8 PEMBAHASAN UMUM - repository.ipb.ac.id · Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera...

13
8 PEMBAHASAN UMUM Perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan tergolong perikanan skala kecil, baik dilihat dari aspek teknologi maupun manajemen yang digunakan. Perikanan skala kecil biasanya menggunakan armada penangkapan yang sederhana, modal kecil, tenaga kerja sedikit serta hanya beroperasi di daerah penangkapan yang terbatas. Pada dasarnya giob merupakan purse seine, yang dirancang khusus untuk menangkap ikan julung-julung (Hemirhampus sp.). Alat tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan dan hingga kini tetap dipertahankan, bahkan sebagian nelayan sangat mengandalkannya sebagai mata pencaharian utama. Isu utama dalam perikanan giob adalah terkait dengan potensi sumberdaya ikan julung-julung yang mengalami penipisan. Kondisi ini dapat dilihat pada jumlah alat tangkap giob semakin berkurang, produksi ikan julung-julung semakin menurun, nelayan giob mendapatkan hasil yang kurang layak. Dalam rangka mempertahankan keberadaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan maka perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan yang diawali dengan kegiatan penelitian. Untuk mengkaji isu penipisan sumberdaya ikan julung-julung serta kondisi yang ditimbulkan maka penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian yang mencakup: profil lokasi penelitian, telah memotret pengembangan perikanan tangkap di Halmahera Selatan dan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Aspek biologi ikan julung-julung, menjelaskan kondisi biologi ikan julung-julung dalam kaitan dengan efektivitas kegiatan penangkapan ikan julung-julung, daerah dan musim penangkapan. Evaluasi teknis perikanan giob, telah menjawab faktor teknis apakah yang sangat berpengaruh terhadap produksi ikan julung-julung. Keberlanjutan usaha perikanan giob, menekankan pada keberlanjutan usaha perikanan giob pada aspek ukuran giob (GT) yang lebih layak dalam berinvestasi. Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan dilakukan melalui perumusan serangkain strategi, kemudian ditentukan strategi terpilih sebagai prioritas strategi dalam pengembangan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Bahasan lebih lengkap dapat disajikan pada setiap sub bab berikut.

Transcript of 8 PEMBAHASAN UMUM - repository.ipb.ac.id · Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera...

8 PEMBAHASAN UMUM

Perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan tergolong perikanan skala

kecil, baik dilihat dari aspek teknologi maupun manajemen yang digunakan.

Perikanan skala kecil biasanya menggunakan armada penangkapan yang

sederhana, modal kecil, tenaga kerja sedikit serta hanya beroperasi di daerah

penangkapan yang terbatas. Pada dasarnya giob merupakan purse seine, yang

dirancang khusus untuk menangkap ikan julung-julung (Hemirhampus sp.). Alat

tangkap ini sudah lama digunakan oleh nelayan dan hingga kini tetap

dipertahankan, bahkan sebagian nelayan sangat mengandalkannya sebagai mata

pencaharian utama.

Isu utama dalam perikanan giob adalah terkait dengan potensi sumberdaya

ikan julung-julung yang mengalami penipisan. Kondisi ini dapat dilihat pada

jumlah alat tangkap giob semakin berkurang, produksi ikan julung-julung semakin

menurun, nelayan giob mendapatkan hasil yang kurang layak. Dalam rangka

mempertahankan keberadaan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan maka

perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan yang diawali dengan kegiatan

penelitian.

Untuk mengkaji isu penipisan sumberdaya ikan julung-julung serta kondisi

yang ditimbulkan maka penelitian ini dilakukan dengan fokus kajian yang

mencakup: profil lokasi penelitian, telah memotret pengembangan perikanan

tangkap di Halmahera Selatan dan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan.

Aspek biologi ikan julung-julung, menjelaskan kondisi biologi ikan julung-julung

dalam kaitan dengan efektivitas kegiatan penangkapan ikan julung-julung, daerah

dan musim penangkapan. Evaluasi teknis perikanan giob, telah menjawab faktor

teknis apakah yang sangat berpengaruh terhadap produksi ikan julung-julung.

Keberlanjutan usaha perikanan giob, menekankan pada keberlanjutan usaha

perikanan giob pada aspek ukuran giob (GT) yang lebih layak dalam berinvestasi.

Pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan dilakukan melalui perumusan

serangkain strategi, kemudian ditentukan strategi terpilih sebagai prioritas strategi

dalam pengembangan perikanan giob di Kayoa, Halmahera Selatan. Bahasan lebih

lengkap dapat disajikan pada setiap sub bab berikut.

135

8.1 Dukungan Potensi Wilayah terhadap Pengembangan Perikanan Giob

Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas 40.236,72 km2 dan

lebih didominasi oleh wilayah laut yaitu sebesar 31.484,40 km2 (78%), sedangkan

wilayah daratannya sebesar 8.779,32 km2 (22%). Keberadaan kondisi sumberdaya

perikanan tangkap Halmahera Selatan, secara singkat dapat dikatakan bahwa

Halmahera Selatan merupakan wilayah kepulauan dan memiliki luas lautan yang

sangat besar (78%), dimana didalamnya terkandung potensi sumberdaya

perikanan pelagis yang sangat besar. Pengembangan sumberdaya perikanan ini

mempunyai prospek yang menguntungkan di masa yang akan datang baik untuk

peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat maupun berkontribusi

terhadap perekonomian daerah.

Secara aktual, perikanan tangkap di Halmahera Selatan sampai dengan

tahun 2011 masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Secara

keseluruhan jenis kapal penangkap ikan di dominasi oleh motor tempel berukuran

˂ 5 GT (48%) dan motor tempel (29%). Dominannya kapal tanpa motor dan

motor tempel ini mengakibatkan daerah operasi penangkapan nelayan yang

berbasis Halmahera Selatan menjadi sangat terbatas, dan tidak jauh dari pantai.

Keterbatasan ini diakibatkan karena untuk memperoleh armada yang berskala

besar membutuhkan biaya investasi maupun biaya operasional relatif besar pula.

Hal ini tercermin pula dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia.

Menurut KKP (2009) komposisi kapal perikanan di indonesia sebagian besar

masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 97,11%,

dan hanya sekitar 2,89% di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar.

Sampai saat ini, pengelolaan perikanan tangkap di Halmahera Selatan masih

terdapat beberapa permasalahan. Permasalahannya antara lain status pemanfaatan

sumberdaya perikanan tangkap di (Laut Maluku) tergolong dalam gejala telah

mengalami overfishing, pendapatan nelayan belum maksimal, keterbatasan modal

usaha, masih adanya konflik pemanfaatan sumberdaya ikan, lemahnya

sumberdaya manusia (SDM) dalam menerapkan teknologi penangkapan dan

memanfaatkan serta mengelola potensi sumberdaya perikanan tangkap secara

136

efisien dan berkelanjutan, demokrasi keterlibatan nelayan dalam pengambilan

kebijakan masih rendah, dan penerapan aturan dan hukum yang belum efektif.

Permasalahan yang dihadapi oleh usaha perikanan tangkap Halmahera

Selatan ini tidak jauh berbeda dengan permasalahan yang dihadapi oleh usaha

perikanan tangkap nasional. Permasalahan utama dan sangat mendasar yang

dihadapi dalam pengembangan usaha perikanan tangkap skala kecil bersumber

dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya akses terhadap

permodalan dan prasarana serta faktor sosial budaya yang kurang kondusif bagi

kemajuan usaha, yang semuanya berakibat pada rendahnya akses terhadap

sumberdaya ikan, permodalan, teknologi, dan pasar. Permasalahan tersebut dapat

dikelompokkan dalam sepuluh permasalahan dan diperingkatkan yaitu

produktivitas dan efisiensi usaha, pengawasan dan pengendalian SDI, SDI dan

lingkungan, permodalan, SDM, prasarana, sarana, dan pelayanan usaha, mutu dan

nilai hasil tangkapan, pemasaran, kelembagaan nelayan, dan sosial-ekonomi

nelayan (DJPT 2005).

Pengembangan sektor perikanan dan kelautan di Halmahera Selatan,

memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak-

pihak terkait. Pengembangan tersebut diarahkan pada status keberlanjutannya

yaitu melalui keberlanjutan dari berbagai aspek yang meliputi ekologi, ekonomi,

sosial, teknologi dan hukum kelembagaan. Selanjutnya, pengembangan tersebut

idealnya terjabarkan ke dalam suatu kebijakan, strategi, dan program-program

kerja yang dipersiapkan terutama dalam menghadapi tuntutan di era otonomi dan

globalisasi masa kini dan masa mendatang, yang secara nyata memiliki tantangan

yang cukup berat.

Perikanan giob merupakan salah satu perikanan daerah tropis yang memiliki

karekteristik yang unik, karena perikanan ini menggunakan alat tangkap tunggal

dan tujuan tangkapan juga spesifik, yaitu hanya ditujukan untuk penangkapan

jenis ikan julung-julung. Sifat dan karekteristik yang unik dari perikanan giob ini

perlu mendapat perhatian agar sumberdaya ikan julung-julung lestari dan usaha

perikanan giob tetap berkelanjutan. Beberapa faktor yang berkaitan erat dengan

perikanan giob adalah unit penangkapan ikan, operasi penangkapan, produksi,

daerah penangkapan.

137

Kapal giob yang digunakan oleh nelayan di Kayoa, Halmahera Selatan

memiliki spesifikasi dan ukuran dimensi utama relatif kecil yaitu berkisar 4,5- 15

GT. Ukuran kapal ini jika dibandingkan dengan kapal mini purse seine pada

umumnya memang relatif berbeda. Karman (2008) melaporkan bahwa kapal mini

purse sein (pajeko) di Batangdua Kota Ternate berkisar 12-21 GT, sedangkan

Namsa (2006) menginformasikan kapal mini purse seine (pajeko) di Tidore

berukuran antara 13,21-17,63 GT. Kecilnya ukuran kapal giob ini disesuaikan

dengan jarak jangkauan dan tujuan pengoperasian. Jangkauan pengoperasian giob

hanya diwilayah pesisir, karena disesuaikan dengan lokasi migrasi ikan julung-

julung sebagai target tangkapan. Kapal giob menggunakan tenaga pendorong jenis

motor tempel berkekuatan 25 PK, 40 PK, dimana ada yang menggunakan 1 unit

dan ada juga menggunakan 2 unit. Jumlah penggunaan motor tempel disesuaikan

dengan ukuran kapal.

Alat tangkap giob yang digunakan oleh nelayan Kayoa, Halmahera Selatan

memiliki ukuran yang bervariasi. Panjang jaring berkisar 195-375 m dan dalam

kantong berkisar 12,8-22,5 m. Ukuran giob ini relatif kecil jika dibandingkan

dengan ukuran mini purse seine pada umumnya, terutama ukuran dalam (tinggi)

jaring. Karman (2008) melaporkan bahwa panjang mini purse seine yang

digunakan di pulau Mayau berkisar 150,00-400,00 m, lebar (tinggi) berkisar

30,00-60,00 m. Namsa (2006) menginformasikan bahwa soma pajeko mini purse

seine yang dioperasikan di perairan Tidore mempunyai panjang berkisar antara

200-350 mdan lebar berkisar 45-50 m.

Salah satu faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah

panjang jaring, berdasarkan hasil penelitian Irham (2006) dan Namsa (2006),

faktor teknis panjang jaring mini purse seine (soma pajeko) di Maluku Utara dan

Kota Tidore Kepulauan memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap hasil

tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan ukuran panjang jaring

mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan (produksi). Faktor

panjang purse seine dilaporkan juga signifikan untuk produksi ikan yang

ditangkap dengan purse seine di Pekalongan (Sudibyo 1998) dan di Pengabengan

Kabupaten Jembrana Bali (Sugiarta 1992). Menurut Friedman (1986), secara

teoritis jika semakin panjang purse seine yang digunakan maka semakin besar

138

pula garis tengah lingkaran yang dibentuk, sehingga semakin besar peluang

gerombolan ikan yang tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan

ikan dengan dinding purse seine semakin besar dan gerombolan ikan tersebut

semakin besar peluangnya untuk tertangkap.

Jumlah nelayan yang mengoperasikan giob berkisar 7-12 orang. Salah satu

faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan adalah jumlah nelayan

(tenaga kerja), berdasarkan hasil penelitian Irham (2006), faktor teknis jumlah

nelayan (tenaga kerja) di Maluku Utara memperlihatkan pengaruh yang nyata

terhadap hasil tangkapan, setiap penambahan atau pengurangan jumlah nelayan

(tenaga kerja) mengakibatkan peningkatan atau pengurangan hasil tangkapan

(produksi). Hal ini karena proses penurunan (setting) maupun penarikan (hauling)

giob tidak menggunakan alat bantu namun mengandalkan tenaga manusia. Tenaga

manusia bukan hanya digunakan pada saat menurunkan dan menarik jaring saja,

tetapi setelah proses setting dan hauling giob selesai dilakukan, tenaga mereka

juga di butuhkan untuk mengangkat hasil tangkapan ke atas kapal.

8.3 Keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung

Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih kembali, maka

dalam pemanfaatannya tidak boleh melewati batas-batas kemampuan sumberdaya

untuk pulih kembali (King 1995). Namun jika sumberdaya ini terancam

kepunahan (kolaps), maka untuk memperbaikinya memerlukan biaya yang mahal

dan waktu yang panjang. Penelitian biologi reproduksi sangat bermanfaat untuk

memahami regenerasi tahunan dari stok ikan (Cortes 2000). Parameter biologi

seperti ukuran ikan pertama matang gonad, frekuensi pemijahan, fekunditas dan

rekruitmen dapat menjelaskan nilai prediksi perikanan dan dapat digunakan untuk

memformulasikan pengelolaan perikanan secara rasional (Widodo 2001).

Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum

dan sesudah ikan memijah (Effendie 1979). Penentuan tingkat kematangan gonad

sangat penting dilakukan, karena sangat berguna untuk mengetahui perbandingan

antara gonad yang masak dengan stok yang ada di perairan, ukuran pemijahan, musim

pemijahan dan lama pemijahan dalam suatu siklus (Effendie 1997).

Dalam penelitian ini menemukan dominasi ikan julung-julung betina

dewasa atau matang gonad di perairan Kayoa, menunjukkan bahwa ikan-ikan ini

139

dieksploitasi pada daerah pemijahan. Hasil pengamatan menunjukkan ikan julung-

julung jantan dan betina yang telah matang gonad ditemukan sepanjang periode

penelitian dengan jumlah terbanyak ditemukan pada bulan September dan

Oktober. Secara terpisah jantan dan betina menunjukkan perbedaan fase matang

gonad. Pada bulan Januari, Februari, dan Maret ikan julung-julung betina yang

tertangkap didominasi matang gonad (TKG IV) sebaliknya jantan telah melewati

matang gonad didominasi TKG V. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran

julung-julng di perairan Kayoa adalah dengan tujuan memijah.

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara

untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan, seperti bilamana

ikan akan memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Berkurangnya

populasi ikan di masa mendatang dapat terjadi karena ikan yang tertangkap adalah

ikan yang akan memijah atau ikan belum pernah memijah, sehingga sebagai

tindakan pencegahan diperlukan penggunaan alat tangkap yang selektif.

Hasil pengamatan terhadap jumlah ikan julung-julung yang matang gonad

pada berbagai ukuran panjang tubuh menunjukkan bahwa julung-julung jantan

mencapai kematangan gonad pertama kali pada ukuran panjang total rata-rata 164

mm (16,4 cm) dan betina pada ukuran 156,56 mm (15,66 cm). Saat pertama kali

ikan mencapai kematangan gonad menurut Effendie (1997), dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya, spesies, umur ikan, ukuran dan kemampuan adaptasi

ikan terhadap lingkungan (faktor internal) serta makanan, suhu dan arus (faktor

eksternal). Perbedaan ukuran ikan pada saat pertama kali matang gonad tidak

sama disebabkan oleh perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi ikan itu sendiri.

Berdasarkan analisis parameter pertumbuhan diperoleh koefisien

pertumbuhan (k) yang lebih 0,650, diduga siklus hidup ikan julung-julung di

perairan Kayoa adalah tidak terlalu panjang. Berdasarkan analisis von Bertalanffy

diduga umur ikan julung-julung hanya 3,66 tahun. Dalam rangka untuk

mendorong pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung berkelanjutan,

pengelolaan yang sangat tepat dapat diperlukan agar sumberdaya ikan julung-

julung termanfaatkan dengan baik dan tepat. Studi tentang kapan dan dimana

sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi pada tingkat optimum diperlukan.

Hal ini dimaksudkan jika waktu eksploitasinya tidak tepat, dua hal akan terjadi,

140

pertama adalah sumberdaya ikan akan terbuang sia-sia karena terlambat

mengeksploitasi dan kedua adalah sumberdaya dieksploitasi pada kondisi belum

mempunyai kemampuan yang cukup untuk regenrasi.

Sebagai sumberdaya ikan yang masa hidupnya relatif pendek, ikan julung-

julung akan mati secara alami jika tidak tereksploitasi pada waktunya. Diduga

kuat hal ini telah terjadi pada sumberdaya ikan julung-julung di perairan Kayoa

yang ditunjukkan dengan variabel kematian alami (M) relatif lebih besar

walaupun masih lebih besar kematian karena penangkapan (F). Disamping itu

berdasarkan tingkat kematangan gonad, ikan julung-julung di perairan Kayoa

dalam kondisi baik karena lebih dari 50% sampel ikan adalah matang gonad.

Prediksi pola pergerakan gerombolan ikan menurut (Wooton 1990) adalah

tiga macam, yaitu (1) habitat tempat tinggal, (2) habitat tempat makan, dan (3)

habitat tempat bertelur. Ikan julung-julung di perairan Kayoa secara bergeromol

melakukan pergerakan melintasi perairan selat diantara pulau-pulau kecil dan

memasuki kawasan teluk tertentu pada sore hari. Hal ini sesuai dengan fakta

bahwa pengoperasian giob dilakukan bersamaan dengan pergerakan julung-julung

tersebut yaitu pada sore hari. Berdasarkan pengamatan, diduga bahwa ruaya ikan

julung-julung bertujuan untuk bertelur maupun mencari makan. Hasil penelitian

membuktikan bahwa banyaknya jumlah ikan tertangkap pada TKG IV dan V

diduga perairan Kayoa merupakan tempak bertelur julung-julung, sedangkan

ruaya dilakukan pada waktu sore hari dapat diinterpretasikan bahwa waktu

pemijahan julung-julung berlangsung pada sore menjelang malam hari. Hasil

penelitian juga menginformasikan bahwa salah satu makanan kesukaan julung-

julung adalah serasah atau daun mangrove atau daun lamun yang telah mengalami

proses pelapukan. Fakta di lokasi menunjukkan bahwa mangrove dan lamun

merupakan potensi sumberdaya fisik lingkungan di wilayah peisisir Kayoa.

8.4 Pengembangan Perikanan Giob

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan disertasi ini, bahwa

tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk merumuskan strategi

pengembangan perikanan giob yang berkelanjutan di Kayoa, Halmahera Selatan.

Wujud dari tujuan ini adalah menghasilkan lima strategi yang urutannya sebagai

141

berikut: (1) pengawasan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan julung-julung, (2)

pelatihan terhadap nelayan perikanan giob, (3) inovasi teknologi alat tangkap

giob, (4) kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan, (5) optimasi tangkapan

ikan julung-julung.

1) Pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan julung-julung

Pengawasan terhadap sumberdaya ikan julung-julung dilakukan terutama

terkait dengan pengaturan waktu penangkapan dan ukuran ikan yang tertangkap.

Hal ini didasarkan pada aspek bioekologi ikan yang meliputi TKG, ukuran ikan

pertama kali matang gonad, perbandingan mortalitas penangkapan dan mortalitas

alami, tingkat pemanfaatan dan jenis dan jumlah makanan dari ikan julung-julung

yang tertangkap. Mengingat sumberdaya ikan julung-julung dieksploitasi dengan

intensitas yang tinggi maka dianggap akan mempengaruhi keberlanjutan populasi

ini dimasa yang akan datang. Tindak lanjut dari pengawasan itu sendiri harus

didorong oleh pemerintah dengan menyusun aturan tentang waktu yang tepat

untuk melakukan penangkapan ikan dan kapan waktu yang tidak dapat dilakukan

penangkapan. Pengaturan tersebut diharapkan kontinuitas sumberdaya pada

tahun-tahun berikutnya tetap terjaga. Perlu adanya koordinasi yang baik dan

kebijakan pengelolaan antara pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Selatan

dengan pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Pengawasan terhadap daerah penangkapan ikan terutama diarahkan pada

kondisi habitat wilayah pesisir. Kayoa sebagai wilayah kepulauan yang terdiri dari

gugusan pulau-pulau kecil dimana posisirnya rentan terhadap tekanan penduduk

untuk memenuhi segala kebutuhannya. Wilayah pesisir pulau-pulau Kayoa

memiliki karakteristik seperti ditumbuhi mangrove, karang dan lamun merupakan

penghasil komponen pendukung produktivitas primer di wilayah pesisir. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ikan matang gonad sepanjang tahun diduga bahwa

wilayah pesisir merupakan tempat memijahnya ikan julung-julung. Sebagaimana

telah dilaporkan oleh Talwar (1967), bahwa kawasan bertelur bagi julung-julung

spesies Hemiramphus marginatus berada di garis pantai pada kondisi kawasan

yang berbatu dan mengandung rumput laut. Selain itu hasil penelitian juga

mengungkap bahwa salah satu jenis makanan utama julung-julung adalah serasah

yaitu daun mangove atau lamun yang lapuk mengidikasikan bahwa wilayah

142

perairan kayoa merupakan tempat makan bagi julung-julung. Tindak lanjut dalam

pengawasan ini dilakukan untuk mengatur wilayah yang dapat dimanfaatkan dan

wilayah mana yang tidak dapat dimanfaatkan. Hal ini dilakukan untuk

mengurangi tindakan pengrusakan terhadap ekosistem pesisir yang dapat

mempengaruhi habitat julung-julung.

Pengawasan terhadap penangkapan illegal lebih ditekankan pada

penggunaan bahan dan alat tangkap terlarang yang dapat menyebabkan rusaknya

lingkungan perairan. Kayoa sebagai wilayah yang relatif jauh dari pusat

pemerintahan provinsi maupun kabupaten berpeluang untuk dimanfaatkan oleh

oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menggunakan alat dan bahan

yang ilegal untuk menguras potensi yang tersedia. Kondisi wilayah ini juga sangat

strategis karena terdiri dari pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai tempat

berlindung untuk melakukan tindakan yang ilegal.

Pengawasan terhadap pengolahan hasil tangkapan menjadi ikan asap kering

(galafea) terutama terhadap penggunaan mangrove sebagai bahan kayu bakar. Hal

ini disebabkan karena ada anggapan bahwa pengasapan dengan menggunakan

kayu mangrove akan menghasilkan kualitas produk yang prima. Hingga saat ini

belum ada bahan kayu bakar pengganti mangrove. Jika kondisi ini tidak

diantisipasi maka tindakan penebangan pohon mangrove terjadi setiap saat,

sehingga dikhwatirkan akan dapat mengancam ekosistem mangrove. Tindakan

untuk menghentikan kegiatan ini tidak mungkin karena tidak ada pilihan lain.

Untuk itu solusinya adalah adanya pengawasan untuk mengatur wilayah yang

seharusnya ditebang, jumlah yang harus di ambil, jenis yang diambil, ukuran yang

diambil.

Pengawasan terhadap jaringan pemasaran produk ikan julung-julung

terutama produk dalam bentuk asap kering perlu mendapat perhatian. Tujuan

pemasaran produk julung-julung kering secara khusus merata di wilayah Provinsi

Maluku Utara, tetapi secara nasional tujuan pemasaran hanya terbatas di beberapa

wilayah di kawasan Timur Indonesia. Tercatat beberapa wilayah tujuan

pemasaran adalah Manado, Bitung, Gorontalo, Kendari, Makassar dan Surabaya.

Jaringan pemasaran selama ini dikendalikan oleh beberapa pengusaha di Kota

Ternate, dan Kota Tidore. Status para pelaku pemasaran bukan merupakan

143

pengusaha giob, tetapi memanfaatkan modal mereka untuk membeli dan

mengumpulkan hingga pada jumlah ukuran tertentu kemudian mengirimkan ke

tujuan pemasaran. Para pelaku jugu memberikan pinjaman berupa uang maupun

bahan bakar minyak (BBM) kepada pemiliki giob, sebagai ikatan bisnis untuk

mendapatkan hasil dari pemilik giob. Cara ini dianggap membantu dan

mempermudah para pemilik giob dalam mengoperasikan giobnya, tetapi pemiliki

giob tidak leluasa untuk menentukan harga produk julung-julung. Kondisi ini

menyebabkan jaringan pemasaran menjadi panjang dan proporsi nelayan

berkurang atau jauh dari yang diharapkan. Sehingga solusinya adalah harus

dirancang regulasi untuk sistem pemasaran julung-julung.

(2) Pelatihan dan penyuluhan terhadap nelayan perikanan giob

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengembangkan

kepribadian nelayan, menigkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan

keterampilan nelayan, meningkatkan kemampuan berkarya nelayan, dan

meningkatkan kemampuan nelayan dalam menyikapi dan berperilaku dalam

berkarya sehingga dapat mandiri, menilai dan mengambil keputusan dalam

mengolah usaha perikanan secara bertanggung jawab. Dasar dilakukan pelatihan

dan penyuluhan adalah menjaga dan mempertahankan keberlangsungan

sumberdaya ikan julung-julung. Kegiatan ini dilakukan di desa-desa basis

perikanan giob. Metode pelatihan ini melibatkan nelayan, pemilik giob, tokoh

masyarakat, tokoh pemuda dan perempuan. Materi pelatihan ini meliputi (1)

upaya menjaga dan mempertahankan keberlangsungan sumberdaya ikan julung-

julung, (2) kesadaran akan pentingnya menjaga dan mempertahankan ekosistem

pesisir, (2) undang-undang ketenagakerjaan, (3) kelayakan usaha perikanan.

Bahan dan materi dalam pelatihan ini merupakan tindak lanjut dari hasil

kajian pada bab-bab sebelumnya. Membangun kesadaran nelayan akan pentingnya

menjaga dan mempertahankan keberlanjutan sumberdaya ikan julung-julung

ditanamkan kepada nelayan akan berguna terutama dalam pengaturan waktu

penangkapan dan daerah penangkapan. Hasil kajian tentang isi lambung ikan

julung-julung menginformasikan bahwa serasah merupakan salah satu jenis

makanan kesukaan julung-julung. Informasi ini dapat dijadikan dasar materi

144

pelatihan yang berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya menjaga dan

mempertahankan ekosistem peisir.

Dalam prakteknya, operasi pelepasan jaring dilakukan dengan menerjunkan

salah satu anggota ABK ke laut bersamaan dengan pelampung tanda, sebenarnya

membahayakan. Anggota ABK yang bertugas seperti ini direkrut dari anak-anak

sisiwa SD atau putus sekolah. Walaupun belum ada informasi tentang kecelakaan

akibat penerapan metode ini, tetapi peluang terbelit oleh tali dan badan jaring

dapat mengakibatkan kecelakaan. Solusinya adalah membangun pengetahuan

yang terkait dengan penerapan undang-undang ketenagakerjaan sangat penting

untuk nelayan giob.

Usaha perikanan giob, sepeti usaha perikanan tradisional lainnya tidak

memiliki standar usaha yang jelas. Nelayan yang memiliki kelebihan finasial

cenderung memperbesar ukuran kapal dan alat tangkapnya dengan harapan akan

mendapatkan hasil yang lebih banyak. Sebaliknya nelayan yang tidak memiliki

modal yang cukup terkesan sangat memaksakan untuk mempertahankan

keberlanjutan usahnya. Hasil kajian tentang kelayakan usaha dengan

membandingkan ukuran kapal miliki nelayan di Kayoa, mendapatkan bahwa

kapal berukuran 10 GT memiliki tingkat kelayakan yang lebih baik dari ukuran

yang lain. Hasil kajian ini perlu disampaikan kepada nelayan melalui penyuluhan,

sehingga diharapkan usaha perikanan giob tetap berkelanjutan.

(3) Inovasi teknologi perikanan giob

Strategi ini bertujuan untuk merubah sikap dan alih teknologi

penangkapan nelayan giob. Perikanan giob merupakan salah satu bentuk

perikanan yang mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dianggap sulit untuk

menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Nilai-nilai tradisional ini mulai dari

pembuatan kapal dan alat tangkap, spesifikasi nelayan, operasi penangkapan ikan,

pembagian hasil, pengolahan hasil dan pemasaran hasil. Penerapan nilai-nilai

tradisional ini dianggap sangat sesuai dengan perkembangan dunia perikanan.

Walaupun demikian setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu mendapat

perhatian terkait perkembangan dunia perikanan yaitu: (1) spesifikasi nelayan

dalan operasi penangkapan ikan dan pembagian hasil, (2) pengguaan alat bantu

rumpon, (3) pengolahan dan pemasaran.

145

Dalam pengoperasian alat tangkap, nelayan giob tidak mengenal

pembagian pekerjaan yang sepesifik. Sistem yang diterapkan adalah saling

melengkapi jika suatu bagian dianggap lebih berat untuk ditangani. Hal yang

menarik dan menjadi perhatian adalah saat mengejar gerombolan ikan, giob tidak

memiliki satu komando yang menyebabkan kapal selalu bergerak mengikuti

banyak petunjuk, sehingga terkesan terjadinya pemborosan waktu dan

pemborosan penggunaan bahan bakar minyak. Penerapan sistem kerja saling

melengkapi inilah dapat mempengaruhi pembagian hasil merata untuk semua

ABK. Dalam rangka pengembangan perikanan giob yang sesuai dengan

perkembangan dunia perikanan maka sistem ini harus dirubah, sehingga setiap

ABK memiliki tugas dan tanggung jawab yang dijalankan sesuai dengan hasil

yang akan diperoleh.

Operasi penangkapan ikan menggunakan metode mengejar gerombolan

ikan, sejak gerombolan ikan terdeteksi di daerah penangkapan ikan. Setelah giob

berada pada area yang memungkinkan maka salah satu nelayan bertugas

melepaskan potongan daun kelapa kering ke permukaan air laut yang berfungsi

sebagai atraktor, sehingga dapat menghambat kecepatan gerak gerombolan

julung-julung. Sebagai solusi untuk menghambat gerakan gerombolan julung-

julung maka solusi yang ditawarkan adalah penggunaan rumpon laut dangkal. Jika

metode ini diterapkan maka dapat diperkirakan akan menghemat waktu

penangkapan dan penggunaan bahan bakar minyak.

Pengolahan hasil tangkapan menjadi produk ikan julung-julung asap kering,

hingga saat ini menjadi primadona dalam perikanan giob. Hal yang menjadi

perhatian adalah penggunaan kayu mangrove sebagai bahan bakar dalam proses

pengasapan dianggap menyebabkan semakin tereksploitasinya potensi kayu

mangrov. Solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membangun ruang

pendingin di Kayoa, sehingga hasil tangkapan di tampung kemudian dipasarkan

dalam bentuk ikan segar atau beku.

(4) Kerjasama untuk membentuk wadah pengelolaan

Salah satu kendala yang dihadapi nelayan giob di Kayoa, Halmahera Selatan

adalah lemahnya posisi tawar ketika dihadapkan pada permasalahan prosedural.

Oleh karena itu dibutuhkan wadah untuk menyatukan segala potensi yang

146

dimiliki. Implementasi wadah dapat diwujudkan melalui penumbuhan kelompok-

kelompok nelayan giob di Kayoa yang secara bertahap diarahkan untuk

bergabung dalam wadah koperasi. Agar keberadaan koperasi dapat dirasakan oleh

anggotanya maka pembinaan koperasi diarahkan pada peningkatan akses pasar,

perkuatan permodalan, peningkatan manajemen usaha, dan peningkatan teknologi.

Strategi ini juga bertujuan agar perikanan giob berorientasi industri (tepat waktu,

tepat jumlah, tepat mutu).

Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu lebih dikembangkan adalah

kelompok nelayan, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan untuk

mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan jumlah nelayan

giob yang relatif dominan serta tergabung dalam suatu organisasi akan dapat

meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan yang bersangkutan. Tahap

berikutnya, kelompok nelayan tersebut secara bertahap dapat dikembangkan lebih

lanjut menjadi kelompok usaha bersama maupun koperasi untuk mendukung

pengembangan usaha anggota kelompok yang bersangkutan.

5) Optimalisi tangkapan ikan julung-julung

Secara internal kelemahan yang teridentifikasi pada stok julung-julung

adalah (1) mortalitas penangkapan lebih tinggi dari mortalitas alami, (2) status

eksploitasi di atas nilai optimal. Ancaman yang timbul karena campur tangan

manusia adalah kegiatan penangkapan dengan intensitas yang relatif tinggi. Untuk

meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman maka strateginya yaitu

optimalisasi penangkapan. Optimalisasi tersebut berkaitan dengan pengaturan

waktu efektif dalam operasi penangkapan julung-julung dengan giob, dan jumlah

hasil tangkapan optimal oleh nelayan. Pengaturan waktu penangkapan terutama

penghentian sementara operasi penangkapan pada waktu musim pemijahan akan

memberi kesempatan kepada induk ikan untuk memijah. Pada sisi lain

penangkapan pada waktu di luar musim pemijahan harus dioptimalkan, karena

pertimbangan usia hidup julung-julung yang terbatas. Hal ini jika tidak

dimanfaatkan maka sumberdaya tersebut akan mati dengan sia-sia. Solusi ini

dapat dijalankan melalui kesepakatan para nelayan, yang difasilitasi oleh

pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan.