budidaya ikan baung

61
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan baung (  Hemibagrus nemurus Blkr) adalah ikan air tawar yang terdapat di sungai-sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya budidaya dalam keramba telah berkembang dengan pesat. Tetapi pesatnya perkembangan budidaya ikan ini belum diimbangi dengan tingkat produksi yang tinggi karena tidak didukung oleh produksi benih dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Hal ini disebabkan antara lain sulitnya mendapatkan induk matang gonad. Selain itu beberapa peneliti menunjukkan bahwa daya tetas telur ikan baung masih rendah yaitu sebesar 34.5% (Muflikhah, 1993), 63,63% (Hardiantho et al., 2002), dan 39% (Sukendi, 2005). Kualitas telur yang berubah-ubah adalah salah satu faktor pembatas produksi massal benih ikan. Kualitas telur dipengaruhi faktor internal yang meliputi umur dan ukuran induk, dan genetik; serta faktor eksternal seperti pakan, suhu, kepadatan dan polusi. Masih banyak sisi budidaya yang perlu diketahui untuk memperbaiki kualitas telur dan meningkatkan produksi benih ikan baung, diantaranya kebutuhan nutrisi induk ikan baung yang belum diketahui. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pakan (protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan faktor penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur yang diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Saat telur menetas, sumber energi untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kapada bahan bawaan telur yang telah disiapkan oleh induk. Asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk sangat diperlukan terutama untuk kebutuhan dalam proses perkembangan embrio. Menurut Izquierdo et al. (2001), asam lemak tidak jenuh seperti linoleat (18:2n-6) dan linolenat (18:3n-3) dalam pakan ikan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan kelangsungan hidup larva. Oleh karena itu, pengaturan komposisi kedua jenis asam lemak ini dalam pakan diharapkan dapat memperbaiki kualitas telur.

description

budidaya ikan baung

Transcript of budidaya ikan baung

Page 1: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 1/61

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) adalah ikan air tawar yang terdapat di

sungai-sungai di Indonesia. Usaha budidaya ikan baung, khususnya budidaya dalam

keramba telah berkembang dengan pesat. Tetapi pesatnya perkembangan budidaya ikan

ini belum diimbangi dengan tingkat produksi yang tinggi karena tidak didukung oleh

produksi benih dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Hal ini disebabkan antara lain

sulitnya mendapatkan induk matang gonad. Selain itu beberapa peneliti menunjukkan

bahwa daya tetas telur ikan baung masih rendah yaitu sebesar 34.5% (Muflikhah, 1993),63,63% (Hardiantho et al., 2002), dan 39% (Sukendi, 2005).

Kualitas telur yang berubah-ubah adalah salah satu faktor pembatas produksi

massal benih ikan. Kualitas telur dipengaruhi faktor internal yang meliputi umur dan

ukuran induk, dan genetik; serta faktor eksternal seperti pakan, suhu, kepadatan dan

polusi. Masih banyak sisi budidaya yang perlu diketahui untuk memperbaiki kualitas

telur dan meningkatkan produksi benih ikan baung, diantaranya kebutuhan nutrisi induk

ikan baung yang belum diketahui. Berbagai hasil penelitian telah menunjukkan bahwa

kuantitas dan kualitas pakan (protein dan lemak) yang diberikan kepada induk merupakan

faktor penting yang mempunyai hubungan erat dengan kematangan gonad, jumlah telur

yang diproduksi dan kualitas telur (Watanabe, 1988). Saat telur menetas, sumber energi

untuk perkembangan larva ikan sangat bergantung kapada bahan bawaan telur yang telah

disiapkan oleh induk.

Asam lemak esensial linoleat dan linolenat pada induk sangat diperlukan terutama

untuk kebutuhan dalam proses perkembangan embrio. Menurut Izquierdo et al. (2001),

asam lemak tidak jenuh seperti linoleat (18:2n-6) dan linolenat (18:3n-3) dalam pakan

ikan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan reproduksi dan

kelangsungan hidup larva. Oleh karena itu, pengaturan komposisi kedua jenis asam

lemak ini dalam pakan diharapkan dapat memperbaiki kualitas telur.

Page 2: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 2/61

Peran pakan dalam perkembangan gonad penting untuk fungsi endokrin yang

normal. Tingkatan pakan tampaknya mempengaruhi sintesis maupun pelepasan hormon

dari kelenjar-kelenjar endokrin. Kelambatan perkembangan gonad karena kekurangan

pakan dapat menyebabkan rendahnya kadar gonadotropin hipofisis, kurangnya respon

ovari terhadap stimulus hormon atau mungkin kegagalan ovari untuk menghasilkan

 jumlah estrogen yang cukup (Toelihere, 1981). Selain ketersediaan materi baik kualitas

maupun kuantitas untuk mendukung proses reproduksi, diperlukan juga kerja hormon

untuk meningkatkan proses sintesis vitelogenin dan penyerapannya oleh sel telur.

Manipulasi hormonal yang sering dilakukan berupa suntikan dan implantasi hormon,

tidak lain adalah upaya “potong kompas” mengganti sinyal lingkungan sebagai sinyal

untuk pematangan gonad (Zairin, 2003). Setelah matang gonad, ikan baung masih

memerlukan manipulasi hormonal karena ikan ini tidak dapat memijah secara spontan

dalam wadah budidaya.

Estradiol-17β  (E2) merupakan perangsang biosintesis vitelogenin di hati.

Vitelogenin yang disintesis di hati dengan bantuan hormon E2 disekresikan ke dalam

aliran darah dan dibawa menuju ke gonad. Vitelogenin di dalam aliran darah secara

selektif akan diserap oleh lapisan folikel oosit. Penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu

oleh hormon gonadotropin dan tiroksin (T4). T4 merupakan hormon yang dihasilkan oleh

kelenjar tiroid yang dikenal dengan struktur kimia L-3,5,3’,5’-tetraiodothyronine (T4).

Selain membantu dalam proses penyerapan vitelogenin oleh oosit, keberadaan hormon

(T4) dalam telur juga sangat membantu dalam menstimulasi perkembangan embrio

(Ayson dan Lam, 1993).

Dengan memberikan perlakuan mengikuti proses fisiologis di atas, maka

diharapkan telur yang dihasilkan akan berkualitas baik sehingga larva yang dihasilkan

 juga berkualitas baik dengan memiliki ketahanan yang prima. Selama ini pendekatan

untuk memecahkan masalah kualitas telur sering dilakukan secara parsial dan tidak

bersifat menyeluruh. Pendekatan yang akan menghasilkan pematangan gonad yang cepat

dengan kualitas telur yang baik adalah dengan mengkombinasikan faktor lingkungan,

pakan dan hormonal. Mengingat faktor lingkungan sangat kompleks dan sukar ditiru,

maka pada penelitian ini digunakan kombinasi antara pakan dan hormon dengan

memberikan lingkungan reproduksi yang optimal.

Page 3: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 3/61

Dari uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peranan

perbandingan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan dan dosis kombinasi

hormon E2 dan T4 yang optimal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan

larva ikan baung.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah yang dihadapi dalam budidaya ikan baung adalah kurangnya pengetahuan

mengenai kebutuhan nutrisi induk, khususnya kebutuhan asam lemak esensial untuk

menghasilkan telur dan larva dengan kualitas maupun kuantitas yang tinggi. Rendahnya

kualitas telur diduga karena rendahnya kadar fosfolipid dalam telur sehingga kualitas

telur juga menjadi rendah akibatnya nutrien yang terserap oleh telur tidak dapat

mendukung perkembangan larva.

Selain itu, pemberian pakan yang tidak optimal dapat menyebabkan kurangnya

energi untuk mendukung proses reproduksi, terutama dalam mensintesis hormon E2 yang

terlibat dalam proses vitelogenesis. Hormon E2 adalah hormon steroid yang disintesis

pada lapisan granulosa folikel. Hormon ini disekresikan kedalam darah dan merupakan

perangsang dalam biosintesis vitelogenin di hati.

Di dalam tubuh ikan, lipid terutama di hati terdapat dalam bentuk lipoprotein

plasma kompleks, very low density lipoprotein  (VLDL) dan low density lipoprotein (LDL) serta dengan kombinasi lipoprotein lipase dan lesitin membentuk high density

lipoprotein (HDL). Kurangnya lipid yang diangkut ke hati dari pheripheral diduga akibat

dari kurangnya lipid dalam pakan, juga lipid tersebut digunakan sebagai sumber energi

untuk proses metabolisme. Akibatnya lipid yang disintesis membentuk vitelogenin sangat

rendah sehingga mengakibatkan kadar fosfolipid telur rendah. Dipihak lain asam lemak

essensial tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh sehingga perlu ditambahkan ke dalam

pakan dalam jumlah yang optimal.

Oleh karena pakan buatan masih banyak kekurangan sumber nutrien seperti asam

lemak esensial serta kerja hormon dalam proses vitelogenesis tidak maksimal maka

kuantitas dan kualitas telur menjadi rendah sehingga produksi larva juga menjadi rendah

pula. Untuk mengatasinya perlu manajemen pemberian pakan, terutama jenis dan jumlah

yang optimal serta perlakuan hormon yang dapat mendukung proses reproduksi. Dengan

Page 4: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 4/61

cara ini diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi, kerja hormon optimal sehingga

diharapkan kualitas vitelogenin dapat meningkat dan akhirnya kualitas telur meningkat

pula, dengan demikian dapat dihasilkan benih dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan :

1.  Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian pakan

buatan yang ditambahkan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3. Serta

keterkaitannya dengan komposisi asam lemak pada hati, telur dan larva.

2.  Mengkaji penampilan reproduksi induk ikan baung dengan pemberian hormon

E2 dan T4 serta kombinasinya yang diimplantasi pada induk yang diberi

pakan optimal.

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar dalam manajemen

pemberian pakan, serta perlakuan hormonal yang tepat pada induk ikan sehingga dapat

mempercepat pematangan gonad, meningkatkan kuantitas dan kualitas telur yang pada

akhirnya meningkatkan kualitas larva ikan baung.

Page 5: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 5/61

II. KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kematangan Gonad Pada Ikan

Kematangan gonad ikan pada umumnya adalah tahapan pada saat perkembangan

gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai

untuk perkembangan gonad. Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan

akan memijah kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan

berlangsung sampai selesai. Menurut Effendie (2002), pertambahan bobot gonad ikan

betina pada saat stadium matang gonad dapat mencapai 10 – 25 persen dari bobot tubuh,

dan pada ikan jantan 5 – 10 persen. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semakin

bertambahnya tingkat kematangan gonad, telur yang ada dalam gonad akan semakin

besar. Pendapat ini diperkuat oleh Kuo et al. (1979) bahwa kematangan gonad pada ikan

dicirikan dengan perkembangan diameter rata-rata telur dan pola distribusi ukuran

telurnya.

Kematangan gonad ikan baung dimulai apabila telah mencapai panjang 215 mm

dengan bobot 90g (Tang et al., 1999). Secara garis besar, perkembangan gonad ikan

dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad ikan sampai ikan

menjadi dewasa kelamin dan selanjutnya adalah pematangan gamet. Tahap pertama

berlangsung mulai ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin, dan tahap kedua

dimulai setelah ikan mencapai dewasa, dan terus berkembang selama fungsi reproduksi

masih tetap berjalan normal (Lagler et al.,  1977). Lebih lanjut dikatakan bahwa

kematangan gonad pada ikan tertentu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor luar dan

faktor dalam. Faktor luar antara lain dipengaruhi oleh suhu dan adanya lawan jenis,

faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur serta sifat-sifat fisiologi lainnya.

Ikan baung tergolong ikan yang bertulang sejati (teleostei). Ikan teleostei biasanya

mempunyai sepasang ovarium yang merupakan organ memanjang dan kompak, terdapat

di dalam rongga perut, berisi oogonium, oosit dengan sel-sel folikel yang mengitarinya,

 jaringan penunjang atau stroma, jaringan pembuluh darah dan saraf (Nagahama, 1983).

Page 6: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 6/61

Berdasarkan klasifikasi Wallace dan Selman (1981) pola perkembangan oosit ikan

teleostei dapat dibagi atas tiga tipe, pertama disebut tipe sinkronisme total, yaitu semua

oosit dalam ovarium dibentuk dalam waktu yang relatif sama. Tipe ini ditemukan pada

ikan-ikan yang mengalami migrasi (“katadromous” dan “anadromous”). Tipe kedua, tipe

sinkronisme kelompok. Pada tipe ini paling sedikit terdapat dua populasi oosit pada suatu

saat. Ketiga adalah asinkronisme, yaitu oosit terdiri dari semua tingkat perkembangan.

Tipe ini ditemukan pada ikan yang memijah sepanjang tahun, misalnya pada beberapa

 jenis ikan tropis.

Setiap oosit selama permulaan perkembangannya dikelilingi oleh selapis folikel.

Dengan tumbuhnya oosit, sel-sel folikel membelah diri dan membentuk suatu lapisan

folikular yang kontinyu (lapisan granulosa). Secara bersamaan dikelilingi bagian jaringan

pengikat yang juga menjadi terorganisir membentuk suatu lapisan luar yang berbeda dari

penutup folikular yang disebut lapisan teka. Dengan demikian oosit dikelilingi oleh dua

lapisan utama, dibagian luar lapisan teka dan dibagian dalam adalah lapisan granulosa

yang masing-masing dipisahkan oleh membran. Sel teka mengandung fibroblas, jaringan

kolagen dan kapiler darah pada beberapa jenis ikan. Sel teka dan granulosa berperan

sebagai penghasil steroid. Sel folikular pada pinggiran memainkan peranan penting

dalam inkoporasi material lipoprotein yang berasal dari hati ke dalam oosit. Pematangan

oosit dicirikan oleh pergerakan awal dari vesikula germinalis (germinal vesicle) dan

diakhiri dengan tahap pembelahan meiosis pertama (Takashima dan Hibiya, 1995).

Tingkat kematangan gonad merupakan pengelompokan kematangan gonad ikan

berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada perkembangan gonad. Pengamatan

perkembangan gonad dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengelompokan berdasarkan

morfologi dan berdasarkan histologi. Dari pengamatan secara histologi akan dapat

diketahui lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologi tidak

akan sedetail dengan cara histologi, namun cara morfologi banyak dilakukan karena

dapat dilakukan di lapangan. Pembagian tingkat kematangan gonad berbeda setiap

peneliti dan bergantung pada jenis ikan yang diteliti. Siregar (1999) membagi tingkat

perkembangan gonad ikan jambal siam kedalam empat kelompok berdasarkan

morfologi dan histologi (Tabel 1).

Ukuran sel telur ada hubungannya dengan fekunditas. Makin banyak telur yang

Page 7: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 7/61

dipijahkan ukuran telurnya makin kecil, misalnya pada ikan cod yang diameternya 1-

1,7mm produksi telurnya 10 juta butir. Salmon atlantik diameter telur 5-6 mm

produksi telurnya 2000-3000 (Blaxter, 1969). Sementara itu, untuk ikan baung dengan

berat 2,7 kg produksi telurnya mencapai 1.365 sampai 160.235 butir (Tang et al.,

1999).

Tabel 1. Kriteria perkembangan gonad ikan jambal siam (Pangasius hypophthalmus) betina secara morfologis dan histologis pada berbagai tingkat kematangan

(Siregar, 1999)

TKG Morfologi Histologi

I

II

III

IV

Ovari kecil dan halus seperti

benang, warna ovari merah

muda, memanjang di rongga

perut.

Ukuran ovari bertambah

besar, warna coklat muda,

butiran telur belum terlihatdengan mata telanjang.

Ukuran ovari relatif lebih

besar dan mengisi hampir 1/3

rongga perut, butiran-butirantelur terlihat jelas dan

berwarna kuning muda.

Gonad mengisi penuh rongga

perut, semakin pejal danwarna butiran telur kuning

tua. Butiran telur besarnya

hampir sama dan mudah

dipisahkan, kantung tubulus

seminifer agak lunak.

Didominasi oleh oogonia

berukuran 7.5-12.5µm, inti

sel besar.

Oogonia menjadi oosit

ukuran 200-250µm,

membentuk kantung kuningtelur, sitoplasma berwarna

ungu.

Lumen berisi telur. ukuran

oosit 750-1125µm. Inti

mulai tampak.

Inti terlihat jelas dansebaran kuning telur

mendominasi oosit. Ukuranoosit 1300-1500µm.

Cat. jambal siam sinonim dengan patin siam

2.1.2 Kualitas Telur Ikan

Telur merupakan hasil akhir dari proses gametogenesis, setelah oosit mengalami

fase pertumbuhan yang panjang yang sangat bergantung pada gonadotropin.

Perkembangan diameter telur pada oosit teleostei umumnya karena akumulasi kuning

telur selama proses vitelogenesis. Akibat proses ini, telur yang tadinya kecil menjadi

besar.

Page 8: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 8/61

Ada tiga macam bahan kuning telur yang berbeda 1) butir minyak (oil droplet), 2)

gelembung kuning telur (yolk vesicle), 3) bola kecil kuning telur (yolk globule). Dalam

vitelogenesis yang sedang berlangsung, sitoplasma telur yang matang ruangannya diisi

oleh bola-bola kecil kuning telur saling bersatu dengan yang lainnya membentuk menjadi

masa kuning telur.

Definisi kualitas telur yang umum digunakan adalah kemampuan telur untuk

menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik

ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik dan kimia selama terjadi

proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak

berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah sebagai

berikut.

 Pembuahan 

Pembuahan atau fertilisasi merupakan asosiasi gamet, dimana asosiasi ini

merupakan mata rantai awal dan sangat penting pada proses fertilisasi. Rasio pembuahan

sering digunakan sebagai parameter untuk mendeteksi kualitas telur.

Penggabungan gamet biasanya disertai dengan pengaktifan telur. Selama fertilisasi

dan pengaktifan, telur-telur ikan teleostei mengalami reaksi kortikal. Kortikal alveoli

melebur, melepaskan cairan koloids, dan selanjutnya memulai pembentukan ruang

periviteline (Yamamoto, 1961 dalam Kjorsvik et al., 1990). Kortikal alveoli muncul

setelah terjadinya fertilisasi dan reaksi kortikal yang tidak lengkap menunjukkan kualitas

telur yang jelek. Beberapa hal yang mempengaruhi pembuahan adalah berat telur ketika

terjadi pembengkakan oleh air, pH cairan ovari, dan konsentrasi protein (Lahnsteiner et

al., 2001).

 Morfologi 

Telur yang belum dibuahi bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan

selaput kapsul atau khorion. Di bawah khorion terdapat selaput yang kedua dinamakan

selaput vitelin. Selaput yang mengelilingi plasma telur dinamakan selaput plasma. Ketiga

selaput ini semuanya menempel satu sama lain dan tidak terdapat ruang diantaranya.

Lapisan vitelin pada ikan mas mempunyai ukuran ketebalan 10.0-10.2 µm dan

mempunyai struktur yang komplek dan terdiri dari 4 lapisan yang penamaannya berbeda

Page 9: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 9/61

berdasarkan penemu (Linhart et al., 1995). Lapisan bagian luar terdiri 2 bagian

berdasarkan perbedaan sitokimia. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua lapisan ini kaya

akan protein.

Selama oogenesis kuning telur mengakumulasi sejumlah besar  yolk granules  dan

lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24µm (Linhart et

al., 1995). Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan

diameter 1-1.5µm (Linhart et al., 1995). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi

parameter kualitas telur.

Selama oogenesis, salah satu yang paling mencolok adalah pembentukan sebuah

zona tebal yang sangat berdiferensiasi yang terdiri dari membran telur, membran vitelin,

zona radiata, zona pelusida dan terletak diantara lapisan-lapisan granulosa dan oosit.

Bergantung pada spesies dan tahap pertumbuhan oosit, membran telur bervariasi dalam

hal ketebalan. Tebalnya 7-8µm pada oosit ikan mas koki dan sekitar 30 µm pada rainbow

trout (Kjorsvik et al., 1990) .

Perubahan morfologi yang dialami membran mencerminkan adaptasi terhadap

berbagai kondisi ekologi. Membran telur ini banyak mengandung protein dan

karbohidrat. Belum dapat dipisahkan apakah asal membran ini dari oosit atau dari sel

folikel atau dari kedua-duanya. Pada oosit kuda laut,  Hippocampus erectus dan ikan

pipa Syngnathus fuscus, membran dibentuk oleh oosit, sehingga diklasifikasikan sebagaiselubung primer (Nagahama, 1983).

Menurut Kjorsvik et al. (1990), morfologi sel juga sering digunakan untuk meneliti

kualitas telur dan parameter morfologi ini lebih sensitif dibandingkan dengan

kelangsungan hidup. Pada pembelahan awal (blastomer) embrio tidak berdifferensiasi,

dan ini menjadi dasar untuk perkembangan embrio selanjutnya. Kerusakan pada sel ini

akan mempengaruhi perkembangan akhir dari embrio, dan akhirnya akan terjadi

kerusakan pada salah satu sel dalam perkembangannya. Pengamatan juga termasuk

melihat simetri pembelahan awal serta banyaknya embrio dan larva yang cacat.

Ukuran telur

Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa

digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang

Page 10: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 10/61

telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume

telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran

telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan

 jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan.

Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa

pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil.

Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo

salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan  Clupea harengus (Kamler,

1992). Keuntungan ukuran awal yang dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat

kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar

keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus

mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler, 1992).

Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan

yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi

yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak

dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al., 1990).

 Kandungan kimia 

Komposisi biokimia telur yang sehat menggambarkan kebutuhan embrio terhadap

nutrisi dan pertumbuhan. Komponen tertentu diketahui “essensial” untuk organisme yang

tidak dapat mensintesis nutrien tersebut. Komponen ini harus ada dalam jumlah tertentu

untuk kebutuhan fisiologi. Oleh karena itu parameter biokimia kualitas telur dapat

digunakan. Hasil evaluasi biokimia kualitas telur sebelum fertilisasi mungkin dapat

digunakan.

Material yang diperlukan selama perkembangan secara umum dapat dibagi menjadi

1) diperlukan secara langsung untuk sintesis jaringan embrionik, dan 2) digunakan untuk

energi metabolisme (Tang dan Affandi, 2000). Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah totaldan relatif berbagai nutrien yang diperlukan jelas bervariasi bergantung kepada faktor

seperti waktu pengeraman, ukuran ikan pada waktu menetas dan lamanya anak-anak ikan

memerlukan persediaan bahan endogen sebelum menemukan semua keperluan dari

sumber lain.

Page 11: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 11/61

Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan

hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan

komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler, 1992). Hasil penelitian

dari pemijahkan induk belanak garis (striped mullet) dalam beberapa fasilitas yang

berbeda (air laut dan air payau atau ditempatkan di dalam gedung serta di kolam air

payau), menunjukkan kadar asam oleat, eikosanoat dan arakidonat yang berbeda

kadarnya pada telur induk matang (Tamaru et al., 1991). Hal ini menunjukkan bahwa

kondisi pematangan induk akan mempengaruhi kandungan kimia telur.

2.1.3  Peranan Asam Lemak Tak Jenuh (n-6 dan n-3) Pada Kualitas Telur

Lemak pakan merupakan sumber energi dan sumber asam lemak esensial bagi

ikan. Sumber dari lemak akan menentukan susunan asam lemak esensialnya. Pada

tubuh ikan, asam lemak tersebut merupakan salah satu senyawa fosfolipid membran

sel. Watanabe (1988) melaporkan bahwa lemak, selain sebagai sumber energi juga

digunakan untuk struktur sel, dan mempertahankan integritas pada biomembran.

Lemak dan komposisi asam lemak dalam pakan induk telah diidentifikasi sebagai

faktor utama dari nutrien yang menentukan keberhasilan reproduksi dan meningkatkan

derajat kelangsungan hidup larva (Izquierdo et al., 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa

pada beberapa spesies, HUFA dalam pakan induk dapat meningkatkan fekunditas,fertilisasi dan kualitas telur.

Fosfolipid disusun oleh gliserol, fosfat, asam lemak esensial dan non esensial

terutama asam lemak dari kelompok HUFA ( High Unsaturated Fatty Acid ) dan PUFA

(Poly Unsaturated Fatty Acid ) berperan penting untuk kegiatan metabolisme, komponen

membran, senyawa awal prostaglandin seperti tromboksan, prostasiklin dan leukotrin

(BNF, 1992). Lebih lanjut dikatakan kadar lipid telur masak adalah sebasar 2-10% dari

berat telur bergantung kepada spesiesnya. Telur yang mengandung lipid tinggi

mempunyai banyak gelembung minyak berisi lipid netral (tryacyl gliserol dan wax ester). 

Hepher (1990) menyatakan bahwa lipid netral berfungsi sebagai energi

metabolisme bagi embrio selama perkembangan; sedangkan fosfolipid berguna untuk

penyediaan asam lemak essensial yang diendapkan menjadi membran sel sebagai

 jaringan. Telur dengan kadar lipid tinggi disertai dengan lipid netral yang tinggi kadarnya

Page 12: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 12/61

merupakan ciri telur yang masa pengeramannya lama sampai beberapa minggu seperti

pada salmon.

Hubungan positif antara kelangsungan hidup dengan konsentrasi lipid total telur

telah ditunjukkan Xu et al. (1993) pada udang cina (Penaeus chinensis). Diyakini

bahwa kadar asam lemak telur dapat meningkatkan daya tetas dan daya hidup larva.

Dilaporkan bahwa induk ikan yang diberi pakan yang kekurangan asam lemak esensial

(EFA) akan menghasilkan telur yang rendah daya tetasnya dan sebagian besar dari

larva yang dihasilkan adalah abnormal (Watanabe et al.,  1984). Pengaruh ini jelas

terlihat pada pemberian pakan tanpa asam lemak esensial pada induk ikan red   sea

bream yang dilakukan 2-3 bulan sebelum memijah. 

Kualitas pemijahan sea bream  dapat ditingkatkan dengan penambahan n-3

HUFA sampai sebesar 1,6% (Palacios et al., 1995). Penelitian lain juga menunjukkan

penambahan n-3 HUFA lebih besar dari 1% (1,5-2,0%) dalam pakan induk  Japanese

 flounder , dapat meningkatkan normalitas dan derajat kelangsungan hidup larva (Furuita

et al., 2000). Proporsi n-3 HUFA diharapkan lebih tinggi dalam pakan induk karena

sangat terkait dengan kualitas telur terutama untuk meningkatkan daya tetasnya.

Namun dari hasil penelitian pada Japanese flounder, Furuita et al. (2002) memperoleh

proporsi n-3 HUFA tidak boleh lebih dari 32% (diantara 20-25% dari total asam

lemak) karena meningkatnya level n-3 HUFA dapat menurunkan level asam amino

dalam telur yang menyebabkan menurunnya kualitas telur.

Leray et al.  (1985) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh defisiensi

asam lemak esensial terhadap proses reproduksi ikan trout selama satu tahun. Ternyata

efisiensi fertilisasi sebanding antara telur-telur yang berasal dari induk yang mendapat

pakan tanpa asam lemak esensial dan dari induk yang mendapatkan asam lemak

esensial. Namun kematian embrio tertinggi dapat terjadi pada hari ke 8 dan ke 22 pada

kelompok telur yang induknya tidak mendapatkan asam lemak essensial. Berdasarkan

pengamatan morfologi maka ternyata kegagalan pembelahan sel yang normal (sel tidak

berkelompok) terjadi pada stadia ke 16 dan ke 32 sel, dan juga terjadi suatu hambatan

perkembangan gastrulasi, dan pada akhirnya terjadi berbagai kelainan pada proses

organogenesis. Selain gejala abnormal tersebut, vitelus pada kelompok larva yang

berasal dari induk yang mendapat makanan tanpa asam lemak esensial lebih cepat

Page 13: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 13/61

habis dibandingkan dengan kelompok larva yang berasal dari induk yang mendapat

makanan yang mengandung asam lemak esensial (50 hari vs 60 hari). Dari hasil ini

ternyata asam lemak mempunyai peranan yang sangat penting sampai ke

perkembangan larva.

Kebutuhan asam lemak essensial pada ikan air tawar di daerah tropik dapat

dipenuhi dari asam lemak linoleat (18:3n-6) atau linolenat (18:3n-3) atau kombinasi

keduanya (Hepher, 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan ini mempunyai

kemampuan untuk mengkonversi asam-asam lemak tadi menjadi asam lemak berantai

karbon panjang C20 dan C22 dengan jalan memperpanjang rantai karbon dan desaturasi.

Kebutuhan asam lemak esensial pada ikan-ikan air tawar dapat dilihat pada Tabel 2.

2.1.4 Peranan Hormon E2 dalam Reproduksi

Saat ini telah banyak yang diketahui tentang keterlibatan hormon dalam proses

vitelogenesis. Selain E2 beberapa hormon diduga terlibat dalam pertumbuhan oosit

adalah GTH, T4, Triiodotironin, insulin dan hormon pertumbuhan (GH) (Tang dan

Affandi, 2000). E2 adalah estrogen utama pada ikan betina. E2 merupakan perangsang

dalam biosintesis vitelogenin di hati. Disamping itu E2 yang terdapat dalam darah

memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus ikan. Rangsanganyang diberikan oleh E2 terhadap hipofisis ikan adalah rangsangan dalam proses

pembentukan gonadotropin. Rangsangan terhadap hipotalamus adalah dalam memacu

sintesis GnRH.

Tabel 2. Kebutuhan asam lemak esensial pada benih dan ikan air tawar dewasa

(Sargent et al., 2002)

Spesies ikan

Asam lemak

esensial% bobot kering

Rainbouw trout (Onchorhynchus mykiss)

Chum salmon (Onchorhynchus keta)

Coho salmon (Onchorhynchus kisutch)

Cherry salmon (Onchorhynchus masou)

Arctic charr (Salvelinus alpinus)

8:3n-3n-3 HUFA

18:2n-6 dan 18:3n-3

18:2n-6 dan 18:3n-3

18:3n-3 atau n-3

HUFA

0.7-1.00.4-0.5

1.0 untuk masing-masimg

1.0 untuk masing-masimg

1.0

1.0-2.0

Page 14: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 14/61

Ikan mas (Cyprinus carpio)

Ikan koan (Ctenopharyngodon idella)

Tilapia :

Oreochromis zilli

Oreochromis nilotica

Sidat ( Anguilla japonica)

Ayu (Plecoglossus altivelis)

Ikan bandeng (Chanos chanos)

Channel catfish ( Ictalurus punctatus)

18:3n-3

18:2n-6

18:3n-3

18:2n-6 dan 18:3n-3

18:2n-6

18:2n-6

18:2n-6 dan 18:3n-3

18:3n-3 atau 20:5n-3

18:2n-6 dan 18:3n-3

18:3n-3

n-3 HUFA

1.0

0.5-1.0

1.0 dan 0.5

1.0

0.5

0.5 untuk masing-masimg

1.0

0.5 untuk masing-masimg

1.0-2.0

0.5-0.75

HUFA, highly unsaturated fatty acid.

GnRH yang dihasilkan bekerja untuk merangsang hipofisis dalam melepaskan

gonadotropin. Gonadotropin yang dihasilkan nantinya berperan dalam proses

biosintesis E2 pada lapisan granulosa. Siklus hormon terus berjalan di dalam tubuh

ikan selama terjadinya proses vitelogenesis (Nagahama, 1983; Yaron, 1995).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi E2 akan

meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi E2 yang tinggi dijumpai

pada saat vitelogenesis (Hassin et al., 1991). Penelitian untuk melihat hubungan tersebut

telah dilakukan pada ikan trout, Salmo trutta dan rainbouw trout Salmo gairdneri 

(Hjartarson et al., 1991), striped bass Morone sexatilis (Sullivan et al., 1991), dan Clarias

macrocepalus  (Tan-Fermin et al.,  1997). Sintesis vitelogenin di hati sangat dipengaruhi

oleh E2 yang merupakan stimulator dalam biosintesis vitelogenin. Selain itu, dipengaruhi

 juga oleh androgen seperti testosteron yang ada dalam tubuh ikan dan mungkin karena

perubahan dari androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatase folikel (Yaron, 1995).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan GtH dapat meningkatkan E2, dan

pola kadar E2 seiring dengan perkembangan telur (Yaron, 1995; Tan-Ferming et al.,

1997).

2.1.5  Peranan Hormon T4 dalam Reproduksi

Aktivitas setiap sel-sel tubuh memerlukan oksigen sehingga sebagian besar sel-

sel itu memerlukan hormon tiroid. Dalam status defisiensi T4 pertumbuhan dan

Page 15: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 15/61

perkembangan kelenjar seks biasanya akan terganggu dan mengalami retardasi.

Defisiensi hormon tiroid menyebabkan ovarium dan testis menunjukkan gejala-gejala

disfungsi akibat terjadinya degenerasi pada sel-selnya sehingga baik ovarium maupun

testes mengalami atropi.

Menurut Griffin (1996), kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon asam

iodoamino yaitu mono dan triiodotirosin, serta 3,5,3’-triiodotironin (T3) dan 3,5,3’,5’-

tetraiodotironin atau T4. T4 adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang

disimpan dalam folikel serta mengandung unsur iodium (Djojosoebagyo, 1990). Lebih

lanjut dikatakan bahwa T4 merupakan hormon yang berasal dari asam amino tirosin

yang mengalami modifikasi melalui iodinisasi yakni pengikatan iodium pada asam

amino tirosin dan penyatuan dua molekul diiodotironin (DIT) yang merupakan molekul

dari asam amino tirosin. Konsentrasi T4 pada Salmo gaidneri enam kali lebih banyak

dibandingkan triiodotironin (Donaldson et al., 1979).

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa hormon T4 juga dapat

meningkatkan kelangsungan hidup larva, misalnya penelitian pada ikan betutu (Banta,

1997). Pada ikan mas yang diteliti oleh Lam dan Sharma (1985), hormon T4 dapat

menstimulasi perkembangan embrionik pada ikan mas. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa konsentrasi T4 sebesar 0,01 ppm memberikan hasil terbaik bagi

pertumbuhan dan perkembangan larva ikan mas. Diketahui beberapa jenis hormon

cenderung ada pada telur-telur dan larva ikan. Keberadaan hormon T4 pada tahap awal

hidup ikan teleostei secara tidak langsung menunjukkan bahwa hormon ini punya

peranan dalam perkembangan ikan (Ayson dan Lam, 1993). Larva ikan beronang

berumur 7 hari dari induk yang disuntik T4 sebesar 10 dan 100 µg/g bobot tubuh

menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan induk kontrol

dan induk yang disuntik T4 1 µg/g bobot tubuh. Penelitian yang lain menunjukkan

bahwa penambahan hormon T4 dapat mempengaruhi pertumbuhan pada Salmo

gairdneri, Salmo trutta, Salvelinus fontinalis, Onchorhynchus kisutch, Lebistes

reticulatus, Carassius auratus dan Mugil auratus (Donaldson et al., 1979).

2.1.6 Faktor Lain yang Mempengaruhi Kualitas Telur

Page 16: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 16/61

Lewat matang (over ripe) pada telur dapat terjadi pada induk. Hal ini sangat penting

untuk menentukan waktu pembuahan telur yang tepat setelah ovulasi. Lewat matang

dapat menjadi masalah khususnya pada ikan yang pemijahannya harus diurut dan dibuahi

secara buatan. Hasil dari beberapa penelitian mengenai fertilitas telur setelah ovulasi

dapat dilihat pada Tabel 3.

Perubahan kadar lipid selama pematangan dan lewat matang telah banyak diteliti.

Kjorsvik et al.  (1990), mendapatkan bahwa telur-telur yang lewat matang mengandung

lebih banyak lipid dibanding telur biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa pada telur yang

lewat matang kadar dari isi telurnya sama seperti gonad-gonad yang belum matang. Craik

dan Harvey (1984) menemukan bahwa perubahan utama yang berhubungan dengan lewat

matang pada telur rainbouw trout adalah hilangnya sejumlah bahan, meningkatnya kadar

air dan menurunnya protein penting.

Tabel 3. Daya hidup telur setelah ovulasi pada berbagai spesies (Kjorsvik et al., 1990).

SpesiesDaya hidup

setelah ovulasiTemperatur (°C)

 Roccus saxatilis

Salmo gairdneri

Salmo trutta

Salvelinus alpinusClarias macrocephalus

Plecoglossus altivelis

 Limanda yokohama

Scophthalmus maximus

 Hippoglossus hippoglossus

Gadus morhua

Clupea harengus pallasi

Clupea harengu

1jam

10 hari

5-7 hari

4-6 hari

< 28 jam

> 76 jam

7 hari10 jam

24 jam

48 jam

10 jam

> 6 jam

9 jam

2 minggu

48 jam

10-13 jam

10-12

10

15

10

6.526-31

12±1

12-14

4

5

8-10

4

0.8

Pertumbuhan gonad, fekunditas dan kemampuan telur diketahui sangat tergantung

pada pengaruh lingkungan, seperti suhu, pakan, faktor-faktor stres dan fotoperiodisitas

(Carrillo et al., 1989; Aida et al., 1991; Campbell et al., 1991; Pankhurst dan Van Der

Kraak, 1997). Selama gametogenesis suhu sangat penting untuk keberhasilan pemijahan

dan daya hidup telur. Pepin et al. (1997) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi

Page 17: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 17/61

perkembangan telur dan pemijahan dari ikan Atlantik cod (Gadus morhua). Kjorsvik et

al. (1990) menyimpulkan bahwa suhu penting untuk kualitas telur yang baik seperti pada

ikan mas.

2.2 Kerangka Teoritis

Pematangan gonad pada ikan dipengaruhi oleh umur dan ukuran induk, pakan,

hormon dan lingkungan. Pemilihan kualitas induk yang baik dengan umur dewasa

kelamin yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan pematangan gonad. Ukuran

ikan saat pertama kali matang dalam setiap spesies berbeda, bahkan dalam satu speies

pun akan berbeda bergantung kepada kondisi ekologis lingkungan hidupnya (Sjafei et

al., 1992).

Telah diketahui bahwa asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dapat meningkatkan

kualitas telur. Peningkatan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 dalam pakan diharapkan

dapat meningkatkan kadar asam lemak dalam vitelogenin sehingga terjadi peningkatan

kadar fosfolipid telur akhirnya dapat meningkatkan derajat penetasan dan derajat

kelangsungan hidup larva.

Vitelogenesis terjadi karena adanya sinyal lingkungan yang mempengaruhi

hipotalamus dalam merangsang hipofisis menghasilkan gonadotropin yang nantinya akan

mempengaruhi sintesis testosteron yang akan diubah menjadi E2. E2 merupakan

perangsang utama dalam biosintesis vitelogenin di hati. T4 berperan dalam menstimulasi

anabolisme (Matty, 1985) dan membantu proses penyerapan vitelogenin oleh oosit. T4

sangat diperlukan dalam proses perkembangan embrio dalam fase perkembangan

selanjutnya. Oleh karena itu T4 diduga dapat meningkatkan daya hidup larva.

2.3 Hipotesis

Apabila pakan dengan penambahan asam lemak n-6 dan n-3 dengan jumlah dan

perbandingan yang tepat dapat meningkatkan kualitas vitelogenin maka kualitas

fosfolipid telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva

meningkat.

Apabila pemberian hormon E2 dan T4 pada kondisi asam lemak n-6 dan n-3 yang

optimal dapat meningkatkan sintesis dan penyerapan vitelogenin maka kualitas

Page 18: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 18/61

fosfolipid dan T4 telur meningkat sehingga daya tetas telur dan kelangsungan hidup larva

meningkat.

Page 19: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 19/61

III.  METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Percobaan tahap pertama mengkaji

keterkaitan asam lemak tak jenuh n-6 dan n-3 yang ditambahkan dalam pakan buatan dari

sumber alami (minyak ikan dan minyak jagung) dengan kualitas telur dan larva ikan

baung. Hasil percobaan tahap pertama ini digunakan sebagai acuan untuk mengkaji

berapa banyak penambahan asam lemak n-6 dan n-3 serta perbandingannya dalam pakan

buatan sehingga dapat meningkatkan kualitas telur ikan baung. Di samping itu dikaji juga

seberapa besar asam lemak tak n-6 dan n-3 yang diserap oleh telur.

Percobaan tahap kedua adalah mengkaji keterkaitan kombinasi hormon E2 dan T4

pada berbagai dosis yang diimplantasi dan menggunakan pakan yang terbaik hasilpercobaan tahap pertama dengan kualitas telur dan larva ikan baung. Percobaan tahap

kedua ini merupakan percobaan untuk memperoleh dosis yang optimum untuk

mempercepat pematangan gonad dan meningkatkan kualitas telur. Fenomena tersebut

dapat diindikasikan antara lain pada lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur

dan derajat kelangsungan hidup larva.

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Tawar

(BRPBAT) Cijeruk, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dimulai sejak Februari 2005

sampai Februari 2006.

3.1 Percobaan Tahap Pertama

Percobaan tahap pertama merupakan percobaan untuk mengetahui dosis

penambahan minyak ikan dan minyak jagung sebagai sumber asam lemak tak jenuh (n-6

dan n-3) pada pakan induk ikan baung dalam meningkatkan kualitas telur.

3.1.1 Rancangan Perlakuan

Pada percobaan tahap pertama digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4

perlakuan dengan jumlah ulangan sebanyak jumlah induk (7 induk betina). Sebagai

perlakuan adalah penambahan asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda dalam pakan

percobaan (Tabel 4).

Page 20: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 20/61

3.1.2 Pakan uji

Pakan uji yang digunakan ada empat jenis pakan yang berbeda dalam kadar asam

lemak n-6 dan n-3. Pakan dibuat dalam bentuk pelet (Lampiran 3) dengan komposisi

pakan berdasarkan komposisi pakan buatan untuk ikan patin dengan kadar protein 37.81 -

38.09% dan rasio energi protein 8,5 - 9,0 kkal DE/g. Asam lemak tak jenuh n-3

ditambahkan dengan pemberian minyak ikan dan n-6 dengan penambahan minyak

 jagung. Komposisi pakan utama yang digunakan didasarkan pada komposisi pakan dari

percobaan Mokoginta et al. (2000) yang digunakan untuk ikan patin.

Selanjutnya pakan tersebut dianalisis proksimat dan kadar asam lemaknya.

Komposisi pakan dan proksimat pakan serta asam lemak pakan disajikan pada Tabel 4

dan 5. Pengukuran kadar protein pakan dilakukan dengan menggunakan metode Kjedahl

dan pengukuran kadar lemak dilakukan dengan metode Folch et al. (1975) (Takeuchi,

1988). Pengujian kadar asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pakan dilakukan dengan

menggunakan Gas Liquid Chromatography (GLC).

Tabel 4. Komposisi pakan setiap perlakuan

Perlakuan/As. lemak n-6;n-3 (%)Komponen pakan (%)

A(0.87;0.56) B(1.66;0.78) C(2.00;1.00) D(2.23;1.82)

Tepung ikan

Tepung kedelaiPollard

Vitamin mixa

Choline chloride

Mineral mixb

Carboxy methyl cellulose

Minyak kelapa

Minyak jagung

Minyak ikan

41.63

18.9020.45

1.60

0.50

5.87

3.00

8.05

0.00

0.00

41.63

18.9020.45

1.60

0.50

5.87

3.00

5.05

2.00

1.00

41.63

18.9020.45

1.60

0.50

5.87

3.00

4.05

2.00

2.00

41.63

18.9020.45

1.60

0.50

5.87

3.00

2.05

2.00

4.00a. Per kilogram: Vit. A 200.000 IU; vit D3 1.000.000 IU; Vit E 40.2 IU; vit K3 8 g; vit. C 100 g; vit B1 5 g; vit. B2 5 g;

vit B3 5 g; vit B12 0.01 g; Ca pentothenat 11 g; niacin 20 g; biotin 0.06 g; folic acid 1.5 g; choline 230 g.b. Per kilogram: Ca 210 g; P 168 g; Mg 13 g; Na 30 g; S 12 g; Zn 1.25 g; Cu 0.2 g; Mn 0.3 g; Fe 6.7 g; I 0.15 g; Co 0.1

g; Se 8 mg (Takeuchi, 1988).

Tabel 5. Komposisi proksimat dan asam lemak n-6 dan n-3 pakan percobaan (% bobot

kering)

Perlakuan /As. lemak n-6;n-3 (%) 

A(0.87;0.56)  B(1.66;0.78)  C(2.00;1.00)  D(2.23;1.82) 

Page 21: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 21/61

Komposisi proksimat:

Protein

Lemak

Serat kasar

Abu

37.89

14.29

3.47

15.52

38.09

12.29

3.16

15.83

37.94

13.44

4.00

16.05

37.81

14.08

3.80

15.43

Asam lemak:

Σ Al. n-6

Σ Al. n-3

EPA

DHA

Rasio Al. n-6/n-3

0.87

0.56

0.15

0.33

2.27

1.66

0.78

0.21

0.46

3.50

2.00

1.00

0.28

0.59

2.88

2.23

1.82

0.52

1.02

1.94

3.1.3 Ikan uji

Induk betina dan jantan ikan baung masing-masing sebanyak 28 ekor yang

digunakan dalam percobaan ini diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset

Budidaya Air Tawar, Cijeruk selama 1,5 tahun dengan bobot tubuh 290-327g. Induk

yang digunakan masih dara atau belum pernah memijah. Ikan uji betina ditebar dengan

kepadatan 7 ekor pada setiap jaring (2x2x2m) sedangkan untuk jantan disatukan dalam

kolam berukuran 10x5m.

3.1.4 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur

Induk-induk ikan baung diaklimatisasi terhadap lingkungan percobaan selama 4

minggu. Pakan diberikan secara at satiation  dua kali dalam sehari pada pagi dan sore

hari. Monitoring dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon terhadap pakan.

Setelah itu pakan percobaan mulai diberikan.

Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 4buah. Induk-induk diberi pakan uji sesuai dengan perlakuan masing-masing sampai induk

matang gonad. Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling

pengecekan perkembangan gonad. Pengukuran bobot induk dilakukan satu bulan sekali.

Air yang digunakan dalam percobaan ini berasal dari air sungai dengan suhu berkisar

antara 23-29°C, oksigen 5.22-6.93 ppm, pH 6.16-6.97 dan NH3  0.060-0.095 ppm.

Page 22: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 22/61

Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak dilakukan secara mikroskopis

dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan. Evaluasi gonad ini

dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan ditimbang kemudian

dilakukan pembuatan preparat histologi (Lampiran 2).

Pengambilan contoh telur dilakukan dengan menggunakan metode kanulasi pada

semua induk. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi dalam

larutan Bouin dan formaldehida 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan

mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x. Induk

yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur ≥0.9 mm sebanyak 60-

70%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari induk, dipilih induk yang perutnya lebih

besar dan lembek.

Setelah 98 hari pemeliharaan, pada beberapa perlakuan sudah diperoleh induk

matang gonad. Pemijahan dilakukan dengan cara pemijahan buatan yakni dengan

menyuntikkan ovaprim pada dosis 0,9 ml/kg induk betina dan 0.5 ml/kg induk jantan.

Penyuntikan dilakukan dua kali, penyuntikan pertama ¼ bagian dan penyuntikan kedua ¾

bagian yang dilakukan setelah 6-7 jam dari suntikan pertama. 12-14 jam setelah

penyuntikan kedua, induk siap untuk dipijahkan. Untuk induk jantan penyuntikan

dilakukan sekali. Setelah induk betina menunjukkan tanda-tanda akan ovulasi, sperma

terlebih dahulu disiapkan dengan mengurut bagian perut induk jantan dan sperma yang

keluar ditampung dalam spuit kemudian diencerkan dengan larutan fisiologis dan

disimpan pada suhu 10°C. Telur dikeluarkan dengan cara pengurutan bagian perut,

selanjutnya dilakukan pembuahan buatan.

Telur hasil ovulasi induk betina ditetaskan dalam akuarium kaca masing-masing

berukuran 15x15x15cm dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Air diberi biru metilen

dengan dosis 0,05 cc/l untuk mencegah timbulnya jamur.  Telur hasil ovulasi dari satu

induk diambil sebanyak 100-150 butir diletakkan pada lempengan kaca 10x10cm dan

ditempatkan pada satu akuarium. Suhu penetasan berkisar antara 28 – 29 °C dan telur

menetas setelah 22 – 24 jam.

Akuarium tempat penetasan telur juga digunakan untuk pemeliharaan larva. Larva

yang baru menetas diambil sebanyak 100 ekor kemudian dipelihara selama 2 hari (48

Page 23: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 23/61

 jam) lalu dihitung jumlah larva yang hidup. Data ini digunakan untuk memperoleh

derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari.

Pengukuran kadar asam lemak pakan dilakukan di awal percobaan, sementara

pengukuran kadar asam lemak hati dilakukan di akhir percobaan. Setelah telur

diovulasikan dihitung fekunditasnya dengan menggunakan metode sampling berat.

Kurang lebih 20% dari seluruh telur yang diovulasikan dari setiap induk betina yang

tidak dibuahi dan dibuahi dianalisis kadar asam lemaknya dengan metode Gas Liquid

Chromatografi (GLC). Fosfolipid (FL) dan lipid netral (NL) dengan metode yang

digunakan oleh Takeuchi (1988). Sisa telur yang dibuahi dipindahkan ke akuarium untuk

ditetaskan dan dilakukan pengamatan perkembangan larva. Dari sejumlah larva yang

dihasilkan dipisahkan larva yang normal dan yang abnormal dan dihitung jumlahnya

untuk memperoleh nilai persentase larva abnormal. Sebanyak 1000 ekor larva yang baru

ditetaskan umur 0 jam dan 500 ekor larva umur 24 jam diambil untuk analisis kadar asam

lemaknya.

3.1.5 Analisis Data

Peubah yang diamati untuk perkembangan kematangan gonad dan respon ovulasi

adalah:

1. 

Diameter telur : seratus butir telur diukur diameternya dengan menggunakanmikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler dengan pembesaran 40 dan 100

kali kemudian dibuat sebaran diameter telur.

2. 

Perkembangan gonad : perkembangan gonad diamati dengan membuat

preparat histologis ovarium dari setiap perlakuan sebanyak satu ekor dan

diambil di awal dan akhir penelitian.

3.  Fekunditas : fekunditas atau jumlah total telur ditentukan dengan mengukur

bobot keseluruhan telur hasil ovulasi tiap induk kemudian diambil 1 g sebanyak

tiga kali dan dihitung jumlah telur dalam 1g telur dan dirata-ratakan kemudian

dikalikan dengan bobot keseluruhan telur lalu dibagi dengan bobot tubuh

induk.

4.  Derajat tetas telur

Page 24: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 24/61

  Derajat tetas telur = 100×F 

dengan n = Jumlah telur yang menetas

F = Jumlah total telur yang ditetaskan

5.  Lama Waktu Matang

Lama waktu matang = TNKT 60 – 80 % - T0

TNKT 60 – 80 % = waktu saat mencapai nilai kematangan telur = 60 – 80 %

(diameter telur ≥0.9 mm); T0 = waktu pengamatan TKG awal

6. 

Gonad somatik indeks (GSI)

Bobot ovarium

GSI = x 100Bobot tubuh

7.  Hepatosomatik Indeks (HSI)

Bobot hatiHSI = x 100

Bobot tubuh

Data lama waktu matang, fekunditas, diameter telur, derajat tetas telur, derajat

kelangsungan hidup larva, dan persentase larva abnormal yang diperoleh dianalisis

dengan uji F. Jika terdapat perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji Duncan (Steel

dan Torrie, 1981). Data kadar asam lemak n-6 dan n-3 (hati, telur dan larva), kadar FL

dan NL, GSI dan HSI dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel

dan gambar.

3.2 PercobaanTahap Kedua

Percobaan tahap kedua merupakan percobaan lanjutan. Pakan terbaik yang

diperoleh pada percobaan tahap pertama digunakan pada tahap kedua; dan percobaan

tahap kedua ini bertujuan untuk mengetahui dosis kombinasi hormon E2 dan T4 yang

optimal dalam meningkatkan kualitas telur.

3.2.1 Rancangan Perlakuan

Page 25: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 25/61

Metode yang digunakan dalam percobaan tahap kedua adalah model eksperimental

dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan tahap kedua terdiri atas

5 perlakuan dan 3 ulangan. Kelima perlakuan dibedakan atas dosis kombinasi hormon E2

dan T4 yang diimplant. Perlakuan dosis kombinasi hormon tersebut adalah :

Perlakuan A : 0 µg E2 + 0 mg T4 per kg induk (kontrol/pelet kolesterol)

Perlakuan B : 600 µg E2 + 0 mg T4 per kg induk

Perlakuan C : 400 µg E2  + 10 mg T4 per kg induk

Perlakuan D : 200 µg E2  + 50 mg T4  per kg induk

Perlakuan E : 0 µg E2  + 100 mg T4 per kg induk

3.2.2 Pakan uji 

Pakan uji yang digunakan adalah pakan terbaik yang diperoleh pada percobaan

tahap pertama yakni pakan perlakuan B (n-6 1.56%; n-3 0.78%).

3.2.3 Ikan uji

Induk betina dan jantan ikan baung sebanyak masing-masing 35 ekor digunakan

dalam percobaan tahap kedua. Induk diperoleh dari hasil pembesaran di Instalasi Riset

Budidaya Air Tawar Cijeruk selama 2 tahun dengan bobot tubuh 393-433g. Induk yang

digunakan masih dara atau belum pernah dipijahkan. Ikan uji ditebar dengan kepadatan 7

ekor per jaring.

3.2.4 Implantasi hormon

Hormon yang digunakan adalah E2 dan T4 buatan Sigma Chemical Company,

USA; dan bubuk kolesterol (5-cholesten-3β-ol) buatan Argent Laboratories Inc, cocoa

butter, alcohol 50%, 2-phenoxyethanol dan betadin (Lampiran 3).

3.2.5 Pemeliharaan Induk dan Penetasan Telur

Induk ikan baung sebanyak 35 ekor betina dan 35 ekor jantan diaklimatisasi selama

4 minggu. Selama periode aklimatisasi ikan diberi pakan terbaik yang diperoleh pada

percobaan tahap pertama. Pakan diberikan secara at satiation  dua kali dalam sehari pada

Page 26: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 26/61

pagi dan sore hari. Pemantauan dilakukan terhadap kondisi kesehatan dan respon

terhadap pakan.

Wadah pemeliharaan menggunakan jaring apung berukuran 2x2x2m sebanyak 5

buah. Induk diberi pakan yang terbaik dari percobaan tahap pertama. Pakan diberikan

sampai induk-induk matang gonad. Induk yang matang gonad mulai diperoleh pada hari

ke-28 pemeliharaan.

Dua minggu sekali jaring dibersihkan bersamaan dengan sampling pengecekan

perkembangan gonad dan pengambilan sampel darah. Pengukuran bobot insuk dilakukan

satu bulan sekali. Air yang digunakan dalam percobaan tahap kedua ini sama dengan

yang digunakan pada percobaan tahap pertama. Namun suhu air pada percobaan tahap

kedua relatif lebih rendah 21-27°C, oksigen 5.14-6.60 ppm, pH 6.90-7 dan NH3  0.060-

0.070 ppm. Evaluasi gonad dari ikan uji yang dipilih secara acak kemudian dilakukan

secara mikroskopis dengan membedah satu ekor induk ikan dari tiap-tiap perlakuan.

Evaluasi gonad ini dilakukan pada awal dan akhir percobaan. Gonad diambil dan

ditimbang, kemudian dibuat preparat histologinya (Lampiran 2).

Penyuntikan hormon dilakukan dengan menggunakan alat khusus yang disebut

“implanter”. Caranya dengan menusuk bagian punggung kanan ikan dengan pisau kecil.

Setelah itu alat implant yang berisi hormon ditusukkan ke punggung, dan hormon

disuntikkan ke dalam tubuh ikan.

Contoh darah diambil setiap 14 hari sebanyak 1,5 ml dengan menggunakan spuit

2,5 ml yang berheparin. Contoh darah diambil pada bagian pangkal ekor kemudian

dimasukkan ke dalam tabung polietilen 1,5 ml dan diputar selama 15 menit dengan

kecepatan 3000 rpm dan suhu 5°C. Selanjutnya plasma darah diambil dan dimasukkan ke

dalam tabung polietilene dan disimpan pada suhu -20°C. Kadar hormon E2 plasma

diukur dengan menggunakan kit radioimmunoassay fase padat (Diagnostic Products

Corporation, Los Angeles CA). Pengukuran dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan zat radioaktif 125I (Lampiran 4).

Pengambilan contoh telur pada semua induk dilakukan dengan menggunakan

metode kanulasi. Contoh telur diambil minimal 100 butir per ekor kemudian difiksasi

dalam larutan Bouin dan formaldehid 4%. Diameter telur diukur dengan menggunakan

mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 40x dan 100x.

Page 27: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 27/61

  Induk yang matang gonad ditentukan dengan persentase diameter telur ≥0.9 mm

telah mencapai 60-70%. Selain itu dilihat juga keadaan perut dari induk, yaitu dengan

memilih induk yang perutnya lebih besar dan lembek. Induk matang gonad dipijahkan

dengan cara pemijahan buatan yakni dengan menyuntikkan ovaprim pada dosis 0,9 ml/kg

untuk induk betina dan 0,5 ml/kg untuk induk jantan. Penyuntikan dilakukan dua kali,

penyuntikan pertama ¼ bagian dan penyuntikan kedua ¾ bagian dilakukan setelah 6-7

 jam setelah suntikan pertama. Untuk induk jantan penyuntikan dilakukan sekali. Setelah

induk betina menunjukkan tanda-tanda akan ovulasi, sperma terlebih dahulu disiapkan

dengan mengurut bagian perut induk jantan dan sperma yang keluar ditampung dalam

spuit kemudian diencerkan dengan larutan fisiologis dan disimpan pada suhu 10°C.

Kemudian telur dikeluarkan dengan cara pengurutan bagian perut selanjutnya dilakukan

pembuahan buatan.

Telur hasil ovulasi induk betina ditetaskan dalam akuarium kaca masing-masing

15x15x15cm dilengkapi dengan pipa-pipa aerasi. Air diberi biru metilen dengan dosis

0,05 cc/l untuk mencegah timbulnya jamur. Telur hasil ovulasi dari satu induk diletakkan

pada lempengan kaca 10x10cm sebanyak 100-150 butir dan ditempatkan pada satu

akuarium. Suhu penetasan berkisar antara 28 - 29°C dan telur menetas setelah 22 – 24

 jam.

Akuarium tempat penetasan telur juga digunakan untuk pemeliharaan larva. Larva

yang baru menetas diambil sebanyak 100 ekor kemudian dipelihara selama 2 hari (48

 jam), lalu dihitung jumlah larva yang hidup. Data ini digunakan untuk memperoleh

derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari.

Pengukuran kadar asam lemak hati dilakukan di akhir percobaan. Setelah itu telur

diovulasi dan dihitung fekunditasnya dengan menggunakan metode sampling berat.

Kurang lebih 20% dari seluruh telur yang diovulasikan dari setiap induk betina dianalisis

kadar asam lemaknya dengan metode chromatografi. FL dan NL dengan metode yang

digunakan oleh Takeuchi (1988) (Lampiran 5). Sisa telur yang dibuahi dipindahkan ke

akuarium untuk di tetaskan dan selanjutnya dilakukan pengamatan perkembangan larva.

Dari sejumlah larva yang dihasilkan, dipisahkan larva yang normal dan yang abnormal

dan dihitung jumlahnya untuk memperoleh nilai persentase larva abnormal. Sebanyak

Page 28: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 28/61

1000 ekor larva yang baru ditetaskan umur 0 jam dan 500 ekor larva umur 24 jam

diambil untuk analisis kadar asam lemaknya.

3.2.6 Analisis Data

Peubah yang diamati untuk perkembangan kematangan gonad dan respon ovulasi

adalah:

1.  Diameter telur: seratus butir telur diukur diameternya dengan menggunakan

mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dengan pembesaran 40

dan 100 kali kemudian dibuat sebaran diameter telur.

2. 

Perkembangan gonad: perkembangan gonad diamati dengan membuat preparat

histologis ovarium dari setiap perlakuan sebanyak satu ekor dan diambil di awal

dan akhir penelitian.

3.  Fekunditas: fekunditas atau jumlah total telur ditentukan dengan mengukur

bobot keseluruhan telur hasil ovulasi tiap induk kemudian diambil 1 g sebanyak

tiga kali dan dihitung jumlah telur dalam 1g telur dan dirata-ratakan kemudian

dikalikan dengan bobot keseluruhan telur kemudian dibagi dengan bobot tubuh

induk.

4. 

Derajat tetas telur

Derajat tetas telur = 100×F 

dengan n = Jumlah telur yang menetas

F = Jumlah total telur yang ditetaskan

5.  Lama Waktu Matang

Lama waktu matang = TNKT 60 – 80 % - T0

TNKT 60 – 80 % = waktu saat mencapai nilai kematangan telur = 60 – 80 %(diameter telur ≥0.9 mm); T0 = waktu pengamatan TKG awal

6.  Gonad somatik indeks (GSI)

Bobot ovarium

GSI = x 100

Bobot tubuh

Page 29: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 29/61

7.  Hepatosomatik Indeks (HSI)

Bobot hati

HSI = x 100

Bobot tubuh

Data kadar E2 plasma, lama waktu matang, fekunditas, diameter telur, derajat tetas

telur, derajat kelangsungan hidup larva dan persentase larva abnormal yang diperoleh

dianalisis dengan uji F. Jika terdapat perbedaan antara perlakuan maka dilakukan uji

Duncan (Steel dan Torrie, 1981). Analisis kontras polinomial ortogonal diaplikasikan

untuk melihat respon setiap variabel terhadap dosis E2 dan T4 yang diimplan. Data kadar

asam lemak n-6 dan n-3 (hati, telur dan larva), kadar FL telur, NL telur, GSI, dan HSI

dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

Page 30: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 30/61

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Percobaan Tahap I

Pemberian pakan uji yang mengandung asam lemak esensial berbeda terhadap

induk ikan baung yang dipelihara dalam jaring apung, telah menghasilkan data yang

berkaitan dengan perkembangan gonad induk, kuantitas dan kualitas telur dan larva

yang dihasilkannya.

4.1.1 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva

Setelah 160 hari pemeliharaan induk ikan baung dengan pemberian pakan

percobaan dapat diperoleh data kadar asam lemak hati, telur dan larva. Hasil analisis

asam lemak n-6 dan n-3 hati, telur dan larva disajikan dalam Tabel 6. Data hasil

analisis komposisi asam lemak hati, telur dan larva lebih lengkap dapat dilihat pada

Lampiran 6, 7 dan 8.

Tabel 6  berikut ini menunjukkan bahwa kadar asam lemak jenuh di hati

menurun dengan adanya pemberian asam lemak n-6 dan n-3 pakan, namun adanya

pemberian yang semakin tinggi akan menyebabkan kadar asam lemak jenuh naik

kembali seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Sebaliknya asam lemak

monoenoat cenderung meningkat dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3

pakan sampai perlakuan C dan menurun kembali pada perlakuan D.

Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa kadar asam lemak jenuh pada telur ovulasi

menurun sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 pada pakan induk.

Sebaliknya total asam lemak monoenoat naik sejalan dengan naiknya kadar asam

lemak n-6 dan n-3 pakan.

Asam lemak n-6 dan n-3 telur naik sampai kadar asam lemak n-6 2.00%

(perlakuan D) dan asam lemak n-3 1.00% (perlakuan C), namun pada kadar asam

lemak n-3 yang lebih tinggi dalam pakan seperti yang ditunjukkan perlakuan D

dengan kadar asam lemak n-3 1.82% akan menurunkan kadar asam lemak n-3 pada

telur. Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan C.

Page 31: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 31/61

 

Tabel 6. Total kadar asam lemak (% area) hati, telur dan larva ikan baung

( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I

Perlakuan/Asam lemak n-6;n-3(%)

Asam lemak

A(0.87;0.56)

B(1.66;0.78)

C(2.00;1.00)

D(2.23;1.82)

 Hati :

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6

Σ Al.n-3

Rasio Al. n-6/ n-3

35.49

25.47

7.66

16.20

0.47

34.00

27.53

7.39

15.34

0.48

33.98

30.75

8.89

12.44

0.71

35.50

25.38

16.37

11.84

1.38

Telur :

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6

Σ Al.n-3Rasio Al. n-6/ n-3

Lemak(% bbt kering)

48.17

17.11

6.05

14.520.42

8.24

39.96

17.25

9.11

15.210.60

7.17

35.83

19.43

10.65

17.380.61

9.24

35.49

22.63

11.86

14.340.83

7.97

 Larva:

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6

Σ Al.n-3

Rasio Al. n-6/ n-3

Lemak(% bbt kering)

0 jam 24 jam

45.14 44.6018.31 17.74

5.91 5.47

13.56 12.04

0.44 0.45

8.10 6.58

0 jam 24 jam

39.85 39.3118.37 17.56

9.52 8.60

14.43 12.78

0.66 0.67

6.66 3.88

0 jam 24 jam

35.06 33.9420.31 18.80

10.33 10.03

14.75 12.04

0.81 0.91

6.68 4.49

0 jam 24 jam

33.04 29.7821.25 20.79

10.38 9.16

12.67 10.13

0.82 0.90

7.72 6.94

Secara umum terjadi penurunan kadar asam lemak jenuh, asam lemak n-6 dan

n-3 mengalami penurunan dari telur ke larva dan penurunan tertinggi terjadi pada

asam lemak jenuh, sedangkan kadar asam lemak monoenoat mengalami sedikit

peningkatan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 naik cukup tinggi pada perlakuan C,

sedangkan pada tiga perlakuan lainnya relatif sama atau hanya terjadi sedikit

peningkatan kecuali perlakuan D yang mengalami penurunan.

Dari kadar lemak, asam lemak jenuh, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6

dan asam lemak n-3 pada larva umur 0 jam ke umur 24 jam, semua perlakuan

mengalami penurunan. Sebaliknya untuk rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada semua

perlakuan mengalami peningkatan. Persentase penurunan asam lemak esensial dari

larva umur 0 jam ke larva umur 24 jam yang besar terjadi pada asam lemak n-3.

Page 32: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 32/61

 

4.1.2 Fosfolipid dan Lipid Netral

Kadar FL dan NL telur dapat dilihat pada Tabel 7. Kadar FL pada telur ovulasi

lebih tinggi dibandingkan dengan kadar NL. FL mengandung asam lemak esensial

dan kadarnya relatif sama pada keempat perlakuan; sedangkan nilai NL yang

merupakan cadangan energi, tertinggi diperoleh pada perlakuan B yang diberikan

pakan mengandung asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% pada induk.

Tingginya NL menunjukkan tingginya cadangan energi untuk proses pembelahan sel

sampai pada penetasan.

Tabel 7. Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap I 

Perlakuan/ Asam lemakn-6;n-3 (%)

FL NL Rasio NL/FL

A(0.87;0.56)

B(1.66;0.78)C(2.00;1.00)

D(2.23;1.82)

63.86

60.4262.23

62.64

36.14

39.5837.77

37.36

0.57

0.670.61

0.60

4.1.3 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik

Indeks

Rata-rata diameter telur matang yang dihasilkan oleh tiap induk pada akhir

percobaan disajikan pada Tabel 8 dan data lengkapnya pada Lampiran 12. Pemberian

pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda tidak memberikan

pengaruh pada diameter telur dari induk ikan baung (P>0.05) (Lampiran 13). Pada

Tabel 8 juga terlihat bahwa pada percobaan tahap I, perlakuan B menghasilkan nilai

GSI dan HSI tertinggi.

Rata-rata diameter telur pada pengamatan setiap 2 minggu sekali disajikan pada

Gambar 1. Secara keseluruhan dari tiap perlakuan terjadi peningkatan diameter telurdari awal sampai akhir percobaan. Telur dikatakan sudah matang apabila rata-rata

diameter telur ≥0.9mm.

Page 33: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 33/61

 

Tabel 8. Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung

( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I

Perlakuan/Asam lemak

n-6;n-3 (%)

Bobot tubuh

(gram)

Diameter telur

(mm)

GSI

(%)

HSI

(%)

A(0.87;0.56)

B(1.66;0.78)

C(2.00;1.00)

D(2.23;1.82)

426±12.02

456±23.33

410±20.82

400±11.54

1.11±0.15a

1.23±0.02a

1.19±0.15a

1.03±0.07a

9.49

11.06

10.38

10.23

0.97

1.45

1.18

1.31

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata(P>0.05); rata-rata ±SE

Dari Gambar 1 juga dapat dilihat bahwa rata-rata diameter telur ≥ 0.9mm mulai

diperoleh pada pengamatan hari ke 98 pada semua perlakuan. Pada hampir semua

perlakuan kecuali perlakuan A, induk terakhir dapat dipijahkan pada pengamatan hari

ke-112 dengan rata-rata diameter telur terbesar terdapat pada perlakuan B.

Distribusi diameter telur setiap waktu pengamatan menunjukkan ukuran

diameter telur yang heterogen dimana sejak awal pengamatan diperoleh diameter

telur dengan ukuran 0.1mm sampai dengan ukuran lebih besar dari 1mm (Lampiran

14 dan 15 serta pada Gambar 2). Namun demikian proporsi telur dengan diameter

≥0.9mm lebih tinggi pada akhir percobaan dibandingkan pada awal percobaan. Pada

awal percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm.

PERLAKUAN A

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112 126

WAKTU P ENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN B

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

0 14 28 42 56 70 84 98 112

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 PERLAKUAN C

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN D

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

Page 34: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 34/61

 

Gambar 1. Rata-rata diameter telur ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap I

Gambar 2. Struktur jaringan gonad induk-induk ikan baung ( Hemibagrus nemurus

Blkr) pada percobaan tahap I, gonad yang diambil pada awal percobaan

(a), gonad yang diambil pada akhir percobaan (b), granula kuning telur(g), nukleolus (n) dan folikel (f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE

4.1.4 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Derajat

Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva Abnormal

Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur,

derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal disajikan pada Tabel 9 dan  

Lampiran 16. Pemberian pakan dengan kadar asam lemak n-6 dan n-3 yang berbeda

memberikan pengaruh yang sama (P>0.05) terhadap lama waktu matang, derajat

kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal (Tabel 9; Lampiran 17, 19 dan

20).

Namun demikian perbedaan kadar asam lemak n-6 dan n-3 berbeda dalam

pakan induk memberikan pengaruh terhadap fekunditas dan derajat tetas telur.

Fekunditas tertinggi dihasilkan oleh perlakuan B dan terendah pada perlakuan C

(P<0.10, Lampiran 18). Derajat tetas telur terendah dihasilkan oleh perlakuan D,

diikuti oleh perlakuan A dan yang tertinggi pada perlakuan B dan C (P<0.05,

Lampiran 21).

b

n

a

 

f

n

g

Page 35: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 35/61

 

Tabel 9. Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan

hidup larva umur 2 hari, dan persentase larva abnormal dari induk ikanbaung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I

Perlakuan /

As. lemak

n-6;n-3 (%)

Lama waktu

matang

(hari)

Fekunditas

(butir/g

bobot induk)

Derajat

tetas telur

(%)

Derajat

kelangsungan

hidup larva

(%)

Persentase

larva

abnormal

(%)

112±9.3

3a42.44±9.8

3b75.90±1.00b

81.15±11.0

0a0.45±0.05a

107±4.6

7

a68.70±4.0

7

a89.88±1.00a

90.33±4.49a

1.02

±0.54

a

107±4.6

7a

40.53±5.3

6b

89.18±1.50a

88.80±9.00a

0.62±0.02a

A(0.87;0.56)

B(1.66;0.78)

C(2.00;1.00)

D(2.23;1.82)

107±4.6

7a 

42.26±10.

18b

38.35±18.0

5c

87.35±4.50a

2.27±0.65a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata(P>0.05 dan 0.10); rata-rata ±SE

Dari Gambar 3 dapat dilihat beberapa bentuk abnormalitas yang diperoleh pada

percobaan tahap I. Umumnya keabnormalan terjadi pada bagian punggung dan perut.

b

 a

Page 36: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 36/61

 

Gambar 3. Gambaran morfologis larva: normal (a), larva abnormal pada bagian

punggung (b) dan larva abnormal pada bagian perut (c) dari larva ikan

baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap I

4.1.5 Pembahasan

Percobaan ini menunjukkan bahwa pemberian asam lemak n-6 dan n-3 dalam

pakan mutlak diperlukan untuk dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas telur dan

larva ikan baung. Asam lemak n-6 di hati cenderung naik sejalan dengan naiknya

asam lemak n-6 dalam pakan; sebaliknya asam lemak n-3 menurun. Ikan baung

adalah ikan air tawar yang kebutuhan akan asam lemak n-6 umumnya sama atau lebih

tinggi dari asam lemak n-3. Takeuchi (1996) menyatakan bahwa pada umumnya ikan

air tawar membutuhkan asam lemak n-6 atau kombinasinya dengan n-3, namun untuk

setiap spesies ikan membutuhkan kadar asam lemak esensial yang berbeda. Hasil

percobaan ini sejalan dengan yang ditemukan pada jenis ikan lele lainnya seperti ikan

lele lokal dan patin (Mokoginta et al., 1995 dan 2000). Ikan lele lokal dan patin

membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3 berturut-turut 1,85%

dan 2.2% untuk asam lemak n-6 dan 0.56% dan 0.9% untuk asam lemak n-3.

Hal yang berbeda ditunjukkan asam lemak n-6 dan n-3 telur. Kadar asam lemak

n-6 naik sejalan dengan naiknya kadar asam lemak n-6 pakan, namun asam lemak n-3

telur naik sampai pada kadar 1.00% asam lemak n-3 pakan, kemudian menurun

kembali pada kadar 1.82% asam lemak n-3 pakan. Penyimpanan asam lemak pada

telur merupakan akumulasi vitelogenin dari hasil proses vitelogenesis. Hasil

percobaan ini memperlihatkan bahwa selama proses vitelogenesis, asam lemakesensial yang disimpan disesuaikan dengan kebutuhan embrio ikan baung. Ternyata

asam lemak n-3 yang disimpan dibatasi sampai batas tertentu (perlakuan C),

mengingat ikan baung adalah ikan air tawar.

c

Page 37: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 37/61

 

Walaupun dalam pakan kadar asam lemak n-6 lebih tinggi dari asam lemak n-3

untuk semua perlakuan, namun pada telur tidak demikian. Ikan baung adalah ikan air

tawar yang umumnya untuk pertumbuhan membutuhkan asam lemak n-6 lebih tinggi

atau sama dengan asam lemak n-3, namun percobaan ini memperlihatkan bahwa

untuk reproduksi atau perkembangan embrio justru diperlukan asam lemak n-3.

Disamping itu adanya sifat asam lemak n-3 yang mempunyai afinitas lebih tinggi

dibandingkan dengan asam lemak n-6 pada posisi FL maupun trigliserida

menyebabkan asam lemak n-3 pada telur tinggi. Hasil percobaan yang sama diperoleh

oleh Mokoginta et al.  (2000) pada ikan patin. Pada percobaan tersebut kadar asam

lemak n-3 pada telur meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar asam lemak n-3

pakan, tetapi kadar asam lemak n-6 pada telur menurun. Mayes (2003) menyatakanbahwa setiap seri asam lemak berkompetisi untuk sistim enzim yang sama dan

afinitas menurun dari seri asam lemak n-3 ke n-6 hingga n-9.

Peningkatan kadar total asam lemak n-3 telur diduga karena meningkatnya

kadar asam lemak n-3 HUFA (C22:6n-3) dari pakan (minyak ikan) dan juga hasil

konversi dari asam lemak (C18:5n-3), sehingga dapat dikatakan bahwa ikan ini

mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mendesaturasi dan memperpanjang rantai

karbon asam lemak C18 menjadi C22 (n-3 HUFA). Namun demikian penyimpanan

asam lemak n-3 pada telur dibatasi pada batas tertentu dengan membatasi konversi

asam lemak n-3 seperti yang ditunjukkan oleh perlakuan D. Takeuchi (1996)

menyatakan bahwa sampai batas tertentu konversi asam lemak linolenat (18:3n-3)

menjadi asam lemak DHA (22:6n-3) dihambat oleh kadar asam lemak linolenat

pakan.

Telah diketahui bahwa asam lemak n-6 dan n-3 sebagai asam lemak esensial

dapat mempengaruhi sifat fluiditas dari membran sel. Permeabilitas membran sel

tersebut dipengaruhi oleh FL yang merupakan lipid aktif yang peranannya

dipengaruhi oleh asam lemak tak jenuh dalam senyawa FL tersebut (Sargent et al., 

1989). Perubahan fluiditas membran yang diakibatkan oleh perubahan komposisi

asam lemak akan mempengaruhi metabolisme sel melalui perubahan aktivitas enzim-

enzim yang terdapat pada membran sel.

Page 38: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 38/61

 

Asam lemak esensial dalam proses reproduksi juga mempunyai fungsi yang

berhubungan dengan pembentukan senyawa prostaglandin. Senyawa prostaglandin

 juga disintesis dari asam lemak EPA (Leray et al, 1985). Jadi dapat dikatakan bahwa

rendahnya derajat tetas telur pada perlakuan D terjadi karena rendahnya kadar asam

lemak n-3 terutama DHA pada telur (Tabel 6). Pendapat yang sama dikemukakan

oleh Li et al.  (2005) dan Izguierdo et al. (2001) yang menyatakan bahwa kelebihan

dan kekurangan asam lemak n-3 HUFA dapat menimbulkan efek negatif terhadap

kualitas telur. Pada penelitian ini persentase larva abnormal perlakuan A sama dengan

perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa asam lemak esensial baik asam lemak

n-6 maupun asam lemak n-3 pada perlakuan A belum mengalami defisiensi.

Pola komposisi asam lemak esensial tidak banyak berubah dari telur ke larvapada 0 jam dan 24 jam pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa asam

lemak esensial tersebut penting baik untuk embrio maupun larva. Namun demikian

ada penurunan kadar lemak dan asam lemaknya, sebab lemak merupakan sumber

energi untuk embrio dan larva. Penurunan kadar asam lemak jenuh dari telur ke larva

lebih besar dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti energi untuk

pembelahan sel dan perkembangan embrio sebagian besar berasal dari asam lemak

 jenuh, sedangkan asam lemak esensial disimpan sebagai cadangan untuk

pertumbuhan larva.

Dari larva 0 jam ke larva 24 jam, penggunaan asam lemak n-3 lebih besar

dibandingkan dengan asam lemak n-6; sehingga menyebabkan peningkatan nilai rasio

asam lemak n-6 dan asam lemak n-3 pada larva umur 24 jam. Hal ini menunjukkan

bahwa larva baung mempertahankan asam lemak n-6. Ikan baung adalah ikan air

tawar yang lebih membutuhkan asam lemak n-6 lebih besar dari pada asam lemak n-3

untuk pertumbuhan. Dari hasil percobaan ini juga dapat dilihat bahwa pada larva,

asam lemak berantai C panjang yang disimpan dalam telur dan larva digunakan

sebagai sumber energi yang lebih efisien. Hal ini dapat dilihat dari persentase

penurunan asam lemak esensial yang lebih besar dibandingkan dengan asam lemak

 jenuh. Selanjutnya pola komposisi asam lemak pada larva 0 jam yang tidak banyak

berubah, menunjukkan bahwa masih tersedia cadangan lemak dan asam lemak untuk

Page 39: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 39/61

 

proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis cadangan makanannya

(endogenous) sehingga derajat kelangsungan hidup larva umur 2 hari pada semua

perlakuan cukup tinggi.

Selain kadar asam lemak n-6 dan n-3, juga rasio dari asam lemak n-6 dan n-3

cukup berperan. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 tertinggi pada perlakuan B

menghasilkan fekunditas dan derajat tetas telur tertinggi. Percobaan untuk melihat

pengaruh rasio dari asam lemak n-6 dan n-3 terhadap kualitas telur pada induk ikan

lele lokal dilakukan oleh Mokoginta et al. (1998) yang mendapatkan bahwa hasil

perbedaan rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam pakan induk dapat mempengaruhi

komposisi asam lemak telur serta kualitas telur induk tersebut. Dengan demikian

dapat dikatakan perbandingan asam lemak n-6 dan n-3 yang tepat akan dapatmeningkatkan kualitas telur.

Secara umum terlihat bahwa pada percobaan pertama ini induk-induk pada

seluruh perlakuan menghasilkan lama waktu matang dan diameter telur yang sama.

Kesamaan hasil yang diperoleh disebabkan induk-induk yang digunakan masih muda

dengan selisih ukuran dari tiap induk yang kecil dan juga pertama kali dipijahkan

sehingga ukuran telur yang dihasilkan relatif sama. Tang dan Affandi (2000),

menyatakan bahwa telur yang dihasilkan oleh induk ikan sangat dipengaruhi oleh

umur, ukuran dan pemijahan awal. Disamping itu perkembangan gonad sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan protein dan energi serta nutrien pakan yang lain.

Dalam penelitian ini pakan yang diberikan mengandung protein dan energi yang sama

serta terpenuhinya asam lemak esensial untuk memproduksi telur. Menurut Kamler

(1992), protein merupakan komponen dominan dalam kuning telur; sedangkan

 jumlah dan komposisi kuning telur akan menentukan besar kecilnya ukuran telur.

Di alam ikan baung memijah pada musim penghujan bulan Desember sampai

bulan Februari (Mulflikhah et al., 1998). Berdasarkan hasil histologi (Gambar 2)

diperoleh diameter telur yang heterogen; dan dari pengamatan jika telur-telur yang

berukuran ≥  0.9 mm dengan sebaran 60-70% tidak diovulasikan maka telur-telur

tersebut akan mengalami atresia. Induk-induk ikan baung akan siap dipijahkan lagi

dalam waktu 4 sampai 6 minggu kemudian, jadi dapat dikatakan bahwa induk ikan

Page 40: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 40/61

 

baung dalam wadah budidaya dengan pemberian pakan yang optimal dapat memijah

sepanjang tahun.

Dari hasil analisis FL dan NL pada induk-induk perlakuan B yang

menghasilkan derajat tetas telur tertinggi mengandung NL dan rasio NL dan FL yang

lebih tinggi dari perlakuan lainnya. NL (lipid nonpolar) merupakan sumber energi

utama bagi perkembangan embrio dan larva sehingga jika dalam telur kekurangan

sumber energi maka asam lemak esensial akan digunakan untuk energi. Mokoginta et

al. (1995) mencatat bahwa bahwa rasio lipid nonpolar dan lipid polar pada ikan lele

lokal (Clarias batrachus) semakin meningkat sejak awal embriogenesis yang

menunjukkan bahwa lipid nonpolar berperan penting sebagai sumber energi dan

semakin tinggi rasio NL dan FL menunjukkan ikan tersebut defisiensi akan asamlemak esensial. Tidak terlalu banyak berkurangnya kadar asam lemak n-6 dan n-3

pada larva yang baru menetas, maka kadar asam lemak n-6 dan n-3 akan menjadi

cadangan untuk proses perkembangan larva selanjutnya sampai habis kuning telur.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ikan baung sebagai ikan air tawar

membutuhkan asam lemak n-6 1.66% dan asam lemak n-3 0.78% dalam pakannya

untuk menghasilkan kualitas telur yang tinggi. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 dalam

pakan 3.50 dapat menghasilkan kualitas telur terbaik.

4.2 Percobaan Tahap II

Ada tiga aspek utama yang dilakukan pada percobaan tahap kedua ini, yaitu

respon fisiologis, respon perkembangan ovarium dan respon kualitas larva yang

dihasilkan terhadap implantasi hormon E2 dan T4. Respon fisiologis dilihat dari

profil hormon E2 plasma; respon perkembangan ovarium dilihat dari tiga variabel

utama yaitu sebaran diameter telur, GSI dan HSI; respon kuantitas dan kualitas telur

serta larva dilihat dari fekunditas, derajat tetas telur, derajat kelangsungan hidup larva

umur 2 hari, dan persentase larva abnormal.

4.2.1 Kadar Estradiol-17β  dalam Plasma Darah

Page 41: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 41/61

 

Kadar hormon E2 plasma darah ikan baung selama percobaan dapat dilihat

pada Gambar  4 dan Lampiran 22. Konsentrasi hormon E2 plasma pada awal

percobaan dari semua perlakuan sedikit bervariasi walaupun ukuran ikan relatif sama.

Konsentrasi hormon E2 plasma pada induk ikan yang diberi perlakuan mengalami

perubahan yang sangat berarti. Konsentrasi tertinggi terjadi pada hari ke-14 setelah

pemberian implant hormon. Dosis hormon E2 yang berbeda berpengaruh pada kadar

E2 plasma pada pengamatan hari ke-14 (P<0.05; Lampiran 23). Perlakuan B lebih

tinggi dari C dan D; C dan D lebih tinggi dari A dan E.

Konsentrasi hormon E2 plasma antar waktu sampling menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P<0.01; Lampiran 24). Konsentrasi hormon E2 pada hari ke 0 dan

14 berbeda nyata dari hari sampling lainnya. Kadar hormon E2 setelah hari ke 14pada perlakuan B, C dan D mulai mengalami penurunan sampai pengamatan hari ke

84, sedangkan perlakuan A dan E sudah mengalami penurunan sejak awal

pengamatan. Kecuali perlakuan C, kadar E2 semua perlakuan mengalami

peningkatan kembali pada pengamatan hari ke 98.

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

0 14 28 42 56 70 84 98 112

WAKTU PENGAMATAN (hari ke-)

   E   S   T   R   A   D   I   O   L   P   L   A   S   M   A   (  n  g   /  m

   l   )

A=KONTROL

B=E600T0

C=E400TI0

D=E200T50

E=E0T100

 

Gambar 4. Kadar E2 plasma darah induk ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr)

pada percobaan tahap II

Page 42: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 42/61

 

Dari hasil pengamatan ini juga terlihat bahwa dosis E2 (200 - 600µg/kg bobot

induk) dapat meningkatkan kadar E2 dalam plasma darah sampai pada pengamatan

hari ke 14. Setelah itu implantasi hormon estradiol tidak berpengaruh lagi pada kadar

E2 plasma . Pengaruh dosis E2 terhadap kadar E2 plasma pada hari ke 14

menunjukkan kecenderungan respon linier (Lampiran 25 dan Gambar 5) yang berarti

kadar E2 plasma meningkat Y=5.92+0.004X, R2=0.84, dengan meningkatnya dosis

E2 yang diimplan.

Dosis Estradiol

7006005004003002001000

   E  s   t  r  a   d   i  o   l  p   l  a  s  m  a   (  n  g   /  m

   l   )

9.0

8.5

8.0

7.5

7.0

6.5

6.0

5.5

5.0

 

Gambar 5. Hubungan dosis E2 yang diimplantasi dengan kadar E2 plasma darahinduk ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II

4.2.2 Kadar Asam Lemak n-6 dan n-3 Hati, Telur dan Larva

Komposisi kadar asam lemak hati, telur dan larva ikan baung disajikan pada

Tabel 10  dan Lampiran 9, 10 dan 11. Kadar asam lemak hati, telur dan larva,

dipengaruhi oleh implantasi hormon E2 dan T4.

Tabel 10  juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar asam lemak jenuh

pada hati dengan adanya implantasi hormon. Dosis implantasi T4 yang tinggi tanpa

E2 menyebabkan kadar asam lemak jenuh pada hati tinggi. Kadar asam lemak

monoenoat rendah pada induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 pada dosis

tertinggi. Sebaliknya kadar asam lemak n-6 dan n-3 tinggi.

Y=5.92+0.004X, R =0.84

Page 43: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 43/61

 

Kadar asam lemak pada telur naik sejalan dengan naiknya dosis implantasi

hormon E2. Implantasi E2 600 µg/kg bobot induk tanpa T4 menghasilkan telur

dengan kadar lemak total, asam lemak monoenoat, asam lemak n-6 dan n-3 lebih

tinggi dibandingkan perlakuan yang diberi kombinasi E2 dan T4 ataupun T4 saja.

Rasio asam lemak n-6 dan n-3 pada telur dari semua perlakuan mengalami

peningkatan dibandingkan dengan rasio n-6 dan n-3 pada hati.

Kadar lemak, asam lemak jenuh, dan asam lemak n-6 dan asam lemak n-3

mengalami penurunan selama embriogenesis (dari telur ke larva yang baru menetas)

dan dari larva yang baru menetas ke larva berumur 2 hari. Pola ini sama dengan pola

pada percobaan tahap I. Rasio asam lemak n-6 dan n-3 relatif sama atau hanya sedikit

peningkatannya.Penurunan tertinggi dari semua kadar asam lemak dari larva yang baru menetas

ke larva umur 2 hari terjadi pada perlakuan D. Pada perlakuan D juga kadar lemak

pada larva umur 2 hari berkurang sebanyak 42% dari kadar lemak pada saat baru

menetas.

4.2.3 Fosfolipid dan Lipid Netral

Tabel 11 menyajikan kadar FL dan NL pada telur. Kadar FL tertinggi pada

perlakuan A dan B. Kadar FL telur cenderung menurun dengan menurunnya dosis

implantasi E2 dan naiknya dosis T4. Sebaliknya kadar NL dan rasio NL terhadap FL

meningkat, yang tertinggi pada perlakuan E (T4 100 mg/kg bobot induk).

4.2.4 Bobot Tubuh, Diameter Telur, Gonadosomatik Indeks dan Hepatosomatik

Indeks

Bobot induk, diameter telur, gonadosomatik indeks dan hepatosomatik indeks

disajikan pada Tabel 12. Pengaruh implantasi dosis E2 dan T4 terhadap rata-rata

diameter telur matang tidak berbeda nyata (P>0.05; Lampiran 27). Ukuran diameter

telur dari induk yang diimplantasi dengan E2 dan T4 relatif seragam.

Diameter telur antara waktu sampling menghasilkan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.01; Lampiran 28). Perbedaan waktu pengamatan memperlihatkan bahwa

diameter telur terbagi atas tiga kelompok yakni pertama, diameter telur pada

Page 44: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 44/61

 

pengamatan awal (0 hari) berbeda dengan diameter telur yang diperoleh pada waktu

berikutnya; Kedua, waktu pengamatan pada hari ke 14 memperlihatkan diameter telur

relatif sama antar perlakuan sampai pada pengamatan hari ke 98; dan ketiga, waktu

pengamatan mulai hari ke 28 menghasilkan ukuran diameter telur yang relatif sama

antar perlakuan sampai pada hari akhir pengamatan. Untuk lebih jelasnya

perkembangan diameter telur pada tiap waktu pengamatan dapat di lihat pada Gambar

6 dan Lampiran 29.

Page 45: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 45/61

  Tabel 10. Total kadar asam lemak (% area) di hati, telur dan larva ikan baung ( Hemibagrus nemurus

Perlakuan/ E2 µg/kg; T4 mg/kg

Asam lemak A

(Kontrol)

B

(600;0)

C

(400;10) (

 Hati 

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6

Σ Al.n-3Rasio Al. n-6/ n-3

33.71

25.12

8.58

14.960.57

34.39

22.98

9.08

18.380.49

33.16

26.46

8.71

16.550.53

Telur

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6Σ Al.n-3

Rasio Al. n-6/ n-3

Lemak (%) bbt kering

37.92

17.08

10.8615.02

0.72

7.94

41.15

19.63

11.7415.94

0.74

9.70

40.22

19.20

9.9814.50

0.69

8.60

 Larva

Σ Al. jenuh

Σ monoenoat

Σ Al.n-6

Σ Al.n-3

Rasio Al. n-6/ n-3

Lemak(%) bbt kering

0 jam 24 jam

36.77 35.79

18.36 17.79

10.11 9.20

14.55 14.24

0.70 0.65

5.36 5.05

0 jam 24 jam

40.73 38.05

20.16 20.07

11.62 11.43

15.50 14.38

0.75 0.80

8.35 6.37

0 jam 24 jam

40.16 39.85

19.27 18.73

9.73 9.05

13.99 12.92

0.70 0.70

8.05 6.80

0 j

38

17

8

13

0

6

Page 46: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 46/61

 

Tabel 11. Kadar FL dan NL (%) telur ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada

percobaan tahap II

Perlakuan

2 µg/kg; T4 mg/kg)

FL NL Rasio NL/FL

A(0;0) 61.66 38.34 0.62

B(600;0) 61.76 38.28 0.62

C(400;10) 60.79 39.21 0.65

D(200;50) 60.36 39.65 0.67

E(0;100) 59.55 40.45 0.68

Hasil pengukuran GSI dan HSI pada induk matang gonad memperlihatkan nilai

tertinggi pada perlakuan B yang diberi implantasi E2 sebesar 600 µg/kg bobot induk

tanpa T4 dan terendah perlakuan C.

Tabel 12. Bobot tubuh, diameter telur, GSI dan HSI dari induk ikan baung

( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II 

Perlakuan

(E2 µg/kg; T4

mg/kg) 

Bobot tubuh

(gram)

Diameter telur

(mm)GSI

(%)

HSI

(%)

A(0;0) 470±35.12 1.08±0.11

a

10.79 1.63B(600;0) 420±20.82 1.23±0.03

a13.66 1.71

C(400;10) 413±17.64 0.92±0.04a

10.35 1.51

D(200;50) 440±20.82 1.28±0.08a 11.44 1.65

E(0;100) 430±25.17 1.10±0.03a

10.58 1.63

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

(P>0.05); rata-rata ±SE; n=3

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada perlakuan B(600:0) dari 3 induk yang

dipijahkan, induk pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke-28 dan induk terakhir

dipijahkan pada pengamatan hari ke-70. Perlakuan C(400:10) dan D(200:50) induk

pertama dipijahkan pada pengamatan hari ke 58 dan induk terakhir dipijahkan pada

pengamatan hari ke-112 dan 126. Perlakuan A(kontrol) dan E(0:100) induk pertama

dipijahkan pada pengamatan hari ke 112 dan 70 serta induk terakhir dipijahkan pada

Page 47: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 47/61

 

pengamatan hari ke-126. Hasil histologi gonad di awal dan akhir percobaan

memperlihatkan gambaran seperti pada percobaan tahap pertama dimana sejak dari

awal pengamatan sampai pengamatan akhir (induk matang) ukuran diameter telur

heterogen (Gambar 7) dan pola sebaran diameter tiap waktu pengamatan dapat dilihat

pada Lampiran 30.

Gambar 6. Rata-rata diameter telur ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr)  pada

percobaan tahap II

Pada awal percobaan, ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran 0.1-0.3mm

sedangkan pada akhir percobaan ukuran diameter telur didominasi oleh ukuran

≥0.9mm. Dari Gambar 7 juga dapat dilihat bahwa induk matang pada waktu yang

PERLAKUAN A

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

0 14 28 42 56 70 84 98 112 126

WAKTU P ENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN B

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

1.40

0 14 28 42 56 70

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN C

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN D

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112 126

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

PERLAKUAN E

0.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0 14 28 42 56 70 84 98 112 126

WAKTU PENGAMATAN

   D   I   A   M   E   T   E   R   T   E   L   U   R   (  m  m   )

 

Page 48: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 48/61

 

berbeda dengan ukuran pembesaran yang sama pada perlakuan C menunjukkan

ukuran diameter telur yang relatif lebih kecil dari perlakuan yang lain.

Gambar 7. Struktur jaringan gonad induk ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr)pada percobaan tahap II: awal (a) dan akhir percobaan (b,c,d,e,dan f).

Gonad induk matang dari kelima perlakuan secara berturut-turut dari

perlakuan A sampai E (b,c,d,e,f). Pembesaran 40X. Pewarnaan HE.

4.2.5 Lama Waktu Matang, Fekunditas, Derajat Tetas Telur, Total Larva,

Derajat Kelangsungan Hidup Larva Umur 2 Hari dan Persentase Larva

Abnormal

Hasil pengamatan terhadap lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur,

total larva, derajat kelangsungan hidup dan persentase larva abnormal ditampilkan

pada Tabel 13 dan Lampiran 31. Pemberian hormon E2 dan T4 dengan cara

implantasi tidak memberikan pengaruh terhadap fekunditas (P>0.05; Lampiran 33).

Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap lama waktu

matang, derajat tetas telur dan total larva yang dihasilkan induk ikan baung (P<0.05;

Lampiran 32, 34, dan 35). Induk-induk perlakuan B lebih cepat matang dari pada

a b  c

d e f

Page 49: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 49/61

 

induk-induk perlakuan lainnya. Perlakuan A dan C menghasilkan derajat tetas telur

lebih tinggi dari perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan oleh induk-induk

perlakuan C sama dengan perlakuan A. Namun perlakuan C lebih besar dari induk-

induk perlakuan B, D dan E. Total larva yang dihasilkan perlakuan A sama dengan

perlakuan D dan lebih tinggi dari perlakuan B dan E.

Dosis implantasi hormon E2 dan T4 memberikan pengaruh terhadap rata-rata

derajat kelangsungan hidup larva (P<0.01; Lampiran 36). Dosis implantasi hormon

tunggal (T4 100 mg/kg bobot induk) menghasilkan derajat kelangsungan hidup yang

paling rendah.

Pada Tabel 13 tampak bahwa perlakuan E berupa implantasi hormon tunggal

(T4 100 mg/kg bobot induk) selain menghasilkan larva-larva yang memiliki derajat

kelangsungan hidup rendah.  Juga menghasilkan persentase larva abnormal paling

tinggi (P<0.05; Lampiran 37)

Pengamatan perkembangan embrio dengan menggunakan mikroskop dilakukan

terhadap 20 butir pada perlakuan A dan E yang berumur 1 sampai 10 jam setelah

dibuahi. Pembelahan sel pada tahap awal berjalan normal, sel-sel yang dihasilkan

tetap berkelompok (Gambar 8). Demikian juga pada 5 jam berikut memasuki fase

gastrulasi, namun pada jam ke 10 memasuki fase akhir gastrulasi ketika mulai

memasuki awal pembentukan organ-organ (organogenesis) pada perlakuan E belum

terbentuk keping neural seperti pada perlakuan A. Pada fase ini diduga mulai terjadi

kelainan yang pada akhirnya menghasilkan derajat tetas telur rendah dan larva yang

abnormal pada perlakuan E.

Umumnya larva abnormal yang dihasilkan pada percobaan tahap ke dua

memperlihatkan kuning telur berwarna kehitam-hitaman pada bagian perut,

disamping itu juga terjadi pembengkokan pada tulang ekor (Gambar 9).

Page 50: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 50/61

 

Tabel 13. Lama waktu matang, fekunditas, derajat tetas telur, total larva, derajat kelangsungan i

persentase larva abnormal dari induk ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II

Perlakuan Lama waktu

matang (hari)

Fekunditas

(butir/g bobot)

Derajat tetas

telur (%)

Total larva

(ekor/g bobot)

h

A(0;0) 121±4.70a  75.32±3.84a 72.79±8.93a 55.04±8.28ab 

B(600;0) 47±12.35c 58.34±7.19a 36.05±5.05b 20.46±2.45c 

C(400;10) 79±16.83bc 78.92±3.46a 75.85±6.23a 59.68±4.35a 

D(200;50) 93±20.34ab 68.18±10.66a 40.10±11.88b 29.84±12.93bc

E(0;100) 98±16.17ab 54.76±8.20a 33.83±11.31b 19.79±15.15c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05); rata-rata ±SE

Page 51: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 51/61

 

Gambar 8. Pembelahan sel telur-telur dari perlakuan A (a,b,c) dan telur-telur perlakuan E

(d,e,f). Telur 1 jam setelah pembuahan (a dan d), telur 5 jam setelahpembuahan awal fase gastrulasi (b dan e), telur 10 jam setelah pembuahan

awal organogenesis (c dan f).

Gambar 9. Gambaran morfologis larva: normal (a) dan abnormal (b, c dan d) dari induk

ikan baung ( Hemibagrus nemurus Blkr) pada percobaan tahap II

4.2.6 Pembahasan

E2 merupakan hormon yang sangat penting yang dihasilkan oleh ovari terutama

pada ikan betina yang sedang mengalami proses vitelogenesis. E2 mengalami

peningkatan secara bertahap pada fase vitelogenesis sejalan dengan meningkatnya ukuran

diameter oosit. Adanya peningkatan konsentrasi E2 dalam darah akan memacu hati

melakukan proses vitelogenesis dan selanjutnya akan mempercepat proses pematangan

a c

a b  c

d e f

b

Page 52: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 52/61

 

gonad. Oleh karena itu kadar steroid plasma dapat digunakan sebagai indikator dari

pematangan gonad (Zairin et al., 1992).

T4 adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid. Hormon T4 membantu

proses penyerapan vitelogenin oleh telur. Selain itu T4 juga terlibat dalam meningkatkan

sintesis protein melalui peningkatan transkripsi RNA. Djojosoebagio (1990) menyatakan

bahwa interaksi hormon tiroid dan reseptor pada inti akan menyebabkan terjadinya

peningkatan aktifitas enzim polimerase sehingga pembentukan RNA pun meningkat.

Dengan meningkatnya transkripsi RNA dan selanjutnya sintesis protein berarti adanya

pemberian T4 juga akan meningkatkan protein vitelogenin.

Implantasi E2 dapat meningkatkan kadar hormon E2 dalam plasma darah. Dalam

penelitian ini meningkatnya konsentrasi hormon E2 plasma pada perlakuan- perlakuan

yang diimplantasi dengan E2 (B, C dan D) terjadi pada pengamatan hari ke-14. Beberapa

penelitian sebelumnya melaporkan bahwa pemberian E2 pada induk sangat efektif untuk

meningkatkan kadar E2 plasma darah pada ikan. Flet dan Leatherland (1989)

mendapatkan bahwa peningkatan kadar E2 plasma darah tertinggi terjadi pada hari ke 28

setelah implantasi E2 pada ikan Salmo gairdneri. Sularto (2002) menyatakan

peningkatan kadar E2 darah terjadi pada hari ke 14 setelah induk jambal Siam

diimplantasi dengan LHRH dan E2. Pada penelitian Supriyadi (2004) yang menggunakan

teknik enkapsulasi 17α-metiltestosteron dalam emulsi yang diberikan pada ikan baung

diperoleh kadar hormon E2 tertinggi pada hari ke 56. Perbedaan waktu yang terjadi

kemungkinan karena adanya respon yang berbeda dari setiap spesies ikan yang

berhubungan dengan teknik pemberian, dosis dan jenis hormon.

Konsentarsi hormon E2 dalam plasma darah setelah hari ke 14 mengalami

penurunan sampai pengamatan hari ke 84 (Gambar 4). Hal ini berkaitan dengan tingkat

kematangan telur dimana kadar E2 akan menurun menjelang pematangan akhir. Menurut

Singh dan Singh (1990) pada saat ovarium mencapai tingkat kematangan akhir maka

sintesis E2 akan menurun, karena hal ini merupakan umpan balik negatif estrogen

terhadap hormon yang menstimulasi sintesis E2. Lebih lanjut Mylonas dan Zohar (2001)

menyatakan bahwa secara alami konsentrasi hormon E2 tinggi pada fase vitelogenesis

dan mencapai puncaknya pada fase mGV(Germinal Vesicle migration) dan kemudian

mengalami penurunan pada fase pGV(Germinal Vesicle peripheral).

Page 53: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 53/61

 

Tingginya kadar E2 dalam plasma dapat mempercepat proses pematangan gonad

yang ditunjukkan oleh perlakuan B tanpa penambahan T4. Pada perlakuan tersebut rataan

dari lama waktu matang dari induk-induk dapat mencapai ukuran diameter maksimum

dalam waktu tercepat 47±12.35 hari dengan diameter telur 1.23 ±0.03 mm dan GSI

13.66% HSI 1.7%, akan tetapi derajat tetas telur yang dihasilkan rendah. Rendahnya

derajat tetas telur kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya produksi cairan ovari dan

dengan meningkatnya cairan ovari maka cairan nampak berwarna lebih kecoklatan dan

agak cair sehingga akan mempengaruhi warna telur menjadi coklat kehitaman (Gambar

10). Cairan ovari disekresikan secara langsung oleh sel-sel dinding rongga ovari yang

berlangsung selama proses pematangan oosit dan proses ini dipengaruhi oleh steroid

gonad (Sjafei et al., 1992). Cairan ini diduga mempengaruhi selubung lendir pada lapisan

terluar dari telur, dimana selubung lendir kental ini disintesis dalam sel folikel selama

vitelogenesis.

Gambar 10. Warna telur dan cairan ovari: telur berwarna coklat kehitaman serta cairan

ovari agak cair dari induk perlakuan B (a), telur dan cairan ovari pada indukperlakuan A (b) pada percobaan tahap II

Nagahama (1983) menyatakan bahwa pada Cichlasoma dan  Fundulus  lapisan

selubung ini berfungsi sebagai alat untuk melekatkan telur pada substrat. Dari

pengamatan penetasan telur ikan baung, telur-telur yang dihasilkan setelah dibuahi yang

tidak menempel pada substrat, akan menghasilkan derajat tetas telur yang sangat rendah,

sehingga menempel tidaknya telur ikan baung di substrat dapat menjadi indikator baik

tidaknya kualitas telur.

Pemberian T4 pada percobaan ini yang dikombinasikan dengan hormon E2 pada

dosis T4 10 mg/kg bobot induk (perlakuan C) disamping menghasilkan pematangan

a b

Page 54: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 54/61

 

gonad yang cepat juga dapat meningkatkan derajat tetas telur dan total larva yang

dihasilkan. Adanya fungsi T4 yang dapat meningkatkan sintesis protein berarti protein

pada vitelogenin juga meningkat serta kualitas protein pada vitelogenin lebih baik jika

dibandingkan tanpa penambahan T4.

Pada percobaan ini pengaruh kombinasi hormon E2 dan T4 juga terlihat pada

diameter telur. Diameter telur yang dihasilkan oleh induk-induk yang diimplan dengan

hormon E2 dan T4 menghasilkan diameter telur yang relatif seragam dibandingkan

dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa hormon E2 dan T4 efisien dalam membantu

proses penyerapan vitelogenin oleh telur.

Kadar lemak telur tertinggi terdapat pada perlakuan B (E2 600 µg/kg bobot tubuh),

kadar lemak telur menurun sejalan dengan turunnya dosis E2 implant yang disertai

naiknya pemberian T4 (Tabel 10). Kemungkinan tingginya kadar lemak juga

menyebabkan menurunnya kadar protein telur karena pada umumnya kadar lemak telur

tinggi akan diimbangi dengan kadar protein yang lebih rendah. Lemak pada telur

perlakuan C lebih rendah dari perlakuan B, menandakan bahwa kemungkinan kadar

protein telur perlakuan C lebih tinggi dari perlakuan B. Jika dilihat dari komposisi dan

kadar asam lemak antar perlakuan tidak jauh berbeda. Hanya kadar NL perlakuan E

sedikit lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Jadi pada perlakuan C selain telur cepat

matang, derajat tetas telur juga lebih tinggi sedangkan pada perlakuan A derajat tetas

telur sama dengan perlakuan C tetapi lama waktu matangnya lebih panjang.

Perubahan komposisi asam lemak dari telur ke larva menunjukkan pola yang sama

seperti percobaan tahap pertama. Penurunan lebih besar pada asam lemak jenuh

dibandingkan dengan asam lemak esensial. Ini berarti bahwa asam lemak esensial lebih

banyak disimpan untuk pertumbuhan larva. Pada larva, seperti pada percobaan tahap

pertama persentase penurunan asam lemak n-3 lebih besar dari pada asam lemak n-6 dan

pada fase ini asam lemak esensial lebih efisien digunakan sebagai sumber energi

dibandingkan dengan asam lemak jenuh.

Hormon T4 pada dosis yang tinggi bersifat katabolik. Matty (1985) menyatakan

bahwa pengaruh T4 terhadap sintesis protein bersifat biphasic  yaitu pada dosis rendah

bersifat anabolik sedangkan pada dosis tinggi bersifat katabolik. Adanya sifat T4

demikian dapat menyebabkan turunnya kadar protein vitelogenin yang diserap telur dan

Page 55: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 55/61

 

pengaruhnya berlanjut pada proses embriogenesis. Selain menghambat sintesis protein,

T4 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan Turnover karbohidrat dan lemak lebih cepat

(Shahib, 1989). Hal inilah yang menyebabkan derajat tetas telur dan lama waktu matang

pada perlakuan D dan E menurun kembali. Penelitian Nacario (1983) menunjukkan

bahwa pemberian dosis T4 terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya perkembangan

tidak normal dari larva seperti kerusakan jaringan punggung (bengkok) dan pada bagian

perut terjadi sklerosis. Dalam percobaan ini abnormalitas yang sama juga ditemukan

terutama jelas pada perlakuan E (Gambar 9).

Page 56: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 56/61

 

DAFTAR PUSTAKA

Aida, K., A. Shimizu, K. Asahina, and I. Hanyu. 1991. Photoperiodism in reproduction

in bitterlings. p. 139-141. Proceedings of The Fourth International Symposiumon The Reproductive Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K.

7-12 July 1991.

Ayson F.G. and Lam, T.J. 1993. Thyroxine injection of female rabbitfish (Siganus

guttatus) broodstock: Change in thyroid hormone levels in plasma, eggs, and

yolk sac larvae, and its effect on larval growth and survival.  Aquaculture, 109:83-93

Banta, N. 1997. Pengaruh lama perendaman di dalam larutan hormon thyroxin terhadap

kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva ikan betutu

(Oxyeleotris marmorata). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. 43 hal.

BNF (British National Foundation). 1992. Unsaturated fatty acids. Nutritional and

Physiological Significance. Chapman and Hall. 211 pp

Blaxters, H.S. 1969. Development of egg and larvae. p: 184 – 190.  In  Hoar and

Randall (Eds). Fish Physiology, Vol. III, Academic Press, Inc.

Campbell, P. M., T.G. Pottinger, and J. P. Sumpter. 1991. Effect of acute stress on

time of ovulation, fecundity, egg size, egg survival and sperm counts in rainbowtrout, p. 269. Proceedings of The Fourth International Symposium on The

Reproductive Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12July 1991.

Carrillo, M., N. Bromage, S. Zanuy, R. Serrano, and F. Prat. 1989. The effect of

modifications in photoperiod on spawning time, ovarian development and egg

quality in the sea bass, Dicentrarchus labrax L. Aquaculture,  81: 351-365

Craik, J. C. A. and S. M. Harvey, 1984. Egg quality in rainbow trout: The relation

between egg viability, selected aspects of egg composition, and time ofstripping.  Aquaculture,  40: 115-134

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin. Vol. 1. Pusat Antar UniversitasIlmu Hayat, IPB Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Hal. 1-37

Donaldson, E.M., V.H.M Fagerlund, A.H. Higgs, and J.R. Mc Bridge. 1979.

Hormonal enhancement of growth; p. 456-597. In W.S. Hoar, P.J Randall and

J.R. Brett (Eds). Fish Physiology; Vol VIII. Academic Press. New York.

Page 57: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 57/61

 

Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal.

Flett, P.A. and J. F. Leatherland. 1989. Dose related effect of 17β-estradiol (E2) on

liver weight, plasma E2, protein, calcium and thyroid hormone levels and

measurement of finding of thyroid hormones to vitellogenin in rainbouw trout(Onchorhynchus mykiss). J. Fish Biol., 34:515-527.

Furuita, H., H. Tanaka, T. Yamamoto, M. Shiraishi, and T. Takeuchi. 2000. Effects of

n-3 HUFA level in broodstock diet on the reproductive performance and egg

and larva quality of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus. Aquaculture, 187: 387-398.

Furuita, H., H. Tanaka, T. Yamamoto, N. Suzuki, and T. Takeuchi. 2002. Effects of

high levels n-3 HUFA in broodstock diet on the egg quality and egg fatty acidcomposition of the Japanese flounder, Paralichthys olivaceus.  Aquaculture, 

210: 323-333.

Griffin, J.E. 1996. The Thyroid. p.260-283. Textbook of endocrine physiology. Third

edition. New York oxford. Oxford University Press.

Hardiantho, D., A. Sasongko, D. Hidayat, dan J. Purwanto. 2002. Pengelolaan induk

ikan baung ( Mystus nemurus C.V.) dalam mendukung program penebaran ke

perairan umum. Laporan kegiatan BBAT Sukabumi. 7 hal.

Hassin, S., Z. Yaron, and Y. Zohar. 1991. Follicular steroidogenesis, steroid profiles

and oogenesis in the European sea bass,  Dicentrarchus labrax. p. 100.

Proceedings of The Fourth International Symposium on The ReproductivePhysiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.

Hepher, B., 1990. Nutrition of pond fishes. Cambridge University Press. CambridgeNew York. 388pp

Hjartarson, S.V., B. Th. Bjornsson, E. Moksness, and B. Norberg. 1991. Induction of

vitellogenin synthesis in juvenile striped wolffish ( Anarhichas lupus L). p.322Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive

Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.

Izquierdo, M.S., H.Fernandes-Palacios, and A.G.J. Talcon. 2001. Effect of

broodstock nutrition on reproductive peformance of fish. Aquaculture, 197: 25-

42.

Kamler, E. 1992. Early life history of fish. An energetic approach. Chapman and

Hill. London. 267p.

Page 58: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 58/61

 

Kjorsvik, E., A. Mangor-Jensen, and I. Holmfjord. 1990. Egg quality in fishes. 

 Advances in Marine Biology,  26: 71-113.

Kuo, C.M., Nash, C.E, and Watanabe, W.D. 1979. Induce breeding experiment with

milkfish, Chanos chanos (Forskal), in Hawaii.  Aquaculture, 18:95-105.

Lahnsteiner, F., B. Urbanyi, A. Horvarth, and T. Weismann. 2001. Bio-markers for

egg quality determination in cyprinid fish.  Aquaculture, 195:331-352.

Lam, T. J. and R. Sharma. 1985. Effects of salinity and thyroxin on growth and

development in the carp, Cyprinus carpio. Aquaculture, 44:201-212.

Lagler, K. F., J.E. Bardach, K.K. Miller, and D.R.M. Passino. 1977. Ichthyology.

Second edition. John Willey and Son’s. New York. 506p.

Leray, C., G. Nonnotte, P. Roubaud, and C. Leger. 1985. Incidence of (n-3) essential

fatty acid deficiency on trout reproductive processes.  Reprod. Nutr. Develop., 25 : 567 – 581.

Li, Y.Y., W.Z. Chen, Z.W. Sun, J.H. Chen, and K.G. Wu. 2005. Effects of n-3 HUFA

content in broodstock diet on spawning performance and fatty acid compositionof eggs and larvae in Plectorhynchus cinctus. Aquaculture, 244:263-272.

Linhart, O., S. Kudo, R. Billard, V. Slechta, and E.V. Mikodina. 1995. Morphology,

composition and fertilization of carp eggs: A review.  Aquaculture,  129: 75-93

Matty, A.J. 1985. Fish endocrinology. Timber press. Portland. 267 hal

Mayes, P.A. 2003. Metabolisme asam lemak tak jenuh dan eikosanoid, p.242-259. In:

Murray, R.K., D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell. (Eds). Biokimia

Harper. Alih bahasa oleh Andry Hartono, Editor edisi bahasa Indonesia, AnnaP. Bani, Tiara M.N. Sikumbang. Ed. 25 Jakarta. EGC.

Mokoginta, I., D. S. Moeljohardjo, T. Takeuchi, K. Sumawidjaja, dan D. Fardiaz. 1995.Kebutuhan asam lemak esensial untuk perkembangan induk ikan lele, Clarias

batrachus Linn.  Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia,  3 :41-

50.

Mokoginta, I., T. Takeuchi, D. S. Moeljohardjo, K. Sumawidjaja, dan D. Fardiaz.

1998. The effect of different ratios of n-6/n-3 fatty acid in broodstock diets onegg quality of catfish, Clarias batrachus.  Asian Fisheries Science, 11: 157-168

Mokoginta, I., D. Jusadi, M. Setiawati, T. Takeuchi, and M. A. Suprayudi. 2000.The effect of different levels of dietary n-3 fatty acid on the egg quality of

catfish (Pangasius hypophthalmus), p: 252-256. The Proceeding of The JSPS-

Page 59: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 59/61

 

DGHE International Symposium on Fisheries Science in Tropical Area. August

21-25, Bogor – Indonesia.

Muflikhah, N. 1993. Pematangan gonad dan pemijahan buatan ikan baung ( Mystus

nemurus). Sukamandi: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air

Tawar. Hal. 243-247

Muflikhah, N., S. Nurdawati, and S. N. Aida. 1998. Domestikasi ikan baung ( Mystus

nemuru). Jurnal Litbang Pertanian, 17 : 53-59

Mylonas, C.C. and Y. Zohar. 2001. Endocrine regulations and artificial induction ofoocyte maturation and spermiation in basses of the genus morone.  Aquaculture, 

202:205-220.

Nacario, J. 1983. The effects of thyroxin on the larvae and fry of Sarotherodon

niloticus L (Tilapia nilotica).  Aquaculture, 34:73-83.

Nagahama, Y. 1983. The fungsional morphology of teleost gonads. p. 187-212. In.W.S. Hoar and Randall (Eds). Fish physiology IX A. Acad. Press. New York.

Palacios, H.F., M. S. Izquierdo, L. Robaina, A. Valencia, M. Salhi, and J.M. Vergara.1995. Effect of n –   3 HUFA level in broodstock diets on egg quality of

gilthead sea bream (Sparus aurata L).  Aquaculture, 132: 325-337

Pankhurst, N.W. and G. Van Der Kraak. 1997. Effects of stress on reproduction andgrowth of fish. p. 73-144. Fish Stress and Health in Aquaculture. Society for

Experimental Biology. Seminar Series: 62. Cambridge University Press.

Pepin, P., D.C. Orr, and J.T. Anderson. 1997. Time to hatch and larval size in relation

to temperature and egg size in atlantic cod (Gadus morhua). Canadian J. Fish.

 Aquatic Sci., 54: 2-10

Sargent, J. R., R. J. Henderson, and D.R. Tocher. 1989. The lipid. p. 153-217. In :

Halver, J.E (Eds). Fish nutrition. Academic Press, New York.

Sargent, J. R., Douglas R, Tocher, and J. Gordon Bell. 2002. The lipid, p. 181-257. In

: Halver, J.E and Hardy, R.W (Eds). Fish nutrition. Third Edition. USA :

Academic Press.

Shahib, N. 1989. Ringkasan biokimia hormone. Elsfar Offset Bandung. 78 hal.

Singh, P.B. and T. P. Singh. 1990. Seasonal correlation changes between sex steroid

and lipid level in the fresh water female catfish ( Heteropneustes fossilis) J. Fish

 Biol., 37:793-802.

Page 60: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 60/61

 

Siregar, M. 1999. Stimulasi pematangan gonad bakal induk betina ikan jambal Siam

(Pangasius hypophthalmus F) dengan hormon hCG. Tesis program pascasarjanaIPB. Bogor. 41 hal.

Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, R. Affandi, M. Brojo, dan Sulistiono. 1992. Fisiologi

ikan II. Reproduksi ikan. IPB. Bogor. 213 hal.

Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1981. Principles and procedures of statistics.McGraw-Hill, Book Company, INC. London: 487 pp.

Sukendi. 2005. Pengaruh kombinasi penyuntikan hCG dan ekstrak kelenjar hipofisaikan mas (Cyprinus carpio L) terhadap daya rangsang ovulasi dan kualitas telur

ikan baung ( Mystus nemurus CV). Jurnal Perikanan dan Kelautan, 102 : 75-81

Sularto. 2002. Pengaruh implantasi LHRH dan estradiol-17β  terhadap perkembangangonad ikan Pangasius djambal. Tesis Pascasarjana IPB. 60 hal.

Sullivan, C.V., Y. Tao, R.G. Hodson, A. Hara, R.O. Bennett, and L.C. Woods. 1991.Vitellogenin and vitellogenesis in striped bass ( Morone saxatilis). p. 315-317.

Proceedings of The Fourth International Symposium on The Reproductive

Physiology of Fish. Univ. of East Anglia, Norwich, U.K. 7-12 July 1991.

Supriyadi. 2005. Efektivitas pemberian hCG dan 17α-metiltestosteron yang

dienkapsulasi di dalam emulsi terhadap perkembangan gonad ikan baung

( Hemibagrus nemurus Blkr.). Tesis Pascasarjana IPB.74 halTakashima and T. Hibiya. 1995. An atlas of fish histologi, Normal and Pathological

Feature Second Edition. Kodansha Ltd, Tokyo. 195p.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutriens. p. 179-

233. In T. Watanabe (Eds). Fish Nutrition and Mariculture, JICA textbook, The

General Aquaculture Course. Departement of Aquatic Bioscience, TokyoUniversity of Fisheries.

Takeuchi, T. 1996. Essential fatty acid requirements in carp.  Animal Nutrition, 49:

23-32.

Tamaru, C.S., A. Harry, and S.L. Cheng. 1994. Fatty acid and amino acid profile of

spawned eggs of striped mullet,  Mugil cephalus L.  Aquaculture, 105:83-94.

Tanaka, M., J.B. Tanangonan, M. Tagawa, E.G. de Jesus, H. Nishida, M. Isaka, R.

Kimura, and T. Hirano. 1995. Development of the pituitary, thyroid andinterrenal glands and applications of endocrinology to the improved rearing of

marine larvae.  Aquaculture, 135:111-126.

Tan-Fermin, J.D., S. Ijiri, H. Ueda, S. Adachi, and K. Yamauchi. 1997. Ovarian

development and serum steroid hormone profiles in hatchery-bred female

Page 61: budidaya ikan baung

7/17/2019 budidaya ikan baung

http://slidepdf.com/reader/full/budidaya-ikan-baung-568db5cc6b752 61/61

 

catfish Clarias macrocephalus  (Gunther) during an annual reproductive cycle.Fisheries Science,  63:867-872.

Tang, U. M., H. Alawi, dan R.M. Putra. 1999. Pematangan gonad ikan baung ( Mystus

nemurus) dengan pakan dan lingkungan yang berbeda.  Hayati, 6:10-12p.

Tang, U. M. dan R. Affandi. 2000. Biologi reproduksi ikan. Bogor. 150 hal.

Toelihere, M. 1981. Fisiologi reproduksi pada ternak. Angkasa Bandung. 105 hal.

Wallace, R.A. and K. Selman. 1981. Cellular and dynamic aspects of oocyte growth inteleost. American Zoologist, 21: 325-343.

Watanabe, T.A., T. Arakawa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1984. Effect of nutritional

quality of broodstock diets on reproduction of red sea bream.  Nippon Suisan

Gakkaishi, 50: 495-501.

Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. JICA. The General AquacultureCourse. Dept. of Agriculture Bioscience. Tokyo University. 233p

Xu, Xi., W.J. Ji., J.D. Castell, and R. O’Dor. 1993. The nutritional value of dietary n-3and n-6 fatty acid for chinese prawn (Penaeus dunensis).  Aquaculture,  118:

277-285.

Yaron, Z. 1995. Endocrine control of gametogenesis and spawning induction in thecarp.  Aquaculture, 129: 49-73

Zairin, M., Furukawa, and Aida. 1992. Induction of ovulation by hCG injection intropical walking catfish Clarias batrachus reared under 23-250C. Nippon Suisan

Gakkaishi, 58:1681-1685

Zairin, M. Jr. 2003. Endokrinologi dan perannya bagi masa depan perikanan

Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi

Reproduksi dan Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. IPB. 70 hal.