494-951-2-PB
-
Upload
ahmad-zaki -
Category
Documents
-
view
216 -
download
0
description
Transcript of 494-951-2-PB
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
74
Pemberdayaan Mantan Penderita Gangguan Jiwa (Empowerment of Ex-Mental Disorder Sufferers)
Euis Septia Rahman,Krishendrijanto
Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, FISIP Universitas Jember Jln. Kalimantan 37, Jember 68121
E-mail: [email protected]; [email protected]
Abstract
This research was intended to identify the empowerment process of ex-mental disorder sufferers conducted by Metal Islamic boarding school, Rejoso Village, District of Rejoso, Pasuruan Regency. Considering that the ones who would be empowered were abnornal individuals who needed special care and later special treatment. The fact that the institution carrying out the empowerment was a conventional institution was indeed what made the researcher interested in studying it. How was the empowerment process of ex-mental disorder sufferers conducted by Metal Islamic boarding school Pasuruan to help them to become individual figures that could recreate their social functions, so that they could become independent individuals who could meet their needs and live in prosperity? This research used qualitative approach, with case study research design. In data collection, researchers used several techniques of observation including: passive participatory observation, straight and hidden observation, the interview used was unstructured interview, and documentation. The research results were that: the empowerment process of ex-mental disorder sufferers conducted by Metal Islamic boarding Pasuruan passed through the stages of empowerment as follows: (i) the pre-empowerment (inspection, healing), (ii) the empowerment phase (recovery, social functioning, service delivery), (iii) the termination phase (repatriation, getting married). Keywords: empowerment, ex-mental disorder sufferers, Metal Islamic Boarding
School Pasuruan. .
Pendahuluan
Pondok Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua dengan fungsi utama
menanamkan nilai-nilai keislaman bagi para
santrinya (siswa yang belajar di lingkungan
pesantren). Hakikat dari pondok pesantren
adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan
yang di dalamnya juga terdapat pembinaan
akhlaqul karimah dan mengajarkan keman
dirian kepada para santrinya dalam
menyelesaikan tugas individu mereka. Akan
tetapi berbeda dengan keberadaan Pondok
Pesantren Metal Pasuruan. Selain merupakan
tempat penanaman nilai-nilai keislaman,
Pondok Pesantren Metal Pasuruan ini juga
berfungsi sebagai tempat rehabilitasi sehingga
masyarakat setempat menyebutnya “Bengkel
Manusia” karena peran ganda yang diterapkan
oleh Pondok Pesantren Metal.
Peran ganda Pondok Pesantren Metal
Pasuruan inilah yang menjadi ciri khas bagi
lembaga ini, yaitu berfungsi sebagai tempat
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
75
rehabilitasi bagi para penyandang masalah
sosial (para pecandu obat dan minuman
terlarang, korban pemerkosaan, anak terlantar,
korban santet, dan penderita gangguan jiwa).
Banyak hal lain yang membuat Pondok
Pesantren Metal Pasuruan ini berbeda dengan
pondok pesantren pada umumnya. Santri yang
berada di Pondok Pesantren Metal Pasuruan
mayoritas adalah para penyandang masalah
sosial. Nama METAL yang digunakan sangat
asing bagi kita untuk ukuran Lembaga Islam.
Tampilan santri Pondok Pesantren Metal
Pasuruan cenderung berbeda dengan santri
pada umumnya dan tidak tersedianya
pendidikan formal di sana. Kegiatan yang
diterapkan pun hanya kegiatan salafi
(kegiatan-kegiatan keagamaan semata).
Dari berbagai perbedaan yang ada,
Pondok Pesantren Metal Pasuruan tetap
menjalankan fungsi atau tujuan utamanya.
Pondok Pesantren Metal Pasuruan memiliki
tujuan mulia dan keberadaannya diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi mereka dan
siapa saja yang membutuhkan (penuturan
pengasuh Pondok Pesantren Metal Pasuruan
KH. Abu bakhar kholil). Hal ini dapat dilihat
dari tanggung jawab yang diberikan terhadap
segenap santrinya. Semua kebutuhan santri
baik kebutuhan dasar seperti makan, minum,
pakaian, maupun pendidikan, kesehatan dan
tempat tinggal merupakan tanggung jawab
Pondok Pesantren Metal.
Berkaitan dengan peran ganda, Pondok
Pesantren Metal Pasuruan adalah menampung
para penyandang masalah sosial untuk di
santrikan atau di pondokkan di Pesantren
Metal dan disembuhkan serta diperlakukan
layaknya manusia normal lainnya. Para
penderita gangguan jiwa, didapatkan dengan
cara merazia penderita yang menggelandang
dan tidak memiliki sanak-saudara. Pihak
Pondok Pesantren Metal melakukan razia
diberbagai jalan, tanpa adanya perencanaan
rute sebelumnya dan tanpa penjadwalan hari
razia. Kegiatan ini dilakukan hanya
berdasarkan perintah pengasuh atau kyai
sehingga kegiatan yang dilakukan bersifat
sporadis, karena tidak memiliki konsep
sebagai acuan dan perencanaan sebagai
langkah-langkah untuk mengaplikasikannya.
Razia tersebut dilakukan dengan alat
bantu transportasi yang dimiliki pondok
pesantren yakni truk untuk mengangkut para
penyandang masalah social itu. Setibanya di
Pondok Pesantren Metal ditangani melalui
tahap awal yakni penyembuhan dengan ritual
supranatural, yang dilakukan oleh pengasuh
atau pimpinan pesantren yaitu, penderita
gangguan jiwa digunduli, dimandikan, dan
didoakan. Setelah dinyatakan sembuh, mereka
dibaurkan dan diikutsertakan kegiatan santri
pada umumnya.
Tidak ada diskriminasi pelayanan yang
diberikan oleh Pondok Pesantren Metal
terhadap penderita gangguan jiwa dengan
mantan penderita gangguan jiwa. Hal ini
berbeda dengan perlakuan mayoritas
masyarakat yang memberikan stereotip negatif
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
76
terhadap penderita gangguan jiwa, karena
masih mempertahankan pola pikir salah untuk
dijadikan acuannya sehingga memunculkan
persepsi dan stigma yang salah juga. Misalnya,
kepercayaan atau mitos yang salah mengenai
penyakit mental, ada yang percaya bahwa
penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh
jahat. Kepercayaan di masyarakat bahwa
gangguan jiwa timbul karena adanya musuh
roh nenek moyang yang masuk ke dalam
tubuh seseorang kemudian menguasainya. Ada
yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna,
ada juga yang mempercayai karena kutukan
atau hukuman atas dosanya. Bahkan ada yang
menilai bahwa penyakit mental itu adalah
penyakit memalukan sehingga dalam persepsi
tersebut, jika salah seorang anggota
keluarganya mengalami gangguan kejiwaan,
keluarganya akan menerima aib, bahkan
mereka menganggap penderita gangguan jiwa
adalah sampah sosial yang harus dibersihkan
dari pemandangan kota. Perlakuan diskri
minatif yang dilakukan masyarakat umum
yang memperlakukan para penderita gangguan
jiwa dengan perlakuan yang sangat kasar,
seringkali dilakukan oleh anak-anak dengan
melempari batu dan mengejek. Sementara itu,
masyarakat dewasa memperlakukan penderita
gangguan jiwa dengan cara menghardiknya.
Dalam hal ini, pemerintah memperlakukannya
dengan cara menyingkirkan secara tidak
manusiawi. Dengan tindakan demikian
selanjutnya akan memperparah penderita
gangguan jiwa tersebut, karena lingkungan
sekitar menghina, menolak, bahkan mengu-
cilkan penderita gangguan jiwa (Kartono,
2009:33).
Perlakuan yang lebih parah atau
bahkan tidak manusiawi banyak ditemui dari
pihak keluarga, yang justru melebihi perlakuan
yang dilakukan oleh masyarakat luas. Pihak
keluarga menganggap, apabila ada salah satu
keluarganya menderita gangguan jiwa, itu
adalah sebuah aib yang harus disembunyikan.
Untuk menjaga reputasi keluarga, mereka
tidak segan-segan untuk membuang si
penderita gangguan jiwa ke tempat atau daerah
lain, agar tidak ada orang yang mengetahuinya
bahkan mengucilkan mereka di tempat yang
tertutup. Yang lebih parah, mereka tega
membakar hidup-hidup si penderita gangguan
jiwa ini demi sebuah nama baik keluarga.
Perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh
pihak keluarga terhadap penderita gangguan
jiwa seperti penuturan dari seorang ibu asal
Bangka Belitung. Menurutnya, anak gadisnya
sering berlarian di jalan tanpa sehelai benang
pun di badannya, suka lari-lari keliling
kampung dengan telanjang. Dari situlah, kami
sekeluarga mengambil keputusan untuk
mengurungnya di rumah. Daripada dia berbuat
malu untuk keluarga, demi kebaikannya, kita
pasung dia," tambahnya. (Bangkapos.com-
Kamis, 18 Oktober 2012 17:04 WIB).
Tindakan diskriminatif lainnya yang
terangkum oleh data kesehatan daerah
Trenggalek diberitakan, tiga penderita
gangguan jiwa, Asman Budi (37), Kaseno
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
77
(52), dan Suyanti (47), dikerangkeng dengan
sangkar bambu di Desa Gamping, Kecamatan
Suruh. Demikian juga di Desa Ngrandu pada
kecamatan yang sama terdapat dua lagi
penderita gangguan jiwa, yaitu Giman (44)
dan Ngoro (32). Giman dikerangkeng,
sementara Ngoro dipasung. (Kompas.Com
Minggu, 7 Oktober 2012 | 09:42 WIB).
Kenyataannya, para penderita gangguan
kejiwaan dianggap abnormal karenanya
mereka pantas menerima perlakuan yang tidak
lazim, bahkan kerap sekali tidak manusiawi
seperti dirantai, dipasung, dikerangkeng
(Setyonegoro,2011:11).
Tidak adanya dukungan secara psikis
menambah parahnya tingkat penyakit jiwa
yang dialaminya, sehingga lambat laun dapat
menambah tingginya angka penderita
gangguan jiwa di Indonesia. Menurut data
Departemen Kesehatan tahun 2007, penderita
gangguan kejiwaan mencapai lebih dari 28 juta
orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan
11,6% dan 0,46% menderita gangguan jiwa
berat atau 46 per mil. Sementara itu, untuk
prevalensi penderita gangguan jiwa di DKI
terbesar sebanyak 2,03% atau 20 per mil.
(Jurnas.com Selasa, 05 Oktober 2010 19:17
WIB). Riset dasar kesehatan nasional tahun
2007 menyebutkan sekitar 1 juta orang di
Indonesia mengalami gangguan jiwa berat,
sedangkan 19 juta orang lainnya menderita
gangguan jiwa ringan hingga sedang (Dewi,
2011). Pada tahapan gangguan jiwa, jenis
penyakit gangguan jiwa skizofrenia termasuk
dalam gangguan jiwa berat. Berdasarkan
survei Kementerian Sosial tahun 2008,
penderita skizofrenia di Indonesia ada 650.000
orang. Menurut survei Direktur Rumah Sakit
Pusat Bali, penderita gangguan jiwa berat
mencapai 219.200 dengan perincian 10% dari
angka tersebut pasien yang memerlukan
perawatan intensif karena mengidap depresi
mental”akut”. Menurut perhitungan kota Sura
baya (Tempo Interaktif, Surabaya 20 juni
2007) bahwa penderita gangguan jiwa pada
tahun 2006 mencapai 1.665 jiwa dan pada
tahun 2007 meningkat menjadi 11.000 jiwa.
Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(riskesda) mengungkap 0,46% dari populasi
menderita gangguan psikotik (Setyonegoro,
2011: 9). Jika masyarakat pada umumnya dan
keluarga pada khususnya memperlakukan
penderita gangguan jiwa layaknya orang
normal, Insya Allah mereka diberi
kesembuhan dan normal kembali,” tutur KH
Abu Bakar Kholil (Surya 28-04-2010).
Tidak ada rangkaian khusus atau
tahapan yang spesifik yang diterapkan di
Pondok Pesantren Meta dalam membantu
penyembuhan dan pemulihan sehingga
penderita gangguan jiwa tersebut menjadi
mantan penderita gangguan jiwa yang berdaya.
Dari tidak memiliki konsep khusus itulah yang
menjadi sisi unik Pondok Pesantren Metal
Pasuruan, khususnya dalam penanganan
mantan penderita gangguan jiwa, sehingga
mantan penderita gangguan jiwa tersebut dapat
memfungsikan kembali fungsi sosialnya.
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
78
Prinsip dasar pihak Pondok Pesantren Metal
Pasuruan hanyalah “Memanusiakan Manusia”
dengan serangkaian aktivitas yang cenderung
sparadis. Dari serangkaian itu, jika ditinjau
dalam keilmuan kesejahteraan sosial tergolong
dalam tahapan pemberdayaan karena di
dalamnya terdapat unsur-unsur member
kuasakan individu dan dapat mengangkat
harkat martabat seseorang. Semula, saat
mereka dirazia di jalanan dan masyarakat
masih menganggap mereka sebagai sampah
sosial, kemudian pihak pondok pesantren
membawanya untuk dikembalikan atau bahkan
lebih dari pada keadaan sebelumnya, sehingga
nantinya masyarakat tidak menganggapnya
sampah lagi.
Walaupun mereka menyebutnya
dengan aktivitas kemanusiaan semata, akan
tetapi jika ditinjau dalam ilmu kesejahteraan
sosial, aktivitas demikian itu tergolong dalam
aktivitas pemberdayaan yang memiliki makna
suatu upaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat serta memampukan dan meman
dirikan keadaan individu (Kartasasmita, 2011:
101). Mengetahui secara mendasar kegiatan
pemberdayaan adalah membuat berdaya atau
kata lainnya pemberkuasaan. Makna dasar
pemberdayaan ini tersirat dalam aktivitas yang
diterapkan pihak pondok pesantren, dengan
bukti riilnya mereka dapat mengembalikan
kembali individu yang mengalami gangguan
kejiwaan menjadi mantan penderita gangguan
jiwa yang dapat memfungsikan kembali fungsi
sosialnya atau bahkan lebih berdaya dari
sebelumnya. Dari rangkaian tahapan yang
Pondok Pesantren Metal terapkan, peneliti
merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut
hal ini
Metode Penelitian
Metode penelitian sebagai alat bantu
untuk mempermudah dalam memperoleh data,
di antaranya: menggunakan pendekatan peneli
tian kualitatif, dengan jenis penelitian studi
kasus. Penelitian ini menggunakan 11
informan untuk menggali informasi, penentuan
lokasi menggunakan teknik Porposive
Sampling Are., Penentuan informan menggu
nakan snowball dengan menentukan informan
kunci terlebih dahulu. Pengumpulan data
menggunakan tiga teknik di antaranya: obser
vasi partisipan pasif, observasi terang-terangan
dan tersembunyi, wawancara yang digunakan
tidak terstruktur. Data dokumentasi berupa
foto-foto dan rekaman saat menggali informasi
dengan informan. Penelitian ini juga menggu
nakan teknik analisis data berbentuk
taksonomi. Setelah data terkumpul, Kemudian
dideskripsikan secara terperinci dan sistematis
sesuai dengan fenomena dan fakta yang terjadi
di lapangan. Untuk keabsahan data, digunakan
teknik trianggulasi, sumber, data dan teori.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dari penelitian menunjukkan
lokasi ini tergolong pesantren konvensional,
akan tetapi aktivitas yang mereka terapkan
dapat membantu memulihkan para
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
79
penyandang masalah sosial, khususnya
penderita gangguan jiwa. Mereka melakukan
penanganan tanpa metode dan tanpa konsep
pasti akan tetapi aktivitas tersebut jika
dielaborasikan dengan ilmu kesejahteraan
sosial mengandung unsur aktivitas
pemberdayaan. Semula mereka adalah pende
rita gangguan jiwa (berada pada keadaan tidak
bermartabat) menjadi individu mantan
penderita gangguan jiwa yang dapat
memfungsikan kembali fungsi sosialnya
(menjadi insan yang bermartabat), melalui
beberapa tahapan-tahapan yang mereka
terapkan di antaranya tahapan prapember-
dayaan, pemberdayaan, dan terminasi sebagai
tahapan penutupnya.
Tahap prapemberdayaan, pihak pondok
pesantren melakukannya dengan dua tahapan,
yaitu: pertama razia implementasiannya yaitu
pihak pondok pesantren merazia penderita
gangguan jiwa yang menggelandang,
kemudian mereka dinaikkan ke dalam truk
untuk dipondokkan. Tahapan kedua
penyembuhan yang diterapkan dengan cara
digunduli, dimandikan, diganti bajunya, diberi
makan dan minum serta diberi doa-doa.
Setelah dinyatakan sembuh dan menjadi
mantan penderita gangguan jiwa, barulah
mereka melalui tahap selanjutnya yakni tahap
pemberdayaan
Dalam tahap pemberdayaan, pihak Pon
dok Pesantren Metal menerapkan beberapa
aktivitas di antaranya: tahap awal dilakukannya
pembauran, artinya santri dengan mantan
penderita gangguan jiwa dibaurkan dengan
santri normal lainnya untuk mempercepat
penyembuhan. Tahap kedua adalah uji coba,
artinya: untuk mengetahui mantan penderita
gangguan jiwa berada posisi stabil atau tidak
dengan cara: memberi instruksi untuk
melakukan sesuatu, jika benar berarti mereka
benar-benar dalam keadaan stabil. Tahap
keberfungsian sosial dalam tahap keberfungsian
sosial ini pihak pondok pesantren memberikan
akses seluas-luasnya di antaranya: setelah
mereka dinyatakan sembuh, pihak pondok
pesantren telah membuka akses terhadap
mereka untuk belajar berinteraksi dengan cara
dibaurkannya dalam satu kamar dengan santri
normal lainnya. Setelah mantan penderita
gangguan jiwa dinyatakan pulih, mereka pun
diikutsertakan dalam aktivitas pendidikan dan
pelatihan keterampilan dengan para santri
normal lainnya. Tidak berhenti sampai di situ,
pihak pondok pesantrenpun juga memberikan
ruangan sebagai sarana penunjang untuk
mempermudah akses mereka berinteraksi.
Seperti tersedianya penghubung antarkamar
yang mereka sebut dengan bance’. Di situlah
mereka memanfaatkan sarana prasarana yang
ada untuk keharmonisan proses interaksi. Selain
itu juga adanya aktivitas metani (pencarian kutu
rambut) yang biasa mereka lakukan di depan
kamar masing-masing dengan cara berpasang-
pasangan. Adanya keterbukaan akses
tersebutlah yang membantu untuk merangsang
peran sosial mantan penderita gangguan jiwa
untuk dapat kembali memfungsikan fungsi
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
80
sosialnya. Pemberian layanan adalah bentuk
tanggung jawab lain dari pihak pondok
pesantren yang diberikan untuk memenuhi
kebutuhan santrinya, khususnya mantan pende
rita gangguan jiwa. Terdapat dua komponen di
dalamnya, yaitu: pertama pemenuhan kebutuh
an dasar baik kebutuhan makan, minum,
pakaian, pendidikan, kesehatan, maupun
tanggung jawab Pondok Pesantren Metal yang
diberikan sejak awal menjadi santri. Untuk
kebutuhan pendidikan, pihak pondok pesantren
baru memberikan setelah mantan penderita
gangguan jiwa berada pada kondisi sehat secara
jasmani. Selanjutnya, tahap pelatihan
keterampilan untuk memberikan bekal usaha
kepada mantan penderita gangguan jiwa, agar
kelak dapat menjadi sumber penghasilan
keluarga di antaranya: jaga cafe, jual beras,
bercocok tanam, dan pekerjaan rumah.
Tahapan yang terahir adalah terminasi.
Hal ini dilakukan bila mantan penderita
gangguan jiwa telah dapat memfungsikan
fungsi sosialnya dengan baik dan mereka akan
di pulangkan jika memiliki kelurga. Bagi yang
tidak memiliki akan tetap menjadi tanggung
jawab pondok pesantren hingga mereka
menemukan jodoh dan nantinya akan
dinikahkan. Begitulah uraian proses pember
dayaan Pondok Pesantren Metal. Tahapan –
tahapan ini dapat dilihat dalam bagan di bawah
ini.
Bagan proses pemberdayaan yang
diterapkan oleh Pondok Pesantren Metal
Pasuruan yang di dalamnya terdapat sebuah
aktivitas penanganan dan pelayanan kepada
para penyandang masalah sosial, khususnya
penderita gangguan jiwa sehingga menjadi
mantan penderita gangguan jiwa. Setelah
mereka berada di posisi sembuh dan dapat
dikategorikan sebagai mantan penderita
gangguan jiwa, barulah mereka dapat beranjak
pada tahap berikutnya yang dapat
dikategorikan sebagai tahap pemberdayaan.
Dalam tahap pemberdayaan ini
terdapat beberapa langkah di dalamnya, di
antaranya: tahap pemulihan. Dalam tahap
pemulihan ini ada dua aktivitas yaitu:
pembauran (membaurkan mantan penderita
gangguan jiwa dengan santri normal lainnya),
uji coba (setelah mereka lama dibaurkan untuk
mengetahui pulih tidaknya pihak pondok
pesantren biasanya melakukan tes atau uji
coba, dengan cara memberi tanggung jawab
untuk membeli sesuatu. Jika apa yang diperin
tahkan sesuai, mereka dinyatakan telah pulih).
Setelah benar-benar dalam keadaan pulih
barulah mereka dirangsang untuk dapat
memfungsikan fungsi sosialnya, yang dimulai
dari setelah mereka sembuh atau menjadi
mantan penderita gangguan jiwa, pihak pon
dok pesantren telah membantu mereka untuk
dapat berinteraksi dengan cara membaurkan
mereka dengan santri normal lainnya, baik
dalam ruang istirahat maupun aktivitas
pesantren lainnya, seperti: aktivitas pendidikan
dan pelatihan keterampilan sehingga dengan
pembukaan akses tersebut mantan penderita
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
81
gangguan jiwa lambat laun dapat
memfungsikan fungsi sosialnya secara efektif.
Pihak pondok pesantrenpun bertang
gung jawab atas pemenuhan kebutuhan mere
ka mulai pertama mereka menjadi santri
dipondok pesantren, seperti makan, minum,
pakaian, maupun kesehatan. Untuk pemenuhan
pendidikan, pihak Pondok Pesantren Metal
memberikan saat mereka berada pada kondisi
sehat secara kejiwaan. Selanjutnya, setelah
benar-benar pulih mereka pun diberi keteram
pilan agar dapat menjadi bekal dikehi
dupannya mendatang. Ada beberapa keteram
pilan yang diberikan oleh pondok pesantren,
antara lain: bercocok tanam, tukang bangunan,
jual hasil pertanian, jaga cafe, pekerjaan rumah
tangga. Jika pada tahap ini mereka sukses dan
benar-benar dapat memfungsikan fungsi
sosialnya maka akan terhenti secara formalitas
tanggung jawab dari Pondok Pesantren Metal
Pasuruan dengan cara mengantarkan pulang
kepada sanak-keluarganya bagi yang
mempunyai keluarga dan ingat alamatnya serta
pihak keluarga mau menerimanya. Bagi
mereka yang tidak mengingat atau bahkan
keluarga tidak mau menerimanya, tanggung
jawab pondok pesantren terhenti sampai
menikahkan mereka.
Kesimpulan dan Saran
Dapat disimpulkan bahwa proses
pemberdayaan mantan penderita gangguan jiwa
yang dilakukan Pondok Pesantren Metal
Pasuruan yaitu: (i) tahap prapemberdayaan,
razia, penyembuhan. (ii) tahap pemberdayaan,
pemulihan mantan penderita gangguan jiwa
(pembauran dan uji coba), keberfungsian sosial,
pemberian pelayanan (pelatihan keterampilan,
jaga cafe, bercocok tanam, jual hasil pertanian,
tukang bangunan, pekerjaan rumah tangga),
pemenuhan kebutuhan (makan, minum, pakaian,
pendidikan dan kesehatan).
Dari penelitian ini disampaikan saran-
saran sebagai berikut. Bagi Pondok Pesantren
Metal Pasuruan, hendaknya menambah
pendamping profesional untuk mengoptimalkan
proses pemulihan, fasilitas pendidikan formal
agar dapat menambah khasanah keilmuan
mereka serta menerapkan administrasi secara
kelembagaan sehingga lembaga tersebut dapat
bekerja secara optimal dalam menjalankan peran
dan fungsi gandanya.
Daftar Pustaka
Buku Arif, Iman Setiadi. 2006. Dinamika
Kepribadian: Gangguan dan Terapinya. Bandung: PT Refika Aditama
Corey, Cerald. 1997. Teori Dan Praktek Konseling Dan Psikoterapi. Yogyakarta: PT ERESCO
Fahrudin, Adi. 2011. Pemberdayaan Partisipasi Dan Penguatan Kapasitas Masyarakat .Bandung:Humaniora
Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Dan Aplikasi
Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Cetakan Kedua. Bandung: PT Refika Aditama
Halgin, Richard P, dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Salemba Humanis
Euis S.R dan Krishendrijanto: Pemberdayaan Eks. Penderita Gangguan Jiwa
e-SOSPOL No. I Vol. 1; Januari 2014 [2014, I (1): 75-82]
82
Huda, Miftachul. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Huraerah, Abu. 2011. Pengorganisasian Dan Pengembangan Masyarakat (Model Dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan). Cetakan Kedua: Bandung:Humaniora
Ife, Jim, dkk. 2008. Commonity Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Pertama). 1984. Jakarta: Balai Pustaka
Kartono, Kartini. 2009. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Rajawali Pers
Kartono, Kartini. 2009. Patologi Sosial. Jakarta: PT Rajawali Pers
Moleong, J. L. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Musnamar, Tohari. 2008. Teknik Konseling. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Setyonegoro,Kusumanto.2011. Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa. Jakarta: PT. gramedia pustaka utama
Soelaeman, Munandar. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama
Su’adah, dkk. 2007. Beberapa Pemikiran tentang Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Bandung:Humaniora
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sulaiman, In’am. 2010. Masa Depan Pesantren (Eksistensi Pesantren Ditengah Gelombang Modernitas). Malang: Madani
Suud, Mohammad. 2006. 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka
Suyanto, Bagung, dkk. 2008. Metode penelitian sosial. cetakan keempat. Jakarta: Prenada Media Group
Thong, Denny. 2011. Memanusiakan Manusia (Menata Jiwa Membangun Bangsa). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Universitas Jember. 2010. Pedoman Penelitian Karya Ilmiah. Jember: Jember University Press.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 11 tahun 2005 tentang Kesejahteraan Sosial.
Sumber Koran
Harian Pagi Kompas. Pandangan Dan Tindakan Diskriminan Bagi Penderita Gangguan Jiwa. Edisi, 29 September 2004
Surya. Liputan Khusus Pesantren Metal Pasuruan. Edisi, 28 April 2010
Tempo Interaktif Surabaya. Penderita Gangguan Jiwa Dalam Angka. Edisi, 20 Juni 2007
Jurnas.com. Jumlah Penderita Gangguan Jiwa Departemen Kesehatan Dalam Angka. Edisi,05 Oktober 2010
Bangkapos.com. Perlakuan Diskriminatif Dari Pihak Keluarga. Edisi, 18 Oktober 2012
Kompas.Com. Perlakuan Mayoritas Pihak Keluarga Terhadap Penderita Gangguan Jiwa . Edisi, 7 Oktober 2012
Radar Jember. Jawa pos. Razia Orgil Dan Gepeng Di Pusat Kota. Edisi, 12 Oktober 2012