2parameter Kimia Terhadap Budidaya Ikan
-
Upload
atika-mansur -
Category
Documents
-
view
1.378 -
download
5
Transcript of 2parameter Kimia Terhadap Budidaya Ikan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Secara ekonomis usaha budidaya ikan sangat menguntungkan dan juga
sangat mendukung bagi pemenuhan gizi masyarakat. Sejalan dengan
meningkatnya kesadaran masyarakat akan manfaat ikan, maka tingkat kebutuhan
akan daging ikan semakin meningkat.
Usaha perikanan dinilai tetap prospektif di tengah krisis keuangan global
saat ini. Sektor ini bahkan berpeluang mengurangi dampak krisis karena masih
berpotensi dikembangkan dan menyerap tenaga kerja baru. Usaha budidaya ikan
menyumbangkan pendapatan masyarakat dalam jumlah besar. Usaha ini juga
prospektif di kembang karena potensi lahan, air, sumber daya manusia, dan jenis
ikan melimpah di Indonesia (Hardjamulia, 1978)
Budidaya merupakan suatu kegiatan dimana salah satu tujuannya yaitu
untuk melestarikan suatu organisme atau makhluk hidup yang bernilai ekonomis
dimana dilakukan dalam lingkup yang terkontrol. Dalam kegiatan budidaya
tersebut, tentunya para pembudidaya harus benar – benar mengelolah suatu usaha
budidayanya dengan baik untuk kelangsungan hidup organisme yang
dibudidayakan, dalam hal ini terhadap para pembudidaya ikan.
Air merupakan salah satu media yang secara langsung dapat
mempengaruhi kelangsungan hidup organisme akuatik yaitu ikan, misalnya
terhadap kondisi fisika dan kimianya. Dalam hal ini, peran pembudidaya sangat
dibutuhkan dalam manajemen atau cara pengelolaan yang baik dan terstruktural
mulai dari pra produksi hingga pemasaranya (Kodoatie, 2005).
1
Kualitas air merupakan salah satu hal yang paling penting untuk diketahui
dalam ekosistem perairan.. Kualitas air merupakan penentu keadaan kehidupan.
Hal itu dikarenakan kehidupan ekosistem perairan mutlak tergantung pada
kondisi perairan. Untuk menentukan kualitas air, pengamatan dilakukan
berdasarkan berbagai parameter air, baik fisika, kimia, dan biologinya (Alabaster
dan Loyd, 1982).
Hardjamulia (1978) menyatakan Salah satu faktor penting dalam
melakukan kegiatan budidaya adalah air. Kualitas air yang baik akan memacu
pertumbuhan ikan yang baik, seperti rendahnya pertumbuhan bakteri patogen,
rendahnya bahan buangan beracun dan limbah yang mencemari lingkungan.
Sedangkan jika kualitas air yang buruk akan menyebabkan pertumbuhan dan
keadaan ikan yang lambat. Hal ini menjadikan kualitas air menjadi salah satu
indikator dalam baik buruknya pertumbuhan ikan
Bagi biota air, terutama ikan, air berfungsi sebagai media internal maupun
eksternal. Sebagai media internal air berfungsi sebagai bahan baku untuk reaksi di
dalam tubuh, pengangkut bahan makanan ke seluruh tubuh, pengangkut sisa
metabolisme untuk dikeluarkan dari dalam tubuh dan pengatur atau penyanggah
suhu tubuh. Sementara sebagai media eksternal, air berfungsisebagai habitatnya
Oleh karena itu peran air sangat penting atau esensial dalam kehidupan
biota air. Maka kualitas dan kuantitasnya pun harus dijaga sesuai dengan
kebutuhan ikan. Sebagai makhluk hidup lainnya, ikan membutuhkan lingkungan
yang nyaman agar dapat hidup sehat. Lingkungan hidup ikan adalah air. Bila
lingkungan tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak cocok, ikan dapat
mengalami stres yang akhirnya akan memperpendek hidupnya.
2
Karateristik fisik dan kimia dari suatu perairan sangat berpengaruh
terhadap kehidupan akuatik. Karakteristik tersebut adalah suhu, pH (keasaman),
kesadahan (hardness), salinitas, kandungan CO¬¬2 dan kandungan O2 terlarut
serta kandungan material beracun termasuk bahan organik seperti amoniak, nitrit,
logam berat, maupun kimia sintesis (Ghufran, Kordi dan Andi, 2007).
Air dapat melarutkan atau mengandung zat-zat, baik zat yang dibutuhkan
maupun zat yang tidak dibutuhkan. Bahkan terkadang seharusnya zat-zat tersebut
tidak ada untuk kehidupan ikan. Adapun zat-zat tersebut adalah gas, mineral,
material organik, dan anorganik, serta material biologis (Fardiaz, 1992).
Fardiaz (1992) menjelaskan lagi Kualitas air dan pengaruhnya terhadap
ikan sangat penting diketahui oleh pembudidaya ikan. Pencegahan penyakit ikan
dapat dilakukan dengan memelihara kualitas air supaya tetap stabil sehingga ikan-
ikan yang dibudidayakan dapat tumbuh normal. Pengelolaan kualitas air yang
kurang akan dapat menyebabkan penurunan kualitas air yang sangat sulit di
cegah. Kualitas air secara umum menunjukan mutu atau kondisi air yang
dilakukan dengan suatu kegiatan. Dengan demikian kualitas air dari satu kegiatan
ke kegiatan lainnya. Sebagai contoh kualitas air untuk keperluan budidaya
berbeda dengan kualitas air utuk kebutuhan minum.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari pembuatan paper ini adalah agar mahasiswa
mengetahui pengaruh dari parameter kimia terhadap kualitas air di budidaya
perikanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Faktor kimia yang mempengaruhi budidaya perairan adalah salinitas, pH,
02 terlarut (DO), C02 terlarut, alkalinitas, kesadahan air (Ca dan Mg), Nitrat (NO2),
Phospat (P), Amoniak, BOD, COD, Besi (Fe), Cadmium (Cd), Merkuri (Hg),
Cobalt (Co), Tembaga (Cu), Timbal (Pb).
2.1. Kesadahan (Hardness)
Air sadah atau air keras adalah air yang memiliki kadar mineral yang
tinggi, sedangkan air lunak adalah air dengan kadar mineral yang rendah. Air
sadah tidak berbahaya untuk diminum, namun dapat menyebabkan beberapa
masalah, ini terjadi karena kandungan ionnya yang tinggi. Kandungan mineral-
mineral tertentu di dalam air, umumnya ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg)
dalam bentuk garam Karbonat. Selain ion kalsium dan magnesium, penyebab
kesadahan bisa juga merupakan ion logam lain maupun garam-garam bikarbonat
dan sulfat. Air yang sadah dapat menyebabkan pemborosan sabun di rumah
tangga karena jika kesadahan air tinggi maka akan sulit sekali berbusa sehingga
diperlukan sabun yang banyak untuk mendapatkan busa sesuai keinginan
(Elpanuryawan Wayan, 2010).
Arifin, 2008 menyatakan Kesadahan air adalah kandungan mineral-
mineral tertentu di dalam air, umumnya ion kalsium (Ca) dan magnesium (Mg)
dalam bentuk garam karbonat. Air sadah atau air keras adalah air yang memiliki
kadar mineral yang tinggi, sedangkan air lunak adalah air dengan kadar mineral
yang rendah. Selain ion kalsium dan magnesium, penyebab kesadahan juga bisa
merupakan ion logam lain maupun garam-garam bikarbonat dan sulfat.
4
Kesadahan air adalah kemampuan air mengendapkan sabun, dimana
sabun ini diiendapkan oleh ion-ion yang saya sebutkan diatas. Karena penyebab
dominan/utama kesadahan adalah Ca2+ dan Mg2+, khususnya Ca2+, maka arti dari
kesadahan dibatasi sebagai sifat / karakteristik air yang menggambarkan
konsentrasi jumlah dari ion Ca2+ dan Mg2+, yang dinyatakan sebagai CaCO3.
Menurut Kordi (1997), kesadahan adalah banyaknya garam-garam
mineral yang larut yang kationnya bervalensi dua, dimana kation tersebut pada
umumnya terdiri dari Ca dan Mg dengan anion CO-2 dan HCO3- dinyatakan
dengan Mg/L CaCO3.
Ghufran et al, (2007) menjelaskan kembali bahwa kalsium (Ca) di
perairan berada dalam bentuk karbonat dan bikarbonat yaitu merupakan senyawa
yang umumnya terdapat, bahkan sering melimpah dalam suatu perairan. Garam-
garam karbonat dan bikarbonat tersebut merupakan komponen penyangga
essensial di perairan yang mengganggu kadar pH dan CO2. Dengan demikian
maka Ca yang terkandung didalam perairan sebagai petunjuk kesuburan perairan.
Sedangkan Magnesium (Mg) biasanya terdapat dalam larutan sebagai karbonat
dan sifat-sifatnya menyerupai bikarbonat. Satu perbedaan terdapat antara
keduanya yaitu MgCO2 sehingga jika CO2 diambil dari bikarbonat (misal dengan
fotosintesis), maka MgCO3 tidak mudah mengendap. Jika perairan yang kadar
kalsiumnya rendah, maka untuk meningkatkan kadar Ca dan Mg perlu dilakukan
pengapuran.
2.2. Alkalinitas
Alkalinitas adalah pengukuran kapasitas air untuk menetralkan asam –
asam lemah, meskipun asam lemah atau basah lemah juga dapat sebagai
5
penyebabnya. Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bikarbonat (HCO3-),
karbonat (CO3-), dan hidroksida (OH-). Garam dari asam lemah lain seperti : borat
(H2BO3-), silikat (HsiO3
-), fosfat (HPO42-/ H2PO4
-), sulfida dan amonia juga
memberikan kontribusi terhadap alkalinitas dalam jumlah yang sedikit (Ilhad,
2008).
Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan tambahan asam tanpa
penurunan nilai pH larutan. Alkalinitas mampu menetralisir keasaman di dalam
air, secara khusus alkalinitas sering disebut sebagai besaran yang menunjukkan
kapasitas pembufferan dari ion bikarbonat, dan tahap tertentu ion karbonat dan
hidroksida dalam air. Ketiga ion tersebut dalam air akan bereaksi dengan ion
hydrogen sehingga menurunkan kemasaman dan menaikkan pH. Alkalinitas
biasanya dinyatakan dalam satuan ppm (mg/l) kalsium karbonat (CaCO3) (Boyd,
1990).
Sedangkan menurut Effendi (2002) Alkalinitas adalah suatu parameter
kimia perairan yang menunjukan jumlah ion karbonat dan bikarbonat yang
mengikat logam golongan alkali tanah pada perairan tawar. Nilai ini
menggambarkan kapasitas air untuk menetralkan asam, atau biasa juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH.
Jumlah basa yang ada di air didefinisikan apa yang disebut alkalinitas.
Basa umum yang ditemukan di kolam ikan meliputi karbonat, bicarbonate,
hidroksida dan pospat. Carbonat dan bikarbonat adalah komponen alkalinitas yang
paling umum dan paling penting. Alkalinitas diukur dengan jumlah asam (ion
hydrogen) air yang dapat terabsorp (buffer) sebelum mencapai pH yang
6
ditunjukkan. Total alkalinitas dinyatakan sebagai mg/l atau ppm calsium carbonat
(mg/l atau ppm CaCO3).
Perairan yang mengandung mineral karbonat, bikarbonat, borat, dan
silikat akan mempunyai pH diatas netral dan dapat mencegah terjadinya
penurunan pH secara drastic. Pada perairan tertutup, penambahan karbonat dari
sel-sel kerang atau dolomite dapat memperbaiki alkalinitas dan sistem buffer
perairan itu. Penambahan sodium bikarbdonat secara periodik juga akan
menghasilkan hal yang sama (Effendi, 2003).
Menurut Ghufran et al, (2007), semakin tinggi konsentrasi ion H+, akan
semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH >7, maka perairan bersifat alkalis
(basa). Perairan umum dengan segala aktivitas fotosintesis dan respirasi organism
yang hidup di dalamnya membentuk reaksi berantai karbonat.
Kapasitas air menerima protein disebut alkalinitas. Air yang alkali atau
bersifat basa sering mempunyai pH tinggi dan umumnya mengandung padatan
terlarut yang tinggi. Alkalinitas merupakan faktor kapasitas untuk menetralkan
asam. Oleh karena kadang-kasang penambahan alkalinitas lebih banyak
dibutuhkan untuk mencegah supaya air itu tidak menjadi asam (Darusalam, 2005).
Alkalinitas relatif sama jumlahnya dengan kesadahan dalam suatu
perairan. Alkalinitas juga berpengaruh terhadap pH dalam suatu perairan. Dalam
kondisi basa ion bikarbonat akan membentuk ion karbonat dan melepaskan ion
hidrogen yang bersifat asam sehingga keadaan pH menjadi netral.sebaliknya bila
keadaan terlalu asam, ion karbonat akan mengalami hidrolis menjadi ion
bikarbonat dan melepaskan hidrogen oksida yang bersifat basa, sehingga keadaan
kembali netral. Perairan dengan nilai alkalinitas yang terlalu tinggi tidak terlalu
7
disukai oleh organisme akuatik karena biasanya diikuti dengan nilai kesadahan
yang tinggi atau kadar garam natrium yang tinggi (Darusalam, 2005).
2.3. Oksigen Terlarut (DO)
DO adalah jumlah milligram oksigen yang terlarut dalam satu liter air.
Oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi udara bebas dan aktivitas
fitoplankton, yaitu fotosintesis (Darti dan Iwan, 2006).
Kandungan oksigen terlarut di dalam air merupakan faktor penting bagi
kehidupan ikan, karena oksigen dibutuhkan dalam proses respirasi, proses
pembakaran makanan untuk melalukan aktifitas seperti berenang, pertumbuhan,
reproduksi dan lain-lain. Kadar oksigen terlarut dalam perairan alami bervariasi
tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kadar
oksigen berkurang dengan meningkatnya suhu, ketinggian (altitude) dan
berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2002).
Oksigen terlarut adalah oksigen dalam bentuk terlarut di dalam air karena
ikan tidak dapat mengambil oksigen dalam perairan dari difusi langsung dengan
udara. Satuan pengukuran oksigen terlarut adalah mg/l yang berarti jumlah mg/l
gas oksigen yang terlarut dalam air atau dalam satuan internasional dinyatakan
ppm (part per million). Air mengandung oksigen dalam jumlah yang tertentu,
tergantung dari kondisi air itu sendiri (Hadinafta, 2009).
Dissolved oxygen atau oksigen terlarut sangat menentukan kehidupan
biota perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi,
sehingga banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen juga memengaruhi
kelarutan dan ketersediaan berbagai jenis nutrien dalam air. Kondisi oksigen
terlarut yang rendah memungkinkan adanya aktivitas bakteri anaerobik pada
8
badan air. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain penutupan
vegetasi, BOD (Biological Oxygen Demand), perkembangan fitoplankton, ukuran
badan air, dan adanya arus angin (Husada, 1995).
Menurut Ghufran et al (2007) Oksigen terlarut merupakan parameter
kualitas air yang paling kritis pada budidaya ikan dan merupakan salah satu faktor
pembatas, sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan
biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat. Biota air
membutuhkan oksigen guna pembakaran bahan bakarnya (makanan) untuk
melakukan aktivitas, seperti berenang, pertumbuhan dan reproduksi. Oleh karena
itu, ketersediaan oksigen bagi biota air akan menentukan faktor – faktor
pertumbuhan seperti konversi pakan dan laju pertumbuhan.
Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di
atmosfer (sekitar 35%) dan aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan
fitoplankton. Proses difusi terjadi secara cepat pada selaput permukaan air, namun
akan berjalan sangat lambat kelapisan air yang lebih dalam. Difusi ini dapat
terjadi akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun, oleh karena itu
pemasangan alat aerator pada suatu kolam budidaya dapat membantu terjadinya
difusi oksigen.
Sumber oksigen lainnya adalah aliran baru yang masuk kedalam kolam.
Air baru umumnya mengandung kadar oksigen lebih tinggi dan sewaktu air
tersebut masuk ke dalam kolam, kadar oksigen dapat lebih meningkat karena
turbulensi/arus air.
Oksigen di dalam air dapat berkurang karena proses respirasi oleh
plankton (termasuk fitoplankton), ikan budidaya, organisme dasar (bentos) dan
9
difusi oksigen ke udara, serta proses oksidasi bahan organik oleh bakteri aerob
(Hadi, 2005).
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas dalam budidaya ikan.
Oksigen terlarut itu sendiri adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam
atmosfer bumi, yang larut pada suatu perairan. Oksigen terlarut dianggap sangat
penting karena keberadaannya sangat menentukan kelangsungan hidup suatu
organisme dan berkaitan dengan parameter lainnya. Seperti halnya dengan gas
lain, oksigen tidaklah bereaksi dengan air tetapi molekul ini berada dalam sudut
lancip yang dibentuk oleh hidrogen-hidrogen pada molekul-molekul air sehingga
mudah larut dan tidak mudah lepas (Boyd, 1990).
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi
dan pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana
dan tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pernapasan. Organisme tertentu, seperti mikroorganisme,
sangat berperan dalam menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain
yang Iebih sederhana dan tidak beracun. Karena peranannya yang penting ini, air
buangan industri dan limbah sebelum dibuang ke lingkungan umum terlebih
dahulu diperkaya kadar oksigennya (Kodoatie, 2005).
Keberadaan oksigen merupakan salah satu faktor yang sangat penting
bagi kehidupan di perairan selain keberadaan karbondioksida dimana tingkat
kelarutannya dalam air berbeda dan jumlah terlarutnya dipengaruhi oleh
temperatur. Perlu diingat juga bahwa jenis ikan yang berbeda membutuhkan
tingkat kelarutan oksigen yang berbeda pula (Effendi, 2003).
10
2.4. Karbondioksida (CO2)
Menurut Chia, (1989) Karbondioksida merupakan salah satu parameter
kimia yang sangat menentukan dalam kegiatan budidaya ikan. Karbondioksida
yang dianalisis dalam kegiatan budidaya adalah karbondioksida dalam bentuk gas
yang terkandung di dalam air. Gas CO2 memegang peranan sebagai unsur
makanan bagi semua tumbuhan yang mempunyai chlorophil, baik tumbuh-
tumbuhan renik maupun tumbuhan tingkat tinggi.
Sumber gas CO2 didalam air adalah hasil pernafasan oleh binatang-
binatang air dan tumbuh tumbuhan serta pembakaran bahan organik didalam air
oleh jasad renik. Bagian air yang banyak mengandung CO2 adalah didasar
perairan, karena ditempat itu terjadi proses pembakaran bahan organik yang cukup
banyak. Untuk kegiatan asimilasi bagi tumbuh-tumbuhan, jumlah CO2 harus
cukup, tetapi bila jumlah CO2 melampaui batas akan kritis bagi kehidupan
binatang binatang air.
CO2 yang digunakan oleh organisme dalam air, mula-mula adalah CO2
bebas, bila yang bebas sudah habis, air akan melepaskan CO2 yang terikat dalam
bentuk Calsium bikarbonat maupun Magnesium bikarbonat (Ghufran, 2007).
Gas karbondioksida yang disebut asam arang merupakan hasil buangan
oleh semua makhluk hidup melalui proses pernapasan. Karbondioksida
merupakan salah satu komponen udara yang dihasilkan oleh proses respirasi
maupun penguraian bahan organik. Pengaruh CO2 terhadap ikan sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi O2 terlarut diperairan tersebut. Jika konsentrasi O2
berada pada tingkat maksimal, pengaruh gas CO2 dapat diabaikan (Fadiaz, 1992).
11
Karbondioksida memegang peranan penting sebagai unsur makanan bagi
semua tumbuh-tumbuhan hijau yang mampu melakukan proses asimilasi. Sumber
utama karbondioksida dari proses perombakan bahan-bahan organik oleh jasad-
jasad renik dan proses pernapasan hewan serta tumbuh-tumbuhan dalam air pada
malam hari. Kandungan karbondioksida dalam air untuk pemeliharaan ikan di air
tenang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat banyak, melebihi daripada oksigen.
Kandungan karbondioksida maksimum dalam air yang tepat adalah 25 ppm
(Effendi, 2003).
Karbondioksida memegang peranan yang penting sekali sebagai unsur
makanan untuk semua tumbuhan-tumbuhan hijau yang mampu berasimilasi, baik
tumbuh-tumbuhan renik yang merupakan phytoplankton dalam air maupun
tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi. Sumber utama dari gas CO2 adalah proses
perombakan bahan-bahan organik oleh jasad-jasad renik dan proses pernapasan
hewan serta tumbuh-tumbuhan dalam air pada malam hari (Effendi, 2003).
Bagi tumbuh-tumbuhan berdaun hijau, jumlah CO2 harus tersedia dalam
jumlah yang cukup banyak. Tetapi jika jumlah tersebut melampaui batas,
akibatnya kehidupan hewan-hewan air akan mengalami saat kritis. Karena selain
mempengaruhi pH, kadar CO2 yang terlampau tinggi dapat meracuni hewan air
secara langsung. Naiknya kadar karbondioksida selalu diiringi oleh turunnya
kadar oksigen yang diperlukan bagi pernapasan hewan-hewan air. Dengan
demikian walaupun CO2 belum mencapai kadar tinggi yang mematikan, hewan-
hewan air mati karena kekurangan oksigen (Hardjamulia, 1978).
12
2.5. Derajat Keasaman pH
pH Air - pH (singkatan dari “ puisance negatif de H “ ), yaitu logaritma
negatif dari kepekatan ion-ion H yang terlepas dalam suatu perairan dan
mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan organisme perairan, sehingga pH
perairan dipakai sebagai salah satu untuk menyatakan baik buruknya sesuatu
perairan (Fadiaz, 1992).
Ghufran et al ,(2007) menyatakan Pada perairan perkolaman pH air
mempunyai arti yang cukup penting untuk mendeteksi potensi produktifitas
kolam. pH Air yang agak basa, dapat mendorong proses pembongkaran bahan
organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasikan oleh
tumbuh tumbuhan (garam amonia dan nitrat).
pH Air Pada perairan yang tidak mengandung bahan organik dengan
cukup, maka mineral dalam air tidak akan ditemukan. Andaikata kedalam kolam
itu kemudian kita bubuhkan bahan organik seperti pupuk kandang, pupuk hijau
dsb dengan cukup, tetapi kurang mengandung garam-garam bikarbonat yang
dapat melepaskan kationnya, maka mineral-mineral yang mungkin terlepas juga
tidak akan lama berada didalam air itu. Untuk menciptakan lingkungan air yang
bagus, pH air itu sendiri harus mantap dulu (tidak banyak terjadi pergoncangan
pH air).
2.6. Nitrat
Alabaster dan Loyd (1982) menjelaskan Nitrogen didalam perairan dapat
berupa nitrogen organik dan nitrogen anorganik. Nitrogen anorganik dapat berupa
ammonia (NH3), ammonium (NH4), Nitrit (NO2), Nitrat (NO3) dan molekul
Nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Sedangkan nitrogen organik adalah nitrogen
13
yang berasal bahan berupa protein, asam amino dan urea. Bahan organik yang
berasal dari binatang yang telah mati akan mengalami pembusukan mineral yang
terlepas dan utama adalah garam-garam nitrogen (berasal dari asam amino
penyusun protein).
Proses pembusukan tadi mula-mula terbentuk amoniak (NH3) sebagai
hasil perombakan asam amino oleh berbagai jenis bakteri aerob dan anaerob.
Pembongkaran itu akan menghasilkan suatu gas CO2 bebas.
Pemeriksaan kandungan nitrat sebagai kandungan hara perlu dilakukan
karena parameter tersebut termasuk parameter yang menentukan tingkat
kesuburan perairan. Bila kadarnya terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan
menjadi blooming dari salah satu jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin
(Effendi, 2003).
Boyd (1990) menambahkan bahwa nitrat merupakan salah satu unsur
penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan akan tetapi pada konsentrasi
tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang. Nitrat merupakan salah satu
senyawa penting untuk sintesa protein tumbuh-tumbuhan dan hewan, akan tetapi
nitrat pada konsentrasi yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan ganggang
yang tidak terbatas sehingga air akan mengalami kekurangan oksigen terlarut
yang menyebabkan kematian organisme air (Alabaster dan loyd, 1982).
2.7. Phospat
Phospat merupakan unsur esensial perairan yang terdapat dalam bentuk
senyawa phospat organik dan anorganik. Ortophospat (PO4) adalah contoh
senyawa phospat anorganik sedangkan senyawa phospat organik terdapat dalam
tubuh organisme. Phospat sangat berguna untuk pertumbuhan organisme dan
14
merupakan faktor yang menentukan produktifitas badan air. Phospat berada dalam
sedimen dan lumpur air bersama kehidupan biologis yang berada di atas air.
Phospat dapat dijadikan sebagai parameter untuk mendeteksi pencemaran air
(Effendi 2003).
Phospat atau fosfat adalah sebuah ion poliatomik atau radikal terdiri dari
satu atom fosforus dan empat oksigen. Dalam bentuk ionik, fosfat membawa
sebuah -3 muatan formal, dan dinotasikan PO43- (Chia, 1989).
Fosfat merupakan satu -satunya bahan galian (diluar air) yang
mempunyai siklus, unsur fosfor di alam diserap oleh mahluk hidup, senyawa
fosfat pada jaringan mahluk hidup yang telah mati terurai, kemudian terakumulasi
dan terendapkan di lautan (Kodoatie, 2005).
2.8. Ammoniak (NH3)
Floyd, Watson, Petty, dan Pouder (2009) menjelasksan Amonia adalah
senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas
dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Walaupun amonia memiliki
sumbangan penting bagi keberadaan nutrisi di suatu perairan, amonia sendiri
adalah senyawa kaustik dan dapat merusak kesehatan perairan.
Amonia biasanya berasal dari sisa metabolisme dikeluarkan oleh koi, ikan
mas dan ikan kolam lainnya. Tidak mungkin untuk sepenuhnya menghapus
amonia di dalam air karena siklus dimana ikan feed dan mengeluarkannya limbah.
Amonia dihasilkan dari protein yang mengandung rantai asam amino, asam amino
mengandung nitrogen – senyawa kimia berbahaya bagi ikan. Amonia dikatakan
untuk hadir dalam makanan ikan dan limbah ikan.
15
Amonia merupakan salah satu gas yang umum dijumpai dalam air .
Amonia mudah tertimbun di dalam sistem perairan karena ia merupakan hasil
samping alami metabolisme ikan serta hasil penguraian sisa-sisa makanan dan
bahan organik lainnya. Ada dua bentuk amonia dalam air, yaitu amonia tak
terionisasi (disebut juga amonia bebas) dan amonia terionisasi. Bentuk amonia tak
terionisasi (NH3) sangat beracun sedang bentuk terionisasi (ion NH4+) tidak
beracun. Kedua bentuk ini secara bersama-sama disebut “amonia total”.
Di perairan alami seperti danau amonia mungkin tidak pernah mencapai
tingkat yang berbahaya karena rendahnya kepadatan ikan. Konsentrasi amonia
yang tinggi dan berbahaya biasanya hanya terjadi dalam sistem budidaya yang
bersifat resirkulasi (air didaur ulang terus-menerus) dan di kolam budidaya setelah
terjadinya kematian masal fitoplankton. Keracunan amonia juga timbul pada
sistem budidaya intensif. Masalah yang dijumpai dalam sistem akuakultur
biasanya berasal dari produksi amonia yang berlebihan.
Amonia masuk ke dalam air melalui pupuk, hasil eksresi ikan dan hasil
penguraian senyawa bernitrogen oleh mikroba. Dalam air, amonia terionisasi
menjadi ion amonium tetapi reaksi ini bisa kembali dengan terbentuknya amonia
bebas. Efek racun yang ditimbulkan amonia tak terionisasi bisa menyebabkan
kerusakan insang, ginjal, limfa, jaringan tiroid dan darah ikan (Boyd, 1990).
2.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Kebutuhan oksigen biologi (BOD) didefinisikan sebagai banyaknya
oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik,
pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik
16
ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh
dari proses oksidasi (Hardjamulia, 1978).
BOD (Biochemical Oxygen Demand) artinya kebutuhan oksigen biokima
yang menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh
bakteri. Sehingga makin banyak bahan organik dalam air, makin besar B.O.D nya
sedangkan D.O akan makin rendah. Air yang bersih adalah yang B.O.D nya
kurang dari 1 mg/l atau 1ppm, jika B.O.D nya di atas 4ppm, air dikatakan
tercemar ( Kodoatie, 2005).
Parameter BOD, secara umum banyak dipakai untuk menentukan tingkat
pencemaran air buangan. Penentuan BOD sangat penting untuk menelusuri aliran
pencemaran dari tingkat hulu ke muara. Sesungguhnya penentuan BOD
merupakan suatu prosedur bioassay yang menyangkut pengukuran banyaknya
oksigen yang digunakan oleh organisme selama organisme tersebut menguraikan
bahan organik yang ada dalam suatu perairan, pada kondisi yang harnpir sama
dengan kondisi yang ada di alam. Selama pemeriksaan BOD, contoh yang
diperiksa harus bebas dari udara luar untuk mencegah kontaminasi dari oksigen
yang ada di udara bebas. Konsentrasi air buangan/sampel tersebut juga harus
berada pada suatu tingkat pencemaran tertentu, hal ini untuk menjaga supaya
oksigen terlarut selalu ada selama pemeriksaan. Hal ini penting diperhatikan
mengingat kelarutan oksigen dalam air terbatas dan hanya berkisar ± 9 ppm pads
suhu 20°C (Effendi, 2002).
2.10. COD
Chemical Oxygen Demand adalah parameter kimia yang menyatakan
jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organik
17
pada suatu ekosistem perairan menjadi karbondioksida dan air. Merupakan ukuran
akan banyaknya zat-zat organik yang terdapat dalam suatu perairan.Zat-zat
organik yang terdapat dalam air laut berasal dari alam atau buangan domestik,
industri dan pertanian. ada yang mudah diuraikan dan ada yang sukar diuraikan
oleh mikroorganisme umumnya bersifat toksik, sehingga membahayakan
kehidupan organisme perairan (Darusalam, 2005).
2.11. Sulfur
Hidrogen sulfida H2S adalah gas H2S yang terdapat dalam air laut yang
berasal dari limbah perkotaan, kegiatan pertanian dan industri. Senyawa sulfat
berasal dari limbah organik yang mengandung sulfur dan terdegradasi secara
anaerob membentuk H2S. Selanjutnya H2S teroksidasi menjadi sulfat yang berasal
dari aktivitas fotosintesis bakteri. Senyawa sulfat juga dapat berasal dari limbah
industry (Alabaster dan Loyd, 1982).
Disamping itu juga berasal dari hasil proses penguraian zat-zat organik
oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah
pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Pada kadar 0.05 ppm sudah bersifat fatal
bagi organisme-organisme yang sensitif seperti ikan “trout” (ikan forel). Tanah
masam (pH rendah) mengandung banyak FeS. Unsur-unsur pokok yang
diperlukan dalam pembentukan pyrite (FeS2) adalah sulfat, besi hasil metabolisme
bahan organic, bakteri pereduksi belerang, dan kondisi anaerob merupakan ciri
kebanyakan daerah mangrove. Kondisi sangat memungkinkan terbentuknya
hydrogen sulfida dalam perairan budidaya terutama tambak. Saat pyrite terdedah
18
pada oksigen, belerang tereduksi di oksidasi menjadi asam sulfat. Akibat buruk
terhadap udang dapat diakibatkan oleh kemasaman mineral tersebut.
Bapedalda (2006) menyatakan Pada lokasi perairan pantai disekitar lahan
pertambakan intensif yang padat, kecepatan proses penimbunan limbah organik
yang harus diuraikan secara alami jauh lebih tinggi dari kemampuan perairan
(jasad renik) untuk menguraikan limbah tersebut. Jika keadaan ini terus
berlangsung, penimbunan limbah organik semakin menumpuk dan mengubah
lingkungan aerob menjadi anaerob. Pertumbuham bakteri anaerob meningkat
yang menghasilkan senyawa beracun seperti NH3 (ammonia), Hidrogen Sulfida
(H2S) dan CH4 yang membahayakan perkembangan biota budidaya terutama
udang dalam tambak.
Pakan sisa yang tidak terkonsumsi oleh organisme budidaya juga
merupakan sumber Hidrogen Sulfida (H2S) dalam lahan budidaya disebabkan oleh
suasana anaerobik yang memungkinkan oksidasi Hidrogen Sulfida (H2S).
19
III. METODE
3.1. Kesadahan (Hardness)
Dimasukkan sampel air hujan 100ml ke dalam labu erlenmeyer dengan
menggunakan gelas ukur. Ditambahkan larutan buffer pH 10 sebanyak 5ml
dengan menggunakan pipet ukur yang telah dipasangkan dengan winkler ke dalam
labu Erlenmeyer. Ditambahkan 50mg EBT dengan menggunakan sendok ukur ke
dalam labu erlenmeyer tersebut.
Dihomogenkan sampai berwarna merah tua. Dititrasikan dengan EDTA
1/28N sampai berwarna biru tua dengan menggunakan buret tetes demi tetes
sambil dihomogenkan. Sebelumnya dilihat berapa ml EDTA yang dipakai sampai
warnanya berubah menjadi biru tua. Setelah didapatkan hasilnya, dimasukkan ke
dalam rumus kesadahan total. (Amriawati, 2001).
3.2. Alkalinitas
Sebanyak 25 ml sampel ditambahkan dengan 2 tetes indikator PP. Jika
larutan berubah warna menjadi merah muda maka dilakukan titrasi dengan HCl
0,02 N hingga larutan menjadi tidak berwarna. Dari sini dipeeroleh nilai A
(alkalinitas karbonat). Namun jika larutan tidak berwarna setelah ditetesi dengan
indikator PP maka larutan diberi 3-4 tetes BCG-MR hingga larutan menjadi
berwarna biru. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga larutan menjadi
berwarna merah kebiruan. Dari sini diperoleh nilai B (alkalinitas bikarbonat).
Setelah itu dihitung alkalinitas totalnya dengan mengikuti rumus berikut ini:
Alkalinitas Total =
Keterangan: A : nilai alkalinitas karbonat
B : nilai alkalinitas bikarbonat (Ilhad, 2008).
20
3.3. Oksigen Terlarut (DO)
Ilhad (2008) menyatakan Air sampel disediakan sebanyak 125 ml. sampel
tersebut dimasukkan ke dalam botol BOD. Agar tidak meluap air di dalam botol
dikurangi sedikit. Kemudian ditambahkan 0,5 ml sulfamic acid, 1 ml MnSO4, dan
1 ml NaOH+KI. Setelah itu botol diaduk dan ditunggu sampai mengendap. Air
sampel diambil sebanyak 50 ml dan dititrasi dengan Na tiosulfat sampai berwarna
kuning. Selanjutnya ditambahkan beberapa tetes amilum sampai dengan berwarna
biru. Oksigen terlarut dalam perairan dapat dihitung melalui rumus di bawah ini.
3.4. Karbondioksida (CO2)
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengukuran CO2, yang pertama
yaitu air sampel sebanyak 25 ml diambil, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
Setelah itu air sampel yang tadi ditambahkan indikator pp sebanyak 3-4 tetes
kemudian dilihat dan diamati reaksi yang terjadi, jika air sampel berubah warna
menjadi pink berarti dalam air sampel tersebut tidak terkandung CO2, namun jika
air sampel tidak berubah warna, berarti dalam air sampel tersebut terkandung
CO2, maka langkah berikutnya yang dilakukan pada air sampel yang tidak
berwarna tadi adalah proses titrasi dengan Na2CO3 atau NaOH hingga berubah
menjadi warna pink (Ilhad, 2008). Langkah terakhir jumlah titran dicatat dan
dihitung dengan rumus:
21
3.5. Derajat Keasaman pH
Kertas indikator pH diambil selembar dan dicelupkan ke dalam persairan
selama beberapa menit (± 5 menit). Kemudian perubahan warna yang terjadi pada
kertas pH tersebut dicocokkan dengan warna standar dan catat hasilnya (Ilhad,
2008).
3.6. Nitrat
Diambil sampel sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 0.5 ml brucine. Kemudian
ditambahkan 5 ml H2S04 pekat. Setelah itu didiamkan dan dilakukan
spektrofotometer dengan gelombang 410 nm. Langkah dalam pembuatan standar,
yaitu diambil 5 ml NO3 dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Setelah itu ditambah
akuades sebanyak 100 ml serta dikocok hingga rata. Kemudian diambil 25 ml
serta ditetesi dengan 0.5 brucine, dan 5 ml H2SO4 didiamkan dan dispektro dengan
gelombang 410 nm. Untuk blanko, pertama diambil akuades sebanyak 25 ml,
kemudian ditetesi dengan 0.5 brucine, dan 5 ml H2SO4 ( Ilhad, 2008).
3.7. Phospat
Langkah pertama dalam pengukuran ortofosfat adalah air diukur dalam
gelas ukur sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 25 ml.
Kemudian ditambahkan 1 ml amonium molibdat (asam sulfat) yang fungsinya
mengikat fosfat dalam perairan, kemudian dihomogenkan. Setelah dihomogenkan
ditambahkan 2 tetes SnCl2 sebagai indicator warna biru, kemudian dihomogenkan
lagi.Kemudian dimasukkan ke dalam cuvet dan dicocokkan dengan larutan
pembanding. Perhitungan Ortofosfat dengan rumus (Ilhad, 2008).
22
3.8. Ammoniak (NH3)
Prosedur pertama perhitungan ammonia yaitu disiapkan air sebagai
sampel, kertas saring, pereaksi nessler, cuvet, pipet tetes dan erlenmeyer.
Selanjutnya air tersebut sebagai disaring dengan menggunakan kertas saring agar
bahan yang berbentuk partikel terambil dari air sampel tersebut. Kemudian diukur
volumenya sampai 25 ml. Setelah itu dimasukkan ke dalam beaker glass.
Selanjutnya diberi pereaksi nessler untuk mengikat ammonia dan pembentuk
warna kuning. Setelah itu dihomogenkan. Lalu dibiarkan hingga 10 menit agar
terbentuk warna. Setelah itu dimasukkan ke dalam cuvet. Untuk mengetahui kadar
ammonia, diukur dengan larutan standart (Ilhad, 2008).
3.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Pengukuran BOD dimulai dengan mempersiapkan sebanyak empat buah
botol air mineral 600 ml, dua buah botol untuk masing-masing sampel dan blanko.
Untuk 2 botol pertama langsung diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t=0,
sedangkan untuk dua botol kedua diinkubasi selama 5 hari dalam temperatur
20˚C. Tingkat pengenceran yang digunakan sebesar 0,9 atau 90%. Setelah hari
kelima, baru diukur kandungan O2 terlarutnya sebagai t=5. Kandungan O2 yang
masih tersisa dalam botol sampel tersebut antara 40-70% dari kandungan O2 nol
harinya agar hasil lebih teliti.
Rumus yang digunakan adalah: BOD = Keterangan: A0 = oksigen
terlarut sampel pada nol hari (mg/l) A5 = oksigen terlarut sampel pada lima hari
(mg/l) S0 = oksigen terlarut blanko pada nol hari (mg/l) S5 = oksigen terlarut
blanko pada lima hari (mg/l) P = derajat pengenceran (Ilhad, 2008).
23
3.10. COD
Sampel air diambil dengan botol sampel dan dilakukan pengenceran.
Larutan ditempatkan ke dalam labu Erlenmeyer sebanyak 100 ml dan tambahkan
5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml larutan KMnO4 0,01 N. Larutan dididihkan
selama 10 menit dan setelah dingin tambahkan sebanyak 10 ml larutan asam
oksalat 0,01 N. Titrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk larutan
berwarana merah muda.
Terhadap blanko perlakuan sama dengan sampel air. Pembuatan faktor
koreksi dengan cara akuades diambil sebanyak 100 ml dan tempatkan ke dalam
labu Erlenmeyer. Tambahkan sebanyak 5 ml larutan H2SO4 4 N dan 10 ml
larutan asam oksalat 0,01 N lalu goyang-goyang hingga merata dan diamkan
selama 10 menit. Selanjutnya titrasi dengan larutan KMnO4 0,01 N sampai
terbentuk larutan berwarna merah muda. Rumus yang digunakan adalah: COD =
{((10 + a) F - 10)}x 0,01 x 31,6 Dimana F = 10/(ml KMnO_4 ) Keterangan: a =
ml KMnO4 yang terpakai F = faktor koreksi KMnO4 31,6 = berat ekivalen
KMnO4 (Ilhad, 2008)
3.11. Sulfur
Pertama-tama air sampel diambil sebanyak 25 ml kemudian ditambahkan
BaCl2 sebanyak satu sudip. Dilakukan hal yang sama pada larutan blando dan
larutan standar 1 ppm. Kemudian dilakukan pengukuran pada spectrometer
dengan panjang gelombang sulfat (Ilhad, 2008). Setelah semuanya selesai diukur,
dimasukkan ke dalam rumus dan dihitung.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Berdasarkan literatur-literatur yang didapat berikut ini hasil dari kadar
optimal dari masing-masing faktor-faktor kimia yang baik untuk budidaya ikan.
4.1.1 Kesadahan (Hardness)
Konsentrasi total dari ion logam yang bervalensi dua terutama Ca dan
Mg yang dinyatakan dalam mg/l setara CaCO3 menunjukkan tingkat kesadahan
air. Total alkalinitas dan kesadahan air umumnya sama besarnya. Namun pada
beberapa perairan, total alkalinitas mungkin lebih besar dari kesadahan atau
sebaliknya. Tingkat total kesadahan dan total alkalinitas air yang diperlukan untuk
budidaya ikan umumnya terletak pada deret 20 - 300 mg/l. Bila total alkalinitas
dan total kesadahan terlalu rendah dapat ditingkatkan melalui penambahan kapur.
Bila total kesadahan dan total alkalinitas lebih tinggi dari yang diperlukan maka
belum ada cara yang praktis untuk usaha menurunkannya (Ghofran et al, 2007).
4.1.2. Alkalinitas
Jumlah basa yang ada di air didefinisikan apa yang disebut alkalinitas.
Basa umum yang ditemukan di kolam ikan meliputi karbonat, bicarbonate,
hidroksida dan pospat. Carbonat dan bikarbonat adalah komponen alkalinitas yang
paling umum dan paling penting. Alkalinitas diukur dengan jumlah asam (ion
hydrogen) air yang dapat terabsorp (buffer) sebelum mencapai pH yang
ditunjukkan. Total alkalinitas dinyatakan sebagai mg/l atau ppm calsium carbonat
(mg/l atau ppm CaCO3). Kisaran total alkalinitas yang diinginkan untuk budidaya
ikan antara 75 - 200 mg/l CaCO3 (Ilhad, 2008).
25
4.1.3. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Swingle dalam Boyd (1982) konsentrasi oksigen terlaurut yang
dapat menunjang pertumbuhan dan peruses reproduksi yaitu lebih dari 5 ppm.
Sedangkan menurut Wardoyo, kadar oksigen yang baik bagi kehidupan organisme
perairan adalah antara 2-10 ppm. Sedangkan ikan lele termasuk jenis ikan yang
mampu hidup di perairan yang kandungan oksigen terlarutnya sedikit karena ikan
ini memiliki alat pernapasan tambahan yang memungkinkan untuk mengambil
oksigen dari udara diluar.
Kadar oksigen terlarut dalam suatu wadah budi daya ikan sebaiknya
berkisar antara 7–9 ppm. Konsentrasi oksigen terlarut ini sangat menentukan
dalam akuakultur. (Darti dan Iwan, 2006).
4.1.4. Karbondioksida (CO2)
Pengaruh CO2 yang terlalu banyak tidak saja terhadap perubahan pH air,
tetapi juga bersifat racun. Dengan meningkatnya CO2, maka O2 dalam air juga
ikut menurun, sehingga pada level tertentu akan berbahaya bagi kehidupan
binatang air. Kadar CO2 yang bebas didalam air tidak boleh mencapai batas yang
mematikan (lethal), pada kadar 20 ppm sudah merupakan racun bagi ikan dan
mematikan ikan jika kelarutan oksigen didalam air kurang dari 5 ppm (5 mg/l)
(Chia, 1989).
4.1.5. Derajat Keasaman pH
Effendi (2003) menjelaskan Ikan dan vertebrata lainnya mempunyai rata-
rata pH darah 7,4. Darah ikan kontak sangat dekat dengan air (terpisahkan hanya 1
atau 2 sel), lewat melalui pembuluh darah insang dan kulit. Kisaran pH air kolam
yang dikehendaki sangat mendekati pH darah ikan (yakni 7,0 – 8,0). Ikan bisa
26
stress dan mati jika pH drop dibawah 5 (sangat asam) atau naik diatas 10
(misalnya di alkalinitas rendah kaitannya dengan intesitas fotosintesa oleh
alga/fitoplankton atau lumut yang padat).
4.1.6. Nitrat
Agar supaya phitoplankton dapat tumbuh dan berkembang biak dengan
subur dalam suatu perairan, paling sedikit dalam air itu harus tersedia 4 mg/l
nitrogen (yang diperhitungkan dari kadar N dalam bentuk nitrat), bersama dengan
1 mg/l P dan 1 mg/l K. Bila kadar NH3 hasil pembongkaran bahan organik di
dalam air terdapat dalam jumlah besar, yang disebabkan proses pembongkaran
protein terhenti sehingga tidak terbentuk nitrat sebagai hasil akhir, maka air
tersebut disebut “sedang mengalami pengotoran (Pollution)” (Husada, 1995).
4.1.7. Phospat
Kandungan fosfat yang diinginkan dalamkegiatan budidaya
perikanan yaitu 0,015 mg/L9(Ilhad, 2008).
4.1.8. Ammoniak (NH3)
Kadar amonia yang dapat mematikan ikan budidaya jika dalam wadah
budidaya mengandung 0,1 – 0,3 ppm. Oleh karena itu sebaiknya kadar amonia
didalam wadah budidaya ikan tidak lebih dari 0,2 mg/l (ppm). Kadar amonia yang
tinggi ini diakibatkan adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian (Floyd et al, 2009).
4.1.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Perairan yang memiliki BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah
mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah induetri dapat mencapai 25.000 mg/l
(UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi 2003). Nilai BOD limbah industri
27
makanan antara 500 - 4.000 mg/l, industri farmasi antara 4.000 – 10.000 mg/l, dan
industri kertas sekitar 1.500 – 25.000 mg/l (Rao, 1991 dalam Effendi 2003). Lee
at al., (1978) dalam pdf-finder.com, mengemukakan bahwakriteria perairan
tercemar berdasarkan BOD, yaitu: konsentrasi BOD < 2,90 mg/l tegolong perairan
tidak tercemar, 3 – 5 mg/l perairan tercemar ringan, 5 – 14 mg/l perairan tercemar
sedang, sedangakan > 15 mg/l perairan dalam kondisi tercemar berat.
4.1.10. COD
COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara
biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (bon
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003). nilai
COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l , sedangkan
pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri
dapat mencapai 60.000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi 2002).
4.1.11. Sulfur
Disamping itu juga berasal dari hasil proses penguraian zat-zat organik
oleh mikroorganisme. Toksisitas H2S tergantung pada pH air laut. Semakin rendah
pH air laut semakin tinggi toksisitas H2S. Pada kadar 0.05 ppm sudah bersifat fatal
bagi organisme-organisme yang sensitif seperti ikan “trout” (ikan forel). Tanah
masam (pH rendah) mengandung banyak FeS. Unsur-unsur pokok yang
diperlukan dalam pembentukan pyrite (FeS2) adalah sulfat, besi hasil metabolisme
bahan organic, bakteri pereduksi belerang, dan kondisi anaerob merupakan ciri
kebanyakan daerah mangrove. Kondisi sangat memungkinkan terbentuknya
hydrogen sulfida dalam perairan budidaya terutama tambak. Saat pyrite terdedah
28
pada oksigen, belerang tereduksi di oksidasi menjadi asam sulfat. Akibat buruk
terhadap udang dapat diakibatkan oleh kemasaman mineral tersebut (Ilhad, 2008).
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kesadahan (Hardness)
Kesadahan atau kekerasan (hardness) pada perairan disebabkan oleh banyak
mineral dalam air yang berasal dari batuan dalam tanah, baik dalam ion maupun
ikatan molekul (Ghufran et al, 2007). Perairan keras (hrad) mengandung kalsium,
magnesium, karbonat, dan sulfat yang tinggi. Jika dipanaskan perairan keras akan
mengakibatkan terjadinya deposit (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Nilai
kesahan dapat dilihat pada tabel 3.
Table 1. Klasifikasi kadar CaCO3 dan derajat kesadahan atau kekerasan air.
Istilah Kadar CaCO3 (mg/l) Kekerasan (0 dH)
Soft (lunak) 0 – 50 0 – 3
Moderately soft (agak lunak) 50 – 100 3 – 6
Slightly hard (sedang) 100 – 200 6 – 12
Moderately hard (agak keras) 200 – 300 12 – 16
Hard (keras) 300 – 400 16 – 25
Very hard (sangat keras) > 400 > 25
Sumber: Andrews, et. al., 1988 dalam Ghufran et al 2007.
4.2.2. Alkalinitas
Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam, atau
dikenal dengan sebutan acid-neutralizing capacity (ANC) atau kuantitas anion di
dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen. Alkalinitas juga diartikan
sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH perairan.
29
Penyusun alkalinitas perairan adalah anion bicarbonat (HCO3-), karbonat (CO3
2-),
dan hidroksida (OH-). Nilai alkalinitas perairan alami hampir tidak pernah
melebihi 500 mg/l CaCO3. N (Chia, 1989).
ilai alkalinitas yang baik berkisar antara 30-500 mg/l CaCO3. Nilai
alkalinitas diperairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3. Nilai
alkalinitas diperairan alami adalah 40 mg/l CaCO3 (Boyd, 1988 dalam Effendi
2003). Perairan yang nilai alkalinitas > 40 mg/l disebut perairan sadah (hard
water), sedangkan perairan yang nilai alkalinitas < 40 mg/l disebut lunak (soft
water) (Effendi, 2003). Untuk tumbuh optimal, plankton menghendaki total
alkalinitas skiter 80-120 ppm. Pada kisaran alkalinitas melebihi atau kurang dari
kisaran tersebut, pertumbuhan plankton akan terhambat (Ghufran et al, 2007).
4.2.3. Oksigen Terlarut (DO)
Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan biota budi daya
tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktivitasnya dan batas minimumnya adalah 3
ppm atau 3 mg/l. kandungan oksigen didalam air yang dianggap optimum bagi
budidaya biota air adalah 4-10 ppm, tergantung jenisnya. Laju respirasi terlihat
tetap pada batas kelarutan oksigen 3-4 ppm pada suhu 20-300C. Meskipun
beberapa jenis ikan mampu bertahan hidup pada perairan dengan konsentrasi
oksigen 3 ppm, namun konsentrasi minimum yang masih dapat diterima sebagian
besar spesies biota air untuk budidaya hidup dengan baik adalah 5 ppm. Pada
perairan dengan konsentrasi oksigen diibawah 4 ppm, beberapa jenis ikan masih
mampu bertahan hidup akan tetapi nafsu makannya mulai menurun. Untuk itu,
konsentrasi oksigen yang baik dalam budidaya perairan adalah 5-7 ppm (Ghufran
et al, 2007). Pada budidaya udang windu, jika kadar oksigen terlarut sebesar 2,1
30
mg/l pada suhu 300C dalam kondisi kualitas terpenuhi, udang windu sudah mulai
memperlihatkan gejala abnormal yaitu berenang dipermukaan air. Kandungan
oksigen di dalam air yang dianggap optimum bagi budidaya udang windu adalah
5-10 ppm. Konsumsi batas kadar oksigen terlarut antara 4,5-7 ppm adalah sekitar
0,55 mg O2/g persatuan unit berat badan udang/jam (Poernomo, 1989 dalam
Ghufran et al, 2007).
4.2.4. Karbondioksida (CO2)
Pada perairan alami mengandung karbondioksida atau asam arang
sebesar 2 ppm. Pada konsentrasi yang tinggi (>10 ppm), karbondioksida dapat
beracun, karena keberadaannya dalam darah dapat menghambat pengikatan
oksigen oleh hemoglobin (Zonneveld dkk, 1991 dalam Ghufran et al 2007). Kadar
karbon dioksida dalam air sebesar 5ppm dapat di toleransi oleh hewan air asalkan
kadar oksigennya cukup tinggi, akan tetapi kadar karbondioksida 50-100 ppm
dalam mematikan ikan. Sedangkan kadar karbondioksida 100-200 ppm bersifat
akut (Ghufran et al, 2007). Kadar karbondioksida di perairan dapat mengalami
pengurangan, bahkan hilang akibat fotosintesis, evaporasi, dan agitasi air. Perairan
yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya mengandung
karbondioksida bebas < 5 ppm. Kadar karbondioksida bebas sebesar 10 mg/l
masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai dengan kadar oksigen
yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik masih dapat bertahan hidup hingga
kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/l atau ppm (Boyd, 1988
dalam Effendi, 2003)
.
4.2.5. Derajat Keasaman pH
31
Derajat keasaman atau pH merupakan salah satu parameter kimia
perairan yang memiliki pengaruh besar terhadap organisme yang hidup di
dalamnya. Nilai pH akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Zooneveled et al,
(1991) dalam Amriawati (2001) menyatakan bahwa pada pH rendah aktivitas dan
produksi enzim pencernaannya rendah, kondisi ini menyebabkan kinerja
perncernaan berkurang dan berimbas pada menurunnya pertumbuhan. Selain itu,
ketika insang berada pada pH rendah, peningkatan lendir akan terlihat pada
permukaan insang dan meyebabkan penurunan difusi oksigen pada lamela insang.
Kisaran pH yang cocok untuk kehidupan ikan adalah 6.5-9. Batas terendah yang
menyebabkan kematian ikan adalah pH 4 dan tertinggi pada pH 11 Perairan
dengan kisaran pH 4-6 mengakibatkan pertumbuhan lambat bagi ikan budidaya
(Boyd, 1990).
Derajat keasaman pH Air suatu kolam ikan sangat dipengaruhi oleh
keadaan tanahnya yang dapat menentukan kesuburan suatu perairan. Nilai pH air
asam tidak baik untuk budidaya ikan dimana produksi ikan dalam suatu perairan
akan rendah. Pada pH air netral sangat baik untuk kegiatan budidaya ikan,
biasanya berkisar antara 7 – 8, sedangkan pada pH air basa juga tidak baik untuk
kegiatan budidaya. Pengaruh pH air pada perairan dapat berakibat terhadap
komunitas biologi perairan (Ghufran et al, 2007).
4.2.6. Nitrat
Kandungan nitrit yang tinggi didalam perairan sangat berbahaya bagi udang
dan ikan, karena nitrit dalam darah mengoksidasi haemoglobin menjadi meta-
haemoglobin yang tidak mampu mengedarkan oksigen (Darti dan Iwan, 2006),
kandungan nitrit sebaiknya lebih kecil dari 0,3 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam
air merupakan faktor pembatas dan sangat berpengaruh terhadap berlangsungnya
proses nitrifikasi. Nilai kosentrasi nitrit dari kedua petak ujicoba ini berkisar
32
antara 0,012 – 0,018 ppm (mg/l), di bawah nilai ambang batas yang di sarankan.
Sehingga dengan kandungan nitrit pada ujicoba ini termasuk kedalam kondisi
yang cukup optimal. Pada salinitas di atas 20 ppt, batas ambang aman nitrit adalah
< 2 ppm (Chia, 1989).
Dalam kondisi dimana konsentrasi oksigen terlarut sangat rendah dapat
terjadi kebalikan dari stratifikasi yaitu proses denitrifikasi di mana nitrat akan
menghasilkan nitrogen bebas yang akhirnya akan lepas ke udara atau dapat juga
kembali membentuk ammonium dan amoniak melalui proses amonifikasi nitrat.
Nitrat dapat digunakan untuk mengklafisikasikan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofik kadar nitrat 0 – 1 mg/l, perairan mesotrofik kadar nitrat 1 – 5
mg/l, perairan eutrofik kadar nitrat 5 -50 mg/l (Darti dan Iwan, 2006). Menurut
Boyd (1988) dalam Gusrina (2008), terdapat hubungan antara kadar ammonia
total dengan ammonia bebas pada berbagai pH dan suhu. Ikan masih dapat hidup
pada air yang mengandung N 2 mg/l. Batas letal akan tercapai pada kadar 5 mg/l.
4.2.7. Phospat
Bila kadar fosfat pada air alam sangat rendah (yaitu < 0,01 mg P/l), maka
dapat mengakibatkan pertumbuhan ganggang dan tanaman akan terhalang,
keadaan ini disebut dengan oligotrop. Bila kadar fosfat dan nutrien lainnya tinggi,
pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas (atau yang disebut dengan
eutrop), sehingga mengakibatkan tanaman tersebut dapat menghabiskan
oksigendalam sungai atau kolam pada malam hari, atau bila tanaman tersebut mati
dan dalam keadaan yang sedang dicerna (digest) (Effendi, 2003).
Alabaster dan Loyd (1982) menyatakan Setiap senyawa fosfat tersebut
terdapat dalam bentuk terlarut, tersuspensi atau terikat di dalam sel organisme
dalam air. Dalam air limbah biasanya senyawa fosfat berasal dari limbah
penduduk, industri, ataupun pertanian.
4.2.8. Ammoniak (NH3)
33
Kandungan ammonia dalam air media pemeliharaan merupakan hasil
perombakan dari senyawa-senyawa nitrogen organik oleh bakteri atau dampak
dari penambahan pupuk yang berlebihan. Senyawa ini sangat beracun bagi
organisme perairan walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Konsentrasi
amonia yang mampu ditolerir untuk kehidupan udang dewasa < 0,3 ppm dan
ukuran benih < 0,1 ppm (Effendi, 2002). Kosentrasi ammonia yang terukur pada
kedua petak ujicoba menujukan nilai yang cukup rendah yaitu berkisar antara
0,011 – 0,04 ppm. Boyd (1990) melaporakan bahwa kosentrasi amoniak sebesar
0,045 ppm dapat mengurangi laju pertumbuhan udang penaeid sebesar 50%.
Sedangkan kosentrasi ammonia yang disarankan dan aman di tambak adalah
dibawah nilai 0,13 ppm. Pada salinitas air di atas 20 ppt, batas ambang aman
amonium adalah <1,6 ppm (Floyd et al, 2009).
4.2.9. Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Nilai BOD ditentukan oleh Jumlah oksigen yang diperlukan untuk proses
Biologi di dalam perairan, semakin tinggi bahan organik yang terkandung dalam
perairan, maka nilai BOD juga semakin tinggi (Hardjamulia, 1978)
Menurut Alaerts dan Santika (1984) dalam Bapedalda (2006)
Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis adalah
suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses
mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah
oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (men-oksidasi) hampir
semua zat organis yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi
dalam air. Penguraian zat organis, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut
dalam air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian
34
ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik, jadi nilai yang sesuai untuk
perairan alami sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001 adalah < 3 mg/L.
4.2.10. COD
Menurut Effendi (2003) nilai COD yang tidak tercemar biasanya kurang
dari 20 mg/L dan tingginya nilai COD juga menunjukkan tebalnya lapisan bahan
organik yang ada di perairan sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar
oksigen terlarut di perairan yang dibutuhkan oleh organisme untuk respirasi,
keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam, ataupun dari aktifitas rumah
tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan
industri makanan. Dari pernyataan diatas dapat dikatakan bahwa pada lokasi 3
diperoleh nilai COD yang lebih tinggi dikarenakan tebalnya lapisan bahan organik
pada lokasi tersebut (Ghufran et al, 2007).
4.2.11. Sulfur
Udang yang dibudidaya dalam tambak pada konsentrasi oksigen terlarut
rendah pada pagi hari umumnya mulai makan lagi pada sore hari tetapi pada
udang yang terdedah pada konsentrasi sublethal Hidrogen Sulfida (H2S) mungkin
tidak akan makan secara normal untuk berminggu-minggu. Hal ini akan
mengakibatkan laju pertumbuhan udang menurun karena tidak dapat
mengkonsumsi pakan yang diberikan secara baik. Setiap konsentrasi Hidrogen
Sulfida (H2S) yang terdeteksi dianggap merugikan produksi budidaya perairan.
Untuk udang akan kehilangan keseimbangan pada konsentrasi Hidrogen Sulfida
(H2S) 0,1 sampai 0,2 ppm, kematian terjadi pada konsentrasi 1 ppm. (Chia, 1989).
35
Perbandingan belerang terionisasi dan tidak terionisasi sama halnya
dengan ammonia, tergantung pH dan temperatur air. Daya racun Hidrogen Sulfida
(H2S) meningkat dengan meningkatnya suhu. Hubungan antara pH dengan
persentase belerang tak terionisasi menunjukkan bahwa pH 6,5 berakibat buruk
pada udang, tidak saja diakibatkan kemasaman tetapi juga mungkin akibat daya
racun Hidrogen Sulfida (H2S) yang meningkat. (Chia, 1989).
Persentase hidrogen sulfida terhadap sulfida total di perairan sangat
tergantung nila pH yang ada dalam perairan tersebut. Pada pH 5, sekitar 99%
sulfur terdapat dalam bentuk H2S. Keadaan ini mengakibatkan tekanan parsial H2S
dapat menimbulkan permasalahan bau yang cukup serius. H2S bersifat mudah
larut, toksik, dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Oeh karena itu, toksisitas
H2S meningkat dengan penurunan nilai pH perairan. (Effendi, 2002).
Pembentukan ammonia dan Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak
merupakan sebagian masalah utama yang menurunkan laju pertumbuhan dan
survival rate (SR) udang ditambak intensif. SR udang menurun sampai 50% pada
konsentrasi Hidrogen Sulfida (H2S) didasar tambak sebesar 0,25 ppm (Kodoatie,
2005)
.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
36
5.1. Kesimpulan
Perairan yang bagus untuk budidaya ikan salah satu nya di tentukan oleh
faktor-faktor kimia seperti, DO, pH, Alkalinitas, BOD, COD, Sulfur, Nitrat,
Phospat, Ammoniak, kesadahan dan CO2. Masing-masing dari faktor kimia
tersebut mempunyai kadar yang optimal untuk ruang lingkup perairan budidaya
agar mendapatkan kualitas air yang bagus untuk pertumbuhan dan kehidupan ikan
budidaya
5.2. Saran
Dalam melakukan aktivitas budidaya hendaknya faktor-faktor kimia yang
sangat berpengaruh pada kualitas perairan budidaya hendak di perhatikan dan di
kelola dengan baik agar tercipta kondisi perairan yang baik untuk kehidupan ikan
budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
37
Alabaster, JS dan R Loyd. 1982. Water Quality Criteria for Freshwater Fish. Second Edition. Food and Agriculture Organization of United Nations. Butterworths. London.
Amriawati Evi. 2001. Pengaruh Salinitas 3 Ppt dan kesadahan Moderat Terhadap Kelangsungan Hidup Dan Pertumbuhan Ikan Maanvis (Pterophyllum scalare L.) Pada Sistem Resirkulasi. Skripsi. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Arifin. 2008. Metode Pengolahan Kesadahan (Hardness) Air Dengan Menggunakan Resin Penukar Ion. http://smk3ae.wordpress.com. Diakses pada tanggal 01 November.
Bapedalda. 2006. Dampak Lingkungan Perairan Laut dan Udara Akibat Industri Kota Dumai. Bapedalda. Dumai.
Boyd,C.E.1990.Water Quality In Ponds for Aquqculture.Birmingham Publishing Co.Birmingham.Alabama.
Chia Kuang Tsai, 1989, Shrimp Pond Water Quality Management, BPPP, Puslitbang Perikanan, Jakarta.
Darti dan Iwan. 2006. Oksigen Terlarut. Jakarta: Penebar Swadaya
Darusalam AY. 2005. Kondisi kualitas air tambak udang windu Penaeus monodon dengan pemanfaatan larutan nutrien. [Skripsi]. Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. 1991. Pedoman Pengamatan Kualitas Air. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta
Effendi H. 2002. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelola Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanusius : Yogyakarta.
Elpanuryawan Wayan, 2010 : http://elpanuryawan wayan.blogspot.com/2012/05/parameter-kimia-kualitas-air.html
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Floyd RF, Watson C, Petty D, Pouder DB. 2009. Amonia in aquatic system. http://defishery.files.wordpress.com/2009/11/sistem-ammonia-di-perairan.pdf [01 November 2012]
38
Ghufran. H. M, Kordi K, dan Andi B.T. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. Jakarta: Rineka Cipta
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid I Untuk SMK. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional
Hadi, A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Hadinafta R. 2009. Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik di Lapisan Dasar Perairan Estuari Sungai Cisadane, Tangerang [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Hardjamulia A. 1978. Budidaya Perikanan. SUPM Bogor. Hal 1-7.
Husada Bakti. 1995. Pelatihan Penyehatan Air.Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Ilhad. 2008. Makalah kimia lingkungan. http://ilhadblogspot.com. Diakses pada tanggal 01 November 2012.
Kodoatie, R.J. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Andi. Yogyakarta.
Kordi K., M. Ghufran H dan Tancung Andi Baso. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dan Tanah dalam Budidaya Perairan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
39