55507277-Case-Peb-Baru.doc

48
BAB I PENDAHULUAN Tiga penyebab kematian utama ibu dalam bidang obstetri adalah perdarahan, infeksi dan preeklampsia. Berkat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, resusitasi cairan dan antibiotik sehingga dilaporkan penyebab utama kematian ibu pada beberapa RS di Indonesia adalah preeklampsia. Angka kejadian preeklampsia di beberapa RS di Indonesia terus meningkat yaitu 7% pada tahun 2000 menjadi 9% pada tahun 2002. 1 Preeklampsia adalah sindroma spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai hipertensi dan proteinuria setelah usia gestasi 20 minggu. 1,2 Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan pula berbagai penelitian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya. 1 Oleh karena itu, diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk 1

Transcript of 55507277-Case-Peb-Baru.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Tiga penyebab kematian utama ibu dalam bidang obstetri adalah

perdarahan, infeksi dan preeklampsia. Berkat kemajuan dalam bidang anestesi,

teknik operasi, resusitasi cairan dan antibiotik sehingga dilaporkan penyebab

utama kematian ibu pada beberapa RS di Indonesia adalah preeklampsia. Angka

kejadian preeklampsia di beberapa RS di Indonesia terus meningkat yaitu 7%

pada tahun 2000 menjadi 9% pada tahun 2002.1

Preeklampsia adalah sindroma spesifik kehamilan berupa berkurangnya

perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai hipertensi

dan proteinuria setelah usia gestasi 20 minggu.1,2 Beragam pendapat telah

diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan

pula berbagai penelitian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai

sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia

tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan

janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya.1

Oleh karena itu, diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat

pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk

menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom

preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak

diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara

rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan

preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-

faktor predisposisi yang lain.2

Pada makalah ini akan disampaikan suatu kasus penanganan seksio

sesarea preeklampsia berat pada pasien yang sebelumnya direncanakan partus

pervaginam. Akan dibahas mengenai preeklampsia dan penatalaksanaannya serta

usaha antenatal care pada kasus preeklampsia.

1

BAB II

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. U H Nama Suami : Tn. Afrinaldi

Usia : 19 tahun Usia : 26 tahun

Pendidikan : SLTA Pendidikan : SMP

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam Agama : Islam

Alamat : Jl.Todak gg.udang

No. MR : 71 54 09

II. ANAMNESIS : Alloanamnesis

Pasien datang ke kamar bersalin RSUD Arifin Ahmad pada tanggal 25

April 2011 pukul 01.00 WIB, melalui IGD dengan:

Keluhan Utama:

Nyeri pingggang menjalar ke ari-ari sejak 3 jam yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

Sakit kepala tidak ada, pandangan kabur tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada

Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 3 jam yang lalu

Keluar lendir campur darah sejak 3 jam yang lalu

Keluar air-air yang banyak dari kemaluan tidak ada

Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada

Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu

HPHT: lupa TP: tidak dapat ditentukan

Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu

Ini adalah kehamilan pertama

RHM : mual (-), muntah (-), darah (-)

RHT : mual (-), muntah (-), darah (-)

Riwayat haid : menarche umur 13 tahun, siklus teratur tiap 28 hari, lama

haid 4-5 hari, nyeri haid tidak ada.

PNC : ke bidan, teratur tiap bulan

2

R. Makan Obat : obat tambah darah dari bidan

RPD : hipertensi (-), DM (-), peny. jantung (-), asma (-)

RPK : tidak ada yang berhubungan

Riwayat Pernikahan : pernikahan yang pertama kali, lama menikah 1 tahun

Riwayat Kehamilan/abortus/persalinan : 1/0/0

Riwayat Kontrasepsi : Tidak pernah menggunakan kontrasepsi

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : sedang

Kesadaran : komposmentis

Status gizi : baik

TB : 152 cm

Vital sign

Tekanan darah : 190/110 mmHg

Nadi : 81 x/menit,regular, isian cukup

Frekuensi nafas : 24 x/menit

Suhu : 36,8 ºC

Kepala : dalam batas normal

Dada : Paru : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Abdomen : Status obstetrik

Genitalia : Status obstetrik

Ekstremitas : edema tungkai +/+

STATUS OBSTETRI :

Muka : konjungtiva anemis (-/-)

sklera ikterik (-/-)

kloasma gravidarum (+)

Mammae : hiperpigmentasi areola dan papilla (+/+)

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak membuat, striae gravidarum (+),

Hiperpigmentasi linea alba

3

Palpasi :

L1 : TFU 3 jari dibawah proc.xypoideus, teraba massa besar

lunak noduler

L2 : Teraba tahanan terbesar di kanan, bagian-bagian kecil di

kiri

L3 : Bagian terbawah teraba massa bulat, keras, terfixir

L4 : Bagian terbawah sudah masuk PAP

TFU : 33 cm TBA: 3255 gram

His : 2x dalam 10 menit (lama His 30 detik), lemah

Auskultasi : BU (+) N, BJA : 144x/menit

Genetalia :

I : V/U: tenang

VT : pembukaan 4 cm, ketuban (+), kepala H I-II

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 25 April 2011

Hb : 11,6 gr/dl

Leukosit : 11.000/mm3

Trombosit : 165.000/mm3

Hematokrit : 36 vol%

Protein urin : +2

DIAGNOSIS KERJA

G1P0A0H0 parturient aterm + kala 1 fase aktif + PEB

Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI-II

PENATALAKSANAAN

- Kontrol KU, TTV, His dan BJA (nilai setiap 4 jam)

- Regimen SM sesuai protap

- Nifedipin 10 mg 3x1 tab

- Pasang DC

RENCANA

Partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)

PROGNOSIS

Dubia ad bonam

4

FOLLOW UP

Tanggal Jam Follow up prepartum

25-04-2011 05.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),

pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar

ke ari-ari (+), gerakan anak (+).

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 160/100 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

His : (+), 2 x dalam 10 menit durasi 30 detik, lemah

Auskultasi : BJA : 142x/menit

VT :

Pembukaan 4cm, ketuban (+), penurunan Hodge II

Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif dengan

PEB + Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

R/ partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)

09:00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),

pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar

ke ari-ari (+), gerakan anak (+).

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 140/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik

Auskultasi : BJA : 137x/menit

VT :

5

Portio tipis, pembukaan 6 cm, ketuban (+), penurunan Hodge II

Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif

dengan PEB

Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

R/ Partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)

Dilakukan akselerasi dengan oksitosin 5 unit dalam 500 cc

NaCl, dimulai 10 tetes/ menit

13.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),

pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar

ke ari-ari (+), gerakan anak (+).

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik

Auskultasi : BJA : 142x/menit

VT :

Pembukaan 8-9cm, ketuban (+), penurunan Hodge II

Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif dengan

PEB

Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

R/ lanjutkan akselerasi dan bantu kala II dengan ekstraksi forcep

Dilakukan amniotomi

14.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),

pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar

ke ari-ari (+), gerakan anak (+). Ibu ingin mengedan.

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

6

Vital sign :

TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik

Auskultasi : BJA : 142x/menit

VT :

Pembukaan lengkap, ketuban (-), penurunan Hodge II

Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala II dengan PEB

Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

R/ pimpin persalinan dengan bantu kala II

16:00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),

pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar

ke ari-ari (+), gerakan anak (+). Ibu ingin mengedan

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik

Auskultasi : BJA : 142x/menit

VT: Pembukaan lengkap, ketuban (-), penurunan Hodge II

Tidak ada kemajuan persalinan.

Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala II memanjang

dengan PEB + tidak memenuhi syarat ekstraksi forcep

Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala

R/ SC Cito

19:00 Pasien di SC di OK IBS

Durante operasi:

- Pasien tidur terlentang dengan spinal anestesi

7

- Lakukan teknik aseptik dan antiseptik

- Incisi SBR

- Anak lahir dengan meluksir kepala, ketuban (-) sisa

kehijauan, lahir bayi perempuan , BBL 3000 g, PB 50 cm, a/s

7/8, Plasenta dimanual, kesan lengkap, kavum uteri

dibersihkan

- SBR dijahit jelujur, kavum abdomen dibersihkan

- Jahit dinding abdomen lapis demi lapis

Terapi post op: - awasi perdarahan, TTV (nadi, frekuensi napas,

tekanan darah, frekuensi pernapasan)

- Bed rest 24 jam, boleh miring

- IVFD RL:D5% 20 gtt/menit

- Lanjut regiman SM

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 g

26-4-2011 08:00 Anamnesis: demam (-), kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit

kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri luka

operasi (+), ASI (-), BAK(+), BAB (-).

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 160/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

Abdomen :

Inspeksi: sedikit membuncit, tampak perban, rembesan darah (-)

Palpasi : NT (+), NL (-), DM (-), TFU 2 jari dibawah pusat,

kontraksi baik.

Pekusi : tympani

Auskultasi : bising usus (+) normal.

Genitalia : lochia rubra (+)

Diagnosa: : P1A0H1 post SCTPP a/i kala II memanjang + tidak

8

memenuhi syarat vakum/forcep

R/ terapi lanjut.

27-04-2011 Anamnesis: demam (-), kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit

kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri luka

operasi (+),ASI (-), BAK(+), BAB (-).

Pemeriksaan fisik:

KU : sedang

Kesadaran : CMC

Vital sign :

TD: 160/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit

Suhu : afebris

Mata: oedem palpebra (-)

Abdomen :

Inspeksi: sedikit membuncit, tampak perban, rembesan darah (-)

Palpasi : NT (+), NL (-), DM (-), TFU 2 jari dibawah pusat,

kontraksi baik.

Pekusi : tympani

Auskultasi : bising usus (+) normal.

Genitalia : lochia rubra (+)

Diagnosa: : P1A0H1 post SCTPP a/i kala II memanjang + tidak

memenuhi syarat vakum/forcep

R/ terapi lanjut.

BAB III

9

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PREEKLAMPSIA

3.1.1 DEFINISI

Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau

edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera

setelah persalinan, bahkan setelah 24 jam post partum.3 Sebelumnya, edema

termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun sekarang

tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil

umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis

pembuluh darah.4

Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai

dengan timbulnya tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai

proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.5-7

3.1.2. EPIDEMIOLOGI

Preeklampsia dapat di temui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama

kehamilan pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia

pada primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama

pada primigravida muda. 4

3.1.3. ETIOLOGI

Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara

pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa

faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :

1. Faktor Trofoblast

Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya

Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini

didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik

setelah plasenta lahir.1

2. Faktor Imunologik

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi

pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada

10

kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen

plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak

menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan

berikutnya, pembentukan “Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respos

imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.1

Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya

sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :

a) Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek

imun dalam serum.

b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen

pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.

Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat

menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada

Preeklampsia-Eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa

menyebabkan Preeklampsia-Eklampsia.2

3. Faktor Hormonal

Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron

antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan

retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.1

4. Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia

bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang

menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara

lain:

a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-

Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

c) Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada

anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada

ipar mereka.8

5. Faktor Gizi

11

Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung

asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis

Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang

memicu terjadinya preeklampsia.1

6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada

kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang

kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi

antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan

pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan

kerusakan endotel.8

3.1.4. PATOFISIOLOGI PRE EKLAMPSIA

Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi

perubahan dan gangguan vaskuler dan hemostatis. Sperof (1973) menyatakan

bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasentar, sehingga

terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran

perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.9

Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi

penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lactogen (HPL), akibatnya

terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan

penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang

mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang

mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui

sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan

peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan

darah.9

Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan

prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan

sintesis prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan

kepekaan vaskuler terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi

langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang,

12

sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan

aliran darah yang menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan

tejadinya hipertensi arterial yang membahayakan pembuluh darah karena

gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan

endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin–1 yang

merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan kebocoran antar sel

endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti thrombosit dan

fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke

berbagai sistem organ. 9

3.1.5. GEJALA KLINIS PEB

Gejala preeklampsia adalah hipertensi, edema, proteinuria dan gejala

subjektif seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.2 Dikatakan

preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut: 2,9

1. TD ≥ 160 / 110 mmHg

2. Proteinuria > 5 gr / 24 jamatau kualitatif 3+ / 4+

3. Oliguria ≤ 500 ml / 24 jam

4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus

5. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan

6. Nyeri epigastrium

7. Edema paru atau sianosis

8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)

9. HELLP Syndrome

10. Koma

3.1.6. PEMERIKSAAN FISIK

Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC

Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya

retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion

Edema pada muka yang memberat

13

Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan

berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.4

3.1.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada

wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari

pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan

protein total pada urin 24 jam.4

Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga

pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan

dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk

memantau progresifitas penyakit.4

3.1.8. PROGNOSIS

Morbiditas dan mortalitas penderita preeklampsia sangat ditentukan usia

kehamilan saat ditemukan, beratnya penyakit, kualitas penanganan dan penyakit

penyerta lainnya.2 Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -

48.9%. 4

3.1.9. KOMPLIKASI 4

Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.

Hipofibrinogenemia

Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis

periportal hati pada penderita pre-eklampsia.

Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal

penderita eklampsia.

Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi.

Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang

menunjukkan adanya apopleksia serebri.

Edema paru

Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol

umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.

Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).

14

Prematuritas

Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan

sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga

terjadi anuria atau gagal ginjal.

DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah

mencapai tahap eklampsia.

3.1.10. DIAGNOSIS BANDING 1,5

1) Kehamilan dengan sindrom nefrotik

2) Kehamilan dengan payah jantung

3) Hipertensi Kronis

4) Penyakit Ginjal

5) Edema Kehamilan

6) Proteinuria Kehamilan

3.1.11. PENATALAKSANAAN PEB

Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre

eklampsia berat selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi:

1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi

ditambah pengobatan medicinal.

2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah

pengobatan medisinal.

Perawatan Aktif

a) Indikasi

Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek

Adanya gejala-gejala impending eklampsia

Adanya Sindrom Hellp

Kehamilan aterm ( > 37 minggu)

Apabila perawatan konservatif gagal.5

b) Pengobatan Medisinal

1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL

dari IGD.

15

2) Tirah baring miring ke satu sisi.

3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.

4) Antasida.

5) Anti kejang:

Sulfas Magnesikus (MgSO4)

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%

dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.

- Refleks patella positif kuat

- Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tanda distress pernafasan (-)

- Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).7

Cara Pemberian:

a) Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml

cairan dan diberikan dalam 15-20 menit

b) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan

intravena

c) Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan

kecepatan infus untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l)

d) MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.7

Penghentian MgSO4:

Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks

fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan

selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot

pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7

mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15

mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi

kematian jantung.

Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat

- Hentikan pemberian magnesium sulfat

- Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV

dalam waktu 3 menit.

- Berikan oksigen.

16

- Lakukan pernapasan buatan.

Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 6 jam pasca persalinan

sudah terjadi perbaikan (normotensif).7

Diazepam

Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak

dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika

dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang ICU.8

6) Diuretika

Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru,

payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40

mg/im.7

7) Anti hipertensi

Tekanan darah sistolis > 180 mmHg, diastolis > 110 mmHg. Sasaran

pengobatan adalah tekanan diastolis < 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)

karena akan menurunkan perfusi plasenta. Dosis antihipertensi sama dengan dosis

antihipertensi pada umumnya.

Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan

selama 5 menit sampai tekanan darah turun. Jika perlu, pemberian hidralazin

dapat diulang setiap jam, atau 12,5 intamuskular setiap 2 jam. Jika hidralazin

tidak tersedia, dapat diberikan Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30

menit.Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak

membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan samapi 20 mg intravena.

8) Lain-lain

- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, dan mata.

- Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5 oC dapat dibantu

dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.

- Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6

jam/IV/hari.

- Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.

Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam

sebelum janin lahir.7

17

- Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1x80 mg/hari. Syarat: Trombositopenia

(<60.000/cmm)8

Pengobatan obstetrik

Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu :

Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau

lebih dan dengan fetal heart monitoring.

Seksio sesaria bila :

Fetal assesment jelek

Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang dari 5) atau

adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.

12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.

Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio

sesaria.7

Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu :

Kala I

Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio

sesaria.

Fase aktif :

Amniotomi saja

Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap maka

dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).7

Kala II

Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus

buatan vakum ekstraksi/forcep ekstraksi. Amniotomi dan tetesan oksitosin

dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan

medisinal.7,8

Perawatan Konservatif 9,10

a) Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm kurang dari 37

minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin

baik.

18

b) Pengobatan medisinal: Sama dengan perawatan medisinal pada

pengelolaan aktif.

c) Pengobatan obstetri :

Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti

perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.

MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre

eklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.

Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan

medisinal gagal dan harus diterminasi.

Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih

dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous.

d) Penderita dipulangkan bila:

Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan

dan telah dirawat selama 3 hari.

Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan:

penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan

(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).7

19

- Istirahat/isolasi- Diet rendah garam- Dauer kateter- D5% 1 ltr + RL 500 cc- SM 4 gr (40%, 25 cc) - SM 4gr i.m - Diulangi 4 gr tiap 4 jam- Diberikan selama 1 x 24 jam (36 gr)

- Kriteria PE ringan- SM hentikan - PerawatanPeringan- Monitoring ibu/ janin

terus-menerus

Tidak ada perbaikan

Terminasi Kehamilan

- Belum PE ringan- SM teruskan 24 jam

AdaPerbaikan

Tidak ada perbaikan

SKEMA PENANGANAN P.E BERAT 4,5

Kehamilan ≤ 37 minggu

20

SKEMA PENANGANAN P.E BERAT 4,5

Kehamilan > 37 minggu

Istirahat/Isolasi

Diet rendah garam

Dauer kateter 4 jam SM 4 gr

D5% 1 ltr + RL 500 cc

SM 4 gr (40%, 25 cc) iv Terminasi kehamilan PE berat

Belum inpartu Inpartu

Drip oksitosin Pelvik skor ≥5 Kala I Kala II

Tak terpenuhi

Fase laten Fase aktif

Amniotomi

Drip oksitosin Amniotomi Amniotomi

Drip Oksitosin

12 jam anak belum lahir 6 jam belum 6 jam belum

fase aktif lengkap

Seksio sesaria Seksio sesaria

Catatan : primigravida cenderung seksio sesarea

21

3.2 PERSALINAN DENGAN BANTUAN EKSTRAKSI

3.2.1 FORSEPS

Forseps Obstetrik adalah suatu instrumen metal yang digunakan untuk

ekstraksi kepala janin pada proses pesalinan10,11.

Bentuk dasar forceps 10

1. Bilah: tiap bilah punya dua lengkung: lengkung sefalik—yang mengikuti

bentuk kepala janin, dan lengkung pelvis—mengikuti bentuk jalan lahir

2. Tangkai: menghubungkan bilah dengan gagang. Dapat paralel (forseps

Simpson) maupun tumpang tindih (Elliot)

3. Kunci: kunci Inggris—terfiksasi, kunci perancis—kunci sekrup, kunci

jerman—paduan kunci inggris dan perancis, kunci geser (forseps Kielland)

4. Gagang: memiliki celah-celah untuk jari.

Cara memegang forseps : menggenggam gagang sedekat mungkin dengan tangkai

bila ingin mengurangi tenaga traksi dan menggenggamnya di bagian ujung bila

ingin meningkatkan traksi.

Klasifikasi Penggunaan Forseps10,11

Berdasarkan:

1. Station kepala bayi

2. Derajat rotasi kepala janin yang dibutuhkan agar dapat lahir.

Sistem klasifikasi yang baru (ACOG 1988) mengeliminasi

klasifikasi forseps tinggi, karena penggunaan forseps tidak

dibolehkan untuk kepala janin yang belum engaged atau

pembukaan serviks belum lengkap.

Indikasi 10,11

Indikasi maternal:

a. mempersingkat kala II: kelelahan ibu, kemampuan mendorong lemah baik

karena pasien tidak kooperatif maupun blok motorik karena analgesia,

kondisi ibu (penyakit jantung, pernafasan, neurologis, atau penyakit

muskuler)

b. mengakhiri kala II lama: kala II > 3 jam dengan anestesi regional atau > 2

jam tanpa anestesi regional pada nullipara; kala II > 2 jam dengan anestesi

regional atau > 1 jam tanpa anestesi regional pada multipara.

22

Indikasi janin:

a. Adanya gawat janin (BJJ non reassuring, abruptio placenta, prolaps tali

pusat, korioamnionitis)10,11.

b. Beberapa jenis malposisi dan aftercoming head pada persalinan

perrvaginam pada janin dengan presentasi bokong 11

Tipe Persalinan dengan Forseps10,11

Tipe persalinan dengan forseps

Klasifikasi

Outlet Kulit kepala janin terlihat melalui introitus tanpa memisahkan labia.

Tulang kepala janin sudah mencapai dasar pelvis.

Sutura sagitalis pada diameter anteroposterior atau posisi oksiput anerior/posterior kanan/kiri.

Kepala janin di perineum. Rotasi tidak melebihi 450

Low Titik terbawah tulang kepala janin pada station >+2

b. Rotasi < 450 (oksiput anerior kanan/kiri jadi oksiput anterior; oksiput posterior kanan/kiri jadi oksiput posterior)

c. Rotasi > 450

Mid Kepala engaged, station di atas +2

Prasyarat meng gunakan forseps 10

Prasyarat persalinan:

- serviks sudah dilatasi maksimal

- membran sudah ruptur

- kepala janin sudah engaged di station 0/lebih rendah

Operator terlatih:

- yang dapat menentukan posisi dan station yang tepat kepala janin

- yang dapat menilai ada tidaknya CPD

- memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan alat secara

benar

- telah mendapatkan izin dari pasien

- tidak meneruskan prosedur yang tidak berjalan dengan baik

Fasilitas yang memadai:

23

- anestesia adekuat: general, epidural, spinal atau blok pudendal

- personel yang mendukung dan tersedia peralatan monitoring yang

diperlukan

- tersedia resusitasi neonatus

- SC cito mampu dilaksanakan

Kontraindikasi10

Semua kontraindikasi untuk persalinan pervaginam

Serviks tidak berdilatasi maksimal

Presentasi, posisi kepala janin, dan luas panggul tidak dapat

ditentukan

Disproporsi sefalopelvik

Ekstraksi vakum gagal (kontraindikasi relatif)

Anestesia adekuat tidak ada

Fasilitas dan staf penunjang tidak adekuat

Operator tidak berpengalaman

3.2.2. VAKUM

Vakum modern ditemukan oleh Malmstrom (1953), terdiri dari mangkuk

metal yang kaku dengan bibir mangkuk inversi, diameter luar 60 mm dengan

lapisan jaring di bagian dalamnya untuk mecegah kulit kepala janin tersedot ke

dalam alat. Mangkuk tersebut tersambung dengan selang penghisap karet,

diantaranya terdapat rantai untuk traksi. Selang tesebut tersambung dengan tabung

vakum. 10

Klasifikasi, Indikasi, Prasyarat, dan Kontraindikasi Ekstraksi Vakum10,12

- Serupa dengan ekstraksi forseps

- Anestesia yang dibutuhkan lebih sedikit dibanding forseps

- Kontraindikasi relatif:

- Janin dengan resiko gangguan koagulasi atau mempunyai trauma kulit

kepala

- Presentasi nonverteks

- Janin prematur meningkatkan resiko perdarahan periventrikular-

intraventrikular (PV-IVH)

24

Vakum vs Forseps 10,12

Penggunaan vakum atau forseps tergantung kondisi dan situasi baik ibu,

janin, operator, sarana dan prasarana. Misal: pada kondisi persalinan low atau

outlet di mana pasien tidak mendapat analgesia adekuat, instrumen terpilih adalah

vakum. Tapi jika analgesia adekuat dan diperlukan persalinan darurat, forseps

lebih terpilih. Forseps adalah instrumen terpilih untuk melahirkan janin prematur

dan janin dengan kemungkinan gangguan koagulasi.

3.3 INERSIA UTERUS HIPOTONIK

DEFINISI

Inersia uteri hipotonik adalah his yang tidak normal, fundus berkontraksi

lebih kuat dan lebih dulu daripada bagian lain. Kelainan terletak pada

kontraksinya yang singkat dan jarang. Hisnya bersifat lemah, pendek, dan jarang

dari his normal. Inersia Uteri hipotonik ditandai dengan karakteristik kontraksi

uterus dengan insufficient force (<24 mmHg), ireguler atau ritme yang tidak

teratur, atau keduanya.13

ETIOLOGI

Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi:13

a. Faktor umum

1. Primigravida terutama pada usia tua

2. Anemia dan asthenia

3. Perasaan tegang dan emosional

4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin

5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik

b. Faktor lokal

1. Overdistensi uterus

2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia

3. Mioma uterus

4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik

5. Kandung kemih dan rektum penuh

25

KLASIFIKASI 13

1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal

2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus

yang sebelumnya baik

GAMBARAN KLINIS 13

1. Waktu persalinan memanjang

2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu

pendek

3. Dilatasi serviks lambat

4. Membran biasanya masih utuh

5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan

paska persalinan karena intarsia persisten

6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan

amplitude pendek

Penatalaksanaan 13

Setelah diagnosis inersia ditetapkan, harus diperiksa keadaan serviks

presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan

panggul. Kemudian harus disusun rencana menghadapi persalinan yang lamban

ini. Apabila ada disproporsi sefalopelfik yang berarti, sebaiknya diambil

keputusan untuk melakukan section secaria. Apabila tidak ada disproporsi atau

ada disproporsi ringan dapat diambil sikap lain. Keadaan umum penderita

sementara itu diperbaiki, dan kandung kencing serta rectum dikosongkan. Apabila

kepala atau kepala janin sudah masuk Pintu Atas Panggul, penderita disuruh

berjalan jalan. Tindakan sederhana ini kadang kadang menyebabkan his menjadi

kuat, dan selanjutnya persalinan berjalan lancar.13

Pada waktu pemeriksaan dalam, ketuban boleh dipecah namun hal tersebut

dapat dibenarkan oleh karena dapat merangsang his, dan dengan demikian

mempercepat jalannya persalinan. Kalau diobati dengan oksitosin, 5 satuan

oksitosin dimasukkan ke dalam larutan Glukosa 5% dan diberikan secara infuse

intravena dengan kecepatan kira kira 12 tetes per menit,yang perlahan lahan dapat

dinaikkan sampai kira kira 50 tetes, tergantung pada hasilnya. Kalau 50 tetes

26

tidak membawa hasil yang diharapkan, maka tidak banyak gunanya untuk

memberikan oksitosin dalam dosis yang lebih tinggi. Bila infuse oksitosin

diberikan, penderita harus diawasi dengan ketat dan tidak boleh ditinggalkan.

Kekuatan dan kecepatan his, keadaan dan denyut jantung janin harus diperhatikan

dengan teliti. Infus harus dihentikan kalau kontraksi uterus berlangsung lebih dari

60 detik, atau kalau denyut jantung janin menjadi cepat atau menjadi lambat.13

Menghentikan infuse umumnya akan segera memperbaiki keadaan. Sangat

berbahaya untuk memberikan oksitosin pada panggul sempit dan pada adanya

regangan segmen bawah uterus. Demikian pula oksitosin jangan diberikan pada

grande multipara dan dan kepada penderita yang telah pernah mengalamai seksio

secaria atau atau miomektomi, karena memudahkan terjadinya rupture uteri. Pada

penderita dengan partus lama dan gejala gejala dehidrasi dan asidosis, disamping

pemberian oksitosin dengan jalan infuse intravena gejal gejal tersebut perlu di

atasi.13

Maksud pemberian oksitosin adalah memperbaiki his, sehingga serviks

dapat membuka. Satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak

dalam berlarut larut. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam saja. Kalau

ternyata tidak ada kemajuan, pemberiannya dihentikan, supaya penderita dapat

beristirahat. Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam; kalau masih tidak ada

kemajuan, lebih baik dilakukan section secaria. Menurut Seitchik dan Castillo

(1983) merekomendasikan pemberian awal oksitosin dosis rendah 1 mU per menit

dan meningkat sesuai interval dengan tidak lebih dari 30 menit.13

27

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari uraian kasus didapatkan 3 permasalahan, yakni:

1. Pada rencana penanganan akselerasi tidak didasari diagnosis yang tepat

2. Keterlambatan melakukan akselerasi

3. Rencana penatalaksanaan forcep tidak tepat

1. Pada rencana penanganan Akselerasi tidak didasari diagnosis yang tepat

Pasien wanita 19 tahun masuk ke kamar bersalin camar II RSUD Arifin

Achmad tanggal 25 April 2011 pukul 01.00 WIB dengan diagnosis G1P0A0H0

parturient aterm kala I fase aktif dengan PEB, Janin Hidup Tunggal Intra

Uterine Presentasi Kepala. Pada pasien ini di rencanakan akselerasi pukul 09.00

namun dasar diagnosis tidak ada. Seharusnya pada pasien ini dilakukan karena

terdapat inersia uteri. Hal ini berdasarkan follow up dari pukul 01.00 sampai

pukul 05.00 tidak terjadi kemajuan persalianan ditandai dengan pembukaan

serviks yang lambat, ketuban masih utuh dan his yang tetap lemah.

Diagnosis yang tepat pada pasien ini pada pukul 05.00 adalah G1P0A0H0

parturient aterm kala I fase aktif + inersia uteri hipotonik sekunder dengan

PEB, Janin Hidup Tunggal Intra Uterine Presentasi Kepala.

2. Keterlambatan melakukan akselerasi

Seharusnya di mulai akselerasi tepat setelah diagnosis Inersia uteri

primer/sekunder ditegakkan. Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda inersia uteri

skunder berupa kontraksi uterus kurang dari normal, dilatasi servik lambat, dan

tidak ada penurunan kepala. Diagnosa inersia uteri telah dapat ditegakkan pukul

05.00, dan dapat dilihat juga pada partograf dimana pembukaan serviks melewati

garis waspada, Akselerasi seharusnya dilakukan pada saat itu dengan memberikan

drip oksitosin.

Pemberian oksitosin berupa 5 satuan oksitosin dimasukkan ke dalam

larutan 500 cc NaCl 0,9 % dan diberikan secara infuse intravena dengan

kecepatan 10 tetes per menit,yang perlahan lahan dinaikkan 5 tetes tiap 30 menit

28

sampai his adekuat (maksimum 40 tetes per menit) lakukan penilaian ulang setiap

4 jam. Hal ini bertujuan agar persalinan tidak berlangsung lama sehingga tidak

memperburuk prognosis ibu dan janin, serta dapat diambil keputusan untuk

melakukan tindakan selanjutnya. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam

saja. Kalau ternyata tidak ada kemajuan pada persalinan, pemberiannya

dihentikan, dan lebih baik dilakukan section secaria.

3. Rencana penatalaksanaan forcep pada pasien ini tidak tepat

Rencana terminasi pada kasus ini tidak tepat karena prasyarat dari

ekstraksi forceps atau vakum pada kala II tidak terpenuhi. Adapun syarat ekstraksi

forsep dan vakum adalah serviks sudah dilatasi maksimal, membran sudah ruptur,

kepala janin sudah engaged di station 0 (Hodge III) atau lebih rendah, syarat ini

tidak ditemukan pada pasien ini karena bagian terbawah janin masih di hodge II.

Begitu telah memasuki kala II keputusan Forcep dan SC telah dapat ditentukan.

Pada pasien ini begitu memasuki kala II tidak perlu menunggu 2 jam sebelum

dilakukan SC. Pada pasien ini sebaiknya direncanakan SC cito, tidak menunggu

kala II memanjang.

29

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Diagnosis pada pasien ini adalah: G1P0A0H0 parturient aterm kala I

fase aktif + inersia uteri hipotonik dengan PEB, Janin Hidup Tunggal

Intra Uterine Presentasi Kepala

2. Penatalaksanaan akselerasi dan amniotomi pada pasien ini terkesan

lambat.

3. Penatalaksanaan terminasi pada pasien ini kurang tepat seharusnya tidak

direncanakan ektraksi forceps atau vakum, sebaiknya direncanakan SC

cito setelah diagnosis kala II ditegakkan.

Saran

1. Penegakkan diagnosis seharusnya lebih lengkap disesuaikan dengan hasil

pemeriksaan.

2. Penatalaksanaan akselerasi sebaiknya lebih awal setelah diagnosis

ditegakkan.

3. Syarat dari ektraksi forceps dan vakum harus terpenuhi terlebih dahulu

sebelum rencana terminasi ditegakkan.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan Kelima, Jakarta, Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999 : 281 – 300

2. Cunningham FG, Gant F.G, et all, William Manual of Obstetrics, 23st Edition

Boston, McGraw Hill, 2003 : 339 - 47.

3. Wagner KL. Diagnosis and Management of Preeklampsia. American

Academy of Family Physicians. Vol 70, No 12 ; 2317-24.

4. Preeklampsia dalam Standar Pelayanan Medik POGI. 2006.

5. Royal college of Obstetricians and Gyneecologists. Guideline Management of

severe preeklampsia and eklampsia. March 2006, London. Diunduh dari

www.RCOG.or.UK; 1 mei 2010.

6. Mose JC. Pedoman Pegelolaan Hipertensi dalam kehamilan di Indonesia.

Ditampilkan dalam Seminar Ilmiah Mempersiapkan Generasi Sehat Sesuai

MDG’s 2015. Pekanbaru. 2010.

7. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Preeklampsia dan Eklampsia.

Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka-Sarwono

Prawirohardjo. Jakarta: 2005

8. Zulmaeta. Memaksimalkan pemeriksaan kehamilan dengan sarana yang ada.

Ditampilkan dalam Seminar Ilmiah Mempersiapkan Generasi Sehat Sesuai

MDG’s 2015. Pekanbaru. 2010.

9. Saifuddin dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Edisi Pertama Cetakan keempat. Yayasan Bina Pustaka-Sarwono

Prawirohardjo. Jakarta: 2006

10. Duff P, Ling FW. Obstetrics and Gynecology, Principles and Practice, int’l ed.

2001

11. Ross MG, Beall MH. Forseps Delivery. www.eMedicine.com. 2006

12. Pope CS, O’Grady JP. Vacuum Delivery. www.eMedicine.com. 2004

13. Herera E, Pernoll ML. Complication of labour and delivery. In: Detchherney

AH, Pernoll ML,editors. Current Obstetric and Gynecology Diagnosis and

Treatment. 8th ed. hal.515-516

31

Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/

32