497-559-1-PB

5
Tinjauan Pustaka Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007 Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik: Blokade Reseptor–Penghambatan Aktivasi Reseptor Saut Sahat Pohan Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya Abstrak: Antihistamin H 1 merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan histamin saling berlomba menempati reseptor histamin. Blokade reseptor H 1 oleh antihistamin H 1 tidak diikuti aktivasi reseptor H 1 , tetapi hanya mencegah agar histamin tidak berikatan dengan reseptor H 1 , sehingga tidak terjadi efek biologik misalnya kontraksi otot polos, vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Antihistamin H 1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas konstitutif reseptor H 1 atau menurunkan aktivitas reseptor H 1 yang diinduksi agonis. Dahulu dikatakan bahwa untuk dimulainya pengiriman sinyal transduksi yang diperantarai terikatnya G protein dengan reseptor/G-protein-coupled receptors (GPCR) dibutuhkan ikatan agonis pada reseptor H 1 . Akhir-akhir ini dibuktikan GPCR berperan dalam aktivasi reseptor kostitutif tanpa disertai ikatan agonis pada reseptor H 1 . Aktivasi reseptor konstitutif H 1 dan aktivasi reseptor yang diinduksi agonis berperan pada aktivasi NF-κB. Inverse agonist mampu menurunkan aktivitas reseptor, sehingga menurunkan aktivitas NF-κB dan menghambat terjadinya radang. Beberapa antagonis H 1 misalnya cetirizin, ebastin, levocetirizin dapat menghambat aktivasi NF-κB yang disebabkan aktivasi konstitutif reseptor H 1 . Ikatan histamin dengan reseptor H 1 didapatkan dalam bentuk 3 dimensi, sehingga disimpulkan bahwa ikatan reseptor H 1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan spesifik stereo. Beberapa antihistamin misalnya cetirizin, loratadin, levocetirizin, dextrocetirizin berikatan dengan reseptor H 1 dalam bentuk ikatan spesifik stereo, tetapi afinitas setiap antihistamin tersebut terhadap reseptor H 1 berbeda. Perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergik misalnya mekanisme antihistamin sebagai anti inflamasi, struktur reseptor H 1, afinitas pengikatan antihistamin terhadap reseptor H 1 . Diharapkan didapatkan antihistamin yang efektif dan tidak menimbulkan efek samping pada pengobatan penyakit alergik . Kata kunci: reseptor H 1 , agonis, inverse agonist, NF-κB 113

Transcript of 497-559-1-PB

Page 1: 497-559-1-PB

Tinjauan Pustaka

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Mekanisme Antihistamin padaPengobatan Penyakit Alergik:

Blokade Reseptor–PenghambatanAktivasi Reseptor

Saut Sahat Pohan

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak: Antihistamin H1 merupakan inhibitor kompetitif terhadap histamin. Antihistamin dan

histamin saling berlomba menempati reseptor histamin. Blokade reseptor H1 oleh antihistamin

H1

tidak diikuti aktivasi reseptor H1, tetapi hanya mencegah agar histamin tidak berikatan

dengan reseptor H1, sehingga tidak terjadi efek biologik misalnya kontraksi otot polos,

vasodilatasi, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Antihistamin H1 bukan hanya

sebagai antagonis tetapi juga sebagai inverse agonist yang dapat menurunkan aktivitas

konstitutif reseptor H1 atau menurunkan aktivitas reseptor H

1 yang diinduksi agonis. Dahulu

dikatakan bahwa untuk dimulainya pengiriman sinyal transduksi yang diperantarai terikatnya

G protein dengan reseptor/G-protein-coupled receptors (GPCR) dibutuhkan ikatan agonis

pada reseptor H1. Akhir-akhir ini dibuktikan GPCR berperan dalam aktivasi reseptor kostitutif

tanpa disertai ikatan agonis pada reseptor H1. Aktivasi reseptor konstitutif H

1 dan aktivasi

reseptor yang diinduksi agonis berperan pada aktivasi NF-κB. Inverse agonist mampu

menurunkan aktivitas reseptor, sehingga menurunkan aktivitas NF-κB dan menghambat

terjadinya radang. Beberapa antagonis H1

misalnya cetirizin, ebastin, levocetirizin dapat

menghambat aktivasi NF-κB yang disebabkan aktivasi konstitutif reseptor H1. Ikatan histamin

dengan reseptor H1 didapatkan dalam bentuk 3 dimensi, sehingga disimpulkan bahwa ikatan

reseptor H1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan spesifik stereo. Beberapa

antihistamin misalnya cetirizin, loratadin, levocetirizin, dextrocetirizin berikatan dengan

reseptor H1

dalam bentuk ikatan spesifik stereo, tetapi afinitas setiap antihistamin tersebut

terhadap reseptor H1 berbeda.

Perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan

penyakit alergik misalnya mekanisme antihistamin sebagai anti inflamasi, struktur reseptor H1,

afinitas pengikatan antihistamin terhadap reseptor H1. Diharapkan didapatkan antihistamin

yang efektif dan tidak menimbulkan efek samping pada pengobatan penyakit alergik .

Kata kunci: reseptor H1, agonis, inverse agonist, NF-κB

113

Page 2: 497-559-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik

Antihistamine Mechanism on Allergic Disease Treatments:

Receptor blockage – Receptor inactivation

Saut Sahat Pohan

Department of Dermato-Venereology Faculty of Medicine, Airlangga University/

Dr. Soetomo Hospital, Surabaya, Indonesia

Abstract: H1 antihistamines are competitive inhibitors to histamine H

1 receptor. They bind to the

receptor without activating it but prevent the subsequent binding of histamine. However, recent

studies have shown that H1 antihistamines are not antagonists but inverse agonists. They have

capacity to turn off an active receptor. H1 antihistamines, acting as inverse agonists, have the

ability to turn off these receptors and reduce allergic inflammation. Classical models of G-protein-

coupled receptors (GPCRs) require the occupation of receptors by an agonist to initiate the

activation of signal transduction pathways. Recently, the expression of GPCRs in recombinant

systems revealed a constitutive spontaneous receptor activity, which is independent to receptors

occupancy by an agonist. An agonist would lead the increase of the basic activity leading to

continuous activation signals. Gbg and Gaq/11

sub unit have an important role in sending consti-

tutive signal and agonist-mediated signal. Thus, H1 constitutive receptor has an important role in

activating the constitutive NF-κB. The H1 receptor-mediated NF-κB activation is inhibited by

several H1 antagonists, such as cetirizine, ebastine, levocetirizine. Histamine molecules exist and

their reactions take place in three-dimensional space. Therefore, they are stereospecific binding

between the H1 receptors and the histamine/antihistamine. Several antihistamines such as cetirizine,

loratadine, levocetirizine, dextrocetirizine bind perfectly with the H1-receptors in a stereo specific

binding, but the binding affinity among the antihistamines is different.

Further investigations in knowing how antihistamines work, such as the anti-inflammation mecha-

nisms, the H1 receptor structure and the binding affinity of H

1 antihistamines to receptors are

needed in finding effective antihistamines to treat allergic diseases.

Key words: H1 receptor, agonist, inverse agonist, NF-κB

Pendahuluan

Peningkatan prevalensi penyakit alergik mengakibatkan

makin bergairahnya peneliti mencari obat yang efektif unuk

mengatasi penyakit tersebut.

Histamin merupakan salah satu faktor yang menim-

bulkan kelainan akut dan kronis, sehingga perlu diteliti lebih

lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit

alergik. Antihistamin merupakan inhibitor kompetitif terhadap

histamin. Antihistamin dan histamin berlomba menempati

reseptor yang sama. Blokade reseptor oleh antagonis H1

menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga

menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot

polos, peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan

vasodilatasi pembuluh darah. Akhir-akhir ini dibuktikan

bahwa antihistamin H1 bukan hanya sebagai antagonis tetapi

juga sebagai inverse agonist yang mempunyai kapasitas

menghambat aktivitas reseptor H1

sedangkan antagonis H1

tidak berpengaruh terhadap aktivitas reseptor H1. Reseptor

pada permukaan sel (termasuk reseptor H1) dapat berikatan

dengan protein G yang terdapat pada membran sel di daerah

yang berbatasan dengan sitoplasma (cytosolic domain of

cell membrane).1 Perubahan/peningkatan aktivitas reseptor

H1 yang dipengaruhi molekul dari luar sel mengakibatkan

perubahan/peningkatan aktivitas protein G. Perubahan/

peningkatan aktivasi protein G menimbulkan transduksi sig-

nal (signal transduction) ke beberapa target (efektor),

sehingga mengakibatkan aktivasi NF-κB yang merupakan

faktor transkripsi yang berperan pada terjadinya reaksi

radang.

Beberapa peneliti tertarik meneliti aktivasi reseptor H1

yang mengakibatkan terjadinya reaksi radang dan mencari

antihistamin yang efektif serta yang tidak mempunyai efek

samping, untuk mengatasi radang tersebut.

Pada makalah ini dibahas mekanisme antihistamin pada

pengobatan penyakit alergik misalnya mekanisme anti-

histamin sebagai anti-inflamasi, struktur reseptor H1 dan

afinitas pengikatan antihistamin terhadap reseptor H1.

114

Page 3: 497-559-1-PB

Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Mekanisme Antihistamin sebagai Anti Inflamasi

Walaupun belakangan ini penelitian mengenai anti-

histamin berkembang dengan pesat, demi peningkatan nilai

pengobatan penyakit alergi, sampai saat ini masih terus

diusahakan menemukan antihistamin yang efektif dan tidak

mempunyai efek samping, yang disebut sebagai neutral

antagonist. Diharapkan antagonis netral mempunyai khasiat

blokade reseptor H1 ditambah dengan beberapa khasiat

lainnya, tetapi tidak mempunyai efek samping yang tak

diharapkan, sehingga merupakan antihistamin yang mem-

punyai karakter spesifik. Sampai saat ini belum teridentifikasi

antagonis netral tersebut, sehingga sering yang diartikan

dengan antagonis netral adalah antagonis H1 yang efektif

pada pengobatan penyakit alergi.2

Berdasarkan pengamatan, diduga sebagian besar

reseptor pada permukaan sel termasuk reseptor H1 berada

dalam keadaan aktif sampai tingkat tertentu yang dikenal

sebagai aktivitas konstitutif (constitutive activity), tanpa

kehadiran agonis. Akibatnya terjadilah reklasifikasi dalam

hal ikatan ligand dengan reseptor H1 menjadi 3 subdivisi

yaitu agonis, inverse agonist, dan antagonis netral.3

Klasifikasi sebelumnya terdiri atas agonis dan competitive

antagonist. Interaksi reseptor pada permukaan sel dengan

agonis meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor, walaupun

agonis tidak harus menempati/terikat pada reseptor H1.2

Agonis adalah molekul yang mempunyai kemampuan

merangsang/meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor.

Interaksi reseptor dengan inverse agonist menurunkan

aktivitas konstitutif reseptor, sedangkan interaksi reseptor

dengan antagonis netral tidak mempengaruhi aktivitas

konstitutif reseptor. Antagonis netral yang terikat pada

reseptor hanya dapat menghambat kegiatan agonis. Diduga

antihistamin H1

juga bersifat sebagai inverse agonist.4

Terdapat perbedaan farmakologik antara inverse agonist dan

antagonis netral, tetapi dugaan ini masih perlu diteliti lebih

lanjut.2

Membran sel merupakan batas antara sel dengan luar

sel. Membran sel bersifat permeabel terhadap molekul yang

larut dalam lemak, misalnya steroid. Steroid melakukan difusi

ke dalam sel melalui membran sel. Membran sel bersifat

impermeabel terhadap materi yang larut dalam air misalnya

ion, molekul inorganik yang kecil dan polipeptida. Respons

terhadap materi yang hidrofilik tersebut tergantung pada

interaksi antara materi/molekul ekstraseluler dengan kom-

ponen protein pada membran plasma. Molekul ekstraseluler

itu disebut ligand, sedangkan protein membran plasma yang

mengikat ligand disebut reseptor. Materi ekstraseluler yang

tidak dapat langsung masuk ke sel melalui membran plasma

misalnya makromolekul akan melalui lipid bilayer.5 Di

samping itu ligand yang tidak dapat melalui membran sel,

dapat mengirim sinyal yaitu dengan cara mengubah sifat

protein dari membran sel bagian ekstraseluler (extracellular

domain of cell membrane), dan akhirnya sinyal dikirim ke

membran sel yang berbatasan dengan sitoplasma /cytosolic

domain of cell membrane (Gambar1). Amplitudo sinyal

sitosolik yang jauh lebih besar daripada sinyal pertama yang

diterima membran sel akan berinteraksi dengan beberapa pro-

tein yang terdapat pada sitoplasma.

Gambar 1. Informasi dari Luar yang Diterima Sel Melalui

Pergerakan Ligand dan Transduksi Signal5

Sinyal sitosolik menginduksi aktivitas protein secara

berurutan atau meningkatkan jumlah molekul kecil yang

terdapat di dalam sel.

Reseptor juga mempunyai aktivitas kinase protein; ki-

nase diaktivasi pada waktu ligand terikat pada membran sel,

yang akan menyebabkan otofosforilase pada cytoplasmic

domain receptor, sehingga menginduksi protein target pada

sitoplasma yang akhirnya membentuk substrat baru di dalam

sel. Pada umumnya reseptor kinase adalah tyrosine kinase,

selain itu didapatkan juga reseptor serin kinase/treonin ki-

nase. Beberapa peneliti juga telah membuktikan terjadinya

aktivasi NF-κB, melalui akivasi tyrosine kinase.4

Reseptor bagian luar (extracellular domain receptor)

juga berinteraksi dengan protein G yang terdapat pada

reseptor yang berbatasan dengan sitoplasma (cytoplasmic

domain receptor). Protein G inaktif didapatkan dalam bentuk

trimer yang berikatan dengan guanine diphosphate (GDP).

Pada keadaan reseptor menjadi aktif, terjadi perubahan

konfirmasi yang akan menyebabkan perubahan konfirmasi

pada protein G sub unit α. Perubahan tersebut menyebabkan

lepasnya GDP yang sebelumnya terikat pada protein G sub-

115

Page 4: 497-559-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik

unit α dan diganti guanine triphosphate (GTP). Pengikatan

GTP menyebabkan protein G sub-unit α melepaskan diri dari

reseptor dan protein G sub unit β γ. Lama berlangsungnya

aktivasi protein G dikontrol oleh protein G sub-unit α. Pro-

tein G sub-unit α merupakan bentuk GTPase, yang akan

menghidrolisis GTP menjadi GDP, dan akhirnya protein G

sub unit α akan terikat lagi dengan protein G sub unit β γ,

sehingga siklus seperti semula akan berlangsung lagi.

Peningkatan aktivasi beberapa reseptor pada permukaan sel

termasuk reseptor H1 mengakibatkan peningkatan aktivasi

protein G sehingga menimbulkan transduksi sinyal ke

beberapa target/efektor (Gambar 2).

Berhubung telah dibuktikan bahwa histamin mengak-

tivasi NF-κB melalui aktivasi reseptor H1; mekanisme aktivasi

NF-κB dalam arti yang lebih luas masih diteliti lebih lanjut.

Aktivitas reseptor H1 dapat berupa aktivitas konstitutif;

reseptor sudah dalam keadaan “siap” sampai tingkat tertentu.

Agonis H1 adalah histamin H

1 yang mempunyai afinitas

meningkatkan aktivitas konstitutif reseptor H1.

Akibat transduksi sinyal dari reseptor konstitutif,

terjadilah aktivasi NF-kB konstitutif. Begitu juga dengan cara

yang sama terjadi peningkatan aktivasi NF-κB akibat

peningkatan aktivasi reseptor yang disebabkan agonis.

Bakker et al4 membuktikan bahwa aktivasi NF-κB yang

diperantarai oleh aktivasi reseptor histamin H1 diperankan

oleh protein G subunit β γ dan αq/11

.4

Peningkatan aktivitas

NF-κB terutama didapatkan pada penderita asma, sehingga

diduga NF-κB berperan penting pada patogenesis asma.

Penghambatan aktivasi NF-κB konstitutif yang disebabkan

aktivasi reseptor H1 konstitutif hanya dapat dilakukan

antagonis H1, sedangkan antagonis H

2 dan H

3 tidak berperan,

sehingga diduga antagonis H1 juga bersifat sebagai inverse

Gambar-2 : Aktivasi Protein G Melalui Aktivasi Reseptor. 5

agonist. Diduga beberapa antagonis H1 misalnya cetirizin,

ebastin, loratadin, feksofenadin dapat menghambat aktivasi

NF-κB konstitutif yang diperantarai oleh aktivasi konstitutif

reseptor H1.

Pengobatan penyakit alergik dengan cara menghambat

inflamasi yang diduga disebabkan peningkatan aktivitas NF-

κB sedang dipikirkan oleh beberapa peneliti.4 Beberapa

antagonis H1 yang selama ini lebih dikenal untuk meng-

hilangkan rasa gatal dapat digunakan sebagai anti-inflamasi

pada penyakit yang disebabkan reaksi alergik.2,6,7

Ciprandi et al6 meneliti efikasi cetirizin pada penderita

konjungtivitis yang disebabkan alergen spesifik yaitu

Parietaria judaica. Dari hasil penelitian itu, disimpulkan

bahwa pada kelompok yang diberi cetirizin didapatkan

penurunan ekspresi ICAM-1 dan jumlah sel radang, diban-

dingkan dengan kelompok yang diberi plasebo.

Boguniewicz8 menduga bahwa cetirizin juga mempunyai

khasiat anti-inflamasi dengan cara menghambat migrasi

eosinofil. Holgate et al,2 mengutarakan mekanisme anti

inflamasi yang dimiliki beberapa antihistamin tidak selalu

tergantung pada inverse agonist, sehingga masih perlu diteliti

lebih lanjut mekanisme antihistamin sebagai anti inflamasi.

Sampai saat ini masih diusahakan mendapatkan anti-

histamin yang berkhasiat sebagai “antagonis H1

ditambah

faktor ekstra” terutama faktor ekstra yang bersifat anti-

inflamasi.

Struktur Reseptor H1

Ikatan histamin dengan reseptor H1 didapatkan dalam

bentuk 3 dimensi,9 sehingga disimpulkan bahwa ikatan

reseptor H1 dengan histamin/antihistamin merupakan ikatan

spesifik stereo. Beberapa antihistamin seperti cetirizin,

116

Page 5: 497-559-1-PB

Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 4, April 2007

Mekanisme Antihistamin pada Pengobatan Penyakit Alergik

loratadin dan levocetirizin dapat berikatan dengan reseptor

H1 dalam ikatan spesifik stereo.9

Hasil penelitian menunjukkan bahwa afinitas dan durasi

ikatan antihistamin dengan reseptor berperan pada efektivitas

antihistamin. Metode untuk mengukur efektivitas

antihistamin dapat dengan cara melakukan uji tusuk kulit

(skin prick test), yang diikuti penilaian penghambatan

antihistamin terhadap warna merah (flare) dan sembab

(wheal) yang ditimbulkan histamin.10,11

Antihistamin yang mempunyai afinitas besar terhadap

reseptor H1, durasi ikatan antara antihistamin dengan reseptor

yang lebih lama dan mempunyai khasiat antiinflamasi akan

mempunyai efektivitas yang lebih baik daripada antihistamin

lainnya. Selain itu farmakokinetik dan farmakodinamik

antihistamin masih perlu diteliti sehingga didapatkan anti-

histamin yang tidak menimbulkan efek samping yang berarti.

Penutup

Pada awalnya mekanisme antihistamin pada pengobatan

penyakit alergik dikenal sebagai blokade reseptor H1 terhadap

histamin. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa antihistamin

mempunyai khasiat anti inflamasi. Mekanisme antihistamin

dalam menghambat radang melalui penekanan ekspresi

molekul adhesi, menghambat migrasi sel radang telah

dibuktikan. Telah diteliti juga hubungan antihistamin dengan

aktivitas konstitutif reseptor H1, peningkatan aktivitas

reseptor H1 yang disebabkan agonis misalnya histamin.

Peningkatan aktivitas reseptor H1 mengakibatkan pening-

katan aktivitas NF-κB yang merupakan faktor transkripsi

yang berperan pada terjadinya reaksi radang, sedangkan

antagonis H1 tidak dapat mempengaruhi aktivitas reseptor

H1. Akhir-akhir ini diduga beberapa antagonis H

1 mempunyai

khasiat sebagai inverse agonist yaitu menghambat aktivasi

reseptor H1, yang mengakibatkan penghambatan aktivasi NF-

κB. Disimpulkan reaksi radang juga dapat dihambat anti-

histamin. Pada pengobatan penyakit alergik, diharapkan

antihistamin yang mempunyai khasiat anti-inflamasi dapat

mengurangi pemakaian kortikosteroid yang sering menim-

bulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Daftar Pustaka

1. Lázar-Molnár E. Signal-transduction pathways of histamine re-

ceptors. In: Falus A, Grosman N, Darvas Zs.eds. Histamine: bio-

logy and medical aspects. Budapest, Hungary: Spring Med Pub-

lishing; 2004.p.89-96.

2. Holgate ST, Simons FER, Tagliala M. Tharp M, Timmerman H,

Yanai K. Consensus group on new-generation antihistamines

(CONGA): present status and recommendation. Clin Exp Allergy

2003;33:1305-24.

3. Tömösközi Z. Histamine agonists, antagonists, and inverse

agonosts. In: Falus A, Grosman N, Darvas Zs.eds. Histamine:

iology and medical aspects. Budapest, Hungary: Spring Med Pub-

lishing; 2004.p.78-88

4. Bakker RA, Schoonus SBJ, Smit MJ, Timmerman H, Leurs R.

Histamine H1-receptor activation of nuclear factor-

KB: Roles for

Gbg and Gaq/11

-subunits in constitutive and agonist-mediated sig-

naling. Mol Pharmacol 2001;60:1133-42.

5. Lewin B. Signal transduction. In: Genes VII. Oxford: Oxford

University Press; 2000.p.801-34

6. Ciprandi G, Buscaglia S, Pasce G. Cetirizine reduces inflammatory

cell recruitment and ICAM-1 (or CD54) expression on conjunc-

tival epithelium in both early and late-phase reactions after aller-

gen-specific challenge. J Allergy Clin Immunol 1995; 95:612-21.

7. Day JH, Ellis AK, Rafeiro E. A new selective H1 receptor antago-

nist for use in allergic disorders. Drugs of Today 2004:40(5):415-

21.

8. Boguniewicz M, Leung DYM. Management of atopic dermatitis.

In: Leung DYM ed. Atopic dermatitis: from pathogenesis to treat-

ment. New York: Springer-Verlag; 1996.p.185-220.

9. Noszál B, Kraszni M, Rácz A. Histamine: fundamentals of bio-

logical chemistry. In: Falus A, Grosman N, Darvas Zs.eds. Hista-

mine: biology and medical Aspects. Budapest, Hungary: Spring

Med Publishing; 2004.p.15-28

10. Purohit A, Melac M, Pauli G, Frossard N. Twenty-four-hour ac-

tivity and consistency of activity of levocetirizine and

desloratadine in the skin. Br J Clin Pharmacol 2003;56:388-94.

11. Grant JA, Riethuisen JM, Moulaert B, DeVos C. A double-blind,

randomized, single-dose, crossover comparison of levocetirizine

with ebastine, fexofenadine, loratadine, mizolastine, and placebo:

suppression of histamine-induced wheal-and-flare response du-

ring 24 hours in healthy male subjects. Ann Allergy Asthma

Immunol 2002;88:190-7.

SS

117