244324813-Makalah-Blok-14.doc
-
Upload
awalliantoni -
Category
Documents
-
view
216 -
download
4
Transcript of 244324813-Makalah-Blok-14.doc
Tinjauan Pustaka
Rheumatoid Artritis dan Penatalaksanaannya
Awalliantoni
BP-9
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510
Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-5631731
Pendahuluan
Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi kronik dan
progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manisfestasi klinik klasik AR adalah poliartritis
simetrik terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan sinovial sendi,
AR juga bisa mengenai organ-organ di luar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata.
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal,
keganasa, dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis secara tepat dan memulai terapi sedini
mungkin dapat menurunkan progresivitas penyakit. Metode terapi yang dianut saat ini adalah
pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) yaitu pemberian DMARD (Disease Modifying Anti-
Rheumatoid Drugs) sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat
terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas, dan disabilitas, dan komplikasi
penyakit yang lainnya.
Skenario
Seorang perempuan, 21 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri pada jari-jari
tangan dan pergelangan tangan pada tangan kiri dan kanan. Keluhan ini sudah berlangsung selama 4
bulan. Pasien mengatakan ibunya juga sering mengeluh nyeri sendi terutama pada lutut kirinya.
1
Epidemologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan berkisar antara 0,5-1 %.
Prevalensi yang tinggi didapatkan di Indian (Pima dan Chippewa) masing-masing sebesar 5,3% dan
6,8%. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,2% di
daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada perempuan
berbanding lelaki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan angka
kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.
Etiologi
1. Kompleks Histokompatibilitas Utama Kelas II (MHC Class II)
Bukti terkuat menunjukkan bahwa artritis reumatoid memiliki predisposisi genetik diketahui
dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class
II Determinants), khususnya HLA-DR4 dengan artritis reumatoid seropositif. Data dari beberapa
penelitian menunjukan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 25%
untuk menderita penyakit ini.
2. Hubungan Hormon Seks dengan Artritis Reumatoid
Prevalensi artritis reumatoid diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita
dibandingkan kaum pria. Resiko ini dapat mencapai 20% pada wanita dalam usia subur. Demikian
pula remisi seringkali dijumpai pada pasien artritis reumatoid yang sedang hamil.
3. Faktor Infeksi sebagai Penyebab Artritis Reumatoid
2
Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga merupakan penyebab artritis reumatoid. Pada
saat itu, Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan Sulfasalazine yang terdiri dari 2
gabungan konstituen kimia yakni Sulfapiridin yang bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat
yang memiliki khasiat seperti obat antiinflamasi nonsteroid. Dugaan faktor infeksi sebagai
penyebab artritis reumatoid juga timbul karena umumnya penyakit ini timbul secara mendadak
disertai gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian, timbul dugaan kuat bahwa penyakit
ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal
atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab artritis
reumatoid antara lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga saat ini belum
berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan
kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin dari mikroorganisme
yang dapat mencetuskan terjadinya artritis reumatoid. Pada percobaan binatang telah terbukti bahwa
mycoplasma artritidis dapat menimbulkan gejala artritis pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat
menimbulkan artropati inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat juga dijumpai pada
pasien hepatitisvirus B dan demam reumatik. Pada pasien yang mengalami infeksi Epstein Barr
Virus (EBV), seringkali dijumpai gejala atralgia, walaupun jarang dijumpai gejala artritis yang
jelas. Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang walupun
jarang dapat pula menimbulkan gejala poliartritis simetris kronik.1
Patogenesis
Patogenesis RA terjadi akibat rantai peristiwa imunologis sebagai berikut:2
Suatu antigen penyebab RA yang berada pada membran sinovial, akan diproses oleh antigen
presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau
makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang
telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ bersama dengan determinan HLA-DR yang
terdapat pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks trimolekular.
Kompleks trimolekular ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1)yang dibebaskan oleh monosit atau
makrofag selanjutnya akan menyebabkan terjadinya aktivasi sel CD4+.
Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor
interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang diekskresi oleh sel CD4+ akan mengikatkan
diri pada reseptor spesifik pada permukaannya sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis
dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi sel CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap
berada dalam lingkunan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi
berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis, factor β --- (TNF-β), interleukin-3
3
(IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta
beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas
fagositosisnya dan merangsang proliferasi danaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi
antibodi oleh sel B ini dibantu oleh IL-1,IL-2, dan IL-4.
Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk
kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi.Pengendapan kompleks
imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang akan membebaskan komponen-komplemen C5a.
Komponen-komplemen C5a merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas
vaskular juga dapat menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi
tersebut. Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkan bahwa lesi yang paling dini
dijumpai pada RA adalah peningkatan permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel
PMN dan pengendapan fibrin pada membran sinovial.
Fagositosis kompleks imun oleh sel radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan
radikal oksigen bebas, leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin)
yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan
terjadinya depolimerisasi hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan
sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi.
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang
terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan IL-1 dan TNFβ. Rantai peristiwa imunologis
ini sebenarnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut.
Akan tetapi pada RA, antigen atau komponen antigen umumnya akan menetap pada struktur
persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus. Tidak terhentinya destruksi
persendian pada RA kemungkinan juga disebabkan oleh terdapatnya faktor reumatoid. Faktor
reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitopfraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70-90%
pasien RA. Faktor reumatoid akan berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri,
sehingga proses peradangan akan berlanjut terus. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan
terjadinya degranulasi mast cell yang menyebabkan terjadinya pembebasan histamin dan berbagai
enzim proteolitik serta aktivasi jalur asam arakidonat.
Masuknya sel radang ke dalam membran sinovial akibat pengendapan kompleks imun
menyebabkan terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling destruktif dalam
patogenesis RA. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari sel fibroblas yang
berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Secara histopatologis pada daerah
4
perbatasan rawan sendi dan pannus terdapatnya sel mononukleus, umumnya banyak dijumpai
kerusakan jaringan kolagen dan proteoglikan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis
Anamnesis adalah tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada
pasien (auto-anamnesis), maupun secara tidak langsung melalui keluarga atau relasi terdekat (allo-
anamnesis). Tujuan anamnesis adalah mendapatkan informasi menyeluruh dari pasien yang
bersangkutan.2 Kronologi dan dampak gejala pada pasien harus diketahui. Keluhan utama biasanya
berhubungan dengan sendi atau area di sekitar sendi :3
- Nyeri
- Kaku
- Deformitas
- Penurunan fungsi
Anamnesis dibagi dua menjadi anamnesis biasa dan spesifik.
Anamnesis biasa menanyakan riwayat penyakit, yaitu riwayat penyakit secara kronologi,
faktor-faktor pemberat penyakit, dan riwayat pengobatan yaitu obat-obatan apa yang sudah
dikonsumsi sebelum mengunjungi klinik.
Anamnesis spesifik meliputi:
- Nyeri sendi. Lokasi nyeri dan punctum maksimum harus dipertanyakan. Pertanyakan
apakah ada penekanan radiks / syaraf; pertanyakan rasa nyeri yang dirasakan dan frekuensinya,
apakah hanya pagi hari atau siang hari, atau tidak menentu muncul rasa nyerinya; pertanyakan
pula adakah nyeri mekanis (nyeri tekan) dan reaksi inflamasi.
- Kaku sendi. Bagaimana rasa kaku yang dirasakan? Apakah rasanya seperti diikat?
- Bengkak sendi. Pertanyakan apakah sendi membesar dan apakah ada benjolan pada sendi
tersebut. Pertanyakan juga perubahan warna, bentuk sendi dan posisi sendi dalam struktur
ekstremitas.
5
- Deformitas sendi. Pertanyakan apakah sendi berada dalam posisi yang salah atau tidak
karena jika salah bisa saja sendi mengalami dislokasi atau subluksasi.
- Disabilitas sendi. Pertanyakan apakah otot, sendi, atau sistem muskuloskeletal tidak dapat
berfungsi secara adekuat atau tidak.
Gejala ini bisa timbul dari sendi atau struktur periartikular. Tanda-tanda radang (derajat
nyeri dan durasi kaku di pagi hari) harus diselidiki dengan teliti. Gejala ekstra-artikular bisa
membantu secara diagnostik dengan mengarahkan pada penyakit yang sangat berhubungan dengan
artritis.
Pada dugaan penyakit multisistem, keterlibatan organ spesifik (paru, ginjal, sistem syaraf)
harus dicari berdasarkan gejala klinis dan melalui pemeriksaan penunjang spesifik. Gejala
konstitusional termasuk demam, malaise, penurunan berat badan, atau kelelahan bisa menunjukkan
proses radang yang meluas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi inspeksi, palpasi, gerakan (look, feel,
move). Pemeriksaan ini mulai dilakukan saat melihat pasien dengan mengobservasi penampilan,
postur, dan cara berjalan. Mula-mula yang diperhatikan adalah keadaan umum dan lokal (status
lokalis). Keadaan umum meliputi kesadaran pasien, tekanan darah, suhu, denyut nadi, dan frekuensi
pernapasan. Keadaan lokal atau status lokalis dilihat dari teknik look, feel, move.3
1. Inspeksi (Look)
Melihat tempat yang sakit yang merupakan keluhan utama pasien. Hal yang harus
diperhatikan dalam inspeksi adalah:
- Apakah terjadi perubahan struktur dan fungsi dari persendian yang diamati
- Kesimetrisan bagian yang sakit-satu atau kedua sisi tubuh; salah satu atau beberapa sendi
- Deformitas atau ketidaksejajaran tulang
- Perubahan jaringan lunak di sekitarnya - perubahan kulit, nodul subkutaneus, atrofi otot,
dan adanya krepitasi
- Keterbatasan rentang gerak, kelemahan ligamentum
6
- Perubahan kekuatan otot
- Perhatikan tanda inflamasi dan artritis; pembengkakkan, hangat, nyeri tekan, kemerahan.
Untuk inspeksi pergelangan tangan, tangan, dan jari maka yang harus diperhatikan adalah
gerakan pergelangan tangan (fleksi dan ekstensi) pada pergelangan tangan, tangan, jari, kontur
pergelangan tangan, tangan, jari, dan telapak tangan. Jika ditemukan deformitas maka
kemungkinannya adalah artritis reumatoid dan degeneratif. Jika dilakukan inspeksi telapak tangan
didapatkan atrofi tenar pada kondisi kompresi nervus medianus maka kemungkinan pasien
menderita carpal tunnel. Jika ada atrofi pada hipotenar, mungkin ada kompresi pada nervus ulnaris.
Pada penderita artritis reumatoid terkadang didapatkan nodul reumatoid pada permukan ekstensor
ekstremitas.
2. Palpasi (Feel)
Pada palpasi pergelangan tangan yang dilakukan adalah untuk mengetahui kemungkinan
adanya pembengkakkan pada RA, nyeri tekan pada ulnar stiloid yang dapat dijumpai fraktur colles,
pada tangan adalah meraba sendi metakarpophalanx (MCP), proximal interphalanx (PIP), dan distal
interphalanx (DIP). Jika didapat pembengkakkan pada MCP maka dicurigai RA dan apabila
ditemukan nodulus pada PIP dan DIP kemungkinannya juga RA. Jika ditemukan nodulus proksimal
kemungkinannya juga RA namun jika nodulus distal maka dicurigai osteoartritis (OA).
3. Gerakan (Move)
Pemeriksaan gerakan dilakukan dengan menggerakan sendi pasien baik secara aktif maupun
pasif. Gerakan aktif apabila meminta pasien menggerakkan sendinya sendiri, sedangkan pasif
apabila pemeriksa yang menggerakkan sendi pasien. Pada RA, pemeriksaan dilakukan dengan
melakukan gerakan fleksi, ekstensi, inversi, eversi pergelangan tangan dan pada jari dilakukan
abduksi dan adduksi serta oposisi. Selain itu melakukan gerakan digiti I manus dengan melakukan
abduksi, adduksi, dan rotasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Komponen pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Laju Endap Darah (LED)
- LED yang meningkat >30 mm/jam dapat dicurigai sebagai RA
7
- Indikator ini biasa digunakan untuk evaluasi awal RA
2. C-reactive protein (CRP)
- C-reactive protein (CRP) yang meningkat hingga 0,7 pg/ml juga untuk evaluasi awal RA
- Leukosit dan trombosit mungkin mengalami peningkatan
3. Fungsi hati
- Fungsi hati biasanya normal, namun dapat terjadi peningkatan fosfatase alkali
4. Rheumatoid Factor (RF)
- RF dapat bernilai (-) pada 30% penderita RA stadium awal
- Apabila (-), pemeriksaan diulang 6-12 bulan dari onsetnya
- Penyakit keganasan dan infeksi juga dapat menunjukkan RF yang (+) sehingga tidak
spesifik
5. Anti-CCP
- Anti-CCP ( anticyclic citrullinated peptide antibody) yang lebih spesifik dibandingkan
dengan RF
- Pemeriksaan ini bersama dengan RF sangat berperan dalam deteksi dini sebab RA dini
cenderung tidak memenuhi kriteria diagnosis utama ACR yang telah disebutkan di atas
- Spesifisitas anti-CCP mencapai 95-98%
6. Tes Antinuclear Antibodies (ANA)
- ANA tidak terlalu bermakna untuk penilaian RA karena tidak spesifik
- Dengan titer normal yang 1:40 atau kurang, titer yang lebih tinggi menunjukkan penyaki
autoimun
7. Pemeriksaan cairan sendi (Arthrosentresis)
Cairan sendi diperiksa untuk menunjukkan tidak adanya kristal (pembeda terutama dengan
Artritis Gout), kultur negatif, dan kadar glukosa yang rendah.
8. Pemeriksaan asam urat
8
Pemeriksaan asam urat untuk meniadakan differential diagnosis yaitu artritis gout.
Pemeriksaan Gambaran Radiologik
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat
dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Pada gambaran radiologik
dapat terlihat gambaran terjadinya erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang.
Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi
(sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.4
Working Diagnosis (WD)
Diagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks. Pada tahap dini
mungkin hanya akan menemukan sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahan-
perubahan pada sendi dapat minor; dan gejala-gejalanya dapat bersifat sementara. Diagnosis tidak
hanya bersandar pada satu karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari sekelompok
tanda dan gejala. Pada penelitian klinis, RA didiagnosis secara resmi menggunakan tujuh kriteria
dari American College of Rheumatology (ACR). Penderita stadium dini mungkin sulit untuk
menegakkan diagnosis definitif menggunakan kriteria ini. Penderita harus ditanyakan tentang
derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional pada kunjungan
awal. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti kriteria
tersebut.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid menurut ACR4
Gejala dan Tanda Definisi
Kaku pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi dan sekitarnya. Berlangsung paling sedikit 1 jam
Artritis pada 3 persendian atau lebih
Paling sedikit 3 sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakkan atau efusi
Artritis pada persendian tangan
Paling sedikit ada satu pembengkakkan pada sendi: pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP), atau proximal interphalanx (PIP)
Artritis yang simetrik Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan
Nodul reumatoid Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang, permukaan esktensor, atau daerah juxtaartikular
Faktor reumatoid serum positif
Titer abnormal faktor reumatoid serum yang memberikan hasil positif <5% pada kontrol subjek normal
9
Gejala dan Tanda Definisi
Perubahan gambaran radiologi
Pada foto anteroposterior tangan dan pergelangan tangan berupa erosi atau dekalsifikasi tulang yang terdapat pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi
Diagnosis Banding / Differential Diagnosis (DD)
Penyakit lain harus disingkirkan sebelum diagnosis artritis reumatoid dibuat. Pemeriksaan
klinis yang teliti dapat menguatkan lagi diagnosis penyakit tersebut. RA merupakan poliartritis
simetris yang melibatkan sendi kecil tangan dan kaki, pergelangan tangan, siku, bahu, pinggul, lutut
dan pergelangan kaki. Faktor reumatoid positif dan adanya erosi tulang pada gambaran radiologis
membuat diagnosis selain RA menjadi tidak mungkin. Terdapat sejumlah penyakit jaringan ikat
sistemik lainnya dan infeksi sistemik dapat hadir dalam gejala klinis yang sama dan harus
disingkirkan.5
1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
Lupus eritematosus sistemik atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu
penyakit autoimun sistemik. Diagnosis dibuat berdasarkan adanya 4 dari 11 kriteria klinis atau
laboratorium. Artritis termasuk salah satu di antara kriteria tersebut. Kondisi ini umumnya
mempengaruhi tangan, pergelangan tangan dan lutut secara simetris dan ditandai oleh eksaserbasi
dan remisi. SLE dapat hadir dengan poliartritis simestris yang tidak dapat dibedakan dari RA,
namun ciri khas lainnya adalah deviasi ulnar pada sendi MCP tanpa adanya erosi, tetapi reversibel.
Tidak adanya karakteristik ruam, ulkus mukosa, nefritis dan tes serologi spesifik secara efektifnya
mengecualikan SLE.5
2. Artritis pirai (Gout)
Walaupun pada awalnya, gout bersifat monoartikular dan intermittent, namun pada stadium
lanjut, bisa bersifat poliartikular. Jadi, perlu dilihat riwayat pasien menghidap intermittent
monoarthritis, dan pemeriksaan kristal asam urat dalam cairan sinovial.
Penyebab utama penyakit ini adalah hiperurisemia atau kelebihan asam urat dalam darah.
Biasanya menyerang ibu jari kaki, dan sering muncul pada tengah malam. Penyakit ini umumnya
menyerang orang dengan gaya hidup yang tidak sehat, terkait pula oleh pola makan seseorang.
Misalnya orang yang sering mengonsumsi jerohan, ikan laut, mengonsumsi alkohol dan berbagai
makanan yang tinggi purin (seperti bayam, buncis, jamur, asparagus, ragi). Penderita disarankan
mengkonsumsi makanan rendah purin seprti buah-buahan, sereal, gelatin, susu, gula, telur, tepung,
dan mentega.5
10
3. Osteoartritis
Penyakit ini merupakan penyakit artritis kronik yang angka kejadiannya meningkat seiring
dengan bertambahnya umur sehingga disebut penyakit degeneratif sendi sinovial. Terdapat
kerusakan kartilago hialin disertai sklerosis, pembentukan kistadan osteofit pada tulang subkondral
yang mendasari dan penyempitan rongga sendi. Ada dua jenis osteoartritis, yaitu osteoartritis primer
(tidak diketahui penyebabnya), dan osteoartritis sekunder (pencetusnya adalah penyakit lain). Baik
RA maupun OA, keduanya menyebabkan terjadinya radang sendi sehingga mengakibatkan nyeri
(hebat), kaku, kerusakan jaringan sendi dan hilangnya fungsi. Pada dasarnya RA sangat berbeda
dengan OA, RA adalah penyakit autoimun, artinya, sistem imun tubuh menyerang jaringan sehat
sehingga mengakibatkan rusaknya sendi, inflamasi kronik yang ditambah dengan rusaknya organ-
organ lain dan sistem organ. RA cenderung muncul pada usia yang lebih muda, dan tidak terbatas
pada sendi-sendi penyangga (berat) tubuh. Sebaliknya pada OA, rusaknya sendi dikarenakan oleh
penggunaan dan usia, OA biasanya menyerang sendi penyangga (berat) tubuh, tidak menyerang
organ-organ lain, dan biasanya berkaitan dengan bertambahnya usia.5
Berikut adalah perbedaan secara garis besar RA, OA, dan Artritis Gout (AG):
Tabel 2. Perbedaan antara RA, OA, dan Artritis Gout (AG)4
Gejala dan Tanda RA OA AG
Patologi Pannus Degenerasi Tofi / tofus
Jumlah sendi Poliarthritis Poliarthritis Monoarthritis
Lokasi MCP DIP, tulang penyangga badan
MTP, pergelangan kaki
Waktu kaku leher > 1 jam < 20 menit Terjadi serangan saat mengkonsumsi makanan tinggi purin
Pembengkakkan Simetris Asimetris Asimetris
Prevalensi P > L P = L P < L
Manifestasi Klinis
Terdapat beberapa gambaran klinis yang lazim pada seseorang yang mengidap artritis
reumatoid. Namun begitu, gejala tersebut tidak harus timbul sekaligus pada masa yang bersamaan
oleh karena penyakit ini memilliki gambaran klinis yang sangat bervariasi.
1. Gejala-gejala konstitusional seperti lelah, anoreksia, dan berat badan menurun
11
2. Poliartritis simetris, terutama pada sendi perifer termasuk sendi-sendi tangan namun
biasanya tidak melibatkan sendi-sendi distal interphalanx (DIP) dan hampir semua sendi
diartrodial dapat terserang
3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis yang
biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.
4. Artritis erosif yang merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik dan
peradangan sendi kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang
5. Deformitas, dapat berupa:
- Kerusakan strukur penunjang sendi meningkat dengan perjalanan penyakit (progresif)
- Pergeseran ulnar atau deviasi jari
- Subluksasi sendi MCP
- Boutonniere deformity - fleksi PIP dan hiperekstensi DIP
- Swan neck deformity - fleksi kontraktur MCP, hiperektensi PIP, dan fleksi DIP
- Pada kaki terdapat protrusi kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi
metatarsal - hallux vagus
- Sendi-sendi besar juga dapat terserang dan mengalami pengurangan kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi
6. Nodul-nodul reumatoid, yang merupakan massa subkutan yang ditemukan pada sekitar
sepertiga orang dewasa artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering terkena adalah bursa
olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan, namun nodul-nodul
ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya dan merupakan petunjuk sesuatu penyakit yang
aktif dan lebih berat.
7. Manisfestasi ekstra-artikular. RA dapat juga menyerang organ-organ lain di luar sendi
seperti jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata, dan pembuluh darah dapat rusak.4
Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah:
12
- Anemia. 75% penderita RA mengalami anemia karena penyakit kronik, 25% penderita
memberikan respons terhadap terapi besi,
- Kanker, mungkin dapat terjadi akibat sekunder dari terapi yang diberikan. Kejadian
limfoma dan leukimia 2-3 lebih sering terjadi pada penyakit RA dan dapat terjadi peningkatan
resiko terjadinya berbagai tumor solid.
- Komplikasi kardiak, terjadi pada 1/3 penderita RA karena memungkinkan terjadinya
efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan. Mungkin juga timbul miokarditis
dengan atau tanpa gejala.
- Penyakit tulang belakang leher (cervical spine disease) seperti tenosinovitis pada
ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas; adanya resiko hilangnya
lordosis servikal dan berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6,
penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral; dan myelopati yang bisa terjadi ditandai oleh
kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia
- Deformitas sendi tangan, dapat berupa deviasi ulnar pada sendi metacarpal, boutonneire
deformity, swan neck deformity, carpal tunnel syndrome - penekanan nervus medianus yang
terperangkap dalam rongga karpalis yang mengalami sinovitis, hiperekstensi dari ibu jari, dan
peningkatan risiko ruptur tendon.
- Deformitas sendi lainnya seperti frozen shoulder syndrome dan kista poplitea
- Komplikasi pernapasan diakibatkan nodul paru bisa bersama-sama dengan kanker dan
pembentukan lesi kavitas, adanya inflamasi pada sendi cricoarytenoid dengan gejala suara serak
dan nyeri pada laring, dan fibrosis intersistial yang bisa ditandai dengan adanya ronki pada
pemeriksaan fisik
- Nodul reumatoid yang biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau
daerah penekanan lainnya, bisa juga ditemukan pada daerah sklera, pita suara, sakrum, dan
vertebra.6
Penatalaksanaan
- Terapi non-farmakologis
Terdapat beberapa cara yang dirancang untuk mencapai tujuan yang disebut di atas,
contohnya pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi serta obat-obatan. Pendidikan
yang cukup tentang penyakit harus diberikan kepada pasien, keluarga dan siapa saja yang
13
mempunyai hubungan dengan si pasien. Pendidikan tersebut merangkum patofisiologi, etiologi, dan
prognosis penyakit ini. Selain itu, pendidikan tentang semua komponen program penatalaksanaan
termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini dan
metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan harus dilakukan
secara terus menerus.7
Istirahat amat penting atas sebab penyakit reumatoid arthritis ini biasanya disertai dengan
rasa lelah yang hebat. Ada masa-masa pasien merasa lebih baik atau lebih berat walaupun rasa lelah
tersebut dapat timbul setiap hari. Metode-metode untuk mengurangi nyeri malam hari harus
diajarkan, contohnya dengan memberikan obat antiinflamasi kerja lama dan analgesik. Walaupun
begitu, pasien harus membagi waktu seharinya menjadi beberapa kali waktu beraktivitas yang
diikuti oleh masa istirahat.
Latihan-latihan spesifik amat bermanfaat mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini meliputi
gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Obat-obatan untuk
menghilangkan nyeri mungkin perlu diberikan sebelum memulai latihan. Kompres panas pada
sendi-sendi yang sakit dan bengkak juga dapat mengurangi nyeri. Terapi panas dan dingin
digunakan untuk merelaksasi otot dan efek analgesik. Latihan dan terapi panas ini paling baik diatur
oleh pekerja kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus seperti fisioterapis atau terapis
kerja. Harus berhati-hati karena latihan yang berlebihan dapat merusak struktur penunjang sendi
yang memang sudah lemah karena penyakit ini. Pasien reumatoid artritis tidak membutuhkan diet
khusus. Prinsip umumnya adalah pentingnya diet seimbang. Mempertahankan berat badan pada
batas-batas yang sewajarnya sangat penting karena pasien biasanya akan mudah menjadi terlalu
gemuk sebab kurang melakukan aktivitas. Bertambahnya berat badan dapat menambah tekanan
pada sendi panggul, lutut, dan sendi-sendi pada kaki. Masalah ini dapat diatasi dengan mendapatkan
rujukan dari ahli gizi.
Alat-alat pembantu dan adaptif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitaskehidupan
sehari-hari. Pasien memegang tongkat pada tangan berlawanan dengan sendiyang berdampak. 7
- Terapi farmakologi
Farmakoterapi untuk penderita RA umumnya meliputi OAINS (obat anti-inflamasi
nonsteroid), glukokortikoid atau DMARD (disease-modifying anti-rheumatic drugs). Analgetik lain
juga mungkin dipergunakan seperti acetaminophen, opiate, diproqualone, dan lidokaintopical.
OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh
karena obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh digunakan secara tunggal.
14
Penderita RA biasanya sering kali mengalami komplikasi akibat efek obat ini untuk itu penggunaan
obat ini harus dipantau tehadap efek samping gastrointestinal.
Glukokortikoid dalam hal ini steroid digunakan dalam dosis kurang dari 10mg per hari
cukup efektif untuk meredakan gejala dan memperlambat kerusakan sendi. Kalau diberikan dosis
tinggi maka mengakibatkan osteoporosis, katarak, dan gangguan kadar gula darah. Penderita yang
mengalami terapi ini maka harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-
800 UI per hari. Gejala mungkin akan kambuh bila pemberian steroid dihentikan apalagi steroid
dalam dosis yang tinggi. Untuk itu kebanyakan Rheumatologist menghentikan steroid dengan cara
menurunkan dosisnya secara perlahan (tappering off).
Obat DMARD yang sering dipakai adalah MTX atau metotreksat, hidroksiklorokuin,
sulfasalazin, leflunomide, infliximab, dan etenercept. Pada terapi awal biasanya digunakan
hidroksiklorokuin dan sulfasalazin tetapi pada kasus berat digunakan MTX atau kombinasi terapi
mungkin digunakan sebagai first line.7,8
Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini RA antara lain yaitu skor fungsional rendah,
status sosial ekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat RA dari keluarga dekat,
melibatkan banyak sendi, nilai LED dan CRP tinggi saat permulaan penyakit, reumatoid faktor atau
anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul reumatoid. Sebanyak
30% penderita RA dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20
walaupun sudah mendapatkan berbagai macam terapi. Penderita dengan penyakit lebih ringan
memberikan respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada
penderita RA yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka
mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab
kematian pada penderita RA dibandingkan dengan populasi umum adalah 1.6. Tetapi hasil ini
mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.9
Penutup
Perempuan berusia 21 tahun yang datang ke poliklinik menderita penyakit rheumatoid
artritis dan hipotesis diterima. Pengobatan dari RA adalah pemberian DMARD sedini mungkin
untuk menghambat progresi RA. OAINS juga diberi bersama DMARD untuk menghilangkan
keluhan utama pasien yaitu nyeri dan bengkak pada sendi-sendi yang kecil.
15
Daftar Pustaka
1. Mitchell R, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku saku dasar patologis penyakit. Edisi 7.
Jakarta: EGC; 2009.
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2007.
3. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Edisi V.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.p.227-60.
4. Stephen RM, John FB. Monoarthritis, polyarthritis - differential diagnosis. In:
StephenAP,
John FB, Allan G, Thomas PS, editors. Manual of rheumatology and outpatientorthopedic
disorders: diagnosis and therapy. 5th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
6. Sjamsuhidajat R, Jong DW. Buku ajar ilmu bedah. Edisi II. Jakarta: EGC; 2005.p.911-2.
7. Yazici Y. Treatment of rheumatoid arthritis: we are getting there. Lancet: 2009;374:178-
80. [PubMed: 19560809]
8. Deighton C, O'Mahony R, Tosh J, Turner C, Rudolf M; Guideline Development Group.
Management of rheumatoid arthritis: summary of NICE guidelines. BMJ. 2009;338:702.
[PubMed: 19289413]
9. Davey P. Medicine at a glance. Jakarta: Erlangga; 2005.h.71-5.
16