55507277-Case-Peb-Baru.doc
-
Upload
homework-ping -
Category
Documents
-
view
8 -
download
2
Transcript of 55507277-Case-Peb-Baru.doc
BAB I
PENDAHULUAN
Tiga penyebab kematian utama ibu dalam bidang obstetri adalah
perdarahan, infeksi dan preeklampsia. Berkat kemajuan dalam bidang anestesi,
teknik operasi, resusitasi cairan dan antibiotik sehingga dilaporkan penyebab
utama kematian ibu pada beberapa RS di Indonesia adalah preeklampsia. Angka
kejadian preeklampsia di beberapa RS di Indonesia terus meningkat yaitu 7%
pada tahun 2000 menjadi 9% pada tahun 2002.1
Preeklampsia adalah sindroma spesifik kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai hipertensi
dan proteinuria setelah usia gestasi 20 minggu.1,2 Beragam pendapat telah
diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan telah dilakukan
pula berbagai penelitian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai
sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia
tetap menjadi satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan
janin di Indonesia, sehingga masih menjadi kendala dalam penanganannya.1
Oleh karena itu, diagnosis dini preeklampsia yang merupakan tingkat
pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk
menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom
preeklampsia ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak
diketahui atau tidak diperhatikan; pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara
rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan
preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap faktor-
faktor predisposisi yang lain.2
Pada makalah ini akan disampaikan suatu kasus penanganan seksio
sesarea preeklampsia berat pada pasien yang sebelumnya direncanakan partus
pervaginam. Akan dibahas mengenai preeklampsia dan penatalaksanaannya serta
usaha antenatal care pada kasus preeklampsia.
1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. U H Nama Suami : Tn. Afrinaldi
Usia : 19 tahun Usia : 26 tahun
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Jl.Todak gg.udang
No. MR : 71 54 09
II. ANAMNESIS : Alloanamnesis
Pasien datang ke kamar bersalin RSUD Arifin Ahmad pada tanggal 25
April 2011 pukul 01.00 WIB, melalui IGD dengan:
Keluhan Utama:
Nyeri pingggang menjalar ke ari-ari sejak 3 jam yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sakit kepala tidak ada, pandangan kabur tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari sejak 3 jam yang lalu
Keluar lendir campur darah sejak 3 jam yang lalu
Keluar air-air yang banyak dari kemaluan tidak ada
Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu
HPHT: lupa TP: tidak dapat ditentukan
Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu
Ini adalah kehamilan pertama
RHM : mual (-), muntah (-), darah (-)
RHT : mual (-), muntah (-), darah (-)
Riwayat haid : menarche umur 13 tahun, siklus teratur tiap 28 hari, lama
haid 4-5 hari, nyeri haid tidak ada.
PNC : ke bidan, teratur tiap bulan
2
R. Makan Obat : obat tambah darah dari bidan
RPD : hipertensi (-), DM (-), peny. jantung (-), asma (-)
RPK : tidak ada yang berhubungan
Riwayat Pernikahan : pernikahan yang pertama kali, lama menikah 1 tahun
Riwayat Kehamilan/abortus/persalinan : 1/0/0
Riwayat Kontrasepsi : Tidak pernah menggunakan kontrasepsi
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : komposmentis
Status gizi : baik
TB : 152 cm
Vital sign
Tekanan darah : 190/110 mmHg
Nadi : 81 x/menit,regular, isian cukup
Frekuensi nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,8 ºC
Kepala : dalam batas normal
Dada : Paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : Status obstetrik
Genitalia : Status obstetrik
Ekstremitas : edema tungkai +/+
STATUS OBSTETRI :
Muka : konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
kloasma gravidarum (+)
Mammae : hiperpigmentasi areola dan papilla (+/+)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak membuat, striae gravidarum (+),
Hiperpigmentasi linea alba
3
Palpasi :
L1 : TFU 3 jari dibawah proc.xypoideus, teraba massa besar
lunak noduler
L2 : Teraba tahanan terbesar di kanan, bagian-bagian kecil di
kiri
L3 : Bagian terbawah teraba massa bulat, keras, terfixir
L4 : Bagian terbawah sudah masuk PAP
TFU : 33 cm TBA: 3255 gram
His : 2x dalam 10 menit (lama His 30 detik), lemah
Auskultasi : BU (+) N, BJA : 144x/menit
Genetalia :
I : V/U: tenang
VT : pembukaan 4 cm, ketuban (+), kepala H I-II
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium 25 April 2011
Hb : 11,6 gr/dl
Leukosit : 11.000/mm3
Trombosit : 165.000/mm3
Hematokrit : 36 vol%
Protein urin : +2
DIAGNOSIS KERJA
G1P0A0H0 parturient aterm + kala 1 fase aktif + PEB
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala HI-II
PENATALAKSANAAN
- Kontrol KU, TTV, His dan BJA (nilai setiap 4 jam)
- Regimen SM sesuai protap
- Nifedipin 10 mg 3x1 tab
- Pasang DC
RENCANA
Partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)
PROGNOSIS
Dubia ad bonam
4
FOLLOW UP
Tanggal Jam Follow up prepartum
25-04-2011 05.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),
pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar
ke ari-ari (+), gerakan anak (+).
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 160/100 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
His : (+), 2 x dalam 10 menit durasi 30 detik, lemah
Auskultasi : BJA : 142x/menit
VT :
Pembukaan 4cm, ketuban (+), penurunan Hodge II
Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif dengan
PEB + Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
R/ partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)
09:00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),
pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar
ke ari-ari (+), gerakan anak (+).
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 140/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik
Auskultasi : BJA : 137x/menit
VT :
5
Portio tipis, pembukaan 6 cm, ketuban (+), penurunan Hodge II
Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif
dengan PEB
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
R/ Partus pervaginam (bantu kala II dengan ekstraksi forcep)
Dilakukan akselerasi dengan oksitosin 5 unit dalam 500 cc
NaCl, dimulai 10 tetes/ menit
13.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),
pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar
ke ari-ari (+), gerakan anak (+).
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik
Auskultasi : BJA : 142x/menit
VT :
Pembukaan 8-9cm, ketuban (+), penurunan Hodge II
Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala I fase aktif dengan
PEB
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
R/ lanjutkan akselerasi dan bantu kala II dengan ekstraksi forcep
Dilakukan amniotomi
14.00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),
pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar
ke ari-ari (+), gerakan anak (+). Ibu ingin mengedan.
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
6
Vital sign :
TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik
Auskultasi : BJA : 142x/menit
VT :
Pembukaan lengkap, ketuban (-), penurunan Hodge II
Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala II dengan PEB
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
R/ pimpin persalinan dengan bantu kala II
16:00 Anamnesis: kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit kepala (-),
pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri pinggang menjalar
ke ari-ari (+), gerakan anak (+). Ibu ingin mengedan
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 140/80 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
His : (+), 4 x dalam 10 menit durasi 40 detik
Auskultasi : BJA : 142x/menit
VT: Pembukaan lengkap, ketuban (-), penurunan Hodge II
Tidak ada kemajuan persalinan.
Diagnosa: : G1P0A0H0 parturient aterm + kala II memanjang
dengan PEB + tidak memenuhi syarat ekstraksi forcep
Janin hidup tunggal intrauterin presentasi kepala
R/ SC Cito
19:00 Pasien di SC di OK IBS
Durante operasi:
- Pasien tidur terlentang dengan spinal anestesi
7
- Lakukan teknik aseptik dan antiseptik
- Incisi SBR
- Anak lahir dengan meluksir kepala, ketuban (-) sisa
kehijauan, lahir bayi perempuan , BBL 3000 g, PB 50 cm, a/s
7/8, Plasenta dimanual, kesan lengkap, kavum uteri
dibersihkan
- SBR dijahit jelujur, kavum abdomen dibersihkan
- Jahit dinding abdomen lapis demi lapis
Terapi post op: - awasi perdarahan, TTV (nadi, frekuensi napas,
tekanan darah, frekuensi pernapasan)
- Bed rest 24 jam, boleh miring
- IVFD RL:D5% 20 gtt/menit
- Lanjut regiman SM
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 g
26-4-2011 08:00 Anamnesis: demam (-), kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit
kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri luka
operasi (+), ASI (-), BAK(+), BAB (-).
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 160/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
Abdomen :
Inspeksi: sedikit membuncit, tampak perban, rembesan darah (-)
Palpasi : NT (+), NL (-), DM (-), TFU 2 jari dibawah pusat,
kontraksi baik.
Pekusi : tympani
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Genitalia : lochia rubra (+)
Diagnosa: : P1A0H1 post SCTPP a/i kala II memanjang + tidak
8
memenuhi syarat vakum/forcep
R/ terapi lanjut.
27-04-2011 Anamnesis: demam (-), kejang (-), bengkak pada mata (-), sakit
kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu hati (-). Nyeri luka
operasi (+),ASI (-), BAK(+), BAB (-).
Pemeriksaan fisik:
KU : sedang
Kesadaran : CMC
Vital sign :
TD: 160/90 mmHg, Nadi: 88x/menit, RR: 20x/menit
Suhu : afebris
Mata: oedem palpebra (-)
Abdomen :
Inspeksi: sedikit membuncit, tampak perban, rembesan darah (-)
Palpasi : NT (+), NL (-), DM (-), TFU 2 jari dibawah pusat,
kontraksi baik.
Pekusi : tympani
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Genitalia : lochia rubra (+)
Diagnosa: : P1A0H1 post SCTPP a/i kala II memanjang + tidak
memenuhi syarat vakum/forcep
R/ terapi lanjut.
BAB III
9
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 PREEKLAMPSIA
3.1.1 DEFINISI
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan, bahkan setelah 24 jam post partum.3 Sebelumnya, edema
termasuk ke dalam salah satu kriteria diagnosis preeklampsia, namun sekarang
tidak lagi dimasukkan ke dalam kriteria diagnosis, karena pada wanita hamil
umum ditemukan adanya edema, terutama di tungkai, karena adanya stasis
pembuluh darah.4
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya tekanan darah tinggi 160/110 mmHg atau lebih disertai
proteinuria dan/atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih.5-7
3.1.2. EPIDEMIOLOGI
Preeklampsia dapat di temui pada sekitar 5-10% kehamilan, terutama
kehamilan pertama pada wanita berusia di atas 35 tahun. Frekuensi pre-eklampsia
pada primigravida lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama
pada primigravida muda. 4
3.1.3. ETIOLOGI
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan “The Diseases of Theories”. Beberapa
faktor yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :
1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.1
2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi
pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada
10
kehamilan pertama pembentukan “Blocking Antibodies” terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan
berikutnya, pembentukan “Blocking Antibodies” akan lebih banyak akibat respos
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.1
Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya
sistem imun pada penderita Preeklampsia-Eklampsia :
a) Beberapa wanita dengan Preeklampsia-Eklampsia mempunyai komplek
imun dalam serum.
b) Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi system komplemen
pada Preeklampsia-Eklampsia diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan meskipun ada beberapa pendapat
menyebutkan bahwa sistem imun humoral dan aktivasi komplemen terjadi pada
Preeklampsia-Eklampsia, tetapi tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa
menyebabkan Preeklampsia-Eklampsia.2
3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron
antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan
retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.1
4. Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia / eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.2 Beberapa bukti yang
menunjukkan peran faktor genetic pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara
lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
c) Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan bukan pada
ipar mereka.8
5. Faktor Gizi
11
Menurut Chesley (1978) bahwa faktor nutrisi yang kurang mengandung
asam lemak essensial terutama asam Arachidonat sebagai precursor sintesis
Prostaglandin akan menyebabkan “Loss Angiotensin Refraktoriness” yang
memicu terjadinya preeklampsia.1
6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada
kehamilan normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang
kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan
pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan
kerusakan endotel.8
3.1.4. PATOFISIOLOGI PRE EKLAMPSIA
Belum diketahui dengan pasti, secara umum pada Preeklampsia terjadi
perubahan dan gangguan vaskuler dan hemostatis. Sperof (1973) menyatakan
bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik uteroplasentar, sehingga
terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran
perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.9
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi
penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lactogen (HPL), akibatnya
terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan
penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang
mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang
mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui
sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan
peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.9
Teori vasospasme dan respons vasopresor yang meningkat menyatakan
prostaglandin berperan sebagai mediator poten reaktivitas vaskuler. Penurunan
sintesis prostaglandin dan peningkatan pemecahannya akan meningkatkan
kepekaan vaskuler terhadap Angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi
langsung sel endotel yang resistensinya terhadap efek vasopresor berkurang,
12
sehingga terjadi vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan
aliran darah yang menyebabkan hambatan aliran darah yang menyebabkan
tejadinya hipertensi arterial yang membahayakan pembuluh darah karena
gangguan aliran darah vasavasorum, sehingga terjadi hipoksia dan kerusakan
endotel pembuluh darah yang menyebabkan dilepasnya Endothelin–1 yang
merupakan vasokonstriktor kuat. Semua ini menyebabkan kebocoran antar sel
endotel, sehingga unsur-unsur pembentukan darah seperti thrombosit dan
fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel yang menyebabkan gangguan ke
berbagai sistem organ. 9
3.1.5. GEJALA KLINIS PEB
Gejala preeklampsia adalah hipertensi, edema, proteinuria dan gejala
subjektif seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan.2 Dikatakan
preeklampsia berat bila dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut: 2,9
1. TD ≥ 160 / 110 mmHg
2. Proteinuria > 5 gr / 24 jamatau kualitatif 3+ / 4+
3. Oliguria ≤ 500 ml / 24 jam
4. Peningkatan kadar enzim hati dan / atau ikterus
5. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan
6. Nyeri epigastrium
7. Edema paru atau sianosis
8. Pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat (IUFGR)
9. HELLP Syndrome
10. Koma
3.1.6. PEMERIKSAAN FISIK
Tekanan darah harus diukur dalam setiap ANC
Tinggi fundus harus diukur dalam setiap ANC untuk mengetahui adanya
retardasi pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion
Edema pada muka yang memberat
13
Peningkatan berat badan lebih dari 0,5 kg per minggu atau peningkatan
berat badan secara tiba-tiba dalam 1-2 hari.4
3.1.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium dasar harus dilakukan di awal kehamilan pada
wanita dengan faktor resiko menderita preeklampsia, yang terdiri dari
pemeriksaan kadar enzim hati, hitung trombosit, kadar kreatinin serum, dan
protein total pada urin 24 jam.4
Pada wanita yang telah didiagnosis preeklampsia, harus dilakukan juga
pemeriksaan kadar albumin serum, LDH, apus darah tepi, serta waktu perdarahan
dan pembekuan. Semua pemeriksaan ini harus dilakukan sesering mungkin untuk
memantau progresifitas penyakit.4
3.1.8. PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas penderita preeklampsia sangat ditentukan usia
kehamilan saat ditemukan, beratnya penyakit, kualitas penanganan dan penyakit
penyerta lainnya.2 Kematian ibu antara 9.8%-25.5%, kematian bayi 42.2% -
48.9%. 4
3.1.9. KOMPLIKASI 4
Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
Hipofibrinogenemia
Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis
periportal hati pada penderita pre-eklampsia.
Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi.
Perdarahan pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang
menunjukkan adanya apopleksia serebri.
Edema paru
Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol
umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
14
Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa juga
terjadi anuria atau gagal ginjal.
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah
mencapai tahap eklampsia.
3.1.10. DIAGNOSIS BANDING 1,5
1) Kehamilan dengan sindrom nefrotik
2) Kehamilan dengan payah jantung
3) Hipertensi Kronis
4) Penyakit Ginjal
5) Edema Kehamilan
6) Proteinuria Kehamilan
3.1.11. PENATALAKSANAAN PEB
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala pre
eklampsia berat selama perawatan, maka perawatan dibagi menjadi:
1. Perawatan aktif yaitu kehamilan segera diakhiri atau diterminasi
ditambah pengobatan medicinal.
2. Perawatan konservatif yaitu kehamilan tetap dipertahankan ditambah
pengobatan medisinal.
Perawatan Aktif
a) Indikasi
Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek
Adanya gejala-gejala impending eklampsia
Adanya Sindrom Hellp
Kehamilan aterm ( > 37 minggu)
Apabila perawatan konservatif gagal.5
b) Pengobatan Medisinal
1) Segera rawat di ruangan yang terang dan tenang, terpasang infus Dx/RL
dari IGD.
15
2) Tirah baring miring ke satu sisi.
3) Diet cukup protein, rendah KH-lemak dan garam.
4) Antasida.
5) Anti kejang:
Sulfas Magnesikus (MgSO4)
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
- Refleks patella positif kuat
- Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tanda distress pernafasan (-)
- Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).7
Cara Pemberian:
a) Berikan dosis bolus 4 – 6 gram MgSO4 yang diencerkan dalam 100 ml
cairan dan diberikan dalam 15-20 menit
b) Mulai infus rumatan dengan dosis 2 g/jam dalam 100 ml cairan
intravena
c) Ukur kadar MgSO4 pada 4-6 jam setelah pemberian dan disesuaikan
kecepatan infus untuk mempertahankan kadar antara 4 dan 7 mEg/l (4,8-8,4 mg/l)
d) MgSO4 dihentikan 24 jam setelah bayi lahir.7
Penghentian MgSO4:
Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan
selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot
pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-7
mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12-15
mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter terjadi
kematian jantung.
Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
- Hentikan pemberian magnesium sulfat
- Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV
dalam waktu 3 menit.
- Berikan oksigen.
16
- Lakukan pernapasan buatan.
Magnesium sulfat dihentikan juga bila setelah 6 jam pasca persalinan
sudah terjadi perbaikan (normotensif).7
Diazepam
Digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak
dipenuhi. Cara pemberian: Drip 10 mg dalam 500 ml, max. 120 mg/24 jam. Jika
dalam dosis 100 mg/24 jam tidak ada perbaikan, rawat di ruang ICU.8
6) Diuretika
Diuretikum tidak diberikan kecuali bila ada tanda-tanda edema paru,
payah jantung kongestif atau edema anasarka. Diberikan furosemid injeksi 40
mg/im.7
7) Anti hipertensi
Tekanan darah sistolis > 180 mmHg, diastolis > 110 mmHg. Sasaran
pengobatan adalah tekanan diastolis < 105 mmHg (bukan kurang 90 mmHg)
karena akan menurunkan perfusi plasenta. Dosis antihipertensi sama dengan dosis
antihipertensi pada umumnya.
Obat pilihan adalah hidralazin, yang diberikan 5 mg intravena pelan-pelan
selama 5 menit sampai tekanan darah turun. Jika perlu, pemberian hidralazin
dapat diulang setiap jam, atau 12,5 intamuskular setiap 2 jam. Jika hidralazin
tidak tersedia, dapat diberikan Nifedipine dosis oral 10 mg yang diulang tiap 30
menit.Labetalol 10 mg intravena sebagai dosis awal, jika tekanan darah tidak
membaik dalam 10 menit, maka dosis dapat ditingkatkan samapi 20 mg intravena.
8) Lain-lain
- Konsul bagian penyakit dalam / jantung, dan mata.
- Obat-obat antipiretik diberikan bila suhu rektal > 38,5 oC dapat dibantu
dengan pemberian kompres dingin atau alkohol atau xylomidon 2 cc IM.
- Antibiotik diberikan atas indikasi. Diberikan ampicillin 1 gr/6
jam/IV/hari.
- Analgetik bila penderita kesakitan atau gelisah karena kontraksi uterus.
Dapat diberikan petidin HCL 50-75 mg sekali saja, selambat-lambatnya 2 jam
sebelum janin lahir.7
17
- Anti Agregasi Platelet: Aspilet 1x80 mg/hari. Syarat: Trombositopenia
(<60.000/cmm)8
Pengobatan obstetrik
Cara terminasi kehamilan yang belum inpartu :
Induksi persalinan : tetesan oksitosin dengan syarat nilai Bishop 5 atau
lebih dan dengan fetal heart monitoring.
Seksio sesaria bila :
Fetal assesment jelek
Syarat tetesan oksitosin tidak dipenuhi (nilai Bishop kurang dari 5) atau
adanya kontraindikasi tetesan oksitosin.
12 jam setelah dimulainya tetesan oksitosin belum masuk fase aktif.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk dilakukan terminasi dengan seksio
sesaria.7
Cara terminasi kehamilan yang sudah inpartu :
Kala I
Fase laten : 6 jam belum masuk fase aktif maka dilakukan seksio
sesaria.
Fase aktif :
Amniotomi saja
Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi pembukaan lengkap maka
dilakukan seksio sesaria (bila perlu dilakukan tetesan oksitosin).7
Kala II
Pada persalinan per vaginam maka kala II diselesaikan dengan partus
buatan vakum ekstraksi/forcep ekstraksi. Amniotomi dan tetesan oksitosin
dilakukan sekurang-kurangnya 3 menit setelah pemberian pengobatan
medisinal.7,8
Perawatan Konservatif 9,10
a) Indikasi perawatan konservatif bila kehamilan preterm kurang dari 37
minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia dengan keadaan janin
baik.
18
b) Pengobatan medisinal: Sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan aktif.
c) Pengobatan obstetri :
Selama perawatan konservatif: observasi dan evaluasi sama seperti
perawatan aktif hanya disini tidak dilakukan terminasi.
MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mempunyai tanda-tanda pre
eklampsia ringan, selambat-lambatnya dalam 24 jam.
Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka dianggap pengobatan
medisinal gagal dan harus diterminasi.
Bila sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan maka diberi lebih
dahulu MgSO4 20% 2 gram intravenous.
d) Penderita dipulangkan bila:
Penderita kembali ke gejala-gejala / tanda-tanda pre eklampsia ringan
dan telah dirawat selama 3 hari.
Bila selama 3 hari tetap berada dalam keadaan pre eklampsia ringan:
penderita dapat dipulangkan dan dirawat sebagai pre eklampsia ringan
(diperkirakan lama perawatan 1-2 minggu).7
19
- Istirahat/isolasi- Diet rendah garam- Dauer kateter- D5% 1 ltr + RL 500 cc- SM 4 gr (40%, 25 cc) - SM 4gr i.m - Diulangi 4 gr tiap 4 jam- Diberikan selama 1 x 24 jam (36 gr)
- Kriteria PE ringan- SM hentikan - PerawatanPeringan- Monitoring ibu/ janin
terus-menerus
Tidak ada perbaikan
Terminasi Kehamilan
- Belum PE ringan- SM teruskan 24 jam
AdaPerbaikan
Tidak ada perbaikan
SKEMA PENANGANAN P.E BERAT 4,5
Kehamilan ≤ 37 minggu
20
SKEMA PENANGANAN P.E BERAT 4,5
Kehamilan > 37 minggu
Istirahat/Isolasi
Diet rendah garam
Dauer kateter 4 jam SM 4 gr
D5% 1 ltr + RL 500 cc
SM 4 gr (40%, 25 cc) iv Terminasi kehamilan PE berat
Belum inpartu Inpartu
Drip oksitosin Pelvik skor ≥5 Kala I Kala II
Tak terpenuhi
Fase laten Fase aktif
Amniotomi
Drip oksitosin Amniotomi Amniotomi
Drip Oksitosin
12 jam anak belum lahir 6 jam belum 6 jam belum
fase aktif lengkap
Seksio sesaria Seksio sesaria
Catatan : primigravida cenderung seksio sesarea
21
3.2 PERSALINAN DENGAN BANTUAN EKSTRAKSI
3.2.1 FORSEPS
Forseps Obstetrik adalah suatu instrumen metal yang digunakan untuk
ekstraksi kepala janin pada proses pesalinan10,11.
Bentuk dasar forceps 10
1. Bilah: tiap bilah punya dua lengkung: lengkung sefalik—yang mengikuti
bentuk kepala janin, dan lengkung pelvis—mengikuti bentuk jalan lahir
2. Tangkai: menghubungkan bilah dengan gagang. Dapat paralel (forseps
Simpson) maupun tumpang tindih (Elliot)
3. Kunci: kunci Inggris—terfiksasi, kunci perancis—kunci sekrup, kunci
jerman—paduan kunci inggris dan perancis, kunci geser (forseps Kielland)
4. Gagang: memiliki celah-celah untuk jari.
Cara memegang forseps : menggenggam gagang sedekat mungkin dengan tangkai
bila ingin mengurangi tenaga traksi dan menggenggamnya di bagian ujung bila
ingin meningkatkan traksi.
Klasifikasi Penggunaan Forseps10,11
Berdasarkan:
1. Station kepala bayi
2. Derajat rotasi kepala janin yang dibutuhkan agar dapat lahir.
Sistem klasifikasi yang baru (ACOG 1988) mengeliminasi
klasifikasi forseps tinggi, karena penggunaan forseps tidak
dibolehkan untuk kepala janin yang belum engaged atau
pembukaan serviks belum lengkap.
Indikasi 10,11
Indikasi maternal:
a. mempersingkat kala II: kelelahan ibu, kemampuan mendorong lemah baik
karena pasien tidak kooperatif maupun blok motorik karena analgesia,
kondisi ibu (penyakit jantung, pernafasan, neurologis, atau penyakit
muskuler)
b. mengakhiri kala II lama: kala II > 3 jam dengan anestesi regional atau > 2
jam tanpa anestesi regional pada nullipara; kala II > 2 jam dengan anestesi
regional atau > 1 jam tanpa anestesi regional pada multipara.
22
Indikasi janin:
a. Adanya gawat janin (BJJ non reassuring, abruptio placenta, prolaps tali
pusat, korioamnionitis)10,11.
b. Beberapa jenis malposisi dan aftercoming head pada persalinan
perrvaginam pada janin dengan presentasi bokong 11
Tipe Persalinan dengan Forseps10,11
Tipe persalinan dengan forseps
Klasifikasi
Outlet Kulit kepala janin terlihat melalui introitus tanpa memisahkan labia.
Tulang kepala janin sudah mencapai dasar pelvis.
Sutura sagitalis pada diameter anteroposterior atau posisi oksiput anerior/posterior kanan/kiri.
Kepala janin di perineum. Rotasi tidak melebihi 450
Low Titik terbawah tulang kepala janin pada station >+2
b. Rotasi < 450 (oksiput anerior kanan/kiri jadi oksiput anterior; oksiput posterior kanan/kiri jadi oksiput posterior)
c. Rotasi > 450
Mid Kepala engaged, station di atas +2
Prasyarat meng gunakan forseps 10
Prasyarat persalinan:
- serviks sudah dilatasi maksimal
- membran sudah ruptur
- kepala janin sudah engaged di station 0/lebih rendah
Operator terlatih:
- yang dapat menentukan posisi dan station yang tepat kepala janin
- yang dapat menilai ada tidaknya CPD
- memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan alat secara
benar
- telah mendapatkan izin dari pasien
- tidak meneruskan prosedur yang tidak berjalan dengan baik
Fasilitas yang memadai:
23
- anestesia adekuat: general, epidural, spinal atau blok pudendal
- personel yang mendukung dan tersedia peralatan monitoring yang
diperlukan
- tersedia resusitasi neonatus
- SC cito mampu dilaksanakan
Kontraindikasi10
Semua kontraindikasi untuk persalinan pervaginam
Serviks tidak berdilatasi maksimal
Presentasi, posisi kepala janin, dan luas panggul tidak dapat
ditentukan
Disproporsi sefalopelvik
Ekstraksi vakum gagal (kontraindikasi relatif)
Anestesia adekuat tidak ada
Fasilitas dan staf penunjang tidak adekuat
Operator tidak berpengalaman
3.2.2. VAKUM
Vakum modern ditemukan oleh Malmstrom (1953), terdiri dari mangkuk
metal yang kaku dengan bibir mangkuk inversi, diameter luar 60 mm dengan
lapisan jaring di bagian dalamnya untuk mecegah kulit kepala janin tersedot ke
dalam alat. Mangkuk tersebut tersambung dengan selang penghisap karet,
diantaranya terdapat rantai untuk traksi. Selang tesebut tersambung dengan tabung
vakum. 10
Klasifikasi, Indikasi, Prasyarat, dan Kontraindikasi Ekstraksi Vakum10,12
- Serupa dengan ekstraksi forseps
- Anestesia yang dibutuhkan lebih sedikit dibanding forseps
- Kontraindikasi relatif:
- Janin dengan resiko gangguan koagulasi atau mempunyai trauma kulit
kepala
- Presentasi nonverteks
- Janin prematur meningkatkan resiko perdarahan periventrikular-
intraventrikular (PV-IVH)
24
Vakum vs Forseps 10,12
Penggunaan vakum atau forseps tergantung kondisi dan situasi baik ibu,
janin, operator, sarana dan prasarana. Misal: pada kondisi persalinan low atau
outlet di mana pasien tidak mendapat analgesia adekuat, instrumen terpilih adalah
vakum. Tapi jika analgesia adekuat dan diperlukan persalinan darurat, forseps
lebih terpilih. Forseps adalah instrumen terpilih untuk melahirkan janin prematur
dan janin dengan kemungkinan gangguan koagulasi.
3.3 INERSIA UTERUS HIPOTONIK
DEFINISI
Inersia uteri hipotonik adalah his yang tidak normal, fundus berkontraksi
lebih kuat dan lebih dulu daripada bagian lain. Kelainan terletak pada
kontraksinya yang singkat dan jarang. Hisnya bersifat lemah, pendek, dan jarang
dari his normal. Inersia Uteri hipotonik ditandai dengan karakteristik kontraksi
uterus dengan insufficient force (<24 mmHg), ireguler atau ritme yang tidak
teratur, atau keduanya.13
ETIOLOGI
Hingga saat ini masih belum diketahui, akan tetapi terdapat beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi:13
a. Faktor umum
1. Primigravida terutama pada usia tua
2. Anemia dan asthenia
3. Perasaan tegang dan emosional
4. Pengaruh hormonal karena kekurangan prostaglandin atau oksitosin
5. Ketidaktepatan penggunaan analgetik
b. Faktor lokal
1. Overdistensi uterus
2. Perkembangan anomali uterus misal hipoplasia
3. Mioma uterus
4. Malpresentasi, malposisi, dan disproporsi cephalopelvik
5. Kandung kemih dan rektum penuh
25
KLASIFIKASI 13
1. Inersia Primer : Kontraksi uterus lemah sejak awal
2. Inersia Sekunder : Inersia berkembang setelah terdapat kontraksi uterus
yang sebelumnya baik
GAMBARAN KLINIS 13
1. Waktu persalinan memanjang
2. Kontraksi uterus kurang dari normal, lemah atau dalam jangka waktu
pendek
3. Dilatasi serviks lambat
4. Membran biasanya masih utuh
5. Lebih rentan terdapatnya placenta yang tertinggal dan perdarahan
paska persalinan karena intarsia persisten
6. Tokografi : Gelombang kontraksi kurang dari normal dengan
amplitude pendek
Penatalaksanaan 13
Setelah diagnosis inersia ditetapkan, harus diperiksa keadaan serviks
presentasi serta posisi janin, turunnya kepala janin dalam panggul dan keadaan
panggul. Kemudian harus disusun rencana menghadapi persalinan yang lamban
ini. Apabila ada disproporsi sefalopelfik yang berarti, sebaiknya diambil
keputusan untuk melakukan section secaria. Apabila tidak ada disproporsi atau
ada disproporsi ringan dapat diambil sikap lain. Keadaan umum penderita
sementara itu diperbaiki, dan kandung kencing serta rectum dikosongkan. Apabila
kepala atau kepala janin sudah masuk Pintu Atas Panggul, penderita disuruh
berjalan jalan. Tindakan sederhana ini kadang kadang menyebabkan his menjadi
kuat, dan selanjutnya persalinan berjalan lancar.13
Pada waktu pemeriksaan dalam, ketuban boleh dipecah namun hal tersebut
dapat dibenarkan oleh karena dapat merangsang his, dan dengan demikian
mempercepat jalannya persalinan. Kalau diobati dengan oksitosin, 5 satuan
oksitosin dimasukkan ke dalam larutan Glukosa 5% dan diberikan secara infuse
intravena dengan kecepatan kira kira 12 tetes per menit,yang perlahan lahan dapat
dinaikkan sampai kira kira 50 tetes, tergantung pada hasilnya. Kalau 50 tetes
26
tidak membawa hasil yang diharapkan, maka tidak banyak gunanya untuk
memberikan oksitosin dalam dosis yang lebih tinggi. Bila infuse oksitosin
diberikan, penderita harus diawasi dengan ketat dan tidak boleh ditinggalkan.
Kekuatan dan kecepatan his, keadaan dan denyut jantung janin harus diperhatikan
dengan teliti. Infus harus dihentikan kalau kontraksi uterus berlangsung lebih dari
60 detik, atau kalau denyut jantung janin menjadi cepat atau menjadi lambat.13
Menghentikan infuse umumnya akan segera memperbaiki keadaan. Sangat
berbahaya untuk memberikan oksitosin pada panggul sempit dan pada adanya
regangan segmen bawah uterus. Demikian pula oksitosin jangan diberikan pada
grande multipara dan dan kepada penderita yang telah pernah mengalamai seksio
secaria atau atau miomektomi, karena memudahkan terjadinya rupture uteri. Pada
penderita dengan partus lama dan gejala gejala dehidrasi dan asidosis, disamping
pemberian oksitosin dengan jalan infuse intravena gejal gejal tersebut perlu di
atasi.13
Maksud pemberian oksitosin adalah memperbaiki his, sehingga serviks
dapat membuka. Satu ciri khas oksitosin ialah bahwa hasil pemberiannya tampak
dalam berlarut larut. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam saja. Kalau
ternyata tidak ada kemajuan, pemberiannya dihentikan, supaya penderita dapat
beristirahat. Kemudian dicoba lagi untuk beberapa jam; kalau masih tidak ada
kemajuan, lebih baik dilakukan section secaria. Menurut Seitchik dan Castillo
(1983) merekomendasikan pemberian awal oksitosin dosis rendah 1 mU per menit
dan meningkat sesuai interval dengan tidak lebih dari 30 menit.13
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari uraian kasus didapatkan 3 permasalahan, yakni:
1. Pada rencana penanganan akselerasi tidak didasari diagnosis yang tepat
2. Keterlambatan melakukan akselerasi
3. Rencana penatalaksanaan forcep tidak tepat
1. Pada rencana penanganan Akselerasi tidak didasari diagnosis yang tepat
Pasien wanita 19 tahun masuk ke kamar bersalin camar II RSUD Arifin
Achmad tanggal 25 April 2011 pukul 01.00 WIB dengan diagnosis G1P0A0H0
parturient aterm kala I fase aktif dengan PEB, Janin Hidup Tunggal Intra
Uterine Presentasi Kepala. Pada pasien ini di rencanakan akselerasi pukul 09.00
namun dasar diagnosis tidak ada. Seharusnya pada pasien ini dilakukan karena
terdapat inersia uteri. Hal ini berdasarkan follow up dari pukul 01.00 sampai
pukul 05.00 tidak terjadi kemajuan persalianan ditandai dengan pembukaan
serviks yang lambat, ketuban masih utuh dan his yang tetap lemah.
Diagnosis yang tepat pada pasien ini pada pukul 05.00 adalah G1P0A0H0
parturient aterm kala I fase aktif + inersia uteri hipotonik sekunder dengan
PEB, Janin Hidup Tunggal Intra Uterine Presentasi Kepala.
2. Keterlambatan melakukan akselerasi
Seharusnya di mulai akselerasi tepat setelah diagnosis Inersia uteri
primer/sekunder ditegakkan. Pada pasien ini didapatkan tanda-tanda inersia uteri
skunder berupa kontraksi uterus kurang dari normal, dilatasi servik lambat, dan
tidak ada penurunan kepala. Diagnosa inersia uteri telah dapat ditegakkan pukul
05.00, dan dapat dilihat juga pada partograf dimana pembukaan serviks melewati
garis waspada, Akselerasi seharusnya dilakukan pada saat itu dengan memberikan
drip oksitosin.
Pemberian oksitosin berupa 5 satuan oksitosin dimasukkan ke dalam
larutan 500 cc NaCl 0,9 % dan diberikan secara infuse intravena dengan
kecepatan 10 tetes per menit,yang perlahan lahan dinaikkan 5 tetes tiap 30 menit
28
sampai his adekuat (maksimum 40 tetes per menit) lakukan penilaian ulang setiap
4 jam. Hal ini bertujuan agar persalinan tidak berlangsung lama sehingga tidak
memperburuk prognosis ibu dan janin, serta dapat diambil keputusan untuk
melakukan tindakan selanjutnya. Sebaiknya oksitosin diberikan beberapa jam
saja. Kalau ternyata tidak ada kemajuan pada persalinan, pemberiannya
dihentikan, dan lebih baik dilakukan section secaria.
3. Rencana penatalaksanaan forcep pada pasien ini tidak tepat
Rencana terminasi pada kasus ini tidak tepat karena prasyarat dari
ekstraksi forceps atau vakum pada kala II tidak terpenuhi. Adapun syarat ekstraksi
forsep dan vakum adalah serviks sudah dilatasi maksimal, membran sudah ruptur,
kepala janin sudah engaged di station 0 (Hodge III) atau lebih rendah, syarat ini
tidak ditemukan pada pasien ini karena bagian terbawah janin masih di hodge II.
Begitu telah memasuki kala II keputusan Forcep dan SC telah dapat ditentukan.
Pada pasien ini begitu memasuki kala II tidak perlu menunggu 2 jam sebelum
dilakukan SC. Pada pasien ini sebaiknya direncanakan SC cito, tidak menunggu
kala II memanjang.
29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Diagnosis pada pasien ini adalah: G1P0A0H0 parturient aterm kala I
fase aktif + inersia uteri hipotonik dengan PEB, Janin Hidup Tunggal
Intra Uterine Presentasi Kepala
2. Penatalaksanaan akselerasi dan amniotomi pada pasien ini terkesan
lambat.
3. Penatalaksanaan terminasi pada pasien ini kurang tepat seharusnya tidak
direncanakan ektraksi forceps atau vakum, sebaiknya direncanakan SC
cito setelah diagnosis kala II ditegakkan.
Saran
1. Penegakkan diagnosis seharusnya lebih lengkap disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan.
2. Penatalaksanaan akselerasi sebaiknya lebih awal setelah diagnosis
ditegakkan.
3. Syarat dari ektraksi forceps dan vakum harus terpenuhi terlebih dahulu
sebelum rencana terminasi ditegakkan.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan, edisi 3, Cetakan Kelima, Jakarta, Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999 : 281 – 300
2. Cunningham FG, Gant F.G, et all, William Manual of Obstetrics, 23st Edition
Boston, McGraw Hill, 2003 : 339 - 47.
3. Wagner KL. Diagnosis and Management of Preeklampsia. American
Academy of Family Physicians. Vol 70, No 12 ; 2317-24.
4. Preeklampsia dalam Standar Pelayanan Medik POGI. 2006.
5. Royal college of Obstetricians and Gyneecologists. Guideline Management of
severe preeklampsia and eklampsia. March 2006, London. Diunduh dari
www.RCOG.or.UK; 1 mei 2010.
6. Mose JC. Pedoman Pegelolaan Hipertensi dalam kehamilan di Indonesia.
Ditampilkan dalam Seminar Ilmiah Mempersiapkan Generasi Sehat Sesuai
MDG’s 2015. Pekanbaru. 2010.
7. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Preeklampsia dan Eklampsia.
Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh. Yayasan Bina Pustaka-Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: 2005
8. Zulmaeta. Memaksimalkan pemeriksaan kehamilan dengan sarana yang ada.
Ditampilkan dalam Seminar Ilmiah Mempersiapkan Generasi Sehat Sesuai
MDG’s 2015. Pekanbaru. 2010.
9. Saifuddin dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Edisi Pertama Cetakan keempat. Yayasan Bina Pustaka-Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta: 2006
10. Duff P, Ling FW. Obstetrics and Gynecology, Principles and Practice, int’l ed.
2001
11. Ross MG, Beall MH. Forseps Delivery. www.eMedicine.com. 2006
12. Pope CS, O’Grady JP. Vacuum Delivery. www.eMedicine.com. 2004
13. Herera E, Pernoll ML. Complication of labour and delivery. In: Detchherney
AH, Pernoll ML,editors. Current Obstetric and Gynecology Diagnosis and
Treatment. 8th ed. hal.515-516
31
Research Paper helphttps://www.homeworkping.com/
32