7-Demam
description
Transcript of 7-Demam
DEMAM DAN HIPERTERMI
I. Pendahuluan
1.1. Demam
Temperatur tubuh normal dipertahankan pada suhu ≤ 37oC/ 98,9oF pada pagi hari dan ≤
37,7oC/ 99,9oF pada sore hari karena pengaturan dari pusat pengatur suhu di hypothalamus yang
mengatur keseimbangan antara produksi panas dari aktifitas metabolik di otot dan hati dengan
kehilangan panas dari kulit dan paru-paru. Demam didefinisikan sebagai peningkatan dari suhu
tubuh normal yang berhubungan dengan peningkatan dalam hyphothalamic set point. Kasus
infeksi adalah yang paling sering. (1)
Pada penelitian pada orang sehat usia 18-40 tahun, rata-rata suhu tubuh pada pengukuran
oral adalah 36,8 ± 0,4 oC ( 98,2 ± 0,7 oF ), dengan suhu terendah pada jam 6 pagi dan suhu
tertinggi pada jam 4 – 6 sore. Suhu tubuh tertinggi pada pengukuran oral adalah 37,2 oC (98,9oF)
pada jam 6 pagi dan 37,7 oC (99,9 oF) pada jam 4 sore. Pada penelitian tersebut, suhu tubuh pada
pagi hari > 37,2 oC (>98,9 oF ) atau suhu tubuh pada sore hari >37,7 oC (>99,9 oF) didefinisilkan
sebagai demam. Variasi suhu tubuh normal berkisar 0,5 oC (0,9 oF).(2)
Pergeseran set poin dari “normotermik” ke derajat febris ini sangat menyerupai pengaturan
termostat rumah ke derajat yang lebih tinggi untuk meningkatkan temperatur ruangan. Apabila set
poin hipotalamus meningkat, neuron-neuron dalam pusat vasomotor akan teraktivasi dan
dimulailah vasokonstriksi. Proses koservasi panas (vasokonstriksi) dan produksi panas (menggigil
dan peningkatan aktivitas metabolisme) akan berlanjut sampai temperatur darah di mana neuron-
neuron hipotalamus terendam sesuai dengan pengaturan termostat yang baru. Jika poin tersebut
tercapai, hipotalamus akan mempertahankan temperatur pada derajat febris dengan mekanisme
keseimbangan panas yang sama dengan keadaan afebris. Apabila set poin hipotalamus kembali
turun (akibat menurunnya konsentrasi pirogen atau penggunaan antipiretik), proses kehilangan
panas melalui vasodilatasi dan berkeringat akan dimulai. Pada keadaan ini perilaku berubah
termasuk melepaskan pakaian yang tadinya berlapis-lapis atau tidak memakai selimut. Kehilangan
panas dengan berkeringan dan vasodilatasi berlanjut sampai temperatur darah pada hipotalamus
sesuai dengan pengaturan yang lebih rendah.
Demam > 41,5oC disebut hiperpireksia. Demam yang luar biasa tinggi ini dapat terjadi pada
pasien dengan infeksi berat tapi paling umum timbul pada pasien dengan perdarahan sistem saraf
pusat. Pada era preantibiotik, demam akibat berbagai penyakit infeksi jarang melebihi 41oC dan
telah terjadi spekulasi bahwa panas tinggi yang natural ini diperantarai oleh neuropeptida yang
berfungsi sebagai antipiretik pusat.
Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, set poin hipotalamus meningkat sebagai akibat
dari trauma lokal, perdarahan, tumor, atau malfungsi intrinsik hipotalamus. Istilah hypothalamic
fever / demam hipotalamus kadang digunakan untuk menggambarkan peningkatan temperatur
akibat fungsi hipotalamus yang abnormal. Bagaimanapun, hampir semua pasien dengan
kerusakan hipotalamus memiliki suhu tubuh subnormal, bukan supranormal. Pasien ini tidak dapat
memberikan respon yang tepat terhadap perubahan temperatur lingkungan yang ringan. Sebagai
contoh, ketika terpapar oleh suhu dingin yang ringan, temperatur inti mereka turun lebih cepat
daripada normal yang biasanya membutuhkan waktu beberapa jam. Pada sebagian kecil pasien,
di mana peningkatan temperatur inti dicurigai berhubungan dengan kerusakan hipotalamus,
diagnosis tergantung pada demonstrasi fungsi abnormal yang lain dari hipotalamus, seperti
produksi faktor pelepasan (releasing factors) dari hipotalamus, respon abnormal terhadap
temperatur dingin, dan tidak adanya temperatur sirkadian dan irama hormonal.
1.2 Hipertermia
Hipertermia ditandai dengan tidak berubahnya (normotermik) pengaturan pusat
termoregulator dalam hubungannya dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terkontrol, yang
melebihi kemampuan tubuh untuk mengatasi kehilangan panas. Paparan panas eksogen dan
produksi panas endogen merupakan dua mekanisme yang dapat menyebabkan hipertermia pada
temperatur internal yang tinggi dengan tingkat yang membahayakan. Produksi panas yang
berlebihan dapat menyebabkan hipertermia dengan mudah, dibandingkan dengan kontrol
temperatur tubuh secara fisiologis dan perilaku. Misalnya, pakaian terlalu tertutup dapat
menyebabkan peningkatan temperatur inti, dan olah raga di lingkungan panas mengakibatkan
produksi panas terjadi lebih cepat daripada pelepasan panas oleh mekanisme perifer.
Walaupun sebagian besar pasien dengan temperatur tubuh yang meningkat mengalami
demam, hanya sedikit keadaan di mana terdapat peningkatan temperatur bukan berupa demam,
melainkan hipertermia. Heat stroke disebabkan oleh kegagalan termoregulator dalam
hubungannya dengan lingkungan yang hangat, dapat dikategorikan sebagai eksersional dan
noneksersional. Exertional heat stroke khas timbul pada individu usia muda yang berolah raga di
lingkungan dengan temperatur dan/atau kelembaban yang lebih tinggi dari normal. Bahkan pada
individu normal, dehidrasi atau pengunaan obat yang umum (misalnya antihistamin dengan efek
samping antikolinergik yang dijual bebas) dapat memicu terjadinya exertional heat stroke.
Nonexertional atau exertional heat stroke secara khas timbul pada orang tua, terutama selama
terjadinya gelombang panas. Sebagai contoh, di Chicago pada bulan Juli 1995, 465 kematian
yang terjadi berhubungan dengan panas. Para lanjut usia, orang yang karena suatu hal harus
terus berbaring di tempat tidur, pengguna obat-obat antikolinergik atau antiparkinson atau diuretik,
dan orang yang berada di lingkungan dengan ventilasi buruk atau tanpa air conditioner, adalah
orang-orang yang paling rentan terkena nonexertional heat stroke.
Tabel 1. Penyebab Sindroma Hipertermia
Heat Stroke
Eksersional : berolah raga di lingkungan panas dan/atau kelembabannya melebihi normal
Non eksersional : antikolinergik, termasuk antihistamin; antiparkinson; diuretik, fenotiazin
Hipertermia yang diinduksi obat-obatan
Amfetamin, inhibitor monoamin oksidase; kokain; phensiklidin; antidepresan trisiklik; LSD
Sindroma neuroleptik maligna
Fenotiazin : butirofenon, termasuk haloperidol dan bromperidol; fluoksetin, loksapin;
dibenzodiazepin trisiklik; metoklopramid; domperidon; tiotiksen; molindon
Hipertermia maligna
Anestesi inhalasi; suksinil kolin
Endokrinopati
Tirotoksikosis
Feokromasitoma
Hipertermia akibat induksi obat sekarang telah umum terjadi sebagai akibat dari
meningkatnya penggunaan obat-obat psikotropika dan narkotika. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh inhibitor monoamin oksidase, antidepresan trisiklik, dan amfetamin, serta penggunaan
narkotika seperti pheniclidin, LSD (lysergic acid diethylamide), atau kokain.
Hipertermia maligna terjadi pada individu dengan retikulum sarkoplasmik otot skeletal
abnormal yang diturunkan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan cepat kadar kalsium intrasel
sebagai respon terhadap halotan dan anestesi inhalasi lainnya atau terhadap suksinilkolin.
Peningkatan termperatur, peningkatan metabolisme otot, rigiditas, rabdomiolisis, asidosis, dan
instabilitas kardiovaskuler berkembang dengan cepat. Kondisi ini seringkali fatal. Sindroma
neuroleptik maligna dapat timbul akibat fenotiazin dan obat-obat lain seperti haloperidol, dan
secara khas ditandai dengan rigiditas otot, disregulasi otonom, dan hipertermia. Gangguan ini
disebabkan oleh inhibisi reseptor dopamin pusat di hipotalamus, yang mengakibatkan peningkatan
produksi panas dan penurunan pembuangan panas. Tirotoksikosis dan feokromasitoma dapat
juga menyebabkan peningkatan termogenesis.
Membedakan demam dengan hipertermia merupakan hal yang sangat penting, mengingat
hipertermia cepat berakibat fatal dan memiliki karakteristik tidak memberi respon terhadap
antipiretik. Walaupun begitu, tidak ada cara cepat untuk membedakan kedua keadaan ini.
Hipertermia seringkali didiagnosis berdasarkan kejadian yang terjadi sesaat sebelum peningkatan
temperatur inti – misalnya paparan panas atau pengobatan dengan obat yang mempengaruhi
termoregulasi. Meskipun demikian, sebagai tambahan dalam riwayat penyakit pasien, aspek fisik
dari beberapa bentuk hipertermia dapat mengingatkan klinisi untuk waspada. Misalnya, pada
pasien dengan heat stroke syndromes dan pengguna obat-obatan yang menghambat pengeluaran
keringat, kulit teraba panas namun tidak kering.Terlebih lagi, antipiretik tidak dapat menurunkan
peningkatan temperatur pada hipertermia, di mana pada demam – dan bahkan pada hiperpireksia
– aspirin atau asetaminofen dengan dosis yang adekuat biasanya dapat menurunkan suhu tubuh.
II. PATOFISIOLOGI
2.1 Pirogen
Istilah pirogen digunakan untuk menggambarkan setiap substansi yang menyebabkan
demam. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh pasien; paling sering berupa produk mikroba,
toksin mikroba, atau seluruh bagian dari mikroorganisme. Contoh klasik dari pirogen eksogen
adalah endotoksin lipopolisakarida yang diproduksi oleh semua bakteri gram negatif. Endotoksin
bersifat poten tidak hanya sebagai pirogen, tapi juga sebagai penginduksi atas berbagai
perubahan patologis pada infeksi gram negatif. Grup lain dari pirogen bakteri yang poten adalah
produk organisme gram positif dan termasuk enterotoksin dari Staphylococcus aureus dan toksin
Streptokokkus grup A dan B, yang disebut juga superantigen. Salah satu toksin stafilokokkus yang
penting secara klinis adalah toksin sindroma syok toksik. Toksin ini berkaitan dengan S. aureus
yang diisolasi dari pasien dengan sindroma syok toksik. Seperti endotoksin dari bakteri gram
negatif, toksin yang diproduksi stafilokokkus dan streptokokkus menyebabkan demam pada hewan
percobaan setelah disuntik intravena dengan kadar toksin < 1 g/kg berat badan. Endotoksin
merupakan molekul pirogen tinggi pada manusia; dosis 2 sampai 3 ng/kg sudah menyebabkan
demam dan gejala malaise yang terjadi pada hampir semua sukarelawan percobaan.
2.2 Sitokin pirogen
Sitokin adalah protein berukuran kecil (massa molekul 10.000 sampai 20.000 Da) yang
mengatur kekebalan, inflamasi, dan proses hematopoietik. Sebagai contoh, stimulasi proliferasi
limfosit selama respon imun terhadap vaksinasi disebabkan oleh sitokin interleukin (IL) 2, IL-4, dan
IL-6. Sitokin lain, granulocyte colony-stimulating factor, menstimulasi granulositopoiesis di sumsum
tulang. Dari sudut pandang sejarah, biologi sitokin dimulai pada 1940-an dengan penelitian
laboratorium berupa induksi demam oleh produk dari leukosit yang sudah teraktivasi. Molekul
penyebab demam ini disebut pirogen endogen. Ketika pirogen endogen dimurnikan dari lekosit
yang teraktivasi, tampaknya mereka memiliki berbagai aktivitas biologis, yang sekarang dikenal
sebagai bagian dari berbagai sitokin.
Sitokin piruogen yang telah dikenal antara lain IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF),
cilliary neurotropic factor (CNTF), dan interferon (IF) . Mungkin masih terdapat sitokin lain. Setiap
sitokin dilambangkan dengan gen yang terpisah, dan setiap sitokin pirogen terlihat menyebabkan
demam dalam percobaan laboratorium pada hewan dan manusia. Apabila disuntikkan pada
manusia, IL-1, IL-6, dan TNF dapat memproduksi panas pada dosis rendah (10-100 ng/kg).
Sintesis dan pelepasan sitokin pirogen endogen diinduksi oleh pirogen eksogen
berspektrum luas, dengan sebagian besar dikenal bersumber dari bakteri atau jamur. Virus juga
menginduksi sitokin pirogen dengan menginfeksi sel-sel. Walaupun begitu, tidak adanya infeksi
mikroba, inflamasi, trauma, nekrosis jaringan, atau kompleks antigen-antibodi, dapat menginduksi
produksi IL-1, TNF, dan/atau IL-6 yang akan – secara tunggal atau kombinasi – memicu
hipotalamus untuk meningkatkan set poin ke derajat febris. Sumber seluler dari sitokin pirogen
terutama berasal dari monosit, neutrofil, dan limfosit, walaupun masih banyak tipe sel yang dapat
menghasilkan molekul-molekul ini jika terstimulasi.
2.3 Elevasi set poin hipotalamus oleh sitokin
Selama demam, kadar prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dalam jaringan hipotalamus dan
ventrikel serebri ketiga. Konsentrasi PGE2 tertinggi di dekat organ vaskuler sirkumventrikuler
(organum vasculosum dari lamina terminalis), merupakan jaringan kerja dari kapiler yang
membesar yang mengelilingi pusat regulator hipotalamus. Kerusakan pada organ-organ ini
mengurangi kemampuan pirogen untuk menyebabkan demam. Kebanyakan penelitian pada
hewan telah gagal memperlihatkan, bagaimanapun juga, bahwa sitokin pirogen keluar melalui
sirkulasi menuju otak itu sendiri. Selain itu, tampaknya pirogen endogen maupun eksogen
berinteraksi dengan endothel kapiler-kapiler ini dan interaksi tersebut merupakan tahap awal
dalam inisiasi demam – yaitu untuk meningkatkan set poin menuju level febris.
Infeksi, toksin mikroba, mediator
inflamasi, reaksi imunToksin mikroba Demam
Konservasi panas, produksi panas
Siklik AMPSet poin pada termoregulator
meningkat
Monosit / makrofag, sel endothel, lain-lain
PGE2
Endothel Hipotalamus
Sitokin pirogenIL-1, IL-6, TNF, IFN
Diagram 1. Kronologi Peristiwa yang terjadi dalam Induksi Demam
Beberapa tipe sel menghasilkan dapat menghasilkan sitokin pirogenik, seperti monosit atau
makrofag dan sel-sel endotel. Sitokin-sitokin tersebut kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi
sistemik, menginduksi pembentukan PGE2 di sentral (bertanggung jawab untuk terjadinya
demam) dan perifer (bertanggung jawab untuk terjadinya mialgia dan artralgia non-spesifik yang
sering menyertai demam).
III. PENDEKATAN TERHADAP PASIEN
3.1 Anamnesis
Upaya penegakan diagnosis pada demam merupakan perpaduan antara ilmu dan seni
dalam dunia kedokteran. Tidak ada situasi klinis lain di mana anamnesis yang sangat cermat dan
teliti memiliki arti yang begitu penting. Perhatian lebih harus ditujukan pada kronologis gejala
penyakit dalam hubungannya dengan penggunaan obat (termasuk obat atau jamu yang diminum
tanpa pengawasan dokter) atau tindakan medis seperti bedah dan prosedur kedokteran gigi. Jenis
bahan dasar dari benda-benda prostetik atau implan yang digunakan pasien harus dipastikan
dengan tepat. Anamnesis riwayat pekerjaan pasien yang cermat termasuk paparan terhadap
binatang, uap/gas beracun, agen potensial infeksius, antigen; atau individu lain di rumah pasien
yang menderita demam atau penyakit infeksi. Anamnesis mengenai keadaan geografis di
lingkungan tempat tinggal penderita dan riwayat melakukan perjalanan harus termasuk lokasi
penugasan pada anggota militer. Keterangan tentang hobi yang tidak umum, kecenderungan diet
(seperti makan daging mentah atau setengah matang, ikan mentah, dan susu atau keju tanpa
proses pasteurisasi), dan hewan peliharaan harus ditanyakan, juga keterangan tentang orientasi
dan kegiatan seksual, termasuk tindakan pencegahan yang dilakukan atau diabaikan. Perhatian
harus ditujukan pada penggunaan tembakau, mariyuana, obat-obatan intravena, alkohol, gigitan
binatang, gigitan serangga atau tuma, dan riwayat transfusi, imunisasi, alergi obat, atau
hipersensitivitas. Anamnesis riwayat keluarga yang teliti harus termasuk penyakit TBC dalam
keluarga, demam atau penyakit infeksi lain, penyakit kolagen atau vaskuler, atau simtomatologi
familial yang tidak umum seperti ketulian, urtikaria, demam, dan poliserositis, nyeri tulang, atau
anemia. Suku bangsa mungkin penting. Misalnya orang kulit hitam lebih cenderung menderita
hemoglobinopati. Orang Turki, Arab, Armenia, dan Yahudi sephardis cenderung mendapat demam
mediteranian familial.
3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat dan teliti harus diulang secara reguler. Seluruh tanda-tanda
vital relevan. Suhu tubuh dapat diukur melalui oral atau rektal, tetapi tempat pengukuran harus
konsisten. Suhu aksilla sudah terkenal tidak dapat dipercaya. Perhatian khusus harus ditujukan
pada pemeriksaan fisik harian (atau kadang-kadang lebih sering), yang harus diteruskan sampai
diagnosis dapat dipastikan dan respon yang diharapkan telah dicapai. Hal lain yang harus
diperhatikan secara istimewa adalah kulit, kelenjar getah bening, mata, kuku, sistem
kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem muskuloskeletal, dan sistem saraf. Pemeriksaan rektal
harus dilakukan. Penis, prostat, skrotum, dan testis harus diperiksa secara cermat. Pemeriksaan
panggul harus menjadi bagian dari setiap pemeriksaan fisik lengkap pada wanita, untuk mencari
penyebab demam seperti penyakit radang panggul dan abses tubo-ovarium.
3.3 Pemeriksaan Laboratorium
Sedikit tanda dan gejala dalam kedokteran yang memiliki kemungkinan diagnosis
sebanyak demam. Jika anamnesis, situasi epidemiologis, atau pemeriksaan fisik mengesankan
lebih dari sekedar penyakit virus sederhana atau faringirtis streptokokkal, maka pemeriksaan
laboratorium merupakan indikasi. Waktu dan kerumitan pemeriksaan tergantung dari
perkembangan penyakit, pertimbangan diagnostik, dan status imunitas dari pasien. Jika
penemuan klinis sudah jelas atau jika anamnesis, keadaan epidemiologis, atau hasil pemeriksaan
fisik memberikan diagnosis pasti, pemeriksaan laboratorium dapat terfokus. Apabila demam tidak
spesifik, upaya penegakan diagnosis harus dilakukan lebih lanjut, dan beberapa pedoman
diindikasikan, seperti yang akan diterangkan sebagai berikut :
3.3.1 Patologi Klinik
Pemeriksaan seharusnya meliputi hitung darah lengkap, hitung jenis sebaiknya dilakukan
secara manual atau dengan alat yang sensitif terhadap identifikasi eosinofil, bentuk sel darah
muda (juvenile) atau pita, granulasi toksik, dan badan Dohle, tiga pemeriksaan terakhir cenderung
ke arah infeksi bakteri. Neutropenia mungkin terjadi pada beberapa infeksi virus, terutama infeksi
parvovirus B 19; reaksi obat; SLE; tifoid; brucellosis; dan penyakit infiltratif pada sumsum tulang,
termasuk limfoma, leukemia, tuberkulosis, dan histoplasmosis. Limfositosis dapat timbul pada
tifoid, brucellosis, tuberculosis, dan penyakit virus. Limfosit atipik terdapat pada banyak penyakit
virus, termasuk infeksi virus Eipstein-Barr, cytomegalo, atau HIV; dengue; rubella; varicella;
campak; virus hepatitis. Abnormalitas ini juga timbul pada serum sickness dan toksoplasmosis.
Monositosis merupakan gambaran dari tifoid, tuberkulosis, brucellosis, dan limfoma. Eosinofilia
dapat menyertai reaksi hipersensitivitas terhadap obat, penyakit Hodgkin, insufisiensi adrenal, dan
infeksi metazoa tertentu. Jika demam yang terjadi berat atau memanjang, apus darah harus
diperiksa secara seksama terhadap malaria atau babesial patogen (jika sesuai), juga terhadap
gambaran morfologi yang klasik, dan kadar sedimentasi eritrosit harus diukur. Urinalisis dengan
pemeriksaan sedimen urin merupakan indiasi. Sudah merupakan aksioma bahwa pada setiap
akumulasi abnormal cairan (pada pleura, peritoneum, sendi), walaupun sudah pernah diambil
sampel sebelumnya, pemeriksaan ulang harus dipertimbangkan pada demam yang belum
terdiagnosis. Cairan sendi sebaiknya diperiksa untuk mengetahui adanya bakteri dan kristal.
Biopsi sumsum tulang (bukan aspirasi sederhana) untuk pemeriksaan histopalogi (juga kultur)
merupakan indikasi jika mungkin terjadi infiltrasi patogen atau sel tumor pada sumsum tulang.
Feses harus diperiksa untuk mencari darah samar, leukosit, telur atau parasit.
3.3.2 Kimiawi
Elektrolit, glukosa, blood urea nitrogen, dan kadar kreatinin seharusnya diperiksa. Tes
fungsi hati biasanya diindikasikan jika upaya untuk menentukan penyebab demam tidak
menunjukkan adanya keterlibatan organ lain. Pemeriksaan tambahan (misalnya pemeriksaan
kadar kratinin fosfokinase atau amilase) dapat dilakukan sesuai perkembangan.
3.3.3 Mikrobiologi
Pemeriksaan apus dan kultur dari tenggorokan, uretra, anus, serviks, dan vagina
sebaiknya dilakukian jika tidak ada penemuan klinis yang terlokalisir atau jika terdapat kesan
keterlibatan pelvis atau traktus gastrointestinalis. Jika timbul kecurigaan terhadap infeksi traktus
respiratorius, evaluasi sputum (pewarnaan Gram, pewarnhaan terhadap basil tahan asam, kultur)
merupakan indikasi. Kultur darah, pemeriksaan cairan abnormal, dan urin merupakan indikasi
apabila diduga terjadi penyakit yang lebih kompleks dari infeksi virus sederhana. Cairan
serebrospinal harus diperiksa dan dilakukan kultur jika terjadi meningismus, sakit kepala hebat,
atau perubahan dalam status mental.
3.3.4 Radiologi
Foto rontgen dada biasanya menjadi bagian dari evaluasi pada setiap keadaan demam
yang signifikan.
3.4 Hasil dari Upaya Penegakan Diagnosis
Pada sebagaian kasus demam, baik pasien sembuh spontan atau dari anamnesis,
pemeriksaan fisisk dan skrining laboratorium awal akan mengarah pada suatu diagnosis. Apaila
demam berlanjut sampai 2-3 minggu, dan jika selama itu pemeriksaan fisik berulang dan
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tidak memberikan jawaban yang pasti, maka pasien
didiagnosis menderita fever of unknown origin (FUO).
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. 2002. Important Signs and
Symptoms : Fever & Hyperthermia. Dalam Harrison’s Manual of Medicine 16th Edition. India: McGraw-
Hill International.
Dinarello, CA; Gelfand, JA. 2001. Cardinal Manifestations and Presentasion of Diseases : Alterations in
Body Temperature : Fever and Hyperthermia. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th
Edition. Editor: Braunwald, E; Fauci, AS; Kasper, DL; Hauser, SL; Longo, DL; Jameson, JL. USA:
McGraw-Hill International.
Mattingly, D; Seward, C. 1989. Demam. Dalam Bedside Diagnosis edisi Ke-13. Editor Bahasa Indonesia :
Soeliadi Hadiwandowo, cetakan tahun 1996. Semarang : Gadjah Mada University Press.
___________________
Modul 3 :
DEMAM & HIPERTERMIA
Disusun oleh :
Mohamad Luthfi, dr.
Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unpad / RS Hasan Sadikin
Bandung
2006