA 40

3 TSP 40

4 EDTA 5

5 FeCl3 1

Pengukuran Intensitas Cahaya

Pengukuran ini digunakan alat lux meter type extech sehari dua kali pada jam

11.00 dan 19.00. Posisi pengukuran intensitas cahaya 10 cm di atas permukaan

air selama masa kultur.

Perhitungan Kepadatan Sel

Pengamatan terhadap kepadatan C. vulgaris dilakukan setiap hari pada saat

pagi hari jam 8. Perhitungan kemelimpahan sel dilakukan menggunakan

haemocytometer.Volume setiap kotak pada haemocytometer adalah 0,1 mm3

(0,00001 mL). Perhitungan kemelimpahan sel dilakukan dengan mengambil air

kultur menggunakan pipet tetes dan diletakkan pada haemocytometer yang sudah

ditutup menggunakan cover glass. Haemocytometer yang telah berisi sampel

tersebut diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 kali sebanyak 3 kali

pengamatan dan dilakukan perhitungan sel dengan bantuan hand tally counter.

Cara menghitung jumlah sel yang terdapat dalam sebuah kotak misalnya N

sel, yang berarti dalam 0,1 mm3 terdapat N sel. Jadi dalam 1 mL jumlah selnya

adalah 10.000 x N sel (Ekawati, 2005). Selanjutnya jumlah sel (N) C. vulgaris

dalam kotak-kotak haemocytometer dihitung kemelimpahannya dengan rumus:

Setelah dihitung kepadatan sel yang akan digunakan dan dikonversi ke dalam volume

media sesuai dengan yang diinginkan maka inokulan yang terbaik di tebar dengan

kisaran antara 1 – 2 juta sel/mL.

154

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran intensitas cahaya pada pengamatan kultur C. vulgaris seperti

pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengamatan intensitas cahaya selama kultur

Perlakuan Hari Ke Siang hari Malam hari

Tanpa Lampu 1 10.145 0

2 15.310 0

3 11.495 0

4 10.140 0

5 9.450 0

6 9.460 0

Lampu 1 14.641 27.000

2 16.675 28.000

3 18.634 27.500

4 18.844 28.500

5 15.367 28.000

6 14.839 26.000

Cahaya mempunyai pengaruh terhadap proses fotosíntesis. Kurangnya

intensitas cahaya akan menyebabkan proses fotosíntesis tidak berlangsung normal

sehingga mengganggu biosíntesis sel selanjutnya. Energi yang diberikan oleh cahaya

bergantung pada intensitas cahaya, dan lamanya pencahayaan. (Agung, et al, 2014).

Kemampuan C. vulgaris melakukan fotosintesis seperti layaknya semua tumbuhan,

membutuhkan cahaya matahari sebagai sumber energi. Cahaya yang diperlukan

masing–masing alga berbeda. Penambahan lampu diperoleh hasil peningkatan

jumlah sel dan waktu pemeliharaan lebih lama (Gambar 1).

Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1986), kecepatan proses fotosintesa

mencapai maksimal pada intensitas penyinaran 16.140 - 86.000 lux. selain itu

intensitas cahaya yang dibutuhkan Chlorella sp. untuk tumbuh dan berkembang

memerlukan intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu yang tinggi pula (Kawaroe,

dkk, 2010).

155

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

0

100

200

300

400

500

600

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tanpa lampu

Penambahanlampu

Hari ke-

Ke

pad

atan

se

l x

10 4

(se

l/m

l)

Gambar 1. Grafik pertumbuhan C. vulgaris pada masing – masing perlakuan

Pada perlakuan tanpa lampu, sel bereproduksi dengan cepat sehingga

pertumbuhan populasi mencapai maksimal yaitu pada hari kedua mencapai

kepadatan sel 309 x 104 sel/mL dari populasi awal 100 x 106 sel/mL. Sedangkan pada

perlakuan dengan penambahan lampu, pertumbuhan populasi mencapai maksimal

pada hari ke 4 dengan jumlah populasi 563 x 104 sel/mL.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penambahan lampu pada kultur C. vulgaris meningkatkan kepadatan kultur

hingga 2 kali lipat, dan waktu kultur 2 hari lebih lama.

Saran

Perlu dilakukan pengujian durasi pencahayaan dalam kultur C. vulgaris.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang sebesar besarnya kepada Bapak Sugeng

Raharjo,A.Pi. selaku Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini,

kepada Koordinator Laboratorium pakan hidup Ibu Lisa Ruliaty S.Pi , Ibu Siska

Aprilliyanti, Bp. Sugiono, dan Mas Arif yang telah memberikan saran baik dalam

proses penelitian maupun dalam proses penyusunan laporan .

156

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

DAFTAR PUSTAKA

Agung, G.I., Lutfi, M., Nugroho, W.A., 2014. Pengaruh Penambahan Cahaya di

Malam Hari Terhadap Pertumbuhan Chlorella sp pada Instalasi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Prosiding Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem Volume 2 Halaman. 287–296.

Amini, S., Syamdidi, 2006. Konsentrasi Unsur Hara pada Media dan Pertumbuhan C. vulgaris dengan Pupuk Anorganik Teknis dan Analis. Jurnal Perikanan Volume VIII Nomor (2), Halaman. 201–206.

Boyd, C.E., 2003a. Bottom Soil and Water Quality Management in Shrimp Ponds. Jurnal Application Aquatic Nomor 13,page. 11–33.

Edhy, W.A., P. Januar, dan Kurniawan. 2003. Plankton di Lingkungan PT.Central Pertiwi Bahari. Laboratorium Central Department, Aquaculture Division PT. Central Pertiwi Bahari. Tulang Bawang.

Ekawati, A.W. 2005. Diktat Kuliah : Budidaya Makanan Alami. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Malang. 101 hlm.

Facta. M, Zainuri.M, Sudjadi,M dan Sakti.E.P.2006. Pengaruh Pengaturan Intensitas Cahaya yang Berbeda Terhadap Kelimpahan Dunaliella sp. dan Oksigen Terlarut dengan Simulator TRIAC dan Mikrokontroller. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 11 (2) :Hal 67 – 71

Kawaroe, M., Pratono, T., Sunuddin, A., Wulan.D., Agustine.D., 2010. Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. IPB.Press

Sylvester et al. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Prosiding Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung. 24-36 hlm.

157

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI PAKAN IKAN APUNG UNTUK

BUDIDAYA IKAN LELE

Oleh : Peni Dwi Soesanti, Puswati dan Aris Supramono

ABSTRAK Minat masyarakat terhadap budidaya ikan lele semakin besar, terutama sejak diperkenalkannya teknologi budidaya ikan lele dengan kepadatan tinggi sistem bioflok. Meningkatnya minat dalam budidaya lele ini perlu diimbangi dengan tersedianya pakan berkualiatas baik dalam jumlah yang mencukupi. Pada kegiatan ini dilakukan pembuatan pakan ikan lele, berupa pelet dengan kadar protein 30% dari bahan baku lokal dan mempunyai sifat terapung. Tujuan dari pembuatan pakan ini adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan nutrisi lele dan mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan, kelulushidupan serta FCR. Pengujian pakan dilakukan pada beberapa pembudidaya di kawasan kabupaten Jepara, Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro, pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil pengujian didapatkan bahwa dari parameter fisik, pelet yang diproduksi mampu mengapung selama ± 180 menit. Pengamatan terhadap parameter lain didapatkan pertumbuhan selama masa pemeliharaan 60 hari diperoleh berat akhir sebesar 83-100gr, SR 90% dan FCR 0,7-0,87. Kata Kunci : pelet, apung, ikan lele

PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan potensi perikanan di Indonesia

terus dikembangkan dalam rangka untuk mendukung peningkatan ketahanan pangan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berusaha meningkatkan ketersediaan

pangan dalam negeri, melalui penyediaan ikan konsumsi masyarakat. Upaya untuk

mencapai peningkatan target tersebut salah satunya adalah pengembangan budidaya

perikanan air tawar.

Menurut KKP (2013) salah satu komoditas perikanan air tawar yang dipacu

untuk meningkat setiap tahunnya adalah produksi ikan lele dumbo (Clarias sp.).

Selama kurun waktu dari tahun 2010 sampai tahun 2014 target produksi ikan lele

yang ditetapkan KKP meningkat rata-rata 35,05% setiap tahunnya.

Kendala utama yang dihadapi dalam usaha produksi ikan lele adalah pada

biaya pakan. Menurut Mahyuddin (2008) lebih dari 50% biaya produksi pada

pembesaran ikan lele adalah biaya untuk pembelian pakan. Untuk memenuhi

kebutuhan pakan ikan, sebagian besar pembudidaya ikan mengandalkan pada pakan

pabrikan yang terus meningkat seiring meningkatnya harga bahan baku pakan.

Dengan meningkatnya harga pakan ikan pabrikan tanpa diimbangi kenaikan harga

ikan menyebabkan pembudidaya mengalami kerugian.

158

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara melalui

Laboratorium Pakan Buatan mencoba membuat pakan apung untuk ikan lele. Pakan

tersebut diujikan langsung kepada pembudidaya ikan lele di kawasan Kabupaten

Jepara Jawa Tengah dan Universitas Diponegoro.

Tujuan dari kegiatan ini adalah produksi pakan apung untuk pakan lele dan

mengetahui pengaruh pemberian pakan terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan,

FCR dan kualitas air media budidaya ikan lele.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi: tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung

tapioka, tepung pollard, minyak nabati, dan air.

Alat yang digunakan meliputi: timbangan, mesin penepung, mixer (pengaduk

pakan), mesin pencetak pelet (extruder), baskom, ember, gayung plastik, terpal,

plastic innert, dan sak kap 30 kg.

Tata Kerja

Adapun tata cara dalam pembuatan pakan adalah sebagai berikut:

01. Penepungan

Penepungan bertujuan untuk menghasilkan tepung dengan ukuran butiran

antara 250-500µm.

1. Penimbangan

Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku yang

akan digunakan dengan tepat.

2. Pencampuran

Pencampuran semua bahan baku dilakukan dengan menggunakan mixer

secara bertahap, setiap kali pencampuran sebanyak 40 kilogram sesuai

kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua

tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran

bahan berlangsung selama 3-5 menit.

3. Pencetakan

Pencetakan menggunakan mesin pencetak pelet extruder. Mesin ini

menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk butiran

sesuai diet yang dikehendaki. Rangkaian mesin menjadi satu

berkesinambungan yaitu dari pengadukan bahan selanjutnya dimasukkan ke

mesin pencetak. Bentuk butiran yang keluar harus dipisahkan satu dengan

lainnya dengan cara diuyek dengan tangan, selanjutnya butiran pelet

mengikuti laju mesin berjalan menuju ke mesin pengering. Pelet yang keluar

dari mesin ini sudah dalam bentuk kering. Pelet yang terbentuk ditampung

dalam ember, kemudian dituang ke gelaran terpal untuk pendinginan,

159

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

selanjutnya setelah dingin baru dilakukan pengepakan. Pengeringan pakan

yang keluar dari mesin extruder sampai mencapai kadar air <10 persen.

4. Pelapisan/Couting

Pelapisan pakan dilakukan setelah proses pencetakan dan pendingan pelet.

Adapun cara pelapisan adalah sebagai berikut, pelet dituang dalam mesin

couting lalu disemprot dengan minyak nabati yang telah dipanaskan pada

temperatur 60°C.

5. Pengepakan

Pengepakan dilakukan pada tempat yang kering dan bersih serta tertutup

rapat, dengan tujuan agar pakan tidak mudah terkontaminasi yang akan

menyebabkan pakan cepat rusak. Pelet ditimbang dengan kapasitas 30 kg/sak

yang sebelumnya dilapisi plastic inner, kemudian dijahit.

6. Penyimpanan

Setelah dilakukan pengepakan, disimpan di tempat yang kering sejuk dan

tidak terkena sinar matahari secara langsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pakan yang dibuat setelah dilakukan pengujian secara laboratoris mempunyai

kadar protein 31,65%, Lemak 3,08%, Abu 11,7%, Serat 1,5% dan BETN 45,76%

(Tabel 3). Kadar protein sebesar 31,65% tersebut cukup baik dalam mensuplai

kebutuhan nutrisi ikan lele. Hal ini sesuai dengan pendapat Lovell (1989) yang

menyatakan protein optimum bagi benih Channel catfish berkisar 25 - 36%. Hasil

penelitian Aryansyah et al., (2007), menyatakan bahwa ikan lele ukuran juvenil

dapat tumbuh baik dengan pemberian pakan buatan yang mengandung protein kasar

± 30%, lemak kasar ± 5%, BETN ± 48%, kromium 2,6 mg/kg pakan dan energi

dalam pakan sebesar ± 270 kkal/gram. Pengujian daya apung, dilakukan dengan cara

memasukkan pelet ke dalam air, waktu yang diperlukan mulai saat pelet menyentuh

permukaan air sampai tenggelam didasar, adalah merupakan ukuran daya apungnya.

Hasil tes menunjukkan bahwa pelet produksi BBPBAP mampu mengapung ± 180

menit. Pengujian daya tahan dalam air, dilakukan dengan merendam pelet dalam air.

Waktu yang diperlukan sampai saat pelet hancur merupakan ukuran daya tahan pelet.

Gambar 1. Uji fisik, daya apung dan ketahanan dalam air

160

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel.3. Analisa Proximat terhadap pelet yang diproduksi di BBPBAP Jepara

Bahan Protein Lemak Abu Serat BETN Pelet ikan Lele 31,65 3,08 11,7 1,5 45,76

Gambar 2. Budidaya Lele di masyarakat yang menggunakn pelet produksi BBPBAP

Jepara

Hasil pengujian pada budidaya lele di masyarakat yang menggunakan pelet

produksi BBPBAP Jepara didapatkan sintasan sebesar 90,77% dan berat akhir

berkisar antara 83-100 g/ekor. Tingginya nilai sintasan ikan lele yang

dibudidayakan menandakan bahwa pakan yang diberikan memiliki kualitas yang

baik.

Tabel 4. Hasil produksi pakan dan pengujianya tertera pada tabel berikut ini:

Nama Pembudidaya

Jumlah tebar (ekor)

Kelulushidupan (%)

Pakan (kg)

Biomas FCR

Berat rata-rata (g)

Umur (hari)

Undip A 3300 90 140 167 0,875 83-100

60

Undip B 3500 90,77 110 151 0,7 83 60

Hasil pengujian pakan, diperoleh FCR antara 0,7-0,87. Rendahnya nilai FCR,

menunjukkan pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan dan diserap tubuh dengan

baik untuk pertumbuhan. Nilai FCR yang baik disebabkan nutirsi yang terkandung

di dalam pakan dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh dan tidak banyak yang

terbuang sebagai kotoran. Handajani dan Widodo (2010) menyatakan bahwa nilai

rasio konversi pakan pada budidaya dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas

pakan. Pengamatan kualitas air selama masa pemeliharaan pada pengujian pakan

diperoleh nilai cukup baik untuk mendukung pertumbuhan, meliputi; DO yang

berkisar 3,0-4,5 mg/L, pH berkisar antara 7-8, dan temperatur berkisar antara 27-31

°C.

161

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

KESIMPULAN

Pakan apung berupa pelet untuk ikan lele produksi BBPBAP Jepara memiliki

standar kualitas yang baik anatara lain daya apung ± 180 menit, dan memberikan

sintasan lebih besar dari 90% , dan FCR antara 0,7-0,87 dengan masa pemeliharaan

60 hari.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku

kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara; Bapak Dr.Ir. Fairus

Maisoni M.Si selaku kepala Program Lab. Pakan Buatan; Bapak Iwan Sumantri, S.Pi

selaku Koordinator Kegiatan Lab. Pakan Buatan, Bapak Damang Suryanto,S.St.Pi

dan teman-teman atas dukungan dan bimbingannya yang diberikan dalam penulisan

makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Amalia R., Subandiono, dan E. Arini. 2013. Pengaruh Penggunaan Papain Terhadap

Tingkat Pemanfaatan Protein Pakan Dan Pertumbuhan Lele Dumbo (Clarias gariepinus). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(1): 136-143

Aryansyah H., I. Mokoginta, D. Jusadi. 2007. Kinerja Pertumbuhan Juvenil Ikan Lele Dumbo (Clarias sp.) yang diberi Pakan Dengan Kandungan Kromium Berbeda. J. Akuakultur Indonesia. 6(2): 171-176

Boyd, E.C. 2004. Farm Level IssuesinAquacultureCertification. The Haworth Press: New York. 29 pp.

Chuapoehuk, W. 1987. Protein requirement of walking catfish, Clarias batrachus (Linnaeus) fry. Aquaculture, 63 : 215-219.

Handajani. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan untuk meningkatkan produktifitas ikan nila gift. Jurnal Akuakltur Indonesia.12 (2) : 177-181.

Handajani, H dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm. Houlihan, D., T. Boujarddan M. Jobling. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell

Science, Oxford, UK, pp. 827 p. Lovell, R.T. 1989. Nutrition and feeding of fish. New York Van Nostrand Reinhold,

260 p. Mahyuddin, K. 2008. Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta. 165 hlm. Mulyadi., U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem resirkulasi dengan menggunakan

filter yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (2) : 117-124.

NRC (National Reaseach Counsil). 1993. Nutrient Requirement of Fish. National Academy Press: Washington D.C. 124pp.

KKP. 2013. Statistik Menakar Target Ikan Air Tawar Tahun 2013. http://www.djpb.kkp.go.id. Diakses tanggal 22 Januari 2014.

162

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

PRODUKSI PAKAN MANDIRI UNTUK BUDIDAYA IKAN NILA

Oleh : Aris Supramono, Suparjono dan Iwan Aris Setiawan

ABSTRAK Minat masyarakat terhadap budidaya ikan Nila di Indonesia semakin besar yakni sejak ikan Nila dapat dibudidayakan pada perairan payau atau yang sering disebut dengan budidaya ikan nila salin. Banyaknya pembudidaya ikan nila salin tentunya perlu disediakan pakan yang berkualitas. Pada kegiatan ini dibuat pakan dengan kadar protein min 30%. Jenis pakan yang dibuat adalah pakan apung. Tujuan dari pembuatan pakan ini adalah untuk menyediakan pakan berkualitas sesuai kebutuhan nutrisi ikan nila. Pakan tersebut setelah jadi diujikan langsung pada beberapa pembudidaya di kawasan kabupaten Pati Jawa Tengah. Kegiatan pengujian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2017. Hasil pengujian menunjukkan pertumbuhan akhir sebesar 200-250gr, SR 60% dan FCR 0,9-1 dengan masa pemeliharaan 90-120 hari. Sedangkan untuk kualitas air yang meliputi DO (2,1-3,5), p H (7-8), Salinitas 15-25 ppt, dan suhu (27-31 C). Kata Kunci : Pakan mandiri, nila

PENDAHULUAN

Ikan nila merupakan komoditas unggulan urutan ketiga dengan pencapaian

produksi dari tahun 2010 sebesar 464.191 ton meningkat menjadi 912,613 ton pada

tahun 2014 dengan persentase peningkatan sebesar 19,03% (KKP, 2014).

Peningkatan produksi di dalam usaha budidaya dapat dicapai dengan cara

mengoptimalkan kondisi lingkungan, penggunaan padat tebar yang sesuai dengan

daya dukung lahan, kualitas benih yang baik dan pemberian pakan yang berkualitas

yang sesuai dengan kebutuhan biota yang dibudidayakan (Houlihan et al., 2001).

Ikan nila (Oreochromis sp.) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam famili

Cichlidae dan merupakan ikan yang diintroduksi dari habitat asalnya yaitu Afrika.

Ikan nila memiliki sifat-sifat yang baik yaitu pertumbuhannya relatif cepat dan

efisiensi terhahadap pakan baik (Boyd, 2004). Ikan ini berasal dari Afrika bagian

timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya lalu dibawa ke

Eropa, Amerika, Negara-negara Timur Tengah dan Asia. Bibit ikan nila secara resmi

didatangkan ke Indonesia dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar

(sekarang: Balai Riset Perikanan Air Tawar) Bogor pada tahun 1969 (Suyanto,

2010).

163

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Peningkatan produksi ikan nila perlu didukung dengan ketersediaan pakan

yang berkualitas dan harga terjangkau. Ikan nila membutuhkan kandungan nutrisi

pakan yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya dengan kadar protein yang optimal

untuk pertumbuhannya adalah berkisar antara 28-50% (Webster dan Lim, 2002).

Selain protein, kandungan energi pakan juga perlu diperhatikan. Energi untuk

pemeliharaan tubuh dan aktivitas lain harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum energi

untuk pertumbuhan. Pemanfaatan karbohidrat oleh ikan berbeda-beda bergantung

kepada kompleksitas karbohidrat (Furuichi, 1988).

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara melalui

Laboratorium Pakan Buatan mencoba membuat pakan mandiri untuk ikan Nila Salin.

Pakan tersebut diujikan langsung kepada pembudidaya ikan nila salin di kawasan

Kabupaten Jawa Tengah. Adapun tujuannya adalah menyediakan pakan berkualitas

dengan harga murah dan pengujian langsung pada pembudidaya untuk

mendapatkan data yang sebenarnya di lapangan

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi: tepung ikan, tepung bungkil kedelai, tepung

tapioka, tepung pollard, minyak nabati, dan air.

Alat yang digunakan meliputi: timbangan digital, mesin penepung, mixer

(pengaduk pakan), mesin pencetak pellet (extruder), baskom, ember, gayung plastik,

terpal, plastik inner, dan karung sak 30 kg.

Tata Kerja

Proses pembuatan pakan mandiri sebagai berikut:

1. Penepungan

Penepungan dengan menggunakan mesin penepung untuk

menghasilkan tepung yang berkualitas dengan butiran yang sangat halus

(250-500 mikron).

2. Penimbangan

Proses penimbangan dilakukan untuk mengetahui jumlah bahan baku

yang akan digunakan dengan tepat.

3. Pencampuran

Pencampuran dalam mixer dilakukan secara bertahap 40 kg sesuai

kapasitas mixer. Penambahan air pada bahan baku dilakukan dengan dua

tahap yaitu pada awal dan pertengahan proses pengadukan. Pencampuran

bahan ditempuh dalam waktu 3-5 menit.

4. Pencetakan

Pencetakan menggunakan mesin pencetak pellet extruder. Mesin ini

menghasilkan pakan apung langsung setengah kering dengan bentuk

164

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

butiran sesuai diet yang dikehendaki. Rangkaian mesin menjadi satu

berkesinambungan yaitu dari pengadukan bahan selanjutnya dimasukkan

ke mesin pencetak. Bentuk butiran yang keluar harus dipisahkan satu

dengan lainnya dengan cara diaduk dengan tangan selanjutnya butiran

pellet mengikuti laju mesin berjalan menuju ke mesin pengering. Pellet

yang keluar dari mesin pengering ditampung dalam ember kemudian

dituang ke hamparan karpet untuk pendinginan. Pengeringan pakan yang

keluar dari mesin extruder sampai mencapai kadar air <10 persen. Setelah

pellet dingin selanjutnya dilakukan pengepakan.

5. Pelapisan/couting

Pelapisan pada pakan dilakukan setelah proses pencetakan dan

pendingan pellet. Cara pelapisan pakan sebagai berikut, pellet di tuang

dalam mesin couting lalu disemprot dengan minyak nabati yang telah

dipanaskan dengan suhu 60 °C.

6. Pengepakan/Packing

Pengepakan dilakukan pada tempat yang kering dan bersih serta

tertutup rapat, dengan tujuan agar pakan tidak mudah terkontaminasi yang

akan menyebabkan kerusakan kualitas pakan. Pada proses pengepakan,

pellet ditimbang 30 kg/ sak yang dilapisi plastic inner kemudian dijahit.

7. Penyimpanan

Setelah dipaking, pakan disimpan di tempat yang kering dan sejuk

serta tidak terkena sinar matahari langsung.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil

Pakan yang dihasilkan telah dianalisis di laboratorium fisika kimia dan residu

BBPBAP Jepara dengan hasil seperti Tabel 1. Pakan ikan nila yang telah dibuat

sebanyak 2.590 kg selanjutnya di distribusikan ke pembudidaya di beberapa wilayah

pokdakan (Tabel 2).

Tabel.1. Kandungan Nutrisi pellet ikan Nila Salin

Bahan Protein Lemak Abu Serat BETN Pellet ikan Nila 31,65 3,08 11,7 1,5 45,76

165

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Gambar 1. Proses penimbangan bahan baku, pengadukan dan pencetakan pakan

Gambar 2. Proses pengotingan, penimbangan dan pengepakan pakan.

166

Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara

Prosiding Pertemuan Teknis Teknisi Litkayasa Lingkup BBPBAP Jepara Tahun 2017

Tabel 2. Hasil produksi pakan dan pengujianya tertera pada tabel berikut ini:

Nama Petambak

Jumlah tebar (ekor)

Kelulushidupan Pakan (kg)

Biomas FCR

Berat rata-rata (gr)

Umur (hari)

Suprianto 11.000 60 1.650 1.650 1 250 90 Jais 5.000 60 700 700 1 200 90

Taun 2.200 60 240 260 0,9 200 90

KESIMPULAN Dari kegiatan ini diperoleh produksi pakan nila sebanyak 2.590 kg dan di

distribusikan beberapa kelompok pokdakan nila wilayah Pati, dan Jepara.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sugeng Raharjo, A.Pi selaku

Kepala Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Bapak Dr. Ir. Fairus

Maisoni, M.Si selaku Satgas Lab. Pakan Buatan; Bapak Iwan Sumantri, S.Pi selaku

Koordinator Kegiatan Lab. Pakan Buatan dan teman-teman atas dukungan dan

bimbingannya yang diberikan dalam penulisan makalah ini

DAFTAR PUSTAKA Boyd, E.C. 2004. Farm Level IssuesinAquacultureCertification. The Haworth Press:

New York. 29 pp. Handajani. 2011. Optimalisasi substitusi tepung azolla terfermentasi pada pakan ikan

untuk meningkatkan produktifitas ikan nila gift. Jurnal Akuakltur Indonesia.12 (2) : 177-181.

Handajani, H dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. UMM Press: Malang. 271 hlm. Houlihan, D., T. Boujarddan M. Jobling. 2001. Food Intake in Fish. Blackwell

Science, Oxford, UK, pp. 827 p. Mulyadi., U. Tang., dan E.S. Yani. 2014. Sistem resirkulasi dengan menggunakan

filter yang berbeda terhadap pertumbuhan benih ikan nila (Oreochromis sp.). Jurnal Akuakultur Rawa Indonesia. 2 (2) : 117-124.

NRC (National Reaseach Counsil). 1993. Nutrient Requirement of Fish. National Academy Press: Washington D.C. 124pp.

KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan). 2014. Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2014. Kementrian Kelautan dan Perikanan. DJPB: Jakarta. 212 hlm.

Webster, C.D. and Lim C. 2002. NutrientRequirementsandFeeding of Finfish for Aquaculture.The Haworth Press: New York. 364pp.